Critical Thinking [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Critical Thinking Muhammad Ridho Amrullah Prawacana Kader PMII harus wajib memiliki sikap kritis dan kemampuan berpikir kritis. Hal itu yang membedakan kader PMII dengan anggota organisasi lainnya. Terlebih sebagai mahasiswa tidak diijinkan untuk memisahkan diri kegiatan-kegiatan intelektual, sebagai contoh beradu argumen dengan basis teori matang dan cenderung menemukan sebuah solusi dalam problem sosial masyarakat. Melalui pandangan Richard W Paul berpikir harus kritis dalam artian proses disiplin secara intelektual dimana person secara aktif dan tekun memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, mengevaluasi berbagai informasi dan secara pendekatan empiris, secara observasi, refleksi diri, secara penalaran, dan dari komunikasi yang person lakukan. Sikap kritis terbentuk karena habitus1 yang dipikirkan oleh Pierre Fellix Bourdieu, merupakan hasil proses latihan yang tidak berwujud sedemikian rupa setelah kelahiran person, namun sikap kritis adalah terjadi karena gerakan kebiasaan diri. Berpikir kritis adalah upaya mengolah daya pikir agar dapat memiliki keterampilan berpikir. A. Apa itu Critical Thinking Perlu diingat dan dilaksanakan oleh Kader PMII, bahwa berpikir kritis tidak sama sekali menyerang dan menjatuhkan subjek lainnya. Namun, adalah kemampuan berargumentasi menggunakan akal secara rasional sehingga menemukan kebenaran sebuah informasi. Penjelasan secara komprehensif menurut tiga filsuf dan ahli logika kontemporer, perlu memahami gagasan John Dewey, Edward Glaser, Richard W Paul. Menurut pandangan John Dewey, berpikir kritis adalah “pertimbangan yang aktif, terus menerus dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetuhuan yang diterima begitu saja dengan menyertakan alasam yang mendukung dan kesimpulan-kesimpulan rasional”. Hemat Dewey berpikir kritis itu berpikir aktif tidak pasif. Penjelasan Dewey lebih lanjut diakomidir oleh Edward Glaser dalam bukunya An Experment in the Deveploment of Critical Thinking, beliau menghaturkan bahwa person dapat dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis, jika kerja nalar dan kemampuan argumentasi melibatkan tiga hal, yakin (1) sikap menanggapi persoalan atau informasi dengan menimbang berbagai problematika yang terjadi melalui empirik dan radikal. (2) pengetahuan akan berpikir secara inkuiri atau sistematis logis (3) Keterampilan menerapkan metode-metode dalam realita sosial.2 Sedangkan menurut Richard W Paul, secara mengakar menjelaskan definisi dari berpikir kritis melalui bukunya Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic. Berpikir kritis adalah proses disiplin secara intelektual di mana seorang secara aktif dan terampil memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, dan/atau mengevaluasi berbagai informasi yang dia kumpulkan



1



Cara orang memahami dan menanggapi dunia sosial yang mereka tinggali, melalui kebiasaan pribadi, keterampilan, dan watak karakter mereka. 2 Edward Glaser, An Experment in the Deveploment of Critical Thinking, Teacher’s College, Columbia University, 1941



atau yang dia ambil dari pengalaman dari observasi, dari refleksi yang dilakukannya, dari penalaran, atau dari komunikasi yang dilakukan.3 Dewey, Glaser, Paul membuat bangunan atas landasan dari “berpikir kritis”, yakni (1) seperangkat keterampilan yang wajib dimiliki person untuk memperoses dan memahami informasi serta keyakinan. (2) habit intelektual yang didasarkan oleh komitmen untuk mengambil keputusan yang kritis dalam proses-proses akal. Maka, berpikir kritis tidak bertujuan untuk melawan atau menyerang argumen secara person, namun hikmahnya berpikir kritis adalah menolong dan membuatnya lebih kritis lagi terhadap apa yang dia ketahui dan keyakinannya. Semua titik fokus berpikir kritis adalah rasionalitas, secara moral person harus bertanggung jawab atas rasionalnya. Hal yang paling penting adalah berpikir kritis dapat membantu diri untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan pengetahuan. Pada intinya bertujuan untuk mendapatan pengetahuan yang komprehensif, bukan untuk menunjukkan keunggulan individu. B. Kesesatan Berfikir (Fallacia) Dalam sebuah forum intelektual tidak dapat dipungkiri akan timbul kesesatan dalam berfikir, karena setiap pemaparan materi dalam waktu yang sama tetap saja menimbulkan konklusi berbeda pada setiap person. Pemateri harus sangat tepat dalam memaparkan materi untuk menghindari hermeneutik multitafsir dan konklusi yang sesat. Perkara yang juga termasuk penting adalah penarikan konklusi yang sesuai dengan dasar pemikiran. Pada intinya, kawasan atas kesesatan berpikir terdapat pada penyampaian yang sesat dan pengambilan konklusi yang sesat. Mengambil konklusi yang salah dengan dasar pemikiran adalah kesesatan berpikir. Pemakaian argumentasi yang menyesatkan sangat sulit untuk diidentifikasi. Bahkan sangat mengecewakan pemakaian argumentasi ini untuk meyakinkan person melalui kemasan retorika-retorika dan penekanan psikologis yang membuat lawan bicara kehilangan sikap kritis dan merasa terasingkan secara intelektual. Apabila kesasatan berpikir ini tidak dikoreksi, maka lawan bicara akan menjadi korban yang tidak terbiasa berpikir kritis. Lawan bicara akan menerima begitu saja apa yang disampaikan pemateri karena terkesan logis. Maka, hal ini harus diberantas secara reformasi oleh pihak pemateri maupun peserta forum tersebut. Tidak hanya permasalahan suksesi kekuasaan yang harus terus dipikirkan, namun perbaikan intelektual harus lebih diutamakan. Pakar ahli logika mengklasifikasikan kesesatan secara konsensus menjadi dua, kesesatan formal dan kesesatan informal. Pendapat dianggap mengalami kesesatan formal, apabila terjadi penyelewengan terhadap prinsip dan kaidah-kaidah logis. Kesesatan informal terlebih berfokus pada kesesatan bahasa. Seperi aforisma Martin Heiddegger “languange is the house of human beings”, kehancuran bahasa secara luas dan cepat tidak hanya merongrong tanggung jawab estetika dan moral dalam setiap penggunaan bahasa, lebih parah adalah muncul ancaman terhadap esensi kemanusiaan itu sendiri.4 Pikiran kita dapat terealisasikan secara baik dan dipahami secara lengkap tanpa kekurangan, apabila bahasa 3



Richard W Paul, Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, University if California, Santa Barbara, 1968 4 Martin Heiddegger, Letter on Humanism, French December 1946



yang dipakai mampu mengungkapkan pikiran kita. Kesesatan penggunaan bahasa disebabkan kurang tepatnya diksi, kelirunya pernyataan, hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan seharihari, dalam media massa, dalam tulisan-tulisan ilmiah. Jenis-jenis kesesatan informal akan dikemukan sedikit dibawah ini: 1. Kesesatan diksi, terjadi karena bahasa yang digunakan tidak cukup menjelaskan apa yang ada dalam pikiran person. Kalimat yang cendurung rancu dan menyesatkan pikiran dapat memperlemah argumentasi, alhasil akan mudah dipatahkan dan dianggap keliru oleh lawan bicara. Sebagai contoh, “Bagi mereka yang telah lulus ujian harus mendaftar ulang”. Subjek dari kalimat tersebut adalah “mereka”, maka diksi “bagi” sangat tidak berguna karena mempunyai fungsi apapun selain mengganggu posisi subjek, dan cendurung mengalihkan fungsi subjek menjadi tujuan. Perbaikan kalimatnya adalah menghapus diksi “bagi” 2. Kesesatan persumsi, kesesatan ini muncul apabila kebenaran dari konklusi seharusnya dibuktikan, diandaikan saja tanpa bukti atau tanpa argumen, atau apabila isu yang sudah dilontarkan malah diabaikan, atau apabila konklusi itu ditarik dari premis-premis (asumsi) yang tidak dapat diandalkan. Sebagai contoh, “Ideologi Komunisme merupakan ideologi terbaik apabila dimanifestasikan dalam bentuk pemerintahan, karena humanis dan egaliter”. Masih perlu pembuktian apakah ideologi Komunisme itu dapat dimanifestasikan secara mutlak, dan pembuktian sifatnya yang humanis dan egaliter. 3. Kesesatan retorika, argumentasi yang aslinya lemah dapat menjadi sangat meyakinkan apabila dikemas dengan bahasa yang bagus. Person seringkali terpukau dengan kemasan bahasa sehingga tidak melihat substansi. Retorika dapat dijadikan upaya untuk membujuk atau meyakinkan lawan bicara, yang dikemas dengan rumusan bahasa yang mengecoh. Retorika identik dengan mengeksploitasi psikilogis yang akan meredam sikap kritis. Argumentasi dalam kesesatan retorika tidak lebih adalah hanya untuk meyakinkan lawan bicara. Sebagai contoh, “aborsi adalah pembunuhan bayi yang belum lahir di dunia” lawan bicara akan mudah menyimpulkan bahwa “aborsi” salah dan tidak dapat diterima secara moral. Definisi “aborsi” mempengaruhi sikap dan keputusan moral person. 4. Kesesatan psikologis, kesesatan secara psikologis atau emosional konklusi dalam argumen yang berkaitan dengan isu, namun sesungguhnya tidak mendukung pernyataan yang seharusnya didukung. Kesesatan ini psikologis terkesan ingin menawarkan dukungan dengan memberikan alasan semu (tipu daya). Sebagai contoh Peristiwa kekerasan di Monas tanggal 1 Juni 2008 dianggap sebagai rekayasa elit politik untuk mengalihkan perhatian rakyat dari isu kenaikan BBM. C. Mengenal Argumen Sebelum masuk pada pengertian, kita perlu menganalisa isu yang menjadi persoalan beberapa waktu lalu. “Kenaikan harga BBM telah menimbulkan banyak kontroversi didalam rakyat Indonesia, padahal baru saja masyarakat menderita akibat dilanda pandemi COVID 19, hal ini akan membuat rakyat semakin menderita. Saya sebagai Kader PMII harus



mengorganisir rakyat untuk menolak regulasi tersebut”. Dalam argumentasi diatas “saya” mempertimbangkan apakah harus mengorganisir masyarakat untuk menolak regulasi atau tidak. Pertimbangannya adalah kenaikan harga BBM akan semakin membuat rakyat menderita, “saya” menyimpulkan untuk mengorganisir rakyat demi menolak regulasi tersebut. Argumen dapat diuraikan sebagai berikut:  



Premis: Rakyat akan semakin menderita apabila pemerintah tetap memaksakan regulasi kenaikan harga BBM Kesimpulan: Jadi, saya sebagai Kader PMII harus mengorganisir rakyat untuk menolak kebijakan tersebut



Kesimpulan tersebut memperlihatkan dan menegaskan subjek berhadapan dengan sebuah masalah. Kemudian subjek mengambil gerakan mengorganisir rakyat untuk melawan regulasi kenaikan BBM. Melalui kasus diatas, secara singkat argumen adalah penalaran yang memberikan alasan untuk mendukung kebenaran sebuah klaim, klaim yang didukung kesimpulan. Secara pengertian terkadang argumen dan persuasi (meyakinkan) dianggap hal yang sama. Contoh diatas memang memperlihatkan kesan bahwa argumen dibangun untuk meyakinkan person. Alasan bahwa kenaikan BBM akan membuat rakyat menderita dapat meyakinkan untuk menarik sebuah kesimpulan mengorganisir rakya untuk menolak regulasi tersebut. Hal ini sedikit benar, namun tidak tepat apabila menyamakan begitu saja sebuah argumen dengan persuasi. Tidak semua argumen merupakan usaha meyakinkan person, meskipun argumen dan persuasi bisa saja memilik efek yang sama, namun keduanya tetap merupakan dua hal yang berbeda. Argumen adalah upaya pembuktian atau mendukumg sebuah klaim, argumen yang bersifat rasional akan terasa kaku dan tak berdaya persuasif. Maka, untuk benar-benar dapat mengorganasir rakyat perlu terdapat kekuatan persuasif dengan memperlihatkan penderitaan. “banyak yang kurang mampu untuk membeli BBM dengan harga yang naik, anak-anak Indonesia masih banyak yang belum mengenyam pendidikan diakibatkan kemiskinan, secara apa yang konsumsi masih tergolong belum memenuhi standar 4 sehat 5 sempurna, padahal banyak sekali sekelompok masyarakat kecil yang hidup dalam kekayaan, jika memang kenaikan BBM ini tetap dipaksakan maka rakyat akan semakin terpuruk akibat masalah ekonomi, pendidikan, bahkan kesehatan” Kemudian seringkali kita menganggap sama argumen dengan ekplanasi (penjelasan), terdapat perbedaan yaitu argumen adalah bentuk penalaran dengan tujuan untuk membuktian kebenaran suatu klaim. Sedangkan ekplanasi adalah usaha menguraikan bagaimana sesuatu berlangsung atau apa yang menyebabkan suatu terjadi. Sebagai contoh adalah sebagai berikut: 



Argumen, “Saya percaya kepada Tuhan, itu karena segala sesuatu tidak mungkin terjadi secara kebetulan”. Perhatikan bahwa argumen ini membuktikan klaim “Tuhan ada” sebagai benar.







5



Penjelasan, “Saya percaya kepada Tuhan, itu karena kedua orang tua saya tidak berhenti mengenalkan-Nya pada saya”. Ini adalah penjelasan yang hanya ingin memperlihatkan mengapa saya pecaya pada Tuhan.5



Critical Thinking: Membangun Pemikian Logis, Kasdin Sitohang dkk, PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2012, hlm 58-62