DIBAWAH POHON RANDU (Mashofi) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DIBAWAH POHON RANDU



SETIDAKNYA DI DESA INI MASIH ADA KUDA. DIHIAS SEPERTI PENGANTIN ATAU LEBIH SEPERTI SEORANG GADIS YANG MENGIKUTI FESTIFAL FASHION SHOW DAN DIARAK KELILING JALAN PROTOKOL. TEGAP SEPERTI RAHWANA, BERSAYAP BAGAI TUNGGANGAN ERLANGGA, JUGA ANGGUN BAK ARJUNA. LENGKAP SUDAH!



“Minto minta disunat!” “Duit dari mana, Mas?” “Ya nanti nyari, Dhek!” “Hanya selamatan saja kan, Mas?” “Ia minta Njenggo1” “Jenggo lagi?” “iyaa…” “Lha duwek teko endi?” “Itu yang sedang kupikirkan” “Njenggo mahal, Mas. Juga sudah tak ada yang minat pula!”



1



Jaran Jenggo: kesenian khas Solokuro (sebuah daerah dipedalaman utara Kabupaten Lamongan) dengan seekor kuda yang dihias dan disuruh menari bersama beberapa pawang. Biasanya terdapat di acara hajatan, terutama sunatan.



“Anakmu yang kepingin. Bukan aku!” “Ya anakmu juga toh?” ……. Seketika rumah itu hening. Obrolan yang sama disudahi kedua pihak tanpa ujung yang ketemu. Seperti sudah terbiasa. Disebuah kampung yang masih padat pohonnya. Rumah itu agak menjorok dipinggir kampung─atau lebih tepatnya dekat dengan hutan. Perdebatan masalah uang dalam keluarga ini adalah sebuah jadwal yang sangat pasti atau hampir setiap malam, ada!. Memang, debat masalah uang dalam keluarga ini sangatlah singkat. Tak lebih dari sepuluh menit. Namun ngiang ditelinganya mungkin abadi. Pada hari itu, anak mereka, Suminto, yang kebetulan selalu diejek oleh teman sebayanya karena telat sunat─bahkan menginjak umurnya yang ke-12 tahun, merasa ejekan dari sebayanya telah lunas memeram dalam otak. Beberapa faktor yang menghambat ke-sunat-an Minto ada dua hipotesa. Pertama, jika ditinjau dari segi ekonomi, maka akan didapatkan sebuah kondisi; lebih mahal harga pohon jati dari pada sekeluarga mereka, bahkan dikali pangkat kuadrat! Itulah yang menghambatnya sunat. Tak mampu bayar mantri!. Kedua, Minto dianggap sebagai public enemy warga kampungnya. Gelar ‘musuh bersama’ didapatnya adalah ketika ia─yang sebagai anak kecil amat bengal─pernah merusak acara pernikahan anak Pak Kades. Simpel saja, ketika prosesi akad nikah berlangsung, tiba-tiba ia─entah datang darimana─ menghampiri mikrofon yang sedang dipegang oleh penghulu ketika sedang merapalkan mantera pernikahan. Dengan gesit Minto menyocorkan mulutnya, seketika pula menghentak dan misuh Jancuuukk!. Suara misuh yang masuk pengeras suara itulah yang membuatnya sebagai simbol aib sekampung. “Pak, Minto kapan disunat?” “Tahun ini, To” “Tahun ini masih sisa lima bulan lagi, Pak”



“Iya, Bapak paham,” ayah Minto seketika merah padam meladeni anaknya yang minta sunat, “Bapakmu ngumpulin duit dulu, Nak!” “Tapi nanggap Jaran Jenggo ya Pak?” “Jenggo mahal, Le,” saut Ibu minto dari dapur, “Lagian anak sebayamu lebih milih lalaran Al-Qur’an saja di musholah sambil tumpengan” “Tapi aku pinginnya njenggo Buk!” Seperti biasa. Minto lari sambil menangis menuju hutan. Dibawah pohon randu yang beberapa tahun terahir menjadi markas bernaung seorang Minto kecil dari keganasan tamparan kedua orangtuanya.



***



Meski Minto dikenal sebagai anak kecil yang sangat nakal dan tidak pernah mencicipi bangku sekolah, ada perilaku aneh Suminto yang perlu sedikit diketahui dalam ceritanya. Begini, Suminto adalah anak tunggal dari sepasang kekasih. Meskipun kehadirannya tidak mendapatkan tempat yang layak dalam keluarga, ia sangat disayang oleh kakeknya yang dua tahun lalu telah meninggalkannya. Minto berkali-kali diajak oleh kakeknya menonton pewayangan dan campursari. Mungkin itulah yang menjadikan Minto lebih senang terhadap kesenian kuno ketimbang hal-hal yang berbau modern selayaknya teman-teman sebayanya. Dirumahnya─dan lebih sering dibawah pohon randu ditengah hutan, ia sering memutar lagu campursari pada tape recorder kecil peninggalan kakeknya. Mungkin itulah harta paling mahal bagi dirinya. Jauh dengan sebayanya yang telah memegang gawai dan bermain game, juga beberapa temannya sedang asyik memutar vidio porno yang diunduh dari internet. Ah, Minto tak akan pernah paham apa itu gawai dan internet. Ia hanya paham bagaimana membuat ketapel, seruling atau terompet dari gulungan daun, dan



memutar-mutar kaset lama peninggalan kakeknya. Ya, kakeknya adalah satusatunya gurunya! Dek jaman berjuang Njur kelingan anak lanang Biyen tak openi Ning saiki ono ngendi …… Terus saja mengalun sampai Minto terlelap. Bah! Orangtuanya tak peduli. Jika ia lapar, pasti pulang! Bapak Ibu Minto tidak akan pernah paham jika keinginannya sunat sembari mengundang grup kesenian Jaran Jenggo adalah demi mengenang mendiang kakeknya. Pada suatu hari, Minto bersama kakeknya pergi ke desa tetangga. Pada saat itu usia Minto baru lima tahun. Di Desa itu tengah berlangsung acara sunatan anak seorang perantau negeri sebrang. Ia menggelar sunatan anaknya dengan arakan Jaran Jenggo dan pula pada masa itu masih lumayan diminati sebelum tersisih dengan orkes dangdut koplo yang sering terjadi tawuran saat ini. Minto dan kakeknya sangat kagum dengan pawang yang menunggangi kudanya sembari kuda itu berjoged mengikuti irama terompet, kendang, dan sesekali selingan rebana khas islami. “Mbah, kalau nanti Minto sunat, mau nanggap Jaran Jenggo ya?!” “Iya To. Nanti Mbah suruh bapak ibumu naggap jenggo,” sanggup kakek Minto yang sambari mengelus dada karena sadar akan kemampuan orangtuanya yang belum disadari Minto hingga kini. Dan lima tahun kemudian, guru semata wayangnya pun tiada. Meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi Suminto kecil. Yang juga belum sunat! Hingga kini!



***



Pagi itu Minto bangun dari tidurnya. Seperti biasa, memutar lagu Dandang Gula. Meski tiada paham maknanya, namun selalu pas didengar telinganya. Orangtuanya tak menghiraukan apa dan makna bunyian itu. Tak lebih berisik dari suara burung dan gergaji kayu. Sembari mengikir geraji dan sang Ibu menghangatkan nasi bekas kemarin, Minto yang selesai mandi menghampiri Bapaknya sambil menenteng tapenya. “Pak, aku kemaren diejek mereka lagi” “Lha kenapa toh Le?.” Sambil nada tinggi Bapaknya mencecar, “Kamu nakal lagi? Berantem lagi?” “Mboten, Pak” “Lha kenapa” “Sebab Minto belum sunat,” sambil merengek, “Katanya nanti manuk Minto dimakan genderuwo!” “Ya wes, bulan depan kamu disunat ya” “Nanggap Jenggo ya Pak?” “Enggak! Tumpengan saja cukup” kata ayah Minto sambil membentak. Seketika Minto mengadu pada Ibunya. Namun nahas, ia memperoleh jawaban yang sama. Dari dulu. Hingga kini. Bahkan nanti. Menangis lagi. Bertanya lagi. Dibentak lagi. Bahkan ditampar. Teman-temannya main game. Minto merengek. Cucu Pak Kades lihat vidio porno terbaru. Minto di dalam hutan. Burung pipit ngoceh. Minto kepingin disunat. Perhutani menebang jati. Ibu Minto masak ketela. K-pop manggung di Jakarta. Minto di bawah randu alas. Orkes koplo OM Monata pentas. Minto hapal Dandang Gula. Bapaknya berkebun. Minto merengek lagi. Nangis lagi. Di tempeleng lagi. Lari ke hutan lagi. Terlelap lagi dibawah pohon randu. Sekolah upacara bendera. Minto ucelucel manuknya. Sebaya belajar aljabar. Bapaknya nyari tela. Ibunya nyari kacang.



Minto



pingin



sunat.



laaa…laaalaa…llaaa…llaaaaa…laaaa… “Brak!”



Daaaannndddaaaannggg



gguuullaaa



Suara bantingan yang akan selalu dikenang Minto dalam hidupnya. Lagu itu musnah. Tiada suara. Berkeping-keping. Pita kaset berserakan. Minto kalap! Bapaknya lebih kalap! Ibunya bingung. Minto lari kedalam hutan dan menghabiskan amukannya dibawah pohon randu. Memaki-maki segala penjuru segala keadaan segala kejadian. Tepat disebuah pohon randu besar dimana tempat berpusara kakeknya .



***



Jarene wis menang Keturutan seng di gadang Mbiyen ninggal janji Ning saiki opo lali ….. Sudah lebih dari sepuluh tahun hilang. Kali terahir Suminto kecil terlihat adalah saat dirinya dan tape recordernya diamuk oleh Bapak dan Ibunya. Kemudian ia lari ke dalam hutan, dicari orang sekampung tiada hasil, bahkan bertahun-tahun dan hingga menjadi mitos kampung. Ada yang bilang ia disunat genderuwo dan diambil anak. Ada juga yang bilang ia sembunyi dalam remang hutan. Ada juga yang parah, ia dibunuh atau dimakan kawanan anjing liar. Ada pula yang mengherankan, sesekali ada teman kampungnya yang bersaksi bahwa pernah melihat remaja yang mirip Suminto saat merantau di Kedah Malaysia. Namun dari kesemua mitos itu ada yang paling menghantui penduduk. Disebuah warung kopi di tengah kampung, waktu itu sehabis isyak, seorang Marno yang berbadan tegap mendadak lari ketakutan dari kebunnya dari dalam hutan. Keringat dinginnya bercucuran. Sambil menggebrak meja. “Adaa…. Adaaa….” Teriak Marno sambil ketakutan ditengah kerumunan orang diwarung.



“Ada apa, Mar?” Tanya seorang temannya. “Ada anak kecil yang naik Jaran Jenggo sambil nembang!” “Ah mosok Mar?” sahut temannya karena tak percaya. “Iya. Sumpah!” “Mana ada orang njenggo jam segini? Gak ada anak yang lagi sunat hari ini, Mar!” ……. Ketoplak-ketoplak-ketoplak….. jarene wes menaaaannngggggg…. Tiba-tiba seisi warung itu hening. Datanglah mimpi buruk! Serombongan. Seekor kuda hias. Lima orang pawang memakai belangkon. Suara terompet. Suara kendang jawa. Seorang anak kecil diatas kuda…. Daanndaaanggg gguuullaaaa….laaa….lllaa…..



***



“Ngiiinggg…. Brakk!” Seketika aku berhenti mengetik saat pintu kamar tertutup keras dengan sendirinya. Bersamaan dengan angin dingin yang mengelus tengkuk leherku. Sambil melihat kanan… kiri… daaann…… *



Lamongan-Jogja, 01, Oktober, 2018 Mashofi Maulana. (cerita ini terinspirasi dari kesenian ‘Jaran Jenggo’ yang hampir punah)