Draft Kolokium-Muhammad Iqbal Akbar [PDF]

  • Author / Uploaded
  • iqbal
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TEMBAKAU (Nicotiana tabacum L.) SEBAGAI TANAMAN SELA PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TBM III DENGAN APLIKASI BUTRALIN



SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran



Muhammad Iqbal Akbar (150510170061)



UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN JATINANGOR 2022



LEMBAR PENGESAHAN Judul



: Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.) sebagai Tanaman Sela pada Pertanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) TBM III dengan Aplikasi Butralin



Nama Penyusun



: Muhammad Iqbal Akbar



NPM



: 150510170061



Program Studi



: Agroteknologi



Minat



: Budidaya Pertanian



Jatinangor, Juni 2022 Menyetujui dan Mengesahkan, Ketua Komisi Pembimbing



Dr.Ir. Cucu Suherman VZ M.Si. NIP. 196010051988031005



Anggota Komisi Pembimbing



Dr.agr. Mochamad Arief Soleh, S.P., M.Agr.Sc NIP. 19800408 2006041002



Mengetahui, Ketua Program Studi Agroteknologi



Dr. Muhammad Amir Solihin, SP., MT. NIP. 197407042003121001



KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan atas berkah dan rahmat yang diberikan oleh Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.) sebagai Tanaman Sela pada Pertanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) TBM III dengan Aplikasi Butralin”. Penulisan skripsi ini bertujuan sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar strata I (sarjana) pada Program Studi Agroteknologi di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan segala kerendahan hati kepada Yang Terhormat: 1.



Dr. Ir. Cucu Suherman VZ M.Si., sebagai Dosen Pembimbing pertama dan Dr.agr. Mochamad Arief Soleh, S.P., M.Agr.Sc, sebagai Dosen Pembimbing kedua yang telah memberikan pengarahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.



2.



Dr. Mira Ariyanti, S.P., M.P., sebagai Penelaah dan Eso Solihin, S.P., M.P., sebagai Penelaah juga sebagai dosen wali yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.



3.



Dr. Muhammad Amir Solihin, SP., MT. selaku Kepala Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.



4.



Seluruh dosen dan staf pengajar Fakultas Pertanian yang sudah memberikan banyak ilmu serta pengalaman yang sangat bermanfaat bagi penulis.



5.



Rekan penelitian yaitu Hukman atas bantuan, semangat, serta dukungannya.



6.



Irfan, Thoriq, Lutfi, Gumay, Sandy, Intan, Bintang, Farid, Lham, Bang Alfin, Bilbul, serta Rekan bisnis di Taichan Goreng WB dan Faust Coffee yang telah memberikan doa, bantuan, semangat, serta dukungan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.



Ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada Ayahanda Romdhoni dan Ibunda Neneng Munfarida serta Adik Emillia Isni Maulidina dan anggota keluarga penulis atas do’a, semangat, dan dukungan moril maupun materil yang diberikan selama penyusunan usulan penelitian ini. Akhir kata, semoga draft usulan penelitian ini dapat dijadikan panduan untuk melaksanakan penelitian dan bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.



Jatinangor, Juni 2022



Penulis



ABSTRAK Muhammad Iqbal Akbar. 2022. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.) sebagai Tanaman Sela pada Pertanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) TBM III dengan Aplikasi Butralin. Dibimbing oleh Cucu Suherman VZ dan Mochamad Arief Soleh. Produksi tembakau yang tinggi dipengaruhi oleh pemangkasan tunas ketiak daun yang baik dan benar, namun pemangkasan tersebut memiliki resiko penyakit dan membutuhkan biaya yang tinggi. Solusi yang dapat dilakukan diantaranya yaitu penggunaan butralin sebagai zat pengatur tumbuh tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh butralin terhadap pertumbuhan dan hasil tembakau yang ditanam pada pertanaman kelapa sawit TBM III serta untuk mengetahui konsentrasi butralin yang memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil tembakau yang ditanam pada pertanaman kelapa sawit TBM III. Percobaan dilaksanakan pada bulan November – Maret 2021, di kebun percobaan Ciparanje, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor dengan ketinggian ± 752 mdpl. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan yang diulang sebanyak 4 kali. Perlakuan yang diuji yaitu kontrol, aplikasi butralin 5 ml/L, aplikasi butralin 10 ml/L, aplikasi butralin 15 ml/L, aplikasi butralin 20 ml/L, aplikasi butralin 25 ml/L, aplikasi butralin 30 ml/L. Hasil percobaan menunjukan aplikasi butralin 10 ml/L memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil tembakau yang ditanam pada pertanaman kelapa sawit TBM III. Kata kunci : Tunas Ketiak Daun, Butralin, Tembakau



v



ABSTRACT Muhammad Iqbal Akbar. 2022. Growth and Yield of Tobacco Plants (Nicotiana tabacum L.) as Intercrops on Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) cultivation at 3rd Immature Plant with Butraline Application. Supervised by Cucu Suherman VZ and Mochamad Arief Soleh. High production of tobacco can be influenced by proper pruning of axillary shoots, but maintaining these plants has a risk of disease and requires high costs. Solutions that can be done include the use of butraline as a plant growth regulator. The purpose of this study was to determine effect of butraline on the growth and yield of tobacco grown on oil palm cultivation at 3rd Immature Plant and to determine the concentration of butraline which gave the best results on growth and yield of tobacco grown in TBM III oil palm plantations. The experiment was carried out in November – March 2021, in the Ciparanje experimental garden, Faculty of Agriculture, Padjadjaran University, Jatinangor with an altitude of ± 752 meters above sea level. The experiment used a Randomized Block Design (RAK) with 7 treatments which were repeated 4 times. The treatments tested were control, 5 ml/L butraline application, 10 ml/L butraline application, 15 ml/L butraline application, 20 ml/L butraline application, 25 ml/L butraline application, 30 ml/L butraline application. The experimental results showed that the application of butraline 10 ml/L gave the best effect on the growth and yield of tobacco grown in TBM III oil palm plantations. Keyword : Leaf Axillary Shoots, Butraline, Tobacco



6



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN



2



KATA PENGANTAR



3



ABSTRAK



5



ABSTRACT



6



DAFTAR ISI



7



DAFTAR TABEL



9



DAFTAR GAMBAR



10



DAFTAR LAMPIRAN



11



BAB I PENDAHULUAN



1



1.1 Latar Belakang



1



1.2 Identifikasi Masalah



2



1.3 Tujuan Penelitian



2



1.4 Kegunaan Penelitian



3



1.5 Kerangka Pemikiran



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



8



2.1 Tanaman sela



8



2.2 Tembakau



9



2.3 Kelapa sawit



11



2.4 Butralin



13



BAB III BAHAN DAN METODE



15



3.1 Waktu dan Tempat Penelitian



15



3.2 Alat dan Bahan



15



3.3 Rancangan Penelitian



15



3.3.1 Rancangan Percobaan



15



3.3.2 Rancangan Perlakuan



17



3.3.3 Rancangan Analisis



17



3.4 Pelaksanaan Penelitian



18



3.5 Pengamatan percobaan



21



3.5.1 Pengamatan Penunjang



22



7



3.5.2 Pengamatan Utama



22



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



25



4.1 Pengamatan Penunjang



25



4.1.1 Cuaca di Lahan Percobaan



25



4.1.2 Data Pertumbuhan Kelapa Sawit Monokultur dan Kelapa Sawit Tumpangsari



27



4.2 Pengamatan Utama



28



4.2.1 Tinggi Tanaman



28



4.2.2 Jumlah Daun



29



4.2.3 Luas Daun



31



4.2.4 Jumlah Tunas Ketiak Daun



32



4.2.5 Diameter Batang



34



4.2.6 Konduktansi Stomata



36



4.2.7 Indeks Klorofil



37



4.2.8 Bobot Basah Daun



39



BAB V PENUTUP



41



5.1 Kesimpulan



41



5.2 Saran



41



DAFTAR PUSTAKA



42



LAMPIRAN



46



8



DAFTAR TABEL Nomor



Judul



Halaman



Tabel 1. Tinggi tanaman (cm) tembakau pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Tabel 2. Jumlah daun (helai) tembakau pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Tabel 3. Rata-rata luas daun ke-5, ke-10, dan ke-15 (cm2) pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Tabel 4. Jumlah tunas ketiak daun (buah) pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Tabel 5. Diameter batang (cm) pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Tabel 6. Konduktansi stomata (mmol/m2s) pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) 36 Tabel 7. Indeks klorofil (CCI) pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L)



9



DAFTAR GAMBAR Nomor



Judul



Halaman



Gambar 1 Grafik Iklim Lahan Percobaan



10



DAFTAR LAMPIRAN Nomor



Judul



Halaman



Lampiran 1. Tata letak percobaan Lampiran 2. Data iklim lahan percobaan



43 43



11



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tembakau sebagai salah satu tanaman tropis asli benua Amerika, tembakau digunakan sebagai bahan pengobatan dan untuk upacara adat oleh bangsa pribumi. Tembakau digunakan pertama kali di Amerika Utara, dan masuk ke Eropa melalui Spanyol (Basyir, 2006). Pada abad ke-16 tanaman tembakau diperkirakan dibawa oleh bangsa Portugis ke Indonesia. Tembakau di Indonesia menjadi salah satu tanaman introduksi yang sudah banyak dibudidayakan di berbagai daerah seperti Temanggung, Selopuro, Kendal, atau Sumedang. Tanaman tembakau banyak dibudidayakan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2014), luas areal tanam tembakau pada perkebunan rakyat di wilayah Jawa pada tahun 2015 yaitu 152.900 ha. Luas tersebut adalah 79% dari keseluruhan luas areal tanam tembakau, dimana total luas areal yaitu 194.336 ha. Tembakau juga berkontribusi terhadap penerimaan negara melalui CHT (Cukai Hasil Tembakau) yang sangat signifikan dalam kurun waktu 2015-2019. Kenaikan penerimaan negara yang signifikan tersebut senilai 139,9 triliun rupiah pada tahun 2015 dan meningkat di tahun 2019 menjadi senilai 164,9 triliun rupiah (Nurcahyo, 2020). Produksi hasil daun tembakau dapat ditingkatkan dengan menggunakan sistem pola tanam ganda. Salah satu dari 3 tipe pokok sistem tanam ganda menurut Mangoendidjojo (1983) yaitu pola tanam sela dapat diaplikasikan pada tembakau. Pola tanam sela adalah suatu bentuk pola tanam polyculture 1



(campuran) yang dilakukan antara jenis tanaman semusim dengan tanaman tahunan. Sistem ini biasanya dilakukan pada tanaman perkebunan atau tanaman kehutanan, misalnya perkebunan kelapa sawit, karet atau jati. Pada sistem ini tanaman semusim ditanam sewaktu tanaman tahunan masih kecil dan belum produktif Kelapa sawit spesies Elaeis guineensis adalah tanaman industri dan tanaman perkebunan yang berasal dari Afrika barat, di daerah antara Angola dan Gambia. Kelapa sawit berguna baik sebagai penghasil minyak goreng, minyak industri, maupun bahan bakar sehingga menyebabkan tingginya permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun pada akhir abad ke-19, setelah era revolusi industri (Dinas Perkebunan Indonesia, 2007). Sama halnya seperti tembakau, di Indonesia kelapa sawit juga memberikan keuntungan finansial bagi negara dikarenakan kelapa sawit merupakan salah satu penghasil devisa negara, dan juga menyerap banyak tenaga kerja bagi masyarakat Indonesia (Indarti, 2014). Hal tersebut menjadi suatu hal positif yang perlu dipertahankan dengan pemeliharaan tanaman kelapa sawit. Penurunan kuantitas dan kualitas pada perkebunan kelapa sawit adalah berupa penurunan produksi tandan buah segar (TBS), peningkatan serangan hama dan penyakit, gangguan tata guna air, dan secara umum akan meningkatkan biaya usaha tani (Pahan, 2006). Pengendalian gulma menjadi salah satu pemeliharaan kebun kelapa sawit karena gulma dapat menyebabkan kerugian dalam usaha tani kelapa sawit. Pertumbuhan gulma pada pertanaman kelapa sawit harus ditekan sehingga produktivitas tanaman optimal. Penanaman tembakau sebagai tanaman



2



sela pada pertanaman kelapa sawit dapat diterapkan untuk membantu menekan pertumbuhan gulma serta optimalisasi lahan kelapa sawit. Penanaman tembakau sebagai tanaman sela pada areal kosong di pertanaman kelapa sawit TBM III, selain dapat menghambat pertumbuhan gulma juga dapat memberikan nilai tambah yang menguntungkan (Armaini & Yoseva, 2012). Penanaman tembakau pada lahan kelapa sawit menjadikan dalam satu lahan terdapat lebih dari satu jenis tanaman atau biasa disebut sebagai pola tanam tumpang sari. Penerapan pola tanam tumpang sari dapat meningkatkan produktivitas lahan, jenis komoditas yang dihasilkan beragam, pemakaian sarana produksi lebih hemat dan resiko kegagalan dapat diperkecil, sehingga lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem monokultur (Sasmita et al., 2014). Produksi hasil daun tembakau yang melimpah didukung dengan kegiatan pemeliharaan yang tepat, salah satunya adalah pemangkasan tunas ketiak daun (suckering). Tunas ketiak daun tumbuh setelah dilakukan pemangkasan pucuk (topping) akibat dominansi apikal. Tunas ketiak daun akan bersaing terhadap daun utama untuk nutrisi dan sinar matahari. Keberadaaan tunas ketiak ini juga akan membuat tanaman lebih rimbun sehingga menjadi sarang OPT (Bakht et al., 2007). Pemangkasan tunas ketiak daun dapat menjadi pekerjaan yang sangat memakan waktu dan membutuhkan banyak tenaga kerja jika dilakukan secara mekanik dengan menggunakan tangan. Tunas ketiak daun yang dihilangkan dengan cara dipangkas dapat menimbulkan kontaminasi penyakit pada bekas pangkasan. Solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan suckering secara kimiawi, yaitu dengan menggunakan butralin.



3



Suckering secara kimiawi pada tembakau menggunakan zat penghambat tumbuh tunas ketiak daun atau biasa disebut dengan suckercide. Butralin merupakan suckercide yang bersifat lokal sistemik, dapat berpotensi untuk menaikan hasil produksi tembakau dengan biaya yang relatif lebih murah (Longwee, 2013). Anjuran konsentrasi yang diberikan untuk butralin pada Tobago 240 EC untuk satu dosis pemakaian produk adalah 10-20 ml/l air untuk kultivar virginia dan 2025 ml/L air untuk kultivar lokal. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan



pemaparan



latar



belakang,



maka



permasalahan



untuk



diidentifikasi yakni sebagai berikut: 1. Apakah terdapat pengaruh butralin sebagai zat penghambat pertumbuhan tunas ketiak daun tembakau terhadap pertumbuhan dan hasil tembakau yang ditanam pada pertanaman kelapa sawit TBM III. 2. Apakah



terdapat



konsentrasi



butralin



sebagai



zat



penghambat



pertumbuhan tunas ketiak daun tembakau yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil tembakau yang ditanam pada pertanaman kelapa sawit TBM III? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui seberapa efektif penggunaan butralin terhadap pertumbuhan dan hasil tembakau yang ditanam pada pertanaman kelapa sawit TBM III. 2. Mengetahui konsentrasi butralin yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil tembakau yang ditanam pada pertanaman 4



kelapa sawit TBM III. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah: 1. Sebagai salah satu acuan bagi petani tembakau dalam penggunaan butralin dengan konsentrasi terbaik untuk mengurangi aktivitas tunas ketiak daun sehingga mendapatkan pertumbuhan dan hasil produksi tanaman tembakau yang optimal. 2. Sebagai bahan masukan bagi petani tembakau dalam rangka usaha peningkatan produktivitas lahan kelapa sawit TBM III, khususnya dalam penggunaan tanaman tembakau sebagai tanaman sela guna menekan pertumbuhan gulma. 1.5 Kerangka Pemikiran Tembakau yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan agronomisnya. Ditinjau berdasarkan lingkungan fisik, terutama iklim mikro maka syarat yang diperlukan untuk menghasilkan daun tembakau berkualitas diantaranya adalah intensitas sinar matahari yang rendah, yaitu hanya berkisar antara 61-69% saja (Sudaryono, 2004). Hal tersebut dikarenakan pada intensitas sinar matahari yang tinggi, laju transpirasi pada tanaman akan menjadi tinggi yang mana menyebabkan tanaman akan kekurangan air yang dapat berakibat pengkerdilan sehingga tanaman tembakau akan membentuk semacam lapisan lilin pada daun sehingga daun menjadi tebal dan lebih kecil. Keadaan daun tembakau seperti itu termasuk pada kualitas daun tembakau yang rendah, sehingga intensitas



5



sinar matahari sangat perlu diperhatikan (Sudaryono, 2004). Daun tembakau kualitas Dekblad adalah daun tembakau dengan tingkat kualitas terbaik dengan kriteria daun yang tipis dan daun yang lebar. Daun tembakau kualitas Dekblad, memiliki nilai ekonomis yang paling tinggi dibandingkan dengan kualitas lainnya sehingga menuntut kualitas daun tembakau yang tinggi (Nisa et al., 2017). Intensitas sinar matahari pada tanaman tembakau agar tetap rendah, dapat dilakukan dengan menggunakan sistem tanam tumpang sari dengan tanaman yang memiliki tajuk lebar seperti kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit memiliki tajuk lebar sehingga dapat menaungi areal lahan di sekitarnya. (Asadi et al., 1991) menyebutkan bahwa kanopi dari pertanaman kelapa sawit berumur 2-3 tahun memberikan naungan sebanyak 33-50%. Kelapa sawit memiliki jarak tanam yaitu 9 m x 9 m, dimana area antar tanaman memiliki luasan yang cukup untuk dapat dimanfaatkan sehingga produktivitas lahan kelapa sawit meningkat. Hasil penelitian memberikan informasi bahwa lahan kelapa sawit TBM III memiliki ruang tumbuh yang masih kosong sebesar 65% (Sarwendah, 2015). Lahan kosong pada areal pertanaman kelapa sawit tersebut dapat menjadi salah satu alternatif untuk budidaya tembakau melalui sistem tumpang sari dikarenakan lingkungan agronomi yang mendukung untuk pertumbuhan tembakau, khususnya dalam membantu mengurangi intensitas sinar matahari yang diterima oleh tanaman tembakau. Perbedaan morfologi tanaman kelapa sawit dan tembakau serta umur panen menjadi pendukung kombinasi kedua tanaman dalam sistem tanam tumpang sari. Kelapa sawit memiliki jenis akar serabut sedangkan tembakau memiliki jenis akar



6



tunggang, memungkinkan pola tanam tumpang sari dapat dilakukan. Sistem tanam tumpang sari ini bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan agar faktor tumbuh tanaman seperti hara, air dan sinar matahari mendukung pertumbuhan tanaman lebih optimal. Menurut Handayani (2011), kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas biologis yaitu kondisi dimana keanekaragaman mikroba dalam tanah memiliki jumlah yang seimbang sehingga dapat menekan serangan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dan kesuburan tanah (Handayani, 2011). Penelitian yang dilakukan pada tanaman tembakau di beberapa daerah di Jawa Tengah yang ditumpangsarikan dengan gandum memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan tembakau dibandingkan dengan penanaman tembakau monokultur (Handayani, 2010). Penanaman tembakau pada lahan kelapa sawit sebagai tanaman sela, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan kelapa sawit serta dapat mengurangi intensitas sinar matahari yang diterima tembakau agar dapat menghasilkan daun tembakau yang berkualitas. Selain pengaturan intensitas sinar matahari, pemangkasan tunas pada tembakau berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman di lahan dan penentu hasil tanaman. Pemangkasan pada tembakau dibagi menjadi 2 yaitu pemangkasan bunga (topping) dan pemangkasan tunas ketiak daun (suckering). Pemangkasan bunga dan tunas ketiak mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mengefisienkan penggunaan zat hara dan menjaga kualitas daun agar tetap baik (Setiawan & Trisnawati, 1993). Topping dan suckering akan menyebabkan asimilat terakumulasi pada jaringan vegetatif (Hartono, 2011). Pemangkasan bunga



7



tersebut membuat jalur translokasi asimilat dan biosintesa lainnya terputus, sehingga



yang



seharusnya



ditujukan



untuk



jaringan



generatif



menjadi



dialokasikan ke jaringan vegetatif. Beberapa hari setelah dilakukan pemangkasan bunga, akan tumbuh tunas samping pada setiap ketiak daun. Pembuangan tunas samping menyebabkan daun tembakau akan menjadi lebih panjang, lebar dan tebal (Hartono, 2011). Pemangkasan bunga dan pembuangan tunas ketiak daun yang dilakukan oleh petani pada umumnya adalah dengan cara dipotong menggunakan gunting pangkas ataupun dengan tangan secara langsung, sehingga meninggalkan



luka



pada bagian



yang dipotong.



Luka tersebut



dapat



mengakibatkan tanaman mengalami infeksi sehingga pertumbuhan terhambat. Pembuangan tunas ketiak daun yang dilakukan secara kimia dengan menggunakan butralin diharapkan mampu menekan resiko infeksi patogen pada luka bekas pangkasan yang akan menimbulkan penyakit pada tembakau. Pembuangan tunas ketiak daun secara kimiawi juga dapat mengurangi tenaga kerja di lapangan karena penggunaannya yang efisien dan praktis dibandingkan dengan pembuangan tunas ketiak daun secara mekanik. Pembuangan tunas ketiak daun secara kimiawi dilakukan dengan aplikasi butralin yaitu zat pengatur tumbuh yang bersifat menghambat pertumbuhan tunas tersebut (sucker control). Hal tersebut dapat menjadi alternatif yang cukup baik dalam mengendalikan tunas samping pada tembakau (Hartono, 2011). Penelitian pada Tobacco Research Center di khan Gardi, Mardan butralin dapat mengurangi jumlah tunas ketiak daun sebesar 56,6% dan menaikan jumlah hasil produksi daun sebesar 6,4% pada



8



konsentrasi 12 ml/L sebagai suckercide dibandingkan secara mekanik (Bakht et al., 2007). 1.6 Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Butralin sebagai zat penghambat pertumbuhan tunas ketiak daun tembakau berpengaruh terhadap pertumbuhan dan



hasil tembakau (Nicotiana



tabacum L.) yang ditanam sebagai tanaman sela pada pertanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) TBM III. 2. Terdapat dosis butralin sebagai zat penghambat pertumbuhan tunas ketiak daun tembakau yang memberikan pengaruh terbaik terhadap penekanan pertumbuhan tunas ketiak daun dalam meningkatkan produksi tembakau (Nicotiana tabacum L.) yang ditanam sebagai tanaman sela pada pertanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) TBM III.



9



10



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman sela Tumpangsari adalah penanaman dua atau lebih jenis tanaman secara berdekatan pada lahan yang sama dan terdapat interaksi diantara tanaman tersebut. Tumpangsari bertujuan untuk meningkatkan potensi lahan dan produksi hasil tanaman sehingga lebih produktif dibandingkan dengan sistem monokultur, terutama pada kondisi yang kurang baik serta meningkatkan diversitas tanaman sehingga dapat menekan aktivitas hama (Karyawati et al., 2010). Disamping



keuntungan



diatas sistem tumpangsari dapat digunakan



sebagai alat untuk konservasi lahan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit tanaman. Di daerah yang menerima curah hujan yang rendah untuk waktu yang singkat, petani sangat tergantung pada curah hujan, untuk produksi harus menanam kultivar musim pendek pada tumpangsari.



Penanaman



komponen tanaman genjah pada awal musim hujan menjadi aspek penting bagi petani untuk meningkatkan produktivitas (Egbe, 2010). Waktu tanam yang tepat dari spesies tumpangsari mengarah ke produksi yang tinggi karena berkurangnya persaingan di antara tanaman (Makgoga, 2013). Salah satu bentuk efisiensi penggunaan lahan pertanian adalah dengan melakukan budidaya beberapa jenis tanaman dalam satu luasan lahan. Penanaman beberapa jenis tanaman atau biasa disebut dengan multiple cropping atau sistem tanam ganda tersebut dapat berdampak dalam meningkatkan hasil pertanian.



11



Beberapa keuntungan yang dimiliki sistem tanam ganda, diantaranya yaitu: 1) akan terjadi peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan maupun penyerapan sinar matahari), 2) populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki, 3) dalam satu areal diperoleh produksi lebih dari satu komoditas, 4) tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakala satu jenis tanaman yang diusahakan gagal, dan 5) kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas biologis sehingga dapat menekan serangan hama dan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dalam hal ini kesuburan tanah (Handayani, 2011). Pola tanam ganda ini memegang peranan yang sangat penting agar dapat meningkatkan hasil-hasil pertanian. Salah satu dari 3 tipe pokok sistem tanam ganda yaitu pola tanam sela. Pola tanam sela adalah suatu bentuk pola tanam polyculture (campuran) yang dilakukan antara jenis tanaman semusim dengan tanaman tahunan. Sistem ini biasanya dilakukan pada tanaman perkebunan atau tanaman kehutanan, misalnya perkebunan kelapa sawit, karet atau jati. Pada sistem ini tanaman semusim ditanam sewaktu tanaman tahunan masih kecil dan belum produktif. Beberapa jenis tanaman yang biasanya dilakukan dengan sistem tumpang sela yaitu jeruk dan jagung, karet dan padi (Mangoendidjojo, 1983). Pengaturan waktu tanam yang tepat pada pola tanam sela dapat mengantisipasi kompetisi antar tanaman yang tinggi sehingga pertumbuhan masing-masing tanaman dapat optimal (Marliah et al., 2010).



12



2.2 Tembakau Tembakau merupakan tanaman perkebunan dimana hasil produksi



nya



dapat bernilai ekonomis, hampir sebagian besar tanaman tembakau tersebar di Indonesia. Tanaman tembakau termasuk salah satu tanaman tropis yang berasal dari benua Amerika. Tanaman tembakau dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Cahyono, 2011): Regnum



: Plantae



Divisio



: Spermatophyta



Sub divisio



: Angiospermae



Classis



: Dicotyledoneae



Ordo



: Solanales



Familia



: Solanaceae



Genus



: Nicotiana



Species



: Nicotiana tabacum L.



Morfologi tanaman tembakau memiliki perakaran tunggang yang tumbuh tegak, dengan bulu bulu akar. Pada batang tanaman tembakau berdiameter sekitar 5 cm berbentuk agak bulat, lunak namun kuat, ruas-ruas batang mengalami penebalan yang ditumbuhi daun dan tunas ketiak daun. Daun tembakau berbentuk lonjong dengan ujung daunnya runcing, dan daun berbentuk bulat ujung daunnya berbentuk tumpul. Pada bagian tepi daun agak bergelombang dan licin, dengan tulang daun menyirip. Ketebalan daun berbeda pada masing-masing varietas. Jumlah daun dalam satu tanaman sebanyak 28-31 helai (Cahyono, 2011). Tembakau berbunga majemuk, mahkota bunga berbentuk terompet dan panjang,



13



berlekuk merah dan berwarna merah jambu hingga merah tua pada bagian atas. Tembakau memiliki buah yang berbentuk bulat lonjong dan berukuran kecil, dalam satu tanaman terdapat kurang lebih 300 buah. Setiap tanaman rata-rata menghasilkan jumlah biji sekitar 25 gram (Setiawan & Trisnawati, 1993). Syarat tumbuh bagi tanaman tembakau secara umum dapat tumbuh dengan baik pada suhu 27°C atau sekitar 22°C - 33°C. pH berkisar 5,5 – 6,5. Tembakau paling cocok ditanam pada ketinggian dataran sekitar 0 – 900 mdpl dengan curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun. Tembakau tidak boleh kekurangan penyinaran cahaya matahari, sehingga harus ditanam pada tempat yang terbuka (Ali & Hriyadi, 2018). 2.3 Kelapa sawit Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan unggulan di Indonesia karena menjadi penyumbang devisa negara terbesar dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya. Tanaman yang produk utamanya terdiri dari minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) ini telah diusahakan dalam bentuk perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit hingga menjadi minyak dan turunannya. Taksonomi tanaman kelapa sawit (Soepadiyo Mangoensoekarjo & Haryono, 2008): Regnum



: Plantae



Divisio



: Tracheophyta



Sub Divisio



: Pteropsida



Classis



: Monocotyledoneae



Ordo



: Palmales



terbagi sebagai berikut



14



Familia



: Palmaceae



Genus



: Elaeis



Species



: Elaeis guineensis Jacq.



Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil. Batangnya lurus, tidak bercabang dan tidak mempunyai kambium, tingginya dapat mencapai 15 - 20 m. Tanaman ini berumah satu atau monoecious, bunga jantan dan bunga betina berada pada satu pohon. Bagian vegetatif terdiri atas akar, batang, dan daun, sedangkan bagian generatifnya yakni bunga dan buah (Soepadiyio & Semangun, 2008). Kelapa sawit memiliki akar serabut yang terdiri dari akar primer, sekunder, dan tersier. Akar tersier dapat menyerap unsur hara lebih optimal dibandingkan dengan akar lainnya karena keberadaannya ada pada kedalaman 0-60 cm di bawah permukaan tanah dan jangkauannya dari pangkal batang sepanjang 2-3 meter (Rustam & Agus, 2011). Batang kelapa sawit berdiameter 25-75 cm, berbentuk silinder dan tumbuh tegak lurus ke atas. Daun pada tanaman kelapa sawit terdiri atas pangkal pelepah daun, yaitu tempat duduknya helaian daun, tangkai daun, duri-duri, helaian anak daun, ujung daun, lidi, tepi daun, dan daging daun. Daun kelapa sawit tumbuh pada ujung batang. Daun kelapa sawit membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Bentuk wilayah yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit adalah datar sampai bergelombang. Secara umum tanaman kelapa sawit dapat tumbuh baik pada tanah-tanah Ultisol, Entisol, Inceptisol, Andosol, dan Histosol. Tekstur tanah lempung berdebu, lempung berliat, dan lempung liat berpasir merupakan



15



tekstur yang paling ideal untuk tanaman kelapa sawit. Kedalaman efektif bagi kelapa sawit>100 cm, pH optimal sekitar 5,0—6,0, namun terkadang tanaman kelapa sawit masih toleran terhadap pH asam. Drainase yang baik dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit yang tinggi. 2.4 Butralin Butralin atau dengan nama lain 4-(1,1-dimethylethyl)-N-(1-methylpropyl) 2,6-dinitrobenzeneamine adalah salah satu bahan aktif yang digunakan sebagai zat pengatur tumbuh tanaman pada tembakau untuk mengontrol pertumbuhan tunas samping. Butralin akan bekerja menghambat pertumbuhan tunas samping tersebut dengan menghambat perakitan mikrotubulus, dengan begitu proses pembelahan sel dan transpor intraseluler pada tanaman dapat terganggu (Hudayya & Jayanti, 2013). Butralin mengurangi persentase jumlah mitosis normal sebesar 35% setelah 1 jam setelah aplikasi, 60% setelah 4 jam aplikasi, dan 90% setelah 24 jam aplikasi (Elmore, 1992). Butralin digunakan pada tembakau setelah dilakukan pemangkasan bunga. Hal tersebut dikarenakan tunas samping akan tumbuh pada setiap ketiak daun dalam beberapa hari setelah pemangkasan bunga dilakukan. Tunas ketiak daun yang tumbuh, jika tidak dikendalikan akan berkompetisi dengan daun utama dengan mengganggu penerimaan cahaya dan penyerapan nutrisi sehingga kualitas daun tembakau menurun. Selain itu, tunas samping yang sudah terlanjur tumbuh besar akan sulit dan membutuhkan biaya yang semakin tinggi dengan dipangkas secara mekanik yaitu menggunakan tangan. Butralin termasuk ke dalam golongan dinitroanilin yang bekerja sebagai herbisida sehingga dapat digunakan untuk menghilangkan tunas samping pada



16



tanaman tembakau karena sifatnya yang menghambat pertumbuhan. Menurut Mahmoud et al. (1996), butralin menyebabkan penurunan protein, karbohidrat, leghemoglobin, dan ureida yang signifikan dalam fraksi bintil kedelai (Mahmoud et al., 1998). Pada herbisida dinitroanilin lain seperti pendimethalin memberikan efek berupa gangguan pada proses fotosintesis karena terjadi penekanan pembentukan pigmen fotosintesis. Hal tersebut memberikan pengaruh berupa pengurangan panjang tunas, jumlah daun per tanaman, dan jumlah cabang per tanaman, serta total bobot kering dan bobot basah pada tanaman adas (Meena & Mehta, 2009)



BAB III BAHAN DAN METODE



3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2020 hingga bulan Maret 2021 di Kebun Percobaan Ciparanje, Fakultas Pertanian, universitas Padjadjaran, Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Tanah pada lahan percobaan berordo Inceptisols dengan ketinggian tempat adalah ± 752 m di atas permukaan laut (mdpl). Lahan tersebut juga memiliki iklim dengan tipe C (Ferguson & Schmidt, 1951). 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah cangkul, gunting pangkas, timbangan analitik, oven, meteran, leaf porometer model SC-1, Chlorophyll Content Meter model CCM-200 Plus, dan label perlakuan. Bahan yang digunakan adalah tanaman Nicotiana tabacum c.v kaduseno, perkebunan kelapa sawit umur 2,5 tahun dengan jarak tanam 9 m x 9 m, Tobago 240 EC yang berbahan aktif butralin 240g/L. 3.3 Rancangan Penelitian 3.3.1 Rancangan Percobaan Metode percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari tujuh perlakuan. Setiap perlakuan diulang empat kali, sehingga total satuan percobaan adalah 28 percobaan. Percobaan dilakukan dalam



17



Total keseluruhan tanaman adalah 280 tanaman . Data dianalisis secara statistik dengan uji F pada taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui adanya perlakuan yang berbeda nyata. Bila uji F berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji lanjut Tukey pada taraf 5%.



18



19



3.3.2 Rancangan Perlakuan Rincian perlakuan yang akan diuji dalam penelitian ini, diantaranya: a1 : Kontrol (tanpa butralin) a2 : Tobago 240 EC dengan konsentrasi 5 ml/L a3 : Tobago 240 EC dengan konsentrasi 10 ml/L a4 : Tobago 240 EC dengan konsentrasi 15 ml/L a5 : Tobago 240 EC dengan konsentrasi 20 ml/L a6 : Tobago 240 EC dengan konsentrasi 25 ml/L a7 : Tobago 240 EC dengan konsentrasi 30 ml/L 3.3.3 Rancangan Analisis Bentuk umum model linier aditif dari Rancangan Acak Kelompok (RAK) sebagai berikut: Yij = µ + τi + βj + εij Keterangan: i = 1, 2, … , t dan j = 1, 2, … , r Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j μ = Rataan umum τi = Pengaruh perlakuan ke-i βj = Pengaruh kelompok ke-j



20



εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j Pengujian dengan analisis Rancangan Acak Kelompok (RAK) sebagai berikut: (a). Menentukan Hipotesis Dengan bentuk hipotesis yang diuji untuk pengaruh perlakuan yaitu: H0: τ1= … = τi = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1: paling sedikit ada satu i dimana τi ≠ 0 Dengan bentuk hipotesis yang diuji untuk pengaruh kelompok yaitu: H0: β1= … = βj = 0 (kelompok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1: paling sedikit ada satu j dimana βj ≠ 0 3.4 Pelaksanaan Percobaan 1. Persiapan tanam Areal tanam tembakau adalah lahan di sela diantara tanaman kelapa sawit berukuran 6 m x 5,5 m. Lahan dibersihkan dari gulma dengan menggunakan herbisida kemudian dibantu dengan dicangkul. Setelah lahan bersih dari gulma, tanah digemburkan dan dibuat bedengan dengan dicangkul. Sebanyak 7 bedengan dibuat untuk tiap jenis perlakuan dengan ukuran 6 m x 0,5 m dengan jarak antar bedengan yaitu 30 cm. Setelah bedengan terbentuk, pupuk dasar diaplikasikan pada bedengan. Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk kandang sapi dengan



21



dosis 1,43 kg per bedengan. Lahan kemudian dibiarkan selama 1 minggu sebelum siap untuk menjadi lahan tanam tembakau. 2. Pembibitan Pembibitan tembakau pada penelitian menggunakan benih tembakau kultivar kaduseno. Benih disemai di screen house selama 42 hari untuk mendapatkan bibit. Benih ditanam pada persemaian dengan cara ditabur. Benih terlebih dahulu benih dicampur dengan abu sebelum ditebar supaya kecambah tidak terlalu tumbuh berdempetan dan tumbuh secara merata pada persemaian. Benih yang sudah tumbuh, dipindahkan ke kokeran setelah berumur 14 hari untuk memperluas daerah perakaran tanaman agar tidak saling berkompetisi. Setelah tanaman berumur 42 hari dipindahkan ke lahan pada pertanaman kelapa sawit yang telah dipersiapkan sebelumnya. 3. Penanaman Penanaman bibit tembakau di lahan kelapa sawit dilakukan setelah tanaman berumur 42 hari. Penanaman dilakukan dengan meletakan bibit tembakau yang terlebih dahulu dikeluarkan dari kokeran, kemudian dimasukan pada lubang tanam dan dibumbun dengan tanah. Penanaman bibit tembakau dilakukan pada sore hari ketika sinar matahari sudah tidak lagi terik. Setiap bibit diberi naungan sementara selama 1 minggu dengan menggunakan ranting dan dedaunan yang ditancapkan di samping bibit, sehingga dapat menghalangi sebagian sinar matahari untuk menjaga penguapan pada bibit tidak berlebihan. 4. Pemeliharaan Tanaman



22



Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, pemupukan, penyiraman, penyiangan gulma dan pengendalian hama dan penyakit tanaman (HPT) yang dilakukan di areal kosong lahan kelapa sawit. Penyulaman dilakukan 7 – 14 hari setelah tanam. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman tembakau yang mati menggunakan tanaman tembakau yang baru dengan umur yang sama. Penyulaman bertujuan untuk memperoleh populasi tembakau yang optimal dan seragam. Pemupukan terdiri dari pupuk kandang yang merupakan pupuk dasar dan pupuk susulan. Pupuk dasar diberikan sebelum penanaman. Pupuk susulan yang diberikan berupa urea, TSP dan KCl, dengan total dosis berturut-turut 4,6 gr/tanaman, 4,4 gr/tanaman, 6 gr/tanaman yang diaplikasikan pada umur 2 minggu setelah tembakau ditanam. Aplikasi pemupukan dilakukan dengan cara membuat lubang sekitar 5 cm dari tanaman dan memasukan pupuk ke dalam lubang tersebut kemudian dibenamkan. Penyiraman dilakukan setiap hari, kecuali jika turun hujan tidak dilakukan. Penyiangan gulma dilakukan seminggu sekali secara manual dari awal penanaman hingga stadia vegetatif akhir. Pengendalian OPT dilakukan secara manual dan kimiawi. Monitoring terhadap HPT dilakukan agar waktu dan cara pengendaliannya tepat. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan penyemprotan insektisida pada serangan hama. 5.



Topping Pemangkasan pucuk atau topping dilakukan saat bunga pada



23



pembungaan pertama mulai mekar yaitu pada umur 11 MST. Bagian yang dipangkas adalah mulai dari bunga sampai daun muda. Topping dilakukan dengan menggunakan gunting pangkas. 6.



Aplikasi butralin Butralin diaplikasikan ke tembakau pada umur 13 MST. Butralin yang



digunakan adalah merk dagang Tobago 240 EC dengan total kebutuhan untuk keseluruhan penelitian adalah sebanyak 500 ml. Sprayer terlebih dahulu dikalibrasi untuk mengetahui kebutuhan larutan untuk satu bedengan. Air sebanyak 800 ml dimasukan ke dalam 6 ember berukuran 1 liter dan dicampur butralin dengan dosis sesuai dengan tiap perlakuan, yaitu 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, 25 ml, dan 30 ml. Sekat yang terbuat dari plastik mulsa dipasang di antara bedengan terlebih dahulu sebelum melakukan penyemprotan butralin agar tidak terjadi kontaminasi pada bedengan lain. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari. 7.



Panen Panen dilakukan secara bertahap berdasarkan tingkat kematangan daun



yang dimulai dari daun-daun bawah kemudian diikuti oleh daun-daun di atasnya. Pengukuran luas daun dilakukan bersamaan ketika panen. Daun ke-5, 10, dan 15 yang sudah siap panen, diukur terlebih dahulu sebelum dipanen dan dikumpulkan dengan daun lainnya. Panen pertama kali dilakukan dilakukan saat tembakau berumur 18 MST dan berlangsung selama satu minggu. 3.5 Pengamatan percobaan Pengamatan yang dilakukan pada percobaan meliputi pengamatan utama



24



dan pengamatan penunjang. 3.5.1 Pengamatan Penunjang Pengamatan penunjang bertujuan untuk mendukung pengamatan utama yang terdiri dari: 1. Data iklim lahan percobaan 2. Data Pertumbuhan Kelapa Sawit Monokultur dan Kelapa Sawit Tumpangsari 3.5.2 Pengamatan Utama Pengamatan utama yang dilakukan adalah: 1. Tinggi Tanaman (cm) Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai ujung titik tumbuh tertinggi tanaman. Alat ukur yang digunakan adalah penggaris dan meteran. Pengukuran tinggi tanaman diukur setelah aplikasi butralin dilakukan yaitu pada 15 dan 17 minggu setelah tanam (MST). 2. Jumlah Daun (helai) Jumlah daun dihitung berdasarkan banyak daun yang sudah berkembang secara sempurna (tidak termasuk kuncup daun). 3.



Luas Daun (cm2) Luas daun yang diukur dengan cara mengukur panjang dan lebar daun



ke-5, 10 dan 15 (dihitung dari yang paling bawah) setiap kali panen, kemudian luas daun dijumlah dan dirata-ratakan. Penaksiran rata-rata luas daun didasarkan pada persamaan rata-rata panjang kali lebar daun dikali jumlah daun dikali konstanta (faktor koreksi) (Hartana, 1974) rumus:



25



Luas daun pertanaman = (rata-rata (panjang x lebar daun) ke-5, 10 dan 15) x jumlah daun pertanaman x faktor koreksi daun. Keterangan : Faktor koreksi daun tembakau =0,68 Jumlah daun pertanaman = 16 4.



Jumlah Tunas Samping Tunas samping dihitung berdasarkan jumlah tunas yang tumbuh pada



setiap ketiak daun. Jumlah tunas samping dihitung setelah aplikasi butralin dilakukan yaitu pada 15 dan 17 minggu setelah tanam (MST). 5. Diameter Batang (cm) Diameter batang diukur dengan alat jangka sorong. Pengukuran dilakukan pada batang tanaman dengan jarak lebih kurang 2 cm di atas permukaan tanah. Posisi pengukuran diameter pada batang ditandai dengan menggunakan spidol. Pengukuran diameter batang dilakukan setelah aplikasi butralin dilakukan yaitu pada 15 dan 17 minggu setelah tanam (MST) 6. Konduktansi stomata (mmol/m2s) Konduktansi stomata diukur dengan cara menjepit daun ke dalam sensor dengan alat leaf porometer (Decagon, inc. US), kemudian dicatat hasil pengukurannya. Daun yang diukur adalah daun kedua dari pucuk tanaman, karena merupakan daun bagian atas yang terkena sinar matahari. Pengamatan dilaksanakan setiap jam 9 pagi sampai dengan 12 siang. Konduktansi stomata diamati setelah aplikasi butralin dilakukan yaitu pada 15 dan 17 minggu setelah tanam (MST). 7. Indeks klorofil



26



Pengukuran indeks klorofil dilakukan dengan Chlorophyll Content Meter model CCM-200 Plus. Pengukuran dilakukan pada daun kedua dari pucuk tanaman. Cara pengukuran indeks klorofil adalah dengan menyisipkan sebuah daun dan menutupnya dengan kepala pengukur (alat sensor). Pengukuran ini dilakukan setelah aplikasi butralin dilakukan yaitu pada 15 dan 17 minggu setelah tanam (MST). 8. Bobot basah daun Bobot basah daun ditentukan setelah selesai penelitian dengan menimbang daun segar tanaman yang telah dibersihkan dari tanah. Penimbangan dilakukan menggunakan timbangan analitik. Penimbangan dilakukan setiap waktu panen daun tembakau, kemudian diakumulasikan di akhir masa panen.



27



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1 Pengamatan Penunjang 4.1.1 Cuaca di Lahan Percobaan Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tembakau. Beberapa faktor iklim tersebut adalah suhu udara, curah hujan, cahaya matahari dan kelembaban udara. Data iklim tersebut merupakan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Stasiun Cuaca Ciparanje dari bulan November 2020 sampai Maret 2020 yang mana merupakan rentang waktu kegiatan penanaman tembakau hingga panen. Data hasil pengamatan pada keempat faktor iklim terlihat stabil, kecuali pada data penyinaran matahari yang fluktuatif. Penyinaran matahari mengalami penurunan dari bulan november hingga bulan februari dan mengalami kenaikan drastis di bulan maret. Pengamatan menunjukan rata-rata suhu di lahan percobaan berkisar antara 22,62 - 23,38 ℃, curah hujan berkisar 5,05 - 15,82 mm, penyinaran matahari berkisar 29,69 - 67,29 %, kelembaban udara berkisar 87,30 - 92,06 %. Rata-rata suhu selama masa penanaman hingga panen menunjukan kesesuaian terhadap syarat tumbuh bagi tanaman tembakau. Rata-rata suhu paling tinggi tercatat yaitu sebesar 23,38 ℃ pada bulan November 2020. Syarat tumbuh bagi tanaman tembakau secara umum dapat tumbuh dengan baik pada suhu 27°C atau sekitar 22°C - 33°C. Tanaman tembakau bawah naungan yang ditanam pada suhu



28



dibawah batas minimum atau diatas batas suhu maksimal akan terganggu pertumbuhannya (Matnawi, 2002).



Gambar 1 Grafik Cuaca Lahan Percobaan



Rata-rata curah hujan selama masa penanaman hingga panen termasuk sangat rendah. Menurut (Sudaryono) diperlukan rata-rata curah hujan rata-rata per bulan kurang lebih 175 mm untuk dapat menghasilkan daun tembakau yang berkualitas, sedangkan data pengamatan menunjukan curah hujan tertinggi sebesar 15,82 mm yaitu pada bulan Maret 2021. Rata-rata penyinaran matahari selama masa penanaman hingga panen mengalami fluktuasi yang sangat tinggi. Rata-rata penyinaran matahari mengalami penurunan hingga 37,60 % dari bulan November 2020 hingga Februari 2021,



29



kemudian meningkat pada bulan Maret 2020 sebesar 27,87 %. Intensitas cahaya yang terlalu rendah akan menghasilkan produk fotosintesis yang tidak maksimal, sedangkan intensitas cahaya yang terlalu tinggi akan berpengaruh terhadap aktivitas



sel-sel



stomata



daun



dalam



mengurangi



transpirasi



sehingga



mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman (Kurniyati, 2010). Rata-rata kelembaban udara selama masa penanaman hingga panen termasuk tinggi. Rata-rata kelembaban udara tertinggi tercatat pada bulan Maret 2021 yaitu sebesar 90,87 %, sedangkan rata-rata kelembaban udara ideal adalah 60 % - 80 %. Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Sugiarto, 2018), kelembaban udara mempengaruhi laju transpirasi tanaman yang berakibat pada proses fotosintesis. 4.1.2 Data Pertumbuhan Kelapa Sawit Monokultur dan Kelapa Sawit Tumpangsari Dalam budidaya tanaman kelapa sawit dan tanaman tembakau dengan sistem polikultur menunjukan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur pada semua variabel yaitu jumlah pelepah, panjang pelepah, konduktansi stomata, dan kadar klorofil dan lingkar batang. Pola Tanam



Variabel



Monokultur



Polikultur



Jumlah pelepah (buah)



19.75



21.75



Panjang pelepah (cm)



180



186



41.75



63.25



145.05



142.75



17.2



24.48



Lingkar batang (cm) Konduktansi stomata (mmol/m s) 2



Kadar klorofil



30



Tembakau sebagai tanaman tumpangsari memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan kelapa sawit TBM III dibandingkan dengan pertumbuhan kelapa sawit TBM III yang ditanam secara monokultur. Menurut Turmudi (2002) sistem tumpangsari pada umumnya lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem monokultur karena produktivitas lahan menjadi lebih tinggi, jenis komoditas yang dihasilkan beragam, hemat dalam sarana produksi dan resiko kegagalan dapat diperkecil. Sehingga areal kosong pada lahan kelapa sawit TBM III dapat dimanfaatkan dengan optimal untuk dapat memberikan kontribusi terhadap kegiatan usahatani. 4.2 Pengamatan Utama 4.2.1 Tinggi Tanaman Hasil analisis untuk tinggi tanaman selama 1 minggu setelah perlakuan menunjukan adanya pengaruh konsentrasi butralin terhadap tinggi tanaman tembakau. Hasil uji Tukey pada Tabel 1 menunjukan bahwa aplikasi butralin pada tanaman tembakau memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman tembakau umur 15 sampai 17 MST. Perlakuan a3 (aplikasi Tobago 240 EC 10 ml/L), perlakuan a4 (aplikasi Tobago 240 EC 15 ml/L), perlakuan a5 (aplikasi Tobago 240 EC 20 ml/L) memberikan pengaruh berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan a1 (kontrol) dan perlakuan a2 (aplikasi Tobago 240 EC 5 ml/L), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.



31



Tabel 1. Tinggi tanaman (cm) tembakau pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Tinggi tanaman pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Perlakuan



a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7



15 MST 107.7 b 122.6 b 202.7 a 200.5 a 205.5 a 167.7 ab 164.7 ab



17 MST 118.4 c 146.5 bc 227 a 221.5 a 228 a 191 ab 189.2 ab



Keterangan: 1) MST = minggu setelah tanam 2) Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut Tukey pada taraf nyata 5%. 3) Perlakuan a1 = kontrol; a2 = aplikasi Butralin 5 ml/L; a 3 = aplikasi Butralin 10 ml/L; a 4 = aplikasi Butralin 15 ml/L; a5 = aplikasi Butralin 20 ml/L; a 6 = aplikasi Butralin 25 ml/L; a 7 = aplikasi Butralin 30 ml/L.



Butralin memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan tembakau. Sejalan dengan penelitian yang telat dilakukan oleh Soliman (2010) bahwa penggunaan butralin memberikan hasil tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembuangan tunas ketiak daun secara mekanik (Soliman & Hamza, 2010). Soliman (2010) juga mengamati bahwa tunas ketiak daun tidak hanya menyerap nutrisi tanaman, namun juga menghambat pertumbuhan salah satunya adalah tinggi tanaman. Penelitian Elmore (1992) menunjukan bahwa sama seperti nitralin, butralin pada konsentrasi yang tinggi dapat mengurangi panjang akar pada tanaman Jewawut (Elmore, 1992). Penggunaan konsentrasi Tobago 240 EC 10 ml/L merupakan konsentrasi yang paling baik dan efektif dalam memberikan pengaruh tinggi tanaman tembakau karena diduga cukup dapat menghambat pertumbuhan tunas ketiak daun tanpa menghambat pertumbuhan tinggi tanaman.



32



4.2.2 Jumlah Daun Hasil analisis untuk jumlah daun selama 1 minggu setelah perlakuan menunjukan adanya pengaruh konsentrasi butralin terhadap jumlah daun tanaman tembakau. Hasil uji Tukey pada Tabel 2 menunjukan bahwa aplikasi butralin pada tanaman tembakau memberikan pengaruh terhadap jumlah daun tembakau umur 15 sampai 17 MST. Perlakuan a3 (aplikasi Tobago 240 EC 10 ml/L) memberikan pengaruh berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan a1 (kontrol), perlakuan a6 (aplikasi Tobago 240 EC 25 ml/L), dan perlakuan a7 (aplikasi Tobago 240 EC 30 ml/L), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Tabel 2. Jumlah daun (helai) tembakau pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Perlakuan



a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7



Jumlah daun pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) 15 MST 17 MST 20 c



20.2 b



21.5 abc



22.7 ab



24.2 a



25.5 a



23.7 ab



24.7 a



21 bc



22.2 ab



20.5 c 19.0 c



21.0 b 21.2 b



Keterangan: 1) MST = minggu setelah tanam 2) Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut Tukey pada taraf nyata 5%. 3) Perlakuan a1 = kontrol; a2 = aplikasi Butralin 5 ml/L; a 3 = aplikasi Butralin 10 ml/L; a 4 = aplikasi Butralin 15 ml/L; a5 = aplikasi Butralin 20 ml/L; a 6 = aplikasi Butralin 25 ml/L; a 7 = aplikasi Butralin 30 ml/L



Penelitian pada tanaman semangka yang diaplikasikan dengan butralin untuk melihat dampak yang ditimbulkan terhadap hormon endogen pada tunas ketiak menunjukan bahwa terjadi peningkatan hormon GA3 secara bertahap



33



setelah 14 hari perlakuan, dimana terjadi penurunan hormon GA 3 secara bertahap pada tanaman kontrol (Shaojun, 2018). Giberelin menstimulasi pertumbuhan pada daun maupun pada batang (Campbell & Reece, 2002). Aplikasi butralin pada tembakau diduga mempengaruhi pertumbuhan daun secara tidak langsung dengan meningkatkan kandungan hormon giberelin yang menstimulasi pertumbuhan daun. Perlakuan butralin terhadap jumlah daun memberikan hasil yang signifikan pada Tobago 240 EC dengan konsentrasi 10 ml/L, namun tidak berbeda signifikan dengan konsentrasi 5 ml/L.



Perlakuan tersebut memberikan hasil



paling tinggi serta menjadi konsentrasi paling efektif dibandingkan konsentrasi lainnya, selaras dengan pengaruh butralin dengan konsentrasi yang sama memberikan jumlah tunas ketiak paling sedikit. Jalur translokasi asimilat ke jaringan ketiak daun yang terputus, mengakibatkan nutrisi dan zat hara yang tersedia lebih banyak untuk pertumbuhan jaringan tanaman yang lain. Jumlah daun yang tinggi pada perlakuan Tobago 240 EC 10 ml/L dipengaruhi oleh pertumbuhan tunas ketiak daun yang terhambat pada perlakuan yang sama (Tabel 4). 4.2.3 Luas Daun Hasil analisis untuk luas daun selama 1 minggu setelah perlakuan menunjukan adanya pengaruh konsentrasi butralin terhadap luas daun tanaman tembakau. Hasil uji Tukey pada Tabel 3 menunjukan bahwa aplikasi butralin pada tanaman tembakau memberikan pengaruh terhadap luas daun tembakau. Luas daun terbesar terdapat pada perlakuan a3 (aplikasi Tobago 240 EC 10 ml/L)



34



memberikan pengaruh berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan a1 (kontrol), perlakuan a2 (aplikasi Tobago 240 EC 5 ml/L) dan perlakuan a7 (aplikasi Tobago 240 EC 30 ml/L), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Tabel 3. Rata-rata luas daun ke-5, ke-10, dan ke-15 (cm2) pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Perlakuan



Rata-rata luas daun tembakau



a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7



332.537 c 385.404 bc 651.950 a 570.133 ab 537.437 ab 422.979 abc 272.645 c



Keterangan: 1) Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut Tukey pada taraf nyata 5%. 2) Perlakuan a1 = kontrol; a2 = aplikasi Butralin 5 ml/L; a 3 = aplikasi Butralin 10 ml/L; a 4 = aplikasi Butralin 15 ml/L; a5 = aplikasi Butralin 20 ml/L; a 6 = aplikasi Butralin 25 ml/L; a 7 = aplikasi Butralin 30 ml/L



Selaras dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Hartono (2011) bahwa pembuangan tunas samping menyebabkan daun tembakau akan menjadi lebih panjang, lebar dan tebal. Pertumbuhan daun tersebut disebabkan oleh terputusnya jalur translokasi asimilat ke jaringan tunas ketiak daun, sehingga nutrisi dan zat hara terakumulasi di jaringan lain salah satunya yaitu adalah daun (Hartono, 2011). Penelitian penggunaan butralin pada tembakau yang dilakukan di China, dapat meningkatkan luas daun pada daun tengah dan daun atas (Li, 2003). Penggunaan butralin pada tanaman semangka, menyebabkan kandungan giberelin pada tanaman meningkat dibandingkan dengan kontrol (Ma et al., 2018).



35



4.2.4 Jumlah Tunas Ketiak Daun Hasil analisis untuk jumlah tunas samping selama 1 minggu setelah perlakuan menunjukan adanya pengaruh konsentrasi butralin terhadap jumlah tunas samping tanaman tembakau. Hasil uji Tukey pada Tabel 4 menunjukkan bahwa aplikasi butralin pada tanaman tembakau memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas ketiak daun tembakau umur 15 sampai 17 MST. Perlakuan a6 (aplikasi Tobago 240 EC 25 ml/L) dan perlakuan a7 (aplikasi Tobago 240 EC 30 ml/L) memberikan pengaruh berbeda nyata lebih tinggi secara nilai dibandingkan dengan perlakuan a1 (kontrol), perlakuan a2 (aplikasi Tobago 240 EC 5 ml/L), perlakuan a3 (aplikasi Tobago 240 EC 10 ml/L), dan perlakuan a4 (aplikasi Tobago 240 EC 15 ml/L), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan a5 (aplikasi Tobago 240 EC 20 ml/L).



Tabel 4. Jumlah tunas ketiak daun (buah) pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Perlakuan



a1



Umur tanaman tembakau 15 MST



17 MST



20 abc



17.7 bc



36



a2 a3 a4 a5 a6 a7



17.5 bc



17.5 bc



17.5 bc



17.5 bc



17 c



17 c



21.5 ab



21.5 ab



22.5 a



23 a



22.7 a



23.2 a



Keterangan: 1) MST = minggu setelah tanam 2) Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut Tukey pada taraf nyata 5%. 3) Perlakuan a1 = kontrol; a2 = aplikasi Butralin 5 ml/L; a 3 = aplikasi Butralin 10 ml/L; a 4 = aplikasi Butralin 15 ml/L; a5 = aplikasi Butralin 20 ml/L; a 6 = aplikasi Butralin 25 ml/L; a 7 = aplikasi Butralin 30 ml/L



Aplikasi Tobago 240 EC dengan konsentrasi 15 ml/L (perlakuan a4) menghambat pertumbuhan tunas samping paling baik dan efektif dibandingkan dengan perlakuan lainnya di kedua pengamatan. Terlihat bahwa perlakuan a 4 memiliki jumlah tunas ketiak daun paling sedikit dan tidak bertambah di pengamatan 17 MST. Pertumbuhan tunas ketiak daun pada perlakuan a 1 (kontrol) mengalami penurunan pada pengamatan 17 MST Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di China, Butralin dapat menghambat pertumbuhan tunas ketiak daun sampai waktu panen (Li, 2003). Berlawanan dengan anjuran pemakaian butralin dimana tembakau kultivar lokal dianjurkan menggunakan konsentrasi sebesar 20 - 25 ml/L, hasil penelitian di atas selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Elmore (1992) bahwa golongan dinitroanilin seperti nitralin dan butralin pada konsentrasi rendah menunjukan dampak yang nyata menghambat perkembangan akar dan tunas (Elmore, 1992). Jumlah tunas ketiak daun pada pengamatan 17 MST menunjukan adanya perkembangan pada beberapa perlakuan, namun tidak signifikan.



37



4.2.5 Diameter Batang Hasil analisis untuk diameter batang selama 1 minggu setelah perlakuan menunjukan adanya pengaruh konsentrasi butralin terhadap diameter batang tanaman tembakau. Hasil uji Tukey pada Tabel 5 menunjukkan bahwa aplikasi butralin pada tanaman tembakau memberikan pengaruh terhadap jumlah daun tembakau umur 15 sampai 17 MST. Perlakuan a3 (aplikasi Tobago 240 EC 10 ml/L), perlakuan a4 (aplikasi Tobago 240 EC 15 ml/L), dan perlakuan a5 (aplikasi Tobago 240 EC 20 ml/L) memberikan pengaruh berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tabel 5. Diameter batang (cm) pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Perlakuan



Umur tanaman tembakau 15 MST



17 MST



a1



23.7 c



23.5 c



a2



41.3 b



37.5 b



a3



50.4 a



51.5 a



a4



51.8 a



56.2 a



a5



44.6 a



52.3 a



a6



42.1 ab



46.9 ab



a7



22.2 c



22.9 c



Keterangan: 1) MST = minggu setelah tanam 2) Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut Tukey pada taraf nyata 5%. 3) Perlakuan a1 = kontrol; a2 = aplikasi Butralin 5 ml/L; a 3 = aplikasi Butralin 10 ml/L; a 4 = aplikasi Butralin 15 ml/L; a5 = aplikasi Butralin 20 ml/L; a 6 = aplikasi Butralin 25 ml/L; a 7 = aplikasi Butralin 30 ml/L



Organ tumbuhan tempat berlangsungnya fotosintesis adalah daun. Tumbuhan menangkap cahaya menggunakan pigmen yang disebut klorofil yang memberi warna hijau pada tumbuhan. Meskipun seluruh bagian tubuh tumbuhan



38



yang berwarna hijau mengandung kloroplas, namun sebagian besar energi dihasilkan di daun. Kapasitas penangkapan cahaya akan lebih besar seiring dengan bertambahnya luas daun (Setyanti et al., 2013) Surtinah (2007) menyatakan bahwa bagian tanaman yang memberikan kontribusi paling banyak terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah daun, dan sebagian hasil asimilasi tetap tertinggal dalam jaringan untuk pemeliharaan sel (Surtinah, 2007). Asimilat lainnya diekspor ke daerah pemanfaatan vegetatif yang terdiri dari fungsi-fungsi pertumbuhan, pemeliharaan dan cadangan makanan, salah satunya yaitu batang tanaman. Tanaman pada Perlakuan a3 (aplikasi Tobago 240 EC 10 ml/L) memiliki kondisi ukuran daun yang lebih lebar dibandingkan dengan tanaman pada perlakuan lain akibat pengaruh aplikasi butralin. Butralin secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan diameter batang tanaman tembakau. 4.2.6 Konduktansi Stomata Hasil analisis untuk konduktansi stomata selama 1 minggu setelah perlakuan



menunjukan



adanya



pengaruh



konsentrasi



butralin



terhadap



konduktansi stomata tanaman tembakau. Hasil uji Tukey pada Tabel 6 menunjukan bahwa aplikasi butralin pada tanaman tembakau memberikan pengaruh terhadap jumlah daun tembakau umur 15 sampai 17 MST. Perlakuan a3 (aplikasi Tobago 240 EC 10 ml/L) memiliki nilai konduktansi stomata paling tinggi yaitu sebesar 427,80 mmol/m2s bandingkan dengan perlakuan lainnya khususnya perlakuan kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan a2



39



(aplikasi Tobago 240 Ec 5 ml/L), dan perlakuan a4 (aplikasi Tobago 240 EC 15 ml/L). Tabel 6. Konduktansi stomata (mmol/m2s) pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Perlakuan



Umur tanaman tembakau 15 MST



17 MST



a1



153.3 c



148.3 c



a2



383.8 ab



378.8 ab



a3



432.7 a



427.8 a



a4



252.2 abc



246.2 abc



a5



243.2 bc



237.7 bc



a6



195.4 c



190.4 c



a7



183.7 c



178.7 c



Keterangan: 1) MST = minggu setelah tanam 2) Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut Tukey pada taraf nyata 5%. 3) Perlakuan a1 = kontrol; a2 = aplikasi Butralin 5 ml/L; a 3 = aplikasi Butralin 10 ml/L; a 4 = aplikasi Butralin 15 ml/L; a5 = aplikasi Butralin 20 ml/L; a 6 = aplikasi Butralin 25 ml/L; a 7 = aplikasi Butralin 30 ml/L



Konduktansi stomata merupakan respon yang berkaitan erat dengan proses fotosintesis (Soleh et al., 2017). Salisbury & Ross (1995) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi membuka dan menutupnya stomata yaitu faktor eksternal berupa intensitas cahaya matahari serta konsentrasi CO2 dan faktor internal berupa asam absisat (ABA). Asam absisat (ABA) merupakan salah satu fitohormon penting yang mengatur penutupan stomata melalui akumulasi ABA dalam sel pagar (guard cell). Akumulasi ABA menjadi sinyal menutupnya stomata (Mastur, 2016). Kandungan ABA pada tunas ketiak daun tanaman semangka yang diaplikasikan butralin mengalami penurunan secara bertahap, sedangkan pada tanaman kontrol kandungan ABA pertama menunjukan



40



penurunan namun kemudian meningkat (Ma et al., 2018). Butralin menyebabkan peningkatan konduktansi stomata dengan menurunkan akumulasi hormon ABA sehingga sel pagar pada stomata dapat terbuka dengan optimal. 4.2.7 Indeks Klorofil Hasil analisis untuk indeks selama 1 minggu setelah perlakuan menunjukan adanya pengaruh konsentrasi butralin terhadap indeks klorofil tanaman tembakau. Hasil uji Tukey pada Tabel 7 menunjukkan bahwa aplikasi butralin pada tanaman tembakau memberikan pengaruh terhadap jumlah daun tembakau umur 15 sampai 17 MST. Perlakuan a3 (aplikasi Butralin 10 ml/L) memiliki nilai indeks klorofil paling tinggi secara nilai yaitu sebesar 78,67 dibandingkan dengan perlakuan lainnya khususnya perlakuan kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan a4 (aplikasi Butralin 15 ml/L), perlakuan a5 (aplikasi Butralin 20 ml/L), perlakuan a6 (aplikasi Butralin 25 ml/L), dan perlakuan a7 (aplikasi Butralin 30 ml/L).



Tabel 7. Indeks klorofil (CCI) pada berbagai macam konsentrasi Butralin (ml/L) Perlakuan



Umur tanaman tembakau



41



15 MST



17 MST



a1



39.4 c



30 b



a2



56.8 b



35.8 b



a3



76.4 a



78.6 a



a4



69 ab



65.2 ab



a5



66.5 ab



56.2 ab



a6



66.1 ab



45.3ab



a7



57.9 b



42 ab



Keterangan: 1) MST = minggu setelah tanam 2) Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut Tukey pada taraf nyata 5%. 3) Perlakuan a1 = kontrol; a2 = aplikasi Butralin 5 ml/L; a 3 = aplikasi Butralin 10 ml/L; a 4 = aplikasi Butralin 15 ml/L; a5 = aplikasi Butralin 20 ml/L; a 6 = aplikasi Butralin 25 ml/L; a 7 = aplikasi Butralin 30 ml/L



Sintesis klorofil dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti air, gula atau karbohidrat, temperatur, dan unsur-unsur hara (Hendriyani & Setiari, 2009). Laju penyerapan hara yang tinggi menyebabkan sintesis klorofil dapat optimal, sehingga mengakibatkan nilaI indeks klorofil tinggi. Penelitian aplikasi butralin pada tanaman semangka menunjukan peningkatan kandungan hormon IAA di awal, kemudian stabil (Ma et al., 2018). Konsentrasi IAA yang rendah memacu pemanjangan sel-sel akar. Akar merupakan organ vegetatif dimana fungsi akar adalah sebagai alat pertautan tanaman ke tanah, alat penyalur nutrisi dari tempat serapan ke organ lain tanaman (Amir, 2016). Cakupan akar yang luas memungkinkan suplai nutrisi tanaman cukup akibat penyerapan hara yang lancar. Naungan alami yang berasal dari tajuk tanaman kelapa sawit juga menunjang nilai indeks klorofil pada tanaman tembakau dengan perlakuan butralin lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Menurut Rotundo et al. (2004) salah satu karakteristik penyesuaian terhadap penyinaran rendah akibat adanya



42



naungan adalah peningkatan kandungan klorofil daun. Peningkatan ini berhubungan dengan bertambahnya kompleks pemanenan cahaya (Light Harvesting Complex II) serta membesarnya antena pada fotosistem II yang mengakibatkan efisiensi penangkapan cahaya meningkat. 4.2.8 Bobot Basah Daun Tabel 8. Rata-rata bobot basah daun (gr) pada berbagai macam konsentrasi Butalin (ml/L) Perlakuan



Rata-rata bobot basah daun tembakau



a1



350,37 c



a2



507,77 bc



a3



585,45 ab



a4



594,08 ab



a5



786,90 a



a6



579,70 ab



a7



538,77 bc



Keterangan: 1) Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut Tukey pada taraf nyata 5%. 2) Perlakuan a1 = kontrol; a2 = aplikasi Butralin 5 ml/L; a 3 = aplikasi Butralin 10 ml/L; a 4 = aplikasi Butralin 15 ml/L; a5 = aplikasi Butralin 20 ml/L; a 6 = aplikasi Butralin 25 ml/L; a 7 = aplikasi Butralin 30 ml/L



Hasil analisis untuk bobot basah daun selama 4 minggu setelah perlakuan, yaitu pada 18 MST menunjukan adanya pengaruh konsentrasi butralin terhadap bobot basah daun tanaman tembakau. Hasil uji Tukey pada Tabel 8 menunjukan perlakuan a5 (aplikasi Butralin 20 ml/L) memiliki nilai bobot basah daun tertinggi yaitu sebesar 786,90 gr yang memberikan pengaruh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan a1 (kontrol), perlakuan a2 (aplikasi Butralin 5 ml/L), perlakuan a7 (aplikasi Butralin 30 ml/L), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.



43



konsentrasi butralin 20 ml/L dengan berat sebesar 786,9 gr, kemudian diikuti oleh perlakuan 10 ml/L, 15 ml/L, dan 25 ml/L yang secara statistik tidak berbeda nyata dengan berat berturut yaitu 585,425 gr, 594,075 gr, dan 579,7 gr. Selaras dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Li (2003) bahwa penggunaan butralin dapat meningkatkan hasil, nilai produk dan kandungan potasium (Li, 2003)



44



BAB V PENUTUP



5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil penelitian, Butralin berpengaruh terhadap pertumbuhan tembakau yang ditanam pada pertanaman kelapa sawit TBM III. 2. Terdapat 2 jenis konsentrasi Butralin yang berpengaruh paling baik pada variabel pertumbuhan dan hasil tembakau yaitu konsentrasi 5 ml/L dan konsentrasi 10 ml/L. Butralin dengan konsentrasi 5 ml/L merupakan konsentrasi terbaik terhadap jumlah daun, jumlah tunas ketiak daun, dan konduktansi stomata. Butralin dengan konsentrasi 10 ml/L merupakan konsentrasi terbaik terhadap tinggi tanaman, luas daun, diameter batang, indeks klorofil, dan bobot basah daun. 5.2 Saran Pada penelitian selanjutnya perlu diperhatikan pemeliharaan dan pemilihan bibit tembakau yang akan digunakan, sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan tembakau.



45



DAFTAR PUSTAKA Ali, M., & Hriyadi, B. W. (2018). Teknik Budidaya Tembakau. Amir, B. (2016). Pengaruh Perakaran Terhadap Penyerapan Nutrisi Dan Sifat Fisiologis Pada Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum). Jurnal Perbal, 4(1). Armaini, & Yoseva, S. (2012). Optimalisasi produksi kedelai [Glysine max (L) Merril] pada kebun kelapa sawit di lahan gambut dengan aplikasi beberapa komposisi pupuk dan pembenahan tanah. Jurnal Agrotek Tropika, 1(2), 11– 15. Asadi, Dimiarti, & Arsyad. (1991). Adaptasi Varietas Kedelai Pada Pertanaman Tumpangsari dan Naungan Buatan. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Bakht, J., Khalil, S. K., & Shafi, M. (2007). Comparative Effect of Suckericides and Manual Desuckering on the Yield and Quality of Fcv Tobacco. 23(1). Basyir, A. U. (2006). Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok. Pustaka At-Tazkia. Cahyono, B. (2011). Botani Tanaman Tembakau ( Nicotinae Tabaccum L. ). Kanisius. Dinas Perkebunan Indonesia. (2007). Definisi Tanaman Sawit. DPI. Egbe, O.M. (2010). Effects of plant density of intercropped soybean with tall sorghum on competitive ability of soybean and economic yield at Otobi, Benue State, Nigeria., Journal of Cereals and Oilseeds,1(1), 1-10 Elmore, C. L. (1992). Mitotic and structural effects of nitralin and butralin on ryegrass ( Lolium perenne L .) root meristems. Weed Research, 32, 77–86. Ferguson, J. H. A., & Schmidt, F. H. (1951). Rainfall types based on wet and dry period ratios for Indonesia with Western New Guinea. Kementerian Perhubungan dan Djawatan Meteorologi dan Geofisik. Handayani, A. (2010). Pengaruh Model Tumpang Sari Terhadap Pertumbuhan the Effect of Intercropping Model Against Wheat and. Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah, 479–488. Handayani, A. (2011). Pengaruh Model Tumpang Sari terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Gandum dan Tembakau. Widyariset, 14(3), 479–488. Hartono, J. (2011). TEKNIK PEMANGKASAN, PANEN, BLENDING DAN DESAIN ROKOK UNTUK MENURUNKAN KADAR NIKOTIN PADA TEMBAKAU DAN ROKOK. Perspektif, 10(1), 33–43.



46



Hudayya, A., & Jayanti, H. (2013). PENGELOMPOKAN PESTISIDA BERDASARKAN CARA KERJA (MODE OF ACTION) (L. Prabaningrum (ed.)). BALAI PENELITIAN TANAMAN SAYURAN. Indarti, D. (2014). OUTLOOK KOMODITI KELAPA SAWIT. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementrerian Pertanian. Karyawati A. S, B Waluyo & N. Basuki. (2010). Evaluasi penampilan plasma nutfah jagung dan galur Kedelai hasil mutasi untuk tumpangsari Menggunakan augmented design. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Kurniyati, R. (2010). Pengaruh Media dan Naungan Terhadap Mutu Bibit Suren (Toona Sureni MEER)’. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(2), 77– 88. Li, H. (2003). Utilization of Tobacco Sucker Control Agents in China. Journal of the Korean Society of Tobacco Science, 25(2), 154–159. Longwee, A. K. (2013). RESEARCH PROJECT REPORT SUBMITTED TO THE FACULTY OF AGRICULTURE IN PARTIAL FULFIMENT OF REQUIREMENT FOR THE DEGREE OF BACHELOR OF SCIENCE IN AGRONOMY. Mahmoud, Mohamed, El-Desouky, & Alla. (1998). Residual effect of soil application of some pesticides on growth and nodulation of soybean. Assiut Journal of Agricultural Sciences (Egypt), 27(3), 83–91. Makgoga. M.W. (2013). Influence of Lablab (Lablab purpureus) and Dry Bean (Phaseolus vulgaris) Intercrops With Maize (Zea mays l.) On Maize Grain Yield and Soil Fertility Status. a mini-dissertation submitted for the degree of master of science in agriculture (agronomy), in the department of plant production, soil science and agricultural engineering, school of agriculture and environmental sciences, faculty of science and agriculture, at the university of limpopo, south africa. Mangoendidjojo, W. (1983). Selection in Intercropping with Spring Wheat (Triticium aestivum L.) and with Dry Beans (Phaeseolus vulgaris L.). Mangoensoekarjo, Soepadiyio, & Semangun, H. (2008). Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University-Press. Mangoensoekarjo, Soepadiyo, & Haryono, S. (2008). Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University-Press. Marliah, A., Jumini, & Jamilah. (2010). Pengaruh Jarak Tanam Antar Barisan pada Sistem Tumpangsari Beberapa Varietas Jagung Manis dengan Kacang Merah terhadap Pertumbuhan dan Hasil. J. Agrista, 14(1), 30–38. Matnawi, H. (2002). Budidaya Tembakau Bawah Naungan. Kanisius. Meena, S. S., & Mehta, R. S. (2009). Effect of Weed Management Practices on



47



Weed Indices, Yield and Economics of Fennel (Foeniculum vulgare Mill.). Indian Journal of Weed Science, 41(3&4), 195–198. Nisa, A. C., Wibowo, R., & Rondhi, M. (2017). Strategi Peningkatan Mutu Tembakau Besuki Na-Oogst di PTPN X Kebun Kertosari Jember. Jurnal Manajemen Dan Agribisnis, 14(2), 174–185. https://doi.org/10.17358/jma.14.2.174 Nurcahyo, M. A. (2020). Analisis Penyerapan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau 2017-2019. Simposium Nasional Keuanngan Negara 2020, 464. Pahan, I. (2006). Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Rustam, E. L., & Agus, W. (2011). Buku Pintar Kelapa Sawit. Agro Media Pustaka. ROTUNDO, A., M. FORLANI and C. DI VAIO. 2004. Influence of shading net n vegetative and productive characteristics, gas exchange and chlorophyll content of the leaves in two blackberry (Rubus ulmifolius Schott). (serial on line). http:/www.actahort.org/books/457/457- 42.htm (9 September 2004). Sarwendah, M. (2015). KAJIAN PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA TANAMAN SELA SISTEM TUMPANGSARI PADA KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TBM 3 [Gadjah Mada University]. http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/84307 Sasmita, I., Supriyono, S., & Nyoto, S. (2014). Pengaruh Berbagai Varietas Jagung Secara Tumpangsari Additive Series Pada Pertanaman Kacang Tanah Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil. Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture, 29(1), 45. https://doi.org/10.20961/carakatani.v29i1.13312 Setiawan, A., & Trisnawati, Y. (1993). Pembudidayaan, Pengolahan dan pemasaran Tembakau. Penebar Swadaya. Setyanti, Y. H., Anwar, S., & Slamet, W (2013). KARAKTERISTIK FOTOSINTETIK DAN SERAPAN FOSFOR HIJAUAN ALFALFA (Medicago sativa) PADA TINGGI PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN NITROGEN YANG BERBEDA. Animal Agriculture Journal, Vol. 2. No. 1, 2013, p 86-96. http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj



Ma, S., Tian, H., & Wang, M. (2018). Effect of butralin on endogenous hormone of watermelon axillary buds. China Vegetables, (1), 50-54. Soliman, I. E., & Hamza, A. M. (2010). EVALUATION OF SOME HERBICIDES AGAINST FLAX DODDER ( CUSCUTA EPILINUM WEIHE ) IN FIBRE FLAX ( LINUM USTATISSIMUM L .) CULTIVATION. 50(3). https://doi.org/10.2478/v10045-010-0063-8 Suci, C. W., & Heddy, S. (2018). Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Keragaan Tanaman Puring (Codiaeum variegetum). Jurnal Produksi Tanaman, 6(1), 161–169. http://protan.studentjournal.ub.ac.id/index.php/protan/article/view/627



48



Sudaryono. (2004). PENGARUH NAUNGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM MIKRO PADA BUDIDAYA TANAMAN TEMBAKAU RAKYAT. In Pengaruh Naungan Terhadap…..J.Tek.Ling. P3TL-BPPT (Vol. 5, Issue 1). Sugiarto, A. (2018). Pengaruh Peningkatan Suhu Udara Terhadap Laju Transpirasi Bibit Lansium domesticum Corr. Surtinah, S. (2007). Kajian hubungan pertumbuhan vegetatif dengan produksi tomat (Lycopersicum esculentum, Mill). Jurnal Ilmiah Pertanian, 4(1), 1–7. Taiz, L., & Zeiger, E. (2006). Plant Physiology. Sinauer Associates Inc. Tamala, U., Al Habib, I. M., & Zuhro, F. (2019). EFEK PESENTASE GENANGAN AIR TERHADAP WAKTU PADA HIPOKSIA BEBERAPA AKSESI TEMBAKAU (Nicotiana tabacum L.). Jurnal Biologi & Konservasi (BIO-CONS), 1(2), 29–37. Treshow, M. (1970). Environment and Plant Response. McGraw-Hill Companies. Yousafzai, H. K., Marwat, K. B., & Khan, M. A. (2006). Impact of herbicides on some agronomie and chemical characteristics of flue-cured virginia (FCV) tobacco (Nicotiana tabacum L.). Songklanakarin Journal of Science and Technology, 28(5), 929–935.



49



LAMPIRAN Lampiran 1. Tata letak percobaan



U



S i KS



= Tanaman Kelapa Sawit



a1



= Kontrol (tanpa perlakuan)



a2



= Butralin dengan konsentrasi 5 ml/L



a3



= Butralin dengan konsentrasi 10 ml/L



a4



= Butralin dengan konsentrasi 15 ml/L



a5



= Butralin dengan konsentrasi 20 ml/L



a6



= Butralin dengan konsentrasi 25 ml/L



a7



= Butralin dengan konsentrasi 30 ml/L



Lampiran 2. Data iklim lahan percobaan a. Data suhu



50



Stasiun Variabel Garis lintang Garis bujur Tinggi di Atas Permukaan Laut Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah Rata-rata



Stasiun Variabel Garis lintang



Max 28.8 28.4 29 29.6 29.4 29.8 26.6 28.4 28.6 29 30 27.8 29 30 29 30 29.8 28.6 30 29.6 28.4 29.4 27 28.6 27 29 28 27 26.2 28.2   860.2 28.7



: Faperta UNPAD : Suhu (Temperatur) ℃ : 6.92 LS : 107.77 BT : 829 m November Min 13.6 13.4 14 13.6 12.6 14 12.6 13 12 12.4 14 14.4 13 14.6 13.6 14.2 15 15.8 14.8 14.4 13.4 12.8 15.4 13.6 13.4 12.8 13 12.8 12.6 12.4   407.2 13.6



Rata-rata 23.00 22.10 22.00 24.20 23.50 24.20 23.40 22.90 22.30 23.90 24.60 22.60 23.80 24.30 24.00 24.60 24.30 24.30 24.20 24.40 24.00 23.30 22.30 22.60 21.90 23.20 22.60 23.70 22.60 22.60   699.4 23.3



: Faperta UNPAD : Suhu (Temperatur) ℃ : 6.92 LS



51



Garis bujur Tinggi di Atas Permukaan Laut Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah Rata-rata



Stasiun Variabel Garis lintang



Max 28.6 29 28 30 25 25 27 28.6 28.8 29 27.4 28.2 27 28 27.6 26 28.6 27 28.8 28.6 28.4 27.8 28.8 24 29.4 27 28 27.6 28 27 27 864.2 27.9



Desember Min 13 11.6 12 14 12 11.6 13.4 12.8 11 11.4 11.6 13 12.6 13.8 14 13.6 12.8 13 13.8 14 12 15 14 15 14 12 13.4 13.6 13 14.2 13.4 404.8 63



: 107.77 BT : 829 m R 22.2 22.7 23.6 23.9 22.4 22.2 21.6 22.8 22.3 22.9 22.1 22.7 21.6 22.4 22.9 21.6 22.7 21.8 22.9 22.5 23.4 22.7 23.0 23.4 22.9 22.5 22.2 23.5 23.6 22.4 22.6 702 22.6



Max 28 29 28.4 27 27 27.4 27 26.6 27.8 26 26.4 28 28.4 26.4 27 26.6 28.6 28 26 24.6 24.8 27 27.4 25.4 26 27.6 26 27.8 24.6 24.4 26 831.2 26.8



Januari Min 12 13 14 12.4 14 13.2 13 14.6 15 14.8 14 13.8 15 15.4 13.8 14.4 13.4 13.8 13.4 12.6 13.6 14 14.4 14.2 13.4 12.8 13.4 13.8 12.8 13.6 13 831 26.8



: Faperta UNPAD : Suhu (Temperatur) ℃ : 6.92 LS



R 23.4 23.7 23.2 21.6 22.4 22.8 23.0 23.2 22.8 22.1 22.3 23.1 23.1 22.5 23.2 22.3 22.6 22.8 22.4 21.8 21.9 22.0 22.4 22.5 22.3 23.9 22.0 22.8 21.8 21.4 22.5 698.8 22.5



52



Garis bujur Tinggi di Atas Permukaan Laut Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah Rata-rata



Max 27.8 26.6 27.6 27.4 28 26.4 26.4 27 28 28.6 29 29.6 30 28 29.4 27.8 27 27 23 24 24.6 27.6 27.6 25.6 25.4 25.6 28.6 29.8



  765.4 27.4



Februari Min 13 13.8 14 13.6 14.4 12.4 12.6 13 14.4 14.4 15 14.6 14 14.8 15 14 15.4 12.6 11 12.8 11.6 12.6 13.4 13.2 13 12 13.6 12.6



375.8 13.4



: 107.77 BT : 829 m



R 23.0 23.5 22.9 22.5 22.8 22.8 22.6 22.9 23.4 23.3 23.5 24.2 24.3 23.6 24.1 23.3 23.1 22.2 21.2 21.3 21.2 22.1 21.2 22.1 21.8 22.1 23.1 23.9



  638.5 22.8



Max 29.4 28.4 27.4 27.6 27.6 28 26.6 26 27.4 27.6 28.8 28.8 29 28.6 27.4 27.6 28 27 28.4 27 27.4 28 27.4 28 27.6 28.8 28 28.4 29.8 27 28 865 28



Maret Min 15.6 15.8 14.4 14.8 13.8 15 14.2 14 14 14.6 14 14.2 14.6 13 13.8 14.2 13.2 14 14.4 13 13.4 14.4 14.6 14.6 14 13.8 14 13 14 13.6 13.4 437.4 14.1



R 23.6 23.7 22.7 22.2 22.0 22.2 22.1 22.9 22.2 22.7 23.2 22.9 22.9 22.2 22.0 22.3 21.7 21.9 22.2 22.9 22.2 22.7 22.7 22.6 22.1 22.5 23.2 23.2 23.5 23.3 22.7 679.7 22.0



b. Data Curah Hujan, Kelembaban Udara, dan Penyinaran Matahari Stasiun : Faperta UNPAD



53



Variabel Garis lintang Garis bujur Tinggi di Atas Permukaan Laut Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah Rata-rata



Stasiun Variabel



: Data Curah Hujan, Kelembapan Udara, dan Penyinaran Matahari : 6.92 LS : 107.77 BT : 829 m



Curah Hujan (mm) November 30.5 6.5 1.0 2.5 4.5 0.0 5.5 3.0 12.0 0.0 2.0 40.0 26.0 1.0 12.0 1.5 3.5



Penyinaran Matahari (%) November 50.0 25.0 100.0 100.0 25.0 100.0 62.5 12.5 62.5 75.0 87.5 62.5 87.5 100.0 87.5 87.5 100.0 37.5 100.0 100.0 62.5 75.0 62.5 87.5 62.5 87.5 62.5 37.5 18.8



Kelembaban Udara (%) November 88.0 89.0 86.0 84.0 86.0 86.0 90.0 89.0 86.0 81.0 81.0 90.0 82.0 82.0 86.0 84.0 82.0 87.0 85.0 84.0 89.0 87.0 92.0 91.0 92.0 87.0 89.0 92.0 94.0 98.0



151.5 5.1



2018.8 67.3



2619.0 87.3



: Faperta UNPAD : Data Curah Hujan, Kelembaban Udara, dan Penyinaran Matahari



54



Garis lintang Garis bujur Tinggi di Atas Permukaan Laut



Tanggal



Curah Hujan (mm)



Penyinar an Matahari (%)



Desember Januari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah Rata-rata



Stasiun



5.5 9.0 1.5 5.5 0.0 3.0 0.0 1.0 2.5 25.0 6.5 14.5 2.5 3.0 30.0 4.0 53.0 3.5 1.5 4.5 0.0 3.0 4.0 183.0 6.1



: 6.92 LS : 107.77 BT : 829 m



3.0 14.0 22.5 1.0 0.0 2.0 99.0 23.0 1.5 62.0 1.0 12.0 24.0 1.5 2.5 3.5 56.0 2.5 1.5 4.0 20.5 12.0 7.0 1.5 377.5 12.6



Kelembaban Udara (%) Desember



Januari



62.5 62.5 50.0 75.0 12.5 12.5 87.5 25.0 75.0 12.5 50.0 56.3 25.0 25.0 62.5 100.0 62.5 50.0 25.0 37.5 75.0 12.5 25.0 25.0 62.5 37.5 12.5 37.5 1256.3 41.9



62.5 37.5 25.0 25.0 37.5 62.5 12.5 50.0 62.5 6.3 56.3 68.8 62.5 12.5 12.5 25.0 75.0 75.0 6.3 12.5 50.0 43.8 6.3 37.5 50.0 37.5 1012.5 33.8



: Faperta UNPAD



Desembe r 93.0 94.0 92.0 86.0 89.0 93.0 91.0 89.0 86.0 94.0 91.0 88.0 92.0 90.0 92.0 93.0 91.0 94.0 88.0 89.0 89.0 92.0 92.0 90.0 87.0 93.0 91.0 92.0 92.0 92.0 91.0 2816.0 93.9



Januari 86.0 89.0 92.0 93.0 92.0 89.0 89.0 92.0 93.0 93.0 94.0 91.0 90.0 94.0 94.0 92.0 92.0 88.0 94.0 95.0 95.0 92.0 90.0 92.0 93.0 92.0 95.0 89.0 96.0 96.0 92.0 2854.0 95.1



55



Variabel Garis lintang Garis bujur Tinggi di Atas Permukaan Laut



Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah



Penyinar an Matahari (%) Februari Maret 4.5 20.5 3.5 4.0 19.5 7.5 69.0 3.5 5.0 9.5 7.0 16.5 7.0 6.5 1.0 25.0 24.0 0.0 12.0 2.5 19.0 30.0 8.5 5.0 19.0 14.5 1.5 31.5 3.5 30.5 42.0 2.0 70.0 11.0 17.0 2.0 29.5   17.0   3.0   4.0



: Data Curah Hujan, Kelembaban Udara, dan Penyinaran Matahari : 6.92 LS : 107.77 BT : 829 m



Curah Hujan (mm)



118.0



490.5



Kelembaban Udara (%) Februari 75.0 50.0 12.5 37.5 62.5 25.0 12.5 62.5 37.5 87.5 50.0 37.5 12.5 50.0 12.5 37.5 12.5 37.5 6.3 25.0 37.5 50.0       831.3



Maret 75.0 50.0 50.0 43.8 50.0 50.0 12.5 37.5 50.0 87.5 62.5 87.5 75.0 25.0 50.0 75.0 62.5 75.0 62.5 62.5 75.0 62.5 62.5 37.5 100.0 25.0 100.0 100.0 25.0 62.5 1793. 8



Februari 89.0 88.0 91.0 91.0 92.0 93.0 94.0 92.0 88.0 89.0 89.0 86.0 79.0 83.0 87.0 89.0 89.0 90.0 95.0 95.0 95.0 93.0 93.0 91.0 91.0 93.0 91.0 87.0      



Maret 88.0 89.0 89.0 92.0 91.0 92.0 93.0 93.0 92.0 90.0 88.0 90.0 89.0 88.0 89.0 93.0 92.0 90.0 94.0 91.0 92.0 91.0 90.0 94.0 94.0 90.0 91.0 91.0 88.0 93.0 90.0



2523.0



2817.0



56



Rata-rata



4.2



15.8



29.7



57.9



90.1



90.9



Salah satu faktor yang mempengaruhi laju fotosintesis tanaman yaitu intensitas sinar matahari yang tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman



seperti kepadatan kanopi, ukuran dan



bentuk daun serta letak daun (Treshow, 1970). Intensitas sinar matahari yang tepat bagi tanaman dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap produksi tanaman tersebut. Tanaman dengan intensitas sinar matahari yang sesuai dapat memberikan keuntungan, salah satunya adalah pertambahan luas daun dan tinggi tanaman. Penyungkupan pada tanaman caisin menyebabkan luas daun lebih luas dibandingkan dengan tanpa penyungkupan. Hasil tersebut berbeda nyata dengan selisih luas daun sebesar 356.55 cm 2 pada 4 MST (Sulistyaningsih, dkk., 2005). Berdasarakan hal tersebut, pemberian naungan pada tembakau diharapkan dapat meningkatkan luas daun akibat penurunan intensitas sinar matahari.



(ubah



referensi ttg naungan)



Pertumbuhan dan hasil produksi tembakau dapat lebih baik dengan kegiatan suckering secara kimiawi (Bakht et al., 2007)., sehingga cocok diaplikasikan pada tembakau sebagai tanaman sela pada pertanaman kelapa sawit TBM III Kondisi tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan buah menjadikan usahatani kelapa sawit TBM III tidak mengalami pemasukan. Penggunaan tembakau sebagai tanaman sela pada areal tanam kelapa sawit selain membantu mengendalikan pertumbuhan gulma, juga dapat memberikan pemasukan usahatani saat fase TBM III.



57



Tanaman memiliki mekanisme toleransi terhadap naungan guna memperoleh cahaya yang lebih banyak atau optimalisasi penerimaan cahaya oleh tanaman, sehingga tanaman akan beradaptasi terhadap lingkungan tersebut dengan memperluas areal permukaan daun. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suci (2018) pada pengaruh macam-macam intensitas sinar matahari terhadap tanaman puring menunjukan bahwa semakin meningkatnya tingkat intensitas sinar matahari, didapatkan lebar daun yang semakin menurun (Suci & Heddy, 2018). Pemberian naungan pada penanaman tembakau secara tumpang sari dengan kelapa sawit TBM III akan memberikan intensitas sinar matahari yang lebih rendah karena adanya tajuk kelapa sawit sehingga dapat memacu pertambahan luas daun.