Ecocity Arsitektur Jepang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENERAPAN ECOCITY PADA RUMAH TINGGAL JEPANG



Oleh : Westry Prastiwi Gristie 1551700126



FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS VETERAN BANGUN NUSANTARA SUKOHARJO 2015



i



ii



DAFTAR ISI



A. HALAMAN JUDUL ...............................................................................



i



B. DAFTAR ISI .............................................................................................



ii



C. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ..............................................................................



1



2. Rumusan Masalah .........................................................................



2



3. Tujuan ...........................................................................................



2



D. BAB II ISI 1. Definisi Eco City ............................................................................



3



2. Konsep dan visi eco city ................................................................



3



3. Eco city dan kota berkelanjutan .....................................................



4



4. Dampak perkembangan kota bagi masyarakat ...............................



6



5. Dampak dari masyarakat kota ........................................................



8



6. Implementasi eco city di dunia ......................................................



8



7. Penerapan Eco City pada Arsitektur Rumah Tinggal Jepang (Konsep Eco Living).....................................................................................



10



E. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ....................................................................................



17



2.



Saran ..............................................................................................



18



F. DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................



19



1



BAB I PENDAHULUAN



1.



Latar Belakang Masalah Konsep Eco City adalah konsep yang diterapkan oleh sebuah kota yang ramah lingkungan dan juga untuk menjadi kota yang berkelanjutan. Konsep ini diterapkan di negara-negara maju seperti Jerman, Amerika, Singapura, dan Inggris. Eco-city juga mensyaratkan adanya peningkatan tingkat kesehatan, tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai dan terciptanya peningkatan kualitas hidup. Yang pada akhirnya mendorong terciptanya sebuah konsep sustainable development. Konsep dasar eco-city adalah kota berwawasan lingkungan, dengan kata lain sebuah konsep pembangunan kota yang memadukan 3 pilar yaitu ESD (ekologi, ekonomi, dan sosial budaya). Yang dimaksud kota yang berkelanjutan adalah kota yang mampu memanajemen kotanya dalam segala aspek baik lingkungan, ekonomi, Sumber Daya Alam, dan manusianya sendiri. Konsep ini mengajarkan kita untuk kembali ke alam dan juga menghemat energi yang ada. Kita diajak untuk tidak membawa kendaraan pribadi seperti mobil dan motor, membuat Ruang Terbuka Hijau, dan juga tidak merusak lingkungan alam. Saat ini pemanasan global sudah banyak membawa dampak yang buruk bagi negara-negara di dunia. Sehingga negara-negara maju menerapkan konsep ini. Pertambahan penduduk juga menjadi faktor pendorong diterapkannya konsep ini. Dengan bertambahnya penduduk maka lahan yang ada pun semakin berkurang sehingga tidak adanya ruang terbuka hijau sehingga kota tidak menjadi berkelanjutan. Kota yang ideal seharusnya memiliki 30% ruang terbuka hijau dari luas kota seluruhnya. Untuk menerapkan konsep ini maka dibutuhkan strategi, antara laian adalah : 



Look (Melihat) Langkah pertama yang harus dilakukan adalah look (melihat). Kita harus melihat kota yang berhasil menerapkan konsep eco city seperti di Jepang.



2







Copy Langkah selanjutnya yaitu copy. Setelah kita melihat negara tersebut dan mempelajari tentang tata ruang kota di negara tersebut kemudian kita terapkan di kota kita seperti di Jakarta







Add (inovasi) Langkah yang terakhir yaitu inovasi. Kita membutuhkan inovasi dalam menerapkan konsep tersebut karena tidak semua negara sama.



2. Rumusan Masalah a.



Apa itu eco city?



b.



Apa konsep dan visi eco city?



c.



Apa dampak perkembangan kota bagi masyarakat?



d.



Apa dampak dari masyarakat kota?



e.



Apa saja implementasi dari eco city di dunia?



f.



Bagaimana Penerapan Eco City pada Arsitektur Rumah Tinggal Jepang (Konsep Eco Living)?



3. Tujuan a.



Mengetahui apa itu eco city



b.



Mengetahui konsep dan visi eco city



c.



Mengetahui dampak perkembangan kota bagi masyarakat



d.



Mengetahui dampak dari masyarakat kota



e.



Mengetahui implementasi eco city di Dunia



f.



Mengetahui Penerapan Eco City pada Arsitektur Rumah Tinggal Jepang (Konsep Eco Living)



3



BAB II ISI



1. Definisi Eco City Konsep ecological city atau eco-city diartikan sebagai sebuah kota yang hijau, sehat dan bersahabat dengan lingkungan (Aston 1992, Roseland 1997). Konsep ini menekankan adanya ketergantungan secara fisik dari masyarakat pada kondisi lingkungan. Artinya adanya keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Pengertian yang lebih luas ialah adanya hubungan timbal balik antara kehidupan kota dengan lingkungannya. Secara mendasar kota bisa dipandang fungsinya seperti suatu ekosistem. Ekosistem kota memiliki keterkaitan sistem yang erat dengan ekosistem alami. Eco-city di beberapa kota diwujudkan dalam bentuk program-program yang bertujuan untuk mencapai ‘kota hijau’. Program kota hijau merupakan program yang menyatakan perlunya kualitas hidup yang lebih baik serta kehidupan yang harmonis dengan lingkungannya bagi masyarakat kota. Program-program kota hijau diantaranya tidak hanya terbatas untuk mengupayakan penghijauan saja akan tetapi lebih luas untuk mengupayakan konversi energi yang dapat diperbaharui, membangun transportasi yang berkelanjutan, memperluas proses daur ulang, memberdayakan masyarakat, mendukung usaha kecil dan kerjasama sebagai tanggung jawab sosial, memugar tempat tinggal liar, memperluas partisipasi dalam perencanaan untuk keberlanjutan, menciptakan seni dan perayaan yang bersifat komunal.



2. Konsep Dan Visi Eco-City Dalam implementasinya eco-city harus mampu mencerminkan sebagai kota yang berkelanjutan. Eco-city direncanakan seharusnya memiliki tujuan dalam penggunaan sumber daya yang seminimal mungkin serta memberikan dampak yang sekecil mungkin. Kota harus mampu mendaur-ulang sumbersumber daya tersebut. Dalam konteks ini, eco-city memiliki prinsip yang



4



berbeda dengan kota modern. Perbedaan tersebut terletak pada penggunaan sumber-sumber daya dan dampak yang ditimbulkannya. Pergeseran paradigma ini merupakan konsekuensi logis untuk mencapai tujuan sebagai kota eco-city. Namun hal yang tersulit untuk membentuknya adalah proses dalam menangani sumber daya tersebut, karena diperlukan upaya mendaur-ulang sumber daya tersebut. Dengan demikian eco-city merupakan kota yang mengurangi beban dan tekanan lingkungan, meningkatkan kondisi tempat tinggal dan membantu mencapai pembangunan berkelanjutan termasuk peningkatan kota yang komprehensif. Eco-city melibatkan perencanaan dan manajemen lahan dan sumberdaya serta implementasi peningkatan lingkungan secara terukur.



3. Eco-City Dan Kota Berkelanjutan Kota berkelanjutan memiliki makna yang luas, namun sering kali pemahamannya dilihat dari segi konteks dan substansi mengarah pada keberadaan kota yang memperhatikan lingkungan. Walaupun konteks dan substansi ini berada dalam lingkup yang meletakkan lingkungan sebagai aspek yang penting, akan tetapi juga memerlukan berbagai pendekatan dengan melibatkan aspek-aspek lain yang komprehensif. Dengan kata lain, bidangbidang yang terkait tidak hanya berhubungan dengan lingkungan saja, namun secara bersama-sama mengkaitkan pula bidang-bidang yang lain misalnya: perencanaan dan desain, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya, serta politik. Kota berkelanjutan mendekati visi tentang kota yang dicita-citakan, dimana ia dihadapkan pada berbagai permasalahan-permasalahan yang tidak mudah untuk menyelesaikannya. Mengenai permasalahan ekonomi dan lingkungan menjadi hal yang perlu diperhatikan, dimana dengan hal tersebut menjadi semakin lebih sulit menggambarkan kota yang memiliki arti yang luas pada kota-kota yang terpencil atau daerah-daerah pedalaman yang kurang meng-kota. Hal ini jauh berbeda dari pemikiran baru tentang kota, dimana karakteristik kota sebagai sistem yang terbuka, yaitu sistem-sistem kota menyatu dengan sistem-sistem lingkungan dan ekonomi. Eco-city, harus



5



dibangun oleh masyarakat setempat, bukan oleh perencana tata kota atau pemerintah. Walaupun leadership, khususnya dari pemerintah masih dibutuhkan di semua lini dan tingkatan untuk mewujudkan eco-city ini. Sesuai dengan konsep eco-city yang melibatkan perencanaan dan manajemen lahan dan sumber daya serta implementasi peningkatan lahan secara teratur. Maka bisa dilihat dari gambar maket diatas bahwa pemakaian ruang dari sebuah eco-city benar-benar direncanakan, lahan kosong disekitar gedung dijadikan lahan hijau. Di sudut lahan dibangun danau/penampungan air untuk fungsi dan estetika. Lahan pinggir sungai ditata sedemikian rupa tanpa kehilangan fungsi utamanya. Lahan kosong sengaja tidak dipenuhi oleh pohon agar tercipta ruang bagi pemukim untuk beraktivitas di lahan kosong tersebut. Konsep dasar eco-city adalah kota berwawasan lingkungan, dengan kata lain sebuah konsep pembangunan kota yang memadukan 3 pilar yaitu ESD (ekologi, ekonomi, dan sosial budaya). Dalam tulisan richard Register1997, pelopor gerakan eco-city pernah mengatakan, “kami mengajar bagaimana untuk membangun, tapi apa yang kita bangun mengajarkan kita bagaimana untuk hidup.” Pada dasarnya manusia yang membangun lingkungannya, tapi sebenarnya lingkungan kita lah yang mengajarkan kita cara untuk hidup di muka bumi ini. Dari lingkungan yang telah kita bangun, kita dapat belajar mengenai efek dari polusi, kualitas udara yang buruk, konsumsi sumber daya, perubahan



iklim,



ketidakseimbangan



sosial



ekonomi,



hilangnya



keanekaragaman hayati, dan permasalahan limbah. Kota secara ekologis juga dapat diartikan kota yang sehat. Artinya adalah keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Secara mendasar kota juga bisa dipandang fungsinya sebagai suatu ekosistem. Konsep kota ekologis atau kota hijau memang dapat menjadi solusi yang tepat bagi kota –kota di Indonesia karena secara potensial dapat mengendalikan sistem ekologi (suhu, erosi, dan banjir), sistem sosial (kerukunan warga, tempat tinggal, sekolah, rumah sakit), serta sistem ekonomi (lapangan pekerjaan). Namun seiring waktu, konsep ini menghadapi tantangan



6



dari berbagai permasalahan sosial yang sering kali disebabkan oleh tingginya angka pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan semakin sempitnya lahan di daerah urban. Kekhawatiran utama dari laju pertumbuhan penduduk, selain menurunnya kualitas tempat hidup, akan terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan sumber daya alam (SDA) dengan pola konsumsi manusia. Lebih buruk lagi, lifestyle masyarakat di perkotaan kian tidak mengindahkan kelestarian alam. Menurut Prof. Hadi S. Alikodra, dikutip oleh (Ciptanti Putri,2013), mengatakan bahwa kota merupakan microcosm permasalahan lingkungan yang terus berkembang seolah-olah tanpa batas, mengikuti irama dan dinamika



pertumbuhan penduduknya yang terus meningkat. Manusia



berinteraksi dengan sistem alam, namun dengan perilakunya yang boros dan kurang menjaga lingkungan. Di lain pihak, karena keterbatasan daya serap dan daya asimilasi lingkungan, lingkungan hidup perkotaan menjadi semakin rusak dan tercemar (ecological scarcity). Hal tersebut terjadi karena kota-kota besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, pusat pemerintahan, bahkan berbaur dengan pusat industri dan perdagangan. Hukum-hukum ekologi dan lingkungan termasuk tata ruang kota pun banyak dilanggar demi pembangunan dan keuntungan ekonomi semata.



4.



Dampak Perkembangan Kota Bagi Masyarakat Kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang matrialistis, atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsurunsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan matrialistis dibandingkan dengan daerah di belakangnya ( menurut Bintarto, 1989 ). Dari fakta, kota merupakan tempat bermukim warga kota, tempat bekerja, tempat hidup dan tempat rekreasi. Oleh karena itu, kelangsungan dan kelestarian kota harus didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai untuk waktu yang



7



selama mungkin. Lanjut Bintarto (1989) modernisasi kota mempunyai pengaruh terhadap jumlah penduduk kota, keanekaragaman struktur sosial dan



ekonomi,



kebijaksanaan



penggunaan



sumber-sumber



keuangan,



kelembagaan kota dan sebagainya. Pertumbuhan kota ternyata juga tidak selalu memberi manfaat terhadap kehidupan, tetapi dapat juga berpengaruh sebaliknya dan untuk itu tentunya diharapkan perkembangan kota dapat melenyapkan pencemaran lingkungan terutama di kota yang sudah terjadi penurunan kualitas lingkungan. Salah satu faktor penyebab naiknya temperatur kota adalah arus urbanisasi yang deras masuk kota seperti telah di kemukan diatas. Kota yang dahulunya hanya didiami puluhan ribu penduduk saja sekarang didiami ratusan juta penduduk. Jelas terjadi perkembangan kota baik dari aspek infrastruktur dan ekonomi telah menyebabkan kenaikan angka kepadatan yang mengakibatkan kota semakin sumpek dan panas. Banyaknya orang akan menaikkan konsumsi



energi



dan



penggunaan



alat-alat



rumah



tangga



yang



menghasilkan panas buangan. Kalau hanya dilihat pada satu atau dua alat saja, efek sampingnya dapat diabaikan, tetapi jika ratusan ribu alat-alat digunakan dalam kota, tentu hal ini sedikit banyak mempunyai andil dalam menaikan temperatur kota. Secara naluriah, manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, melalui berbagai cara dan usaha dalam bentuk budaya, mempunyai kehendak yang antara lain untuk: 1) Mempertahankan dirinya 2) Mempertahankan hidup generasinya melalui kebutuhan hidupnya 3) Mengembangkan



kehidupannya,



melalui



pemenuhan



kebutuhan



hidupnya, namun banyak faktor yang mempengaruhi baik secara langsung maupun



tidak langsung terhadap hidup dan kehidupan



manusia. Melalui berbagai cara dan media, diperoleh informasi bahwa peluang untuk mengembangkan kehidupannya,



melalui pemenuhan



kebutuhan



hidupnya lebih baik di daerah urban dari pada di rural. Keadaan yang



8



demikian merupakan faktor pendorong dan penarik banyak orang (baik lakilaki maupun wanita) dari daerah perdesaan untuk mengadu nasibnya di daerah perkotaan. Urbanisasi dilakukan untuk mempertahankan hidup dan mempercepat proses pengembangan



kehidupan. Namun dengan serba



kontrasnya keadaan antara daerah perdesaan dan daerah perkotaan sebagai akibat dari kebijaksanaan pembangunan yang urban bias (Todari, 1985) menjadikan usaha tersebut justru dapat menimbulkan dampak negatif bagi yang bersangkutan.Menurut Marbun (1990) di daerah perkotaan terdapat dampak negatif dan positif.



5. Dampak Dari Masyarakat Kota 1) Dampak negatif : a. Perbuatan pelanggaran hukum khususnya hukum pidana seperti kriminalitas, prostitusi dan sebagainya b.



Munculnya sikap individualistis



c. Memudarnya nilai kebersamaan d. Munculnya sikap kurang mempercayai pihak lain. e. Memudarnya perhatian terhadap budaya lokal dan budaya nasional, terutama para generasi mudanya f. Permukiman kumuh, dan permukiman liar g. Banyak tuna wisma maupun tuna karya 2) Dampak Positif Dinamika Masyarakat Kota a. Tingkat pendidikan lebih merata b. Komunikasi dan informasi lebih cepat dan mudah c. pembagian



kerja



yang



berdasarkan



kemampuan



yang



meningkatkan efektifitas d. Pembangunan dalam berbagai bidang lebih terjamin



6.



Implementasi Eco-City Di Dunia Ada banyak contoh kota di dunia yang sudah menerapkan kota berkelanjutan atau eco city ini. Diantaranya sebagaimana berikut:



9



1) Kota Moreland di Australia. Kota yang berada di sebelah utara Melbourne, ini memiliki program untuk karbon menjadi netral dengan slogannya “Zero Carbon Moreland”. Kota lainnya di Australia yang mengusung eco city ini adalah Kota Greater Taree di Utara Sydney yang telah mengembangan rencana induk dengan meminimalisir jumlah karbon dan ini yang pertama di Australia 2)



Kota Melbourne sendiri, sejak 10 tahun terakhir telah melaksanakan berbagai metode untuk meningkatkan transportasi umum. Juga dengan menyisakan berbagai wilayah untuk zona bebas mobil (car free zone)



3) Lalu, Cina yang bekerja sama dengan pemerintah Singapura juga membangun sebuah eco city di Pesisir Kabupaten Baru yaitu Kota Tianjin di Cina Utara. Eco city ini disebut dengan “Sino-Singapura Tianjin Eco City”. Selain itu di Cina juga ada Dongtan Eco-City, Huangbaiyu Big Eco-City. Tak hanya itu saja, pemanas air dengan tenaga surya yang diperuntukkan untuk keluarga juga direkomendasikan di Cina 4) Denmark juga hadir dengan model ekologi industrinya yaitu The Industrial Park di Kalundborg. Kota lainnya adalah kota Accra di Ghana dengan improving waste management-nya 5) Kota Kitakyusyu adalah kota industri yang merupakan kota eco city. Hal itu terwujud karena perilaku warganya yang pro penghematan dan bahkan



pengurangan



emisi.



Warga



Kitakyusyu



mengganti



alat



transportasi mobil pribadi dengan sepeda, atau melakukan car pooling. Mereka menerapkan kebiasaan memilah sampah dan mendaur ulang barang bekas. Dengan luas 2.187,08 km2 dan jumlah populasi sekitar 13 juta lebih orang, Kitakyusyu merupakan kota industri yang berpolusi tinggi. Namun dengan kesadaran ingin mengembangkan tempat hidup yang nyaman berwawasan ecocity, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya



saling



bahu-membahu



mewujudkannya,



terwujud menjadi kota yang ramah lingkungan.



sehingga



10



7.



Penerapan Eco City pada Arsitektur Rumah Tinggal Jepang (Konsep Eco Living) Negara Jepang memiliki karakteristik negara kepulauan yang terdiri dari tiga pulau besar dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kondisi geografis Jepang membuat hampir semua lingkungan tempat tinggal di Jepang berada pada lingkungan rawan gempa. Kondisi ini membuat rumah penduduk Jepang dirancang untuk bisa tahan terhadap gempa. Terbatasnya luas lahan perkotaan di Jepang yang tidak seimbang dengan jumlah penduduk kota-kota di Jepang menyebabkan



perkembangan



perumahan



di



perkotaan



di



Jepang



dikembangkan dengan konsep hunian vertikal yang kuat dan kokoh terhadap gempa. Perubahan cara berhuni masyarakat di Jepang dari hunian horizontal ke hunian vertikal tidak banyak menimbulkan masalah. Hampir seluruh lapisan masyarakat Jepang sepertinya mudah menerima rancangan hunian vertikal.



Gambar 1 Peta Geografis Jepang (Sumber: Google Map, 2011)



11



Gambar 2 Suasana Lingkungan Hunian Vertikal Sekitar Kota Tokyo di Jepang



Penyediaan rumah tinggal bagi masyarakat umum di Jepang tergolong berhasil dan sangat maju. Hampir tidak ada warga di Jepang yang tidak bisa mengakses untuk bisa mendapatkan rumah. Melihat keberhasilan penyediaan perumahan khususnya bagi masyarakat bukan kelompok bangsawan atau masyarakat umum, tentunya merupakan hal menarik yang perlu dipelajari. Dengan kondisi geografisnya yang rawan gempa dan memiliki iklim empat musim, ditambah lagi pernah mengalami keterpurukan pada masa Perang Dunia II, hal-hal tersebut tidak membuat masyarakat Jepang menyerah dan berpangku tangan. Semangat untuk berjuang dan bertahan dengan segenap kemampuan yang ada, ditambah keyakinan bisa melampaui semua kesulitan, membuat Jepang cepat bangkit dari keterpurukan. Gempa di Jepang tahun 1923, peristiwa bom atom di Jepang tahun 1945, gempa di Jepang tahun 1995, dan tsunami di Jepang tahun 2011, menunjukkan betapa dahsyatnya bencana yang terjadi, dan masyarakat Jepang berhasil melalui semua kesulitan yang dihadapi. Tentunya



12



penyediaan perumahan di Jepang tidak terlepas dari berbagai hal yang terjadi di Jepang. Sepanjang sejarah kehidupan masyakat Jepang, bentuk arsitektur rumah tinggal di Jepang juga mengalami perkembangan. Bentuk arsitektur rumah tinggal Jepang masa lampau dan masa kini menunjukkan keunikan tersendiri. Sepintas terlihat sangat kompleks dan sulit untuk memahaminya namun sebetulnya tidak serumit yang dibayangkan. Bahkan semangat untuk menemukan ide baru dan menyediakan rumah tinggal yang sesuai kebutuhan masyarakat pada masanya terus dikembangkan oleh para arsitek dan pemerintah Jepang. Seperti yang dikatakan oleh salah satu arsitek terkemuka dari Jepang yaitu Tadao Ando dalam Okano (2008): “Japanese architecture is not the grandiosity of scale but of imagination and creativity..... Japan is a land and people different from all others. By examining the existing examples of Japan's architectural can find out how our genes have created this uniqueness. In doing so, we are certain to find clues to improving our future.” (Tadao Ando, 2008) Pasca-perang Dunia II, suplai perumahan untuk masyarakat umum sangat kurang karena rumah-rumah masyarakat umum yang banyak terbuat dari kayu, habis terbakar akibat perang yang berlangsung di Jepang. Masyarakat tinggal di gubuk-gubuk atau tempat penampungan dengan kondisi rumah yang memprihatinkan karena aliran udara yang sangat sedikit, pengap, dan kepadatan sangat tinggi, sehingga masyarakat sering terserang penyakit. Pemerintah mengembangkan tempat tinggal darurat dengan tipe standar (6,25 tsubo/20,63 m2). Sekitar tahun 1950-an Jepang meningkatkan standar kehidupan masyarakatnya yaitu melalui penggunaan peralatan rumah tangga listrik yang menyebar dengan cepat dan meluas. Hal ini menyebabkan perpindahan banyak orang dari daerah pedesaan ke perkotaan untuk bekerja di pabrik peralatan rumah tangga. Kompleks perumahan banyak dibangun pemerintah



Jepang



untuk



memenuhi



kebutuhan



perumahan



akibat



meningkatnya urbanisasi. Apartemen sewa dari kayu (dengan fasilitas sendiri [18.4%] atau fasilitas bersama [25,3%]) merupakan rumah-rumah yang



13



mayoritas dibangun pada periode ini untuk memenuhi pertumbuhan populasi di wilayah perkotaan (Tokyo Metropolitan Government, 1987). Pada 1960-an harga tanah di daerah perkotaan melambung tinggi, sehingga perumahan dibangun vertikal untuk menyediakan lingkungan permukiman berkepadatan tinggi. Hunian yang berkembang di Jepang untuk masyarakat umum mengalami perubahan. Bentuk hunian vertikal di Jepang antara lain apartemen (apato), flat, perumahan publik (danchi), rumah tunggal (detached house), co-op house dan lain sebagainya (Cybriwsky, 1991).



Gambar 3 Dari kiri ke kanan: apartemen (apato), flat, perumahan publik (danchi), co-op house Pada 1990-an sampai saat ini kehidupan masyarakat Jepang terus meningkat. Masyarakat mulai beralih dari mengejar kuantitas, berpindah untuk mengejar kualitas kehidupan yang tinggi, khususnya dalam penggunaan material bangunan, penyelesaian pekerjaan material pada unit hunian dan bangunan. Masyarakat juga mulai menyenangi tinggal kembali di perkotaan untuk mendekati tempat kerja mereka. Mereka juga mulai peduli terhadap konsep eco-living untuk lingkungan yang berkelanjutan. Saat ini di Jepang juga banyak mengembangkan proyek mix-used redevelopment, terutama di kota Tokyo dan kota besar lainnya di Jepang. Di proyek ini hunian publik vertikal terintegrasi dengan fungsi penunjang (stasiun kereta api atau halte bus) dan fungsi komersial (pusat perbelanjaan atau kantor) yang dirancang menjadi sangat modern ditambah lagi dengan fungsi-fungsi baru



14



yang berkembang yang sebelumnya belum ada pada hunian tradisional Jepang pada umumnya. Pada dasarnya satu unit rumah Jepang yang lengkap terdiri dari dapur, kamar mandi dan toilet/WC yang terpisah, genkan (ruang penerima di depan pintu masuk hunian) dan satu ruang multifungsi yang berada dibawah satu atap. Atap rumah tradisional Jepang terbuat dari kayu dan genteng keramik. Kadang-kadang area dapur dapat menjadi area komunal, bahkan masih bisa ditemukan rumah Jepang yang sangat minimal dan murah yang disewakan yang hanya terdiri dari genkan dan satu ruang. Pemisahan ruang dalam rumah Jepang diciptakan melalui penggunaan fusuma (pintu geser yang terbuat dari kayu atau kertas tembus cahaya) yang mudah diangkat dan dipindahkan. Dengan fusuma dapat tercipta ruang kecil dalam rumah yang dapat digunakan untuk fungsi lain. Pada saat diperlukan ruang yang lebih besar, partisi-partisi dapat dilepas sehingga tercipta satu ruang besar (Nurdiani, 2011).



Pembangunan unit hunian pada perumahan vertikal di kota Tokyo dan sekitarnya sangat memerhatikan lokasi perumahan agar berdekatan dengan akses angkutan massal (kereta api) dan tipe hunian yang sesuai kebutuhan pasar perumahan di Jepang. Saat ini pembangunan tipe unit hunian tertinggi adalah tipe 3LDK (tiga ruang tidur termasuk washitsu (ruang dengan lantai tatami), ruang keluarga (Living), ruang makan (Dining), dan dapur (Kitchen)). Hal ini menunjukkan kebutuhan pasar dan minat pasar terhadap tipe 3LDK yang cukup tinggi, disusul oleh tipe 3DK, tipe 2LDK, dan terakhir yang sedikit permintaan pasarnya adalah tipe 2DK dan 1DK. Jumlah anggota keluarga dan jenis kelamin anak yang berbeda (lelaki dan perempuan) menyebabkan permintaan hunian tipe 3LDK cukup tinggi; ditambah lagi keinginan orang tua yang ingin menyediakan kamar terpisah bagi anak-anak mereka yang berbeda jenis kelaminnya. Hal yang perlu diperhatikan pada rancangan rumah tinggal Jepang adalah di dalam hunian masih menyediakan washitsu yaitu ruang bergaya tradisional Jepang dengan lantai tatami (lantai dari anyaman tikar), memiliki shoji (pintu atau jendela geser tambahan terbuat dari kertas tembus cahaya) untuk mengurangi silau cahaya matahari yang masuk melalui pintu atau jendela. Washitsu juga memiliki fusuma (pintu geser yang ringan dan dapat digeser) yang memisahkan ruang satu dengan ruang yang lain, memiliki oshiire (tempat penyimpanan di dinding yang



15



terbagi dua atau tiga bagian) untuk menyimpan futon (alas tidur dan selimut tidur), dan memiliki plafon/langit-langit terbuat dari kayu. Ruang ini tidak dipenuhi perabot dan berfungsi sebagai ruang keluarga pada siang hari, sedangkan malam hari menjadi ruang tidur. Banyak washitsu yang memiliki pintu geser dari kaca yang terbuka pandangannya ke balkon. Struktur dan konstruksi serta material bahan bangunan dan perabot pada hunian di Jepang juga mempertimbangkan kondisi geografi negara tersebut yang sering dilanda gempa. Umumnya sistem struktur yang digunakan harus kuat menahan gempa besar ataupun gempa kecil yang sering terjadi. Umumnya struktur dinding hanya sebagai pengisi dari sistem struktur utama. Material bahan bangunan dan furnitur terbuat dari bahan yang ringan, tipis, mudah perawatan dan pemeliharaannya, juga kuat dan kokoh menahan beban serta tahan lama. Sesuai pernyataan Locher (2010) bahwa masyarakat Jepang memiliki budaya yang unik dan mengakar kuat pada masyarakat umum yaitu konsep tinggal di atas lantai. Sehingga sampai saat ini kegiatan makan, tidur, menyiapkan makanan, dan bermain masih dilakukan di atas lantai sampai saat ini. Evolusi arsitektur rumah tinggal Jepang untuk masyarakat umum sesuai dengan pernyataan Rapoport (1969) bahwa apabila hunian memerhatikan kesatuan yang erat antara manusia, lingkungan tempat tinggal dan budayanya, maka kehidupan manusia dalam rumahnya akan harmoni dan kualitas kehidupan manusia akan meningkat. Melihat evolusi perkembangan arsitektur rumah tinggal Jepang yang berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh masyarakat umum secara meluas, maka Indonesia dapat belajar untuk kembali menggali nilai-nilai budaya lokal yang dapat diterapkan pada arsitektur rumah tinggal Indonesia saat ini yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di Indonesia. Dengan demikian, masyarakat umum di Indonesia dapat menerima hunian yang dirancang dan disediakan untuk mereka tanpa banyak kendala. Tentunya rancangan hunian tersebut adalah yang khas dan sesuai untuk kondisi iklim dan budaya di Indonesia. Rancangan hunian tersebut tidak hanya mengolah fasade bangunan saja agar terlihat modern, tetapi juga



16



mengolah tata ruang dalam hunian sebagai wadah tempat tinggal bagi penghuni untuk beraktifitas sehari-hari dan meningkatkan kualitas kehidupannya.



17



BAB III PENUTUP



1. Kesimpulan Eco-city diartikan sebagai sebuah kota yang hijau, sehat dan bersahabat dengan lingkungan (Aston 1992, Roseland 1997). Eco-city direncanakan seharusnya memiliki tujuan dalam penggunaan sumber daya yang seminimal mungkin serta memberikan dampak yang sekecil mungkin. Eco-city merupakan kota yang mengurangi beban dan tekanan lingkungan, meningkatkan kondisi tempat tinggal dan membantu mencapai pembangunan berkelanjutan termasuk peningkatan kota yang komprehensif. Perkembangan arsitektur rumah tinggal Jepang untuk masyarakat umum terbagi menjadi dua masa yaitu masa sebelum perang dunia dan masa setelah perang dunia sampai dengan saat ini. Pada masa sebelum perang dunia dimulai dari rumah tinggal berbentuk rumah petani (farmhouse) di pedesaan dan bunka jutaku (rumah kayu)/rumah petak (city tenements) di kota. Rumah petak di kota berkembang menjadi rumah deret (urban row-houses). Rumah deret berkembang menjadi dua tipe sesuai kondisi lingkungan perkotaan saat itu yaitu tipe rumah machiya dan tipe rumah nagaya. Pada masa setelah perang dunia berakhir, rumah tinggal Jepang untuk masyarakat umum berkembang menjadi apartemen (apato), flat, perumahan untuk pekerja, perumahan publik (danchi), rumah tunggal (detached house), dan co-op house. Prinsip dasar arsitektur rumah Jepang untuk masyarakat umum saat ini adalah satu unit hunian yang terdiri dari dapur, kamar mandi dan toilet/WC yang terpisah, genkan dan satu ruang multifungsi yang berada dibawah satu atap. Unit hunian ini dapat berkembang sesuai kebutuhan penghuni dengan konsep “Ruang LDK (Living, Dining, Kitchen)”. Yang perlu diperhatikan pada rumah tinggal Jepang, hunian tersebut masih menyediakan washitsu yaitu ruang bergaya tradisional Jepang dengan lantai tatami, memiliki shoji, memiliki fusuma dan memiliki oshiire. Arsitektur rumah tinggal di Jepang



18



saatini tetap melestarikan dan menerapkan nilai-nilai budaya lokal. Prinsip desain ini pula yang membuat penghuni merasa nyaman karena nilai tradisi tetap dipertahankan meskipun dikemas dalam bentuk yang baru atau material baru. 2. Saran Penerapan Eco-City membutuhkan dukungan dan komitmen bersama dari seluruh stakeholders, seperti pemerintah kota, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media, swasta dan peran aktif masyarakat. Pengembangan Eco-City bisa dilakukan dengan mencakup pengembangan green building, perluasan ruang terbuka hijau, penghematan sumberdaya energi, pengelolaan limbah dan sampah, dan pengembangan transportasi yang ramah lingkungan. Kerangka kerja eco city mencakup beberapa hal yang harus menjadi perhatian. Di antaranya, membangun kepedulian dan melakukan perubahan gaya hidup yang dimulai dengan sikap dan pemikiran yang berorientasi lingkungan, kontrol konsumsi personal, serta mempunyai keinginan untuk melakukan penghematan dan daur ulang terhadap produk-produk yang sudah tidak terpakai. “Partisipasi masyarakat, walaupun kecil, tetap diperlukan. Berpikir dan mulailah melakukan.



19



DAFTAR PUSTAKA



1.



http://khairul-anas.blogspot.com/2010/06/jepang.html



2. http://Harus Laksana Guntur.blogspot.com/Belajar dari Sejarah Eco-City di jepang. 3. Cybriswsky, R. (1991). Tokyo, the Changing Profile of an Urban Giant. London: Belhaven Press. 4. Locher, M. (2010). Traditional Japanese Architecture, An Exploration of Elements and Forms. Japan: Tuttle Publishing. 5. Nishi, K., & Hozumi, K. (1996). What is Japanese Architecture? Kodansha International. 6. Nurdiani, N. (2011). Perkembangan perumahan publik di negeri sakura: studi kasus pada perumahan Tokyo dan sekitarnya. ComTech, 2(2). Jakarta: Binus University