E Book Folklor [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FOLKLOR JAWA Penulis: Dr. Purwadi, M.Hum Desain Cover: Haytami El-Jaid Penerbit: Pura Pustaka Yogyakarta ISBN: 978-979-17061-2-5 Cetakan I, Oktober 2009



2



KATA PENGANTAR Buku ajar ini digunakan untuk memperlancar proses belajar mengajar pada mata kuliah Folklor Jawa. Folklor Jawa menyebar di berbagai daerah dan berlangsung berabad-abad lamanya. Pewarisan folklor dari generasi ke generasi banyak dilakukan melalui tradisi lisan. Sebagai kekayaan budaya, folklor ternyata mengandung nilai kearifan lokal yang masih relevan digunakan untuk memecahkan aneka ragam problematika kultural yang terjadi di era globalisasi dewasa ini. Dengan mengkaji definisi, fungsi, hakikat dan jenisjenis folklor, maka akan diketahui makna yang tersirat dan tersurat yang terdapat di dalamnya. Tradisi lisan yang mempunyai nilai local wisdom ini dapat memperkokoh jati diri bangsa. Sosialisasi dan publikasi warisan budaya yang terdapat di seluruh penjuru nusantara memang perlu dilakukan, dengan harapan agar masyarakat pada umumnya dan generasi muda pada khususnya dapat memberi apresiasi yang memadai. Kehadiran buku ajar ini merupakan usaha yang tiada henti terhadap pendokumentasian folklor di tanah Jawa. Masih banyak jenis-jenis dan bentuk folklor Jawa yang belum dicatat dalam buku ini. Mudah-mudahan ada pihak lain yang bersedia melanjutkan pekerjaan pendokumentasian budaya, sehingga ada referensi yang lebih lengkap dan berkesinambungan. Yogyakarta, 10 Oktober 2009



Dr. Purwadi, M.Hum



3



DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi BAB I.



Folklor Dalam Masyarakat



BAB II. Kepercayaan Tentang Alam Lelembut BAB III. Mitos dan Cerita Rakyat BAB IV. Mantra Sakti dan Daya Tuahnya BAB V. Ramalan dan Astrologi BAB VI. Membahas Nasehat Keutamaan BAB VII. Seni Tari dan Musik Daftar Pustaka Biografi Penulis



4



BAB I



Folklor Dalam Masyarakat A. Pengertian Folklor Kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti kolektif atau kebersamaan. Kata lore berarti tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Dengan demikian definisi folklore secara keseluruhan adalah tradisi kolektif sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat, sehingga tetap berkesinambungan dari generasi ke generasi (Dananjaya, 1984 :2). Menurut buku Dictionary of Anthropology dijelaskan bahwa folklor adalah the common orally transmitted traditions, myths, festival, songs, superstition and of all peoples, folklore has come to mean all kind of oral artistic expression. It may be found in societies. Originally folklore was the study of the curiousities (Wininck, 1961: 217). Folklor meliputi dongeng, cerita, hikayat, kepahlawanan, adat-istiadat, lagu, tata cara, kesusastraan, kesenian dan busana daerah. Masing-masing merupakan milik masya-



5



rakat tradisional secara kolektif. Perkembangan folklor mengutamakan jalur lisan. Dari waktu ke waktu bersifat inovatif atau jarang mengalami perubahan. Oleh karena folklor berbentuk anonim, maka seseorang atau individu tidak berhak memonopoli hak kepemilikan. Setiap anggota masyarakat boleh untuk merasa memiliki dan mengembangkan sesuai dengan situasi kondisi setempat. Dapat dikatakan bahwa folklor dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya dengan sukarela dan penuh semangat, tanpa ada paksaan. Di banyak tempat, folklor berfungsi sebagai pembentuk solidaritas sosial. Kadang-kadang penyelenggaraan folklor berkaitan dengan ritual mistik. Tujuannya adalah untuk memperoleh ketentraman hidup. B. Fungsi Folklor Jawa Pengkajian folklor Jawa yang dilakukan oleh para ahli telah melahirkan beragam kesimpulan berbobot. Bentuk-bentuk folklor pun beraneka rupa (Dananjaya, 1984: 21). Bentuk folklor lisan misalnya logat, julukan, pangkat dan titel. Dalam formula ungkapan tradisional dikenal adanya paribasan, bebasan dan saloka. Sedangkan dalam netrum lagu muncul sekar ageng, mcapat, dan dolanan. Dalam sajian tari-tarian terdapat tayuban, joged dan kuda lumping.



6



Dalam peradaban Jawa terdapat dua subkultur yang mudah untuk dibedakan. Keduanya yaitu kultur negara dan kultur desa. Orang Jawa mengatakan, negara mawa tata, desa mawa cara. Negara memakai aturan hukum formal, desa menggunakan aturan adat tradisional. Negara dalam istilah kejawen mengacu pada teritorial kota. Pendukung utama peradaban kota adalah istana atau keraton. Kebudayaan kraton dipublikasikan melalui babad atau cerita sejarah (Sartono, 1986: 3). Adapun tradisi pedesaan berupa dongeng, parikan, dan tutur lisan sebagai sarana penyebarannya. Dipandang dari sudut fenomenologis, baik sastra babad maupun cerita rakyat merupakan konstruk dalam alam pikiran, tanpa perbedaan esensial. Pada pokoknya babad merupakan dokumentasi tertulis, sedangkan cerita rakyat termasuk sarana komunikasi lisan. Dalam perkembangannya selama berabad-abad, kebudayaan Jawa telah mengalami proses yang saling mempengaruhi antara kedua subkultur tersebut. Folklor Jawa



sesungguhnya



merupakan



produk



dari



proses



sinkretisasi antara pelbagai unsur. Di antaranya karena pengaruh Hinduisme, Budhisme dan Islam, yang membentuk sebuah akulturasi kebudayaan. Proses tersebut amat menguntungkan bagi pembentukan identitas lokal.



7



C. Hakikat Folklor Hakikat folklor merupakan identitas lokal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat tradisional. Rasa memiliki terhadap tradisi yang sudah mengakar dan menyejarah menyebabkan emosi masing-masing warganya menjadi manunggal. Perasaan senasib dan seperjuangan terbentuk oleh karena identitas lokal sudah terlebih dahulu lahir.



Folklor



Jawa



yang



bervariasi



jumlahnya



itu



merupakan kekayan batin yang perlu dikaji terus menerus. Dalam sejarah kebudayaan justru lewat folklor dapt diuniversalkan sehingga memperoleh tempat di kawasan yang lebih mondial. Contohnya adalah folklor Yunani seperti Hercules, Odipus atau Persius. Dari India muncul ephos Mahabarata dan Ramayana. Dalam konteks kejawen, terdapat kisah sebagaimana yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Jawi. Sebagai buku putih kraton Maatram, babad Tanah Jawi berfungsi untuk memberi legitimasi kekuasaan. Hegemoni Mataram atas daerah takhlukan perlu adanya integrasi politik. Dinasti Mataram yang sedang memerintah dihubungkan dengan folklor lokal. Misalnya dengan Joko Tarub, Ki Ageng Sela Ki Ageng Giring, Joko Tingkir, Nyai Rara Kidul dan Sunan Kalijaga. Tradisi kenegaraan dan pedesaan di sini terjadi asimilasi dan simbiosis yang saling menguntungkan.



Ujung-ujungnya



keselarasan sosial (Sartono, 1986 : 5). 8



adalah



tercapainya



Salah satu cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat



Jawa



adalah



kisah



Jaka



Tarub



dan



Nawangwulan. Certia uang sangat populer ini kemudian dihubungkan dengan silsilah para penguasa Mataram. Ada lagi cerita rakyat lainnya, yaitu kisah Rara Jonggrang, Gunung Batok, Segara Wedhi dan Rawa Pening (Soeparto, 1986 : 7). Kadang kala antar cerita rakyat itu mempunyai pola, struktur dan tema yang sama. Kalau diteliti lebih lanjut, ternyata folklor yang menjadi identitas lokal tersebut merupakan kebanggaan kolektif sekaligus wahana untuk melakukan refleksi spiritual. Pada bulan Ruwah banyak diselenggarakan upcara nyadran atau berziarah di makam leluhur. Para perantau



menyempatkan



pulang



kampung



untuk



mendoakan arwah di makam. Upacara nyadran sudah berlangsung dan lestari hingga saat ini. D. Sifat Folklor Monumen sejarah pada suatu wilayah merupakan indikator mengenai historisitas dan menunjukkan unit kulturnya. Demikian pula manfaat folklor sebagai monumen tradisi lisan, ternyata menunjukkan identitas kultural. Folklor menampilkan watak atau corak kebudayaan daerah. Historisitas daerah itu dimanivestasikan dan dengan demikian sekaligus juga karakter atau identitasnya. dimensi



9



historis kultural di wilayah tersebut diungkapkan, maka lewat folklor watah daerah itu tampil dengan jelas. Beberapa folklor yang masih beredar di beberapa wilayah di antaranya: 1.



Folklor tentang Gunung Wijil



2. Folklor tentang Hutan Belang Suling 3. Folklor tentang Desa Watusigar 4. Folklor tentang Mangadeg 5. Folklor tentang Keduwang 6. Folklor tentang Tirtamaya 7. Folklor tentang Gunung Tengger 8. Folklor tentang Upacara Kesada 9. Folklor tentang Dewi Sri 10. Folklor tentang Andhe-andhe Lumut Contoh-contoh folklor di atas merupakan sumber informasi tentang kebudayaan daerah. Di situ dapat dijumpai ekspresi nyata dari alam pikiran masyarakat. Folklor



mengekalkan



pola-pola



kebudayaan



suatu



kelompok masyarakat. Dengan dikaji dan dipelajari akan tahu motif dan arti kebudayaan mereka, sehingga pikiran, tindakan karyanya dapat dipahami pula. Usaha pelestarian folklor terdapat dalam ungkapan tradisional Jawa, yang merupakan kristalisasi pengalaman, cerminan pikiran, pantulan perasaan masyarakat pendukungnya. Ungkapan tradisional sebagai kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang. Di dalamnya 10



terdapat kebijaksanaan kolektif dan kecerdasan sosial (Sumarti, 1986: 4). Bagi seseorang folkloris adalah kurang penting menyatakan suatu dongeng itu milik pribumi asli atau sekedar cerita impor. Yang paling penting cerita itu terus saja diulang-ulang, sehingga membentuk ideologi. Contohnya adalah cerita Andhe-andhe Lumut yang seperti dongeng Cinderela dan bernilai pedagogis. Penyebaran folklor Jawa ada yang melalui nyanyian rakyat. Beberapa contoh nyanyian rakyat yang terkenal di antaranya: 1.



Tokung-Tokong



2. Bulan-Bulan Gedhe 3. Adang-adang Kenthang 4. Atur-atur Kumendhur 5. Dhengkul Ega-ega 6. Pring Tumpuk-tumpuk 7. Wulung-wulung 8. Wewe-wewe Blorok 9. Uri-uri 10. Embleg-embleg 11. Cengkir-cengkir Legi 12. Sluku-sluku Bathok 13. Pring Sadul-sadul 14. Dhengkul Uthek-uthek 15. Jamuran 16. Cublak-cublak suweng 11



17. Ilir-ilir 18. Menthok-menthok 19. Mbok Sibombok 20. Gundhul Gundhul Pacul Adapun nyanyian rakyat secara keseluruhan yang kadang-kadang sebagai pengiring permainan tersebut juga sebagai bermasyarakat bagi anak-anak (Haryono, 1986: 9). Pelestarian folklor melalui nyanyian rakyat tersebut tentu sangat mengakar, karena dilakukan oleh anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Dalam hal ini folklor merupakan pengasah pranata sosial uang bersifat didaktis, historis, humoris, herois dan humanis (Sardanto, 1986: 5). Kekayaan



budaya



bangsa



tersebut



memang



berlimpah ruah bentuknya. Generasi sekarang tinggal mewarisi dengan cara yang lebih aktif, modifikatif dan kreatif. Folklor Jawa tersebut dapat digunakan sebagai pengokoh jatidiri dan kepribadian nasional. Tentu saja perlu sikap dan tindakan kolektif yang nyata dan terprogram dalam kurun waktu yang terencana, sehingga cita-cita luhur itu dapat terwujud.



12



BAB II



Kepercayaan Tentang Alam Lelembut



A. Makhluk Halus Kepercayaan terhadap kehidupan makhluk halus menyebar di berbagai wilayah tanah Jawa. Orang Jawa menjaga hubungan dengan dunia makhluk halus. Bagi orang yang telah mencapai ilmu sejati dalam Kejawen atau mungkin yang sudah menguasai metafisika, dunia makhluk halus itu biasa adanya dan bukan omong kosong. Ada dua macam makhluk halus: Pertama, makhluk halus asli yang memang diciptakan sebagai makhluk halus. Makhluk-makhluk halus yang asli mereka tinggal di dunianya masing-masing, mereka mempunyai masyarakat maka itu ada makhluk halus yang mempunyai kedudukan tinggi seperti raja, ratu, menteri. Sebaliknya ada yang berpangkat rendah seperti prajurit, pegawai, pekerja. Kedua, makhluk halus yang berasal dari manusia yang telah meninggal. Seperti juga manusia ada yang baik dan jahat, ada yang pintar dan bodoh. Banyak ahli Kejawen



13



mempunyai pendapat yang sama bahwasannya di dalam dunia yang satu dan sama ini, sebenarnya dihuni oleh beberapa macam alam kehidupan, termasuk alam yang dihuni oleh manusia. Dunia ini terdapat beberapa lapis alam yang ditempati oleh bermacam-macam makhluk. Makhluk-makhluk tersebut, pada prinsipnya mengurusi alamnya masing-masing. Aktivitas mereka tidak bercampur dan setiap alam mempunyai urusannya masing-masing. Alam manusia mempunyai matahari dan penduduknya yang terdiri dari manusia, binatang dan lain-lain. Warga alam yang lain mereka mempunyai badan cahya ‗badan dari cahaya‘ atau yang secara populer dikenal sebagai makhluk halus. Alam-alam itu tidak ada hari yang terang-benderang karena tidak ada matahari. Keadaannya seperti suasana malam yang cerah di bawah sinar bulan dan bintang-bintang yang terang. Tidak ada sinar yang menyilaukan seperti sinar Sang Hyang Bagaskara. Di antaranya dapat dijelaskan sebagai berikut : Merkayangan. Kehidupan di alam ini hampir sama seperti kehidupan di dunia manusia, kecuali tidak adanya sinar terang seperti matahari. Dunia merkayangan sama seperti dunia manusia, misalnya membayar dengan uang yang sama, memakai macam pakaian yang sama. Ada banyak mobil yang jenisnya sama di jalan-jalan, ada banyak pabrik-pabrik persis seperti di dunia manusia. Mereka memiliki tehnologi yang lebih canggih dari manusia, kota14



kotanya lebih modern ada pencakar langit, pesawatpesawat terbang yang ultra modern dll. Ada juga hal-hal yang mistis di dunia Merkayangan ini. Kadang-kadang bila perlu ada juga manusia yang diundang oleh mereka antara lain untuk melaksanakan pertunjukan, menghadiri upacara perkawinan, bekerja di pabrik atau keperluan lain. Manusia yang melakukan pekerjaan di dunia tersebut, dibayar dengan uang yang sah dan berlaku seperti mata uang di dunia manusia. Siluman. Makhluk halus ini suka tinggal di daerah seperti di danau-danau, laut, samudera. Masyarakat siluman diatur seperti masyarakat zaman kuno. Mereka mempunyai raja dan ratu. Terdapat golongan aristokrat, pegawai-pegawai, prajurit, pembantu-pembantu. Mereka tinggal di kraton-kraton, rumah-rumah bangsawan, rumahrumah kuno. Di Yogyakarta atau Jawa Tengah, orang akan mendengar cerita tentang beberapa siluman laut yakni Kanjeng Ratu Kidul, sangat berkuasa dan amat cantik. Ia tinggal di istana Laut Selatan. Di Parangkusumo terkenal sebagai tempat pertemuan antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, dalam pertemuan itu, Kanjeng Ratu Kidul berjanji untuk melindungi semua raja dan kerajaan Mataram. Ia mempunyai seorang patih yang sakti yaitu Nyai Roro Kidul. Kerajaan laut selatan ini terhampar di pantai selatan Jawa, di beberapa tempat kerajaan ini mempunyai adipati. Seperti layaknya sebuah negeri di 15



kerajaan laut selatan ini juga ada berbagai upacara, ritual dan mereka juga mempunyai angkatan perang. Kajiman. Kajiman



hampir sama dengan bangsa



siluman, tetapi mereka itu tinggal di daerah-daerah pegunungan dan tempat-tempat yang berhawa panas. Orang biasanya menyebut merak Jim. Demit. Demit bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang hijau dan lebih sejuk hawanya, rumahrumah mereka bentuknya sederhana terbuat dari kayu dan bambu, mereka itu seperti manusia hanya bentuk badannya lebih kecil. Di samping masyarakat yang sudah teratur seperti Merkayangan, Siluman, Kajiman, dan Demit masih ada lagi sebuah alam yang terjepit, di mana roh-roh dari manusiamanusia yang jahat menderita karena kesalahan yang telah mereka perbuat pada masa lalu, ketika mereka hidup sebagai manusia. Manusia yang salah itu pasti menerima hukuman untuk menebus kesalahan yang dilakukannya. Hukuman itu bisa dijalani pada waktu masih hidup di dunia sesudah mati. Pemujaan dalam Kejawen bukanlah patungpatung batu, tetapi pada sembilan macam makhluk halus yang dipercaya bisa menolong menjadi kaya secara material. Kesembilan makhluk jahat itu bila dilihat dengan mata biasa kelihatan seperti : Jaran Penoreh



- kuda yang kepalanya menoleh ke belakang 16



Kutuk Lamur



- sebangsa ikan, penglihatannya tidak terang



Gemak Melung



- gemak, semacam burung yang berkicau



Codot Ngising



- kelelawar berak



Bulus Jimbung



- bulus yang besar



Kandang Bubrah - kandang yang rusak Umbel Molor



- ingus yang menetes



Bajul Putih



- buaya putih.



Srengara Nyarap- anjing menggigit Urip iku mung mampir ngombe artinya hidup di dunia ini hanyalah untuk mampir minum, itu artinya orang hidup di dunia ini hanya dalam waktu singkat maka itu berbuatlah yang bener lan pener. Bagi mereka yang telah melakukan



kesalahan



dengan



jalan



memuja



atau



menggunakan jasa berhala di atas, mereka tentu sesudah kematian mereka mendapat hukuman dari sangkan paraning dumadi. Hukuman sesudah kehidupan dipercaya orang Jawa sebagai hukuman yang amat berat, dan tidak ada penderitaan yang melebihi. Maka, setiap orang harus berusaha untuk menghindarinya dengan selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan memerintahkan agar kita senantiasa melakukan perbuatan yang baik dan benar, berkelakuan baik, jujur dan suka menolong.



17



Serat Kalatida karya Ranggawarsita yang sangat terkenal menyatakan Dilalah kersaning Allah, begja begjane wong kang lali, isih begja kang eling lan waspada, ditafsirkan bahwa eling, berarti kita senantiasa dituntut untuk berbakti kepada Tuhan dan selalu berzikir kepada Tuhan,



tidak



melupakan



dan



tidak



meninggalkan



sembahyang. Waspada berarti mampu membedakan yang benar dan yang salah, artinya selalu wiweka.



Hal ini



penting agar kita tidak ikut gila, tergilas oleh arus zaman dan hanyut dalam situasi yang tidak menentu. B. Demit Menghuni Suatu Tempat Ada banyak versi tentang mitos penciptaan Jawa, Babad Tanah Jawi.' Dalam suatu dongeng yang dikisahkan kepada saya oleh seorang dalang di desa sebelah utara Mojokuto, kisah itu mulai dengan Semar, pelawak wayang kulit yang lucu dan bijak, pahlawan kebudayaan Jawa, yang berbicara kepada seorang pendeta Hindu-Muslim, orang pertama dari rangkaian panjang para kolonis Pulau Jawa. Pendeta itu berkata kepada Semar: "Ceritakan kepadaku kisah Pulau Jawa sebelum ada manusia." Semar mengatakan bahwa pada masa itu seluruh pulau diliputi oleh hutan belantara kecuali sebidang kecil sawah tempat Semar bertanam padi di kaki Gunung Merbabu (sebuah gunung berapi di Jawa Tengah), tempat selama puluhan ribu tahun ia hidup tenang bertani. "Apakah kau ini?" tanya pendeta 18



itu keheranan. "Apakah kau ini manusia? Umurmu bukan main panjangnya! Aku tak pernah menjumpai orang yang berumur puluhan ribu tahun! Itu tidak mungkin! Tentu kau bukan manusia. Bahkan Nabi Adam hanya berusia seribu tahun!



Makhluk



apakah



kau



ini?



Akui



saja



yang



sebenarnya!" "Sebenarnya," kata Semar, "aku bukan manusia, aku adalah makhluk halus yang menjaga - danyang - Pulau Jawa. Aku adalah makhluk halus yang tertua, raja dan nenek moyang sekalian makhluk halus, dan melalui mereka ini menjadi raja seluruh manusia." Dalam nada yang berubah, ia melanjutkan: "Tetapi aku juga mempunyai sebuah pertanyaan untukmu. Mengapa kau hancurkan negeriku? Mengapa kau datang ke sini dan mengusir anak cucuku? Makhluk-makhluk halus itu, kalah oleh kekuatan spiritual dan ilmu agamamu, perlahan-lahan terpaksa melarikan diri ke kawah-kawah gunung berapi atau ke dasar Laut Selatan. Mengapa kau lakukan ini?" Pendeta itu pun menjawab, "Aku telah diperintahkan oleh raja Rum (sebuah negeri Arab di sebelah barat India, demikian penjelasan dalang itu) untuk mengisi pulau ini dengan umat manusia. Aku harus membabat hutan untuk dijadikan persawahan, membangun desa, dan memukimkan dua puluh ribu orang di sini sebagai kolonis. Ini adalah titah rajaku dan kau tak bisa menghentikannya. Tetapi roh-roh yang mau melindungi kita akan tetap boleh tinggal di Jawa; 19



aku akan menentukan apa yang harus kalian kerjakan." Ia melanjutkan pembicaraan dengan menggambarkan garisgaris besar perspektif sejarah Jawa sampai dengan zaman modern dan menjelaskan peranan Semar dalam proses itu, yakni sebagai penasihat spiritual dan pendukung magis bagi sekalian raja dan pangeran yang akan datang - jadi terus menjadi ketua sekalian danyang Tanah Jawa. Dengan demikian, paling tidak dalam versi ini, dongeng orang Jawa dalam Babad Tanah Jawi lebih mendekati apa yang disebut mitos kolonisasi daripada mitos penciptaan, yang mengingat sejarah Jawa yang terus menerus mengalami invasi orang-orang Hindu, Islam dan Eropa, memang tidak mengherankan. Mbabad berarti membersihkan sebidang hutan belantara untuk diubah menjadi



suatu



desa



lengkap



dengan



persawahan,



membangun sebuah pulau kecil pemukiman manusia di tengah lautan makhluk halus yang menghuni hutan, walaupun istilah itu kini juga dipakai untuk persiapan umum mengolah sawah (membajak, meratakan tanah dengan garu, dan sebagainya) yang harus dilakukan orang dalam masa permulaan perputaran tanam padi setiap tahunnya. Lukisan yang disampaikan oleh mitos itu adalah gambaran masuknya para pendatang baru yang mendorong roh-roh jahat ke gunung, tempat-tempat liar yang belum dijamah, dan Lautan Hindia, sementara mereka bergerak dari utara ke selatan, sambil mengangkat beberapa 20



makhluk halus yang mau menolong sebagai pelindung mereka dan pemukiman mereka yang baru. Nama yang lazim untuk makhluk halus dengan tempat tinggal tetap dan mungkin mau membantu keinginan orang adalah demit, walaupun di sini lagi-lagi orang tidak konsisten, tetapi cenderung menggunakan perkataan demit, danyang, lelembut dan setan, baik dalam pengertian luas maupun sempit, untuk menyebut makhluk halus pada umumnya maupun suatu sub jenis tertentu secara khusus. Demit dalam arti sempit tinggal di tempattempat keramat yang disebut punden, yang mungkin ditandai oleh beberapa reruntuhan candi Hindu (mungkin sebuah patung kecil yang sudah rusak), pohon beringin besar, kuburan tua, sumber air yang hampir tersembunyi atau beberapa kekhususan topografis semacam itu. Ada sejumlah punden semacam itu di daerah Mojokuto; pada berbagai pohon yang sangat besar atau berbentuk aneh, pada beberapa reruntuhan candi Hindu yang tersebar di sana-sini, tetapi yang paling terkenal, paling sering dipuja dan dianggap paling berkuasa, adalah makhluk halus yang tinggal di pusat kota Mojokuto, di pinggir alun-alun, namanya mBah Buda, yang harfiah berarti "kakek Buda" tetapi "Buda" di sini tak ada hubungannya dengan "Gautama"; ia hanya menunjuk kepada kenyataan bahwa tempat tinggalnya yang keramat ditandai dengan sebuah relik Hindu-Budis. 21



Tempat keramat itu, ditutup dengan pagar putih yang kuat, terletak di kaki sebuah pohon beringin yang lebat dan terdiri dari patung Ganesha, dewa kebijaksanaan agama Hindu berbentuk gajah, setinggi kaki. Ada suatu kisah tentang itu. Dahulu kala, "pada jaman Buda", Sultan Solo, suatu ibukota kerajaan di Jawa Tengah, terlibat dalam peperangan dengan raja Madura. Sultan Solo menang dan mengejar raja Madura yang melarikan diri ke timur laut ke tempat asalnya. Dalam perjalanan itu ia singgah di Mojokuto, yang waktu itu masih berupa hutan, dan terletak di antara kedua kerajaan itu, untuk memberi kesempatan istirahat kepada prajurit-prajuritnya. Dari kejadian itulah kota yang dalam buku ini disebut Mojokuto beroleh namanya -- nama sesungguhnya diambil dari bahasa Jawa Kuno yang berarti "tempat istirahat". Tempat keramat itu terjadi, karena raja meletakkan patung Ganesha untuk menandai tempat di bawah pohon beringin besar tempat ia beristirahat. Namun, bagaimanapun asal-usulnya, yang jelas patung Ganesha itu sekarang dihuni oleh suatu demit. Patung itu pernah dipindahkan ke Bragang, kurang lebih dua puluh kilometer jauhnya, tetapi ia kembali dengan kekuatannya sendiri. Pada suatu kejadian lain, seorang kontrolir Belanda (pejabat Eropa tingkat paling bawah dalam birokrasi kolonial) yang ditugaskan di Mojokuto memukul patung Ganesha itu - tentu untuk menghinakan alat peribadatan para penyembah berhala - tetapi satu 22



minggu kemudian ia mati dengan leher patah, dan dalam jangka waktu satu tahun seluruh keluarganya menyusulnya ke alam baka. Kalau seseorang menginginkan mBah Buda mengabulkan hajatnya, ia harus pergi ke tempat keramat itu sekalipun beberapa orang mengatakan bahwa orang bisa melakukannya di rumah - minta pengampunan serta maaf dari demit itu, dan berjanji akan mengadakan slametan untuk menghormati demit itu kalau permohonannya dikabulkan. Sangat penting untuk keberhasilan maksud itu kalau orang mengharap dengan sungguh-sungguh, memohon dengan fikiran menunggal dan tak tergoyahkan, dan tidak memikirkan apa pun lainnya sampai permohonannya dikabulkan. Seorang pemohon membandingkannya dengan tangisan anak kecil: "Tetapi anda tidak tampak menangis, karena menangis di dalam, di hati anda; anda harus kuatkuat mengharapkannya, hingga bakal mati kalau tidak terpenuhi; dan kalau keinginan anda begitu kuat serta tahan begitu



lama, maka hampir dapat dipastikan



keinginan anda itu akan terpenuhi." Yang biasa diinginkan orang adalah pulihnya kesehatan dirinya atau keluarganya, atau mungkin juga mencari sesuatu benda yang hilang atau meminta keselamatan dalam perjalanan yang memakan waktu lama. Ada perbedaan pendapat tentang bisa tidaknya orang mengharapkan hal-hal seperti menang judi, meminta gong baru untuk orkes gamelannya, atau meminta agar 23



cintanya pada isteri orang lain kesampaian; beberapa orang berpendapat bahwa rnBah Buda hanya mempertimbangkan permohonan yang serius; tetapi jelas orang meminta berkah yang agak kurang mulia kadang-kadang: Dalam hubungan ini (masalah perceraian) Sutinah (informan) menceritakan kepada saya tentang suatu waktu tatkala ia melakukan Slametan sebagai persembahan kepada mBah Buda, ketika kakak perempuannya masih terikat perkawinan dengan suaminya yang kedua. Ia mengatakan kepada kakak perempuan itu: "Kalau kau bisa memperoleh perceraian tanpa banyak kesulitan, segalanya mudah dan lancar, saya akan mengadakan slametan untuk mBah Buda." Kemudian, sesudah perceraian, ia mengadakan Slametan dan mengirimkan sekedar hidangan kepada kakak perempuannya, disertai dengan catatan bahwa slametan ini diadakan untuk kau-tahu-sendirilah. Slametan untuk demit setelah seseorang dikabulkan permohonannya (kalau orang lupa melakukannya, seekor ular hitam dengan tanda panah putih di punggungnya akan merayap di antara dua kakinya untuk memberi peringatan) harus diadakan pada hari yang khusus, yakni ketika hari Jumat dari mingguan kalender Barat bertemu dengan hari Legi menurut pasaran Jawa yang lima hari itu, yang terjadi tiga puluh lima hari sekali (Clifford Geertz, 1983). Slametan itu sederhana saja, terdiri dari nasi, ayam atau sedikit ikan basah, kue kacang kedele dan sebagainya, 24



ditambah beberapa bunga-bungaan. Orang dapat membawanya sendiri ke tempat keramat itu atau mengirim seorang anak ke sana, seperti yang dilakukan kebanyakan orang. Di tempat keramat itu, anak tersebut memberikan hidangan kepada pejabatnya, mengutarakan kepadanya untuk apa slametan itu apa "maksud"nya. Juru kunci akan menerima



hidangan



itu,



membakar



kemenyan,



dan



menaburkan bunga ke atas kepala patung Ganesha. Kemudian ia mengumpulkan bunga-bunga layu yang sudah ditaburkan oleh orang sebelumnya, lalu dimasukkan ke dalam kantong untuk diberikan kepada anak itu. Bungabungaan ini dibawa pulang, lalu dimasukkan ke dalam air dan orang yang menyelenggarakan slametan itu akan meminumnya atau akan menggunakannya sebagai obat penawar untuk keperluan kesejahteraan umum atau keslametan keseluruhan. Orang yang merasa kikuk kalau harus membikin nasi buat slametan, bisa membeli bunga di pasar seharga setali dan memberi satu rupiah kepada juru kunci sebagai ganti nasi. Makanan itu dibagi-bagikan kepada fakir miskin yang berkerumun menanti di sekitar tempat keramat itu (atau setiap orang yang mau memintanya, kata juru kunci itu), tetapi tiap kali saya perhatikan upacara ini, nampaknya juru kunci itu memperoleh bagian yang paling besar, suatu hal yang masuk akal mengingat ia sendiri tak begitu kaya. Pada hari baik saya pernah melihat lebih dari lima puluh orang, beberapa di antaranya datang 25



dari jauh, tiga puluh kilometer jauhnya dari situ, melakukan upacara slametan untuk mBah Buda. Salah satu sumbangan Jawa menghadapi zaman ialah Kidung Rumeksa Ing Wengi, karya Sunan Kalijaga. Kidung ini sudah terkenal di wilayah nusantara dan sering dinyayikan di pedesaan pada pertunjukan ketoprak, wayang kulit, atau peronda di malam hari yang sunyi. Bait yang utama dari kidung itu sangat dikenal karena berisi mantra tolak bala. Inti laku pembacaan Kidung Rumeksa Ing Wengi adalah agar kita senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengenai fungsi kidung secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung itu, yang antara lain : Penyembuh segala macam penyakit. Pembebas pageblug. Mempercepat jodoh bagi perawan tua. Penolak bala di malam hari, seperti teluh, santet, hama dan pencuri. Menang dalam perang. Memperlancar cita-cita luhur dan mulia Kidung Rumeksa Ing Wengi terdiri atas sembilan bait yang disertai laku dan fungsi pragmatisnya secara 26



spesifik. Bagian pertama terdiri lima bait yang wajib diamalkan setiap malam. Bagian kedua, terdiri empat bait berupa petunjuk yang menyertai laku dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mengamalkannya. Wong sing kudu nglakoni dadi danyang minangka pidana tumrap marang kaluputane (ngambah papan pengalapan) kabeh padha mesti sepuluh taun, sawise pundat nglakoni pidana sepuluh taun suwene dadi danyang banjur manjing marang sagara lebur ragane bali dadi Padmasari maneh, jiwa lan angen-angen (wadah lan isine) bali menyang pangayunaning Pangeran dari Rijal wujud badan cahya kuning kawengku ireng saklenteng gedhene. Sawise dadi Rijal telung taun suwene utawa sewu dina manut anggering kodrat atas kersane sang Maha Kuwasa kudu tumitah maneh, nanging ora jumeneng manungsa utawa jalma, kudu ngliwati dadi kewan dhisik sakturunan, dene tumrap marang wong sing duwe dosa pati kudu manut cacahing jiwa sing diprejaya, yen jiwa siji sakturunan, yen jiwa loro rong turunan, mangkono sapiturute. Cacahing kewan sing minangka papan pidana ana warna telulas : kucing, sagawon, jaran, wedus, babi, celeng, bangsaning



munyuk,



menjangan,



kancil,



bangsaning



macan, gajah, onta lan warak. C. Papane para Danyang Danyang umumnya adalah nama lain dari demit 27



(yang adalah akar kata Jawa yang berarti "roh"). Seperti demit, danyang tinggal menetap pada suatu tempat yang disebut punden: seperti demit, mereka menerima permohonan orang untuk minta tolong dan sebagai imbalannya menerima persembahan slametan. Seperti demit, mereka tidak menyakiti orang, melainkan hanya bermaksud melindungi.



Namun,



berbeda



dari



demit,



beberapa



danyang dianggap sebagai roh tokoh-tokoh sejarah yang sudah meninggal: pendiri desa tempat mereka tinggal, orang pertama yang membabat tanah. Setiap desa biasanya mempunyai seorang danyang utama. Danyang desa ini, ketika mereka masih hidup sebagai manusia, datang ke desa itu selagi masih berupa hutan belantara, membersihkannya, dan membagi-bagi tanah kepada pengikutnya, keluarganya, teman-temannya, dan ia sendirilah menjadi kepala desanya (lurah) yang pertama. Sesudah mati, biasanya ia dimakamkan di dekat pusat desa, dan makamnya lalu menjadi punden. la sendiri terus memperhatikan kesejahteraan desanya (namun kadang-kadang makam khusus untuk danyang pendiri ini tidak ada). Orang-orang tertentu mungkin masih menganggap diri keturunannya, dan ia dianggap masih menentukan secara magis tentang siapa yang akan jadi kepala desa, dengan jalan mengawasi gerak-gerik suatu jenis roh politik yang khusus yang disebut pulung (kebanyakan orang mengatakan bahwa ia sendirilah yang menjadi pulung itu): 28



Ia mengatakan bahwa ada semacam "barang rohaniah" yang disebut pulung, bisa dilihat dan berbentuk seperti bulan, yang turun kepada calon yang terpilih untuk kepala desa. Hanya para kepala desa dan raja yang memiliki pulung (pulung raja lebih besar), yang menunjukkan bahwa kedudukan lurah adalah lebih penting daripada bupati atau wedono (masing-masing mengepalai kabupaten dan kawedanaan). Ketika seorang lurah mcninggal atau mcletakkan jabatan, pulungnya meninggalkan dia dan mencari lurah baru. (Kadang-kadang pulung itu pergi ke luar dan tampak ketika lurah yang bersangkutan masih memangku jabatan kalau ada sesuatu yang istimewa terjadi atau ketika desa itu berada dalam bahaya). Para calon seringkali duduk di lapangan desa, dan pulung itu melayang-layang di atas mereka untuk memilih orang yang paling murni. Calon lurah kadang-kadang mengadakan slametan di makam danyang untuk menarik pulung itu. Hanya ada satu pulung untuk setiap desa. Ia tinggal bersama lurah sampai ia meninggal atau tak mampu lagi berbuat mulia. Dalam kasus terakhir, pulung itu meninggalkannya, dan desanya akan tertimpa penyakit, kelaparan atau kacau balau; orang tak lagi taat kepada kepala desa. Tak lama kemudian ia akan terpaksa mcletakkan jabatan, dan orang yang menerima pulung kemudian akan menjadi lurah. Saya bertanya kepadanya tentang pulung yang dahulu-tinggal pada raja, dan ia mengatakan bahwa menurut dugaannya pulung itu 29



telah pergi ke Jakarta dan Bung Karnolah sekarang yang memiliki pulung raja itu. Daerah yang berada di bawah kekuasaan danyang desa disebut kumara. Kumara (atau kemara) berarti suara yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan, seperti kalau seorang dukun termasyhur meninggal, dua minggu sesudahnya orang akan mendengar suaranya secara tiba-tiba, tanpa ketahuan sumbernya. Dengan demikian kumara meliputi seluruh ruang angkasa desa, di mana orang bisa mendengar suara manusia yang berbicara dari permukaan tanah. Sebagai tambahan, keempat pojok desa kadang-kadang dianggap dihuni oleh roh pelindung, seringkali juga disebut danyang, yang dianggap sebagai anak-anak danyang utama, yang bertempat tinggal di pusat desa. Di kota Mojokuto sendiri, yang menjadi danyang desa adalah seorang pencuri, Maling Kandari, yang dimakamkan di kuburan tua sebelah timur pusat kota. Tetapi, sejalan dengan gejala umum kemerosotan struktur politik desa dalam lingkungan kota, dia tak lagi memainkan peranan yang teramat penting dalam benak warga kota. Hanya beberapa orang yang lebih tua dari kalangan bawah saja yang agaknya tahu banyak tentang danyang itu, dan itu pun ia hanya karena memperoleh kekuasaannya di kawasan kota dengan jalan muslihat, penipuan dan mengadakan hubungan dengan roh-roh jahat.



30



Papane para danyang nganggo unda usuk manut gedhe ciliking dosane, yen dosane gedhe kudu manggon ing alas utawa ing pagunungan sing arang diambah ing wong, dene sing dosane cilik mapane ing wit-witan uga telulas: wit sawo, kemuning, sirsak, jambu, wit kembang kantil, wit kembang kenanga, wit serut, lo, waringin, randu alas, kambil sawit, wuni lan siwalan. Bangsa alus, memedi, gendruwo, lelembut, setan, jim, tuyul, demit, danyang - barisan bocah-bocah gundul, macan putih, dan ayam yang selalu menghentakkan kakinya- memberikan kepada mereka yang percaya satu rangkaian jawaban yang sudah tersedia untuk pertanyaanpertanyaan yang timbul dari berbagai pengalaman yang seperti teka-teki, rangkaian imajinasi yang piktografi simbolis, dalam kerangka mana bahkan hal-hal yang ganjil nampaknya tak bisa dihindari. Apakah Mbakyu Suwarni telah sembuh dari sakit kepala yang memusingkan? Hal itu terjadi karena ketika ia pergi ke kakus ada lelembut yang sedang duduk di sana - yang lalu menampar keningnya karena marah dan merasa terhina. Apakah Haji Abdullah setelah kematian saudara dan istrinya dalam satu tahun lalu jadi kaya? Gabungan keadaan-keadaan itu jelas sekali mengisyaratkan adanya tuyul. Dunia makhluk halus adalah dunia sosial yang dirubah bentuknya secara simbolis, makhluk



halus



priyayi



memerintah



makhluk



halus



abangan, makhluk halus Cina membuka toko dan memeras 31



penduduk asli, dan makhluk halus santri melewatkan waktunya dengan sembahyang dan memikirkan cara-cara mempersulit mereka yang tak beriman. Namun, sekalipun ada kekaburan, kontradiksi dan diskontinuitas dalam kepercayaan abangan mengenai makhluk halus, kepercayaan itu juga memberikan makna yang lebih luas dan lebih umum daripada sekedar penjelasan terpisah yang mungkin diharapkan orang mengenai luka yang tak tersembuhkan, fuga-fuga psikologis dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya itu melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia. Sementara kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi tanah persawahan dan perumahan, makhluk-makhluk halus mundur ke sisa hutan belantara, puncak-puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia (di mana Lara Kidul, Ratu Laut Selatan dan barangkali satu-satunya lelembut Jawa yang paling berkuasa menunggu seseorang yang cukup tolol dan keras kepala untuk memakai pakaian hijau di dekat rumahnya buat ditenggelamkan ke dasar samudra). Serupa itu pula, bila seseorang jadi makin beradab dalam pola Jawa, sedikit sekali kemungkinan ia akan kosong, bingung atau tersesat, yang menyebabkannya rawan terhadap kesurupan roh: Parto mengatakan bahwa orang yang mudah 32



dirasuki setan dan makhluk halus sebangsanya adalah orang-orang yang tak percaya kepada Tuhan, tak pernah puasa, dan tak punya keteraturan hidup; karena jiwa orangorang ini dikatakan kosong dan dengan demikian mudah dimasuki setan. Orang yang kuat imannya terhadap Tuhan dan "tahu aturan" tidak akan mudah dimasuki setan demit, dan bahaya-bahaya lain serupa itu yang bisa menimpa seorang makhluk. Dalam konteks ini slametan merupakan penegasan dan penguatan kembali tata kebudayaan umum kekuasaannya untuk menghilangkan kekuatan-kekuatan yang mengacau. Slametan memusatkan, mengorganisasi, serta meringkaskan ide umum abangan tentang tata, "pola hidup" mereka. Dalam bentuknya yang kurang dramatis, ia menyatakan nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan tani Jawa tradisional; menyesuaikan satu sama lain berbagai kehendak yang saling bergantung, menahan diri dalam menyatakan perasaan dan mengatur dengan hati-hati tingkah laku ke luar. Slametan cenderung untuk berlangsung pada titik-titik demikian ini dalam kehidupan orang Jawa, ketika kebutuhan untuk menyatakan nilai-nilai itu mencapai puncaknya, dan ketika makhluk-makhluk halus dan kekacauan tak manusiawi yang mewakilinya sangat mengancam (Clifford Geertz, 1983 : 34-35).



33



D. Lelembut Ing Nusa Jawi 1. Dhemit Jawa Timuran Sinom Apuranen sun angetang lelembut ing nusa Jawi kang rumeksa ing nagara para ratuning dhedhemit agung sawabe ugi yen eling sadayanipun pedah kinaya tulak ginawe tunggu wong sakit kayu neng lemah sangar dadi tawa. Kang rumiyin ing bang wetan Durganeluh Maospahit lawan Raja Bahureksa iku ratuning dhedhemit Blambangan kang winarni awasta Sang Balabatu aran Butalocaya kang rumeksa ing Kadhiri Prabuyeksa kang rumeksa Giripura. Sidagori ing Pacitan Kaduwang si Klenthingmungil Endrayaksa ing Magetan Jenggala si Tunjungputih Prangmuka Surabanggi 34



Pananggulan Abur-abur Sapujagat ing Jipang Madiyun si Kalasekti pan si Koreb lelembut ing Pranaraga. Singabarong Jagaraga Majenang Trenggilingwesi Macan-guguh Garobogan Kalajangga Singasari Sarengat Barukuping Balitar si Kalakatung Batukurda ing Rawa Kalangbret si Sekargambir Carub-awor kang rumaksa ing Lamongan. Gurnita ing Puspalaya si Lempur ing Pilangputih si Lancuk aneng Balora Pagambiraa Kalasekti Kedhunggene Ni Jenggi Ki Bajangklewer puniku ngLangsem Kalabrahala Sidayu si Cicingmurti Ki Jalangkah ing candi Kahyanganira. 2. Dhemit Jawa Tengahan Semarang Baratkatiga Pakalongan Gunturgeni Pecalang si Sambangyuda 35



Sarwaka ing Sukawati ing padhas Nyai Ragil Jaya lelana ing Suruh Butatrenggiling Tegal ing Tegal si Gunting-geni Kaliwungu Gutuk-api kang rumeksa. Magelang ki Samaita Dhadhungawuk Geseng nenggih Butasalewah ing Pajang Manda-manda ing Matawis Paleret Rajekwesi Kutagedhe Nyai Panggung Pragota Kartasura Cirebon Setan Koberi Jurutaman ingkang aneng Tegallayang. Genawati ing Seluman Ki Kemandhang Wringinputih Si Karetek Pajajaran Sapuregel ing Batawi Ki Drusul ing Banawi ingkang aneng gunung Agung Ki Tlekah ngawang-awang ki Tlapa ardi Marapi Ni Taruki ingkang ana ing Tunjungbang. Setan Kareteg ing Kendal Pamasuhan Sapuangin Kresnapada ing Rangkudan Ni Pandansari ing srisig 36



kang aneng Wanapeti Palangkarsa wastanipun Ki Candhung ing Sawahan Plabuhan Ki Dudukwarih Batutukang kang aneng ing palayangan. Ni Rara Aris ing Bawang ing Tidar Ki Kalasekti Ki Padareksa Sundara Ki Jalela ardi sumbing Ngungrungan Kesbumurti Ki Krama ardi Rebabu Nirbangsan ardi Kombang Prabu Jaka ardi Kelir Ajidipa gunung Kendeng kang den reksa. Ing pasisir Butakala ing Tlacap si Kalasekti Kalanadhah ing Banyumas Sigaluh aran si Pentul Banjaran Ki Wewasi Kyai Korog ing Lowanu gunung Duk Geniyara Nyai Bureng Parangtritis Drembamoha ingkang aneng Prabalingga Ki Kerta Sangkalbolongan Kedhunggandong Winongsari ing Jenu Ki Karungkala ing Pengging Banjaransari ing Kedhu kang nenggani 37



anama Ki Candralatu gunung Kendhalisada Ketek putih kang anenggani Bataglemboh ing Ayah kahyanganira. Ni Roro Dhenok ing Demak ing Tuban Nyai Bathinthing ing Kuwu Kajualpayal si Jungkit ing Guyang nenggih Trenggalek Ni Daruni Tunjungseta Cmarasewu Kalawadhung Kenthongan Jepara Ki Wanengtaji Bagus Anom ing Kudus kahyanganira. Magiri Ki Manglarmonga ing Gading Ki Puspasari Ketanggung Ki Klanthungwelah Brengkelan si Banaspati Ni Kopek ing Manolih ing Tengah si Sabuk-ala Nglandak Ki Mayangkara si Gori Kedhungcuwiri Baruklinthing ingkang ana ing Bahrawa. Sunan Lawu ing Argapura ing Bayat si Puspakati Cucukdhandang ing Kartikan kulawarga Tasik Wedhi 38



kali opak winarni Singgabawana ranipun si Kecek Pajarakan Cingcinggoling Kaliwening ing Dhahrama Ulawelang kang rumeksa. Kang aneng Kayulandheyan Ki Daruna Ni Daruni Bagus Karang aneng Roban Sangujaya Udanriris Sidarangga Delepih si Gadhung Kedhunggarunggung kang neng Bojanagara Citranaya kang nenggani Genapura kang aneng ing Majapura. 3. Dhemit Keturunan Madura Ki Logening ing Juwana ing Rembang si Bajulbali Ki Lender ing Wirasaba Madura ki Batagrigis kang ngreksa ing Matesih Jaranpanolih ranipun Ki Londir Pacangakan si Landhep ing Jatisari Ondar andir ingkang aneng Jatimalang. Arya Taron ing Lodhaya Sarpabangsa aneng Pening Parangtan dang ing Kasanga ing Crewek Ki Mandamandi setan Telaga pasir 39



ingkang aran Ki Jalingkung Kalanadhah ing Tuntang Bancuri Kalabancuri kang rumeksa sukune ardi Baita. Ragadungik Randhulawang ing Sendhang Retna Pengasih Butakapa ing Prambanan Bok Sampurna ardi Wilis Raden Galinggangjati kang rumeksa Gajahmungkur si Gendruk ing Talpegat Ngembet Raden Panjisari Pagerwaja kang aran Udakusuma. Ki Penthul ing Pakacangan Cangakan si dodotkawit kalangkung ing sektinira titihane kuda putih Cakra payungireki larwaja kekemulipun pan sami rinajengan respati rajege wesi camethine pat-upate ula lanang. 4. Dhemit Keturunan Bali Sinabetaken mangetan ana lara teka bali tinulak bali mangetan mangidul 40



panyabetneki lara prapta ambalik tinulak bali mangidul ngulon panyabetira ana lara teka bali pan tinulak mangulon bali kang lara. Mangalor panyabetira ana lara teka bali mangalor balitinulak anulya nyabet manginggil lara prapta ambalik tinulak bali mandhuwur nulya nyaber mangandhap ana lara teka bali pan tinulak larane bali mangandhap. Dhemit kang aneng Jepara lan dhemit kang aneng Pati kalangkung kasektenira Juweya wastanireki Gus Rema Tam baksuli Kudapeksa ing Delanggung Ki Klunthung Ringinpethak Ni Gambir ing Glagahwangi si Kacubung Kadilangu kang den reksa. Ni Duleg ing Pamancingan Guwa langse Nini Suntring kang rumeksa Parangwedang Raden Arya Jayengwesti kabeh urut pasisir kulawarga Nyai Kidul 41



sampun pepak sadaya para ratuning dhedhemit nusa Jawa paugeran kang rumeksa. 5. Dhang Hyang Reksapraja Sinom Ingkang para jin winarna ratune sawiji-wiji jin ijo naren dranira awasta Sri Danapati gangsal gatra prajurit jin ijo ing warnanipun wadyane jin sadaya panganggone sarwa wilis ing Jungrata wastane nagaranira. Jin kuning nagaranira ing lmantara narpati wasta Raja Wijanarka busanane sarwa kuning balane sami kuning jin abang nagaranipun inggih ing nusa Jawa bisikanireng narpati Maha Raja Baskara Sri Naranata. Balanya samya jin abang busanane sarwa abrit jin putih nagaranira ing Madyantara narpati bisikanira aji Raja Anggaskara Prabu bala putih sadaya 42



busananya sarwa putih punang gaman sadaya pan sarwa pethak. Jin ireng nagarinira ing Megantara narpati wasta Raja Manonbawa ireng warnaning prajurit gegaman ireng sami panganggone sarwa wulung sami awas sadaya tur pangajenging prajurit kang jin dadu nagarane Ngarpengtara. Balane dadu sadaya, bisikanireng narpati Maha Raja Manon tara dadu kinarya pawingking busana dadu sami jin biru nagarinipun anenggih Ngabyantara bisikanireng narpati Taman tara kang bala biru sadaya. Gantya ingkang winursita dhanghyang kang ngreksa nagari jroning praja Surakarta ingkang pinurwa ing kawi Andana pangreksaning 43



kang ngripta wilapa kidung Kyai Rangga Sutrasna ngemban timbalan Sang Aji kang jumeneng Pakubuwana ping Lima. 6. Dhemit dari Surakarta Kasmaran gantya ginupit luputa ing ila-ila den dohna tulah sari ke ngetang sagunging lelembat kabeh si Goplem samya dhemit lit-alit sadarum pan dede dhemit narendra. Setan brakasakan sami si Goplem kabayanira dhemit jron nagara kabeh sawabe kinarya tengga wong sakit budur samya liya iku tan pakantuk mung sakit budur lan napas. Si Goplem wismanireki neng Witana Sitibentar Gombel Tratag rambat nggone kang rumeksa aneng Gayam 44



Kalabancuri ranya kang ngreksa Bangsal ranipun Kalakentung Kalakentung. Gedhong upas kang nenggani Kalajanggolsikil rannya kang ngreksa Wringin kembare Kalasorogsilit rannya si Biti ing Pandeyan lawan si Gunthulpinanggul si Angklung aneng Gapura. Si Lempur Wringin-waringin Bajangklewer aneng Gladag Jin putih neng Masjid-gede Kyai Lotis ing Jeksan Klentung Mangkubumenan Jungkit Patihan nggenipun Kyai Modin Buminatan. Tambur Pagongan nggenneki Bajangangkrik Tepasanan Bagus Bengkak rumeksane ing Paseban Prangwadanan Gotik ing Pangurakan si Bodong neng Loji-wurung 45



Bagus Keret ing Magangan. Ing Kareteg Wewegerit Gandor Loji cilik-wetan Lungkrah aneng dedalane Pak Tekik aneng Pacinan Angkrik ing pasar besar kang rumeksa aneng Panggung-Jebres wasta ki Balendhang. Gue Lempor Jagalan nenggih Ki Busik ing Loji besar Ki Lotis ing Krapyak nggone Balabidhir ing Gendhingan Sangkrah Ki Rajaputra Kethik-kethik aneng Jurug ing Beton si Kalanadhah. Ing Ganggang Blegthuthur nenggih Patunggon si Basahlungkrah Sanasewu dhedhanyange Bok Suwanggi namanira Koplak-kolik Sampangan wus tamat sagung lelembut kang ngreksa Karaton Jawa.



46



BAB III



Mitos Dan Cerita Rakyat A. Gugon Tuhon Gugon tuhon iku kapitayan sing isih dipercaya saktengahing bebrayan, sanadyan ora bisa dibuktekake kanthi nalar lan kasunyatan. Ing tanah Jawa sing diarani gugon tuhon mesthi ana ing sadhengah papan. Sing dijaluk aja nganti anane gugon tuhon mau nuwuhake dredah lan pasulayan. Antarane sing percaya karo sing ora kudu tansah samad-sinamadan. Kang kalebu gugon tuhon sing isih ana kang percaya, contone : 1.



Para linuwih dianggep ora mati, ana sing mrayang utawa nitis ing wong liya.



2. Mbabarake



ananing



jeneng



utawa



nyritakake



sawijining negara utawa panggonan diwenehi jeneng mengkono. Jeneng mau ana kang lugu ana kang diowahi supaya cocok karo dongenge. 3. Nyritakake dumadine kali, sendhang, gunung, telaga lan sak panunggalane. Kang akeh ngandhakake kasektene para dewa, mukjizat para nabi, kramate para wali utawa mangunahe para mukmin. 47



4. Adat tatacara. Dedongengan mula-bukane ana tata cara kang diestokake ing wong-wong ing sawijining desa utawa panggawe kang disirik wong-wong sawijining panggonan. 5. Gugon tuhon sok wor-suh karo dongeng suci kang nyritakake mukjijate para nabi utawa wali. 6. Sato bisa tata janma lan sato gadhungan. 7.



Cipta, sabda (presapa, ipat-ipat).



8. Dongeng memedi utawa gendruwo. 9. Patilasane para linuwih kang dianggep wingit utawa singit ana kramate. Dongeng suci iku lumrahe nyritakake mukjijate para wali, nabi utawa mangunahe para alim. Dedongengan kang kaya mengkono iku maune uga ana kang kelakon temenan, nanging akeh rerenggane nganti ngilangake lajering crita. Rehning dongeng suci iku akeh kang gegayutan karo agama utawa piandel, mulane sok ana prekara kang diugem-ugemi utawa dinaluri kaya kalakon temenan. Dene satemene kang diarani dongeng suci iku ya mung kang pancen dedongengan bae. Ewodene kang karan dongeng anggitan, yaiku dongeng kang ora mirid babad kang klakon temenan, dadi mung anggitane wong bae. Lelakone akeh sing neka-neka, jenenge iya sakecandhake bae, kayata, Pak Entak, Utakutak Ugel, mBok Randha Dhadhapan, Bawang, Brambang, 48



Trasi. Mungguh wijang-wijange dongeng kapratelakake ing ngisor iki umpamane dongeng menungsa malih kewan utawa kosokbaline, lan kewan bisa tata janma. Ana wong njala ing kali mbeneri sebel ora oleh apaapa. Bareng arep mulih, nibakake jalane, bareng diangkat krasa abot, jebul sing abot mau ula. Wong njala kaget, ula arep dipateni nanging banjur calathu, ―Aku aja kokpateni. Malah nek kowe gelem ngopeni aku, bakal sempulur rejekimu.‖ Ula digawa mulih, dideleh ing senthong. Nuju ing sawiji dina anake wadon juru amek iwak mau ngimpi ketemu karo jaka bagus. Ki jaka weling, yen kepengin dhaup karo dheweke, supaya kandha marang bapakne, njaluk didhaupna karo ula sing olehe njala mau. Cekaking kandha bocah wadon didhaupake karo ula mau. Si ula yen bengi malih dadi nonoman bagus, yen rina malih ula maneh. Nuju ing sawiji dina ing wayah bangun esuk juru amek iwak mulih saka segara, weruh ana walungsungan ula, dijupuk nuli diobong. Bojone mbok nganten metu arep ngrasuk walungsungane, nanging wis ora ana, malah disapa karo pak juru amek iwak, kamanungsan lestari dadi menungsa lan lestari dadi bojone bok nganten. Dongeng liyane sing memper kuwi: Lutung Kesarung lan Dongeng Srimulya.



49



B. Jaka Kendhil Jembar segarane ateges gampang menehi pangapura marang kaluputane liyan, kaya dene critane Jaka Kendhil iki. Kacarita, Mbok randha Dhadhapan anake lanang mung siji, rupane ala banget, wetenge mlenthi kaya kendhil, mulane diparabi Jaka Kendhil. Bareng Jaka Kendhil wis diwasa njaluk rabi putri Mesir. Abote ditangisi ing anak, Mbok Randha uga mangkat. Bareng wis marak ing sang nata, Mbok Randha ngaturake apa sedyane. Sang Nata nari putrane kang pambarep aran Dewi Kenanga. Ature nyerik-nyerikake, wose ora saguh nglakoni, Sang Prabu nuli nari putra kang panggulu aran Dewi Menur, ature ya padha bae karo mbokayune. Sang Nata nuli nari putrane kang wuragil aran Dewi Melathi, jebul ature sendika. Sang Nata dhawuh marang nyai randha, pangandikane, ―Nyai, anakku Dewi Melathi iya wis saguh takdhaupake oleh anakmu, nanging aku duwe kudangan, besuk ketemuning penganten supaya diarak ing gamelan Lokananta kang nabuh para dewa, gagarmayang kayu dewandaru, waringin kang awoh brondong, gedang emas apupus cindhe, ati tengu gedhene sawungkal. Yen kowe ora bisa nekani panjalukku kuwi mau, anakmu iya ora sida dhaup karo nini putri.‖ Bok Randha mundur saka ngarsane Sang Nata, sadalan-dalan tansah nangis bae. Tekan ngomah kandha 50



menyang anake ngandhakake apa pundhutane Sang Nata. Jaka Kendhil banjur muja samadi sidhakep sluku tunggal nutupi babahan nawa sanga. Ketrima samadine dirawuhi ing Sang Hyang Nerada sarta disaguhi arep diparingi apa panuwune. Bareng tumeka titi mangsa pengaraking panganten, si Kendhil nunggang jaran diarak ing para dewa. Sasrahan dilakokake



ing



ngarep.



Dhauping



penganten



mawa



pahargyan gedhen. Kocap Dewi Melathi tansah dipoyoki dening mbakyu-mbakyune dene dhaup oleh kendhil. Nuju mbeneri dina Setu ing alun-alun ana watangan. Sang Nata karo Prameswari mirsani saka ing pepanggungan, para putri padha nderek. Ana satria anyar katon bagus rupane nunggang jaran melu watangan, gawe cingake para putri. Dewi Kenanga mbebeda kang rayi, ―Dhiajeng Melathi, lah rak ngana kae satria bagus! Ora kaya garwamu, rupane kaya kendhil.‖ Dewi Menur uga melu mbebeda. Dewi Melathi dibebeda mau rumangsa isin, nuli mbolos ndhisiki kondur. Tekan ing dalem njujug ing kamar pasarean, jebul nemu kendhil kothong. Kendhil dicandhak binanting. Bareng satria anyar mau kondur, njujug ing kamar pasarean, arep ngrasuk busana agem-agemane kendhil, wis ora ana. Jaka Kendhil kamanungsan babar dadi satria bagus anom, sarta lestari dadi garwane Dewi Melathi. 51



Pak Karya Pak Karya Pengung ing desa Waru kesed banget. Tangine awan, nyambutgawene sakepenake bae. Yen menyang tegal angger weruh ana rewange anake apa mantune, durung wisan gawe wis mulih. Tekan ngomah njaluk mangan bojone. Lebar mangan nuli turu, tangine ngarepake surup srengenge. Yen bengi ora tau melu runda kampung, ana bae pawadane: sing mules wetenge, sing ngelu, sing kadhemen. Yen disambat ing tanggane ngedegake omah iya teka, marga mung melik suguhane. Ana ing pasambatan kono ya mung wira-wiri bae, rewa-rewa rewang, sajatine ora. Tangga-tanggane wis padha ngerti, nuli padha ayon, yen kenduren aja diundang. Mbeneri pak lurah duwe gawe, wong sadesa diundang kondangan, mung pak Karya Pengung sing diliwati ora diundang. Pak Karya Pengung ya mara menyang kalurahan, wira-wiri ing latar kono karo dheham-dhehem, nanging ora ana kang ngrewes. Bareng kaume ndonga, wong-wong padha muni, ―Amin! Amin! Amin!‖ Pak Karya Pengung ya melu ngamini saka ing jaba, nanging ora ana kang nawani mlebu, wasana banjur mulih. Jaka Bodho Ana bocah lanang wis wayah diwasa. Saking bangeting bodho banjur karan Jaka bodho. Pinuju Jaka bodho 52



menyang alas weruh bangkene wong wadon sumene ing uwit. Disapa karo Jaka bodho ora mangsuli, dijak guneman ora mangsuli. Ciptane Jaka bodho, ―Lah iki bocah anteng, pantes dadi bojoku. Biyen simbok kandha, aku dikon golek bocah sing anteng.‖ Bangke digendhong digawa mulih, diturokake ing sentong. Embokne krungu anake teka, takon saka ing pawon, ―Le, lah endi kayune?‖ Wangsulane, ―Aku ora sida golek kayu, mbok. Aku mau weruh bocah anteng, takgendhong, takgawa mulih. Patut yen dadi bojoku. Lah iki taturokake ing amben.‖ Embokne mara arep weruh kok ana nalar aneh mengkono. Weruh mayit mau banjur calathu kamoran kaget, ―Lo, kuwi rak wong mati. Wadhuh, ambune! Gelis buangen menyang ing kali.‖ Bangke



digendhong



digawa



menyang



bengawan



dicemplungake ing banyu. Jaka Bodho sarehne mentas nggawa bangke wis mambu, dadi awake iya ketularan ambuning bangke. Wis adoh lakune saka kali isih mambu ganda ora enak. Ciptane, ―Iki apa awakku sing mambu iki!‖ Tangane diambu nyata mambu. Ciptane, ―Nek ngono aku wis mati, tandhane awakku wis mambu.‖ Jaka bodho bali menyang kali nyegur ing banyu dadi lan tiwase. 53



C. Sunan Pandhan Arang Ki Pandhan Arang maguru menyang Sunan Kali Jaga didhawuhi ndherek menyang ing gunung Jabalkat, saiki aran gunung Tembayat. Nyai Pandhan Arang uga ndherek. Bareng nglakune wis ngliwati kali Tuntang, ana begal loro metu saka ing grumbul. Sunan Kali karo Ki Pandhan Arang ora dikapak-kapakake sarta banjur dikon terus mlaku marga ora nggawa apa-apa kang pengaji, mung Nyai Pandhan Arang kang dibegal, direbut tekene. Teken mau isi mas picis rajabrana. Begal durung marem, isih arep mblejedi Nyai Pandhan Arang. Nyai banjur nguwuh-uwuh, ―Kyai, entenana aku, ana wong salah gawe mengkene kok kowe ki tega‖. Desa ing kono ketelah aran desa Salahtega banjur owah dadi Salatiga. Ana ing desa sakidul kulone Klaten, Ki Pandhan Arang ngenger Mbok randha Tasik, ngaku jeneng Gus Slamet. Mbok Tasik pangupajiwane adol srabi. Nuju ing sawiji dina gus Slamet dikon ngadang beras. Ana wong nyunggi beras diwadhahi ing goni. Gus Slamet takon, ―Sing mang sunggi niku napa, Kang?‖ Wong mau mangsuli sembranan, ―Iki wedhi‖. Gus Slamet calathu, ―E, enggih empun nek wedhi, wong kula ajeng tuku beras, kok.‖ Wong desa calathu, ―Lah iki rak ya beras.‖



54



Olehe calathu mengkono iku sambi nyelehake sunggene, diuculi taline arep dituduhake isine menyang Gus Slamet. Nanging sepira kagete bareng weruh yen berase mau malih wedhi kabeh. Wiwit kuwi desa ing kono banjur karan desa Wedhi. D. Bledug ing Kuwu Prabu Ajisaka kagungan putra salah kedaden dadi ula kang gedhe banget. Ula mau sowan ing Sang Nata ngaku yen putrane. Sang Prabu dhawuh marang ula, didhawuhi mateni mungsuhe, yaiku baya putih ing segara kidul nganggo wineling ora kena liwat ing daratan, mundak gawe girise wong-wong, nanging didhawuhi metu ing sajroning lemah, baline iya mengkono uga. Yen klakon bisa bali entuk gawe, iya diaken putra. Ula mangkat metu ing sajroning lemah, tekan ing Segara Kidul nuli pancakara karo Bayaputih, klakon Bayaputih sirna dening ula. Baline ula menyang ing kedhaton ing Medangkamolan rada tuna dungkap, durung tekan ngenggon wis mencungul. Bareng weruh yen kleru, nuli ambles maneh. Kang mengkono mau nganti rambah kaping sanga. Ing panggonan jumedhule ula mau saka ing sajroning lemah, ing kono ana embel, banyune asin, yaiku banyu segara kang katut mrono. Panggonan mau diarani bledug, yaiku bledug ing Kuwu, lan sakiwatengene. Mulane diarani bledug, marga kala-kala metu gase nyemprot55



nyemprot katutan endhut mawa suwara kaya barang mbledos. Gunung Bathok Dewaning Semeru kagungan putra wadon aran Juwita. Putri mau dilamar ing Raksasa, awake gedhe sagunung anakan. Sang Hyang Semeru ora pati lila nanging arep nulak ora wani, nuli kagungan pamundut marang Raksasa digawekna jagang ing sakubenging Brama, supaya lahar lan awune aja nganti tekan ing Semeru, jagang mau kudu rampung ing sajroning sawengi. Raksasa nuli tumandang. Lemah ing sakubenge Brama dikedhuki nganggo bathok, suwarane gumludhug nggegirisi. Sang Hyang Semeru weruh yen penggaweane Raksasa meh rampung, banjur nuthuki lesung, jago-jago padha kluruk. Raksasa krungu unining jago kluruk atine ngedap. Bathok kang kanggo ngedhuki lemah anggone nyekeli nggregeli, tibane mengkureb, dadi gunung kang saiki aran Gunung Bathok, dumunung ing segara wedhi kaprenah sakulone kawah Brama. Kali Winanga Wong-wong kang dedunung ing saurute kali Winanga kang ngliwati ing kutha Yogyakarta sisih kulon yen slametan sasi Ruwah, sajene nganggo candu utawa tike disandingi papah kates minangka bedutane. Sajen kuwi 56



mau disetokake lan diemen-emenake dening wong-wong ing sakiwa tengene Kali Winanga. Dedongengane mengkene: Dhek biyen ana abdi-dalem prajurit aran Kyai Jayuda (Brajayuda), tapa ing pinggiring kali nenuwun ing Pangeran diparingana kaluwihan. Ananging Kyai Jayuda mau ilang ora karuan, pengirane wong-wong, mrayang dadi lelembut, pasabane iya ana ing saurute kali Winanga mau. Dhek uripe kyai Jayuda pakaremane nyeret. Mulane wong slametan ruwahan nganggo sajen tike utawa candu, sabab yen ora mengkono, jare sok ditemoni sarana mrimpeni. Pupak Puser Bayi iku yen wis pupak pusere kudu dieleki ing tangga teparo utawa wong tuwa-tuwa. Bayi dipangku ing dhayoh genti-genti sawengi, esuk lagi kena diselehake ing peturon. Nalikane dipangku mau peturone bayi didokoki gandhik digambari mata, cangkem, irung nganggo enjet nuli digedong cara bayi, diglethakake ing tampah dilemeki godhong



sente.



Kejaba



iku



ing



sakubenging



omah



dikentengi benang, saben pojoking omah didokoki keriskerisan wilah diclonehi enjet, godhong nanas karo godhong apa-apa utawa alang-alang. Karepe sarat mau mengkene: sapuputing puser, prabot-praboting bayi kayata: getih, kawah, coplokan puser, kunir landesan puser, kabeh padha dadi lelembut jenenge sarap sawan. Lelembut mau arep masesa bayi, nanging ora 57



wani mlebu ing omah marga weruh sarat-sarat mau katone kaya pedhang temenan. Ewasemono iya sok bisa mlebu ing omah njujug ing peturone bayi. Bayi dikerah ora pasah marga liniru ing gandhik, wasana padha mundur pelarasan, kapok ora bali-bali. Kleting Kuning Kleting Kuning arep nyabrang bengawan Silungga. Sakawit njaluk tulung Yuyu Kangkang, nanging Yuyu Kangkang ora gelem nyabrangake Kleting Kuning, marga penganggone gombalan, pupure tembelek. Kleting Kuning banjur nyabetake sada lanang ing banyu. Padha sanalika bengawan mau asat. Kleting Kuning bisa nyabrang. Andhe Andhe Lumut Putraku si Andhe Andhe Lumut Tumuruna ana putri kang ngunggah-unggahi Putrine sing ayu rupane, Kleting Abang iku kang dadi arane Dhuh ibu, kula boten purun Dhuh ibu, kula boten mudhun Nadyan ayu sisane si Yuyu Kangkang Putraku si Andhe Andhe Lumut Tumuruna ana putri kang ngunggah-unggahi Putrine sing ayu rupane, Kleting Ijo iku kang dadi arane Dhuh ibu, kula boten purun 58



Dhuh ibu, kula boten mudhun Nadyan ayu sisane si Yuyu Kangkang Putraku si Andhe Andhe Lumut Tumuruna ana putri kang ngunggah-unggahi Putrine sing ala rupane, Kleting Kuning iku kang dadi arane Dhuh ibu, kula inggih purun Dhuh ibu, kula badhe mudhun Nadyan ala puniku kang kula suwun Watu Telu Ana bocah picak duwe watu telu peparinging dewa. Watu iku yen diuncalakake mendhuwur karo muni apa kang dipengini sanalika iku uga banjur klakon karepe. Bocah mau nguncalake watune siji karo muni mengkene, ―Dhuh Dewa, kula nyuwun mripat ingkang wiar bawera, supados saged ningali ing samukawis.‖ Sanalika bocah mau diparingi mata amba, meh ngebaki sakubenging rai. Bungah banget dene weruh apaapa kang maune durung tau weruh. Nanging ora suwe ana lesus nggawa bledug nampeg ing raine bocah mau. Mripate krasa pedhes, banjur njungkel ngrasakake larane. Batine, ―Kok ora kepenak ngene. Mata amba kuwi mau marakake ribed bae.‖ Bocah mau nguncalake watune, dadi saiki wis kalong loro. Calathune, ―Dhuh Dewa, kula nyuwun mripat 59



ingkang ciut kemawon.‖ Sanalika iku uga mripate malih ciut, mlingup mung saelenging dom. Kabeh kang sinawang katon nglangut. Bocah mau iya wis trima, tinimbang ora weruh babar pisan. Nanging ora suwe ana cleret barungan. Bocah mau kaget banget. Batine, ―Ya ora enak senajan mripatku mengkene.‖ Bocah mau banjur nguncalake watune kari siji karo muni, ―Dhuh Dewa, kula nyuwun wangsul picak malih kemawon.‖ Sanalika iku uga bocah mau banjur picak maneh. Timun Emas Timun Emas ngenger ana omahe Mbok randha Dadapan. Ana ing desane Mbok randha, Timun Emas diparani buta arep dimangsa. Nuli dikon sumingkir disangoni uyah, trasi karo tebu. Buta weruh yen Timun Emas wis sumingkir saka ing desa kono, banjur matak aji penggandan, nuli dilacak, suwe-suwe katon banjur dituruti. Bareng wis cedhak, Timun Emas mbuang tebune, tebu thukul dadi alas. Buta rekasa lakune, nasak-nasak ing alas tebu. Kala-kala iya leren karo mangan tebu. Timun Emas bisa sangsaya adoh. Suwe-suwe buta kelingan marang beburone, banjur ditututi maneh. Bareng wis cedhak Timun Emas mbuang uyahe, dadi segara. Buta rekasa banget anggone nyabrang, nanging suwe-suwe iya bisa nututi. Timun Emas meh kecandhak, nuli mbuang trasine, trasi 60



malih dadi embel, buta mau keblader-blader ing embel, saka sayane suwe-suwe ora bisa obah, wasana mati ambles ing embel. Kang dadi jejering kandha: menungsa bisa malih macan, malihe iku nalikane isih urip utawa sawise mati. Kang kecrita akeh wong bisa malih macan iku ing alas Lodaya (Blitar) lan ing desa Gadhungan bawah Pare (Kediri). Dongenge iya rupa-rupa banget, jare menungsa meguru menyang macan. Nalika Sinuwun Paku Buwana ing Kartasura lolos saka praja marga ana geger Pecina, ana ing dalan ketagihan candu. Patih Cakrajaya nuli musus tangane karo ngesti puja, sanalika bisa nyaosi pamundhute gustine. Wiwit iku Sang Nata ndhawuhake presapa mengkene, ―Anak putuku aja ana kang duwe pakareman nyeret, mundhak gawe ribed. Tujune iki mau isih ana wong tiyasa kaya wakne cakrajaya. Anua rak sida bilai temenan.‖ Prasapa Panembahan Senapati Nalika Raden Ngabehi Sutawijaya mangsah prang mungsuh Arya Penangsang ing Jipang, titihane jaran isih belo



batilan



Jaran



mau



kena



ditumbak



ing



Arya



Penangsang, njola-njola. Nuli mbandang sarosane ora kena dipekak. Arep dijambak ora kena marga ora ana surine. Suwe-suwe iya kena dipekak. Raden Ngabehi ndhawuhake



61



presapa, ―Saturun-turunku yen mangun perang, aja ana sing nunggang jaran batilan.‖ Pepali Ki Ageng Sela Ki Ageng Sela lagi ngemban putrane ngagem sarung mung disuwelake bae. Bareng ana geger teka, Ki Ageng rada karepotan, mlayu ing latar kesrimped-srimped ing wuluh, sarunge mlorot meh kawirangan. Ki Ageng banjur presapa, ―Saturun-turunku aja ana sing nandur waluh, mangan waluh iay ora kena.‖ Ipat-ipate Sunan Mangkurat Nalika Sunan Mangkurat gerah santer ing Ajibarang, mundut degan menyang Pangeran Adipati Anom. Pangeran Adipati dhawuh marang abdine ngunduh degan, nuli dicaosake wis parasan sarta banjur dibolong pisan. Sunan semu runtik, ngendika mangkene, ‖Thole, taktrima banget anggonmu aweh degan, nanging rehning wis parasan, iku ateges kowe nggege mangsa. Ya ta, mangsa wurunga kowe gumanti nata, nanging ambok aja kesusu. Ing wuri turunmu ora bisa nutugake lelakonku. Karo maneh saturun-turunmu, aja ana sing nyadran menyang kuburku.‖ Wong Tani karo Anak-anake Ana wong tani duwe anak lanang lima, kabeh padha cecongkrahan. Nuju ing sawiji dina anak-anake diundang. 62



Bareng wis mara, diulungi sada sabongkok. Celathune bapakne, ―Coba, sapa sing bisa nugel sada iki takganjar sapi siji.‖ Anak-anake padha tumandang, nyoba nyoklek sada mau kalandhesake ing dhengkul, nanging ora ana sing bisa. Bapakne banjur njupuk sada mau, diuculi taline nuli dicokleki siji-siji, gampang bae. Anake kang tuwa dhewe calathu, ―Mesti mawon Pak, kula neggih saged yen ngaten.‖ Bapakne mangsuli, ―Iya, kabeh uwong iya bisa. Kowe ngretia: sada iki prelambange awakmu saksedulur. Yen kowe padha crah, gampang bisamu nemu pakewuh utawa bebaya, mengkono uga mungsuh, iya gampang bae yen arep gawe cilakane awakmu sasedulurmu kabeh. Nanging yen kowe rukun karo sedulur-sedulurmu, angel bisamu tumeka ing sangsara. Mula eling-elingen ujaring bebasan: Rukun agawe santosa, crah mahanani bubrah.‖ Dewi Ragil Kuning Dewi Ragil Kuning putri nata ing Jenggala lolos saka ing kaputren. Ana ing tengah alas dioyak-oyak utusane raja Bugis arep dipundhut garwa. Ragil Kuning nyegur ing kali banjur keli, nuli ditulungi ing juru nambang, dijak mulih, dipasrahake marang bojone, disedulurake karo anake wadon aran Brambang, diparabi Si Bawang. Bojone juru nambang iku siya banget menyang anake pupon. Penggawean saomah sing nandangi Si 63



Bawang. Brambang mung ngenak-enak mangan turu bae. Mbok juru nambang uga duwe anak lanang isih bayi, jenenge Trasi. Si Bawang penggaweane saben dina umbahumbah, nyapu, ngangsu, olah-olah. Yen ora kebeneran setitik bae diujar-ujari. Nuju ing sawiji dina Si Bawang olehe ngumbah popok keli siji, beruke uga keli. Tekan ngomah disrengeni biyunge, dikon nggoleki maneh sing nganti ketemu. Bawang banjur bali menyang kali, takon ing panggonane mbah Buta Ijo. Popok karo beruk ditemu Buta Ijo. Bareng ditembung sing duwe, Bawang dikon mususi berase dhisik karo nggawakake mulih. Tekan ing omahe Buta Ijo dikon olaholah ing pawon, weruh dandange gembung uwong, enthonge epek-epek, mangkoke cumplung. Bawang dipek anak Buta Ijo. Ana utusane sang nata ing Jenggala jenenge Bancak karo Dhoyok nggoleki gustine nganggo disranani mbarang jantur. Lakune suwe-suwe tekan ing gunung Wilis ing dhangkane Buta Ijo, ditanggap. Bareng wis wengi Buta Ijo lanang wadon padha arip suwe-suwe keturon. Dewi Ragil Kuning kondur didherekake Bancak Dhoyok.



64



BAB IV



Mantra Sakti & Daya Tuahnya



A. Mantra Kadigjayan 1. Mantra Siyung Wanara Gebyar sapisan sakehing cahya padha sirna, gebyar pindho sakehing roh padha sirep, rep sirep sajagade, kepyar–kepyur si bajul padha lumayu bubar. Lakune nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dina Setu Kliwon. Mantra diwaca kanggo nyingkirake baya lan buron banyu kang galak, sarta uga diwedeni wong akeh. 2. Mantra Panawaran Niyatingsun dhahar, rowaningsun tapa kang dhahar. Niyatingsun sare, rowangingsun tapa kang sare, krana ingsun iki wus kawengku ing alam nasut, Malaekat Jabarut yaiku kang dhahar, kang sare jagade sahir kabir, cahya mangan ras, rasa mangan cahya, cahya mulya, rasa sampurna. Lakune mutih 3 dina 3 bengi, sarta nglowong 3 dina



3



bengi,



wiwite



dina



65



Jumuah



Pahing.Mantra



diwacayen arep mamangan, supaya manawa diracun ing wong, bisa tawar ora tumama. 3. Mantra Panulak Wesi Aji Ingsun



kawulaning



Allah,



kang



matek



saka



suryakumar, bukiyadi angambang jagad walikan, langgeng tan kenaning owah, huyahu, huyahu, huyahu, sallahu ngalahi wasalam, dating suci ing sahudaya, ratuning sadatulah, ingsun lanang sejati, kang tan pasah sakehing tumumpang ampang ngalumpruk kadi tibaning kapuk, yahu jabardas, bar tan tedhas ing keris suleman lan sakehing gagaman kabeh. Lakune ora mangan uyah 40 dina, banjur mutih 3 dina 3 bengi lan patigeni sadina sawengi, wiwite dina Kemis Wage. Mantra diwaca ana ing paperangan lan yen ana babaya pakewuh. 4. Mantra Pagering Awak Allahumma kulhuwallah, lungguhku imbar, payungku imbar, wong sajagad kabeh kang sumedya ala marang aku, nyawane kari sadhepa, sa‘asta, sakilan. Wong kang sengit marang aku, cupeten angen-angene, sandhang pangane lan sabarang niate kabeh, pet cupet karsaning Allah. Lakune mutih 7 dina 7 bengi, wiwite dina Kemis Wage. Mantra diwaca yen ana rerusuh utawa yen perang.



66



5. Mantra Siluman Salallahu ngalaihi wasalam, alahuma kulhu allah, lungguhku imbar, payungku imbar, mimang mimong si Wisakarma tengahing angin, apipit maya-maya ora katon apa-apa, kang hima kakalangan petheng dhedhet alimengan si imbar ngemuli aku, wong sabuwana bloloken ora weruh aku. Lakune pasa 21 dina, kanane mangan (buka) mung sapisan sabenjam 12 bengi, yen pasane wis rampung banjur ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwite dina Rebo Pon. Mantra diwaca yen ana bebaya utawa yen perang. Yen ketrima bisa ngilang ora diweruhi wong. 6. Mantra Pambukak Walahumin walaihim mukitum balhuwa kur‘anu mujidu sakabehing karsane Pangeran ya karepku, ora ana barang angel ora ana barang ora tumeka, gampang tumeka kersaning Allah. Lakune mutih 7 dina 7 bengi, ngebleng 3 dina 3 bengi, wiwite dina Kemis Wage, ing dina iku bancakan jajan pasar lan jenang abang putih, baro-baro. Mantra diwaca kaping 7, yen katrima bisa mbuka barang kang tinutup utawa kinunci, sanajana ana sajroning peti wesi pisan iya bisa mbuka. Patrape sarampung maca donga, barang mau kasikut nganggo sikute kiwa nuli kadamu ping 3. Insya Allah yen tinarima bisa menga dhewe. Sawise rampung tirakate banjur dicoba, yen durung katrima, dibaleni tirakat maneh. 67



B. Aji Jaya Kawijayan 1. Aji Tanggul Balik Kulhu buntet, badaningsun Kanjeng Nabi panutan, rasaningsun Rasul, tekeningsun Malaikat, luputa kang den arah, ambalik marang kang ngarah. Aji Tunggal balik iku perlu kanggo panulak cabare panggawening mungsuh. Lakune patigeni 3 dina 3 bengi, wiwite dina Selasa Kliwon, Aji diwaca ana ing latar ajeg sabenjam12 bengi, sajroning mumungsuhan. 2. Aji Panglarutan Simaling sekti roh ilapi ratuningroh kabeh, sira sun kongkon soroten banyune ratuning rasa, laruten karepe si.......... (disebut jenenge), aja dibajurake sedya kang ala ora bener,



lemes, cabar, bubar karebe tan dadi. Lakune



nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dina Kemis Wage. Aji diwaca sakira mungsuh arep nekani, sarta yen arep utawa wus nindakake pakean. 3. Aji Panglimunan Bismillahir rahmanir rahim, dat gumilang tanpa sangkan, gumilang tanpa enggon, liyep ilang salin raga, ina fatohia lakoratkanmubila, alahumma alip sirolah, sir Muhammad, sir Abu Bakar, Sir Ngumar, sir Ngali, sir Jabarail, sir allahailulah Muhammad rasulullah, sir wali, sir kuwat berkat, sir teguh sir luput, sir ora katon, sirep berkat 68



saking Nabi Muhammad, lailahailalah, hu yahu, anta, anta, hem, hem, iya iya, hum nasrum hu Allah. Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwit dina Selasa Kliwon.



Yen



wus



tutug



anggone



nglakoni



banjur



dinyatakake, yaiku ing wayahesuk pinujusrengenge metu, ndelenga wawayangane dhewe, yen wewayangane ora katon, tandha wus tinirima bisa ngilang, yen ijih katon wewayangane durung tinirima, iku kena dibaleni ngebleng maneh nganti bisa tinirima. Ajidiwaca yen ana kaperluane. Yen wus bisa ngilang, ora kena nindakake barang panggawe kang ora bener. Dene kenane mungkanggo ngalahake ngapokake mungsuh kang cidra durhaka maring sapapadhane. 4. Aji Panglimunan Ingsun amatek si Ajisaka, ingsun mancik bumine Allah, ya aku anake Jan Banujan, aku kilat buwana, sakabehing mungsuh ora padha weruh maring aku, matane dak tutupi bathok bolu,



peteng dhedhet alimengan,



sakehing mungsuh padha cadok cato-cato pala bingung kersaning Allah. Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwit dina Selasa Kliwon. Yen wus tutug anggone nglakoni banjur dinyatakake, yaiku ing wayah esuk pinuju srengenge metu, ndelenga wawayangane dhewe, yen wewayangane ora katon, tandha wus tinirima bisa ngilang, yen ijih katon wewayangane durung tinirima, iku kena dibaleni ngebleng 69



maneh nganti bisa tinirima. Aji diwaca yen ana kaperluane. Yen wus bisa ngilang, ora kena nindakake barang panggawe kang ora bener. 5. Aji Panglamporan Ingsun amatak ajiku si Panglamporan, kangaran Nabi, Wali, banyu, barat, geni, sira wengakna lawang suwarga kang tunda pitu, menga mblarat luwar kersaning Allah.



Banjur katerusake matak aji Welutputih, unine,



Ingsun amatak ajiku Welutputih arsa mrocot jroning watu, mrocot kersaning Allah. Lakune mutih 7 dina 7 bengi kemulan lawon putih, wiwite dina Selasa Kliwon. Ajidiwaca sajroning peperangan utwa yen ana bebaya pakewuh. 6. Aji Panawaran Ingsun amatakajiku si panawaran, ingsun lanang sejati, ngadeg tengahing tawang, urip langgeng gumantung tanpa enggon, gumilang tanpa wawayangan, hu ingsun sajatining suksma langgeng. Sakehing braja tumiba ing tawang tan tumamam ing badaningsun. Lakune nglowong 7 dina 7 bengi, wiwite dina Kemis Wage, Aji diwaca sajroning perang, utawa yen ana bebaya pakewuh. 7. Aji Lembu Sakilan Ingsun amatak ajiku si Lembusakilan, rasulku lungguh, brahim nginep babahan, kep-karekep barukut 70



kinemulan wesi kuning wesi mekangkang sacengkang sakilansadempu, sakehing braja tan ana nedhasi, bedhil pepet mriyem buntu tan tumama kersaning Allah. Lakune 40 dina mung mangan gogodhongan dikulup bumbune mung uyah, ngombene banyu kendhi, yen wis tutug 40 dina banjur nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dinan Kemis Wage. Aji diwaca sajroning perang, nirokake unine sapi sarta mangan daging sapi. 8. Aji Petake Jeyengrama Ingsun amatak ajiku, Jayabarut ingsun jumeneng datullah, umadeg tengahing jagad, sakabehing mungsuh sakubenging cakrawala kang padha durhaka, krungu petak gelap sakethi, padha bedhah kupinge, pecah endhase. Lakune pasa 40 dina mangan mung sapisan sabenjam 12 bengi, sawise pasa tutug 40 dina, banjur ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwite



dina Rebo Pon. Aji diwaca yen campuh



perang sarta ngarepake campuh. 9. Aji Gelap Ngampar Ingsun amatak ajiku si Gelapngampar, gebyargebyar ana ing dadaku, ula lanang guluku, macan galak ana raiku, surya kembar ana netraku, durga deg lak ana pupuku, gelap ngampar ana pangucapku, gelap sewu ana suwaraku, ah aku si gelap sewu. Lakune pasa 40 dina, mangane mung sapisan saben jam 12 bengi, sawise pasane 71



tutug 40 dina, banjur nglowong 7 dina 7 bengi, wiwite dina Setu Kliwon. Aji diwaca yen campuh perang sarta ngarepake campuh. 10. Aji Brajamusti Ingsun amatak ajiku si Brajamusti, kang aneng Pringgodani, purubaya, purubaya, ototku kawat, balungku wesi, kulitku tembaga, dengkulku paron, dagingku waja, epek-epekku wesi menkangkang anteb tanpa sama, ajur mumur katiban tanganku, heh ya aku purubaya ratuning wesi kabeh, sakehing braja nglumpruk kadi kapuk tan ana tumama ing badanku. Lakune nlowong 7 dina 7 bengi, wiwite dina selasa Kliwon. Aji diwaca yen campuh perang lan sa‘arepe perang. 11. Aji Bandung Bandawasa Ingsun amatak ajiku Bandungbandawasa, kang mengkoni ratuning wesi, kulitku tembaga, dagingku waja, ototku kawat, balungku wesi, bayuku rasa, dengkulku paron, heh ya aku Badung Bandawasa ratuning karosan kabeh, sarupaning gegaman tan ana tumama ing badanku. Lakune nglowong 7 dina 7 bengi, wiwite dina Setu Kliwon Aji diwaca yen adhep-adhepan lan mungsuh yen wis arep perang.



72



12. Aji Balasrewu Ingsun



amatak



ajiku



balasrewu,



kang



tapa



guwagarbane siBagaspati, sakabehing widadara widadari, Malaekat, Nabi, Jim setan peri prayangan wis luluhsarira tunggal. Sakehing mungsuh ngarep mburikiwa tengen keblat papat padha kamigilan kaprabawan ajiku si balasrewu kang mbrubul metu maewu-ewu tan kena pati, temah pad agiris lumayu bubar sar-saran, iya ingsun atining bumi. Lakune nglowong 7 dina 7 bengi, turune yen bengi ana ing tritisan lemek godong gedanag bantal bata, yen awan kena ana omah, wiwite dina Rebo Pon. Aji diwaca yen maju perang. 13. Aji Cindhe Amoh Ingsun amatak ajiku si Cindeamoh, sirig-sirig ubedubed sabukclana cinde amoh, rontang-ranting saluwir tinutupan wulan purnama srengenge sewu, hewu, hewu, iya ingsun kang abadan wesi kuning, angrasuk sarira Nabi Suleman kang sekteningsun, Sis utekingsun, Adam atiningsun, Muhammad paningalingsun, Brahim nyawaningsun, Isa napasingsun, Yakup karnaningsun, Musa lesaningsun, Dawud swaraningsun, sakabat papat kulit daging getih lan balungingsun, Ayub ususingsun, Yunus ototingsun, Nuh jantungingsun, Idris rambut wuluningsun, wus pepak jumeneng sarira Nabi, sakehing teluh tuju, tenung, braja, cakra, curiga, watang limpung, bedhil, mriyem narantaka 73



ora tumeka, ajur omah ting saluwir tanpa bahya, hu akbar, hu akbar. Lakune nglowong 7 dina 7 bengi, wiwite dina Jumuah Paing. Aji diwaca yen mangsah perang, utawa yen ana rerusuhan. 14. Aji Pengabaran Ingsun amatak ajiku Maliwis putih, ilatku pamor, suwaraku gelap ngampar, mripatku kaca benggala, kulitku tembaga, wuluku dom, drijiku supit wesi purasani, dlamakanku rajeg wesi, cangkinganku angin, pengiringku jagad, heh si Maliwis putih cucukana patukana tladungana mungsuh ingsun, lebur luluh ambruk tan mindo gawe, saka kersaning Allah. Lakune pas 21 dina, banjur ngebleng 3 dina 3 bengi, wiwite dina Setu Kliwon. Aji diwaca yen wis adhep-adhepan lan mungsuh, sarta yen arep mangkat perang. C. Mantra Sri Sejeki 1. Mantra Sugih Banda Ing wayah bedhug awan, ana ing latar ngadeg madhep mangidul, madep mangetan, mantra, Sentanaku juru



gedong



Retna



Dumilah



arane,



kang



rumeksa



gedhongku ing jagad wetan, bukaken gedhongku kang isi inten berlean lan sarupaning manik-manik, ingsun arep nganggo.



74



Ing wayah bedug awan, ana ing latar ngadeg madhep mangidul, mantra, Sentanaku juru gedhong bambang Bunarbuwana arane kang rumeksa gedhong ing jagad kidul, bukaken gedhongku kang isi busana wastra sapanunggalane ingsun arep nganggo. Ing wayah sore mbarengi suruping srengenge ana ing latar ngadeg madhep mangulon, mantra, Sentanaku juru gedhong Nurkencana remeng arane, kang rumeksa gedhongku ing jagad kulon, bukaken gedhongku kang isi kencana mulya lan kang sarwa picis sapepake ingsun arep nganggo. Ing wayah bedhug bengi ana ing latar ngadeg madhep mangalor, mantra, Sentanaku juru gedhong Srikolem arane, kang rumeksa gedongku ing jagad lor, bukaken gedhongku kang isi sawarnaning pangan kang bangsa pari, palagumantung, palaka pendhem, palakasimpar, bangsaning iber-iberan, kewan belehan lan sarupane iwak loh ingsun arep bujana, ayo, ayo, ayo enggal enggal padha tumandhanga, saben Kliwon pada teka babarengan nggawa sakabehing kabutuhaningsun. Banjur temenga mandhuwur karo



muni:



bapa



akasa,



nuli



tumungkul mangisor, muni: ibu pertiwi, nyuwun bantu. Lakune pasa 40 dina, kenane mangan mung sapisan saben jam 12 bengi, wiwite dina Kemis Wage. Sabanjure saben bengi tumindak mangkono iku, dadi turune sawise jam 12 bengi, puwasane mung cukup 40 dina bae.



75



2. Mantra Sowan Ratu Gustine Niyatingsun ngukup madah jayaning ratu, winadahan cupu kencana mulya, Adam sumingkir, Muhammad teka, Allahwis ana kene. Lakune mung setya tuhu marangratu gustine, mantra diwaca ana ing pasowanan. 3. Mantra Nyuwun Derajat ―Bismillahir



rahmanir



rahim,



derajatku



kang



gumantung durung tumurun, muga Pangeran maringake saka wetan, kidul, kulon, lor, ngisor, nduwur, kang sampun tinampen roh robani. Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi ana paturon ora kena mudhun saka amben, kajaba yen arep bebuwang utawa sene, nanging uga ora kena metu saka seruhong, wiwite dina Selasa Kliwon. Mantra diwaca rina wengi tanpa petungan sakarepe. 4. Mantra Nyuwun Munggah Derajat Nugrahaning darajat kang kunci jro peti purasani, soronge rasa jati, Sang Hyang Semar wus nurunake tanda mubyar kukuncunge, cahya manour umanjing jiwa ragaku, kanigara sabuk benag bara-bara, tumurune payung agung, wus tinampah roh robani, alahuma darajati turunsih. Lakune mutih 7 dina 7 bengi. Sawise tutug mutih 7 dina, kabajutake sajrone 9 wulan puwasa saben Senin Kemis, mangane sapisan saben jam 12 bengi, wiwite dino Rebo Pon. Nalikane mutih 7 dina 7 bengi ora kena mudhun saka 76



paturon. Mantra diwaca saben jam 12 bengilan bangun esuk. 5. Mantra Murih Tineka Karepe Kang cahya roh rahmani, roh jasmani, roh robani, roh kewani, kaki tumekane bapa, bisaa ............ (disebutkake apa kang dikarepake), beda apa kang cahya, kunpayakun tanpa ashadu kodratollah, pan ingsun pinayungan dening Allah. Lakune pasa 21 dina, mangane mung sapisan saben jam 12 bengi, wiwite ing dina kelahirane dhewe (wetone), mantra diwaca yen arep mangan jam 12 bengi. 5. Mantra Panyuwunan Sallahu



ngalaihi



wasalam,



sallalahu



ngalaihi



wasalam, sallalahu ngalaihi wasalam. Gusti Allah kang maha agung, maha luhur, maha suci, mugi Pangeran nyembadanana



pinuwunan



kula,



kula



nyuwun



......



(disebutake panyuwune). Sallahu ngalaihi wasalam, sallahu ngalaihi wasalam, sallahu ngalaihi wasalam. Lakune sadurunge tinekan karepe, yen turu sawise jam 12 bengi ana tritisan. Mantra diwaca ana ing latar, yen esuk madhep mangetan, bedhug awan madhep mangidul, mahrib madhep mangulon, bedhug bengi madhep mangalor.



77



6. Mantra Pameling Allahu zat, allahu sifat, allahu asma, Allahu afgal, Allahu sidik, roh kudus,roh ilapi, roh sira rohingsun rohingsun dhewe Si ........ sebutna jenenge) tekaa enggal katemu aku. Lakune oran mangan ujah 40 dina, wiwite dina rebo Pon. Mantra diwaca mbarengi pleteking srengenge,



ngadhepake



prenahe



omahe



wong



kang



diundang supaya teka. 7. Mantra Supaya Duwe Anak Sri putih sir ening, sri abang sir karep, tempuk watune ki jabang, urip jabang bayi rineksa sakadange, nir babaya tanpa lari. Lakune mutih 7 dina,



wiwite dina



Jumuah Legi wis rampung tirakate, ing bengi Jumuah Paing. Ing malem Jumuah Legi wis rampung tirakate, ing bengi Jumuah Paing. Ing malem Jumuah iku banjur saresmi, yen arep saresmi mantra mau diwaca, sabanjure yen saresmi kudu mung malem Senin lan Kemis.Sarta nganggo srana ngrujak nanas kang ijihenom dipangan lanang wadon, sarta diwenehake marang wong kang sugih anak.‖ 1. Mantra Weruh Sadurunge Winarah Sir rahsa cahyaning rahsa, mut maya tejaning maya. Lakune saben duwe niat aarep meruhi sabarang kang durung kelakon, banjur mutih 3 dina 3 bengi lan patigeni 78



sadina sawengi, wiwite dina Jumuah Pahing. Mantra diwaca kaping 5000 saben arep mapan. Mantra panulak tenung tuju layar. 2. Mantra Tujuh Layar Allahumma kulhu buntet, kulhu balik, durgateluh, jim setan peri prayangan pada mara padha mati, jalma marang jalma mati, mati karsaning Allah. Lakune mutih 7 dina 7 bengi lan pati geni sadina sawengi, wiwite dina Setu Kliwon. Mantra diwaca mbarengi surup srengnge, diwaca ing banyu diwadhahi pinggan, banyu kadamu ping 3, banjur kaombekake marang wong kang kena tenung utawa tujulayar. 3. Mantra Makdum Sarpin Sang kun dat suksmadiningsih kang ngideri jroning wawayangan, sira aja ngaling-ngalingi aku, aku arep katemu kadangku kang sajati, kang langgeng tan owah gingsir, sira metua dok kongkon (disebutake Kaperluan). Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi wiwite dina Selasa Kliwon. Mantra diwaca jam 12 bengi. 4. Mantra Durgateluh Allahuma durgateluh bolak-balik kasumpet, mara ngetan, pepet, ngidul sumpet, karsaning Allah ana tengah dheleg-dheleg ngedeprek bingung kami tenggengeng. Laku 79



ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwite dina Jumuah Kliwon mantra diwaca yen adhep-adhepan karo mungsuh arep perang. 5. Mantra Panglarutan Raga sukma rasa diluwih, aja pepeka sirasun kongkon lolosana otot banyune mungsuhku kabeh, elingna utawa ilangna sedyanane anggone memungsuh karo ingsun iki, nglemprek keder larut saparan-paran ninggal paprangan kersaning Allah. Lakune patigeni 3 dina 3 bengi, wiwite dina Setu Kliwon. Mantra diwaca sajroning peperangan. 6. Mantra Nelukake Mungsuh Heh satruku si jabang bayi (diarani jenenge), ingsun wus weruh ajal kamulanira, asalira sukma tunggal, tunggal rasa, tunggal ilatku, kaya baya ngangsar raiku, gajah meta awakku, macan nggero swaraku, banteng ketaton tandangku, jahulante nggraut nyawamu, tanpa tenggok tanpa sirah yen mbregagah, lah tundhuka bae, ya wis kasur sari jinebadan, yen sira tunduk maring aku, tundhuk rasane tunggal. Lakune pasa 21 dina, mangane sapisan jam 12 bengi, mutih 3 dina 3 bengi lan patigeni sadina sawengi, wiwite dina Rebo Kliwon. Mantra diwaca yen ketemu mungsuhe.



80



7. Mantra Pralambang Dhiri Ingsun



muja



pupujaningsun,



sarining



bumi,



sarining banyu, sarining angin, ingsun racut dadi salira tunggal, amora kumandhang suwaraningsun, manjinga cahyaningsun, dadia paninggalingsun, daya pangrunguningsun, lepas panggandaningsun, rame wicaraningsun, ya ingsun manungsa sajati, gustine manungsa kabeh, rep sirep tan ana wani maringsun. Lakune ngebleng 3 dina 3 bengi, wiwite ing dina Setu Kliwon. Mantra diwaca yen adhepadhepan lan mungsuh, utawa yen kumpulan lan wong akeh. 8. Mantra Pamikat Dhiri ―Bismillahir rahmanir rahim, sajatine sariraningsun, sirining bapa aksara, sarining ibu pertiwi, sarining semarabumi,



sarining



srengenge,



sarining



rembulan,



sarining lintang, sarining angin, sarining geni, sarining banyu, ingsun nganggo sandangan roh ilapi, jroning roh ilapi cahyaningsun kang pinuji, ingsun nganggo sandangan suksma nyawa, jroning suksma nyawa, napasingsun kang landhepe pitung panyukur, awor jatining paningalingsun, pangrunguningsun, panggandaningsun kang sun puja lan swaraningsun kemput ngideri buwana, teka kedep teka sirep wong sajagad kabeh. Lakune mutih 3 dina 3 bengi, nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dina Rebo Pon. Mantra diwaca yen adhep-adhepan lan mungsuh utawa yen campuh perang, utawa ana babaya pakewuh. 81



9. Mantra Prabawa ―Bismillahir rahmanir rahim, ka adama sumingkir kaolah wis ana kene, kul ndhekukul si jabangbayine.......... (disebutake jenege) kaya kebo dhungkul tanpa bahya, si dhungkul anggaru maluku pasawahanku.‖ Lakune ngebleng 7 dina 7 bengi, wiwite dina Rebo Pon. Mantra diwaca yen wis adhep-adhepan lan yen lawane yen ngrembug prakara negaralan wong manca, utawa yen sowan ratu. 10. Mantra Tukar Wicara Ora nekuk-nekuk ilatku, nanging nekuk ilat lan pikire si......... (disebutake jenege lawane tukar bicara), kodenga kablinger ilang pikire, wel-welan ucape, cep meneng lambe panatri. Lakune mutih 7 dina 7 bengi patigeni sadina sawengi, wiwite dina Selasa Kliwon. Mantra diwaca yen wus adu arep, pamacane mung kabatin bae karo nekuk ilate dewe. 11. Mantra Senggara Macan Ana kedawang miber ing tawang alat-alat, macan sewu ing mripatku, macan putih ing dhadhaku, gelap ngampar suwaraku, durga mendhak kala mendhak, teka kedhep teka wedi, teka asih mungsuhku, kodheng madhep manut sakarepku karsaning Allah. Lakune mutih 3 dina 3 bengi lan patigeni sadina sawengi, wiwite dina Jumuah



82



Pahing. Mantra diwaca yen wis adhep-adhepan lan mungsuh. 12. Mantra Panglereman Yen ana ing dalan begal durjana. Suksma nuksma, nyawa sirna, roh njendhel, rep sirep si jabang bayi katrem ing dlamakanku. Mantra kawaca sapisan karo mandeng mripate wong kang arep mbegal. Lakune pasa 21 dina mangane saben jam 12 bengi lan patigeni sadina sawengi, wiwite dina Rebo Pon. 13. Mantra Kateguhan Kaki kala ingsun njaluk klambi watu, watu sakilan sageblog kandele, rasukan ing badanku, sakehing braja dawa tuna, cendhak, cupet tiba ing ngarepku, saka karsaning Allah. Lakune nglowong 3 dina 3 bengi, wiwite dian Rebo Pon. Mantra diwaca yen ana babaya pakewuh utawa yen maju perang. 14. Mantra Arya Bangah Wiyak bumi wiyak langit, jagad suwung tan ana babaya, ingsun sajatining manungsa anukarasa bissekulem tan ana babayane, tikur, tikur, tekane, mulihe ndhungkul. Lakune mutih 3 dina 3 bengi lan patigeni sadina sawengi, wiwite dina Rebo Pon. Mantra diwaca yen ana babaya, utwa yen lemebu ing alas, sato galak padha wedi. 83



1. Doa Derajat Kecantikan Pitung dina ora kena mundur. Iki dongane, ―Darajatku kang durung diparengake, Gusti Allah maringake saka lor, wetan kidul, kulon, ngisor, duwur, wus katampan dening Roh rabani.‖ 2. Lakune Wong Nandur Pari Wiwid jaman Budha kudu wiwiti ana padon, sarta njupuk jenjeming dina naptu 10 iya nandur 10 ceblokan, sajen lan rampe uga ana lan iki dongane, ―Angin-angin amun-amun endheng-endheng isining beras aos-aos saking karsaning Allah.‖ 3. Panyuwunan Sabarang Kareb Lakune adus esuk jam 4, iki lekase: Yen dina Akad dongane, ―Niyat ingsung adus ing dina akad, gumilanggilang ana usul khatap, tes-tumetes langkung badan turap prelu krana Allah.‖ Yen dina Senin dongane, ―Niyat ingsun adus dina Senin, arum candhana matsirsani, ingsun nampani tingal langkung nur zat Allah prelu krana Allah.‖ Yen dina Selasa dongane, ―Niyat ingsun adus ingdina Selasa,



iki



kencane



mulya,



metu



saking



akhadiyat



Muhammad, mulya ana donya mulya ana akhirat, prelu krana Allah.‖ Yen dina Rebo dongane, ―Niyat ingsun adus ing dina Rebo, roh tan arah samodraning badan iya ingsun 84



angumpulake banyu pitu, lakune banyu kang abang banyu rahmat,kangireng banyu nugraha, kang kuning banyu nikmat, kang dadu banyu suwarga, kang biru banyu urip, urip donya urip akherat, prelu krana Allah.‖ Yen dina Kemis dongane, ―Niyatingsun



adus ing dina Kemis, ing banyu



kama-wulan, ancik-ancik watu gilang, alungguh ing sela kembar, ingsun angumpulake sadulurku papat lima badan, nem roh, pitu nyawa, prelu krana Allah.‖ Yen dina Jumuah dongane, ―Niyatingsun adus ing dina Jumuah, oh, Allah manikku, Muhammad badanku, ingsun angrawati sakehing cahya, cahyaning lintang, cahyaning rembulan, cahyaning srengenge, mustikaning Allah ana kene, iya aku kang jumeneng roh idhafi kang ngratoni sakalir, prelu krana Allah.‖ 4. Pujine Wong Arep Turu Panyuwun sabarang. Iki dongane, Bismillahir rahmanir rahim, kawaca ping 33. Ya subhanallah, kawaca ping 33. Ya arhamar rahimin kawaca ping 33. 5. Panyuwun Sabarang Jam 4 esuk diapalke madhep mangaten ping 33, mangidul ping 33, mangulon ping 33, mangalor ping 33. Lakune ora mangan iwak, uyah, sega, iki dongane, ―Bismillahir rahmanir rahim, subkhanallah ilaha qulli sai in qodir, wahuwa lisuhu, wahuwa sirruhu, wahuwa rijkuhu 85



birahmatika ya arhamarrahimiin.‖ Saben esuk madhep mangetan, sore madhep mangulon, iki dongane, ―Sallallahu alaihi wasalam.‖ Ping 3. Gusti kang Maha Agung Gusti Kang maha Luhur, Gusti Kang Maha Suci Gusti Allah kaparenga panyuwun kawula diedanana dening kun.‖ Kawaca ping 3. Marang tabik-tabik Kanjeng Sunan Kalijaga, kanggo sabarang karep, lakune mutih pitung dina, yen mangan ketan 40 dina, yen wayah bengi ana jaba sarana dedupa macaa ―Kun payakun nyuwun saking kun.‖ Tumuli ngapalake Allahumma sirhu ping 100, Sifat Allahu ping 100, Wujud Allahu ping 100, Darajad Allahu



ping 100,



Rijquhu ping 100. Lakune mangan gandum lan wedang bubuk pitung dina ana jaba, sawengi adus ping telu, yen arep adus mawa dedupa sarta pujine, ―Dremba muha keblat lamat-lamat ngetoko aku, Kyai Sumberagung kula nyuwun rejeki kang agung. Kun payakun, nyuwun ........ saking kun. Allahumma mangkurat ya aku kang sinung kuwat, ya aku kang sinung darajat, ya aku kang sinung supangat, ya aku kang sinung sugih donya, sugih saking karsane Allah.‖ Marang leluhure dhewe iki dongane, ―Sirkumaya, kumayane simbah (eyang saliyan kang sumare ana pasareyan ........... or katon, kang katon sajatining urip, urip tan kenane pati, langgeng tan kenane owah, mulya ora kewoworan, kula nyuwun ...........‖ Lakune pasa Senin Kemis, iki dongane, ―Wit iman babakan mertokhim, pang 86



kalima pancer, gedhong dina Senin Kemis woh paji lan dhikir Allah sing dak sedya, tek gampang, gampang teka ngarepanku, teka saking karsane Allah.‖ 7. Pangrereman Iki dongane, ―Kitab agung isine aksara ba‘, karepe sing ala si anu ba‘, ba‘ saking karsane Allah, Allahumma ba‘ pasar, sawan wurung ba‘ bubar ba‘, warung ba‘ bubar ba‘.‖ Lakune ngebleng telung dina telung bengi, iki dongane, ―Baga-baga, kaprusa-kaprusa, sira baga ratu tunggal anut sapa sira, yen ora anut aku.‖ Lakune kungkum ana ing kali, iki dongane, ―Kang Maha Suci, kang jumeneng ing Gunungjati kaparenga panyuwun kula. Kakang kawah kang rumeksa awak-mami, tekakna sedyaku, adhi ari-ari kang mayungi ngenakake pangarah, ponah getih ing rahina wengi rewangan aku, Allah kang kuwasa, kaparenga panyuwun kula, puser turutana panjalukku, papat kalima pancer kang lair bareng sadinaa sing metu marga ina, sing ora metu marga ina sing karawatan, kumpul ingsun ora pisah.‖ 4. Mantra Kutug ―Sih lumintu, rejeki aja towong, jisim alus, roh alus kang ikal bakal, kang cikal bakal ing ......., ingsun asung dhahar ganda arum,ingsun ngobong dupa, menyan madu, areng sejati, areng menyan kayu manuk putih, kukusing 87



menyan sira sun-kongkon marang swarga, seger kuwarasan padhanging ati, aja sira nyimpang marga, yen nyimpang marga kena supatane Kanjeng Nabi Adam, Gusti Allah, kawula nyuwun wilujeng.― 5. Mantra Manawa Sore ―Aja sira turu sore, wong anom akeh dosane, tengah wengi anglilira, nyebut pangeranira, ana dewa ngilang jagad, nggawa bokor kencana isi sandang kalawan pangan, paringna kang muji amuji rina wengi, yen lara oleha tamba, tambanana muksa ilang godhogen kuwali olah, genenana kayu tawa, kekepana Waliullah, lailahailallahu Muhammad Rasulullah.‖ 6. Mantra Mapage Tanggal ―Ajiku puspanegara, pang pradapa sasi, godhong widadari, kembang lintang, woh srengenge, sira bagea mbok lara tanggal, sak tuwa-tuwaku, isih tuwa kowe, sa enom-enommu, isih enom aku.‖ 7. Mantra Sorabat ―Ingsun



amuji



puji



donga



serabat,



simbar



Muhammad pinayungan Nabi Dawud, andhawut sakehing lara, andhawut sakehing dosa, andhawut sakehing rindu, rindu aja ngrindu marang badanku, aja ngrindu anak



88



putuku, sinampar bubar, sinandung lebur, musna ilang dadi banyu kungkulan dongaku serabat. 8. Mandekake Ujar Lamun arep mandi ujare, iki ismune, ―Sumulung jatine tunggal, nu tunggal ora karsa, nu tunggal ora ngandika.‖ Dongane wong srengen, darapon kamitenggengen kang den srengeni, iki dongane, ―Lamaujuda illallah.‖ Winaca kaping telu. 9. Upas-upasan Iki ismune kang winaca, ―Rasa jati rasa Allah, mulya jati mulya Allah, e ana upase, sarwi dariji tengah punika kadumukaken kangbadhe dhinahar.‖ ―Ya rahum ya rahuna ya rihanun ya alimun.‖ 10. Nyuwun Pangapura Ing Allah Demikianlah bunyi mantranya, ―Allahumma ghfir lana dhunubana wakaffir lana ansyiatina watawa fana ma‘al abror.‖ 11. Pangracutan Jasad Sunan Kalijaga ―Badaningsun jasmani wus suci, ingsun gawa maring kaanan jati tanpa jalaran pati bisa mulya sampurna urip salawase, ana ing alam donya ingsun urip tumekane alam kaanan jati ingsun urip, saka kodrat iradatingsun, 89



dadi saciptaningsun, ana sasedyaningsun, teka sakarsaningsun.‖ 12. Donga Atine Sami An‘am Sapa-sapa kang maca ayat iki, nalikane ana wong kang



kepanjingan



setan



utawa



wong



klenger,



nuli



diwacakake surat An‘am kaping sawelas ana ing kupinge. Iki dongane, ―Bismillahir rahmanir rahim. Lakod jaakum rosulum min anfusikum azierun ma anittum kharisun alikum bilmukminiina roufurrahim fa‘in tawallau fakul khasbiyallallahu lailaha illa huwa



alaihi tawakkaltu wa



huwa robul arsiel adhim.‖ 13. Donga Gaib Sulaiman Donga gaib Sulaiman iki paedhahe diwaca nalikane arep turu, terus metu saka omah ana plataran madhep mangulon, diwaca saben jam 12 bengi kaping sapisan, nganti tekan patang puluh dina suwene, nuli sidhakep kanthi nyenyuwun maring Allah, mangka wong iku pinaringan rejeki kang ajeg, iki dongane, ―Allahumma in dakhola fi surati Sulaiman,wa mulki sulaiman, mina masyriki wal maghribi Idhatihi wa sifatihi wa quwatihi wa Jibrila wa Mikala Israfila wa Izroila wa mulki Sulaiman, minal masyriki wal maghribi jinnan wa tasan wa riekhan wa ghomanan wa sallama taslieman kasiran jalla jallaluh ya



90



iblies-sa‘tani fitdhulumati wannur rabana takabal Sulaiman birahmatika ya arhamarrahimien.‖ 14. Donga Nurbuat Donga nurbuat iki dongan kang agung paedahe, wanaca ginawe katemu karo wong luhur, utawa caos maring wong gedhe-gedhe utawa panggedhe supaya kinasihan.Wong kang duwe sedya ala ora tumeka. Tur maneh bisa nambahae rejeki. Iki dongane, ―Allahumma disultanil radhiem, wadhil mannil kadhiem wa dhiewajhikal karim, wa waliyil kalimatief wa dakwatil mustajabi akilil khasani min anfusil khakki alnul wal jinni, wasayatini waiyiyakadu ladhiena



kafaru



liyuzlikunaka



biabsarihim



lamma



smiuddikra wa yakulluna innahu la mainun wa-ma huwa illa mana alwahdud dhul arsil majied. Touwil umuri wa sahihk jasadi waqdi khajati, wagsir amwali,wa auladi wa khabibun linnasi ajma‘in, wataba adol adawautu min bani Adam mankadna khayyan wa yakhikkol kaulu alal kafirin. Innaka ala kulli syain kodier.Subkhanaka rabika robil izzati amma yasifun wa salamun alal mursalin wal khamdulillahi robil alamien.‖ 15. Donga Jabur Donga jabur iki agung paedahe, winaca lamun arep lelungan utawa arep mlebu ana ingpanggonan kang sangar utawa angker kang ora tau dirambah manusa, nuli maca 91



dongan iki, aja nganti putus-putus nganti teka ngliwati panggonan iku, iki dongane, ―Allahumma anta awwalu, falaisa qobalaka syaiun wa antaakhiru fawa antal aliemu innaka ala kulli syiin aliem, wa antal qodiru innaka ala kulli syaiin qodhier, wala yaudhuhu ibdhuhuma wahuwal aliyul adhiem fallahu khoirunkhhafidon min kullii syaitonin maried wa khafidna min kulli syaitonirrojiem, wa khifdon dhalika takdirul azizil aliem, innahu huwa yaubdiu wa yu‘it, wa huwal ghofururul wadhut, dul arsil majied fak alullimayuried, illahi wakhtiem lana bikhoiri waya khaeran naasirien.‖ 1. Donga Kanjeng Nabi Wus ngandika Kanjeng Nabi Muhammad SAW sapa-sapa kang maca kalimah iki, mangka wong iku ora kena bilahi wiwit saka esuk saengga sore, nuli maca ayat iki sadina sapisan, esuk utawa sore, iki dongane, ―Bismillahir rahmanir rahim. Allahumma anta robi lailaha illa anta alaika tawakkaltu wa anta robul arsiel adhiem, la khaula wala kuwwata illa billahi aliyil adhiem, masya allah ka-ana wamalam yasyak lam yakun. Ashadu annalloha alaa kulli syaiin qodhier, wa annalloha qod akhato biqulli syaiin ilma wa akhso kulla syaiin adada wa anna sa‘ata atitun la roiba fiiha wa annallahu yab‘asu man fil qubur. Allahumma inni audgubika



min syarri nafsi wa min syarri wa min kuli



dhaabatin anta akhidun binasiyati. Inna robi alla syiratim 92



mustakiem



wa



anta



alaa



kulli



syain



khafid.



Inna



waliyyalllahu ladhie nazzalal kitaaba wa huwa yatawallas solikhien, fain tawallau fakul khasbiyallahu lailaha illa huwaallahi tawakkaltu wahuwa rabul arsil adhiem.‖ 2. Wasiyate Imam Sofyan Sori Miturut ujare Imam Sofyan Sori, sapa-sapa kang nduweni pikiran kang rupek utawa ruwed, olehe golek sandhang pangan utawa liya-liyane karep kang sumedya becik, mangka wong iku nuli macaa donga iki saben-saben arep mapan turu, kalawan menganggo kang sarwo resik lan pikiran kang tetep winaca ambal kaping pitu terus 7 dina lawase, olehe maca madhep mangulon, wanci jam 12 bengi kalawan lunggguh kang jejeg, insya Allah pinaringan gangsar enggone golek sandhang pangan. Iki ismune kang winaca: ―Allahumma ya robana kulli sai‘in wa ilaha kulli sai‘in wa waliya kulli sai‘in,wa khuliko kulli sai‘in wa khoira kulli sai‘in wa alimu bikulli sai‘in wal khakimu ala kulli sai‘in wal kohiru al akulli si‘in, qudrotuka ala kulli sai‘in, faghfirli kulla sai‘in wakdhi li kula sai‘in wahabli kulla sai‘in walatas alni an sai‘in, wa tukha sibni bisa‘in, birahmatika ya arhamarrahimien.‖



93



3. Puji Teguh Rahayu Iki pujine yen mangan tawa sakalir, teguh rahayu, sakawit yen lepas arep madhang, muji mangkene, ―Mung Allah anglilanana, anggen kula mangan kamurahaning Allah.‖ Nunten njimpit sekul dinenek sakiwaning ajang, nyebut, ―Maelkat Kiraman Katibin, ayo mangan.‖ Lajeng njimpit sekul malih, dinenek satengahing ajang , nyebut, ―Sadulur kang maratapa ayo mangan.‖ Lajeng muluk sekul thok rambah kaping telu, punika pujine, ―Bis teguh, mil luput, lah ora katon.‖ Lajeng dhahar, muji punika, ―Bismillahi aal rohmani al rahim.‖ Yen ngunjuk



punika



pujine,



―Allah



alhamdulillahi



robil



alamien.‖ 4. Pasucen Yen Adus Iki sucen yen adus, supaya manther cahayane. Iki pujine kang winaca, ―Murub-murub zatullah, metu murub Rasulullah, Allah mobah sajroning urip. Allah mosik sajroning rasa. Ya rasahing Allah Kang Kuwasa.‖ 5. Pasucen Toya Sahadat Iki pasucen toya sahadat mili langgeng, kanggone yen adus tangi turu, utawa yen arep turu, iki pujine, ―Tanjebing sampurnaning badan, ning sejati tanjebing kulit, ning kempet lungguh ing daging, nurullah lungguh ing bebalungan pangusen khak lungguh ing sungsum. 94



6. Pujine Yen Kepegatan Tresna Yen kepegatan tresna, iki pujine, Sang Teng malang atikel, dosaku sawidak windu, sanapura dening Allah. 7. Aji Yuwana Mimis Sumingkir Iki ajiyuwana mimis sumingkir, lakune mutih pitung dina, lakune pati geni sadina sawengi. Iki ajine kang winaca: ―Prucut sira sumingkirra, sadulurmu Ki Ageng Bakal ana kene. 8. Tawa Ing Geni Iki aji tawa ing geni, lakune pas pitung dina kaya dene pasa ing sasi romadhon, banjur nglowong sadina sawengi. 9. Ismu Akeh Paedahe Iki ismu akeh paedahe, lakune manas pitung dina saben esuk. Iki ismune, ―Allahumma, ya ratu wailaihi, ajemangin, zat-zat ing ratu sipating ratu, apa ngalu illahi ing ratu, sarengat imaman ratu, tarekat hakikat yen makripat yahu ratu. Iki uga ismu akeh paedahe, lakune manas (dhede) pitung dina (saben esuk), yen bisa api-apia maju pat le sa-tasta, den enggoni ing tengah, pitung kesuk, tanpa manas. Iki isune, ―Man waliyuppa wadalduna khak, nur jati putih, sang langlangbuwana hu sadege , la la la.‖



95



10. Donga Kayu Angker Iki dongane kang winaca. ―Bismillahir rahmanir rahim, kulatu sungsang, rajah iman kedhungku, Jabarail tetekenku, jungkat Nabi Muhammad, la ilaha illallah Muhammadur Rasululah.― 11. Panawar Antup Sakalir Iki panawar antup-antup sakalir, lakune mutih pitung dina, banjur nglowong sadina sawengi, yen ora kelar mutih kaya ing dhuwur mau,



kena mung mutih saben



Jum‘at, antuk pitung Jum‘at banjur nglowong sadina sawengi, kasiyate sabarang antup ora tumama, lan kena den anggo nambani wong kena antup sarana ingidonan. Iki kang winaca, ―Allahumma Sang Kalika ing sabrang, tuwuh ing lautan, tawanen apase si Ceketit, tawanen upase si Klabang Kalajengking kabeh, tawi tawa tawar, ketiban iduku putih.‖ 12. Mantra Betah Luwe ―Ajiku si ceplukan, kedhondhong isine madu, guruku salenglengan



dom, usuku sadami aking, set set



singset saking karsaning Allah.‖



96



13. Mantra Betah Melek ―Biyung, aku njaluk padhang, aku ora duwe, bapakmu sing duwe, byar padhang mencorong saking karsaning Allah.‖ 14. Mantra Padhang Atine Ati-ati katengi aku njaluk padhanging ati, ora ana padhanga ati, damar kurung cumanthel pulunging ati, byar padhang wus oleh padhang ati saking karsaning Allah. 1. Nukat Gaib ―Bismillahir rahmanir rahim. Ingsun wis tanpa paningkahe rasa jati, kaanane Pangeran.‖ 2. Adus Sawise Ngarap Sari ―Bismillahir rahmanir rahim. Nawaitu niyat ingsun adus ke, rah keli sari bali, sunatan lillahi ta‘ala, sah badanku sinampurna, tumibaa bumi suka, banyu sukci, aslupa marang badan sariraku, kembang pudhak, sategal, kembang cepaka sedheng, aslupa marang badan sariraku. Allahu Akbar X 3, banjur ndamu banyu kaping 3. 3. Gangsar Golek Sandhang Pangan Demikianlah bunyi mantranya, ―Allahumma puji langgeng, suksma mulya, kumpula badan sarira, oleha rahmating Allah, oleha marga sing gampang, gampang 97



saking



karsaning



Allah,



lailaha



illallah



Muhammad



Rasulullah.‖ 4. Nyuwuk Bocah Lara Demikianlah



bunyi



mantranya,



―Wewe



putih



gunung sembung, gandruwo wulune bumi, Sang Prabu abala yaksa, nir mala bayane ngati, aja wuruk sudi karya, suwuken anakku iki.‖ 5. Manawa Kapapag Layon ―Assalamu‘alaikum, alaikum salam, sawan wangkel sampar wangke, tali wangkel, lepasa parane, jembara kubure, diakua umating Allah, oleha rahmating Pangeran, kang lungo slamet.‖ 6. Ora Kambah Durjana Saranane pojoking omah papat didodoki jambe jebug siji-siji. Demikianlah bunyi mantranya, ―Singa barong kang mbau reksa ana ing Lodhaya, ingsun njaluk tulung reksanen papan pomahanku yen ana kang ganggu gawe sira balekna.‖ Kacarita yen katrima ing papan pakarangan kono katon wewayangane macan putih nggero. 7. Nglerepake Wong Nepsu Demikianlah bunyi mantranya, ―Jro mripatmu Muhammad, jrone mripatku Allah, jrone mripatmu Allah, 98



jrone mripatku Muhammad.‖ Sarana kapandeng tengahing manik. 8. Dina Neptu 40 Lamun bakal ora kekurangan rezeki, lakune sesirik ora mangan sega ing dalem telung dina neptu 40 rambah kaping 6 demikianlah bunyi mantranya, ―Ya Allah ya Ghafur ya Allah ya Karim.‖ 9. Mantra Pinaringan Rejeki Sandhungane sok pinaringan rejeki kang agung, lakune puwasa telung dina neptu 40 rambah kaping 6, pungkasane ngebleng sadina sawengi, demikianlah bunyi mantranya, ―Ya fattah ya ngalim, ya rojak ya karim ― Wong tua ora kena dadi mungsuhe anak. Orang tua tidak boleh menjadi musuhnya anak. Parents shall not make of themselves the enemy of their children. Golek jodoh aja mung mburu indahing warna.Senajan ayu utawa bagus, yen atine durjana, ora wurung disirik liyan. Mencari jodih jangan haya memburu tampang yang cantik rupawan. Biarpun cantik atau tampan kalau hatinya jahat, pasti dijauhi orang. When looking for a wife are a husbad do not seek beautiful appearance only. Beautiful or handsome one may be, if one has an evil heart others will keep away (Siti



99



Hardiyati, 1991: 13-14). Ungkapan tersebut berguna untuk menjadi tuntunan kehidupan sehari-hari.



100



BAB V



Ramalan Dan Astrologi A. Ilmu Laduni Ramalan adalah wejangan yang disampaikan oleh pujangga waskita, berpengetahuan ilmu laduni (dianugerahi pengetahuan langsung datang dari Tuhan) sehingga dapat merala dengan tepat berbagai peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang dan belum terjadi pada saat menyusun naskah itu (+ 1850). Ramalan tersebut adalah sebagai berikut : Ramalan pertama mengandung prakondisi globalisasi dunia, pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, pertempuran Ambarawa, dan tercapainya kemerdekaan Indonesia lewat KMB pada tanggal 27 Desember 1949. Ramalan kedua (pascakemerdekaan) ialah perubahan politik dahsyat yang akan terjadi pada tahun 2074 Saka, 100 tahun setelah Perang Sabil, ternyata adalah perubahan politik yang dahsyat yang terjadi pada tahun 1998, yaitu 90 tahun setelah Kebangkitan Nasional 1908, dan turunnya Soeharto sebagai Presiden serta dimulainya era reformasi yang akan membangun masyarakat yang adil 101



dan makmur sesuai dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945 (Yoedoprawiro, 2000). Terlepas dari sumber kisah yang mana, serta siapa sebenarnya penyusun ramalan-ramalan itu, sosok Ratu Adil yang digambarkan di dalam berbagai versi di dalam kisah ramalan itu memiliki kemiripan ciri-ciri yang sangat tepat jika hal itu dimiliki oleh seorang pemimpin bangsa yang sudah



berada



di



ambang



kehancuran



ini.



Husein



Djayadiningrat mengatakan, bagi orang Jawa, menunjuk pada peristiwa-peristiwa penting dalam bentuk ramalan atau mimpi adalah untuk menjelaskan atau memberikan pembenaran atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar perkembangan yang biasa; juga untuk memberikan kesan yang mendalam. Karena itu ramalan-ramalan mengenai peristiwa yang akan terjadi tampil tidak lama setelah kejadiannya sendiri (Swantoro, 2000). Suatu contoh, dalam Kitab Pararaton. Ken Arok memperistri Ken Dedes, karena wanita itu diramalkan sebagai ardhanariswari, seorang perempuan yang gua garbanya bersinar, suatu pertanda bahwa ia adalah paro perempuan dari satu kesatuan Siwa Durga. Siapapun yang berhasil memperistri ardhanariswari akan menurunkan raja-raja. Maka di kemudian hari, kita ketahui bahwa Ken Arok telah menurunkan sebagian raja-raja Singosari, termasuk Raden Wijaya, pendiri Majapahit (1294-1309).



102



Contoh lagi, dalam Babad Tanah Jawi. Ketika Panembahan Senopati pendiri Dinasti Mataram sedang berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Pajang, pada suatu malam ia pergi ke Lipuro dan tidur di atas sebuah batu datar. Di tempat itulah ia dijumpai oleh Ki Juru Martani, guru spiritualnya. Ia dibangunkan. Ketika itu pula sebuah bintang turun di dekat kepalanya. Maka terjadilah dialog. Si bintang berucap, keinginan Senopati akan diluluskan oleh Hyang Maha Kuasa. Ia akan memerintah Mataram, demikian pula anak dan cucunya. Akan tetapi buyutnya akan menjadi raja terakhir Mataram. Kerajaannya akan ditimpa bencana. Buyut itu tidak lain adalah Mangkurat I, putra Sultan Agung. Ia terpaksa meninggalkan Mataram pada 28 Juni 1677, akibat pemberontakan Trunajaya. Setelah peristiwa itu, kraton dipindahkan oleh Mangkurat II ke Wonokerto yang kemudian diubah namanya menjadi Kartosuro (Swantoro, 2000). Babad Tanah Jawi juga meriwayatkan Pangeran Pekik, putra Pangeran Surabaya melakukan perjalanan ke Mataram setelah Surabaya ditaklukkan oleh Sultan Agung pada tahun 1625. Pada suatu malam di pemakaman Butuh, ia mendengar suara yang mengatakan cucunya akan menjadi raja dan bertahta di Wonokerto. Cucu Pangeran Pekik itu adalah Mangkurat II. Ramalan tersebut sekaligus juga merupakan pembenaran dipilihnya Wonokerto sebagai ibukota baru Kerajaan Mataram. 103



B. Ratu Adil Sedangkan mitos tidak bisa dipisahkan dalam sejarah hidup orang Jawa. Kisah Kanjeng Ratu Kidul misalnya, yang istananya berada di Laut Selatan, dan menjadi permaisuri raja-raja Jawa, umumnya dipandang sebagai mitos. Pengertian tersebut bagi kalangan masyarakat Jawa dianggab benar-benar ada dan terjadi. Banyak yang menunjukkan bukti-bukti pengalaman pribadi. Bagi mereka



Kanjeng



Ratu



Kidul



dianggap



benar-benar



mewujud. Harapan bakal tampilnya Ratu Adil untuk membebaskan masyarakat dari situasi krisis yang berkepanjangan, bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk mitos (Swantoro, 2000). Harapan mesianistik itu mengalir langsung dari ide mengenai fungsi raja, atau Ratu Adil sebagai pembaharu dan penyelenggara tertib kosmik. Dukungan yang sangat besar terhadap Pangeran Diponegoro pada tahun 18251830, yang ―memitoskan diri‖ sebagai herucakra, sebutan untuk Ratu Adil, tidak lepas dari kuatnya harapan mesianistik tersebut. Demikian pula sama halnya dengan harapan akan tampilnya satria piningit pada masa sekarang ini, untuk membebaskan dan mencerahkan bangsa Indonesia. Dari sebutannya, Ratu Adil dapat ditafsirkan sebagai seorang yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ratu Adil juga pasti mampu menjadi pelindung 104



atau pengayom dari seluruh rakyat tanpa membedakan golongan, tanpa keberfihakan kecuali hanya berfihak kepada kebenaran hakiki yang bersifat universal. Dengan ciri ini maka sulitlah kiranya jika Ratu Adil ini berasal dari salah satu kelompok kepentingan yang dibesarkan oleh kelompok kepentingan itu. Hal ini wajar karena seorang yang dibesarkan oleh suatu partai, tidaklah berlebihan jika sudah berkuasa juga akan memberikan balas budi kepada partai yang membesarkannya. Apa lagi jika partai itu juga dibesarkan oleh sekelompok pengusaha atau sekelompok kepentingan, maka pasti akan terjadi



proses balas budi



secara berantai yang merupakan pintu terjadinya kolusi, manipulasi, korupsi, dan nepotisme. Di dalam ramalan Joyoboyo, Ratu Adil juga disebut sebagai Ratu Amisan. Sementara orang menafsirkan Ratu Amisan adalah sosok pemimpin pertama, sehingga ada yang menafsirkan bahwa Ratu Amisan itu adalah presiden pertama.



Namun tafsir itu kandas ketika banyak orang



mulai kecewa dengan presiden pertama. Kata amisan sebenarnya lebih tepat ditafsirkan sebagai pemimpin yang benar-benar baru tampil, sehingga belum terkontaminasi dengan sistem percaturan bisnis politik yang sarat dengan berbagai siasat kotor demi kepentingan kelompok dan kekuasaan. Di dalam bagian lain ramalan juga disebutkan lagi adanya ciri bahwa Ratu Adil itu adalah satriya piningit (ksatria yang tersembunyi) 105



yang dapat ditafsirkan sebagai tokoh baru bagaikan tunjung putih semune pudhak kasungsang/pudhak sinumpet (tokoh yang masih bersih, yang keindahan



perangainya



bagaikan bunga teratai putih yang wanginya seperti bunga pandan yang masih tersembunyi). Kata amisan dapat pula diartikan sekali (sepisan) memimpin. Oleh karena itu kata amisan mengandung makna bahwa sang ratu adil itu bukan sosok yang tamak atau haus akan kekuasaan. Ciri ini mengisyaratkan bahwa seorang ratu adil itu tidak akan berjuang menghalalkan berbagai cara hanya untuk sekedar mempertahankan atau melanggengkan kekuasaannya. C. Pemimpin Kharismatik Pemimpin kharismatik dalam budaya Jawa kerap dibayangkan sebagai tokoh Ratu Adil. Ratu Adil itu juga seorang yang mampu sebagai manajer profesional negara. Ciri ini nampaknya yang sering disebut-sebut sebagai natanagara. Natanagara itu bermakna menata, mengatur, mengelola negara secara adil dan bertanggungjawab. Natanagara bukan berarti menguasai negara, apalagi kalau kekuasaannya itu hanya untuk mengambil keuntungan dari negara demi partai, kelompok kepentingan, atau para pengusaha yang mendanai sang pemimpin atau partainya itu. Natanagara itu adalah sosok yang mampu mengelola, menyelaraskan, serta mempersatukan keberagaman go106



longan, kepentingan dan tingkatan sosial masyarakat sehingga semua kebijakannya akan memuaskan semua lapisan, sehingga dapat dikatakan bahwa wadya punggawa sujud sadaya, tur padha rena prentahe ( semua fihak taat serta



merasa



puas



terhadap



kebijakannya).



Dengan



demikian secara nalar sulitlah kiranya jika seorang Ratu Adil ini masih terlibat secara langsung di dalam salah satu partai, apa lagi menjadi ketua atau penanggungjawab akan jatuh bangunnya partai itu. Kepiawaiannya mengelola negara menyebabkan semua rakyat tidak merasa terperas tenaganya dengan beban-beban pajak, yang di dalam Serat Joyoboyo Musarar juga disebutkan bahwa wong desa iku wedale kang duwe pajek sewu pan sinuda dening narpati mung metu satus dinar (orang desa/rakyat biasa yang berpenghasilan terkena pajak seribu, diturunkan pajaknya oleh sang raja menjadi seratus), bukan malah dinaikkan beban-bebannya di satu fihak untuk menutup kerugian negara akibat orang kota alias para konglomerat nakal. Semua kekayaan serta potensi persada tanah air dikelola dengan baik oleh negara untuk kemakmuran rakyat, bukan diprivatisasi demi kepentingan konglomerat yang mau diajak saling bersepakat, dan bukan pula untuk kepentingan asing yang dapat memberikan restu memperkuat kekuasaannya. Ratu Adil Natanegara tidak merasa malas dan juga tidak terlalu bodoh ataupun ceroboh di dalam melakukan 107



pengelolaan negara secara profesional, sehingga tidaklah mungkin menyewakan, menggadaikan, melelang atau menjual aset-aset negara demi komisi untuk kepentingan pribadi, partai, kelompok kepentingan atau kroni-kroninya. Salah satu versi ramalan menyebut Ratu Adil itu dengan sebutan Herucakra yang berarti payung mustika/lambang pengayoman, persaudaraan, serta pelayanan. Sang Herucakra ini hanya berpenghasilan tujuh ribu reyal per tahun. Penghasilan yang sangat terbatas ini mengisyaratkan bahwa sang Herucakra tidak mungkin menempuh money politic untuk mencapai tahtanya. Dari berbagai ciri yang tersebar di dalam berbagai versi ramalan tersirat bahwa di dalam sosok Ratu Adil itu bersemayam keterpaduan serta keselarasan jiwa atau ruh panca pa manunggal (lima pa yang bersatu), yaitu Pandita, Pangayom, Panata, Pamong, Pangreh (pendeta, pelindung, manajer, pelayan, dan pemimpin). Sebagai pendeta, seorang pemimpin harus bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, jujur dan bersih dari moral, sifat serta perilaku buruk. Sebagai pengayom, seorang pemimpin harus mampu melindungi serta mengayomi seluruh lapisan masyarakat. Sebagai manajer, seorang pemimpin harus mampu mengelola negara. Sebagai pelayan, seorang pemimpin harus mampu mengakomodasikan kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sebagai



108



pemimpin, seorang pemimpin harus memiliki kewibawaan dan jiwa kepemimpinan yang baik.



109



BAB VI



Membahas Nasehat Keutamaan



A. Taat Beragama Agama ageming aji Agama pakaian raja. Agama adalah dasar kekuasaan raja Jawa. Raja memerintah berlandaskan agama. Maka para sultan dan sunan Jawa bergelar Ngabdurrahman Sayidin Panata Gama Khalifatullah. Agama menjadi pedoman hidup yang tak ternilai. Rakyat atau kawula dasih di Jawa mengikuti apa agama rajanya. Ketika Kerajaan Majapahit yang berkuasa di Jawa, maka orang Jawa beragama Hindu-Buda, sesuai agama rajanya. Namun, orang Jawa serta merta memeluk agama Islam sejak Kerajaan Demak berdiri dan diteruskan Kerajaan Pajang dan Mataram. Aja dumeh ayu banjur kumayu. Jangan mentang-mentang cantik lantas sok cantik.



110



Tidak



baik



memamerkan



kecantikan



tanpa



imbangan kemampuan lain, misalnya kepandaian dan kesalehan. Wanita cantik apabila budi pekertinya yang baik, akan luntur di mata lelaki. Kecantikan wanita akan luntur di mata lelaki apabila tidak pandai bergaul dan



tidak



terampil dalam ngadi busana ‗berdandan‘. Aja dumeh bagus banjur gumagus. Jangan mentang-mentang tampan lantas sok tampan. Maknanya tampan boleh tapi sok tampan tidak boleh karena berarti sombong, pamer, dan riya. Lelaki yang tampan tetapi bodoh dan rendah perilakunya akan terlihat kurang berwibawa di mata orang lain. Lelaki akan tampak lebih tampan apabila memiliki derajat ‗kebangsawan‘, pangkat ‗jabatan‘, dan semat ‗kekayaan‘. Aja dumeh menang, banjur sewenang-wenang. Jangan mentang-mentang menang lantas sewenangwenang. Kemenangan atau kekuasaan itu untuk kebaikan. Sewenang-wenang pada yang lemah dan kalah akan membuat diri kita jatuh. Kemenangan bukan berarti kekuasaan untuk berbuat aniaya, melainkan justru dijaga dengan eling lan waspada. Orang menang yang sejati adalah yang bisa mengalahkan hawa nafsu dan keinginan diri pribadi, mengelola ego dan tidak sentimentil. 111



Aja dumeh sugih banjur semugih. Jangan mentang-mentang kaya lantas sok kaya. Orang kaya yang bermewah-mewah membuat orang miskin sakit hati. Menyombongkan kekayaan menjadi tidak bijaksana. Sebaliknya, kekayaan harus dijaga dengan perilaku rendah hati, keshalihan dan kedermawanan agar kekayaan itu berkah dan halal. Kaya yang sesungguhnya adalah kaya hati. Orang kaya yang sesungguhnya adalah orang yang suka memberi. Aja gumunan. Jangan mudah terkagum-kagum. Kehidupan dunia ini beraneka ragam. Mudah terkagum-kagum dengan suatu hal yang baru, menyebabkan kita akan mudah terperdaya. Aja gumunan kaya kethek mlebu kutha. Jangan mudah terkagum-kagum seperti kera masuk kota. Orang yang gumunan akan mudah tergoda dan tidak waspada. Aja kagetan. Jangan mudah terkejut. Mudah terkejut ketika menerima berita, melihat sesuatu yang menakjudkan, atau melihat suatu kejadian membuat jantung berdetak keras. Orang yang mudah terkejut, akan terlihat jelas kurang matang ilmu jiwanya. Sebaliknya, perlu membaca masa depan dan melihat 112



berbagai kemungkinan yang akan terjadi, sehingga segala sesuatu menyangkut diri kita dapat kita ketahui dan kendalikan. Aja mburu menange dhewe. Jangan merasa menang sendiri. Orang



hidup



perlu



tenggang



rasa.



Mengejar



kesenangan dan kemenangan diri sendiri dengan menghalalkan segala cara membuat kita harus berhadapan dengan banyak musuh. Win win solution merupakan jalan terbaik untuk menghadapi konflik, agar tidak ada yang merasa terkalahkan. Seribu kawan masih kurang, seorang musuh sudah lebih dari cukup. Persahabatan membuat dunia makin luas, permusuhan membuat dunia makin sempit. Aja nggege mangsa. Jangan mempercepat waktu. Memburu sesuatu yang belum waktunya, mungkin justru berakibat fatal. Segala sesuatu itu akan tiba masanya. Ada rahasia Allah yang tidak bisa dipercepat maupun diperlambat. Karena itu, kita semestinya selalu bersandar kepada-Nya. Sunnah-Nya



adalah tangan misterius yang



tidak kelihatan tapi dapat kita rasakan. Segala sesuatu akan tiba waktunya. Bahkan, seorang petinju yang hampir knock out, akan diselamatkan oleh bel.



113



Aja nggugu karepe dhewe. Jangan berbuat sekehendak sendiri. Manusia



hidup



bergandengan



tangan



dengan



manusia lain. Rantai kehidupan menyambungkan setiap manusia dengan lainnya. Karena itu, semestinya kita selalu berempati dan bersimpati terhadap orang lain. Wujudnya ialah tenggang rasa, memperhatikan pikiran dan perasaan orang lain serta berani melihat suatu persoalan dengan cara pandang orang lain. Aja nuhoni benere dhewe. Jangan merasa benar sendiri. Persoalan yang tidak pernah selesai didiskusikan di dunia ini adalah tentang kebenaran. Kebenaran itu sering kali tergantung siapa dan dari mana melihatnya. Oleh sebab itu, tenggang rasa dengan berani melihat kebenaran secara obyektif diperlukan. Maka kita perlu melihat kebenaran menurut versi orang lain dan berkewajiban menghormatinya. Benar menurut kita belum tentu benar menurut orang lain. Aja pijer mangan nendra. Jangan mengutamakan makan tidur. Mengurangi makan dan tidur berfaedah tidak mudah terkena penyakit dan waktu lebih produktif. Terlalu banyak makan dan tidur membuat kita menjadi malas dan 114



tidak sensitif terhadap penderitaan orang lain. Sebaliknya, orang Jawa mengajarkan agar kita suka berpuasa dan berprihatin agar indra menjadi awas lan eling. Aji mumpung. Ilmu mumpung. Menyalahgunakan kesempatan untuk kepentingan pribadi. Misalnya mumpung punya kekuasaan mengatur anggaran negara lantas korupsi dan manipulasi. Senyampang menjadi pejabat yang berwenang lantas menindas rakyat. Sebaliknya, kekuasaan dan jabatan wajib digunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Contoh lain adalah mumpung tidak ada pengawasan yang ketat lalu nekat, mumpung tidak ada aturan yang jelas lalu nerabas, dan sebagainya. Integritas atau track record kita akan terbangun dengan kejujuran pribadi dan dedikasi yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Ajining dhiri dumunung ing kedaling lathi. Nilai diri seseorang terletak pada gerak lidahnya. Harga diri seseorang terletak pada ucapannya. Bila kata-katanya yang keluar dari mulut itu baik, maka ia pun akan dikatakan sebagai orang baik. Sebaliknya, bila ia menipu, maka ia pun akan dicap sebagai penipu. Semua pemimpin yang sukses memiliki ketrampilan dalam orasi, diplomasi dan negosiasi. Bila ingin sukses dalam kehidup115



an, maka belajar bercakap yang baik adalah syarat utama. Diam adalah emas kata peribahasa, namun kadang kala diam adalah mala petaka. Sebaliknya, berbicara adalah emas, namun kadang kala juga karena berbicara akan celaka. Ada waktu, tempat, suasana,



kepentingan, dan



sebagainya yang perlu dipertimbangkan ketika seseorang akan berbicara. Ajining sarira dumunung ing busana. Nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya. Harga



diri



fisikal



seseorang



terletak



pada



penampilan pertama. Penampilan pertama seseorang dapat dilihat dari busana yang dipakai. Semakin tinggi kelas sosial seseorang



biasanya



ia berpakaian



yang



lebih



baik.



Penampilan dalam zaman modern sangat penting agar dihargai orang. Akal okol. Akal dan tenaga. Manusia dikaruniai kekuatan akal pikiran. Akal pikiran itu perlu digunakan semaksimal mungkin. Akal pikiran dan fisik merupakan sarana perjuangan hidup setiap manusia. Dengan kombinasi kedua potensi ini, citacita



setinggi



apapun akan



bisa



tercapai,



mengeringkan samudra dan merobohkan gunung.



116



meskipun



Alelungan datan kongsi bebasahan kaselak kampuhe bedhah. Bepergian belum sampai mencapai tujuan, belum-belum kainnya sobek. Perlambang tragedi politik di Kraton Demak (1478 – 1533). Sultan Demak membawa misi mendakwahkan Islam belum sampai tuntas dan mencapai kejayaan, keburu Sultan Trenggana mati syahid dan kerajaannya bubar. Misi mengislamkan tanah Jawa belum tuntas. Namun kekuatan utama yang disimbolkan dengan kampuh sudah bedhah atau sobek. Kekuasaan kenegaraan Demak, robek setelah Sultan wafat, sementara para pewarisnya saling berebut tahta. Tiga kubu yang berebut kekuasan Demak adalah Arya Penangsang di Jipang – Blora, Jaka Tingkir di Pajang, dan Pangeran Prawata di Kota Demak. Ketegangan ini berakhir dengan naik tahtanya Jaka Tingkir menjadi Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Alon-alon kelakon. Pelan-pelan selamat. Bekerja bertujuan dua hal, yaitu sukses tercapai maksudnya dan diri kita selamat. Prinsip bekerja menurut orang Jawa yakni tepat cara kerja dan tepat waktu. Tepat cara kerja artinya sungguh-sungguh dan tidak sembarangan, tepat waktu artinya tidak terburu-buru dan tidak berlambat-lambat. Jika dalam keadaan genting harus 117



memilih, maka orang Jawa memilih pelan-pelan asal sempurna. Aluamah amarah supiyah muthmainah Nafsu makan, amarah, seksual, kesucian. Perlambang empat nafsu manusia. Tiga nafsu pertama, yakni suka makanan enak, suka marah, dan akan suka kenikmatan seksual, jika sudah berhasil dikendalikan maka manusia baru akan mencapai ketenangan dan kesucian diri atau muthmainah. B. Keadilan Sosial Ambaudhendha nyakrawati. Merengkuh dan menggenggam dunia. Kekuasaan seorang pemimpin atau raja adalah menjadi pengayom dan pengatur dunia. Karena tugas raja Jawa yang besar itulah, maka ia diberi kekuasan yang amurba amasesa wong sanegari. Untuk bisa memimpin dengan benar, maka orang Jawa memberikan kekuasaan raja



secara



mutlak,



gung



binathara



‗besar



seperti



kekuasaan dewa‘. Kekuasaan menurut orang Jawa adalah tunggal sebagaimana Tuhan itupun tunggal. Ambeg adil paramarta. Penuh rasa keadilan dan bijaksana.



118



Sikap adil dan bijaksana dalam menghadapi persoalan hidup, apalagi yang berkaitan dengan orang lain. Seorang pemimpin secara cerdik dan cerdas menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum. Pemimpin bertugas memberi ganjaran kepada yang berjasa dan menghukum kepada yang berdosa. Ambuncang reretuning jagad. Membuang kotoran dunia. Mengatasi



permasalahan-permasalahan



sosial,



menghilangkan segala persoalan yang membuat rusaknya kesejahteraan masyarakat. Bahasa Arabnya, nahi munkar, yakni mencegah kemungkaran. Amemangun karyenak tyasing sesama. Membuat enaknya perasaan orang. Karena manusia tinggal dalam lingkungan masyarakat. Saling menjaga perasaan sangat diperlukan agar jangan sampai menyakiti orang lain. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Sikap among rasa ‗menjaga perasaan‘ perlu dikedepankan agar komunikasi sosial menjadi lancar. Amit-amit karo mbah buyut mengko kuwalat. Permisi kepada kakek buyut agar tidak kena tuahnya. 119



Orang Jawa sangat



sopan dan santun kepada



leluhur, karena tanpa adanya leluhur diri kita tidak akan ada. Sering diucapkan ketika orang Jawa memasuki suatu daerah baru yang belum dikenalnya. Filsafat ini merupakan mantra ketuk pintu dan sekaligus sebagai donga tulak atau doa penolak dari segala macam mara bahaya. Ana awan ana pangan. Ada siang ada makanan. Keyakinan kepada Tuhan bahwa rizki pasti akan datang setiap hari jika manusia berusaha. Filsafat yang sejenis adalah ana dina ana upa, sapa obah mamah. Manusia jika berusaha pasti akan dimudahkan oleh Gusti Allah. Ibarat ayam, jika ia mau cakar-cakar, maka ia akan mendapatkan makanan. Ana pangan padha dipangan ana gaweyan padha ditandangi. Ada makanan sama dimakan ada pekerjaan sama dikerjakan. Semangat kebersatuan dan solidaritas suatu kelompok atau suatu keluarga untuk mencapai tujuan. Semangat kebersatuan ini juga tercermin dalam filsafat tiji tibeh dalam semboyan Pangeran Sambernyawa. Istilah filsafat tersebut bermakna mati siji makti kabeh, mukti siji mukti



120



kabeh. Artinya mati satu mati semua, mulia satu mulia semua. Andhap asor Rendah hati. Sifat rendah hati dan lapang dada. Orang yang rendah hati akan disukai orang banyak sehingga banyak pula



saudaranya.



Sebaliknya



sikap



sombong



berarti



mengusir para sahabat kita, meskipun sahabat yang paling kental. Anggayuh kasampurnaning urip Mencari kesempurnaan hidup. Tujuan akhir kehidupan manusia adalah mencapai kesempurnaan. Sempurna berarti dapat kembali kepada Tuhan



dalam



keadaan



bersih



dan



lapang,



tidak



meninggalkan kemudharatan bagi anak cucu, mampu memberi manfaat kepada masyarakat sekitar, dan amal shalih yang berpahala. Karena Tuhan Maha Suci, maka kita hanya dapat kembali kepada Tuhan dalam keadaan suci pula. Anutupi babahan hawa sanga. Mati raga menutup lubang angin sembilan. Dengan sungguh-sungguh menutupi hawa nafsu dan keinginan yang muncul dari sembilan lubang dalam 121



tubuh manusia yakni: kedua mata, kedua telinga, dua lubang telinga, ditambah mulut, kemaluan dan anus. Sembilan lubang ini sangat penting bagi manusia. Tujuh lubang di kepala merupakan indera yang sangat penting, sebagai alat komunikasi dengan dunia luar. Asta brata. Delapan ajaran. Delapan butir ajaran tentang kehidupan dan kepemimpinan, sesuai filsafat bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang dan awan. Bumi sabar, air tenang, api memberi semangat, angin dinamis, matahari memberi keadilan, bulan menyejukkan, bintang rendah hati, dan awan merahmati. Atining kebo entek dipangan tumaning kinjir Hati kerbau habis dimakan kutu babi. Pasemon untuk kesedihan hati Prabu Brawijaya V Majapahit, ketika mendapat serangan dari putranya di Demak. Ia kecewa dan sangat marah tapi tidak mau memerangi putra sendiri karena namanya akan hancur di mata dunia. Kekecewaan dan kemarahan Prabu Brawijaya ini karena akibat serangan ini maka dapat dipastikan Majapahit, kraton warisan leluhurnya akan hancur. Dan ternyata benar, istana raja Jawa di Trowulan itu hancur lebur pada tahun 1478 M. 122



Ayu hayu rahayu. Baik, selamat, sejahtera. Harapan,



doa



atau



cita-cita



agar



mendapat



kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan dalam menjalani hidup. Hidup tanpa keselamatan adalah celaka, hidup tanpa kebaikan adalah hina, dan hidup tanpa kesejahteraan akan sengsara. Bandha bandhu bandhung sentana. Kaya harta dan banyak saudara. Keselamatan



hidup



didapat



dari



banyaknya



saudara. Kesejahteraan hidup diukur dari banyaknya harta. Orang yang banyak memiliki harta dan banyak saudara dikatakan mulia, sejahtera dan ternama. Sebaliknya, orang yang terkucil akan hina dan sengsara karena tidak ada yang akan menolongnya jika mendapat musibah. Banyak, dhalang, sawung, galing, arda walika. Angsa, ayam jago, naga, sapu tangan emas. Adalah alat upacara Kraton Jawa. Merupakan simbol kebesaran dan kekuasaan raja atas dunia material maupun spiritual. Benda-benda upacara tersebut merupakan lambang kedaulatan, kemakmuran dan keamanan kerajaan. Simbol tersebut hampir sama kedudukannya dengan keris dan tumbak yang disimpan di gedong pusaka 123



sebagai sipat kandel. Kerajaan Jawa dianggap sah jika memiliki simbol-simbol ini. Beda-beda panduming dumadi. Berbeda-beda pemberian Tuhan. Keadaan manusia di dunia ini berbeda-beda. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang baik, ada yang buruk. Semua adalah anugrah Tuhan yang pantas disyukuri. Kita dituntut untuk bisa meraih hikmah keadilan ilahi yang berada di balik semua perbedaan tersebut. Perbedaan dengan demikian merupakan rahmat. Tanpa ada yang cacat, maka tidak ada pula yang sempurna. Bener ketenger, becik ketitik. Benar dikenal baik dilirik. Artinya, segala tindakan yang benar akhirnya akan nampak dengan jelas. Sebaliknya, filsafat ala ketara bermakna bahwa tindakan yang buruk, lambat atau cepat akan



diketahui



orang



lain.



Ibaratnya,



meskipun



disembunyikan dengan rapat, bau bangkai yang busuk akan tercium. Kebaikan dan kejahatan meskipun sebesar biji sawi yang lembut akan mendapat ganjaran dan balasan yang setimpal oleh Tuhan. Hikmahnya, kejujuran pada diri sendiri adalah sangat penting.



124



Ber budi bawa leksana. Penuh rasa keadilan. Ber budi bawa leksana adalah orang yang bijaksana, baik hati, adil dalam memandang dan memutuskan persoalan. Kebijaksanaan sangat penting artinya bagi seorang



pemimpin.



Kehormatan



dan



kehinaannya



tergantung pada nilai kebijaksanaan yang ditaburkannya pada masyarakat yang dipimpinnya. Binneka tunggal ika. Berbeda-beda tetapi satu jua. Semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun



terdiri



dari



berbagai



perbedaan,



tetapi



hakikatnya satu Indonesia. Filsafat ini dituliskan oleh Empu Tantular dalam Kitab Sutasoma pada zaman kebesaran Majapahit (1284-1478). Pada waktu itu, nusantara terdiri dari berbagai suku, agama, ras, bahasa. Bobot, bibit, bebet Kepandaian, keturunan, kekayaan. Tiga ajaran bagaimana cara memilih pasangan hidup. Bibit adalah faktor darah dan keturunan. Siapakah orang tua dan keluarganya, apakah sehat jasmani dan ruhani, dari latar budaya bagaimana dan sebagainya. Bebet adalah faktor status sosial mempelai dan keluarganya. Apakah mempelai berasal dari keluarga yang baik-baik dan 125



sebagainya. Sedangkan bobot adalah faktor kesiapan material untuk memulai langkah meniti hidup baru. Cangkrama putung watange. Pergi berburu patah tombaknya. Pasemon kepada Kerajaan Pajang (1433 – 1472 M) yang kehilangan wahyu kerajaan sehingga hanya sekali periode raja Sultan Hadiwijaya saja selama 36 tahun, kemudian



kraton



berpindah



ke



Mataram.



Sultan



Hadiwijaya dan Pangeran Benawa, putranya, terpaksa merelakan tahta Pajang kepada Panembahan Senopati di Mataram. Catur rana semune segara asat. Empat gerbang seperti lautan kering. Melambangkan empat negara Jawa, yaitu Kediri, Jenggala, Singasari dan Ngurawan pada tahun 1100 – 1222 M yang selalu bertikai, akhirnya sama-sama rusaknya dan tidak ada kemakmuran bagi rakyat. Gambaran hidup ini melahirkan filsafat yang penuh kebijaksanaan seperti rukun agawe santosa crah agawe bubrah, artinya kerukunan menambah kekuatan, perpecahan membuat kerusakan. Cegah dhahar lawan guling. Mengurangi makan dan tidur.



126



Anjuran



berpuasa



dan



berprihatin



dengan



mengurangi makan dan tidur. Terlalu banyak makan dan tidur membuat kita menjadi malas dan tidak sensitif terhadap kehidupan. Sebaliknya, orang Jawa mengajarkan agar kita suka berpuasa dan berprihatin agar indra menjadi awas. Sikap cegah dhahar lawan guling ini merupakan tahab awal untuk bisa mendalami jagad batin orang Jawa, Datan kober apepaes tan angulah kemben sinjang. Tidak sempat berbias tidak mengenakan kain sinjang. Perlambang untuk Paku Buwana IV dan V yang tidak sempat mengatur negara karena banyaknya persoalan negara, terutama campur tangan Belanda. Kondisi campur tangan asing ini membuat sangat sulit bagi kerajaan Jawa untuk maju dan berkembang menentukan nasip sendiri. Den ajembar, den momot lawan den mengku, den kaya segara. Diperluas, diperbanyak muatannya, direngkuh seperti lautan. Senantiasa belajar untuk menambah pengetahuan, memperbanyak ilmu, kuat menahan penderitaan seperti lautan yang mampu menampung muatan apapun dari sungai. Kesabaran dan ketabahan seperti autan yang dalam dan luas, siap hangabehi atau mengatasi segala persoalan.



127



Digdaya tanpa aji. Digjaya tanpa ajian. Digdaya tanpa aji adalah orang yang sakti mandraguna tanpa harus memiliki ajian, jimat, atau bendabenda keramat lainnya. Ia dapat menaklukkan lawan bukan dengan kekerasan tetapi justru dengan kasih sayang. Orang yang sakti sebenarnya orang yang sedikit rintangan dari orang lain. Supaya lepas rintangan maka seseorang itu wajib memperbanyak sahabat dengan berprinsip bahwa satu musuh sudah terlalu banyak, apalagi dua. Alangkah mulianya orang yang digdaya tanpa aji. Dilalah kersa Allah. Kebetulan atas kehendak Allah. Ketika kekuatan kita sudah tidak berdaya lagi, tapi ada peristiwa kebetulan yang menguntungkan kita. Itulah dilalah kersaning Allah, karena itu segala sesuatu harus disandarkan kepada takdir dan kekuasaan-Nya. Ndilalah adalah derivat dari kata alhamdulillah, yang merupakan pujian terhadap kebesaran dan keagungan Allah. Esem bupati. Senyum bupati. Manusia dalam kehidupan bermasyarakat terdiri dari kelas-kelas sosial. Kita perlu memahami kelas sosial itu agar tahu diri dan dapat bersikap sebaik-baiknya dengan 128



siapa kita berbicara. Demikian pula ketika hendak melemparkan kritikan. Cara mengritik orang lain setingkat bupati cukup dengan senyuman. Ewuh pakewuh. Repot dan segan Ketika seseorang berbicara dengan orang lain, ia perlu memahami kata-kata orang itu. Tanpa memahami kata-katanya,



kita tidak akan tahu



jiwanya. Tanpa



mengetahui jiwanya, kita tidak akan tahu dengan siapa kita berbicara. Karena itu, orang Jawa menganjurkan untuk merendahkan diri, kalau perlu sikap ewuh pakewuh, agar tepat menjiwai perasaan orang lain. C. Menghindari Pelanggaran Ewuh aya ing pambudi. Repot dan susah dalam bersikap. Suatu keadaan zaman yang rusak dan membuat orang susah untuk mengambil sikap, susah mencari rizki. Perputaran dunia yang seperti cakra manggilingan seringkali membuat kita harus lincah dan trampil dalam mengukur diri dan mawas diri. Ewuh pakewuh kadang kala diperlukan, tapi saat yang lain harus ditinggalkan. Pandai-pandai bersikap dan membawa diri adalah kunci kesuksesan.



129



Gajah meta cinancang wit sidaguri, mati cineker ayam. Gajah mengamuk diikat di pohon sidaguri, mati dicakar ayam. Perlambang Geger Pacinan di Kraton Kartasura yang ditunggangi Belanda pada tahun 1740-1744 M. Akibat geger ini, Kraton Kartasura rusak parah, Sunan Paku Buwana II mengungsi ke Ponorogo. Setelah kembali, membangun istana baru di Dusun Solo dan dinamai dengan membalik nama Kartasura menjadi Surakarta. Gajah meta semune tengu lelaki Gajah mengamuk dikira tengu kawin. Pasemon untuk Paku Buwana II raja Kartasura yang sangat



disegani,



ternyata



ketika



mendapat



berbagai



gangguan pemberontakan ia berhati kecil dan mengungsi ke Ponorogo lalu mengawini putri bupati Ponorogo dengan maksud agar mendapat bantuan. Ganda kentir semune liman pepeka. Ban hanyut dikira singa bijaksana. Melambangkan Prabu Ganda Kusuma di Pajajaran yang menghanyutkan putranya yang bernama Siimg Wanara di Sungai Kerawang. Akhirnya suatu ketika dibalas oleh Siung Wanara dengan perlakuan serupa hingga tewas di Sungai Kerawang. 130



Gandrung-gandrung ing lelurung andulu gelung kekendon,



keris



parung



tanpa



karya,



edolen



tukokna uleng-uleng campur bawur. Jatuh cinta menjadi satu-satunya kerepotan, keris senjata tak berguna, juallah belikan makanan campur baur. Jika negara diatur dengan baik maka sesungguhnya akan makmur sentosa, tenteram, bahagia. Tidak ada orang merasa repot, kecuali hanya yang jatuh cinta. Aman nyaman hingga keris parung tak berguna, dan sebarang senjata lebih baik ditukar dengan makanan apa saja, karena tidak ada kekerasan lagi. Glondhong pengareng-areng, peni-peni raja peni guru bakal guru dadi. Harta benda yang mahal harganya, bahan mentah bahan jadi. Upeti yang harus diserahkan kepada raja dari para adipati, atau dari wedana ke bupati. Upeti tersebut berupa hasil bumi yang terbaik dan emas permata yang mahalmahal. Pemberian ini adalah pajak yang harus dibayarkan oleh daerah kepada raja selaku pemilik hak atas tanah wilayah. Daerah taklukan memiliki kewajiban untuk memberikan sebagian hasil bumi kepada istana. Goroh growah. Bohong terluka. 131



Orang yang berbohong lama-lama akan erosi kepercayaan dirinya. Orang yang berbohong sama halnya dengan melukai diri sendiri. Sekali berbohong, maka menimbulkan serangkaian kebohongan lain untuk menutupi kebohongan yang lama. Akhirnya kebohongannya terbuka dan akan mendapat celaka. Seorang



pemimpin



yang melakukan tindak kebohongan akan melukai dan menipu publik secara luas. Lama-lama, kebohongan ini akan terbongkar. Gremat-gremet waton slamet. Merayap pelan-pelan asal selamat. Artinya biar lambat dalam melakukan suatu pekerjaan secara lahiriah namun yang penting selamat. Pekerjaan memerlukan kehati-hatian agar tercapai tujuan dengan selamat. Cermat dan hati-hati merupakan unsur terpenting dalam melakukan pekerjaan. Seorang pengemudi, jika lengah dari kewaspadaan, bisa mengakibatkan nyawa puluhan bahkan ratusan penumpang terancam. Guci lenga kayu gapuk. Lugu suci, mentheleng lunga, kaku ngguyu, lega dipukpuk. Sebuah



filsafat



perkawinan



Jawa.



Keluarga



hendaknya dibangun dengan niat bersih, lugu dan suci. Setiap persoalan selesaikan dengan kepala dingin, jangan memelototkan mata atau mentheleng agar pasangan kita 132



tidak lunga 'pergi'. Jika salah satu kaku, maka yang lain harus ngguyu 'senyum'. Jika suatu ketika suami menjadi api yang membakar, maka istri harus menjadi air yang memadamkan. Jika suami menjadi gas yang mendorong, maka istri menjadi rem yang mengendalikan. Perasaan tulus ikhlas atau lila legawa harus dipuk-puk 'dibangun'. Gugon tuhon. Suatu yang dipercaya dengan sungguh-sungguh. Suatu takhayul yang dipercayai kebenarannya. Atau, ajaran yang tidak ada sumbernya secara jelas, akan tetapi digugu 'dipercaya' dengan satuhu 'benar-benar'. Banyak adat istiadat yang terbangun dengan gugon tuhon ini. Suatu fakta yang sulit diungkap secara rasional, namun sulit diingkari. Gumelaring agesang. Bentangan kehidupan. Tergelarnya alam kehidupan manusia. Alam jagad raya ini adalah alam makrokosmos atau jagad gumelar, di mana tata surya diatur oleh suatu sunnatullah yang teratur, rapi, ajeg dan terencana. Manusia adalah mikrokosmos, atau jagad gumulung, di mana manusia wajib berusaha meraih kesempurnaan hidup dengan keshalehan pribadi maupun keshalehan sosial.



133



Guna kaya purun. Kepandaian, kekayaan dan kemauan. Tiga bekal yang hendaknya dimiliki setiap orang untuk mengabdi kepada negara dan berjuang demi masyarakat, yakni kepandaian, kekayaan dan kemauan. Kepandaian dicari dengan belajar giat, kekayaan dicari dengan kerja keras, sedangkan kemauan dicari dengan kepedulian. Cita-cita untuk menjadi manusia yang berguna, tidak akan terlaksana jika seseorang tidak memiliki guna ‗kepandaian‘, kaya ‗kekayaan‘ dan purun ‗kemauan‘. Gunung Kendheng semune kenya musoni. Gunung Kendheng ternyata gadis menyusui. Perlambang raja yang usia kekuasaannya panjang tetapi kurang melakukan gerakan penting bagi kemajuan kerajaan, malahan disinggung oleh para pujangga seperti anak kecil. Salah satu raja yang dimaksud adalah Sunan Paku Buwana I, raja Kartasura. Kalangan rakyat kecewa karena



negara



sebagai



pengayoman



dan



pendorong



kehidupan bermasyarakat dalam kondisi kurang terarah dan akhirnya peluang pihak asing untuk mengintervensi semakin melebar. Guru rupaka. Guru merawat.



134



Orang tua yang melahirkan kita sangat berjasa, karena beliau telah memelihara kita sejak dari dalam kandungan. Ibu mengandung kita selama sembilan bulan. Laki-laki lahir dari perempuan dan perempuan lahir karena laki-laki. Guru pengajian. Guru belajar. Bapak dan Ibu guru yang memberikan ilmu disebut orang tua kedua. Beliau sebagai pengganti orang tua untuk mendidik dan membimbing anak-anak di sekolah maupun di luar sekolah. Ilmu adalah sesuatu kebenaran yang tidak tampak oleh mata. Guru membukakan mata muridnya untuk melihat segala sesuatu atau apapun yang tidak kasat mata. Hormat kepada guru ilmu adalah bagian dari barokah ilmu. Guru wisesa. Guru kuasa. Pemerintah membuat undang-undang atau peraturan untuk kepentingan bersama. Pemerintah juga mengatur kekayaan alam untuk kepentingan kita bersama. Salah satu contoh kekuasaan negara adalah pada tanah yang kita miliki. Seberapa mahal pun kita membayar hak atas tanah kita, tetapi kita tidak akan pernah memiliki sepenuhnya. Buktinya kita masih harus membayar pajak. Pemerintah 135



adalah guru kuasa yang berwenang dan berkewajiban mengatur kehidupan masyarakat. Guru swadaya. Guru mandiri. Tuhan. Dialah Guru Yang Maha Pandai, yang menciptakan alam semesta beserta dengan isinya. Dialah pembimbing setiap makhluk sekalian alam. Dialah disebut guru sejati, yang apabila seluruh batang pohon di dunia ini dijadikan pena dan air lautan dijadikan tinta untuk menuliskan ilmunya, maka tidaklah akan mencukupi. Apabila seluruh manusia di dunia menyembahnya maka tidak akan bertambah wibawa Tuhan dan sebaliknya, apabila



semua manusia di dunia mengingkarinya, tidak



akan berkurang kewibawaan Tuhan. Gusti Allah ora sare. Tuhan tidak tidur. Gusti Allah selalu menjaga hamba-Nya, kapan saja dan di mana saja. Gusti Allah Maha Penjaga, yang tahu sekecil apapun peristiwa di muka bumi, meskipun selembar daun yang menguning dan jatuh. Dialah Tuhan yang mengetahui segala pernik gejolak batin dan perilaku kita. Hadigang-hadigung hadiguna. Kekayaan, kekuatan dan kekuasaan. 136



Manusia dikatakan kuat jika memiliki kekayaan yang berlimpah, kekuatan yang besar dan kekuasan yang tinggi. Orang yang kuat ini berkewajiban melindungi orang yang lemah, bukan sebaliknya. Menyombongkan harta benda, kekuatan dan kekuasaan tidak akan membuat manusia bahagia. Sebaliknya, sikap ambeg adil paramarta membuat para tetangga simpati dan empati terhadap kita. Heru cakra. Lingkaran dunia. Lambang Ratu Adil, raja atau pemimpin agung yang dipercaya akan membebaskan rakyat dari segala macam penderitaan



dan



diskriminasi.



Sesuatu



yang



paling



diimpikan rakyat pada negara adalah keadilan. Pemimpin yang mampu menegakkan keadilan dalam harapan semua masyarakat. Holopis kuntul baris. Holopis kuntul baris. Salah ucap dari nama Don Lopis Comte du Paris, seorang kapten prajurit Belanda yang berasal dari Paris, Francis. Ia menyuruh rakyat untuk bekerja rodi sambil mengucap namanya keras-keras. Semboyan rasa kebersamaan dalam melakukan kerja.



137



Hyang kalingga surya. Raja bertubuh matahari. Pemimpin yang tangguh dan pelindung yang baik seperti memiliki tubuh matahari menyinari luasnya dunia. Matahari menyamari dunia tanpa membeda-bedakan kawula. Datang secara pasti setiap pagi hari dan memberi kesempatan manusia untuk beristirahat di malam hari. Ibu bumi bapa akasa. Ibu bumi, ayah langit. Falsafah Jawa mengatakan bahwa bumi adalah simbol ibu karena menumbuhkan tetanaman, sedangkan langit



adalah



simbol



ayah



karena



melindungi



dan



menurunkan hujan. Bumi bersifat momor ‗komunikatif‘, momong ‗persuasif‘ dan momot ‗akomodatif‘. Sedangkan langit bersifat nyandhangi ‗memberi pakaian‘, nyandhingi, ‗memberi



rasa



aman



atau



pengayoman‘



dan



tidak



nyandhungi ‗menjadi penghalang‘. Ing madya mangun karsa. Di tengah menyatukan tujuan. Seorang



pemimpin



ketika



berada



di



tengah



masyarakat, hendaknya bisa menjadi penyatu tujuan dan cita-cita masyarakat. Seorang pemimpin di antara umatnya senantiasa berkonsolidasi memberikan bimbingan dan



138



mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat yang mengutamakan kepentingan masyarakat. Ing ngarsa sung tuladha. Di depan memberi tauladan. Seorang



pemimpin



ketika



berada



di



depan



hendaknya bisa menjadi tauladan atau contoh; seorang pemimpin sebagai seorang yang terdepan dan terpandang senantiasa



memberikan



panutan-panutan



yang



baik



sehingga dapat dijadikan suri tauladan bagi masyarakatnya. Ingkang



pantes



dhawah



ing



sambawa



kalian



sembada. Yang pantas sesuai keadaan dan mumpunilah. Bertindak



dengan



mempertimbangkan



empan



papan atau suasana, waktu dan tempat agar pantas dan wajar. Dalam filsafat Hindu Jawa manusia dituntu untuk bertanggung jawab, dan memperhatikan desa ‗tempat‘, kala ‗waktu‘ dan patra ‗suasana‘. Jagad cilik. Dunia kecil. Tubuh manusia dalam falsafah Jawa disebut jagad cilik. Pada dasarnya, badan manusia memiliki sunnatullah yang luar biasa tertib dan teratur. Jantung selalu berdetak memompa darah dengan pola dan irama yang tetap, darah 139



mengalir ke seluruh tubuh membawa dzat makanan, sedangkan indera membangun kesadaran kemanusiaan. Karena itulah, tubuh manusia dalam konsep Jawa disebut jagad cilik atau mikrokosmos. Jagad gedhe. Dunia besar. Alam semesta dan seisinya. Alam semesta ini memiliki keteraturan dan ketertiban yang luar biasa. Matahari, bumi, bulan dan sebagainya berputar pada porosnya tanpa bertabrakan. Air laut menguap menjadi awan, awan mengembun menjadi hujan, hujan membasahi bumi dan menumbuhkan tetanaman dan seterusnya. Jagad pramudita. Penguasa dunia. Yang menguasai dunia. Adalah kekuasaan Tuhan Semesta Alam. Dalam bahasa Arab disebut asmaul husna atau nama-nama yang baik, sesuai dengan kemahakuasaan Tuhan atas hamba-hamba-Nya. Janma patrap kenging tinulat ing kautamen. Manusia mapan bisa ditiru keutamaannya. Orang bijaksana yang tindakannya dapat menjadi suri tauladan utama. Tauladan adalah cermin yang memantulkan keindahan dan kebajikan yang layak ditiru 140



dan diikuti pikiran dan sikap hidupnya. Pemimpin bangsa hendaknya merupakan orang yang bisa ditiru dalam segala sisi kehidupannya, karena pemimpin selalu berada di depan.



141



BAB VII



Seni Tari Dan Musik A. Tari Gandrung Salah



seorang



penari



laki-laki



dalam



seni



pertunjukan Gandrung Banyuwangi, yang bertugas sebagai pengatur giliran menari bagi para tamu atau pemaju. Tukang gedog muncul ketika penari Gandrung telah selesai membuka acara Gandrung dengan tarian Jejer. Ia menari sejenak bersama-sama sang Gandrung untuk kemudian mengantar penari Gandrung itu ke tempat duduk tamutamu yang hadir. Tariannya bersifat spontanitas tetapi kelihatan



gagah



dengan



hentakan-hentakan



bunyi



kendhang yang sangat intens. Tidak banyak ragam gerak yang dipakai, karena tampak sekedar upacara berganti giliran menjadi pemaju itu. Tetapi setiap kali suatu rombongan Pemaju selesai menari dan perlu diganti yang lain, tukang gedog ini naik ke pentas dan sekali lagi melakukan tarian bersama penari Gandrung tersebut. Dengan demikian iapun semalam-malaman menerima tugas itu. Tukang gedog rupanya harus dipilih di antara 142



mereka yang pandai menari, pandai bergaul dan tahu benar siapa saja tamu-tamunya. Apabila tukang Gedog melakukan kesalahan dalam mengatur giliran, misalnya seseorang yang berkedudukan tinggi di masyarakat justru di berikan giliran belakang maka pastilah menimbulkan kesan kurang enak. Bahkan tidak jarang tamu yang bersangkutan marah, terjadi perselisihan atau pertikaian atau dengan cara yang keras si tamu meninggalkan tempat perjamuan. Tentu saja ini membuat aib bagi yang punya hajad. Karenanya tukang Gedog harus dipilih benar-benar agar tak terjadi kesalah fahaman itu. Pakaian Tukang Gedog adalah pakaian pesta pada umumnya, jadi tak ada rias maupun kostum yang khusus. Hanya saja ia mengenakan sampur. Lagu-lagu yang dipakai untuk mengiringi tariannya adalah lagu-lagu yang pendek saja atau kadang-kadang hanya tabuhan dari musiknya yang terdiri dari Kendang, Biola, Kethuk-kenong, Gong dan Kernpul. Apabila tukang Gedog bersama Gandrungnya tengah menuju tempat tamu, biasanya biola itu digesek dengan lagu yang panjang-panjang yang disebut Ranginan. Waderperi Nungsung Beji Salah satu tarian di dalam drama tari Wayang Topeng Tradisionil di daerah Malang, terutama di Desa Jabung, Kecamatan Tumpang. Ditarikan sebagai atraksi lawak dalam bentuk gerak tari ketika bagian Klana gunung 143



saru-Patrajaya dipertunjukkan. Menurut istilah setempat adegan semacam itu disebut 'permainan'. Penarinya adalah peran Gunungsari-Patrajaya, keduanya dimainkan oleh penari laki-laki, masing-masing dalam gaya yang kontras berbeda. Garapan tarinya bersifat pantomime. ‗Waderpari nungsung Beji‘ menggambarkan sikap dan tingkah laku seekor ikan jenis kecil yang di sebut 'Waderpari' di dalam air. Air itu adalah air di pancuran atau pemandian di kaki tebing yang menurut istilah setempat disebut 'Beji'. Jadi tingkah laku ikan itulah yang diungkapkan serta dikembangkan secara pentomimik, spontan dan kreatif. Gerak tarinya lebih bersifat representatif. Patrajaya akan mengungkapkannya dengan lucu sekali sehingga menimbulkan gelak tawa penontonnya. Kemudian Gunungsari akan memberikan contoh geraknya yang lebih tepat, indah dan menarik. Disinilah sebenarnya terletak tuntutan teknis yang baik bagi penarinya. Kreatifitaspun dikembangkan disana, misalnya, bagaimana si ikan berenang kesana-kemari, maju Mundur, naik turun, berputar di tempat, menyambar mangsanya, bernafasan dipermukaan air dan sebagainya. Iringan untuk tarian ini adalah gendhing Kembangkacang atau Nduk Cici, Pelog



Patet



Barang.



Instrument



gamelannya adalah



gamelan Pelog Lengkap. Kendang dimainkan secara improvisatoris menyesuaikan diri serta menghidupkan gerak tarinya. 144



Sebenarnya selain 'Waderpari nungsung Beji' masih ada sebelas macam jenis 'permainan' tersebut seluruhnya. Ke sebelas macam itu adalah : Waderpari Nungsung Beji, Jalak Kecancang, Biyada Mususi, Sinatriya nJala, Gambuh Mara Seba, Mundur Cecebolan, Dali Nyampar Banyu, Merak Ngigel, Merak Kesimping, Temanten Purik, Tikus Ngungsi Salang. Penari Gunungsari mengenakan mahkota dari kulit, celana panji-panji, kain batik dengan lipatan di samping kiri, rapek, setagen, sampur di sampir di pundak keris, gongseng. Patrajaya mengenakan baja komprang, celana komprang pinggang dililit kain batik, ikat kepala batik, sampur di pundak dan gongseng. Keduanya mengenakan topeng, Gunungsari bertopeng putih, halus dan bagus. Patrajaya bertopeng kecoklatan, tanpa dagu, bermata sipit dan lucu. Walang Semirang — Walang Wati Disebut juga dengan judul LEMBU GUMARANG — LALER WILIS. Adalah salah satu lakon yang cukup digemari dalam pertunjukan dramatari Wayang Topeng tradisionil di Malang. Ditarikan oleh tujuh sampai sepuluh penari untuk memerankan kurang lebih 35 peran. Dengan demikian setiap penari memegang beberapa peran dengan cara mengganti topengnya. Pementasannya di arena terbuka dengan satu sisi tertutup tirai dimana di belakangnya dapat dipergunakan 145



untuk persiapan para penari. Penonton ada di tiga sisi yang lain. Gamelan disalah satu sisinya sedang dalang duduk disudut panggung sehingga dapat mengatur keluar masuknya pemain maupun mengatur para penabuh gamelan. Pertunjukkan lakon ini diselenggarakan untuk pesta-pesta kawin, khitanan, bersih desa atau pesta-pesta yang lain. Pementasannya berlangsung pada jam 09.00 17.00 siang atau pada jam : 21.00 - 05.00 malam hari. Dialognya dilakukan oleh sang Dalang sementara para penarinya



berpantomime



mengexpresikan



isi



dialog



tersebut. Hanya tokoh Semar, Bagong, Patrajaya saja yang berdialog sendiri. Ada anasir trawesti dimana peran-peran wanitanya tetap dilakukan oleh penari-penari laki-laki. Adapun isi ceritanya adalah sebagai berikut : Adalah seorang pertapa mempunyai dua orang anak yaitu Walang Semirang yang laki-laki dan Walang Wati yang perempuan. Banyak para raja ingin mem persunting Walang Wati tetapi gadis ini belum bersedia kawin. Lagi pula kakaknya berniat mencarikan jodoh satriya yang tangguh. Karena itu barang siapa dapat mengalahkan Walang Semirang dalam perkelaian maka dialah yang berhak mempersunting adiknya itu. Tetapi sang pertapa tidak menyukai keadaan itu, lalu kedua anaknya itu disuruh bersembunyi saja di sebuah goa agar tidak lagi di pertanyakan orang. Kedua anak itupun pergi memenuhi 146



perintah ayahandanya. Tetapi lama kelamaan kedua kakak beradik itu bahkan jatuh cinta satu sama yang lain. Mengetahui hal itu ayahanda amat marah lalu dikutuklah mereka menjadi seekor lembu dan seekor lalat. Kutuk itu baru akan berakhir bila nanti ada seorang satriya yang berhasil mematahkan tanduk si lembu. Kedua mahluk itupun disuruhnya pergi ke suatu tempat dengan tugas menolong



siapa



saja



yang



diganggu



orang



dalam



perjalanan. Akhirnya mereka bertemu dengan Sang Panji Asmarabangun yang sedang pergi mencari isterinya, Sekartaji. Terjadilah perkelahian dengan si Lembu namun Panji dapat mengalahkannya dan kembalilah si lembu menjadi Walang Semirang sebagai semula. Demikian pula dengan si Lalat, ia pun kembali menjadi Walangwati. Walangwati



diperisterikan



Sang



Panji



dan



Walang



Semirang menjadi prajurit Sang Apanji sampai dapat mengalahkan Bali. Penari-penarinya



mengenakan



topeng



dengan



berbagai karakter menurut peran-peran masing-masing. Karakter itu ditandai oleh warna serta bentuk-bentuk topeng. Mereka mengenakan mahkota dari kulit, kain batik dengan lipatan samping kiri, celana panji-panji, setagen, sampur di pundak, keris, gongseng serta atribut-atribut hiasan seperlunya. Iringan



gamelannya 147



terdiri



dari



serangkaian



gendhing-gendhing Jawa Timuran berlaras Pelog semua. Instrumennya adalah gamelan Pelog Lengkap. Lakon ini sering kali dibuat fragment juga karena orang ingin melihat yang singkat-singkat juga. B. Terbang Gendhing Suatu tarian berlatar belakang kultur masyarakat Madura yang terdapat di daerah Probolinggo. Ditarikan oleh dua orang laki-laki tua dan dua anak laki-laki remaja sekitar 10 - 14 tahun umurnya. Tidak jelas tema yang dikemukakan kecuali mereka menari menurut ritme lagu yang diperdengarkan yaitu gendhing Walangkekek dengan instrument Ter-bang Gendhing. Orkes Terbang Gendhing ini terbuat dari sembilan macam rebana dalam berbagai ukuran dan bentuk yang masing-masing dibuat sedemikian hingga mewakili satu nada. Nada yang dimaksud adalah nada gamelan Jawa dalam sistim laras Pelog ataupun Slendro. Secara keseluruhan orkes ini menghasilkan suatu musik yang khas walaupun dalam lingkungan laras gamelan Jawa. Dengan lagu Walangkekek itulah ke empat penari dengan asyiknya di arena. Yang tua-tua nampak memimpin tarian itu sedang dua orang anak laki-laki yang muda mengikutinya. Penari tua nampaknya begitu keras tariannya sementara si anak agak kewanita-wanitaan. Tarian ini dipertunjukkan sebagai hiburran dalam pesta-pesta rakyat, 148



misalnya



perkawinan,



khitanan,



bersih



desa



dan



sebagainya. Tariannya



nampak



spontan



dengan



banyak



menghentak-hentakkan kaki serta membuka tangan agak ke belakang tubuh. Tidak lupa mereka mengenakan 'gongseng' atau gentha-gentha kecil melilit kaki kanan sebagai pengatur irama. Mereka mengenakan ikat kepala, baju hitam serta celana komprang sebagai dipakai para nelayan masyarakat Madura. Kain batik melilit dipinggangnya. Warok Suromenggolo Suatu jenis tarian kreasi baru yang bersifat dramatis. Terdapat di daerah Ponorogo. Ditarikan oleh tiga atau empat orang penari. Masing-masing memegang peran tertentu. Seorang sebagai Warok Suromenggolo, seorang sebagai Warok Surogentho, ini biasanya ditarikan oleh penari



laki-laki



Kemudian



yang



seorang



kekar



penari



dan wanita



kuat



otot-ototnya.



berperan



sebagai



Suminten dan seorang penari wanita lagi yang berperan sebagai laki-laki bernama Reden Mas Soebroto. Sebagai tarian pertunjukkan tarian ini biasanya ditampilkan sebagai nomor tarian lepas di samping tariantarian yang lain: Dipertunjukkan dalam pesta-pesta atau resepsi sebagai tarian hiburan. Tariannya bersifat dramatari dengan mengambil gerak-gerak yang memperlihatkan kekuatan fisik dan kekerasan tingkah laku, sebagai sering 149



terlihat pada pertunjukkan Reyog Ponorogo. Gerak-gerak tari-tari perangnya diliputi oleh pelukisan kekuatankekuatan magis sebagaimana biasa terjadi di kalangan kehidupan jagoan-jagoan berkelahi. Adapun kisahnya kurang lebih demikian : Tersebutlah



Warok



Suromenggolo



yang



telah



berhasil menertibkan keamanan di daerah Trenggalek, mendapatkan janji dari Bupati Trenggalek bahwa puteri Sang Warok akan dikawinkan dengan putera Sang Bupati. Puteri Sang Warok bernama Suminten sedang Putera Sang Bupati bernama Raden Mas Soebroto. Tetapi Raden Mas Soebroto tidak mau dikawinkan dengan gadis itu. Malahan is mencintai Cempluk Warsiyah anak puteri dari Warok Surogentho. Kejadian ini membuat Suminten menjadi gila, sementara Raden Mas Soebroto sudah berjanji akan kawin dengan Cempluk Warsiyah. Terjadilah perselisihan faham antara Warok Suromenggolo dengan Warok Surogentho, yang berkembang dengan perkelahian yang hebat karena masing-masing adalah jagoan-jagoan yang kebal. Pada akhir ceritera Warok Suromenggolo terbunuh namun sebenarnya ceriteranya masih berkembang lebih jauh. Di dalam tarian ini hanya thema itulah yang diwujudkan dalam bantuk tarian itu. Penari Warokwaroknya menggenakan ikat kepala hitam batik, bercelana komprang warna hitam, bersabuk kulit yang besar, dengan atribut untaian benang lawe yang konon sangat sakti 150



sebagai alat pemukul lawannya. Rias muka galak, seram dan menakutkan. Sementara itu Raden Mas Soebroto berpakaian seperti bangsawan pada abad ke 19 di Jawa. Si penari Suminten mengenakan kain kebaya dan kain batik bersanggul sabagaimana pakaian wanita pedesaan. Iringan tari adalah gamelan Slendro dengan gendhing-gendhing yang diangkat dari iringan Reyog Ponorogo. Sebagai tarian kreasi baru, tarian ini sering dipertunjukkan sebagai kebanggaan daerah Ponorogo. C. Seni Musik Rakyat Suatu kelompok alat musik tradisionil yang telah berkembang dan dikenal sejak lama dalam kehidupan dunia seni suara di kalangan suku Jawa, Sunda, Madura dan Bali. Gamelan ini dengan kelengkapannya yang maksimal diwujudkan dari berbagai macam bentuk dan bahan antara lain : bentuk-bentuk bundaran besar dan kecil, dengan bisul-bisulan (pencon) lempengan (bilahan) besar dan kecil, dawai (kawat), kayu, kulit dan bambu. Caranya menabuh ialah dipukul dengan alat, tangan, digesek, ditiup dan dipetik. Gamelan pada masa sekarang ini selain khususnya terdapat di Jawa, Madura dan Bali, juga karena pengaruh perkembangan dan peningkatan



appresiasi



masyarakatnya



sendiri,



jangkauan



perkembangannya sudah dapat merata di seluruh pelosok tanah air, bahkan sampai melebar ke luar negeri. 151



Gamelan pada prinsipnya mempunyai dasar laras yang berpijak pada dasar sistim Slendro pentatonik, suatu sistim nada seni suara yang berpangkal pada penggunaan lima nada sebagai nada pokok. Dalam hal ini Slendro adalah merupakan laras yang dominan dalam kehidupan seni suara di Jawa, khususnya di Jawa Timur. Di samping laras Slendro, maka gamelan juga diwujudkan dalam laras Pelog. Khususnya gamelan-gamelan yang berasal dari Jawa Tengah dan Bali. Gambyak Suatu istilah untuk memberikan sebutan kepada salah satu corak kendangan dalam karawitan Jawa Timuran, terutama di trapkan dalam garapan gendhing klenengan ataupun untuk mengiringi suatu gerak tarian (Tani Ngremo) tari Beskalan dan tari Tayub. Kendangan gambyak memberi sifat garapan gendhing menjadi hidup bergairah, dinamis dan ekspresif. Dalam hal ini kendang dipukul secara padat, penuh berisi variasi dan bersifat improvisatoris. Ke ciri khasan warna karawitan Jawa Timuran, justru tercermin pada pola kendangan gambyakan, yang dalam hal ini ditandai oleh pukulan stacato dan syncope yang bersifat dominan. Gemakan Salah satu corak tabuhan instrumen slenthem 152



dalam Karawitan Jawa Timuran. Dalam hal ini slentem ditabuh secara pukulan bertolak irama dari pukulan balungan gendhing yang sewajarnya. (sejenis "syncope" dalam musik Barat). Adapun sebagai dasar laras nada untuk pegangan tabuhan gemakan slentem, ialah mengambil nada balungan gendhingnya yang jatuh pada hitungan sabetan genap (sabetan/pukulan ke dua dan ke empat dalam setiap kelompok empat deretan nada balungan atau dalam Karawitan Jawa Tengah di sebut hitungan "dong"). Sebagai contoh : Nada balungan : 1



6



3



2



6



5



3



2



0 2



0



Slentem gemakan 6



0 6 0 2



0 2 0 5 0 5 0 2



Dan seterusnya. Sesungguhnya



tabuhan



gemakan



slentem



itu



diterapkan khusus hanya kalau suatu garapan gendhing Jawa Timuran ada iringannya "bonang penem- bung", tetapi pada prakteknya sekarang ini sering juga dalam garapan



gendhing-gendhing



Jawa



Timuran,



tabuhan



slentem dipukul secara gemakan, meskipun tanpa adanya kelengkapan bonang penembung.



153



Gembyang Suatu istilah karawitan yang telah umum dikenal baik dalam kalangan kaniyagan Jawa Timuran maupun Jawa Tengah, untuk memberikan sebutan kepada suatu jarak antara dua buah nada yang sejenis/selaras, besar dan kecil/rendah dan tinggi. Sebagai contoh :



2…………2 1 gembyang 6…………6 1 gembyang



Dalam kalangan musik Barat istilah gembyang adalah identik dengan pengertian "octaaf". Dalam proses garapan gendhing Jawa Timuran, tabuhan gembyang pada dasarnya adalah diterapkan oleh bonang penerus. Sebagai pedoman untuk pukulan gembyang, maka bonang penerus mengambil dasar nada balungan gendhingnya yang jatuh pada hitungan sabetan genap (dong) hitungan sabetan ke dua dan ke empat dalam setiap kelompok empat deretan nada balungan. Di bawah ini contoh pola tabuhan gembyangan Bonang Penerus Jawa Timuran ditulis dalam notasi sistim Kepatihan. Balungan Bonang penerus



1



6



3



2



6 0 6 0 6 0 6 0 2 0 2 0 2 0 20



154



6 Balungan Bonang penerus



6



6 6



6



2 5



2



2 3



2 2



5 0 5 0 5 0 5 0 2 0 2 0 2 0 20



Gedug B E M Gedug Bem adalah nama suatu jenis pola pukulan gendang dalam Karawitan Jawa Timuran. Dalam hal ini yang dipukul hanya satu jenis kendang saja yang lazim dipergunakan dalam karawitan Jawa Timuran untuk keperluan klenengan maupun untuk mengiringi tari Ngremo. Kendangan gedung bem ini biasanya dilaksanakan pada saat gendhing masih dalam proses permulaan, sebelum masuk ke kendangan gambyak (Jawa Tengah: ciblon).



Dalam



pengertian



karawitan



Jawa



Tengah,



kendangan gedug bem dapat disamakan dengan kendang "satunggal" (kendang satu). Gembyung Suatu istilah yang dikenal dalam dunia seni karawitan Jawa Timuran untuk memberikan sebutan kepada dua buah laras nada yang tidak sejenis, namun kalau dibunyikan secara bersama terdengar selaras ( harmonis ).



155



Sebagai contoh :



2,



3



6



5



dan sebagainya Dalam perwujudan prakteknya, kalau ditabuh pada urutan tangga nada bilahan gamelan, maka di sini pelaksanaannya adalah : menabuh dua laras nada bilahan, dengan jarak antara 2 (dua) bilah, ditabuh secara bersamasama, seperti contoh tersebut di atas. Pukulan gembyungan adalah merupakan salah satu unsur corak pukulan polifonis yang terdapat dalam dunia musik pentatonik, antara lain :



1. Angklung Banyuwangi, sering terdapat pada pukulan saronnya



2. Karawitan Jawa Tengahan, sering terdapat pada pukulan instrumen bonang barung, gender, gambang, gesekan rebab. Dalam istilah karawitan Jawa Tengahan, Gembyung lebih dikenal dengan sebutan Kempyung ( Surakarta ). Gending Gendhing pada hahekatnya adalah merupakan suatu sebutan yang diberikan kepada sesuatu bentuk/corak lagu yang pengungkapannya selalu berhubungan erat dengan instrumen gamelan. Dalam membawakan suatu gendhing, masingmasing instrumen gamelan berperanan sesuai dengan 156



fungsinya, hal ini sangat bergantung kepada bentuk dan jiwa gendhingnya. Misalnya saron ditabuh nacah, slentem ditabuh secara gemakan, bonangnya ngracik dan sebagainya. Seperti hal di Jawa Tengah, Sunda dan Bali, penotasian gendhing-gendhing di Jawa Timur juga menggunakan sarana titilaras sistim Kepatihan. Khususnya dalam "Karawitan Jawa Timuran" maka bentuk-bentuk gendhing di Jawa Timur dapat dibagi : 1. Gendhing Giro, misalnya: Giro Endro, Giro Bali, Giro Becekan dan Giro Runtung. 2. Gendhing Gagahan, misalnya: Gajahendro, Gejig jagung dan lain sebagainya. 3. Gendhing



Ketawangan,



misalnya:



Cokronegoro,



Beskalan, Samirah, dan lain sebagainya. 4. Gendhing



Gede,



misalnya:



Gondokusumo,



Kutut-



manggung, Bedat dan sebagainya. D. Gendhing Bonangan Suatu corak gendhing Jawa Timuran yang dalam penggarapannya hanya menggunakan instrumen gamelan terbatas. Dalam hal ini instrumen gamelan yang ditabuh antara lain: bonang babok, bonang penerus, demung, saron, peking, slentem, kenong, gong/kempul dan kendang. Disebut gendhing bonangan karena dalam hal ini instrumen bonang babok menjadi peranan utama, baik dalam memulai (mengawali/buka) gendhingnya, maupun 157



dalam memproses gendhingnya yang secara dominan tampak lebih menonjol dibanding dengan tabuhan lain-lain instrumen pendukungnya. Sifat gendhingnya adalah dinamis, hidup dan bersemangat.



Sering



juga



dengan



istilah



yang



lain



dinamakan gendhing "gagahan". Di bawah ini salah satu contoh jenis gendhing bonangan Jawa Timuran ditulis dengan notasi sistim Kepatihan. Gender Salah satu nama dari pada alat gamelan yang terbuat dari lempengan logam tipis. Lempengan logam sebanyak + 14 buah ini ditaruh berjajar dari ukuran besar sampai kecil dengan bantuan dua utas jajaran tali, dimana masing-masing bilah tersebut teiikat pada ke dua jajaran tali itu dengan melalui semacam lubangan kecil sebanyak dua buah, yang terletak dekat pada ke dua ujungnya. Sebagai penguat ikatan, maka disisipkan semacam pasakpasakan kecil di antara tali dengan bilah, dengan posisi tepat di bawah masing-masing lubangan tersebut. Adapun lempengan gender sebanyak 14 buah tersebut tersusun dari kiri ke kanan, dengan urutan laras nada rendah sampai meninggi (dilihat dari posisi duduk menghadap deretan dengan bilah besar/nada rendah pada sebelah tangan kifi). Kemudian deretan bilah gender yang terikat pada 158



kedua jajaran tali tersebut dengan bantuan alat penompang (semacam tiang-tiangan kecil) ditaruh di atas semacam pangkon, terbuat dari kayu. Pada ke dua ujung pangkon ini, ke dua jajaran tali pengikat bilahan tersebut diikatkan pada semacam kayu bulat panjang, sedemikian rupa, sehingga lempengan bilah gender ini dapat terletak berjajar/berderet dengan posisi menggantung, di atas pangkon. Sebagai alat resonator, maka tepat di bawah masing-masing bilahan ditempatkan semacam bumbungan terbuat dari bahan bambu atau seng, dengan posisi berjajar sebanyak jumlah lempengannya, dimulai dari bumbungan ukuran besar, untuk nada rendah dan berturut-turut mengecil untuk nada-nada di atasnya. Adapun laras nada bilahan gender sebanyak 14 buah ini, untuk gamelan Jawa Timuran, lazimnya dimulai dengan 1 (barang gede) dan ber akhir dengan nada 5 (lima kecil, lima cilik), sedangkan untuk gamelan Jawa Tengahan pada umumnya dimulai dengan nada 6 (nem besar) dan berakhir pada nada 3 (telu kecil = dada cilik ). Jenang Jagung Adalah salah satu jenis lagu anak-anak khas Banyuwangi, yang terkenal di daerah pedesaan. Dasar laras lagu ini Slendro dan termasuk lagu lama. Lagunya terdiri dari dua baris kalimat, merupakan pantun. Kalimat 159



pertama, merupakan bahasa liris, sebagai sampirannya, sedangkan kesimpulannya adalah kalimat yang ke dua. Siapa pencipta lagu ini tidak diketahui. Demikian juga kapan timbulnya serta bagaimana latar belakang sejarahnya tidak diketahui. Di bawah ini lagu dan syairnya, ditulis dengan notasi sistim Kepatihan. Jenang Jagung Ri, ri, ri kolek jenang Jagung pupu sampai Bibik dilag-dilog paman mumpung teka manol Terjemahan : Ri, ri, ri kolek jenang jagung pupu gempol (bahasa liris) Bibi merenung sedih, karena paman marah-marah Setelah datang dari kerja keras. Kalong Embat — Embat Adalah salah satu jenis lagu rakyat Banyuwangi, yang sekarang ini sangat populer di dalam seni Angklung Banyuwangi. Dasar laras lagu ini adalah Slendro. Lagu ini termasuk lagu lama, kemudian oleh seniman setempat diangkat ke dalam seni Angklung Banyuwangi dengan merubah beberapa kata yang disesuaikan dengan kemajuan dan situasi jamannya. Lagu ini terdiri dari enam baris kalimat, tiga kalimat di bagian atas merupakan sampirannya, yang tidak dapat dipahami maksudnya secara keseluruhan. Sedangkan tiga kalimat di bawah merupakan simpulannya. 160



Siapa pencipta lagu ini tidak diketahui, demikian pula kapan timbulnya serta bagaimana latar belakang sejarahnya juga belum diketahui. Di bawah ini lagu dan syairnya, ditulis dalam notasi sistim Kepatihan. Kalong Embat—Embat Kalong embat-embat, kalong embat-embat Tukokena tumbak, tumbake kek Cendala Kalong embat-embat, kalong embat-embat Abote keliwat, aja katik sambat Kadung arep urip enak sampurna Ayo kanca pada bersatua



Kuluban Buncis Adalah salah satu jenis lagu anak-anak khas Banyuwangi terutama dikenal di daerah pedesaan, Dasar laras lagu ini Slendro dan termasuk lagu lama. Ditilik dari kalimat yang ada di dalamnya menunjukkan adanya sindiran kepada seseorang. Siapa pencipta lagu ini tidak diketahui. Demikian pula kapan timbulnya serta bagaimana latar belakang sejarahnya tidak diketahui. Biasanya kagu ini dibawakan secara bersama-sama, tetapi kadang-kadang dibawakan secara perseorangan. Adapun waktunya terutama pada saat-saat terang bulan, suatu saat dimana biasanya anak-anak berkumpul bermain dan berlagu. Di bawah ini lagu dan syairnya, ditulis dalam notasi sistim Kepatihan. 161



Kuluban Buncis Tim, timbul, kuluban buncis Atim ngambul njalukan picis Sing duweni kelantur nangis Bokong kandel kakehan tepis



Kebyokan Kebyokan adalah suatu istilah untuk memberikan sebutan kepada suatu pola pukulan instrumen bonang penerus dalam karawitan Jawa Timuran. Kebyokan ini lazimnya dilaksanakan oleh bonang penerus dalam mengiringi gendhing-gendhing bonangan. Jadi di satu pihak, bonang babok ditabuh secara "ngracik" di lain pihak, sebagai imbangannya bonang penerus ditabuh secara "kebyokan". Dalam hal ini pelaksanaan pola pukulannya adalah secara gembyangan (pukulan atas dasar nada oktaf), dengan mengambil dasar laras-nada balungan gendhing yang jatuh pada hitungan "dong" (pukulan hitungan genap). Kempul Kempul adalah termasuk kelengkapan instrument/ gamelan yang susunannya menjadi satu rumpun dengan gong. Bentuknya adalah seperti bundaran mangkuk besar, bergaris tengah 40 cm a 50 cm dengan permukaan datar dan semacam bisul ( jawab : pencon ) di tengah-tengah. 162



Kempul ini ditempatkan tergantung pada semacam gawang yang disebut gayor bersama dengan gong. Pada gamelan Jawa Timuran khususnya, hanya mengenal penggunaan satu kempul saja dengan dasar laras nada Nem /6) atau Lima (5) Slendro. Sedangkan pada gamelan versi Jawa Tengahan pada umumnya menggunakan lebih dari satu kempul, bahkan kadang-kadang sebanyak laras nada yang terdapat dalam susunan Slendro Pantatonik ataupun Pelog. Hal ini tergantung kepada selera dan kesukaan dari yang empunya gamelan. Dalam proses penampilan gendhing Jawa Timuran bunyi kempul adalah sangat dominan, hal ini khususnya pada gendhing-gendhing Krucilan Jawa Timuran, di sini kempul dibunyikan secara menitir terus-menerus sampai berhentinya proses gendhing. Kula Nunggang Sepur Lagu ini adalah salah satu jenis lagu rakyat Banyuwangi yang populer di kalangan masyarakat luas. Kemungkinan lagu ini berasal dari Jawa Tengah, yang dikenal sebagai "Sinten numpak sepur", yang kemudian dioleh, sehingga pola lagunya menjadi gaya Banyuwangi. Dasar laras lagu ini ialah Slendro. Lagu ini termasuk lagu lama yang timbulnya pada masa perjuangan. Ditilik kalimatnya, mudah dimengerti maksudnya. Kalimat pada baris pertama dan ke tiga hanya sekedar sampiran, yang 163



dipentingkan adalah pada baris ke dua dan ke empat. Siapa pencipta lagu ini tidak diketahui, sedangkan timbulnya diperkirakan pada masa-masa perjuangan kemerdekaan. Lelagon Milang Kori Kutha Yogyakarta mas misuwur gudhege Tlatah Wonosari sing kondhang gaplek telane Yen Yogya mangidul jajan geplak Bantul Mesthi bakal tuman mundhut salak pondhoh Sleman Njajah desa milang kori nggoleki condhonging ati Tempe baceme gebleg Wates tambah pantes Mantingan peyek jingkinge Sargedhe kondhang yangkone.



164



Daftar Pustaka Anjar Any, 1990, Ramalan Jayabaya, Sabdo Palon, dan Rangga Warsita, Apa Yang Terjadi, Semarang: Aneka Ilmu. Bratadiningrat, 1990, Asal Silah Warni-Warni, Surakarta. Charles Winick. 1961. Dictionary of Anthropology. Little Field Adams & Co. Clifford Geertz, 1983, Santri Abangan dan Priyayi, Jakarta: Pustaka Jaya. Damardjati Supadjar, 1978, Unsur Kefilsafatan Sosial yang Terkandung dalam Serat Sastra Gendhing, Yogyakarta: Bentang. Djamhari, 1971, Primbon Kawedar, Madiun. Graff,



1987. Awal Kebangkitan Mataram Pemerintahan Senopati. Jakarta: Grafiti Pers.



Masa



Haryana Hardjawiyana. 1986. Bentuk Ulang dalam Nyanyain Rakyat Jawa. Yogyakarta : Depdikbud Hazeu,



1987. Kawruh Asalipun Ringgit sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami ing Jaman Kina. Jakarta: Balai Pustaka.



James Dananjaya. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta : Grafitit Press. ______________. 1986. Andhe-andhe Lumut : Dongeng Cinderela yang mempunyai Nilai Pedagogis. Yogyakarta : Depdikbud Jayasubrata, 1917, Babad Tanah Jawi, Semarang: Van Dorp & Co. 165



Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka. Padmosukotjo, 1995. Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita. Surabaya: Citra Jaya Murti. Sardanto Cokrowinoto, 1986. Manfaat Folklor bagi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta : Depdikbud Sartono Kartodirdjo. 1986. Suatu Tinjauan Fenomenologis Tentang Folklor Jawa. Yogyakarta : Depdikbud. Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta: UI Press. Siti Hardiyati. 1991. Butir-Butir Budaya Jawa. Jakarta : Gramedia. Siti Woerjan Soemadijah Noeradyo, 1991. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna. Yogyakarta: Soemodidjojo Maha Dewa. Soepanto. 1986. Folklor Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah. Yogyakarta : Depdikbud Sumarti. 1986. Ungkapan Tradisional Jawa Sebuah Tinjauan Awal. Yogyakarta : Depdikbud Soetardi Soerjohoedojo, 1996, Pepali Ki Ageng Sela, Surabaya : Citra Jayamurti. Suripan Sadi Hutomo, 2001, Sinkretisme Jawa – Islam, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta. Tanaya, R. 1979. Kidungan ingkang Jangkep. Solo : Sadu Budi.



166



Biografi Penulis DR.



PURWADI,



M.HUM



lahir



di



Grogol,



Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh pada tahun 2001. Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020.



167