Dampak RUU Cipta Kerja Bagi Tenaga Kerja-Arinda Qurnia Yulfidayanti [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAMPAK RANCANGAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA BAGI TENAGA KERJA DI INDONESIA



Arinda Qurnia Yulfidayanti Prodi/Jurusan Ilmu Komunikasi, UPN “Veteran” Yogyakarta, email: [email protected]



Abstrak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau RUU Cipker merupakan salah satu bagian dari Omnibus Law yang dirancang oleh pemerintah. Setelah dipublikasikan rancangan tersebut, timbul pro-kontra di kalangan masyarakat. Sikap penolakan yang hadir atas RUU Cipta Kerja tersebut memicu adanya aksi demonstrasi mahasiswa dan pekerja atau buruh di berbagai wilayah di Indonesia. Penolakan terjadi lantaran RUU Cipta Kerja ini dirasa merugikan pihak pekerja dan buruh sehingga massa demonstrasi menolak adanya RUU ini. Pada karya tulis ini digunakan metode kualitatif dengan mengkaji beberapa sumber informasi dan data. Dalam menjawab rumusan masalah pada karya tulis ini dengan menggnakan informasi yang didapat baik dari rilisan pers dengan wawancara berbagai narasumber, kajian beberapa akademisi, pandangan pengamat atau ahli, dan data statistik yang telah dipublikasikan berbagai pihak. Dengan demikian didapatkan hasil mengenai alasan atau latar belakang demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja, kesalahan atau pasal yang bermasalah dan dampak-dampak yang dapat ditimbulkan oleh RUU Cipta Kerja ini jika diterapkan. Kata kunci: RUU Cipta Kerja, Omnibus Law, Tenaga Kerja, Demonstrasi Abstract A bill RUU Cipta Kerja or the bill RUU Cipker is one part of an omnibus law designed by the government. After the bill has published, arising pro-contra in the community. The rejection presents over the bill trigger the action of a student demonstration and workers/laborers in various districts in Indonesia. Refusal is because the RUU Cipta Kerja is felt to be injurious part workers thus mass demonstrations rejected the bill.On works written this used method of qualitative by looking at sources information and data. In answering problem formulation on works written this with use information obtained better than press release by interviews various informant, some academics study, look angle’s the observe , and statistics data that were published various parties. Thus obtain the results for the background demonstration refusal the RUU Cipta Kerja, various problems and the impacts. Key words: RUU Cipta Kerja, Omnibus Law, workers, demonstration



PENDAHULUAN



Omnibus Law merupakan suatu metode atau teknik yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut UndangUndang (UU), atau beberapa ketentuan dalam UU yang diatur ulang dalam satu UU (tematik). i Adapun yang menjadi tujuan diciptakannya Omnibus Law ini yang



dipaparkan oleh Firman Freaddy Busroh yakni: 1) Untuk mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien. 2) Mengurus perizinan yang lebih terpadu, efisien, dan efektif.



3) meningkatkan hubungan koordinasi antar instasi terkait 4) Meningkatkan koordinasi antar instansi terkait 5) Menyeragamkan kebijakan pemerintah di pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi 6) Memutus rantai birokrasi yang lama 7) Menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan. Salah satu unsur yang terdapat dalam Omnibus Law ini adalah adanya aturan yakni Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Rancangan yang baru ini akan mengubah peraturan sebelumnya menjadi lebih sederhana dengan menjadi 15 Bab dan 174 Pasal yang sebelumnya peraturan serupa tertuang pada 79 Undang-Undang dengan 1.203 pasal. Perubahan ini menimbulkan berbagai penolakan yang disampaikan dengan demonstrasi baik dari kalangan mahasiswa, masyarakat, maupun golongan buruh. Demonstrasi yang dilakukan diantaranya adalah diawali pada 19 September 2019 di Kompleks Parlemen oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tingg yang memiliki agenda untuk menolak seluruh RUU dan pelemahan KPK. Pada 23 September 2019 dengan aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta. Gerakan demonstrasi juga menyebar ke berbagai wilayah seperti Surakarta dan Semarang pada 24 September 2019, Palembang, Aceh, Medan, dan Kendari. Demonstrasi penolakan juga masih terjadi hingga tahun 2020. Pada 9 Maret 2020 dilaksanakan Gejayan Memanggil yang kedua dengan agenda menggagalkan RUU Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law. Penolakan atas RUU Cipta Kerja yang timbul diakibatkan oleh berbagai alasan. Secara garis besar diutarakan oleh Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, bahwa pada rancangan ini membahas mengenai investasi tetapi justru mereduksi kesejateraan buruh dan tidak



melindunginya. Hal- hal yang perhatian adalah sebagai berikut:ii



menjadi



1) Hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten/kota. 2) Menurunnya kualitas aturan pesangon dan tanpa kepastian. 3) Semakin bebasnya penggunaan tenaga alih daya. 4) Dihapusnya sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar. 5) Jam kerja yang eksploitatif. 6) Dipersulitnya karyawan kontrak untuk diangkat menjadi karyawan tetap. 7) Tenaga kerja asing yang bebas dipekerjakan. 8) Semakin mudahnya terjad PHK. 9) Tidak ada jaminan sosial untuk buruh (jaminan kesehatan dan pensiun). Berdasarkan perstiwa-peristwa yang terjadi tersebut perlu diketahui alasan apa yang menjadi penyebab adanya gerakan yang menolak Omnibus Law terlebih Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut. Selain itu juga perlu diketahui kesalahan-kesalahan yang terdapat pada Rancangan UndangUndang Cipta Kerja tersebut dan dampak apa yang ditimbulkan RUU Cipta Kerja tersebut bagi tenaga kerja. Masalah- masalah tersebut dapat dipecahkan dengan melakukan kajian terhadap isi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja beserta naskah akademisnya, mengumpulkan pendapat dari para ahli dan pengamat, atau kajian organsasi-organsasi, menganalisis tuntutan-tuntutan dari agenda demonstrasi selama tahun 2019 hingga 2020, dan membandingkan isi RUU Cipta Kerja dengan peraturan sebelumnya. Dalam penulisan karya tulis ini dimaksudkan untuk mengetahui latar belakang aksi demonstrasi penolakan yang terjadi, menguraikan kesalahan-kesalahan yang ada pada RUU Cipta Kerja ini, dan menganalisis dampak-dampak dari RUU Cipta Kerja bagi tenaga kerja. Sehingga dapat mencapai kebermanfaatan dari karya tulis ini yakni dapat menambah wawasan mengenai konflik penolakan RUU Cipta



Kerja yang terjadi yang kemudian dapat dijadikan pandangan dalam menilai hal-hal mana yang perlu didukung serta memberikan analisis dampak RUU Cipta Kerja.



KAJIAN TEORI RUU Cipta Kerja Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja merupakan aturan yang mengatur mengenai upaya penciptaan kerja melaluu usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. iii Pembuatan RUU Cipta Kerja ini didasarkan pada tidak memenuhinya Undang-Undang sektor dalam kebutuhan hukum yang kemudian diubah secara lebih efektif dan efisien dengan Omnibus Law. Sebelum menjadi RUU Cipta Kerja terjadi pergantian penyebutan untuk RUU ini. Bermula dengan nama RUU Cipta Lapangan Kerja atau RUU Cilaka yang kemudian berubah menjadi RUU Cipta Kerja atau RUU Ciptaker. Pada RUU Cipta Kerja ini terdiri atas 79 RUU, 15 bab, dan 174 pasal. Tujuan yang ingin dicapai dalam RUU ini adalah mendasar pada pemerataan hak, adanya kepastian hukum, kemudahan dalam berusaha, dan kebersamaan serta kemandirian. Apabila diuraikan lebih rinci lagi, tujuan-tujuan daripada RUU Cipta Kerja ini ada lah untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui 1) Kemudahan dan perlindungan UMK-M serta perkoperasian. 2) Peningkatan ekosistem investasi. 3) Kemudahan berusaha. 4) Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. 5) Investasi Pemerintah Pusat.



6) Percepatan nasional.



proyek



strategis



Terdapat berbagai hal yang diatur dalam RUU ini guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan di atas. Pertama, adalah upaya untuk meningkatkan ekosistem investasi. Pada hal ini diwujudkan dalam mengaturnya dengan menyederhanakan perizinan berusaha, pemberian syarat pada investasi, dipermudahnya dalam berusaha, adanya riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan adanya kawasan ekonomi. Pengaturan perizinan berusaha yang dimaksud di atas adalah menganalisis berdasar tingkat bahaya dan potensinya. Adapun indikator penilaiannya yakni aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan/atau pemanfaatan sumber daya. Penilaian juga menganalsa jenis, kriteria, lokasi kegiatan usaha, dan keterbatasan sumber daya serta intensitas potensi terjadinya bahaya. Dalam RUU Cipta Kerja ini hal-hal pokok yang dibahs dapat dikategorikan dalam klaster-klaster berikut ini : 1) Penyederhanaan perizinan tanah. Pada klaster ini terdapat dua substansi yang dibahas. Pertama, perizinan dasar yang berisi mengenai izin lokasi atau Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Perizinan dasar meliputi persetujuan lingkungan dengan penerapan Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan untuk risiko standar dan AMDAL untuk risiko tinggi. Selanjutnya adalah Persetujuan Bangunan Gedung yang meliputi atran standar teknis bangunan, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang harus mendapatkan persetujuan pemerintah. Kedua, Substansi Perizinan Sektor. Dalam substansi ini terdapat 7 hal yang dibahas yakni kegiatan usaha berbasis risiko, kriteria risko, usaha berisiko tinggi wajib memilki izin, usaha dengan risiko menengah harus sesuai standar penilaian



kepatuhan, usaha berisiko rendah cukup melakukan registrasi Nomor Induk Berusaha, pengawasan dilakukan oleh pemerintah atau profesi yang bersertifikat, dan penataan kewenangan perizinan berusahaan dalam PP. Penerapan usaha yang datur dalam perizinan ini adalah yang bergerak pada sektor pertanian, kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Energi dan Sumber Daya Mineral, Ketenaganukliran, Perindustrian, Perdagangan, Pariwisata, Pendidkan, Kesehatan, Obat dan Makanan, Keagamaan, Transportasi, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran, Pertahanan dan Keamanan. 2) Persayaratan Investasi. Klaster kedua ini mengatur mengenai prosedur dalam investasi. Diantaranya adalah menetapkan daftar prioritas atas bidang usaha yang didorong untuk investasi. Dalam penilaian tersebut dkategorikan menjadi teknologi tinggi, investasi besar, berbasis digital, dan/atau padat karya. Usahasaha yang diperkenankan adalah yang mengandung kepentingan nasional, asas kepatuhan dan sesuai konvensi internasional. Sementara usaha yang tertutup dari investasi adalah bidang perjudian dan kasino, budidaya dan industri narkotika golongan I, pembuatan senjata kimia, industri bahan perusak lapisan ozon (BPO), penangkapan ikan yang spesies yang terdapat dalam Appendiz I CITES, dan pemanfaatan atau pengambilan koral atau karang dari alam. 3) Ketenagakerjaan



Klaster ketiga ini mengatur mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan tenaga kerja. Pertama, upah miniimum. Upah minimum tidak mengalami penurunan sementara kenaikannya didasarkan pada perhitungan pertumbuhan ekonomi wilayah. Sedangkan upah minimum hanya berlaku untuk pekerja baru sedang yang lain mengikuti struktur dan skala upah setiap perusahaan. Kedua, Upah Per Jam. Upah ini tidak menggantikan upah bulanan namun untuk pekerja pada sektor jasa, konsultan, atau paruh waktu dan tetap diberkan jaminan perlindungan pekerjaan oleh pemerintah. Ketiga, izin kerja Tenaga Kerja Asing (TKA). Aturan yang direncanakan adalah pemberian akses yang mudah untuk masuknya tenaga asing yang ahli dalam bidang vokasi, maintenance, startup, dan kunjungan bisnis maksimal 60 hari dan dapat diperpanjang 30 hari. Keempat, pengusaha alih daya atau outsourcing. Dimana dalam aturan ini menyebut wajib diberikannya hak dan perlindungan yang sama bagi pekekrja kontrak maupun tetap dengan upah, jaminan sosial, dan perlindungan K3. Kelima, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak yang tetap mendapatkan hak dan perlindungan berupa upah, jaminan sosial, perlindungan K3, dan kompensasi pengakhiran hubungan kerja. Keenam, mengenai Pemutusan Hubungan Kerja apabila dilakukan akan diberikan pesangon PHK dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). JKP tersebut ialah berupa uang tunai, pelatihan dan sertifikasi, dan fasilitasi penempatan.



Terakhir, mengenai penghargaan yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja yang telah memenuhi kriteria. Namun hal ini tidak diberlakukan bagi pengusaha UMKM. 4) Kemudahan dan Perlindungan UMKM Pada klaster ini berisikan beberapa hal yang menyangkut pengaturan menyoal pada sektor UMKM. Peraturannya adalah meliputi kriteria UMKM, basis data UMK, pengelolaan terpadu UMK, kemitraan, kemudaahan perizinan berusaha, insentif fiskal dan pembiayaan, dana alokasi khusus. Adapun kemudahan yang dimaksudkan dalam RUU ini adalah mengenai hal-hal berikut. Pertama adalah izin bagi usaha yang berisiko kecil cukup dengan NIB, penyediaan lokasi ntuk UMK di peristirahatan jalan tol, difasilitasinya UMK dalam hal layanan bantuan dan pendampingan hukum dari pemerintah, diprioritaskannya produk/jasa UMK dalam kebutuhan pemerintah, kemudahan pendirian PT oleh UMK dengan keringanan tarif, terdapat fasilitas untuk melakukan pembukuan atau pencatatan keuangan oleh pemerintah. Pada klaster ini juga diatur mengenai reformasi perkoperasian. 5) Kemudahan berusaha. Klaster kelima ini menyangkut kemudahan berusaha yakni meliputi kemudahan pendirian PT untuk UMK dengan hanya bermodal Rp 50 juta, kemudahan dalam berproses yakni investor mudah mendapatkan izin tinggal, fleksibilitas untuk pemegang paten, jaminan bahan baku bagi sektor industri, dan mencabut izin gangguan. Selanjutnya



mengatur mengenai pertambangan dan hilirisasi minerba, minyak dan gas bumi, serta BUM Des. 6) Dukungan riset dan inovasi. Isi klaster keenam ini adalah mengatur tentang riset dan inovasi. Terdapat peraturan yang akan memihak pada inovasi nasional dan mendukung riset/pengembangan/inovasi bagi BUMN. 7) Administrasi pemerintahan. Pada klaster ketujuh ini menyoal pada pokok administrsi pemerintahan dalam pelaksanaan pengaturan cipta kerja ini. Dalam hal ini presiden bertindak sebagai kepala pemerintah dan menteri atau kepala daerah membantu dalam melaksanakan sebagian kewenangan presiden tersebut. Menteri dan kepala daerah diatur norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan presiden dengan acuan berupa best pratices. Peraturan yang ada dan bertentangan dengan aturan yang lebh tinggi menurut klaster ini harus dibatalkan dengan peraturan presiden. Dalam izin saha dapat dilakukan secara elektronk sesuai NPSK dan dkabulkan jika sesuai dengan waktu service level agreement dengan pengawasan izin dilakukan pemerintah. 8) Pengenaan sanksi. Sanksi yang diatur pada klaster delapan ini adalah bahwa sanksi administratif yang diberikan mengacu pada hukm pidana apabila kegiatan yang berlangsung berdampak negatif. Denda pidana yang ditetapkan besarnya menyesuaikan dengan kenaikan inflansi. Dalam setiap izin usaha



pemerintah melakukan pengawasan dan pembinaan. 9) Pengendalian lahan. Di klaster sembilan dalam pengadaan lahan terdapat dua substansi pokok. Pertama, pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kedua, menyoal pada kawasan hutan meliputi persentase luas minimal, perubahan peruntukan, dan pengukuhan kawasan hutan.



10) Kemudahan proyek pemerintah. Pada klaster sepuluh ini membahas mengenai invetasi pemerintah dan kemudahan proyek pemerintah. Dalam investasi terdapat lembaga pengelola yang dibentk dan berbadan hukum oleh pemerintah. Lembaga tersebut dapat bekerja sama Kajian Penolakan Penolakan-penolakan yang dilancarkan untuk RUU Cipta Kerja ini ramai di masyarakat. penolakan yang terjadi pun tidak tanpa alasan, bebagai golongan seperti akademisi mengkaji RUU Cipta Kerja dan menganalisis kejanggalannya sehingga menyuarakan untuk menolak. Penolakan yang hadir dari Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM hadir dengan membuat kajian formil Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)law. Pada kajian ini menyebutkan bahwa Omnibus Law yang diciptakan ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi yang sebelumnya berbelit-belit dengan jalan menggabungkan dan menghapuskan peraturan sebelumnya sehingga memudahkan pemerintah menghadirkan peraturan baru yang mencakup secara keseluruhan bidang dengan satu produk. Kajian ini menyebut bahwa RUU Cipta Kerja tidak memperhatikan kepentingan masyarakat dan kesejahteraan sosial. selain itu juga terdapat kejanggalan dalam mekanisme



dengan pihak lain. Aset dari lembaga tersebut berupa penyertaan modal negara, aset BUMN, dan hibah. Kemudahan proyek pemerintah dalam hal ini diwujudkan dengan penyediaan lahan untuk Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan keuangan dan fiskal negara dan dapat dilakkan oleh badan usaha jika belum ada anggaran dalam pengawasan pemerintah. 11) Kawasan Ekonomi Pada klaster sebelas yang dimaksud dengan kawasan ekonomi terbagi menjadi tiga yakni kawasan ekonomi khusus (KEK), kawasan industri, dan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB).



pembahasannya karena dilakukan dengan per paket. Pandangan mengenai RUU Cipta Kerja juga dilayangkan oleh mahasiswa dari BEM Universitas Sanata Dharma. Pada kajiannya menyebt untk menolak adanya RUU Cipta Kerja tersebt dengan beberapa alasan. Alasan tersebut adalah karena penyusunan RUU yang tidak partisipatif, dapat mengancam kerusakan lingkungan, menurunkan kesejahteraan buruh, kemudahan dalam izin investasi yang memungkinkan terjadinya perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat, serta pemtsan hubungan kerja yang mudah dilakukan. Penolakan diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dengan sembilan poin. Adapun poin tersebut adalah hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon; penghargaan kerja; dan penggantian hak, PHK yang mudah untuk dilakukan, adanya kebebasan outsourcing seumur hidup, ekspoitasi jam kerja, adanya potensi kebebasan masuk buruh kasar asing, menghilangnya jaminan sosial, dan



hilangnya sanksi pidana bagi pekerja yang tidak memberikan pensiun. Organisasi lingkungan hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga menyatakan posisi dan pertentangan dengan adanya RUU Cipta Kerja ini. Adapun yang disampaikan WALHI mengenai rancangan ini adalah ketidaksesuaian judul RUU Cipta Kerja dengan muatannya, Omnibus Law sebagai insiatif dalam Proglegnas Super Prioritas



METODE Metode yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah dengan metode kualitatif dengan melakukan studi pustaka untuk menganalisis data guna menjawab rumusan masalah. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data sekunder dalam hal ini adalah berupa rilisan media pers, kajian dari organisasi atau ahli, pendapat atau analisis dari pengamat atau ahli pada bidangnya. Data-data tersebut diperoleh melalui kajian di internet, ebook, jurnal HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Belakang Demonstrasi Penolakan RUU Cipta Kerja Demonstrasi adalah salah satu cara untuk menyatakan pendapat. Hal tersebut bebas untuk dilakukan dalam batasan-atasan atau sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Demonstrasi di Indonesia dalam rangka mengkritisi pemerintah tidak hanya terjadi pada penolakan Omnibus Law namun juga terjadi pada Tragedi Trisakti 12 Mei 1998. Aksi demonstrasi penolakan Omnibus Law yang digelar di berbagai wilayah memiliki satu tujuan yang sama yakni menolak adanya RUU tersebut. Aksi demonstrasi penolakan yang terjadi dengan berbagai alasan. Berdasarkan Pengrus Asosiasi HTN HAN Jawa Tengah bahwa penolakan dikarenakan ketidakjelasan tim perumusan Naskah Akademis. Hal tersebut benar adanya. Lantaran pada Naskah Akademis RUU



merupakan hal yang mengada-ada, penyusunan yang tidak partisipatif, tidak sesua dengan asas keterbukaan, menghapus izin lingkungan dan meminimalkan partisipasi publik, kaburnya pengaturan pertanggungjawaban mutlak, pengawasan lingkungan hidp yang tersentral, pengoperasian sanksi administrasi yang diminimalkan, dihapusnya tanggung jawab pidana korporasi, dihspuskannya skema gugatan administrasi lingkungan, dan adanya watak otoriter sehingga semakin memperpanjang krisis. atau kajian formil mengenai RUU Cipta Kerja. Sementara data primer yang berupadata proporsi tenaga kerja informal dan formal, data produktivitas, upah, biaya per pekerja di Indonesia, data faktor-faktor yang menghambat dalam melakukan bisnis, data UMR/UMP dan upah buruh di Indonesia, data PHK, data jam kerja yang efektif, dan data data jumlah tenaga kerja asing, serta dampak kebijakan-kebijakan terhadap tenaga pasar turut dgunakan guna menjadi dasar acuan dalam menjawab rumusan masalah pada karya tulis ini.



Cipta Kerja yang dipublikasikan melalui laman resmi Kementrian Koordinator Bidang Perekono mian tidak ada pencantuman penulis naskah tersebut. Kedua adanya pasal yang saling bertentangan. Alasan ini mengacu pada pasal 166 dan 170 RUU Cipta Lapangan Kerja dengan pasal 7 ayat (1) dan (2) UU no. 12/2011. Pengaturan yang berbenturan tersebut ialah mengenai adanya aturan baru Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-Undang. Semetara pada pengaturan yang sdah ada regulasinya adalah bahwa Peraturan Pemerintah keduduakan nya lebih rendah dari UU sehingga tidak dapat menggantikan kedudukan UU. Kemudian pada pasal 166 Perpres dapat membatalkan Perda dan hal tersebut tidak sesuai dengan Putusan MK no. 56/PUU-XIV. Ketiga, banyaknya delegasi kepada eksekutif atau tersebut. Hal tersebut lantaran pengatran yang terpusat dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Keempat, adanya banyak negasi atas hak dasar



buruh. Kelima, tidak dilibatkannya masyarakat dalam pembuatannya sehingga kurang partisipatif. Sementara aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta dilatar belakangi oleh adanya tututan mahasiswa. Tuntutan yang disampaikan bertujuan untuk mendesak penundaan RKUHP, revisi UU KPK yang telah disahkan, menolak pelemahan pemberantasan korupsi, pasal yang bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertahanan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan penghentian penangkapan aktivis. Demonstrasi penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa direncanakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Menurut koordinator pusat BEM SI, Remy Hastian, aksi-aksi penolakan ini didasarkan pada adanya keresahan di masyarakat mengenai omnibus law yang kemudian disampaikan melalui kampus, koalisi masyarakat sipil dan buruh. Dengan demonstrasi ini berorientasi pada adanya pemantik aksi yang besar sehngga dapat mendorong agar aspirasi masyarakat tersampaikan kepada pihak yang berwenang atas pembuatan RUU ini. Dampak Kesalahan-Kesalahan Pada RUU Cipta Kerja Bagi Pekerja Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan di atas dapat diketahui mengenai kesalahan-kesalahan yang ada pada RUU Cipta Kerja ini yang kemudian dapat dianalisis dampak-dampanya. Pada pokonya terdapat 4 poin pembahasan kategori masalah yakni pada mekaisme perumusan, hak pekerja, perusahaan, dan lingkungan. Pertama, mekanisme permusan. Pada masalah ini ditemukan beberapa kesalahan yang dilakukan. Hal yang mendasar adalah tidak diktsertakannya pihak lain seperti ahli dan masyarakat dalam menyusun RUU ini. Dampak atas tindakan tersebut adalah rancangan yang tidak partisipatif dan melanggar asas keterbukaan. Sehingga apa yang dimuat dalam RUU ini tidak mengandung aspirasi dari phak



lain khususnya masyarakat dan aturan yang dibuat menjadi tidak relevan. Hal ini mengacu pada pihak yang terlibat dalam pembuatan RUU ini adalah anggota unsurK/L, Pemda, Akademisi, serta KADIN tanpa melibatkan unsur organsas buruh, organisasi lingkungan, kelompok pemuda atau mahasiswa padahal aturan ini menyasar pada kelompok-kelompok tersebut. Ketidaksesuaian muatan salah satunya adalah tergambar pada pemberian judul. Peraturan Perundang-undang seharusnya singkat dengan satu kata atau frasa namn telah menggambarkan isi sesuai Lampiran II angka 3 UU 12/2011. Sementara pada RUU ini tidaklah menerapkan hal itu lantaran isi yang dimuat dalam RUU ini mencakup tenaga kerja, UMKM, dan aspek lingkungan namun penamaan RUU ini tidak mencerminkan hal tersebt terlebih mengenai lingkungannya. Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH), RUU ini sama sekali tidak mencerminkan semangat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dimuat UU PPLH. iv Kejanggalan mekanisme juga dijumpai pada pembahasan dengan model per paket. Model pembahasan ini memiliki dampak potensi masalah baru karena melewatkan hal-hal kecil dan mengkaburkan hal-hal detail yang tidak sesuai. Penyusunan RUU Cipta Kerja ini menggunakan asumsi analisa kondisi lama yang justru menjadikan kesalahan dalam perumusan peraturan. Analisis ini mengacu pada hasil kolaborasi Watchdoc Documentary dan Greenpeace Indonesia dalam karya Kerja, Prakerja, Dikerjai!. Pokok yang diatur pada RUU ini adalah dengan adanya modal dan/atau investasi dapat menciptakan lapangan kerja sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja dan akan tercapai kesejahteraan hidup. Hal tersebut efektif adanya namun tidak sudah tidak relevan. Adapun tabel berikut mengenai pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.



tabel 1 sumber: Watchdoc Documentary. Kerja, Prakerja, Dikerjai! Tahun 2010



Penyerapan Tenaga Kerja 5.000 tenaga kerja



2013



750.000 tenaga kerja



2016



2.200 tenaga kerja



2019



110.000 tenaga kerja



RUU ini kurang efektif untuk tujuannya apabila diterapkan.



mencapai



Keterangan Setiap investasi 1 triliun Setiap 1% pertumbuhan ekonomi Setiap investasi 1 triliun Setiap 1% pertumbuhan ekonomi



Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2010 dengan 1 triliun investasi yang ditanamkan mampu menyerap 5.000 tenaga kerja. Namun pada tahun 2016 dengan jumlah investasi yang sama hanya mampu menyerap 2.200 tenaga kerja. Sementara pada tahun 2010 hingga 2016 terjadi peningkatan investasi hingga 300% namun serapan tenaga kerja justru menurn hingga 50%.



Kedua, kesalahan yang berdampak pada hak-hak pekerja atau buruh. Pada RUU ini pada klaster ketiga substansi pertama mengatur mengenai upah minimum. Pada substansi ini mengatur bahwa pah minimun didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP) yang menghapuskan aturan sebelumnya dimana upah minimum mengacu pada tingkat Kabupaten/Kota. Besaran UMP di selruh provinsi Indonesia . Pada RUU ini diatur mengenai upah minimum sebagi berikut: Pasal 88 B : Upah itetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/ata b. satuan hasil. Pasal 88 C: (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.



Gambar 1 Jumlah tenaga kerja di Indonesia (sumber: Watchdoc Documentary. Kerja, Prakerja,Dikerjai!)



Selanjutnya RUU ini membuka lebar penanaman investasi dan kemudahan dalam perizinan berusaha serta mengesampingkan dampak lingkungan. Hal ini menjadi peluang besar pengembangan sektor pertambangan. Padahal tenaga kerja pada bidang pertambangan hanya sebesar 1% saja. Hal ini tentu tidak efektif jika tujuannya ingin mencapai kesejahteraan bagi selruh rakyat. Sementara pada bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan yang jumlahnya 38% justru terancam dengan adanya regulasi ini. Hal ini menunjukkan bahwa investasi sudah tidak lagi relevan untuk dapat menyerap tenaga kerja. Padahal pokok pemikiran pada RUU ini mendorong adanya investasi. Sehingga



Gambar 2 UMP di Indonesia (sumber: Detik.com)



Adapun dampak dari kebijakan itu adalah bahwa saat ini di Indonesia yang menggunakan UMP hanyalah DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta sementara daerah lain menggunakan UMK atau UMSK. Apabila ini diterapkan akan terjadi



perubahan yang signifikan karena standar masing-masing kota/kabupaten berbeda walaupun masih dalam satu provinsi. Sebagai contoh UMP Jawa Barat adalah Rp 1.810.000,00 namun selama ini Kabupaten Bekasi menggunakan standar UMK sebesar Rp 4.498.961,00 dan di Kabupaten Karawang sebesar Rp 4.594.324,00. Apabila regulasi ini diterapkan maka upah minimum yang diberikan hanya sebesar Rp 1.810.000,00. Sehingga kesejahteraan pekerja yang hendak dicapai justru tidak terwujud karena upah menjadi murah. Pada klaster keteneagakerjaan sbstansi kedua mengenai upah per jam menjadi juga menjadi permasalahan. Hal tersebut lantaran bayaran yang akan diterima oleh tenaga kerja hanya berdasarkan pada berapa jam telah bekerja. Adapun perhitungan jka mengacu pada data UMP tersebt di wilayah Yogyakarta yang sebesar kurang lebih 1,7 juta setiap bulan. Jika jam kerja setiap harinya adalah 8 jam. Maka jika bekerja selama 5 hari dalam sseminggu, upah tenaga kerja setiap jamnya hanya sebesar Rp 10.625,00. Kerugian bagi tenaga kerja adalah apabila meninggalkan jam kerja karena sakit, cuti menikah, tgas kerja ke tempat lain, atau izin yang lain maka tidak akan diberikan upah tersebut. Jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya pada UU 13/2003 tenaga kerja yang izin dengan alasan tersebut masih berhak mendapatkan upah. Hal ini dapat menjadi tambahan kemunduran dar RU yang merugikan golongan tenaga kerja Selanjutnya adalah mengenai hak pekerja berupa pesangon, penghargaan, dan penggantian hak. Hal ini mengacu pada pengaturan klaster ketenagakerjaan substansi keempat dan kelima mengenai adanya tenaga kerja outsourcing dan kontrak yang tidak diberikan pesangon. Pada RUU ini dihapus Pasal 161, 162, dan 172 UU 12/2003 yang berdampak bagi tenaga kerja yang mendapatkan Surat Peringatan Ketiga, mengundurkan diri, di-PHK, meninggal dunia, sakit berkepanjagan, cacat akibat kecelakaan kerja, dan/atau memasuki usia pensiun tidak akan diberikan pesangon. Semntara nutuk penghargaan kepada tenaga kerja pada substanssi



ketujuh jika dibandingkan dengan UU sebelumnya terdapat penghapusan pasal mengenai penggantian hak dan penghargaan masa kerja yang sebelumnya adalah maskimal 10 blan menjadi hanya 8 bulan. Hal ini tentu menjadi suatu kemunduran dan menghilangkan hak pekerja yang sebelumnya telah ada. Padahal berdasarkan data IMF tahun 2019 menyebut bahwa pesangon memiliki dampak bagi tingkat partisipasi tenaga kerja. Pada tenaga kerja perempuan dapat menurunkan partisipasi sebesar 15% dan pada lak-laki sebesar 5% apabila terjadi peningkatan pesangon.



Gambar 3 Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja



RUU Cipta Kerja pasal 89 mengatur jam kerja setiap minggunya menjadi 40 jam. Hal ini jika dibandingkan dengan UU 13/2003 mengalami perubahan diaman sebelumnya diatur dengan jam kerja maksimal 7 jam/har jika 6 hari kerja atau 8 jam/hari jika 5 hari kerja. Dampak adanya regulasi ini adalah berpotensi adanya eksploitasi jam kerja karena perusahaan dapat memperkerjakan selama lebih dari 8 jam sehari asalkan dalam satu minggu tetap 40 jam. Contohnya adalah jika tenaga kerja diminta untuk kerja selama 13 jam sehari dengan 3 hari dalam seminggu namun bukan merupakan kerja lembur karena sistem upah yang berupa Upah Per Jam. Padahal berdasarkan data yang disampaikan oleh Karl Ericsson yang merupakan psikologi dari Florida State university produktivitas tidak dapat optimal jika selama 40 jam seminggu. Pada penelitian ini performa maksimal pekerja hanyalah pada kisaran 21-35 jam per minggu atau 3-5 jam dalam satu hari. Kelonggaran dalam syarat pekerja kontrak pada RUU ini menyebabkan masalah. Pada substansi kelima mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak



terdapat perubahan dengan peghapusan aturan yang ada sebelmnya yakni pada pasal 59 UU 13/2003 sebagai berikut. Pasal 59: (1) Perjanjiang kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat ntuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Dampak dari adanya regulasi ini adaah dimungkinkan pekerja dikontrak untuk seumur hidupdi semua jenis pekerjaan karena pasal yang sebelumnya mengatur mengenai syarat pekerja kontrak dihapuskan. Dibandingkan dengan UU 13/2003 yang mengatur bahwa pekerja kontrak hanya untk pekerjaan yang sementara dengan jangka waktu terbatas yakni hanya 2 tahun dan diperpanjang maksimal 1 kali sehingga dapat menghindarkan adanya eksploitasi. Jika RUU ini diterapkan akan berpotensi untuk sulitnya pekerja menjadi pekerja tetap dan hilangnya pesangon. Pada klaster keenam RUU ini mengatur mengenai pemutusan Hubungan Kerja dianggap tidak tepat. Hal ini lantaran terdapat perubahan yang cukup signifikan. Adapun pasal yang sebelumnya pada UU 13/2003 tidak ada kemudian ddirumuskan pada RUU Cipta Kerja sebagai berikut : Pasal 154 a: (1) pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan a. perushaan melakkan gabbungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahan. b. perusahaan melakukan efisiensi.



2019



285.000



Pada tahun 2019 terjadi kenaikan yang signifika pada jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK. Faktor yang menyebabkan tinggginya angka PHK menurut presdien KSPI adalah mualinya robotisasi pada beberapa industri. Perubahan tersebut jika dibandingkan dengan aturan yang sebelumnya akan lebih berpotensi meningkatkan PHK di kalangan pekerja. Hal tersebut lantaran pada RUU ini membenarkan apabila perusahaan hendak melakukan efisiensi dapat melakukan PHK. Selain itu pada regulasi ini dalammemtskan PHK tidak lagi dilakukan perundngan dengan serikat pekerja tidak seperti aturan pada U yang sebelumnya. Dampaknya bagi tenaga kerja adalah dapat dengan mudah mengalami PHK secara sepihak tanpa dilakukan perundingan. Hal ini tentu merugikan tenaga kerja. Permasalahan RUU ini juga menyangkut pada substansi jaminan sosial. Hal ini terjadi lantaran adanya regulasi yang telah dijabarkan diatas yakni adanya perubahan regulasi tenaga kerja kontrak dan upah mnimum. Dampaknya pekerja tidak dapat jaminan pensiun dan jaminan kesehatan. Pada reglasi sebelumnya hak ini diberikan kepada tenaga kerja. Meskipun bersifat wajib namun pemerataan dari jaminan sosial ini belum menyeluruh, adapun datanya pada tabel berikut. Terlebih ika adanya RUU ini maka jmlah tenaga kerja yang tidak mendapatkan jaminan sosial semakin banyak.



Pada RUU ini mengatur bahwa PHK dapat lebih mudah dilakukan. Pada regulasi PHK menurut aturan UU 13/2003, PHK masih banyak terjadi dengan data sebagai berikut. tabel 2 Jumlah PHK Tenaga Kerja di Indonesia (sumber: TirtoId) Tahun 2014 2015 2016 2017 2018



Jumlah PHK 77.678 48.843 12.777 9.822 3.362



tabel 3 sumber: Beritagar.id



Selain itu pada klaster ketiga mengenai tenaga kerja asing juga memicu permasalahan. Pada regulasi ini tenaga kerja asing tanpa ketrampilan dapat dengan bebas masuk ke Indonesia. Jika dibandingkan dengan UU 13/2003 mengenai TKA jika hendak bekerja di Indonesia perlu mengikuti serangkaian pelatihan , belajar bahas Indonesia, dan internalisasi budaya. Namun pada RUU ini aturan tersebt dihapuskan bahkan TKA tidak perlu membuat rencana perizinan. Dampak dari regulasi ini adalah semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja di Indonesia sementara jumlah tenaga kerja di Indonesia sendiri sudah cukup tinggi apabila ini diterapkan maka tenag asing yang masuk juga semakin banyak.



tabel 4 jumlah tenaga kerja asing di Indonesia



Kemudian pada klaster keempat terdapat regulasi yang mengatur mengenai pengusaha alih daya atau outsourcing. Disebtkan bahwa outsourcing dapat dengan bebas untuk digunakan dan tidak terikat batasan waktu. Sementara jka dibandingkan dengan UU 13/2003 aturan mengenai outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan sebagai berikut. Pasal 66: (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemeberi kerja untk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan yang tidak berhbungan langsung dengan proses produksi. Dengan perubahan ini memiliki dampak perusahaan akan lebih memilih memperkejarakan outsourcing karena tidak perlu membayarkan pesangon dan dapat dibayar dengan upah per jam. SIMPULAN



Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan pokok-pokok dalam karya tulis ini. Pertama, alasan atau latar belakang adanya ddemonstrasi Omnibus Law adalah merupakan sikap penolakan atas rancangan tersebut. Demonstrasi yang menolak adanya RU Cipta Kerja lantaran menganggap bahwa RUU ini merugikan bagi golongan pekerja ata buru. Sehingga dengan adanya aksi demonstrasi ini dapat menjadi pemantik dan mengaspirasikan pendapat yang dapat didengar sera dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak yang berwenang. Selanjutnya dalam RUU ini masih ditemukan berbagai kesalahan atau pasal-pasal yang bermasalah sehingga berdampak bagi tenaga kerja jika kelak diterapkan. Adapun kesalahan tersebut dapat menimbulkan perubahan bagi hak-hak tenaga kerja, perusahaan, maupun lingkngan. Dampak bagi tenaga kerja dengan adanya RUU ini adalah akan menyebabkan tenaga kerja kehilangan hak-haknya seperi upah minimum, peangon, penghargaan, penggantian hak, dan jaminan sosial. selain itu tenaga kerja juga terancam tereksploitasi karena jam kerja, sulit menjadi pekerja tetap, PHK yang mudah dilakukan, dan persaingan karena kebebasan tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. SARAN Dengan adanya kajian pada karya tulis ini dapat memberikan masukan atau saran bagi berbagai pihak. Bagi pemerintah diharapkan dapat mendengarkan tuntutan dari elemen masyarakat dan pekerja guna melakkan evaluasi atas pembahasan RUU Cipta Kerja ni sebelum disahkan selanjutnya bagi pekerja dan buruh maupun mahasiswa dan masyarakat umum untuk tetap mengawal perkembangan RUU Cipta Kerja ini dan mengkritisi hal-hal yang dirasa memang tidak benar. Karya tulis ini telah disusn dengan sebaik dan semaksimal mungkin. Meskipun demikian masih terdapat kekurangan atau hal yang perlu dikritisi, penulis dengan terbuka menerima saransaran dari pembaca guna menyempurnakan karya tulis ini.



https://jateng.sindonews.com/berita/19087/1/ini-9poin-dampak-negatif-omnibus-lawciptakerja-versi-kspi diakses pada 28 Mei 2020.



DAFTAR PUSTAKA Amali, Zakki. 9 Maret 2020. Gejayan Memanggil Digelar Lagi Hari Ini: Gagalkan Omnibus Law. TirtoId [online] pada https://tirto.id/gejayan-memanggildigelar-lagi-hari-ini- gagalkan-omnibus-law-eDQn diakses 27 Mei 2020.



WALHI. 2020. Kertas Posisi RUU Cipta Kerja: Cilaka Cipta Investasi, Perkeruh Kondisi Krisis Multidimensi [online] diunduh dari www. walhi.or.id pada 27 Mei 2020.



i



Arzyan,



M. Nabiel. 2020. Potret Pasar Tenaga Kerja untuk Memahami Relevansi RUU Cipta Lapangan Kerja. Macroeconomic Dashboard [online] pada https://macroeconomicsdashboard.feb.ugm.ac.id/potr et-pasar-tenaga-kerja-untuk-memahami-relevansi-uucipta-lapangan-kerja diakses 16 Juni 2020.



Damarjati, Danu. 31 Desember 2019. 2019 Tahunnya Aksi Massa: Mahasiswa-Pelajar Demo di Mana-mana. DetikNews [online] pada https://m.detik.com/news/berita/d-4841956/2019tahunnya-aksi-massa-mahasiswa-pelajar-demo-dimana-mana/2 diakses 27 Mei 2020. Dewan Mahasiswa Justicia. 2020. Sebuah Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)law. Kajian 5 Jilid 1. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM. Kumparan. 2017. Menakar Jam Kerja Ideal untuk Pekerja [online] pada https://m.kumparan.com/amp/kumparanstyle/menaka r-jam-kerja-ideal-untuk-pekerja diakses pada 16 Juni 2020. Louis IX King, Anggita Dwi Ardani, Kasiano Vitalio. 2020. Kacamata Driyarkara: Selayang Pandang Omnibus Law. Yogyakarta: BEM Universitas Sanata Dharma. Lumbanrau, Raja Eben. 1 Maret 2020. RUU Omnibus Law Cipta Kerja: Mengeapa Pekerja Kantoran ‘masa bodoh’ dan Apa Dampaknya Bagi Mereke?. BBC News [online] pada https://www.bbc.com/indonesia/amp/indonesia51661671 diakses 16 Juni 2020. Ramadhan, Fahmi. 16 Februari 2020. 9 Alasan Organisasi Buruh Tolak Omnibus Law Cipta Kerja. Databooks Katadata.co.id [online] pada https://katadata.co.id/amp/beirta/2020/02/16/9alasan-organisasi-buruh-tolak- omnibus-law-ciptakerja diakses pada 12 Juni 2020. Republika. 4 Maret 2020. Mahasiswa Gelar Aksi Tolak Omnibus Law Hari Ini [online] pada https://m.republika.co.id/amp/q6n503428 diakses 16 Juni 2020. Saputra, Andi. 11 Maret 2020. Membaca Lagi 6 Alasan Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. DetikNews [online] pada https://m.detik.com/news/berita/d4933863/membaca-lagi-6-alasan-menolak-omnibuslaw-ruu-cipta-kerja/2 diakses 14 Juni 2020. Simanjuntak, Rico Afrido. 17 Februari 2020. Ini 9 Poin Dampak Negatif Omnibus Law Cipta Kerja Versi KSPI. SindoNews.com [online] pada



Dalam Infografik RUU Cipta Kerja. (Kementrian Koordinator Bidang Ekonomi. 2020) Hlm. 9 ii Fahmi ramadhan, “9 Alasan Organisasi Buruh Tolak Omnibus Law Cipta Kerja”, https://katadata.co.id/amp/berita/2020/02/16/9alasan-organisasi-buruh-tolak-omnibus-law-cipta-kerja (diakses pada 28 Mei 2020). iii RUU Cipta Kerja Bab I Pasal 1 Ayat 1 iv Dalam Kertas Posisi WALHI RUU CIPTA KERJA (WALHI. 2020) hlm. 3