Collaborative Care Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Interdisciplinary atau Collaborative Care Koordinator : Dr. F.Sri Susilaningsih, MN Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah : Tata Kelola



OLEH: KAMSARI



NPM: 220120150004



INEKE PATRISIA



NPM: 220120150020



HASYIM AROFIQ



NPM:2201201500



EFROLIZA



NPM: 220120150035



PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2015



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala kuasa-Nya telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Tak lupa shalawat dan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi pembawa risalah kebenaran di muka bumi ini. Makalah ini mengangkat tentang Interdisciplinary atau Collaborative Care. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah tata kelola. Untuk itu, kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dr. F.Sri Susilaningsih, MN, yang telah memberikan waktu dan arahannya dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalamnya, sehingga kritik dan saran sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu penulisan yang akan datang. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.



Bandung,



Oktober 2015



Penulis



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iv DAFTAR SKEMA ...................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A.



Latar Belakang Penulisan .............................................................. 1



B.



Tujuan Penulisan ........................................................................... 2



C.



Manfaat Penulisan ......................................................................... 3



D.



Sistematika Penulisan .................................................................... 3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 4 A.



Konsep Collaborative Care........................................................... 4



B.



Tujuan Collaborative Care ........................................................... 4



C.



Model Praktik Collaborative Care ................................................ 5



D.



Tim Collaborative Care .............................................................. 11



E.



Kriteria Keberhasilan Collaborative Care .................................. 13



F.



Elemen-elemen Penting dalam Kolaborasi ................................. 15



G.



Kelebihan dan Hambatan Interprofessional Collaborative Care 18



H.



Penerapan Kolaborasi .................................................................. 18



BAB III ISSUE DALAM COLLABORATIVE CARE ............................... 21 A.



Pemaparan Masalah ..................................................................... 21



BAB IV KESIMPULAN .......................................................................... 27 A.



Kesimpulan .................................................................................. 27



B.



Saran ............................................................................................ 28



DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 29



DAFTAR GAMBAR Gambar 1. The Newly Designed Collaborative Care Model ................... 11



DAFTAR SKEMA Skema 1. Model Praktik Hirarkis Tipe I ..................................................... 6 Skema 2. Model Praktik Kolaboratif Tipe II .............................................. 7 Skema 3. Pola Praktek Kolaborasi Tipe III ................................................. 8



BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Pemerintah Indonesia saat ini selalu berusaha untuk mewujudkan suatu kondisi masyarakat Indonesia yang sehat secara fisik dan mental. Pemerintah menyadari pentingnya masyarakat yang sehat untuk mendukung pembangunan negara. Oleh karena itu pemerintah dituntut untuk mampu menciptakan berkualitas.



suatu Hal



sistem ini



pelayanan



berarti



kesehatan



yang



bermutu



dibutuhkannya perbaikan



dan



pelayanan



kesehatan baik dari pelayanan rawat inap, rawat jalan, rujukan dan kesehatan darurat sehingga dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat (Permenkes [Peraturan Menteri Kesehatan] No. 71, 2013). Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan klinik yakni melalui clinical governance. Clinical governance merupakan suatu kerangka/ tata kelola klinis yang akuntabilitas meneruskan perbaikan pelayanan untukmencapai kualitas pelayanan kesehatan yang unggul (Sutiyoso, 2014). Clinical governance mempunyai aturan yang jelas bagi pengambil keputusan dalam bidang klinis (terutama dokter dan perawat) dan menyediakan petunjuk pelaksanaan yang detail dan terintegrasi (PDMMI [Persatuan Dokter Manajemen Medik Indonesia], 2012). Kegiatan clinical governance terbagi menjadi beberapa pilar. Salah satu pilarnya yaitu Interdisciplinary atau Collaborative Care. Kolaborasi merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menjelaskan tentang kerjasama antara pihak-pihak tertentu yang saling berhubungan dan mempunyai tujuan yang sama. Banyaknya masalah-masalah kesehatan yang dihadapi saat ini tidaklah bisa ditangani oleh satu pihak saja, misalnya perawat saja atau dokter saja, melainkan harus ada unsur kerjasama antar petugas kesehatan sesuai bidang keahlian masing-masing untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam mempermudah penyelesaian masalah dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, maka pentingnya tenaga



kesehatan



untuk



berkolaborasi,



berkoordinasi,



bekerjasama



dalam



memberikan informasi untuk mencapai tujuan bersama yaitu kesembuhan klien. Kolaborasi merupakan proses yang tidak sederhana, yang membutuhkan tukar pikiran pengetahuan dan informasi, yang direncanakan dan menjadi tanggung jawab bersama. Setiap tenaga profesiyang terlibat dalam kolaborasi mempunyai tanggung jawab masing-masing terhadap kesehatan klien, dengan pendekatan yang disesuaikan dengan profesinya tersebut. Jika setiap profesi mampu saling menghargai, maka hubungan kerjasama kolaborasi pun akan terjalin dengan baik sehingga pelayanan akan lebih efektif dalam merawat klien. Agar terciptanya praktik kolaboratif interdisiplin yang berorientasi pada klien, maka dibutuhkan perubahan-perubahan sikap profesional kesehatan yang menjadi sebuah pendekatan. Perubahan ini berupa perubahan nilai-nilai para profesional kesehatan, sosialisasi dan struktur organisasi. Untuk mencapai perubahan tersebut, perlu adanya kebiasaan baru dalam pelayanan yang mendukung tingkat kepercayaan bagi tim kesehatan, yakni melibatkan klien dan keluarga dalam pembuatan keputusan perawatan klien. Hal ini salah satu bentuk kolaborasi tim kesehatan selain bersama tim kesehatan lainnya menuju tercapainya tujuan yang sama. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan tema Interdisciplinary atau Collaborative Care pada tatanan pelayanan kesehatan.



B. Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum Tujuan



umum



dari penulisan



makalah ini



adalah untuk



menganalisa penerapan Interdisciplinary atau Collaborative Care pada tatanan pelayanan kesehatan. b. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah: a. Menjelaskan konsep interdisciplinary atau collaborative care b. Memaparkan issue interdisciplinary atau collaborative care



c. Memaparkan analisa dari issue interdisciplinary atau collaborative care



C. Manfaat Penulisan Hasil dari makalah ini dapat dijadikan bahan kajian dalam tatanan klinis di RS dalam hal ini yang menyangkut tentang collaborative care.



D. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam makalah ini terdiri dari bab 1: Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, manfaat penulisan, sistematika penulisan, bab II: Tinjauan teori, bab III: issue dalam collaborative care dan bab IV: kesimpulan.



BAB II BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Collaborative Care Collaborative Care adalah suatu proses yang terjadi antara perawat dan tim kesehatan lain untuk membuat rencana dan bekerjasama sebagai kolega, saling ketergantungan dengan batasan-batasan lingkup praktek masing-masing, saling mengakui dan saling menghargai terhadap pihak yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat (Lindeke and Sieckert, 2005 dalam Rumanti, 2009). Dalam kolaborasi ini terdapat hubungan timbal balik dimana (pemberi layanan) yang memegang tanggung jawab paling besar untuk merawat klien. Praktek kolaborasi ini sebagai pendekatan multidisiplin dan menekankan tanggung jawab bersama dalam memberikan asuhan kepada klien (Rumanti, 2009; PPNI, 2005). Perawatan kolaboratif merupakan hubungan kemitraan antara perawat pemberi perawatan kesehatan lain terhadap klien dan keluarganya. Perawatan kolaboratif ini sebagai suatu tindakan profesional dalam memberikan perawatan bekerjasama dengan klien dan tim kesehatan lain untuk memaksimalkan manfaat kesehatan bagi klien, mengenali dan tanggap terhadap pengetahuan dan keahlian, mengambil keputusan, kreatifitas dan inovasi sehingga tercapai hasil perawatan yang berkualitas (CNA [Canadian Nurses Association], 2010). Disinilah salah satu peran perawat yakni sebagai kolaborator dimana perawat bekerjasama dengan tim kesehatan lain untuk menentukan rencana dan pelaksanaan asuhan keperawatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan klien (Rumanti, 2009; Paryanto, 2006).



B. Tujuan Collaborative Care Adapun tujuan dari Collaborative Care ini secara umum yaitu untuk mencapai kepuasan dan perawatan klien yang berkualitas tinggi. Beberapa tujuan lain yang akan dicapai dengan adanya Collaborative Care ini yaitu:



1. Memberikan pelayanan perawatan yang berpusat pada klien dengan menggunakan kerangka kerja multidisiplin yang bersifat partisipasi dan terintegrasi. 2. Meningkatkan kontinuitas perawatan 3. Meningkatkan kepuasan klien dan keluarga terhadappelayanan 4. Meningkatkan keefektifan asuhan dan membantu klien mencapai kesehatan optimal 5. Kolaborasi



sebagai



wadah



untuk



saling



mengkomunikasikan,



merencanakan dan menyelesaikan masalah serta mengevaluasi pelayanan. 6. Meningkatkan rasa saling menghargai dan pemahaman antara klien dan anggota tim perawatan kesehatan. 7. Sebagai kesempatan untuk saling berbagi, membahas dan memecahkan isu dan masalah kesehatan 8. Membina hubungan interdependen dan pemahaman di kalangan pemberi perawatan dan klien (CAN, 2010; Rumanti, 2009; PPNI [Persatuan Perawat Nasional Indonesia], 2005).



C. Model Praktik Collaborative Care Way, Jones, and Busing (2000) telah mengembangkan praktik model kolaborasi



terstruktur



berdasarkan



definisi



dan konsep-konsep



yang



ada. Model ini menunjukkan hubungan antara penyedia layanan kesehatan, pasien/ keluarga/ masyarakat dan pengaturan praktek. Tujuan keseluruhan adalah untuk memberikan perawatan yang komprehensif dengan penyedia layanan kesehatan memberikan kontribusi pengetahuan profesional dan keterampilan ditambah pengalaman individu dan keahlian untuk memberikan perawatan yang komprehensif dengan cara yang efisien dan efektif, sementara tetap mempertahankan integritas masing-masing profesi.



Terdapat tiga model atau pola dalam praktek kolaborasi yaitu: 1. Model Praktik Hirarkis Tipe I Model hirarkis menekankan komunikasi satu arah, kontak terbatas antara pasien dan dokter serta dokter sebagai tokoh yang dominan (Paryanto, 2006 seperti yang dikutip dalam Siegler & Whitney).



Skema 1. Model Praktik Hirarkis Tipe I Sumber: Burchell, R. C., Thomas D. A., dan Smith H.I. (cit. Siegler & Whitney, 1994)



2. Model Praktik Kolaboratif Tipe II Model praktik kolaborasi menekankan komunikasi dua arah, tetapi tetap menempatkan dokter pada posisi utama dan membatasi hubungan antara dokter dan pasien (Paryanto, 2006 seperti yang dikutip dalam Siegler & Whitney).



Skema 2. Model Praktik Kolaboratif Tipe II Sumber: Burchell, R. C., Thomas D. A., dan Smith H.I. (cit. Siegler & Whitney, 1994)



c. Model Praktik Kolaboratif Tipe III Model praktek tipe III mengubah model sebelumnya. Model ini lebih berpusat pada pasien, semua pemberi pelayanan harus saling bekerja sama, baik antara pemberi pelayanan maupun dengan pasien. Model ini tetap melingkar, menekankan kontinuitas, kondisi timbal balik satu dengan yang lain dan tidak ada satu pemberi pelayanan yang mendominasi secara terus menerus (Paryanto, 2006 seperti yang dikutip dalam Siegler & Whitney). Model Kolaborasi tipe III ini sangat sesuai dalam penerapan praktek kolaborasi karena kolaborasi yang dilakukan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya semuanya berorientasi kepada pasien. Dalam situasi apapun, praktik kolaborasi yang baik harus dapat menyesuaikan diri secara adekuat pada setiap lingkungan yang dihadapi sehingga anggota kelompok dapat mengenal masalah yang dihadapi pasien hingga terbentuknya diskusi dan pengambilan keputusan.



Skema 3. Pola Praktek Kolaborasi Tipe III Sumber: Burchell, R. C., Thomas D. A., dan Smith H.I. (cit. Siegler & Whitney, 1994)



Karakteristik esensial penanganan pada penyakit kronis menurut “What” (2006) adalah a. Kolaborasi yang erat antara petugas kesehatan primer dan sekunder bersama dengan petugas spesialis pelayanan mental. b. Penanganan kasus dilakukan supervisi dan mendapatkan dukungan penuh dari petugas spesialis mental senior. c. Intervensi dilakukan secara konsisten dan rutin, termasuk dalam pendidikan kesehatan pasien, psikologi dan intervensi farmakologi. d. Perawatan dilakukan koordinasi dan follow up jangka panjang secara berkelanjutan.



d. The Newly Designed Collaborative Care Model Kunci dari kolaborasi: a. Pasien 1) Pasien dan keluarga, dapat berkoordinasi terhadap jalannya perawatan, menerima dukungan yang dibutuhkan dari staf profesional selama berada di rumah sakit. 2) Care teams dibentuk secara responsive terhadap kebutuhan pasien. 3) Peran Perawat (RN) dioptimalkan kepada koordinasi yang konsisten



terhadap



perawatan



pasien



di



pelayanan



acute



medical/surgery. 4) Semua tim menyelesaikan pekerjaanya masing-masing secara tepat waktu dan optimal. Yang pada poin pentingnya pasien dan keluarga menerima keuntungan maksimal dari setiap expertise dan kontribusi yang diberikan oleh tim. 5) Ada peran standar minimal yang harus diterima pasien sesuai dengan keadaan masing-masing tempat. 6) Peran tenaga kesehatan harus diperkuat. 7) Staf pendukung efektif harus ada, bekerja minimal sesuai dengan standar, berada di tempat kerja selama waktu yang ditentukan dan aktivitas yang dilakukan semua mendukung dalam kelancaran pelayanan terhadap pasien dan keluarga. 8) Fokus dari tim kolaborasi adalah pasien, semua mengejar bersamasama agar pasien mendapatkan keuntungan optimal. b. Proses 1) Perawatan



secara



komprehensif/



dikembangkan pada setiap pasien



discharge sedini



planning



mungkin



dalam



melakukan pelayanan kesehatan. Rencana ini mengantisipasi adanya batas pulang dan identifikasi isu yang dibutuhkan oleh pasien. 2) Budaya baru yang mengarah pasien dan keluarga menjadi pusat atau disebut dengan fokus pada konsumen perlu dikembangkan. Ini



berarti, pelayanan kesehatan tidak hanya dilakukan saat pasien atau keluarga



bertanya,



namun



tim



pelayanan



kesehatan



mengidentifikasi dan memberikan apa yang dibutuhkan pasien dan keluarga. 3) Sebagai bagian dari tim, bisa saja ada pergantian signifikan anggota tim bila usaha tersebut dirasa perlu agar tim dapat memberikan pelayanan kesehatan secara efektif. 4) Prioritas dari penyelesaian kasus adalah inisiatif yang memberikan dampak



besar



kepada



kemampuan



intervensi



dapat



diimplementasikan. 5) Proses ini melibatkan partisitipasi dari pasien dalam perawatan dirinya dengan cara mengkonfirmasi dan berkomunikasi. 6) Selalu menerapkan pengetahuan baru dalam praktek dan meningkatkan kesempatan dalam belajar dari setiap anggota tim dalam melakukan penerapan. 7) Proses harus didesain secara perawatan terkoordinasi secara berkelanjutan meliputi pre and post rawat inap. c. Informasi 1) Alat yang digunakan untuk investment mudah dan cepat di akses yang mengandung kebenaran informasi pada waktu yang tepat untuk pasien dan penyedia pelayanan kesehatan. 2) Banyak



manajemen



informasi



yang



berhubungan



dengan



keinisitifan dari sesuatu hal yang terjadi. Segala inisiatif berfokus pada pasien dan tenaga kesehatan. 3) Alat spesialis mungkin bisa dibutuhkan, termasuk alat yang mendukung



untuk



melakukan



management,



menumbuhkan



keingintahuan dan edukasi. d. Teknologi 1) Teknologi sebagai pendukung berlangsungnya komunikasi yang berguna untuk identifikasi, invested, dan integrasi.



2) Teknologi



sekiranya



dapat



digunakan



secara



mudah,



dan



mempermudah tugas penyedia layanan, penuh dengan informasi dan dapat meminimalkan waktu yang dibutuhkan.



Gambar 1. The Newly Designed Collaborative Care Model D. Tim Collaborative Care Kolaborasi ini dapat dilakukan oleh beberapa pihak dari tim kesehatan profesional. Anggota tim kesehatan meliputi: pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim (Anggraeni, 2013). Pasien merupakan salah satu anggota tim yang penting. Partisipasi pasien/ keluarga dalam pengambilan keputusan akan menambah kelancaran perencanaan yang efektif. Seperti pada model kolaborasi tipe III yakni patient center diharapkan outcome yang diharapkan dapat dicapai dengan melibatkan pasien dan berfokus pada pasien dalam pelayanan kesehatan (“Peran”, 2014). Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai



penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan. Roles Collaborative Care (“What”, 2006). 1. Pengoptimalan Peran Perawat (Register Nurse) Perawat harus menyediakan bedside coordination pada acute medical/surgical unit. Perawat yang bertanggung jawab kepada kualitas penyedia pelayanan kesehatan kepada pasien dan keluarga dan meyakinkan bahwa pengalaman perawatan pada pasien dilakukan secara terkoordinasi



secara



berkelanjutan.



Perawat



bekerja



pada



area



penangananya saja, aktivitas lain dapat dilakukan oleh petugas yang ditugaskan seperti pemberian waktu makan dan perpindahan pasien. 2. Pengoptimalan Peran Perawat Pelaksana Perawat



pelaksana



melakukan



perawatan



terintegrasi



dan



melakukan perawatan yang stabil sesuai dengan perintah dari RN atau tenaga kesehatan lain (dokter) apabila pasien tidak stabil. Aktivitas yang dilakukan termasuk housekeeping support and sticking carts and supplies. 3. Pengenalan Assistive Personel pada tim Collaborative Care Ada pendampingan pada setiap aktivitas personal pasien untuk menjawab kebutuhan pasien, menjawab bel, dan persiapan bedside. Peran lain dapat termasuk pada pelaksanaan kebutuhan pasien yang tidak ditangani oleh perawat. 4. Penguatan peran staf pendukung Peran setiap tenaga kesehatan harus diperkuat dalam membentuk tim kolaborasi yang kuat dan erat. Semua tim saling berkontribusi dan bekerja sama untuk mendapatkan hasil yang paling efektif. Yang terlibat dalam team sesuai dengan kasus individu seperti psikoterapi, terapi okupasional, terapi pernafasan, gizi klinis, pekerja sosial, dan farmasi.



E. Kriteria Keberhasilan Collaborative Care Keberhasilan suatu kolaborasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni faktor interaksi yang merupakan hubungan interpersonal antar anggota tim yang terdiri dari kemauan dalam berkolaborasi, saling percaya, saling menghargai dan berkomunikasi dengan baik. Kemudian faktor organisasi yang meliputi struktur organisasi, nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, kebebasan berekspresi, saling ketergantungan dan saling percaya, tersedianya waktu untuk berinteraksi, diskusi dan standarisasi prosedur dalam bekerja. Dan yang terakhir yaitu faktor lingkungan organisasi yang merupakan elemen diluar organisasi seperti sistem sosial, budaya dan pendidikan (Rumanti, 2009). Terdapat 2 kriteria standar kolaborasi menurut PPNI (2005) yaitu: 1. Kriteria Struktur a. Adanya kebijakan kerja tim dalam memberikan asuhan kesehatan terhadap klien. b. Perawat dilibatkan dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan asuhan klien. c. Adanya jadwal pertemuan berkala. d. Tersedianya mekanisme untuk menjamin keterlibatan klien dalam pengambilan keputusan tim 2. Kriteria Proses a. Perawat berkonsultasi dengan profesi lain sesuai kebutuhan untuk memberikan asuhan yang optimal bagi klien. b. Perawat



mengkomunikasikan



pengetahuan



dan



keterampilan



keperawatan sehingga sejawat dapat mengintergrasikannya dalam asuhan klien c. Perawat melibatkan klien dalam tim multidisiplin Terdapat Ten lesson yang menjadi kompetensi esensial dalam collaborative care yaitu: 1. Know yourself Untuk mempercayai diri sendiri dan orang lain sehingga mengetahui model mental diri sendiri



2. Learn to value and manage diversity Perbedaan merupakan aset yang penting dalam kolaborasi yang efektif 3. Develop constructive conflict resolution skills Konflik dalam kolaboratif dipandang sebagai suatu yang normal dan untuk memberikan kesempatan dalam memperdalam pemahaman dan kesepakatan 4. Use your power to create win-win situation Pembagian kekuasaan dan pengakuan seseorang merupakan bagian dari kolaborasi yang efektif 5. Master interpersonal and process skills Kompetensi klinis, kerjasama dan fleksibilitas adalah atribut yang diidentifikasi untuk mencapai kolaboratif yang diinginkan 6. Recognice that collaboration in a journey Keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk kolaborasi yang efektif membutuhkan waktu dan latihan. Resolusi konflik, keunggulan klinis, penyelidikan apresiatif dan pengetahuan tentang proses kelompok adalah keterampilan belajar untuk seumur hidup. 7. Leverage all multidisciplinary forums Memberikan kesempatan untuk menilai bagaimana dan kapan untuk menawarkan komunikasi kolaboratif untuk membangun kemitraan. 8. Appreciate that collaboration can occur spontaneously Kolaborasi harus selalu ada dalam kondisi spontan sekalipun 9. Balance autonomy and unity in collaborative relationships Belajar dari keberhasilan kolaborasi ataupun dari kegagalan, mencari umpan balik dan mengakui kesalahan untuk keseimbangan dinamis. 10. Remember that collaboration is not require for all decisions Kolaborasi bukanlah obat mujarab, juga tidak diperlukan dalam segala situasi (Gardner, 2005). Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika semua profesi memiliki persamaan visi dan misi, mengetahui batas-batas pekerjaannya, dapat bertukar informasi dengan baik serta mengakui keahlian profesi lainnya



yang terlibat dalam kolaborasi itu sendiri.Selain itu, kolaborasi akan berjalan efektif bila didukung dengan adanya kompetensi interpersonal, rasa saling kepercayaan, menghormati dan menghargai pengetahuan dan kemampuan yang berbeda. Ditambah juga dengan elemen penting agar tercapainya kolaborasi yang efektif (Anggraeni,2013 ; Himika, 2013 ; Tarigan, 2011).



F. Elemen-elemen Penting dalam Kolaborasi Interprofessional praktek kolaboratif dimana ada beberapa petugas kesehatan dari latar belakang profesi yang berbeda bekerja sama dengan pasien, keluarga, penjaga dan masyarakat untuk memberikan perawatan berkualitas tinggi, melalui beberapa elemen kolaboratif meliputi rasa hormat, kepercayaan, berbagi pengambilan keputusan dan kemitraan (WHO, 2010). 1. Kerjasama Mengacu pada kesediaan masing-masing operator untuk mencari, mendengarkan, dan belajar dari satu sama lain. 2. Ketegasan Mengacu pada kesediaan masing-masing operator untuk menawarkan informasi dengan keyakinan, menghargai dan mendukung pendekatan/ profesinya sendiri untuk perawatan dan pengalaman pribadi. Ketika seorang pelayanan kesehatan dihadapkan dengan suatu masalah antar pribadi



individu



agar



dapat



mengambil



salah



satu



tindakan



apakah menghindari, mengakomodasi, berkompromi, untuk bersaing, atau untuk berkolaborasi. 3. Otonomi Mengacu pada otoritas penyedia untuk membuat keputusan secara independen dan melaksanakan rencana perawatan. Hal ini didasarkan pada lingkup



penyedia



praktek



dan



keahlian



individu. Otonomi



tidak



bertentangan dengan kolaborasi dan berfungsi sebagai pelengkap kerja bersama. Tanpa kemampuan untuk bekerja secara mandiri, tim penyedia menjadi tidak efisien dan bekerja menjadi tidak terkendali.



4. Tanggung Jawab/ Akuntabilitas Melibatkan menjadi bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat dan tindakan yang diambil. Ini mencakup baik unsur-unsur independen dan berbagi. Tanggung jawab independen terletak pada masing-masing penyedia mengasumsikan tanggung jawab atas keputusan dan tindakan otonom. Tanggung jawab bersama terletak pada penyedia berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, memikul tanggung jawab bersama untuk disepakati keputusan, bertanggung jawab untuk melaksanakan sebagian dari disepakati rencana perawatan, dan menerima tanggung jawab bersama untuk hasil yang rencana perawatan. 5. Komunikasi: Setiap anggota tim bertanggung jawab untuk apa (isi) dan bagaimana (hubungan) ia/ dia berkomunikasi. Apa Setiap anggota tim bertanggung jawab  untuk:  Berbagi dengan orang lain informasi penting mengenai pasien dan isu-isu yang berkaitan dengan pengambilan keputusan.  Informasi verbal dan/ atau tertulis yang lengkap, relevan,  ringkas dan tepat waktu memungkinkan orang lain untuk memahami situasi pasien total dan membuat keputusan berdasarkan informasi ini. Berkomunikasi dengan cara ini juga membantu penyedia layanan untuk mengartikulasikan peran mereka  dan untuk menunjukkan kompetensi mereka. Dalam rangka untuk berkolaborasi, penyedia memerlukan akses ke satu sama lain dan mencatat bahwa



Bagaimana Pesan akan diterima berbeda tergantung pada bagaimana anggota tim melihat satu sama lain. Merasa superior atau inferior, daripada sama, akan mempengaruhi bagaimana informasi yang dikirim dan diterima. Teamwork didukung oleh komunikasi verbal dan non-verbal yang menyampaikan menghormati satu sama lain sebagai mitra sejajar, keterbukaan yang memungkinkan satu sama lain untuk setuju atau tidak setuju dan membangun satu gagasan orang lain. Komunikasi kolaborasi mungkin terdengar seperti “berdebat positif” karena setiap pasangan merasa bebas untuk menyuarakan ide-ide dan keprihatinan. Namun mendengarkan hormat memastikan bahwa semua



dokumen pengambilan keputusan dan memungkinkan mereka untuk mengikuti rencana perawatan.



menerima masukan yang diperlukan untuk membuat keputusan perawatan pasien yang efektif.  Sebuah komponen kunci untuk komunikasi yang efektif adalah saling mendukung dan penegasan bahwa tim bekerja dengan baik.



6. Koordinasi meliputi organisasi yang efisien dan efektif dari komponen yang diperlukan dari rencana perawatan. Untuk setiap situasi pasien, penyedia harus jelas tentang siapa melakukan apa, siapa yang akan melaksanakan yang bagian dari rencana dan siapa yang akan memimpin untuk memastikan bahwa rencana keseluruhan diimplementasikan. Hal ini penting bagi pasien dan keluarga untuk mengetahui. Koordinasi yang efektif dan efisien melindungi terhadap fragmentasi dan duplikasi yang tidak disengaja serta memastikan bahwa perawatan komprehensif disampaikan dengan melibatkan semua penyedia kesehatan yang tepat. a. Rasa saling percaya dan menghormati umum untuk dan mengikat semua elemen lain bersama-sama. Way, Jones, and Busing (2000) menjelaskan tentang kepercayaan dan rasa hormat seperti halnya waktu, komitmen, kesabaran dan pengalaman tim sebelumnya positif. Kepercayaan Merasa nyaman tergantung pada satu sama lain, percaya bahwa setiap orang yang kompeten dan dapat diandalkan dan akan bertindak dalam lingkup mereka sendiri praktek. Menghormati Mengetahui dan menghargai kontribusi unik dan saling melengkapi bahwa setiap profesi dan anggota tim individual yang ditawarkan. Didukung oleh artikel Way, Jones, and Busing (2000) menyatakan bahwa tujuh elemen yaitu Kerjasama, ketegasan, otonomi, tanggung jawab/akuntabilitas, komunikasi, koordinasi, dan saling



percaya serta menghormati sangat penting dalam pelaksanaan kolaborasi antar disipllin kesehatan.



G. Kelebihan dan Hambatan Interprofessional Collaborative Care Kelebihan dari interprofessional collaborative care: 1. Terjadi pertukaran informasi, pengetahuan dan keterampilan. 2. Saling menghargai dan mendukung antar profesi kesehatan. 3. Studi menunjukan bahwa interprofessional collaborative care dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas (Cadell, et al, 2007). 4. Pentingnya hubungan saling menghargai dan mendukung di antara profesi kesehatan. Hambatan dari interprofessional Collaborative care: 1. Menurut Ginsburg and Tregunno (2005) dan Clark (2011), hambatan dalam melaksanakan interprofessional collaborative adalah masingmasing profesi kesehatan memiliki kultur profesi yang sangat otonom dan kebanggaan terhadap masing-masing profesi. 2. Tidak seimbangnya tingkat pengetahuan dan keterampilan antar profesi kesehatan (Caldwell and Atwal as cited as Blane, 1991; Hugman, 1991; Carrier and Kendall, 1995). 3. Terjadi tumpang tindih dan bingung peran karena masing-masing profesi belum paham akan areanya dan belum mau menurunkan ego untuk berkolaborasi dalam area abu-abu dan lainnya. 4. Timbulnya konflik antar profesi.



H. Penerapan Kolaborasi Contoh penerapan Collaboratif Care yang terintegrasi dengan kesehatan fisik maupun kesehatan mental dengan pengobatan kesehtan dirumah yang sering terjadi di masyarakat adalah berkaitan dengan kejadian depresi. Depresi dan kerusakan mental umumnya membutuhkan biaya kesehatan yang tinggi dan kehilangan produktivitas, sedikitnya 25% pasien dengan penyakit tersebut menerima perawatan.Hanya 20% pasien dewasa



dengan kerusakan kesehatan mental berobat ke spesialis kesehatan mental dan banyak tawaran penawaran perawatan dengan aturan.Individu dengan sakit mental yang serius harus ke penyedia layanan spesialis kesehatan mental akan tetapi mereka memiliki akses terbatas untuk pengobatan dan perawatan lanjut serta rata-rata mortalitas yang tinggi. Kendala lain dari sisi pelayanan dari kesehatan mental adalah bahwa Kebiasaan pelayanan kesehatan hanya dilakukan dalam perawatan utama, atau dalam artian hanya di rumah sakit jiwa saja. Didukung kualitas pelayanan akan sangat memberikan pengaruh pada kesehatan mental. Untuk itu usaha yang dilakukan adalah untuk meningkatkan perawatan kesehatan mental dalam pelayanan primer. Perawatan kolaboratif adalah sebuah solusi dasar, mencakup : a. Primary care provider b. Care mangement staff c. A psychiatric consultant Efek kolaboratif terhadap biaya perawatan kesehatan meliputi untuk depressi menghabiskan 50-100 % dalam perawatan normal, sedangkan dengan perawatan kolaboratif pasien dapat menyimpan biaya perawatan 20% dari total biaya yang biasa dikeluarkan pertahun.(unotzer, jorgen; Harbin, Henry; schoenbaum, michael; druss, benjamin; May 2013) Integrasi perawatan kesehatan fisik dan mental adalah aspek penting dalam model pengobatan kesehatan di



rumah, program



perawatan



Collaborative merupakan salah satu pendekatan perawatan yang terintegrasi yang mana menyediakan pelayanan primer, manajer, perawat, terapis dan konsultan psikiater yang bekerja bersama dan duduk bersama klien dan keluarga untuk menyediakan pelayanan dan memonitor peningkatan kesehatan pasien (Stephen, 2012). Program ini menunjukkan bahwa biaya klinik dan keefektifan dalam perawatan kondisi mental memberikan hasil yang signifikan, dalam beberapa peraturan, digunakan perbedaan dalam mekanisme pembayaran, model perawatan



kolaboratif salah satu model pendekatan implementasi perawatan terintegrasi di bawah pengobatan kesehatan mental dirumah. Dalam pelaksanaan perawatan klien yang mempunyai masalah kesehatan mental di Indonesia ternyata masih terkotak-kotak dan berdiri sendiri sendiri, perawat mempunyai tugas sendiri dan demikian juga dokter, terapis dan konsultan psikiater. Tidak jarang antar disiplin ilmu mempunyai klim sendiri-sendiri atas profesi masing masing dan sangat jarang sekali pelaksana dalam perawatan primer duduk bersama untuk melakukan perencanaan. Terlebih dalam pelibatan klien dan keluarga dalam perawatan, bisa dikatakan sangat jarang, karena keluarga sangat jarang datang ke rumah sakit.



BAB III BAB III ISSUE DALAM COLLABORATIVE CARE



A. Pemaparan Masalah Contoh Kasus, disampaikan dalam Who (2013) Fokus dari case study di Edmonto, Alberta adalah rancangan dan implementasi interprofessional Clinical Learning Units (IPCLUs) di Perawatan akut, rehabilitasi dan perawatan kompleks. Sebagai tugas dari perawatan primer, IPCLUs berusaha untuk meningkatkan kapasitas edukasi klinis melalui baik kegiatan akademik dan anggota tim professional dalam perawatan pasien. Profesi yang terlibat adalah perawat, ahli patologi, pekerja sosial, terapis okupasional, terapis fisik, farmasi, terapis rekreasional, dietarian, dokter, perawat pelaksana, administrator, dan edukator. IPCLUs sebagai model kolaborative dari interprofessional clinical teaching dan pengembangan pembelajaran yang aktif pada unit perawatan memiliki tujuan untuk mempengaruhi perawatan pasien melalui dukungan terhadap lingkungan interprofessional dan menciptakan pembelajaran yang positif dan lingkungan praktik belajar bagi siswa, akademik, dan tim garda depan pada pasien. Program ini dirasakan memiliki gap besar pada area akademik dan siswa yang praktek di klinik, anggota fakultas dan tim interprofessional



dalam



melakukan



pembelajaran



bersama.



Terdapat



peningkatan kesadaran kompetensi inti dari interprofessional (komunikasi, kolaborasi, kejelasan peran dan refleksi), meningkatnya komunikasi antar interprofessional dan meningkatnya interaksi antara siswa dengan berbagai profesi. Model tersebut melibatkan inisiasi dari IPE, termasuk dalam metode pembelajaran, pelayanan dalam training, mentoring dan konferensi. Institusi harusnya mendukung adanya kolaborasi oleh pihak berwenang di kesehatan dan intitusi keilmuan kesehatan. Outcome dari Alberta program ini mengindikasikan perubahan kultur pada setiap praktisi, siswa, dan pendidik



dalam mencontohkan kompetensi interprofessional, sehingga mendapatkan keuntungan untuk pasien. Dimana pre dan post penerapan evaluasi mengindikasikan keadaan yang kondusif antara IPE, CP dan evidence based learning. Tabel Analisa kasus dan penerapan di Indonesia Pelaksanaan ERROR DAMPAK Penerapan Pelaksanaan CP Pasien program IPE di belum terwujud Akibatnya pasien Klinik karena siswa mendapatkan banyak melibatkan cenderung pertanyaan dan pembelajaran melakukan praktek pemeriksaan yang CP antara bersama dengan berulang. mahasiswa kelompok kecilnya, Hal ini keperawatan, melakukan mengakibatkan kedokteran, pembagian tugas ketidaknyamanan dan gizi pada kelompok besar pada pasien dan kesehatan sesuai dengan ketidakefektifan kompetensi masing- hasil perawatan masing, dan mempresentasikan hasil tidak dalam bentuk terpadu. ISSUE



Hal tersebut terlihat jelas, saat pengkajian mahasiswa melakukan masingmasing.



Setelah melakukan pengkajian pun, tidak ada transfer informasi diantara



Outcome IPE dan CP Tidak tercapai tujuan pembelajaran karena masing-masing profesi hanya samasama bekerja tidak melakukan kerja sama dalam memecahkan kasus yang digunakan untuk pembelajaran CP



SARAN Adanya fasilitator (seperti IPCLUs, kalau di Indonesia mungkin bisa dibentuk tim khusus sebagai CI kolaborasi atau bisa dari perawat, dokter, atau dietarian yang menguasai CP) sebagai penengah dan pengarah antara mahasiswa.



Adanya duduk bersama antar mahasiswa beda profesi untuk merumuskan perawatan secara integrasi dan kolaborasi. Adanya komunikasi yang efektif terjadi diantara mahasiswa dalam melakukan perawatan



kelompok besar dan tidak ada keterlibatan diskusi dalam merencanakan intervensi secara terpadu. Mahasiswa melakukan praktek intervensi secara sendiri dalam kelompok kecil dan tidak ada koordinasi antara kelompok besar. Pelaporan kasus bersama menjadi disintegrasi sesuai profesi masingmasing dan terdapat intervensi yang saling tumpang tindih. disiplin - Lama perawatan Pengambilan - Antar kesehatan khususnya (LOS-length of Keputusan di ICU, perawat stay) bertambah belum dilibatkan - Tidak bisa dalam pengambilan langsung keputusan (Coombs, tertangani 2003). masalahnya - Beranggapan bahwa - Ada batas antara dokter lah yang tim pelayanan mengambil kesehatan yang keputusan, perawat seharusnya bisa hanya melaksanakan bekerja bersama asuhan kepada dalam pasien saja (Cook, memecahkan D., et al., 2003 and permasalahan Lee, D. K. P., et al., pasien. 1994). Perawat cenderung mendukung model konseptual holistic, sedangkan dokter lebih fokus kepada penyakit (Burd, A.,



Perlu dibentuk case manager secara khusus untuk menangani permasalahan pasien dalam pengambilan keputusan. Perlu diadakan workshop pelatihan Collaborative Care di tatanan kesehatan. Hal tersebut dilakukan untuk menjawab permasalahan kewenangan, area mandiri, area abuabu, dan penyatuan model pemikiran.



et al., 2002). Komunikasi sebagai pemberi informasi



- Komunikasi kolaborasi interdisplin tidak berjalan dengan baik, ditandai dengan komunikasi yang ekslusif antar dokter dan antar perawat saja (Donchin, Y., et al., 1995).



Resiko KTD,KNC, hingga kematian Lama perawatan (LOS-lengt ofstay) bertambah.



Untuk komunikasi tertulis dilakukan penerapan integrated care plan. Untuk komunikasi secara lisan bisa dilakukan serah terima pasien baru, pre-post conference, dan ronde.



- Pada tatanan unit - Akan lebih sering Dilakukan penurunan ego dan pelayanan intensif, melakukan dokter telah kesalahan dalam pembenaran culture. Salah satunya melakukan lebih menangani dengan cara, ada banyak komunikasi pemberian yang memfasilitasi dengan keluarga dan pelayanan untuk terbentuknya pasien mengenai kesehatan forum diskusi antara kesehatan pasien, profesi. tetapi komunikasi yang dilakukan dengan perawat sangat terbatas (Coeira, E. W., 2002) Pembahasan lebih detail tentang kasus pertama adalah berfokus pada ada gap/ penghalang pada IPE dan CP. Misalnya pada pendidikan perawat, perawat hanya berfokus pada perawat saja, begitu pula dengan profesi kesehatan lainya. Sehingga teamwork yang dibentuk tidak adekuat. Harusnya ada dukungan/ peningkatan kolaborasi interprofessional dengan fakultas kesehatan lain (WHO, 2013). Budaya profesional dan stereotype menjadi salah satu barier pada terjadinya kolaborasi, seperti the social heritage of a community, jumlah total profesi, cara berpikir dan kebiasaan yang mungkin menggangggu dari grup/ orang ke yang lainya dan tend be passed down dari generasi ke generasi. Budaya profesional mencakup pada fungsi kepercayaan, nilai, customs dan kebiasaan (WHO, 2013).



Setiap profesi harus mempunyai kemampuan dalam mengetui ranah profesional profesinya, mengadvokasi pada tindakan profesional profesinya sehingga pada prakteknya tidak ada tumpang tindih atau konflik yang berkaitan dengan ranah kerja. Harusnya ada kesamaan dan kekonsistenan bahasa yang digunakan bersama. Agar setiap tim yang bekerja sama dalam satu tim dapat memahami dengan baik apa yang dimaksudkan oleh anggota tim lain (WHO, 2013). Kunci agar interprofessional education dan collaborative practice dapat berjalan dengan baik menurut WHO (2013) adalah: 1. Adanya kepemimpinan dan champions 2. Adanya dukungan secara administratif dan institusional 3. Adanya menthorship dan pembelajaran 4. Adanya pembagian pemahaman visi dan misi 5. Membangun lingkungan yang mendukung terrjadinya kolaborasi ICU (Intensive Care Unit) merupakan tempat untuk bekerja dimana kondisinya membuat stres, dan terdapat anggota- anggota baru dalam tim yang nantinya memiliki resiko melakukan banyak kesalahan. Dengan demikian banyak pihak yang akan dirugikan salah satunya pasien, akan mendapatkan pelayanan yang kurang optimal sehingga angka kematian akan semakin meningkat. Salah satunya mengenai pengambilan keputuasan dalam pemberian tindakan maupun pemecahan masalah untuk pasien tersebut, perawat dan dokter harus saling berkolaborasi untuk mengatasi masalah yang muncul pada pasien dan mengambil sebuah keputusan demi terlaksananya pelayanana kesehatan yang optimal dan mengurangi dampak pada pasien maupun tim kesehatan yang terkait (“Practice”, 2010) Pada isu kasus komunikasi menurut Kilcoyne (1991), masalah yang sering terjadi antara profesi kesehatan adalah komunikasi yang terpisahpisah, meskipun mereka sering bertemu tapi pendokumentasian menjadi permasalahan yang mendasar. Catatan kasus sering menjadi sumber komunikasi saat interprofession jarang berdiskusi, tapi penggunaan



dokumentasi perawatan yang terintegrasi akan memperbaiki masalah komunikasi yang terputus. Sehubungan dengan itu kolaborasi interdisplin antar tenaga kesehatan di unit pelayanan intensif seperti komunikasi maupun pengambilan keputusan antara dokter dan perawat sangat lah penting demi mutu pelayanan kesehatan (George, A.M.D., et al., 2006 dan Baggs, J.G., et al, 2004). Didukung oleh Laurel (2009), kolaborasi interdisiplin antar tenaga kesehatan di ICU saling berhubungan, jika kolaborasi tersebut tidak terlaksana dengan baik maka akan meningkatkan resiko kesalahan dalam pelayanan dan meningkatkan angka kematian pada pasien di ICU.



BAB IV BAB IV KESIMPULAN A. Kesimpulan Collaborative Care adalah suatu proses yang terjadi antara perawat dan tim kesehatan lain untuk membuat rencana dan bekerjasama sebagai kolega, saling ketergantungan dengan batasan-batasan lingkup praktek masing-masing, saling mengakui dan saling menghargai terhadap pihak yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat (Lindeke and Sieckert, 2005 dalam Rumanti, 2009). Adapun tujuan dari Collaborative Care ini secara umum yaitu untuk mencapai kepuasan dan perawatan klien yang berkualitas tinggi. Beberapa tujuan lain yang akan dicapai dengan adanya Collaborative Care ini yaitu: 1. Memberikan pelayanan perawatan yang berpusat pada klien dengan menggunakan kerangka kerja multidisiplin yang bersifat partisipasi dan terintegrasi. 2. Meningkatkan kontinuitas perawatan 3. Meningkatkan kepuasan kliendan keluarga terhadap pelayanan 4. Meningkatkan keefektifan asuhan dan membantu klien mencapai kesehatan optimal 5. Kolaborasi



sebagai



wadah



untuk



saling



mengkomunikasikan,



merencanakan dan menyelesaikan masalah serta mengevaluasi pelayanan. 6. Meningkatkan rasa saling menghargai dan pemahaman antara klien dan anggota tim perawatan kesehatan. 7. Sebagai kesempatan untuk saling berbagi, membahas dan memecahkan isu dan masalah kesehatan 8. Membina hubungan interdependen dan pemahaman dikalangan pemberi perawatandan klien (CAN, 2010; Rumanti, 2009; PPNI [Persatuan Perawat Nasional Indonesia], 2005).



B. Saran Dalam tatanan pelayanan klinis, pelaksanaan collaborative care harus sangat memperhatikan hal-hal di atas dan menjadikan kepuasan pasien sebagai fokus dan prioritas pelayanan di Rumah Sakit.



DAFTAR PUSTAKA



Nova Scotia. (2013). Collaborative Care Guidlines for Perioperative Nurses. Nova Scotia Perioperative Directors and Managers Version 18 – Final Draft, Jan 10. “What”. (2006). What it means for you. Nova Scotia’s New Collaborative Care Model.(unotzer, jorgen; Harbin, Henry; schoenbaum, michael; druss, benjamin; May 2013)(unotzer, jorgen; Harbin, Henry; schoenbaum, michael; druss, benjamin; May 2013) WHO. (2013). Interprofessional collaborative practice in primary Health Care: Nursing and Midwifery Perspectives:Six Case Studi George Alvarez MD, FRCPC, FJFICM*, Enrico Coiera MBBS, PhD,. (2006). Interdisciplinary communication: An uncharted source ofmedical error?. Journal of Critical Care 21, 236– 242 Coiera, E. W., Jayasuriya, R. A., Hardy, J., Bannan, A., Thorpe, M.E. (2002). Communication loads on clinical staff in the emergency department.Med Journal Australia, 176(9):415- 8 Laurel, A. D. (2009). Patient Safety and Collaborationof the Intensive Care Unit Team. JournalAmerican Association of Critical Care Nurses, 29:85-91 Ginsburg L & Tregunno D (2005). New approaches to interprofessional education and collaborative practice: lessons from the organizational change literature. Journal of Interprofessional Care, 1, 177–187. Clark PG (2011). The devil is in the details: the seven deadly sins of organizing and continuing interprofessional education in the US. Journal of Interprofessional Care, 25(5), 321–327.



Cadell, et al, 2007. Practicing interprofessional team-work from the first day of class: a model for an interprofessional palliative care course. Journal of Palliatif Care, 23(4), 273-279, retrieved from EBSCHO CINHL Caldwell, K and Atwall, A (2003). The problem of interprofessional healthcare practice in hospital. British journal of nursing,12(20) Anggraeni, T. (2013).Perawat sebagai Kolaborator.Jurnal akpermus, ISSN 28052754. CNA. (2010). Canadian nurse practitioner: Core competency framework. Ottawa: Author.



Retrieved



October



11st



2014



from



http://www.cna-



aiic.ca/CNA/documents/pdf/publications/Competency_Framework_2010_ e.pdf Gardner, D. B. (2005).Ten Lessons in Collaboration.The online jurnal of issues nursing,1



(10).



Diperoleh



10



Oktober



2014



dari



http://www.nursingworld.org/MainMenuCategories/ANAMarketplace/AN APeriodicals/OJIN Leticia et al.(2005). The Determinants of successful collaboration: A Review oftheoretical and empirical Studies.Journal of Interprofessional Care. Paryanto, A. T. (2006). Analisis pengaruh faktor kolaborasi perawat terhadap kepuasan kerja dokter spesialis di rawat inap paviliun garuda RS. Dr. Kariadi Semarang. Tesis. Semarang : Program Pascasarjana Universitas diponegoro. PDMMI. (2012). Body of Knowledge dan Standar Kompetensi Dokter Manajemen Medik. “Peran”. (2014). Peran dan Kompetensi Dokter dalam Kolaborasi Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit -RAKERNAS MPKU III Part 5. Diperoleh 18 Oktober 2014 darihttp://pascasarjana.umy.ac.id/mmr/?p=1772



Permenkes RI No 71. (2013). Pelayanan Kesehatan pada jaminan kesehatan nasional Bab I Pasal I. PPNI.(2014). Standar Praktek. Diperoleh 13 Oktober 2014 dari http://www.innappni.or.id/index.php/standar-praktek “Practice”. (2010). Practice model collaborative care family doctor and nurse practitioners.



Avalible



on



14



Oct



2014



at



10.00



p.m



https://meds.queensu.ca/central/assets/modules/seipcle01/mod/cooperation_and_assertiveness.html Sutiyoso, A., Gartinah, T., Raharjo, S., Hadad, T. (2014).Peran Komite Medik dalam Kerangka Clinical Governance untuk Mencegah Fraud di RS.Annual Scientific Meeting dalam Rangka Dies Natalies Fk Ugm Ke-68 dan Ulang Tahun Rsup Dr. Sardjito Ke-32. Tarigan, E. (2011).Kolaborasi perawat dengan dokter.USU Institusional Repository. Way, D., Jones, L., Busing, N. (2000). Implementation strategies: Collaboration in primary care doctors & nurse practitioners delivering shared care. Toronto: The Ontrio Collage. Kilkoyne A (1991) Post Griffiths: The art of communication and collaboration in the primary health care team, Marylrbone monograph 1. Marylebone centre trust, Londong