Ejak Kantor Radio Nirom Belanda Di Cililin [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ejak Kantor Radio Nirom Belanda di Cililin Oris Riswan - Okezone



Browser anda tidak mendukung iFrame Rabu, 8 Januari 2014 10:40 wib



Bekas kantor radio Nirom (Foto: Oris/Okezone)



BANDUNG - Di Kampung Radio, Desa/Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB), terdapat bangunan tua yang sudah tidak dipakai. Dulunya bangunan tersebut merupakan kantor radio tertua di Indonesia. Ada dua bangunan yang saling berdampingan di sana. Satu gedung utama dan lainnya untuk tempat mesin perlengkapan radio. Luasnya bangunan utama sekira 18x12 meter persegi dan tinggi 8 meter, sedangkan bangunan satu lagi lebih kecil. Pantauan Okezone, bangunan utama gedung itu kosong dan tidak terlihat lagi seperti sebuah kantor penyiaran. Tumpukan batang pohon pinus tampak di beberapa sudut. Sepeda motor warga terparkir di sana. Beberapa bagian temboknya sudah hancur. Namun, secara umum, gedung itu masih gagah. Sementara dinding gedung tempat menyimpan peralatan perlengkapan radio mayoritas terbuat dari batu-batu berukuran besar. Ada sejumlah pintu yang kini ditutupi oleh seng. Di bagian dalamnya terlihat banyak semak belukar dan pepohonan. Kepala Resort Pemangkuan Hutan (KRPH) Cililin, Ade Ratmana, mengumpulkan data



seputar sejarah gedung tersebut. Pria yang baru setahun bertugas di sana itu penasaran dengan bangunan yang sering disebut gedung radio itu. “Dalam enam bulan saya mengumpulkan semua data dari sekira tujuh orang yang tahu sejarah gedung ini,” ujar Ade membuka perbincangan. Dia menjelaskan, pada 1908-1916, seorang pria Belanda, Raymond Sircke Hessilken, merintis area untuk pembangunan kantor radio yang diawali dengan pembebasan lahan seluas 17 hektare. "Pada 1916 dibangun Gedung Telepoonken Cililin. Namun karena berada di lembah, siaran sering terganggu,” katanya. Pada November 1918, Raymond memperluas area dengan menambah sekira 10 hektare. Di dataran paling tinggi, dipasang antena pemancar radio. “Sehingga radio bisa berfungsi sampai ke Eropa Barat dan Amerika,” ungkapnya. Lewat saluran radio itulah para penjajah Belanda berkomunikasi dengan negaranya. Pada 1923, Gedung Telepoonken Cililin dipegang dan dioperasikan Sukinta, petugas Telepoonken pindahan dari Manokwari. Saat itu, dibangun tiga bangunan pendukung dan gedung bawah tanah untuk menaruh generator. “Tahun 1924, Telepoonken berubah nama jadi Radio Nirom atau Nederland Indishe Radio Ommelanden,” jelasnya. Namun, Radio Nirom ternyata kurang berfungsi dengan baik. Pemancar radio dan berbagai peralatan di sana kemudian dipindah ke Rancaekek dan Dayeuhkolot. Setelah berbagai peralatan dipindah, gedung radio Nirom di Cililin praktis tidak berfungsi lagi. Radio Nirom yang baru kemudian beroperasi di kawasan Gunung Puntang yang kini masuk wilayah Banjaran, Kabupaten Bandung. Lahan semula kemudian dikuasai oleh Dinas Kehutanan setelah mendapat izin dari Departemen Agraria pada 1937. Bangunan utama digunakan Bosch Wesen dan bangunan lain dihuni Waker. Pada 1944, tanah dan bangunan di lokasi kemudian sempat telantar. Usai Proklamasi RI, seluruh aset asing harus dinasionaliasikan, termasuk gedung radio. Pada 1945 hingga 1949, gedung itu kemudian dijadikan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kewedanaan Cililin. Lalu, pada 1950-1973, dijadikan markas Batalyon (Yon) 22 Jaya Pangrengot hingga Yon 327 Divisi Siliwangi. Pada Maret 1973, seluruh pasukan ditarik dari sana karena Pangdam IV/Siliwangi menyerahkan kembali tanah dan bangunan radio ke Perum Telekomunikasi Daerah 8 Bandung. Tanah dan bangunan kemudian diserahkan ke masyarakat yang diterima Bupati Bandung saat itu, Lily Sumantri. Bupati lalu menyerahkannya lagi ke Departemen P dan K Provinsi Jawa Barat masih pada Maret 1973.



Pada Desember 1981, Bupati Bandung meminta ke Perum Telekomunikasi agar sebagian lahan dijadikan sekolah yang kemudian berdiri SMAN 1 Cililin. Tiga gedung yang tak jauh dari Gedung Radio pun jadi sekolah. Sedangkan gedung radio tidak dipakai. Ade berharap, gedung tersebut diperbaiki dan dijaga keasliannya karena merupakan warisan sejarah. “Suatu saat nanti anak-cucu kita pasti bertanya soal gedung itu. Walaupun tinggal puing, harus dipertahankan," tuturnya. Pada 1923, Gedung Telepoonken Cililin dipegang dan dioperasikan Sukinta, petugas telepoonken pindahan dari Manokwari. Saat itu, dibangun tiga bangunan pendukung dan gedung bawah tanah untuk mengatur arus listrik. Kemegahan di dalam bangunan yang menurut cerita penuh dengan peralatan komunikasi tercanggih pada zamannya, kini berganti dengan pemandangan tak sedap. Puing-puing pilar yang mulai rusak tergerus waktu berceceran di lantai. Selain itu, rongga ruangan yang sangat luas dipenuhi dengan jerami serta beberapa kandang ayam yang tak terpakai. "Kadang-kadang dijadikan kandang kerbau. Tempat istirahat kerbau-kerbau kalau mau ke ladang, dikasih makan di sana," kata peneliti dan pelaku sejarah Cililin, Drs H. Amar Sudarman, saat ditemui di kediamannya di Cililin, Senin (6/1/2013) kemarin. Amar menambahkan, banyak juga warga sekitar yang membangun rumahrumah di sekeliling gedung dengan memanfaatkan kayu-kayu jati yang setia menyangga eks kantor radio itu. Hal tersebut belakangan diketahui sebagai penyebab rusaknya pilar-pilar beton di dalam bangunan. "Dulu juga pernah dipakai warga untuk membuat tahu, waktu itu beras masih mahal. Makanya sampai saat ini orang kenalnya gedung tahu," kata Amar. Markas BKR dan TKR Pada zaman perang kemerdekaan, gedung yang terlantar pascakebangkrutan radio komunikasi seluruh tanah jajahan Belanda, yaitu Radio Nederland Indishe Radio Ommelanden (NIROM) itu sempat dimanfaatkan oleh tentara perjuangan kemerdekaan seperti BKR dan TKR sebagai markas pertahanan. Hingga akhirnya bangunan tersebut ditetapkan sebagai markas Batalyon 22 Jaya Pangrengot/Guntur 1 Resimen. Gedung tersebut semakin rusak ketika Jepang datang. Menurut Amar, Jepang pada saat itu tidak menyukai bangunan-bangunan sisa peninggalan Belanda. Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan tempat tersebut sebagai gudang penyimpanan senjata yang bertolak jauh dari desain semula, yaitu pusat komunikasi. "Bangunan yang kecil memang pernah dipakai oleh rakyat untuk mengeksekusi anggota DI TII, sekitar tahun 1951 sampai 1958. Mereka diculik dan ditampung di



sana dulu," ujarnya. Warga sekitar pun seolah mengabaikan kondisi rusak tersebut. Padahal, sebagai salah satu bukti sejarah yang masih berdiri kokoh, bangunan tersebut bisa menjadi bahan edukasi untuk murid-murid SMA Negeri 1 Cililin. Sementara itu, selain bangunan utama pemancar gelombang radio, tepat di sebelahnya terdapat bangunan yang lebih kecil yang dahulu berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik. Bangunan yang memiliki delapan pintu itu lebih parah kondisinya. Meski dinding batunya masih kokoh berdiri, namun sudah tidak beratap lagi. Delapan pintu yang tersebar di berbagai penjuru pun sengaja ditutup oleh warga menggunakan seng bekas dan kayu-kayu tak terpakai, seolah menunjukkan kalau bangunan yang dalamnya sudah menjadi kandang ayam dan kebun sudah menjadi milik perorangan. "Kalau warga sebenarnya berharap gedung ini sedikit direnovasi dan dijadikan gedung serbaguna karena sebenarnya masih layak," harapnya. Namun sepertinya harapan Amar melihat gedung itu kembali kokoh berdiri akan sulit terwujud. Pasalnya, meski saat ini tanah di tempat tersebut masuk dalam kepengelolaan Perhutani, namun untuk tanggungjawab pemeliharaan dan juga perbaikan gedung tersebut tidak jelas. Ia pun berharap pemerintah provinsi Jawa Barat mau mengambil tanggung Jawab tersebut ke depannya. "Tahun 1924, Telepoonken berubah nama jadi Radio Nirom atau Nederland Indishe Radio Ommelanden," jelasnya. Tapi sejak dioperasikan, Radio Nirom ternyata kurang berfungsi dengan baik. Pemancar radio dan berbagai peralatan di sana kemudian dipindahkan ke Rancaekek dan Dayeuhkolot. Setelah berbagai peralatan dipindahkan, Gedung Radio Nirom di Cililin praktis tidak berfungsi lagi. Sedangkan Radio Nirom kemudian beroperasi di kawasan Gunung Puntang yang kini ada di wilayah Banjaran, Kabupaten Bandung. Lahan yang ada di lokasi kemudian dikuasai oleh Dinas Kehutanan setelah mendapat izin dari Departemen Agraria sejak 1937. Bangunan utama digunakan Bosch Wesen dan bangunan lain dihuni Waker. Pada 1944, tanah dan bangunan di lokasi kemudian sempat terlantar. Sehingga usai kemerdekaan, seluruh aset asing harus dinasionaliasikan, termasuk gedung radio. Usai dinasionalisasikan, gedung itu dijadikan markas BKR atau Badan Keamanan Rakyat dan TNI Kewedanaan Cililin pada 1945-1949. Selanjutnya gedung radio berturut-turut dijadikan homebase Batalyon Yon 22



Jaya Pangrengot hingga Yon 327 Divisi Siliwangi pada 1950 hingga 1973. Pada Maret 1973, seluruh pasukan ditarik dari sana karena Pangdam IV/Siliwangi menyerahkan kembali tanah dan bangunan radio ke Perum Telekomunikasi Daerah 8 Bandung. Tanah dan bangunan kemudian diserahkan ke masyarakat yang diteria Bupati Bandung saat itu, Lily Sumantri. Bupati lalu menyerahkannya lagi ke Departemen P dan K Provinsi Jawa Barat masih pada Maret 1973. Pada Desember 1981, Bupati Bandung memohon sebagian tanah untuk dijadikan sekolah, kini jadi SMA 1 Cililin ke Perum Telekomunikasi. Tiga gedung yang tak jauh dari gedung radio pun jadi sekolah. Sedangkan gedung radio tidak dipakai. Ade berharap, ke depan gedung itu bisa diperbaiki dan dijaga keasliannya sebagai salah satu warisan sejarah. "Suatu saat nanti anak-cucu kita pasti bertanya soal gedung itu. Walaupun tinggal puing, harus dipertahankan," tuturnya.