Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira (Ziarah Nasrudin Hoja dan Kumpulan Omong Kosong Lainnya)
 9786026056276 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Al a ma t : J l . Anggr ekI Dus unMa l a ha y a t i L a mpul o, Ba ndaAc eh E ma i l : pa debook s @gma i l . c om Webs i t e: www. pa debook s . c om



Z ul f i karRHP o han



Na s r udi nHoj as ebena r ny aj i k adi per ha t i k a nl a gi , s eda ng ber j i ha dmener a ngi ma nus i a ma nus i ay a ngs eda ng s er i usda nk a k u, ba hk a nNega r ada n‘ ul a ma ul a ma ’ pr oy eknega r at a kbi s amengha l a uny a . Ber da k wa h t ent a ngmer ek ay a ngmes t i bi s at er t a wadi a nt a r a k egi l a a n, s ungguhj i hady a ngmul i a . S eba b, a pa k a hy a ng l ebi hbur ukk et i mba ngper a da ba ny a ngk a k uda nt a k pek ahumor ?Da nt ent us a j ahumormeny i mpa n k el uc ua ny a ngber ba ga i j eni s , mes k i punhumorgel a p, s a r k a s , da nl uguy a ngt ent us a j abi s ameni nj u k et i da k a di l a n. S eba ga i ma naPet erL . Ber gerpengk r i t i k pemba nguna ni s me , meny ebut k a ndenga nt ega sda n s edi k i tpr ov ok a t i f: “ Humor s e bagai s e nj at a” .



DANT U HANMI LI KORANGACE H Y ANGGE MBI RA



Na s r udi nHoj amema ngor a ngy a ngl i ngl ung, i al ebi h meny uk a i penc a r i a nk ebena r a n, c ender ung memec unda ngi a s a l us ul k ebena r a ny a ngmenur ut ny a mema ngs el a l ubi a s . Na s r udi nHoj amenc a r i k ebena r a n y a ngt a kput us put us ny a , mes k i denga nr es i k o: s a l a h. J i k apun‘ k ebena r a nmur ni ’ i t ua da , Na s r udi nHoj aa k a n l ebi hs ena ngj i k adi l et a k k a ndi s udutk or i dork ehi dupa n. “ Ke be nar ant akunt ukdi s odor k an, k e be nar anunt ukdi c ar i at auj i k at akk e t e muj uga, mak ape r l ume nc i pt ak an k e be nar anbar u. ”



Z ul f i karRH P o han P engant ar : Mi swar i



DANT U HANMI LI K ORANGACE H Y ANGGE MBI RA



( Z i ar ahNasr udi nHo j adan Kumpul anOmo ngKo so ng l ai nnya)



DAN TUHAN MILIK ORANG ACEH YANG GEMBIRA (Ziarah Nasrudin Hoja dan Kumpulan Omong Kosong Lainnya)



Zulfikar RH Pohan



DAN TUHAN MILIK ORANG ACEH YANG GEMBIRA Zulfikar RH Pohan Copyright @2019, padebooks Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Cetakan pertama: Februari 2019 ISBN: 978-602-60562-7-6 xi + 185 hlm. 14,8 x 21 cm. Desain dan Layout: Zuhra Sofyan Editor: Saiful Akmal Gambar Sampul dan Ilustrasi: Zulfikar RH Pohan Syair: Lisa Ulfa Diterbitkan oleh: Padébooks Jl. Anggrek Dusun Malahayati, Lampulo Kec. Kuta Alam, 23127, B. Aceh email: [email protected] web: www.padebooks.com Dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit atau penulis



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira (Ziarah Nasrudin Hoja dan Kumpulan Omong Kosong Lainnya)



Zulfikar RH Pohan



iii



Teruntuk Orang-orang kalah yang selalu bergembira



. iv



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Jika kau ingin mengabarkan kebenaran kepada orang-orang, buat mereka tertawa. Kalau tidak, mereka akan membunuhmu - Oscar Wilde -



Zulfikar RH Pohan



v



vi



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



KATA PENGANTAR Miswari Belakangan orang Aceh mulai tidak tertawa. Tidak lama lagi mereka akan lupa cara untuk tersenyum. Kompleksitas fenomena yang mereka hadapi, datang dan mengendap di dalam bawah sadar mereka sehingga membuat saraf-saraf tertentu mulai berhenti bekerja. Fenomena lainnya datang, menggendap lagi di tempat yang sama. Terus-menerus begitu. Sejarah Aceh adalah sejarah ketegangan. Kita mengira setelah perjanjian damai pada 2005, orang Aceh dapat menjadi manusia yang berbahagia. Tapi ternyata itu adalah awal mula babak baru tentang Aceh: tentang ketegangan, tentang keseriusan dan tentang cara belajar untuk benar-benar melupakan cara untuk tertawa. Selamat datang di Aceh, tempat di mana Anda benar-benar akan melupakan cara bagaimana untuk tertawa. Aturan-aturan yang ketat itu membuat masyarakat Aceh memilih menjadi manusia super serius. Aturan-aturan hukum itu sudah terlalu rumit untuk dijalani. Hukum sudah menjadi momok, menjadi hantu. Tapi anehnya, Islam yang menjadi pedoman hidup masyarakat ikut-ikutan disulap menjadi “hantu” dengan diformalisasikan hukumnya. Walhasil, Islam yang sejatinya sebagai agama rahmat berubah menjadi sesuatu yang menakutkan ketika huku-hukumnya diambil alih oleh negara. Islam yang merupakan aset paling berharga milik masyarakat diserahkan kepada negara untuk diselenggarakan. Jadinya Islam dalam pelaksanaannya harus tunduk pada prosedur, sistem, mekanisme, undang-undang, proses penganggaran dan manajemen administrasi negara. Sudah banyak kritik-kritik yang disampaikan melalui jurnal, opini, buku dan buletin tentang keganjilan-keganjilan formalisasi syariat Islam. Tetapi semuanya berlalu begitu saja. Zulfikar RH Pohan



i



Bahkan banyak cerita yang beredar, ulama dan teungku-teungku ketika diajak untuk turut memberikan masukan mengenai pengesahan qanun-qanun hanya diperlakukan seperti “anak bawang”. Qanun-qanun disahkan tanpa persetujuan mereka. Para teungku “jipeulale” di dalam forum ketika qanun-qanun itu disahkan. Itulah fenomenanya. Qanun-qanun itu sejatinya sangat minim menampung aspirasi para ulama dan teungku. Padahal mereka adalah representasi ideal masyarakat Aceh. Tetapi para pak teungku di IAIN, Kemenang dan dinas-dinas keistimewaan agama dan bapak-bapak birokrat bersama adun-adun di DPR mengesahkan qanun-qanun sesuai dengan kepentingan dan bargaining politik. Islam didiskriminasi, direduksi dalam qanunqanun sesuai kehendak perut mereka.ˇ Ketika-komentar-komentar, kritik-kritik dibiarkan seperti angin lalu, maka yang tersisa hanyalah satir. Sebenarnya satir sudah merupakan tradisi yang telah lama hidup dalam tradisi masyarakat Aceh. Satir-satir kerap disampaikan melalui pantun dan syair. Tetapi di zaman modern, tradisi satir sudah berkurang. Gam Cantoi dalam Harian Serambi Indonesia mungkin dapat dikatakan sebagai satir terakhir yang efektif di Aceh.ˇ Sebenarnya masih ada beberapa sistem satir dalam karikatur beberapa harian dan tabloid di Aceh. Masih ada juga Seuneueut dan Poh Sampeng. Tetapi satir-satir itu masih belum terlalu efektif. Mungkin karena ruangnya terlalu sempit hingga membuat pembaca kurang perhatian. Kurang mengena. Tetapi satu hal yang pasti. Satir adalah sebuah gaya kritik yang paling mengena tetapi tidak membuat sasaran kritik merasa ditantang secara frontal. Satir dapan membuat sasaran kritik melakukan tindakan evaluatif dan insaf diri secara bawah sadar. Satir itu efektif dan minim resiko. Mungkin atas pertimbangan inilah Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira ditulis. Buku ii



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



ini adalah sebuah rekaman perjalanan seorang tokoh yang diberi nama Nasrudin Hoja. Tentu sana nama ini adalah milik seorang tokoh asal Turki, Nasruddin Hoja, yang hidup pada masa Dinasti Seljuk yang hidup dekat Kota Konya pada abad ketiga belas masehi.ˇ Tetapi Nasrudin Hoja yang diangkat dalam buku ini tentu saja hanya namanya saja. Karena, seaneh apapun Nasruddin Hoja, dia tidak pernah ke Aceh dan merespon problem-problem di Aceh, apalagi problem-problem Aceh masa kini. Tetapi hanya orang seperti Nasrudin Hoja saja yang sebenarnya mampu merespon masalah-masalah paradoks yang terjadi di Aceh masa kini. Contonya lihat saja tentang formalisasi syariat Islam, sebuah tema yang suka di respon Nasrudin Hoja dalam buku ini.ˇ Kita tahu yang memperjuangkan dan menghasilkan formalisasi syariat Islam di Aceh adalah kelompok modernis yakni mereka yang berasal dari lembaga keagamaan dan lembaga pendidikan Islam moderat. Tetapi yang merasa bahagia atas formalisasi syariat Islam adalah kelompok tradisional. Mereka menjadi narsis dan meluapkan euforia formalisasi syariat Islam dengan mendiskriminasi kelompok modern yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam. Paradoks inilah yang terjadi di Aceh. Ini aneh. Seaneh sikap-sikap Nasrudin Hoja.ˇ Sebab itulah, perkara-perkara aneh tak mempan direspon dengan keseriusan, disikapi dengan bekal referensi buku satu gudang. Keanehan baru menemukan lawan sepadan adalah dengan keanehan lainnya. Makanya hanya Nasrudin Hoja yang cocok diperhadapkan dengan keanehan-keanehan yang terjadi di Aceh.ˇ Nasrudin Hoja melihat, awalnya agama menjadi senjata ampuh bagi masyarakat Aceh untuk mengusir penjajah. Tetapi kini, anehnya agama telah menjadi bumerang bagi masyarakat Zulfikar RH Pohan



iii



Aceh. Agama telah menjadi senjata ampun untuk melemahkan nalar, melumpuhkan semangat dan mengelabui pendangan orang Aceh. Lihat saja hampir semua lembaga telah diberikan label yang identik dengan agama. Itu membuat orang Aceh langsung percaya bahwa isinya baik. Antusiasme meningkat. Semangat membara. Tetapi ternyata isinya pancuri hampir semua. Melalui dialognya dengan seorang pemuda bernama Yusuf Mansur, Nasrudin Hoja sadar masyarakat Aceh telah dikelabui. Dia ingin membuat orang Aceh sadar pada isi, tidak dijebak dengan kulit. Dia ingin mengajak, tetapi takut nantinya malah ikut-ikutan. Sebab itulah dia lebih memilih teman yang ganjil. Seperti Sugiyan misalnya. Temannya itu adalah orang yang sangat relijius. Tetapi tidak tertarik dengan perkar-perkara berbentuk ritualistik. Bagi Sugiyan, tidak ada yang menarik dengan masjid. Pengajian dihidupkan dengan rekaman kaset, imam sendiri menjadikan bacaan ayat dalam shalat sebagai sarana praktik hafalan. Makmumnya adalah korban yang pasrah. Nasrudin Hoja memilih orang yang merdeka sebagai temannya. Dia tidak ingin terpenjara oleh orang-orang yang terpencara oleh aturan, sistem dan doktrin.ˇ Nasrudin Hoja tidak mendebat doktrin-doktrin keagamaan melalui berbagai dalil Alquran dan Hadits serta melibatkan berbagai fatwa ulama mutaqaddimin dan ulama mutaakhirin. Dia hanya menggunakan satirnya dan terbukti itu sangat efektif. Misalkan saja ketika Nasrudin Hoja memelihara anjing, orang kampunya menentangnya dengan dalil-dalil terpercaya. Tetapi Harsudin Hoja hanya mengatakan bahwa dia tidak memelihara anjing tetapi anjing itulah yang memelihara dirinya. Dia sudah tua. Malaikat takut anjing. Jadi kalau malaikat datang untuk mencabut nyawanya, akan urung karena ada anjing. Sejatinya kandungan-kandungan agama seperti ajakan iv



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



bertakwa, keutamaan sabar, pentingnya kerja keras dan menghindari riya, iri, benci, dendam dan takabur itu membosankan. Agama memang perlu diberi bumbu penyedap seperti mitos, fiksi dan disampaikan secara bombastis. Isi menjadi tidak penting. Cover atau cara penyampaianlah yang utama. Sebab itulah kadal raksasa yang akan datang menyerang orang Aceh lebih menarik daripada ajakan bertakwa dan bersabar. Penceramah tidak perlu terlalu banyak ilmu. Yang mereka butuhkan adalah cara membuat pendengar takjub. Dan tentunya harus pandai melemparkan humor. Terkesan, agama lebih layak untuk ditertawakan daripada diinsafi.ˇ Agama dirawat dengan kebohongan, mulai dari mitos hingga pragmatisme politikus. Mungkin itulah yang membuat agama terus bertahan. Sebab itulah ceramah tentang ketakwaan, kesabaran, azab neraka membuat jamaah tertidur dan cerita kadal raksasa dan aksi bela kelompok politik tertentu mampu membuat mata melotot dan urat leher tegang. Orang-orang pintar yang ada, yang dibayar puluhan juta perbulan dari uang rakyat juga tidak punya kuasa untuk menyelamatkan masyarakat dari pembodohan. Bahkan salah-salah mereka sendiri yang ikut terjebak bila terlalu vokal menyuasakan kebenaran. Akibatnya, orang-orang pintar itu memilih diam, fokus pada karir dan menyelamatkan jataban seperti profesor yang harus punya publikasi penelitian kalau tidak ingin tunjangan puluhan juta perbulan dicabut. Sebenarnya tunjangan profesor itu lebih layak diberikan kepada Nasrudin Hoja. Di benar-benar terhubungan langsung dengan masyarakat. Dia menjiwai karakteristik masyarakat. Dia memahami keluhan dan permasalahan masyarakat. Dia sendiri adalah bagian dari mereka sekalipun dia punya nalar kritis. Bandingkan dengan profesor yang membicarakan tentang kemiskinan di hotel bintang lima dan membonceng penelitian mahasiswa untuk menyelamatkan gelarnya.ˇ Zulfikar RH Pohan



v



Sistem penalaran Nasrudin Hoja yang tentunya adalah karena kecerdasan penulisnya patut diacungi jempol. Top marketop, istilah sekarang. Misalnya, lagi-lagi, tentang kritiknya terhadap formalisasi syariat Islam. Ketika qanun-qanun yang dibuat sangat diskriminatif terhadap perempuan, maka Nasrudin Hoja mengkritiknya dengan mempertanyakan kenapa setiap pelanggaran syariat harus memojokkan perempuan. Misalnya pemberlakuan jam malam kepada perempuan. Alasan pemberlakukuan itu adalah perempuan harus dihindrkan dari ganasnya laki-laki yang berliran di malam hari. Nah, Nasrudin Hoja mempertanyakan, dengan analogi cerdasnya, kalau ingin menghindarkan manusia dari hewan buas, kenapa manusianya yang harus halangi, kenapa bukan hewan buas itu yang ditertibkan. Artinya, ˇkalau ingijn menyelamatkan perempuan dari kejahatan laki-laki, kenapa laki-lakinya dibiarkan jahat sementara beban penjagaan diri yang berlebihan dialamatkan kepada perempuan. Kalau marak terjadi pencurian, kenapa bukan fokus pada pencurinya yang dibersihkan? Paradigma politik diskriminatif terhadap perempuan itulah yang berlaku di Aceh. Kekuatan negara dalam formalisasi syariat Islam difokuskan pada pembiaran laki-laki dan kontrol ekstra ketat terhadap perempuan. Sistem seperti ini tampak membiarkan laki-laki bebas mengekspresikan niat jahatnya dan perempuan harus menjaga diri dari ekspresi buruk laki-laki yang difasilitasi itu.ˇ Buku ini sebenarnya ingin memberikan pencerahan kepada orang Aceh agar tidak menjadi manusia yang reaktif, hoehoe yang meuroen-roen dan suka merespon sesuatu secara konyol. Perjalanan Nasrudin Hoja adalah perjalanan seorang yang bijak dan menanggapi sesuatu secara satir dengan tujuan membuat orang-orang sadar untuk mengkritisi dirinya sendiri. Meskipun penulisnya mengakui cerita ini terinspirasi dari Zarathustranya vi



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nietzsche, tapi saya melihat Nasrudin Hoja ini mirip Markesotnya Emha Ainun Najib dan Sukab-nya Seno Gumira Ajidrma. Nasrudin Hoja, Markesot dan Sukab adalah karakter-karakter unik, sederhana dan mengesankan sehingga mudah diterima di hati setiap lapisan masyarakat. Dengan begitu, maka dapat memberikan inspirasi kepada masyarakat agar berintrospeksi diri. Apalagi di Aceh. Kita tahu orang Aceh itu banyak gaya, jay peutimang, sehingga cara menegur mereka yang paling mengena adalah melalui karakter-karakter konyol dan unik. Bukankah Bang Joni, Apa Lahu dan Apa Lambak sangat digemari. Tapi sayangnya dari mereka sedikit pelajaran yang dapat diambil. Tapi orang Aceh suka tokoh-tokoh unik demikian. Dan Nasrudin Hoja juga hampir demikian. Kelebihannya adalah punya banyak hal untuk dijadikan pelajaran. Setidaknya, hanya Nasrudin Hoja yang berpeluang membuat masyarakat Aceh introspektif. Apresisi besar patut diberikan kepada penulis, Zulfikar RH Pohan, karena di saat orang lain sibuk menulis untuk kepentingan yang lebih berorientasi subjektif, baik itu material maupun narsisme, seperti menulis artikel di jurnal bergengsi supaya dianggap hebat, sibuk menulis esai untuk disayembarakan supaya dianggap pintar dan sibuk menulis artikel opini media cetak supaya dapat uang saku, dia malah dengan serius berusaha supaya orang Aceh dapat tertawa.



Ciputat, Peusangan, Medan, November 2018



Zulfikar RH Pohan



vii



viii



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i Si Tua Sinting Mana lagi Nasrudin Hoja Itu? 1



BAGIAN SATU - Mulanya Tragedi, Kemudian Komedi Also Sprach Nasrudin Hoja! 11 Dona-Dona Allah Hai Do Da Idi



16



Ideologi Biasa, Orang Biasa, Biasalah Aceh Jagger si Anjing Busuk



27



Tafsir Seduh Kitab Kopi



31



Menginjak Jenazah



21



38



Nasrudin Hoja, dan Invasi Kadal Raksasa ke Aceh 45 Status : Penguasa, Hobi : Dzikir Akbar



51



Ah, Profesor 56



Zulfikar RH Pohan



ix



BAGIAN DUA - Molotov Cocktail! Menjadi Filsuf Bedebah Terkutuk



63



Kerasukan Jin Marie Antoniette



68



Menghajar Bangkai Tikus



71



Nasrudin Hoja Itu Binatang 75 Main Sockrates-sokrates-an 83 Nasrudin Hoja, dan Lemparan Batu Pilkada 86 Pemerkosaan, Pesta seks dan Tempe Goreng 90 Di Surga, Warung Nasi Padang Tak Buka



96



Doa Jitu Untuk Anak Muda Pengangguran 99 Persatuan Uang Seratus Ribu 102 Nasrudin Hoja dan Iblis yang Bosan 108 Sabda Anak-anak



112



Aceh Membully Nek Chik Karl Marx 116 Mahasiswa Sukuisme, Daerahisasi, dan Kabupatenistik Ibu, Izinkan Siti ‘Hijrah’



125



Memahami Islam dan Hidayah Perspektif Orang Aceh Walk Out Saat Khatib Sedang Khotbah



138



Walaupun Sering Kemesjid, Belum Tentu Nasrudin Hoja Itu…



141



x



120



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



133



BAGIAN TIGA - Buruh Miskin Baik Sesuai Undang-Undang Kerasukan Jin Marxis di Podium Syekh Abdurauf as-Singkili 149 Si Buta Huruf Baca Puisi



154



Nick The Wild Man 157 Dullah Sumbing dan Pertanyaan Kolotnya 160 Nasrudin Hoja dan Pesta Para Perusuh Anarkisme-Cerminisasi a la Nasrudin Hoja



166



Imagine There’s No heaven



170



Tuhan Harus Tanggung Jawab



164



175



Kesimpulan 181



Zulfikar RH Pohan



xi



Si Tua Sinting Mana lagi Nasrudin Hoja Itu?



Nasrudin Hoja pernah mengembara ke Uni Soviet, komunis? Bukan, jauh sebelum itu tentu saja. Mungkin se jaman dengan Dosteyewski si sastrawan termasyhur Soviet itu, atau dalam satu cerita burung, anjing, dan kucing, Nasrudin Hoja satu penjara dengan Krepotkin. Iya, Prince Pyoir Alexeyevich Kropotkin ‘si Kristus Rusia berkulit putih’ sebagaimana kata Oscar Wilde, ‘man with a soul of that beautiful white Christ which seems coming out of Russia’. Konon, dari kedekatan Nasrudin Hoja dengan Kropotkin inilah yang membekali Nasrudin Hoja menjadi sedikit menyerempet ideologi Anarkis. Sampai kini di Rusia, orang-orang mengenal Mulla Nasrudin Hoja, bahkan di Turki setiap tahun orang merayakan ‘Festival Nasrudin’, di Arab sendiri Nasrudin Hoja dikenal sebagai mistikus eksentrik, sampai ke Sisilia di Italia, Nasrudin Hoja masyhur. Memang Nasrudin Hoja tak pernah menyangka ia akan semasyhur itu, karena memang,ya… itu tadi, Tuhan suka lelucon. Maka sangat disayangkan hidup seseorang itu jika tak pernah mengenal The Wise Fool, Mullah Nasrudin Hoja. Mungkin dalam sebagian tulisan sejarah, rezim Tzar Nicolas II di Uni Soviet adalah bencana bagi kemanusiaan, namun bisa jadi itu adalah cara Tuhan mengirimkan lelucon, setidaknya bisa kita tertawakan saat ini sebagai kebinatangan yang buas, dan di sana pula Nasrudin Hoja pernah ‘bergerilya’ dengan jalan horor dan rasa humor. Di Turki, ah ya! tentu saja banyak dilema di sana, pembantaian dan perebutan kekuasaan dari peperangan dunia pertama saat Nasrudin Hoja dan kaumnya malah sempat Zulfikar RH Pohan



1



dijuluki The Sick Man From Europe. Nasrudin Hoja sial, tapi tetap orang bisa tertawa pedangnya solah menebas kejanggalan dan keseriusan dengan menertawakan dan sikap masa bodoh kepada musuh-musuhnya. Nasrudin Hoja mesti diberikan anugrah sebagai jagoan penjaga Hak Asasi Manusia. Nasrudin Hoja menyambangi Aceh, Anggap saja ia sedang ingin berziarah atau berwisata. Yang pastinya, bukan bisnis dan mencari pendidikan. Sebab, semua orang di dunia tahu bahwa pendidikan dan bisnis di Aceh sangat sulit. Jadilah Nasrudin Hoja kocar-kacir di Aceh. Satu hal yang pasti adalah, Nasrudin Hoja tak perlu mengikuti peran siapapun, ia mesti menjadi dirinya sendiri, Mulla Nasrudin Hoja. Sial! Tuhan mengirimkan Nasrudin Hoja ke Aceh, sebuah negeri yang jauh dari tempat kelahirannya, Turki. Bukan tanpa tujuan, Nasrudin Hoja menjadi pelarian suci. Namun, yang mesti diingat adalah Nasrudin Hoja bukanlah orang suci yang bisa mengubah air menjadi sekumpulan uang, atau bisa menerbangkan permadani persis dongeng anak-anak. Salah satu dugaan penulis tentang hal ini adalah karena memang tampaknya Tuhan suka sekali bercanda, dan Nasrudin Hoja ada di Aceh untuk alasan itu. Sebab, orang Aceh selama ini terlalu serius di mana-mana, tidak ada kelucuan, semuanya serba muram. Bukan hanya rumah ibadah yang dibakar, boneka Hello Kitty juga dibakar. Banci yang sedang bercanda soal bokong diperangi. Dosen dari Universitas Islam yang sedang mengajar di Gereja dicibir. Bukan hanya penjahat dan provokator yang dibunuh, bahkan cendikiawan pun dibunuh di depan pintu rumahnya. Bukan hanya Majalah esek-esek yang dilarang, Kitabkitab tasawuf juga dilarang. Hmm, betapa mengerikannya sebuah tempat tanpa selera humor yang baik. Kembali ke Sovyet, atau kini Rusia. Zhanna Dolgopolova menuliskan sebuah buku parodi provokatif, yaitu ‘Mati Ketawa Cara Rusia’. Apa sebab? Rusia pada 1986 yang digambarkan oleh Zhanna dalam bukunya tersebut mencari obat penawar peradaban. 2



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Dan, obat itu bernama humor, ia menjadi obat penawar (best medicine) orang Rusia untuk menertawakan kepedihannya sendiri. Sebuah kritik bagi pemerintahan yang diktator, Satir mengenai berbagai permasalahan sosial seperti kekerasan, militerisme, rasisme dan lain-lain. Satu hal tujuan Zhanna Dolgopolova adalah untuk menertawakan satu sama lain. Aceh tentu bukan Rusia, Aceh adalah kondisi yang berbeda dengan Rusia, banyak jalan telah ditempuh untuk menarik orang Aceh dari keseriusan paling membosankan. Jalan-jalan seperti dzikir akbar, ceramah-ceramah rutin, dan sosialisasi kedamaian, semua terlihat belum membuahkan hasil. Karena sampai kini orang Aceh masih memungkiri bahwa Tuhan memang Maha Segalanya, termasuk Maha Bercanda. Jalan yang bisa dicoba adalah membuat orang Aceh menertawakan kepedihannya sendiri, menertawakan satu sama lain. Ini tugas yang sama sekali tidaklah mudah. Nasrudin Hoja pergi sendirian. Of course, ia tak ingin berpenampilan seperti ahli makrifat atau berpenampilan eksentrik. Salah-salah Nasrudin Hoja bakal dituduh macam-macam dan parahnya lagi bakal diadili karena dianggap membawa aliran sesat, Tidak, tidak! Nasrudin Hoja berdandan seperti Jendral Sudirman, memakai semacam jas panjang yang kebesaran, sarung setinggi mata kaki, bedanya Nasrudin Hoja tidak memakai blangkon, Nasrudin Hoja lebih memilih memakai Kopiah, karena ia tahu ini Aceh, bukan Jawa. Hei, jika dilihat dari kajauhan bukannya mirip Jendral Sudirman, Nasrudin Hoja malah mirip Daud Beureuh. Jenggot dan jambang Nasrudin Hoja lebat dan penuh wibawa, seperti Wolverine. Tatapannya walaupun jenaka penuh juga rasa curiga dan keberanian, persis tatapan Teuku Umar. Dengan satu tas ransel dan sepatu vansus, Nasrudin Hoja mengembara. Tanpa keledainya. Bagaimanapun pancaran aneh di wajahnya selalu kelihatan garang. Dia adalah seorang sufi, hmm. Sebagian menganggap ia adalah seorang sufi, sufi yang eksentrik tentu saja. Namun, Nasrudin Hoja tak suka disebut sufi. Baginya Zulfikar RH Pohan



3



penyebutan macam demikian adalah terlalu berlebihan. Dan konyol. Dan, ini Aceh mudah sekali meproyekkan nama ‘sufi’. Andaikan saja Nasrudin Hoja mempunyai rambut yang masih lebat, tentu ia tak akan memakai kopiah (waktu masih muda, rambut Nasrudin Hoja persis gaya rambut Kak Seto). Nah, karena kepalanya plontos setengah, alias botak lebar pada jidatnya, ia selalu menutup kepalanya dengan kopiah (meskipun sufi eksentrik, ia tetap fashionista sejati, lho!). Maka, Nasrudin Hoja memakai kopiah kemana-mana. Dari sinilah kemudian ia di Aceh dipanggil Tengku dan yang lebih parahnya di panggil Abu. Wah! Mengenai Nasrudin Hoja, sejarahnya dan mengapa ia sampai ke Aceh, penulis pun senang bertanya-tanya “ada apa ini?” dan ternyata penulis sadar bahwa keberadannya bukan untuk dipertanyakan, akan tetapi untuk disadari bahwa Sejarah memang pada satu titik puncaknya melahirkan kebingungan, kekecewaan dan lelucon satire yang ditertawakan sambil mengelap air mata dan ingus secara bersamaan. “Cara-cara mengubah dunia menjadi lebih baik malah mengubah dunia menjadi lebih buruk, atau setidaknya dengan cara yang buruk. Revolusi tak pernah seutuhnya berumur panjang, seringkali revolusi memakan anak kandungnya sendiri, ataupun selalu dikhianati oleh pendukungnya sendiri.” kata Nasrudin Hoja. Nasrudin Hoja mencoba mencongkel lelucon dari revolusi-revolusi dan perlawanan yang gagal dan lebur, di Aceh. Nasrudin Hoja tidak seperti kawannya, Abu Nawas yang selalu bersama-sama dengan leluconnya buat Khalifah Harun al-Rasyid. Nasrudin Hoja lebih sering bersinggungan dengan orang-orang biasa, bukan dari orang-orang istana. Hal ini yang menarik dari dirinya, orang-orang biasa tanpa rutinitas formal menyediakan cerita yang beragam dan lelucon yang gila-gilaan pula. Bagaikan Sisiphus yang diangkat oleh Albert Camus, menegaskan bahwa meski hidup penuh dengan beban dan tak 4



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



pernah bisa membebaskan kita semua dari belenggu-belenggu kegilaan zaman, tapi tetap manusia masih bisa berbahagia dan juga tertawa dengan ironi-ironi yang disaring menjadi komedi. Nasrudin Hoja memang orang yang linglung, ia lebih menyukai pencarian kebenaran, cenderung memecundangi asalusul kebenaran yang menurutnya memang selalu bias. Nasrudin Hoja mencari kebenaran yang tak putus-putusnya, meski dengan resiko : salah. Jika pun ‘kebenaran murni’ itu ada, Nasrudin Hoja akan lebih senang jika diletakkan di sudut koridor kehidupan. “Kebenaran tak untuk disodorkan, kebenaran untuk dicari atau jika tak ketemu juga, maka perlu menciptakan kebenaran baru.” Begitu katanya ketika penulis mencoba mewawancarainya. Tertawa jarang diperhitungkan dalam diskursus ilmu bagi keseharian manusia, tertawa jarang dianggap sebagai lambang kebijaksanaan. Singkatnya, tertawa selalu luput dari diskursus ilmu sosial, budaya, dan politik. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah tertawa memang sesuatu yang berada di luar kesadaran dan rasionalitas? Apakah tertawa memang bermaqam di samping ejekan-ejekan yang sama sekali tak diperhitungkan sehingga orang dapat meupepep suka-suka tanpa ujung hanya sebagai bualan saja? Seperti igauan si tukang tidur yang pengangguran pengoceh? Penulis megajak untuk memahami tertawa sebagai agreasi dan reaksi sebagaimana Thomas Hobbes yang melihat manusia dengan wajah muram, namun Hobbes berpendapat bahwa sesungguhnya humor adalah sebuah fungsi sosial sebagai koreksi dan kritik pada kemanusiaan yang mengubur suprerioritas akan kecacatan sosial. Humor dapat berubah menjadi semacam retorika picik jika disandingkan dengan data-data analisis serta paduanpaduan ilmiah yang tak pernah netral. Humor sebagai fungsi sosial terdapat kritik dan koreksi sosial yang memandang histeria masa dengan lugu meski dengan sedikiti tatapan cibir campur sinis. Nasrudin Hoja sebenarnya jika diperhatikan lagi, sedang Zulfikar RH Pohan



5



berjihad menerangi manusia-manusia yang sedang serius dan kaku, bahkan Negara dan ‘ulama-ulama’ proyek negara tak bisa menghalaunya. Berdakwah tentang mereka yang mesti bisa tertawa di antara kegilaan, sungguh Jihad yang mulia. Sebab, apakah yang lebih buruk ketimbang peradaban yang kaku dan tak peka humor? Dan tentu saja humor menyimpan kelucuan yang berbagai jenis, meskipun humor gelap, sarkas, dan lugu yang tentu saja bisa meninju ketidakadilan. Sebagaimana Peter L. Berger pengkritik pembangunanisme, menyebutkan dengan tegas dan sedikit provokatif “Humor sebagai senjata”. Sebab, menghadapi kebebalan Aceh tak mempan hal ilmiah apalagi metode marahmarah, perlu humor untuk itu. Nah!



6



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Bismillah keuphon lon suson karang Seubot Nan Tuhan Nabi kheun sunat Mengsoe tem amai lam kehidupan Singoh ureung nyan meutumei rahmat



Lam sastra Aceh ujoe sikarang Keunangan silam keunoe lon catat Potret Aceh nyoe teuma pakiban? Baca ee rakan lon urai nyopat



Aceh lhei sagoe hai adoe abang Dilei saboh jan terkenal hebat Nan pih meucuhu meulangbong manyang Jithei masa nyan sampoe u Baghdad



Zulfikar RH Pohan



7



8



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



BAGIAN SATU Mulanya Tragedi, Kemudian Komedi



Zulfikar RH Pohan



9



10



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Also Sprach Nasrudin Hoja! “Tuan Nasrudin Hoja?” “Ya” “Saya ingin menuliskan beberapa kegiatan Anda. Dan izinkan saya menanyakan hal kecil pada Anda sebelum Anda menghilang.” “Ya, anak muda. Silakan!” “Untuk manusia seperti Anda, pernahkah Anda merasa terlalu bahagia menjalani hidup dalam waktu yang cukup lama, hingga Anda benar-benar jenuh dengan perasaan bahagia itu? Nah, dalam keadaan demikian, apakah kemudian Anda rindu untuk merasakan perasaan kecewa, takut, sedih, dan marah?” tanya saya. Nasrudin Hoja menjawab, setelah menghembuskan asap rokoknya seraya memandangi asap-asap yang menggumpal di atas jidatnya “Nak!” katanya, “untuk waktu yang sangat lama. aku justru merasakan kekosongan. Kebanyakan aku tak merasakan apa-apa.” “Oh, Baiklah. Hanya itu yang ingin saya tanyakan. Terimakasih” “Ya, sama-sama” *** Nasrudin Hoja senang memainkan Seruling bernada minor yang dibuatnya dari pipa bekas dilubangi asal dengan paku, dan sampai ia pada satu tempat ditengah kota, di ibukota provinsi Aceh. Memainkan nada ‘follow the moskwa down to Zulfikar RH Pohan



11



gorky park, listening to the wind of change’. Sambil memainkan seruling pipanya, Nasrudin Hoja berkali-kali jengkel, sebab ada orang kemaruk yang asik bolak-balik naik pesawat tempur di atas langit-langit Aceh, yang otomatis menimbulkan suara menderu yang membuat kepala pusing. “Mengganggu nada serulingku saja” batinnya dalam hati. Di perjalanannya yang tanpa tujuan, Nasrudin Hoja melihat satu markas yang asing dan aneh. Semacam penjara dengan banyak patung-patung, mengingatkannya pada patung Abukadnazer di Persia. Hmm, setelah dilihat-lihat itu mirip gajah, ya patung gajah. Ternyata baru sadar ia, bahwa itu adalah sebuah markas tentara dan ia selalu usil tanpa sengaja untuk mengetahui apa makna gajah yang ada di depan markas tentara. Mengapa harus gajah? Selain Abukadnezer, Nasrudin Hoja menyambungkannya dengan pasukan Gajah Abarahah yang digempur oleh burung ababil di atas langit, persis awan hitam yang menyapu pasukan gajah. Tapi di Aceh, Gajah adalah sebuah lambang kemegahan, lambang bahwa memang orang Aceh masih terombang-ambing euforia kerajaan seraya memuja demokrasi barat (bingung?). Lambang euforia itu adalah Gajah. Gajah di Aceh dipakai Komando daerah militer (Kodam) Iskandar Muda bernama Komando Daerah Militer I/Iskandar Muda, merupakan Komando Kewilayahan Pertahanan yang meliputi provinsi Aceh. Lambang gajah secara filosofis tidak terlepas dari eksistensi Sultan Iskandar Muda pada masa kejayaannya menjadikan gajah sebagai bala tentara yang ditakuti oleh para penjajah tempo dulu sekali. Ini menarik, bagaimana gajah merupakan khas dari pertempuran. Dan tercatat ada ribuan gajah di Aceh pada masa Sultan Iskandar muda. Meskipun kini eksistensi Gajah sangat sedikit di Aceh. Aceh yang saat itu masih bernama Aceh Darussalam adalah satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki pasukan 1.000 gajah. Gajah-gajah tersebut selain digunakan untuk armada perang juga kerap berfungsi sebagai penyambutan tamu yang akan 12



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



mengugah hati siapa saja yang melihatnya, benar-benar luar biasa, bukan? Tapi yang paling penting adalah gajah itu hewan yang mempunyai ingatan sangat kuat. Gajah ingat siapa kawan dan lawannya seumur hidup. Filosofi yang paling mengena soal Gajah sebagai lambang Kodam adalah bahwa memang tentara tak pernah lupa ‘menjaga’ kedamaian di Aceh. Siapa kawan dan lawan tentara di Aceh. ‘Gajah’ itu takkan pernah lupa terhadap apa yang ia lakukan dengan pucuk senapan yang menempel di jidat ibu-ibu renta di Aceh, ‘Gajah’ itu tak pernah lupa pula bagaimana mereka berperang bertahun-tahun menjilati darah dari setiap wilayah di Aceh. Paham? Itulah soal yang menyambungkan kita pada ‘mengapa tentara di Aceh sangat getol dan ancaman provokatif dalam ‘menjaga; kedamaian’. Dan ini bukan satire lho ya! Di markas Tentara Indonesia, Nasrudin Hoja menyaksikan, awalnya hanya numpang lewat, di pos markas tentara Indonesia tertulis ‘NKRI HARGA MATI’ di gerbang depannya, dan terlihat sosok tentara tegap memegang sejata panjang yang seolah siap di dor kepada siapa yang mau coba-coba mengganggu NKRI. Semacam bahasa lain dari ‘kematianmu adalah harga dari NKRI’ ‘NKRI berdiri atas harga dari kematianmu!’. Apakah ini ancaman yang bisa saja bermaksud ‘heh, tolol! Jangan coba-coba ganggu NKRI kalau tidak mau kepalamu kami dor’? Pikir Nasrudin Hoja, tapi ternyata Nasrudin Hoja toh tak peduli atau lebih mirip purapura tak peduli. Karena kalau dipikir-pikir lagi, Tanah Air masa kini senang mengancam dan tak segan membunuh. Jika abad ke-19 tentara membunuh untuk kedamaian, kini setelah damai tentara membuat ancaman untuk tak segan membunuh demi janji menjaga kedamaian. ‘Apakah iya tanah air bisa sesinis itu?’ tanya Nasrudin Hoja pada dirinya sendiri. Tentu saja, tidak ada yang menjawabnya. Setelah berjalan beberapa kilo selanjutnya, di temukannya sebuah pamplet hijau yang garang. “ACEH AMAN, IBADAH Zulfikar RH Pohan



13



NYAMAN”. Nasrudin Hoja ingin acuh, tapi kok susah, ya? Dalam pesan yang ia baca, seolah tertulis ‘kalo kamu mau nyaman beribadah, kamu mesti mudah diamankan dan wajib menjadi aman, kalau tidak… Awas!’ Wah, wah, wah, Nasrudin Hoja yang terlalu parno atau malah terlalu kegatelan menafsirkan, ya? Kalimat demi kalimat yang ia baca mengancam perasannya, batinnya yang paling halus terseok-seok. Nasrudin Hoja merasa diawasi oleh mata-mata jahil, mata yang menuntutnya untuk tetap takut dan terus memelihara keamanan. Bahkan, Nasrudin Hoja, kalau di Aceh merasa diawasi dalam beribadah. “Bukannya, keamanan yang diidamkan orang-orang ini, dan kenapa mereka masih diancam dengan kata-kata k-e-a-m-a-n-a-n?”. Keamanan di negeri yang selalu mengkampanyekan keamanan, bukan sebuah negeri yang aman. Bahkan sekalipun tidak ada perang. Bahkan sekalipun tidak ada perang! Nasrudin Hoja akhirnya menyerah dan mencoba mencari tempat berlindung dari ‘ancaman’ yang ada di mana-mana. Nasrudin Hoja pusing. Sampailah Nasrudin Hoja pada satu mesjid di salah satu komplek perumahan orang kaya. Sepi. ‘hmm, komplek perumahan orang kaya memang selalu sepi, sesepi hatiku ini’ batinnya sedih tanpa sebab. Di mesjid tak kalah sepi, di pintu mesjid Nasrudin Hoja kaget. Ada pengumuman lagi. ‘SANDAL HARAP DIJAGA!’ begitu tulisannya, dengan huruf kapital dan berwarna merah mencolok yang pastinya ditulis orang yang tak pernah memahami seni lukis. “Apa-apaan!” pekik Nasrudin Hoja “Di Mesjid pun aku merasa ‘terancam’!” pekiknya tak sadar. Lalu, setelah mengucapkan itu, Nasrudin Hoja istighfar karena sudah teriak-teriak di mesjid. Itu tak sopan, pikirnya. Nasrudin Hoja masuk ketempat berwudhu dan ia semakin 14



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



was-was, jangan-jangan ada pengumuman aneh lagi di sini. Sambil menggulung lengan bajunya, Nasrudin Hoja celingak-celinguk melihat kanan-kiri. Siapa tahu ada ‘ancaman’ lain. Entah kenapa ia merasa tak nyaman dan selalu dag-dig-dug, bahkan di mesjid. Bahkan di mesjid! Selesai berwudhu, Nasrudin Hoja berniat shalat untuk menenangkan hatinya yang telah diancam di mana-mana. Nasrudin Hoja sudah mulai merasa enakkan. Wudhu membuatnya segar kembali, pori-pori kulitnya tersenyum riang gembira, seperti perasaan Nasrudin Hoja yang riang gembira pula karena merasa terbebas dari ancaman yang tak manusiawi. ‘Senangnya hatiku, dan tenangnya aku di dalam mesjid tanpa ancaman’ senandung syukurnya dalam hati. Tak lama kemudian, Nasrudin Hoja terperanjat. Hampir pingsan. Dengkulnya kram. Matanya nanar. Giginya bergemelatuk. Dan betapa ia ingin berkata kasar. Ada tulisan di dinding mesjid. “MESJID BUKAN TEMPAT UNTUK TIDURAN” Nasrudin Hoja menoleh ketempat lain ‘DILARANG TIDUR DIMESJID’. Nasrudin Hoja tak tahan, mukanya merah. Menahan amarah. “Ya, Allah. Di dalam mesjid, bukan hanya sendalku saja yang terancam hilang, bahkan jika aku tiduran pun merasa terancam!” gerutunya. “kini mesjid pun bisa tak aman dan bisabisa aku sendiri dicuri dan hilang selagi tiduran”. Nasrudin Hoja kabur dari mesjid area perumaham orang kaya, “Tidak!” batinnya. Sudah cukup! Saat hendak pergi, sandal Nasrudin Hoja hilang. Hilang! Also Sprach Nasrudin Hoja, “ Bedebah Ase!”



Zulfikar RH Pohan



15



Dona-Dona Allah Hai Do Da Idi Pada suatu zaman, seorang anak kecil berkata –persis sebuah sabda- “Tuhan, Tuhan. Bangun!” sambil memanggilmanggil Tuhan dari bumi “Dona, Dona , Dona Doe..” dan melihat diri mereka seperti anak sapi yang digiring kerumah jagal. Seorang anak perempuan lain pula di Kamp konsentrasi Nazi menulis “In spite of everything, I still believe that people are really good at heart” ia adalah Anne Frank menulis di buku diarynya menggambarkan tentara NAZI yang menurut kepercayaannya pun mestinya punya hati yang baik, meskipun diselimuti kebinatangan dan suntikan rasialisme. Riwayat penjagalan manusia tak jauh-jauh dari riwayat pencarian nurani. Kemanusiaan sedang diuji, dan memang kita bukan malaikat. Penumpahan darah adalah bentuk dari ketersingkapan kebenaran bahwa memang manusia sangat senang menumpahkan darah. Origin of truth is chaos! Setiap penjagalan manusia, selalu mempunyai superstar. Superstar dari Holocaust adalah Hitler. Fasisme berdiri tegak dalam panggung sejarah. Aceh sendiri memiliki banyak superstar dalam bidang penjagalan, dan Aceh sekaligus adalah ladang jagal yang sering dikenal melalui pesona para superstar jagal yang masih berseliweran. Berbeda dari anak-anak Yahudi di Jerman, anak-anak Aceh dan para ibu di Aceh masih mendendangkan lagu pelipur lara, pengantar tidur, sekaligus pelecut keyakinan kepada keberan Tuhan yang Maha Kasih, Allah hai do, do da idi. Penulis membayangkan di zaman yang entah nanti, lagu Dona Dona, Doe dan lagu Doo Da idi disatukan dalam satu cerita 16



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



pahit dan sendu. Sebab kedua lagu tersebut mempunyai kaitan emosional dari perasaan sebagai manusia. Lagu seringkali menjadi salah satu saksi sahih dalam menceritakan sisi emosional sebuah kisah. Dona Dona Doe kini dengan suara mendayu dinyanyikan oleh Joan Baez setelah meyakinkan anak muda pada masa depan gemilang melalui lagu We Shall Overcome. Dan lagu Do Da Idi didendangkan dengan penuh emosi oleh Cut Aja Riska, lagu yang diperdengarkan pada masa pahitnya konflik, dan kembali diputar saat ombak besar menggulung jutaan orang Aceh. Kedua lagu yang emosional tersebut, menjadi fenomenal dalam satu kasus dimana manusia menangis, dengan sedikit usaha lalu memanggil Tuhan seraya bermimpi untuk terbang. Namun, Joan Baez bisa menua, Cut Aja Riska bisa tua juga, lagu Dona Dona dan Do Da Idi semakin jarang diperdengarkan kecuali oleh orang iseng. Hal yang paling bertahan dari berbagai tragedi adalah superstar yang tak pernah tua dan tak pernah luput dari pikiran. Mereka para penjagal kini mewariskan warisan luhur para penjagal, fasisme yang diteriakan di Jerman oleh Hitler, fasisme yang diteriakan di podium-podium Jakarta, dan Aceh kini beranak rasisme. Pasca tsunami, Aceh menjadi bagian paling kental dengan ento-nasionlis yang pada turunannya melahirkan pikiran-pikiran rasis. Makanan yang terus dikonsumsi oleh orang Aceh selain Timphan, adalah makanan yang orang tau jika kebanyakan makan makanan itu, akan menimbulkan penyakit, nama makanan itu adalah : etnonasionalisme, sebuah peralihan ideologi dari Aceh Post-Tsunami. Aceh Post-Tsunami memang zaman yang lucu. Superstar yang masih bertahan hidup menjaadi tuan-tuan yang mulia. Nah, dari zaman Post-Tsunami di Aceh saat ini adalah gaya yang tak lagi sama. Semacam hari dimana dalam setiap kekalahan orang bisa melihat dua sisi, sisi dimana orang-orang bisa merengut, dan sisi dimana orang bisa tertawa. Aceh Post-Tsunami adalah Aceh yang arogan, Aceh Post-Tsunami adalah Aceh yang menggelikan dan tak hentiZulfikar RH Pohan



17



hentinya membuat gemas, Aceh Post-Tsunami adalah pembutaan, pembulatan dan penyeragaman. Hari pertama di Banda Aceh, Ibukota daerah Aceh. Nasrudin Hoja duduk di pinggir jalan, halte yang berada tak jauh dari simpang. Rokok daun nipah yang diapitnya dengan kedua jarinya, menghembuskannya dengan nikmat, tarik-hembus, tarikhembus. Pemandangan di hadapannya, seperti biasa. Jalanan yang padat, toko-toko asing yang masuk setelah bencana Tsunami, supermarket lokal yang tergusur, selokan-selokan busuk. Di tengah kesumpekan itu, Nasrudin Hoja memilih untuk duduk di sebuah lapangan yang ramai. Namun, ada yang tidak biasa. Seorang anak remaja yang diam dan lebih memilih duduk sendiri dari kelompok-kelompoknya. “Mengapa kau tak bersama mereka?” “Aku takut” “Kenapa?” Remaja itu menggeleng, enggan menceritakannya. Lalu, Nasrudin Hoja melakukan basa-basi dan benar saja, remaja itu jadi terpancing dan mengatakan alasannya. Remaja itu menjelaskan betapa ia takut diguna-guna, dan takut makan dan minum karena takut diracun atau sejenisnya. “Yang menakutkan bukanlah mereka, tapi pikiranmu terhadap mereka, Nak” kata Nasrudin Hoja persis rahib yang sedang mencoba mengajarkan jalan Tuhan. Tak lama setelah duduk berbincang-bincang, seorang lakilaki berkulit coklat cenderung gelap menabrak seorang laki-laki berkulit putih mengenakan sepeda motor buatan Cina. Otomatis lelaki berkulit putih itu terjungkal. Jalanan ramai, lalu entah 18



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



kebetulan atau apa, seorang Polisi Lalu Lintas sedang lewat. “Dia menabrakku dari belakang, di jalur kiri dan jelas-jelas sedang lampu merah!” kata lelaki berkulit putih dengan garang. Pak Polisi mengangguk. Lalu lelaki berkulit coklat gelap datang. “Dengar pak polisi” kata lelaki berkulit coklat gelap dengan yakin “kau percaya padaku atau orang Cina itu?” Polisi pun jadi bingung. Syahdan, perdebatan itu hanya sampai di sana saja, tidak ada tuntutan, tidak ada hukuman. Semuanya berakhir damai, ehem! secara ‘kekeluargaan’. Si lelaki berkulit putih kini tak lagi pucat, tapi berubah menjadi merah jambu. Saat orang lain semuanya pergi, dan masalah dianggap telah selesai. Nasrudin Hoja duduk berdua dengan lelaki berkulit putih. “Kau tidak apa-apa, Tuan?” tanya Nasrudin Hoja perhatian. Lelaki itu mengangguk, lalu berkata lirih “Terkadang saya senang dipanggil Cina,” kata seorang laki-laki berkulit putih dan sipit “itu justru menunjukkan kebodohan mereka. Sebab, aku lahir di negeri ini, nenek buyutku lahir di negeri ini.” Setelah lelaki itu mengucapkan demikian, Nasrudin Hoja malah tertawa. lelaki itu pun ikut tertawa. Menertawakan siapa? Entahlah, barangkali menertawakan kebodahan masing-masing. *** Lalu setelah kejadian itu, Nasrudin Hoja menghadapi persolan yang serupa, tentang hal-hal yang rumit. Seperti seorang lelaki yang saling berkelakar kepada teman-temannya di warung Zulfikar RH Pohan



19



kopi. “Tadi malam aku kehutan” kata salah seorang lelaki membuka pembicaraan “aku lihat sesuatu grasak-grusuk di semaksemak, aku takut, aku kira orang.” “Terus?”tanya salah seorang temannya penasaran. “Eh, ternyata Jawa!” jawab lelaki itu. Semuanya tertawa, termasuk Nasrudin Hoja yang mendengarnya dari kejauhan, tentu saja dengan tersenyum pahit. Seperti senyum Westerling, atau senyum sang Jendral dan pengikutnya di gedung-gedung pemerintahan. Di keramaian tawa, Sayup-sayup terdegar rintihan nyanyi yang didendangkan Nasrudin Hoja sambil mengetuk-ngetuk jarinya ke meja, bernyanyi dengan suara persis mendesis “On a waggon bound for market there`s a calf with a mournful eye. High above him there`s a swallow, winging swiftly through the sky” persis anak sapi, Aceh membayangkan dirinya terbang tinggi seperti si burung walet yang lincah, seperti mencari sedikit harapan, nyanyi sayup-sayup itu kemudian bersambut dengan lembut, getaran yang melenakan, persis nina bobo. Ya, memang nina bobo tapi nina bobo yang dapat menghantarkan mimpi itu jadi lebih bergelora Allah hai dô dô da idi. Boh gadông bi boh kayèe uteun Rayek sinyak hana peu ma bri ‘Ayéb ngön keuji ureueng dônya kheun. Allah hai Po Ilahon hak Gampông jarak h’an trôh lôn woe Adak na bulèe ulon teureubang. Mangat rijang trôk u nanggroe”. Aceh memang sering bermimpi, si anak sapi yang merindukan aroma daun timphan. Sekaligus ingin terbang kembali ke nanggroe. Lalu kapan si anak sapi itu dewasa sehingga bisa menghasilkan banyak danging lalu dipotong di rumah jagal untuk dinikmati oleh orang-orang berkuasa? Dan kapankah Joan Baez dan Cut Aja Riska bernyanyi bersama, di sini, di masa yang penuh kebencian dan minimnya doa? 20 Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Ideologi Biasa, Orang Biasa, Biasalah Aceh Orang biasa harus mengokohkan ideologi yang telah ada sejak lama. Sudah cukup selama ini orang biasa yang kebanyakan diseret-seret oleh ideologi-ideologi oleh barisan pemegang kuasa atau barisan oposisi. Orang biasa adalah mereka yang ingin hidup sederhana, bekerja sebagaimana biasanya, tidak mempunyai atribut haus kuasa, tidak banyak neko, tidak pintar dan tidak bodoh. Orang biasa adalah orang-orang kebanyakan. Orang biasa terlihat lemah memang, tapi jangan spelekan orang lemah dalam jumlah yang banyak. Kalau orang biasa bisa digiring kepada opini-opini dari pihak berkuasa, maka selamanya pihak berkuasa akan langgeng dalam kekuasaannya. Namun, jika orang biasa tersebut sadar potensi, dan menyadari bahwa mereka dapat merubah keadaan lebih baik ketimbang janji-janji politik omong kosong, maka orang biasa mestinya lebih besar daripada kekuasaan negara. Kembali soal ideologi, orang biasa punya ideologi kuat dan memang jarang kita lihat. Ideologi orang biasa adalah semacam cita-cita, ikhtiar dan berserah diri. Dalam perjalanan ini, Nasrudin Hoja menjadi tokoh darimana sebenarnya penulis melihat ideologi orang biasa secara jelas. *** Nasrudin Hoja menjadi seorang nelayan. Sebenarnya ini bukanlah cita-citanya sejak kecil. Bagi Nasrudin Hoja, cita-cita adalah soal asumsi dan soal niat. Asumsi bagaimana? Niat bagaimana? Zulfikar RH Pohan



21



Asumsi yang dikatakan Nasrudin Hoja adalah bahwa jika Anda menetapkan cita-cita hanya sebagai ukuran materi, maka mendapatkan pekerjaan yang menurut Anda gajinya sesuai, Anda akan merasa cita-cita terwujud. Tapi jika mendapatkan upah yang tak sepadan, maka cita-citanya serasa tak terwujud sama sekali. Yaaa, hanya menjadi kelas pekerja dengan upah dibawah UMR bukanlah cita-cita siapapun yang berakal dan bernafsu di dunia ini. Memangnya ada yang mau terus kerja dengan upah dibawah kelayakan? Anda kira Anda siapa? Spongebob? Soal niat menurut Nasrudin Hoja, cita-cita itupun tergantung niat. Kalau cita-cita menjadi seorang Bupati, Walikota, atau Gubernur hanya untuk menikmati jabatan dan bisa punya ‘tangan’ kesana-kemari disana-sini, bisa membangun bisnis dengan mudah dan macam-macamnya adalah cita-cita yang jelek dan tak bermutu sama sekali. Tapi jika ada yang bercita-cita menjadi penjual ikan keliling kampung dengan niat ‘biar orangorang kampungku tak payah-payah beli ikan ke pasar yang jauh’ maka itu adalah cita-cita yang mulia. Lalu, apakah Nasrudin Hoja senang menjadi nelayan? Dan kenapa Nasrudin Hoja tiba-tiba menjadi nelayan? Bukankah Nasrudin Hoja sudah tua, ringkih seperti kursi bambu seok yang lapuk dimakan rayap? Eh, ternyata ada kisah dibaliknya. Kisah yang berawal dari sebuah nama : Sugiyan. *** Sebagai nelayan, Sugiyan tak muluk-muluk, Sugiyan jarang berfilsafat laiknya nelayan dan petani-petani di cerita-cerita fiksi yang mengkritik pemerintah. Sugiyan orangnya adem seperti apa yang sering dikatakannya kepada Nasrudin Hoja “Wis, Ademadem wae!” dan kata mutiara motto hidupnya “sak beja-bejane wong kang lali isih bejo wong kang eling lan waspada” ya, Sugiyan memang berasal dari suku Jawa, setelah lama menetap di Aceh dan menikah dengan orang Aceh, Sugiyan mempunyai gaya hidup 22



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



dan cara bicara yang sangat ngaceh-acehan. Apakah orang-orang mengenal Sugiyan? Tidak! Alasannya karena ia orangnya adem. Pikirannya sebenarnya amat sempit dan terbatas, tapi toh ia tetap bahagia. Menurut Nasrudin Hoja, Sugiyan ini orangnya cerdas luar biasa. Pun, bisa dikatakan sampai tingkat jenius. Sebab, Sugiyan tampak bodoh! (loh, kok?) iya… bukankah lebih baik berlagak bodoh ketimbang berlagak pandai? Sugiyan berlagak bodoh selalu. Disanalah letak kejeniusannya. Saat orang-orang mulai berdebat soal politik negeri ini dari Mahmakah Agung, KPK, KPU, BIN, FBI, CIA sampai instagram para pejabat bahkan nyentil kepersoalan skandal seks pejabat dan artis segala. Sugiyan tak ambil hak berkomentarnya— mengingat saat ini semua warga negara di negeri ini punya hak berkomentar—Sugiyan tak suka berkomentar. Lalu, apa yang dilakukan Sugiyan dengan hidupnya? Absurd! Karena absurdnya hidup Sugiyan, maka Nasrudin Hoja ingin bersamanya. Sugiyan pekerja yang taat. Namun bukan seorang yang taat dalam ‘beragama’. Baginya, dalam hidupnya yang sulit ia melihat kewajibannya kepada Tuhan hanyalah menjaga keluarganya. Oleh karena itu, Sugiyan tidak bisa lepas dari mengingat Tuhan. Namun, Sugiyan jarang pergi ke rumah ibadah, dengan keyakinannya itulah Sugiyan bertahan hidup. Ia percaya Tuhan tidak memerlukan doa ritualnya selama ia terus memikul tanggung jawab keluarga yang ditetapkan baginya. Itulah landasan filosofisnya, namun ia tak mengakui bahwa ia punya landasan keyakinan macam itu. Ngomong-ngomong, Sugiyan tetap mempunyai selera humor yang baik, “Tengku Nasrudin tau, siapa yang duluan masuk surga?” tanya Sugiyan ditengah-tengah pembicaraan mereka yang menuju senja. Nasrudin Hoja menggeleng tidak tahu. Sugiyan Zulfikar RH Pohan



23



tertawa “Yang masuk surga duluan ketimbang kita semua ini, ya kaset”. “Kaset?” “Iya, subuh-subuh sudah terdengar ngaji kaset, siang-siang sudah terdengar ngaji kaset, senja-senja juga ngaji kaset. Ceramah kaset, dakwah kaset, ketawa kaset, sedih kaset, kaset, kaset, kaset” Nasrudin Hoja tertawa, karena memang sepantasnya kaset duluanlah satu-satunya yang masih membaca al-Qur’an di mesjidmesjid. Ah ya, Sugiyan mempunyai sebentuk keluarga kecil. Istri dan kedua anaknya yang masih sekolah dasar pergi kesekolah, istrinya berjualan kue dan sekaligus menitipkan kue, serta laukpauk di pinggir jalan Banda Aceh. Nah, si Sugiyan ini sangat ramah orangnya di samping sikapnya yang adem, Sugiyan bersahaja dari kejauhan, bila dari dekat terasa teduh. Pada suatu pagi Nasrudin Hoja berniat mengikuti Sugiyan, setelah menanti beberapa belas menit, tepat pukul setengah enam. Sugiyan akan berangkat ke laut, mencari ikan. Dengan sedikit membungkuk, Nasrudin Hoja memohon ikut, Sugiyan ragu, sebab ia tak bisa memberikan gaji atau upah apa-apa buat Nasrudin Hoja. Mereka pun pergi menangkap ikan, Nasrudin Hoja menyiapkan jaring mengambil ikan dan membantu apa yang bisa dibantu untuk sahabatnya si Sugiyan. Nasrudin Hoja sangat senang membantu Sugiyan. Berhari-hari Nasrudin Hoja sudah membantu, Sugiyan tak lagi kesepian. Sambil menangkap ikan, mereka senang sekali bercerita ngasal, tentang apa saja. Dan, Sugiyan juga sering curhat. “Istriku yang pertama dan anak-anakku meninggal ketika aku sedang mencari ikan, itu hari minggu pagi saat aku berangkat ke laut, dan dari sini aku melihat ombak menyapu rata rumah24



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



rumah yang banyak terbuat dari kayu. Kami, para nelayan di tengah laut menyaksikan, sambil menyebut-nyebut nama Tuhan. Kami seolah sedang menyaksikan kiamat dengan mata kami sendiri, melihat bagaimana ombak menghancurkan rumah-rumah kami, tempat kami pulang.” Sugiyan menangis, jelas menangis. “kami hanya memikirkan satu hal : apakah kami akan tetap pulang ke rumah, bercanda dengan istri-istri kami, tertawa dengan celoteh anak-anak kami? “Setelah bergelombang-gelombang ombak, kami para nelayan cepat kedarat. Semua rata, dari kejauhan semua benarbenar rata, hanya terlihat mesjid Baiturahman. Aku dari rumah jalan kaki ke pusat kota, mesjid Baiturahman. Biasanya hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai ke mesjid Baiturahman, tapi hari itu kami berjalan berjam-jam. Aku mencari istriku, anakanakku juga. Sampai sekarang aku belum tahu dimana keluargaku.” Nasrudin Hoja jadi mendung, hatinya gelisah dan gundah persis daun-daun kering yang jatuh keselokan. Bagaimanapun, Nasrudin Hoja beranggapan bahwa sejarah manusia bukan hanya soal sejarah perlawanan dan revolusi, sejarah manusia berubah oleh tragedi demi tragedi. Pembunuhan masal, perang, penyebaran virus, penyebaran penyakit, dan bencana alam. “Aku lalu memutuskan untuk menikah kembali, keluargaku telah damai. Tak elok rasanya melepaskan mereka dengan tangisan setiap malam, pikirku.” Sugiyan mulai mengucek-ngucek matanya, mengelap kaca-kaca di matanya. “Semasa hidup di Aceh, karena kami orang Jawa, kami sering diancam ini-itu, dianggap sebagai mata-mata tentara, dan banyak diperas oleh para gerilyawan separatis.” Kenangnya “padahal, kami ini juga terusir dari Jawa, tanah kami. Sawah kami di kangkangi oleh perusahaan. Lalu kami dipaksa transmigrasi, kata pemimpin kami waktu itu, ‘kita harus siap dengan globalisasi’ aku tidak tahu apa maksudnya. Mungkin semacam penggusuran berskala internasional. Aku dan istriku pergi juga akhirnya” Zulfikar RH Pohan



25



Nasrudin Hoja manggut-manggut. “Istriku telah berdamai dengan masa lalu dan sedang menungguku di akhirat sana, anak-anakku sudah di pangkuan Tuhan” kata Sugiyan, lalu pelan sekali dia berkata “Dan aku bisa kawin lagi, hahaha. Lalu, buat apa aku bersedih, bukan?”. Nasrudin Hoja yang tadi melongok, sedih dan berkabung jadi ikut tertawa. Nasrudin Hoja yakin lawakan ‘aku bisa kawin lagi’ bukanlah lawakan serius. Sugiyan hanya tak ingin dipandang Nasrudin Hoja sebagai lelaki cengeng nan malang yang menangisi tragedi, yang jelas hidupnya sudah berubah walaupun dengan tanggung jawab yang sama dan pekerjaan yang sama. “Heh, kau tau, Tengku. Menyaksikan kiamat secara langsung barangkali adalah hal paling indah yang pernah kulihat.”



26



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Jagger si Anjing Busuk Nasrudin Hoja tidak mempunyai keledai, sebagaimana gambar-gambar ikonnya yang menungganggi keledai dengan terbalik. Iklim di Aceh membuat Nasrudin Hoja agak sulit dalam soal kendaraan. Nasrudin Hoja senang berjalan kaki, melalui berbagai pendekatan yang paling masuk akal, Nasrudin Hoja memulai pola hidup sehat. Karena kondisi Nasrudin Hoja yang makin sepuh dan jalan terbongkok-bongkok. Pak Keuchik yang merasa bertanggung jawab dengan status Nasrudin Hoja yang menurutnya mengenaskan. Sebagai Pak Keuchik, sudah sepantasnya untuk memberikan perhatian demi menjaga keseimbangan di lingkungannya. Pak Keuchik menanyakan keluarga Nasrudin Hoja. Yaa, kita tahu jawaban Nasrudin Hoja. “Itu tergantung, jika Aceh ini kena tsunami lagi maka semua adalah keluargaku. Tapi kalau Aceh begini-begini saja, sudah menjadi kota besar, yaa aku tidak punya keluarga lagi.” “Apa hubungannya dengan tsunami?” “Sebab, yang menyatukan orang Aceh saat ini hanyalah bencana. Dalam bencana semua seperti keluarga, setelah bencana semua saling lupa keluarga sendiri.” Dari pernyataan Nasrudin Hoja yang membuat Pak Keuchik sadar bahwa Nasrudin Hoja bukan orang sembarangan, bukan orang gila atau gelandangan yang mempunyai hidup yang rumit. Mirip dongeng, Nasrudin Hoja baginya adalah manusia yang secara natural menyatu dengan kejujuran dan kegilaan yang membuat Pak Keuchik menyukai Nasrudin Hoja. Hari demi hari, pak Keuchik makin meringis melihat Zulfikar RH Pohan



27



hidup Nasrudin Hoja—walaupun kemeringisan itu tak pernah tampak di wajah Nasrudin Hoja—kadang-kadang pak Keuchik memberikan santunan kepada Nasrudin Hoja. Berupa uang dan beras, dari uang itulah Nasrudin Hoja bisa melinting bakung dan makan, tentu selain uang hasil jual ikan yang diberikan oleh Sugiyan secara ikhlas walaupun bersifat sporadis, itupun tidak cukup. Tapi, toh Nasrudin Hoja santai-santai saja. Ketuaan Nasrudin Hoja memang tidak berpengaruh buat keceriannya, tapi sangat berpengaruh pada kepaleuhannya. “Tanda manusia yang butuh orang lain dalam kehidupannya ada tiga.” Kata Nasrudin Hoja kepada pak Keuchik “pertama, mereka mudah lupa. yang kedua,…sebentar, Hmmm. Apa ya.. duh, ah anu…eh” “Kalau yang ketiga?” tanya pak Keuchik tak mau menyulitkan Nasrudin Hoja. “Hei, tidak ada pilihan ketiga. Hanya ada dua ciri-ciri!” Nasrudin Hoja memang sudah tua dan berumur. Oleh karena sudah begitu berumur yang membuatnya disegani orangorang, pakaiannya walau sekumal apapun, tak pernah terendus aroma amis. Dan hal yang paling disukai orang-orang darinya adalah Nasrudin Hoja suka berfikir yang aneh-aneh. Namun, dalam satu titik yang lain orang kadang tak sanggup menangkap pikiran aneh Nasrudin Hoja. Contohnya, Nasrudin Hoja kemudian memelihara seekor anjing bulukkan yang penuh kutu. Anjing itu didapatkan Nasrudin Hoja ketika sedang jalan-jalan ke ‘gunung sampah’ Lampulo, ada anjing kurus yang tak terurus, kering pucat. Nasrudin Hoja memberi anjing itu makan, lalu secara otomatis anjing itu mengikuti Nasrudin Hoja kemanapun. “Aku beri kamu nama, hmm., Reagan… oh tidak! Jangan, terlalu jelek, aku beri kamu nama…Jagger saja, karena kamu kurus 28



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



dan lompat-lompat melulu seperti Mick Jangger” “Baik Tuan” jawab anjing dalam bahasa anjing “senang sekali kita dapat berjodoh” Mulai saat itu, Nasrudin Hoja mempunyai teman setia, Jangger. Lah, tunggu dulu! Tentu saja hal itu membuat orang-orang Gampong tak senang, malah ada yang mencibir secara terangterangan. “Massak, Tengku pelihara anjing!” atau bahkan kata-kata yang lebih kasar daripada itu, Nasrudin Hoja dijuluki “Abu Kalbi” , bapaknya anjing. Suatu hari, pak Keuchik bertanya setengah mendebat Nasrudin Hoja “pelihara anjing itu tak boleh, haram… haram. Apalagi sampai tinggal didekat meunasah, tak boleh itu. malaikat tak akan datang ketempat yang ada anjingnya” “Justru itulah aku pelihara anjing” Pak Keuchik melongo. “Kenapa?” “Begini! Kau lihat aku sudah tua, sudah tak ada yang urus. Aku hanya menunggu waktu matiku saja. Nah, disamping itu aku justru ingin hidup seribu tahun lagi, walau peluru menembus kulitku.” Kata Nasrudin Hoja setengah membaca puisi. “Makannya akau pelihara anjing, jika malaikat datang mau mencabut nyawaku, malaikat itu bakal pulang, karena malaikat takut anjing.” Selepas itu, Nasrudin Hoja menyiram Jagger dengan air berniat memandikannya secara rutin agar terbebas dari kutukutu busuk. Pak Keuchik tentu saja jijik, melihat kurap anjing yang menganga dan basah, karena tak tahan lalu pak Keuchik izin pamit dengan sopan. Zulfikar RH Pohan



29



Sembari menyirami Jagger, Nasrudin Hoja berdendang “when I get older loosing my hair, many years from know…. Will you still need me, will you still feed me, when im sixty four”



30



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Tafsir Seduh Kitab Kopi Dalam satu keadaan yang jauh lebih membingungkan ketimbang visi-misi pemerintah, Nasrudin Hoja sampai pada satu pikiran di mana ia akan tinggal, ia takut tinggal di mesjid. Malam yang lalu, Nasrudin Hoja tidur di mesjid yang jauh dari tengah-tengah kota, tapi setelah itu ia jadi trauma. Dan memang mesjid sekarang ini sudah digembok, gembel terkutuk di zaman globalisasi seperti Nasrudin Hoja takkan diterima tidur di mesjid. Dalam perjalanannya Nasrudin Hoja berpijak pad kehendak merdeka sebagai manusia, kelana Nasrudin Hoja adalah kelana yang tak masuk akal. Nasrudin Hoja tentu hanya bingung, bukan Nasrudin Hoja namanya kalau kehabisan akal dan putus asa. Nasrudin Hoja akhirnya pergi kesebuah warung kopi pinggir kota yang dekat dengan area persawahan. Di depannya, beberapa Mahasiswa sedang asik membicarakan politik dan anak-anak dayah/pesantren sedang berdebat agama soal ini-itu. Dalam lamunan, Nasrudin Hoja membayangkan bahwa jika Aceh ingin maju, maka butuh pemimpin diktator. Mengapa? Karena tidak mudah untuk mencapai satu tujuan dari penguasa, maka rakyat harus dituntut untuk tak mencari ilmu. Cukuplah rakyat dijadikan petani yang taat, atau menjadi buruh yang tekun. Dengan menjauhnya rakyat dari ilmu maka otomatis akan jauh dari penguasa, dan jika rakyat jauh dari penguasa, maka visi-misi penguasa akan jalan dengan mudah tanpa kritik sana-sini, tanpa kumpulan-kumpulan kecil diskusi dan debat Mahasiswa serta anak dayah yang menjadi oposisi pada visi-misi penguasa. Sekilas, pikiran Nasrudin Hoja jadi agak aneh. Dalam lamunannya, Nasrudin Hoja melihat seorang Zulfikar RH Pohan



31



pemuda yang memakai sarung dan peci putih, dari wajah dan penampilannya, ia adalah seorang anak dayah. Pemuda itu tampak bingung-bingung tak jelas. “Hei, nak. Kenapa kau kelihatan seperti kebingungan?” tanya Nasrudin Hoja Pemuda itu melihat kearah Nasrudin Hoja, tampak olehnya sosok dengan wajah sepuh yang cerah dan tampak berpegetahuan. Langsung pemuda itu beralih ke meja Nasrudin Hoja tanpa ba-bibu. “Aku bingung, bantu aku, Tengku….” Kata pemuda itu gugup tanpa basabasi. “Nasrudin!” kata Pemuda itu gugup. “Ya, Tengku Nasrudin” “Kau anak muda yang dungu, rupanya. Jangan panggil aku Tengku” sergah Nasrudin Hoja cepat. “apa yang bisa kubantu?” “Iya, maaf…pak” kata pemuda itu salah tingkah “aku tidak bisa membaca kitab ini, lihatlah. Jika aku tak bisa membacanya aku bakal mendapatkan hukuman berat. Teman-temanku sedang tak bisa membantuku, tolonglah aku” Nasrudin Hoja memandang kitab itu. Hmm, kitab apa ini pikirnya dalam hati. Bertuliskan aksara Arab. Setelah dibuka, dan dibaca sekilas, Nasrudin Hoja makin bingung, kitab anak itu adalah kitab kuning arab-melayu ‘bahasa yang aneh’ Pikir Nasrudin Hoja. Tanpa pikir panjang lagi, Nasrudin Hoja mengembalikan kitab itu, dan kembali menyeruput kopi dan menghisap kreteknya. Pemuda itu heran tentu saja. “Heh, Tengku. Eh, Pak Nasrudin. Apa isinya?” tanya pemuda itu heran. 32



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nasrudin Hoja menghembuskan rokoknya santai, menatap langit-langit. “Hmm, nak. Aku tidak bisa membacanya” Pemuda itu lagi-lagi kaget, tapi kaget yang kali ini kaget penuh rasa sedih dan marah. “Tidak mungkin. Dengan memakai kopiah, sorban dan bersarung. Massak, tidak bisa baca kitab?” tanya Pemuda itu heran. “Hei nak. Siapa namamu?” tanya Nasrudin Hoja penuh wibawa, tak menggubris tanya pemuda itu. “Aku…” ucap Pemuda itu, “aku Yusuf, Yusuf Mansur, Tengku. Eh, pak” Nasrudin Hoja membuka kopiahnya, membuka sarungnya dan tak lupa baju jas panjang yang dikenakannya. Tinggal tubuh kurus Naruddun Hoja setengah telanjang dengan rambut yang botak jidatnya seperti lapangan futsal. Nasrudin Hoja melipat bajunya dan sarungnya lalu memberikannya kepada Pemuda itu. “Hai Yusuf! Pakailah ini semua, kopiah ini, sarung ini dan baju safari butut ini. Kita lihat apakah kau bisa membaca kitab ini setelah mengenakan ini semua!” jelas Nasrudin Hoja. “Apa maksudmu, Tengku. Eh, Pak?” tanya pemuda itu salah tingkah. “Aku tidak mau” “Kenapa kau tidak mau?” buru Nasrudin Hoja dengan pertanyaan. kitab”



“Itu tak ada hubungannya dengan kemampuan membaca



“Nah!” bentak Nasrudin Hoja kemudian menyeruput kopi saringnya. Pemuda itu kelihatan murung, juga bingung. Nasrudin Zulfikar RH Pohan



33



Hoja melihat matanya yang layu dan lesu, mata itu pernah dilihatnya dimasa-masa ia hidup di kesultanan Turki, mata Pemuda yang gagal berhijrah ke Eropa. “Hai nak, kau harus memesan kopi jika duduk denganku” ungkap Nasrudin Hoja mengalihkan pembicaraan. Narudin Hoja memanggil pelayan dan meminta satu gelas kopi. Anak itu cuma diam saja, sebenarnya anak itu ingin pergi secepatnya mengingat Nasrudin Hoja bukanlah orang yang bisa dimintai pendapat soal membaca Kitab. ‘Hih, Dasar orangtua aneh.’ Bantinnya. “Anak muda, hmm. Siapa tadi namamu,.. ah ya, Yusuf Mansur” kata Nasrudin Hoja pelan-pelan menghibur pemuda itu “kau tidak perlu membaca kitab dalam mengambil hukum, dan takperlu pintar-pintar kosa-kata bahasa Arab, Nahwu-Syaraf, Balaghah dan lain-lain itu cuma sampingan. Kalau kau mau jadi pemuka agama, kau berpidatolah dengan gagah seolah kau tahu banyak. Dan ya, selipkan sedikit lelucon pada ceramahmu, jika banyak orang tertawa itu artinya mereka siap menerima kebodahan dan kau dapat menutupi keterbatasan pengetahuannmu dengan lelucon-lelucon” “Tapi, itu perbuatan bodoh!” “Hmm, tidak juga. Tidak juga bagi ustaz-ustaz yang mendadak kaya karena banyak order tampil di televisi dan mimbarmibar kota besar itu, tidak untuk ustaz-ustaz yang sudah jadi calo umrah” kata Nasrudin Hoja sambil menggaruk-garuk dagunya. “Ssssssstttt… Toh banyak diantara mereka tak bisa baca kitab, aku tidak berbohong, kalau tidak percaya coba tanya mereka” kelakar Nasrudin Hoja makin kurang ajar. “Kau bersakit-sakit, bersusahsuah, bepeluh-peluh mempelajari kitab Belajar kitab Alfiyah Ibn Malik yang banyaknya setumpuk. Kitab-kitab babon kayak Akhlak lil Banin, Ta’lim al-Muta’allim, al-umm, Risalah Mu’awanah 34



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



hingga Minhajul Abidin. Semua diajarkan manusal tanpa bantuan Google apalagi Wikipedia. Tapi di pesantren sebelah sana, orang mengajarkan cara menghafal al-Qur’an satu juz dalam satu hari”. Pemuda itu setengah terpelongo setengah menyimak. Seorang laki-laki datang menghidangkan kopi. “Minumlah kopi itu” kata Nasrudin Hoja menawarkan. Pemuda itu menatap kopinya mantap, pelan-pelan menghirup aromanya lalu pelan pula menghembus kopinya, setelah itu menyeruputnya pelan. “Apakah menghafal al-Quran itu tak baik?” tanya Yusuf penasaran. “Tentu saja baik sekali! Sangat baik. Tapi akhir-akhir ini semua tergantung siapa yang berbicara dan membuat konsep alQur’an.” “al-Qur’an itu konsep?” Kopi disruput oleh Nasrudin Hoja, lalu menghembuskan asap rokoknya seolah Nasrudin Hoja adalah koboi yang menium pistol “Nak, Apakah kitab suci itu bersifat mutlak dan satu kebenaran absolut yang tetap? Jika kitab suci bersifat mutlak kenapa orang bilang bisa dinistakan? Jika memang benar kitab suci bersifat mutlak dan tidak bisa dinistakan, lalu apa yang orang perjuangkan dengan penuh susah payah? Kenapa tidak mereka amalkan saja ajarannya untuk diri sendiri? Pernahkah kita dipersilahkan bertanya sedemikian kasar pada akhir-akhir ini, Nak?” “Untuk pertanyaan setragis itu, lebih baik tak usah tanya macam-macam” “Wa hadza al-Qur’an innama huwa khattun masthur bayna daffatyn la yanthiqu. Innama yatakallamu bihi al-Rijal. Dan AlQuran tidak lain hanyalah teks tertulis yang diapit dua sampul. Zulfikar RH Pohan



35



Al-Qur’an tidak bisa bicara sendiri. Manusialah yang berbicara melaluinya.” Jawab Nasrudin Hoja atas pertanyaannya sendiri. “AlQur’an adalah firman Allah, namun manusia sebagai pengantar tafsir atas al-Qur’an itu sendiri. Tapi setiap konsep yang diciptakan manusia tidak pernah netral.” “Pertanyaan yang pak Nasrudin Hoja tanyakan dan jawaban yang Bapak jawab sendiri pun tak nyambung sama sekali” protes Yusuf di tengah kebingungan. “Lho, iya! Kamu aja bingung apalagi saya. Saya bingung sama orang yang mendewakan tafsir, menjugkirbalikkan kebenaran, dan mengatasnamakan Tuhan sembari pamer soal otoritas surga dan neraka. Halah!” Yusuf jadi mumang, dan semakin kuyup dalam penyesalan, berbincang dengan Nasrudin Hoja tak ada habisnya tapi malah membuat Yusuf makin penasaran. “Lalu, pak Nasrudin. Ada apa jika ada pesantren yang mengjarkan orang menghafal satu juz dalam satu hari kita harus jadi nyinyi, Tengku?... Eh, Pak!” “Kau tidak menikmati kopi untuk mencicipinya saja tanpa perasaan, setelah itu pulang, bukan? Kau meminum kopi dengan lebih dulu menghirup aromanya, menyeruput pelan kopinya, lalu merasakan pahitnya di ujung lidahmu, semua proses yang baik itu kau resapi sampai terngiang-ngiang dalam otakmu dan sampai kehatimu, sampai kau bakal berkata kecil dalam hatimu dengan syukur, ‘Alhamdulillah, nikmatnya kopi’” Pemuda itu mengangguk-angguk. Kadang, kopi dan teman ngobrol yang hobi bercerita adalah perjumpaan yang paling sempurna. Pemuda itu sedikit-banyak merasa senang dapat teman ‘ngobrol’ meskipun dalam hatinya berkata “Orangtua ini mengutuk pemuka agama yang tidak bisa baca kitab kuning, padahal dia juga tak bisa. Tapi tak apalah, sudah di bayar kopi”. 36



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Kitab kuning masih tergeletak di atas meja, menjadi alas kulit kacang tanpa disadari oleh Yusuf sendiri. Huu, malang!



Zulfikar RH Pohan



37



Menginjak Jenazah Nasrudin Hoja banyak menghabiskan waktu di meunasah, dan tentu saja shalat lima waktu Nasrudin Hoja tak pernah ketinggalan dan selalu tepat waktu. Biarpun dia orangnya suka aneh-aneh, tapi memang Nasrudin Hoja tak pernah neka-neko kalau masalah shalat berjamaah di meunasah atau mesjid yang jaraknya tak jauh dari meunasah. Karena sudah semakin sering orang melihat Nasrudin Hoja shalat, ia sering diminta bantuan. Bukan hanya menjadi muazzin, tapi juga menjadi orang yang memandikan mayat, menyalatkan mayat lalu selanjutnya mengantarkan mayat dan menguburnya. Dengan itu pula, Nasrudin Hoja mendapatkan tempat untuk bersinggah, yaitu meunasah gampong tersebut. Dan disamping meunasah itu ada semacam rumah kecil, yang awalnya dijadikan gudang penyimpanan perangkat-perangkat acara gampong. Nasrudin Hoja diberikan izin tinggal disana, oleh pak Imam dan pak Keuchik. Banyak hal menarik diantara hubungan Nasrudin Hoja dengan jenazah, pernah satu kali Nasrudin Hoja menolak untuk menyolatkan jenazah laki-laki yang diketahui beridentitas agama Islam. Pak Keuchik dan pak Imam menegur sikap Nasrudin Hoja, tapi toh percuma. Sekali Nasrudin Hoja bilang tidak, maka ia akan tetap bilang tidak jika itu masalah yang menurutnya fatal. Usut punya usut, ternyata Nasrudin Hoja tidak mau menshalatkan jenazah tersebut karena ia pernah korupsi. Ternyata maling. “Ah, tapi kan dia agamanya Islam” sergah pak Keuchik. “Mencuri harta negara adalah Extra Ordinary Crime” 38



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



kata Nasrudin Hoja persis seorang aktivis “of course, mereka lebih berbahaya daripada teroris, daripada pemerkosa, daripada Bandar narkoba, daripada pembunuh” jelas Nasrudin Hoja dengan yakin. “Lalu kita harus apa?” tanya pak Imam. “Duh, maaf pak Imam karena telah sok-sok lancang. Begini lho Pak, si jenazah ini sudah terlalu berlebihan enaknya dia. Mentang-mentang dia eks-Gerilyawan sekaligus mantan parlemen abal-abal yang memenagkan partainya melalui hasil gertak sana gertak sini, dia mecuri uang rakyat. Aceh ini tak maju-maju sampai sekarang gara-gara orang macam itu. Kalo pak Imam minta data, saya akan kasih data!” kata Nasrudin Hoja galak semakin mirip aktivis, “Sudah begitu, dia masih dihormati disini. Dipakaikan rangkaian bunga, disambut dengan ramah, tertawatawa tanpa dosa, hidiih! Pengadilan di Aceh ini tak ada yang bisa mengadili dia karena licinnya. Saya menolak menyolatkan jenazahnya. Kecuali…” “Kecuali apa?” “Kecuali keluarganya mau menebus semua hasil uang yang telah dia curi” Nasrudin Hoja menjelaskan tentang riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tentang seorang laki-laki yang meninggal dan tak mau dishalati jenazahnya oleh Rasulullah dengan alasan telah menggelapkan harta perang. Malang, pengaruh Nasrudin Hoja tak berhasil. Mayatnya tetap dishalatkan karena orang-orang gampong mempunyai rasa ‘tak enak hati’ (baca : takut) dengan pengaruh keluarga si mayit. Nasrudin Hoja menggerutu. Tapi ia tak sendiri, ada beberapa orang gampong juga yang menolak menyalatkan jenazah tersebut. Zulfikar RH Pohan



39



Kisah Nasrudin Hoja dan jenazah bukan hanya itu! Pada satu hari, seorang kaya yang sejak lahir sudah hidup mewah berkat dari buyutnya sudah kaya dan sangat jago lobbying sejak jaman Jepang. Hidup enak, dengan makanan yang enak-enak pula ternyata tidak menentukan orang mati enak. Di gampong yang sebagian besar adalah orang-orang dibawah kelas menengah. Alias orang-orang miskin, kere. Si kaya itu masih sering dijadikan bahan olok-olok anakanak muda karena pelitnya yang A’uduzubillah setan, amit-amit . Nama si bapak kaya itu adalah Pak Kir. “Bangsat! Kau pelit sekali, seperti Pak Kir saja” atau ungkapan “kau mirip Pak Kir sekarang” adalah ungkapan anak muda yang paling masyhur untuk menyudutkan temannya yang pelit. Nah, karena sering makan enak, membuat perutnya buncit dan membuat ia jatuh sakit saat sedang main tenis di belakang kantor dinasnya. Karena terlalu semangat main tenis, Pak Kir jadi drop dan pingsan. Langsunglah Pak Kir dilarikan kerumah sakit. Apa dikata, janji sudah sampai kepada Pak Kir. Pak Kir meninggal di rumah sakit, beberapa jam setelah diantar kerumah sakit. Nasrudin Hoja mengumumkan kematian Pak Kir dari meunasah. “Innalillahi wa inna ilayhi raji’un, telah berpulang Pak Kir bin Kur tadi Siang jam……” suara Nasrudin Hoja sangat keras dan dengan kalimat yang nyaring dan jelas. Keesokannya, Nasrudin Hoja memandikan mayat Pak Kir. Nasrudin Hoja sangat antusias dalam mengurus mayat Pak Kir. “Wah, ligat sekali kamu, Nasrudin” goda pak Imam melihat Nasrudin Hoja yang mengkafani mayat Pak Kir. Nasrudin Hoja nyengir, dan ketawa halus “hehe, tidak kok”. 40



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Saat mengantarkan mayatpun Nasrudin Hoja, mengangkat jenazah Pak Kir dengan sangat sigap, langkah Nasrudin Hoja sangat cepat. Tak lelah-lelah, padahal jarak dari rumah Pak Kir ke pemakaman umum jalannya susah, becek dan berbatu. Tapi Nasrudin Hoja mengangkatnya dengan semangat seolah tanpa hambatan apapun. Tiba menguburkan jenazah, Nasrudin Hoja menguburkan dengan sangat semangat pula. seakan-akan tak lelah-lelah. “Pak Nasrudin, semangat sekali. Istirahatlah dulu, dari tadi pak Nasrudin paling semangat” goda pak Keuchik. “Ah, tidak. Hehe” jawab Nasrudin Hoja cengegesan. Saat tanah sudah menimbun jenazah Pak Kir, Nasrudin Hoja memadatkan semua tanahnya. Sambil senyam-senyum Nasrudin Hoja memandatkan tanah kuburan Pak Kir dengan kakinya sampai tanah betul-betul rapat. Pak Imam cuma bingung tingkah Nasrudin Hoja yang aneh, pak Keuchik memandang sinis. *** Beberapa bulan setelah kematian Pak Kir, terdengar lagi kabar duka. Seorang bapak yang meninggal karena sakit mag. Sakit magnya sudah sampai tahap paling mengenaskan dan membuat lambungnya bocor dan pendarahan, tanpa sempat dibawa kerumah sakit padahal sakitnya sudah lama. Namanya pak Rus. Nasrudin Hoja mengumkan kematian pak Rus lewat pengeras suara meunasah, dengan nada datar, tertahan dan dengan huruf konsonan yang tak jelas, Nasrudin Hoja mengumumkan. Orang-orang yang menyimak pengumuman jadi bertanya-tanya, ‘Nasrudin ini sedang apa sih? Baca koran?’. Pak Rus mempunyai lima anak yang baik-baik, imut-imut, Zulfikar RH Pohan



41



dan masih kecil-kecil. Pak Rus dan istrinya hanya bekerja sebagai penjual buah di pinggir kota, seringkali pendapatan mereka tak mencukupi untuk kebutuhan anak-anaknya. Buah-buahpun hanya sedikit menghasilkan keuntungan. Terlebih pemasok buah dagangan mereka sangat pelit, dan hanya menyisakan keuntungan sedikit buat Pak Rus. Pokoknya, bisa dikatakan keluarga Pak Rus adalah keluarga menengah kebawah. Miskin. Saat kematian Pak Rus, tidak ada acara makan-makan. Jenazah Pak Rus dimandikan, Nasrudin Hoja ikut memandikan. Tapi, tampak Nasrudin Hoja tak terlalu sigap. Air diciduk secara perlahan, lalu Nasrudin Hoja menggosok jenazah Pak Rus dengan pelan-pelan, sangat pelan. “Kamu kenapa, Nasrudin, kenapa lemas sekali?” tanya Pak imam penasaran melihat tingkah Nasrudin Hoja. “Ah, bukan apa-apa pak Imam” jawab Nasrudin Hoja letoy. Selesai menyalatkan jenazah, Nasrudin Hoja mengangkat keranda Pak Rus, tapi mengangkatnya dengan pelan, tidak semangat dan tidak tergesa-gesa. Begitupula saat menguburkan jenazah Pak Rus, Nasrudin Hoja bekerja sangat lambat. Cenderung slow. Bahkan Nasrudin Hoja tak ikut memadatkan tanah kubur Pak Rus. Hal ini membuat pak Keuchik jengkel. Selesai menguburkan jenazah Pak Rus, semua istirahat dan berkumpul di selasar meunasah. Pak Keuchik duduk disamping Nasrudin Hoja. “Pak Nasrudin telah berbuat zolim!” vonis pak Keuchik kepada Nasrudin Hoja tiba-tiba tanpa basa-basi dan muqadimmah. Nasrudin Hoja yang sedang minum air dari botol mendegar kata-kata itu langsung batuk. Menyemburkan air mineral dari mulutnya “Astaghfirullah, pak Keuchik! Apa yang telah saya perbuat?” 42



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



“Kamu dibayar berapa?” tanya pak Keuchik tanpa menjawab pertanyaan Nasrudin Hoja. “kok saat proses mengurus jenazah Pak Kir kamu semangat, kamu mandikan dengan semangat, kamu antarkan dengan sigap dan setelah itu kamu kuburkan dengan tanpa lelah setelah itu kau padatkan. Sedangkan jenazah pak Rus kau malah tidak semangat sama sekali, semuanya serba slow. Kau mandikan dengan pelan, kau angkat kerandanya dengan lambat lalu tak kau padatkan tanah kuburnya.” Jelas pak Kechik dengan semangat, merasa sedang berdakwah membawa Nasrudin Hoja kejalan yang benar “itu tidak boleh pak Nasrudin! tak boleh!” Nasrudin Hoja bingung, tapi memang tanpa sadar ia telah melakukan itu. Tapi Nasrudin Hoja tak pernah meminta bayaran untuk mengurus jenazah. “Waduh, begini pak Keuchik. hehe” Jawab Nasrudin Hoja agak segan “Pak Rus itu orang yang baik, selalu memberikan saya salam. Selalu pulang larut malam untuk menafkahi anakanaknya, meskipun ia miskin ia tidak minta-minta dan tak pernah menyalahkan takdir. Berat rasanya untuk melepaskan orang sebaik beliau, saya tak ingin berpisah dengannya, saya terpukul. Tapi saya tak ingin menangisi kepergiannya. Lalu saya memandikannya dengan semua kenangan dan zikir semoga ia dimudahkan. Mengantarkan mayatnya dengan lambat agar saya bisa menyebut ‘tiada Tuhan selain Allah’ dihadapan mayatnya sebanyak-banyaknya, dan menguburkannya dengan cara tak rela, apalagi memadatkan tanah kuburnya dengan kaki saya dengan cara diinjak-injak. Wah saya tak tega” aku Nasrudin Hoja panjang lebar. Air matanya mengintip malu-malu dari kelopak matanya. Kir?”



“Lalu kenapa kau semangat sekali memproses jenazah Pak



“Pak Kir itu orangnya memang kikir, banyak yang tak senang kepadanya. Bahkan semasa hidup ia tak pernah Zulfikar RH Pohan



43



menyantuni tetangganya yang miskin. Saat meninggal, saya cepatcepat menguburkannya dan memadatkan tanah kuburnya dengan kaki saya sampai padat, karena ia telah menginjak-injak orang miskin seperti saya semasa hidup” Nasrudin Hoja sadar, tak baik untuk membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal, tapi dasar Nasrudin Hoja, daripada dipikir yang tidak-tidak oleh pak Keuchik, lebih baik ia mengaku saja. “Sialan kau, Nasrudin!”



44



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nasrudin Hoja, dan Invasi Kadal Raksasa ke Aceh Apa yang Anda rasakan ketika mendengar ceramah, khotbah, atau sejenisnya? Sebagian besar mungkin akan menjawab dengan sederhana : ngantuk! Ngantuk memang, jika mendengar ceramah agama selama beberapa menit tak sedikit yang mengantuk, tak sedikit pula yang pikirannya mengawangawang. Jika sedang terkena penyakit insomnia, cobalah datang ke mesjid ketika sedang ada khutbah, dijamin insomnia Anda akan hilang, Anda akan mengantuk seketika. Ini bukan sindiran, ini memang terjadi. Kasus lain, ada banyak orang yang tiba-tiba menjadi filsuf, atau penyair ketika di rumah ibadah saat khatib sedang khutbah. Selain mengantuk, orang mendengar khutbah biasanya juga berfikir mengawang-awang, berandai-andai, berjika-jika, menyusun cerita, membayangkan jadi orang kaya, dan lain sebagainya. Mengapa khutbah dan ceramah bisa sebegitu membosankan, memangnya adakah yang salah dengan cara dakwah selama ini? Jika ada, maka apa yang harus diperbuat untuk menghadirkan ceramah agama anti-ngantuk dan anti-khayal? Alkisah, Nasrudin Hoja sedang berkhotbah untuk mengisi kekosongan Khatib yang tak jadi datang karena ada alasan tertentu. Nasrudin Hoja tampil mentereng, mukanya yang lesu begitu menyakinkan dari bawah mimbar. Nasrudin Hoja kemudian menyampaikan tentang masalah-masalah fundamental dalam agama. Saat sedang berkhotbah, Nasrudin Hoja melihat jamaah menguap, bukan hanya satu-dua yang menguap hampir setengah Zulfikar RH Pohan



45



dari jamaah menguap dan terkantuk-kantuk, ada pula yang menunduk lesu tak bergerak lagi, Nasrudin Hoja di atas mimbar melihatnya jadi sangsi apakah orang itu masih hidup atau tidak. Melihat itu, Nasruddin Hodja memutar akal, dan ditengah-tengah khotbahnya berkata: “Pada suatu subuh, aku bermunajat kepada Allah. Lalu, dalam gamang munajat itu, aku berjumpa Nabi Daud ‘alaihi salam. Aku ngobrol dengan Nabi Daud dan ohh para Jamaah yang dirahmati oleh Allah tanpa terkecuali!” Nasrudin Hoja memekik begitu keras, matanya memerah dan suaranya serak “Aku mendengar Nabi Daud mengatakan akan ada tsunami di Aceh pada tahun 2039 yang disebabkan oleh inavasi Kadal raksasa yang berasal dari rekayasa genetika oleh para ilmuan Ya’juj dan Ma’juj.” Pekik Nasrudin Hoja di mimbar. Saat mendengar keyword “kadal rakasa” “Tsunami 2039” dan “ilmuan Ya’juj dan Ma’juj”, para jamaah langsung melotot matanya yang tadinya ngantuk, langsung fokus orang yang tadi sempat menguap, langsung buyar imajinasi yang sempat tersusun, jemaah yang terduga mati tadi telah bangun dan membelalak. Semuanya kembali mendengarkan khotbah Nasrudin Hoja. Melihat perubahan drastis itu, Nasrudin Hoja membentak sekaligus mengeluh hilang semangat: “Ya Tuhan! Orang macam apa kalian ini? Aku serius berceramah beberapa saat tentang ikhlas, berserah diri, dan jangan kikir, tapi kalian malah tertidur dan berkhayal. Begitu aku menyampaikan kebohongan yang tidak masuk akal sama-sekali, kalian justru fokus memperhatikan!” bentak Nasrudin Hoja. Para Jamaah melongo, sebagian liat kanan-kiri sebagai gerakan jitu untuk menyatakan bahwa ia bukan bagian jamaah yang “tidur dan berkhayal”, sebagian menyembunyikan wajahnya seraya berharap ia bisa memutar waktu lebih awal dan memilih mesjid lain saja ketimbang berjumpa Khatib paleuh macam 46



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nasrudin Hoja ini. Cerita di atas adalah salah satu gambaran bahwa kebanyakan jamaah pendengar khutbah, ceramah dan lain-lain memang selalu mencari sesuatu yang nihil untuk didengarkan, kelucuan yang absurd dan sesuatu yang meledak-ledak agar. Di samping itu, para penceramah juga berusaha mengasupi pikiran pendengar agar menarik dengan melumuri materi ceramah dengan hal-hal bombastis yang salah satu cara untuk menjadi penceramah yang dinanti. Seperti “PKI bangkit lagi memburu ulama” “Nabi Khidir ikut pemilu” “jelmaan Dajjal lahir di Amerika”, “Syiah ingin menguasai Indonesia” dan lain-lain. Tidak jarang jika penceramah yang berbicara datar tanpa orasi-orasi segala akan sukses membuat para pendengar terkantuk-kantuk. Percaya atau tidak, rasa ngantuk dari pendengar mungkin adalah musibah terberat bagi seorang penceramah. Seyogyanya penceramah adalah mereka yang memoles cermin untuk dapat memberikan pantulan bayangan bagi para pendengarnya. Namun, bagaimana pula jika para pendengarnya sendiri ngantuk-ngantuk? Orang ngantuk tak butuh cermin, orang ngantuk butuh kasur. Dalam mencari akal, tak banyak penceramah yang dapat secerdas Nasruddin Hodja untuk mengajak para pendengar mendengarkan ceramah, dan menohok jamaah yang lugu dan apatis. Percaya atau tidak, secara natural manusia memang selalu menginginkan hal-hal yang bombastis, dramtikal, atau teatrikal. Maka dalam khazanah dakwah saat ini tidak jauh-jauh dari pernyataan viral para penceramah. Para pendengar tak jarang menanti-nanti suatu pernyataan bombastis dari para penceramah, meskipun agak sedikit nyeleneh dari logika. Maka, akan terdengar nada-nada sumbang dari fatwa-fatwa aneh dan menggelitik yang memporak-porandakan nalar manusia sehat. Dan lagi-lagi narasi akhirat menjadi hal yang sangat laku dibicarakan dengan nada Zulfikar RH Pohan



47



bombastis dalam setiap ceramah. Sampai di sini penceramah malah lebih berpihak pada cara pandang opini umum dan membalikkan opini umum menjadi narasi akhirat. Seperti keharaman suatu produk dan apabila mengkonsumsinya maka akan dihukum neraka, halal meminum kotoran unta, menganjurkan memakai produk tertentu dan lainlain. Sampai pada satu titik saat penceramah didengarkan dan ditiru hanya karena ia pandai memutar balikkan logika dengan retorika yang mantap lalu mampu membuat pernyataan bahwa bom bunuh diri di rumah ibadah dibolehkan. Hal ini membuat pendengar tidak akan ngantuk, percayalah. Perlu dicatat, bahwa ceramah semi-orasi bukan tidak boleh. Sejuah ini, tentu saja setiap penceramah mempunyai cara berdakwah yang berbeda-beda. Namun, yang menjadi masalah adalah muatan ceramahnya. Jangan heran apabila ceramah yang mengajarkan cinta kasih, saling menghargai, akhlak terpuji dan lain sejenisnya sangat jarang diminati oleh pendengar dan respon warganet. Penceramah dipaksa mengikuti nafsu modern oleh para pendengar. Di sisi ini, pendengar tidak akan merasa ngantuk, namun dalam bentuk yang paling kecil ada satu sisi yang terlukai dari jenis dakwah tak masuk akal adalah tercemarnya nilai-nilai agama dan hanya menjadi persis bualan-bualan tukang obat. Annemarie Schimmel menuliskan, “jika kitab suci dijauhkan dari ruhnya, maka kitab suci akan disalahgunakan menjadi jimat” saat ini mungkin atas dasar memecundangi logika, jangan-jangan kita malah beramai-ramai menjadikan kitab suci menjadi jimat dan bahan pembenaran atas kelakuan keji kita? Sampai kapan kita mesti sadar bahwa khotbah, ceramah, kultum dan lain-lain bukanlah soal disukai oleh telinga para pendengar? Banyak terjadi hal-hal yang tak diinginkan dari dampak penceramah-penceramah yang gagal memahami jangka panjang 48



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



dari sebuah ceramah. Jika ada penceramah yang mencomot ayat suci ‘bunuhlah orang kafir dimanapun kamu berada’ secara mentahmentah untuk dalih memusuhi orang-orang yang berbeda agama dalam bidang politik praktis, maka anak-anak Sekolah Dasar yang tak sengaja mendengar si penceramah akan merasa senang ketika menghardik teman satu kelasnya yang dianggapnya kafir. Jika ada penceramah yang dengan mudah mengatakan bahwa poligami itu indah, surga adalah bentuk dari pesta seks, wow lelaki mana yang ngantuk jika dengar khutbah semacam itu? Maka sorang lelaki paruh baya dengan upah di bawah UMR akan mencoba poligami meskipun ia sudah punya tujuh anak yang masih amat kecil-kecil. Semuanya memang tampak bersambung-sambung menjadi satu kesatuan tragedi kemanusiaan, berasal dari hal-hal yang selama ini dianggap sepele. Hal-hal sederhana melahirkan hal-hal besar yang berubah menjadi kegilaan. Penceramah mesti melihat jangka panjang dari sebuah dakwah, ke arah mana dakwah yang dituju dan ke seberang mana jalan yang mungkin sebagai alternatif berfikir. Ada baiknya dalam hal berdakwah dan menyampaikan kebenaran di rumah ibadah kita belajar untuk berbicara dengan bahasa alam. Alam berbicara dengan bahasa feminin yang manis, semua tanda-tanda alam seperti timbul tenggelamnya matahari, datangnya rembulan, serta gerimis di sore hari adalah bahasabahasa feminim yang biasa dijelaskan dengan bahasa sastrawi. Kewajaran kita temui bukan pada cara memaksakan diri untuk menjadi orang yang didengar dan mampu mempengaruhi orang banyak dalam satu ceramah dramatikal lengkap dengan orasiorasi. Kewajaran kita temui ketika menjelaskan kebenaran dengan bahasa yang paling lembut dan dapat dimengerti atau yang disebut ‘berdakwah dengan bahasa kaumnya’. Kewajaran kita temui saat penceramah mulai memberikan berbagai alternatif berfikir kepada pendengar, bukan malah mencekoki pendengar dengan Zulfikar RH Pohan



49



pemahaman dangkal yang merumitkan masalah sederhana. Siapa sih yang bosan dengan panorama matahari tenggelam? Matahari tak perlu mencuri perhatian dengan membuat gerakan aneh-aneh agar diperhatikan, matahari akan tetapi indah sesuai porosnya, sesuai dengan bahasa feminim yang dilakoninya. Bahasa matahari adalah bahasa kebenaran. Selepas khutbah, seseorang yang terlihat masih muda dengan muka sempoyongan namun serius mendatangi Nasrudin Hoja, kemudian bertanya dengan sangat halus. “Apakah kadal rakasa yang Tengku ceritakan tadi itu akan nyangkut di jembatan Pante Pirak, atau malah tertimpa baliho di Simpang Surabaya, Tengku?” tanyanya polos.



50



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Status : Penguasa, Hobi : Dzikir Akbar Banyak kasus, surat kabar lebih menggelikan dan menyediakan bahan untuk ditertawakan. Bahasa-bahasa para polikus yang berantakan, argumen-argumen konyol, dan jauh lebih menyenangkan ketimbang humor receh lainnya. Pernah suatu waktu di Aceh ketua DPRK dalam suatu daerah yang sedang berpidato, setelah salam dan ehem ehem tenggorokan lalu membacakan teks pidato “Assalamu’alaikum kepada YeTeHa, BePeka dua, Ibu dua...” yang mungkin maksudnya yang terhormat, bapak-bapak, ibu-ibu. Banyak yang tertawa dan banyak pula yang kemudian menyadari betapa pentingnya pendidikan. Lain lagi dengan kelakuan penceramah yang berbahasa inggris dan menjelaskan pentingnya pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan humanisme di daerah miskin papa yang merebus pisang beserta kulitnya untuk dimakan. Semua kini serba aneh dan penuh tekateki. Kita jadi tak tahu orisinilitas dari profesi, terlebih lagi berbicara tentang profesionalitas profesi. Seperti profesionalitas menjadi Gubernur, Walikota, Bupati bahkan Keuchik banyak bertabrakan profesi dengan Abuya, Syekh, Tengku, dan Ustaz. Pun, saat ini kita tak perlu susah mencari pejabat di kantor-kantor dinas, sebab pejabat selalu nongol satu dua orang di acara keagamaan ketimbang di kantornya. Semua membingunkan. Ingin membuat kopi dan mengambil gula di toples bertulisan ‘gula’, tapi setelah diambil ternyata toples tersebut berisi garam. Asin! Lupakan kopi asin Anda, tak usah ngopi dan bacalah kisah ini lekat-lekat dan duduk yang manis. Ada sebuah kisah dari anak manusia bernama Marthin Luther. Beliau sedang panas, banyak gugatannya kepada gerjea vatikan. Salah satu tuntutan Zulfikar RH Pohan



51



Martin Luther adalah : indulgensi. Bagi Martin Luther indulgensi adalah hal konyol, manusia melakukan penebusan dosa kepada manusia yang juga tak lepas dari dosa. Sertifikat masuk surga diperjualbelikan. Martin Luther adalah pembaharu, bukan hanya bagi sejarah kekristenan, tapi juga pembaharu agama. Agama di dalamnya ritual-ritual yang disebut sebagai ibadah. Apakah ibadah tak pernah bercorak pragmatis. Martin Luther dari sisi lain bisa dikatakan mengutuk pragmatisme dalam beribadah, hari ini kau berbuat dosa, puas lalu senang, berzinahnikmat berzinah-nikmat, lalu esoknya melakukan pengakuan dosa agar merasa tenang. Martin Luther telah lama meninggal, tapi pragmatisme dalam ibadah belum juga mati. Nanti kita beribadah, kemudian mengumpat, kemudian membenci tanpa sebab, kemudian berdoa, kemudian ibadah lagi, kemudian menjilat atasan, kemudian berdoa minta rezeki kepada Tuhan. Begitu seterusnya. Nah, pada suatu hari Nasrudin Hoja duduk di salah satu pos jaga yang sangat strategis untuk merokok selepas shalat Isya, pos jaga itu tak jauh dari meunasah. Ditengah-tengah kenikmatan ngerokok itu pula, Nasrudin Hoja kedatangan tiga AMST atau Anak Muda Sedikit Tua. Yang memang biasanya ngepos di tempat itu. Mereka adalah Hasan, Mukir, dan Mahmud. Hasan adalah anak dari orang tua yang cukup berada, kulitnya coklat, kurus dan pendek kontet, namun ia paling bisa mengeluarkan ide-ide tentang kebangsaan yang rapuh, nasionalisme politikan, dan sekaligus memperjuangkan Islam sebagai asas negara. Sebagai mahasiswa tingkat akhir di sebuah Universitas, Hasan juga sanggup berbicara berjam-jam tanpa henti jika itu masalah peperangan dan juga kekecewaan kepada pemerintah. Yah, namanya juga anak muda dengan segala rasa tahunya, wajar sajalah bagi Hasan. Pokoknya, kalau Hasan sedang sakit parah, pancing saja dia bicara masalah Pancasila, Demokrasi, 52



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Orde Baru dan lain-lain, dijamin! Dia bakal kembali semangat, sakit-sakitnya akan terlihat pudar. Lain, Hasan, lain pula si Mukir. Mukir mempunyai cara yang berbeda, selalu mencari waktu yang tepat untuk menyerang dan mencari celah yang pantas untuk bertahan, kadang ia hanya senang bertanya. Logikanya sering bermanuver pada arah-arah yang sulit dibaca, kesembronoan adalah nama tengahnya namun tetap saja ia akan selalu terlihat kalem dengan pandangan matanya sendu dan senyumnya yang teduh. Bahkan, jika seandainya ia ingin menikam seseorang sankin marahnya, orang yang akan ditikam pun belum tentu bisa membaca gelagatnya si Mukir. Itulah Mukir. Hasan memang bicara lebih terang dengan maksud yang tegas, tapi Mukir akan membuat segala sesuatu jadi tenang lalu seolah ia adalah sumber ketenagan itu sendiri, tapi… dalam hitungan detik, jika lawannya lengah, maka habislah dimangsa oleh si Mukir. Mahmud adalah anak paling Bengal diantara kawankawannya, parasnya menarik dan siapa sangka ia mempunyai jiwa relijius yang terpendam. Meskipun begitu, pikiran Mahmud tak jauh-jauh dari Hasan, sering Mahmud tampak lebih tenang mengajukan argumen dibanding Hasan yang menggebu-gebu dan penuh kemarahan, Mahmud santai. Meskipun jika ditelisik, kata-katanya tajam. Tajam sekali. Dibalik itu, diam-diam Mahmud mengidolakan Joseph Stalin. Si diktator kejam yang suka main rahasia-rahasiaan. Aw aw aw! Tiga orang ini mengingatkan Nasrudin Hoja pada tokoh andalan Alexandre Dumas dalam buku The Three Musketers, Atos, Portos dan Aramis. Setelah berbasa-basi mereka mulai berdiskusi. Mahmud mulai bercerita tentang politik, kenyamanannya pada partai tertentu dan juga prediksinya akan politik masa depan. Begitupula Hasan yang ikut menimpali dengan ide-ide revolusioner, ide-ide kritis a la anak muda. Sedangkan Mukir hanya manggut-manggut dan kadang menyela. Nasrudin Hoja Zulfikar RH Pohan



53



menjadi dirinya sendiri kadang berkata-kata ngasal seperti orang mabuk, kadang menyumpal argument orang lain dengan pertanyaan, dan banyak kadang-kadang yang lain dari mulutnya. Sampai pada satu ketika Mahmud berceloteh. “Pemerintah memang harusnya dekat dengan agama” kata Mahmud santai, “jangan sekuler-sekuler. Bahaya itu!” “Contohnya?” tanya Mukir. “Pemerintah itu mesti lihat suara rakyatnya, dong. Jangan galak-galak sama orang yang menegakkan amal ma’ruf nahi mungkar! Selagi memegang kuasa, digunakan untuk itu, bukan begitu, San?” “Hmm-hmm” gumam Hasan. “Ya, memang harus begitu” potong Nasrudin Hoja “pemerintah harus dekat-dekat dengan agama. Seperti membuat zikir akbar dengan wajah pejabat, memakai bendera partai, menikamati ritual-ritual politis itu memang perlu” “Wah, Tengku Nasrudin jangan sarkas begitu, dong” desis Mahmud. “Ada dua hal yang harus kamu ketahui” desis Nasrudin Hoja tak kalah sinis “yang pertama, jangan panggil saya Tengku, saya tak suka penghormatan palsu, panggil dengan panggilan sesukamu saja, asalkan jangan Tengku. Yang kedua, semua kini serba pragmatis” Hasan ketawa cekikikan, “betul itu, bahkan dalam ibadah kita juga pragmatis, iyakan, Pak?” panas.



Mahmud dan Mukir semakin menyimak, diskusi makin “Pragmatis bagaimana?” tanya Mukir.



54



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



“Begini ya, pemerintah kita sudah capek ngurusin pembangunan ini itu tanpa pendekatan psikologis buat rakyatnya agar menaikkan rasa simpati rakyat. Pendekatan psikologis yang paling ampuh adalah menyempatkan diri sebagai seorang alim yang paling ketat mengatur masalah moral. Soal-soal bagaimana tak becusnya pemerintah, dzikir akbar atau menyambangi ulama bisa jadi penebusan dosa. Dan bahkan… Itu bisa ditutupi kalau ia bisa jadi pimpinan dzikir, atau kalau bisa menjadi mursyid dalam tarekat” “Wah cuma sebatas nafsu kalo gitu?” tanya Mukir, lagi. Belum sempat Nasrudin Hoja menjawab, Mahmud mendahului “wah, tapikan… niatnya baik!” Ditengah perdebatan mereka di pos jaga. Lampu mati, gelap gulitalah semua. Mereka jadi bingung. Ditengah mati lampu, pak Keuchik lewat dengan motor bebeknya. “Heh, daripada asik disini tak tentu. Lampu pun mati, baik ikut saya” “Kemana?” “Dzikir akbar!”



Zulfikar RH Pohan



55



Ah, Profesor Profesor mesti dicoba untuk dibuang kekandang harimau, agar mereka belajar mewaraskan diri bahwa selamanya dunia ini tidak harus mengikuti celoteh mereka yang dengan enteng menyertakan ‘prof ’ di depan nama mereka. Setelah diterkam harimau, mungkin profesor tadi jadi lebih was-was, dan waras. Bahwa di dunia yang jauh dari khayal dan terlampau kejam, kepalanya dan kepandaiannya mengolah kata tak sebanding dengan perut-perut harimau yang lapar. Karena lapar bukan angka, bukan statistik, apalagi cuma sekedar seminar dan workshop tentang kemiskinan di gedung hotel bintang lima berfasilitas lengkap. Banyak professor di Indonesia karena jabatan bukan karena penemuan. Kerja para professor pun lama-lama hanya sibuk menjelajahi medsos dan melakukan penelitian dengan menumpang juniornya. Pada satu kesempatan yang bacin, selalu saja disalahkan dalam penempatan waktu yang sama sekali tak mengizinkan mahasiswa mudah menyerap ilmu akibat professor yang sama sekali tak pandai mengajar. Selebihnya para profesor hanya boleh plesiran kenegeri jauh dan berswafoto dengan pejabatpejabat yang entah. Hasan, masih kuliah di salah satu Universitas di Banda Aceh. Karena sering mengalami nasip buruk dalam perkuliahan, Hasan jadi mahasiswa yang amat menyeramkan. Omongannya tentang kampusnya hampir tak pernah bernada positif. Kalau tidak soal kebusukan kampus, ya dia mengkritik kampus untuk ‘harus ini’ dan ‘harus itu’. Terlebih hari itu, di Warung kopi yang tak pernah sepi oleh bacot Nasrudin Hoja, dan kawan-kawan lainnya, Hasan curhat sambil memukul-mukul meja. “Pendidikan kita terlalu Hierarkis dan militeristik. Lamalama negeri ini bakal menjadi sampah-sampah peradaban dan kita 56



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



semua bakal jadi daki sejarah yang lebih patut ditertawakan tikustikus yang berevolusi menjadi mutan di masa depan!” kata Hasan sambil menunjuk-nunjuk semua yang mendengarkannya. “Kamu ini bicara sudah mirip tokoh protagonis di filmfilm nasional bertema perjoeangan bermutu jelek namun berbiaya mahal” ucap Mahmud santai sambil mencolek Mukir untuk minta rokok. “Kamu ini Mud, tak paham apa yang sedang mengancam bangsa ini!” sergah Hasan makin jago “dalam sistem pendidikan kita, terlebih jenjang universitas, orang berlomba-lomba untuk jabatan bukan keilmuwan. Kalau sudah bertitel Doktor ingin jadi kepala jurusan, kalau bisa yaa jadi Dekan, lalu sibuk melakukan lobi sana sini untuk menjadi Profesor. Setelah jadi Profesor sibuk menyiapkan diri jadi Rektor.” Hasan makin bersemangat, menjelaskan kebusukan Profesor dikampusnya, dan mengeluhkan betapa Profesor-profesor itu begitu tak berguna, tak bisa membuat kurikulum yang efektif, tak melahirkan khazanah keilmuwan baru, dan tak pernah sanggup meneliti dan jarang menulis karya ilmiah. “kau lihat mataku ini Mud!” kata Hasan sambil menunjuk matanya “mata ini menyaksikan kalau Profesor yang seperti itu betul-betul tak ada gunanya! Mereka ada di sekitar kita, di kampus mereka bergentayangan”. “Ya, ada benarnya juga. Meskipun gak kuliah, aku bisa lihat gimana profesor-profesor yang sering tampil debat di televisi itu hanya tukang buat ribut dan suka mengukur IQ orang.” Kata Mukir sambil menggeleng kepala “udah gitu, mereka itu cuma sibuk main twitter dan facebook pula” “Saya sih lebih setuju jabatan professor itu diberikan sebagai penghargaan kegiatan penelitian. Kalau dalam waktu 3 tahun dia tidak menghasilkan satu penelitianpun, maka jabatan profesornya selesai. Dia jadi mantan, mantan professor” sambung Mahmud. Zulfikar RH Pohan



57



“Memangnya ada mantan professor?” tanya Mukir penasaran, dan penuh kepolosan. Hasan mendesis sambil memesan kopi “Cih! Motivasi untuk mengejar jabatan dan uang.” desis Hasan “Bang! kopi satu.” Lanjutnya dengan pekikan. “Anggap saja meninggal karena tidak produktif lagi, Hufft” kata Mukir lagi. Nasrudin Hoja yang dari tadi menyimak dengan sabar, menyela “Loh, loh, loh. Masalahnya itu kita tahu, mereka-mereka itu juga tahu kalau professor itu bukan dianggap sebagai jabatan, tapi gelar yang gak bisa dicabut.” Pembicaraan berjalan pelan dan berat, memang pembicaraan orang pinggiran selalu begitu, kritik-kritik sanasini, kutuk sana kutuk sini. Hasan sangat bersemangat seolah ingin menumpahkan segala kekesalannya kepada semua orang. Ia mulai menuduh sana-sini tentang otoritas dari kaum bodoh yang mendapatkan gelar profesor dengan enteng tanpa tanggung jawab sosial. Hasan dengan cekatan memancing Mukir yang tak terlalu kenal dunia akademik untuk ikut mengutuk sekolah, mengutuk otoritas ilmu dari orang-orang seperti profesor-profesor yang ‘di dewa’kan oleh orang-orang yang mereka katakan bodoh. “memang ada juga profesor yang berderma seluruh hidup dan matinya untuk menyelamatkan bangsa ini, bukannya menyelamatkan bokongnya sendiri. Tapi, ya itu tadi. Mereka sangat sedikit” keluh Hasan. “dua profesor baik akan kelihatan buruk juga lama-lama akibat tujuh profesor jahat”. Pendidikan saat ini, barangkali hanya merupakan sistem yang membuat orang-orang untuk patuh, mendikte supaya seragam. Anak-anak muda dengan niat dan semangat yang setengah-setengah menempuh pendidikan yang ujung-ujungnya dipisahkan dari lingkungannya, dari realitasnya. Selebihnya 58



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



anak-anak muda dihimpun dalam berbagai tugas-tugas kuliah dan berbagai pendangkalan yang mubazir. Maka disanalah letak eksistensi dan ‘kerja’ para penyandang gelar profesor. Mereka berternak sarjanawan, memberikan pengarahan dan tak lupa menjadi pembuka acara-acara dan kadang tertangkap hanya untuk numpang foto sebagai tanda berpartisipasi, setelah memberikan kata sambutan yang panjang dan tak sesuai topik acara dan cenderung curhat, lalu mereka hilang seperti kutu tanah yang bergerak cepat kerumah, menanti mangsa lain sembari sembunyi dilubang persembunyiannya, ya persis kutu tanah! Nasrudin Hoja nyengir dan berkata pelan “Ya, kalau aku sendiri pun. Jika terjebak dalam satu ruangan dengan seorang profesor potongan begitu tadi dan kemudian dalam ruangan itu ada seekor ular King Cobra. Maka aku akan lebih dulu membunuh profesor itu duluan ketimbang membunuh ular King Cobra”. “Kenapa?” tanya Hasan, Mukir dan Mahmud serempak. “Kalau aku bunuh ular duluan, maka profesor itu akan berceramah panjang lebar kepadaku bahwa kita harus menyayangi binatang dan bla bla bla, setelah itu ia akan menuntutku.” Kata Nasrudin Hoja dengan enteng. “Nah, kalau aku bunuh profesor terkutuk itu duluan lalu membunuh ular King Cobra yang mematikan, maka tidak akan ada orang yang sok pintar dan bicara ini-itu padahal keadaan tak semudah apa yang ada dalam kepalanya yang tertidur karena uang ‘tunjangan’ profesor” kata Nasrudin Hoja sambil ketawa dari dalam tenggorokan, persis seperti suara angsa. Hasan, Mukir dan Mahmud tahu kalau Nasrudin Hoja sedang membuat lelucon. Tapi lelucon itu sendiri bukan untuk ditertawakan. Hei, apakah ada lelucon yang bertujuan bukan untuk membuat tertawa? Tentu saja ada! Buktinya, Hasan, Mukir dan Mahmud tidak tertawa dengan lelucon Nasrudin Hoja, mereka malah melakukan hal yang aneh : berfikir. Zulfikar RH Pohan



59



Potret Aceh nyoe oeh dudoe suram Hanale saban ngon nyang ka lewat Jinoe nyang na le cit pertengkaran Sesama taulan ka kueung akrab



Asai makeusud beujeut direugam Dak salah jalan han geupakoe that Asai makeusud beu lam pangkuan Ngen handai taulan geutem meubrat-brat



Bangsa mulia jinoe tinggai nan Aceh ka saban ngen laen tempat Nyang na meubeda wab na sijampang Syariat islam aturan keutat



Nyan pih deuh aneh leumah sijampang Wab oeh berjalan kureung muslihat Lambang agama dipergunakan Lam keperluan sigala tempat



60



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



BAGIAN DUA Molotov Cocktail!



Zulfikar RH Pohan



61



62



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Menjadi Filsuf Bedebah Terkutuk “Apa buku filsafat favoritmu, buku yang menginspirasi duniamu, nak?” tanya Nasrudin Hoja. “The Adventure of Tin Tin” Jawab Sengok Kubis mantap, sambil menghembuskan asap rokoknya. “Hmm, ya sama! Aku juga. Kho Ping Hoo memang sangat bagus sekali ketika menuliskan cerita Tin Tin” sambung Dodil yang sedang ‘fly high’ akibat menghirup aroma lem. Dengan siapa Nasrudin Hoja berbicara? Tersebutlah Sengok Kubis dan Dodil, dua anak muda yang mampu berbuat apa saja, memasukkan kecoak dalam panci saat sedang memasak kuah belangong di acara syukuran tanpa sepengetahuan orang, meyemprot rumah orang kaya sombong dengan air got. Meminjam motor tanpa izin di kedai kopi lalu melempar polisi lalu lintas dengan batu lalu kabur lantas berkejaran dengan polisi. Mengetokngetok panci di tengah malam dan membangunkan orang-orang dengan geprekken gitar mereka yang cempreng. Mereka adalah anak muda yang ditempa oleh jaman. Sebagai anak muda, mereka adalah apa yang para pemimpin semacam Soekarno atau bahkan Hitler tempatkan sebagai sebuah objek yang hidup, mirip mitos, mirip kumpulan manusia ideal yang bakal menghadapi dunia dengan tubuh tegap dan pandangan jauh kedepan. Tapi sebenarnya anak muda kini terancam mati di sudut kamar, dipecundangi masa depan, digodok nasib buruk yang tak pernah berpihak pada mereka, keluarga yang berantakan, tuntutan hidup modern, bergelimang pilihan buruk di antara dunia-dunia yang kian busuk, Sengok Kubis dan Dodil ada di sana, di kamar yang terletak beberapa botol dan cairan entah apa yang menghiasi tembok, tak jelas. Seperti nasib mereka. Zulfikar RH Pohan



63



“Rumah adalah ketika kau berbuat seenak hatimu, menjadi sesukamu dan tak mandi-mandi tapi kau tetap bahagia dan percaya diri” jawab Dodil yang teler karena habis meminum air rebusan pembalut wanita. Sengok Kubis dan Dodil, sebagai anak muda yang hidup di sebuah rumah kumuh yang tak pernah dikunci (maling paling jahanam dan bodoh sekalipun takkan mau memasuki rumah mereka), mereka tak mempunyai galon air mineral, yang akhirnya sampah-sampah botol gelas air mineral terserak di hadapan mereka. Hidup mereka adalah rumus dari sebuah citacita anak muda kebanyakan saat ini, kekuasaan penuh, tak ada orangtua yang dapat melarangmu untuk ini dan itu, kebebasan tak terbatas. Untuk menggambarkan hidup mereka yang soliptis dan narsistis. Anak muda yang nihilistik, hidup mereka adalah pucak dari rasa frustasi dan kemarahan yang lahir dari pengalaman konsep penurunan kelas sosial, kebebasan dan sama sekali tak mempunyai masa depan. Pencundang yang menikmati hidup dengan kebrutalan! Sengok Kubis dan Dodil adalah nama yang aneh tentu saja, mereka menyimpan keanehan tersendiri untuk tidak disebut sebagai anak-anak soleh dan baik budi. Sengok, nama yang diambil karena nafas anak muda ini sering ngas-nges-ngos, sedangkan kepalanya kerucut dan rambut yang menyembul keatas menunjuk langit mirip buah kubis. Sedangkan Dodil, adalah nama yang diambil panggilan populer untuknya yang diambil dari nama mainan seks, Dildo. Sebenarnya nama mereka bagus-bagus, Sengok Kubis mempunyai nama asli Mulhi Sauqi, sedangkan Dodil mempunyai nama asli Fudhail. Keluarga mereka yang terpecahbelah, dengan pendidikan rendah dan peluang kerja yang kecil. Serta perilaku merusak bisa dilihat dari keterasingan mereka dan keterputusasaan, menunjukkan masa depan yang buntu bagi kebanyakan remaja kelas bawah maupun menengah. Sebagai anak muda yang berada di jalan kebangsatan, 64



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



mereka melakukan tugasnya dengan baik. Dalam lelucon yang mereka peragakan. Tabiat mereka, kejorokan mereka, membuat mereka terasing dari pergaulan sosial. Namun, lelucon-lelucon mereka dan tebakan-tebakan absurd yang aneh tetap disenangi oleh siapapun. Alasan mengapa sampai kini mereka masih dibiarkan hidup. “Aku punya tebakan buatmu,” kata Sengok Kubis “kemana penjahat atheis melarikan diri dari hukum?” “Aku tidak tahu” jawab Dodil. “Plesiran keluar negeri.” Jawab Sengok Kubis sambil ketawa cekakakan. “Ya, ya.. Dan, kemana penjahat sekular melarikan diri dari hukum?” tanya Dodil. “Apa?” tanya Sengok Kubis penasaran. “Ke rumah sakit, pura-pura sakit.” Jawab Dodil, lalu kemudian mereka tertawa terbahak-bahak. “Kalau begitu, kemana penjahat religius melarikan diri dari hukum?” tanya Dodil. “Entahlah” jawab Sengok Kubis setelah lama berfikir. “Umrah!” pekik Dodil, menyentil seorang pemuka agama yang tak pulang-pulang dari perjalanan umrah dengan alasan yang aneh. Mereka kemudian tertawa. Entah apa yang lucu. Sebagai pecinta heavy metal paling khidmat, Sengok Kubis dan Dodil tahu benar musik cadas yang di masanya mengubur moral dan dandanan rapi dalam perkakas yang diludahi dengan penuh kemenangan sambil berteriak ‘Matilah kejumudan!’. Zulfikar RH Pohan



65



Mereka memasang musik-musik heavy metal tanpa henti memakai speaker yang mereka curi dari asrama mahasiswi. Jelas Sengok Kubis dan Dodil mempunyai kegilaan yang masif dan sering tertangkap sedang mencoba membedah katak dengan pucuk belati dan menyebarkan ususnya kedepan rumah tetangga. Sangat heavy metal, bukan? Beberapa kali Nasrudin Hoja menjadi sekutu mereka dalam melakukan kejahilan yang hanya dimengerti oleh orang-orang tolol yang tak pernah punya kerjaan. Nasrudin Hoja menyukai cara mereka memandang dunia dan tak pernah menganggap mereka sebagai ‘sampah’ yang mesti dijauhi. Pernah satu kali, Sengok Kubis mabuk miras oplosan yang berbau seperti urine kucing Persia. “Seharusnya negara ini membuat Undang-Undang dilarang Miskin dan Kelaparan!” katanya sambil menegak miras oplosan. Kata kurang ajar dan tak pantas sering mengalir dari mulut mereka, mulut mereka itu selalu ngoceh seperti pintu labilabi yang terbuka lebar. “Kau membenci orang atheis, tapi kau tahu tidak? Kalau Tuhan itu atheis. Jadi, Tuhan adalah dedengkot atheisme” kata Dodil. Semua tahu, ketika mereka bicara tentang Negara, Agama, dan Tuhan adalah masa-masa ketika mereka menegak miras oplosan atau rebusan pembalut wanita. Tentu ini pelecehan, tapi siapa yang menganggap orang gila melakukan pelecehen. “Kau tahu, Nasrudin!” kata Dodil yang sedang mabuk dan tak pernah memanggil Nasrudin Hoja ‘Tengku’ atau ‘Pak’. “Apa?” “Kadang aku berfikir lebih baik aku membenturkan kepalaku ketembok” 66



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



“Kami pernah kuliah” kata Sengok Kubis. “lalu aku meludahi wajah seniorku” “Mengapa?” tanya Nasrudin Hoja sambil ikut menegak miras oplosan. “Aku selalu meludahi wajah orang yang aku benci” Sengok Kubis ketawa “dan aku memukulnya, tentu aku diberi teguran oleh pihak fakultas, besoknya aku datang pagi, dan aku mengencingi pintu kantor Dekan yang dikunci! “Akhirnya aku bosan, mereka tak memberiku apaapa, universitas mencuri semua dariku. Uang, waktu dan keingintahuanku” curhat Sengok Kubis dan karena banyak ketawa, ia jadi cegukan “Hik!”. “He, dasar dungu! Lalu buat apa kau kuliah?” cibir Dodil yang mabuk dan tangannya yang masuk ke selangkangan. “eh, *%#$^%!” bentak Sengok Kubis sambil memekikkan kata-kata kotor, “aku cuma mau tau, apakah kuliah itu ada gunanya atau enggak! Dan ternyata memang gak ada gunanya!” Dodil ketawa, Sengok Kubis ketawa, Nasrudin Hoja ketawa sampai hampir muntah karena minum miras opolosan aroma urin kucing persia. Sampai disana, Nasrudin Hoja berfikir lama. Disampingnya ada dua anak muda yang tak biasa, mereka seorang nihilis sejati. Dan dua anak muda yang mabuk karena miras oplosan dan rebusan pembalut itu adalah … filsuf.



Zulfikar RH Pohan



67



Kerasukan Jin Marie Antoniette Karena manusia modern sudah terlalu banyak sakit jiwa, dan kurang bahagia maka banyak anak-anak muda mencoba membahagiakan diri termasuk orang-orang tua yang pura-pura bahagia dengan ukuran kebahagiaan versi iklan. Hal ini pula yang membuat Nasrudin Hoja jadi cemas. Cemas, adalah salah satu penyakit manusia modern, Nasrudin Hoja telah menjadi manusia modern, otomatis juga bisa cemas. Penyakit sudah makin tak karuan banyaknya, kurikulum pendidikan dibongkar pasang persis ayunan bayi, birokrasi pemerintahan makin banyak dan cenderung bongsor hingga susah bergerak dengan cepat, wah banyak lagi kalau dituliskan semuanya. Oleh karena itu, Nasrudin Hoja cemas, setiap hari, Nasrudin Hoja selalu cemas, ada-ada saja yang ia cemaskan. Saat ini, yang membuat Nasrudin Hoja cemas adalah cara pikirnya dan cara berpakaiannya. Saat di era post-tsunami ini, orang-orang Aceh sudah pintar bergaya, anak muda sudah sangat up to date soal-soal pakaian internasional, begitupula orangorang tua. Ibu-ibu yang tinggal dalam gang-gang kecil sekitaran pasar Peunayong kadang-kadang tertangkap kamera memakai tas bermerk yang dikenakan oleh Kim Kardashin juga memakai sepatu yang pernah dipakai Victoria Beckham, tak lupa jilbab yang persis seperti yang dikenakan Syahrini semasa umroh. Orang-orang Aceh kini senang berpakaian semacam itu karena menunjukkan sisi kemodernan, peradaban, dan kecerdasan sebagai manusia kota yang jauh dari kekolotan apalagi soal-soal dukun, sihir serta klenik-klenik lainnya. Disamping itu, dimanapun di kota Banda Aceh dalam acara apapun, orang-orang selalu senang mempertontonkan tampilan budaya. Coba saja lihat dalam acara pembukaan apapun 68



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



(termasuk pembukaan acara lomba memasak) pasti ada minimal tari Ranup Lampuan. Perkara demikian membuat Nasrudin Hoja curhat ke pak Keuchik, “aku cemas, kok bisa-bisanya ada manusia jahiliah macam kita-kita ini, pak Keuchik?” tanya Nasrudin Hoja yang bukan untuk dijawab “orang-orang sudah menyembah benda, menyembah produk, menyembah mode. Bahkan menyembah budaya sendiri” Pak Keuchik ketawa, dalam hatinya ‘wah, sudah kumat lagi dia’. “Iya, pak Keuchik. Bayangkan saja, orang-orang ini semua berpenyakit kerasukan budaya sekaligus kerasukan jin dari ratu prancis Marie Antoniette yang masyhur itu. Kadang-kadang mereka senang menyanyikan dan melagukan musik tradisional, mereka bangga dengan warisan nenek moyang, bangga dengan keluhuran para leluhur, mengenang-ngenang dengan percaya diri sejarah kejayaan mereka, tapi disamping itu orang-orang berubah menjadi seperti ikan lele yang tak pernah kenyang, konsumtif luar biasa, mudah dibodoh-bodohi pasar, dimanipulasi zaman. Hih!” Pak Keuchik tak menanggapi, baginya Nasrudin Hoja makin lama makin dol otaknya, bicaranya seperti orang mengingau. “Atau jangan-jangan orang Aceh ini sudah terkena penyakit masochisme. Istilahnya, mereka tau Aceh ini bakal hancur karena budaya luar, karena budaya global, tak kuat berfikir untuk membentengi atau setidak-tidaknya membatasi, lalu orangorang Aceh ini jadi kepingin menghancurkan Aceh juga,” kata Nasrudin Hoja tetap bercuap “ ini gawat pak Keuchik, kita sedang membocorkan kapal kita sendiri, air bah sudah merebak masuk. Kita bakal karam.” Pak Kechik menahan sabar, menahan argumen tetap Zulfikar RH Pohan



69



istiqamah untuk diam. sedangkan Nasrudin Hoja makin tak sadar diri, terus meupeppep. “Kalau begini terus, ya. budaya kita hanya tinggal pajangan di warung makan cepat saji. Jadi bahan-bahan yang dilihat orang sambil lalu lalang. Tapi tujuannya bukan untuk dilihat atau dihayati, hanya sekedar menarik pelanggan, menarik orang untuk datang.” Pekik Nasrudin Hoja seperti kesetanan. “Gawat, gawat, gawat!” Ditengah kecemasan Nasrudin Hoja, ada juga jeda sedikit. Nasrudin Hoja terpekur, kepalanya tertunduk, sambil menggeleng-geleng. Melihat kondisi demikian, pak Keuchik senang, semua bacot Nasrudin Hoja terhenti ‘alhamdulillah’ batinnya pak Keuchik berbisik. Kemudian pak Keuchik menepuknepuk pundak Nasrudin Hoja. Dan, amboi! Betapa kagetnya pak Keuchik melihat merek jas Nasrudin Hoja, di sana tertulis merek ‘Brioni’. Merek jas yang dikenakan oleh Tom Cruise. Yang jika dikali-kalikan, seluruh pakaian pak Keuchik di lemari takkan cukup untuk membeli sepotong jas paling butut merek Brioni ‘bangsat kau Nasrudin!’ lirih pak Keuchik geram dalam hati. Sedih.



70



Nasrudin Hoja dan pak Keuchik sama-sama tertunduk.



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Menghajar Bangkai Tikus Pada suatu pembicaraan yang sedang hangat-hangat soal Peka’i, Hasan dengan teman-temannya dari gampong sebelah sedang berbincang-bincang. Hasan seperti biasa dengan gaya oratornya biasa memekik “Peka’i harus dibantai, dan orang yang mencoba mencelakaan umat Islam serta mencoba menghinakan ulama-ulama kita adalah Peka’i. Dan sekarang Peka’i itu sedang menyamar menjadi orang-orang gila” “Hmm. Benar sekali!” dukung orang-orang yang ada di pos jaga. “Orang Peka’i sebagian besar diimpor dari Cina, lihatlah betapa Cina itu musuh dalam selimut, aku yakin mereka adalah orang-orang yang berada di balik skenario kebangkitan Peka’i ini,” sambung Ulix Sumbing, pemuda berambut cepak yang mempunyai kegemeran baru membaca konspirasi dajjal dan illuminati, “Kuminis itu, buatan manusia laknat yang percaya manusia berasal dari kera, Thomas Darwin namanya!” “Benar itu! Apalagi sekarang orang-orang Cina itu sudah mulai menganggap mereka kita perlakukan tidak toleran. Padahal merekalah yang tidak toleran, lihat saja si Arif Kutu, dia kerja di tempat orang Cina dan dimarahi setiap hari, bukan begitu, rif?” tanya Hasan. “Iya, betul.” Jawab Arif Kutu lemah tak berdaya setelah dikejutkan dengan pertanyaan Hasan yang tiba-tiba. “Wah-wah, kalian semua kok punya kesimpulan macam begitu?” sela Mukir, “bisa jadi mereka yang menguatkan negara kita, mereka pekerja yang taat, investor! Negara kita bisa dapat untung banyak” tandas Mukir. Zulfikar RH Pohan



71



“Alaaggh, tidak ada itu!” seru Rizik, “Yang ada mereka bakal memiskinkan negara kita, mereka itu kapitalis, antek-antek Dajjal, paham mereka liberal, dan mereka ingin mendirikan negara Indonesia yang kuminis.” Simpulnya. Perdebatan mereka di pos jaga malam berlangsung riuh tanpa titik temu, sebagaimana perdebatan jalanan. Asal ada kopi satu termos, sudah bolehlah jadi teman pelengkap jaga malam dan debat sampai pagi. Pos jaga itu tak jauh dari gubug Nasrudin Hoja, mau tak mau perdebatan itu terdengar sampai ke gubug Nasrudin Hoja. “Pokoknya! Peka’i dan Cina itu sama, kapitalis, liberal dan akan merugikan umat Islam” tegas Hasan dengan pekikan, disambut dukungan dari Rizik dan teman-temannya. Nasrudin Hoja sendirian di gubuknya. Maklum, musim hujan membuat Nasrudin Hoja breun jak alias mager alias malas gerak. Kali ini memang, Nasrudin Hoja malas keluar rumah dan tak ada tugas jaga malam. Dalam kenikmatan lamunan sambil berzikir, Nasrudin Hoja bukan hanya dikejutkan oleh pekikan Hasan soal Kuminis, Cina, kapitalis dan liberal saja, yang paling mengganggu Nasrudin Hoja adalah ada seekor tikus yang kurang kerjaan datang kekamarnya, otomatis Nasrudin Hoja kaget dan merasa risih. Nasrudin Hoja tetap menahan emosi, membiarkan tikus itu berkeliaran selama tikus itu tak menganggunya. Namun, dasar memang binatang, semakin lama tikus itu makin brengsek, tikus itu sudah berani berjalan di perut Nasrudin Hoja saat sedang tidur. Lah, siapa yang tidak kaget? Saat mencoba tidur lagi, tikus itu malah masih melintas di atas tubuh Nasrudin Hoja. Nasrudin Hoja merasa harga dirinya terinjak-injak oleh tikus. Maka Nasrudin Hoja tak bisa tidur dalam satu malam itu, menanti tikus lewat dan berencana menghajarnya dengan sapu apabila tikus itu lewat. Sayang, tikus itu juga cerdik, ketika Nasrudin Hoja tidur, dia 72



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



dating. Ketika Nasrudin Hoja jaga, dia sembunyi. Alhasil Nasrudin Hoja tak tidur-tidur, tikus itu pun tak lagi datang sampai adzan subuh. Nasrudin Hoja tak tidur gara-gara seekor tikus. Bukan main geramnya Nasrudin Hoja kala itu. Paginya, Nasrudin Hoja melacak tikus itu. dan ternyata tikus terkutuk itu bersarang di sudut kamar dengan lubang di tanah. Nasrudin Hoja bersiap dengan sapu seraya memancing tikus itu keluar, saat dipancing keluar dan tikus itu keluar tibatiba, Nasrudin Hoja gelagapan dan mencoba memukulnya dengan sapu. Tapi sungguh sial! Nasrudin Hoja bukan pemukul handal. Si tikus kabur. Nasrudin Hoja makin geram luar biasa. Berniat mencari angin segar di luar di hari yang cerah, di jalanan Nasrudin Hoja melihat seekor tikus besar yang mati dilindas mobil. Seperti anak ayam yang menemukan induknya, Nasrudin Hoja berlari kearah bangkai tikus itu menghajar mayat tikus yang malang. Saat betapa Nasrudin Hoja menghayati pukulan demi pukulan ke bangkai si tikus, seorang teman Hasan yang bernama Rizik melihat kelakuan Nasrudin Hoja yang ganjil. “Apa yang kau lakukan, Tengku Nasrudin?” tanya Rizik yang kebetulan lewat. “Oh, anu” jawab Nasrudin Hoja dengan cepat. “Ada seekor tikus kecil yang mengganggu tidurku tadi malam, aku gagal membunuhnya, lalu aku lihat ada tikus mati dijalan ini. Aku pukuli saja tikus mati ini” “Loh, jelas beda. Tak ada gunanya memukuli tikus mati itu, lagian bukan dia yang mengganggu tidurmu.” “Pokoknya, semua tikus itu yang manapun adalah yang mengganggu saya tidur dan jelas merugikan saya!” pekik Nasrudin Hoja menirukan suara Rizik tadi malam. Sambil memekik Zulfikar RH Pohan



73



Nasrudin Hoja memukul-mukul mayat tikus malang itu. “dasar tikus antek-antek Peka’I, liberal, mengganggu tidurku. Peka’i, Peka’i, Peka’i!” kata Nasrudin Hoja sambil memukuli bangkai tikus tanpa henti. Rizik hanya menatap Nasrudin Hoja. Malu, sebab yang menganggu tidur Nasrudin Hoja bukan hanya si tikus, melainkan ulah perdebatan Hasan, Mukir, Rizik, dan rakan-rakan lainnya.



74



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nasrudin Hoja Itu Binatang Demokrasi kehilangan keanggunannya, semakin tipis saja orang yang mengkaji demokrasi sebagai jalan bangsa tersendiri. Pemerintah jadi kehilangan legitimasi sehingga timbul kesan gali lobang tutup lobang, pinjam uang bangun jembatan layang dan bangun mesjid. Belum lagi, bank-bank melakukan gaya-gaya yang aneh dengan berbelok-belok tanpa kontrol, manuver berlebihan. Agama pun semakin maskulin, main gasak, main gusuk dan waduh, susah sekali memisahkan agama dengan politik, agama dengan kepentingan, dan agama dengan keberpihakan jalan-jalan seperti ini membuat agama menjadi tak berdaya, lemah dan jinak dipolitisasi dan dikapitalisasi. Di zaman ini para sosiolog makin bingung, penelitiannya bertahun-tahun di labotarium patah oleh argumen agamawan di mimbar-mimbar rumah Tuhan. Ahli politik tak lebih dari pecundang yang mesti dibredel susupan-susupan partai politik, tak ada yang boleh terbang bebas, bahkan burungpun kalau bisa pasti diberikan batas-batas kewarganegaaraan, mengingat semua kini tak boleh ada yang independen, kalau benci A maka kamu pasti B, kalau benci B maka kamu pasti A, tidak ada pilihan C D E sampai Z. Dan oleh sebab itu, perdamaian tak pernah jadi pilihan orang, tahunya hanya pilihan antara perang dan pengamanan, cinta dan kasih sayang benar-benar tidak marketable. Terakhir, filsuf jadi bingung dan ingin balik saja kerahim ibu mereka andaikan saja memungkinkan. Para filsuf jaman kini tak tampak lagi, mungkin menyembunyikan diri mungkin pula bosan, karena filsafat sudah terlalu abstrak, tercabik oleh dogma, dan tercerabut dari persoalan dunia. Huu, malang! Sejarah belum selesai, mungkin sejarahwan-sejarahwan baru akan lahir. Di masa depan mungkin ia akan menertawakan hari ini, atau bersedih dengan hari ini. Tapi, toh kebanyakan Zulfikar RH Pohan



75



serajahwan mengutuk sejarah yang ditulisnya sendiri. Sejarah manusia adalah sejarah antara perlawanan dan penindasan, tulis seorang sejarahwan kiri. Tapi, benarkan itu? Nasrudin Hoja tak ingin jadi sejarahwan, karena ia sendiri adalah sejarah. Tapi, menurut Nasrudin Hoja, sejarah bukanlah cerita tentang siapa yang menindas dan siapa yang melawan. Sejarah adalah soal siapa yang tetap konsisten untuk menjadi primitif, atau siapa yang berusaha untuk pintar dan beradab. Nasrudin Hoja memang kurang ajar. Menurutnya lagi, kebodohan itu akan tetap ada, yang jelas kebodohan itu adalah ‘akibat’ dan ‘sebab’nya adalah kegilaan. Di Aceh kemudian timbul satu tradisi cambuk-cambukan yang mirip hiburan –dan memang orang Aceh benar-benar kurang hiburan—maka, hiburan dibuat dengan sangat apik yang mungkin disediakan untuk tempat orang berteriak dan berseru ketika palaksanaan hukum cambuk. Banyak sindiran keras dan kutukan yang tak pernah padam dan senyap. “Poh lom… Poh lom… poh lom, Horee!” sorakan demi sorakan bersautan dengan riang gembira, sedangkan di atas panggung, perempuan muda yang berpakaian serba putih menunduk memandang lutut-lututnya yang bergetar.



(seorang perempuan sedang dihukum cambuk di pelantaran mesjid dengan penonton yang membludak, berebut mengabadikan di telepon genggam)



76



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nasrudin Hoja, bukanlah pahlawan. Bukan ingin menjadi orang suci yang berbicara tentang ini dan itu di tengah keriuhan, atau lebih baik disebut pesta hiburan dari masyarakat yang dalam terjemahan kasar sedang bertepuk tangan untuk penghukuman dari perlakukan maksiat. Negara dengan kata lain, telah menjadi semacam institusi bagi para algojo untuk masyarakat. Sebuah ingatan menghantui Nasrudin Hoja, mundur ke abad jauh kebelakang. Abad-abad kelam di Eropa maupun di belahan dunia lainnya, tetap meninggalkan bekas. Di Inggris, pada abad ke-18, dilakukan acara ‘hiburan’ kerajaan berupa menggantung kepala orang-orang yang dianggap bersalah, setidak-tidaknya ada delapan kali dalam setiap tahun, ada belasan bahkan puluhan manusia yang dihukum mati dalam satu sesi penggantungan. Abad selanjutnya, abad ke-19 di Iran, bahkan kejadian lebih memilukan, manusia yang dihukum akan dipancung kepalanya, dan dibiarkan tergeletak di jalan menuju istana. Begitupula di Cina pada abad ke-20, pemancungan kepala sengaja dilakukan di depan umum, dikeramaian, dengan dalih ‘biar mereka jera!’. Tapi benarkah mereka jera? Omong kosong! Kebrutalan tetap terjadi, depresi manusia-manusia miskin yang selanjutnya memutuskan untuk berbuat krimanal tak bisa dibatasi, dan kesalahan masih tak pernah bisa dihapuskan dari dunia ini, karena toh kita tahu dunia bukanlah surga. Hukuman-hukan tersebut tak lebih dari cara menakut-nakuti si miskin, seraya mengkampanyekan betapa besar dan luasnya kuasa Yang Mulia Raja! Kesalahan memang bisa terjadi, kemaksiatan menjadi dalih untuk penyembuh pemerataan yang macet. Riuh-riuh tepuk tangan dan kutukan yang terdengar dari eksekusi riuh-riuh tepuk tangan dan kutukan yang terdengar dari eksekusi cambuk. Ya, mau bagaimana lagi, Pemerintah hanya sebagai penyambung sikap rakyatnya. Di jalanan, begal kepalnya dipukuli dulu sampe bentolbentol seperti hidroselafus, setelah itu motornya dihancurkan Zulfikar RH Pohan



77



sampai tinggal tiangnya, terus disiram bensin. Orangnya kemudian diseret dan mau dibakar di tiang kretanya. Di sanalah, di sanalah orang-orang merayakan kebrutalan dengan gempita. Siapakah orang yang melakukan itu, ternyata semua yang bergerak adalah mereka-mereka masyarakat kelas menengah kebawah. Sesama orang miskin saling bunuh, dan si kaya berhak menentukan hukum bagi si miskin dan menghukumi si miskin sehabis-habisnya habis. *** Seorang anak muda tertangkap mesum dan bakal dicambuk. Dan sekumpulan lelaki yang bakal dicambuk juga. Pamplet penyambukan disebarkan, “saksikanlah beramai-ramai hukum cambuk, bla, bla, bla” di jajarkan di samping spanduk konser-konser artis dari ibukota. Nasrudin Hoja awalnya senang melihat berbagai fenomena yang ia lihat di Aceh, kecuali di sesi penyambukan dimana eksekusi cambuk dilakukan di abad-21, Orang-orang dicambuk dan para penonton bersorak-sorai kegirangan. Nasrudin Hoja tercekat, seketika Nasrudin Hoja yang jenaka tersambar petir bajingan yang membuatnya kaku, membuat seolah kotak tertawanya lenyap, senyumnya pudar seperti noda kotoran yang disiram detergent anti-noda.



78



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



(spanduk yang banyak tercecer untuk mengumumkan eksekusi penyambukan dengan dalih yang diamini untuk membuat semacam ritual ‘Syariat’)



Semenjak menonton penyambukan bagi pelaku khalwat, Nasrudin Hoja jadi tercekat-cekat ketika bicara, kadang ia duduk sendirian di bawah pohon. Jarang terlihat nangkring di pos jaga. Jarang ceria dan melemparkan lelucon-lelucon atau argumen seperti biasa. Nasrudin Hoja jadi senang menggong-gong, kadang mengembik seperti kambing kadang menepuk tangan di sudut ruangan sambil menangis. Alih-alih peduli dengan kegilaan Nasrudin Hoja, orang-orang lebih senang mengambil kesimpulan “otaknya sudah dol” kata mereka, yang lain membenarkan sambil berkomentar. Pak Keuchik jadi terharu melihat sikap Nasrudin Hoja, sepertinya hanya pak Keuchik yang menyimpan keseriusan melihat perkembangan Nasrudin Hoja semakin hari. Pak Keuchik datang kegubug Nasrudin Hoja, memberikan salam lalu membuka pintu, terlihat Nasrudin Hoja sedang duduk di sudut ruangan sambil tertawa. “Tengku Nasrudin, apa yang kau lakukan?” tanya pak Keuchik. Zulfikar RH Pohan



79



“Aku takut, aku trauma!” pekik Nasrudin Hoja “pergilah dari sini, Guk! Guk! Guk!” tiba-tiba saja Nasrdin Hoja menggonggong.. Pak Keuchik bingung, jadi salah tingkah. Kenapa? Tanyanya. “Manusia sekarang sudah gila, gila, gila. Tidak ada yang bisa dipercaya semua menjadi jiwa-jiwa yang fanatik, wajah-wajah itu..oh wajah-wajah itu!” Nasrudin Hoja menatap keatas, seolah ingin menarik-narik angin “wajah-wajah itu…” “Wajah apa?” Nasrudin Hoja tercekat, lalu menatap pak Keuchik dengan sinis, sangat sinis. Pak Keuchik jadi ketakutan. “heh, jangan-jangan kamu sama seperti mereka!” vonis Nasrudin Hoja. “Apa?” pak Keuchik jadi heran, jangankan pak Keuchik, penulis saja heran kemana sebenarnya konteks pembicaraan mereka. “Mereka orang-orang yang kegirangan ketika manusia melakukan dosa, mereka yang senang dan menyebut penyambukan manusia sebagai hiburan!” Nasrudin Hoja menangis, menangis seperti melolong seperti hendak berubah jadi manusia srigala. “aku dikelilingi setan, setan, setan” pekik Nasrudin Hoja. Baiklah, Nasrudin Hoja tampak terlalu lebay, penulis setuju bahwa di adegan ini Nasrudin Hoja lebih cocok menjadi pemain teater sambil memerankan Oedipus. “Setan?” “Hanya Setan Hablis yang senang melihat manusia melakukan dosa!” “Bukan, anu… Bukan seperti itu juga, itukan cara kita 80



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



menghukum para pembuat dosa” Nasrudin Hoja menatap pak Keuchik dengan garang, sampai pak Keuchik bergidik ngeri, dengkul pak Keuchik ngilu karena tatapan Nasrudin Hoja. Mungkin pak Keuchik bicara sesuatu yang membuat Nasrudin Hoja tak nyaman. “Isa Almasih dengan berat hati menghukum rajam pelacur.” Kata Nasrudin Hoja tiba-tiba, dengan suara cemerlang dan tegas “Isa Almasih mengalirkan kebaikan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam menolak menghukum Dustur yang padahal baru saja menghunus pedang di leher Rasulullah. “Ya, tapikan kita bukan Nabi Isa, dan bukan Rasulullah” pak Keuchik memberanikan diri untuk membuka mulut. “Nah, oleh karena itulah aku menggong-gong malam hari, dan mengembik di siang hari” Pak Keuchik melongo. Nasrudin Hoja betul-betul sudah dol otaknya. *** Setelah berkunjung di kediaman Nasrudin Hoja, pak Keuchik memikirkan kata-kata Nasrudin Hoja dengan amat mendalam. Saat pulang kerumah, pak Keuchik menonton televisi yang menayangkan berita-berita politik. Hal itu membuat pak Keuchik berkali-kali menggeleng karena dunia politik yang makin aneh. Saking asiknya menyimak berita politik, Istri pak Keuchik memanggil. Pak Keuchik menyaut dengan malas “heeuh” dengungnya. Lalu, setelah itu kemudian pak Keuchik mengucap Astaghfirullah. Karena tanpa sadar, pak Keuchik terdengar seperti melenguh, persis lembu. Zulfikar RH Pohan



81



Pak Keuchik melamun, lalu menangis. Meyakini bahwa Nasrudin Hoja benar. memang manusia tak lagi punya pedoman dalam hidup tidak mengikuti para Nabi dan Rasul dalam membimbing manusia, kini orang-orang seperti hewan ternak, bahkan lebih daripada itu. di tengah-tengah berita politik yang sedang bising, pak Keuchik melenguh sambil menangis, seperti lembu yang hendak disembelih. Lebay? Ya, Nasrudin Hoja dan pak Keuchik memang cenderung lebay, tapi yang mengherankan dan harus ditanyakan adalah, apakah kita sudah mengembik dan melenguh hari ini?



82



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Main Sokrates-sokrates-an Elon Musk pernah berkata, “Bangsa manusia itu jangankan tahu jawaban, memformulasikan pertanyaan dengan baik saja belum bisa” sebagai lelaki kaya dan pengusaha sukses semacam Elon Musk, penemuan-penemuan di dunia saat ini sedang ada di masa yang berat. Elon Musk punya jawaban dari segala pertanyaan tentang energi terbarukan dalam hal penemuan manusia untuk, penenamun yang jelas umat manusia saat ini sedang kelabakan dan kecele, kelabakan karena tidak ada orang-orang yang bertanya persis Socrates lagi yang lahir dan kecele saat hendak ditanya, persis pertanyaan yang sulit dijawab orang dewasa ketika seorang anak balita tanggung bertanya ‘Ayah, mengapa Ibu bisa hamil?’. Nasrudin Hoja bukalah seorang penakhluk, bukan pula tukang patuh. Motto hidupnya : jika orang kebanyakan berfikir A maka ia harus berfikir B, begitu pula sebaliknya. Nasrudin Hoja adalah seorang pengembara, namun ibarat pujangga di taman bunga, Nasrudin Hoja senang menatap bunga dan merawatnya, alih-alih ingin memetik bunga tersebut. Entah apa yang merasuki Nasrudin Hoja hingga menjadi lelaki petualang yang tangguh persis seperti koboi jagoan, Lucky Luke atau film koboi klasik yang pernah dibintangi Clint Eastwood. Dalam sejarahnya, tidak ada seorang manusia pun yang bisa menghalangi Nasrudin Hoja untuk mengembara. Jangan pernah coba-coba mengikat kaki Nasrudin Hoja pada satu kepastian tempat, keyakinan dan kebenaran, karena Nasrudin Hoja tak punya kaki, ia melayang dan mengembarai dunia. Melayang-layang seperti pertanyaannya. Posisi Nasrudin Hoja ini kalau di birokrasi pemerintahan pasti sudah disingkirkan dia, disikat kiri dan kanan. Karena bagaimanapun orang-orang dalam pemerintahan tak mesti payahpayah bertanya, tak usah sok kritis segala. Karena semua harus mengangguk sama atasan. Tak boleh cerdas-cerdas atau baikZulfikar RH Pohan



83



baik sekali, kalau sampai seperti itu bisa rusak, rusak, rusak. Tapi untungnya, Nasrudin Hoja bukan salah satu diantara para birokrat pemerintahan. Makannya dia senang ‘main Socrates-socratesan’. Nasrudin Hoja membuat siapapun jadi gagal jantung, susah bernafas dan panas dalam berikut menyusul penyakitpenyakit karena banyak menahan geram dengan tingkah Nasrudin Hoja. Bukan hanya dengan wajahnya yang seperti-terlihat-takbersalah, tetapi juga karena pertanyaan-pertanyaannya. Nasrudin Hoja selain punya motto, beliau juga punya satu prinsip, yaitu ‘questioning everything’. Persis Socrates. Pak Keuchik adalah salah satu orang yang geram dengan Nasrudin Hoja, pasalnya setiap Pak Keucik bertanya, Nasrudin Hoja akan menjawabnya dengan pertanyaan yang lain, atau bahkan tak menjawabnya sama sekali, akan tetapi justru malah memberikan pertanyaan yang akan membuat Pak Keuchik terjebak dalam pertanyaannya sendiri hingga Pak Keuchik akan menggerutu ‘menyoe loen teupe meuno, han jadeh loen tanyong bak ureung tuha nyan!’. “Tengku Nasrudin, Aku punya masalah” kata pak Keuchik hendak ingin curhat. “Apakah itu benar-benar satu bentuk masalah, atau hanya persepsimu yang berlebihan terhadap satu kejadian?” tanya Nasrudin Hoja suatu kali. Pak Keuchik geram meski hati kecilnya kadang membenarkan pertanyaan dari pertanyaan balik Nasrudin Hoja. Kadang memang persepsi manusia yang terlalu berlebihan ketimbang masalah yang dihadapinya. Bagaimanapun kesalnya Pak Keuchik pada Nasrudin Hoja, selalu saja Pak Keuchik mencari cari cara agar Pak Keuchik yang gantian sekali-sekali menyudutkan argumen Nasrudin Hoja. 84



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Karena lelah dengan gaya Nasrudin Hoja, Pak Keuchik gusar dan bertanya pada Nasrudin Hoja “kenapa kau selalu bertanya kembali saat aku bertanya padamu?” “Hmm. Apa iya?”



Zulfikar RH Pohan



85



Nasrudin Hoja, dan Lemparan Batu Pilkada Aceh menjadi buntu, pasalnya demokrasi yang diberikan pada Aceh seluas-luasnya malah membuat hal yang selama ini membuat jurang perbedaan yang dalam. Konflik horisontal pecah seperti perpecahan GAM vs GAM di pemilu Aceh 2012. Selanjutnya konflik horisontal menjadi lebih merusak mental orang Aceh sendiri. Demokrasi seperti buah simalakama bagi orang Aceh. Apa sebab? Usut punya usut energy per-kawoman orang Aceh masih sangat kuat dibidang politik. Politik mekawom namanya. Mekawom diartikan dengan bersaudara, ya sekilas tak ada masalah dari arti kawom itu sendiri. Namun akan menjadi masalah ketika diberikan kata depan ‘politik’. Politik kawom. Aceh didera habis-habisan oleh politik kawom, memenangkan saudara atau golongan untuk kekuasaan, bahkan ada pula yang sampai memutuskan tali per-kawoman demi politik-kekuasaan-yangmembosankan. Gejala-gejala keruntuhan di Aceh dimulai dari politik mekawom ini, salah satu gejala horisontal yang mencuat adalah gerakan pemekaran Aceh, ALA dan ABAS (ALABAS). Ketidakmerataan pembangunan di Aceh menjadi dalih bahwa memang pusat provinsi Aceh selama ini hanya berat sebelah kepada pihak kawomnya saja, tuduhan rasilisme dalam pembangunan di gembar-gemborkan. Senjata-senjata sengatan dengan berbagai tamsilan dikeluarkan dari yang pro dan kontra. Tuding menuding menjadi lauk-pauk yang disantap setiap hari dengan nasi dan beragam sifat keangkuhan politisi Aceh kontemporer yang melengkapi diri dengan atribut 86



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



berupa mahasiswa aktifis sempalan dengan nama gerakan yang bermacam-macam. Soal kemajuan demokrasi Aceh dan memperpanjang nota kedamaian bagi Aceh yang lebih baik. Ah, lupakan saja! Semua demi Pemilukada! Masa Pemilukada, Nasrudin Hoja tak banyak keluar dari gubuk persinggahannya di samping meunasah. Ada semacam kemalasan untuk keluar. Seharian Nasrudin Hoja hanya dudukduduk di gubuknya, kadang menyanyikan lagu-lagu entah bahasa apa (belakangan orang-orang menduga dia sedang mendendangkan syair-syair Jaluludin Rumi dengan bahasa Turki), dan kebanyakan juga Nasrudin Hoja bershalwat serta berzikir, mengingat Allah. Nasrudin Hoja takut, di Pilkada semacam itu orang-orang bisa sangat rentan lupa kepada Tuhan. Apapun itu, Nasrudin Hoja tak ingin melupakan Tuhan dalam kondisi segenting Pilkada. Baginya, di Aceh tak ada kondisi yang paling genting selain Pilkada! Nasrudin Hoja ingat di masa ketika ia menyambangi Cina, di zaman Mao Tse Tung. Petani-petani dan nelayan sangat senang ketika berhasil mendapatkan panen yang besar dan ikan-ikan yang besar pula. sebagian orang mengganggap itu adalah karena mereka banyak mengamalkan ideologi Mao dalam buku panduan yang ditulis sendiri oleh Mao. Adakah partai bisa semanjur itu? Ah, itu kan masa komunis. Orang-orang Aceh di sini menyebutnya sebagai paham manusia-manusia atheis. Dan saat ini, Nasrudin Hoja sedang mengalami dilema, bagaimana bisa di Aceh, yang dilengkapi qanun-qanun yang jelas dikutip dari kitab suci, bisa percaya bahwa Pilkada adalah apa yang menyebabkan hidup mereka berubah dalam kepemimpinan selanjutnya, bukankah itu sebuah bentuk pengundian nasib? Tentu itu hanya Zulfikar RH Pohan



87



cara Nasrudin Hoja mencocok-cocokkan Cina dan Aceh, yang padahal beda jauh. Tapi dalam masalah partai? Hmm… Partai memang dianggap keramat di Aceh, sebagian menganggap salah satu Partai daerah di Aceh adalah pilihan final, antara hidup dan mati. Pernahkah seorang ibu yang mencari tirom di sungai bersyukur karena telah diberikan berkah dari Partai lokal di aceh? Mungkin… ah, Siapa tahu. Lamunannya jadi buyar, ada orang yang mengetuk gubuk Nasrudin Hoja. Di hari subuh yang gelap? “Tengku Nasrudin, bukalah pintu” “Siapa?” “Kami adalah sahabat-sahabatmu!” “Sahabatku siapa?” Orang-orang yang ada diluar menyebut namanya, nama yang Nasrudin Hoja kenal dan pernah berkali-kali duduk satu meja di warung kopi gampong. “Oh, kalau begitu tunggu sebentar” ujar Nasrudin Hoja. “Oke” Beberapa saat kemudian, Nasrudin Hoja keluar dari gubuknya, membawa satu karung batu yang dikumpulkannya saat setelah mereka mengetuk pintu. Nasrudin Hoja membuka pintu lalu melemparkan batu kearah ketiga lelaki itu. Tanpa belas kasihan Nasrudin Hoja melepar mereka semua dengan batu. Tentu ketiga orang tadi merasa kaget. Dan berlari menjauh. “Nasrudin, apa yang kau lakukan?” tanya salah seorang dari mereka. Belum lama saat menanyakan itu, Nasrudin Hoja menimpuk kepala lelaki itu dengan batu. Darah mengalir, lelaki 88



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



itu teriak. “Hentikan Nasrudin!” bentak temannya satu lagi. Nasrudin Hoja makin menggila melempari yang lain bagai pejinah yang mesti dirajam sampai mati. “Nasrudin Hoja sudah gila!” teriak mereka. Seketika orang-orang yang datang ke gubuk Nasrudin Hoja tadi lari menjauh. “Dasar kalian pendusta! Kalian bilang kalian adalah sahabatku, kenapa kalian berlari saat aku melakukan kesalahan? Bukannya merangkulku?!” pekik Nasrudin Hoja keras sekali, sampai menjadi bahan tontonan orang-orang di subuh yang biasanya tenang “pergilah pendusta, aku tak butuh sahabat palsu macam kalian!” “Nasrudin Hoja telah gila! Nasrudin Hoja telah gila!” pekik ketiga lelaki itu sambil lari menjauh. Sesaat mereka semua pergi, Nasrudin Hoja menutup pintu gubuknya, di balik pintu Nasrudin tersenyum, dan bersyukur kepada Allah. “Alhamdulillah, aku terlepas dari mereka yang mengaku sahabat tapi meninggalkanku saat aku berbuat gila. Cih, sahabat palsu!”.



Zulfikar RH Pohan



89



Pemerkosaan, Pesta seks dan Tempe Goreng Seorang anak gadis baru saja diperkosa, dan selebihnya lagi banyak perempuan-perempuan jadi sasaran empuk pelampiasan laki-laki yang kurang hiburan. Dunia yang aneh menemukan jati dirinya melalui laki-laki yang serampangan. Meresahkan tentu ketika seorang perempuan berpakaian ketat lalu ditegur dan disemprot oleh cat semprot. Di lain sisi, perempuan tetap dijadikan objek dari kekerasan dan objek kesalahan. Di sebuah daerah dekat laut, ada semacam pamplet yang dibuat oleh pemerintah Aceh bertulisakan semacam peringatan: MATI SEKALI, HIDUP SEKALI, PERAWAN SEKALI, MENYESAL TIADA ARTI!!!



(Pamplet di sepanjang jalan alue naga, Aceh Besar)



Di balik tulisan itu ada kata-kata yang lebih besar lagi “DILARANG PACARAN”. Sekilas banyak hal yang mengundang pertanyaan dari papan peringatan tersebut, kenapa mesti masalah 90



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



‘PERAWAN’ yang diserang? Nasrudin Hoja bertanya-tanya ‘apakah ketika pacaran yang salah selalu perempuan?’ Memang, hukumnya, tidak ada Supply tanpa Demand, tidak ada permintaan tanpa penawara, begitu juga sebaliknya. Ada yang memaksa dan ada yang dipaksa. Lalu kenapa yang diserang hanya ‘PERAWAN’ yang notabene melekat pada stigma seorang perempuan. Nasrudin Hoja juga pernah berkenalan dengan aktivisaktivis feminisme di pelosok kampung paling tradisional di Aceh yang sebenarnya tak tahu apa itu feminsime dan kesetaraan Makannya dia agak mumang melihat papan peringatan yang aduhai memancing geram terlebih di pusat provinsi Aceh, Bah!.



(Pamplet di pantai Lam Dingin, Aceh Besar)



“Seksualitas memang bisa merupakan ekspresi pembebasan, dari kekuasaan yang sok suci dan hobi mengawasi!” kata Nasrudin Hoja sambil menyeruput kopi pagi dengan koran yang mengangkat tema pesta seks pada sekumpulan mahasiswa. “Sejak kapan seksualitas itu sebagai ‘pembebasan’?” tanya Hasan menimpali. Mukir tertawa, sambil menunggu jawaban kurang ajar Nasrudin Hoja yang lain. Nasrudin Hoja tidak langsung menjawab, sambil Zulfikar RH Pohan



91



menghisap rokok balut murahnya, Nasrudin Hoja menggarukgaruk dagu dan mendongak ke atas, seolah berfikir. “Hmm… Hmm” gumamnya. Hasan dan Mukir jadi tambah penasaran. Tiba-tiba dengan nada lirih namun ceria, Nasrudin Hoja menyanyikan sebuah lagu dengan suara serak-serak becek. Lagu yang asing “Let me tell you now, Everybody talkin’ about Revolution, evolution, masturbation, flagellation, regulation, integrations, meditations, United Nations, Congratulation… All we are saying is give peace a change, All we are saying is give peace a change” pekik Nasrudin Hoja semangat. Hasan dan Mukir heran. “Di zaman yang jauh, kita menemukan satu tembang yang dinyanyikan orang-orang Hippies dan penulisnya adalah John Lennon yang masyhur itu” jelas Nasrudin Hoja menjawab keherannan Hasan dan Mukir. “Apa hubungannya dengan Seks sebagai perlawanan?” ulang Hasan dengan pertanyaan yang diperjelas kembali. Nasrudin Hoja tertawa “Ketika pemerintah semakin represif, satu gerakan menentang peperangan dan kekalahan Amerika yang terus melakukan perang, anak-anak muda mempunyai gaya baru, Hippies. Hippies tanpa pengekspresian tubuh bukanlah Hippies, dan seks sebagai lambang perlawanan terhadap peperangan dan macam-macam bentuk larangan negara” ucap Nasrudin Hoja seolah ia ada di selasar gedung putih Amerika sedang melakukan seks ditenda-tenda kaum Hippies, “ah, jaman penuh gairah. Jaman penuh gairah!” gumamnya senyum-senyum. “Sejarah mereproduksi kenangannya sendiri, dan orangoran seperti mereka kini tersingkir, bukan?” timpal Hasan. 92



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



“Tidak juga, semua justru menemukan alurnya masingmasing” jawab Nasrudin Hoja. “Alur, seperti pesta seks mahasiswa ini?” tanya Mukir memburu jawaban Nasrudin Hoja sambil memperlihatkan koran ‘pinggiran’ yang senang membahas seks dan pemerkosaan. “Ya, dan juga seperti bagaimana orang Aceh pergi ke medan untuk prostitusi” jawab Nasrudin Hoja woles sambil menghembus asap kreteknya “itu adalah perlawanan, perlawanan kepada Dinas Syariat Islam di Aceh”. Hasan dan Mukir tertawa sinis. “itu bukan perlawanan itu justru hasrat yang banyak tertahan. Ujung-ujungnya buat dosa, dosa, dosa” “Hahaha. Hei jangan salah, dosa juga ada hubungannya dengan cara penguasa memperlakukan rakyatnya. Juga bagaimana negara menentukan baik buruk.” Nasrudin Hoja berhenti sebentar, menyeruput kopinya “Baik dan buruk saat ini ditentukan oleh tiga hal, struktur kelas, hirarki dan kekuasaan. Baik kata pemerintah, baiklah kata orang. Jelek kata pemerintah jelek kata orang.” Hasan dan Mukir makin bingung. “Dan sekarang, Hasan. Apa menurutmu yang dipikirkan pemerintah saat memberikan label sosial buruk pada perempuan memakai celana? Bagaimana perempuan yang diharuskan ngangkang itu baik? Apakah perempuan memang tak boleh keluar lewat jam sepuluh malam meskipun ia adalah seorang buruh perempuan yang dipaksa lembur oleh perusahaan sedangkan gajinya tetap dibawah UMR?” tanya Nasrudin Hoja bertubi-tubi sambil menyambar tempe goreng. “Hmm, moralis gadungan. Ya?” gumam Hasan. “lalu, seharusnya masyarakatlah yang menentukan baik dan buruk itu, begitu ya?” Zulfikar RH Pohan



93



“Ya tampaknya kekuasaan tentang baik dan buruk ditentukan oleh logika yang salah.” “Contohnya?” “Ehhm, begini. Perempuan di Aceh tidak boleh keluar malam dengan alasan yang lembut sekali, bukan? Dengan alasan, bahwa ‘perempuan harus aman dari berbagai persoalan dunia malam yang liar’ nah pertanyaannya adalah ‘mengapa harus perempuan yang ‘dikurung’ setelah lewat jam sepuluh malam? Bukankah malam yang liar itu disebabkan oleh lelaki yang liar? Semestinya, lelakilah yang dikurung setelah lewat jam sepuluh malam, bukan perempuan. Jika ada binatang buas berkeliaran malam-malam di antara sekumpulan manusia, lebih baik binatang buas itu yang dikurung, bukan manusianya, nyan baru betoi!” “Penggambaran yang berlebihan!” Cerocos Hasan. “Suatu kali, seorang Nabi Anarkisme Oscar Wilde, berkata ‘Everything in the world is about sex except sex. Sex is about power!’ pasalnya, segala perkosaan berasal bukan dari kelamin, tapi dari kekuasaan. Kekuasaan laki-laki contohya, banyak laki-laki merasa superior ketimbang perempuan, dan perempuan dipaksa menuruti kehendak laki-laki. Kira-kira begitulah.” “Maka dengan itu kan tidak salah.” Sambung Mukir asalasalan. “Masyarakat harus membentuk moral baik dan buruknya sendiri, perempuan bagaimanapun sama seperti laki-laki, semua menentukan kebaikan masing-masing dan jalan terbentuknya moral masing-masing. Jika ada perempuan bercelana, duduk ngangkang di motor dan suka keluyuran tengah malam, maka jangan salahkan masyarakat membentuk moralnya sendiri. Jangan salahkan ketika perempuan itu dilecehkan atau diperkosa, nah siapa suruh ia tak bisa menyesuaikan diri dengan moral masyarakat?” 94



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nasrudin Hoja tanpa sadar mencampakkan tempe gorengnya yang tinggal setengah ke lantai, dengan cekatan tanpa aba-aba apalagi tanpa pemberitahuan, Nasrudin Hoja menonjok wajah Mukir. Persis Evander Hollyfield menonjok Mike Tyson di ring tinju. Hasan langsung sigap menghalangi Nasrudin Hoja, tapi satu pukulan telah mendarat telak di jidat Mukir. Tanpa ampun Nasrudin Hoja melayangkan tinjunya. “Apa yang kau lakukan?” Mukir bertanya. Memekik hampir menangis. “Jika orang tak bisa disalahkan karena memperkosa atau melecehkan perempuan yang dianggapnya melanggar moral umum, maka jangan salahkan aku menghajarmu karena kebodohanmu” ucap Nasrudin Hoja tenang, tanpa amarah. Nasrudin Hoja meneguk kopinya sampai habis, meninggalkan Hasan dan Mukir serta pengunjung warung kopi yang lain dalam kebingungan. Lalu, apakah pesta seks dan pakaian ketat itu perlawanan? Dan siapakah yang berhak menentukan baik dan buruk? Masih menjadi pertanyaan. Tapi, setengah tempe goreng Nasrudin Hoja yang terletak di lantai, dan gelas kosong yang ditinggalkannya mungkin bisa jadi jawaban. Semua harus dibayar oleh Mukir atau Hasan. Sambil berlalu Nasrudin Hoja bergumam, “kekuasaan ada dimana-mana…kekuasaan ada dimana-mana” kata-kata yang mungkin dia kutip dari Filsuf Gay, Foucault “Ya, kekuasaan lakilaki... Hahaha”.



Zulfikar RH Pohan



95



Di Surga, Warung Nasi Padang Tak Buka ‘Orang terlalu asik beragama, sampai lupa betapa nikmatnya menyembah Tuhan’ begitu kata orang-orang yang telah kehabisan ide dalam menyelasaikan persoalan sosial, orang kemudian dengan mudah menyalahkan agama sekaligus mengaitkan agama dalam setiap permusuhan. Tapi, benarkah orang-orang kini terlalu asik beragama sampai lupa bahwa mengingat Tuhan lebih nikmat? Jangan-jangan kalimat skeptis yang mengkaitkan agama sebagai rival dari kemanusiaan adalah orang-orang yang kurang banyak ngopi, kurang banyak teman, kurang travelling, dan piknik. Mari kita bahas dalam salah satu kisah yang sama sekali tak nyambung dengan pembahasan ilmiah antara agama dan humanisme. *** Bulan puasa datang, seperti biasa ada rutinitas tahunan yang amat menyenangkan. Suara imam tarawih sampai jam sebelas malam, anak-anak yang senang melakukan apapun yang bisa dilakukan, seolah ingin mengimbangi orang dewasa yang sibuk memasak, menjadi entrepreneur dadakan dengan menjual makanan dan minuman, pun sibuk berbelanja. Tapi, Nasrudin Hoja untungnya tak punya pekerjaan tetap. ‘aku dilahirkan hanya dengan otak dan hati, bukan dengan bon dan kwitansi’ katanya, mungkin ini adalah dalih karena malas bekerja. Dasar Nasrudin Hoja! Bulan puasa adalah cara Tuhan menunjukkan jalan, bahwa jalan menuju cinta adalah dengan cara menjadikan diri sebagai pelampiasaan pembatasan ego. Banyak terjadi peperangan pada masa Rasulullah Saw saat sedang puasa. Namun, ada yang tak biasa. di Aceh ada peperangan yang juga menjadi rutinitas. 96



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Warung-warung ditutup saat bulan puasa, dan ini dilihat sebagai satu kekuatan bagi polisi-polisi syariat “perang melawan kemaksiatan” menjadi jargon yang paling sangar bagi mereka, sekalipun terdengar amat naif. Nasrudin Hoja awalnya berprasangka baik kepada gerakan ini, tapi lama-lama kok Nasrudin Hoja jadi curiga. Semacam batu kerikil yang menyelinap ke sepatu. Janggal. Pelarangan kita tahu adalah semacam cara untuk mengajak berbuat. Ya, bagaimana tidak. Pornografi dilarang, tapi orang semakin getol dengan pornografi. Rokok dilarang, tapi cukai rokok semakin tinggi. Dan sekarang di bulan puasa, dilarang menjual nasi dan macam-macam kue dari pagi sampai siang hari. Apakah… hmm? Nasrudin Hoja hanya bersikap acuh, pelan-pelan ia sudah mulai terbiasa untuk tidak menguisili akidah orang Aceh. Nasrudin Hoja berbuka puasa di mesjid dengan Said, teman seperjuangannya yang biasa membuka tempel ban di pinggir kota. Sambil berbuka seadanya di mesjid, Said seringkali membawa-bawa kenikmatan nasi padang, sambal minang yang jahanam, ikan bakar yang biadab, dan rendang yang penuh kenangan semua diceritakan Said saat-saat menunggu waktu buka puasa. Meskipun buka puasa mereka hanyalah nasi putih dengan lauk ikan kering plus sambal seadanya. Membayangkan nasi padang cukup membuat mereka semangat berbuka puasa. Siapa sangka, kemarin itu adalah acara berbuka terakhir Nasrudin Hoja dengan Said. Said meninggal di pertengahan bulan puasa, kabar duka menyelimuti lingkungan Nasrudin Hoja, Said meninggal dunia karena serangan jantung, kira-kira jam dua belas siang yang terik dan panas. Nasrudin Hoja tak henti-hentinya menangis, setelah lelah menangis lalu tersedu dan merenung. Setelah itu nangis lagi, Zulfikar RH Pohan



97



tersedu dan termenung lagi, begitu terus! Akhirnya, pak Keuchik tak tahan dengan kelakuan gelak sedih Nasrudin Hoja. ‘Pasti ia sangat merasakan kehilangan’ batin pak Keuchik iba. “Sudah jangan tangisi saudaramu itu, Nasrudin. Dia sudah meninggal dalam damai, saat sedang berpuasa” kata pak Keuchik sambil menepuk-nepuk pundak Nasrudin Hoja. “Justru aku menangisi dan menyesali ia yang meninggal di bulan puasa” jawab Nasrudin Hoja sambil menyedot ingusnya. “Loh kenapa?” heran pak Keuchik. “Kasihan, sudah jauh-jauh ke surga. Eh, tapi semua warung nasi padang malah dipaksa tutup oleh malaikat berseragam”.



(Razia Rumah makan di bulan Ramadhan oleh Wilayatul Hisbah. Sumber : Facebook WH Aceh Singkil)



98



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Doa Jitu Untuk Anak Muda Pengangguran Pada tahun 1960-an terjadi persaingan sengit dari kubu Liberal, Konservatif, dan Radikal. Lalu menyisakan perang dingin tahun 1990, negara digenggam militerisme. Lalu ditumbuhkan kekuatan sinis dari penguasa yang suka menakut-nakuti rakyatnya. Mendirikan kebijakan sosial yang pada dasarnya hanya menguntungkan pihak-pihak berkuasa. Dalam hal ini, mulailah satu produk ketakutan yang diciptakan oleh penguasa-penguasa yang buta dan tak sanggup menjadi pengayom masyarakatnya. Militerisme adalah cara paling ampuh untuk membendung gerakan masa, terlebih masa-masa yang termarjinal seperti golongan buruh dan tani. Sehabis perang antara kekuatan militer dalam perang dingin, maka mencuat hal-hal baru yang berbaur dengan semacam hasrat dalam membentuk nasionalisme dan agamis. Orang-orang ditakut-takuti untuk tidak berbuat maksiat, patuh pada aturan negara yang dicampurbaur dengan nilai-nilai agama yang dilencengkan atau didangkalkan melalui kepentingan penguasa. Masyarakat dianggap lebih layak diurus masalah moralnya saja, bukan mengurusi kepentingan akan penataan ulang masyarakat yang adil dan layak. Dampaknya adalah, masyarakat yang merasa selalu diawasi, dengan berbagai cara-cara yang memperbanyak hukum. Memperbanyak aturan yang disusun oleh mereka yang dianggap pantas membuat hukum bagi masyarakat banyak. Sankin banyaknya hukum, orang-orang jadi apatis setengah mampus. Sambil mengutuk pelan hukum. Bahkan ada satu istilah bagi orang Aceh “Gadoh Kameng, Lapor polisi lage gadoh Lemoe. Zulfikar RH Pohan



99



Orang-orang jadi apatis dan tak mau ribut-ribut. Rakyat secara garis besar menjadi yatim-piatu yang anehnya selalu dihardik sebagai bangsa pemalas dan bodoh karena 80% orangorang di negara berkembang adalah orang-orang awam. Maka generasi muda sudah tak acuh lagi membuat hal-hal yang bermutu. Sebab, orang-orang tua sudah terlampau banyak yang meyakini, bahwa anak muda adalah lumbung kesalahan, bisa terjangkit narkoba, seks bebas, pergaulan bebas, hura-hura, dan perlakuan yang dangkal. Banyak jargon-jargon bertuliskan “selamatkan anak muda dari Narkoba”, “Anak Muda Hindari Seks Bebas” dan jenisjenis lain sebagainya. Nasrudin Hoja bukanlah anak muda, dia adalah orang tua yang sudah berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bukan lagi anak muda. Nasrudin Hoja itu orangnya yaa memang tegas tapi begitu terbuka pada masyarakat terlebih anak muda. Pada suatu hari, seorang Ibu datang menemui Nasrudin Hoja dengan muka gelisah. Tampaknya Ibu itu sedang bingung, sekaligus gelisah. Posisi yang sulit. Nasrudin Hoja menyambut Ibu itu dengan biasa, senyamsenyum tak jelas. “Ada apa, bu?” “Tengku Nasrudin, tolong aku!” kata Ibu itu sambil memelas. “Anakku ini sangat nakal, dia hanya bicara ini-itu tanpa jelas kemana arah pembicaraannya, aku suruh dia makan dia malah memasak lebih banyak nasi lalu tak dia habiskan, aku suruh kerja dia malah sibuk mencari teman ngopi. Aku sudah muak dengan tingkahnya, pengangguran yang suka membual. Anak muda sekarang malas bekerja, apalagi menabung untuk hari depannya. “Tolong aku, berikan dia mantra atau doa atau apa sajalah 100



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



agar dia menjadi anak yang kembali normal.” Nasrudin Hoja berfikir sebentar, menggaruk dagunya yang tak gatal. “Hmm, ya ya.. Begini, Bu! Ehm” kata Nasrudin Hoja agak ragu “anak Ibu itu tak butuh mantra atau hal-hal sejenisnya.” Ibu itu tampak kecewa. Melihat kekecewaan dan ekspresi murung si Ibu, Nasrudin Hoja jadi tak tegaan. “Tapi, barangkali aku bisa memberikan nasihat.” “Ya sudah. Tak apa, kira-kira apa yang baik untuknya, Tengku?” “Kebetulan sedang terjadi sibuk-sibuk pengkaderan partai disekitar sini, silahkan anak Ibu didaftarkan menjadi salah satu calon anggota legislatif. Dan lihat betapa kelakukan dan mental ngopi seperti dia sangat diperlukan disana”



Zulfikar RH Pohan



101



Persatuan Uang Seratus Ribu Di uang rupiah bergambar Soekarno dan Hatta, mempunyai nilai tertinggi dari satuan rupiah di negeri ini, Indonesia. Semua tahu itu, segoblok-gobloknya orang Indonesia yang tak bisa baca tulis, pasti bisa membedakan mana uang yang bernilai paling tinggi dan mana uang yang bernilai paling rendah. Dan, gambar Soekarno-Hatta selalu jadi uang yang paling menggugah, karena warnanya merah dan jenis kertasnya yang anti-basah. Dalam masa-masa yang hanya mengutamakan harga, semua orang bahkan tak peduli apa yang melatarbelakangi mengapa gambar Soekarano-Hatta ada dalam nilai uang yang paling tinggi. Saya meyakini tukang desain uang rupiah tentu punya landasan filosofi dan atas kesepakatan yang panjang dan mendalam soal desain dan wajah-wajah yang menghiasi lembaran uang. Bangsa Indonesia memang sering terpecah, mencari banyak perbedaan dan mencari hal paling bisa diperdebatkan untuk diangkat menjadi opini umum, sehingga menjadi diskusidiskusi, workshop dan seminar yang banyak menghabiskan uang negara. Segala yang beda selalu dibicarakan dan diperdebatkan menjadi sangat panas. Seperti contoh yang setiap saat kita hadapi dengan pembahasan yang tak pernah selesai, seperti bulan September orang Indonesia akan sibuk membahas komunisme, bulan Desember orang Indonesia akan membicarakan boleh tidaknya mengucapkan ‘selamat natal’ dan merayakan tahun baru, bula Februari boleh tidak merayakan valentine, dan begitupula bulan-bulan lainnya. Orang Indonesia selalu berpecah-belah. Lain pula dengan keyakinan, orang yang sudah percaya Tuhan akan membenci orang yang tak percaya Tuhan, nah giliran Tuhannya sama masih ribut soal nabinya yang berbeda, nah setelah sudah satu Tuhan dan nabinya sama, orang masih memperdebatkan cara 102



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



beribadah dan aliran-aliran, and so on… so on. Sebagai bangsa yang menjunjung nilai yang termaktub dalam sila ke-4, Nasrudin Hoja tak bisa kabur dari sila ke-4. Kemana-mana Nasrudin Hoja selalu diajak debat walaupun seperti biasa, Nasrudin Hoja menjawab dengan gayanya sendiri. Nah, ada kisah Nasrudin Hoja yang mengingatkan penulis soal si uang anti-basah. Nasrudin Hoja dikenal dengan jago menyusun katakata, karena kepiawaiannya dalam berdebat, membuat Nasrudin Hoja menjadi orator ulung, juru runding, negosiator, dan banyak lagi sebutan untuk Nasrudin Hoja. Pelan-pelan orang mulai menyebutnya Tengku Nasrudin Hoja ‘secara sah’, bukan lagi Mullah Nasrudin Hoja. Bakat orasi dan retorikanya didapat sebagaimana Demosthenes si orator ulung dari Yunani itu mendapatkan bakatnya menjadi ahli pidato yang pandai, penuh api, dan penuh aksi. Memangnya, dari mana Demosthanes mendapatkan bakatnya? Konon dalam riwayat Yunani kuno, Demosthanes mengucilkan diri dalam gua yang gelap selama berbulan-bulan berlatih menggunakan kata-kata setiap waktu dalam gua gelap. Jika Nasrudin Hoja konon mendapatkan bakatnya setelah sering nongkrong di warung kopi kampung (yang biasanya menggenggam rumus ‘no wi-fii, only talk to one another’) di warung kopi kampung, lakasana gua yang gelap, jauh dari kebisingan kota, papan-papan akan memantulkan suara lebih jernih. Berbicara dan mendengar diri sendiri berbicara akan melahirkan pantulan-pantulan timbal balik, Nasrudin Hoja mendengarkan suaranya pantulan dari suaranya sehingga memperbaiki intonasi dan gaya bicaranya. Banyak orang-orang yang mengajaknya ngopi bersama pembesar-pembesar partai dan anggota DPR. Disanalah kepiawaian Nasrudin Hoja tak perlu dikhawatirkan lagi, meskipun bukan orang sekolahan, Nasrudin Hoja mempu mengetahui birokrasi negara ini, tentang APBD, APBN dan segala macam jenis pernak-pernik soal investasi, dan tentu juga masalah pelik di Zulfikar RH Pohan



103



Aceh. Wah-wah. Keagungan retorika Nasrudin Hoja tersohor kemanamana, jadi bahan acuan para politisi untuk ngomong, dan jadi inspirasi mahasiswa untuk menkritisi politisi. Semua mengambil satu referensi yang sama : based on mulut Nasrudin Hoja. Pada satu ketika, ketika acara Maulid Nabi, berbagai kelas masyarkat, dari ketua pemuda, para sepuh dan juga berbagai partai yang membangun sebuah rencana untuk mengundang ‘Tengku’ Nasrudin Hoja untuk memberikan ceramah Maulid di kampung. Nasrudin Hoja, tak menolak dan juga tak pernah mengajukan diri. Nasrudin Hoja hanya mengikuti arah angin ‘kemana angin berhembus kesana lah aku kan berlabuh’ adalah motto hidupnya. Acara Maulid dimulai, Nasrudin Hoja naik keatas podium yang setinggi tiga meter dengan berbagai jenis pernak-pernik yang sangat unik, lengkap dengan lampu kerlap-kerlip seperti diskotek. Setelah mengucapkan salam, puja dan puji kepada Allah Swt dan Shalawat Nabi Besar Muhammad Sallallahu ‘alaihu wa salam, Nasrudin Hoja membuka ceramah maulidnya. “Nah, saya akan ceramah asal ada yang bertanya kepada saya, ayo mulai sekarang bertanyalah kepada saya, insyaalah saya akan berusaha jawab” pinta Nasrudin Hoja. Para hadirin bingung, ceramah Maulid kali ini aneh pikir mereka. Malah seperti seminar atau mirip bincang-cincang warung kopi. Tentu saja, awalnya semua hanya diam celingakcelinguk. Nasrudin Hoja menunggu pertanyaan. Dengan sabar. “Yasudah, jika kita mampu memformulasikan pertanyaan yang tepat, buat apa saya ceramah panjang lebar, toh ceramah panjang saya tidak menjawab pertanyaan hidup saudara-saudari semua” kata Nasrudin Hoja. “jika tidak ada pertanyaan, yasudah saya pulang saja…” 104



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Hadirin makin celingak-celinguk, menanti siapa yang hendak bertanya namun tak ada yang bertanya, kemudian hadirin menunjuk-nunjuk kawannya supaya bertanya. Nasrudin Hoja tetap memperhatikan dengan seksama, hal tersebut membuat Nasrudin Hoja geram. “Ini permintaan terakhir saya, apakah tidak ada yang bertanya? Ayolah!” bentak Nasrudin Hoja. Seperti oase ditengah padang pasir, seorang pemuda kurus dengan rambut kriting bertanya “Tengku Nasrudin!” pekiknya, tanpa salam. Dari gaya bicara militan pemuda itu, Nasrudin Hoja sudah bisa menduga bahwa pemuda itu adalah mahasiswa yang masih semester awal, alias masih (sok) kritis. Anak muda kriting itu bertanya dengan intonasi cepat dan berusaha menutupi kegaguannya. “Mengapa ada sebagian umat Islam yang tidak membolehkan perayaan Maulid Nabi, lalu mungkinkah kita sedang melakukan bid’ah dan masuk neraka?” tanya anak muda itu. Nasrudin Hoja tersenyum dalam hatinya ia melihat keresahan yang sama seperti keresahan anak Yahudi di camp konsentrasi Jerman yang hendak dihukum mati. “Pertanyaan bagus sekali, nak” jawab Nasrudin Hoja semangat “Hmm. Saya akan berusaha menjawab pertanyaanmu. Yaa, awalanya kita semua satu, tapi kemudian manusia membuat semua serba pecah dengan opini” terang Nasrudin Hoja. “Meskipun kita tidak mempunyai acara Maulid, akan tetap masih ada tuduhan-tuduhan yang mengatasnamakan murka Tuhan. Orang yang berbeda pandangan politik dikatakan akan masuk neraka, perbedaan cara pandang seolah bukan lagi cara dialog atau lita’arafu lagi semua serba neraka, neraka, dan neraka. Halah!” Nasrudin Hoja berhenti dan tertawa sendiri “dan jawaban atas Zulfikar RH Pohan



105



tuduhan dan perbedaan pendapat itu adalah Soekarno-Hatta”. Sejenak hening. miring.



“Apa maksudnya?” tanya seorang bapak-bapak berpeci



Mendengar antusias pendengarnya, Nasrudin Hoja makin semangat “Semua perbedaan pendapat kita hanya bisa diselesaikan oleh Soekarno-Hatta. Para hadirin!” suara Nasrudin Hoja makin menggelegar. “Soekarno dan Hatta sering bersebrangan pendapat soal negara ini, sebagai contoh, ketika Soekarno mengeluarkan sistem demokrasi terpimpin, Hatta justru mengkritiknya habishabisan dalam buku Hatta yang berjudul ‘Demokrasi kita’ dan banyak literatur sejarah mengungkapkan betapa Soekarno-Hatta sering berbeda pendapat, bukan hanya pendapat, juga berbeda watak dan laku hidup. Lalu apa yang terjadi?” tanya Nasrudin Hoja ditengah keheningan. Nasrudin Hoja menunggu jawaban tapi masih hening dan akhirnya ia menjawab pertanayaannya sendiri. “Negara ini mempunyai ide brilian! Mencetak uang seratus ribu, sebagai uang nominal tertinggi dengan menaruh gambar Soekarno-Hatta.” Terang Nasrudin Hoja dengan mantap seolah ialah sang nabi yang berdakwah di gurung pasir yang barbar. “kalian tahu apa maksudnya?” tanya Nasrudin Hoja kepada hadirin, para hadirin menggeleng. Nasrudin Hoja diam, membiarkan hadirin mencerna perkataannya. “Yaaa, apa maksudnya?” tanya bapak-bapak berpeci miring, lagi. Memecah keheningan. “Bahwa segala perbedaan di negara ini akan bersatu dalam mata uang bernominal tertinggi. Semua kita saling menghujat dan saling memisahkan diri dengan yang lain bahkan dengan dalih surga dan neraka karena kita kekurangan kumpulan uang seratus 106



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



ribu di kantong dan dompet kita, kita tak punya ‘Soekarno-Hatta’ dalam dompet kita!” Semua hadirin mengangguk, sebagian lagi menunduk. Para sepuh mendapatkan pencerahan, politikus mendapatkan rencana bagus, para pemuda mendapatkan inspirasi, dan para mahasiswa mendapatkan jalan. Semua bersatu karena penjelasan ‘persatuan uang seratus ribu’ Nasrudin Hoja. “Bayangkan jika kita mempunyai berlembar-lembar uang seratus ribu setiap hari di kantong dan dompet kita. Tentu tak ada yang membawa agama untuk menyalahkan orang lain agar yang dapat proyek dan pengaruh cuma ia saja. jika sudah dapat proyek dan pengaruh, tentu pundi-pundi rupiah akan datang kepadanya. Jika semua orang sudah punya uang seratus ribu berlembar-lembar di kantongnya setiap hari, maka ia tak perlu menjelek-jelekkan organisasi lain, dan keyakinan yang lain. Orang yang gampang menghujat adalah orang-orang miskin, orang yang banyak membenci adalah orang yang hidupnya tak cukup, orang yang fanatik adalah orang yang resah karena tak punya pegangan hidup lagi” Kata-kata Nasrudin Hoja mengalir deras, buas, terjal seperti air terjun. Setelah Nasrudin Hoja ceramah dan menjawab pertanyaan lain yang sejenis. Nasrudin Hoja mendapatkan amplop yang (sesuai tradisi) pantang ia tolak. Berisi beberapa helai uang ratusan ribu yang lecek penuh tambalan solasiban, dan berdaki. Apa yang dilakukan Nasrudin Hoja, kita bisa menebaknya tentu saja Nasrudin Hoja tersenyum kecut dan menelan ludah. Ah, si anti-basah!



Zulfikar RH Pohan



107



Nasrudin Hoja dan Iblis yang Bosan Pengalaman paling purba dan paling mengganggu Adam tanpa Hawa di surga adalah kesunyian, sebuah perasaan kosong nan hampa. Di surga Adam seperti merasa terasing. Terlalu larut dalam kenikmatan pada titik tertentu melahirkan kekosongan juga. Kehampaan, tentu saja malah meremukkan pengalaman tragis dari ironi Surga dan Adam. Di bawah bayang-bayang kenikmatan surga, Adam menjadi manusia yang termasuk dalam konsiprasi paling naas selama penciptaan alam semesta. Kejenuhan melanda Adam, Adam terombang-ambing di lautan samudera kenikmatan tanpa satupun pulau untuk berabuh. Lalu, Hawa datang. Apakah kejenuhan Adam selesai? Tidak. Setelah kekosongan, Adam dan Hawa merangkul keasingan diri mereka sendiri di surga yang dipenuhi oleh malaikat yang amat sangat patuh kepada Tuhan. Bosan, Adam dan Hawa beranjak dan berpaling mencari kemutlakan. Mereka memetik buah terlarang sebagai simbol absolut dari kenyataan, konsekuensinya siap dihadapi. Setelah itu, kita semua tahu bahwa Adam dan Hawa sedang berlayar di samudra yang mereka ciptakan, mereka sedih namun juga puas. Karena di dalam kenikmatan surga, mereka merasa asing dan sunyi. Namun, di bumi mereka bisa mencipta dan berkarya. Sisi kehidupan mana lagi yang belum meyakinkan kita bahwa asal-usul kehidupan adalah kebosanan? Di bumi, Nasrudin Hoja seperti manusia raksasa yang tidur selama ratusan tahun di dasar gunung, ia melirik ke kanan dan ke kiri dan ternyata ia masih di bawah pohon cemara di samping laut. Perutnya lapar, dan oleh karenanya Nasrudin Hoja merasa mulia, tidak banyak-banyak yang dipikirkannya tentang laparnya, ia cuma berfikir darimana semua sampah-sampah 108



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



dalam pikirannya yang membawanya sampai ke lamunan mimpi yang paling menyebalkan. Mimpi menjalani hidup di dunia yang dikutuk malaikat karena pertumpahan darahnya. Sialnya, Nasrudin Hoja memang keturunan dari nenek moyang yang membunuh saudaranya sendiri demi perempuan, sampai hati benar saling bunuh-bunuhan demi perempuan. Itu kan sangat sepele lagi bodoh, persis seperti adegan telenovela atau roman picisan berbiaya murah, tapi mau bilang apa itulah nenek moyang manusia, Qabil putra Adam. Tidak banyak yang ingin dibicarakan oleh Nasrudin Hoja kali ini, dia pikir-pikir sulit juga ternyata untuk menjadi makhluk yang dicegah-cegah oleh malaikat. Dengan kata lain, makhluk yang tak diinginkan oleh banyak makhluk bahkan iblis pun ogah mengakui kemakhlukkan manusia. Apakah terciptanya semua makhluk adalah untuk menghilangkan rasa bosan Tuhan? Atau ada satu hal kenapa manusia itu harus tercipta. Karena malaikat itu membosankan, tidak banyak neko-neko, tidak bandel-bandel. Dan Iblis, mereka juga makhluk yang bersikap manis awalnya. Lalu manusia ini, manusia yang menyedihkan mampu menghilangkan rasa bosan alam semesta. Iblis sibuk karena manusia, malaikat diberikan tugas ganda karena manusia, alam jadi sengsara karena dijahili manusia sehingga mau tak mau alam pun kadang bergocang, berhamburan, dan porak-poranda karena manusia. Dasar si rasa bosan! Nasrudin Hoja menepuk lehernya sendiri dengan sekali tepukan, komat-kamit dan sedikit memejamkan mata. Ternyata iblis datang, bisik-bisik di lehernya. Bukan bisikan jahat juga sebenarnya, melainkan hanya menyapa. Nasrudin Hoja tidak senang, benar-benar tidak senang. “Buat apa kau?” sinis Nasrudin Hoja. Zulfikar RH Pohan



109



“Hei, teman kecil! Kau kelihatan gundah. Aku cuma mau menyapa teman lama ku disini. Tidak lebih-lebih amat juga”. “Kau tau, aku bosan!” curhat Nasrudin Hoja “bosan sekali, tidak ada yang menarik di dunia ini, lalu apa yang mesti kuperbuat hanya begini-begini. Tak ada nilai yang barangkali benar-benar beraarti. Kalau memang tugasku di dunia ini sudah habis, kenapa aku tidak di matikan saja oleh Tuhan?” “Justru itu aku menyapamu. Manusia bosan adalah ladang bagi pikiran menyimpang. Saat kau bosan, kau bukanlah dirimu sendiri, melainkan sesuatu yang lain.” Nasrudin Hoja cuma diam dan tak pernah menganggap perkataan Iblis laknat itu benar-benar serius, baginya itu cuma bualan-bualan yang melahirkan bualan-bualan lain yang tak bermanfaat (walaupun terkadang ada benarnya juga). “Kau tau, aku juga kadang bosan juga. Tidak tau mau buat apa. Terasing aku dengan diriku sendiri dan Tuhanku sendiri.” curhat Iblis seperti seolah berkata pada dirinya sendiri. “bosan aku”. Nasrudin Hoja tetap diam, sampai iblis pun diam. Dalam keheningan, Iblis melirik Nasrudin Hoja lalu buka suara dan menjelaskan betapa sebenarnya, kata Iblis, dari segala sejarah terciptanya Adam, iblis adalah pemenang. Jelas iblis. Iblis nyengir, kelihatan Nasrudin Hoja jadi tersulut emosi “jadi begini…” kata Iblis “Tuan tidak akan menjadi tuan sampai ada yang menuankannya, si dermawan tidak akan disebut si dermawan sampai ada orang yang menerima pemberiannya lalu menjuluki ia sebagai si dermawan. Tuhan tidak akan menjadi tuhan sampai ada yang menuhankannya.” Iblis diam sebentar, memperaiki cara duduknya, tampaknya pembicaraan kini lebih serius “Hadis Qudsi : Aku pada mulanya adalah permata yang tersembunyi… maka 110



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



aku sangat ingin dicintai, lalu aku menciptakan mahkluk. “Cinta adalah derita yang menuntut pemenuhan. Jika kau ingin dicintai, pastikan ada yang mencintaimu. Dan untuk memastikan diri sebagai “yang dikenal” maka Tuhan menciptakan makhluk. Menciptakan kau dan aku” Jelas Iblis. “Tapi bukankah iblis mencintai Tuhan, dan membenci manusia. Kenapa iblis diusir?” “Aku akan terus berbuat jahat, agar kalian para manusia punya kesempatan untuk berbuat baik.” Kata iblis. “Kau hanya meyakinkan diri menjadi si tuan-yang-tidakbersalah! Kau adalah pembangkang!” “Apakah ada satu celah teresembunyi bahwa cinta itu adalah justru jalan kesesatan yang berbentuk lain?” tanya iblis terang sekali. Dan benar-benar membuat Nasrudin Hoja kaget, 50% kaget karena pertanyaan iblis yang susah dia jawab, 50%nya lagi kaget karena ada lalat sialan yang menabrak telinganya, nyaris masuk kelubang telinga Nasrudin Hoja. Nasrudin Hoja terbangun, ia hanya mimpi. Mimpi terkutuk. Lapar tak membahayakan, begitupula mimpi, yang membahayakan adalah orang sinting yang bicara tentang Tuhan.



Zulfikar RH Pohan



111



Sabda Anak-anak Nasrudin Hoja senang meladeni anak-anak kecil, karena senang meladeni anak-anak kecil pula Nasrudin Hoja sering digepuk atau minimal ditegur oleh orangtua anak-anak. Kesenangan Nasrudin Hoja pada anak-anak ini karena menurut Nasrudin Hoja, Jostein Gaarder bernar adanya, dan terpujilah Jostein Gaarder karena mengatakan ‘filsuf terhebat adalah anakanak’ sebab mereka mampu berfikir melampaui cara padang orang dewasa yang konservatif. Ya, anak-anak bisa jadi sangat liberalis atau radikalis mentok. Bisa jadi, tapi tetap karena hal itulah Nasrudin Hoja menyukai anak-anak. Konon, banyak penemuan dunia ini ditemukan melalui pertanyaan anak-anak. Soal pertanyaan anak-anak tentang lensa misalnya “Bagaimana mungkin aku menatap satu benda dengan dua mata tetapi terlihat hanya satu benda, bukankah harusnya benda yang kulihat itu jadi dua, karena aku punya dua mata?” serta pertanyaan “bagaimana aku meyakinkan diriku bahwa aku sedang tidak bermimpi saat ini?” atau pertanyaan yang sulit untuk dijawab, seperti “mengapa merah itu merah?”. Pertanyaan itu memang tak mudah untuk dijawab, dan semua pertanyaan anak-anak memang mempunyai cara khas tersendiri. Ah, mulut anak-anak kadang berwujud sabda. “Tengku Nasrudin, apakah setan itu bertanduk?” tanya seorang anak kecil. “Bisa ya bisa jadi tidak” pikir Nasrudin Hoja tak yakin “tapi memang kebanyakan setan tidak bertanduk, sih” “Mengapa?” “Ya, kebanyakan setan sering berpakaian rapi, senang 112



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



berpidato, dan senang mencari mimbar, hehe~” Pada satu ketika pula seorang anak duduk bersandar pada tiang mesjid sambil membaca buku Siksa Neraka bergambar lidah seorang perempuan yang digunting dengan gunting panas. “Apa yang kau baca, Musa?” “Bukan apa-apa, hanya buku komik” kata anak itu sigap, menutupi rasa kagetnya karena sapaan Nasrudin Hoja yang tibatiba “kata guru ngajiku, buku ini bagus” Nasrudin Hoja mengintip buku itu, ada gambar perempuan telanjang yang dijepit kemaluannya dengan semacam pemotong raksasa yang biasa dipakai menjepit besi. “Hmm, ya, ya.. Bagus,”. Nasrudin Hoja kagum, betapa tukang gambar komik itu sangat baik menggambarkan tubuh perempuan telanjang. “Tengku Nasrudin. Lihat ini!” kata anak itu sambil membalik lembar buku komiknya dan menunjukkan sebuah gambar menyeramkan “Jika neraka sepanas ini dan membuat otak jadi meleleh, maka mengapa orang-orang ini tak pakai baju di neraka?” “Wah, benar juga ya” ucap Nasrudin Hoja yang tak terdengar seperti jawaban. “Kenapa neraka itu panas?” tanya anak itu lagi. “Yaa, karena Nabi Muhammad hidup di Arab, nak” jawab Nasrudin Hoja cengengesan. “Apa hubungannya?” tanya anak itu makin bingung, memiringkan kepalanya. “Orang Arab sangat tak suka kalau panas-panasan, jadi Zulfikar RH Pohan



113



karena itu mereka anggap panas sebagai siksaan yang berat. Makannya siksaan digambarkan dengan panas dan api, tak jarang dikatakan siksa neraka itu panas sekali, ibarat matahari hanya sejengkal di atas kepala kita” jawab Nasrudin Hoja, seraya berharap anak itu tak paham. “Lalu bagaimana kalau Rasulullah tidak turun di Arab?” “Nah, jika Rasulullah turun di dataran tinggi Gayo, maka siksaan terberat mungkin saja rasa dingin, hehe. Orang-orang yang berdosa akan dimasukkan ke air dingin yang membuat otak, darah dan degup jantung membeku dan retak. Hiii” Nasrudin Hoja memeluk dirinya sendiri, seolah sedang kedinginan. “dan jika Rasulullah hidup di Gayo, mungkin surga adalah berupa api yang hangat dan menentramkan” Anak itu garuk-garuk kepala, dan Nasrudin Hoja juga ikut menggaruk kepalanya yang tak gatal. Nasrudin Hoja paham bahwa adalah tak sopan membatasi imajinasi anak-anak dengan pertanyaan final yang buntu. Alih-alih memberikan jawaban pasti, Nasrudin Hoja malah menimbulkan imajinasi-imajinasi baru yang bahkan Sophie Amundsen si tokoh fiksi dalam Dunia Sophie pun bakal merenung berjam-jam. Nasrudin Hoja bukalah pendongeng yang ahli, bukan pula filsuf para anak-anak seperti Alberto Knox. Nasrudin Hoja, ya Nasrudin Hoja yang suka mengupil dan terkadang senang bertanya pada orang-orang terlebih kepada anak-anak, bukan hanya anak-anak yang bertanya kepada Nasrudin Hoja. Nasrudin Hoja juga lebih senang bertanya kepada anak-anak. “Hei nak, mengapa kau tidak pergi kerumah ibadahmu?” “Tengku Nasrudin bercanda, aku punya segala yang kupunya. Aku tidak merasa kekurangan. Semua orang datang kesana (rumah ibadah) meminta-minta. Dan mereka semua 114



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



sedang berdosa, sedangkan aku merasa tidak punya dosa” “He, kenapa seperti itu?” “Bahkan pemuka agama kami duduk diatas bantal, sedangkan aku diajarkan ibu untuk tidak duduk diatas bantal, karena pantatku bisa kena bisulan jika melakukan itu!” Mendengar jawaban itu, Nasrudin Hoja ingin melompat dan ingin sekali menjitak kepala anak itu sankin gemasnya mendengar jawaban anak itu sambil berteriak ‘Eureka!’, tapi Nasrudin Hoja berusaha menahan diri.



Zulfikar RH Pohan



115



Aceh Membully Nek Chik Karl Marx Ada banyak hal yang mempengahui keberangkatan pertumbuhan modernisasi, salah satunya barangkali adalah psikologi sosial. Aceh adalah miniatur keberagaman, segala macam sifat dan segala macam tantangan ada di Aceh. Maka, banyak hal yang bisa kita lihat menjadi ciri khas dari berbagai daerah atau bisa jadi semacam mitos-mitos tentang psikologi masing-masing daerah, di Aceh. Sejarah manusia selalu ditandai dengan jatuh bangunnya suatu kebudayaan. Ada semacam episode dari kebangkitan budaya begitupula perkembangan masyarakatnya. Iklim perubahan akan tetap terjadi, serta tantangan kebudayaan makin banyak, maka modernisasi kadang jadi pilihan dan lagi-lagi mempengaruhi psikologi sosial. Dari sana lah sebutan-sebutan, cap-cap sosial dan lainnya subur mekar. Hal ini kemudian menyambungkan kita pada pertanyaan dari mana hubungannya orang Pidie itu pelit, orang Aceh Besar itu pemalas, orang Aceh Selatan itu suka klenik dan begitu pula dengan daerah lainnya. Ada ciri-ciri lain melihat psikologi sosial seperti apa yang tertulis di atas, yaitu motivasi yang mendasari dari perkembangan ekonomi. Tentang kenapa sebagian besar daerah di Aceh tertinggal. Banyak jawaban dan banyak alasan, meskipun alasan lebih tampak ketimbang jawaban. Dan memang dari berbagai sangkaan, ada sangkaan bahwa orang Aceh tak punya apa yang sering disebut ilmuwan sosial seperti McClelland ‘The Need for achievement’ atau N’ach. N’ach adalah hasrat untuk bekerja maksimal, bekerja dengan baik termasuk bekerja bukan demi pengakuan dan gengsi orang lain. Hal ini bukan hal sepele, mengingat budaya dan sikap manusia dianggap sebagai sumber masalah dari banyak prototype pembangunan masyarakat dari watak motivasi masyarakat. 116



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Jadi menurut si McClelland, masyarakat yang mau maju itu mesti punya benih kapitalisme. Tak ada pandangan Marxis sebagai antitesa dari kapitalisme bagi orang Aceh. Marxis itu sendiri juga adalah senior tirinya si Darwinisme bahwa manusia mengadaptasi lingkungannya. Tapi toh pada puncaknya bagaimanapun orang Aceh sudah sangat dekat dengan kapitalisme, tapi tidak diimbangi dengan N’ach. Sehingga perkembangan Aceh terlihat nihil. Dan ngomong-ngomong soal Marxisme sendiri tak terlalu menjadi hal yang penting untuk diketahui di Aceh, bahkan walaupun katanya menganut ekonomi Islam, tak ditemukan gaya berekonomi Islam yang hidup di Aceh, ya kecuali melalui Bank-bank dengan label syariah.. Lalu kemana arah gaya ekonomi Aceh masa kini yang dapat mempengaruhi psikologi sosial orang Aceh secara mendalam? Ada sebuah cerita di sebuah warung kopi kampung sebatang pohon mangga yang lumayan gemuk batangnya tumbuh tanpa dikira-kira. Tapi, aduhai sial nasib pohon mangga itu karena menjadi bahan tumpangan parang. Tumpangan parang bagaimana? Begini, setiap orang yang datang ke warung kopi itu selalu menancapkan parangnya ke batang mangga lalu pergi minum kopi di warung (di warung tak boleh bawa parang). Nah, kalau tiba-tiba terjadi ribut di warung kopi, maka parang tinggal cabut dan croot! darah akan tumpah di meja. Sesederhana itu menggambarkannya, namun rumit sekali untuk meanalisis sikap atas asal-usul sikap Aceh. Begitulah nasib yang sering dilihan dari keseharian Nasrudin Hoja saat mengunjungi salah satu tempat disekitaran Aceh yang tak jauh dari kota, rada-rada pedalaman dan sedikit mengerikan. Di tempat yang sama itu pula, tidak ada toko yang buka pagi-pagi, jam tujuh pagi masih sepi, sampai jam delapan semuanya masih sepi. Orang-orang ngopi jam sembilan, sampai jam sepuluh. Bekerja jam sebelas. Lalu istirahat jam dua belas. Pagi Zulfikar RH Pohan



117



sangat lambat bagi mereka. Disamping itu, waktu bekerja sangat sedikit sampai tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Ada orang dari Dinas Pertanian pusat, marah-marah. Konon, bibit karet sudah diberikan, target tertanam beberapa ratus pohon dalam dua bulan. Tapi setelah dua bulan tidak sampai setengah dari perkiraan yang tertanam. Dinas Pertanian marah-marah, anggaran habis, dana desa jadi buram manfaatnya. Tapi Aceh tetap acuh tak acuh ‘masa bodoh!’. Masalah ekonomi, orang Aceh pada bagian lain tak mau tanggung-tanggung. Di Indrapuri, debitur yang sedang menagih hutang dibakar hidup-hidup. Kurang keras apalagi orang Aceh? Kurang revolusioner apa lagi? Post-tsunami, Aceh menjadi tambah berbelit. Bencana sebenarnya bukanlah ombak yang menggulung jutaan jiwa, bencana sebenarnya adalah Aceh jadi makin tak terarah bercampur dengan kepongahan dan kekanak-kanakan. Sering ngambek lalu ujung-ujungnya ngamuk. Harga-harga barang di Aceh adalah harga yang tak masuk akal, tapi tetap saja semiskin-miskinnya orang Aceh, setiap pagi minumnya kopi makannya tetap timphan. Kontradiksi samar dari kapitalisme terselubung. Mungkin oleh sebab itulah pejuang kemerdekaan Aceh angakatan 1945 T.A Talsya mengatakan dengan tegas “Aceh telah mengharamkan Marxisme sejak dahulu”. Mengapa? Karena memang Aceh tetap menjadi Aceh, bukan kapitalisme liberal bukan si Marxis yang sangar juga terlalu tergesa-gesa untuk mengatakan menganut sistem ekonomi Islam. Walaupun pada dasarnya, kiblat perekonomian Aceh adalah kapitalisme, dan bukannya menjadi tuan, orang Aceh malah menjadi budak dari kapitalisme yang dibangun. Aceh secara mendasar tak bisa bebas dari geliat ekonomi dari daerah lain seperti Medan Sumatera Utara. Aceh yang membangun kapilismenya sendiri, dan Aceh pula yang menjadi budaknya sendiri. “Kamu tahu perbudakan yang lebih canggih?” tanya 118



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nasrudin Hoja di sebuah warung kopi pada seorang lelaki yang menancapkan celurit di pohon mangga. “Tidak” jawab lelaki itu singkat. “Ketika kamu merasa menjadi tuan-tuan yang berkuasa, bisa ngamuk dan manja-manja. Tapi sebenarnya kamu hanyalah anak bawang, alias budak malang yang tak dianggap!” “Apa maksudnya?” “Maksudku, kau terlalu pelan menancapkan celuritmu. Lihatlah, celurit itupun sudah berkarat dan akan jatuh.” Kata Nasrudin Hoja tenang sambil menunjuk pohon mangga yang malang penuh bekas tancapan benda tajam.



Zulfikar RH Pohan



119



Mahasiswa Sukuisme, Daerahisasi, dan Kabupatenistik Siapa yang tak gentar mendengar nama mahasiswa? Ya, kalau dipikir-pikir lagi sih memang tidak ada yang gentar dengan kata mahasiswa, hehe. Agent of change yang akhirnya menjadi mainan penguasa dan dipaksa menjadi penjilat serta menjadi sekrup-sekrup kecil pemerintahan untuk jadi tim sukses dan perusahaan untuk jadi buruh. Paling jauh Mahasiswa yang bergelut dalam aktivisme mesti menjadi pengemis paling jago untuk urusan yang tak kalah penting untuk mengisi perut aktivis kere finansial dan kere keilmuan itu. Iron stock barangkali nama yang terlalu muluk buat Mahasiwa, dan sebaiknya diganti dengan proposal stock. Dari berbagai cerita soal mahasiswa, banyak terjadi pertentangan yang mestinya memang tak perlu dipertentangkan. Generasi mahasiswa 65 mesti dikibuli oleh rezim yang dibawanya, generasi 65 anti-komunisme, menentang keras aksi-aksi manuver politik Soekarno, dan datanglah rezim orde baru, Soeharto jadi seolah Nabi. Berpuluh tahun kemudian, rezim Orde Baru tak lebih baik dari rezim sebelumnya, mahasiwa 98 gerak lagi, demonstrasi lagi seperti katak di musim hujan. So on, so on. Kini, banyak sekali organiasai kemahasiswaan, dengan gaya-gaya yang rumit pula. Bagus, tapi membuat pusing juga sih lama-lama. Nasrudin Hoja sankin pusingnya melihat banyak paguyuban Mahasiswa yang menamakan nama daerah masingmasing, nama kabupaten masing-masing untuk sesuatu yang ‘itu-itu saja’. Jadilah semacam mahasiswa kabupatenistik. “dan ini buruk” batin Nasrudin Hoja, “sangat buruk!”. Selain uang, manusia menciptakan budaya paling buruk, 120



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



yaitu : sekat-sekat daerah! Nasrudin Hoja, pernah kedatangan beberapa mahasiswa yang senang dengan dunia aktivisme. Bukan karena Nasrudin Hoja dianggap sebagai mantan aktivis 98 yang selalu diagung-agungkan namanya dalam setiap seminar kepemudaan dan aktivisme itu. Namun mereka mendatangi Nasrudin Hoja karena satu alasan, mereka ingin semacam doa restu. Bah! Bukan main kurang ajar mahasiswa-mahasiswa itu, masalah udelnya sendiripun mesti ‘curhat’ kepada Nasrudin Hoja. Lalu, bukannya mendengarkan curhat mereka, Nasrudin Hoja malah mengacuhkan mereka seperti seorang putri cantik mengacuhkan sekumpulan perompak dengan sindiran sinis. “Memang apa yang akan kalian lakukan?” tanya Nasrudin Hoja ketus. Mahasiswa itu menjawab dengan retorika yang murni berasal dari gaya bicara jalanan khas mahasiswa yang senang melakukan demonstrasi, memuakkan dan kata-kata yang kering memekkan telinga. Saat mereka berbicara, Nasrudin Hoja ingin sekali menceritakan bahwa manusia kini telah terintegrasi dalam kelas-kelas kecil dalam perjuangan yang semu. Tak bernyawa dan mudah cacat karena prematur. Namun, karena kesungguhan mahasiswa-mahasiswa itu, Nasrudin Hoja akhirnya menyerah dan buka mulut untuk menjelaskan sesuatu yang akan ia ajarkan. “Hmm, kalau begitu kalian harus belajar cara bertani!” “Mengapa harus bertani?” tanya seorang mahasiswa kebingungan. Lalu, seorang temannya mencubit dari belakang, berbisik pelan, “sst, biarkan saja dia ngomong dulu”. “Dari bertani kalian akan mendapatkan restu alam semesta” “Apa benar?” tanya salah satu di antara mereka penasaran. Zulfikar RH Pohan



121



Seseorang yang berada di belakang kembali mencubit temannya yang lantang itu seraya berbisik lagi lebih keras, “Hussy, jangan ribut. Ikuti saja!” *** Keesokan harinya, mahasiswa-mahasiswa itu jak u blang. Karena hari liburan dan bertepatan dengan waktu menanam padi. Dari pagi sampai sore, Nasrudin Hoja bersama mahasiswa itu membantu seorang petani tua. Sampai matahari di atas kepala, Nasrudin Hoja dan ‘para mahasiswanya’ pun beristirahat. Salah seorang di antara mereka bertanya. “Tengku Nasrudin, kami diajak bertani ini sebenarnya untuk apa. Jangan manfaatkan kami untuk hal-hal yang tak ada gunanya buat perlawanan mahasiswa, buat membebaskan orangorang tertindas, dong!” “Ya, karena sebaiknya belajar bertani dahulu kemudian belajar peternakan, nah soal masalah penjualan bisa dipraktikkan setelah kalian mulai mendalami filosofi produksi…” jawab Nasrudin Hoja santai. “Sebentar...” potong salah satu mahasiswa berkulit gosong, “Sebenarnya Tengku Nasrudin ini bicara apa sih?” tanya mahasiswa itu lagi makin bingung. “Bukannya kalian ingin memperbaiki daerah?” Semua mahasiswa diam, menatap serius lalu dengan kode gerak tubuh yang seolah mengatakan ‘ya’. “Tapi bukan bertani, berternak dan apalah-apalah itu, Tengku.” “Kalian ini memang sudah dididik untuk rasis sejak dalam pikiran, ya kan?” ucap Nasrudin Hoja dengan nada yang rendah 122



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



tapi serius “di sekolah kalian diajarkan untuk memilih, apakah masuk IPA atau IPS, dan setelah itu kalian sebagai anak-anak muda dibagi kebeberapa pecahan. Dan apa jadinya sekarang ini setelah kalian memasuki bangku Universitas? Jurusan biologi tak ada kurikulum dan seminar untuk belajar filsafat, jurusan filsafat tak diberi ruang untuk belajar pertanian, jurusan pendidikan tak diberikan pendidikan soal perawatan. Setelah kalian lulus, mentang-mentang nanti sudah sarjana, kalian anggap orangorangtua yang tak sebanding jenjang pendidikannya seperti kalian, kalian tuduh bodoh. Anak-anak muda di kampung pedalaman kalian tuduh sebagai anak muda yang rentan kekerasan dan sensitif untuk bergelimang kebodohan. Walaupun sebenarnya pendidikan kalian di Universitas adalah privilege, hak istimewa. Kalian di kampus bisa berorganisasi, baca buku dan ikut seminar sedangkan orang-orang kampung tak bisa seperti kalian. “Semua kalian telah dibagi-bagi dalam satu sistem yang memisahkan kita semua. Sehingga jadi kumpulan ternak intelektual yang feodal” Nasrudin Hoja makin menggila “dan sekarang kalian bakal melakukan berbagai gerakan untuk daerah-daerah masing, apa-apaan ini! mahasiswa kabupatenistik, mahasiswa sukuisme murahan! ” Semua mahasiswa itu diam, mencerna lalu saling menatap di antara mereka, seolah dalam tatapan itu melahirkan banyak tanda, tanda tanya lalu tanda seru, tak ada titik. “Yasudah, kalau begitu habiskan rokok kalian. Ayuk kita kerja lagi” kata Nasrudin Hoja kembali teduh. Mahasiswa-mahasiswa itu terpekur. Setelah kopi habis diteguk, rokok Nasrudin Hoja juga habis, Mahasiswa-mahasiswa itu hanya menghabiskan rokoknya dan seplastik penuh tempe goreng yang tergeletak tak mereka makan karena sudah merasa canggung kepada Nasrudin Hoja Zulfikar RH Pohan



123



yang membuat otak mereka memerah. restu?



Hahaha! Siapa suruh datang ke Nasrudin Hoja minta ***



Besoknya mahasiswa-mahasiswa itu tak pernah lagi berhubungan dengan Nasrudin Hoja. Banyak kemungkinan, ada yang mengatakan mereka merasa dikerjai oleh Nasrudin Hoja. Kabarnya, mahasiswa-mahasiswa itu tak lagi menjadi aktivis sebagaimana dulu, mereka telah putar haluan menjadi mahasiswa pendaki gunung dan mengibarkan bendera Merah Putih sambil berpose dalam beberapa kali cekrek foto. Dengan jargon yang keren ‘Save the Planet!’(?).



124



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Ibu, Izinkan Siti ‘Hijrah’ Mustafa Kemal melakukan revolusi di Turki, tepatnya revolusi dari atas (heh, siapa bilang revolusi hanya selalu dari bawah?) pergolakan revolusi berjalan alot dan banyak larangan. Bukan hanya bentuk-bentuk ideologi politik lain atau gerakan spiritualisme, bukan hanya melarang kebudayaan Arab, namun yang paling kontras adalah soal mode, outfit alias pakaian. Mustafa Kemal melarang Turban, Fez, dan jubah pakaian yang digunakan orang-orang Turki yang sudah men-tradisional. Pakaian itu hanya boleh dipakai oleh kalangan pemuka agama ‘profesional’ yang diberikan ‘SK’ oleh pemerintahan Turki, begitu peraturannya. “Saudara-saudara sekalian, sebuah pakaian yang beradab yang internasional, layak dan tepat bagi bangsa kita dan kita akan mengenalkannya. Sepatu fansus atau lars untuk telapak kita, pantaloon untuk kaki kita, dan juga kemeja, dasi dan tentu saja untuk melengkapi semua itu, kita perlu tutup di kepala kita. Saya ingin pertengas hal itu, tutup kepala ini bernama ‘topi’” kata Nasrudin Hoja pada suatu hari, menirukan pidato Mustafa Kamal. “Seremeh itu?” tanya Mahmud menyela. “Banyak hal di dunia ini yang berasal dari hal-hal remeh, Nusantara dijajah karena rempah-rempahnya, teh dari Timur yang membuat minuman para raja Eropa bersendawa nikmat, tembakau untuk mengisi pipa-pipa mereka berasal dari kerja paksa yang menyedihkan. Semua hal-hal yang kau kira hanya soal-soal remeh justru membuat arah dunia yang tak remeh sama sekali.” Sambung Nasrudin Hoja lagi. “Jadi, jangan sekali-kali mengatakan bahwa revolusi itu selalu berkaitan tentang pergerakan yang besar dan angkat senjata sana-sini untuk membuat perubahan baru dan permanen!”. Zulfikar RH Pohan



125



Nasrudin Hoja melirik Hasan, Mukir dan Mahmud. Mereka bertiga terlihat sedang meraba-raba perkataan Nasrudin Hoja. “Ya, dan setiap gerakan untuk mengubah dunia kearah yang lebih baik justru malah membuat keadaan makin rumit” Nasrudin Hoja menyambung, sangat pelan. Agar si Hasan yang suka mengebu-gebu tak terlalu tersulut emosinya. Nasrudin Hoja salah, justru Hasan sangat tak senang mendengar perkataan Nasrudin Hoja kali ini, baginya memang ada benarnya juga. Tapi, jiwa muda Hasan yang senang dengan kata revolusi dan asik getol membaca buku-buku kiri terbitan penerbit yang terlarang dan senang akan pergerakan merasa terhinakan dengan kalimat Nasrudin Hoja barusan. “dasar si tua sinting kolot” batin Hasan dalam hati. Tapi, toh Hasan tak menimpali, hanya berkerut dalam hatinya. *** Siti, Gadis manis yang baru lulus SMA kini kuliah di sebuah Unversitas Islam di Aceh. Siti yang dulu ngomong manismanja dan suka malu-malu tapi ketus saat hendak membeli gula di warung, kini menjadi Siti yang suka jalan menunduk, Siti yang suka mengeluarkan kata bijak dari entah. Banyak anggapan bahwa Siti kecanduan kata-kata mutiara dari media sosialnya yang lebih dari lima jenis. Pernah satu kali, adik si Siti namanya si Amal terjatuh naik motor. Si Siti dengan nasihat seorang kakak yang sangat baik budi berkata “Saat kau terjatuh, itu hanyalah cara Allah mengajarkanmu untuk bangkit dan berdiri lagi.” Amboi, betapa bijaknya Siti. Walaupun, ibunya si Siti kemudian heran melihat tingkah anaknya yang menurutnya berlebihan atau sebut saja, lebay. 126



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Setelah memasuki semester dua, Siti mulai merasakan ada sesuatu keharusan yang mesti ia jalankan. Siti memilih jalan ‘Hijrah’. Ibunya si Siti makin kaget melihat tingkah anaknya yang dulu riang gembira, selalu menyebar senyum dan ramah bahkan kepada abang-abang warung kopi. Siti mulai memakai ‘jilbab besar’, hijab yang panjang menjuntai melewati pinggang. Sedikitsedikit ibunya si Siti agak senang juga, dalam batinnya “ah, anakku sudah mulai dewasa dan berubah”. Bukan hanya melalui pakaian, Siti juga mulai revolusi mental kecil-kecilan, seperti kegemeran barunya membaca bukubuku novel islami romantis, berjudul-judul puitis, bernuansa islamis. Jika seandainya kita melihat tas yang ditenteng Siti ke kampus atau ke manapun, ia akan selalu membawa buku-buku Tere Liye yang sendu, Boy Candra yang romantis dan buku-buku dari penulis-penlis lainnya yang sejenis yang membicarakan perempuan dalam narasi perempuan yang merindukan cinta sejati. Tak ada buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Panggil Aku Kartini Saja, atau buku-buku Maggie Nelson, Roxane Gay, Rebecca Solnit, Adichie, Sex Object: A Memoir dari Jessica Valenti, atau bicara soal Hijrah-hijrah yang pas buat perempuan seperti buku panduan kecantikan The Beauty Myth dari Naomi Wolf. Otomatis, dengan gaya baru Siti itu, Siti jadi makin memperlihatkan ideologi barunya, ideologi ‘hijrah’nya. Segala hal kecil diperhatikan si Siti untuk mencapai performa dari jalan ideologinya. Siti membeli shampoo yang berdampak dingin bagi perempuan berhijab, membeli lotion kulit untuk perempuan ‘hijrah’ bersarung tangan, bahkan sampai membeli susu khusus perempuan berhijab juga (dan susu jenis ini memang lagi meledak diswalayan), dan ah betapa pasar sangat up to date akan pekermbangan masyarakat. Namun, performa ‘hijrah’ si Siti tentu harus berimbang dengan kualitas selfie dan kuantitas kata mutiara dalam akun media sosialnya. Instangramnya penuh dengan travelling dan nongkrong Zulfikar RH Pohan



127



di café sepi. Ya, café sepi adalah café berkelas, café yang ikutikutan tiru gaya proletar dengan meja kayu, pohon-pohon, kursi ban bekas dan ada lesehannya. Tapi tetap saja harganya mahal. Di sanalah Siti sering nongkring, kalo di warung kopi biasa, Siti takut digoda laki-laki yang berjam-jam di warung kopi menikmati wi-fii gratisan dengan modal minum kopi satu gelas. Siti tak mau digoda laki-laki macam begitu, warung kopi semacam itu adalah warung kopi lumbung dosa. Siti dan teman-temannya ngopi di café dan makan di tempat yang kurang lebih berkualitas sama. Sambil cekrek-cekrek selfie. Loh, kalau tidak percaya, cek saja instagram Siti, @siticinta_ shalawat. Tapi ingat, kalo belum mem-follow akun intagram Siti, maka Anda tak bisa lihat foto-fotonya, akun Instagramnya digembok seperti kotak infaq di mesjid. Nasrudin Hoja tentu melihat satu situasi yang asing, para lelaki membicarakan tentang Siti di pos jaga, Dengan dilengkapi dentuman lagu dangdut di radio. Hasan yang sedikit-banyak memikirkan tentang kawin mulai menaruh hati pada Siti yang telah berhijrah, Mukir juga, bahkan Mahmud sampai diamdiam mengumpulkan uang buat melamar si Siti, sebab Mahmud melihat kata-kata yang ditulis Siti di akun media sosialnya. Katakata itu kurang lebih bernada ‘kalau bicara perasaan, anak SD juga paling hebat mengungkapkan perasaan. Hanya lelaki saja yang berani melamar’ begitu baca Mahmud, maka mulailah Mahmud berencana menabung buat Siti. Mereka semua memang konyol. “Ah! Kalau cinta tak konyol, bukan cinta namanya!” Ketus Mukir mulai bertindak aneh saat mendekati Siti. Nasrudin Hoja tak ambil pusing soal komitmen Siti dalam berpakaian. Baginya, itu adalah hak Siti, sama seperti ketika Nasrudin Hoja melihat dandanan anak Punk dengan rambut Mohawk dan jaket berduri, atau Rastafarian yang gimbal, atau alay semi-semi Emo. Ideologi ‘Hijrah’ adalah ideologi baru yang didengar oleh Nasrudin Hoja. Ideologi ‘hijrah’ adalah ideologi 128



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



yang lahir baru-baru ini. Lahir dari orang-orang yang suntuk dengan budaya Barat (meskipun mereka mungkin belum bisa membedakan antara budaya Barat dengan budaya global), lalu dengan menyerap mode islamisme (atau Arabisme?) dengan kasar dan mulai bereksperimen melalui perkawinan budaya postmodernisme dan Islam, hingga menjadilah satu mode yang khas. Hal ini mengingatkan Nasrudin Hoja akan revolusi topi, dasi dan pantaloon dari Mustafa Kamal yang pernah ia singgung. Di kampus, Siti bersinggungan dengan teman-temannya dari Malaysia. Kalau di Aceh orang-orang bisa membedakan cara pakaian mahasiswa lokal dan mahasiswa dari Malaysia maupun Thailand dari cara pakaiannya, pakaian mahasiswa Malaysia dan Thailand terkesan lebih longgar dan ‘islami’. Dengan keheningan yang di balik bawah sadar, Siti mulai terenyuh, ingin ikut melambai bersama hijab teman-temannya dari Malaysia maupun Thailand, lalu mulai berbicara dengan sisipan ‘ana’ ‘antum’ ‘akhwat’ dan ‘ukhti’. Tapi, hei! Siti merasa ada yang kurang : Siti butuh cadar! “Mak, ana ingin bercadar!” Kata Siti kepada ibunya pada suatu malam yang gamang. kaget.



“Loh, kenapa?” Sontak ibunya si Siti berhenti melipat baju,



Siti dengan lembut persis desiran angin melambai di tepi laut, betapa tak cukup kata-kata menjelaskan nada suara Siti yang telah ‘hijrah’. Siti menjawab bahwa ia ingin menjalankan perintah agama, menjauhi fitnah dan menjaga diri dari sentuhan setan hablis yang terkutuk. Alhamdulillah, penjelasan panjang lebar Siti membuat ibunya jadi ikut-ikutan terenyuh. Akhirnya membiarkan Siti memakai cadar. Zulfikar RH Pohan



129



“Ya, oke. Mak izinkan kamu bercadar” “Terimakasih, Ummi” desah Siti seperti desiran angin mengelus pucuk daun cemara. “Ummi?” *** Pos jaga, mulai ketar-ketir. Semua membicarakan Siti, mereka semua semakin bersemangat. Bahkan Mahmud sudah mulai semakin giat belajar ngaji dan tak lupa diimbangi dengan mengikuti perkembangan akun media sosial si Siti setiap hari. Hasan yang biasanya bergelayutan membicarakan hal-hal kritis lainnya jadi melempem. Hasan jadi suka mendengar ceramah via YouTube dan Intagram, hitung-hitung untuk mencari pembahasan dan gaya bahasa yang baik untuk berbicara dengan si Siti. “Kira-kira bagaimana kalau si Siti pergi ke ATM?” tanya Mukir, “apakah harus memakai cadar juga, atau mesti dilepas?” Hasan dan Mahmud menanggapi pertanyaan Mukir dengan sebelah mata, setengah ditertawakan. Mukir lalu minder dan diam-diam saja setelah di skak oleh argumen Hasan yang menurutnya sangat rasional. “kamu kira perempuan bercadar itu suka berbuat kriminal? Toh, kalau ada yang jahat. Ngapain pake cadar segala, cukup pakai kain penutup atau pakai masker juga bisa” ketus Hasan. “Justru dengan cadar itu, Siti lebih menawan dan terlihat cantik... ah, maksudku cantik akhlaknya.” Kata Mahmud di tengahtengah Hasan yang sedang tersulut amarah. “Kira-kira menurut Tengku Nasrudin, saat kapan dan bagaimana sih perempuan itu cantik?” tanya Mukir asal nanya seperti pengalihan isu agar dirinya tak lagi dicibir oleh Hasan. 130



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Pertanyaan Mukir ternyata memancing semua yang ada di sana. Mereka pun tak sabar mendengar jawaban Nasrudin Hoja yang selama ini tak terlalu banyak membicarakan kecantikan. “Hmm, begini. Kalau menurutku, perempuan akan terlihat sangat cantik ketika ia sedang menjadi apa yang dia mau tanpa disuruh, dikontrol, sesuai mode pergaulan, terlebih sesuai stigma sosial, adat, agama, dan masyarakat yang terkadang bisa begitu bengis.” *** Keistiqomahan Siti memang pilih tanding, selalu ada hal yang mampu membuat para lelaki melihatnya sebagai sebuah penyelamat. “Itu memang perlu, karena perempuan jaman sekarang sudah tidak tahu aturan lagi, sudah memakai celana jins yang ketat-ketat” kata Mahmud “jadi, pemakaian cadar adalah semacam antitesa bagi kebudayaan macam sekarang ini” “Ya, dan nafsu laki-laki makin buas!” sela Nasrudin Hoja. “Apa maksudnya?” semua bertanya. “Tidak ada permintaan tanpa penawaran, laki-laki senang dengan setiap perkembangan. Setiap hal-hal baru apalagi soal perempuan menjadi sorotan laki-laki. Orang-orang senang dengan keseksian dan kealiman bukan karena mereka melihat itu antara baik dan buruk, tapi ada relasi kepuasan, yang manjadi subjeknya tetap laki-laki, perempuan tetap dijadikan objek” kata Nasrudin Hoja menceramahi. Semua diam, Hasan yang tadi duduk seperti malas duduk, Mahmud yang dari tadi asik merokok sambil ngelamun dan Mukir yang tiduran jadi bangkit. Menantikan kelanjutan bicara Nasrudin Hoja. Zulfikar RH Pohan



131



Tapi, Nasrudin Hoja tidak melanjutkan. Hasan, Mahmud dan Mukir jadi geram. Nasrudin Hoja malah membaca buku best-seller, berjudul ‘Udah, Putusin Aja!’ yang dia pinjam dari Siti. Sambil tiduran.



*** Mustafa Kamal memang cerdas, dibalik ekonomi Turki yang ambruk, sosial budaya yang kacau, dan politik yang kasar, Mustafa kamal sempat-sempatnya memperhatikan mode pakaian. Dan terbukti, bahwa pakaian adalah inti dari revolusi dan pakaian adalah tanda dominasi.







132



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Memahami Islam dan Hidayah Perspektif Orang Aceh Nasrudin Hoja pergi untuk mencari pencerahan agama. Konon, ilmu yang ia dapati berbeda dengan zaman sekarang ini, Nasrudin Hoja melihat radio memutar rekaman orang-orang membaca kitab suci al-Qur’an, sedangkan aktifitas manusia tetap berjalan. Bukankah ketika al-Qur’an diperdengarkan kita harus diam dan mendengarkannya dengan khusyuk? Kenapa rekaman al-Qur’an dihidupkan tanpa ada yang peduli apa kegunaannya, dan bagaimana cara mendengarkan al-Qur’an itu sendiri sedangkan manusia dalam keadaan sedang bekerja? Apakah para pedagang di Pasar Aceh harus berhenti berdagang ketika rekaman lantutan alQuran diputar dengan speaker dari mesjid Baiturahman? Rancu. Namun, di sanalah kesenangannya, Nasrudin Hoja merasakan Islam di Aceh adalah unik dan memiliki jalan sendiri. karenanya, Nasrudin Hoja ingin mengetahui keadaan Islam di Aceh lebih dalam lagi. Masih berserakan keunikan di Aceh dan Islam yang sama sekali terlihat menantang jika di Aceh. Seperti bagaimana Nasrudin Hoja mendatangi tempat-tempat dengan kajian keislaman. Nasrudin Hoja datang ke sebuah acara yang sangat menarik judulnya “Mempersiapkan Umat Islam dengan Dunia Modern” tanpa babibu, Nasrudin Hoja datang dan menandatangani buku tamu seperti biasa. Masuk dan menikmati pisang goreng coklat yang lengket di tangan dan lumer di lidah. Terlihat sorang lelaki muda, berambut setengah gondrong dengan potongan yang mirip gaya rambut Kak Seto atau George Horisson(?), gaya rambut yang keren. Setelah makan pisang coklat, Nasrudin Hoja memperhatikan lelaki mirip George Harisson itu. Zulfikar RH Pohan



133



“Demokrasi haram!” pekiknya garing seperti lumpia yang membalut pisang coklat, lalu lelaki itu melanjutkan ocehannya “Karena sudah ada Syura dalam al-Qur’an. HAM itu buatan kafir Barat yang mempunyai misi kebebebasan mutlak yang dapat menghancurkan Umat! Pluralisme itu bagian dari cara Yahudi memecah kita!” pekik lelaki mirip Kak George Harisson. Nasrudin Hoja mengangguk, menjilati pinggir bibirnya yang berlumeran coklat. “Umat Islam mesti bersatu! Dalam satu bentuk susunan dunia Islam satu negara, Khilafah!” pekikan anak muda mirip itu lagi disambut dengan takbir dari penonton yang kebanyakan adalah anak muda. “Takbir!” pekik anak muda itu lagi. Semua memekikkan takbir dengan sumbang. Lalu anak muda itu berujar dengan lembut sebelum menutup ceramah/orasinya. “semoga negeri ini mendapatkan hidayah dan menegakkan khilafah”. Nasrudin Hoja pulang, dan mendapati dirinya dalam satu konsep di kepalanya, bukan tentang Demokrasi, HAM, Yahudi, Illuminti, Propaganda dan Khilafah. Tapi bergumam tentang kenikmatan pisang coklat. Yang akhirnya dia ketahui resepnya. Coklat yang digulung lumpia dan digoreng lalu diolesi dengan coklat. Tapi buru-buru Nasrudin Hoja jadi sadar. “astaghfirullah, tadi mau dengar kajian keislaman kok malah berfikir tentang makanan” keluh Nasrudin Hoja pada dirinya sendiri “ampuni hamba ya Allah”. Esoknya ada acara lain, tampak seorang pemuka agama yang berdiri dan dilatarbelakangi oleh bendera partai. Seorang pemuka agama dengan embel-embel nama yang panjang, ‘tentu mempunyai ilmu yang mumpuni’ batin nasrudin Hoja. 134



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



“Jika kita tak memberikan suara kita, maka kita membiarkan kemungkaran yang akan duduk di kursi pemerintahan. Bapakbapak, ehmm, Ibu-ibu gunakanlah hak pilih kita semua” pemuka agama itu berdiri dengan yakin, semua kepala mendongak termasuk Nasrudin Hoja, kali ini ia berjanji untuk mendengarkan kajian keislaman secara serius. Tokoh agama yang ceramah tersebut kemudian menutup ceramahnya dengan kata-kata yang sama. “semoga kita semua dapat hidayah” Nasrudin Hoja celingak-celinguk, dan ah alangkah bahagianya mendapatkan nasi kotak gratis sehabis mendengarkan ceramah. Dan lihat itu! nasi padang dengan sambal kuah yang menyengat liur, otak-otak yang berminyak lengkap dengan daun ubi rebus serta sambal hijau. Pulang dari tempat ceramah, Nasrudin Hoja membayangkan nasi padang yang habis disantapnya. Lagi-lagi Nasrudin Hoja mengucap istighfar karena otaknya disuguhi nasi padang. Seakan memang terlahir untuk ikut acara, Narudin Hoja pergi lagi dan lagi ke sebuah tempat yang digambarkan dengan spanduk, “Dialog Iman” seraya berharap akan menemukan pencerahan. Dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak tergiur akan makanan yang akan disediakan. Saat memasuki tempat itu, Nasrudin Hoja duduk di deretan paling belakang. Terlihat dua tokoh agama saling berargumen dan satu pembawa acara. Satu pemuka agama saja makanannya sudah nikmat dan lezat-lezat, apalagi dua! batin Nasrudin Hoja memperhatikan, lalu buru-buru mengucap istighfar karena baru saja tergiur akan imanjinasi makanan. Setelah istighfar dengan seksama Nasrudin Hoja kembali memperhatikan kedua tokoh agama tersebut. Zulfikar RH Pohan



135



“Tidak! Syiah tidak ada dimasa Rasulullah Saw” kata pemuka agama berpeci. “Syiah adalah hasil perpolitikan yang jahat dan mencoba mengkaburkan umat Islam”. Lama pemuka agama itu berbicara, dan menjelaskan sejarah dengan wajah tenang namun perkataan yang tandastandas. Jenis pemuka agama yang ini berbeda dengan penceramah yang ditemui Nasrudin Hoja di hari-hari sebelumnya. Setelah bebicara agak lama maka mulai lah pemuka agama berkafayeh ceramah tak tanggung-tanggung sambil menggepok meja dan berdiri sambil bicara kesana-kemari. “…Syiah adalah firqah satu-satunya yang mencoba mengembalikan marwah Islam yang telah dikangkangi oleh penguasa-penguasa Sunni yang lalim!” Nasrudin Hoja panik. Cemas. Kue dan nasi tak datang juga. Hanya diberikan segelas air mineral plastik. Bah! Sedangkan perdebatan makin panas. “Tidak!” “Sesat!” “Ahl an-Nar!” “Buatan Yahudi!” Penengah kewalahan, semua penonton ribut. Ada pro dan kontra. Narasumber semakin panas, dipanas-panasi oleh peserta. Sekarang Nasrudin Hoja jadi bingung. Ia ingin mencari kebenaran dan mengenal Islam di Aceh tapi apa yang ia dapat justru adalah perdebatan. Kedua tokoh agama itu menutup kajian dengan kesimpulan kepada sesama tokoh agama dan penonton. “semoga kamu dapat hidayah” 136



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nasrudin Hoja pulang kerumah, ia berfikir tentang perutnya, dan berfikir betapa kini ia pun bingung dan mudah berfikir ketika lapar. Sesampai pos jaga kampung, Nasrudin Hoja berjumpa dengan Sengok Kubis dan Dodil. “Kenapa kau berubah jadi pesakitan kurang ajar yang sedih?” tanya Sengok Kubis prihatin. “Aku lapar sekaligus bingung” “Kenapa bingung” tanya Dodil memburu. “Sepertinya aku belum mendapatkan hidayah dari semua jenis pengajian dan ceramah di Aceh ini” Sengok Kubis dan Dodil ketawa terbahak-bahak. “kata-kata ‘semoga kamu dapat hidayah’ mempunyai makna lain seperti ‘semoga kamu dapat berfikir seperti aku’” kata Sengok Kubis. “Semoga kamu dapat hidayah, ya” kata memparodikan suara agamawan yang sedang ceramah.



Dodil



“Aku tidak mau” jawab Sengok Kubis. “Kenapa?” “Jika dapat hidayah artinya harus berfikir seperti kamu, aku tidak mau!” Nasrudin Hoja, Sengok Kubis, dan Dodil ketawa sehabis memparodikan perdebatan teologis khas orang Aceh. Zulfikar RH Pohan



137



Walk Out Saat Khatib Sedang Khotbah Kita ini serba salah lho ya. Jadi kaum intelektual digiring menjadi politikus, ingin jadi pengusaha digiring jadi politikus, mau jadi orang biasa pun bahkan digiring untuk setidak-tidaknya mendukung para politikus, ini ada apa? Cara penggiringannya dengan nada paling halus, ‘jika orang baik tak ikut politik maka politik akan diisi oleh orang jahat’ loh, apa iya bisa menentukan kebaikan dan kejahatan seseorang melalui kacamata politik? Atau yang lebih menusuk lagi, seperti dogma ‘pintar tanpa kekuasaan adalah pintar yang sia-sia’ ampun! ini apa lagi? Apakah kepintaran hanya berlaku untuk politik kekuasaan? Lalu, diberikan semacam jalan tikus, bahwa memang kita semua mesti terjun bebas di atas bumi politik. Banyak lagi ungkapan yang sejenis menggambarkan hal yang sama. Jarang ada yang memilah antara politik universal dan politik kekuasaan. Politik universal adalah cara untuk menuju kehidupan, manusia berpolitik lalu bekerja dan membeli makan, manusia berpolik maka manusia mandi, memakai baju yang rapi lalu pergi bergaul atau bekerja itu politik universal, yang dinamakan man is by natural a political animal. Tapi politik kekuasaan hanya berkisar pada jalan-jalan kekuasaan dan jalanjalan jualan kekuasaan dengan cara-cara kasar maupun halus. Namun, apakah pembedaan pembedahan sudut pandang politik hanya sampai di sana saja? Sebab bangsa kita sangat getol terhadap politik, maka orang dengan mudah mengadopsi kata Siyasah sebagai sinonim dari ‘politik’. ‘Rasulullah berpolitik, karena Rasulullah memakai Siyasah’ kata seseorang agamawan di mimbar. Maka, dengan tanpa bantahan kita mengadopsi kata siyasah dan mengganggapnya 138



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



sebagai sinonim dari kata ‘politik’. Bukankah ilmu politik secara sah berdiri sendiri dan dikaji oleh di universitas-universitas dunia pada tahun 1960-an? Begitulah Nasrudin Hoja melihat sesuatu yang rancu dalam politik kekuasaan, orang-orang yang dianggap dekat dengan orang-orang akan dicurigai sebagai orang yang punya ‘kepentingan politik’ atau jalan-jalan untuk memperoleh kekuasaan. Malangnya, persepsi masyarakat digiring untuk menikmati cara duga ‘politik kekuasaan’. “Istri bapak anu sudah pakai jilbab, ini pasti gara-gara pencitraannya dia, ingin meraup suara dari kalangan ibuibu” cerita-cerita serupa demikian yang mulai berbuah pada kesimpulan menggelikan tentang politik kekuasaan banyak dijumpai di manapun, ketika ada yang jarang ke mesjid lalu tibatiba datang ke mesjid akan dituduh ‘ingin naik’ yang dalam arti ingin mencalonkan diri. Atau ketika ada yang dulunya sombong kini jadi ramah, akan dicap sama. Mempunyai hasrat kekuasaan. Nasrudin Hoja akhirnya sumpek dengan penyataanpenyataan serupa yang baginya menggelikan. Semua berbicara tentang politik kekuasaan. Berkhotbah juga sudah mulai main mata dengan politik kekuasaan, soal-soal “merubah kemungkaran dengan tangan” lalu “tangan” diartikan dengan “kekuasaan” (padahal bisa saja “tangan” ditafsirkan dengan “mengelus-elus”). “Maka, umat muslim” kata khatib di mimbar “harus memegang kekuasaan”. Jreeeng! Karena agak mengherankan isi materi khotbahnya, Nasrudin Hoja jadi was-was dan mulai keringatan. Jidatnya penuh peluh, lalu karena sudah tak tahan lagi Nasrudin Hoja walk out dari mesjid ketika khatib sedang berkhotbah. Ketika sedang memakai sandal, Seseorang bertanya. Zulfikar RH Pohan



139



“Hai, Tengku Nasrudin Hoja! mau kemana?” “Pergi dari mesjid ini!” “Kenapa?” “Nanti aku dituduh sama Allah, ‘pergi kemesjid pasti ada maunya, ada kepentingan untuk meraup suara demi kemenangan partai’” kata Nasrudin Hoja, “aku takut kalau sudah dibegitukan sama Allah”. Nasrudin Hoja berlalu, mencari mesjid yang jauh dari bendera partai, meskipun agak sedikit sulit.



140



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Walaupun Sering Kemesjid, Belum Tentu Nasrudin Hoja Itu… Nasrudin Hoja sudah seperti ashab al-Shuffah, tidur di pelantaran meunasah. Walaupun kadang-kadang Nasrudin Hoja tidur di emperan toko persis anak PUNK. Rutinitas tidur di menasah, membuat orang sangat takjub kepada Nasrudin Hoja dan memberikan Nasrudin Hoja kepercayaan sebagai muazzin, jika memang sudah waktunya adzan tapi muazzin tak datang. Nasrudin Hoja senang-senang saja melakukan itu. Beberapa kali malah tampak Nasrudin Hoja membaca al-Quran dengan sangat merdu, membuat orang-orang tua malu mendengarnya dari warung kopi. Dan memang warung kopi kampung sangat dekat dengan meunasah. Nasrudin Hoja mendapatkan banyak pujian dan menjadi buah bibir dari banyak ibu-ibu. “Wah, rajin sekali dia”. Sampai pada satu ketika, Nasrudin Hoja mendengar kabar itu secara langsung, sebut saja si Cut Nong, seorang MAHMUD ABAS (Mamah-mamah Muda Anak Baru Satu) keceplosan di meunasah. “Tengku Nasrudin, tolonglah ajari suami saya untuk sering ke mesjid” pinta bu Cut Nong. Bagaimana respon Nasrudin Hoja? Tentu saja Nasrudin Hoja jadi plaga-plongo.’suami-suami dia, aku yang disuruh mengajari’ batin Nasrudin Hoja. Nasrudin Hoja hanya senyamsenyum dan tak menanggapi apa-apa. Meski dalam hatinya bertanya-tanya. Kemudian agar tak disangka sombong, Nasrudin Hoja menawarkan diri untuk mendoakan suami bu Cut Nong. Zulfikar RH Pohan



141



Bu Cut Nong sangat senang, lalu menggapai tangan Nasrudin Hoja lantas menciumi tangan buruk itu bertubi-tubi. Keesokan harinya, Nasrudin Hoja kembali dikejutkan oleh pemuda yang baru saja bekerja disebuah kantor sensus penduduk. “Abu Nasrudin, aku ingin melamar si Syarifah. Tolong Abu berikan saya arahan sedikit” kata pemuda itu “mungkin sedikit karamah dari Abu Nasrudin bisa membantu saya” “Jangan panggil Abu!” bentak Nasrudin Hoja “kenapa minta arahan pada saya?” “Maaf Abu. Eh, Pak Nasrudin. Saya minta karena Pak Nasrudin orangnya alim, sering ke mesjid, pasti doa-doanya mustajab” Nasrudin Hoja makin mumang. Akhirnya, karena si Pemuda minta nasihat dan minta di doakan, Nasrudin Hoja pun menasihatinya seadanya dan berdoa setiap kebaikan kepada si Pemuda dalam hatinya. sekali.



Setelah didoakan, pemuda itu pamit dan berterimakasih



Malamnya, Nasrudin Hoja jadi makin pusing. Kenapa dan ada apa sampai ia dianggap semacam orang disuruh mendidik dan tiba-tiba dimintai doa segala. Dalam hatinya, Nasrudin Hoja benar tahu siapa ia sebenarnya. ‘Sepertinya aku harus pindah dari meunasah’ lamunnya. Keesokan harinya, saat mau pergi. Nasrudin Hoja ditegur oleh Pak Keuchik. “Hai, Tengku Nasrudin! Mau kemana?” “Mau pindah, pergi” jawab Nasrudin Hoja seenaknya. 142



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



“Pindah?” tanya pak Keuchik heran dan terkejut “Wah, jangan begitu Tengku” “Kenapa?” “Kami sangat senang ada Tengku Nasrudin di sini, bisa jadi tauladan kami. Tengku Nasrudin kan sering kemesjid, ya kampung kita ini jadi ada orang alimnya lah.” Nasrudin Hoja, jadi sadar. Jadi, selama ini orang-orang kampung menganggap Nasrudin Hoja adalah orang suci, orang alim yang pantas untuk ditiru dan digugu. Wah, betapa tak senangnya Nasrudin Hoja dijadikan manusia yang semacam itu. Nasrudin Hoja berjalan mendekati pak Keuchik, sambil berkacak pinggang. “Hei, Pak Keuchik. Saya ada protes dengan Anda. Ada dua hal yang ingin saya kesalkan pada Anda.” Kata Nasrudin Hoja tegas, dan memanggil pak Keuchik dengan kata ‘Anda’ bukan menggunakan kata ‘pak Keuchik’. Sontak semua orang jadi penasaran ada apa ribut-ribut di meunasah. Orang yang tadi ngopi disamping meunasah jadi memandang Nasrudin Hoja. “Yang pertama, Pak Keuchik jangan memanggil saya Tengku lagi. Dan yang kedua, saya bukan orang alim atau orang yang harus dianggap suci. Saya ini cuma kemesjid saja kok dibilang suci. Gimana sih? Misalnya, pak Keuchik datang ke Rumah Sakit Zainal Abidin. Tentu orang akan mengira pak Keuchik sebagai orang yang sakit, atau keluarga Pak Keuchik yang sakit. Jika saja, Pak Keuchik sering kekantor polisi, tentu saja pak Keuchik ada masalah. Nah, sekarang saya sering kemesjid malah dikatakan orang alim, itu salah! Saya justru orang yang banyak lalai, salah dan punya hidup yang rumit. Makannya saya ke mesjid. Bukan Zulfikar RH Pohan



143



karena saya alim atau soleh. Pak Keuchik ini bagaimana, sih! Pak Keuchik juga, hanya ke kantor apabila ada pekerjaan, kalo tidak ada pekerjaan pak Keuchik bakal dirumah” Kata-kata Nasrudin Hoja mengalir deras bagai air keran di tempat doorsmeer. Mengalir keras dan tajam. Semua mata dan telinga di warung kopi melihat dan mendengar Nasrudin Hoja. Pak Keuchik jadi linglung. Niat mau menyapa, eh malah disemprot oleh Nasrudin Hoja dengan filosofi-filosofi yang dicerocoskan Nasrudin Hoja. “Yasudah, saya mau mengembara lagi cari menasah lain. Saya sudah putuskan dengan bulat dan matang, pak Keuchik. Nanti kapan-kapan insyaallah saya akan mampir-mampir lagi ke sini”. Setelah mengatakan demikian pak Keuchik diam, di skak oleh Nasrudin Hoja. dengan sigap Nasrudin Hoja mengangkat kardus mi instan berisi peralatannya yang tak jelas apa. Sembari melanjutkan perjalanannya, Nasrudin Hoja menyalami orangorang Gampong dan berpesan dengan bijak. Pak Keuchik tentu merasa kewalahan, salah tingkah dia. Pak Keuchik kemudian menyusul Nasrudin Hoja yang sedang mengucapkan kata-kata perpisahan di warung kopi. “Eh… anu, Tengku. Eh, Pak Nasrudin. Alangkah baiknya saya yang antarkan Pak Nasrudin pakai motor saya” “Wah, terimakasih pak Keuchik. Lagian saya sudah telepon mobil L300, mau brangkat lagi” “Kemana?” tanya seorang Pemuda di warung kopi, kecewa. “Wah-wah, kalau tujuan saya belum tahu. Yang jelas mau pergi-pergi saja.” jawab Nasrudin Hoja sekenanya, sambil 144



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



cengengesan. “tapi saya mau pesan, jaga si Jagger anjing malang itu bila ia kembali dan ingin makan” Nasrudin Hoja lalu pergi. Orang-orang kampung sedih atas kepergian Nasrudin Hoja. Namun, ‘ceramah’ Nasrudin Hoja dirasa ngena di hati. Esoknya, orang banyak pergi ke meunasah untuk shalat dan tafakur, Warung kopi juga tutup karena pemilik warung juga pergi ke meunasah. Seketika meunasah jadi ramai para penduduk kampung. Mereka ingin jadi orang soleh, alim atau apa? Yang jelas, mereka mengakaui bahwa mereka adalah manusia yang banyak lalai, dosa dan punya hidup yang rumit.



Zulfikar RH Pohan



145



Seuramoe mekkah geubi julukan Nibak saboh jan pernah jaya that Rame ulama kheundak bak Tuhan Hai ban saboh nyan meugah keuramat



Rakyat seb makmu hana meulang-lang Meuseubab Sultan pemimpin hebat Aceh puh kaya ngen wase alam Rakyat wate nyan tan nyang meularat



Ureung Aceh nyoe beuho ngen garang Tapi bandum nyan meuri-ri tempat Tulong teumulong hanpre hanjeut han Ateuh bantuan geubantu leugat



Maka di Aceh jithei seb tentram Seujarah silam meunan geucatat Oeh na masalah geupeupah rijang Sigra geusidang untuk peutupat



146



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



BAGIAN TIGA Buruh Miskin Baik Sesuai Undang-Undang



Zulfikar RH Pohan



147



148



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Kerasukan Jin Marxis di Podium Syekh Abdurauf as-Singkili Berapa banyak manusia yang menjual jiwanya di atas altar pemujaan iblis kapitalisme? Pertanyaan yang agak kasar memang, tapi benarlah tidak sedikit yang menjual jiwanya untuk si iblis kapitalisme tadi. Menjual jiwanya dalam artian menjual agama, kebudayaan dan keimanan yang dangkal untuk dieksploitasi oleh iblis kapitalisme, dirong-rong ketakutan yang tak berujung soalsoal materi, dihantui hutang-hutang masa depan dan tanggung jawab atas kebutuhan dan keinginan yang makin mahal sedangkan hidup sangat singkat dan terbatas, maka manusia yang menjual jiwanya di altar kapitalisme akan menghabiskan hidupnya dengan bekerja tanpa arah dan tujuan. fasis terhadap kehidupannya sendiri. Nasrudin Hoja berubah menjadi manusia yang mendadak kesurupan hantu-hantu Marxis dalam perjalanannya ke daerah Barat-Selatan Aceh. Diperjalanan, Nasrudin Hoja melihat rumah-rumah yang dibangun tak beraturan, gunung-gunung yang dibom untuk kepentingan proyek pembangunan kota, belum lagi saat melewati Nagan Raya, Nasrudin Hoja melihat pabrik-pabrik kelapa sawit, rumah-rumah yang dikepung kebun kelapa sawit. “Kutukan apa ini?” pekiknya dalam hati. Sekonyong-konyong Aceh sedang dikutuk Tuhan, begitu pikirnya. Memang, Nasrudin Hoja agak kesal dengan cara pemerintahan ini, cara-cara yang aneh yang memperkosa tanah, menghabisi pergaulan sosial dengan kebun-kebun kepala sawit, dinamika kelas jadi tampak lebar menganga. Agamawan di Aceh jadi pusing, sebab pemerintah sudah lebih hebat dari agamawan Zulfikar RH Pohan



149



itu sendiri, pemerintah sudah lebih berani mengeluarkan ijtihad ketimbang sorang Faqih. “Kenapa orang-orang betah di Aceh yang semacam ini?” “Maksudnya, Tengku?” kata seorang penumpang yang jelas belum tau kalau Nasrudin Hoja paling anti dipanggil ‘Tengku’. Nasrudin Hoja tak menggubris panggilan ‘Tengku’, sudah capek dia menjelaskan ke orang-orang. “begini lho, dik.” Katanya pelan “dengan kondisi seperti ini masih saja orang-orang bisa tenang, bisa bekerja dan seakan tak tahu apa-apa, seakan tak tahu Aceh ini kok aneh” Penumpang itu menggeleng, sebenarnya tak terlalu paham dengan perkataan Nasrudin Hoja. Nasrudin Hoja kemudian seolah bertanya, siapa yang paling getol, berani, dan kreatif dalam menegakkan Syariat Islam di Aceh? lalu Nasrudin Hoja bakal menjawabnya sendiri, “yaa, yang paling berani dan kreatif itu tentu saja penguasa kita, pemerintah” katanya sambil tertawa terkekeh, “lihat saja, semua persoalan di Aceh ini bisa ‘diperbaiki’ oleh Syariat Islam” “Jadi, bukan ulama ya?” pemuda berambut cepak disebelahnya bertanya. “Loh, mengapa harus ulama? Toh, Umara lebih nge-ulama ketimbang Ulama asli di Aceh sekarang ini.” “Maksudnya, bagaimana?” “Jeh! qe ini kebanyakan tanya” potong seorang laki-laki berambut gondrong di sebalah pemuda tadi “maksudnya itu, Umara sudah merangkap lebih luas ketimbang Ulama. Coba lihat, Umara sekarang ini sudah ikut-ikutan menentukan akidah orang, keimanan orang, ikut-ikut mengaharamkan ini-itu, pokoknya 150



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



sudah nge-Ulama lah.” “Loh, bukannya bagus?” “Bagus? Syariat Islam didikte politisi qe bilang bagus. Susah aku jelasin buat qe!” Nasrudin Hoja tak menjawab pertanyaan itu, baginya terlalu bertele-tele. Selebihnya Nasrudin Hoja cuma anggukangguk dan senyam-senyum sendiri melihat dua orang anak muda yang sama linglingnya. Akhirnya Nasrudin Hoja tertidur. Perjalanan terus berlanjut, Nasrudin Hoja tidur selama beberapa jam. Anak-anak muda disebelahnya tetap saja berdebat. “Qe ini skenario, qe ini Cuma figuran dalam belantika dunia yang kejam. figuran, ingat kata-kataku : f-i-g-u-r-a-n” kata lelaki berambut gondrong “begini ya, contohnya, pemerintah sudah tahu kalau judi itu di Aceh hanya untuk orang-orang miskin yang mencoba mencari peruntungan nasib. Nah, alih-alih memperbaiki ekonomi, pemerintah malah menerapkan hukum cambuk buat para pejudi. Contoh lain, kukasih buat qe, biar ngerti qe. Ada PSK di Aceh, pemerintah harusnya peka kalau PSK itu adalah korban dari zaman, katakanlah mereka banyak utang kepada germonya masing-masing, mereka mau kerja, yaah kerja susah. Akhirnya mereka jadi PSK. Nah, pemerintah tetap goyangannya sama. Mereka malah buat hukuman cambuk buat para PSK, bukannya memberikan kehidupan yang lebih layak buat mereka. Setidaknya memberikan mereka pekerjaan yang layak. “Nah, di mata pemerintah, qe ini cuma kepinding. Tau qe kepinding? Yang ngisap darah di bantal sama kasur itu. Itulah qe, pemerintah basmi qe pake peraturan Syariat!”. “Pemahamanmu yang terlalu pendek, dan radikal.” Jawab pemuda berambut cepak “rakyat Aceh itu jangan dimanjain, gak selamanya rakyat itu benar. Kemungkaran akan tetap ada, kalo gak Zulfikar RH Pohan



151



ada kemungkaran yaa itu namanya surga Wa kawaiba athroba, tidak ada tipu-tipu di surga, kalo dunia ini tempatnya bersendau gurau.” Balas lawan bicaranya, membawa ayat-ayat suci. Kedua anak muda tadi berdebat panjang saat Nasrudin Hoja tertidur. Sampai supir berhenti di mesjid untuk melaksanakan shalat Subuh, Nasrudin Hoja sadar kedua anak muda tadi sudah hilang. Mungkin sudah turun dan telah sampai di tujuan. Hoja.



“Anak muda yang penuh semangat” gumam Nasrudin Mobil terus berjalan sampai pemberhentian terakhir.



“Pak, kita sudah di pemberhentian terakhir, bapak mau kemana?” tanya Supir yang daritadi binguung dengan tujuan Nasrudin Hoja. Sejak awal, Nasrudin Hoja hanya ingin berangkat saja, entah kemana tujuannya, yang penting asal jalan dan mencari tempat baru sebab katanya ‘kemana angin berhembus, disana aku kan berlabuh’. “Ini sudah di mana, pak Supir?” “Aceh Singkil” *** Di sanalah Nasrudin Hoja sampai ke sebuah daerah yang dikelilingi sawit-sawit dan rumah kayu dari kayu sembarang tanpa memiliki pola arsitektur yang jelas. Nasrudin Hoja turun dan melihat keadaan sekitar, tak lupa mengendus-ngendus udara. Narudin Hoja merasakan ada semacam gugatan yang terdengar aneh terdengar dari sekian penjuru tanah Singkel, dengan sedikit aroma menyengat tak kalah menyengat dari daerah-daerah Aceh yang lainnya. Posisi tanah 152



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Singkel berada di tengah-tengah antara Sumatera Utara dan Aceh. Sebagaimana posisi Makkah, di tengah-tengah antara Romawi dan Persia. Berdakwah memang dibutuhkan tempat yang strategis, sebagaimana Rasulullah di Mekkah. Begitu pula di Singkel, Syiah Kuala dan Hamzah Fansuri berada di tengah-tengah antara Sumatera Utara dan Aceh. Bukan ingin menyamakan posisi Rasulullah dengan ulama seperti Syekh Abdurauf as-Singkily (Syiah Kuala), dan Syekh Hamzah Fansuri, tapi tentu saja ada kemungkinan soal panggilan strategis dari sebuah tempat strategis lahirnya pemikiran berasal dari perkawinan dua kutub. Semacam dialektika yang melahirkan sintesis. Syiah Kuala dan Hamzah Fansuri mengetahui hal ini barangkali. Maka, timbullah satu gerakan Islam dari Singkel, pendidikan dari Singkel sebagai pusat awal pendidikan di Aceh. Mestinya, Syiah Kuala dan Hamzah Fansuri harus meringis melihat Singkel sekarang ini. Pasalnya, Daerah Singkel menemukan dirinya dalam posisi buntu. Pusat yang pernah mempunyai peradaban dakwah itu kini menjadi serpihan-serpihan seperti jeroan dari keganasan manusia. Ketika titik pusat antara Sumatera Utara dan Aceh sudah seperti jeroan binatang, maka sulit untuk mendapatkan titik tengah podium untuk menerangi peradaban. Sama seperti ketika Mekkah mulai ‘mendung’ maka Umat Islam kehilangan arah. Dan saat itu, Disanalah Nasrudin Hoja berada. Innalillahi wa inna ilayhi raji’un.



Zulfikar RH Pohan



153



Si Buta Huruf Baca Puisi Bahasa baik itu berbentuk bunyi maupun tulisan secara garis besar bukanlah sekedar aplikasi penyampai kehadiran yang diandaikan oleh manusia. Di sini, Martin Heiddeger ambil pendapat soal bahasa, Heiddeger mengartikan bahasa sebagai medium penyingkapan, bukan hanya sekedar medium untuk penyampaian. Bahasa dan bentuk-bentuk huruf adalah satu bentuk penyingkap realita. Kemudian dibahasankan menjadi sesuatu yang mudah dimengeri dan dapat dipahami melalui bahasa. Apakah realita hanya bisa dijelaskan melalui bahasa yang masih mentah? Bahasa ibarat jelmaan tubuh yang mengeras dari realita. Ada cara untuk menjelaskan realita secara mudah dan dapat dimengerti, yaitu puisi. Realita diurut, dipijit, dan dilenturkan oleh puisi sehingga bahasa puisi dapat membongkar kenyataan. Dunia dan kenyataannya adalah misteri yang sulit dipecahkan manusia, dengan puisi pula kemudian manusia membangun bentengbenteng, kastil, bahkan mercusuar agar manusia tak tersesat di dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Tersebutlah Dullah Sumbing adalah anak muda buta huruf berumur kurang lebih dua puluh lima tahun. Sudah berkalikali ia dipaksa menikah oleh ibunya, tapi Dullah Sumbing tak pernah mau, karena alasan tak masuk akal : aku fokus mecari jati diri dulu(!). Apakah Dullah Sumbing seorang filsuf muda dari kampung? Tidak, Dullah Sumbing hanya anak muda ceroboh yang hidup seperti kebanyakan anak muda kampung lainnya, tidak sekolah, gampang dirayu oleh janji-janji partai, gampang dibodohi, dan penggemar Meggy Z. Satu-satunya bakat alami (selain membaca al-Quran) yang dimiliki Dullah Sumbing adalah mampu menelan pil ‘Panadol’ tanpa air. Sebagaimana pemuda kampung lainnya, Dullah Sumbing 154



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



juga punya naluri yang kuat soal ilmu-ilmu sosial. Nasrudin Hoja melihat kepekaan itu. Dullah Sumbinglah yang pertama Nasrudin Hoja jumpai di Aceh Singkil, di pelantaran mesjid kampung yang tak punya air untuk berwudhu. “Apakah disini tak ada air?” tanya Nasrudin Hoja. “Tentu saja ada” kata Dullah Sumbing yakin. mandi”



“Dimana? Aku tak melihatnya, aku ingin berwudhu dan



“Tuan tak perlu mencarinya, tapi nanti saat hujan air akan berlimpah, bahkan akan masuk rumah Tuan sendiri” “Maksudmu, banjir?” Dullah Sumbing tak menjawab, ia malah ketawa. Setelah pembicaraan itu, Dullah Sumbing memang terlihat baik dan ramah, lalu di sanalah Nasrudin Hoja berteman dengan anak itu. Mengenalkannya tentang Aceh Singkil, dan seolah menjadi teman diskusinya. Beberapa kali bertemu di pelataran mesjid, Nasrudin Hoja tahu kalau Dullah Sumbing tak pernah sekolah dan tak pandai membaca, karena memang di kampung itu hal yang wajib diketahui satu-satunya ialah pandai maca (baca al-Qur’an) dan pandai berhitung agar tak mudah ditipu oleh calo atau pemberi gaji harian Dullah Sumbing saat bekerja sebagai buruh kasar di perkebunan sawit. Nasrudin Hoja tau kalau tak pandai membaca itu sama buruknya dengan tak pandai berhitung, Nasrudin Hoja kemudian mengajari Dullah Sumbing untuk membaca, “kalau kau bisa membaca kau tidak akan mudah ditipu juga, mulailah belajar dari mengenal huruf alphabet’ kata Nasrudin Hoja. Dan Astaga! Dullah Sumbing mampu membaca dalam satu minggu setelah mengenal huruf-huruf alphabet. Zulfikar RH Pohan



155



Dullah Sumbing sudah pandai membaca tulisan-tulisan di spanduk-spanduk bekas Pilkada dan di kotak-kotak rokok. Nasrudin Hoja senang, tapi Dullah Sumbing tidak. Alasannya, Dullah Sumbing ini perokok berat, sudah merokok sejak ia sudah pandai menggunakan dodos (alat untuk memanen sawit dari batangnya), pada saat itu usianya belum genap sepuluh tahun ia mulai bekerja di perkebunan milik asing. Alangkah bencinya Dullah Sumbing saat sudah pandai membaca dan mengeja kotak rokok bertuliskan ‘Rokok Membunuhmu’, juga tulisan di spanduk bekas Pilkada salah satu calon yang menang berfoto dengan pakaian lengkap dengan baju koko dan berpeci ‘Amanah, dan untuk rakyat’ begitu tulisannya. Dullah Sumbing jadi berujar ke Nasrudin Hoja, setengah mengeluh “aku kira cuma mulut saja yang mampu menipu, ternyata tulisan-tulisan lebih parah lagi!” keluhnya “manusia paling beruntung barangkali adalah mereka yang tak pandai menulis, buta mara dan sekaligus buta huruf ” Nasrudin Hoja kaget, rupanya bukan hanya sudah pandai membaca si Dullah Sumbing ini, sekarang dia sudah bisa buat puisi protes.



156



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nick The Wild Man Nick adalah kepanjangan dari marga anak itu, Manik. Sengaja agak dibarat-baratkan menjadi ‘Nick’, hal ini tak lain dan tak bukan adalah karena Nick mempunyai kegemaran menonton film Hollywood tengah malam (dan kadang-kadang juga menonton Bollywood). Bagi Nick, nama kebarat-baratan adalah satu kegarangan yang mesti, derajat manusia akan naik satu level ketika namanya sudah di’modern’kan. Nick bersuara lantang, bahasa Indonesianya terbata-bata, tapi ia berusaha menunjukkan keterbataannya dengan suara yang keras. Nada bicaranya ketika berbahasa Indonesia, seperti nada sedang berbahasa Singkel, bahasa ibunya. Tapi dia bangga sekali menunjukkan dialek bahasa ibunya. “Sekeren-kerennya Syah Rukh Khan berbahasa Inggris, ia tetap pakai nada bahasa India dalam berbahasa Inggris, sepintarpintarnya Zakir Naik berbahasa Inggris, ia toh tetap berbahasa Inggris a la nada India” kata Nick mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Selain menonton film Hollywood, Bollywood dan vidio ceramah Zakir Naik, Nick juga punya kegemaran berjualan sejak kecil. Waktu SD ia berjualan kue, waktu SMP ia punya jaringan bisnis gelap di sekolahnya, sebagai penjual rokok untuk anak-anak sekolah, waktu SMA ia jadi makelar vidio porno segala genre yang biasanya ia kirim dengan tarif dua ribu rupiah untuk satu vidio porno berdurasi lima belas menit. “Barangkali anak ini lebih mampu jadi pebisnis daripada jadi orang-orang dalam pemerintahan.” Batin Nasrudin Hoja. Nick memang tukang cari ribut, bukan hanya mulutnya Zulfikar RH Pohan



157



yang ribut. Pakaiannya pun mengundang keributan, dengan dandanan dan pakaian norak, Nick dapat bertahan hidup. Kadang ia memakai topi merah, baju biru bergambar grup band Hardcore Burger Kill (penulis sendiri tak yakin kalau Nick tahu grup band Burger Kill) dan bercelana jins lusuh. Pada suatu hari, Nick putus cinta. Ya, memang konyol. Tapi tetap Nick merasakan sakit. Ia tak sekolah selama berharihari, ia tak makan. Hal ini pastinya berdampak dari kegemaran Nick menonton film Bollywood beraggaran rendah dan berdurasi tiga jam sampai-sampai Nick tampak mahir sekali memerankan lakon seorang pemuda yang kehilangan masa depan oleh karena cinta. Nasrudin Hoja telah mengenal Nick di warung-warung kopi, suatu hari Nasrudin Hoja sangat rindu dengan kehadiran Nick, teman-temannya berkata Nick sedang sakit. Sontak, Nasrudin Hoja ikut sedih lalu berangkat menjenguk Nick. “Aku merasa seperti lembu, aku tak berdaya lagi. habis sudah harapanku. Aku tak ubahnya lembu” keluh Nick saat Nasrudin Hoja berkunjung. Nasrudin Hoja merasa kasihan, lalu dengan itu. Nasrudin Hoja selalu menjenguk Nick dan menanyakan kabarnya, tak lupa membawa buah-buahan dan martabak kesukaan Nick. Seiring waktu yang berjalan, Nick bisa melupakan mantan pacarnya. “Lihatlah lembu yang malang ini, sudah agak gemuk dan lincah. Aku sudah menghabiskan separuh gajiku untuk membelikanmu buah-buahan dan makanan yang kau suka, aku harus menyembelihmu” kata Nasrudin Hoja sambil ketawaketawa. Nick sadar akan kebodohannya karena telah merepotkan orang-orang soal tindakan patah hatinya yang tak masuk akal dan 158



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



membuat orang-orang jengkel. Setelah kejadian itulah kemudian Nick berubah menjadi anak berandalan yang suka ngoceh tak jelas, memakai jins robek dan kaos bergambar Burger Kill dan Iron Maiden yang sengaja ia robek lengannya. Ia bukan lagi lembu tak berguna, paling tidak ia kini jadi lembu galak yang seolah sedang ingin beranak. “Dan, satu lagi, Nick. Pesanku! Persedikitlah menonton vidio Zakir Naik. Mulailah banyak ber zikir dan berbuat baik” pesan Nasrudin Hoja. Nick malah ketawa. Ah, Nick!



Zulfikar RH Pohan



159



Dullah Sumbing dan Pertanyaan Kolotnya Iya, memang benar bahwa kota itu seperti monster yang tak pernah kenyang. Memakan semua yang tak mampu bertahan. Dalam kota tak ada celah untuk lari dari terkaman-terkaman budaya global. Mau tak mau orang mesti dipaksa untuk mengikuti arus modern dalam kota. Kota jadi lahan paling baik untuk menjadi gila. kesombongan dan kecurigaan-kecurigaan. Orang-orang kota mesti jago beradaptasi, kalau tidak bakal mati dan punah. The survival of the Fittest kata Charles Darwin. Mengamini Dawin, yang berpendapat bahwa spesies yang paling kuat bukanlah spesies berukuran besar, dan begigi tajam. Spesies yang paling kuat adalah spesies yang paling pandai beradaptasi. Nah, kalau tak bisa beradabaptasi di rimba kota, maka siapapun akan punah, mati kau dimakan cacing, Bujang! Seperti kata Jendral Naga Bonar. Hal yang paling dibenci Nasrudin Hoja di kota adalah pagar-pagar yang semakin tinggi. Supermarket yang mempunyai senjata untuk jaga-jaga dari perampokan, CCTV di tempattempat umum. Pendeknya, semua orang saling tak percaya. Ada satu rumus sosial di kota ‘aku bisa bertahan dengan si Anu karena ia belum menodongkan pistol ke kepalaku, tapi jika dia ingin menodongkan pistol ke kepalaku, aku akan mendahulinya dengan menodongkan belati ke lehernya’. Semacam kepercayaan semu dan serba semi, semi-sosial, semi-persahabat, semi-peradaban. Shampo dalam kemasan sachet, deodoran dalam kemasan sachet, susu dalam kemasan sachet, kopi dalam kemasan sachet, ujung-ujungnya cinta dan kasih sayangpun kini telah ‘berada’ dalam kemasan sachet, mudah dikapitalisasi demi mendapatkan keuntungan yang serba praktis, mini, dan temporer. 160



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Kota sukses membuat segala macam menjadi kemasankemasan kecil yang harus dibeli dengan iming-iming identitas sebagai manusia modern. ‘generasi muda pakai motor ini’ ‘lelaki menghisap rokok ini’ atau ‘orang kaya tinggal di perumahan ini’ ‘ini partainya orang beriman’ so on, and so on. Hoja.



“Itu namanya pembangunanisme, Dul” jelas Nasrudin



Tak jauh dari jalan menuju kampung, Dullah Sumbing memang melihat menjamurnya supermarket waralaba. Menumenu warung makan yang aneh-aneh, brosur-brousr dan spanduk perumahan di pinggir jalan. Nasrudin Hoja pernah mencoba meramalkan tentang kepunahan manusia Indonesia “Pada tahun 2987 Masehi, reruntuhan Indonesia akan ditemukan di dasar laut Samudra Hindia” Kelakarnya. “Dari mana Wan Nasrudin Tahu?” tanya Dullah Sumbing dengan embel-embel ‘Wan’, yang berarti adalah kakek dalam bahasa Singkel. “Syekh Francis Fukuyama dan Abuya Ali Syariati dalam kitab The End of The world and the last man, juga kitab a Glance at Tommorow’s History” *** Setelah melewati berbagai bacot Nasrudin Hoja tentang hubungan kota-desa, bank-sawah, perumahan-perkebunan, perusahaan-surau. Dullah Sumbing jadi gatel ingin bertanya atas semua semua pernyataan Nasrudin Hoja. Biasanya Dullah Sumbing akan mencerna bacot Nasrudin Hoja selama beberapa hari, lalu saat berjumpa dengan Nasrudin Hoja, Dullah Sumbing akan memulai dengan bertanya. Zulfikar RH Pohan



161



“Wan Nasrudin!” kata Dullah Sumbing pada saat tak sengaja berpapasan dengan Nasrudin Hoja di Pasar Minggu “mana yang lebih penting, pendidikan di kota atau pendidikan di kampung? “Yaa, Di kampung lah!” “Kenapa?” kota”



“Kalo orang kampung gak sekolah, kampung itu bakal jadi



Dullah Sumbing mengangguk, dan mencerna kata-kata Nasrudin Hoja selama bebarapa hari. Sampai jumpa kembali di mesjid saat hendak shalat Jumat. Dullah Sumbing kembali bertanya “mana yang lebih penting, Unversitas negeri di kota besar atau Universitas Negeri di kabupaten terpencil?” Nasrudin Hoja ketawa sebentar lalu menjawab “tentu saja lebih penting Universitas di kota besar” Dullah Sumbing setengah paham setengah tidak. Dullah Sumbing bingung, pernyataan Nasrudin Hoja kok kontradiksi? Jangan-jangan dia menjawab seenak jidatnya, padahal Dullah Sumbing bertanya serius. “Lho, kenapa begitu?” “Tanpa Universitas pun, di kampung itu sendiri sudah menjadi Universitas pilih tanding, kampung adalah universitas paling komplit, paling nyata dan paling dekat dengan masyarakat. Nah, kalau Universitas di kota besar itu tidak… Wah, mau kemana anak muda kota tanpa pergi kekampus?” Dullah Sumbing makin bingung, “aku bingung…” 162



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Nasrudin Hoja malah ketawa lalu menepuk pundak Dullah Sumbing, “kalau kau bingung, artinya kau berfikir”.



Zulfikar RH Pohan



163



Nasrudin Hoja dan Pesta Para Perusuh Sebuah bangunan gereja dibakar, alasannya simple dan sekaligus membuat garuk-garuk kepala karena sankin simplenya. Alasannya adalah tidak adanya izin untuk mendirikan gereja. Sedangkan, di daerah tersebut mayoritasnya adalah orang-orang yang memeluk agama Islam. Pembakaran gereja itu kemudian menjadi bahan pembicaraan dari semua media, media manapun menyorot persooalan itu. Kondisi semakin parah ketika pembakaran gereja terjadi, ada salah satu kubu yang terbunuh. Ada orang yang memeluk agama Islam ikut terbunuh ditembak senapan angin yang biasa digunakan oleh orang Nasrani untuk memburu babi. Keadaan makin kacau, semua jadi panik. Seketika daerah itu kelam dan membatu. Huah! Nasrudin Hoja tidak berdiri di manapun, ia hanya memperhatikan dari kejauhan. Sembari berfikir tentang kira-kira apa yang bisa dimakan untuk nanti malam. Sedangkan, pasar tutup dan tak ada yang berani berjualan karena takut keciprat konflik. Semakin pusinglah Nasrudin Hoja memikirkan perutnya yang kroncongan. Akhirnya, malam itu Nasrudin Hoja tidak makan. Untuk memotivasi dirinya menahan lapar, ia mengatakan dengan lantang ‘lapar adalah fitnah perut terhadap otak!’ pekiknya sendirian. Lalu Nasrudin Hoja tidur, dalam kantuknya ia pun menyesali bahwa yang lapar tentu saja bukan cuma dia seorang saat ini, banyak juga yang lapar karena konflik yang absurd ini. Nasrudin Hoja bukannya berdoa sebelum tidur, ia mengutuk kebencian. 164



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Esoknya, Bupati dan jajaran pemerintahan daerah berkumpul, di sana juga ada bapak Kapolsek. Rapat diadakan di pendopo Bupati yang masih terang dengan cat baru. Dengan perut lapar, dan gelagapan. Nasrudin Hoja melewati pendopo Bupati dan melihat banyak mobil-mobil mewah parkir. Tentu ada pesta, dan di pesta selalu disediakan makanan yang enak-enak, batin Nasrudin Hoja. Nasrudin Hoja hendak ingin masuk dengan terseok-seok karena lapar. Tapi, alangkah kaget Nasrudin Hoja ketika dihalangi oleh satpam. “Mau apa kau kemari” “Bukankah sedang ada pesta?” “Pesta?” tanya satpam setengah mencibir “ini bukan acara open house apalagi pesta, sedang ada rapat dari jajaranjajaran pemerintah daerah” jelas satpam itu tegas, “dan bapak tidak diundang, hanya boleh masuk Bupati, jajaran kepada Dinas terkait, Polisi, dan penindak keamanan lainnya” “Rapat apakah itu?” “Rapat tentang melindungi rakyat dari perusuh dan penyulut konflik. Serta mencari provokator hingga konflik agama ini bisa terselesaikan” “Bagaimana mungkin kau menjadi Satpam tapi membiarkan kalau perusuh, penyulut konflik dan provokator itu ada disana? Dalam satu ruangan!” Satpam garuk-garuk kepala, tak paham. Nasrudin Hoja melengos begitu saja, sambil terbungkuk-bungkuk menahan laparnya. “Hih, demokrasi! Tirani bagi minoritas!” ketusnya. Zulfikar RH Pohan



165



Anarkisme-Cerminisasi a la Nasrudin Hoja Apakah Karl Marx menyadari kebusukan kapitalisme dari buku-buku babon di berpustakaan besar? Bagaimana pula dengan Soekarno, apakah Soekarno mendapatkan teori Marhaenisme melalui seminar-seminar internasional atau workshop yang dibiayai oleh negara dengan biaya yang sanggup memberi makan orang satu kampung? Apakah Nietzsche sampai segila itu karena kebanyakan dengar khotbah atau dengar ceramah motivasi di stasiun televisi swasta? Tentu saja tidak, sebagaimana Nasrudin Hoja melihat takdir karena melihat bagaimana orang-orang berkumpul untuk menyambut seorang pemimpin baru. Semuanya rumit, dan tak sederhana. Barangkali, begitulah hidup, tidak pernah memberikan kejelasan pada masa depan dan hidup pula selalu berusaha mengkaburkan masa lalu. Begitupula rakyat, tak henti-hentinya terus berharap pada masa depan yang tak pasti sembari melupakan dan mengkaburkan masa lalu yang pahit-perih. Ini tentu saja membuat Nasrudin Hoja kesal setengah mampus. Nasrudin Hoja pernah merasakan sulitnya menjadi rakyat di Moskwa saat Tsar Nicholas makin menggila, lalu melihat Moskwa berdarah-darah dan rakyar diburu seperti babi. Kakuasaan menjadikan rakyat seperti ternak-ternak malang. Rakyat Aceh pernah merasakan sulitnya berbicara, dan dijajahnya cara berfikir. Rakyat kebanyakan jadi tak bebas, sampai kemudian tanpa sadarkan diri dengan keadaannya serupa babi hutan yang dikeroyok anjing-anjing. Sedangkan itu, rakyat kebanyakan adalah mereka-mereka yang miskin, mereka yang bakal mati duluan jika ada musibah, mereka yang dibantai duluan jika ada konflik, mereka yang menggali kuburan duluan jika tempat lahirnya sudah 166



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



tak ramah. “Apa yang kalian lakukan?” tanya Nasrudin Hoja ditengahtengah orang yang sedang berkumpul. “Loh, kami sedang menyambut kedatangan pemimpin daerah kita, Gubernur itu loh” jawab salah seorang lelaki di kerumunan sambil menunjuk spanduk yang terbentang di atas jalan aspal. Disana tertulis, “Selamat datang Bapak Gubernur, Semoga Kita Selalu Damai”. “Oh itu,” jawab Nasrudin Hoja singkat. Sambil beranjak pergi meninggalkan kerumunan. “Hei mau kemana?” tanya lelaki tadi. Hoja.



“Pulang, mau ambil obor dan parang.” Jawab Nasrudin



Lelaki itu garuk-garuk kepala, kira-kira kegilaan dan kekonyolan apa lagi yang akan dibuat oleh Nasrudin Hoja, pikirnya. *** Beberapa puluh menit kemudian, Gubernur datang lengkap dengan bapak Kapores dan seluruh jajaran polisi lainnya. Pak Gubernur melambaik-lambaikan tangan dari mobilnya. Semua rakyat ikut melambaikan tangan. Setelah sampai, polisi mulai memberikan jalan kepada pak Gubernur, orang-orang berebut minta salam dan menyambut pak Gubernur. Saat itulah Nasrudin Hoja datang membawa obor dan parang sambil berlari dan berteriak histeris seperti orang kerasukan jin dari zaman jahiliah. Sontak dan kaget, polisi kemudian mulai melindungi pak Gubernur. Dan selanjutnya mencoba membekuk Nasrudin Hoja. Kedatangan Gubernur jadi ricuh, banyak yang panik dan Zulfikar RH Pohan



167



polisi bukannya membuat keadaan makin tenang, tetapi malah membuat orang-orang semakin panik. Pasalnya Nasrudin Hoja dibekuk seperti polisi-polisi film hollywook membekuk teroris yang hendak menembak presiden. Nasrudin Hoja ditangkap atau dalam bahasa yang lebih halus, ‘diamankan’. “Apa yang kamu lakukan membawa-bawa parang dan obor di depan pak Gubernur?” tanya salah satu polisi berkumis lebat. “Kamu mau melakukan kekerasan ya?” tanya seorang polisi buncit yang lain.



Satpol PP yang sedang mengejar anak Punk, gembel, dan gelandangan lainnya. (sumber : www.medcom.id)



“Kamu provokator!” tuduh polisi yang lebih muda. “Kamu mau anarkis?” tanya polisi yang berkumis, tak mau kalah memburu pertanyaan buat Nasrudin Hoja. “Kamu mau membahayakan keselamatan pak Gubernur pastinya!” tandas polisi buncit penuh tuduhan. Plakk! Nasrudin Hoja ditampar dengan keras sekali oleh 168



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



polisi yang lebih muda. “jawab! Jangan le tahe aja kamu dari tadi!” “Bukan, aku bukan seperti apa yang bapak-bapak duga, dan bapak-bapak tuduh.” “Lalu?” tanya polisi itu semua serentak. “Aku tidak sedang berbuat kerusuhan, tapi aku sedang menghormati tuan-tuan polisi dan bapak Gubernur” jelas Nasrudin Hoja tanpa terlihat gugup “sebab kami adalah cerminan dari orang yang memerintah kami, kami dibesarkan melalui konflik, kami dididik melalui kekerasan, dan kini kami sedang berusaha menghormati bapak-bapak semua”. Plakk! Sepatu PDL polisi berkumis tebal menendang perut Nasrudin Hoja. Bukannya meringis, Nasrudin Hoja malah tertawa. Lalu ditonjok lagi, tertawa lagi, tonjok lagi tertawa lagi. “Mungkin orang tua ini gila” kata polisi berperut buncit. “Mengingatkanku pada seseorang” kata polisi berkumis. “Siapa?” Tanya polisi buncit. “Kristus” Semua polisi diam, lalu memukuli Nasrudin Hoja yang malang, namun tetap tertawa-tawa. Sampai dengan musyawarah yang rumit khas polisi, Nasrudin Hoja dibebaskan.



Zulfikar RH Pohan



169



Imagine There’s No heaven Sebagai peradaban yang mencoba membangun peradabannya kembali terlebih dalam masa penyebaran Islam dua periode yang selama ini berjalan dua periode itu adalah pada zaman Samudra Pasai (1272-1450 M) dan Aceh Darusalam (15161700) . Saat ini Aceh sedang membenah diri, alih-alih membenah diri melalui pendekatan kemasyarakatan yang kokoh lekat dengan budaya, Aceh justru menciptakan jalan kiamat bagi dirinya sendiri. Alkisah, dari Nasrudin Hoja yang sedang bertandang pada pedalaman Singkel yang mayoritasnya adalah petani-petani sawit miskin, dan buruh-buruh kasar di perkebunan sawit (sebagian petani itu kini hilang, sebab menjadi pemulung dikota lebih menguntungkan), timbul semacam satu kekacauan yang unik. Mereka yang kebanyakan adalah buruh tani yang hidup lapar dan terhinakan oleh berbagai ancaman dari luar dan dalam. Salah satunya soal tanah masyarakat yang direbut oleh perusahaan asing. Beberapa orang mencoba berontak, pionirnya adalah Dullah Sumbing dan Nick. Termasuk si tukang kompor, Nasrudin Hoja. Nick membentuk semacam aliansi apalah-apalah dengan mengorganisir pemuda-pemuda, dalam satuan protes terhadap PHK dan berbagai kecurangan perusahaan sawit yang menyerobot tanah masyarakat. Nasrudin Hoja Ibarat si babi tua bernama Old Major dalam novel Animal Farm yang ditulis oleh George Orwell, Nasrudin Hoja Bisa dikatakan yang meletakkan dasar semua awal mulai membakar semangat perlawanan orang-orang Dullah Sumbing dan Nick adalah Nasrudin Hoja. Sekonyong-konyong Nasrudin Hoja sering mengeluarkan pertanyaan frontal dan katakata provokatif yang menghasut anak muda dari keluarga petani, Tak berapa lama kemudian, tentu ada yang jengkel dengan sikap Nasrudin Hoja. Sampai kemudian Old Major kita itu menghilang. 170



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



“Yang benar saja! Tengku Nasrudin hilang?” tanya seorang diantara mereka keheranan. “Ya, sudah tiga hari tak tampak dia itu, dia pasti diculik!” kata Nick. “Ini Reformasi, bung! Bukan Orba menghilangkan manusia!.” Sambut seorang lagi.



yang



suka



“Sabar dulu, mana tau Tengku Nasrudin sedang menyendiri seperti biasa” sambung Dullah Sumbing pelan, padahal Dullah Sumbing sendiri yakin kalau Nasrudin Hoja pasti diculik. Satu warung rebut, kemudian satu kampung, lalu satu kecamatan ribut karena kehilangan sosok Nasrudin Hoja. Semua orang mencari-cari Nasrudin Hoja. Disamping mencari-cari keberadaan Nasrudin Hoja, perdebatan mulai dan penentangan kepada pemerintah semakin terbuka dan panas sepanas aspal di pertengahan bulan agustus yang kemarau. Dullah Sumbing, Nick dan kawan-kawan semakin getol, pasalnya setiap protes mereka, Pemerintah dengan dibarengi perusahaan lalu dikawal oleh polisi melakukan penekananan, pemerintah dan perusahaan dengan metode memberikan janji kepastian dengan iming-iming kebijakan atas pembangunan. Namun, Nick tak pernah percaya. Nick memang Rock n Roll sejak dalam pikiran, begitupula Dullah Sumbing sebagai penyeimbang emosi Nick yang meledak-ledak, mereka beruda berkolaborasi dengan cocok, saling melengkapi narasi masing-masing pribadi mereka persis John Lennon dan Paul McCartney, Sherlock Holmes dan John Watson, Karl Marx dan Engels, atau malah tampak bersaudara seperti Nabi Musa dan Nabi Harun. Mereka menyelidiki, menyusun rencana, mengorganisi, melawan dengan rancangan strategi yang matang. Tapi kini mereka kalap dan bimbang, mentor mereka hilang. Seperti Sokarno muda dan Semaun muda yang kehilangan mentor sekelas Haji Oemar Said Zulfikar RH Pohan



171



Tjokroaminoto. Nasrudin Hoja semakin mencolok di lingkungan masyarakat justru karena ketiadaannya. Nick, Dullah Sumbing dan teman-teman lainnya meradang tentu saja mendengar saksi mata seorang ibu tua yang melihat Nasrudin diciduk beberapa hari yang lampau, mereka membuat maklumat perlawan yaitu : Nasrudin Hoja harus ditemukan. Mereka awalnya melakukan sebuah serangan kecilkecilan berbentuk vandalisme “Negara Tukang Jagal” tulis Dullah Sumbing di tembok polsek yang memajang poto pemerintah. Dullah Sumbing memang dari semenjak mengenal Nasrudin Hoja sudah selalu diikuti dan kerasukan jin anarkisme. Lalu disusul teman-teman yang lain dengan coretan yang hampir serupa. para petani dan segenap pemuda mulai melakukan gerilya-gerilya kecil seperti melempar mobil-mobil perusahaan yang lewat.



Satuan Polisi Pamong Praja Aceh sedang mengamankan seorang lelaki yang diduga kumpulan dari anak-anak Punk (sumber : www.medcom.id)



Kemarahan melalui demonstran tetap tumbuh, bukan hanya demonstrasi di simpang jalan. “Kembalikan Nasrudin Hoja!” begitulah tulisan yang dibuat oleh pembela Nasrudin Hoja. Pemerintah menyaksikan hal ini lagi, melihat keadaan sudah semakin tak stabil. Maka, pemerintah membuat semacam 172



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



aturan-aturan yang represif. Tidak lain dan tidak bukan dengan kekerasan. Banyak orang-orang yang ditangkap polisi, dan diteror oleh preman-preman bayaran. Banyak penduduk merasa terteror. Namun, gerakan masyarakat semakin membuncah, Nick dan kawan-kawannya jagoan yang getol berteriak tentang keadilan mulai dituduh komunis, dituduh antek kiri dan menghancurkan kedamaian. Apakah itu menciutkan mental Nick dan kawankawan? Jelas tidak! Pemerintah garuk-garuk kepala, akhirnya melalui berbagai rapat dan kerja otak. Semua tenaga telah dikerahkan, sampai tiba satu kesepakatan yang disusun oleh seorang professor ilmu sosial dari Medan yang mempunyai gelar Ph.D dari unversitas luar negeri. Dilancarkanlah suatu gaya kuno yang tak pernah bisa dihilangkan. Eh, rakyat justru mulai tenang, mulai tak gelisah lagi. Gerakan itu pun tanpa memakai polisi, tentara,pamong praja, bahkan preman-preman bayaran sekalipun. Apa rencana yang kuno namun hebat itu? apa rahasianya? Pertama-tama : mereka mengembalikan Nasrudin Hoja. tentu banyak pertanyaan dari orang-orang. Hoja.



“Darimana saja kau?” tanya orang-orang kepada Nasrudin



“Oh, bukan apa-apa, kok. bajuku, sarungku dan sendalku diamankan polisi karena sering membuat masalah” “Terus kenapa kau ikut-ikutan hilang selama ini?”. “Sayangnya, aku sedang memakai semua pakaianku” keluh Nasrudin Hoja. Nasrudin Hoja kembali, kini tidak ada lagi polisi dan Zulfikar RH Pohan



173



pamong praja yang suka patrol. Semua sudah mulai tampak stabil. Lalu yang cara meredakan yang kedua adalah : Pemerintah sudah banyak melakukan komunikasi dan menyebarkan berbagai spanduk ‘Kedamaian’. Tidak hanya itu, banyak selebaran yang bertebaran dimana-mana tentang ibadah, dan tentu saja kajiankajian keagamaan yang menjamur. Semua pesannya sama, semua pesannya beraroma bacin. Tulisan-tulisan serta seruan bernada “Tuhan akan sangat suka hambaNya yang sabar!” serta semacam ideologi sisipan yang dijelaskan dengan kata-kata yang disampaikan pemuka agama dari luar kota “Orang miskin akan mudah masuk surga, sedangkan orang kaya sulit masuk surga” otomatis semua pendengar diam, mendengarkan dengan khusyuk, ada yang sambil menangis dan menghadapi dunia kerja menjadi petani lebih sabar lagi. keluarga besar Dullah Sumbing dan Nick pun kini menjadi sosok yang relijius. Otomatis, dengan sentuhan agama itu, Dullah Sumbing dan Nick bukan lagi orang-orang kritis. Nasrudin Hoja, digubuknya, sendirian. Mendengar kajiankajian tentang kesabaran dan nikmatnya hidup miskin dari dalam gubuknya. Nasrudin Hoja tak mau mendengarkan kajian agama yang itu-itu saja, lalu Nasrudin Hoja bersenandung “Imagine there is no heaven, it easy if you try, no hell below us, above us only sky. Imagine all the people, sharing life from peace…” senandungnya dengan lirih “ah, sialan kau John Lennon!” pekiknya sambil ketawa cekikikan. Lalu menangis karena lapar.



174



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Tuhan Harus Tanggung Jawab Nasrudin Hoja mempunyai tampang yang sangat teduh, karena kegemarannya ketawa. Dan sebagai orang yang dikenal mempunyai lelucon-lelucon yang asik. Nasrudin Hoja diajak untuk khotbah Hari Raya Idul Adha, alias hari raya haji. Banyak kalangan yang mendukung keputusan ini, pasti khobahnya lucu, pikir mereka. Anehnya, Nasrudin Hoja tidak merasa lucu dengan dirinya sendiri. Nasrudin Hoja justru lebih sering menangis, lebih sering merenung dan pernah sekali ia memekik sambil meraung-raung. Tapi, Nasrudin Hoja bukanlah tipe orang yang senang curhat. “Loh kenapa aku?”tanya Nasrudin Hoja. “Karena, Tengku Nasrudin lebih pantas di kampung ini sebagai pengkhotbah” pak Mukim menjelaskan. Setelah bernegosiasi lama, akhirnya Nasrudin Hoja mau walaupun dengan syarat bahwa Nasrudin Hoja tak mau ada request khobah segala. Karena Nasrudin Hoja takut kalau-kalau ajudan bupati atau petinggi lainnya ingin mengarahkan khotbah pada kampanye atau tujuan-tujuan lain tertentu, karena Nasrudin Hoja tahu bahwa akan datang bapak Bupati beserta jajarannya. Dengan negosisasi itu, pak Mukim akhirnya setuju dan meskipun agak curiga, tapi ah tidak apa-apa. Shalat ied berlangsung khusyu’, diimami oleh anak muda bersuara terang dan membaca ayat al-Qur’an dengan amat faseh sekali. Setelah itu, Nasrudin Hoja bersiap memberikan Khotbah. Dimulai dengan salam, puji syukur, shlawat serta takbir, tahmid, dan tahlil, Nasrudin Hoja tampak meyakinkan terlebih saat melantunkan ayat al-Qur’an, sampai orang-orang bersumpah Zulfikar RH Pohan



175



bahwa suara Nasrudin Hoja dan pembawaannya yang teduh mampu menusuk perasaan dengan ayat al-Qur’an. Nasrudin Hoja awal mula berbicara soal ketuhanan, bicara soal pertanian, dan mendorong masyarakat untuk giat bekerja. Tidak ada lelucon yang dikeluarkan Nasrudin Hoja sebagaimana biasanya jika ia warung kopi atau di pasar minggu. Tidak ada ungkapan-ungkapan atau ekspresi lucu, yang ada hanyalah omongan tegas dan mencerahkan, yang lantang namun melembutkan perasaan yang mendengarnya. Meskipun tidak ada lelucon sama sekali di khobahnya, toh orang-orang tetap bersukacita dan mendengarkan Nasrudin Hoja dengan khidmat yang paling khidmat. Sejauh khotbah Nasrudin Hoja, tak ada yang aneh. Sampai pada saat mulai mengangkat kedua tangannya, Nasrudin Hoja berdoa dengan garang, persis WS Rendra yang sedang membaca sajak. Para jamaah ikut mengangkat tangan, berdoa. “…Tuhan, engkau telah menciptakan kami. Kini Yaaa Tuhan, kami hidup susah, air kami dikotori oleh limbah, tanah kami direbut oleh orang-orang kota bermodal besar, polisi kami menangkap dan menyiksa kami sembari menyebut kami anak sundal dan miskin karena malas, pengadilan kami menyalahkan kami.” Pekik Nasrudin Hoja dalam khotbahnya “Tuhanku, kami hidup sengsara. Ikan-ikan kami enggan menyambut umpan dan masuk ke bubu kami. Sayur-sayur kami kalah di pasaran, kalah oleh sayur-sayur berpengawet, makan pun kami susah jadinya. Karena biaya hidup makin mahal, sedangkan upah kami menjadi buruh makin murah, kami berjudi. Ampuni kami Tuhan karena telah berjudi, tapi kami berjudi bukan karena kami melupakanmu, kami tak punya jalan lain lagi untuk mencukupi apa yang dunia ini sajikan buat kami, kemewahan dan kemilau dunia modern. Lalu kami berjudi.



176



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Tuhan tanggung jawablah atas kesusahan kami, ayo tanggung jawab. Kami menderita, berikan rizkimu, turunkan azabmu kepada mereka yang menyiksa kami, jangan hanya turunkan banjir dan gempa kepada kami sampai kami kehilangan anak-anak kami, rumah-rumah kami. Sedangkan penguasa kami tinggal di perumahan mewah lengkap dengan pohon-pohon cemara dihalamannya. Ayo Tuhan tanggung jawab!” Nasrudin Hoja makin lantang. Orang-orang yang tadi khusyu’ kini jadi lihat kiri-kanan, barisan jemaah jadi melongok ke muka Nasrudin Hoja yang sedang murung sekaligus berani. “Ayo Tuhan tanggung jawab! Kenapa jadi begini?” Setelah shalat ied dan khutbah, para jama’ah masing bingung. Dan pulang kerumah membawa kebingunganya sampai rumah masing-masing. *** Di Warung, orang-orang membicarakan Nasrudin Hoja. Ada Angku Mamur, Nick, dan pak Mukim. “Pak Nasrudin itu bagaimana sih, berdoa kepada Tuhan tidak ada akhlaknya sama sekali! Saya menyesal merekomendasikan beliau ke pak Mukim” ketus wan Mamur “saya jadi banjir pertanyaan dari orang-orang. Mereka tanya-tanya kok ada doa semacam itu” “Betul itu!” sambung seorang. “lagian, Nasrudin Hoja itukan belum juga ulama, sudah disuruh khotbah” ketus yang lain, menimpali. “Loh, kalian ini bukannya yang suruh saya undang dia!” bentak pak Mukim yang tak mau disalahkan “kalau begitu protes Zulfikar RH Pohan



177



saja sendiri sama dia.” Wan Mamur dan Nick tak menanggapi. Biarpun Nasrudin Hoja itu kadang nyeleneh kadang juga lucu, tak ada yang berani membentaknya. “Yasudah, daripada ada gosip yang aneh-aneh soal sikap Nasrudin itu, biar saya yang tanya” tegas pak Mukim “tapi kalian juga harus ikut” *** Akhirnya, mereka bertiga, Wan Mamur, Nick, dan pak Mukim memutuskan untuk menemui Nasrudin Hoja, ketimbang nanti ada isu-isu yang tak jelas. Juga kemarahan pak Bupati beserta ajudannya soal ‘doa Nasrudin yang apa-apaan-ini’. Tak lama kemudian, pak Mukim, wan Mamur dan Nick datang ke surau. Nasrudin Hoja ternyata sedang tiduran di surau (memang itu adalah hobinya). Setelah mengucapkan salam dan basa-basi akhirnya pak Mukim memberanikan diri bertanya. “Pak Nasrudin, anu… kenapa tadi doa khotbahnya kok seperti itu.” pak Mukim bicara pelan-pelan, mencari kata-kata yang pas “soalnya setelah doa khotbah itu banyak omongan yang keluar, maaf cakap seperti tidak mempunyai sopan santun berdoa kepada Tuhan.” “Yaa, betul itu. berdoa itu tak boleh marah-marah. Apalagi memarahi Tuhan” sambung wan Mamur. “Kalo kritik tak perlu begitu-begitu juga sampai menyuruh Tuhan tanggung jawab, orang-orang jadi resah” tamba Nick. “Loh, siapa yang sedang berdoa?” “Terus yang tadi itu, menyuruh Tuhan bertanggung jawab?” 178



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



“Itu bukan sedang berdoa kepada Tuhan. Justru, Saya sedang bicara kepada manusia kok, bicara pada semua pendengar saya, kepada jama’ah…”



Zulfikar RH Pohan



179



Gunong selawah meugah sep manyang Laot di sabang ceudah cukop that Sangkira kasep lam baet karang Dengon wassalam ulon top radat



180



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Kesimpulan Kesimpulan dari keseluruhan cerita di atas adalah : tidak ada kesimpulan. Sebab, ini bukan bentuk tugas akhir mahasiswa yang meletakkan kesimpulan pada akhir tulisan, dan memang cerita Nasrudin Hoja takkan pernah disimpulkan dengan gamblang. Kesimpulan akhir barangkali hanyalah akal-akal para penulis untuk menyempitkan apa yang telah ditulis, sebagaimana kisah-kisah Princess yang selalu happy ever after setelah menikah dan berciuman dengan pangeran. Kisah Nasrudin Hoja bukan kisah Cinderella, Snow White, atau Sinbad si Pelaut. Terlebih pada pembukaan cerita-cerita omong kosong Nasrudin Hoja, sudah diingatkan bahwa ‘tak ada kebenaran final’. Seperti daging yang dicincang-cincang kita mendapati kisah Nasrudin Hoja dengan urutan yang mungkin tak beraturan dan bagaimana Nasrudin Hoja menjalani kehidupannya. Satu-satunya yang tersisa dari kisah-kisah Nasrudin Hoja adalah misteri yang melatarbelakangi dirinya. Penulis mengumpulkan kisahnya dari serpihan-serpihan kecil yang sulit ditemukan, seperti Sherlock Holmes atau Hercule Poirot penulis meneliti, mengobservasi, dan menelaah kisah demi kisah Nasrudin Hoja sehingga menjadi nyata, meskipun tak semua terangkum dalam kisah aneh dan akan membuat Anda sebagai pembaca bisabisa eneg dengan kesembronoan Nasrudin Hoja, keculasan yang fatal, atau keberanian yang bajingan. Penulis kehilangan jejak Nasrudin Hoja di Aceh, dari setiap keadaan dan dari setiap perjalanan, Nasrudin Hoja menyimpulkan banyak hal yang lugu aneh dan rancu. Nasrudin Hoja telah pergi jauh dan tak pernah lagi ditemukan dalam pergaulan masyarakat. Singkatnya, Nasrudin Hoja telah menghilang dari radar penulis. Penulis mewawancarai orang-orang yang telah bersinggungan Zulfikar RH Pohan



181



dengan Nasrudin Hoja. Seorang sufi eksentrik, anarkis, dan tentu saja seorang konyol dengan ide-ide bajingan yang mengangkangi otoritas. Sulit menerima kehadiran Nasrudin Hoja. Walaupun sebenarnya semua tahu bahwa dunia tak pernah ramah pada filsuf cum sufi, dunia selalu mengecam otak para sufi. Filsuf hanya akan menemukan dirinya dalam tiga bentuk. Pertama, dihukum mati. Kedua, gila. Ketiga, menghilang. Nasrudin Hoja tak bisa dipresentasikan menjadi sebuah objek yang mirip Ratu Adil, al-Mahdi atau sejenisnya. Penulis sadari dari banyak pengakuan berbagai kalangan yang mengenal Nasrudin Hoja dengan baik ataupun yang membenci beliau, bahwa Nasrudin Hoja bukanlah sosok yang hidup, bukan pula sosok yang berbeda dari manusia-manusia lain seperti penulis dan Anda para pembaca yang budiman. Setiap kita adalah Nasrudin Hoja, setiap kita adalah pemberontak yang menertawakan kegamangan, mengais lelucon dari kehidupan kita, seperti mengais selokan dengan sendok garpu. Melakukan hal itu lebih baik ketimbang memilih menangis, dan untuk menjadi tidak waras lantas membenci sesama tanpa alasan. Ya, semua orang Aceh waras, yang tidak waras adalah Aceh yang kita tempati. Jalan satu-satunya adalah menertawakan apa yang belum pernah kita tertawakan secara serius di depan khalayak. Sebab, kita takut untuk mengumbar rasa humor, lalu memilih untuk menjadi manusia kaku sekaligus menyadari bahwa hatinya bergejolak, persis pengantin baru di malam pertama. Orang-orang Aceh mungkin ada yang bertanya, ‘di balik segala cobaan yang Tuhan berikan untuk Aceh, kok Tuhan pede sekali memberikan cobaan ini bagi orang Aceh’ benar saja semua mudah dirangkai saat ini, ketika Nasrudin Hoja datang dan menertawakan Aceh, serta tertawa bersama Aceh. Semua tahu, orang Aceh mesti selalu bergembira, karena lelucon Tuhan untuk menguji ketahanan orang Aceh sangatlah Maha Tinggi. 182



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Zulfikar RH Pohan



183



Zulfikar RH Pohan. Lahir di Aceh Singkil, Kampung Cingkam 7 Juli 1995. Orang Biasa, diduga Berjenis kelamin laki-laki, sangat ahli dalam menyebrang jalan raya, sampai saat ini dimanjakan oleh dunia fiksi. Aktif menulis artikel dan cerpen di media cetak dan online. Menyelesaikan studi di Universitas Syiah Kuala di Fakultas Ekonomi (2018) dan studi di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam (2018). Salah satu pendiri Sanggar Daun Mekaum (SDM) sebagai penggerak nilai-nilai kebudayaan, seni, dan musik tradisi, masih aktif sampai saat ini.



184



Dan Tuhan Milik Orang Aceh yang Gembira



Zulfikar RH Pohan



185