15 0 1 MB
LAPORAN HASIL DESAIN INOVATIF STASE KEPERAWATAN JIWA
“PENERAPAN ART THERAPY MENGGAMBAR TERHADAP PENURUNAN GEJALA HALUSINASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUANG TIUNG RSJD ATMA HUSADA MAHAKAM ”
Disusun Oleh : Kelompok 4
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR PROGRAM STUDI PROFESI NERS TAHUN 2020
LAPORAN HASIL DESAIN INOVATIF STASE KEPERAWATAN JIWA
PENERAPAN ART THERAPY MENGGAMBAR TERHADAP PENURUNAN GEJALA HALUSINASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUANG TIUNG RSJD ATMA HUSADA MAHAKAM ”
Disusun Oleh: Adhan Azhari R Agus Imam Kusairi Dyan Nitarahayu Hasbullah
Hazelelfoni Efraim P M. Husaini Ummi Rusiana
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR PROGRAM STUDI PROFESI NERS TAHUN 2020
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayahp-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan desain inovatif keperawatan jiwa mengenai “Penerapan Art Terapi Menggambar Terhadap Penurunan Gejala Halusinasi pada Pasien Skizofrenia Di Ruang Tiung RSJD Atma Husada Mahakam” Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu dosen pembimbing dan Preseptor ruang Tiung yang telah membimbing dalam penyusunan laporan desain inovatif stase keperawatan jiwa ini.Serta kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Dalam pembuatan laporan ini, penulis menyadari masih banyak ada kekurangan baik dari isi materi maupun penyusunan kalimat.Namun demikian, perbaikan merupakan hal yang berlanjut sehingga kritik dan saran untuk menyempurnakan desain inovatif ini sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada pembaca dan teman-teman sekalian yang telah membaca dan mempelajari desain inovatif ini.
Samarinda,
Februari 2020
Kelompok 4
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................. 1 C. Tujuan .......................................................................................................... 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................ 5 A. Konsep Teori Skizofrenia ............................................................................ 5 B. Konsep Teori Art Theraphy ....................................................................... 20 BAB III STRATEGI PEMECAHAN MASALAH .......................................... 23 A. Pengertian ................................................................................................... 23 B. Jenis Intervensi ........................................................................................... 23 C. Tujuan ........................................................................................................ 23 D. Kriteria Responden..................................................................................... 24 E. Waktu ......................................................................................................... 24 F.
Setting Tempat ........................................................................................... 24
G. Media/Alat.................................................................................................. 25 H. Pelaksana .................................................................................................... 25 I
Uraian Tugas Pelaksana ............................................................................. 25
J.
Tata Tertib .................................................................................................. 26
K. Instrumen PANSS ...................................................................................... 28 L. Alur Pelaksanaan (SOP) ............................................................................. 31 M. Evaluasi ...................................................................................................... 33 BAB IV LAPORAN KEGIATAN ..................................................................... 34 A. Pelaksanaan Kegiatan ................................................................................... 34 B. Faktor Pendukung dan Penghambat ............................................................. 35 C. Evaluasi Kegiatan ........................................................................................ 36 BAB V PENUTUP ............................................................................................... 39 A. Kesimpulan ................................................................................................... 39 B. Saran .............................................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang menjadi disfungsional secara fisiologis untuk dirinya sendiri maupun interaksi secara sosial. Orang yang terkena skizofrenia tidak akan mampu berkomunikasi secara normal dengan orang lain, salah satunya adalah karena menganggap bahwa orang lain ingin mencelakakannya (Sadock, 2010). Ketidakmampuan individu untuk beradaptasi terhadap lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan jiwa. Supaya dapat mewujudkan jiwa yang sehat, maka perlu adanya peningkatan jiwa melalui pendekatan secara promotif, preventif dan rehabilitatif agar individu dapat senantiasa mempertahankan kelangsungan hidup terhadap perubahan - perubahan yang terjadi pada dirinya maupun pada lingkungannya termasuk beberapa masalah gangguan jiwa yang diantaranya skizofrenia (Sadock, 2010). Penyakit ini menjadi persoalan serius di beberapa negara seperti di Inggris, Amerika dan Belanda. Royal College of Psychiatris di Inggris melaporkan bahwa satu diantara seratus orang mengalami skizofrenia pada suatu saat dalam hidupnya (Cumming, 2010). Dari hasil pendataan melaporkan bahwa pada tahun 2002 prevalensi dua belas bulan skizofrenia yang terdiagnosis diperkirakan sebesar 5,1 per seribu jiwa dimana angka kejadiannya jauh lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan yaitu 1:4 (Cumming, 2010). Skizofrenia dapat ditemukan hampir di seluruh dunia. American Psychiatric Association (2013) menyebutkan, 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Penelitian serupa oleh WHO menyebutkan, prevalensi skizofrenia di masyarakat berkisar 1-3 per mil penduduk. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (2018), prevalensi rumah tangga dengan ART gangguan jiwa skizofrenia/psikosis Indonesia adalah 0,7 per mil, kemudian 1
di kalimantan timur sebesar 0,3 per mil. Prevalensi skizofrenia pada pria dan wanita adalah sama, namun awitan terjadi lebih dini pada pria dibanding wanita. Usia puncak awitan adalah 8 sampai 25 tahun untuk pria dan 25 sampai 35 tahun untuk wanita. Awitan skizofrenia dibawah usia 10 tahun atau diatas usia 60 tahun sangat jarang. Secara umum, hasil akhir pasien skizofrenia wanita lebih baik dibanding hasil akhir pasien skizofrenia pria (Sadock & Sadock, 2010). Prevalensi penyakit ini meningkat pada pasien dengan riwayat keluarga skizofrenia (Sinaga, 2007). Penanganan penderita skizofrenia harus secepat mungkin dilakukan karena keadaan psikotik yang semakin lama akan menimbulkan kemunduran mental penderita semakin besar. Biarpun penderita tidak mencapai kesembuhan yang sempurna, dengan pengobatan dan bimbingan yang baik seorang penderita skizofrenia dapat ditolong untuk berfungsi terus, maupun bekerja sederhana di rumah ataupun di luar rumah (Maramis, 2004). Berikut beberapa teknik penanganan atau pengobatan gangguan skizofrenia yang dikemukakan oleh Sadock & Sadock (2010), yaitu: terapi farmakaologi dan terapi psikososial. Selain itu dalam meminimalkan halusinasi pada pasien skizofrenia dibutuhkan pendekatan dan memberikan penatalaksanaan untuk mengatasi gejala halusinasi. Penatalaksanaan yang diberikan meliputi terapi farmakologi, ECT dan terapi non farmakologi salah satunya yaitu terapi modalitas (Videbeck, 2008). Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien member I resepsi atau pendapat tentang lingkungannya tanpa ada objek rangsangan yang nyata. Sebagai contoh pasien mengatakan mendengar suara padahal kenyataannya tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati, 2010). Orang dengan gangguan kejiwaan memiliki kecenderungan menjadi penyendiri/mengisolasi diri dari dunia luar. Mereka kesulitan bersosialisasi
2
dengan orang lain. Banyak dari mereka merasa mendengar suara / bisikan dan halusinasi yang bisa mempengaruhi mereka menjadi pemarah, melakukan kekerasan, dan bahkan bisa melakukan bunuh diri. Gambargambar yang dihasilkan para pasien adalah representasi dari memori, perasaan, dan imajinasi para pasien yang biasanya mereka sulit untuk ungkapkan dengan bahasa verbal. Terapi modalitas adalah suatu proses pemulihan fungsi individu (pasien) terhadap kebiasaan-kebiasaan fisik, mental, social, ekonomi, termasuk pekerjaan menuju suatu kemampuan sebelumnya atau ke tingkat yang memungkinkan pasien dapat hidup wajar ditengah-tengah keluarga dan masyarakat. Ada 8 macam terapi modalitas, yaitu terapi individual, terapi lingkungan, terapi biologis atau terapi somatik, terapi kognitif, terapi keluarga, terapi kelompok, terapi perilaku dan terapi seni. Salah satu terapi seni yaitu terapi menggambar (Susana, 2011). Menurut American Art Therapy Association, "Art therapy is based on the ideas that creative process of art making is healing and life enhancing and is a form of nonverbal communication of thoughts and feelings". Jadi melalui kegiatan menggambar, orang dengan gangguan jiwa bisa mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan komunikasi non verbal melalui media gambar. Saya yakin aktivitas seni akan memberikan kontribusi positif terhadap kondisi mental seseorang. Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang pernah dilakukan, dengan melakukan aktifitas seni, pasien menjadi lebih expresif, fokus, dan rileks. Berkesenian dapat menjadi sarana bagi pasien mengekspresikan emosi dan kondisi kejiwaan mereka. Bagi psikolog / tenaga medis, hasil gambar maupun karya
seni
pasien
lainnya
dapat
membantu
menganalisa
dan
mengidentifikasi permasalahan mental yang dihadapi pasien, untuk kemudian bisa diambil tindakan medis atau konseling selanjutnya. Seni dapat menjadi salah satu media terapi yang mampu memberikan kontribusi positif terhadap proses rehabilitasi gangguan kejiwaan. Saya yakin dengan
3
bersinerginya peran psikolog, tenaga medis dan pengajar seni, akan memberikan dampak yang positif bagi proses penyembuhan pasien gangguan jiwa. Berdasarkan Latar Belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Penerapan Art Terapi Menggambar Terhadap Penurunan Gejala Halusinasi pada Pasien Skizofrenia Di Ruang Tiung RSJD Atma Husada Mahakam “.
B.
Tujuan Mengidentifikasi gejala halusinasi menggunakan skor skala PANSS pasien skizofrenia sebelum dan sesudah terapi menggambar.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Konsep Teori Skizofrenia 1.
Definisi Menurut Davidson (2012) Skizofrenia adalah gangguan psikotik
yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran emosi, dan perilakupikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis; persepsi dan perhatian yang keliru; afek datar atau tidak sesuai; dan berbagai gangguan aktivitas bizarre. Pasien menarik diri dari banyak orang dan realitas, seringkali kedalam kehidupan fantasi yang penuh waham dan halusinasi. Skozofrenia termasuk dalam salah satu gangguan mental yang disebut psikosis, pasien psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas (Setiadi, 2006). Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto, 2007). Eugene Bleuler mengemukakan manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya emosi sebagai gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007).Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010).
5
2.
Simtom Klinis Skizofenia a. Simtom positif Simtom-simtom positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan waham. Simtom-simtom ini, sebagian terebesarnya, menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia. 1) Delusi (waham) Waham (delusi), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan, semacam itu merupakan simtom-simtom positif yang umum pada skizofrenia. Waham memiliki bentuk lain. Ada beberapa jenis delusi, yaitu : a) Grandeur (waham kebesaran) Pasien yakin bahwa mereka adalah seseorang yang sangat luar biasa, misalnya seorang artis terkenal, atau seorang nabi atau merasa diri sebagai Tuhan. b) Guilt (waham rasa bersalah) Pasien merasa bahwa mereka telah melakukan dosa yang sangat besar. c) Health (waham penyakit) Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang sangat serius. d) Jealously (waham cemburu) Pasien yakin bahwa mereka telah berlaku tidak setia. e) Passivity (waham pasif) Pasien yakin bahwa mereka dikendalikan atau dimanipulasi oleh berbagai kekuatana dari luar, misalnya oleh sesuatu pancaran sinar radio makhluk mars. f) Persecution (waham kejar) Paisen merasa dikejar-kejar oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mencelakainya.
6
g) Poverty (waham kemiskinan) Pasien takut mereka mengalami kebangkrutan, dimana pada kenyataanya tidak demikian. h) Reference (waham rujukan) Pasien meras dibicarakan oleh orang lain secara luas, misalnya menjadi pembicaraan masyarakat atau disiarkan di televise. 2) Halusinasi Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah dimana tidak terdapat stimulus sensorik yang berkaitan dengannya. Halusinasi dapat berwujud penginderaan kelima indera yang keliru, tetapi yang paling sering adalah halusinasi dengar (auditory)
dan
halusinasi
penglihatan
(visual).
Contoh
halusianasi: pasien merasa mendengar suara-suara yang mengajaknya bicara padahal kenyataannya tidak ada orang yang mengajaknya bicara; atau pasien merasa melihat sesuatu yang pada kenyataannya tidak ada. b. Simtom negative Simtom-simtom negative skizofrenia mencakup berbagai deficit behavioral, seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Simtom-simtom ini cenderung bertahan melampaui satu episode akut dan memiliki efek parah terhadap kehidupan para pasien skozofrenia. Simtom-simtom ini juga penting secara prognostic; banyaknya simtom negative merupakan predictor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (ketidak mampuan kerja, hanya memiliki sedikit teman) dua tahun setelah dirawat rumah sakit (Ho dkk., 1998). Ketika mengukur simtom-simtom negative, penting untuk memilah mana yang merupakan simtom-simtom skizofrenia yang sesungguhnya dan simtom-simtom yang disebabkan oleh beberapa faktor lain (Carpenter, Heinrichs & Wagman, 1988, dalam Gerald, 2012). 1) Avolition
7
Apati atau avolution merupakan kondisi kurangnya energy dan ketiadaan minat atau ketidak mampuan untuk tekun untuk melakukan apa yang biasanya merupakan aktivitas rutin. Pasien daoat menjadi tidak tertarik untuk berdandan dan menjaga kebersihan diri, dan rambut yang tidak tersisir, kuku kotor gigi yang tidak disikat dan pakaian yang berantakan. 2) Alogia Merupakan suatu gangguan pikiran negative, alogia dapat terwujud dalam beberapa bentuk. Dalam miskin percakapan, jumlah total percakapan yang sangat jauh berkurang, jumlah percakapan memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang. 3) Anhedonia Ketidak mampuan untuk merasakan kesengangan. Ini tercermin dalam kurangnya minat dalam berbagai aktivitas rekreasional gagal untuk mengembangkan hubungan dekat denga orang laindan kurangnya minat dalam hubungan seks. 4) Afek datar Pada pasien yang memiliki afek datar hampir tidak ada yang dapat memunculkan respon emosional. Pasien menatap dengan pandangan kosong, otot-otot wajah meraka kendur dan mata mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab dengan suara datar dan tanpa nada. Konsep afek datar hanya merujuk pada ekspresi emosi yang tampak dan tidak pada pengalaman diri pasien, yang bisa saja sama sekali tidak mengalami pemiskinan. 5) Asosialitas Yaitu mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan social. Mereka hanya memiliki sedikit teman, keterampilan social yang rendah, dan sangat kurang berminat untuk bekumpul bersama orang lain.
8
c. Simtom disorganisasi Simtom disorganisasi mencakup disorganisai pembicaraan dan perilaku aneh (bizarre). 1) Disorganisasi pembicaraan (Disorganized Speech) Juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, merujuk pada masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat memahaminya. Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi longgar atau keluar jalur (derailment) yang merupakan suatu aspek gangguan pikiran dimana pasien mengalami kesulitan untuk tetap berada pada satu topik dan terhanyut dalam serangkaian asosiasi yang dimunculkan oleh suatu pemikiran dari masa lalu. Asosiasi mental tidak diatur oleh logika, tetapi oleh aturan-aturan tertentu yang hanya dimiliki oleh pasien. 2) Perilaku aneh Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak dimengerti, memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol dan lain-lain. Mereka tampak kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku mereka
dan
menyesuaikannya
dengan
berbagai
standar
masyarakat. Mereka juga mengalami kesulitan melakukan tugas sehari-hari dalam hidup. d. Simtom lain Dua simtom penting dalam kelompok ini adalah : 1) Katatonia Beberapa abnormalitass motoric menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat melakukan suatu gerakan berulang kali, menggunakan urutan yang aneh dan kadang kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan yang sering kali tampaknya memiliki tujuan tertentu. Beberapa pasien menunjukkan peningkatan yang tidak biasa pada
9
keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat riang, menggerakkan anggota badan secara liar, dan pengeluaran energy yang sangat besar. Di ujung lain spectrum ini adalah imobilitas katatonik : pasien menunjukkan berbagai postur yang tidak biasa dan tetap dalam waktu yang lama. Pasien katatonik juga memiliki fleksibiltas lilin-orang lain dapat menggerakkan anggota badan seorang pasien dalam posisi aneh dalam waktu yang lama. 2) Afek yang tidak sesuai Afek yang tidak sesuai merupakan respon-respon emosional yang berada diluar konteks, misalnya tertawa ketika mendengar berita duka. 3.
Etiologi Skizofrenia Etiologi adalah semua faktor yang berkontribusi terhadap
perkembangan suatu gangguan atau penyakit. Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang saling berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat disebut : a.
Keturunan Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia
terutama anak
kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara kandung 7- 15%, anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 4060%, kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68% (Maramis, 2009). Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif (Lumbantobing, 2007). b.
Gangguan anatomic Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu : Lobus temporal, sistem limbik dan reticular activating system. Ventrikel penderita skf lebih besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau 9 berkurangnya neuron dilobus temporal. Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal. Pada pemeriksaan post mortem didapatkan banyak reseptor D2 diganglia basal 10
dan sistem limbik, yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007). c.
Biokimiawi Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan dopamine,
kateklolamin,
norepinefrin
dan
GABA
pada
skf
(Lumbantobing, 2007). 4.
Terapi Skizofrenia
a. Penanganan Biologis 1) Terapi Kejut dan Psychosurgery Diawal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan memberika insulin dalam dosis tinggi diperkenalkan oleh Sakel (1938), yang mengklaim bahwa ¾ dari para pasien skizofrenia yang ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan terkemudian oleh para peneliti lain kurang mendukung hal tersebut, dan terapi koma-insulin –yang beresiko serius terhadap kesehatan, termasuk koma yang tidak dapat disadarkan dan kematian– secara bertahap ditinggalkan. Pada tahun 1935, Moniz, seorang psikiater memperkealkan lobotomy prefrontalis, suatu proses pembedahan yang membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan pusat otak bagian bawah. 2) Terapi Somatik (Medikamentosa) Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benarbenar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine). 11
a) Antipsikotik Konvensional Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik
konvensional.
Walaupun
sangat
efektif,
antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain (1) Haldol (haloperidol) (2) Mellaril (thioridazine) (3) Navane (thiothixene) (4) Prolixin (fluphenazine) (5) Stelazine (trifluoperazine) (6) Thorazine (chlorpromazine) (7) Trilafon (perphenazine) Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh
antipsikotik
konvensional,
banyak
ahli
lebih
merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsychotic. b) Newer Atypcal Antipsycotic Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik konvensional.
12
Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain : (1) Risperdal (risperidone) (2) Seroquel (quetiapine) (3) Zyprexa (olanzopine) c) Clozaril Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama. Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar
sel
darah
putihnya
secara
reguler.
Para
ahli
merekomendaskan penggunaan. Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil. Sediaan Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran No Nama Generik
Sediaan
Dosis
1
Tablet, 25 dan 100 mg,
150-
Klorpromazin
600mg/hariInjeksi25mg/ml 2
Haloperidol
Tablet, 0,5 mg, 1,5 mg, 5 5-15 mg/hari Injeksi5mg/ml mg,
3
Perfenazin
Tablet 2, 4, 8 mg
12 - 24 mg/hari
4
Flufenazin
Tablet 2,5 mg, 5 mg
10 - 15 mg/hari
5
Flufenazin dekanoat
Inj 25 mg/ml
25 mg/2-4 minggu
6
Levomeprazin
Tablet 25 mg, Injeksi 25 25 - 50 mg/hari mg/ml
13
7
Trifluperazin
Tablet 1 mg dan 5 mg
10 - 15 mg/hari
8
Tioridazin
Tablet 50 dan 100 mg
150 - 600 mg/hari
9
Sulpirid
Tablet 200 mg
300 - 600 mg/hari
10
Pimozid
Tablet 1 dan 4 mg
1 - 4 mg/hari
11
Risperidon
Tablet 1, 2, 3 mg
2 - 6 mg/hari
Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena tardive dyskinesia lebih rendah. Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada Clozaril) Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh) Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya. Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat
14
diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal. Pengobatan Selama fase Penyembuhan Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah episode petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin beratnya penyakit. Efek Samping Obat-obat Antipsikotik Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak dapat beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau mengobati efek samping ini. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan menggunakan dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila
15
penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik atipikal. Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi seksual, sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obat-obatan tersebut.
Untuk mengatasinya
biasanya
dokter
akan
menggunakan dosis efektif terendah atau mengganti dengan newer atypical antipsycotic yang efek sampingnya lebih sedikit. Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini. Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant syndrome, dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat yang juga dapat menimbulkan komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini membutuhkan penanganan yang segera.
b. Penanganan psikologis 1) Terapi Psikodinamika Psikoanalisis seperti Harry Stack Sullivan dan Frieda FrommReichmann, mengadaptasi teknik psikoanalisis secara spesifik untuk perawatan skizofrenia. Namun, penelitian gagal menunjukan efektivitas terapi psikoanalisis maupun psikodinamika untuk skizofrenia. Dengan keterangan tentang penemuan-penemuan negatif, beberapa kritik mengemukakan bahwa penggunaan terapi psikodinamika untuk menangani skizofrenia tidaklah terjamin. Namun hasil yang menjanjikan dilaporkan untuk sebuah bentuk terapi individual yang disebut terapi personal yang berpijak pada model diatesis-stres. Tetapi personal membantu pasien beradaptasi secara lebih efektif terhadap stres dan membantu mereka membangun keterampilan sosial, seperti mempelajari bagaimana menghadapi kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal menjelaskan 16
bahwa terapi personal mungkin mengurangi rata-rata kambuh dan meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien skizofrenia yang tinggal dengan keluarga (Bustillo dkk., 2001; Hogarty dkk., 1997a, 1997b). 2) Terapi Perilaku Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan. 3) Terapi berorintasi-keluarga Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga
adalah
proses
pemulihan,
khususnya
lama
dan
kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan
17
angka relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga. 4) Terapi kelompok Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin
terorientasi
secara
perilaku,
terorientasi
secara
psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia 5) Psikoterapi individual Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien. Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah
18
tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi. c. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization) Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumahsakit harus direncanakan. Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien tentang skizofrenia. Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup. Ringkasnya, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua kebutuhan orang yang menderita skizofrenia. Konseptualisasi skizofrenia sebagai disabilitas sepanjang hidup menggaris bawahi kebutuhan untuk perawatan intervensi
jangka
panjang yang menggabungkan pengobatan antipsikotik, terapi keluarga, bentuk-bentuk terapi suportif atau kognitif-behavioral, pelatihan vokasional, dan penyediaan perumahan yang layak serta pelayanan dukungan sosial lainnya (Bustillo dkk., 2001; Huxley, Rendall, & Sedere, 2000; Sensky dkk., 2000; Tarrier dkk., 2000).
19
5.
Alat Ukur Skizofrenia Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS) adalah instrumen
yang telah diakui memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi untuk menilai gejala positif dan negatif skizofrenia. PANSS terdiri dari 30 butir pertanyaan yang masing-masing dinilai dalam skala 7 poin. Tujuh butir dikelompokkan dalam skala positif, tujuh butir dikelompokkan dalam skala negatif, enam belas butir menilai psikopatologi umum dan terdapat tiga butir tambahan yang menilai adanya resiko agresi. Skor PANSS masing-masing item sebagai berikut : 1 = tidak ada, 2 = minimal, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = agak berat, 6 = berat , 7 = sangat berat. Total semua skor masing-masing item dijumlah dengan hasil sebagai berikut : Sakit ringan = kurang lebih 61, sakit sedang = kurang lebih 78, terlihat nyata sakit = kurang lebih 96, sakit berat = kurang lebih 118, sakit sangat berat = kurang lebih 147. B.
Konsep Art Terapi Menggambar 1.
Pengertian Terapi okupasi adalah bentuk layanan kesehatan kepada
masyarakat atau pasien yang mengalami gangguan fisik atau mental dengan menggunakan latian/aktivitas mengerjakan sasaran yang terseleksi (okupasi) untuk meningkatkan kemandirian (World Federation of Occupation Therapy, 2010). Terapi menggambar adalah bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni untuk berkomunikasi. Media seni dapat berupa pensil, kapur bewarna, warna, cat, potongan-potongan kertas dan tanah liat (Adriani & Satiadarma, 2011). Terapi menggambar selain untuk penyembuhan juga dapat untuk meningkatkan kreativitass pasien. Menurut The British Association of Art Therapist (2018) mendefinisikan Art therapy sebagai suatu bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni sebagai cara utama ekspresi dan komunikasi. Art therapy atau terapi menggambar telah banyak di lingkungan medis, salah satunya untuk pengobatan
20
penyakit gangguan jiwa seperti halusinasi. Melalui terapi ini pasien dapat melepaskan emosi, mengekspresikan diri melalui cara-cara non verbal dan membangun komunikasi. 2.
Manfaat Tujuan terapi menggambar pada dasarnya adalah salah satu
penyembuhan. Terapi menggambar ini bermanfaat bagi pasien agar pasien dapat melepaskan emosi, mengekspresikan diri, mengurangi stress, media untuk membangun komunikasi serta meningkatkan aktivitas pada pasien gangguan jiwa. (Adriani & Satiadarma, 2011) 3.
Mekanisme Kerja Terapi Menggambar a. Penyembuhan pribadi. Terapi seni bisa membantu memahami perasaan pribadi dengan mengenali dan mengatasi kemarahan, kekesalan dan emosi-emosi lainnya. Terapi ini bisa membantu menyegarkan kembali semangat pasien. b. Pencapaian pribadi. Menciptakan sebuah karya seni bisa membangun rasa percaya diri dan memelihara rasa cinta dan menghargai diri sendiri. c. Menguatkan. Terapi seni bisa membantu menggambarkan emosi dan ketakutan yang tidak bisa Anda ungkapkan dengan kata-kata. Dengan cara ini, pasien lebih bisa mengontrol perasaan-perasaan. d. Relaksasi dan meredakan stres. Stres kronis bisa membahayakan baik tubuh
maupun
pikiran.
Terapi
menggambar
bisa
digunakan sebagai penanganan tunggal atau dipadukan dengan teknik relaksasi lainnya untuk meredakan stres dan kecemasan. e. Meredakan sakit. Terapi seni juga bisa membantu Anda mengatasi rasa sakit.
Terapi ini bisa digunakan sebagai terapi pelengkap
untuk mengobati pasien yang sakit.
21
4.
Hormon Yang Berperan Hormon yang berperan dalam terapi menggambar adalah hormon
oksitosin. Hormon yang juga dikenal sebagai hormon cinta ini dipercaya berperan penting dalam tingkah laku manusia. Hormon oksitosin berada dalam hipotolamus pada otak. Hormon tersebut dikeluarkan oleh kelenjar pituitari yang terletak di dasar otak. Dampak oksitosin pada tingkah laku dan respon emosi juga terlihat dalam membangun ketenangan, kepercayaan, dan stabilitas psikologi. Oksitosin juga dianggap sebagai obat ajaib yang dapat membantu meningkatkan perasaan positif serta kecakapan sosial. Cara supaya hormon oksitosin dapat meningkat adalah melakukan kegiatan, karena oksitosin dalam darah akan meningkat yang juga akan bermanfaat bagi seluruh kesehatan tubuh. Dengan melakukan kegiatan, pasien halusinasi diharapkan akan mengurangi gejala dari halusinasi tersebut.
22
BAB III STRATEGI PEMECAHAN MASALAH
A. Pengertian Art therapy atau terapi menggambar telah banyak di lingkungan medis, salah satunya untuk pengobatan penyakit gangguan jiwa seperti halusinasi. Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori atau suatu objek tanpa adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh panca indra. Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa yang dimana seseorang mengalami perubahan sensori persepsi, serta merupakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, perabaan dan penciuman. Seseorang merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. (Yusuf, Rizki & Hanik, 2015). Melalui terapi ini pasien dapat melepaskan emosi, mengekspresikan diri melalui cara-cara non verbal dan membangun komunikasi. Terapi menggambar selain untuk penyembuhan juga dapat untuk meningkatkan kreativitas pasien. Terapi menggambar adalah bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni untuk berkomunikasi. Media seni dapat berupa pensil, kapur bewarna, warna, cat, potongan-potongan kertas dan tanah liat (Adriani & Satiadarma, 2011). B. Jenis Intervensi Penatalaksanaan terapi seni menggambar (menggambar pemandangan, ruangan dalam rumah, C. Tujuan 1.
Untuk mengendalikan halusinas
2.
Melatih pasien untuk berkumpul
3.
Melatih pasien untuk menggunakan alat tulis
4.
Melatih pasien umtuk megekspresikan pikirannya
5.
Melatih pasien untuk mengambar
23
D. Kriteria Responden 1. Inklusi a. Bersedia menjadi responden b. Mengalami halusinasi 2. Eksklusi a. Pasien yang gelisah E. Waktu 1. Tanggal
: 10 dan 11 Februari 2020
2. Jam
: 10.00 WITA
F. Setting Tempat Ruang Tiung RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda
Keterangan : : Leader
: Klien
: Fasilitator
: Observer
: Meja 24
G. Media / Alat Yang Digunakan 1. Buku gambar A4 2. Alat tulis (pensil, penghapus) H. Pelaksana Sesi 1 Yang bertugas dalam TAK pada sesi 1, sebagai berikut : 1. Leader
: Hazelelfoni Efraim Pangi
2. Fasilitator 1
: Adhan Azhari Rauf
3. Fasilitator 2
: Agus Imam Kusairi
4. Fasilitator 3
: Hasbullah
5. Fasilitator 4
: M. Husaini
6. Fasilitator 5
: Ummi Rusiana
7. Observer
: Dyan Nitarahayu
Sesi 2 Yang bertugas dalam TAK pada sesi 2, sebagai berikut 1. Leader
: Adhan Azhari Rauf
2. Fasilitator 1
: Hazelelfoni Efraim Pangi
3. Fasilitator 2
: Dyan Nitarahayu
4. Fasilitator 3
: Hasbullah
5. Fasilitator 4
: M. Husaini
6. Fasilitator 5
: Ummi Rusiana
7. Observer
: Agus Imam Kusairi
I. Uraian Tugas Pelaksana 1. Leader a. Memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok b. Merencanakan, mengontrol, dan mengatur jalannya terapi c. Menyampaikan materi sesuai tujuan TAK d. Memimpin diskusi kelompok.
25
2. Fasilitator a. Ikut serta dalam kegiatan kelompok b. Memberikan stimulus dan motivator pada anggota kelompok untuk aktif mengikuti jalannya terapi. 3. Observer a. Mencatat serta mengamati respon klien (dicatat pada format yang tersedia) b. Mengawasi jalannya aktivitas kelompok (TAK) dari mulai persiapan, proses, hingga penutupan.
J. Tata Tertib dan Antisipasi 1. Tata Tertib a. Peserta bersedia mengikuti kegiatan TAK b. Peserta wajib hadir 5 menit sebelum acara dimulai c. Peserta berpakaian rapi, bersih, dan sudah mandi d. Tidak diperkenankan makan, minum, merokok selama kegiatan (TAK) berlangsung e. Jika ingin mengajukan/menjawab pertanyaan, peserta mengangkat tangan kanan dan berbicara setelah dipersilahkan oleh leader f. Peserta yang mengacaukan jalannya acara akan dikeluarkan g. Peserta dilarang keluar sebelum acara TAK selesai h. Apabila waktu TAK sesuai kesepakatan telah habis, namun TAK belum selesai, maka leader akan meminta persetujuan anggota untuk memperpanjang waktu TAK kepada anggota. 2. Program Antisipasi Ada beberapa langkah yang dapat diambil dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi pada pelaksanaan TAK. Langkahlangkah yang diambil dalam program antisipasi masalah, adalah : a. Apabila ada klien yang telah bersedia untuk mengikuti TAK, namun pada saat pelaksanaan TAK tidak bersedia, maka langkah yang diambil adalah mempersiapkan klien cadangan yang telah diseleksi
26
sesuai dengan kriteria dan telah disepakati oleh anggota kelompok lainnya b. Apabila dalam pelaksanaan ada anggota kelompok yang tidak menaati tata tertib yang telah disepakati, maka berdasarkan kesepakatan ditegur terlebih dahulu dan bila masih tidak cooperative maka dikeluarkan dari kegiatan c. Bila ada anggota kelompok yang melakukan kekerasan, leader memberitahukan kepada anggota TAK bahwa perilaku kekerasan tidak boleh dilakukan.
27
K. Instrument PANSS Tidak
Sedang
P2
P3 P4 P5 P6 P7 N1 N2
N3 N4 N5
Khayalan
1
2
3
4
5
6
7
Disorganisasi /konseptual
1
2
3
4
5
6
7
Perilaku halusinasi
1
2
3
4
5
6
7
Rasa gembira
1
2
3
4
5
6
7
Rasa percaya diri yang besar
1
2
3
4
5
6
7
Kecurigaan
1
2
3
4
5
6
7
Rasa permusuhan
1
2
3
4
5
6
7
Afek tumpul
1
2
3
4
5
6
7
Rasa emosi yang hilang
1
2
3
4
5
6
7
Hubungan yang buruk /lemah
1
2
3
4
5
6
7
Sikap apatis
1
2
3
4
5
6
7
Kesulitan berpikir abstrak
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
Berat
Berat
Sangat
Ringan
ada P1
Agak
Minimal
Berat
Kurangnya N6
spontanitas dan alur pembicaraan
N7
Cara berpikir stereotype Perhatian
G1
somatik/fokus terhadap somatik
G2
Kegelisahan
28
G3 G4 G5 G6 G7
Perasaan bersalah Ketegangan Sikap dan perilaku Depresi Hambatan motorik
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
Tidak G8
kooperatif/ tidak mampu bekerja sama
G9 G10
Cara berpikir tidak biasa Disorientasi Perhatian
G11
buruk/daya perhatian yang kurang Kurang
G12
penilaian dan wawasan (pandangan)
G13
G14
G15
G16
Ganggun kemauan Kurangnya kendali impuls Rasa khawatir berlebih Menghindari aktivitas sosial
29
Keterangan: 1 = tidak ada
Sakit ringan = ≤ 61
2 = minimal
Sakit sedang = 62 - 78
3 = ringan
Terlihat nyata sakit = 79 - 96
4 = sedang
Sakit berat = 97 - 118
5 = agak berat
Sakit sangat berat = ≥ 119
6 = berat 7 = sangat berat.
30
L. Alur Pelaksanaan (SOP) SPO TERAPI MENGGAMBAR UNTUK MENGENDALIKAN HALUSINASI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALTIM
No. Dokumen
Halaman 1/3
Ditetapkan Oleh Direktur Poltekkes Kemenkes Kaltim
Waktu
Jl. W. Monginsidi No. 38 Samarinda
1
2
Tujuan
Definisi
Mengendalikan halusinasi Melatih pasien untuk berkumpul Pasien dapat menggunakan alat tulis Mengekspresikan pikirannya berupa gambar
Art therapy sebagai suatu bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni sebagai cara utama ekspresi dan komunikasi serta meningkatkan kreativitas pasien. PERSIAPAN ALAT 1. Buku menggambar 2. Alat tulis
3
4
1. 2. 3. 4.
Prosedur
KOMPONEN PELAKSANAAN A. Orientasi 1. Salam terapeutik dan menjalin hubungan saling percaya. “Selamat pagi Bapak – bapak, masih ingat dengan kami perawat yang berdinas di ruang Tiung ini? 2. Evaluasi/Validasi “Bagaimana perasaan Bapak – bapak pagi ini? Semua sudah minum obat? Bagus..” 3. Menjelaskan tujuan pertemuan dan tindakan yang akan dilakukan. “Sesuai dengan janji kita kemarin pagi ini kita akan berkumpul dan berlatih untuk menggambar, jadi Bapak – bapak akan menggambar sesuai dengan contoh yang akan kami berikan. Dengan tujuan untuk mengendalikan halusinasi, lalu agar bapak – bapak dapat berkumpul dengan teman – teman disini, dan agar bapak – bapak 31
10 menit
dapat menggunakan alat tulis serta dapat mengekspresikan pikiran melalui gambar yang telah dibuat” 4. Membuat kontrak dan kesepakatan untuk dilakukan 3 kali pertemuan selama 2 hari. ”Jadi kegiatan ini akan kita laksanakan selama 3 kali. Untuk hari senin sebanyak 1 kali dan untuk hari selasa sebanyak 2 kali yaitu pagi dan siang setelah makan” 5. Menjelaskan aturan selama kegiatan: “bapak-bapak harus mengikuti kegiatan ini sampai selesai jika dalam kegiatan bapak terlihat gelisah maka bapak boleh untuk tidak melanjutkan kegiatan ini, jika ingin ke toilet nanti akan ditemani dengan perawat”. 6. Perkenalan “Sekarang kita akan berkenalan ya, bapak ibu menyebutkan nama dan tugasnya khusus untuk perawat. Dimulai dari saya lalu bapak yang disamping kanan saya lalu disebelahnya dan seterusnya” “Jadi perawat yang duduk disebelah bapak adalah perawat yang akan membantu bapak selama kegiatan ini jika bapak merasa bingung bapak dapat bertanya kepada perawat yang ada disebelahnya” “Sebelum kita mulai apakah bapak - bapak ingin bertanya?” B. Fase kerja 1. Membagikan buku gambar, pensil dan perawat kepada klien “Jadi ini adalah buku gambar untuk bapak bapak menggambar, ini ada pensil dan penghapus” 2. Menjelaskan tema gambar dan memberikan contoh “Pertemuan pertama ini bapak – bapak akan menggambar sesuai tema dan ini contohnya ya..’ 3. Meminta klien untuk menjelaskan gambar yang telah dibuat “Semua sudah selesai menggambarnya? Nah sekarang coba bapak jelaskan apa yang bapak gambar ini” 4. Perawat memberikan reinforcement kepada klien setelah klien selesai menjelaskan isi gambarnya “wah semua sudah selesai menggambar ya gambarnya bagus – bagus dan bapak mampu menjelaskan gambarnya”
32
25 menit
C. Fase Terminasi 1. Evaluasi “Bagaimana perasaan bapak setelah menggambar tadi? 2. Kontrak yang akan datang Bagaimana kalau besok pagi dan siang kita akan menggambar lagi dengan tema yang berbeda di ruang makan ini lagi ya bapak – bapak.
5 menit
M. Evaluasi 1. Evaluasi Proses a. Leader menjelaskan aturan main dengan jelas b. Fasilitator menempatkan diri di tengah-tengah klien c. Observer menempatkan diri di tempat yang memungkinkan untuk dapat mengawasi jalannya permainan d. 100% klien yang mengikuti permainan dapat mengikuti kegiatan dengan aktif dari awal sampai selesai.
2. Evaluasi Hasil
Tn. A. S
Mengikuti Keseluruhan TAK √
Tn. A.H
√
√
√
√
Tn. S
√
√
√
√
Tn. H. B
√
√
√
√
Tn. M
√
√
√
√
Nama Klien
Menyelesaikan Gambar
Menjelaskan Gambar
Berperan Aktif dalam TAK
√
√
√
33
BAB IV LAPORAN KEGIATAN
A. Pelaksanaan Kegiatan 1. Identitas Pasien No 1.
Nama pasien Tn. A.S
No. RM 2020.0 1.0087
2.
Tn. A.H
3.
TMRS 28-01-2020
Umur (tahun) 27
Dx. Medis
Dx.Kep
Skizofrenia
Halusinasi dan Waham
2017.0 5.0051
13-01-2020
23
Skizofrenia
Halusinasi dan RPK
Tn. S
2012.0 9.0002
26-01-2020
37
Skizofrenia
Halusinasi
4.
Tn. H.B
05-02-2020
34
Skizofrenia
Halusinasi
5.
Tn. M
2013.0 1.0018 2020.0 5.0003
30-01-2020
52
Skizofrenia
Halusinasi dan Waham
2. Proses Pelaksanaan Kegiatan Sesi 1 Hari, Tanggal
: Senin, 10 Februari 2020
Pukul
: 11.00 WITA
Kegiatan : Memperkenalkan diri, membina hubungan saling percaya, menjelaskan pengertian dan tujuan penerapan art terapi menggambar Mengidentifikasi SKOR PANSS sebelum penerapan art terapi menggambar Menerapkan art terapi menggambar dengan tema pemandangan dengan durasi 15 menit Mengidentifikasi SKOR PANSS setelah penerapan art terapi menggambar
34
Sesi 2 Hari, Tanggal
: Selasa, 11 Februari 2020
Pukul
: 10.00 WITA
Kegiatan : Memperkenalkan diri, membina hubungan saling percaya, menjelaskan pengertian dan tujuan penerapan art terapi menggambar Mengidentifikasi SKOR PANSS sebelum penerapan art terapi menggambar Menerapkan art terapi menggambar dengan tema ruangan dalam rumah (Ruang tamu, dapur, dll) dengan durasi 15 menit Mengidentifikasi SKOR PANSS setelah penerapan art terapi menggambar
B. Faktor Pendukung dan Penghambat 1. Faktor Pendukung a. Lingkungan yang mendukung dan nyaman b. Suasana yang tenang c. Klien kooperatif saat dilakukan tindakan. 2. Faktor Penghambat a. Jumlah responden tidak sesuai antara jurnal dan di ruangan b. Pelaksanaan intervensi tidak sesuai antara jurnal dan di ruangan karena keterbatasan waktu
35
C. Evaluasi Kegiatan Evaluasi pada hari Senin, 10 Februari 2020 pukul 11.00 WITA didapatkan hasil ; No. 1.
Nama Pasien
Sebelum Skor PANSS
Tn. A. S 36
2.
Tn. A. H
Tn. S
34
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata baik
Tn. H. B
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata kurang baik
DS : Pasien mengatakan lebih senang setelah menggambar 47
DO :Pasien kooperatif, penampilan kurang rapi, kontak mata baik
36
DO : Afek sesuai stimulus DS : Pasien mengatakan suara – suara berkurang saat menggambar
62
DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara lagi 45
Respon DS : Pasien mengatakan perasaannya menjadi lebih baik setelah menggambar DO : Afek sesuai stimulus
DS : Pasien mengatakan masih mendengar suara-suara untuk menyuruh jauh 65
4.
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata baik
Skor PANSS
DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara lagi 47
3.
Setelah
Respon DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara lagi
45
DO : Afek sesuai stimulus i
DS : Pasien mengatakan perasaannya senang setelah menggambar DO : Afek sesuai stimulus
5.
Tn. M
DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara lagi 48
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata baik
DS : Pasien mengatakan lebih senang setelah menggambar 48
DO : Afek sesuai stimulus
Evaluasi pada hari Selasa, 11 Februari 2020 pukul 11.00 WITA didapatkan hasil ; No. 1.
Nama Pasien
Sebelum Skor PANSS
Tn. A. S 34
2.
Tn. A. H
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata baik
Skor PANSS
33
DS : Pasien mengatakan tidak ada mendengar suarasuara lagi 47
3.
Setelah
Respon DS : Pasien mengatakan tidak pernah mendengar suara-suara lagi
Tn. S
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata baik
42
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata kurang baik
DO : Afek sesuai stimulus
DS : Pasien mengatakan senang diajak menggambar karena ada kegiatan jadi tidak bosan DO : Afek sesuai stimulus
DS : Pasien mengatakan masih mendengar suara-suara untuk menyuruh untuk meninggalkan 62
Respon DS : Pasien mengatakan lebih senang setelah menggambar
58
DS : Pasien mengatakan perasaannya senang dan suara – suara berkurang saat dirinya menggambar DO : Afek sesuai stimulus
37
4.
Tn. H. B
DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara lagi 45
5.
Tn. M
DO :Pasien kooperatif, penampilan kurang rapi, kontak mata baik
42
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata baik
38
mengatakan baik setelah
DO : Afek sesuai stimulus
DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara lagi 48
DS : Pasien perasaannya lebih menggambar
45
DS : Pasien mengatakan senang diajak menggambar bersama temanteman yang lain DO : Afek sesuai stimulus
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Art therapy atau terapi menggambar merupakan salah satu pengobatan penyakit gangguan jiwa seperti halusinasi. Terapi menggambar adalah bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni untuk berkomunikasi. Media seni dapat berupa pensil, kapur bewarna, warna, cat, potonganpotongan kertas dan tanah liat. Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori atau suatu objek tanpa adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh panca indra. Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa yang dimana seseorang mengalami perubahan sensori persepsi, serta merupakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, perabaan dan penciuman. Seseorang merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Melalui terapi ini pasien dapat melepaskan emosi, mengekspresikan diri melalui cara-cara non verbal dan membangun komunikasi sehingga diharapkan dapat mengontrol halusinasi yang dialami pasien. Terapi menggambar selain untuk penyembuhan juga dapat untuk meningkatkan kreativitas pasien. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penerapan intervensi terapi menggambar memiliki pengaruh dalam mengontrol perilaku halusinasi. B. Saran Diharapkan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat, dapat menjadikan terapi menggambar (art therapy) menjadi salah satu bagian dari terapi aktivitas kelompok yang rutin dilakukan sebagai tindakan mandiri perawat dalam mengelola pasien dengan masalah gangguan persepsi sensori: halusinasi.
39
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, S. N. & Satiadarma, M. P. 2011. Efektivitas art theraphy dalam mengurangi kecemasan pada remaja pasien leukemia. Indonesian Journal of Cancer, 5(1), 31-47 American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric Publishing. Washinton DC. Cumming, W.C. 2010. Intruduction to positive psikologi. USA: Malloy Incorporated Davidson, G.C, 2012. Psikologi Abnormal. Jakarta : PT Rajagrafindo Permai. Gerald C. 2012. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9. Terjemahan Noermalasari Fajar.. Jakarta : Rajawali Pers Kaplan, H. I., Sadock, B. J. 2010. Sinopsis Psikiatri Jili ( Terjemahan: Kusuma, W). Jakarta: Binarupa Aksara. Keliat, B. A., Wiyono, A.P., & Susanti, H. 2011. Manajemen kasus gangguan jiwa: MHN (intermediate course). Jakarta: EGC. Kusumawati F dan Hartono Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika. Lumbantobing. 2007. Serba-Serbi Narkotika. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta Maramis, W. F. 2004. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Airlangga University Press Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian
Kesehatan
RI
tahun
2018.
http//www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorko p_2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf. Diakses Februari 2020. 40
Sadock, BJ., Sadock, V,A. dan Kaplan & Sadock’s., 2010. Retradasi Mental. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC Setiadi, Arif I. 2006. Masalah Psikiatri. Bandung : Refika Aditama Sinaga, B.R. 2007. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Susana, S.A. 2011. Terapi Modalitas: Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC Videbeck, Sheila,. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
41
LAMPIRAN
42
43
Tema Menggambar : Pemandangan
Tema Menggambar : Ruangan dalam Rumah
44