Contoh-Contoh Pelanggaran HAM [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Kasus pelanggaran HAM terhadap anak a) Kasus 1 :



Razia besar-besaran Satpol PP



Reza anak kecil yang berusia 15 tahun ini berhasil ditangkap Satpol PP setelah diadakannya razia besar-besar oleh Satpol PP, Jakarta Pusat. (2013). Setelah terjaring razia, Reza tertangkap bersama teman-temannya yang sama-sama sebagai pengemis dan gelandangan. Setelah dimintai keterangan oleh pihak polisi, ia mengaku sengaja menjadi pengemis dan gelandangan karena melarikan diri dari rumah akibat suasana rumah yang selalu membuatnya strees dan tertekan. Ia juga mengaku jika tinggal di jalanan ia lebih bisa merasakan kebebasan. Namun bagaimanapun akhirnya pihak petugas menyerahkan kembali reza ke pihak keluarga. sumber ://nugraharian49.blogspot.co.id/2015/04/contoh-kasus-pelanggaran-ham-terhadap.html



Analisa : Page 1



b) Kasus 2 :



Kekerasan seksual terhadap anak jalanan



Doni (32 tahun) tega menyodomi anak-anak jalanan yang ia kelolanya untuk dimanfaatkan dan dijadikan pengemis setiap harinya. Ia mengaku bahwa sudah kurang lebih 15 anak-anak jalanan dibawah umur yang sudah di sodominya.Selain itu,korban juga mengaku kerap mendaptakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh doni . Motiv ia melakukan hal itu adalah karena kelainan seks. Setelah diperiksa ternyata benar jika doni memiliki



Page 2



kelainan seks terhadap anak kecil yang dikenal dengan Pedofilia. Setelah terungkapnya kasus ini, Doni dinyatakan tersangka dan akhirnya masuk Bui,para korban dibina dan dibimbing untuk penyembuhan psikologinya. sumberhttp://nugraharian49.blogspot.co.id/2015/04/contoh-kasus-pelanggaran-hamterhadap.html Analisa :



c) Kasus 3 :



Tega ibu tiri mandikan balita laki-lakinya dengan air panas hingga tewas



Dilansir dailymail.co.uk, balita laki-laki asal Ohio tersebut direndam dalam air panas sampai



kulit



bagian



bawah



tubuhnya



mengelupas.



Bagaimana



tidak,



Anna



memberikan hukuman mandi air panas untuk Austin selama lebih kurang 20 menit dengan kondisi air panas 130 derajat Fahrenheit (56,7 Celsius). Padahal menurut para peneliti, dengan air sepanas itu dalam waktu empat detik saja sudah dapat membuat luka bakar pada Page 3



kulit, apalagi jika itu dialami oleh anak kecil seperti Austin.Lebih parahnya, Anna tidak membawa Austin ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Anna justru memakaikan baju piyama dan kaus kaki, lalu membawa Austin ke tempat tidur.Jaksa penuntut Warren County, David Fornshell, menyebutkan Anna telah melakukan tindak kejahatan. Fornshell mengatakan bahwa Austin mengalami pendarahan hebat. Yang pasti kulitnya sudah mengelupas dari kedua kakinya ketika Anna mengeluarkan anak itu dari air yang panas tersebut. Jika saja Anna langsung membawa Austin ke rumah sakit, maka nyawa Austin akan tertolong."Andai Austin dirawat di rumah sakit segera, kemungkinannya besar dia akan bertahan hidup," kata Fornshell.Kejadian yang diderita Austin baru diketahui oleh ayahnya, Robert Ritchie III, saat ia ingin pergi ke kamar anaknya. Dia pun tak percaya menemukan balita itu sudah tidak bernafas lagi. Tanpa pikir panjang, Robert langsung menelepon layanan darurat kepolisian untuk mendapatkan pertolongan pertama pada putra kesayangannya. Tapi apa daya, saat Austin tiba di Atrium Medical Center, Middletown, Ohio, ia sudah diumumkan tewas kehabisan cairan dan darah."Saya pikir putra saya meninggal," katanya tersedu-sedu lewat telepon."Dia kaku seperti kayu," tangis Robert kepada media Cincinnati Enquirer.Akibat insiden tersebut, ibu tiri kejam ini didakwa dengan tuduhan pembunuhan serta sejumlah tuntutan lainnya, yaitu pembunuhan tanpa rencana atas anak tirinya. Anna juga dituduh melakukan perbuatan yang kejam dan membahayakan anakanak. Adapun alasan Anna melakukan hal ini karena ia marah diminta merawat anak yang bukan darah dagingnya sendiri.Sebagai kuasa hukum Anna, Seth Cantwell, yang mengetahui alasan dan perbuatannya tersebut akhirnya menolak memberikan komentar ketika Anna terancam hukuman 15 tahun penjara atau hukuman seumur hidup.Bukan hanya sang ayah yang terpukul, nenek Austin, Sheri Gredig, pun mengatakan padaWCPO bahwa ia merasa Anna tidak menunjukkan rasa penyesalan saat hadir di pengadilan bulan lalu."Dia bersikap seperti tidak melakukan sesuatu yang salah," kata Gredig."Anna Ritchie benar-benar jahat. Dia seharusnya tidak dibiarkan bebas lagi. Saya ingin dia dihukum mati. Dia mengambil kesayanganku," katanya. Sumber http://citizen6.liputan6.com/read/2489432/tega-ibu-tiri-ini-mandikan-anaknya-denganair-panas-hingga-tewa



Analisa :



Page 4



2. Kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan a) Kasus 1:



BENGKULU - Direktur Yayasan Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan Untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu, Susi Handayani, mengatakan, kasus yang menimpa siswi SMP, Yuyun (14), di Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, merupakan kejahatan kemanusiaan dan merendahkan martabat perempuan.Susi kembali menegaskan, kasus perkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun oleh 14 orang, merupakan kasus kejahatan dan pelanggaran paling serius terhadap hak perempuan.Selain itu, tegas Susi, kasus tersebut merupakan kejahatan luar biasa. Bahkan, terang dia, kekerasan terhadap Yuyun, merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Page 5



sebagaimana yang telah ditentukan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tahun 1948, UU RI No. 7 tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Bahkan, terang Susi, kasus tersebut sudah melanggar terhadap 12 Jenis Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi terkhusus hak untuk, hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan keamanan, hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk. ''Dilihat dari tindakan para tersangka, ini adalah kejahatan kemanusiaan dan kejahatan luar biasa. Maka kita meminta para tersangka dapat dihukum seberat-beratnya,'' tegas Susi kepada Okezone, Rabu (4/5/2016). Susi menambahkan, hukuman-hukuman untuk pelaku kejahatan seksual atau perkosaan kerapkali tidak memenuhi rasa keadilan perempuan. Pasalnya, kata dia, setiapkali perkosaan terjadi, perempuan selalu dipersalahkan, atas cara berpakaiannya, bukan menghujat tindakan kekerasan yang dilakukan pelaku perkosaan.Susi mencontohkan, pada kasus Yuyun sempat dicuatkan ketika sosok Yuyun pulang sekolah sendiri menuju rumah. Selain tu, cara berpakaian korban yang mengenakan pakaian seragam pramuka juga ikut disalahkan.''Korban adalah korban. Tidak dapat disalahkan dalam hal ini. Hal ini harus ada pemenuhan kebenaran pada korban, bukan untuk disalah-salahkan kepada korban,'' tegas Susi lagi. sumber http://news.okezone.com/read/2016/05/04/340/1379893/pemerkosaan-yuyun-oleh-14-orangadalah-kejahatan-kemanusiaan



Analisa :



b) Kasus 2:



Page 6



Kisah Eks Penyanyi Istana Era Soekarno yang Dipenjara 7 Tahun



Suara.com - Tragedi September 1965 yang dikenal dengan 'G 30 S' menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, keluarga korban pembantaian massal yang konon dilakukan oleh angkatan darat hingga kini masih mengalami intimidasi dan stigmatisasi oleh sekelompok masyarakat dan Pemerintah.Tak hanya itu, tragedi 1965 juga telah memenjara banyak orang tanpa diadili di pengadilan. Ini menunjukkan betapa kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia pada masa lalu belum tuntas. Negara tampak masih enggan mengungkap kebenaran sejarah tersebut.Salah satu korban yang pernah dipenjara tanpa diadili di tragedi 1965 tersebut adalah Nani Nurani. Perempuan berusia 70 Tahun ini mengungkapkan bahwa negara telah abai terhadap hak warganya. Nani mengaku dipenjara tanpa tahu apa kesalahannya.



Ia



mengaku



mengetahui



peristiwa



pada



30



September



1965



(pembunuhan para jenderal) dari radio pukul 10.00 WIB. Nani tidak tahu menahu penyebab kejadian itu. "Saya ditangkap dan dipenjara, karena dituduh sebagai Biro Khusus PKI (Partai Komunis Indonesia). Padahal saya bukan PKI dan tidak tahu salah saya apa," ceritanya dalam Simposium Nasional Tragedi 1965/1966 di hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016).Nani mengaku ketika pulang ke kampung halamannya di Cianjur, Jawa Barat, untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga di rumah, tiba-tiba didatangi oleh dua prajurit angkatan darat bersenjata lengkap."Ketika saya berkumpul dengan keluarga tiba-tiba saya ditangkap oleh dua tentara bersenjata laras panjang dan menodongkannya ke saya. Kemudian saya dipenjara di Bukit Duri



Page 7



(Jakarta) selama tujuh tahun dan tanpa diadili di pengadilan," bebernya.Nani meniai pemerintah menuduhnya sebagai pemberontak hanya karena pernah mengisi acara HUT PKI sebagai penyanyi. Inilah yang dijadikan alasan aparat menuduh dirinya terlibat pemberontak bersama PKI."Pada Juni 1965 saya diminta menyanyi di acara PKI. Saya menyanyi sebagai seniman dan saya bekerja di Dinas Kebudayaan. Ketika itu PKI juga partai yang sah. Saya juga bertugas sebagai penyanyi di Istana Cipanas kalau Presiden Soekarno ada acara kenegaraan," ungkap dia.Pada 1975, Nani dibebaskan karena dianggap tidak terbukti terlibat pemberontakan dan ikut kegiatan PKI. Namun setelah keluar hak kewarganegaraannya dicabut, Nani tetap dicap sebagai PKI."Pada tahun 1975 saya bebas dan disuruh tandatangan dan disumpah agar tidak menuntut. Namun saat umur saya 62 Tahun saya tidak dapat KTP seumur hidup," bebernya lagi. Kemudian sekitar 2003 Nani didampingi LBH Jakarta menggugat haknya sebagai warga negara agar dapat KTP ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan menang. Namun Camat Koja naik banding, kemudian berlanjut ke Mahkamah Agung dan menang dengan memiliki keputusan hukum tetap atau inkrah. Lalu pada 2011 ia kembali menuntut rehabilitasi namanya yang distigma, dicap sebagai pemberontak ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun Pengadilan mengatakan bukan kewenangannya. Lalu berlanjut ke Pengadilan Tinggi DKI, hingga sekarang belum juga rampung.Di usianya yang senja, Nani menegaskan tidak membutuhkan permintaan maaf dari pemerintah. Ia hanya menginginkan keadilan dan pemulihan nama baiknya demi anak-anak dan cucunya. "Saya hanya ingin nama baik saya direhabilitasi, ketika nanti saya mati saya bisa bahagia dan bisa tersenyum saat bertemu orangtua saya dikubur. Saya berdoa pada Allah semoga dapat keadilan. Saya yakin Allah selalu hadir, tidak tidur dan tidak buta. Saya belum rela mati, karena kasus saya belum tuntas." tutupnya. Sumber http://www.suara.com/news/2016/04/18/212437/kisah-eks-penyanyi-istana-era-soekarnoyang-dipenjara-7-tahun



Analisa :



Page 8



c) Kasus 3:



Cambuk perempuan non-Muslim,pemerintah pusat diminta tegur Aceh



Pelaksanaan hukuman cambuk terhadap seorang perempuan non-Muslim di Provinsi Aceh, dinilai telah melampaui wewenang Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh. Pemerintah diminta menegur Aceh. “Karena pemberlakuan Qanun itu primordial, hanya berlaku untuk Islam. Lah koksekarang bisa diberlakukan pada non-Muslim juga? Berarti Aceh melakukan pelanggaran terhadap bagaimana hukum diimplementasikan. Jakarta harus berikan teguran cukup kuat atau dalam hal ini melakukan pemeriksaan, bahwa ini (adalah) kriminalisasi yang salah,” ungkap Lies Marcoes, pengamat Islam di Aceh, kepada BBC Indonesia, Kamis (14/04).Pelaksanaan hukuman cambuk terhadap seorang perempuan non-Muslim berusia 60 tahun, terjadi di Takengon, Aceh Tengah pada Selasa (12/04). Dia dicambuk hampir 30 kali di hadapan ratusan warga, karena menjual minuman beralkohol.Lebih jauh Lies menegaskan, teguran perlu diberikan “karena pemerintah Aceh sedang dalam usaha untuk memperluas Page 9



penerapan hukum Syariah sebagai hukum yang kompatibel dengan hukum negara”.Hal ini sejalan



dengan



yang



disampaikan



Komisioner



Komnas



HAM



Otto



Syamsudin



Ishak.“Itu early warning. Sebaiknya harus ada evaluasi sekarang, sehingga tidak terjadi lagi modus-modus (seperti ini) ke depannya,” tutur Otto. Tidak keberatan dihukum Berdasarkan Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, untuk kasus penjualan minuman keras yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seorang nonMuslim bisa mendapat sanksi dari Qanun, jika melakukan pelanggaran syariat bersama-sama dengan orang Islam dan secara sukarela menundukkan diri (setuju) untuk dihukum dengan Hukum Jinayat.Untuk mengonfirmasi apakah perempuan non-Muslim yang dihukum memenuhi dua syarat ; melakukan pelanggaran bersama dengan orang Islam dan sukarela untuk dihukum dengan Qanun, BBC Indonesia menghubungi Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh Tengah, Alam Syuhada.Alam yang mengangkat telepon, tidak mau berkomentar dan menyerahkan telpon kepada seorang hakim di Mahkamah Syariah Takengon, majelis yang menjatuhkan hukuman terhadap perempuan non-Muslim itu. Hakim tersebut tidak mau menyebut namanya.“(Perempuan itu melanggar syariat) sendiri. Tetapi dia tidak pernah merasa keberatan untuk diajukan ke sini, sejak dari tingkat penyidikan di polisi, kejaksaan dan ke pengadilan. Seharusnya (kalau tidak setuju) di tingkat pengadilan, dia kan bisa banding. Tapi dia tidak banding. Berarti dia otomatis sudah menundukkan diri,” kata hakim tersebut.“Keliru” menerapkan Qanun Syahrizal Abbas, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, badan yang merumuskan Qanun Jinayat menegaskan, jika pelaku non-Muslim ternyata sendiri dalam melanggar aturan syariat, dalam arti tidak bersama orang Islam, maka “penerapan Qanun telah keliru”. Ketika ditanya apakah ada sanksi bagi penegak hukum syariat yang menerapkan hukum dengan keliru, Syahrizal menyebut “tidak ada sanksi, sama dengan aturan hukum biasa kalau dia (penegak hukum) keliru dalam menafsirkan hukum, apa sanksinya? ”Saat ditegaskan bagaimana memastikan ‘kekeliruan’ supaya tidak berulang, Syahrizal mengutarakan “Ya, kalau dia (yang melanggar) ada di kepolisian, tentu mendapat teguran dari atasannya. Dia kan menjalankan tugasnya.”Namun, kepala badan yang juga berfungsi untuk mengawal dan mengawasi pelaksanaan syariat Islam tersebut, tidak mau menyampaikan tenggat waktu atau prosedur dalam menangani jika ada ‘ketidaktepatan’ dalam pelaksanaan Qanun.“Saya masih tunggu penjelasannya dari mereka (penegak hukum di Takengon)”.Mempertanyakan “sukarela”Anggapan bahwa perempuan non-Muslim “tidak keberatan dihukum” berdasarkan ketentuan agama Islam, seperti yang disampaikan hakim Takengon, juga ditentang Lies Marcoes.“Siapa yang bisa menguji itu dengan sukarela. Harusnya dia diberikan pilihan alternatif. Harusnya terlebih dahulu ada (penegak hukum) Page 10



yang menyampaikan kepada dia, bahwa ada alternatif lain, (yaitu menolak penerapan) hukum syariat,” kata Lies.Namun, hakim yang tidak mau disebutkan namanya menegaskan, seharusnya masyarakat sudah tahu ada pilihan tersebut.“Sudah disosialisasi. Kalau (sudah) disahkan, (masyarakat) dianggap sudah tahu. Kalau kami di pengadilan hanya menyidangkan,” ungkap hakim. 



Syariah Aceh berlaku bagi non-Muslim







Hukuman cambuk atas non-muslim di Aceh, dapat 'menjadi preseden dan meluas'







Cambuk pertama atas non-Muslim di Aceh, tak sesuai dengan syariat



Dengan berbagai kritikan yang muncul terkait penerapan Qanun Jinayat terhadap warga nonMuslim di Aceh, Dinas Syariat Islam Aceh, mengindikasikan ‘menutup’ pilihan memohon maaf kepada perempuan non-Muslim yang telah dihukum, meskipun terjadi kekeliruan dalam penerapan Qanun.“Negara yang harus memberikan perhatian. Sama dengan hukum nasional, jangan diinikan pada hukum syariah saja. Misalnya saya polisi, menjalankan amanah undangundang, saya tembak orang, mati, terus apa yang diberikan negara kepada orang yang sudah mati itu? Lebih bahaya orang yang sudah mati pak, dari pada yang masih hidup. Hukum syariat di Aceh itu tanggung jawab negara bukan Aceh semata. Kalau keliru, (itu) keliru pada undang-undang negara,” tutur Syahrizal Abbas.Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dalam berbagai kesempatan mempertanyakan penerapan peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya. Namun, sejauh ini sejumlah pihak meyakini belum ada langkah nyata untuk mengatasinya. Sumber http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160414_indonesia_aceh _qanun_hakim



Analisa :



Page 11



3. Kasus pelanggaran HAM terhadap tenaga kerja a) Kasus 1: Lagi, Tiga TKI Tewas Ditembak di Malaysia



Foto Iknoriyanto (26) dan Heri Setiawan (33) di Jodoh, Batam, (13/10). Heri Setiawan dan Iknoriyanto adalah TKI asal Batam yang tewas ditembak polisi Malaysia di Selangor, (11/10). ANTARA/Joko Sulistyo



TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Fungsi Konsuler Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Baru Malaysia, Sri Nirmala mengatakan, kasus penembakan terhadap tiga Tenaga Kerja Indonesia asal Lombok Nusa Tenggara Timur pada 11 Januari 2014 lalu telah diproses. Menurut dia, KJRI telah meminta berkas penyelidikan dari Kepolisian Diraja Malaysia atas tuduhan perampokan yang dilakukan ketiga TKI itu. “Ketiga TKI itu menyerang polisi dengan mengarahkan tembakan dengan pistol dan 2 lainnya dengan parang ketika polisi sedang melakukan razia di Ulu Tikam, Johor Baru,” kata Nirmala ketika Page 12



dihubungi Tempo, Ahad, 19 Januari 2014.Ketiga jenazah TKI sudah sampai di Lombok pada 17 Januari 2014 lalu. Ketiga korban penembakan itu adalah Wahab, Sudarsono dan Gusti Randa yang masing-masing berasal dari Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.Menurut Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, ketiga TKI itu bekerja si sektor konstruksi dan perkebunan. Ia menilai penembakan yang kerap dilakukan polisi Malaysia salah prosedur. “Harusnya kan tidak boleh ditembak mati. Kan ada proses peradilan untuk membuktikan mereka benar melakukan tindakan kriminal yang dituduhkan,” kata Anis. Ia mengatakan kasus ini tergolong pelanggaran Hak Asasi Manusia karena prosedur melumpuhkan tidak dipakai, justru menembak mati. Ia menyayangkan kasus penembakan tak pernah ada penanganan serius. “Kalau dituduh melakukan perampokan kan belum terbukti, tapi sudah ditembak mati. Pemerintah tidak pernah punya kemauan mengusut kasus-kasus ini dengan tuntas,” ujar Anis. Pada Oktober 2013 lalu, kasus serupa terjadi. Dalam sepekan, ada tujuh TKI yang ditembak mati karena dituduh melakukan tindakan kriminal. Ada tiga orang dituduh melakukan perampokan Bank tewas ditembak di kawasan Selangor Malaysia sementara 4 orang lainnya tewas saat digerebek polisi karena dituduh merampok rumah. Sumber https://m.tempo.co/read/news/2014/01/19/063546367/lagi-tiga-tkitewas-ditembak-di-malaysia



Analisa :



Page 13



b) Kasus 2:



Kebijakan migrasi pekerja dinilai picu pelanggaran HAM buruh



4. Pengunjuk rasa dari sejumlah elemen buruh melakukan aksi memperingati Hari Migran Internasional di Depan Istana Negara Jakarta, Kamis (18/12). (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/Rei/mes/14.)



Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga swadaya masyarakat yang fokus mengurusi masalah buruh migran di Indonesia, Migrant Care, menilai kebijakan migrasi tenaga kerja di Indonesia yang nir hak asasi manusia (HAM) berdampak sistemik pada pelanggaran HAM bagi buruh migran Indonesia, terutama perempuan.Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah berpandangan, dalam skema kebijakan migrasi yang anti terhadap HAM, buruh migran perempuan menjadi korban paling utama. Hal itulah yang mendasari peluncuran Laporan Kajian Kebijakan Migrasi di Indonesia dari Perspektif HAM. Selain itu, peluncuran laporan ini juga menjadi rangkaian peringatan Hari Perempuan Internasional. Migrant Care, papar Anis, dalam beberapa waktu lalu telah mengkaji puluhan kebijakan, yang di antaranya terdapat Memorandum of Understanding (MoU), Undang-Undang, Peraturan Presiden Page 14



(Perpres), Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Daerah (Perda), dan Peraturan Desa (Perdes)."Dari seluruh hal yang dikaji, hampir tidak ada satupun kebijakan yang berpedoman pada HAM," ujar Anis di Jakarta Pusat, Senin (7/3) Sumber http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160307142904-26-115831/kebijakanmigrasi-pekerja-dinilai-picu-pelanggaran-ham-buruh/



Analisa :



c) Kasus 3: Buruh panci disekap, Menaker angkat bicara



Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar. TEMPO/Imam Sukamto TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyatakan kasus penyekapan dan penyiksaan terhadap puluhan buruh di pabrik panci CV Cahaya Logam di Desa Lebak Wangi, Sepatan, Tangerang, sudah termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia. Dia menilai penyekapan para buruh bukan sekadar pelanggaran aturan tenaga kerja yang sangat berat.“Saya minta agar para pelakunya dituntut Page 15



secara pidana dengan tuntutan hukum yang berat,” ujar Muhaimin dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo, Sabtu, 4 Mei 2013. Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin, sudah menginstruksikan petugas pengawas ketenagakerjaan Kemenakertrans Kabupaten Tangerang dan pusat untuk berkoordinasi dan bergabung dengan Kepolisian Resor Tangerang untuk melakukan identifikasi tindak pidana ketenagakerjaan yang sudah terjadi.Penyidik pegawai pengawas ketenagakerjaan kini sedang melakukan penyidikan terpisah atas tindak pidana ketenagakerjaan yang terjadi. Berita acara pemeriksaan pidana ini bakal terpisah dengan pidana umum milik Kepolisian. “Jadi, selain dituntut secara pidana umum, para pelaku bakal dituntut berlapis, sehingga tuntutan hukuman bertambah berat karena dihukum secara pidana pula atas pelanggaran hukum tenaga kerja.”Selain itu, Muhaimin mengatakan, para buruh yang menjadi korban penyekapan disertai penganiayaan ini diberikan penanganan yang maksimal. “Mereka harus mendapatkan bantuan dan pertolongan darurat agar segera pulih kesehatannya, baik secara fisik maupun mental,” kata Muhaimin.Jika proses hukum sudah usai, Muhaimin bakal memberikan pilihan kepada para buruh. “Kami akan fasilitasi agar mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih layak atau pulang ke kampung halaman ataupun mengikuti program transmigrasi,” ujar Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa ini. Sebelumnya, Kepolisian Resor Tangerang mengungkap penyekapan terhadap 25 buruh di Tangerang. Kasus ini terungkap karena salah seorang buruh, Andi Gunawan, 28 tahun, berhasil melarikan diri dari pabrik panci CV Cahaya Logam. Andi melarikan diri kembali ke kampung halamannya di Lampung.Bertekad untuk menyelamatkan kawannya, Andi kemudian melaporkan kekejaman yang dialaminya ke Polres Lampung. Laporan itu kemudian diteruskan ke Komnas HAM, KontraS, dan Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya, yang diteruskan ke Polres Tangerang.Polisi kemudian menggerebek pabrik itu dan menemukan fakta mencengangkan bahwa 24 teman Andi berada dalam kondisi mengenaskan. Selain disekap dalam ruangan sempit dan kotor serta tidak mandi dan mengganti pakaian selama kurang-lebih tiga setengah bulan, para buruh ini juga belum dibayar upahnya. Selain itu, mereka dianiaya dengan disundut rokok, dipukul, dan ditendang jika tidak giat bekerja.Petugas kemudian menahan lima tersangka, termasuk pemilik pabrik dan para mandornya. Polisi menjerat para tersangkadengan pasal berlapis, Pasal 33 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Perampasan Kemerdekaan Orang, Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, pasal penggelapan, dan pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak. Namun sayangnya, masih ada dua pelaku penganiayaan yang kabur dan masih diburu kepolisian hingga kini.



Page 16



Sumber https://m.tempo.co/read/news/2013/05/05/173477996/buruh-panci-disekap-menaker-angkatbicara



Analisa :



4. Kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Pemerintah a) Kasus 1:



Penggusuran kampung Luar Batang



JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengusut kasus



pelanggaran HAM yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas penggusuran Kampung Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara. Pasalnya, berdasarkan Undang-undang Page 17



(UU) Nomor 39/1999 tentang HAM, sejumlah hak warga Kampung Luar Batang telah dirampas Pemprov DKI yang dipimpin Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).Komisioner Komnas HAM Hafidz Abbas mengatakan, akan mengundang semua pihak yang terkait dengan kasus penggusuran Kampung Luar Batang itu. "Kami akan mengambil inisiatif, mengundang DPRD, Pemprov DKI dan semua pihak, bagaimana ini jalan keluarnya supaya enggak terulang lagi," ujar Hafidz Abbas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/4/2016).Hafidz mengakui, Komnas HAM telah menerima laporan dari warga Kampung Luar Batang yang merupakan korban penggusuran tersebut "Oh iya, sudah ada yang datang, sudah ketemu saya, kami dengan staf juga sudah ke sana. Mudah-mudahan ini tidak terulang lagi di masa depan," pungkasnya. Sumber http://metro.sindonews.com/read/1101986/171/komnas-ham-akan-usut-pelanggaran-hampenggusuran-luar-batang-1460971205



Analisa :



Page 18



b) Kasus 2:



"Keputusan Rekonsiliasi Kasus HAM Harusnya dari Korban, Bukan Pemerintah"



JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Feri Kusuma, mengatakan bahwa keluarga korban dan masyarakat sipil tidak akan berhenti untuk menuntut digelarnya pengadilan HAM adhoc atas kasus pelanggaran HAM masa lalu, jika proses rekonsiliasi tetap terjadi.Menurut Feri, keputusan diadakannya proses rekonsiliasi seharusnya berasal dari keputusan korban, karena itu merupakan salah satu hak mereka."Bukan negara yang menentukan rekonsiliasi, tapi korban. Karena itu adalah hak korban, setelah adanya pengungkapan kebenaran," ujae Feri saat memberikan keterangan pers di kantor Kontras, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (7/4/2016).Di samping itu ia menilai proses rekonsiliasi tanpa adanya pengungkapan kebenaran melalui mekanisme pengadilan tidak akan menyelesaikan masalah.Feri menuturkan, pemerintah seharusnya mengesampingkan



opsi



rekonsiliasi



dan



mengutamakan



mekanisme



penyelesaian,



sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM."Kami tidak lagi berdebat di ranah hukum. Sudah ada mekanisme jelas di UU Pengadilan HAM. Meski jalur non-yudisial, pengungkapan kebenaran harus dilakukan untuk memenuhi hak reparasi dan jaminan peristiwa serupa tidak berulang," kata Feri.Selain itu, Feri juga mengatakan bahwa alasan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM melalui rekonsiliasi tidak memiliki dasar yang kuat.Ia menjelaskan, rekonsiliasi Page 19



merupakan proses untuk memenuhi hak korban di luar jalur yudisial, seperti hak rehabilitasi restitusi dan kompensasi.Rekonsiliasi adalah proses yang dilakukan ketika tahapan pengungkapan kebenaran sudah dilakukan."Kami tidak masalah dengan penyelesaian melalui jalur non yudisial, tapi prinsip secara internasional harus komplementer dengan jalur yudisial. Dia harus saling melengkapi," ujar Feri Sumberhttp://nasional.kompas.com/read/2016/04/07/21213341/.Keputusan.Rekonsiliasi.Kasus .HAM.Harusnya.dari.Korban.Bukan .Pemerintah.



Analisa :



c) Kasus 3:



Tragedi 1965, JK: Pemerintah tak akan Minta Maaf Page 20



Wapres Jusuf Kalla.REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan, pemerintah tidak akan meminta maaf kepada para korban tragedi 1965. Sebab, menurut JK, justru dalam tragedi tersebut korban yang pertama kali jatuh merupakan para jenderal dari pemerintah."Jadi, pertama, ya pemerintah punya sikap seperti apa kata Pak Luhut, yaitu pemerintah tidak punya rencana untuk minta maaf. Kalau minta (maaf), kepada siapa dan oleh siapa? Karena,sekali lagi saya ingin ulangi, korban yang pertama itu justru jenderal kita lima orang," jelas JK, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (20/4).Terlebih, permasalahan lainnya yakni adanya perbedaan data korban yang menyebutkan terdapat ratusan ribu korban. Namun, menurut dia, tak ada alat bukti yang dapat menunjukkan data tersebut. "Ya korban siapa? Siapa yang mau? Dan ini kan masalahnya adanya perbedaan data yang mengatakan ada ratusan ribu. Kalau ratusan ribu, di mana itu? Tidak ada yang bisa menunjukkan kan? Kalau ratusan ribu kan pasti banyak kuburan massal itu. Ndak ada yang bisa menunjukkan. Berarti kita tidak seperti itu," kata JK.Sebelumnya, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan, pemerintah tidak akan menghentikan proses penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun, penyelidikan baru dapat dilakukan jika memang ada alat bukti.Luhut mengklaim, hingga kini tak ada satu orang pun yang bisa membuktikan alat bukti terkait tragedi 1965, Talangsari, maupun Semanggi. Ia menilai kesaksian orang tidak dapat memenuhi dan tidak dapat dijadikan alat bukti kejadian itu benarbenar terjadi.Namun, Luhut menjamin pemerintah tetap ingin menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu. Rekonsiliasi, menurut dia, menjadi salah satu jalan yang paling logis Sumber http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/04/20/o5xkzq383-tragedi-1965-jkpemerintah-tak-akan-minta-maaf Page 21



Analisa :



5. Pelanggrana HAM oleh aparatur Negara a) Kasus 1:



Peristiwa Jambo Aceh



Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengumumkan penyerahan berkas laporan penyelidikan Peristiwa Jambo Keupok kepada Kejaksaan Agung, Senin (14/3).Komnas berkesimpulan, peristiwa yang namanya diambil dari nama desa di Page 22



Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan dan terjadi 17 Mei 2003 silam itu merupakan kasus pelanggaran HAM berat.Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat di Aceh, Otto Nur Abdullah, mengatakan penyelidikan kasus tersebut selesai pekan lalu. "Kasus ini sudah selesai kami periksa dan diketok palu tujuh hari yang lalu. Oleh karenanya, tindakan kami selanjutnya adalah mengirimkan berkas ke Kejaksaan Agung," ujarnya di Jakarta, pagi tadi.Otto menuturkan, Peristiwa Jambo Keupok merupakan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh pertama yang lembaganya serahkan kepada kejaksaan. Empat kasus lain yang masih ditingkat penyelidikan adalah Peristiwa Rumah Gedong di Pidie (tahun 1998), Peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara (1999), Peristiwa Bumi Flora di Aceh Timur (2001) dan kasus penghilangan paksa di Bener Meriah (2001). Komnas mencatat, 16 warga Desa Jambo Keupok meninggal akibat dibakar hiduphidup maupun ditembak oleh aparatur negara bersenjata. Otto berkata, timnya juga menemukan fakta, 23 warga desa itu disiksa aparatur negara. Para korban penyiksaan itu, menurut Otto, dipaksa memberi informasi tentang keberadaan tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka. "Karena mereka mengaku tidak tahu, maka disiksa secara berulang-ulang," ujarnya.Pada berkas penyelidikan, Komnas menyebut sejumlah pejabat militer dan sipil yang saat itu berkuasa. Otto berkata, mereka seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tragedi Jambo Keupok. Mereka antara lain mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan bekas Bupati Aceh Selatan Teuku Machsalmina Ali. Selain itu, Komnas juga menyebut petinggi-petinggi lain yang saat itu menjabat, misalnya komandan Satuan Gabungan Intelijen, komandan Kodim 0107, pimpinan Para Komando dan komandan Pemukul Reaksi Cepat pada Batalyon 502 Linud Divisi II Kostrad sumberhttp://www.cnnindonesia.com/nasional/20160314155319-12-117304/berkas-kasus-jambokeupok-aceh-diserahkan-ke-kejaksaan-agun



Analisa :



Page 23



b) Kasus 2:



Misteri Tewasnya Siyono



REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono/ Wartawan Republika Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri menangkap Siyono yang dituding sebagai panglima kelompok teroris. Penangkapan dilakukan pada 8 Maret 2016 di kediaman Siyono, di Desa Pogung, Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Selang sehari kemudian, Siyono dinyatakan meninggal. Berdasarkan laporan Densus 88, Siyono meninggal setelah berkelahi dengan petugas karena berupaya melawan.Hampir dalam setiap kasus penangkapan orang yang diduga sebagai pelaku atau anggota kelompok teroris, polisi selalu menghabisi mereka. Ada saja dalih yang dijadikan alasan atau pertimbangan.Permintaan berbagai pihak agar polisi tak menghabisi nyawa orang yang diduga sebagai anggota kelompok teroris sepertinya tak pernah digubris. Dengan mematikan orang yang diduga sebagai pelaku atau anggota kelompok teroris, maka pengusutan lebih lanjut menjadi terhenti. Untuk menguak jaringan yang ada pun akan menemukan jalan buntu dan seolah membentur tembok. Keengganan polisi untuk membuka tabir dan jaringan terorisme ini terasa aneh. Seperti Page 24



keanehan dalam setiap penangkapan anggota atau pelaku jaringan terorisme. Dalam kasus penangkapan Siyono misalnya, sama sekali tak ada surat perintah penangkapan dan penggeledahan sebelum polisi melakukan tindakan. Kondisi Siyono saat meninggal juga menambah kejanggalan itu. Sebelumnya polisi memberitakan, bahwa Siyono tewas setelah dibenturkan oleh aparat ke badan mobil. Namun, ketika diperiksa, ternyata luka di tubuh Siyono ada di banyak tempat. Ada memar di pipi Siyono. Matanya pun lebam. Tak hanya itu, hidungnya juga patah. Mulai kaki hingga paha bengkak dan memar. Beberapa ruas kuku kakinya hampir patah. Bahkan dari bagian belakang kepala keluar darah. Apa mungkin luka semacam ini terjadi hanya karena dibenturkan ke badan sebuah mobil? Polisi seharusnya berpikir, bahwa masyarakat tak lagi bisa dengan mudah dikelabui begitu saja. Tuntutan masyarakat di era sekarang ini bukan melulu alasan rasional terhadap segala tindakan yang dilakukan aparat. Itu saja tidak cukup. Masyarakat menghendaki agar aparat (termasuk polisi) bersikap terbuka dalam menangani setiap kasus. Keterbukaan sikap kepolisian di era sekarang ini sudah sulit untuk bisa ditawar lagi dalam mengungkap suatu kasus. Mengejutkan pula pengakuan istri Siyono bernama Suratmi yang sehari-hari mengelola sekolah Taman Kanak-Kanak itu. Usai suaminya dikabarkan meninggal, ia mendapat uang dua gepok yang ditaksir nilainya mencapai Rp 200 juta. Setelah menerima uang itu di Jakarta, istri Siyono mengaku sempat diminta menandatangani berkas yang isinya tak akan menuntut kematian Siyono. Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengakui adanya pemberian uang tersebut. Namun dengan tegas ia menolak jika hal itu disebut sebagai suap atau sogokan.Menurut Badrodin, itu merupakan uang pembinaan. Kapolri pun tak mempersoalkan bila keluarga Siyono



menolak



pemberian



uang



tersebut.



Baru kali ini terjadi ada pemberian uang pembinaan untuk keluarga terduga teroris. Selama ini, terduga teroris yang tewas ditembak atau ditangani polisi, tak pernah terdengar (atau tak diberitakan) telah menerima santunan dari kepolisian. Masyarakat awam pun berpikir, jangan-jangan uang pembinaan itu merupakan pengganti rasa bersalah dari kepolisian atas penghilangan nyawa Siyono. Kalau pemberian uang pembinaan itu merupakan prosedur normal yang dijalankan polisi, mestinya hal itu diumumkan kepada masyarakat luas. Walau tetap saja, adanya uang pembinaan terhadap terduga pelaku terorisme merupakan hal yang ganjil. Keanehan dan keganjilan tak berhenti sampai di situ. Keluarga Siyono lalu mendapat bantuan hukum dari organisasi massa Muhammadiyah. Untuk mengungkap kasus ini, keluarga Siyono dan pengacaranya meminta agar ada autopsi, sehingga jelaslah penyebab kematian Siyono. Anehnya, kemauan untuk melakukan autopsi dari pihak keluarga Siyono ini mendapat halangan dari warga Desa Pogung, tempat Siyono dan keluarganya tinggal. Page 25



Mereka menolak rencana autopsi itu. Melalui kepala Desa Pogung, Djoko Widoyo, sebagian warga setempat tak mengizinkan jenazah Siyono dimakamkan di desa itu bila dilakukan autopsi. Tak habis pikir saya mengikuti pola pikir warga Pogung dan --terutama-- kepala desa itu. Apa dasarnya sampai dia menolak kehendak keluarga Siyono untuk melakukan autopsi? Autopsi atau tidak itu sepenuhnya wewenang keluarga korban. Sama sekali tak boleh ada yang menghalangi kemauan keluarga korban untuk melakukan autopsi. Hampir bisa ditebak, penolakan atas rencana autopsi jenazah Siyono itu tak berdiri sendiri. Sangat boleh jadi, ada pihak lain yang memanaskan suasana untuk memengaruhi sikap sebagian warga desa tersebut. Selama ini, belum pernah ada penolakan dari pihak lain atas kemauan seseorang untuk melakukan autopsi jenazah kerabatnya. Lalu apa hak warga untuk menolak hal itu? Aparat yang terkait harus bersikap dalam kasus ini. Justru warga (terutama kepala desa) yang harus diberi pengertian. Upaya melakukan autopsi merupakan hak keluarga korban. Tak boleh ada pihak lain yang menghalangi. Apalagi, upaya menghalangi itu dilakukan secara terbuka. Sikap menolak autopsi yang dilakukan sekelompok warga itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Menghalangi upaya orang lain mencari keadilan bisa masuk kategori sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dengan sendirinya, sikap yang melanggar HAM itu harus dihentikan. Bukan pengacara yang ada di belakang keluarga Siyono yang menghentikan sikap sebagian warga desa untuk menghalangi autopsi itu. Justru aparat kepolisian dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang memestinya menyadarkan warga yang salah dalam bersikap. Sebaliknya, mereka juga harus menjaga dan melindungi hak asasi setiap warga untuk menuntut keadilan.Kita tentu berharap, pengungkapan kasus kematian Siyono --juga kasus lain yang mungkin terjadi-- bisa berjalan wajar tanpa rekayasa. Masyarakat pun tentu menginginkan, bahwa hasil-hasil pembangunan di negara kita bisa memberikan rasa aman dan menjauhkan diri dari rasa takut Sumber http://www.republika.co.id/berita/kolom/fokus/16/04/01/o4ylbl254-misteri-tewasnya-siyono Analisa :



Page 26



c) Kasus 3:



Jilbabnya dibuka paksa, wanita muslim kulit hitam gugat Polisi AS



California, - Seorang wanita Amerika Serikat menggugat aparat kepolisian California, AS. Wanita muslim itu menuduh polisi telah membuka paksa jilbabnya di kantor polisi.Menurut berkas gugatan yang diajukan terhadap departemen kepolisian Long Beach pada Senin, 2 Mei waktu setempat, Kirsty Powell, seorang wanita Afrika-Amerika dan suaminya sedang berkendara menuju rumah mereka pada Mei 2015, ketika mereka dihentikan oleh dua polisi.Powell kemudian ditangkap atas dua surat perintah penangkapan, salah satunya terkait dengan saudara perempuannya yang diduga menggunakan identitasnya, dan lainnya terkait tindakan mengutil di toko kelontong pada tahun 2002.Menurut Powell seperti dilansir media Press TV, Selasa (3/5/2016), salah satu polisi membuka paksa jilbabnya di depan para polisi pria lainnya dan tahanan pria, saat dirinya berada di kantor polisi. Dikatakan wanita berkulit hitam itu, polisi yang membuka paksa jilbabnya berkata bahwa dirinya tak boleh memakai jilbabnya. Polisi itu juga mengatakan para polisi "dibolehkan menyentuh kaum wanita."Dalam gugatan yang diajukan Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) yang mewakili Powell, disebutkan bahwa wanita itu "menderita dan terus mengalami rasa malu yang sangat besar, penghinaan, kemarahan mental dan tekanan emosional." "Tindakan yang diambil aparat kepolisian Long Beach tidak beralasan dan merupakan pelanggaran serius atas integritas tubuh Ibu Powell," tutur Yalda Satar, pengacara untuk CAIR wilayah Los Angeles."Cara Ibu Powell diperlakukan oleh para polisi Long Beach Page 27



semata-mata menunjukkan otoritas atas seorang wanita kulit berwarna yang tak bisa melindungi dirinya sendiri, dan merupakan contoh lain dari jenis diskriminasi yang dihadapi wanita berjilbab," imbuh Sata Sumber http://news.detik.com/internasional/3202335/jilbabnya-dibuka-paksa-wanita-muslim-kulithitam-gugat-polisi-as



Analisa :



Page 28