Dalam Novel Sekali Peristiwa Di Banten Selatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Propaganda Politik Dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Fatma Eka Safira Judul buku Penulis Penerbit Tahun terbit Tebal



: Sekali Peristiwa di Banten Selatan : Pramoedya Ananta Toer : Lentera Dipantara : 2009 : 126 halaman



Karya sastra merupakan cermin dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat. Sebuah karya sastra yang baik memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu ada selama manusia masih ada (Sumardjo dan Saini, 1994:9). Semua hal yang terangkum dalam karya sastra tidak terlepas dari berbagai problematik yang dialami manusia baik secara pribadi maupun secara kolektif.1 Kuntowijoyo mengatakan bahwa karya sastra sebagai simbol mempunyai tiga peran, sekalipun pada akhirnya ketiga-tiganya tidak mungkin dipisahkan. Ketiga peran atau pengertian itu adalah, pertama: karya sastra sebagai pemahaman terhadap realitas (moden of comprehension), artinya pengarang itu menafsirkan realitas yang dihadapinya dan ada di sekelilingnya sesuai dengan kemampuan dan kemampuan pengarang; kedua: karya sastra sebagai cara komunikasi (mode of communication) terhadap kenyataan; dan ketiga: karya sastra sebagai penciptaan kembali (mode of creation).2 Dapat dikatakan bahwa karya sastra hadir karena adanya suatu gelaja sosial yang berkaitan pada hubungan antar manusia yang terbentuk sebagai realitas. Karya sastra juga bukan suatu hasil karangan atau imajinasi saja, melainkan karya sastra terbentuk dari perenungan terhadap realitas sosial yang ada. Pada saat negeri ini belum lama terlepas dari kekuasaan bangsa penjajah. Persaingan dan simpati publik merebak di mana-mana. Sebagian rakyat yang merasa terabaikan kepentigannya 1



Evizariza, “Nilai Moral pada Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer”, Jurnal Pustaka Budaya, Vol. 4, No. 2 Juni 2017. h.84 2 Horison, No. 8, Agustus 1986, h.268



melakukan pemberontakan-pemberontakan. Perang ideologi pun tak terelakan, seiring dengan masuknya pengaruh-pengaruh dari dunia luar, terutama dari kubu komunis.3 Pramodya Ananta Toer adalah salah satu pengarang yang menganut paham realisme sosial. Dalam karya-karyanya, ia mengembangkan pemaknaan realitas sebagai proses menemukan kebenaran, baginya realitas bukanlah sebuah kebenaran, melainkan sebuah titik untuk menunjuk kepada kebenaran hakiki.4 Salah satu karyanya Sekali Peristiwa di Banten Selatan, karya Pram yang menonjol nada propagandanya itu, sehingga mutunya menjadi sangat rendah dibandingkan dengan karyakaryanya yang lain.5 Novel pertama yang diterbitkan setelah ia ditunjuk mejadi anggoa Komite Sentral Lekra yang menjadi penting demi memahami bagaimana keahlian Pramoedya bersastra telah mengalami perubahan. Novel ini terbit tahun 1959 dengan bantuan Departemen Petera (Tenaga Kerja dan Pekerjaan Umum).6 Pegantar dalam novel ini menunjukan bahwa karya ini merupakan hasil perjalanan Pram ke wilayah Banten Selatan. Wilayah yang subur tetapi dilanda kemiskinan dan rentan dengan penjarahan dan pembunuhan. Rakyat yang kerdil tidak berdaya itu ditindas bukan hanya dari kaum kolonial, tapi juga dari kaum pemberontak. Kaum pemberontak yang dimaksud dalam novel ini adalah Darul Islam. Dalam karya Pram yang menganut paham realisme sosial menunjukan permasalahan yang berhubungan dengan penindas dan tertindas, menempatkan kaum kecil sebagai penggerak kesadaran. Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan berkisah tentang perjuangan warga desa dalam melawan kekuatan yang selama ini menindas kehidupan mereka. Keberpihakan terhadap kaum kecil dan permusuhan terhadap golongan penindas disampaikan secara lugas. Sekilas novel ini terlihat sederhana. Namun bila dicermati lebih lanjut akan dapat dirasakan bahwa dibalik kesederhanaan penceritaannya itulah tersimpan kekuatan ideologis yang menjadi ruh dalam karya ini.



3



Heksa Biopsi Puji Hastuti, “Muatan Ideologis dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan”, Jurnal Aksara, Vol.26, No.2, Desember 2014, h.191 4 Ibid., h.192 5 Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.100 6 Savitri Scherer, Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi, (Komunitas Bambu, 2012), h.85



Dikisahkan, warga sebuah desa telah mengalami penindasan sejak masa kolonial Belanda dan Jepang. Memasuki masa kemerdekaan mereka tidak serta merta mendapat perbaikan taraf kehidupan. Alam kemerdekaan seolah menjadi babak baru kepiluan dalam kehidupan warga desa, pasalnya terdapat segelintir orang sebangsa yang melakukan kesewenang-wenangan menyerupai bangsa penjajah asing. Mereka melakukan pemberontakan terhadap negara dan memberikan banyak imbas kepada warga berupa tindakan kekerasan seperti perampokan, pembunuhan dan intimidasi. Warga menyebutnya sebagai gerombolan pengacau dari kaum pemberontak yang dimaksud adalah Darul Islam. “Yang Pertama, setelah bergumam, mengejek: Huh! Ingat kau, jalan ini dulu kita yang buat. Dulu, ramai-ramai, rodi. Apa sekarang? Yang Kedua, bergumam, mengejek: Huh! Yang Pertama: Lewat jalan yang kita buat sendiri kita bayar pajak pada onderneming. Dua pintu jalan, dua kali pajak. Kalau kau coba-coba beli gerobak, berapa pajak mesti dibayar, tiap kali lalui dua pintu jalan onderneming itu?! Yang Kedua: I-ya-ya, orang begitu bagusbagus, kulitnya putih, hidungnya mancung, tapi tamaknya… Ngudubilah setan!”7 Kutipan tersebut yang mengenangkan kembali pembuatan jalan yang tidak mungkin mereka lalui karena setiap melalui portal onderneming mereka dikenakan untuk membayar pajak. Padahal, jalan itu dibuat dengan tenaga mereka dan warga lainnya dalam kerja rodi. Dalam pengerjaan jalan itu mereka tidak menerima upah sepeser pun. Kebencian terbaca di bagian yang mempertentangkan kerupawanan orang-orang Belanda yang sifat dan tabiatnya tidak sesuai dengan rupanya. Pada saat Juragan Musa memerintah Ranta untuk mencuri bibit karet ia mengilustrasikan kekacauan yang telah terjadi di pasar sebagai suatu kejadian yang menyudutkan Ranta karena ia tidak mempunyai pilihan lain. Dan dapat terlihat penindasan tidak hanya terjadi pada masa penjajahan saja, pada masa setelah kemerdekaan pun kaum kecil seperti Ranta tetap menerima penindasan dari pihak-pihak yang merasa diri berkuasa. Ranta sebagai tokoh sentral yang menjadi titik balik berubahnya jalan cerita. Sebagai tokoh sentral, secara efektif Ranta digunakan untuk merepresentasikan gagasan yang terdapat dalam pikiran pengarang. Tampak sekali model karakter yang dilekatkan pengarang pada tokoh Ranta memiliki kesesuaian dengan watak realisme sosialis, mulai saat perjuangan hingga mengusahakan pembangunan demi kesejahteraan yang diidamkan.8 7 8



Pramoedya Ananta Toer, Sekali Peristiwa di Banten Selatan, (Lentera Dipantara, 2009), h.13 Hastuti, Op. Cit., h.197



Lewat tokoh Ranta, Pram berhasil mempropagandakan gagasan yang dikejar Partai Komunis pada saat itu yang berkonsep mempersenjatai petani. Dalam novel dijelaskan Ranta diangkat menjadi lurah dan memberikan para petani senjata untuk membela dan bekerja sama dengan tentara melawan DI. Pada saat itu gagasan konsep mempersenjatai petani ditentang oleh periode Soekarno karena pada era Soekarno lebih mengandalkan bantuan dari tentara. Rakyat harus mengandalkan bantuan dari tantara. Pram menyelipkan pesan melalui tokoh Ranta yang memberikan asumsi kebenaran harus di perjuangkan, hal ini mendorong warga untuk mengambil tindakan yang mempromosikan kepentingan mereka dan saling bergotong royong demi kemakmuran bersama. Pada kutipan: “Kau belum banyak makan garam, Djali, dengar. Aku sudah pernah lihat Palembang, Surabaya, Jakarta, Bandung. Di mana-mana sama saja. Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar….”9 Dapat disimpulkan pada novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan, Pram memasukan dua program sekaligus yaitu konsep mempersenjatai para petani yang bergagasan dengan ideologi Partai Komunis, dan memasukan gagasan yang diusung Soekarno lewat tokoh Komandan yang tidak otoriter dan tidak keberatan mendelegasikan tugas menjaga desa dan saling bekerja sama dengan warga. Sosok komandan di novel ini bukan figur otoriter, namun sebagai tokoh yang akrab dengan masyarakat. Membaca novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan mampu memberikan kita kesadaran sebagai warga untuk saling bekerja sama demi kepentingan bersama. Dengan menanamkan rasa solidaritas dengan bergotong-royong akan memudahkan urusan bersama sebagai warga sebangsa.



9



Toer, Op. Cit., h.77



DAFTAR PUSTAKA Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia. Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011. Evizariza, “Nilai Moral pada Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer”. Jurnal Pustaka Budaya. Vol. 4, No. 2 Juni 2017. Hastuti, Heksa Biopsi Puji.“Muatan Ideologis dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan”. Jurnal Aksara. Vol.26, No.2, Desember 2014. Horison, No. 8, Agustus 1986. Scherer, Savitri. Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi. Komunitas Bambu. 2012. Toer, Pramoedya Ananta. Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Lentera Dipantara. 2009