Diagnosis Banding LBM 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Diagnosis Banding 1. Gangguan Berbicara Perkembangan bahasa normal Pengertian



antara



berbicara



(speech)



dan



bahasa



(language)



sering



kali



membingungkan, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Berbicara (speech) adalah ekspresi verbal dari bahasa yang meliputi artikulasi sebagai sarananya sehingga terbentuk kata-kata yang dapat kita dengar. Bahasa (language) memiliki penertian yang lebih luas, meliputi seluruh sistem pengekspresian dan penerimaan informasi yang memiliki makna. Bahasa dapat dimengerti secara pasif dan aktif melalui komunikasi – verbal, non verbal, dan tertulis. Di bawah 12 bulan Penting pada anak-anak usia ini untuk diobservasi bahwa mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan lingkungan mereka. Tertawa dan mengoceh adalah fase awal dari perkembangan berbicara. Seiring dengan pertambahan usia bayi (sekitar usia 9 bulan), mereka mulai merangkai suara-suara, menggabungkan kata-kata dengan nada yang berbeda, dan mengucapka kata-kata seperti “mama” dan “dada” (tanpa mengetahui makna dari kata-kata tersebut). Sebelum usia 12 bulan, anak-anak seharusnya sudah peka terhadap suara. Bayi yang pandangannya fokus sekali tetapi tidak bereaksi terhadap suara mungkun memiliki gangguan pada pendengarannya. 12 sampai 15 bulan Anak pada usia ini pada normalnya harus mengoceh lebih banyak lagi dan sedikitnya mengeluarkan satu atau lebih kata yang bermakna (tidak termasuk “mama” dan “dada”). Kata benda biasanya muncul lebih awal seperti “baby” dan “ball”. Anak seharusnya juga mampu untuk memahami dan menuruti satu perintah (contoh, “tolong ambilkan mainanmu.”).



18 sampai 24 bulan Anak sudah memiliki sekitar 20 perbendaharaan kata pada usia 18 bulan dan 50 atau lebih kata-kata yang belum sempurna saat usia mereka mencapai 2 tahun. Ketika usia 2 tahun, anak-anak sudah belajar untuk mengombinasikan dua kata, seperti “adik nangis” atau



“ayah besar.” Seorang anak yang berusia 2 tahun harus sudah mampu untuk melaksanakan dua buah perintah (seperti "tolong ambilkan mainanmu dan ambil gelasmu” ). 2 sampai 3 tahun Pada usia ini anak akan mengalami perkembangan bahasa yang pesat dan perbendaharaan kata yang amat meningkat. Mereka sudah bisa menggabungkan tiga atau lebih kata-kata menjadi satu kalimat. Kemampuan anak dalam memahami bahasa juga meningkat pada usia 3 tahun. Mereka mulai memahami apa maksud dari “taruh di meja itu” atau “taruh itu di bawah tempat tidur.” Anak juga sudah harus mulai bisa menyebutkan warna dan memahami konsep deskriptif (contonya membedakan besar dan kecil).



Prevalensi Gangguan bicara merupakan salah satu masalah yang sering terdapat pada anak-anak . Menurut NCHS, berdasarkan atas laporan orang tua (di luar gangguan pendengaran serta celah pada palatum), maka angka kejadiannya adalah 0,9 % pada anak di bawah umur 5 tahun dan 1,94 % pada anak yang berumur 5-14 tahun. Dari hasil evaluasi langsung terhadap anak usia sekolah, angka kejadiannya 3,8 kali lebih tinggi dari yang berdasarkan hasil wawancara. Berdasarkan hal ini, diperkirakan gangguan bicara dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5 %. Di AS, rasio prevalensi untuk keterlambatan bicara dan bahasa telah dilaporkan dalam batasan yang luas. Penelitian terbaru Cochrane melaporkan prevalensi untuk keterlambatan bicara, keterlambatan bahasa, dan kombinasi keduanya pada umur pra sekolah dan anak umur sekolah. Untuk anak umur pra sekolah, 2 sampai 4,5 tahun, studi yang mengevaluasi kombinasi keterlambatan bicara dan bahasa melaporkan rasio prevalensi antara 5 % sampai 8 %, dan studi tentang keterlambatan bahasa melaporkan rasio prevalensi antara 2,3 % sampai 19 %. Anak dengan keterlambatan bicara dan bahasa usia pra sekolah yang tidak diterapi menunjukkan rasio variabel yang persisten (dari 0 % sampai 100 %), dengan laporan hasil studi tersering menyatakan 40 % sampai 60 %. Rata-rata keseluruhan untuk gangguan bicara dan bahasa adalah sekitar 5 % pada anak usia sekolah. Meliputi kelainan pada suara (3%) dan gagap (1%). Insiden pada anakanak sekolah dasar dengan gangguan perkembangan adalah 2 % sampai 3 % , walaupun persentasenya menurun seiring dengan pertambahan usia.



Dari jumlah gangguan pada anak usia sekolah, 10 % sampai 20 % membutuhkan beberapa tipe pendidikan khusus. Sekitar sepertiga murid yang tuli mengukuti sekolah khusus. Dua pertiga mengikuti program di sekolah khusus anak-anak tuna rungu atau mengikuti kelas di sekolah reguler. Sisanya mengikuti sekolah reguler.



Etiologi Penyebab kelainan berbahasa ada bermacam-macam yang melibatkan berbagai faktor yang dapat saling mempengaruhi; antara lain kemampuan lingkungan, pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi psikologis dan lain sebagainya. Seorang anak mungkin kehilangan pendengaran sensoneural dari sedang sampai berat. Sedangkan yang lain mungkin kehilangan pendengaran konduksi berulang, sehingga kemampuan bicara keseluruhannya menurun. Demikian pula suatu gangguan bicara (disfasia) dapat terjadi tanpa adanya cedera otak atau keadaan lainnya. Blagger (1981) membagi penyebab gangguan bicara dan bahasa sebagai berikut:



Penyebab



Efek pada perkembangan bicara



1. Lingkungan a. Sosial ekonomi kurang b. Tekanan keluarga c. Keluarga bisu d. Di rumah menggunakan bahasa



Terlambat Gagap Terlambat pemerolehan Bahasa



bilingual



Terlambat pemerolehan struktur bahasa



2. Emosi a. Ibu yang tertekan



Terlambat pemerolehan Bahasa Terlambat atau gangguan perkembangan



b. Gangguan serius pada orang tua



Bahasa Terlambat atau gangguan perkembangan



c. Gangguan serius pada anak



Bahasa



3. Masalah pendengaran a. Kongenital b. Didapat



Terlambat/gangguan bicara yang permanen Terlambat/gangguan bicara yang permanen



4. Perkembangan terlambat a. Perkembangan lambat



Terlambat bicara



b. Perkembangan lambat, tetapi masih dalam batas rata-rata c. Retardasi mental



Terlambat bicara Pasti terlambat bicara



5. Cacat bawaan Terlambat a. Palatoschizis b. Sindrom down



dan



terganggu



kemampuan



bicaranya Kemampuan bicaranya lebih rendah



6. Kerusakan otak Mempengaruhi a. Kelainan neuromuscular



b. Kelainan sensorimotor



kemampuan



mengisap,



menelan, mengunyah, dan akhirnya timbul gangguan bicara dan artikulasi seperti disartria Mempengaruhi kemampuan mengisap dan menelan, akhirnya menimbulkan gangguan artikulasi, seperti dispraksia Berpengaruh pada pernafasan, makan dan



c. Palsi serebral



timbul juga masalah artikulasi yang dapat mengakibatkan disartria dan dispraksia Kesulitan membedakan suara, mengerti



d.Kelainan persepsi



bahasa, simbolisasi, mengenal konsep, akhirnya menimbulkan kesulitan belajar di sekolah



Perkembangan bahasa yang lambat dapat bersifat familial. Oleh karena itu harus dicari dalam keluarga apakah ada yang mengalami keterlambatan bicara juga. Di samping itu kelainan bicara juga lebih banyak pada anak laki-laki daripada perempuan. Hal ini karena pada perempuan, maturasi dan perkembangan fungsi verbal hemisfer kiri lebih baik. Sedangkan pada laki-laki perkembangan hemisfer kanan yang lebih baik, yaitu untuk tugas yang abstrak dan memerlukan keterampilan. Sedangkan Aram DM (1978), mengatakan bahwa gangguan bicara pada anak dapat disebabkan oleh kelainan di bawah ini: 1. Lingkungan sosial anak



Interaksi antar personal merupakan dasar dari semua komunikasi dan perkembangan bahasa. Lingkungan yang tidak mendukung akan menyebabkan gangguan bicara dan bahasa pada anak. 2. Sistem masukan/input Adalah sistem pendengaran, penglihatan dan integritas taktil-kinestetik dari anak. Pendengaran merupakan alat yang penting dalam perkembangan bicara. Anak dengan otitis media kronis dengan penurunan daya pendengaran akan mengalami keterlambatan kemampuan menerima ataupun mengungkapkan bahasa. Gangguan bicara juga terdapat pada tuli oleh karena kelainan genetik dan metabolik (tuli primer), tuli



neurosensorial



(infeksi



intra



uterin:



sifilis,



rubella,



toksoplasmosis,



sitomegalovirus), tuli konduksi seperti akibat malformasi telinga luar, tuli sentral (sama sekali tidak dapat mendengar), tuli persepsi/afasia sensorik (terjadi kegagalan integrasi arti bicara yang didengar menjadi suatu pengertian yang menyeluruh), dan tuli psikis seperti pada skizofrenia, autisme infantile, keadaan cemas dan reaksi psikologis lainnya. Pola bahasa juga akan terpengaruh pada anak dengan gangguan penglihatan yang berat, demikian pula dengan anak dengan defisit taktil-kinestetik akan terjadi gangguan artikulasi. 3. Sistem pusat bicara dan bahasa Kelainan susunan saraf puast akan mempengaruhi pemahaman, interpretasi, formulasi dan perencanaan bahasa, juga pada aktivitas dan kemampuan intelektual dari anak. Gangguan komunikasi biasanya merupakan bagian dari retardasi mental, misalnya pada Sindrom Down. 4. Sistem produksi Sistem produksi suara seperti laring, faring, hidung, struktur mulut, dan mekanisme neuromuskular yang berpengaruh terhadap pengaturan nafas untuk berbicara, bunyi laring, pembentukan bunyi untuk artikulasi bicara melalui aliran udara lewat laring, faring, dan rongga mulut.



Manifestasi Klinik



Terdapat bermacam-macam klasifikasi disfasia, tergantung dari cara pandang mana. Kebanyakan sistem klasifikasi berdasarkan atas model input-output. Beberapa telah didefinisikan dengan menggunakan tes yang telah distandarisasi. Ada yang menggunakan model didasari pendengaran dan ada pula yang berdasarkan patofisiologi terjadinya disfasia. Klasifikasi kelainan bahasa pada anak menurut Rutter (dikutip dari Toback C.), berdasarkan atas berat ringannya kelainan bahasa sebagai berikut: Klasifikasi kelainan bahasa menurut Rutter. Keterlambatan akuisisi dari bunyi kata-kata, Ringan



bahasa normal Keterlambatan lebih berat dari akuisisi bunyi kata-



Dislalia Disfasia



Sedang



kata dan perkembangan bahasa terlambat



ekspresif Disfasia



Berat



Keterlambatan lebih berat dari akuisis dan bahasa,



tuli



gangguan pemahaman bahasa



persepsi Tuli persepsi



Ganggauan pada seluruh kemampuan bahasa



dan tuli sentral



Sangat berat



reseptif dan



Sedangkan Rapin dan Allen (dikutip dari Klein,1991) berdasar patofisiologi, membagi kelainan bahasa pada anak mejadi 6 subtipe, yaitu: 1.



2 primer ekspresif:



-



disfraksia verbal



-



gangguan defisit produksi fonologi



2.



defisit represif dan ekspresif



-



gangguan campuran ekspresif- represif



-



disfasia verbal auditori agnosia



3.



2 defisit bahasa yang lebih berat



-



gangguan leksikal-sintaksis



-



gangguan semantik-pragmatik



Anak dengan disfraksi verbal (afraksia verbal atau gangguan perkembangan bicara ekspresif) mengerti segala sesuatu yang dikatakan padanya, mereka lebih sering menunjuk dari pada bicara. Banyak yang mempunyai riwayat prematur, beberapa menderita disfraksia oromotor (anak ini mengeluarkan air liur dan mempunyai kesulitan mengikuti gerakan mulut). Jika mereka bicara, lebih banyak menggunakan suara vokal dengan gangguan pengucapan konsonan. Anak-anak ini setelah dewasa menjadi afemia. Anak dengan disfraksia verbal kadang-kadang disertai dengan gangguan tingkah laku (autisme). Rehabilitasi pada anak ini lebih memerlukan terapi wicara yang intensif. Beberapa anak bicara dengan kata-kata dan frase yang sulit dimengerti, bahkan pada orang-orang yang selalu kontak dengannya. Sehingga mereka sering marah dan frustasi karena merasa bahwa kata-katanya sulit dimengegerti oleh sekitarnya. Mereka ini tidak ada gangguan dalam pengertian, tetap terdapat gangguan defisit fonologi. Anak yang bicaranya sulit dipahami yang juga menunjukkan adanya gangguan pemahaman terhadap apa yang dikatakan kepadanya, menunjukkan gangguan campuran ekspresif–reseptif. Mereka bicara dalam kalimat yang pendek dan banyak dari mereka yang autistik. Setelah dewasa mereka menjadi afasia (afasia Broca), hanya sedikit yang diketahui bagaimana hal ini bisa terjadi. Beberapa anak mengerti sedikit pada apa yang dikatakan kepadanya, walaupun kadang-kadang mereka mengikuti suatu pembicaraan dengan cara lain, misalnya dengan memperhatikan apa yang dilihatnya. Mereka sangat miskin dalam artikulasi kata-kata. Mereka ini dinamakan disfasia verbal auditori agnosia. Mereka ini termasuk afasia yang didapat, dimana mereka sebelumnya sering kejang dan kehilangan kemampuan berbicara setelah periode perkembangan bahasa yan normal (sindrom Landau Kleffner). Pada EEG anak dengan sindrom ini, akan tampak bitemporal spike. Anak dengan disfasia jenis ini, memproses suara suara yang didengarkan di pusat dengar berbeda dengan anak normal. Stimulasi bahasa akan meperbaiki keadaan, walaupun hasil akhirnya masih belum pasti. Anak dengan gangguan leksikal-sintaksis mempunyai kesulitan dalam menemukan kata-kata yang tepat khususnya saat bercakap-cakap. Mereka tidak gagap dan tidak menghindar untuk berbicara. Gejalanya seperti orang dewasa dengan afasia konduksi, dimana mereka akan berhenti bicara seentar untuk menemuka kata-kata yang tepat. Anak ini biasanya bicara dengan menggunakan kalimat-kalimat yang pendek untuk umurnya. Terapi bicara akan membantu melatih anak mencari kata-kata yang tepat pada saat bicara, tetapi prognosis selanjutnya masih belum banyak diketahui.



Beberapa anak ada yang bicaranya lancar dan dapat menggunakan kata-kata yang tepat, tetapi mereka bicara tanpa henti mengenai satu topik. Mereka tidak mengerti tata bahasa. Gejalanya mirip gangguan bicara pada anak denga hidrosefalus dan oleh Rapi dan Allen disebut gangguan semantik pragmatik. Anak ini pada umumnya menderita gangguan hubungan sosial dan didiagnosis sebagai gangguan perkembangan pervasif. Mereka punya sedikit teman sebaya dan tidak pernah mau belajar aturan permainan dan bicara dari teman sebayanya. Ada baiknya anak ini diajar keterampilan berbicara, bahkan diperlukan psokolog dan ahli terapi tingkah laku. Aram DM (1978) dan Towne (1983), mengatakan bahwa dicurigai adanya gangguan perkembangan kemampuan bahasa pada anak, kalau ditemukan gejala-gejala seperti berikut: 1. Pada usia 6 bulan anak tidak mampu memalingkan mata serta kepalanya terhadap suara yang datang dari belakang atau samping. 2. Pada usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi terhadap panggilan namanya sendiri. 3. Pada umur 15 bulan tidak mengerti dan memberi reaksi terhadap kata-kata jangan, dada, dan sebagainya. 4. Pada usia 18 bulan tidak dapat menyebut 10 kata tunggal. 5. Pada usia 21 bulan tidak memberi reaksi terhadap perintah (misalnya duduk, kemari, berdiri). 6. Pada usia 24 bulan tidak bisa menyebut bagian-bagian tubuh 7. Pada usia 24 bulan belum mampu mengetengahkan ungkapan yang terdiri dari 2 buah kata. 8. Setelah usia 24 bulan hanya mempunyai perbendaharaan kata yang sangat sedikit/tidak mempunyai kata-kata huruf z pada frase. 9. Pada usia 30 bulan ucapannya tidak dapat dimengerti oleh anggota keluarga. 10. Pada usia 36 bulan belum dapat mempergunakan kalimat-kalimat sederhana. 11. Pada usia 36 bulan tidak bisa bertanya dengan kata tanya yang sederhana. 12. Pada usia 36 bulan ucapannya tidak dimengerti oleh orang di luar keluarganya. 13. Pada usia 3,5 tahun selalu gagal untuk menyebutkan kata akhir (ca untuk cat, ba untuk ban, dan lain-lain). 14. Setelah berusia 4 tahun tidak lancar berbicara/gagap. 15. Setelah usia 7 tahun masih ada kesalahan ucapan.



16. Pada usia berapa saja terdapat hipernasalitas atau hiponasaliatas yang nyata atau mempunyai suara yang monoton tanpa berhenti, sangat keras dan tidak dapat didengar serta terus-menerus memperdengarkan suara yang serak. 2. Gangguan Belajar Definisi Gangguan Belajar Gangguan Belajar adalah defisit anak dan remaja di dalam mencapai keterampilan membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran, memberikan alasan, atau matematika yang diharapkan, dibandingkan dengan anak lain berusia sama dan dengan kapasitas intelektual yang sama. Menurut National Joint Comitte on Learning Disabilities (NJLD), gangguan/kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam memperoleh dan menggunakan kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, menulis, mengeluarkan pendapat dan matematika. Kelainan tersebut intrinsik dari individu dan disebabkan karena disfungsi sistem syaraf pusat. Kesulitan belajar ini dapat menyertai kelainan lain seperti kelainan sensoris, retardasi mental, kelainan sosial dan emosional atau pengaruh lingkungan (seperti perbedaan budaya,atau intruksi yang salah dan faktor psikolinguistik), tapi bukan akibat langsung dari kelainan atau pengaruh tersebut. Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Belajar Secara umum faktor – faktor yang menyebabkan gangguan belajar dapat dibagi menjadi dua, yaitu :



1. Faktor Internal Faktor internal ini dapat diartikan faktor yang berasal dari dalam atau yang berasal dari dalam individu itu sendiri, atau dengan kata lain adalah faktor yang berasal dari anak itu sendiri. Faktor-faktor yang termasuk dalam bagian ini, yaitu : a. Inteligensi (IQ) yang kurang baik b. Gangguan ringan pada otak (minimal brain dysfunction) c. Bakat yang kurang atau tidak sesuai dengan bahan pelajaran yang dipelajari atau diberikan oleh guru



d. Faktor emosional yang kurang stabil e. Aktivitas belajar yang kurang. Lebih banyak malas daripada melakukan kegiatan belajar f. Kebiasaan belajar yang kurang baik. Belajar dengan penguasaan ilmu hafalan pada tingkat hafalan, tidak dengan pengertian (insight), sehingga sukar ditransfer ke situasi yang lain g. Penyesuaian sosial yang sulit h. Latar belakang pengalaman yang pahit i. Cita-cita yang tidak relevan (tidak sesuai dengan bahan pelajaran yang dipelajari) j. Latar belakang pendidikan yang dimasuki dengan sistem sosial dan kegiatan belajar mengajar di kelas yang kurang baik k. Ketahanan belajar (lama belajar) tidak sesuai dengan tuntutan waktu belajarnya l. Keadaan fisik yang kurang menunjang. Misalnya cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, dan gangguan psikomotor. Cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta, tuli, hilang tangan dan kaki, dan sebagainya m. Tidak ada motivasi dalam belajar n. Selain faktor di atas, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor kesehatan mental dan tipe-tipe belajar pada anak, yaitu ada anak yang tipe belajarnya visual, motoris dan campuran. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal ialah faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri, meliputi : a. Faktor Keluarga, beberapa faktor dalam keluarga yang menjadi penyebab gangguan belajar pada anak sebagai berikut : 1. Kurangnya kelengkapan belajar bagi anak di rumah, sehingga kebutuhan belajar yang diperlukan itu, tidak ada, maka kegiatan belajar anak pun terhenti untuk beberapa waktu 2. Anak tidak mempunyai ruang dan tempat belajar yang khusus di rumah 3. Perhatian keluarga yang tidak memadai 4. Kedudukan anak dalam keluarga yang menyedihkan. Orang tua yang pilih kasih dalam mengayomi anaknya



b. Faktor sekolah, faktor sekolah yang dianggap dapat menimbulkan gangguan belajar di antaranya : 1. Hubungan guru dengan anak didik kurang harmonis 2. Guru-guru menuntut standar pelajaran di atas kemampuan anak 3. Guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha mendiagnosis kesulitan belajar anak didik 4. Suasana sekolah yang kurang menyenangkan. Jenis-Jenis Gangguan Belajar 1. Gangguan Membaca (Dyslexia) A Definisi Dyslexia Dyslexia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak adekuat, kesulitan dan Lexis/Lexia artinya kata/bahasa. Dyslexia adalah seorang anak yang mengalami gagal belajar membaca yang diakibatkan karena fungsi neurologis (susunan dan hubungan saraf) tertentu, atau pusat saraf untuk membaca tidak berfungsi sebagaimana diharapkan. Di dalam DSM-IV-TR, gangguan membaca didefinisikan sebagai pencapaian membaca di bawah tingkat yang diharapkan untuk usia, pendidikan, dan intelegensi anak; hendaya ini secara signifikan mengganggu keberhasilan akademik atau aktivitas harian yang melibatkan membaca. Gangguan ini ditandai dengan gangguan kemampuan mengenali kata, membaca dengan lambat dan tidak akurat, serta pemahaman yang buruk. Di samping itu, anak dengan gangguan defisit atensi/hiperaktivitas (ADHD) memiliki risiko tinggi gangguan membaca.



B Epidemiologi Dyslexia Suatu perkiraan sebesar 4 persen anak usia sekolah di Amerika Serikat memiliki gangguan membaca; studi prevalensi menemukan angka yang berkisar antara 2 dan 8 persen. Anak laki-laki tiga hingga empat kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan, dilaporkan memiliki ketidakmampuan membaca pada sampel yang dirujuk secara klinis. Studi epidemiologis yang teliti menemukan angka yang hampir sama antara anak laki-laki dan perempuan yang memiliki gangguan membaca. Anak laki-laki dengan gangguan membaca mungkin lebih sering dirujuk untuk evaluasi dibandingkan anak perempuan karena masalah perilaku yang sering terkait.



C Etiologi Dyslexia Etiologi/penyebab dyslexia antara lain : 



Faktor genetik atau keturunan. Penelitian yang dilakukan oleh Gregorenko menghasilkan 20-65% anak dyslexia juga memiliki orangtua yang mengalami kesulitan membaca6. Banyak studi menyokong hipotesis bahwa faktor genetik memainkan peran utama pada adanya gangguan membaca. Studi menunjukkan bahwa 35 hingga 40 persen kerabat derajat pertama anak dengan gangguan membaca juga memiliki derajat tertentu hendaya membaca. Beberapa studi terkini mengesankan bahwa pemahaman fonologis terkait dengan kromosom 6. Lebih jauh lagi, kemampuan identifikasi kata tunggal terkait dengan kromosom 15.







Masalah dalam migrasi neuron/saraf. Penelitian oleh Simos menunjukkan bahwa anak dyslexia memiliki pola aktivitas yang berbeda dengan anak normal, anak normal menggunakan hemisfer kiri sedangkan anak dyslexia menggunakan hemisfer kanan. Insiden gangguan membaca yang lebih tinggi dari rata-rata terdapat pada anak dengan intelegensi normal yang mengalami palsi serebral. Insiden gangguan membaca yang sedikit meningkat terdapat di antara anak-anak yang mengalami epilepsi. Komplikasi selama kehamilan; kesulitan pranatal dan perinatal termasuk prematuritas; dan berat lahir rendah lazim ada di dalam riwayat anak dengan gangguan membaca. Anak dengan lesi otak pasca lahir di lobus oksipital kiri, yang menimbulkan kebutaan lapang pandang, dapat memiliki gangguan membaca sekunder, demikian juga anak dengan lesi di splenium korpus kalosum yang menyekat transmisi informasi visual dari hemisfer kanan yang intak ke area bahasa di hemisfer kiri.



D Gambaran Klinis Dyslexia Anak yang mengalami gangguan membaca biasanya dapat diidentifikasi pada usia 7 tahun (kelas 2). Kesulitan membaca dapat tampak jelas pada anak di dalam kelas saat keterampilan membaca diharapkan diperoleh pada kelas satu. Anak kadang-kadang dapat mengompensasi gangguan membaca pada tingkat dasar awal dengan menggunakan memori dan kesimpulan, terutama ketika gangguan ini disertai dengan intelegensi yang tinggi. Pada keadaan seperti ini, gangguan



bisa tidak terlihat nyata sampai usia 9 tahun (kelas 4) atau lebih. Masalahmasalah yang terkait mencakup kesulitan berbahasa, sering ditunjukkan dengan gangguan diskriminasi bunyi dan kesulitan merangkai kata-kata dengan sesuai. Ciri-ciri anak yang mengalami dyslexia adalah sebagai berikut : 1. Inakurasi dalam membaca seperti membaca lambat kata demi kata jika dibandingkan dengan anak seusianya, intonasi suara turun naik tidak teratur 2. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional 3. Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya antara “kuda” dengan “daku” 4. Ketidakteraturan terhadap kata yang hanya sedikit perbedaannya misalnya “buah” dan “bau” 5. Kesulitan dalam memahami apa yang dibaca, dalam arti anak tidak mengerti apa isi cerita/teks yang dibacanya 6. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata 7. Melakukan penambahan dalam suku kata (Addition), misalnya “batu” menjadi “baltu” 8. Menghilangkan huruf dalam suku kata (Omission), misalnya “masak” menjadi “masa” 9. Membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri kanan (inversion/mirroring), misalnya “dadu” menjadi “babu” 10. Membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik atas bawah (reversal), misalnya “papa” menjadi “qaqa” 11. Mengganti huruf atau angka (substitution) misalnya “lupa” menjadi “luga” atau “3” menjadi “8”.7 Dyslexia termasuk salah satu karakteristik yang dimiliki oleh anak kesulitan belajar dan masuk dalam kategori masalah prestasi akademis. Masalahnya dibagi dalam tiga aspek, aspek yang pertama adalah decoding atau mengalami kesulitan dalam mengubah bahasa tulisan menjadi lisan, misalnya kesulitan dalam menyebutkan huruf-huruf yang membentuk kata topi yaitu t, o, p, dan i. Aspek yang kedua adalah kelancaran (fluency atau reading fluency), adalah kemampuan untuk mengenali kata demi kata dengan cepat, membaca kalimat atau wacana yang lebih panjang, dan dapat dengan mudah menghubungkannya. Aspek yang ketiga adalah mengerti isi bacaan (comprehension).



2. Gangguan Matematika (Dyscalculia) A Definisi Dyscalculia Dyscalculia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak adekuat, kesulitan dan Calculia/Calculare artinya berhitung. Dyscalculia adalah gangguan pada kemampuan kalkulasi secara sistematis, yang dibagi menjadi bentuk kesulitan berhitung dan kesulitan kalkulasi. Biasanya anak juga tidak memahami proses matematis, yang ditandai dengan kesulitan mengerjakan tugas yang melibatkan angka atau simbol matematis. Anak dengan gangguan matematika memiliki kesulitan mempelajari dan mengingat angka, tidak dapat mengingat fakta dasar mengenai angka, dan lambat serta tidak akurat di dalam menghitung. Pencapaian yang buruk di dalam empat kelompok keterampilan telah diidentifikasi di dalam gangguan matematika; keterampilan linguistik (yang terkait dengan pemahaman istilah matematis dan mengubah soal tertulis menjadi simbol matematika), keterampilan persepsi (kemampuan mengenali dan memahami simbol dan mengurutkan serangkaian angka), keterampilan matematis (penambahan, pengurangan, pengalian, pembagian dasar, dan serangkaian operasi matematika dasar), serta keterampilan atensional (menyalin angka dengan tepat serta mengamati simbol-simbol operasional dengan benar). B Epidemiologi Dyscalculia Prevalensi gangguan matematika sendiri diperkirakan terjadi dalam kira-kira 1 persen anak-anak usia sekolah, yaitu kira-kira satu dari lima anak dengan gangguan belajar. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hingga 6 persen anakanak usia sekolah memiliki kesulitan dalam matematika. Gangguan matematika dapat terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada anak perempuan.



C Etiologi Dyscalculia Timbulnya gangguan matematika serupa dengan gangguan belajar lain, cenderung disebabkan setidaknya sebagian oleh faktor genetik. Suatu teori awal mengajukan defisit neurologis di hemisfer serebri kanan, terutama pada area lobus oksipitalis. Regio ini bertanggung jawab untuk memproses stimulus visuospasial yang selanjutnya bertanggung jawab untuk keterampilan matematis.



Saat ini, penyebabnya dianggap multifaktor, sehingga faktor kematangan, kognitif, emosional, pendidikan, dan sosioekonomik turut berperan di dalam berbagai derajat dan kombinasi untuk gangguan matematika. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi gangguan ini, di antaranya adalah sebagai berikut : 



Kelemahan pada proses penglihatan atau visual Anak yang memiliki kelemahan ini kemungkinan besar akan mengalami dyscalculia. Ia juga berpotensi mengalami gangguan dalam mengeja dan menulis dengan tangan







Bermasalah dalam hal mengurutkan informasi Seorang



anak



yang



mengalami



kesulitan



dalam



mengurutkan



dan



mengorganisasikan informasi secara detail, umumnya juga akan sulit mengingat sebuah fakta, konsep ataupun formula untuk menyelesaikan kalkulasi matematis. Jika problem ini yang menjadi penyebabnya, maka anak cenderung mengalami hambatan pada aspek kemampuan lainnya, seperti membaca kode-kode dan mengeja, serta apa pun yang membutuhkan kemampuan mengingat kembali halhal detail 



Fobia matematika Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran matematika bisa kehilangan rasa percaya dirinya. trauma tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya, gurunya suka marah-marah, galak atau memiliki wajah seram sehingga membuat anak-anak menjadi takut dan mengakibatkan dirinya sulit menerima pelajaran tersebut. Selain itu ketakutan yang sebenarnya dari pelajaran matematika adalah anak takut jika jawaban yang didapatkannya salah, karena jawaban yang salah berarti kegagalan sehingga anak dituntut untuk selalu bisa memberikan jawaban yang benar. Padahal jawaban yang salah bukanlah suatu kegagalan, tapi justru bisa membuat anak lebih memahami konsep matematika dan menganalisis pikirannya. Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran matematika bisa kehilangan rasa percaya dirinya. Jika hal ini tidak diatasi segera, ia akan mengalami kesulitan dengan semua hal yang mengandung unsur hitungan.



D Gambaran Klinis Dyscalculia



Gambaran gangguan matematika yang lazim ditemukan mencakup kesulitan dengan berbagai komponen matematika, seperti mempelajari nama angka, mengingat tanda untuk penambahan dan pengurangan, mempelajari tabel perkalian, menerjemahkan soal dalam kata menjadi perhitungan, dan melakukan perhitungan dengan kecepatan yang diharapkan1. Penderita dyscalculia umumnya anak-anak, tetapi tidak secara spesifik menyerang tingkat usia tertentu. Gangguan ini terutama terjadi pada saat anak menginjak umur sekolah sekitar usia 7 tahun. Dyscalculia dapat terdeteksi pada usia tersebut karena pada saat itu anak mulai sekolah dan belajar berhitung. Penderita dyscalculia umumnya memiliki IQ normal, namun ada juga yang IQ nya melebihi rata-rata atau cukup tinggi. Anak dyscalculia dapat berinteraksi normal seperti anak biasa, komunikasi dan sosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya. Artinya dia dapat hidup dengan baik meskipun mengalami kesulitan dalam berhitung. Persoalan yang dihadapi anak dengan dyscalculia lebih pada kehidupannya sehari-hari. Beberapa hal berikut dapat digunakan untuk melihat gejala atau ciri-ciri dyscalculia : 1. Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-kata tertulis 2. Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit menghitung transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang. Seringkali anak tersebut



jadi takut memegang uang, menghindari



transaksi, atau apa pun kegiatan yang harus melibatkan uang 3. Sering sulit membedakan tanda-tanda dalam hitungan 4. Sulit membedakan angka yang mirip, misalnya angka 6 dengan 9, 17 dengan 71 5. Sulit membedakan bangun-bangun geometri 6. Sulit



melakukan



proses-proses



matematis,



seperti



menjumlah,



mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan angka atau urutan 7. Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung serta deret ukur



8. Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan arah. Si anak biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah. 9. Selain gejala tersebut, dyscalculia dapat pula diamati tanda-tanda seperti berikut ini : 10. Proses penglihatan atau visual lemah dan bermasalah dengan spasial (kemampuan memahami bangun ruang). Dia juga kesulitan memasukkan angka-angka pada kolom yang tepat, 11. Kesulitan dalam mengurutkan, misalkan saat diminta menyebutkan urutan angka. 12. Kebingungan menentukan sisi kiri dan kanan 13. Beberapa anak juga ada yang kesulitan menggunakan kalkulator 14. Umumnya memiliki kemampuan bahasa yang normal (baik verbal, membaca, menulis atau mengingat kalimat yang tertulis) 15. Memberikan jawaban yang berubah-ubah (inkonsisten) saat diberi pertanyaan penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian 16. Kesulitan mengingat skor dalam pertandingan olahraga 17. Orang dengan dyscalculia tidak bisa merencanakan keuangannya dengan baik dan biasanya hanya berpikir tentang keuangan jangka pendek 3. Gangguan Ekspresi Tertulis (Dysgraphia) A Definisi Dysgraphia Dysgraphia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak adekuat, kesulitan dan Graphia artinya menulis. Dysgraphia adalah gangguan ekspresi tulisan yang ditandai dengan keterampilan menulis yang secara signifikan di bawah tingkat yang diharapkan untuk usia dan kapasitas intelektual anak. Kesulitan ini mengganggu kinerja akademik dan tuntutan untuk menulis dalam kehidupan sehari-hari. Banyak komponen gangguan ekspresi tertulis mencakup mengeja yang buruk, kesalahan tata bahasa dan tanda baca, serta tulisan tangan yang buruk. B Epidemiologi Dysgraphia Prevalensi gangguan ekspresi tertulis saja belum dipelajari, tetapi gangguan membaca, diperkirakan terjadi pada kira-kira 4 persen anak usia sekolah.



Diperkirakan bahwa rasio gender pada gangguan ekspresi tertulis serupa dengan gangguan membaca, terjadi sekitar tiga kali lebih banyak pada laki-laki. Gangguan ekspresi tertulis sering terjadi bersama dengan gangguan membaca, tetapi tidak selalu. Anak dengan gangguan ekspresi tertulis memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan belajar dan bahasa lainnya termasuk gangguan membaca, gangguan matematika, dan gangguan bahasa ekspresif serta repesitif. ADHD terjadi dalam frekuensi yang lebih tinggi pada anak dengan gangguan ekspresi tertulis dibandingkan populasi umum. Akhirnya, anak dengan gangguan ekspresi tertulis diyakini memiliki risiko tinggi untuk mengalami kesulitan keterampilan sosial, dan beberapa di antaranya terus memiliki kepercayaan diri yang buruk serta mengalami gejala depresif. C Etiologi Dysgraphia Secara spesifik penyebab dysgraphia tidak diketahui secara pasti, namun apabila dysgraphia terjadi secara tiba-tiba pada anak maupun orang dewasa maka diduga disgrafia disebabkan oleh trauma kepala yang mungkin disebabkan kecelakaan, penyakit, dan yang lainnya. Seperti halnya dyslexia, dysgraphia juga disebabkan faktor neurologis, yakni adanya gangguan pada otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Anak mengalami kesulitan dala harmonisasi secara otomatis antara kemampuan mengingat dan menguasai gerakan oto emnulis huruf dan angka. Kesulitan ini tidak terkait dengan masalah kemapuan intelektual, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar. Selain itu, tampaknya faktor genetik memainkan peranan di dalam timbulnya gangguan ekspresi tertulis. Predisposisi herediter terhadap gangguan ini disokong dengan temuan bahwa sebagian besar anak dengan gangguan ekspresi tertulis memiliki kerabat derajat pertama dengan gangguan ini. Anak dengan rentang perhatian yang terbatas dan sangat mudah teralih perhatiannya dapat merasakan bahwa menulis merupakan tugas yang melelahkan. D Gambaran Klinis Dysgraphia Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan dysgraphia, antara lain sebagai berikut : 1. Anak dapat berkomunikasi dengan baik namun bermasalah dalam kemampuan menulis



2. Menggunakan tanda baca yang tidak benar, ejaan yang salah, mengulang kalimat atau perkataan yang sama 3. Salah dalam mengartikan pertanyaan yang diberikan 4. Sulit menulis nomor dalam urutannya 5. Tidak konsisten dalam membuat tulisan yang bervariasi dalam kemiringan huruf dan ukuran tulisan 6. Kalimat atau kata ditulis tidak lengkap dan sering terdapat huruf atau kata yang terlewat 7. Garis dan batas halaman kertas tidak sama antara satu halaman dengan halaman yang lain 8. Jarak antar kata tidak konsisten 9. Menggenggam alat tulis dengan sangat erat, biasanya anak dengan dysgraphia menulis dengan bertumpu pada pangkal lengan dan memegang pensil hingga menempel di kertas 10. Sering berbicara sendiri saat menulis 11. Selalu memperhatikan tangan yang sedang menulis 12. Lambat dalam menulis Anak dengan gangguan ekspresi tertulis memiliki kesulitan di awal sekolahnya dalam mengeja kata-kata dan di dalam mengekspresikan pikirannya sesuai dengan norma tata bahasa yang sesuai usia. Gambaran lazim gangguan ekspresi tertulis ini mencakup kesalahan pengejaan, kesalahan tata bahasa, kesalahan tanda baca, penyusunan paragraf yang buruk, dan tulisan tangan yang buruk. Gambaran lain yang terkait pada gangguan ini mencakup penolakan atau keengganan untuk pergi ke sekolah dan melakukan pekerjaan rumah tertulis yang ditugaskan, kinerja akademik yang buruk di area lain (contoh: matematika), penghindaran umum terhadap pekerjaan sekolah, bolos, defisit atensi, dan gangguan tingkah laku. Banyak anak dengan gangguan ekspresi tertulis menjadi frustasi dan marah karena perasaan kekurangan dan kegagalan kinerja akademik. Pada kasus yang berat, gangguan depresif dapat timbul akibat semakin tumbuhnya rasa isolasi, asing, dan putus asa.



DAFTAR PUSTAKA 1. Soetjiningsih. Gangguan Bicara dan Bahasa Pada Anak, dalam I.G.N.Gde Ranuh (ed): Tumbuh Kembang Anak. EGC, Surabaya, 18, 237-247. 2. Behrman Kliegmar Jenson. Disorders of Hearing, Speech, and Language, dalam Nelson Textbook of Pediatrics, 17th. Saunders, Philadelphia, 2004.



3. Sadock, B.J. & Sadock, V.A. 2004. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Terjemahan Oleh: Profitasari & Nisa, M.T. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, Indonesia. 4. Oemar, Hamalik. 1983. Metoda Belajar dan Kesulitan – Kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito. 5. Kerig, P. K, & Wenar, C. 2006. Developmental Psychopathology: From infancy through adolescence 5th ed. New York: Mc Graw Hill. 6. Mangunsong, Frieda. 2009. Psikologi & Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid I. Jakarta: LPSP3 UI