6 2 158 KB
MAKALAH FILSAFAT ILMU
KEPASTIAN DAN KEBENARAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Zulkifli Tryputra NIM: 80300221040 Dosen Pengampu: Dr. Nuryamin, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2022
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anas dan Nukman (2018) menceritakan sebuah kisah tentang seorang buta yang ditanya tentang “apakah gajah itu?”. Lalu didatangkan seekor gajah di hadapannya dan ia memegangnya pada bagian belalai. Si buta menjawab bahwa gajah itu panjang dan lebar.1 Cerita klasik di atas seringkali diutarakan untuk mengawali penjelasan tentang kebenaran. Seorang buta tersebut menjawab sesuai dengan apa yang ia pegang. Lalu, apakah pernyataannya keliru? Ataukah itu dapat disebut sebagai suatu kebenaran? Apakah kita menerima kebenaran bahwa gajah itu panjang dan lebar? Empat abad yang lalu, tepat pada masa kejayaan Galileo sebagai seorang pemikir, gagasan tata surya heliosentris begitu kontroversial sehingga Gereja Katolik mengklasifikasikannya sebagai bid'ah, dan memperingatkan astronom Italia Galileo untuk meninggalkannya. Namun tak mundur, Galileo bahkan rela diburu oleh gereja selama hampir dua dekade karena secara terbuka mempertahankan kepercayaannya pada heliosentrisme.2 Kejadian yang di atas berujung pada hukuman bagi Galileo sebagai tahanan rumah seumur hidup. Peristiwa tersebut menggambarkan perdebatan yang terjadi atas
1
Mohamad Anas & Ilhamuddin Nukman, Filsafat Ilmu: Orientasi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Keilmuan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2018), h. 45. 2
Bernetta, “Galileo Galilei, Si Astronomer yang Dibenci Gereja”, Kuliahdimana.id, 09 September 2021. https://kuliahdimana.id/news/read/726/Galileo-Galilei-Si-Astronomer-yang-DibenciGereja (30 Mei 2022).
3
kebenaran yang diyakini. Mengapa sekelompok orang terlibat dalam perdebatan atas kebenaran? Apakah pencarian kebenaran meniscayakan adanya perselisihan atau konflik? Umat Islam pun tak ketinggalan dengan berbagai konflik dan perdebatan pemikiran. Dalam ilmu kalam (teologi) misalnya, beberapa kelompok berbeda pandangan terhadap dosa besar. Pandangan tersebut terbagi ke dalam beberapa kelompok di antaranya aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.3 Dalam menghadapi berbagai perbedaan tersebut, manusia sepatutnya memastikan dalam dirinya terkait kebenaran yang diyakini. Hanya saja persoalannya: bagaimana memastikan kebenaran yang sejati? Ataukah pada akhirnya kita harus mengakui semua pandangan benar dan jatuh pada pahaman kebenaran yang relatif? Dengan demikian, menjadi penting untuk mengangkat tema “Kepastian dan Kebenaran Ilmu Pengetahuan”. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang sebelumnya, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa perbedaan antara kepastian dan kebenaran? 2. Apa yang dimaksud dengan kepastian ilmu pengetahuan? 3. Apa yang dimaksud dengan kebenaran ilmu pengetahuan?
3
Hasan Basri dkk., Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2006), h. 7-8.
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Perbedaan antara Kepastian dan Kebenaran 1. Definisi Kepastian Dalam Importance of Philosophy, kepastian disebut dengan istilah certainty, yang berarti penerimaan fakta tanpa keraguan.4 Dalam hal ini, kepastian berhubungan erat dengan subjek pengetahuan (manusia). Lain halnya dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. Kepastian diartikan sebagai bentuk pengetahuan tertinggi atau satu-satunya properti epistemik yang lebih tinggi dari pengetahuan.5 Kepastian dipandang sebagai tingkat lanjutan dari pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Sehingga kepastian berhubungan dengan upaya manusia sebagai subjek pengetahuan untuk mengetahui sesuatu secara lebih mendalam (epistemik). Sudiantara (2020) lebih rinci menjelaskan: Pengetahuan merupakan kesadaran subyek (subjek, ed) mengenai obyek yang diketahuinya. Di dalam diri subyek itulah terdapat “terang” yang mampu untuk membedakan obyek dalam hubungan dengan dirinya maupun dari pihak obyek yang seolah-olah bersedia “membuka diri” kepada subyek. Dalam keseluruhan proses pengetahuan tersebut dapat dibedakan antara kepastian dan evidensi. Dalam hal itu evidensi terletak pada pihak obyek dan kepastian ada pada pihak subyek. Evidensi tersebut merupakan terang atau daya kemampuan dari obyek yang menampakkan
4
“Certainty”, Importance of Philosophy. http://www.importanceofphilosophy.com/Episte mology_Certainty.html (31 Mei 2022). 5
“Certainty”, Stanford certainty/ (31 Mei 2022).
Encyclopedia
of
Philosophy.
https://plato.stanford.edu/entries/
5
diri, dan kepastian merupakan keyakinan dari subyek bahwa hal yang dikenalnya sungguh-sungguh obyek yang memang mau diketahuinya.6 Penjelasan
tersebut
menegaskan
bahwa
dalam
proses
terjadinya
pengetahuan, dapat diamati dua sisi, yakni subjek dan objek pengetahuan. Kepastian berada pada sisi subjek yang diartikan sebagai keyakinan terhadap suatu objek yang diketahui. Dan keyakinan tentunya memerlukan data atau bukti (evidensi). Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kepastian berhubungan
erat
dengan
subjektivitas
dalam
diri
manusia.
Kepastian
berhubungan dengan keyakinan, bukan kebenaran. Seseorang yang meyakini sesuatu setelah melalui proses “memastikan”, belum tentu meyakini kebenaran yang sejati. Seperti halnya kaum agamawan Gereja Katolik yang meyakini teori geosentris. 2. Definisi Kebenaran Verhaak dan Haryono dalam Sudiantara menyebutkan bahwa: Kata Yunani untuk "kebenaran" adalah alētheia, yang secara harfiah berarti "tidak tersembunyi" atau "tidak menyembunyikan apa-apa." Kata ini mengindikasikan kalau kebenaran akan selalu ada, selalu terbuka dan tersedia untuk dilihat oleh semua orang. Tidak ada satupun yang tersembunyi atau disamarkan. Kata Ibrani untuk "kebenaran" adalah emeth, yang berarti "keteguhan," "sesuatu yang tetap" dan "kelestarian." Pengertian seperti ini menyiratkan substansi yang kekal; sesuatu yang dapat diandalkan.7 Secara umum, definisi yang standar mengenai kebenaran diartikan sebagai kesesuaian antara pikiran dan kenyataan.8 Kebenaran tidak lagi hanya menyangkut 6
Yosephus Sudiantara, Filsafat Ilmu: Inti Filsafat Ilmu Pengetahuan (Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata, 2020), h. 76. 7 8
Ibid, h.78.
Ibnul Arobi, “Parameter Kebenaran Ilmu Pengetahuan (Sains) Dalam Al-Qur’an”, HUMANISTIKA: Jurnal Keislaman 5, no. 1 (2019): h. 2.
6
tentang manusia sebagai subjek pengetahuan. Dalam kebenaran, subjek pengetahuan akan selalu dikaitkan dengan objek pengetahuan. Suatu hal baru dapat dikatakan kebenaran jika subjek pengetahuan (idealitas) dan objek pengetahuan (realitas) identik satu sama lain. Jika dalam suatu pernyataan disebutkan: “Bapak Ir. Soekarno adalah presiden pertama Republik Indonesia,” maka pernyataan ini benar karena proposisi tersebut sesuai dengan realitasnya. Namun, jika dikatakan: “Bapak Soeharto adalah wakil presiden pertama Republik Indonesia,” maka pernyataan ini keliru (salah) karena Mohammad Hatta yang memegang jabatan tersebut. 3. Kepastian Versus Kebenaran Pertanyaan tentang kebenaran, banyak diperdebatkan oleh para teolog, filsuf maupun ahli logika. Salah satu cara sederhana untuk mempelajari suatu obyek adalah dengan menentukan segala sesuatu yang bisa benar atau salah, termasuk pernyataan/proposisi, kepercayaan, kalimat dan pemikiran.9 Dalam kehidupan, manusia bisa saja menyepakati suatu hal, namun hal itu bertentangan dengan kebenaran. Kesepakatan atas suatu hal bisa saja terjadi atas dasar keyakinan. Hanya saja, proses membentuk keyakinan tersebut dilalui oleh manusia dengan motivasi yang keliru. Hal tersebut lazim terjadi karena kepastian merupakan upaya subjektif yang dilakukan oleh subjek untuk meyakini sesuatu. Seorang pemimpin bisa saja mengatakan kebohongan yang kemudian diyakini oleh rakyatnya. Tetapi, kebenaran tetaplah kebenaran meski tidak diketahui oleh manusia.
9
Yosephus Sudiantara, Filsafat Ilmu: Inti Filsafat Ilmu Pengetahuan (Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata, 2020), h. 76.
7
Kebenaran bukan hanya mengenai apapun yang komprehensif. Sebuah pemaparan yang panjang dan terperinci tetap dapat menghasilkan sebuah kesimpulan yang keliru. Kebenaran tidak ditentukan oleh niat. Niat yang baik pun masih bisa salah. Kebenaran bukan hanya mengenai bagaimana cara seseorang mengetahuinya. Kebenaran adalah mengenai apa yang diketahui. Kebenaran bukan hanya mengenai apapun yang dipercayai. Sebuah dusta yang sudah dijadikan pegangan pun masih tetap dusta. Kebenaran bukan hanya mengenai apapun yang bisa dibuktikan di hadapan publik, sehingga sebuah kebenaran dapat diketahui secara pribadi saja, seperti misalnya lokasi harta karun.10 Berbeda halnya dengan kebenaran. Kepastian tidak berhubungan langsung dengan kenyataan. Kepastian semata-mata ada dalam diri manusia. Tak heran jika kepastian memiliki tingkatan yang ditentukan dari upaya manusia dalam memastikan pengetahuan yang dimiliki. Hal tersebut dapat dipahami melalui ilustrasi yang berkaitan dengan pemahaman manusia tentang “apa itu kehidupan?”. Jika seorang anak berumur 5 tahun ditanya perihal apa itu kehidupan, ia mungkin akan menjawab seputar bermain, es krim, dan hal-hal yang menjadi kegemarannya. Jika kita tanyakan kepada ilmuwan dengan pertanyaan yang sama, ia akan menjawab hal-hal yang berhubungan dengan fokus keilmuannya. Dan jika kita tanyakan kepada agamawan tentang pertanyaan tersebut, tentunya ia akan menjawab hal yang berkaitan dengan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Kepercayaan merupakan ciri khas dari hipotesis dan hipotesis tersebut ada pada pihak subyek. Hipotesis dapat bersifat lemah karena dibuktikan dan dapat
10
Ibid, h. 78.
8
kuat karena sudah melewati porses pembuktian. Semua ini sangat tergantung pada jumlah dan mutu data-data empiris yang ada.11
B. Kepastian Ilmu Pengetahuan Seperti yang disebutkan sebelumnya, kepastian adalah bentuk pengetahuan tertinggi atau satu-satunya properti epistemik yang lebih tinggi dari pengetahuan. Dengan begitu, kepastian dapat dimaknai sebagai perkembangan pengetahuan menuju bentuk yang lebih sempurna. Dikatakan lebih sempurna karena kepastian berhubungan dengan sekuat apa dasar pemikiran seseorang dalam meyakini sesuatu. Menurut Russell dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, terdapat dua macam kepastian: kepastian psikologis (psychological certainty) dan kepastian epistemik (epistemic certainty).12 Pembahasan filsafat lebih mengarah kepada kepastian epistemik daripada kepastian psikologis. Kepastian epistemik disebut juga kepastian objektif, sehingga patut untuk dibedah dalam ranah filsafat karena memiliki objektivitas. Sementara kepastian psikologis disebut kepastian subjektif, hal ini lebih mengarah kepada tingkat keyakinan yang dimiliki seseorang.13 Kepastian psikologis berkaitan dengan perasaan kepastian atau keyakinan akan sesuatu. Inilah yang sedang kita bicarakan ketika kita mengatakan hal-hal seperti "Apakah Anda 100% yakin?". Ada kemungkinan bahwa seseorang secara psikologis 100% yakin bahwa sesuatu itu benar dan sesuatu itu benar-benar salah.14
11
Ibid, h. 79.
12
“Certainty”, Stanford Encyclopedia of Philosophy. https://plato.stanford.edu/entries/ certainty/ (31 Mei 2022). 13
“Certainty”, Wikipedia the Free Encyclopedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Certainty (31 Mei 2022).
9
Adapun kepastian epistemik ialah sifat epistemik keyakinan yang tidak memiliki dasar rasional untuk diragukan oleh seseorang. Salah satu cara standar untuk mendefinisikan kepastian epistemik adalah bahwa suatu keyakinan adalah pasti jika dan hanya jika orang yang memegang keyakinan itu tidak salah dalam memegang keyakinan itu. Definisi umum lainnya tentang kepastian melibatkan sifat tak terbantahkan dari keyakinan tersebut atau mendefinisikan kepastian sebagai milik keyakinan tersebut dengan kemungkinan pembenaran terbesar.15 Kepastian yang kedua ini merupakan hal yang diperbincangkan oleh para filsuf. Jika seseorang yakin secara epistemik, maka seseorang tidak mungkin salah dalam beberapa hal. Jenis kepastian ini juga disebut kepastian cartesian (setelah Descartes), kepastian yang tidak dapat salah dan kepastian yang mutlak. Jenis kepastian ini tidak memiliki derajat.16 Kedua bentuk kepastian tersebut sebenarnya berkaitan erat dengan “pembenaran”. Pengetahuan yang dimiliki manusia perlu memiliki pembenaran dalam dirinya sebagai dasar dari tindakan. Pembenaran berhubungan dengan proses menanamkan rasa yakin ke dalam diri. Selanjutnya, hal itulah yang menjadi dasar dari tindakan manusia.
14
Emil O. W. Kirkegaard, “Psychological and epistemic certainty”, Official Website of Emil O. W. Kirkegaard. https://emilkirkegaard.dk/en/2009/11/psychological-and-epistemic-certainty/ (17 November 2009). 15
“Certainty”, Wikipedia the Free Encyclopedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Certainty (31 Mei 2022). 16
Emil O. W. Kirkegaard, “Psychological and epistemic certainty”, Official Website of Emil O. W. Kirkegaard. https://emilkirkegaard.dk/en/2009/11/psychological-and-epistemic-certainty/ (17 November 2009).
10
C. Kebenaran Ilmu Pengetahuan Jika dikaitkan dengan kualitas pengetahuan, kebenaran berkaitan dengan empat tingkatan pengetahuan, antara lain: 1. Pengetahuan biasa, pengetahuan yang bersifat subjektif. Kebenaran dalam hal ini sangat terikat pada subjek pengenal. 2. Pengetahuan ilmiah, pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan metodologi yang khas pula. Pengetahuan ini melahirkan kebenaran ilmiah yang berarti bahwa suatu kebenaran yang memenuhi syarat atau kaidah ilmiah atau ilmu pengetahuan. 3. Pengetahuan filsafati (filosofis), pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat. Nilai kebenaran yang terkandung ialah kebenaran filosofis yang bersifat spekulatif. 4. Pengetahuan agama, pengetahuan yang sifatnya dogmatis dan berhubungan dengan suatu keyakinan tertentu. Pengetahuan ini menghasilkan kebenaran agama (mutlak).17 Kebenaran ilmu pengetahuan (ilmiah) berkaitan dengan jenis pengetahuan yang kedua. Kebenaran ilmu pengetahuan bersifat objektif, relatif, dan tentatif. 18 Kebenaran ini bersifat objektif karena tidak didasari oleh perasaan atau asumsi pribadi, melainkan kesimpulan ilmiah melalui metodologi disepakati keilmiahannya. Kebenarannya juga bersifat relatif karena selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan kata lain, kebenarannya selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian paling akhir dan 17
Abdul Chalik, Filsafat Ilmu: Pendekatan Kajian Keislaman (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2015), h. 47-48. 18
Ibid, h. 47.
11
mendapatkan persetujuan (agreement) oleh para ilmuwan di bidangnya.19 Sementara sifat tentatif (sementara) pada kebenarannya diakibatkan oleh sebelum adanya kebenaran ilmu yang dapat menolak kesimpulan, maka kesimpulan itu dianggap benar. Sebaliknya, kesimpulan yang dapat menolak kesimpulan ilmiah terdahulu menjadi kebenaran yang baru. Latif menguraikan bahwa: Konrad Kebung memberikan tiga sifat esensial kebenaran ilmiah, yakni: Pertama, struktur yang rasional-logis. Esensi di mana kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan logis atau rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, maka semua orang yang rasional dapat memahami kebenaran ilmiah. Oleh sebab itu, kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran universal. Sifat rasional (rationality) harus dibedakan dengan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama berlaku untuk kebenaran ilmiah, sedangkan masuk akal biasanya berlaku bagi kebenaran tertentu di luar lingkup pengetahuan. Kedua, isi empiris. Esensi kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada, bahkan Sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah, berkaitan dengan kenyataan empiris di ala mini. Hal ini tidak berarti bahwa dalam kebenaran ilmiah spekulasi tetap ada, namun sampai tingkat tertentu spekulasi suatu pernyataan dianggap benar secara logis, perlu dicek apakah pernyataan tersebut juga benar secara empiris. Ketiga, isi pragmatis (dapat diterapkan). Esensi sifat pragmatis berusaha menggabungkan kedua sifat kebenaran sebelumnya. Artinya, jika suatu pernyataan benar dinyatakan benar secara logis dan empiris, maka pernyataan ini juga harus berguna bagi kehidupan manusia.20 Sifat yang diuraikan di atas dapat menjadi sifat yang harus terkandung dalam suatu kebenaran ilmiah. Kehilangan satu sifatnya berarti menghilang predikat kebenaran terhadap sesuatu. Kebenaran juga tidak luput dari pengujian. Pengujian tersebut tentunya sangat terikat pada teori atau metode yang berfungsi sebagai
107.
19
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu (Bogor: PT Penerbit IPB Press, 2016), h. 103.
20
Mukhtar Latif, Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu (Jakarta: Kencana, 2014), h.
12
penunjuk jalannya. Ada beberapa teori terkait kriteria kebenaran ilmiah, di antaranya: teori korespondensi, teori koherensi, dan teori pragmatisme (pragmatik).21 Teori Korespondensi (the correspondence theory of truth) menjelaskan bahwa suatu kebenaran atau suatu keadaan benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu oertanyaan atau pendapat dengan objek yang dituju atau dimaksud oleh pernyataan atau pendapat itu. Berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran atau keadaan dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dan fakta atau kenyataan
yang
berhubungan.
Apabila
keduanya
terdapat
kesesuaian
(correspondence), maka preposisi ini dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran.22 Teori koherensi (the coherence theory of truth) merupakan teori yang menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (tes) atas arti kebenaran. Suatu keputusan benar apabila putusan itu konsisten dengan putusan yang lebih dahulu kita terima, dan kita ketahui kebenarannya.23 Selanjutnya teori pragmatic (the pragmatic theory of truth). Menurut William James, pragmatik berasal dari bahasa Yunani ‘pragma’, yang berarti tindakan atau action. Dari istilah practice dan practical dikembangkan dalm bahasa Inggris. Pandangannya yaitu suatu proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat digunakan atau bermanfaat.24
21
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu (Bogor: PT Penerbit IPB Press, 2016), h. 44.
22
Mukhtar Latif, Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu (Jakarta: Kencana, 2014), h.
103. 23
24
Ibid, h. 102-103. Ibid, h. 104.
13
Melalui ketiga teori di atas, kebenaran suatu ilmu pengetahuan dapat diuji. Beberapa pakar lain menyebutkan lima bahkan tujuh teori lainnya. Hanya saja ketiga teori inilah yang disepakati secara umum.
14
BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. Kepastian merupakan keyakinan dari subjek pengetahuan bahwa hal yang dikenalnya sungguh-sungguh objek yang memang mau diketahuinya. Sedangkan kebenaran diartikan sebagai kesesuaian antara pikiran dan kenyataan. Dalam artian, kebenaran adalah keidentikan antara subjek dan objek pengetahuan. 2. Terdapat dua macam kepastian: kepastian psikologis (psychological certainty) dan kepastian epistemik (epistemic certainty). Kepastian epistemik disebut juga kepastian objektif, sehingga patut untuk dibedah dalam ranah filsafat karena memiliki objektivitas. Sementara kepastian psikologis disebut kepastian subjektif, hal ini lebih mengarah kepada tingkat keyakinan yang dimiliki seseorang. 3. Tiga sifat esensian kebenaran ilmiah yaitu struktur yang rasional-logis, isi empiris, dan bersifat pragmatis. Adapun teori yang digunakan untuk menguji kebenaran ilmiah antara lain: teori korespondensi, teori koherensi, dan teori pragmatik.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anas, Mohamad dan Ilhamuddin Nukman. Filsafat Ilmu: Orientasi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Keilmuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2018. Arobi, Ibnul. “Parameter Kebenaran Ilmu Pengetahuan (Sains) Dalam Al-Qur’an”. HUMANISTIKA: Jurnal Keislaman 5, no 1 (2019): h. 1-12. Basri, Hasan dkk. Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran. Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2006. Bernetta. “Galileo Galilei, Si Astronomer yang Dibenci Gereja”. Kuliahdimana.id, 09 September 2021. https://kuliahdimana.id/news/read/726/Galileo-Galilei-SiAstronomer-yang-Dibenci-Gereja (30 Mei 2022). “Certainty”. Importance of Philosophy. http://www.importanceofphilosophy.com/ Epistemology_Certainty.html (31 Mei 2022). “Certainty”. Stanford Encyclopedia of Philosophy. https://plato.stanford.edu/entries/ certainty/ (31 Mei 2022). “Certainty”. Wikipedia the Free Encyclopedia. https://en.wikipedia.org/wiki/ Certainty (31 Mei 2022). Chalik, Abdul. Filsafat Ilmu: Pendekatan Kajian Keislaman. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2015. Kirkegaard, Emil O. W. “Psychological and epistemic certainty”. Official Website of Emil O. W. Kirkegaard. https://emilkirkegaard.dk/en/2009/11/psychologicaland-epistemic-certainty/ (17 November 2009). Latif, Mukhtar. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Kencana, 2014. Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: PT Penerbit IPB Press, 2016. Sudiantara, Yosephus. Filsafat Ilmu: Inti Filsafat Ilmu Pengetahuan. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata, 2020.