Elegi Patah Hati [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ONE Enam tahun silam ....



I hate Monday.



Ungkapan yang sering orang katakan tentang hari senin. Dan aku setuju dengan ungkapan itu. Namun untukku, bukan hanya hari Senin yang aku benci, tapi semua hari dalam satu minggu. Intinya, aku benci hidupku, aku benci keadaanku saat ini, aku benci keluargaku, dan aku benci diriku sendiri. Apa yang kamu pikirkan tentang putri seorang pejabat tinggi Dinas Perpajakan? Senang? Berlimpahan uang? Tinggal tunjuk-tunjuk saja dan nyaris semuanya bisa didapatkan? Yep. Kamu benar.



Sayangnya, itu terjadi jauh sebelum ayahku tertangkap sebagai tersangka korupsi. Ternyata, jabatan yang tinggi tidak lantas membuatnya amanah dengan berlaku jujur sebagai pejabat negara. Ia berkhianat. Ia menghancurkan tanggung jawab yang diembannya dengan melakukan korupsi. Dan hari-hariku berubah sejak saat itu.... Singkirkan saja bagian yang terasa seperti surga tadi. Cibiran teman-temanku yang dulu hanya berani 'main belakang', kini mulai bergema di hadapan. Tak pelak kadang ketika berkumpul berubah menjadi sindiran tajam tak manusiawi. Merugikan negara, membuat rakyat semakin ditelan sengsara, begitu yang didengungkan mereka di hadapanku. Bahkan nyaris tak repot memperhalus kata. Mengisyaratkan agar aku menyingkir segera dari lingkungan mereka. Padahal bukan aku pelakunya, tapi mengapa aku ikut dipersalahkan? Come on, usiaku bahkan baru dua belas tahun saat itu dan aku harus menanggung semuanya. Setelah aksi bully yang kualami, aku memutuskan untuk tinggal dengan Oma di Las Vegas. Sebuah kota



metropolitan yang terdapat di negara bagian Nevada, Amerika serikat. Penggerak utama ekonomi Las Vegas selain dari sektor pariwisata dan perjudian, adalah ritel dan restoran. Oma—yang memang pada dasarnya selalu di taktik bisnis— melihat peluang usaha yang sangat menjanjikan dari kota ini. Sejak usiaku 5 tahun, Oma sudah pindah ke Vegas dan membuka bisnis restoran khas Indonesia yang berada di pusat kota. Terbukti, saat ini Oma sudah sukses dengan bisnis restorannya yang telah menjalar menjadi beberapa cabang. Bukan hanya di wilayah Nevada dan Amerika Serikat, restoran Oma kini sudah merambat ke wilayah Asia seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Indonesia, tentunya. Kesialanku berawal sejak Oma meninggal dunia pada bulan lalu. Dengan begitu teganya, aku ditarik paksa oleh Mami untuk kembali pulang ke Indonesia dan melanjutkan sekolah di sini. Awalnya aku menolak dengan keras rencana Mami untuk membawaku kembali ke negara ini. Bukan karena aku tidak mencintai tanah kelahiranku sendiri.



Tentu saja bukan. Alasan utamanya karena aku sudah diterima tanpa tes di Academy of Art Careers and Technology. Sebuah high school terbaik di Nevada. Akan tetapi, lagi-lagi keinginan tetaplah keinginan. Keputusan Mami tidak bisa di ganggu gugat. Mami sudah benar-benar mempersiapkan kepulanganku ke Indonesia, terbukti dari semua urusan sekolah yang sudah diurus dengan rapi, bahkan sebelum aku tiba di sini. Tadi malam, Mami menyerahkan map besar berisikan tetek bengek tentang sekolah baruku.



And I know I was in trouble....



*** Sudah satu jam aku terjebak dalam kemacetan jalanan Jakarta yang semakin tidak karuan. Aku menyayangkan atittude warga negara ini yang sangat buruk. Terbukti dari sikap para pengendara yang menjalankan kendaraannya seenak jidat mereka sendiri. Andai saja mereka memiliki sedikit kedisplinan yang diterapkan pada diri masingmasing, aku yakin negara ini bisa memperbaiki satu per satu masalah yang dimilikinya, termasuk soal kemacetan.



Untungnya Mami hari ini sedang berbaik hati untuk mengantarku sampai ke sekolah. Jika tidak, entah apa yang aku lakukan saat terjebak di tengah-ditengah kemacetan seperti ini. Butuh waktu lebih dari satu jam perjalanan dari rumah menuju sekolah. Aku mengutuk keadaan yang memaksaku berada dalam situasi seperti ini. Aku rindu Vegas. Aku rindu sahabatku Scarlett dan Erica. Aku rindu mantan pacarku, Kieve. Dan yang paling menyedihkan ... aku merindukan Oma. "Mami perlu masuk untuk antar kamu?"



"Come on, Mam. I'm not a child anymore!"



Aku melangkah keluar mobil dan segera berjalan menelusuri lorong menuju tempat di mana kelasku berada. Hari ini penampilanku sungguh tak biasa. Dengan seragam atasan kemeja putih dan bawahan rok abu-abu sebatas lutut. Rambut dark brownku yang panjang kubiarkan tergerai dan kututup dengan snapback. Aku menyadari tatapan orang-orang saat melihat kedatanganku.



Tanpa menghiraukan mereka, aku masih terus berjalan dengan penuh percaya diri sambil mencari di mana ruangan kelasku berada. Namun, tiba-tiba..., BUGHH!! Langkahku terhenti ketika seseorang menabrak tubuhku dengan keras hingga aku terpelanting ke belakang dan mendarat tepat di atas bokongku. "Ahh, shit!" umpatku, dengan keras. Dan saat kulihat ke depan, ternyata orang yang menabrakku tidak lebih baik keadaannya dariku. Tubuhnya tersungkur hingga kepalanya membentur lantai. Aku yakin, keesokan harinya pasti keningnya akan memar karena benturannya lumayan keras. Di detik berikutnya, laki-laki yang menabraku tadi bangun dengan bantuan dari teman-temannya. Aku sendiri mencoba berdiri dengan tenagaku sendiri karena tidak ada yang mencoba untuk menolongku. Dan dia menatapku. Mata yang meneduhkan dan membuatku jatuh cinta dari pertemuan pertama ini.



So here's the crazy parts of all of this. Our first meeting.



With you ... Arkha Galih Wardana.



TWO Mengutip kata-kata yang ditulis John Steinbeck dalam novelnya, East of Eden : 'It's a hard thing to leave any



deeply routine life, even if you hate it'. And here I am slowly drifting away. Hanyut dan tak



bisa keluar dari rutinitas ini walaupun aku membencinya. Langit Bandung yang beberapa hari ini selalu tertutup awan mendung, seakan setia menemani kesibukanku hari ini. Aku yang bekerja pada sebuah agency komunikasi yang berkembang di bidang advertising, event, public relations, digital, dan social media, saat ini benar-benar tengah disibukan oleh tumpukan pekerjaan yang sudah beberapa waktu ini menyita perhatianku. Buzzlight WorldWide Advertising, Perusahaan tempatku bekerja yang merupakan sepuluh besar



perusahaan periklanan terbesar di Indonesia, baru saja memenangkan tender baru. Sebuah iklan untuk brand makanan yang diluncurkan oleh salah satu perusahaan makanan besar. Dengan nilai Project yang tidak sedikit, hingga membuatku yang ikut tergabung team creative sebagai art director, semakin disibukan dengan tumpukan pekerjaan yang seakan membuat kerja otakku mati rasa. Suara PING dari ponsel membuyarkan fokusku pada apa yang sedang kukerjakan. Saat kuperiksa, ada pesan masuk dari suamiku. Hubby: Aku lagi di jalan menuju kantor kamu. Bawain kamu karedok leunca Bu Imas sama ayam bakarnya buat makan siang. Tunggu ya, 5 menit lagi sampe.



Aku tersenyum membaca pesan darinya. Hal inilah yang membuatku selalu merasa istimewa. It's about the way he carry me and I love how he treats me. Membuatku seperti merasa dicintai, merasa dipedulikan. Suatu hal



sederhana yang nyatanya tidak pernah bisa kudapatkan dari Arkha. Ucapannya benar. Lima menit kemudian dia sudah berdiri dengan gaya santainya di lobby kantorku. Dia mengikutiku saat aku mengajaknya naik ke atas, dan menemaniku makan di kubikalku. "Kok tumben bawain makanan buat aku?" tanyaku, sambil menyalakan kembali laptop untuk meneruskan pekerjaan yang sebelumnya terputus. "Karena aku tahu, kalau kamu lagi deadline kayak gini, pasti suka lupa makan." Aku tertawa kecil mendengarnya. "Emangnya kamu nggak kuliah?" "Kuliah. Nanti ada kelas lagi jam tiga." Dia membantuku membuka bungkusan plastik yang ia bawa. Ayam goreng dan karedok leunca yang ia beli dari rumah makan khas sunda langganan kami, serta jus jambu kesukaanku. Aku menatapnya lama sambil mengulum senyum. "Ayo makan, Fris. Aku tahu, aku ganteng. Tapi kalau cuma lihatin aku, nggak akan bikin perut kamu kenyang."



Kali ini, senyumku berubah menjadi tawa kecil. "Thanks," ucapku tulus. Dia memajukan tubuhnya dan mencium bibirku. "Mbak Frisca!"



Mati!



Secara refleks, aku mendorong tubuhnya menjauh dan melepas paksa ciumannya. Saat aku menoleh, kutemukan Eno—office girl yang bertugas di kantorku—berdiri kaku dengan ekspresi terkejut menatapku. "Kenapa, No?" tanyaku, mencoba mengendalikan situasi. Eno mengerjap. "Eh, punten, Mbak. Ini ... file yang tadi Mbak minta di-fotocopy sudah selesai." Eno menaruh beberapa lembar kertas di atas mejaku. "Makasih ya, No." Gadis itu mengangguk dan berbalik setelah sempat mencuri pandang ke arah suamiku. Setelah kepergian Eno, aku mencubit perutnya. "Barga! Kamu itu, kalau mau nyium suka nggak lihatlihat tempat."



Barga tertawa dan membawa tanganku untuk digenggamnya. "Iya, maaf. Soalnya kamu kelewatan cantiknya kalau lagi senyum kayak tadi. Bikin aku nggak bisa nahan pengin nyium kamu terus." Aku membulatkan mata saat mendengar ucapannya. Sementara dia semakin terbahak disampingku. "Nanti pulang jam berapa?" tanya Barga, setelah tawanya reda. "Aku lembur lagi kayaknya." "Jangan terlalu capek, Fris. Kasian babynya kalau kamu bawa kerja berat terus. Nanti jangan lupa telepon aku, ya, satu jam sebelum kamu pulang. Jadi aku nggak telat lagi jemput kamu kayak kemarin." Aku mengangguk dan kembali tersenyum saat dia mengacak rambutku sekilas. "Kamu juga jangan capek-capek, ya. Sempetin waktu untuk istirahat. Sebenernya kamu juga nggak perlu jemput aku, Bar. Lebih baik waktunya kamu pakai untuk istirahat. Malemnya kamu harus kerja lagi, kan? Aku bisa pulang sendiri kok."



"Terus kamu mau pulang naik apa? Naik angkot? Aku bisa digorok Bunda kalau tahu menantunya naik angkot." Aku tertawa kecil mendengar ucapannya. "Bunda juga nggak bakalan tahu kalau aku naik angkot." "Kamu istri aku, Frisca. Udah kewajiban aku untuk selalu jaga kamu." Aku kembali tersenyum mendengarnya. Yeah, walaupun pernikahan ini terjadi karena keterpaksaan, tapi kami selalu berusaha untuk make it work and just make it



look easy.



"Frisca." Aku mendongak saat mendengar seseorang menyerukan namaku. Dan terlihat di sana, Baron Adirajadi, manager divisi kreatif yang tidak lain adalah atasanku. "Siapa, Fris? Adik kamu?" tanyanya, setelah tiba di depan kubikalku. Pandanganku teralih pada Barga yang sedang purapura sibuk sambil memainkan ponselnya. "Dia ... suamiku." "Oh? Berondong kayak gini?"



Dari ujung mata, aku menyadari Barga mendongak cepat dan balas menatap Baron. "Ada apa, Ron?" "Hm, iya sampai lupa. Nanti sore ikut join, yuk? Stone Cafe, acara farewell-nya si Agus." "Stone Cafe? Dago atas, ya? Kayaknya aku nggak bisa deh, Ron. Jauh banget aku baliknya. Harus muter lagi ke arah Sarijadi." "Minta dijemput sama berondong kamu ini aja. Kalau dia nggak bisa jemput, bareng aku aja. Nanti aku anterin kamu pulangnya sampai depan rumah." Aku meringis dan kembali menengok pada Barga. Dia menatap Baron tajam, tak peduli jika usia lelaki di depannya jauh lebih tua darinya. "Ron, tolong lain kali dijaga ucapan kamu. Kamu nggak tahu kan, siapa aja yang akan tersinggung sama ucapan kamu itu. Dan tolong juga bilangin sama Agus, aku minta maaf karena nggak bisa join sama kalian nanti malam."



Baron mengalihkan tatapannya padaku. Seakan tak terima dengan teguranku. Setelahnya, dia berbalik tanpa mengucapkan satu patah kata pun. "Ya, udah. Aku ke kampus lagi, ya? Makan yang banyak. Abisin semuanya kalau bisa." Barga berdiri dan mengecup pelipisku sebelum melangkah keluar dari kubikal dan hilang di balik pintu lift. Dia ... Barga Anggara. Berondongku. Suamiku yang usianya tiga tahun lebih muda dariku. Satu hal yang menarik darinya, dia selalu berusaha menempatkan dirinya dengan sangat baik. Kapan waktu dia kembali menjadi lelaki usia dua puluh tahun bersama teman-temannya, dan kapan dia menjadi suami yang baik ketika sedang bersamaku. *** BARGA



Aku keluar dari kantor itu dengan perasaan kesal yang sampai di ubun-ubun. What the hell did the bastard



say?



Berondong? Berondong gigi lo ompong!



Memangnya apa sih yang dimasalahkan dari sebuah umur? Hanya masalah angka. Belum tentu menjamin kedewasaan dan kualitas berpikir seseorang. Buktinya, seperti apa yang si bastard tadi lakukan. Apa itu yang dinamakan pria dewasa? Apa itu kelakuan seorang real men? Mengintimidasi dan menunjukkan jika dirinya lebih hebat karena usianya jauh di atasku. Kampretlah! Aku segera memasuki mobil dan membawanya kembali menuju kampus. Mobil pemberian Ayah. Dengan sedikit paksaan karena ibuku yang super bawel tidak ingin menantunya berkeliaran dengan menggunakan motor dalam keadaan hamil. Sedangkan aku anaknya sendiri? Jalan kaki dari Bandung ke Jakarta pun tidak akan membuatnya peduli.



"Laki-laki harus kuat. Nggak boleh manja." Begitu katanya. Tiba di kampus, aku memarkirkan mobil dan kembali keluar untuk menuju warung Mang Didin. Warung makan yang memiliki prinsip 3M. Murah, Meriah, Muntah. Namun aku tidak ingin makan. Aku hanya memesan kopi susu dan mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tasku. Hingga seseorang menepuk pundakku saat aku sedang menikmati rokok pertama yang baru saja kuhisap. Jaka Kurniawan. Sahabatku sejak SMA yang sekarang menjadi teman sesama perantau. Sama-sama menjadi anak gaul Bandung dan kuliah di kampus yang sama denganku. Si belagu yang lebih suka dipanggil Jack, daripada menggunakan nama pemberian orangtuanya sendiri. "Ngapa lo? Muka lo butek banget kek air sungai Kalimalang." "Emang kenapa, sih kalau umur gue lebih muda? Masalahnya apa emangnya kalau gue sama bini gue lebih tua dia?" Jack melongo. Bengong karena tidak mengerti maksud ucapanku.



"Ini kopi ada sianidanya apa?" tanyanya, sambil menghirup dan mencicipi kopiku. "Kesel gue, Jack." "Kesel kenapa emang?" "Gue udah kurang gimana lagi, Jack? Gue udah belabelain kerja malem jadi kacung minimarket, Sabtu Minggu gue kerja daily worker di hotel jadi Steward, yang cuma nama doang keren, tapi kerjaannya jadi buruh nyuci piring setumpukan. Buat apa itu, Jack? Supaya gue bisa punya penghasilan sendiri, supaya gue bisa mandiri dan nggak bergantung sama bokap gue untuk biayain kehidupan rumah tangga gue dan istri gue. Tapi kenapa masih aja gue diremehin. Dianggap nothing cuma karena umur gue yang baru nginjek dua puluh taun. Gue anaknya Marcello Prawirayasa, mau-maunya kerja banting tulang, buat siapa lagi kalau bukan buat istri dan anak gue nantinya." Jack kembali menepuk-tepuk pundakku untuk menenangkan. "Yah, namanya juga laki, man. Nggak kerja diremehin, kerja kecil direndahin, punya gaji minim disepelein. Tapi justru hal itu yang membentuk kita supaya menjadi pribadi yang lebih tangguh lagi."



Yeah, ucapan si Jaka Kurniawan ini benar. Dunia ini kejam, man. Lebih kejam dari si cantik O-ren Ishii di film Kill Bill, yang bisa menebas kepala orang dengan ekspresi datar. Beuh, tsadeest! "Bar, gue mau nanya sesuatu sama lo. Sebenernya, lo itu cinta nggak, sih sama istri lo?" Aku tertawa sinis mendenger ucapannya. "Males gue ngomongin cinta. Nggak ada untungnya buat gue. Lo liat aja abang gue. Stuck sama satu cewek yang dia cinta sampai akhirnya mati konyol kayak gitu. Maksa pulang ke sini waktu denger Kak Kia sekarat. Padahal satu minggu lagi dia wisuda. Nyokap gue udah sengaja jahit kebaya untuk dipakai di acara wisuda dia nanti. Dan apa yang dia dapet? Nggak ada, selain bikin nyokap histeris sampe pingsan berkali-kali waktu kita jemput jenazahnya di rumah sakit. Menurut gue itu konyol, Jack. Dan bokap gue, dia udah sia-siain hidupnya dan keluarganya sendiri selama belasan tahun, hanya karena rasa kehilangan dan penyesalan sama cinta masa lalunya. Dan kalaupun gue cinta sama Frisca, gue tau, gue nggak akan dapat apa-apa. Sama seperti gue



coba menggenggam angin. Semu. Dan mustahil bisa gue dapat." Setelahnya kami sama-sama terdiam. Menikmati setiap sedotan batang kanker yang menjarah pada seluruh sel saraf di dalam tubuh. "Kalau gitu, kita ngikutin hidupnya lumba-lumba aja, Bar. Penganut LGBT. Bercinta dengan sesama jantan, sampai dia bener-bener siap dan PD untuk menggoda betina." Dan satu lagi yang perlu kuberitahukan pada kalian, hati-hati milih teman. Jangan sampai kalian menyesal sepertiku yang memiliki teman kampret macam si Kurniawan ini. *** FRISCA Pukul enam sore, aku sudah bersiap pulang seraya menunggu Barga menjemputku. Setelah beberapa saat menanti di lobby, akhirnya mobil Nissan X trail hitam



milik Barga terlihat berhenti di depan pintu lobby. Aku segera masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku penumpang sebelah Barga yang tidak menatapku sama sekali. Hingga satu jam kemudian, setelah kami tiba di rumah, dia masih belum mengeluarkan suara. Aku menahan tangannya saat dia memasuki kamar dan melepas atasannya sebelum melangkah memasuki kamar mandi. "Hey, what's going on?" tanyaku. "Nothing," jawabnya tanpa acuh. Aku mengapit wajahnya dengan kedua tanganku dan memaksanya untuk kembali menataku. "Kenapa?" tanyaku, dengan suara lebih halus dari sebelumnya. "Tell me what happened with you?" Kudengar dia mengembuskan napas dengan kasar. Barga menjauhkan tanganku dari wajahnya dan duduk di atas tempat tidur. "Emangnya kamu nggak malu punya suami berondong kayak aku?" ucapnya kemudian. Well, I see. Jadi ini karena ucapan Baron tadi.



The man and his ego.



Aku kembali menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Kembali menangkup wajahnya, dan kembali memaksanya untuk menatapku. "Aku gendut ya, dan keliatan tua banget sampe orangorang akan tau kalau aku lebih tua dari kamu?" Berhasil. Dia tertawa kecil mendengarnya. "Aku nggak malu, Bar. Malah aku bangga dong, bisa dapetin suami berondong yang lebih muda dari aku dan ganteng kayak kamu." Dan tawanya semakin keras. Dia balas menangkup wajahku dan menciumku dengan ganas, mendorong tubuhku hingga terlentang di atas tempat tidur dan melakukan foreplay yang aku yakini akan berakhir dengan mandi besar setelah ini. "Barga, kan kemaren udah," bisikku, saat dia sedang berusaha melepas baju terusan yang sedang kukenakan. "Lagian kamu menggoda kayak tadi, bikin aku bangun jadinya." Dan satu hal yang aku lupakan tentang menikah dengan anak ABG. Dia dan hormone testosterone-nya.



****



THREE Sesosok lelaki yang memenuhi pikiranku beberapa hari ini muncul di ambang pintu flat saat aku membukanya. Namun aku menahan keinginan untuk menyambutnya dan lebih memilih menatapnya tanpa ekspresi. Lelaki itu, Arkha Galih Wardana, lelaki yang sama



dengan dia yang membuatku kacau selama beberapa hari ini. "Masuk, Kha, " ucapku, sambil berbalik dan meninggalkan dirinya yang masih berdiri di depan pintu. "Kapan balik dari Jakarta?" Aku duduk di atas sofa ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang menonton. Arkha mengikuti dan duduk di sebelahku. "Tadi malem." "Dan urusan kamu di sana udah beres?" Aku benci menanyakan hal ini. Aku benci jika mendengarnya membicarakan perempuan itu. Perempuan bernama Kiasah yang membuatnya patah hati hingga memutuskan untuk menghindar, dan mengambil hadiah beasiswanya saat menjuarai Olimpiade Sains Nasional ketika SMA dulu. "Masalahnya udah selesai dan Kia udah rujuk lagi sama suaminya." "Dan kamu kecewa, dong, perjalanan Melbourne to Jakarta hanya berakhir sia-sia, karena ternyata dia memang sudah melangkah jauh dari kamu."



Arkha tertawa miris, "Aku pulang ke Jakarta bukan dengan niat ingin balik lagi sama dia, Fris. Aku tau, hal itu nggak mungkin. Aku pulang karena aku ingin ada di dekat dia saat dia butuh seseorang untuk menopang dia saat jatuh. Kiasah itu cewek manja. Dia nggak biasa dengan halhal berat yang membuat hidupnya tertekan." Lalu aku? Kamu pikir aku kuat, Kha? Kamu pikir aku bisa menerima hal-hal berat yang membuat hidupku tertekan? Aku juga sama seperti Kiasah, sama seperti perempuan lainnya yang ingin cintanya berbalas. Arkha menggeser posisinya, hingga membuat duduknya semakin merapat padaku. Lelaki itu menarik tanganku dan memasangkan sebuah gelang titanium dengan model lilit yang terlihat sangat cantik dan berkilau. "Tadi, lihat gelang ini di toko souvenir bandara, terus tiba-tiba inget kamu. Ternyata keliatan lebih cantik kalau udah dipakai. Kontras sama kulit kamu yang putih." Kemudian, ia mengapit daguku dan memaksa untuk menengok ke arahnya. Membuat mata kami terkunci satu sama lain.



Arkha mengamati mataku lekat. Menatap hingga dalam dan membuatku sedikit kepayahan untuk terus membalas tatapannya. "Are you crying?" tanyanya, saat mengusap kedua mataku yang bengkak karena terlalu sering menangis. "Mata kamu jadi kelihatan jelek kalau habis nangis," bisiknya lirih. Membuat mataku kembali memanas. Namun, aku pun tak dapat menolak saat dia semakin mendekatkan wajahnya padaku. Dan aku hanya bisa pasrah dengan memejamkan mata, ketika bibirnya yang sedikit tebal dengan aroma mint campur tembakau, menyapu lembut permukaan bibirku. Aku tidak bohong saat mengatakan jika dia selalu menciumku lebih dulu. Dan sisi bitchy-ku terlalu lemah untuk menolaknya. Aku kembali membuka mata saat ciumannya selesai. Arkha mengusap permukaan bibirku yang basah dengan ibu jarinya. "Arkha," bisikku, pelan. "Hmm?" "Will you do something for me then?"



Arkha menaikan matanya yang semula memerhatikan bibirku, dan menatap mataku dengan serius. "What is that?" "Stop trying to fix me and just to love me. Would you?"



Arkha terdiam. Usapan lembut ibu jarinya di atas bibirku terhenti. Dia menutup mata. Seolah berat mengatakan jawaban yang ingin ia sampaikan. Aku masih memerhatikannya saat ia membuka mata dan kembali menatapku dengan raut wajah penuh penyesalan.



"I told you... I can't promise you anything, Fris. But I promise you as long as you trying, I'm staying. Aku tetep



di sini, di dekat kamu. Tapi kalau kamu minta aku berusaha untuk mencintai kamu ... I'm sorry, I can't. Kamu tau kalau aku masih sangat mencintai Kiasah. Dan aku nggak mau menjanjikan sesuatu hal yang aku sendiri nggak yakin bisa menepatinya." "Frisca." Panggilan Barga membuatku kembali pada realita. Dan saat kutengok, Barga tengah menatapku dengan penuh kekhawatiran. "Are you ok?"



Aku mengangguk lemah. "Baru kali ini, aku liat orang yang nonton Masha and The Bear sampai nangis." Saat ini, kami berdua tengah menikmati waktu luang dengan duduk bersantai di ruang tengah. Aku menyandarkan kepalaku di atas pundak Barga yang sedang tekun mengerjakan tugas kuliahnya, sembari menonton tayangan kartun anak kecil yang berteman dengan seekor beruang dan tinggal sendiri di dalam hutan. Aku tertawa kecil ketika menghapus lelehan air mata yang membasahi pipiku. Dan inilah salah satu hal yang aku suka dari Barga. I love when he makes me smile no matter



what mood.



Lebih dari lima bulan berlalu sejak saat itu. Saat-saat yang membuatku sadar, jika ketika Tuhan menciptakan kehilangan, mungkin hal itu dimaksudkan agar aku mau bersabar, agar aku mau belajar. Dan ketika aku kehilangan cinta, pasti ada alasan di antara sebaiknya alasan yang kadang sulit untuk kumengerti. Tapi ada satu hal lagi yang kupercaya, bahwa ketika Tuhan mengambil sesuatu hal dalam hidupku, itu karena



Tuhan telah mempersiapkan sesuatu yang lebih baik untuk diberikan. Dan janji-Nya adalah nyata, Tuhan mengirimkan Barga dan bayi kecil dalam perutku yang saat ini menjadi alasanku untuk terus melangkah maju dan meninggalkan semua tentang masa lalu. "Besok jadi cek kandungan?" Pertanyaan Barga kembali menyela lamunanku. "Besok dokter kandungannya praktik pagi." "Emang kenapa kalau praktik pagi?" "Besok hari Senin, kamu lagi UAS, kan?" "Ohh, iya!" seru Barga, seakan baru mengingat hal itu. "Yah, aku nggak bisa nemenin kamu. Nggak bisa liat babynya, dong. Padahal aku selalu nungguin setiap waktunya cek kandungan." "Ya udah, cek kandungannya diundur minggu depan aja." Barga menatapku penuh harap. "Bisa?" tanyanya. Aku mengangguk dan kembali menyandarkan kepalaku di atas pundaknya. Merasakan saat ia mengecup kepalaku.



"Bar, emang kamu nggak capek, siangnya kuliah, malem kamu kerja jadi pramuniaga di minimart, dan hari Sabtu Minggunya kamu masih kerja juga jadi steward di hotel," Barga tertawa kecil mendengarnya. Ia mengacak-acak rambutku dengan lembut. Kebiasaan yang sama, seperti yang kakaknya sering lakukan. "Kalau dibilang capek, pasti capek lah, Fris. Tapi selagi aku masih muda, masih produktif, masih punya tenaga untuk kerja, kenapa nggak aku manfaatin. Dari pada nongkrong nggak jelas, mendingan aku pakai waktunya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, kan? Dan sebagai seorang suami, memang kewajiban aku untuk menafkahi kamu. Lelahnya aku pun menjadi berkah, ketika aku menjalaninya karena lillah." Speechless. Aku terenyuh saat mendengar penjelasannya. Dan tanpa bisa dicegah, aku bangkit dari dudukku dan berpindah duduk di atas pangkuannya yang sedang bersila di atas sofa. Melingkarkan tanganku pada sekeliling pinggangnya dengan menyandarkan kepalaku di atas dadanya. Aku memeluk Barga dengan erat.



"Tapi kamu jangan terlalu capek. Sempetin waktu untuk istirahat. Badan kamu bukan robot yang nggak butuh istirahat. Aku nggak mau kamu sakit nantinya." Barga terkekeh. Kembali mengecup ubun-ubunku, sebelum balas memelukku. "Nanti juga ada waktunya untuk istirahat, tapi bukan sekarang. Waktu istirahatnya nanti, setelah aku pensiun. Menikmati hasil kerja keras sewaktu masih muda dan menikmati hari tua dengan istri dan anak cucu." Aku semakin mengeratkan pelukanku pada tubuhnya. Menyesap aroma cologne murahan yang ternyata mampu membuatku nyaman. *** BARGA Satu hal yang aku suka dari istriku ini, dia manja, dan paling senang dimanjakan. Membuatku selalu merasa dibutuhkan.



Kadang aku berpikir, hidup itu misteri. Kita tidak akan tahu seperti apa rupa masa depan sebelum kita berhadapan langsung dengannya. Dan tentu saja, menikah muda tidak ada dalam daftar rencana hidupku sebelumnya. Umurku baru dua puluh tahun, man. Dan saat ini aku sudah menjadi seorang suami. Dan yang lebih gilanya lagi, sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Sebuah kejutan luar biasa yang tak pernah bisa kuduga sebelumnya. Tapi aku pikir, tidak ada yang salah dengan hal itu. Karena menurutku, menikmati masa muda dengan bekerja, jauh lebih menyenangkan daripada hanya sekedar senangsenang dan hura-hura. Masuk dari satu tempat dugem ke tempat dugem yang lain. Berkencan dengan cewek random yang tidak aku kenal. Menjadi junkies. Apa untungnya? Kena HIV dan penyakit kelamin, mungkin iya! Lebih nikmat hidup yang kujalani saat ini. Punya istri cantik, yang tetap terlihat seksi walaupun dengan pipi tembam dan perut buncit. Bisa memenuhi kebutuhanku, lahir dan batin. Asli. Nikmatnya luar biasa, bray!



Asal kalian tahu, kadang kala keberhasilan itu tidak selalu datang untuk mereka yang pantang menyerah, bukan pula untuk mereka yang tidak kenal kata lelah. Namun keberhasilan, selalu hadir untuk kita yang bisa bertahan, dalam kesabaran yang disertai pula oleh keikhlasan. Anjay! Bahasa gue.... "Bar," "Hmm?" "Kadang, aku ngerasa kamu lebih dewasa dari abang kamu."



See?



"Ya, iyalah. Anaknya Marcello Prawirayasa. Kalau dibandingin sama Arkha, bukan cuma lebih dewasa, tapi lebih ganteng juga pastinya." Frisca tertawa pelan. "Salah ngomong aku, Bar." Dan satu lagi pelajaran yang aku dapat, merasakan kebahagiaan batin itu, adalah hal yang tidak semua orang bisa dapatkan. ***



"Barga, jam enam kurang. Cepetan bangun." Aku loncat dari tempat tidur dengan cepat dan menatap jam digital yang tergantung di tembok kamar. Anjrit! Jam enam kurang sepuluh menit. Sedangkan ujian mulai jam tujuh pagi. Dengan cepat aku menyambar handuk, dan segera memasuki kamar mandi. Kepalaku terasa pusing. Semalam aku baru tidur jam tiga pagi karena harus menyelesaikan tugas teknik pemograman dengan membuat flowchart dan programnya. Tiba-tiba aku merasa seseorang membasuh mukaku dengan air hangat, saat aku tertidur sambil duduk di atas kloset. Frisca membantuku sikat gigi dan mencukur kumis serta jenggot yang sudah satu minggu ini belum sempat kupangkas. Aku menikmati sentuhannya yang sangat lembut sambil memejamkan mata dan hampir kembali tertidur. "Sakit banget kulit aku waktu kamu ciumin badan aku tadi malem. Kumis sama jenggot kamu ini nusuknusuk."



Ucapan Frisca kembali membuatku terbangun. Mengingatkan aku dengan kegiatan tadi malam yang membuat waktu tidurku semakin sedikit. Ia kembali membasuh wajahku setelah selesai. Aku menarik tangannya dan berniat untuk memberikan ciuman terima kasih, namun batal saat aku menemukan sesuatu melingkari pergelangan tangannya. Sebuah gelang titanium. Dan aku tau dari siapa gelang itu. Sudah lama ia tidak menggunakan gelang ini lagi. Lalu mengapa sekarang ia menggunakannya lagi?



Yeah, aku tau, Fris. Apapun kelebihanku jika dibandingkan Arkha, tetap lebih hebat dia karena bisa dengan mudahnya membuat kamu galau berkepanjangan seperti ini.



"Udah selesai. Sekarang kamu mandi. Aku bikinin sarapan buat kamu." Dia keluar. Dan aku masih termenung di atas kloset. Argh, sial! Memikirkan hal itu membuat moodku semakin berantakan pagi ini.



Selesai mandi, aku keluar kamar dan menemukan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam sudah siap di atas tempat tidur. Aku sempatkan salat subuh lebih dulu sebelum bersiap dan melangkah keluar kamar. Terlihat satu piring nasi goreng yang sudah disiapkan Frisca di atas meja makan. Namun aku tak berniat memakannya. Makan hati sudah bikin aku kenyang. "Fris, aku nggak sarapan, ya. Udah telat banget ini." Tanpa menunggu jawaban darinya, aku segera melesat dan membawa mobilku menuju kampus. Sengaja tak ingin menghiraukan wajah protesnya saat aku pergi begitu saja.



Sorry, Fris.... ***



FOUR



FRISCA Aku masih memandangi pintu yang tertutup setelah Barga menghilang di baliknya.



Kenapa, sih dia?



Tanpa menghiraukan kelakuannya, aku memilih menghabiskan nasi goreng yang kusiapkan untuk Barga tadi. Saat memasukan suapan ketiga ke dalam mulut, telepon genggamku berbunyi. Menampilkan nama ibu mertuaku di layarnya. "Assalamualaikum, Fris." "Waalaikumsalam, Bunda. Tumben pagi-pagi telepon, Bun?" Terdengar tawa lembut dari ujung telepon.



"Tadinya Bunda telepon ke nomornya Barga, tapi nggak diangkat."



"Barga lagi nyetir kayaknya, Bun. Dia baru berangkat dari rumah tadi. Emangnya ada apa ya, Bun?" "Nggak ada apa-apa, sih. Bunda cuma mau ingetin,



hari Minggu ini Ayah ulang tahun. Bunda mau bikin acara makan-makan, pengin semua keluarga ngumpul. Kalian



usahakan untuk ikut juga, ya? Acaranya di Lembang, kok. Bisa ya, Fris?" Acara kumpul keluarga? Itu artinya... akan ada perempuan itu di sana. Walaupun hubungan kami di depan baik, tapi aku tidak bisa memungkiri jika aku membencinya. Benci karena dia selalu membuatku mengingat semua tentang Arkha. Mengingat bagaimana besarnya cinta lelaki itu untuknya. Membuatku kembali mengingat seperti apa rasanya menjadi orang yang tidak terpilih. Dan satu hal yang paling aku benci, perempuan itu mengingatkan aku saat-saat terakhir ketika aku kehilangan Arkha.



"Frisca?"



Aku berdeham untuk menormalkan suaraku yang sedikit tercekat. "Frisca usahakan ya, Bun. Kalau nggak ada deadline kerjaan pasti Frisca datang." Dan setelah itu, percakapan kami diteruskan dengan obrolan seputar kehamilanku. Walaupun Bunda orang yang cerewet, namun aku tahu, Bunda menyayangiku dengan tulus. Dia tidak pernah membenciku, sekalipun aku pernah



membuat kehebohan dalam keluarga besarnya dengan berita kehamilanku. Aku kembali memasuki kamar setelah sambungan dengan ibu mertuaku terputus. Hatiku sakit. Rasanya lelah terus menerus bergelung dalam ingatan yang membuatku terus terpuruk seperti ini. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir perlahan. Dan aku hanya bisa menangis bodoh setiap kali mengingatnya. Aku benci menjadi lemah. Aku benci selalu dikalahkan oleh kenangan.



But I wonder why it’s so hard to be happy. Without you... Arkha. *** BARGA "Gue cari di kampus, taunya udah balik duluan lo!" seruku, sambil menyerobot masuk ke dalam kamar kost si Jack saat dia baru membuka pintu.



"Lo assalamualaikum dulu, kek! Permisi dulu, kek! Main nyelonong masuk aja." Aku tak menanggapi protesnya dan segera merebahkan tubuhku di atas tempat tidurnya yang empuk. Ahh, nyamannya.... "Numpang tidur bentar, Jack. Bangunin jam dua, ya. Gue kerja jam tiga." Aku memiringkan posisi dan mulai menutup mata. "Kenapa lagi lo sama Frisca?" tanya Jack tiba-tiba. Membuatku kembali membuka mata. "Nggak papa," Terdengar dengusan kasar darinya. Aku tak menghiraukan. Lebih memilih melanjutkan tidurku yang terinterupsi tadi. "Lo harusnya lebih tegas jadi suami. Jangan karena umur lo lebih muda dari Frisca, terus dia bisa bertingkah seenaknya aja tanpa menghargai lo." Aku kembali membuka mata dan menatap Jack dengan serius. "Ini masalah komitmen, Jack. Gue udah sadar dengan konsekuensi dari keputusan yang gue pilih saat gue mutusin untuk nikahin Frisca."



Menikahi dia, beserta semua kenangannya.



"Walaupun lo sadar dengan konsekuensinya, tapi tetep aja, lo nggak bisa mengendalikan perasaan lo sendiri saat lo harus bersaing dengan kenangan abang lo sendiri. Hati lo sakit, dan ego lo berontak karena merasa nggak dihargai. Iya, kan?" Yeah, aku sepenuhnya sadar jika apa yang dikatakan si Kurniawan ini benar. Namun, terlalu naif jika aku harus mengakui semua itu. Berulang kali aku menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. "Lo paling lemah kalau udah ngadepin bini lo itu. Uring-uringan seharian, dicipok sedikit aja langsung manut lagi, persis kayak kebo habis dicocok hidung." "Gue dateng kesini pengin ngadem, Jack. Denger omongan lo malah bikin kuping gue tambah panas." Jack kembali berdecak. "Ngeles aja terus, Bar." Aku bangun dari posisiku dan menghampiri rak kecil tempat Jack menyimpan bahan-bahan makanan untuk mencari kopi. Butuh asupan kafein untuk membuat tubuhku bertahan sampai jam sepuluh malam nanti.



ya?"



"Kopi lo kayak beginian semua. Nggak ada kopi item,



"Ada," "Mana?" "Di warung." Aku menoyor kepalanya cukup keras. Saat yang sama, telepon genggamku bergetar dari balik saku celana. Ada enam panggilan tak terjawab. Tiga dari Bunda, dan tiga lagi panggilan tak terjawab dari nomor Frisca. Dan ada pesan LINE juga. Aku membukanya dan membuatku tersedak oleh ludahku sendiri saat melihat isinya. Frisca mengirimiku foto dan sebuah pesan, Semangat ujiannya, Papa � Aku menelan air liur saat memandangi fotonya. Punya istri modelan begini, gimana nggak bikin lemah, coba? Cuma si 'boy' yang dibikin keras setiap saat. Sial. ***



"Ada lagi tambahannya, Mbak?" tanyaku, saat menghitung belanjaan seorang perempuan umuran tiga puluh tahunan di meja kasir tempatku bekerja. "Ada." Aku menatapnya dan menunggu belanjaan apa lagi yang akan dia tambahkan. "Kalau masnya boleh dibawa pulang, sekalian masnya dikantongin juga." Kampret! Aku hanya tertawa hambar. Segera kuselesaikan proses pembayaran dan tak menanggapinya lagi. "Mas, judes banget, sih! Tapi malah bikin tambah gemes," ucap perempuan itu lagi sebelum melangkah keluar dengan senyum menggoda dan membuatku ingin muntah. Sedangkan si Mul alias Maulana yang menjadi partner shift-ku malam ini, sudah tertawa terbahak-bahak setelah kepergian perempuan tadi. "Puas banget, Mul?" Mul menarik napas dalam untuk mengisi paruparunya yang kosong setelah puas tertawa. "Gelo, anjir, si



teteh eta! Makanya, Bar, punya muka jangan gantengganteng banget. Digodain tante girang akhirnya." Mau tak mau aku ikut tertawa karena kekonyolan tadi. "Punten, 'A." ucap seseorang, menghentikan tawa kami. Aku dan Mul menengok bersamaan. Terlihat keberadaan seorang wanita muda di depan kami. "Di sini nggak jual obat asma, ya?" "Ada. Di rak obat-obatan," jawabku. "Bisa tolong dicariin, 'A? Tadi saya cari di sana nggak ada." Aku menatapnya malas. Pasti cuma pembeli iseng lagi. Namun saat aku melewatinya, napasnya terdengar berat dan pendek-pendek. Perempuan ini benar-benar sedang sakit. Aku mencari obat asma yang biasanya tersimpan di rak obat, namun kosong. Sepertinya stock-nya habis. "Obat asmanya habis, Teh." Perempuan itu mengeratkan jaket yang digunakannya sebelum mengangguk dan mengucapkan terima kasih.



"Teh," panggilku lagi, saat ia sudah berada di luar. Aku membawakan kursi plastik dan memintanya duduk. "Teteh tunggu di sisi aja. Biar saya yang cari obat asma untuk teteh. Sebelum perempatan ada apotik yang buka 24 jam. Teteh biasanya minum obat apa?" Dia menyebutkan nama obatnya dan mengasongkan selembar uang padaku. Namun aku menolaknya. "Uangnya nanti aja." Dengan setengah berlari, aku bergerak cepat menuju apotik yang berjarak cukup jauh dari minimart tempatku bekerja. Setelah mendapatkan obatnya, aku kembali berlari dan menemukan dia masih berada di sana. Aku membawakannya minum air hangat dari dispenser yang disediakan di pantry dan membantunya meminum obat. Setelah menunggu beberapa saat, napasnya kembali teratur walaupun masih terdengar sedikit berat. "Alhamdulillah. Makasih banyak ya, 'A." Aku mengangguk dan tersenyum tulus. "Teteh habis dari mana?" tanyaku, berbasa basi.



"Pulang kerja. Tadi angkotnya sepi, jadinya saya turun karena takut dibawa kabur sama supir angkotnya. Tapi nunggu angkot lagi malah nggak ada yang lewat." Aku melirik arlojiku, pukul sepuluh malam. Sudah waktunya aku pulang. "Rumahnya di mana, Teh?" "Di Geger Kalong. Panggil Icha aja, 'A, jangan panggil teteh." "Gue Barga. Kalau lo percaya, biar gue antar lo pulang. Ini udah jam sepuluh malem. Angkot udah jarang yang lewat sini. Kebetulan rumah gue di Sarijadi, jadi kita searah." "Tapi, A'a bukannya lagi kerja." "Shift gue udah selesai, kok! Tuh, orang yang gantiinnya udah dateng." Selama UAS, aku memang meminta jadwal kerja sore, agar memiliki sedikit waktu untuk belajar dan istirahat. Dan kembali lagi pada perempuan di depanku ini, dia menatapku sesaat, seperti sedang menelaah. "Emang nggak ngerepotin?" tanyanya.



Aku menggeleng, kemudian masuk ke dalam gudang yang juga menjadi tempat istirahat karyawan. Setelah berganti pakaian, aku segera mengambil tas serta jaket yang kusimpan di sana. "Mul, gue balik, ya." pamitku, saat melewati meja kasir. Aku mengajak Icha dan dia mengikuti di belakang. Perempuan itu tampak terkejut saat aku membukakan pintu mobil untuknya. Dia menatapku ragu, sebelum akhirnya melangkah naik ke dalam mobil. "Ini mobil kamu?" tanya Icha, penuh keheranan. "Kenapa, aneh ya, pelayan Alfamart kayak gue bisa punya mobil?" Dia tertawa. Tawa yang lembut sekali. "Ini mobil bokap, bukan punya gue." Setelah percakapan itu, kami diam dengan canggung. Aku memerhatikan perempuan di sampingku ini, sepertinya usianya sama denganku. Dia manis, dan senyumnya tulus. Berbeda dengan Frisca yang cantik tapi wajahnya sedikit jutek. Apalagi jika sedang mengomel, membuatku tak tahan ingin terus menciumi bibir tipisnya yang cerewet.



"Bar, nanti berhenti di depan gang itu, ya," ucap Icha, menghentikan pikiran liarku. Ia menunjuk sebuah gang kecil di depan jalan. "Loh, kenapa nggak sampai depan rumah aja?" "Kostan aku gangnya kecil, nggak masuk mobil. Aku udah biasa, kok, pulang jam segini sendiri." Aku menghentikan mobil di tempat yang dia tunjukan tadi. "Barga, makasih banyak, ya. Maaf jadi ngerepotin kamu." "Santai aja." Icha membuka tuas pintu dan melangkah turun dari mobil. Dia sempat melayangkan senyum singkat sebelum berjalan memasuki gang. Aku memutar balik mobilku dan membawanya menuju rumah. Memikirkan Frisca tadi membuatku sedikit merindukannya. Tiba di rumah, aku memarkirkan mobil dan kembali mengunci pintu gerbang depan. Saat memasuki rumah, terlihat televisi di ruang tengah masih menyala dengan seseorang yang meringkuk di atas sofa di depannya. "Frisca," panggilku pelan, mencoba membangunkan.



Dia membuka matanya perlahan dan tersenyum saat melihatku. "Kamu kok baru pulang?" erangnya manja. "Aku pikir kamu mau pulang cepet, karena dari kampus tadi nggak pulang dulu ke rumah, tapi aku tungguin kamunya nggak pulang-pulang, sampai aku ketiduran." Aku menatapnya serius. Dan dia membalas tatapanku dengan penuh kelembutan. Tangannya terulur, membelai setiap inci bagian wajahku. Aku memerhatikan tangannya, sudah tidak ada gelang itu lagi. Membuat sudut mulutku terangkat tanpa bisa dicegah. "Aku tau kamu marah. Waktu pergi tadi, kamu nggak cium aku kayak biasanya. Kamu nggak angkat telepon dari aku dan LINE aku juga cuma kamu read." Dengan hati-hati, kudekap tubuhnya dan membawanya memasuki kamar dalam gendonganku. Aku merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan perlahan. Kehamilannya sudah memasuki bulan ketujuh, namun berat badannya tak banyak berubah seperti dulu saat ia belum hamil. Frisca terlalu kurus untuk ukuran ibu hamil.



"Aku mandi dulu, ya. Nggak enak badannya lengket," bisikku, tepat di depan wajahnya. "Jangan lama." Aku tersenyum dan menciumnya sekilas. Sesuai perintahnya, aku mandi secepat kilat. Saat keluar dari kamar mandi, aku melihatnya sudah kembali tertidur. Dia masih berpakaian seperti foto yang dia kirim tadi. Atasan tanpa lengan dan hanya menggunakan celana sangat pendek. Hal yang tidak aku mengerti dari kebiasaan ibu hamil, dia sama sekali tidak nyaman jika memakai celana panjang. Tipe istri penggoda iman. "Fris," bisikku, dengan mulut yang dekat dengan telinganya. Membuatnya melenguh dan sedikit terusik. "Hmm?" "Pakai baju yang bener, masuk angin kamu nanti." "Enakan kayak gini, Bar. Kalau pake celana panjang itu rasanya sesak."



Tapi kalau kamu kayak gini, malah celana aku yang sesak, Fris.



Tiba-tiba dia berbalik dan menatapku. "Tadi Bunda telpon," katanya.



"Terus?" "Ngasih tau, hari Minggu Ayah ulang tahun. Bunda mau bikin acara kumpul-kumpul keluarga di Lembang. Kamu aja yang dateng, ya? Bilang aja aku lagi ngerjain project iklan, jadi nggak bisa ikut kumpul." Aku mengerutkan kening mendengar ucapannya. "Kenapa nggak mau dateng?" Dia membuang muka. Menghindari tatapanku. Aku semakin mencondongkan tubuhku padanya, menarik dagunya dan memaksanya untuk kembali menatapku. "Kenapa nggak mau dateng?" ulangku. Dia berusaha melepaskan tanganku yang mengapit dagunya. "Frisca, lihat aku sini." "Aku malu, Bar," ucapnya, sambil menunduk. "Malu kenapa? Malu lihat aku, atau malu datang ke acara ulang tahun Ayah?" "Malu dateng ke acara ulang tahun Ayah." "Kenapa?" "Aku takut keluarga besar kamu nggak bisa terima aku."



Aku kembali menangkup wajahnya dan menatapnya dengan tegas. "Keluarga aku bukan orang-orang primitif yang punya pemikiran sempit. Dan kalaupun mereka nggak bisa menerima kamu, yang penting aku terima kamu apa adanya, kan?" Dia tersenyum malu-malu. Dan hal itu membuatku tak tahan untuk mencium bibirnya. Awalnya hanya ingin memberi kecupan singkat, namun saat ia melingkarkan lengannya pada leherku, aku tahu itu sebuah lampu hijau. Aku semakin merapatkan posisi kami dan menciumnya dalam. Lidah dan tanganku bermain. Membelai apa yang bisa kubelai, meremas semua yang bisa kuremas.



So now, I can see that you're wondering what happened. We were so perfect for each other. Tell me about it before I tell you what happen next. ****



Bab 5 BARGA Aku menggulingkan tubuhnya, hingga kini dia berada di atasku. Posisi seperti ini yang paling aku suka. Woman on top. Membuatku leluasa menikmati pemandangan di atas sana. Aku suka melihatnya mengigit bibir dan meringis. It's more than erotic. Beyond intimate. Dan itu nikmat, man! Apalagi saat mendengar desahannya. Aku mesum? Excatly. Asal kalian tahu, mens orgasm are ninety percent physical. Jadi bohong kalau ada laki-laki yang mengatakan jika dirinya tidak pernah orgasme seumur hidupnya. Aku masih menatapnya hingga tiba-tiba ia menutup kedua mataku. "Kenapa?" tanyaku. "Lagian kamu ngeliatin aku kayak gitu. Kan, malu!"



Aku tertawa ketika menjauhkan kedua tangannya dari mataku. Kembali kuputar tubuhnya hingga kini berada di bawahku. **** FRISCA Barga menciumku, sangat lembut. And it make me feel precious. Barga make me feel that way. Always. Di balik sifatnya yang sedikit mesum, namun ia selalu bisa memperlakukanku dengan baik. Membuatku merasa istimewa. Dan kadang aku berterima kasih karena takdir telah mengirimkan Barga dalam hidupku. Si anak ABG yang nyatanya banyak mengajariku tentang arti sebuah kehidupan. Barga berani mengorbankan masa mudanya sendiri untuk menikahiku. Untuk menjadikan anak yang aku kandung ini sebagai anaknya setelah ayah biologisnya pergi dan tak mungkin untuk kembali. Barga mengatakan jika ibunya dulu mengalami hal yang sama denganku. Ditinggalkan oleh suami pertamanya saat tengah



mengandung Arkha. Dan kini, Arkha meninggalkanku dalam keadaan hamil. ***



Empat hari sudah kami menghabiskan masa liburan musim panas di pantai St Kilda yang berada cukup dekat dengan pusat kota Melbourne. Dan tibalah pada acara puncaknya nanti malam, kami akan mengadakan pool party untuk pesta perayaan kelulusan sebelum wisuda. Karena pesta kali ini bertema pool party, automatically, dress code yang digunakan bertema swimsuit. Namun tidak termasuk aku. Kalian pasti tidak percaya alasannya. Tentu saja, alasannya karena Arkha tidak ingin tubuhku menjadi tontonan untuk dinikmati banyak lelaki, sehingga ia melarangku menggunakan bikini. Konyol, bukan?



Akhirnya, karena lelah berdebat dengannya, akupun mengalah dan menutup bikiniku dengan cover ups. "Fris, berenang yuk!" ajak Arkha, saat baru keluar dari kolam. Terlihat dari tubuhnya yang masih meneteskan titik



-titik air dan membuatnya mirip dengan model iklan body wash khusus pria, yang sering kulihat di televisi. Aku yang sejak tadi hanya tiduran di atas lounger di pinggiran kolam, hanya menggelengkan kepala untuk menolak ajakannya. "Ayo dong, Fris. Airnya seger, lho!" "Sejak kapan ada orang berenang pake cover ups kayak gini?" tanyaku ketus. Arkha tertawa dan duduk di sampingku. Kemudian dengan santainya dia melingkarkan lengannya di atas pundakku yang sedang bersandar. "Jadi ceritanya masih bete nih, karena nggak aku bolehin pakai bikini?" tanyanya, yang kutahu bermaksud ingin menggodaku. "Kamu liat tuh, mata cowok-cowok yang ngeliatin Bella dan cewek-cewek yang pakai bikini itu. Kamu bisa menilai sendiri kan, arti dari tatapan mereka? Dan kamu mau mereka ngeliatin badan kamu kayak gitu juga? tubuh kamu terlalu berharga untuk jadi tontonan gratis buat mereka, Frisca." Aku baru menyadari perkataan Arkha memang tidak mengada-ngada. Pandangan cowok-cowok itu memang tidak



lepas dari tubuh Bella, Silvy, Agnes dan beberapa cewek lainnya yang hanya menggunakan woman's two-pieces swimsuit. Dan aku langsung bergidik ngeri jika membayangkan tubuhkulah yang mereka tatap seperti itu. "Ya udah, aku balik ke kolam lagi, ya," pamitnya, sebelum berlalu dan kembali memasuki kolam. Aku mengamatinya saat sedang berbincang akrab dengan teman-teman kami yang lain. Kulihat, Arkha sangat menonjol dibandingkan bule-bule yang lain. Kulitnya yang paling gelap, namun justru membuatnya terlihat lebih maskulin. Dan bagiku, dia yang paling tampan di antara yang lainnya. Dan sejak aku memerhatikannya sedari tadi, beberapa gadis dengan terang-terangan menggodanya. Bahkan Bella, mahasiswi asal Queensland atau Quenslandia, yang menjadi negara terbesar kedua di Benua Australia setelah Australia Barat. Yang menurutku cewek tercantik di sini, terus menerus menggodanya dengan menempelkan payudara besarnya yang bersilikon itu pada lengan Arkha. Jangan dikira jika aku tidak peduli melihat tingkahnya Bella. Tentu saja aku terbakar, hanya saja aku ingin melihat



sampai sejauh mana usahanya untuk menarik perhatian Arkha. Dan aku hanya mengulum senyum saat menyadari Bella sudah tidak berada disamping Arkha. Sepertinya dia mulai menyerah karena melihat ketidakpedulian Arkha padanya. Ganti bikini kamu dengan gamis panjang jika ingin menarik perhatian Arkha. Teriakku dalam hati.



Namun, baru saja merasa kemenangan berpihak padaku, tiba-tiba kami dikejutkan dengan teriakan seseorang di tengah kolam. Dan saat kuteliti, ternyata pemilik suara itu adalah Bella. Aku melihatnya melambaikan tangan sambil berteriak minta tolong. Dan ketika baru menyadari jika Bella akan tenggelam, kulihat seseorang sudah lebih dulu masuk ke dalam kolam dan berenang menuju tempat Bella akan tenggelam. Lelaki itu berhasil menggapai Bella dan membantunya berenang ke tepian. Bella dengan eratnya merangkul pria yang menyelamatkannya itu. Tidak hanya sampai disitu, saat sudah tiba di tepi kolam, pria itu membantu memberikan pertolongan



pertama pada gadis itu yang ternyata sudah pingsan. Dia menekan tepat di tengah dadanya berulang ulang dan puncaknya... pria itu menempelkan bibirnya pada bibir Bella untuk memberikannya napas buatan. What the man fucking doing? Aku yang sudah menahan emosi sejak tadi, semakin mendidih menyaksikan pertunjukan yang baru saja mereka lakukan.



Aku segera berbalik pergi meninggalkan pesta dan berjalan cepat menuju kamarku. Aku akui jika saat ini aku mengacungkan dua jempol untuk kehebatan Bella. Dia berhasil menipu semua orang tapi tidak denganku. Aku tahu jika Bella hanya berpura-pura tenggelam dan pingsan. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk menarik perhatian Arkha, dan dia berhasil. Arkha dengan tampang innocentnya tampak begitu panik ketika menyelamatkan Bella tadi. Aku langsung membanting pintu kamar dan bergegas menuju kamar mandi untuk mendinginkan otakku dengan guyuran air shower. Sengaja kuabaikan panggilan telepon



dari kamar hotel dan beberapa panggilan dari handphoneku. Aku tak peduli jika diluar sana terjadi badai sekalipun, karena dalam dadaku saat ini sedang terjadi tsunami yang telah menghancurkan semua isi di dalamnya. Tok tok tok "Frisca, ini aku. Tolong buka pintunya, Fris." Teriak seseorang di luar sana. Sengaja tak kuhiraukan terikannya walaupun kutahu jika itu akan mengganggu penghuni kamar yang lain. Setelah selesai mengganti pakaian dengan piyama yang kubawa, aku segera naik ke atas tempat tidur dan membungkus tubuhku dengan selimut tebal. Aku tak peduli jika malam ini adalah malam terakhir kami berada di St Kilda. Yang kupedulikan saat ini adalah Arkha yang baru saja menempelkan bibirnya pada bibir wanita lain di hadapanku, di hadapan semua teman-teman kami. Dan tak diragukan lagi jika berita ini akan menjadi berita panas keesokan harinya.



It thinks is dying. That it's the ending. Thank's for you, Arkha.



Ketika aku mulai terlelap, kudengar suara pintu kamar yang terbuka. Tak lama kemudian, kurasakan ranjangku bergerak. Menandakan ada orang lain yang berada di ranjangku saat ini. Aku masih berpura-pura tidur saat orang itu ikut masuk ke dalam selimut dan melingkarkan lengannya pada pinggangku. "Frisca," panggilnya, dengan lembut di telingaku. "Aku tahu kamu belum tidur." Bisikan Arkha semakin menggelitik telingaku. "Kamu tahu aku pura-pura tidur, tapi kenapa kamu nggak tahu ada orang lain yang pura-pura tenggelam dan pingsan?" ucapku sarkastik. Tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. "Aku minta maaf. Tapi niat aku cuma mau nolong dia," jawabnya, sambil menciumi tengkuk dan leherku. Aku langsung melepaskan pelukannya dan segera beranjak dari ranjang untuk menjauhinya. "Stop give me a kiss, after you kissed the other girl. Jijik, tau nggak!" teriakku.



"Terus aku harus ngelakuin apa supaya kamu mau maafin aku? Ayolah, jangan childish kayak gini, Fris." Aku tersentak mendengar perkataannya tadi. "Childish? Kamu bilang aku childish? Kamu tahu, gimana susahnya aku buat nahan emosi setiap kali kamu ngomongin perempuan yang namanya Kiasah? Kamu tahu, gimana besarnya rasa cemburu aku setiap kali kamu nunjukin seberapa besar rasa cinta kamu untuk perempuan itu?" aku menggeleng lemah, "Kamu nggak akan pernah tau itu, Kha. Karena kamu nggak pernah peduli sama aku. Karena yang kamu pedulikan hanya Kiasah. "Tapi aku masih selalu berusaha untuk sabar, Kha. Karena aku yakin, suatu saat nanti kamu pasti akan sadar gimana besarnya cinta aku buat kamu. Dan sekarang kamu bilang aku childish, karena aku marah setelah lihat kami cium cewek bule itu? "Aku nggak tau kamu terlalu naif atau memang innocent atau memang kamu juga menikmati, sampai kamu nggak sadar kalau Bella itu cuma pura-pura tenggelam dan pingsan. Atau jangan-jangan kamu emang menikmati waktu bibir kamu nempel sama bibir dia?"



Aku melihat Arkha mengeram marah. "Harus berapa kali aku bilang sama kamu, aku nggak tertarik sedikit pun sama dia. Bahkan waktu bibir aku nempel sama bibir dia, sama sekali nggak ada pengaruhnya buat aku. Percaya sama aku, Fris" Aku terdiam mendengar ucapannya. Bagiku, dia masih seperti teka teki yang sulit ditebak. Kadang aku merasa putus asa saat melihatnya yang masih begitu sangat mengharapkan Kiasah. Namun, kadang aku juga merasa dia mencintaiku jika aku melihat rasa pedulinya yang besar untukku. Ataukah semua itu dia lakukan hanya karena rasa kasihan? Entahlah.... Beberapa detik kemudian, saat aku sadar, Arkha sudah mendorongku hingga terlentang di atas tempat tidur. Membuatku sedikit terperanjat karena terkejut. Setelahnya, dia naik ke atasku dan mencumbuku dengan perlahan dan penuh kelembutan. Seolah membiusku, hingga membuatku tak sadar kapan dan bagaimana caranya Arkha meloloskan semua pakaian yang melekat pada tubuhku.



Seakan baru menyadari semuanya, aku menatap Arkha tak percaya. Teganya dia melakukan hal ini padaku tanpa persetujuan dariku. "Sorry, can't control myself," ucapnya. "Aku nggak sangka kalau ternyata kamu masih virgin." lanjutnya lagi. "Should I tell you that I'm a virgin?" jawabku sinis. "Dan kamu nggak pakai kondom?" Dia memelukku dan berusaha menenangkanku. "Sorry, Fris."



Aku mendorongnya menjauh dan memaksanya lepas dariku. "Kalau udah selesai, kamu bisa balik ke kamar kamu." Setelah mengucapkan kalimat itu, aku segera berlari meninggalkannya dan lebih memilih untuk bersembunyi sementara di dalam kamar mandi hingga kudengar suara pintu yang terbuka dan tertutup kembali. *** "Aku mandi dulu, ya." ucapku, saat Barga sedang memakai kembali celananya.



"Butuh bantuan?" "Nggak usah. Aku bisa sendiri." "Ya udah, aku ngerokok dulu di luar, ya." Ia mencium pelipisku sebelum keluar dari kamar. Telepon genggamnya berbunyi. Dan aku melihat pop up dari pesan Line yang masuk untuknya. Mul : yang abis nganterin cewek, nggak ada kabarnya.



Lo bener anterin dia pulang kan, Bar? Awas maneh mawa kabur budak batur. Bejakeun ka si frisca ku aing.



Aku mengerutkan kening. Tinggal selama lima bulan di Bandung, membuatku mengerti sedikitnya bahasa Sunda. Jangan lagi, kumohon. Jangan lagi ada orang ketiga di antara hubunganku saat ini.... -tbc-



SIX FRISCA "Fris, bangun. Solat subuh dulu, yuk?" Aku mengeliat ketika mendengar bisikan Barga di telingaku. Kurentangkan kedua tangan untuk menghilangkan rasa pegal akibat aktivitas liar kami semalam. "Ayo, Fris." "Kamu duluan aja deh, Bar. Aku masih ngantuk," ucapku, lalu kembali memejamkan mata dan berpura-pura kembali tidur. "Ayo dong, Fris. Selama lima bulan kita nikah, nggak pernah lho, sekalipun kita solat berjamaah."



Aku tetap bergeming. Tak menghiraukan ajakannya sama sekali. Hingga akhirnya ia menyerah dan melangkah menjauh memasuki kamar mandi. Tinggal cukup lama di luar negeri, membuatku terbawa arus budaya luar dan menjadi asing dengan hal apapun yang menyangkut soal ibadah. Dan lagi, aku berpikir untuk apa melakukan semua itu? Apa untungnya buatku? Karena buktinya, saat dulu aku masih rajin melakukannya, kebahagiaan tetap pergi menjauh dariku. Apa itu bahagia dan seperti apa wujudnya? Sepanjang 23 tahun hidupku, tak pernah sekalipun aku mengalami satu kata itu. Kadang aku berpikir, apa memang aku tidak ditakdirkan untuk bahagia? Aku memutar posisiku dan mengamati Barga yang sedang khusyuk dalam salatnya. Ya, Barga benar. Selama lima bulan kami menikah, setiap kali Barga salat di rumah, ia tak pernah lupa untuk mengajakku. Namun, seperti halnya tadi, aku selalu mencari alasan untuk menolaknya.



Setelah selesai, Barga menengok dan menemukanku yang sedang memerhatikannya. Ia menghampiriku, kembali naik ke atas tempat tidur dan memelukku dari belakang. "Besok, aku kasih hukuman kalau kamu masih nolak aku ajak salat." ucapnya sambil berbisik. Napasnya membelai telingaku dan membuatku bergidik kegelian. "Kamu kayak Christian Grey, suka banget ngasih hukuman." jawabku, dengan nada manja yang menggoda. Barga mengedip, sambil tertawa kecil. "Aku serius, Frisca." "Tapi, aku mau salat dengan keinginan aku sendiri. Bukan karena paksaan dari kamu." "Nggak papa," sela Barga, tak mau dibantah. "Lebih baik kamu aku paksa dulu, sampai akhirnya jadi kebiasaan. Lama-lama kamu pasti ngelakuin itu dengan kesadaran kamu sendiri. Dari pada kamu cuma nunggu. Ya, kapan kamu siapnya, Fris?" Aku menarik tangannya dan semakin mengeratkan pelukannya pada tubuhku. "Bobok lagi yuk, Bar!" "Tuh kan ngeles terus."



Aku terkikik geli saat ia menggigiti telingaku, menciumi sepanjang leher sampai ke bahu. "Kamu pernah dengar Filosofi Plato?" tanya Barga lagi, setelah menghentikan serangannya. "Apa itu?" "Bahwa sebuah realitas terbagi menjadi dua, yang pertama rasio, dan yang kedua pancaindra. Ada realitas yang dihadirkan melalui indera-indera kita, seperti pengalaman hidup. Tapi dibalik itu, ada dunia lain yang tidak dapat kita jangkau selain dengan nalar rasio yang kadang kita sendiri juga kurang paham dengan maksudnya. Dan semua itu mengarah pada satu hal, yaitu Tuhan kita yang Maha Gaib." "Kamu tau nggak, denger kamu ngomong gitu, kayak aku lagi dipeluk sama Pak Dosen." Barga tertawa keras mendengarnya. Ia semakin mengeratkan pelukannya dan mengusap-usap perut buncitku dari belakang. "Oh iya, Fris. Aku lupa belum beli kado buat Ayah." Sial. Kenapa dia harus ingat, sih, dengan acara itu?! Aku sengaja tidak pernah mengungkit acara ulang tahun



ayah mertuaku, berharap Barga juga akan lupa. Namun ternyata justru malah dia yang mengingatkan aku. "Aku aja yang cariin hadiah buat Ayah. Tapi aku nggak ikut ke acaranya, ya?" Barga memutar tubuhku dan menatapku dengan tegas. "Kenapa lagi, sih? Masih mikirin malu? Masih takut keluarga aku nggak akan memperlakukan kamu dengan baik?" Aku menunduk tanpa menjawab pertanyaannya. "Frisca!" "Aku nggak mau dateng, Bar." "Iya, kenapa? Kasih aku alasan yang jelas, kenapa kamu nggak mau datang ke acara Ayah besok?" Aku membasahi bibirku sebelum bicara, "Ada orang yang nggak mau aku temuin di sana." Dan kalimat itupun meluncur mulus dari mulutku. Kening Barga berkerut. Matanya menatapku heran. Sedetik kemudian ia tertawa. Bukan tawa yang menggambarkan kegembiraan. Namun tawa yang seakan mengataiku bodoh. Hatiku kebas mendengar nada tawanya.



"Konyol. Alesan kamu itu konyol. Kenapa, sih? Kamu cemburu sama Kak Kia? Dan ini karena kamu belum bisa lupain Bang Arkha? Why you still can't get over him? Can't let him go. Dan sekarang, kamu malah benci sama Kak Kia karena alasan yang nggak jelas. Bener-bener konyol." Dan kini, giliran aku yang tertawa miris. "Kamu bisa ngomong kayak gitu karena nggak pernah ngerasain ada di posisi aku." Astaga... bahkan suaraku sendiri seakan mengkhianati. Aku berdeham. Mencoba meredam getaran dalam nada bicaraku. "Aku iri sama Kiasah karena hidupnya sempurna dan aku nggak. Mungkin setelah dengar ini, kamu pasti ngetawain aku. Sama kayak temen-temen aku yang lain. Kamu nggak pernah ngerasain gimana rasanya jadi aku. Kamu nggak pernah merasakan gimana rasanya jadi anak koruptor, mulai jadi bahan bully-an, sampai sahabat-sahabat aku yang menjauh karena malu temenan sama anaknya koruptor. Sedangkan Kiasah, dia punya semua yang aku mau. Dia punya keluarga yang utuh dan bahagia. Hidup



tenang dengan suami dan anaknya. Dia punya kamu, sebagai adik yang sayang sama dia. Dan dia punya cinta Arkha... yang nggak pernah bisa aku miliki. Kiasah nggak perlu susah payah untuk dapat perhatian banyak orang. Lain halnya sama aku. Bahkan untuk dapat perhatian dari Arkha aja aku harus ngemis dulu, Bar. Dan itu yang bikin aku cemburu sama dia. Karena aku pikir, kenapa dia bisa dapat semua kebahagiaan itu dan aku nggak?" *** BARGA "Bar, lu kenapa, sih? Dari tadi nggak konsen banget kerjanya." Tegur seniorku saat aku kembali menjatuhkan piring yang sedang kucuci. Hari Sabtu, saatnya kembali menjadi cungpret. Kacung kampret tukang cuci piring. Beruntung piring tadi jatuh ke dalam bak pencucian sehingga tidak sampai pecah. Seharian ini, fokusku hanya tertuju pada perempuan di



sana. Memikirkan ucapannya tadi pagi. Membuat konsentrasiku pecah dan menyebabkan kekacauan. "Udah jam satu. Lo mau break dulu?" "Ya udah, gue istirahat dulu, deh!" Aku membersihkan tanganku dan mengeringkannya sebelum keluar dari area kitchen. Saat memasuki kafetaria, mataku langsung tertuju pada seseorang yang sedang duduk di deretan meja makan yang tersedia di sana. Tampak serius menikmati makanannya seorang diri. Dia menaikan wajah dan pandangan matanya bertemu denganku. Tampak sama terkejutnya denganku. Namun sedetik kemudian, dia terlihat antusias saat melambaikan tangannya padaku. Aku berjalan menghampirinya. "Icha?" sapaku. "Barga, kamu kerja di sini juga? Duduk sini, Bar." Icha menggeser kursi di sebelahnya dan mengajak aku bergabung. "Lo-gue aja sih ngomongnya. Nggak usah kaku gitu," ucapku, saat menarik kursi dan duduk di atasnya.



"Lo di bagian apa, Bar? Perasaan gue baru liat muka lo?" "Gue cuma kasualan. Kerja Sabtu Minggu aja. Lo?" lanjutku lagi "Gue di Front Desk. Concierge." Aku memerhatikan Icha dari atas sampai bawah. Terlihat anggun dengan seragam kerjanya. Setelan blazer dan rok di atas lutut berwarna hitam, dengan bordiran emas sebagai penghiasnya. Rambutnya disanggul rapi, dan dicepol menggunakan ikatan seperti jaring laba-laba berwarna hitam. Aku membaca nama yang tertulis pada name tag yang terpasang di dada sebelah kirinya. Anisa P "Nama asli lo Anisa?" Dia ikut memerhatikan name tag-nya sebelum mengangguk dan tersenyum jenaka. "Lo sama siapa, Bar?" "Sendiri, lo juga sendiri?" "Temen-temen gue udah makan duluan. Tadi gue habis handle tamu dari Jepang. Nggak ada yang bisa bahasa Jepang selain gue." Aku menatapnya penuh minat.



"Lo bisa bahasa Jepang?" "Bisa ah. Dikit. Hajimemashite. Watashi wa icha desu.



Douzoyoroshiku."



Dan aku tertawa mendengarnya. Tawa lepas yang baru kudapat sejak seharian ini. "Lo temenan sama Sadako ya, makanya bisa bahasa Jepang?" "Sialan. Lo nggak makan, Bar?" "Untung lo ingetin. Bentar ya, gue ambil makanan dulu." Aku mengamati menu makanan hari ini. Hidangan gratis untuk para karyawan yang dimasak langsung oleh chef. Segera kuambil piring dan memasukan nasi serta beberapa jenis lauk pauk secukupnya di atas piringku. Setelah selesai, aku kembali menghampiri Icha yang masih belum menghabiskan makanannya. "Gue baru nyadar, anak kitchen yang diomongin temen-temen gue itu elo ternyata," ucapanya tiba-tiba, saat aku kembali duduk di depannya. "Ngomongin gimana maksudnya?"



"Jadi, anak-anak Front Desk pada heboh gitu ngomongin anak kitchen yang katanya ganteng." Oh? "Jadi gue ganteng ya?" "Menurut lo!" Aku kembali tertawa mendengarnya. Menyenangkan bisa terus menerus tertawa. Sedikitnya bisa melupakan masalahku yang membuat moodku berantakan hari ini. "Tapi gue heran, Bar. Ngapain lo kerja di Alfamart dan masih jadi daily worker di hotel? Sedangkan yang gue perhatiin, tampang lo bukan tampang rakyat jelata. Lo juga punya mobil. Walaupun lo bilang kalau itu mobil bokap lo. Tapi itu malah nunjukin kalau ortu lo memang orang berada." "Yang kaya kan bokap gue, bukan gue. Kalau gue ya... kayak gini. Jadi kacung. Siang gue kuliah, malemnya kerja di Alfamart. Hari Sabtu Minggu, dari pagi sampe sore casual di hotel, malemnya kerja lagi di Alfa. Dan semuanya gue lakuin buat istri dan calon anak gue." Icha tampak terkejut mendengar ucapanku. "Jadi lo udah nikah?"



"Udahlah. Makanya gue kerja keras kayak gini." "Lo itu bener-bener unpredictable. Penuh dengan kejutan. Dan gue salut sama anak muda kayak lo." Aku menaikan wajah dan menemukan Icha yang sedang menatapku dengan saksama. "Buat gue, kunci bahagia itu istri gue. Kunci berkah itu istri gue. Kunci ibadah pun, ada pada istri gue. Karena orang tua dan anak udah dikasih dari sananya sama Allah. Beda sama istri. Gue sendiri yang memutuskan untuk memilih dia sebagai pendamping hidup gue. Apapun alasan yang bikin gue nikahin dia, tapi saat kata ijab itu terkabul, itu artinya mulai saat itu dia jadi tanggung jawab gue sepenuhnya." Setelahnya, aku kembali menghabiskan makan siangku. Begitupun dengan Icha, hingga piring kami berdua bersih tanpa sisa. "Tapi, menurut gue sayang banget kalau lo cuma jadi steward, Bar. Area Front Office juga masih kurang orang. Kalau jadi Bell Man, lo mau nggak? Soalnya Bell Man juga masih butuh orang lagi kalau nggak salah. Tampang ganteng lo sayang kalau cuma dipakai buat nyuci piring di



kitchen. Lagian, kalau lo jadi Bell Man, lo bisa dapet tips.



Lumayan kan buat nambah-nambah beli beras." "Anjir, segitu melaratnya ya gue. Sampe buat beli beras aja ngandelin uang tips. Emang gue bisa masuk Front Office? Gue kan nggak ada background Perhotelan." "Kalem aja. Nanti gue omongin sama Bu Vera, manager gue. Dia asik kok orangnya. Apalagi kalau dia lihat berondong kece kayak lo. Pasti langsung diterima." Lagi-lagi, Icha kembali membuatku tertawa. Menghabiskan waktu break satu jam dengan Icha membuat moodku menjadi lebih baik. Dan sisa waktu kerjaku hari itu, kuselesaikan dengan lebih baik. Pukul lima, aku berjalan menuju loker karyawan pria untuk berganti pakaian setelah jam kerjaku berakhir. Saat mengantri untuk check body dan pemeriksaan barang bawaan yang menjadi salah satu procedure bagi para karyawan sebelum meninggalkan area kerja, kembali aku bertemu dengan Icha. "Pulang naik apa, Cha?" tanyaku, saat kami berjalan bersisian dengannya menuju pintu keluar karyawan. "Angkot."



"Bareng gue aja. Rumah kita searah, kan?" "Nggak ngerepotin?" "Halah! Masih kaku aja lo." Icha meninju bahuku pelan. "Gue baru tau, Cha, nyari taksi di Bandung sama kayak nyari jodoh." Icha menengok dan menatapku penuh tanya, "Sama gimana emangnya?" "Susah susah gampang." "Njer, nyindir gue kan lo?" Aku kembali tertawa, entah untuk keberapa kalinya hari ini. Icha kembali meninju lenganku, tepat saat ada seseorang yang menyerukan namaku dari belakang. Aku dan Icha menengok bersamaan. Dan di sana, ada Frisca yang sedang berjalan menghampiri kami. "Lho, Fris. Kok bisa ada disini?" tanyaku. Cukup terkejut menemukan keberadaannya di tempat kerjaku. Frisca menaikkan tangannya dan memperlihatkan paper bag dari sebuah brand jam tangan mewah. "Habis jalan-jalan di TSM sambil beli hadiah buat Ayah," ucapnya. (Baca: TSM = Trans Studio Mall)



"Kenalin, Fris. Temenku, namanya Icha. Cha, ini istri gue yang gue ceritain tadi." "Hai. Icha." Icha mengulurkan tangannya untuk mengajak bersalaman dengan senyum tulus yang menjadi khasnya. Berbeda dengan Frisca, tampak mengamati Icha beberapa saat sebelum menerima uluran tangannya. "Frisca," balasnya, dengan senyum singkat yang ia paksakan. "Kamu mau langsung pulang, atau masih mau jalan lagi? Aku temenin kalau kamu mau jalan-jalan lagi di TSM." Frisca menggeleng lemah. "Langsung pulang aja, Bar. Kaki aku pegel." Aku menggapai tangannya dan menggenggamnya erat. "Ya udah, kita pulang, yuk." Kembali menengok pada Icha, "ayo, Cha," ajakku. "Bar, kayaknya gue naik angkot aja, deh." "Lah, kok gitu, sih? Rumah kita searah, ngapain lo naik angkot?" "Gue lupa, mau mampir ke rumah temen dulu."



Aku mengerutkan kening. Yakin jika Icha hanya mengarang alasan. "Ya udah kalau gitu. Hati-hati ya, Cha.



See ya."



Kulihat, Icha dan Frisca saling melempar senyum singkat, sebelum Icha berbalik dan berjalan menuju halte. Sementara aku, berjalan berlainan arah menuju basemant tempat mobilku terparkir dengan tangan Frisca dalam genggamanku. -tbc-



SEVEN FRISCA Sepanjang perjalanan, aku dan Barga saling diam dengan pikiran kami masing-masing. Barga serius dengan kemudi di depannya dan begitu pun aku yang hanya diam sambil mengamati jalanan yang kami lewati. Barga selalu mengemudikan mobilnya dengan hati-hati, dan tindakannya



itu selalu membuatku merasa aman setiap kali bepergian dengannya. Aku membawa telapak tangannya yang berada di atas tuas persneling. Menggenggamnya dan menempatkan di atas pangkuanku. "Aku minta maaf soal tadi pagi," ucapku, memecah keheningan diantara kami berdua. Barga menengok sekilas sebelum kembali memerhatikan jalanan di depannya. "Aku juga salah. Harusnya aku jangan paksa kamu kalau kamu memang nggak mau datang." "Aku mau, kok! Aku mau datang ke acara ulang tahun Ayah." Barga kembali menengok dan melayangkan senyum terbaiknya. "Apa yang bikin kamu berubah pikiran?" "Aku nggak mau kita berantem lagi kayak tadi pagi. Kamu tiba-tiba ninggalin aku. Aku nggak suka liat muka kamu kalau lagi marah." Barga menarik tanganku dan mengecupnya dengan lembut. "Maaf, harusnya aku nggak usah emosi. Aku cuma nggak mau pikiran kamu dipenuhi dengan hal-hal negatif yang kamu pikirkan tentang orang lain, tentang diri kamu



sendiri, tentang nasib baik yang kamu pikir nggak pernah berpihak sama kamu. Kamu harus inget, masih banyak orang-orang di luar sana yang nasibnya nggak seberuntung kamu, dan aku nggak mau kamu sia siain hidup kamu sendiri kayak gini." Aku melepas seatbelt dan menggeser tubuhku untuk mendekat padanya. Memeluk tangan kirinya dan menempatkan kepalaku di atas bahunya. Kini aku percaya, jika kami dipertemukan untuk sebuah alasan. Entah itu untuk belajar atau saling mengajarkan. Entah hanya untuk sesaat atau selamanya. Entah untuk menjadi bagian terpenting atau hanya sekedarnya. Namun, mulai saat ini, akan kulakukan yang terbaik dari yang bisa kulakukan. Karena jika suatu saat nanti pernikahan ini berakhir bukan dengan cara yang aku inginkan, aku tidak akan merasa menyesal. Karena aku tahu, takdirlah yang telah mempertemukan kami. Menggiring kami dalam pernikahan yang awalnya karena sebuah keterpaksaan. "Nanti malem kamu kerja?"



"Iya. Nanti malem aku kerja dulu. Besok baru ngambil libur." "Kerja jam berapa?" "Kayak biasa aja, jam sembilan." Aku melirik jam digital yang terpasang di dasboard mobil, jam lima lewat tiga puluh menit. "Kalau kita nggak langsung pulang, kamu nggak papa?" "Mau kemana dulu emangnya?" "Aku lagi pengin makan pisang keju Madtari." Barga terkekeh pelan. "Tumben kamu ngidam?" "Nggak ngidam... tiba-tiba pengin makan itu aja." Dia kembali terkekeh dan mengacak rambutku dengan lembut. Aku lupa jika ini hari Sabtu. Cafe Madtari penuh dengan anak-anak muda yang menghabiskan malam Minggu mereka di tempat ini, hingga sulit sekali mendapat tempat parkir. "Kamu masuk duluan aja. Cari tempat kosong sambil pesan dulu. Penuh gini, nunggu pesanannya aja lama pasti." "Kamu mau aku pesanin apa?"



"Samain aja." Aku keluar dari mobil dan melangkah memasuki cafe yang juga menjadi tempat nongkrong anak muda mudi di Bandung. Aku memesan di depan agar lebih cepat dilayani dan segera menempati meja kosong di salah satu sudut cafe. Tak lama Barga datang dan pandangan matanya berkeliling untuk mencariku. "Itu si Barga, lain?" Tersengar suara seorang perempuan di belakangku. "Mana?" ujar suara perempuan yang lain. "Itu, nu karek datang?" (itu, yang baru datang) "Naha bisa kasep kitu nya?" (kenapa bisa ganteng gitu ya?) "Ges kawin, nyaho!" (udah kawin, tau!) "Sabodo teuing. Ada pemandangan menarik di depan mah, nikmatin aja." Aku berdeham, kemudian melambaikan tangan padanya. "Barga!" panggilku, dengan suara sedikit keras agar gadis-gadis di belakang itu mendengarnya juga. "Ih, goblok maneh! Eta pamajikanan nyaho, nu di hareup." (ih, goblok lu. Itu istrinya tau, yang di depan."



Barga menghampiriku, namun nampak memerhatikan gadis-gadis di belakang itu. "Hey, pada nongkrong di sini juga?" sapanya pada mereka, namun aku tak mendengar jawaban mereka. Setelahnya, Barga duduk di sampingku, dengan posisi membelangkangi para gadis-gadis itu. "Siapa?" tanyaku. "Anak-anak Fisip. Tau sekilas doang, sih. Tapi pada nggak tau namanya." Oh? Sepopuler itukah Barga di kampusnya? Hingga mereka bisa tahu namanya, bahkan tahu jika Barga sudah menikah, tapi Barga sendiri tidak tahu nama mereka. "Terus... yang tadi itu siapa?" "Yang tadi, yang mana?" "Temen kamu yang tadi itu. Kayaknya kamu akrab banget sama dia." Barga nampak berpikir sebentar. "Oh... maksud kamu Icha? Dia temen kerja. Kita ketemunya random gitu. Dia dateng ke Alfa mau nyari obat asma, tapi ternyata obatnya abis. Terus aku bantu beliin



obatnya di apotik. Baru tadi ketemu lagi, dan baru tau kalau ternyata dia kerja di Trans Hotel juga." Aku kembali menyandarkan kepala di atas pundaknya. "Kamu baik banget, sih sama orang yang baru ketemu." "Kenapa? Cemburu, ya?" Aku tak menjawab. Hanya memeluk satu tangannya dengan erat. Meyakinkan diri sendiri jika lelaki ini hanya milikku. Dan aku tersenyum, saat merasakan Barga mengecup kepalaku. "Cewek lain tuh kalau cemburu marah marah. Ini kamu malah jadi kolokan gini." "Kamu udah jadi punyanya aku ini. Ngapain marah?" Barga terkekeh pelan. Dan aku melepas pelukanku pada tangannya saat pesanan kami datang. *** BARGA Aku mengamati Frisca yang sedang makan dengan lahap. Tak tahan ingin mengacak rambutnya dan



membuatnya memberenggut kesal karena membuat rambutnya berantakan. "Tadi beli hadiah apa buat Ayah?" tanyaku, kemudian. "Jam tangan." "Itu kan jam tangan mahal, Fris." "Lumayan." "Sayang banget, sih beli hadiah mahal-mahal kayak gitu. Kita beliin hadiah biasa-biasa aja Ayah tetep seneng kok." Frisca berdecak dan menatapku sinis. "Kamu tuh pelit banget, sih buat ayahnya sendiri! Harga jam itu nggak sepadan sama biaya selama orang tua kamu besarin kamu dari kecil. Setiap barang yang mereka beli untuk kamu, pasti mereka pilih yang terbaik. Dan sekarang, kamu itungitungan soal hadiah untuk Ayah kamu sendiri. Materi itu masih bisa dicari, Bar. Tapi kebahagiaan orang tua itu yang nggak mudah kita dapat." Aku tersenyum lebar mendengarnya. "Jadi... kamu udah yakin besok mau dateng?" Frisca menatapku dan mengangguk. "Aku lakuin itu buat kamu. Biar kamu seneng. Mungkin cuma hal itu yang



bisa aku lakuin sebagai balasan untuk semua yang udah kamu kasih buat aku." Aku menatapnya penut minat. Memikirikan hal apa yang membuatnya jadi berubah seperti ini. "Apaan, sih, Bar? Aku paling risih kalau udah diliatin kayak gitu!" "Aku heran aja, kenapa tiba-tiba kamu berubah pikiran?" Frisca terdiam sesaat. Menghindari tatapanku dan memilih untuk mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan, lalu kembali meminumnya. "Aku cuma mikir, selama ini kamu udah ngelakuin banyak hal untuk aku. Tapi aku sedikitpun nggak pernah ngelakuin apa-apa buat kamu. Dan kalau hal ini bisa bikin kamu seneng... aku mau ngelakuin hal itu buat kamu." Mendadak aku ingin membawa Frisca pulang. Namun, melihat bagaimana dia menikmati makanannya, membuatku mengalah dan memilih untuk tetap menemaninya di sini.



Tahan, Boy. Jangan dulu minta jatah sekarang. ***



Pukul sembilan pagi, kami sudah berada dalam perjalanan menuju Lembang. Sebuah villa milik keluarga yang berada di daerah Maribaya, yang dipilih untuk menjadi tempat merayakan ulang tahun Ayah kali ini. Udara sejuk Lembang menyambut kami saat baru tiba. Terlihat keberadaan mobil-mobil lain yang sudah berjejer rapi di dalam pekarangan. Pintu utama terbuka, disusul dengan munculnya Bunda di ambang pintu dan melambaikan tangannya pada kami dengan senyum cerah yang menghiasi wajahnya. Aku menggandeng Frisca dan membawanya menghampiri Bunda. "Ya ampun... Adek. Kangen Bunda, Dek." Bunda memelukku dengan erat. Aku mendengus. Paling sebal kalau Bunda sudah memanggilku Adek. "Anaknya udah bisa bikin adek, masih aja dipanggil adek!" Bunda menjewer kupingku. "Udah mau jadi papa, masih aja ngomongnya ngelantur!" "Ya, lagian Bunda, masih aja manggil aku adek."



Bunda tak menanggapi. Memilih menghampiri Frisca dan memeluknya dengan hati-hati. Aku meninggalkan mereka dan berjalan memasuki villa. Terlihat yang lainnya sudah berkumpul di ruang tengah. Personil lengkap. Hanya satu orang yang tak ikut hadir. Bang Arkha.



Andai dulu lo nggak bertindak bodoh, Bang. Mungkin saat ini lo masih bisa ikut ngumpul disini. Ikut ngerayain ulang tahun Ayah. Jadi orang paling bahagia karena sebentar lagi lo jadi seorang papa. Gue kangen lo, brother!



"Ngapain kamu ngelamun di situ?" tanya Ayah, tibatiba sudah berada di depanku. Aku maju selangkah dan memeluknya. Dia, Marcello Prawirayasa. Ayahku. Seburuk apapun dia di mata banyak orang, namun dia tetap Ayah yang baik untukku. Ayah yang mendidikku dengan keras, dan membentukku menjadi seperti sekarang ini. "Sehat, Yah?" "Sehat. Gimana ujiannya kemarin? Nggak terganggu karena kerjaan, kan?"



"Jangan ngeremehin, Yah. Anaknya Marcello ini. Kalau cuma nge-handle urusan kuliah sama kerjaan mah cetek." "Jangan catak-cetek-catak-cetek tapi akhirnya malah harus ngulang semester depan," ucap Ayah, sambil berjalan kembali menuju ruang tengah dan duduk di atas sofa. Aku mengikuti dan duduk di sebelahnya. "Nggak lah, Yah. Nilai kuis aku juga bagus-bagus. Nggak ada yang dapet C." Tak lama, Bunda masuk yang diikuti Frisca di belakangnya. Frisca menyalami Ayah, kemudian menyalami keluarga yang lain, sebelum akhirya duduk di sebelahku. *** FRISCA Barga benar. Keluarganya menerimaku dengan baik. Mereka semua terbuka dengan keberadaanku dan anak yang aku kandung. Melihat bagaimana keakraban keluarga itu, membuatku merasa iri. Aku tak pernah seakrab itu dengan keluargaku sendiri.



Seseorang menduduki tempat kosong di sebelahku saat aku tengah memerhatikan Barga dan Ayah Ello yang sedang mengipasi jagung bakar di halaman belakang. Aku menengok, dan menemukan Kiasah yang sedang tersenyum menatapku. "Hai!" sapanya. Aku hanya balas tersenyum dan mengangguk. "Udah berapa bulan, Fris?" tanya Kiasah, memulai percakapan. "Tujuh bulan. Jalan delapan." "Bentar lagi, ya? Tapi kamu masih kerja sekarang?" "Masih. Aku nggak mau membebani Barga kalau aku nggak kerja. Sekarang aja, dia udah kerja pontang panting sana sini untuk menuhin kebutuhan kami." Kiasah tertawa pelan. "Awalnya aku ragu, Barga bisa serius sama keputusannya. Kaget banget waktu denger Barga mau ambil alih tanggung jawabnya Arkha. Tapi sekarang, Barga bisa buktiin sama kita semua, bahwa dia memang nggak main-main dengan keputusannya." Aku hanya menanggapinya dengan senyuman. "Masih suka inget sama Arkha?"



Kepalaku menoleh seketika saat mendengar dia menyebutkan nama Arkha. Seperti ada rasa tak nyaman saat mendengarnya. "Harus aku jawab, ya?" tanyaku, tanpa nada ramah sedikitpun. "Kita menyayangi orang yang sama, Frisca. Dan aku harap, hal itu bisa membuat kita menjadi teman. Apalagi sekarang kita udah jadi saudara. Jangan anggap kami ini orang asing. Karena saat ini, kamu dan anak kamu, sudah menjadi bagian dari keluarga kami." Aku terdiam. Tak tahu harus menanggapi apa dari ucapannya tadi. "Kalau boleh jujur, aku juga sampai saat ini masih belum bisa lupain Arkha. Sesekali aku masih suka mimipiin dia. Dan Arkha... masih punya tempat istimewa di dalam hati aku. Walaupun aku udah nikah sama Mas Bilal dan aku juga mencintai suamiku, tapi cinta untuk Arkha nggak pernah hilang. Hanya sedikit bergeser, dan berbagi tempat dengan hati yang lain. Mungkin itu juga yang harus kamu lakukan. Kamu nggak perlu melupakan Arkha untuk membuka hati kamu ketika datangnya cinta yang lain."



Aku kembali terdiam. Mencoba menyelami setiap ucapan yang Kia sampaikan tadi. Memories is a great servant, but a really bad master. Itu kalimat yang pernah aku baca dari novelnya Ika Natassa. Dan Christian Simamora pun bicara di dalam novelnya. Bahwa, 'Terkadang, yang tak bisa kamu lupakan adalah seseorang yang tak pernah bisa kamu miliki'. Dan bergelung dalam kenangan tentang Arkha, tentu bukanlah pilihanku. Jika pikiran dan hati bisa sinkron, sudah pasti aku lebih memilih untuk melupakan semua kenangan tentang Arkha dan memilih untuk menggantinya dengan tokoh yang baru.



And I get the point. Just making the new memories to erase all these past memories. But, can I? -tbc-



EIGHT FRISCA "Ki..." Aku dan Kiasah menengok bersamaan. Di ambang pintu muncul seorang lelaki yang kutahu adalah suami



Kiasah, sedang berjalan menghampiri kami dengan seorang anak perempuan cantik dalam gendongannya. "Eh, anak cantik udah bangun." Kia berdiri dan menghampiri mereka. "Udah bangun dari tadi. Anteng main sama Mas di kamar. Tapi tadi udah mulai ngerengek, kayaknya udah haus," jawab suaminya. Kiasah mengambil alih anaknya dari gendongan suaminya, Bilal Arkana. Seorang penulis yang mengangkat kisah Arkha untuk cerita dalam novel terbarunya. Novel Namaku Langit, yang kini menjadi favoritku, dan entah sudah berapa kali kubaca. Kulihat lelaki itu menatapku dan melayangkan senyum ramahnya. Aku pun membalas senyumannya dengan tak kalah ramah. "Frisca, aku masuk dulu ya." Pamit Kiasah. Aku mengangguk dan tersenyum. "Makasi ya, Ki." Kiasah menatapku cukup lama, seperti ingin menyampaikan sesuatu namun ia urungkan. Ia pun hanya balas mengangguk dan tersenyum sebelum mengikuti suaminya masuk.



Tak lama setelah kepergian Kiasah, Barga menghampiriku. Si anak mesum itu sempat-sempatnya mencuri ciuman di bibirku. "Barga! Ish, kamu tuh ya ... gimana kalau Ayah liat?" Barga terkekeh jahil. "Ayah juga sama mesumnya kali sama aku," ucapnya dengan santai. "Ngobrol apa aja sama Kak Kia tadi?" tanya Barga lagi, setelah duduk di sampingku. "Urusan cewek. Mau tau aja, sih!" Barga tertawa. "Mau jagung bakar nggak?" "Nggak, ah. Udah kenyang, tadi makan nasi liwetnya banyak banget." Barga merebahkan tubuhnya dan menempatkan kepalanya di atas pangkuanku. "Besok jadi cek kandungan, kan? Udah bikin appoitment sama dokternya?" tanyanya lagi. "Udah. Jam delapan pagi kita harus udah ada di rumah sakit. Jam sembilannya jadwal senam hamil. Besok senam hamilnya harus ditemenin sama suami katanya." "Oke. Aku tidur dulu bentar ya, Fris. Ngantuk banget, dari pulang kerja tadi belum tidur."



"Tidur di kamar aja, Bar. Nggak enak sama yang lain." "Bentaran doang, kok. Bangunin sebelum magrib ya." Setelah mengucapkan kalimat tadi, Barga langsung terlelap. Terlihat dari tarikan napasnya yang mulai teratur. Aku memerhatikan wajahnya yang sudah terlelap dalam tidur. Napasnya terdengar lembut. Dadanya naik turun.



I cannot adequately describe the intensity of what I was feeling at this moment. We had a wonderful journey. We struggle together. Dan hal itu membuatku takut. Aku



takut dia pergi. Aku takut dia meninggalkan aku saat dia mulai lelah dan memilih menyerah. Aku takut kehilangan lagi. "Masih nggak percaya, ini anak udah nikah." Aku mendongak, dan menemukan ayah mertuaku sudah duduk di atas kursi plastik yang berada di samping bangku taman yang aku dan Barga tempati. "Tapi Barga memperlakukan kamu dengan baik kan, Fris?"



Aku mengangguk mantap. "Baik banget, Yah. Barga bisa menempatkan dirinya dengan baik. Kapan dia jadi suami, dan kapan dia jadi anak seumurannya kalau lagi sama temen-temennya." Kulihat Ayah menghela napas lega. "Dari kecil, Barga dan Arkha nggak pernah merayakan ulang tahun, selain acara kumpul-kumpul keluarga seperti ini. Mereka juga nggak pernah Ayah belikan baju baru setiap lebaran. Nggak pernah beli tas dan sepatu baru kalau sepatu dan tas mereka belum rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Semua itu bukan karena Ayah pelit. Ayah hanya ingin membentuk mereka menjadi pribadi yang mandiri dan menghargai setiap barang apapun yang mereka milikki. Jika mobilmobilan mereka rusak, mereka selalu berusaha memperbaiki sendiri. Dan kalau ternyata nggak bisa diperbaiki lagi, mereka selalu saling meminjamkan mainan mereka untuk saudaranya. Dan hal itu membuat mereka belajar untuk saling berbagi, untuk saling mengandalkan kemampuan mereka sendiri dan tidak selalu bergantung kepada orang tua. Dan ternyata didikan Ayah terasa manfaatnya sekarang. Bangga juga lihat Barga berani bertanggung jawab untuk



hal yang tidak bisa dianggap main-main. Bangga, karena melihatnya tidak pernah mengeluh ketika harus kerja keras untuk keluarganya." Aku kembali memerhatikan Barga yang masih tertidur. Mengingat bagaimana usaha keras Barga selama ini, membuatku ingin menangis. Hormon kehamilan membuatku jadi cengeng. "Bangunin Barga, Fris. Udah mau magrib." Aku menuruti perintah ayah mertuaku. Menepuk pipi Barga pelan, untuk membangunkannya. Barga melenguh. Memiringkan tubuhnya dan memeluk pinggangku. Tidurnya semakin nyenyak saat ia menempelkan wajahnya pada perut buncitku. Dia pikir perutku ini bantal emangnya! "Barga, bangun mau magrib." "Bentar lagi, Fris. Lima menit lagi." Aku mengumpat dalam hati. Menahan malu di depan ayah mertuaku karena ulah anaknya. Kudorong tubuhnya sedikit menjauh, namun pelukannya sangat erat. "Barga, bangun...." "Hhmm."



Si mesum ini malah semakin merapat padaku dan menciumi perutku. Aku tak bisa menebak bagaimana ekspresi Ayah, karena tak berani melirik ke arahnya. "Bar ... bangun, dong." Kini nada suaraku berubah. Membangunkannya dengan sedikit memohon. "Bentar lagi, Fris... bentaarr lagi. Kamu juga kalau malem aku gangguin tidurnya suka kesel, kan? Padahal cuma minta nenen doang." Crap. Aku semakin menunduk karena malu pada Ayah mertuaku. Entah semerah apa wajahku saat ini. *** BARGA "Ehm!" Aku terbangun saat mendengar suara dehaman cukup keras di dekatku. Namun, wangi tubuh Frisca serta kenyamanan tidur di pangkuannya membuatku tak bisa move on. Saat akan kembali terlelap, mataku sepenuhnya terbuka saat mendengar suara Ayah. Sial! Aku lupa jika saat ini kami sedang tidak berada di rumah.



Aku bangun seketika dan mengernyit saat merasakan pening di kepalaku karena bangkit tiba-tiba. Setelah mereda, kulihat Frisca yang sedang menatapku sebal. Seperti seorang algojo yang siap mengeksekusi mati. Mampus, gue!



***



Jam delapan pagi. Aku sudah menemani istri cantikku ini cek rutin kandungan dengan dokter langganannya. Dan inilah salah satu favoritku. Mengamati perkembangan bayi kecil itu dari layar monitor. Melihat bagaimana lucunya ketika ia bergerak gerak lincah di dalam perut ibunya.



And it makes me feel completed.



Mahatma Gandhi pernah berkata, "Happiness is when



what you think, when what you say, when what you do are in harmony" Dan dialah harmoniku. Bayi kecil yang bukan



merupakan darah dagingku ini, nyatanya mampu membuatku jatuh cinta bahkan sebelum kami bertemu. "Mau tau jenis kelaminnya nggak?" tanya dokter yang memeriksa. Aku dan Frisca saling tatap dan sama-sama mengiyakan.



Dokter nampak kembali mengamati. Memindahkan alat yang ditempelkan di atas perut Frisca, dan mengambil gambar dari sudut yang lain. "Bayinya aktif. Muter-muter terus dari tadi." Ucap dokter lagi. Aku kembali tersenyum. Bangga, karena petakilannya pasti menurun dariku. "Nih... baru keliatan, ada monasnya. Inshaa Allah anaknya laki-laki." Anak laki-laki?



Great. Come on, boy. Come to Papa. Can't wait to see you.



Setelah selesai pemeriksaan, kami naik ke lantai atas untuk mengikuti senam hamil. Musik instrumental yang diputar, menyambut kedatangan kami saat memasuki ruangan. Senam hamil kali ini untuk latihan pernapasan dan mengejan saat melahirkan nanti. Karena itu, suami diharuskan mengikuti agar tidak bingung saat menemani istrinya melahirkan nanti. And here I am. Duduk di belakang Frisca untuk menahan bobot tubuhnya yang sedang berpura-pura



mengejan. Mengikuti pola yang diinstruksikan dari instruktur di depan kami. Tarik napas, hembuskan, tarik napas, dorong. Begitu seterusnya. Setengah jam berlalu. Namun, di tengah acara, Frisca bangun secara tiba-tiba dan berpindah dengan mengambil tempat di barisan paling belakang. Aku memerhatikannya dengan bingung. Menyadari raut wajah kesal yang ia tampakkan. Ya Tuhan ... apa lagi salahku? *** FRISCA "Kenapa pindah?" tanya Barga, setelah mengikutiku pindah tempat di barisan paling belakang. Aku menatap Barga malas. Masa dia nggak nyadar, sih kalau ibu-ibu di depan tadi ngeliatin dia terus? Karena itu, aku memilih untuk pindah tempat agar mereka tidak mencuri pandang terus menerus ke arah suamiku. Ada suaminya di belakang, masih pada kecentilan aja ngeliatin suami orang! "Panas. Enakkan di sini deket AC," jawabku ketus.



Dan Barga menatapku heran. Namun, ia tak banyak bertanya. Memilih bungkam dan kembali mengikuti apa yang dicontohkan oleh instruktur senam di depan sana. Satu jam selesai, dan ditutup dengan sesi tanya jawab seputar kehamilan dan persalinan. Kue buah, susu coklat hangat, dan segelas air putih, lumayan mengisi perut yang keroncongan seusai senam. "Habis ini langsung anterin aku ke kantor ya, Bar," ucapku, saat kami tengah berjalan menuju tempat parkir mobil. Barga menatapku dan siap melayangkan protesnya. "Aku kira kamu ngambil cuti hari ini." "Tadinya emang gitu. Tapi tadi aku ditelepon, sebelum makan siang ada meeting sama produser. Gantiin Baron presentasi storyline untuk iklan rokok. Dia juga ada meeting dengan client yang lainnya soalnya." "Yah, padahal tadinya mau ngajakin kamu nonton. Udah lama banget kita nggak jalan-jalan berdua." Aku mengapit lengannya. Bermanja-manja kepadanya adalah cara paling ampuh untuk mendapat izin darinya.



"Aku pulang jam empat. Kamu jemput aku ya? Pulangnya kita langsung jalan." Dan senyumnya mengembang seketika. "Oke." *** Meeting selesai, dan client terlihat puas dengan storyline yang kupresentasikan tadi. Mereka tertarik dengan konsep yang team-ku kemukakan. Dan sekarang, hanya tinggal membuat storyboard, sebelum kami mencari sutradara dan production house yang akan mengeksekusi akhir. Tak lama setelah aku keluar ruang meeting, Baron datang menghampiri kubikalku. "Gimana presentasinya, Fris?" "Sukses. Ini kita lagi bikin storyboard-nya. Kamu udah tentuin sutradara dan PH mana yang mau dipakai, kan?" "Belum. Nanti aku hubungi sutradaranya. Ada lagi, Fris?" Aku berpikir sebentar, mengingat apa saja isi meeting tadi.



"Oh iya. Satu lagi, permintaan khusus dari Pak Djanuar. Jadi, karena kita mengangkat tema adventure untuk iklan rokok ini, Pak Djanuar minta lokasinya di Lombok. Pendapat dia, di Lombok pantai dan pegunungannya menyatu. Tempatnya juga dekat, dan mudah untuk dijangkau." "Nggak masalah. Tapi kayaknya kamu yang harus berangkat untuk jadi perwakilan dari agency. Karena aku masih harus kejar deadline untuk iklan Wonderfull Indonesia dari Kementrian Pariwisata. Dan ini bukan project main-main, Fris. Jadi nggak bisa aku lepas." Aku diam sesaat. Menggigiti kuku setiap kali harus berpikir keras. "Aku coba ngomong dulu sama suamiku ya, Ron. Takutnya dia nggak kasih izin kalau aku pergi jauh-jauh dalam keadaan hamil gini." "It's ok. Take your time. Sambil kamu minta izin suami kamu, sambil aku juga hubungi sutradara untuk casting talent sebelum kita mulai shooting." ***



Pukul empat sore Barga sudah menjemputku di depan lobby gedung Buzzlight. "Hai." Sapaku, ketika masuk ke dalam mobil. "Assalamualaikum." Barga mengoreksi sapaanku. "Assalamualaikum, suamiku," ulangku kemudian, yang disusul dengan mencium tangannya. Barga tertawa dan mengacak rambutku sekilas. "Ready to start dating?" tanyanya, dengan raut wajah jenaka yang membuatku mengangguk mantap. Bandung Indah Plaza. Sebuah Mall besar di Bandung yang menjadi tempat kencan kami hari ini. Begitu tiba, kami segera memasuki gedung Empire XXI yang berada di lantai paling atas. "Mau nonton apa?" tanya Barga, saat kami tengah melihat-lihat film apa saja yang showing today. "Finding Dory aja ya, Bar?" Barga melirikku. Dengan tatapan what-the-hell-nya. "Kenapa nggak nonton The Legent of Tarzan aja?" "Nggak mau! Aku lagi hamil gini, masa diajakin nonton monyet, sih." "Lah, kamu sendiri maunya nontonin ikan."



"Tapi ikannya lucu. Dari pada monyet." Barga berdecak. Menghela napas panjang dan memilih untuk menghentikan argument. "Ya udah, nonton Sabtu Bersama Bapak aja. Better dari pada nonton kartun. Isinya bocah semua pasti." Aku kembali menggeleng. Menampilkan raut wajah memelas dan merayu manja. "Nggak mau. Film yang itu sedih, Bar. Nanti kalau aku nangis gimana?" Barga menggaruk kepalanya seraya mengembuskan napas kasar. Terlihat sekali raut wajah frustasi darinya. "Ya udah, nonton ikan aja nggak papa." Yeay. That's my Barga. Selalu rela mengalah dan melakukan apapun untuk membuatku senang. "Thank you." Bisikku, saat kami sudah duduk di dalam gedung bioskop dengan keadaan lampu padam. Barga menengok. Membuat kami bertatapan dengan jarak yang sangat dekat. Dan aku sadar saat Barga menggeser posisinya, semakin mempersempit jarak di antara kami. Ia memajukan tubuhnya untuk mengecup dahiku, dilanjutkan dengan memberikan kecupan pada bibirku dan melumatnya dengan lembut. Aku hanya mengikuti



permainannya, hingga saat ia menjauhkan kembali bibirnya dari bibirku. Barga menatapku dalam. "Pertama kalinya ciuman di bioskop. Seru juga ternyata." Ia menarik tengkukku, dan kembali melumat bibirku. Kali ini sedikit lebih kasar. Lebih passionate. Lebih intim dan lebih dramatis. Beruntung penonton di dalam bioskop ini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang saja, dan mereka semuanya memilih duduk di deretan tengah bersama anakanak mereka. Hanya ada aku dan Barga yang menempati kursi di deretan paling belakang. Aku menyembunyikan wajahku di atas dadanya saat Barga kembali melepas ciumannya. "Kenapa ngumpet?" Tanyanya. "Malu. Ngapain ke bioskop kalau mau ciuman doang? Mendingan di atas tempat tidur aja biar lebih bebas." "Kode banget itu, Fris, pengen banget ya aku ciumin di atas tempat tidur." Aku mencubit perutnya dengan gemas. Dasar mesum!



Selesai acara nonton yang banyak dibumbui oleh adegan ciuman kami, aku dan Barga berjalan menuju salah satu restoran fast food yang terdapat di dalam mall untuk makan malam. Sebelum mencapai restoran, kami melewati tenant baby shop yang memajangkan sebuah boks bayi di depan etalase. Warnanya biru, dengan tirai putih dan hiasan pesawat dan helikopter yang bergelantungan di atasnya. Membuatku tertarik sejak melihatnya dari jauh. Aku berhenti sesaat. Tepat di depan etalase itu. Terlihat banderol yang tergantung di sampingnya. Membuatku mengernyit karena melihat harga yang cukup fantastis untuk sebuah boks bayi. "Bagus, ya?" ujar Barga yang berdiri di sampingku. Aku mengangguk. "Bagus, tapi mahal." Ia mengusap rambutku, dan mendaratkan ciumannya di atas kepalaku. "Doain ya, semoga aku bisa cari uang yang banyak untuk kita belanja perlengkapan bayi." -tbc-



NINE



Tak usah pikirkan, seperti apa dan bagaimana saat takdir mengantarkan langkah kita menuju sebuah penyatuan. Tak usah pikirkan, sekerat kenang yang telah tersusun rapi dalam laci-laci memori. Aku untukmu. Cukup pikirkan itu dan jangan yang lain. *** FRISCA Aku terbangun dengan semangat yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Kulihat, Barga masih terlelap di sampingku. Teringat dengan acara kencan kami kemarin, membuatku tertawa kecil ketika mengingat hal konyol yang kami lakukan di dalam gedung bioskop.



"Kenapa ketawa ketawa sendiri?" tanya Barga, dengan suara seraknya. Aku mengubah posisiku. Menyamping dan saling berhadapan dengan Barga. "I'm just thinking about... it's so



cool, having you here with us." Dahi Barga berkerut. "Us?" tanyanya. Aku mengangguk. "Me and my baby. Aku nggak tau,



gimana caranya aku menjalani kehamilan ini kalau nggak ada kamu disini." Barga tersenyum. Senyum lembut yang meneduhkan. Bukan senyum mesum yang biasa ia tampakan. Ia menarik tubuhku dan memelukku dengan erat. Menyandarkan kepalaku di atas dadanya. Benar-benar membuatku nyaman. Seperti menemukan tempat pulang. Menunggu beberapa saat, namun tak ada balasan apapun darinya. Aku mendongak dan menatapnya sebal. "Kok nggak di-respon, sih ucapan aku tadi?" Tawa Barga pecah seketika. "Kirain kamu nggak nungguin jawaban dari aku." Aku semakin memberenggut. Dasar cowok! Makhluk



nggak peka!



Setelah tawanya reda, Barga menarik daguku dan memaksaku kembali mendongak. Tatapannya mengunciku. Melukiskan bahasa rindu yang membuatku tiba-tiba diserang kegugupan. Sedetik kemudian, seperti gerakan slow motion, Barga mendekatkan wajahnya secara perlahan. Aku membuka sedikit mulutku sebagai tanda untuk menyambut kedatangannya. Saat mulutnya berada tepat di depan mulutku, Barga menghentikan gerakannya. Membuat mataku yang semula menatap bibirnya, menjadi naik dan menatap matanya. "Baru bangun, belum sikat gigi. Bau pasti." What the hell! Dia pasti sengaja mau mengerjaiku. Aku mendengus dan membuang muka darinya. Namun tangannya menahan wajahku dan memutarnya kembali. Saat kusadari, kini mulut kami telah saling menempel. Dan ia menciumku dengan lembut. Sangat lembut. Ciuman terbaik dari yang pernah ia berikan. Tanpa lidah, dan seolah dipenuhi dengan cinta. Membuatku terengah saat mulut kami terlepas. "Anggap ciuman tadi sebagai jawabannya. Udah, ah. Aku mandi dulu."



Dia kembali mengecupku sekilas sebelum bangkit dari tempat tidur dan memasuki kamar mandi. Meninggalkanku yang tiba-tiba menjadi sesak. Entah karena ciuman tadi, atau karena ucapannya.



So what's going on with me? Notice more than he realize.



*** Aku merasakan getaran dari dalam saku celana. Sebuah panggilan masuk dari nomor Barga yang terpaksa kutolak karena posisiku yang sedang berada di tengahtengah meeting. Barga Anggara : U reject me? Dengan memasukan ponsel di bawah meja, kuketik balasan untuknya. Me : Sorry, I'm in a meeting. Couldn't use my phone.



Whats up?



Barga Anggara : Cuma mau ngasih kabar, nanti sore aku nggak bisa jemput. Aku kerja jam 3. Dari kampus langsung ke tempat kerja. Kamu nggak papa kan pulang sendiri? Me : That's ok. Jam berapa kamu pulang?



Barga Anggara : Jam 11 malem. Kamu langsung tidur aja, jangan tungguin aku. Aku kembali menyimpan ponselku di dalam kantung blazer saat mendengar dehaman Baron yang duduk di depanku. "Sutradara sudah oke. Dia ready untuk shooting minggu depan," ujar Baron, sambil menatapku. Aku mengangguk. "Gimana, sudah dapat izin dari suami kamu?" Dan pastinya... aku melupakan soal itu. "Semua urusan udah beres," jawabku asal. "Bagus. Tinggal kita hubungi PH dan casting talent yang akan menjadi model dalam iklan ini. Dan karena rokok ini biasa dikonsumsi oleh anak-anak muda, sutradara minta modelnya juga harus anak muda. Umur sekitaran dua puluh tahun. Good looking and good performance. Dan harus bisa naik motor juga. Karena ada adegan ketika si model ini mengendarai motor trail di sepanjang pantai Kuta Lombok." Aku kembali mencatat perkataan Baron di dalam note-ku agar tidak lupa.



"Frisca." Aku mendongak. "Ya?" "Suami kamu bisa bawa motor?" "Bisa. Kenapa emangnya?" "Kira-kira, dia tertarik nggak kalau kamu ajak untuk ikut casting?" "Casting?" tanyaku tak percaya, mengulangi ucapan Baron. "Yup. Dia masih muda, ganteng, menarik, dan yang penting, dia bisa bawa motor. Coba kamu bawa dulu dia untuk casting sama sutradara hari Sabtu ini. Siapa tau cocok, jadi kita nggak perlu repot nyari talent yang lain." Aku hanya bisa melongo saat mendengar semua penuturan Baron. "Tapi... dia nggak biasa tampil depan kamera, Ron," sanggahku. "Tapi dari foto-foto kamu sama dia yang kamu posting ke Instagram, aku lihat dia photogenic. Wajahnya menarik kalau dilihat di depan kamera." "Aku coba ngomong dulu sama dia ya, Ron. Tapi kayaknya dia nggak akan tertarik."



"Ini kesempatan buat kalian, Fris. Kalau dia beneran jadi model iklan ini, lumayan kan penghasilannya. Bisa nambahin tabungan kalian untuk persiapan lahiran nanti." Aku terdiam. Mencoba memikirkan ucapan Baron dengan serius. "Nanti aku coba bicara dengan dia." "Oke. Kalau bisa, malam ini juga aku tunggu keputusannya." *** Pukul enam sore, aku sengaja memutar arah untuk mengunjungi Barga di tempat kerjanya lebih dulu dengan menggunakan angkutan umum. Dua bungkus nasi rendang dari rumah makan padang di depan kantor Buzzlight, sengaja kubawa untuk makan malamnya. "Selamat sore. Selamat datang di Alfamart." Sapa pramuniaga saat aku membuka pintu kaca. Namun orang itu bukan Barga. "Barganya ada nggak?" tanyaku, saat menghampiri meja kasir. "Oh, Barga tadi ada temennya juga yang dateng. Terus sekarang lagi istirahat di luar sama temennya." Temennya yang dateng? Oh, mungkin si Jack.



"Oke. Makasih ya." Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas untuk menghubungi Barga. Sampai panggilan keempat, masih belum ada jawaban darinya. "Teh, lagi nelepon Barga ya? HP-nya ditinggal di sini. Lagi di-charge." Good. "Biasanya dia istirahat di mana?" tanyaku mulai kesal. "Kalau nggak jajan bakso, dia biasanya makan warteg di samping sini." "Ya udah, makasih ya, 'A." Aku melangkah keluar dan menuju tempat yang ditunjukan orang tadi. Saat melewati warung bakso, orang yang kucari ada di sana. Sedang tertawa-tawa dengan seseorang di sampingnya. Namun orang itu bukan Jack. Melainkan perempuan yang pernah bertemu denganku saat menyusulnya ke hotel tempatnya bekerja. Setelah meperhatikan mereka sebentar, aku kembali masuk ke dalam minimart dan kembali menghampiri temannya tadi.



"A, kayaknya dia lagi sibuk sama temennya. Aku titip ini aja ya. Ada dua bungkus nasi Padang. Buat Barga satu, buat Aa satu. Makasih ya." Tanpa menunggu jawaban dari orang itu, aku melangkah keluar dan memberhentikan angkot yang kebetulan lewat saat itu. Ditengah kondisiku yang seperti ini, sebuah alunan lagu dari radio yang diputar di dalam angkot membuatku semakin galau.



Underneath it all I'm held captive by the hole inside I've been holding back for the fear that you might change your mind I'm ready to forgive you but forgetting is a harder fight Little do you know I need a little more time [Little Do You Know - Alex and Sierra] Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku terdiam dengan pikiran yang entah melayang ke mana. Seperti ada rasa tak asing yang merajaiku saat ini. Perasaan ini... seperti mengingatkan aku dengan kejadian dulu saat masih bersama Arkha



Crap. I hate this situation. ***



Keputusan tersulit dalam hidup, adalah ketika aku terlalu lelah untuk bertahan. Namun, terlalu sakit untuk melepaskan. Dan waktu jualah yang ternyata mengantarkan langkahku untuk sampai di ujung jalan. "Kamu mau kemana, Kha?" tanyaku, saat melihatnya tengah mengemas pakaian ke dalam tas ransel miliknya. "Pulang ke Jakarta." "Ngapain? Bukannya orangtua kamu mau datang ke Melbourne untuk hadir di acara graduation kamu?" Arkha menghentikan gerakannya. Menatap kosong ke depan. "Kiasah kritis, Fris." Aku menghela napas. Lagi-lagi ini tentang Kiasah. "Kamu bisa tau keadaannya dari telepon, kan? Kamu tinggal keep in touch dengan keluarga kamu disana untuk tahu keadaannya. Kenapa harus pulang?" "Aku harus pulang. Aku takut nggak bisa ketemu dia lagi."



Dan ucapannya tadi, seperti kata The End dalam setiap akhir cerita. Memang tak akan pernah ada harapan untukku. "I will drive you to the airport."



Arkha kembali menghentikan gerakannya dan memerhatikanku dengan lekat. Ia berjalan menghampiriku dan membawa tubuhku dalam pelukannya. "Will you do something for me?" tanyanya dengan suara lirih. Aku balas menatapnya. Menegak air liurku yang terasa keras di tenggorokan. "Andai aku nggak bisa kembali lagi sama kamu, kamu mau kan janji sama aku? Untuk selalu bahagia. Untuk selalu menikmati hidup kamu walaupun nggak ada aku." Aku menutup mata. Berusaha menahan air mata dengan payah. Aku benci situasi ini. Aku benci saat ditekan seperti ini. Dan saat itu juga aku tahu, bahwa inilah saatnya untuk melepaskan. Untuk mengorbankan perasaanku demi kebahagiannya.



Aku akan mencintainya dalam sebuah doa. Doa yang bukan sekedar kata-kata, melainkan sesuatu yang air matapun tak sanggup mengartikan. Aku berharap dia menemukan sosok yang mampu mencintainya sebanyak aku, dan menungguinya sesabar caraku.



*** Sesampainya di rumah, aku terduduk diam di atas sofa ruang tengah. Mengabaikan panggilan dengan nada khusus yang kupasangkan untuk Barga dari telepon genggamku.



Aku capek, Bar. Sakit yang kemarin aja masih belum sembuh, kenapa sekarang harus ditambah lagi? Aku nggak mau patah hati lagi, Bar. Aku takut kehilangan lagi....



Setelah beberapa saat, ponsel itu diam dengan sendirinya. Namun, tak lama kembali nyaring dengan nada panggil yang lain. Aku melihat nama Mami tertera di layarnya. "Ya, Mam?" Sapaku, saat menjawab panggilannya.



"Kamu kemana aja, sih? Udah lama nggak hubungi Mami."



"Sorry, aku sibuk banget akhir-akhir ini. Lagi banyak



kerjaan." Mami diam sesaat, sebelum kembali bersuara. "Minggu depan Papi ulang tahun. Kamu nggak mau besuk Papi? Merayakan ulang tahun Papi di LAPAS." Aku berdecak. "Males. Terakhir aku ke LAPAS, barang-barangku habis dijarah sipir di sana. Kacamata kenang-kenangan dari Oma harus aku ikhlasin karena mereka minta paksa. Belum lagi uang yang harus kita keluarin setiap kali besuk Papi. Ngapain? Malah nyenengin oknum-oknum itu." "Iya, Mami tau. Tapi paling nggak, kamu datang sekali aja saat ulang tahunnya. Supaya Papi senang dan merasa diperhatikan." Dan kini, aku hanya bisa tertawa getir. "Terus yang merhatiin kita siapa, Mi? Nggak ada, kan? Yang ada, kita hancur... dihina orang karena perbuatan Papi. Udah ya, Mi. Frisca baru pulang kerja. Mau mandi dulu. Bye Mam. I love



you."



Setelah memutus panggilan itu, aku segera memasuki kamar dan berbaring di atas tempat tidur. Air mataku



mengalir saat aku mengingat kepedihan itu. Dua kejadian yang membuatku hampir gila. Kasus korupsinya Papi dan meninggalnya Arkha ketika aku sedang mengandung anaknya. Air mataku masih terus menerobos. Memaksa keluar dari kedua sudut mata. Sakit, saat merasa apa yang kita lakukan tidak ada hasilnya. Aku bingung, kecewa, lalu menyerah. Hingga tak terasa, air mata kepedihan meninabobokanku hingga terlelap di bawah bayang rembulan yang menggenap. -tbcTEN



Ekspresi Barga pas lagi bacain komen foto dia di part 'SEVEN' ��� Lanjut kakaaaakkk... Warning : This part intended for mature reader only. May not be suitable for young readers. *Cek KTP* ***



BARGA "Selamat datang di Alfamart," sapaku, saat mendengar bunyi pintu terbuka. Dan terlihat di sana, Icha dengan cengiran khasnya, berjalan menghampiriku yang sedang memasukan botol-botol minuman isotonik ke dalam lemari pendingin khusus minuman. "Hey! Tumben belanja ke sini, Cha?" ujarku, saat dia sudah berdiri di depanku. "Sengaja mau ketemu sama lo. Hari Minggu kemaren gue cariin ke area kitchen, lo nggak ada. Katanya lagi izin ya?" "Hmm. Kemaren ada acara kumpul keluarga. Bentar ya, Cha. Gue beresin kerjaan gue dulu." "Oke. Lanjut aja." Aku kembali menyusun botol-botol minuman itu, hingga semuanya masuk dan sudah tersusun rapi di dalam showcase. Setelah menyimpan kembali troley di gudang, aku menghampiri Mul yang sedang berada di balik meja kasir. "Mul, gue istirahat sekarang ya. Titip HP, lagi gue charge di bawah."



Mul menggangguk. "Oke." Aku keluar, menghampiri Icha yang sedang menungguku. "Lo baru pulang kerja, Cha?" tanyaku, setelah berdiri di sebelahnya. "Iya. Sekalian mampir ke sini." "Ngobrolnya sambil makan bakso aja di sebelah, ya." Dan Icha mengikuti saat aku berjalan lebih dulu di depannya. Setelah tiba di warung bakso, aku memesan dua porsi untuk kami, kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Icha. "Ada apaan nih, sampai lo nyariin gue ke sini?" Icha terkekeh. "Nggak ada yang penting, sih. Cuma mau ngasih kabar sama lo. Gue udah recomend lo sama manager gue buat dipindah ke area front office. Dan manager gue mau ngeliat lo dulu katanya. Jadi hari Sabtu ini, kalau bisa lo dateng ke hotel lebih awal, terus temuin dulu manager gue. Nanti Bu Vera yang ngomong sama manager lo, kalau lo mau ditarik ke bagian Front Office." Wow, kejutan buatku. Ternyata niat Icha serius ingin membantuku pindah bagian.



"Jadi, hari Sabtu gue tinggal ketemu sama Bu Vera aja?" "Kalau nggak, kita janjian aja. Gue Sabtu masuk pagi. Nanti gue anterin lo ketemu sama Bu Vera." Aku menggangguk setuju. "Oke. Makasih ya, Cha. Repotin lo jadinya." "Alah! Masih kaku aja lo!" Aku tertawa. "Oh, iya. Kemaren kenapa nggak jadi bareng pulangnya?" "Nggak enak kali, Bar. Liat muka istri lo, udah kayak yang mau nyambit gue gitu!" Dan lagi, aku kembali tertawa. Tepat saat pesanan bakso kami tiba. "Frisca emang kurang welcome sama orang asing. Jadi ngasih kesan kalau dia jutek. Tapi sebenernya dia baik, kok. Lo balik pake angkot jadinya?" Icha mengangguk. "Lagian, kostan lo jauh banget, sih dari hotel, Cha?" tanyaku, sambil menambahkan saus, kecap, dan sambal ke dalam kuah baksoku. Meraciknya agar sesuai seleraku. "Gue ngekost di Gerlong dari gue kuliah."



"Emangnya lo kuliah di mana?" "AKPAR NHI." "Oh, pantesan lo kerja di hotel. Umur lo berapa sih?" "Taun ini dua tiga." Good. Another mbak-mbak. Setelah menghabiskan waktu istirahat satu jam, Icha kembali melanjutkan perjalanan pulang menuju tempat kostnya, dan aku melanjutkan kembali sisa waktu kerjaku. "Bar, bieu aya pamajikan." (Bar, tadi ada istri). Ujar si Mul, saat aku baru masuk. Aku menghampirinya dan ikut masuki area kasir. "Pamajikan saha?" (istri siapa?) "Pamajikan maneh atuh. Saha deui, da urang mah can boga pamajikan." (istri lo lah. Siapa lagi? Orang gue belum punya istri) Aku berjongkok. Memeriksa telepon genggamku yang masih mengisi baterai di terminal listrik yang tersedia di bawah meja kasir. Ada empat panggilan tak terjawab dari nomor Frisca.



"Mere ieu tadi. Nasi Padang, aya dua bungkus. Hiji ewang jeung urang." (ngasih ini tadi. Nasi Padang, ada dua bungkus. Satu satu sama gue) Aku memerhatikan bungkusan nasi padang yang diberikan Mul. "Lo tadi nggak bilang sama dia kalau gue makan di sebelah?" "Ngomong. Terus pamajikan maneh nanya, maneh biasa istirahat di mana? Ku urang dijawab, 'kalau nggak makan bakso, makan warteg di sebelah'." Aku mencabut handphone-ku dan mencoba menghubungi Frisca. Sepuluh kali panggilanku, tak ada satupun yang dijawab olehnya. Hingga malam tiba, aku masih terus menerus menghubunginya, namun masih juga belum ada jawaban juga. "Ngges balik weh maneh lah. Uruskeun heula pamajikan." (Udah, pulang aja deh lo. Urusin dulu istri lo) Aku mendongak saat menengar ucapan Mul, saat aku baru memutuskan panggilan untuk Frisca yang masih belum dijawab. "Beneran, Mul? Nggak papa gue balik duluan?"



"Teu nanaon. Ngges buru kaditu balik. Si Risman ngges datang, kan. Urang teu sorangan jadina." (nggak apaapa. Udah cepetan sana pulang. Si Risman udah datang, kan. Gue nggak sendiri jadinya) Melirik jam yang melingkari tangan, masih pukul sembilan malam. Sisa dua jam sampai tiba waktu pulang. Thank you so much, Mul. Ingatkan aku untuk mengenalkan si Mul dengan beberapa teman di kampus. Kasihan dia, sudah terlalu lama jomblo sampai taraf akut. Tanpa banyak bicara, aku segera berlari ke dalam gudang. Menyambar tas serta jaket, dan segera bergegas pulang. Tanpa berganti pakaian seperti biasanya. Kupacu mobilku menelusuri jalanan Bandung menuju arah pulang. Mencoba fokus walau pikiranku tak hentinya memikirkan Frisca. Entah sedang apa dia saat ini, hingga tak sempat menjawab rentetan telepon dariku. Keadaan rumah sangat gelap saat aku baru tiba. Lampu teras belum dinyalakan. Masuk ke dalam rumah, lampu dapur dan ruang tengah pun masih padam. Kunyalakan lampu satu per satu. Ada tas dan blazer yang



digunakan Frisca saat pergi kerja tadi pagi. Tergeletak begitu saja di atas sofa ruang tengah. Aku melangkah menuju kamar dan membuka pintunya dengan perlahan. Keadaan sama gelapnya, seperti yang kulihat di ruang depan saat baru memasuki rumah tadi. Hanya ada sedikit cahaya bulan yang mengintip di balik tirai jendela yang masih terbuka. Dan terlihat di sana. Istriku. Sedang meringkuk di atas tempat tidur, lengkap dengan pakaian kerjanya. Dia kenapa? Mengapa dia bisa terlihat sekacau ini? Secara perlahan, aku menaiki ranjang dan mengusap kepalanya dengan sangat hati-hati. Matanya bengkak. Pasti dia habis menangis. Aku meluruskan posisinya, yang semula terbaring miring menjadi terlentang menghadapku. "Fris..." Dia bergerak gelisah. "Friscaa..."



Matanya perlahan terbuka dan menatapku. Dia diam. Namun aku tahu, ada kepedihan mendalam dari sorot matanya. "Baru pulang?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kamu sakit?" "Nggak. Cuma kecapean aja. Nyampe rumah langsung tidur." Aku berdecak. "Pantes, aku teleponin nggak diangkat terus." Frisca tak menanggapi. Hanya menatapku dengan tatapan... entahlah. Aku tak dapat menilai arti tatapan itu. Aku sedikit terkejut saat dia tiba-tiba saja menarik tengkukku dan menciumku. Sangat dalam. Seperti ciuman kami tadi pagi. Tanpa lidah, man. Tapi terasa jauh lebih intimate. The



kiss is possessive.



Dan aku bergidik geli saat merasakan tangannya memasuki celanaku. Menggapai si 'Boy' yang sedang memasang kuda-kuda siap bertempur. Frisca melepas ciumannya dan kembali menatapku.



Making me feel how real this is.



"Bar, I want to try something," bisiknya. Dengan



suara serak, namun terdengar seksi di telingaku. "What do you want to try?" Dia tak menjawab. Menatapku sesaat, lalu kembali menarik tengkukku dan berbisik tepat di telingaku. "I want... you and me... tonight... sex without



condom." She say what? Sex without condom?



"Kenapa?" tanyaku heran. "Don't ask me why. I just want you inside me... without condom. Just you and me. Nobody else. Aku benci orang ketiga." Apa yang terjadi dengannya? Tidak mungkin dia seperti ini hanya karena melihatku bersama Icha tadi. Aku yakin, ada sesuatu hal yang lebih menyakitinya dari sekedar melihatku sedang bersama wanita lain. Aku menelan ludah dengan keras. "Kamu kenapa, Fris?"



"Aku cuma minta seks dengan suamiku sendiri tanpa penghalang, dan kamu sampai dua kali tanya kenapa? Apa harus aku jelasin alesannya sama kamu?" Kembali aku menatapnya heran. "Bukannya kita udah komitmen dari awal, nggak ada seks tanpa kondom sampai kamu lahiran. Kenapa sekarang jadi kayak gini?" Tatapannya menghujamku. Membuatku tak mampu melawan ketika percikan luka itu terasa bagai titik api yang menghanguskan. Aku kalah. Dan tak mampu melawan. Kucengkeram bahunya dengan kuat, berusaha menahan agar tak sampai menyakiti. Frisca membalas tatapanku. Menangkap kekalahan yang kuperlihatkan dengan gamblang. Dan ia kembali menyatukan kedua mulut kami. Aku menarik tangannya dan membuatnya bangun untuk memudahkan usahaku meloloskan setiap helai pakaian yang ia kenakan. Satu per satu. Hingga lepas seluruhnya. Giliranku yang melepaskan seluruh pakaianku sendiri. Seragam kerja berwarna merah, serta celana jeans berwarna



hitam berserta dalamannya yang kulepas dengan sekali sentak. Tak butuh foreplay. Aku tahu dia sudah siap. Terlihat dari celana dalamnya yang sudah basah kuyup. Kubuka kakinya sedikit lebar. Dan mata kami tak teralih saat melakukan penyatuan itu. Saling menatap dan menghisap kenikmatan bersama. Shit. Ini luar biasa. Tanpa terhalang apapun. Tanpa terbungkus karet sialan yang --baru kutahu-- jika benda itu mengurangi nikmatnya. Doesn't need alcohol or even being



in love. Because it's about trust. It's true... I crave you, Frisca.



Frisca menatapku sayu. Membuatku tergagap ketika mengeja ungkapan lain dari sorot matanya. Kesunyian. Kehampaan. Wanita itu ungkapkan dengan cara tak terduga. "Ahh...." Suaranya... serak dan parau. Namun mampu membuat birahiku kian memuncak. Dan sungguh, aku tak bisa menahan saat sensasi itu hadir dan mendesak ke permukaan.



Aku menggapai titik sensitifnya tanpa meleset. Aku mengenal tubuhnya lebih baik dariku mengenal tubuhku sendiri. Dan hal itu membuatnya semakin belingsatan tak karuan. Saling berburu denganku untuk menemukan siapa yang lebih cepat sampai. Frisca melenguh tertahan, menandakan dia tiba lebih dulu. I'm coming, baby. Dan tepat saat sensasi itu tiba, aku mencabut milikku dan melepaskan bukti kenikmatan itu di atas perutnya. Walau kacrut begini, namun aku tahu aturan. Bahwa tidak boleh mencampurkan air mani dengan janin hasil dari lelaki lain. Walau sedikit mengurangi sensasinya, namun tak sedikitpun mengurangi nikmatnya. Aku menuruni ranjang dan berjalan dengan telanjang untuk membawa beberapa lembar tisue yang tersimpan di atas meja rias Frisca. Kembali naik ke atas tempat tidur dan membantu membersihkan sisa-sisa bakal calon anakku di atas perutnya. Frisca masih terengah. Mencoba mengatur napasnya yang terdengar berantakan. Ia membuang muka saat aku



menatapnya. Setelah itu ia bangkit. Menarik jubah tidurnya dan menutup tubuh telanjangnya. "Aku mau bikin minum. Kamu mau?" tanyanya, sambil mengenakan slipper rumahan tanpa menatap ke arahku. "Aku kopi aja. Nanti aku nyusul habis mandi ya." Dia mengangguk, dan segera melangkah keluar dari kamar. *** FRISCA Tadi itu apa? Setan mana yang merasukiku hingga berani meminta hal itu pada Barga. Aku mempermalukan diriku sendiri. Aku menghancurkan harga diriku sendiri. Astaga! Entah apa yang Barga pikirkan tentangku saat ini. Karena itu, aku sengaja menghindar dan lebih memilih untuk bersembunyi sementara di dapur. Hanya lima belas menit, karena setelah itu, Barga keluar dari dalam kamar dengan keadaan segar sehabis mandi. Aku menggeser cangkir kopi untuknya saat Barga berjalan menghampiriku. Kami duduk saling berhadapan.



Terpisah oleh mini bar yang menjadi pembatas antara area dapur dan ruang makan. "Thank you," ujarnya, sesaat sebelum menyeruput minumannya. "Tadi kamu datang ke tempat kerja aku?" "Hmm." "Kok nggak nungguin aku?" Aku mengaduk minumanku sebentar sebelum kembali meminumnya. "Aku cuma mau nganterin makanan aja buat kamu. Dari kampus langsung kerja, pasti kamu belum makan." "Terus kenapa telepon aku nggak diangkat? Kamu itu bikin aku khawatir, Fris." "Nggak kedengeran. HP-nya masih aku silent habis rapat tadi. Oh iya, Bar. Ngomongin rapat jadi inget omongannya Baron tadi. Dia nawarin kamu untuk ikut casting sebagai talent dari proyek baru aku. Iklan rokok. Dan sutradara minta modelnya cowok-cowok seumuran kamu. Baron bilang, kriteria kamu cocok untuk jadi bintang iklan ini. Kalau kamu mau, hari Sabtu kita ketemu sutradara untuk casting. Gimana?"



Aku terdiam. Menatap Barga dan menunggu jawaban darinya. "Hari Sabtu aku nggak bisa, Fris. Udah janjian duluan sama Icha mau ketemu manager dia untuk pindah ke front office. Jadi, si Icha ini mau bantu aku pindah bagian, tadinya Steward, jadi Bell Boy." What the hell! Dia menolak ajakanku untuk menjadi bintang iklan dan lebih memilih tawaran temannya untuk menjadi pelayan hotel? Lelucon apa ini? "Oh, oke. Kalau gitu, aku minta izin dari kamu untuk pergi ke Lombok minggu depan. Jadi perwakilan dari agency untuk shooting iklan di sana. Tadinya kalau kamu mau terima tawaran dari aku untuk casting, kita bisa pergi bareng-bareng ke Lombok. Tapi karena kamu lebih tertarik dengan ajakan temen kamu itu... it's ok." Aku menutup mata. Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Aku paham, aku tak bisa memaksakan semua hal harus sesuai dengan keinginanku. "Aku capek, Bar. Tidur duluan ya."



Aku beringsut dan mencium pipinya sekilas. "Good nite," bisikku, sebelum berlalu meninggalkannya memasuki kamar. Aku menggigil. Merasakan pengharapan dan keputusasaan membaur, melebur menjadi seonggok debu. Dan saat ini juga, sudah kupersiapkan keikhlasan sebagai titik akhir dari harapanku untuknya. Sebelum aku kembali patah hati. Sebelum aku kembali hanyut dalam sebuah elegi.



-tbc-



Thanks for reading. Yang mau komen next, lanjut, lagi, tambah, teruskan, dan teman-temannya, SILAKAN. BEBASKAN. Apalagi kalau mau vote & follow ahahahah.... ELEVEN



Elegi



patah pengusir nama



Ode Atas Semuanya begitu banal [Cinta Melulu - Efek Rumah Kaca]



hati rindu pasar



*** FRISCA Sabtu pagi di awal bulan Juni. Aku duduk di atas kursi meja makan, menikmati seduhan susu ibu hamil seraya menatap sepetak taman di halaman belakang rumah yang dipenuhi bunga-bunga hias warna warni.. Tak lama pintu kamar terbuka. Disusul dengan langkah Barga menghampiriku. "Morning." Sapanya, kemudian mengecup kepalaku dengan lembut. "Udah sarapan?" Aku mengangkat gelas susu sebagai jawaban dari pertanyaannya. "Jalan-jalan, yuk. Dokter bilang, kamu harus banyak jalan, biar lancar lahirannya." "Nggak mau, ah!" "Keliling komplek aja, Fris." "Udah kesiangan, Bar. Panas." "Pakai payung aja. Biar nggak kepanasan." "Capek!" "Aku gendong, deh." "Males!"



Barga berdecak. Nggak enak, kan ditolak? "Mau sarapan apa?" tanyaku, mencoba berbasa-basi karena masih menghormatinya sebagai suami. "Roti aja." Aku melangkah menuju dapur, menyiapkan dua iris roti, mengolesi dengan mentega dan menaburinya dengan coklat meses. Barga tidak suka roti selai. Ia lebih suka roti dengan mentega dan taburan coklat meses. Setelah selesai, aku melihat ada bungkusan plastik berwarna hitam, tergeletak begitu saja di atas meja dapur. "Ini apa, Bar?" Barga memerhatikan sekilas bungkusan yang berada di tanganku. "Oh, itu asahan. Dapet beli kemarin di pasar Jumat Pusdai, waktu aku lagi salat Jumat di situ." "Asahan pisau?" "Iya. Aku inget, kamu kemaren-kemaren ngeluh kalau pisau dapur udah nggak tajem. Kebetulan lihat ada asahan, aku beli aja biar kamu seneng. Jadi bisa tambah semangat masaknya."



Sederhana. Perhatian kecil seperti ini yang justru mampu menelusup hingga dalam. Menyentuh dasar hati yang sebelumnya kebas setelah kejadian itu. Namun, bukan wanita namanya jika tidak mempertahankan gengsi yang terlanjur tinggi.



Aku udah bilang sama kamu kalau aku benci orang ketiga kan, Bar? Tapi kamu--dengan cueknya--masih aja ngomongin dia di depan aku. You takes wrong step, Dude! Sorry to be the one who tell you this. But yet--it's doesn't actually get. Worse. You'll see.



*** "Kamu mau ngapain?" tanyaku, ketika melihat Barga melepas seatbelt-nya, saat ia mengantarku meeting dengan sutradara di restoran Nanny's Pavillon. "Mau ketemu sutradara juga." Aku menatapnya heran. "Bukannya kamu udah nolak dan lebih milih ajakan temen kamu itu?"



"Aku udah bilang sama Icha. Katanya, kalau aku nggak bisa hari ini, besok juga nggak apa-apa. Jadi hari ini aku mau ikutin mau kamu untuk ketemu sama sutradara." Aku menahan tangan Barga yang hendak menarik tuas pintu mobil di sampingnya. "Kenapa?" tanyaku, dengan kedua mata yang memperhatikannya dengan intens. "Karena aku pengin nyenengin kamu. Udah beberapa hari ini kamu diemin aku. Dan itu nggak enak banget, sumpah!" Aku mengulum senyum saat melihat wajah frustasinya. "Dan lagi, aku pikir honor dari bintang iklan ini lumayan banget. Uangnya bisa kita pakai untuk belanja keperluannya si Abang." "Abang?" "Yes. Our son." Aku sadar, terlalu egois memang, jika menumpahkan segala kesal dan kesalahan kepadanya. Namun rasanya aku masih sangat jengkel pada dirinya. Rasa jengkel yang tak dapat kukendalikan. Aku kesal karena Barga menolakku.



Aku marah karena Barga lebih memilih ajakan perempuan lain. Dan aku cemburu melihat dia bisa sedekat itu dengan perempuan lain. Wait ... aku bilang apa tadi? Cemburu? Oh, no ... anggap aku tidak pernah bicara seperti itu. Barga meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. "Selama lima bulan ini, kita bisa tinggal bareng, tidur bareng, bisa saling menjalani peran sebagai suami istri. Tapi kenapa kita nggak pernah bisa berbagi? Kenapa kita nggak pernah bisa untuk saling memiliki? Kenapa, Fris?" Aku menatapnya. Mencoba mencari selah dari kedua matanya. "Because I dont expect anything from everyone. Because I know, expectation always hurt. Aku capek kalau harus disakitin lagi, Bar." "Kenapa, sih semuanya harus dibikin rumit? Kenapa kita nggak coba merubah bingung, jadi tanya. Merubah firasat, menjadi kejujuran. Merubah unek-unek menjadi sebuah ungkapan. Karena dalam sebuah hubungan itu, intinya komunikasi, Fris. Bukannya saling diem-dieman



kayak gini. Aku bukan Edward Cullen yang bisa baca pikiran kamu." *** BARGA



Bila tak selamanya kita bisa Haruskah menunggumu di Dan bila selamanya kita bisa Ku simpan cinta ini Apakah ini Cinta... Cintaku kau Apakah ini cinta



bersama sini bersama cinta Cinta... abaikan



[Apakah Ini Cinta - Judika] Kampret! Ini lagu apaan, sih? Kenapa liriknya sangat menggelitik dan rasanya tepat sasaran? Apakah ini cinta? Alah, bullshit! Aku mematikan radio dan lagu itu pun lenyap. Namun keresahanku ternyata tak juga ikut lenyap. Frisca mendiamkanku selama beberapa hari ini--sejak percakapan kami tentang tawarannya menjadi model iklan itu. Dan aku



bingung harus melakukan apa untuk mengembalikan moodnya seperti sebelumnya. Ini terlalu memusingkan. Wanita dan kerumitannya. Membuatku ingin menggorok leher rasanya. "Aku harus ngelakuin apa lagi, supaya kita bisa baikan lagi? Aku mau ikutin keinginan kamu untuk casting sama sutradara. Aku udah beberapa hari ini nggak minta 'jatah' sama kamu dan aku fine ngelakuin itu. Tapi kenapa aku masih dijutekin juga, sih?" "Oh... Jadi ini semuanya hanya karena seks? Kamu minta maaf sama aku supaya kamu bisa dapat 'jatah' lagi?" Aku meremas rambutku dengan sedikit kasar. Menghalau rasa frustasi yang menderaku saat ini. Kamera mana, kamera? Aku ingin melambaikan tangan di hadapan kamera rasanya. Aku menyerah. Kepalaku seketika menoleh saat mendengar isak tangis. For god's sake, ini pertama kalinya aku melihat Frisca menangis. Serapuh apapun dia, seburuk apapun mood-nya, Frisca tidak pernah menangis. Entah jika di



belakang, namun di depanku Frisca tidak pernah sama sekali menunjukan kelemahannya. Aku tahu dia perempuan tangguh. Dia wanita kuat-terutama jika sedang di atas ranjang. Dan saat ini dia menangis. Menampakan kelemahan yang selama ini hanya ia simpan sendiri. Membuka topeng yang selama ini ia perlihatkan di depanku, di depan semua orang. Dan itu artinya dia memang sangat terluka saat ini. Damn you, Barga! Tanpa aba-aba, aku segera menarik tubuhnya dan mendudukannya di atas pangkuanku. Dia pun menyambutnya. Segera menghamburkan diri dalam pelukanku dan menyembunyikan wajahnya di atas dadaku. Tangisnya semakin pecah dan membasahi baju yang aku kenakan.



"Baby, tell me why you crying? Why do me wrong? Please... Jangan bikin aku kayak orang bego gini, Fris."



Frisca tak menjawab. Hanya terus menangis dan aku membiarkannya. Hingga saat tangisnya reda, aku menaikan wajahnya dan menatap langsung matanya yang bengkak akibat menangis.



"Udah puas nangisnya?" Dia menggeleng. "Belum," jawabnya. Aku mencabut beberapa lembar tisue yang tersimpan di atas dashboard mobil. "Kamu kenapa sampai nangis kayak gini?" Frisca diam. Mengapus jejak basah pada kedua pipinya dan mengeringkan kedua matanya dengan tisue yang aku berikan. "Aku kesel sama kamu. Pengin marah-marah tapinya nggak bisa. Jadinya nangis saking keselnya." Aku melongo. Jika perempuan lain menangisi prianya karena sakit hati. Istriku ini justru menangis karena kesal tapi tidak bisa marah. Konyol, bukan? Untung kamu cantik, Fris. Konyol seperti ini pun masih terlihat menggemaskan. Frisca beringsut saat mendengar telepon genggamnya berdering. Sebelum ia pindah dari pangkuanku, aku menahan tubuhnya dan mencium bibirnya sekilas. "Cari kesempatan mulu, sih!" Gerutunya.



"Ya menurut kamu aja. Lima hari puasa, dikira aku nggak haus apa!" Frisca mendelik, dan berdeham sebelum menjawab teleponnya. "Ini udah di basement, Ron. Bentar lagi naik." Ucapnya, pada seseorang yang meneleponnya. Ia kembali memasukan ponselnya ke dalam tas lalu menatapku. "Ayo! Jadi kan, mau ikut casting." Aku mengangguk mantap. *** Ada untungnya juga punya muka ganteng. Dengan begitu mudahnya aku lolos saat casting dengan sutradara untuk menjadi talent yang membintangi iklan ini. And here we are. Lombok, Man. Menikmati pemandangan pantai Kuta Lombok yang masih bersih dan jauh dari polusi. Aku baru tahu, jika ternyata Pantai Kuta bukan hanya ada di Bali. Di Lombok juga terdapat Pantai Kuta yang berlokasi di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Pantai Kuta Lombok memiliki pasir berwarna putih agak kecoklatan, seperti merica.



Ciri khas pantai di Lombok ini adalah adanya sebuah bukit di sebelah barat pantai, yang diberi nama Bukit Mandalika. Dari bukit ini, kita bisa menikmati keindahan seluruh Pantai Kuta. Shooting iklan ternyata tidak terlalu merepotkan. Hanya butuh waktu satu hari untuk menyelesaikannya. Dan kebetulan hari ini keadaan cuaca cukup cerah hingga tidak menjadi hambatan untuk kami saat pengambilan gambar. Landscape yang indah, dengan bintang iklan yang keren. Membuat iklan itu terlihat sempurna. Aku yakin penjualan rokok ini akan menjadi laris di pasaran. Keesokan harinya, Frisca mengajaku jalan-jalan di sekitaran pantai Kuta. Pantai yang indah ini masih sangat sepi pengunjung karena jarang sekali turis yang mendatangi tempat ini. Penginapan pun belum ada selain rumah-rumah penduduk sekitar yang bisa kami sewa. Aku melotot saat melihat Frisca yang baru keluar dari kamar mandi. Hanya menggunakan bikin berwarna peach dengan tonjolan perut yang justru membuatnya terlihat semakin seksi. Bahaya! Ada yang berkedut di bawah sana.



"Kamu mau kemana?" tanyaku. "Pantai." jawabnya acuh, tanpa tendeng aling-aling. "Pake bikini kayak gini?" "Kenapa? Badan aku keliatan gendut banget yaa, Bar? Jadi jelek ya?"



Jelek, Fris. Jelek banget. Saking jeleknya, sampe bikin aku pengen geret kamu ke atas kasur. "Ganti yang lain aja. Pake dress atau apa kek yang



sedikit tertutup " Frisca memberenggut. "Besok-besok ingetin aku supaya bawa gamis aja kalau ke pantai!" Gerutunya, sambil berbalik dan kembali memasuki kamar mandi dengan bantingan pintu yang cukup keras. *** Langit cerah di atas pulau Lombok, mengiringi langkah kami menelusuri sepanjang pantai Kuta, hingga membuat kaki pegal. "Capek?" tanyaku, saat menyadari langkah Frisca yang semakin melambat di belakang. "Cuma pegel aja sedikit. Tapi nggak papa."



Aku mengamati wajahnya. Terlihat flawless, dengan raut kegembiraan yang terlihat jelas. Aku kembali menggandengnya dan mengajaknya bermain-main air ombak di tepian pantai. "Kamu tau, Bar, apa yang lebih kelam dari senja yang terbenam menjelang malam?" tanyanya, saat kami terduduk di atas hamparan putih, menatap matahari yang hampir terbenam di ujung senja. "Apa itu?" "Sebuah rasa kehilangan. Aku pernah merasakan itu saat kehilangan Oma, lalu Arkha. Dan aku nggak mau kembali menjadi kelam... saat aku harus kehilangan kamu." Aku terdiam. Diam yang benar-benar diam. Memikirkan dengan sedikit tertatih arti dari ucapan Frisca. Cukup lama, hingga saat matahari mulai terbenam, saat itu juga aku merasa sesuatu menyadarkan pikiranku. Kutatap Frisca yang ikut terdiam di sampingku. Aku kembali menggapai tangannya dan menggenggamnya dengan kuat. "Kamu nggak perlu memikirkan akan seberapa lama kita bisa bertahan dengan hubungan ini. Aku untuk kamu. Cukup pikirkan itu dan jangan yang lain."



*** 12 FRISCA "Stop dulu, Bar. Aku turun duluan. Nggak kuat pengen pipis." Ujarku, saat Barga tengah memarkirkan mobilnya di dalam carport ketika baru pulang menjemputku dari kantor. Barga menurut. Menghentikan mobilnya dan membuka kunci mobil disampinya. Aku berlarian kecil memasuki rumah dan segera menuju kamar mandi di dalam kamar tidur. Namun, saat aku baru membuka pintu kamar, aku tercengang melihat sesuatu yang sudah tersimpan di salah satu sudut kamar. "BARGA!" Teriakku dari dalam, sambil terus bergerak menahan dorongan ingin buang air kecil. "Ya ampun, Barga!" Ucapku tak sabar. "Kenapa sis, Fris?" tanya Barga, dengan sedikit tergopoh memasuki kamar. "Itu apa?"



Barga mengikuti arah telunjukku. "Menurut kamu itu apaan emangnya?" Dia terkekeh setelahnya. "Ish, kamu tuh. Aduh! Bentar deh aku pipis dulu, nggak kuat." Aku pun berlarian kecil memasuki kamar mandi. Meninggalkan Barga yang menertawaiku di belakang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar mandi dan menemukan Barga yang sedang mengutak-atik benda itu. Sebuah box bayi berwarna putih dengan kelambu biru. Persis seperti yang aku lihat di BIP saat kami kencan dua minggu lalu. Barga menggantungkan mainan pesawat di atasnya, menekan sesuatu dan benda itu hidup. Berputar dengan iringan musik lullaby dari musik ciptaannya Beethoven. Aku melangkah perlahan. Mengamati benda itu dengan baik. Dan si Abang bergerak intens di dalam perutku. Membuatku sedikit meringis karena gerakannya yang cukup kuat. "Kenapa?" tanya Barga sambil berjalan menghampiriku. "Si Abang geraknya kenceng banget. Bikin ngilu."



Barga menaikan blouse kerjaku dan menempatkan tangannya di atas perutku yang tak tertutup. Ia menatapku. Matanya berseri dan memancarkan sebuah kehangatan saat merasakan kehidupan kecil di dalam perutku. "Berapa lama lagi sih sampai due date-nya?" tanya Barga. "Baru 36 minggu. Masih ada empat minggu lagi." "Ya ampun... bentar lagi kita ketemu, Bang. Nggak sabar banget pengen gendong kamu." Ucapnya dengan kegembiraan yang tulus. "Kapan kamu beli box bayi itu?" tanyaku. Barga melirik box bayi di depan kami, lalu menyeringai kepadaku. Memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Tadi, pulang dari kampus langsung ke BIP. Awalnya sempet kaget, karena box bayi ini udah nggak ada di etalase. Aku pikir udah laku, tapi ternyata cuma ganti model lain dan yang ini disimpan di dalem." Aku maju selangkah dan memeluk lehernya dengan sedikit miring karena terhalang jendulan besar di perutku.



"Makasih. Aku suka kejutannya." Bisikku di depan telinganya. Ia balas memelukku. "Aku suka lihat kamu bahagia kayak gini. Si Abang juga kayaknya seneng ya? Gerak-gerak terus dari tadi." "He's so excited... Papa." Matanya naik seketika. Membuat dua iris mata kami saling bertemu dan saling menyelami dasar pikiran masingmasing. "Nggak tau kenapa, aku ngerasa... panggilan Papa dari kamu itu jauh lebih seksi dari panggilan honey bunny, baby bala-bala, sweetheart, atau panggilan sayang yang lain. Panggil Papa lagi dong, sekali lagi." "Udah ah, malah keterusan. Jadi papa aja belum." Ujarku, sambil meninggalkannya. Berjalan menghampiri box bayi dan mengamatinya dari dekat. Meraba serat-serat kayunya yang halus dan tertutup cat berwarna biru muda. Merasakan tekstur lembut dari kelambu dan spreinya yang juga berwarna biru muda. Bagus, Bang. Kamu pasti suka.



Aku merasakan sepasang tangan kekar melingkari tubuhku dari belakang. Memelukku dan menempatkan dagunya di atas pundakku. "Kamu suka?" bisiknya, dengan sengaja menghembuskan napasnya di sekitar daun telingaku. Aku mengangguk. "Kalau suka, imbalan buat aku apa?" "Pamrih. Kalau ngasih itu harus ikhlas, jangan berharap imbalan. Nggak iklash banget, sih!" Barga tertawa pelan. Aku merasakan saat ia menyingkap rambutku dan mendaratkan kecupan di leherku. Menelusuri sepanjang garis leher hingga ke atas pudak. Membuatku meremang. And I take the deep breath. "Bar..." "Hmm?" "Laper." "Aku juga. Tapi maunya makan kamu." "Tapi aku beneran laper, Bar." Barga menghentikan ciumannya dan terkekeh saat mendengar erangan manja dariku.



Ia melepas pelukannya dan mengulurkan tangannya padaku. "Ayo, masak." Aku menyambut uluran tangan itu dan mengikutinya saat menggandengku keluar dari kamar. Aku pernah berkata jika aku beruntung memilikinya bersama kami saat ini. Dialah yang membuka mataku, membuatku sadar jika realita di ambang mata jauh berbeda dengan hembusan sejuk keindahan sebuah khayalan. ***



Kepedihan mengoyakku saat menyaksikan tubuhnya yang telah terbungkus kain berwarna putih dan tengah bersiap untuk dikebumikan. Aku masih terus bertahan hingga saat ia benar-benar menghilang di balik tumpukan tanah merah yang menutup rapat seluruh tubuhnya. Dan kini aku sadar, Arkha telah pergi. He was gone before the goodbye. Aku ingat bagaimana terkejutnya aku hingga tak mampu berdiri karena lututku yang terasa lemah ketika mendengar kabar tentang kecelakaan Arkha. Grup Line dari teman-teman sesama mahasiswa Indonesia di RMIT, mengabarkan saat mereka mendapat kabar dari



keluarga, bahwa Arkha telah meninggal dunia. Kecelakaan di jalan tol saat ia sedang dalam perjalanan dari bandara cengkareng menuju rumahnya. Setelah mendengar kabar itu, tanpa make sure lebih dulu, hari itu juga aku segera memesan tiket pesawat untuk penerbangan paling akhir menuju Jakarta. Dan di sini-lah aku saat ini. Menatap nanar gundukan tanah yang menenggelamkan dirinya dalam sunyi dan gelap. Membaurkan harapan dan kenangan pada tumpukan tanah jelata yang dingin dan basah. "Kamu yang namanya Frisca?" Aku menengok, dan menemukan seorang laki-laki yang kutahu bernama Barga, adik satu ibu namun lain ayah dengan Arkha, tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahku. "Iya." Dia mengulurkan tangannya dan mengajakku bersalaman. "Aku Barga, adiknya Akrha." Ucapnya saat aku menerima uluran tangan itu. Aku mengangguk. "Kenapa diemnya disini?"



"Aku takut. Takut nggak kuat kalau terlalu dekat di sana." "Semuanya juga kaget, Fris. Nggak ada yang bisa terima waktu denger berita meninggalnya Bang Arkha. Bunda sampai pingsan berkali-kali saat kita jemput jenazahnya Bang Arkha di rumah sakit. Taksi yang Bang Arkha naikin nabrak truk yang oleng di depannya. Terus bagian belakang taksi, dihantam Kijang Inova sampai bikin body taksi gepeng. Bang Arkha dan supir taksi meninggal langsung di tempat kejadian." Barga bicara dengan pandangan lurus ke depan. Memperhatikan para pelayat yang sedang mendoakan Arkha dengan dipimpin oleh seorang Ustadz. "Kayaknya Arkha memang udah punya firasat kalau dia mau pergi. Karena kata-kata terakhir yang dia ucapkan sama aku waktu aku mau antar dia ke bandara, seperti ucapan dari seseorang yang memang akan pergi jauh." Dari sudut mataku, kulihat Barga menengok dan memandang ke arahku. "Dia bilang apa sama kamu?" tanyanya. Aku menutup mata dan menggeleng.



"Aku nggak ingat dan nggak mau mengingat itu lagi. Terus... gimana sama Kiasah? Arkha maksa mau pulang ke Indonesia karena dia khawatir dengan Kiasah yang kritis setelah melahirkan anaknya." "Kak Kia masih koma. Udah tiga hari belum sadar."



Tolong Kha, ajarkan aku tentang arti keikhlasan meskipun hatiku telah timpang sepeninggalan kamu. Bagaimana caranya untukku menekan perih yang tertindih karena kehilangan kamu yang tak pernah aku miliki. Aku



mencoba menahan semburan panas dari kedua pelupuk mata. Mencoba menampung genangan air mata agar tak sampai luluh. Namun sungguh, aku tak mampu menahan saat sesak itu kembali hadir. Aku tergelak dalam ironi. Sakit kepala yang kurasakan kembali menyerang. Dan yang aku ingat, ketika Barga menahan tubuhku yang siap terjatuh sebelum mencapai permukaan tanah sebelum akhirnya kegelapan pekat menyelimutiku seketika. Aku tak menyadari apapun. Semuanya nampak kabur dalam ingatanku. Yang aku tahu, aku terbangun di dalam



sebuah kamar serba putih dengan bau obat-obatan yang menyengat kuat. Aku menengok dan kembali menemukan Barga yang sedang menatapku dengan posisi berdiri menyandar pada tembok putih dengan kedua tangan yang ia silangkan di atas dada. "Aku nggak nyangka kalian udah sampai sejauh itu?" Dahiku otomatis berkerut saat mendengar ucapannya. "Maksud kamu?" Barga maju beberapa langkah dan berhenti tepat di depan ranjang rumah sakit yang kini tengah kutiduri. "Sekarang aku tanya sama kamu... sejauh apa hubungan kamu dengan Bang Arkha?" Aku semakin heran mendengar pertanyaannya. "Mendingan kamu to the point aja. Apa maksud kamu?" "Aku tanya sama kamu, hubungan kamu sama Bang Arkha itu apa? Kalian pacaran?" Aku menggeleng. "Kamu hamil, Frisca... dan kamu masih bisa bilang kalau kalian nggak ada apa-apa."



Sebenarnya, aku tidak terlalu terkejut saat mendengar ucapan Barga. Aku sudah menduga sejak menyadari jika periode menstruasiku sudah telat hingga dua minggu. Dan ternyata dugaanku benar. Aku kembali menatap Barga dan meneguk air liurku dengan keras. "Apa bener kamu pernah ngelakuin hal itu sama Bang Arkha? Apa bener bayi ini anaknya Bang Arkha?" "Aku cuma sekali ngelakuin hal itu, dan itu cuma sama Arkha. Nggak ada yang tau kabar ini kan selain kamu?" Kini, giliran Barga yang menggeleng. "Nggak ada yang tau selain aku sama dokter yang meriksa kamu tadi. Dan kita akan pastikan lagi dengan USG setelah kamu sadar." "Nggak usah!" Buru-buru aku memutus ucapannya. "Aku mau langsung pulang lagi ke Melbourne. Aku bisa urus masalah ini sendiri." Barga tertawa hambar. Seakan mengejek keadaanku. "Sayangnya, aku nggak akan biarin kamu bawa lari ponakan aku gitu aja." ***



Sore hari itu, aku pulang dari kantor dengan menggunakan Go-jek. Barga mengabariku, bahwa ia tidak bisa menjemput karena mobilnya mogok. Saat tiba di rumah, sudut mulutku terangkat ketika memperhatikan pemandangan di depanku. Barga, sedang bermain bersama anak tetangga di beranda rumah kami. "Om, kok kepala Optimus-nya gepeng?" Tanya Farell, anak lelaki dari tetangga sebelah rumah yang berumur enam tahun, saat memperhatikan Barga yang sedang membuat robot Optimus Prime dari mainan lego miliknya. "Lah iya. Dia kan habis nge-heading si Megatron. Jadi kepalanya gepeng kayak gini." "Emang iya, Om?" "Iya. Kamu belum nonton Transformer tiga? Optimus sama Megatron duel, kan? Badannya Megatron di-heading Optimus Prime sampai jatuh." Farell mendengarkan ucapan Barga dengan serius, mengangguk-anggukan kepala saat menyimaknya. "Tapi ini tangannya kok pendek sih, Om?" "Jangan terlalu panjang. Nanti jadi panjang tangan malah bahaya. Udah jadi nih, Rell. Bagus, kan?



Aku menahan tawa saat memperhatikan raut wajah Farell yang nampak memberenggut karena tidak puas dengan robot yang dibuatkan Barga. Setelahnya, mereka menengok bersamaan saat mendengarku membuka pintu gerbang. "Lagi pada ngapain, sih?" tanyaku, sambil menghampiri Barga dan mencium tangannya. Barga mengusap rambutku sekilas. "Lagi bikinin robot buat Farell. Maksa dia, pengen dibikinin Optimus Prime katanya. Pulang naik apa tadi?" "Tadi kan udah bilang, aku pulang naik Go-jek. Kalau naik angkot pasti macet dan penuh banget. Emang mobilnya kenapa, sih?" Barga menghela napas. "Nggak tau. Bingung aku juga. Udah aku utak atik sendiri masih nggak bisa hidup juga. Akhirnya aku panggil montir, sekarang lagi dikerjain di garasi. Terus gimana pengajuan cutinya?" Aku menengok dan membalas tatapan Barga. "Udah. Hari Jumat ini last day. Mudah-mudahan lahirannya nggak meleset dari tanggal perkiraan dokter, jadi seminggu setelah cuti udah lahiran."



"Kamu yakin masih mau kerja setelah lahiran nanti?" Aku mengangkat bahu. "Liat nanti aja. Kalau aku nggak tega ninggalin Abang kerja, mungkin aku pilih resign aja. Nggak papa, kan?" Barga tersenyum dan kembali mengacak rambutku. "Apapun pilihan kamu, selama itu bisa bikin kamu seneng, pasti aku akan dukung keputusan kamu. Karena aku sadar, aku bukan laki-laki yang mudah ungkapin sayang. Aku hanya laki-laki... yang ingin selalu nyenengin kamu berulang-ulang." -tbc13 FRISCA Sebuah kehangatan menyusup saat sepasang tangan kekar melingkari tubuhku dari belakang. Memelukku dengan erat. Membuatku nyaman dan semakin merapatkan diri padanya. Tak lama kemudian, tangannya yang iseng itu mulai menjamahi tubuhku, meremas kedua bukit dada yang sedikit membesar akibat kehamilan.



Aku melenguh saat Barga menciumi leherku dari belakang, terus turun sampai ke atas pundak. Atasan tanpa lengan yang kupakai, memudahkan ia mengakses bagianbagian dari tubuhku yang tak tertutup. "Bargaaa...." Ia terkekeh di belakang. "Can I have you for breakfast



in bed today? Without condom?" "Keenakan."



"Come on, babe. You're not the only ones who hate condoms."



Aku tak menanggapi. Kembali memejamkan mata dan berpura-pura tidur. Namun, si anak mesum ini dengan sengaja membelai-belai bagian pahaku yang terbuka. terus naik dan menyelipkan tangannya pada pangkal paha yang hanya tertutup selembar kain segitiga. "Barga...." "Nolak suami dosa lho!" Aku semakin meradang ketika tangannya mulai bermain-main di area sensitifku. Sengaja menggoda dan membuatku basah. Ting tong.



Mataku terbuka saat mendengar suara bel pintu. "Fuck. Siapa sih dateng pagi-pagi gini?" Barga berdiri dan merapikan celana boxer-nya yang mengetat. "Kamu bukain pintu ya. Aku guyuran air dingin dulu." Aku terkekeh setelah ia masuk kamar mandi. Terlihat sekali wajah frustasinya karena tak bisa menemukan pelepasan. Setelah mengenakan pakaian dengan benar, aku melangkah keluar dari kamar dan berjalan menuju pintu utama. Kejutan untukku saat menemukan seorang perempuan yang tidak asing sedang berdiri di depan rumahku. Icha, dengan senyum ramahnya menyambutku saat aku membuka pintu. Kami saling melempar pandangan sesaat sebelum aku mulai bersuara. "Cari Barga?" tanyaku, tanpa nada ramah sedikitpun. Dia menggangguk. "Iya. Barga-nya ada?" Aku tak menjawab. Hanya diam dan mengamatinya dengan lekat. Siapa sih, dia? Seneng banget ngerusuhin



hidup orang! And I guess I've got my own door to close now, huh! "Hey, Cha. Ada apa ke sini?"



Aku menengok dan menemukan Barga dalam keadaan segar dengan rambut sedikit basah, sedang berjalan menghampiri kami. "Sorry, ganggu pagi-pagi gini. Gue mau balikin SIM punya lo." "Ya, ampun. Gue kan bilang, lo pegang aja dulu. Nanti gue yang ambil ke tempat lo." Aku menatap bingung dan menuntut penjelasan saat Barga menengok ke arahku. "Jadi di hotel itu, untuk anak daily worker kayak aku harus ninggalin ID card tiap mau ambil seragam buat kerja. Dan kemaren aku lupa ngambil SIM aku lagi waktu ngembaliin seragam. Jadinya minta tolong Icha bawain SIM aku. Nggak tenang kayaknya kalau bawa mobil nggak megang SIM. Jadi gitu ceritanya, Sayang. Jangan cemburu sama Icha ya. Aku nggak ada apa-apa kok sama Icha." Aku melongo. Merasakan saat pipiku memanas karena ucapan Barga tadi. It seems so symbolic. His voice weak yet somehow still full of promise. Tapi dia nyebelin. Ngapain sih, Barga ngomong kayak gitu depan Icha. Ngeliatin banget kalau aku cemburu sama dia.



"Ya, udah. Ajak temen kamu masuk." Ucapku, kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan mereka. "Yah, bini lo ngambek deh, Bar." "Udah, nggak papa. Nanti gue cipok juga baikan lagi." Dan obrolan terakhir yang kudengar, membuat kesalku semakin memuncak.



Nanti malem, tidur di luar kamu, Barga!!



*** BARGA "Ibu Frisca." Aku dan Frisca menengok bersamaan saat mendengar perawat memanggil nama Frisca. Aku berdiri lebih dulu, mengulurkan tangan untuk membantu Frisca berdiri dan menggandengnya memasuki ruang praktik dokter obgyn. Seperti biasa, dokter menyambut kami dan melakukan konsultasi lebih dulu sebelum memulai pemeriksaan. "Udah mulai sering kontraksi, Bu?" tanya dokter, saat kami sudah duduk saling berhadapan. "Belum, Dok. Belum ngerasain apa-apa." "Tapi bayinya masih aktif?"



Frisca diam sesaat. Seperti sedang berpikir. "Udah nggak seaktif sebelumnya." Aku memperhatikan saat dokter menulis sesuatu di dalam rekam medis milik Frisca. "Oke. Sekarang Ibu-nya tiduran. Kita periksa dalam ya." Frisca menurut. Bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri tempat pemeriksaan, lalu berbaring di atasnya. Setelah memasangkan hand glove dari bahan karet pada satu tangannya, dokter lantas memasukan jarinya pada lubang lahir Frisca yang posisinya sudah diatur sedemikian rupa. Frisca meringis saat jari dokter mulai memasukinya. Shit! Ganti pake jari gue aja boleh nggak, Dok? Kalau



pakai jari gue, istri gue pasti mendesah, bukan meringis kayak gini.



"Belum ada pembukaan. Tapi Ibu masih suka ngerasain bayinya gerak-gerak, kan?" Aku menatap Frisca. "Udah nggak terlalu, Dok. Malah sekarang udah jarang gerak-gerak lagi." "Sejak kapan?"



"Sekitar semingguan ini." "Kita USG aja ya, Bu, untuk pastikan keadaannya?" Frisca mengangguk. "Kamu kok nggak bilang apa-apa sama aku?" tanyaku, dengan sedikit menunduk, saat dokter sedang menyiapkan alat untuk USG. "Soalnya aku pikir emang nggak ada apa-apa." Aku tidak mengeluarkan suara lagi. Hanya mengamati saat dokter mulai membuka atasan yang Frisca kenakan, mengolesi gel di atas perutnya, dan mulai melakukan USG. Dan aku dapat melihat si Abang yang sedang tertidur nyaman di dalam kehangatan rahim ibunya. "Oh... Iya pantes. Bayi Ibu kelilit tali pusar. Nih, keliatan, kan?" Aku mengamati dengan baik bagian yang ditunjukan dokter. Memang benar. Ada lilitan tali yang melingkari bagian leher anakku. Bahayakah itu? Tangan Frisca sangat dingin, saat aku membawanya dalam genggamanku. Terlihat sekali jika iapun sama tegangnya seperti yang aku rasakan saat ini.



"Jadi gimana, Dok?" tanyaku, setelah kami kembali duduk berhadapan. "Dengan keadaan janin seperti tadi, terlalu beresiko untuk Ibu Frisca melahirkan normal. Jadi, saya lebih menyarankan Ibu Frisca melahirkan dengan cara operasi." Aku merasa saat telapak dingin tangan Frisca meremas tanganku dengan cukup kuat. "Dan kira-kira kapan, Dokter bisa atur jadwal untuk operasi istri saya?" "Kalau bisa sih, hari ini juga kita langsung ambil tindakan, karena usia kandungan sudah matang, berat badan bayi juga sudah cukup. Jadi, lebih cepat lebih baik." "Untuk estimasi biayanya, kira-kira butuh biaya berapa ya, Dok?" Aku menengok saat mendengar pertanyaan Frisca. Jadi hal ini yang ia pikirkan sejak tadi dan membuatnya resah. "Kalau untuk urusan biaya, Ibu dan Bapak bisa tanyakan langsung ke bagian administrasi untuk lebih jelasnya."



"Ya udah, Dok. Langsung eksekusi aja hari ini juga." Ucapku, tanpa perlu berpikir lebih dulu. Frisca menatapku. Seperti ingin menyampaikan sesuatu namun ia tahan. "Sekarang, saya buatkan surat rujukan dulu, untuk diserahkan di bagian pendaftaran. Operasinya kita lakukan sore ya, Bu, setelah jadwal praktik saya selesai." Setelah itu, aku membawa Frisca keluar dari ruang praktek dokter dan berjalan kembali ke arah lobby utama, untuk menuju bagian pendaftaran. "Bar," Langkahku terhenti karena Frisca menahan tanganku. Aku menengok dan menemukan raut wajah penuh kecemasan darinya. "Kita balik ke mobil sebentar. Aku pengen ngomong dulu sama kamu." Aku mengangguk. Kini, gantian Frisca yang menggandengku menuju arah basement. "Ada apa?" tanyaku, setelah kita berada di dalam mobil. "Ini seriusan aku mau operasi sesar hari ini?"



Dahiku berkerut mendengar ucapannya. "Lho, emang kamu pikir kita lagi main-main?" "Terus biayanya? Operasi sesar nggak murah lho, Bar. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini." "Nggak perlu kamu kasih tau juga aku udah tau, Fris, kalau operasi sesar nggak murah. Tapi kamu nggak perlu mikirin masalah itu. Biar hal itu jadi urusan aku. Sekarang kamu cuma perlu berdoa, berusaha, supaya kamu dan anak kita bisa selamat." Aku menyeringai dan membalas tatapannya untuk mencairkan ketegangan. Frisca menangkup wajahku dengan kedua tangan dan mencium bibirku. Manis, dan lembut. Membuat aku semakin menarik lehernya dan membuatku memperdalam ciuman kami. "Aku nggak tau harus bilang apa lagi sama kamu, Bar. Karena kata terima kasih aja nggak cukup." Bisiknya tepat di depan bibirku. "Dengan kamu selalu mendampingi aku aja sudah sangat cukup untuk aku. Apalagi ditambah dengan



kedatangannya si Abang. Jadi, mau masuk ke dalem, apa masih pengen mesum-mesuman di sini?" Frica mencubit perutku dengan cukup kuat. "Ish. Kamu tuh bisa banget ngancurin mood aku." Hardiknya, yang membuat aku tertawa dan kembali menciumnya dengan gemas. *** Telepon genggamku berbunyi, saat kami sudah berada di dalam ruang persalinan. Tinggal menunggu dokter dan operasi akan segera dimulai. Panggilan dari si Jack. Mengabarkan bahwa ia ada di luar kamar bersalin. Aku memintanya datang ke rumah sakit untuk membawa kunci rumah dan mengambilkan tas berisi peralatan melahirkan yang sudah disiapkan Frisca sejak lama. Dan sekarang ia sudah kembali lagi ke rumah sakit. "Fris, si Jack udah balik lagi. Aku keluar dulu nemuin dia ya. Kamu nggak papa kan sendirian?" Frisca mengangguk. Dan terlihat di sana. Si Jack sedang menenteng tas bayi berwarna biru langit, seperti sedang kebingungan mencariku.



"Jack!" Ia menengok dan menghampiriku. Dan tas bayi itupun berpindah tangan saat ia tiba di depanku. "Kok ngedadak gini, sih? Katanya minggu depan baru lahiran?" "Bayinya kelilit tali pusar. Jadi harus cepet-cepet dikeluarin biar nggak bahaya. Jack, temen lo ada yang lagi nyari mobil, nggak? Gue mau jual mobil gue." "Buat apaan?" "Biaya operasi, Bray. Lo pikir berapa biaya operasi sesar?" "Kenapa nggak minta sama bokap lo aja, sih? Kalau cuma buat biaya sesar doang mah, bokap lo pasti mampu lah bayarin." "Nggak mau lah gue. Udah kawin masih aja nyusahin bokap. Selama gue masih mampu, ya mending gue usaha sendiri." "Lah, elu baru mau jual mobil sekarang. Terus biaya operasinya gimana?"



"Gue masih nyimpen uang SKS. Sengaja belum gue bayarin buat pegangan dulu. Ternyata bener kan feeling gue. Cukup lah kalau ditambah tabungan gue sama Frisca." Aku menengok dan mendapati Jack yang sedang menatapku dengan serius. "Nggak usah ngeliatain gue kayak gitu. Gue mau punya anak, nggak bisa bales perasaan lo kalau lo beneran suka sama gue!" Jack tidak menanggapi. Hanya diam, dan masih terus memperhatikanku dengan lekat. "Lo kenapa sih, Jack?" "Sedih aja gue liat lo kayak gini." Aku mengerutkan dahi mendengarnya. "Sedih kenapa?" tanyaku. "Lo masih muda, Bar. Harusnya, kita itu sekarang lagi nongkrong di Ngopdoel atau di Warung Pasta, sambil ngecengin anak-anak ITB yang pada nongkrong di sana. Bukannya malah sibuk nyari duit buat biaya lahiran. Sekarang gimana gue nggak sedih liat keadaan sahabat gue kayak gini. Lo ngumpanin masa muda lo untuk jadi tameng dari aib yang udah abang lo bikin."



Aku terdiam. Entah harus memberikan sanggahan apa dari ucapan Jack tadi. Yang aku pikirkan, aku ikhlas melakukan semua ini. Tak ada paksaan apalagi penyesalan. Jika perlu, I would have traded my life for her. For our



baby either.



"Gue sayang sama Frisca, Jack. Dan semua yang gue lakuin ini, bukan lagi sebagai tanggung jawab atas kesalahan abang gue. Tapi sebagai bentuk tanggung jawab suami yang emang sayang sama istrinya." Terdengar helaan napas berat dari Jack. Ia menatapku dengan penuh rasa kasihan. "Kalau udah ngomongin sayang sih, gue angkat tangan. Nggak mau ikut campur kalau udah ngomongin perasaan." Jack berdiri dan menepuk pundakku. "Ya udah, gue balik ya. Kalau ada apa-apa, kabarin gue secepatnya." Aku pun ikut berdiri dengannya. "Lo sekalian bawa aja mobil gue, Jack. Kali aja ada yang minat, jadi bisa liat langsung barangnya." "Gue nyumbang deh, Bar, buat nambahin biaya operasi. Nggak perlu sampai jual mobil."



Kusodorkan kunci dan STNK mobilku ke arahnya. "Udah, nggak apa-apa lo bawa aja. Gue udah mikirin keputusan ini dari jauh-jauh hari. Apalagi mobil gue sekarang sering mogok, bikin males jadinya." Setelah kepulangan Jack, aku kembali memasuki ruang bersalin dan menemukan Frisca yang sedang berbincang dengan perawat. "Si Jack kemana?" tanya Frisca, setelah aku berdiri di sampingnya. "Udah pulang lagi dia. Terus gimana, Sus? Dokternya udah selesai praktik?" "Sebentar lagi, Pak. Ruang operasinya juga udah siap. Tinggal nunggu dokternya aja." Tak lama setelah ucapan perawat tadi, dokter kandungan yang menangani Frisca datang, dengan seorang dokter lain di belakangnya. "Bapak, Ibu, ini dokter anak yang akan langsung menangani bayinya setelah lahir nanti. Untuk dokter anastesi sudah siap, sus?" "Dokter anastesi sudah siap di ruang operasi."



Doktet mengangguk. "Oke, kalau gitu, kita langsung masuk ke ruang operasi sekarang ya, Bu?" Aku masih terus mendampingi Frisca saat para perawat mendorong bed yang ditempati Frisca menuju ruang operasi. "Aku tunggu kamu disini ya, sayang." Ucapku, sambil mencium keningnya sesaat sebelum sosoknya menghilang di balik pintu ruang operasi. *** 14 FRISCA Suhu udara yang sangat dingin menyambutku saat memasuki ruang operasi, membuat kulitku meremang dan bulu-bulu halusku berdiri. Namun, ketegangan seketika menguap, saat sebuah alunan musik klasik karya Mozart sengaja dimainkan sebagai pengiring dari operasi Sectio Caesaria yang aku lakukan saat ini.



"Ibu, sekarang duduk ya, dengan posisi sedikit membungkuk." Aku menurut. Duduk bersila dengan sedikit membungkuk membelakangi doktet anestesi. Aku memperhatikan dokter dan suster yang sedang mempersiapkan alat-alat operasi di depanku. Ada lima orang yang berada di ruangan ini. Dokter obgyn yang menangani operasi pembedahan rahim, dokter anak yang akan menangani anakku begitu ia lahir, dokter anestesi, serta dua orang perawat sebagai asisten. Dan aku meringis saat merasakan tusukan sebuah jarum kecil di bagian atas tulang ekor saat dokter mulai menyuntikan obat bius anestesi. Setelah itu, aku kembali berbaring dan masih sangat sadar saat dokter obgyn mulai menyayat bagian perutku. Rasanya... seperti perutku sedang dicoret oleh sebuah pulpen. Namun, walaupun dalam keadaan sadar, aku tetap tidak dapat melihat langsung seperti apa prosesnya karena ada sebuah kain penghalang yang ditempatkan di bagian



atas perutku, hingga menghalangi kerja dokter yang sedang berusaha mengeluarkan bayiku dari dalam rahim. Ada dua orang perawat berdiri di samping kiri dan kanan, lalu mendorong kedua sisi perutku hingga ada bunyi blek cukup keras. "Aduh, pudaknya gede banget." Dan tak lama setelah ucapan dokter itu, terdengar suara tangis bayi yang begitu nyaring. Menandakan anakku sudah lahir dengan selamat. Dan semua proses itu sangat singkat. Tak lebih dari lima belas menit. "Ibu, selamat ya, anaknya laki-laki." Antara dalam keadaan sadar dan tidak sadar, aku mendengar suara perawat yang mengabarkan tentang anakku. Aku pun hanya mengangguk, dan masih terus mendengarkan suara tangis bayiku yang semakin mengeras. Seperti bentuk protes karena harus dipisahkan dari kenyamanan yang menyelimutinya selama sembilan bulan ini. Secara perlahan, kesadaranku pun sedikit demi sedikit mulai luruh. Mengikuti tempo dari lagu Mozart yang semakin melambat saat memasuki fade out. Dan yang aku



ingat, saat aku tertidur, ada Arkha disana. Memandang ke arahku dengan tatapan meneduhkan yang membuatku jatuh cinta sejak pertama kali bertabrakan dengannya saat SMA dulu. Ia tersenyum. Mengucapkan terima kasih, lantas pergi kembali. Arkha.... *** BARGA Ada kelegaan besar yang aku rasakan saat mendengar suara tangisan nyaring dari dalam ruang operasi. Dan ini rasanya... luar biasa. Seperti inikah rasanya jadi seorang ayah? Pintu ruangan operasi terbuka, disusul dengan munculnya dokter dari dalam ruangan. "Pak, Ibu Frisca mau sekalian dipasangin KB? Karena untuk kelahiran sesar, paling tidak harus ada jeda tiga tahun untuk pemulihan sampai luka operasi benar-benar kering." Aku berpikir sebentar. "Dipasangin KB apa, Dok?" "IUD. Jadi seperti huruf 'T' yang dipasangkan di depan mulut rahim untuk menghalangi sperma supaya



nggak bisa masuk. Kalau mau, sekalian saya pasang sekarang." "Tapi sewaktu-waktu bisa dicabut kan, Dok? Kapan aja seandainya saya ingin program punya anak lagi?" "Bisa. Tinggal datang aja ke sini, atau ke dokter kandungan manapun untuk dicabut lagi IUD-nya." "Ya udah, pasangin aja, Dok. Tapi, setelah melahirkan, berapa lama biasanya waktu istirahat sampai bisa berhubungan lagi, Dok?" Dokter tertawa.



Kampret! Keceplosan gue. Keliatan banget gue mesum. Bodo amat lah, namanya juga kebutuhan.



"Normalnya, empat puluh hari sudah bisa kembali berhubungan. Tapi, Bapak tanya lagi sama istrinya, sudah siap untuk kembali berhubungan intim atau belum. Jangan dipaksa ya, Pak, kalau istrinya belum siap. Karena hormon ibu setelah melahirkan biasanya masih belum stabil."



Tuh, kan! Dokter aja sampai ngomong kayak gitu. Keliatan banget kali ya kalau gue suka maksa Frisca nananina sama gue.



Dan setelahnya, dokter kembali masuk ke dalam ruang operasi. Namun beberapa detik kemudian, pintu ruangan kembali terbuka, hingga muncul lah seorang bayi mungil yang di simpang di dalam sebuah tabung kaca, dengan hanya menggunakan popok kain berwarna putih. Dan sebuah perasaan haru yang luar biasa aku rasakan saat suster memberiku kesempatan untuk menggendongnya, untuk mengumandangkan azan pada telinga kanannya, serta iqamah di telinga kirinya. Naluri seorang ayah membuatku tak ragu untuk membawa tubuh mungil itu dalam gendongan. Dia tampan. Rambutnya hitam dan lebat, kulitnya putih pucat dan matanya yang sebentar menutup sebentar terbuka, mengingatkan aku dengan matanya Bang Arkha. Sangat mirip. Dia emang bener-bener anak lo, Bang. Walaupun belum puas menggendongnya, aku kembali menyerahkan bayi itu kepada perawat untuk diobervasi lebih dulu. Sambil menunggu Frisca selesai ditangani oleh dokter, aku berjalan menuju musala untuk melaksanakan salat maghrib yang aku sambung dengan salat hajat dua



rakaat. Apalagi yang bisa seorang hamba kampret seperti aku, lakukan sebagai bentuk syukur selain beribadah kepada-Nya. Selama salat, telepon genggamku tak hentinya berbunyi. Dan setelah selesai, terlihat nama Bunda dengan tujuh panggilan tak terjawab dari nomornya. "Barga, kemana aja sih kamu? Bunda teleponin nggak diangkat." Aku menjauhkan ponselku dari telinga, saat mendengar sahutan dari Bunda ketika aku baru menghubunginya. "Habis salat, Bunda." "Perasaan Bunda kok gelisah banget ya dari pagi. Kenapa ya, Bar?" Feeling seorang ibu memang tidak bisa kita anggap main-main. "Frisca udah melahirkan, Bun. Anaknya laki-laki. Ini aku juga baru salat setelah tadi nungguin di ruang operasi." Hening. Tak terdengar suara apapun dari ujung telepon sana. Hingga saat kusimak baik-baik, ada suara isakan pelan yang aku tangkap.



"Bun...." Bisikku. "Frisca sama bayinya sehat?" tanya Bunda dengan suara sedikit serak. "Sehat, Bun, alhamdulillah. Bunda nggak perlu khawatir. Kita semuanya di sini pasti baik-baik aja, karena ada doa Bunda yang nggak pernah putus jadi pelindung buat kita." Kembali Bunda terisak. Lebih keras dari sebelumnya. "Dasar anak badung ya kamu. Kenapa baru ngasih tau sekarang? Ini aja Bunda yang telepon. Kalau Bunda nggak telepon kamu, pasti kamu nggak kepikiran buat ngabarin Bunda, kan?" Aku terkekeh. "Maaf. Boro-boro kepikiran buat nelepon, Bun. Kita berdua udah panik duluan karena semuanya mendadak. Sampai aku juga nggak bisa pulang ke rumah buat ambil keperluan melahirkan karena Frisca nggak mau aku tinggal." Terdengar hembusan kasar dari ujung telepon. "Ya udah, Bunda ke Bandung sekarang ya. Nemenin kalian di rumah sakit." "Sama Ayah?"



"Nggak. Ayah lagi inspeksi ke Medan. Kantornya Ayah lagi rame kerjaan, sampai Ayah harus turun ke lapangan juga karena inspekstor semuanya udah punya kerjaan masing-masing." "Bunda mau ke sini naik apa?" "Bunda mau ajak Ibu Zulmi. Mungkin Kia mau ikut, jadi bisa diantar Mas Bilal." "Ya udah, kalau sama Mas Bilal nggak apa-apa. Tapi kalau naik travel nggak usah ya, Bun. Tunggu Ayah pulang aja." Setelah mengakhiri panggilan telepon dengan Bunda, aku keluar dari musala dan kembali menuju ruang operasi. Frisca sudah tidak ada di sana. Suster mengabarkan jika Frisca sudah berada di ruang observasi sebelum dipindahkan ke dalam kamar perawatan. Frisca menengok saat aku masuk. Dan pemandangan di depanku ini sungguh luar biasa. Bayi kecilnya sedang telungkup di atas dadanya. Kulitnya tak lagi sepucat tadi. Dan aku menyaksikan sendiri saat kulitnya berubah menjadi sedikit kemerahan, dan semakin lama semakin merah padam.



Ia terlihat begitu nyaman berada di atas dekapan sang ibu. Frisca mengulurkan satu tangannya ke arahku yang segera aku sambut. Aku semakin merapat dan memperhatikan saat bayi kecil itu berhasil menemukan puting milik Frisca, dan segera menghisapnya dengan kuat. Aku menatap Frisca, membelai rambutnya dengan penuh sayang dan mencium keningnya. Tak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Yang aku tahu, aku bersyukur memiliki mereka di sini. Menjadi milikku. Dan siap untuk menghabiskan banyak waktu bersamaku. "Emang udah langsung keluar ASI-nya?" tanyaku. "Belum, sih. Masih bening-bening. Tapi kata dokter tadi harus disusuin terus supaya jadi lancar keluarnya." "Kalau aku bantu sedotin gimana? Biar banyak keluar ASI-nya." Aku menahan tawa saat Frisca menatapku dengan sebal. "Boleh aja, tapi sekalian kamu aku pakein popok juga, mau?" Dan kini, tawaku benar-benar pecah. Tawa pertama setelah seharian digelung rasa panik dan gelisah.



"Kamu nggak ngabarin Mami kamu, kalau udah lahiran?" "Iya, nanti aku telepon Mami." "Tadi juga Bunda telepon. Katanya nanti mau ke sini sama Ibu Zulmi dan Kak Kia." Frisca diam sesaat. Aku tau dia pasti sedikit terganggu saat mendengar nama Kak Kia. Kuapit dagu lancipnya dengan jariku, dan memaksanya menengok ke arahku. "Udah nggak cemburu kan, sama Kak Kia?" Frisca menggeleng. "Nggak. Aku sekarang sebelnya sama Icha, karena dia tuh nyamper-nyamperin kamu terus." ucapnya, dengan tampang juteknya dan membuatku tak tahan untuk menciumnya. "Cemburu ya?" "Udah sih, Bar, ganggu aja. Gimana Abang mau tidur kalau papanya berisik terus." Aku tertawa pelan. Menundukan sedikit kepalaku dan mengecup kepala anakku dengan penuh rasa sayang. "Udah mikirin nama buat si Abang?" tanyaku kemudian, yang dijawab gelengan kepala oleh Frisca. "Kalau aku aja yang kasih nama, boleh nggak?"



"Ya boleh, dong. Kamu kan papanya. Emang kamu udah dapet nama?" Aku mengangguk mantap. "Caezar Omar Er Rafif." Frisca mengerutkan dahi mendengarnya. "Kenapa kasih nama itu? Artinya apa?" "Tadi aku habis salat di musala, terus tiba-tiba kepikiran nama itu. Caezar, karena jalan lahirnya dengan cara sesar, dan selain itu, Caezar bisa juga artinya kaisar, seorang pemimpin. Dan Omar, sebenarnya sih ada beberapa arti. Tapi dalam bahasa Arab, Omar artinya anak yang lahir pertama. Sedangkan Er Rafif artinya bijaksana. Jadi kalau kita rangkai, arti nama itu menjadi, anak pertama yang akan menjadi pemimpin bijaksana." Frisca menatapku dengan binar mata yang tak ia sembunyikan. Membuatku tersentuh, seperti titik air yang menyusup ke dalam akar-akar rumput di tengah padang ilalang. Membuatku dengan tertatih mengeja isyarat tersamar dari sorot matanya.



Anjeerrr. Bahasa gue. Kelar ini langsung saingan sama Rangga bikin puisi cinta.



Dengan berat hati, aku memutus pandangan mata kami saat telepon genggamku berbunyi. Dari Ayah. "Assalamualaikum, Yah?" "Waalaikumsalam. Kamu itu gimana sih, jadi anak? Kenapa nggak ngasih kabar kalau istri kamu udah lahiran?" "Mendadak, Yah. Aku nggak kepikiran buat nelponin orang-orang. Udah khawatir duluan sama keadaan Frisca dan bayinya." "Jaga mereka baik-baik ya, Bar. Besok pulang dari Medan Ayah langsung ambil penerbangan ke Bandung. Bunda juga sekarang lagi di jalan sama Ibu Zulmi. Ya udah, salam buat Frisca ya. Assalamualaikum." Keluargaku ini memang unik. Ibu Zulmi adalah mantan istri Ayah sebelum menikah dengan Bunda. Lalu setelah Bunda kehilangan suaminya yang meninggal akibat kecelakaan, Ayah poligami dengan menjadikan Bunda istri kedua. Tak lama setelah melahirkan aku, Ayah dan Ibu Zulmi bercerai, dan Ibu Zulmi menikah dengan Om Ammar. Dari Ibu Zulmi, Ayah memiliki anak, yaitu Kiasah, yang sekarang menjadi saudara satu ayah denganku. Sedangkan aku dan Arkha adalah saudara satu ibu.



Namun si kampret Arkha malah jatuh cinta sama kak Kia, yang akhirnya menimbulkan masalah besar dalam keluarga kami, karena mereka berdua adalah saudara sepersusuan. Hingga membuat Arkha patah hati, lalu memilih kabur ke Melbourne karena ajakan Frisca, yang sudah lebih dulu kuliah di sana. Yah... seperti itulah singkat cerita tentang keluargaku. Rumit dan membuat sakit kepala. Namun yang membuat aku salut, kedua keluarga kami masih bisa akur dan samasama saling merangkul. Malam harinya, setelah Frisca dipindahkan ke ruang perawatan, Bunda datang bersama Ibu Zulmi, Kak Kia serta Mas Bilal. Aku memberikan kunci rumah untuk mereka pulang setelah melihat keadaan Frisca. Karena kamar kelas dua yang Frisca tempati, tidak bisa menampung banyak orang di dalamnya. Hanya satu penunggu yang diperbolehkan menemani pasien selain pada jam besuk. Kak Kia dan Mas Bilal menghampiriku, saat aku duduk di ruang tunggu, membiarkan Bunda dan Ibu Zulmi yang sedang merecoki Frisca dan Omar di dalam. "Gimana rasanya jadi Ayah, Bar?"



Aku terkekeh lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan mereka. "Luar biasa lah pokoknya." Mereka pun ikut tertawa. Lalu aku merasakan saat Mas Bilal menepuk pundakku. "Bar, saran dari Mas nih ya. Lebih baik kamu dan Frisca ulang akad nikah setelah Frisca melahirkan. Karena, dalam aturan agama, menikahi wanita dalam keadaan hamil itu nggak sah. Dan supaya pernikahan kalian lebih sakral dan lebih berkah, lebih baik kamu ulang ijab qobul." Iya, aku juga paham soal aturan itu. Mungkin yang diucapkan Mas Bilal nggak ada salahnya. Setelah Frisca mendapatkan periode menstruasi pertamanya setelah selesai nifas, aku akan mengulang ijab qobul agar penikahan kami sah di mata agama. Dan supaya aku juga tenang jika mau beribadah dengannya setiap malam. -tbcBaru update wattpad versi terbaru malah ga bisa login dari hp. Dicoba ga bisa teruuss... Jadinya ga bisa balesin komen-komen di part kemaren. Maaf yaa.. Jangan bilang author baik hati dan mamah muda ini sombong karena ga balesin komen.



*cipok reader atu-atu dari papah barga. 15 FRISCA Aku menengok saat tirai penutup di ruang perawatanku terbuka, dan menampakkan sosok Barga yang masuk dengan membawa bungkusan plastik di tangannya. "Beli apa?" tanyaku. "Nasi Padang." Ia mengeluarkan bungkusan nasi Padang dari dalam plastik dan membukanya di atas meja penyimpanan samping ranjang. Aku masih memperhatikannya saat sedang makan. Aku tahu, Barga pasti kelelahan menungguiku di rumah sakit. Namun, tidak pernah sekalipun aku mendengarnya mengeluh. Aku mengulurkan tangan dan membelai kepalanya yang sedang menunduk, membuatnya mendongak dan menatapku sambil terus mengunyah makanannya. "Kenapa?" tanya Barga.



Aku menggeleng. Hanya melempar senyum untuknya. "Kita jadi pulang hari ini, kan?" tanyaku, tak sabar ingin pulang ke rumah setelah tiga hari menjalani perawatan di rumah sakit. "Jadi. Tinggal nunggu doktet visit. Tapi nanti kita harus tanda tangan surat pulang paksa." "Tapi Omar ikut pulang juga kan, Bar?" "Ya, ikut lah. Tadinya Omar disuruh nginep di sini semalam lagi, karena bilirubin-nya cukup tinggi. Tapi aku telepon Bunda, katanya, nggak apa-apa dibawa pulang aja. Nanti kita jemur setiap pagi." Aku bernapas lega. Rasanya tidak nyaman berlamalama di rumah sakit. Bukan hanya karena fasilitas kamar inapku yang hanya berada di kelas dua, sehingga harus berbagi ruangan dengan dua pasien lainnya, tapi karena aku juga memikirkan masalah biaya. Dan selain itu, aku juga kasihan melihat Barga yang harus tidur di kursi panjang ruang tunggu setiap malam. Selesai makan, Barga membuang bungkus sisa makanannya di tempat sampah dan memasuki kamar mandi.



Aku tersentak saat Barga tiba-tiba sudah berada di belakangku, membantu merapihkan rambut yang terurai saat sedang menyusui Omar. Ia membungkukkan tubuhnya, menempatkan dagunya di atas pundakku, dan memperhatikan bayi kecil kami yang sudah mulai terlelap. Di tengah kedamaian itu, aku dan Barga menengok bersamaan saat melihat tirai penutup kembali terbuka, disusul dengan munculnya perusuh yang datang dengan membawa hadiah yang sudah dibungkus rapi dengan kertas kado warna warni. "Anjir, cobaan buat jomblo, menyaksikan keluarga bahagia kayak gini." Cetus si Jack, yang lantas dibalas jitakan kepala oleh Barga. "Ngomong yang bener. Jangan sampai anak gue ngikutin congor lo yang isinya sampah semua." Jack melirik Barga sinis. "Kagak nyadar mulut dia-nya sendiri busuk. Gimana, Fris? Masih sakit?" tanya Jack, setelah mengalihkan perhatiannya padaku. "Masih sakit banget, Jack. Makanya, kalian jangan pada ngelawak di sini. Perut aku tambah sakit kalau ketawa."



"Lah, dikira kita Sule sama Andre kali yaa, pake acara ngelawak segala." Timpal si Jack, yang membuatku terkekeh dan mengeryit setelahnya karena merasakan sakit pada bekas jahitan di perutku. "Udah, kita keluar aja, Jack. Nggak beres kalau ada lo di sini." Barga kembali mengampiriku, "keluar dulu bentar ya." Ucapnya, kemudian mencium Omar dan menciumku sebelum menghilang di balik tirai.



Suddenly I knew that I'd never felt as strongly for another person as I did at the moment. Sebab kini aku



tahu, aku punya dua lelaki hebat yang menjadi penguatku saat ini. Dua lelaki yang senantiasa menjadi bait dalam alunan doa yang senantiasa menemani perjalanan terjalku menuju garis akhir. *** BARGA "Gimana? Udah ada yang nawar belum?" tanyaku, saat aku dan Jack berjalan menuju tempat parkir mobil di lantai bawah rumah sakit.



"Lo mau lepas berapa? Abang gue tertarik. Tapi dia mau lihat dulu fisiknya. Jadi nanti sore rencananya mobil mau gue bawa dulu ke Jakarta." "Ya udah, bawa aja. Terserah lo aja, Jack. Kira-kira XTrail kayak gini laku berapa kalau di jual." Sampai di depan mobilku, Jack bersandar di bagian sisinya dekat pintu untuk pengemudi, sedangkan aku berdiri di depan Jack. Kami sama-sama menyalakan satu batang rokok dan mulai menghisapnya. "Udah mulai cinta sama Frisca?" Aku menengok seketika saat mendengar pertanyaan konyolnya. "Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?" "Kepo aja gue. Tapi kalau lihat perlakuan lo sama Frisca tadi, gue yakin lo memang ada hati sama dia." Aku berdecak. "Hari gini masih mikirin cinta. Perut dulu kenyangin. Cinta nggak bisa bikin perut kenyang." Jack tertawa mengejek. "Basi lo. Kalo emang bukan cinta, ngapain lo mau sama cewek bekas dipake abang lo?" Dia bilang apa tadi? Emang bener-bener minta dihajar kali ini orang, sampai berani berkata seperti itu di depanku.



Dengan penuh emosi, aku melempar batang rokok yang masih tersisa banyak, lalu maju selangkah dan menarik kerah baju si Jack dengan cukup keras hingga membuat lehernya tercekat. "Ngomong apa lo tadi? NGOMONG APA LO, ANJING!" Teriakku langsung di depan wajah si bandit sialan ini. "Kalem, Bro. Lo nggak santai banget sih sekarang." "Cewek yang lo hina itu istri gue, Gembel! Gimana bisa gue santai denger ada orang yang hina dia!" "Oke, sorry, sorry. Gue minta maaf." "Masalahnya apa sih sama lo? Lo nggak ikhlas bantuin gue? Balikin kunci mobil gue, biar gue usaha sendiri." "Berapa lama sih kita temenan, Bar? Gue ikhlas nolongin lo. Oke, gue salah karena tadi udah menghina istri lo. Gue minta maaf." Aku mendengus. "Sekali lagi lo berani hina dia, nggak peduli kita udah temenan lama, Jack, gue hajar lo sampai mampus sekalian."



Aku melepas cengkaraman tanganku dengan sedikit mendorong tubuhnya hingga membentur body mobil dengan cukup keras dan membuatnya meringis. "Bilangnya nggak cinta, tapi gue ngomong kayak gitu aja langsung bikin lo kalap. "Ya, elo mancing-mancing gue." "Kalo lo kepancing, itu artinya lo cinta sama dia, Gembel!" Balas si Jack, lalu menoyor kepalaku. I don't want to hear this fucking topic. Frica pernah mengatakan sendiri padaku, bahwa ia tidak ingin menggantungkan harapan pada siapapun, karena sebuah harapan selalu menyakitkan. Lalu apa yang bisa aku harapkan darinya jika ia sendiri tidak ingin berharap padaku? Dan kembali pada perkataanku dulu, bahwa mencintainya sama saja seperti menggenggam angin. Semu. Dan mustahil bisa kita dapat. Si Jack mengajaku kembali masuk untuk berpamitan pada Frisca karena harus langsung menemui kakak lelakinya di Jakarta. Saat kami berjalan di tengah-tengah lobby, seseorang meneriakan namaku dengan begitu keras.



Aku menengok, dan mendapati Icha yang sedang berjalan menghampiri kami. "Lo bawa apaan itu, Cha?" tanyaku heran, saat melihatnya membawa bingkisan kado yang cukup besar. "Hadiah buat anak lo lah. Gue mau besuk anak lo boleh nggak, Bar?" "Ya boleh lah. Kenalin dulu, ini sahabat gue dari SMA." Icha dan Jack bersalaman dan saling melempar senyum. Aku mengajak mereka naik ke atas, dan menemukan Omar yang sedang menangis dengan cukup keras hingga membuat Frisca kewalahan saat memasuki kamar perawatan mereka. "Kenapa, Fris?" tanyaku, sambil mendekat dan mengambil Omar dari gendongannya. "Yang sebelah tadi ada yang besuk. Banyak orang, trus pada ketawa-ketawa kenceng banget. Omar sampai kaget waktu lagi tidur, terus akhirnya ngamuk kayak gini." Ujar Frisca sambil berbisik, agar tidak sampai terdengar pasien sebelah yang hanya terhalang tirai.



"Kasian banget anak Papa. Keganggu ya bobok-nya? Sekarang Abang bobok lagi sama Papa ya." Aku menempatkan Omar di atas dada. Menepuknepuk punggungnya perlahan. Dan ajaib, bayi kecil itu diam dengan sendirinya. "Selamat ya, Frisca." Ujar Icha, setelah sebelumnya sempat terdiam saat melihatku menenangkan Omar. "Duduk aja, Cha. Sorry ya, tempatnya sempit. Nggak mampu nyewa kamar VIP soalnya." Ucapku mengambil alih percakapan, karena Frisca hanya melempar senyum singkat tanpa bicara sedikitpun. "Ya elah, Bar. Yang penting anak dan ibunya selamat, sehat." Kemudian memalingkan kembali wajahnya ke arah Frisca. "Namanya siapa?" "Omar." Frisca menjawab singkat, kali ini ditambah dengan sedikit senyum. "Fris, balik dulu ya. Sorry nggak bisa lama-lama. Sekali lagi selamat ya." Pamit Jack yang dibalas anggukan oleh Frisca. Sedetik kemudian, Icha ikut berdiri, "Gue juga sekalian pamit, deh. Ini hadiah buat Omar. Mudah-



mudahan manfaat." ucapnya, sambil memberikan kotak besar yang ia bawa kepada Frisca. "Cepet-cepet banget sih, Cha?" "Gue masih ada janji lagi soalnya. Selamat jadi Ayah ya, Bar. Dijaga baik-baik amanahnya." Aku mengangguk dan tersenyum. "Lo bareng gue aja, Cha." Ucap si Jack tiba-tiba. Membuat kami semua menengok ke arahnya. "Nah, bener tuh. Bareng sama Jack aja, Cha, daripada lo naik angkot." "Emang nggak papa?" "Alah! Si Jack mah udah biasa jadi supir. Tapi hatihati aja, Cha. PK dia!" *** FRISCA Aku memperhatikan Barga yang sedang berkemas. Membereskan perlengkapan milikku dan Omar serta hadiah-hadiah yang diberikan dari teman-teman kami yang menyempatkan waktu untuk membesuk ke rumah sakit.



Setelah Barga menyelesaikan urusan administrasi, akhirnya aku bisa keluar dari rumah sakit setelah tiga hari terkurung di sini. Barga mengatakan jika di rumah ada Bunda yang sudah menunggu kami, sedangkan Ibu Zulmi dan Kiasah sudah kembali ke Jakarta setelah dua malam menginap di sini. "Butuh kursi roda, Bu?" Tawaran seorang security, saat melihatku yang sedang berjalan perlahan sambil menggendong Omar. Sementara Barga mendorong troley yang berisikan tas serta hadiah-hadiah untuk Omar. Aku pun menolak tawarannya karena merasa masih mampu untuk berjalan sendiri. Aku mengernyit ketika Barga membukakan pintu Uber Taksi yang berhenti di depan kami saat kami baru tiba di pintu lobby utama rumah sakit. "Kok naik Uber? Mobil kamu mana?" Tanyaku, setelah kami berdua duduk berdampingan di dalam mobil. "Ada." Jawab Barga singkat. Namun, jawabannya itu justru membuatku semakin curiga. "Ada di mana, Barga?"



Barga tak menanggapi. Hingga saat kami tiba di rumah, Barga masih belum menjawab pertanyaanku. Bunda menyambut kami di depan pintu rumah. Keadaan rumah sudah sangat rapi dari terakhir kali aku meninggalkannya. Sama seperti mobil, rumah ini pun pemberian dari mertuaku. Beruntung, karena membuat kami tidak perlu memikirkan biaya tambahan untuk mengontrak rumah. "Ayah baru take off dari Medan. Nyampe kesini malem kayaknya. Nanti tolong jemputin di Bandara Husen ya, Bar?" Aku mengamati Barga yang terlihat gelagapan saat mendengar perkataan Bunda. "Mobilnya nggak ada, Bun. Lagi dibawa sama Jack. Mau dilihat kakaknya dulh, soalnya akhir-akhir ini sering mogok." Aku mengerutkan dahi saat mendengar jawabannya, namun urung menanyakan lagi tentang keberadaam mobil itu.



Malam harinya, saat aku keluar dari kamar mandi, aku mendengar Barga sedang bicara dengan seseorang di telepon. "Ya udah, kalau harganya emang mentok segitu, lo lepas aja Jack. Nanti gue kasih nomor rekening gue. BPKBnya gimana? Oke, besok gue kirim lewat JNE. Thanks ya Jack." Aku mendekat setelah Barga memutus panggilannya. Mengambil tempat di sebelahnya, dan menatapnya lekat. "Jujur sama aku, mobil kamu kemana?" tanyaku dengan serius. Barga menghela napas, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku denger obrolan kamu sama Jack tadi. Kamu minta tolong Jack buat jual mobil kamu, kan?" Barga memalingkan wajahnya dariku. Membuatku harus sedikit memaksanya untuk menatapku. "Iya, aku jual mobilnya." "Kenapa?" "Ya, buat bayar biaya operasi." Aku tertawa miris. "Tapi kenapa harus dijual, Bar?"



"Kamu pikir, aku bisa dapet uang dari mana buat bayar operasi kamu selain dari jual mobil? Udah lah nggak usah dibahas lagi. Yang penting aku dapet uangnya halal. Bukan uang haram hasil korupsi." Aku tersentak. Perkataannya tadi benar-benar membuatku terkejut. Di saat aku tengah menelaah perkataannya, aku mendengar umpatan pelan dari mulutnya. "Sorry, aku bener-bener minta maaf, Fris. Nggak ada sedikitpun maksud aku untuk ngomong kayak gitu. Aku...." Barga bicara dengan gelagapan. "No. I'm okay. It's doesn't matter. Apa yang kamu omongin tadi emang bener. Harusnya aku berterima kasih sama kamu, karena kamu udah berusaha cari rezeki yang halal untuk aku dan Omar. Nggak kayak Papaku, yang tega ngasih makan aku dan Mami dengan uang haram hasil korupsi." Ada rasa sakit yang merambatiku saat mengucapkan kalimat tadi. Bahkan aku nyaris tidak bisa mengenali suaraku sendiri yang sedikit bergetar karena berusaha keras menahan tangis. Aku menarik napas dalam. Berusaha meredam percikan luka yang aku rasakan saat ini.



"Tidur yuk, Bar. Udah malem." Aku beranjak menghampiri tempat tidur, membaringkan diri di atasnya dan menutup rapat seluruh tubuhku dengan selimut. Aku merasakan saat Barga mengecup kepalaku dan berbisik, "I am so sorry. I never meant to hurt you. Aku sayang sama kamu, Frisca." Dan kata-katanya tadi adalah kekalahan untukku. Aku menyerah dan akhirnya membiarkan air mata itu luruh dengan sendirinya. Aku sudah biasa mendengar cemoohan seperti itu dari orang lain. Namun, mengapa kali ini rasanya beribu-ribu kali lebih menyakitkan? Aku menutup mata, berusaha menghilangkan nyeri tapi tak berhasil. Hatiku sudah terlanjur tergores karena perkataannya tadi. Aku mendekap bantal dengan sangat erat. Berusaha menyembunyikan tangisku yang semakin mengencang di baliknya. Aku semakin terisak. Mencoba menghilangkan perih dengan air mata yang tak hentinya mengalir sebagai saksi dari setiap perih yang aku rasakan. -tbc-



Say hi from Mama Papa-nya dedek Omar. Thx for reading guys ��� 16 Karena udah tiga hari nggak nongol, aku kasih bonus videonya Barga & Frisca. Bukan trailer sih, just for fun aja. Soalnya kalau dibilang trailer, ga nyambung sama judulnya ahahahaha... Enjoy guys... *** FRISCA Aku berjalan dengan sedikit tergesa di tengah koridor sekolah untuk menuju ruang Bimbingan Konseling. Setelah tiba di depan pintu ruangan, aku mengetuknya dan membuka pintunya secara perlahan. Terlihat anakku, sedang duduk di salah satu sudut sofa dengan muka memar seperti habis kena pukulan. "Mamanya Omar ya?" Tanya seorang wanita usia di bawahku, yang aku yakini adalah guru BK di sekolah ini. Aku mengangguk. "Iya, saya Mamanya Omar."



"Silahkan duduk dulu." Aku mengikuti perintah dari sang guru. Duduk tepat di samping Omar. Dari dekat, memar pada wajahnya terlihat lebih jelas. "Ada apa dengan anak saya, Bu?" tanyaku, kepada guru yang duduk di seberang meja. "Omar berkelahi dengan temannya." Aku mengalihkan pandangan, menatap Omar dengan tegas. "Benar?" tanyaku. Omar mengangguk. "Sama siapa?" tanyaku lagi. "Azriel." "Kenapa?" "Di kelas, cuma Abang yang belum pernah main ke Trans Studio. Azriel ngeledekin Abang. Katanya, Abang nggak punya Papa, jadi nggak ada yang ngajakin main ke Trans Studio." "Terus?" Omar menunduk, tak berani menatapku sama sekali.



"Terus, Azriel Abang lempar pake tempat pensil. Dia marah, balik lempar Abang tapi nggak kena. Terus... ya udah, akhirnya kita berantem." Aku menghela napas panjang. Hal yang paling aku takutkan akhirnya terjadi. Aku melirik guru BK di depanku, dan ia mengerti maksudku. "Ya udah, Omar sekarang kembali ke kelas ya." Ujarnya, yang langsung dijawab anggukan kepala oleh Omar. Omar berdiri. Dan saat melewatiku, ia berhenti. "Maafin Abang ya, Ma." Ucapnya pelan, masih menundukan kepala. Aku terdiam sesat. Sadar, jika ini semua bukan sepenuhnya kesalahan Omar. Namun, aku pun tidak ingin membelanya dan membuatnya menganggap jika berkelahi untuk membalas sebuah kejahatan itu benar. "Nanti kita bicara lagi di rumah ya." Omar mengangguk, dan kembali melanjutkan langkahnya.



"Kalau boleh saya tau, papanya Omar ke mana, Bu?" tanya guru BK, setelah Omar keluar dari ruangan dan kembali menutup pintunya dengan rapat. "Papa kandungnya Omar sudah meninggal sejak Omar masih di dalam kandungan. Setelah itu saya menikah lagi, dan berpisah waktu Omar masih bayi." Guru BK nampak mengangguk-anggukan kepala tanda memahami ucapanku. "Oh, pantes aja, sikap Omar cenderung fluktuatif. Karena menurut ilmu psikologi yang saya pelajari, 63 persen anak mengalami masalah psikologis jika dibesarkan tanpa campur tangan seorang ayah. Karena, kehilangan peran ayah dalam kehidupan anak, sangat berkaitan dengan kesulitan anak untuk menyesuaikan diri di sekolah, lingkungan sosial dan penyesuaian pribadi terhadap perubahan. "Seperti yang saya perhatikan dari perilaku Omar, dia sering sekali terlihat gelisah, sedih, suasana hati yang mudah berubah, Omar juga sedikit introvert. Dan hal yang saya khawatirkan, bila dibiarkan masalah kejiwaan pada



Omar akan berkembang dan bisa mengakibatkan depresi. Dan itu akan lebih sulit untuk disembuhkan." Tubuhku bergetar selama mendengar penjelasan dari guru BK di depanku. Separah itukah pengaruh perkembangan seorang anak tanpa kehadiran sosok ayah? Semakin lama, getaran di tubuhku semakin kuat hingga membuat seluruh tubuhku sedikit terguncang. "Frisca," Bisikan lembut itu, seperti suara Barga yang sedang berbisik di telingaku. "Frisca... bangun, sayang." Ulangnya lagi dengan mengguncang bahuku lebih keras. Aku terperanjat dan bangun seketika. Astaga! Ternyata cuma mimpi. Aku diam, mencoba meredakan tarikan napasku yang masih sedikit terengah. Mimpi tadi terasa sangat nyata. "Kamu mimpi apa sih, sampe ngos-ngosan gini?" tanya Barga, dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Ia mengusap kepalaku dengan lembut Aku menelan ludah dan mengusap wajahku. Saat menutup mata, terlintas bayangan anak kecil tadi. Dan aku baru sadar jika wajahnya sangat mirip dengan Barga.



Tampan, tapi tengil. Bukan wajah Arkha yang lebih tenang dan meneduhkan. Kami sama-sama menengok saat mendengar suara tangisan Omar dari dalam box bayi. Saat aku akan berdiri, Barga menahanku. "Biar aku aja." Ucapnya, lalu berdiri dan berjalan menghampiri Omar. "Oh, popoknya udah penuh ya, Bang? Papa gantiin ya." Aku memperhatikan saat Barga dengan cekatan mengganti popok sekali pakai yang digunakan Omar, dan memakaikan popok kain sebagai gantinya. Setelah selesai, ia membawa Omar dalam gendongannya dan menyanyikan The Man Who Can Be Move. Lagu dari band The Script yang membuatku menggeleng-gelengkan kepala.



The good, the cool, and the silly Papa.



Dan aku pernah berkata jika aku beruntung karena memilikinya disini, bersamaku dan Omar. Namun kejadian kemarin membuatku berpikir ulang. Delapan bulan menjalani pernikahan dengannya, tidak



lantas membuatku mengenal dirinya luar dalam. Dia masih sangat asing. Siapa Barga dan bagaimana dia sebenarnya, semua masih berupa bayangan samar di depanku. Seperti sebuah kutipan yang pernah kubaca dari novel WE, karya penulis Yevgeny Zamyatin, yang membuatku berpikir ulang tentang dirinya. 'A man is like a novel, until the very last page you



don't know how it will end. Otherwise it wouldn't be worth reading' Well, untuk kita kaum wanita, membaca pikiran



seorang pria itu memang sama seperti membaca sebuah novel. Kita tidak akan tau isinya seperti apa jika kita belum sampai pada halaman terakhir. Karena berbeda dengan wanita yang lebih ekspresif, para pria cenderung lebih memilih untuk menutupi perasaannya. Dan hal inilah yang aku benci dari mereka *** Sudah dua minggu terhitung sejak operasi, aku sudah membuat appoitment dengan dokter untuk membuka perban yang selama ini menutupi luka bekas jahitan. Beruntung metode kedokteran saat ini sudah canggih,



hingga membuat perban anti air dengan bagian luar seperti terbungkus plastik dan tidak menjadi masalah jika terkena air saat mandi. Saat aku keluar rumah, Barga sudah menungguku di carport dengan sebuah motor Yamaha Vixion di depannya. "Motor punya siapa?" Tanyaku, saat berjalan menghampirinya. "Motornya Jack." Barga membantu memasangkan helm di atas kepalaku dan mengencangkan kaitannya. Setelah selesai, ia menatapku. Dalam, dan sangat gamblang. "Maaf ya, sekarang cuma bisa masangin helm, nggak bisa bukain pintu mobil lagi kayak kemaren." Aku membalas tatapannya. Dalam situasi normal, mungkin aku akan menghamburkam diri ke dalam pelukannya dan mengatakan jika aku tidak masalah dia ajak naik motor ataupun naik mobil asal ada dia yang melindungi aku. Namun untuk saat ini, aku telan semua perkataan itu dan memilih menyimpannya sendiri. Aku pun hanya mengangguk dengan sedikit senyum untuknya. "Ya udah,



yuk cepetan. Takut Omar keburu bangun. Nggak enak sama Bunda kalau dititipin lama-lama." Barga tersenyum pahit karena tidak mendapat respon dariku. Setelah aku duduk di atas motor, Barga menarik tanganku dan melingkarkannya di sekeliling pinggangnya. Membuat tubuh bagian depanku menempel ketat dengan punggungnya. Barga mulai menjalankan motornya, membelah jalanan Bandung pada sore hari di bawah langit yang cerah tanpa tertutup awan mendung. Aku menunduk, menyembunyikan wajahku di atas punggungnya saat merasakan laju motornya semakin cepat. Dan itu membuatnya menarik tanganku agar semakin merapat padanya. Tepat saat pemberhentian lampu merah, Barga menengok ke belakang, membuat wajah kami berjarak sangat dekat. "Geez, I miss your smell, Frisca. Too bad. I am sorry



to make you upset. Please, tell me how to get you back?" bisiknya, sangat dekat. Matanya seakan menghipnotisku.



Belum sempat aku menjawab, suara nyaring dari klakson mobil di belakang membawa kami kembali pada realita. Akupun menelan kembali respon dari ucapannya. *** BARGA Sudah hampir satu bulan aku terjebak dalam situasi ini. Situasi di mana kami seperti berada dalam fase awal perkenalan ketika baru memulai pernikahan ini. Asing, dan awkward. Benar-benar canggung, dan membuatku tak nyaman saat berada di rumah. Kami masih sama-sama tinggal di rumah yang sama, menempati kamar yang sama, bahkan kami masih tidur di atas ranjang yang sama. Namun... rasanya dia semakin jauh. Semakin tak tergapai. Frisca hanya menanggapi sekilas setiap kata-kata apapun yang aku ucapkan padanya. Dan aku paham, dia berusaha bersikap seperti biasanya karena ada orangtuaku di sini. Entah bagaimana keadaannya jika mereka sudah kembali ke Jakarta. Ayah menengok saat aku keluar dari kamar. Dia melirikku sekilas, kemudian melanjutkan acara minum kopinya di atas mini bar. Ada cangkir lain di sampingnya



yang aku yakini adalah kopi untukku. Aku menarik bar stool di sebelah Ayah dan duduk di atasnya. "Frisca sama Bunda pada ke mana, Yah?" "Bunda lagi beli sayur di abang sayur yang lewat depan ruman. Frisca lagi jemur Omar." Aku mengangguk, lantas kembali menyeruput kopiku. "Mobil kamu mana? Udah sebulan Ayah di sini, belum lihat mobil kamu kayaknya." Gerakan tanganku yang sedang mendekatkan tepian cangkir pada mulut, terhenti seketika saat mendengar pertanyaan Ayah. Akhirnya... setelah satu bulan, muncul juga pertanyaan itu dari mulut Ayah. "Dijual, Yah." Jawabku, dengan menundukan kepala karena tak berani menatapnya. "Kenapa dijual?" "Buat biaya rumah sakit." "Dan kamu pasti nggak ngomong dulu sama Frisca, sampai akhirnya jadi alasan kalian untuk bertengkar?" Aku diam. Sudah yakin jika orangtuaku sadar dengan ketidak-beresan hubunganku dan Frisca saat ini.



"Kamu itu sekarang hidup nggak sendiri, Bar. Kamu nggak bisa gegabah, asal ambil keputusan sendiri. Sekarang, ada istri kamu yang harus kamu hargai juga pendapatnya. Karena hakikat dari pernikahan itu menyatukan dua kepala jadi satu. Dua kepala yang memiliki pemikiran dan cara pandang yang lain. Dan titik temunya itu, satu-satunya dengan komunikasi."



I don't know if we each have a destiny, or if we're all just floating around accidental - like on a breeze. Karena seperti seekor kupu-kupu, Frisca terlalu lincah untuk kutangkap. Aku tidak bisa memaksanya jika tidak ingin dia terbang semakin jauh hingga akhirnya lepas sepenuhnya dariku. "Bar," Aku dan Ayah menengok bersamaan, saat mendengar Frisca memanggilku dari pintu depan dengan membawa Omar dalam gendongannya. "Iya?" Jawabku, kemudian berdiri menghampirinya. "Minta tolong beliin salep untuk ngobatin bekas gigitan nyamuk, dong. Di apotik depan ada kayaknya." "Buat siapa?"



"Omar digigitin nyamuk. Kasian, pasti gatel kalau nggak diobatin." Aku memeriksa kaki dan tangan Omar. Memang benar, ada beberapa bentol bekas gigitan nyamuk. "Nggak usah pakai salep. Digosok pelan sama bawang putih aja. Aku juga dari kecil suka digosokin bawang putih kalau kena gigit nyamuk." Frisca mengernyit mendengarnya. "Bawang putih? Gimana caranya?" tanyanya, dengan raut wajah bingung. "Tunggu sebentar," aku membalikan tubuh dan melangkah cepat menuju dapur. Mengambil bawang putih dari keranjang penyimpanan, mengupas kulitnya, lalu memotongnya menjadi dua bagian. Sambil berjalan menghampiri Frisca kembali, aku menekan sedikit bawang itu hingga mengeluarkan getah bening dari dalamnya. Frisca sudah duduk di atas sofa ruang tengah saat aku menghampirinya. Aku mengambil tempat di sampingnya, membawa Omar dari gendongannya, dan mengolesi getah dari bawang putih tadi pada bentolbentol bekas gigitan nyamuk pada kaki dan tangan Omar.



"Udah. Biarin aja dulu. Nanti juga ilang sendiri bentolnya." Ucapku, pada Frisca yang terlihat dari ujung mata, jika ia terus memperhatikanku sejak tadi. Aku menangkap tanganya saat Frisca berdiri. Aku tahu, dia pasti akan menghindariku seperti sebelumsebelumnya. "Mau kemana?" tanyaku, yang membuatnya menegang seketika. "Lepasin, Bar. Ada Ayah juga!" "Ya, udah. Di kamar aja ngobrolnya." Walaupun wajahnya terlihat sebal, namun ia tetap menurut. Mengikuti saat aku menuntunnya memasuki kamar dan mengajaknya duduk di pinggiran tempat tidur. "Mau sampai kapan kita kayak gini terus, Fris?" tanyaku, setelah membaringkan Omar yang sudah tertidur dengan nyenyak. "Emang kita kenapa? Biasa-biasa aja kayaknya." Aku menghela napas. Mencoba meredam emosi agar tidak mengulang kebodohan yang sama. "Oke. Aku nggak tau ini untuk yang ke-berapa kalinya aku minta maaf sama kamu. Sadar nggak sadar,



ucapan aku waktu itu emang udah keterlaluan. Dan aku maklumin kalau kamu sampai semarah ini sama aku. Tapi seperti yang pernah aku bilang sama kamu, kenapa kita nggak bisa merubah unek-unek itu menjadi sebuah ungkapan. Kita obrolin bareng-bareng, Fris. Nggak akan ketemu ujungnya kalau kita diem-dieman terus kayak gini?" Frisca membeku dalam kediamannya dengan pandangan kosong menatap lantai kamar kami. "Yeah... well... I guess you're right. But, I don't know if I can anymore. Semuanya terlalu nyakitin buat aku, Bar. Kayak kita habis diajak terbang tinggi, terus tiba-tiba dilemparin gitu aja." Frisca kembali terdiam, menunduk, tak menatapku sama sekali. "Mungkin lebih baik kita kayak gini dulu aja ya. Karena aku butuh waktu, dan aku takut kalau dipaksakan, kita malah semakin menyakiti satu sama lain." Frisca berdiri, namun saat ia akan melangkah, aku kembali menahan tangannya. "Can't you see? Every step I have taken to bring me closer to you. Sekarang aku tanya, hal apa sih yang belum aku lakukan buat kamu? Semua cara udah aku lakukan untuk bisa bahagiain kamu. Tapi



kayaknya pengorbanan aku sama sekali nggak ada artinya di mata kamu. Karena semuanya ketutup sama kesalahan kecil yang sebenarnya sepele."



Anjing! Kelepasan ngomong lagi kan gue. Mulut lo, Bar! Minta disumpel kolor banget emang!



Frisca menatapku tak percaya. Cukup lama, hingga akhirnya, ia tertawa miris setelahnya. Seketika aku merasa diriku sebagai makhluk paling nista. "Kayaknya terlalu naif ya, kalau kita harus membesarbesarkan masalah yang sebenarnya sepele. Tapi buat aku, jadi anak seorang tahanan koruptor itu bukan masalah sepele, Bar. Itu aib buat aku, dan hal itu juga yang bikin hidup aku hancur. "Selama ini aku nggak pernah protes. Aku terima semua hinaan dari orang-orang. Karena aku tau, sekali aja aku protes, itu sama aja kayak aku lagi nyalahin Tuhan. Tapi kok rasanya tambah nyakitin ya, waktu denger hinaan itu dari mulut kamu? Orang yang aku percaya, orang yang aku anggap sebagai pelindung aku.



"Kamu pernah nyobain nggak, gimana rasanya naburin garem di atas luka yang belum sepenuhnya kering? Perih, kan? Dan kayak gitu yang aku rasain sekarang." *** 17



Di berhati



dalam hidup, ada saat – hati atau berhenti



[Barasuara - Taifun] *** FRISCA



untuk berlari



"Udah bisa apa aja cucu Mami sekarang?" tanya Mami, di tengah-tengah perbincangan kami melalui telepon. "Baru juga sebulan, Mam. Bisa apa lagi selain nangis, nenen, pup, tidur." Mami terkekeh pelan di ujung sana. "Sedih banget belum bisa nengokin cucu." Ujarnya. "Emangnya Mami sekarang di mana?"



"Mami masih di KL, akhir bulan ini mau buka cabang baru restorannya Oma di KLCC." (Baca : KL = Kuala Lumpur. KLCC = Kuala Lumpur City Center) "Ya udah, nanti juga Mami pulang. Udah aku kirimin foto dan videonya Omar juga, kan." Mami kembali terkekeh. "So, are you happy, now?" Pertanyaan Mami membuatku terdiam beberapa detik. "I hope so, Mam." Jawabku, dengan lirih. "Think of all the beauty still left around you. Barga dan Omar. Jadikan mereka alasan kamu untuk selalu bahagia." "Be noted, Mam. Thank you."



"You know that I love you so much more than everything."



Dan perkataan Mami tadi membuat sesuatu di dalam mataku mendesak untuk keluar. "Mamiii... Please... Jangan bikin aku sedih, dong. Mami tau kan, kalau sekarang ini aku lagi sensitif banget." Dan lagi-lagi, Mami terkekeh. "Ya udah, kalau gitu. Mami balik kerja lagi ya. Salam buat Barga dan besan Mami. Dan titip cium sayang dari Oma untuk Omar yaa."



"Okay. We love you, Mam. Take care there."



"You too, Honey."



Setelah panggilan terputus, aku masih terdiam. Menatap Omar yang sedang tertidur nyenyak di dalam boxnya. Menjadi seorang ibu membuatku semakin mengerti arti dari sebuah pengorbanan. Ibu, dengan semua kelembutan dan kehangatannya, selalu menasbihkan nama kita di dalam setiap bait-bait doa yang mengalir seiring alirah darah dalam nadinya. Ibu yang terlihat lemah, ternyata sanggup menghalau semua kerikil yang menjadi penghalang dalam setiap langkah kita saat menyusuri masa depan. Ibu, makhluk mulia, yang senantiasa menghadiahkan mata air saat kita kehausan, dan menjadi lentera ketika kegelapan menyekat. And now, I wish you were here, Mam. Sore harinya, saat aku baru menidurkan Omar, aku mengintip dari jendela saat mendengar suara deru mesin motor yang berhenti di depan rumah. Posisi kamarku yang menghadap langsung ke arah jalanan, memudahkan aku untuk melihat ke depan.



Menyaksikan saat perempuan yang diboncengnya turun lebih dulu, lantas disusul oleh Barga setelah memarkirkan motor yang ia kendarai tepat di depan pintu gerbang. Barga menyerahkan helm yang ia gunakan pada perempuan itu dan dengan iseng menurunkan kaca helm yang digunakan perempuan itu dengan sekali sentak. Kemudian mereka tertawa bersamaan setelahnya. Aku masih terus memperhatikan Barga yang sedang menunggu perempuan itu saat membawa motornya pergi, dan masih menatap kepergiannya beberapa lama sebelum berbalik dan memasuki pintu gerbang.



Good attitude, dude!



Aku berjalan dengan pikiran kosong. Kembali duduk di pinggiran tempat tidur dan mencoba men-suggest diri sendiri untuk berusaha bersikap tenang. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, disusul dengan masuknya Barga ke dalam kamar. Ia terlihat sedikit terkejut saat menemukan keberadaanku. "Hei, assalamualaikum." Sapanya. "Waalaikumsalam." Jawabku datar.



Melepas travel pouch Eiger yang ia selempangkan di atas pundaknya, lalu menaruhnya di atas meja. "Pulang sama siapa tadi?" Tanyaku, setelah terdiam beberapa lama. "Si Icha. Udah diangkat jadi karyawan permanent dia. Terus baru kredit motor gitu. Jadi tadi sekalian nebeng pulangnya." "Seneng dong, bisa boncengan terus sekarang." Gerakan Barga yang sedang melepas jaketnya terhenti, dan menatapku dengan serius. "Apa lagi sih, Frisca? Aku baru pulang kerja. Capek. Bukannya disambut, malah diajakin berantem." Aku membuang muka darinya. Selalu ingin menangis setiap kali menahan kesal. "Aku nggak ngajakin berantem. Aku cuma nanya aja, kan." Dari ujung mata, kulihat Barga yang sedang memperhatikanku. Belum sempat ia menyahut, ketukan pada pintu menghentikan perdebatan kami. Aku menyeka setitik air yang keluar di kedua ujung mata, dan menarik napas dalam untuk meredam emosi.



Terlihat keberadaan Bunda saat membuka pintu. Tersenyum hangat, penuh kasih sayang. Membuat rasa kerinduan akan sosok seorang ibu sedikit terbayarkan. "Lagi nggak sibuk, kan? Kita ngobrol sebentar di ruang tengah, 'yuk!" Aku tersenyum, lantas berjalan di belakang Bunda, diikuti pula oleh Barga di belakangku. Terlihat ayah mertuaku yang sudah menanti kami di ruang tengah. Aku duduk di sofa panjang samping Bunda. Sedangkan Barga duduk di sofa single yang posisinya berhadapan langsung dengan Ayah. "Ada sesuatu yang mau Bunda bicarakan. Ini soal Arkha." Ucap Bunda, mulai membuka obrolan. "Bicara apa, Bun?" Tanyaku penasaran. "Jadi gini, Fris. Sebelum Arkha meninggal, dia dapat jatah warisan dari almarhum ayahnya. Dan itu sebagian sudah dipakai untuk biaya Arkha selama tinggal di Melbourne. Tapi, karena biaya kuliah di RMIT sudah sepenuhnya ditanggung oleh hadiah beasiswa dari Olimpiade, jadi, sisa uang Arkha masih bunda pegang. Dan sekarang, Bunda mau kasih uang itu untuk Omar. Karena



Bunda rasa, Omar lebih berhak atas uang itu." (Baca :



RMIT = Royal Melbourne Institute of Technology University)



Aku tercengang. Sedikit terkejut karena ucapan Bunda. Aku saling melempar pandangan dengan Barga. Dilihat dari gesture-nya, sepertinya Barga sudah tahu tentang hal ini. "Tapi ... Omar anak Arkha di luar nikah, Bun. Dan itu artinya, dia nggak berhak atas warisan apapun dari Arkha." "Bukan warisan, anggap aja hadiah dari Arkha. Bentuk tanggung jawab Arkha sebagai ayah kandungnya. Karena bagaimanapun, Omar anak kandungnya Arkha, satu-satunya penerus keturunan ayah Galih. Tolong, jangan kamu tolak ya. Bunda sudah pikirkan hal ini sejak Omar masih di dalam kandungan. Bunda sudah diskusikan dengan Ayah dan Barga, dan mereka setuju untuk memberikan uang itu sebagai haknya Omar." Aku kembali terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Terlalu banyak hal yang mereka berikan untukku dan Omar. On an almost daily basis, I look that I am a nobody.



Dan ini semua terlalu berlebihan untukku. Membuatku merasa I don't deserve to be loved. "Frisca malu, Bun. Frisca udah terlalu banyak bikin susah di keluarga ini." Akhirnya aku membuka suara. "Nggak, Sayang. Kamu sekarang sudah bagian dari keluarga kami. Kami semuanya sayang sama kamu dan Omar. Dan untuk masalah kamu dengan Barga... biar Ayah aja deh, yang jelasin ya." Aku memalingkan wajah pada Ayah mertuaku. Menanti, apa yang akan mereka sampaikan mengenai aku dan Barga. "Ayah sudah bicara dengan Barga, soal rencana kalian untuk mengulang ijab qobul. Dan...," "Emangnya kenapa Frisca dan Barga harus mengulang ijab qobul, Yah?" tanyaku, memutus perkataan Ayah. "Biar aku aja yang jelasin, Yah." Barga mengambil alih percakapan. Membuatku ganti menatap Barga. "Jadi gini, Fris. Dalam aturan agama, menikahi wanita hamil itu tidak sah. Mau itu hamil anak sendiri atau anak dari laki-laki lain, aturannya tetap sama. Jadi kita harus



mengulang ijab qobul supaya pernikahan kita sah, dan jatuhnya jadi nggak zina." "Terus... Yang kemaren-kemaren itu gimana?" Tanyaku lagi, tanpa merasa risih di depan kedua mertuaku. Barga nampak bingung mencari jawaban. Ia mematap kedua orangtuanya bergantian sebelum menjawab, "Pernikahan kita kemaren hanya untuk mengesahkan di mata hukum. Karena, untuk bikin akta kelahiran Omar kita butuh surat nikah, kan." Hanya untuk akta Omar, your ass! Terus, setiap



malem kamu gerayangin aku itu apa? Kita ngapain itu?!



"Kalau bisa, kalian lakukan akad nikah ulang secepatnya. Setelah Frisca selesai nifas dan keluar haid pertama. Itu artinya Frisca sudah selesai dalam masa iddah." Sambung Ayah mertuaku kemudian. Aku tertawa miris. "Nggak tau, Yah. Frisca bingung. Jujur aja, Frisca kaget dengernya. Barga udah tau, tapi dia nggak pernah menyinggung masalah ini sama Frisca. Dan sekarang... Frisca rasa, Frisca butuh waktu. Mungkin Frisca mau ke tempat Mami dulu di KL. Kayaknya Frisca tinggal



dulu di sana...," Ucapanku terhenti saat Barga tiba-tiba menarik tanganku dan memaksaku berdiri. "Ayah sama Bunda nggak keberatan kan, kalau aku mau ngobrol dulu berdua sama Frisca?" Saat melihat kedua mertuaku mengangguk bersamaan, Barga dengan sedikit kasar menyeretku memasuki kamar. "Kamu itu kenapa sih, Fris?" tanya Barga, setelah kami berada di dalam kamar. Aku melangkah mendekati ranjang dan duduk di atasnya. Sedangkan Barga berdiri di depanku. Tegang, dan terlihat sedikit marah. "Aku nggak kenapa-kenapa. Aku cuma mau ke tempat Mami. Mami pingin ketemu sama Omar, tapi masih belum ada waktu untuk pulang ke Indonesia. Nggak ada salahnya kan, kalau aku yang nyamperin Mami ke sana?" Terdengar dengusan kasar darinya. "Omar masih bayi, Frisca. Umurnya baru sebulan. Dia masih rentan kena virus penyakit. Dan kamu tau sendiri, kan, di bandara itu keadaannya seperti apa? Tempat yang paling banyak menjadi penyebaran virus. Kamu nggak kasihan sama Omar?



"Kamu boleh mentingin perasaan kamu sendiri, tapi ya jangan ngorbanin Omar juga demi ego kamu. Kamu udah jadi seorang ibu, Fris. Seharusnya kamu bisa bersikap lebih bijak." "Aku cuma butuh waktu dan jarak dari kamu, tapi kamu nuduh aku jadi ibu yang jahat dan tega ngorbanin anak aku sendiri untuk keegoisan aku? Ada lagi nggak, kata-kata yang lebih nyakitin lagi setelah ini? Biar aku bisa siap-siap jadinya." Aku memilih membuang muka karena tidak suka melihat caranya menatapku. "Kenapa sih semuanya harus dibikin rumit, Fris? Kenapa harus sampai drama kayak gini, sih? Kenapa kamu nggak bisa bicara jujur tentang semua yang kamu rasain sekarang." "Because, sometimes not saying anything is the best answer. Dan pilihanku, lebih baik aku diam, daripada aku bicara tapi malah menyakiti. Dan satu hal lagi yang harus aku ingatkan sama kamu, just in case kamu lupa. Aku nggak pernah maksa kamu untuk tanggung jawab sama kehamilan aku. Aku berulang kali nolak kamu waktu kamu



paksa aku untuk nikah sama kamu. Walaupun aku sendiri nggak yakin bisa melewati masa kehamilan sampai kelahiran Omar sendiri, tapi paling nggak, hidup aku bisa lebih tenang, Bar. Karena aku nggak perlu jadi beban untuk orang lain." *** Keesokan harinya, aku sudah mendatangi Kantor Imigrasi sejak pagi hari. Membuat paspor untuk Omar dengan bantuan calo agar bisa jadi hari ini juga. Dengan bayaran beberapa kali lipat dari biaya normal, akhirnya paspor milik Omar sudah aku pegang. Bukan hal yang patut dicontoh memang. Namun, dalam keadaan urgent seperti ini, hal yang haram pun dapat menjadi halal jika sudah mendesak, bukan? Aku kembali pulang dan menemukan keadaan rumah sepi. Aku lupa, tadi pagi ayah dan ibu mertuaku sudah berpamitan untuk kembali pulang ke Jakarta. Terlihat Barga baru selesai mandi saat aku memasuki kamar. Hanya menggunakan celana boxer-nya tanpa atasan. Aku menidurkan Omar di atas tempat tidurnya, lalu



menyimpan tas serta gendongan yang aku pakai untuk menggendong Omar di atas meja. "Udah beres?" tanya Barga, tanpa menatapku. "Udah. Pakai calo, sehari langsung jadi." "Terus rencananya berangkat kapan?" "Besok." "Naik apa? MAS?" (Baca : MAS = Malaysia Airlane) Aku menggeleng. "MAS nggak ada keberangkatan dari Husein. Adanya cuma Garuda." Saat aku sadar, aku sudah melepas semua pakaianku dan hanya menyisakan satu set dalaman yang aku kenakan. Kebiasaanku setiap kali akan mandi. Sambil menahan malu, aku berjalan cepat menuju kamar mandi. Namun saat aku melewati Barga yang sedang berdiri di depan lemari, dengan sengaja Barga menghalangi jalanku. Mencengkram lenganku dan sedikit mendorongku hingga membentur tembok. Aku menelan ludah saat Barga mengurungku dengan kedua tangannya. Napasnya membelai saat ia semakin memajukan tubuhnya. Dan aroma mint dari mulutnya menyambutku saat Barga menyatukan kedua mulut kami.



Dalam sudut pikiranku, seharusnya aku sadar jika tidak seharusnya kami melakukan ini. Namun naluriku seakan berkata lain. Hasratku terpanggil. Menuntunku untuk membalas ciumannya dan melingkarkan kedua tanganku pada lehernya. Menyelipkan jemariku pada rambut-rambut halusnya yang masih setengah basah. Menikmati ciuman pertama kami setelah satu bulan lebih saling bertahan di balik tameng arogansi masing-masing. Seperti oase di tengah-tengah padang pasir, ciumannya selalu menyejukan. Membuatku seakan mendapatkan air segar di tengah kekeringan. "Kasih tau aku, Fris, apa yang harus aku lakuin supaya kamu nggak pergi?" bisiknya di depanku. Dengan kedua mulut kami yang masih saling menempel. Aku membuka mata. Membuat kami saling mengunci pandangan selama beberapa saat. "Nggak ada." Jawabku. "Kita emang harus pisah dulu, Bar. Kita butuh jarak untuk bisa menelaah baik-baik bagaimana perasaan kita satu sama lain. Karena aku ingin, ketika ijab qobul itu terulang, kita sudah punya satu tujuan



yang sama dan kita juga sudah yakin dengan perasaan kita masing-masing." Barga kembali menciumku. Berulang-ulang. Seakan tak pernah puas. "Aku takut, Fris. Aku takut saat aku sadar dengan perasaan itu, ternyata kamu sudah terlanjur pergi jauh dari aku." Aku semakin mengeratkan pelukan pada lehernya. Membuat tubuh bagian atasnya yang tak tertutup, semakin menempel dengan tubuhku yang hanya terhalang pakaian dalam tipis. "Aku untukmu, percayailah itu sekali lagi." Ucapku, sebelum kembali menciumnya lebih dulu. -tbc18 BARGA Sore hari itu, aku berdiri di antara barisan makam yang berjajar rapi. Menatap lurus pada sebuah gundukan tanah yang terselimuti rumput hias di depanku.



"Dia pergi, Bang." Ucapku, seolah gundukan tanah di depan sana dapat mengerti arti perkataanku. "Gue bego, karena nggak bisa jaga dia, sampai akhirnya dia minta lepas dari gue. Dan gue bingung sekarang. Nggak tau harus ngapain." Aku kembali terdiam. Menghalau sesak yang kurasakan sejak kepergiannya. Dan kini aku paham, mengapa dulu Arkha sampai harus kabur ke Melbourne ketika ia patah hati. Karena jujur saja, patah hati memang bukan kiamat, tapi tetap saja rasanya membuat sekarat. "Gue akui, Bang. Mungkin gue memang mencintai dia. Karena saat gue kehilangan dia, rasanya... kosong. Kayak ada yang hilang di dalam diri gue." Mungkin memang seperti ini rules-nya... cinta dan patah hati. Sudah berada dalam satu konsep yang akan menggiring kita pada lembah elegi. Dimulai dengan nyanyian kegembiraan, dan harus siap jika berakhir dengan nada ratapan kesedihan. Cinta itu hakiki. Sebuah tirani. Ada sebagian orang yang menganggap cinta itu sebuah keagungan, hingga rela bersujud di bawahnya. Tapi tidak untukku.



"Nggak asik curhat sama lo sekarang. Dikacangin mulu gue. Udah lah, gue balik sekarang. Lo istirahat yang tenang di sana ya, Bang. Jujur aja, gue kangen sama lo. Kangen sama suasana rumah yang dulu. Di mana masalah kita hanya sebatas takut diomelin Ayah karena nilai ulangan jeblok, atau karena ikutan tawuran sampai kena skros dari guru. And it's been a long day without you, bro." Setelah selesai, aku kembali melangkah menyusuri jalan setapak di pinggiran makam, menghampiri tukang ojek yang sabar menungguku di atas motornya. "Balik lagi ke SCBD ya, Bang." Ucapku, saat naik ke atas motor. "Ke pool City Trans lagi?" tanya si Tukang Ojek. "Iya." Niat banget emang. Sengaja naik travel BandungJakarta pulang pergi hanya untuk mengunjungi makam Arkha. Salah satu hal bodoh yang aku lakukan sebagai bentuk pelarian dari rasa sepi. Sudah dua minggu sejak kepergian Frisca ke Malaysia, rumah menjadi tempat yang mengerikan bagiku. Terlalu mencekam, penuh kenangan, dan membuatku merasa sesak ketika pulang, dan hanya



disambut oleh keheningan. Tidak ada lagi istri yang selalu menyambutku setiap pulang kerja seperti sebelumnya. Pukul tujuh malam, aku tiba di rumah. Mandi, berganti pakaian, dan lanjut kerja lagi. Sengaja mempersibuk diri sendiri agar tidak berakhir tragis dengan meneguk obat nyamuk sebagai obat patah hati. Aku terdiam beberapa lama saat tak sengaja melihat ke arah tempat tidur Omar. Rasa rindu yang besar kembali menyelimutiku. Aku kembali pulang ke rumah sesaat sebelum terdengar azan subuh. Setelah mandi, kusegerakan salat, dan bertafakur di tengah zikir sesudah salat. Setidaknya, aku tidak merasa sendiri, karena ada Yang Di Atas sana yang senantiasa mengiringi setiap langkah kaki menuju garis akhir. Dan Dia-lah yang paling agung menurutku. Satu-satunya yang paling pantas untuk disembah. Dan kini aku mencoba memasrahkan urusan duniawi kepada-Nya. Biarlah Dia yang memilihkan jalan terbaik yang harus kulalui. Sekalipun perpisahan akan menjadi hasil akhirnya, aku ikhlas. Karena aku tahu, Dia selalu memberikan apa



yang kita butuhkan, bukan hanya sekedar yang kita inginkan. Setelah selesai, kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Menyempatkan sedikit waktu untuk istirahat sebelum kembali menjadi cungpret di hotel. Bunyi ping dari telepon genggam membuatku kembali membuka mata. Ada pesan dari Icha Icha : Masuk apa? Segera kuketik balasan untuknya. Me : Pagi. Lo? Icha : Sama. Mau nebeng nggak? Me : Mau dong, Cha. Jemput ya. Icha : Okay. Tapi ntar malem traktir makan di



Upnormal yak



Me : Okay. Tapi bikin gue ketawa ya. Icha : Ogyaahhh. Lo kira gue Nunung diminta



ngelawak di depan lo?!



Aku tersenyum saat membaca balasan darinya. Paling tidak, Icha akan membuat hari Sabtu ini menjadi tidak terlalu buruk.



Pukul enam, Icha sudah tiba di depan rumahku. Dengan gaya casual sporty yang membuatnya selalu terlihat manis dan lebih muda. "Bar, numpang ke kamar mandi, dong." Serbunya, saat baru turun dari motor. Aku segera mengajaknya masuk ke dalam rumah dan menunjukan letak kamar mandi. Sambil menunggu Icha, aku mencuci piring bekas sarapanku tadi. Mie goreng dengan telur ceplok. Icha keluar kamar mandi dan nampak memerhatikan keadaan sekeliling rumahku. "Lo iseng banget di rumah sendirian ya, Bar?" tanyanya. Aku menyambar jaket dan tas yang kuletakan di atas meja makan. "Banget. Taken rasa jomblo, Cha." Jawabku, sambil mengajaknya keluar. "Emangnya sampai kapan Frisca di Malaysia?" "Nggak tau." Setelah mengunci pintu, kami berjalan bersisian menuju motor Icha yang sudah kumasukan ke dalam carport. Ada Bu Fatma, mamanya Farell yang rumahnya tepat di sebelah rumahku, sedang mengobrol dengan Ibu



Amel di depan rumahnya saat aku mendorong motor Icha keluar. "Mau berangkat, Om?" sapa Bu Fatma. "Iya." Jawabku, sambil melempar senyum ramah untuk mereka. "Dedek Omar masih di tempat Omanya?" giliran Ibu Amel yang bertanya. "Masih, Bu." Aku mengunci pintu gerbang terlebih dahulu sebelum bersiap menaiki motor Icha. "Pergi dulu Bu Fatma, Bu Amel." Pamitku, saat melewati mereka. Hari Sabtu, jalanan Bandung tidak terlalu padat seperti hari-hari kerja biasanya. Aku membawa motor matic Icha dengan sedikit cepat, dan membuat Icha berpegangan erat di belakangku. "Barga! Lo mau mati ya? Bawa motor kenceng banget!" terdenger suara Icha yang sedikit berteriak. Aku berpura-pura tak mendengar dan terus berkonsentrasi pada jalanan di depanku. Hingga saat kami



tiba di hotel, aku memarkirkan motor Icha di tempat parkir khusus karyawan. "Lo gila ya? Kalau mau mati, mati aja lo sendiri. Jangan ajak-ajak gue." Hardik Icha, saat baru turun dari atas motor. Aku tertawa pelan mendengarnya. "Soalnya enak bawa motor baru, Cha. Masih mulus gitu jalannya. Nanti malem jadi nongkrong di Upnormal, Kan?" "Hayu aja. Tapi ajakin Jack juga ya, biar kita nggak cuma berduaan?" Aku mengangguk semangat. "Iya, lah. Ajak si Jack biar lebih seru." Well, kembali mencari pelarian, dari pada harus pulang ke rumah dan kembali menjadi idiot yang meratapi kesendirian. I'm gonna miss them so much. Ironis memang. *** "Masih belom balik si Frisca?" tanya Jack, saat kami duduk berhadapan sambil menunggu pesanan di cafe Upnormal. Icha pamit sebentar ke toilet, dan kesempatan itu membuat si Jack segera menginterogasiku. "Belum, Jack. Nggak tau lah. Pusing gue!"



Jack berdecak. "Bener kan gue bilang. Lo itu terlalu lembek jadi cowok." "Lo mau gue tusuk, biar tau kalau gue keras?" Jack melempar tempat tisue ke arahku yang langsung kutangkap dengan sigap. "Ngomong nggak usah pake toa, anjir! Lo nggak nyadar itu orang-orang pada ngeliatin kita." Aku tak menjawab. Terlebih saat Icha kembali bergabung bersama kami. "Ngomongin apaan sih, serius banget?" ujarnya, saat kembali menduduki kursinya. "Temen kamu tuh, Cha. Muka doang ganteng, tapi bloon!" "Enak aja. Dia kan lebih lama temenan sama kamu dari pada sama aku." Aku tak menanggapi mereka. Lebih memilih menarik sebatang Dunhill menthol dari dalam kotaknya, dan membakarnya dengan lighter. Merasakan saat asupan nikotin menjarah pada sebagian sel di dalam tubuh. Aku sedikit terusik saat merasakan getaran dari dalam saku celana. Saat kulihat, ada pesan masuk dari Frisca. kenapa rasanya jadi berdebar-debar nggak jelas gini?



Mungkin karena inilah pertama kalinya Frisca kembali menghubungiku sejak dua minggu lalu, saat mengabarkan jika mereka sudah landing dengan selamat di bandara Kuala Lumpur, dan sejak itu, tidak ada lagi kabar apapun darinya. Aku sendiri memilih membiarkannya karena berpikir jika mungkin dia memang butuh waktu sementara tanpa kehadiran aku. Frisca: Ada hal-hal yang pantas untuk diperjuangkan



dan ada juga hal yang memang sudah saatnya untuk dilepaskan. Dan aku pikir, mungkin memang ini saatnya untuk kita sama-sama saling melepaskan. Because I want to



see you as happy as you can be. Bandit! Apa maksudnya ini? Kenapa dia tiba-tiba mengirimku pesan seperti ini? Tanpa membuang waktu lebih lama, aku segera mencari nomornya dan mulai menghubunginya. Dan hebatnya, saat ini nomornya langsung tidak aktif. Aku melirik Jack yang menatapku penuh rasa ingin tahu. Kusodorkan telepon genggamku padanya dan menunjukan pesan dari Frisca tadi. "So?" tanyanya.



"So, apa?" "Terus gimana keputusan lo sekarang?" "Ya udah, mau gimana lagi. Dianya udah minta gue lepas."



"Geez. What the hell wrong with you, man! If you want her, go and get her back!" Namun aku tak menanggapi. Berpikir jika I dont really have much of a choice anymore. Karena aku tahu ...



aku telah mencintainya. Namun, aku pun memahami hakikatnya, bahwa ketika kita siap untuk jatuh cinta, maka kita juga harus siap untuk patah hati. Karena cinta dan patah hati, akan selalu membawa akhir pada sebuah elegi. *** FRISCA Mami masuk ke dalam kamar saat aku sedang menyusui Omar. Ia tersenyum, menghampiriku dan duduk di depanku yang sedang bersandar pada tumpukan bantal di belakangku. "Mami dari mana?" tanyaku, saat melihat Mami membawa beberapa kantung belanjaan di tangannya.



"Dari Sungei Wang. Nih, beliin baju buat Omar. Lucu-lucu deh, Fris." Aku membongkar kantung belanja dengan satu tangan, sementara tangan lain masih menggendong Omar. Menggelangkan kepala saat melihat berapa banyak baju yang dibelikan Mami untuk Omar. Sejak hari pertama tiba di sini, Mami sudah sangat excited menyambut kedatangan kami. Mami sudah mempersiapkan segala kebutuhan Omar selama berada di sini. Salah satunya adalah ini. Hampir setiap hari Mami membelikan pakaian, sepatu dan barang-barang lainnya untuk Omar. Sepertinya, aku harus mengirimkan lewat Cargo untuk membawa barang-barang ini saat akan kembali ke Bandung. "Mau makan apa?" tanya Mami kemudian. "Ayam rica dong, Mi. Udah lama nggak makan ayam rica-rica buatan Mami." Mami nampak berpikir sebentar. "Lemongrass-nya ada nggak ya? Bentar, Mami liat dulu ya."



Aku mengangguk. Dan Mami berlalu menuju dapur. Aku memperhatikan Omar yang sudah terlelap setelah puas menyusu. Segera kubaringkan tubuh mungilnya di atas tempat tidur di sampingku. Memperhatikan dengan lekat wajahnya yang terlihat damai. Sangat menenangkan. Perhatianku teralihkan oleh bunyi BBM masuk dari ponselku. Mama Farell : Tante Frisca, kapan pulang? Betah



banget di Malaysia. Di rumah lagi ada sodara yang nginep ya? Saudara yang menginap? Siapa? Me : Masih belum tau pulangnya kapan. Sodara siapa



yaa Bu Fatma?



Mama Farell : Nggak tau. Saya baru lihat juga



soalnya. Perempuan seumuran Tante Frisca. Tadi pagi jam 6 keluar bareng sama Om Barga, terus pergi bareng-bareng naik motor Vario. Kalau nggak percaya, tanya Bu Amel. Tadi kebetulan lagi ngobrol sama Bu Amel waktu Mas Barga keluar bareng-bareng sama perempuan itu. Tubuhku menegang seketika. Aku tahu perempuan siapa yang dimaksud. Sialan! Baru kutinggal dua minggu,



dia sudah berani membawa perempuan lain menginap di rumah kami. Lalu, kamar mana yang mereka tempati?



Maybe I should to say good bye? Would it better for me to go? Ya, Tuhan... Barga...



Dengan tangan bergetar, aku membuka akun dari social media Instagram milik Barga dan melihat foto apa saja yang Barga unggah selama aku tak ada. Mungkin ada hal yang bisa kujadikan bukti. ❤ 120 Likes BargaAnggara : Secara teoritis, gue meyakini jika hidup itu harus dinikmati. Singkirkan hal apapun yang bikin lo sulit untuk menikmati hidup. Because love never keeps a man from pursuing his destiny.



view



all



69



comments



JakaJack : Betul brother. Hidup cuma sekali. Nikmati aja apa yang ada. Veraherbal : Mau payudara besar dan kencang dalam 10 hari? Yuk konsultasi dengan dokter vera. Membantu mengencangkan payudara kendur hanya dalam waktu 10



hari. Menggunakan ramuan obat-obatan herbal dan tanpa efek samping. Tunggu apa lagi? Apa maksud dari tulisan Barga? Apa selama ini aku menahannya untuk mencapai takdirnya sendiri? Dan apa itu artinya dia ingin menyingkirkan aku dari hidupnya? Ada tag nama Jack dan Icha di sana. Aku men-klik nama Icha dan langsung masuk ke akunnya. Melihat foto terakhir yang ia posting. Membuat tubuh menggigil seketika. ❤26 Likes Ichanisa : And my answer... Absolutely yes. Yaa ampuun... Nggak percaya akhirnya gue nggak jomblo lagi.



View all 18 comments



Aku bergerak gelisah di dalam kamar. Menggigiti kuku setiap kali merasa resah. Aku ingin menangis, namun egoku melarang. Setelah sekian banyak hal yang kami lalui, aku terlalu percaya diri hingga berpikir jika dia akan mengejarku jika aku pergi darinya. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Barga melepaskan aku, dan memilih melanjutkan langkahnya bersama perempuan lain.



If I left would you be glad, Bar? Even though i'm not.



Aku menarik napas dalam, dan mengembuskanya perlahan. Semoga, keputusan yang aku pilih ini adalah keputusan terbaik untuk kita berdua.



-tbcYa ampuunn.. Ga tau part ini gimana jadinya. Udah 3 hari ini aku meriang. Ga enak badan. Kurang piknik kayaknya makanya jadi sakit. Maaf yaa kalau part ini kurang memuaskan. 19



Now I can't get you out of my brain. Oh, it's such a shame [Charlie Puth ft. Selena Gomez - We Don't talk anymore] *** FRISCA



Malam hari itu, seperti beberapa malam sejak selesai nifas, aku mulai rutin melakukan salat tahajud, yang juga diiringi dengan salat wajib lima waktu. Mencoba mendekatkan diri dan mencari ketenangan dari-Nya. Merenungi cinta dan segala kasih sayang-Nya, walau hidupku sebelumnya sering jauh dari-Nya. Sesaat setelah selesai salat, telepon genggamku berdering. Menampilkan sebuah panggilan facetime dari Barga. Sudah tiga hari sejak pesan perpisahan itu, namun tak ada balasan apapun darinya. Baru hari ini dia menghubungiku kembali. Aku menggeser icon terima panggilan, dan menunggu beberapa saat hingga muncul wajahnya pada layar ponsel. Barga terperangah. Sedikit terkejut saat bertatap muka denganku. "Kamu... sholat?" tanyanya, tak dapat menyembunyikan nada takjub dari suaranya. Aku menaikan tangan, dan meraba atas kepalaku. Ternyata aku belum sempat membuka mukena yang kupakai.



Aku tersenyum malu. Menundukan wajah, tak berani membalas tatapannya. "Sejak kapan, Fris?" tanya dia lagi. "Sejak selesai nifas. Tiba-tiba aja ada dorongan untuk sholat." "Masya Allah. Aku udah pernah lihat kamu dalam keadaan apapun, termasuk tanpa pakaian sekalipun..." Aku segera menaikan wajah dan menatapnya tajam. Membuat tawanya lepas seketika. "Sorry, salah ngomong. Maksud aku... aku udah lihat kamu dengan penampilan apapun. Tapi buat aku... kamu paling cantik dengan mukena itu, Fris." Aku kembali menundukan wajah. Terutama saat mendengar nada suaranya yang berubah lembut dan membuatku hampir meleleh di tempat. "Kalau bisa, jangan dibuka lagi ya, Fris? Biarin aku jadi satu-satunya laki-laki yang bisa nikmatin keindahan rambut kamu. Keindahan kulit kamu yang tertutup rapat oleh hijab. Kalau mau buka-bukaan, di kamar aja, berdua sama aku."



Aku kembali menaikan wajah dan semakin melotot padanya. "Kamu itu ya, aku baru selesai tahajud, udah tercemar lagi gara-gara otak mesum kamu." Dan Barga kembali tertawa. Setelahnya, kami samasama terdiam. Menjadi tak nyaman saat kecanggungan menyeruak. Muncul ke permukaan dan mengambil alih situasi. Barga berdeham sebelum kembali bicara, "Kenapa nomor kamu nggak aktif? Aku teleponin nomor kamu, tapi nggak pernah nyambung." "Aku emang ganti nomor. Pakai provider sini sekarang, soalnya kena roaming terus." "Pantesan aja aku teleponin dari kemaren-kemaren nggak nyambung terus." "Kamu lagi di mana?" tanyaku, mengambil alih pertanyaan. "Di rumah." "Tumben. Biasanya juga nggak pernah pulang. Sekalinya pulang ke rumah, bawa nginep cewek!" Barga kembali terdiam di tempatnya. Menatapku dengan heran dari layar ponsel.



"Kamu... denger dari mana soal itu?" Dan kini, giliranku yang terdiam. Barga tidak menyangkal, dan itu artinya semua yang dikatakan Bu Fatma memang benar. Aku kembali memalingkan wajah. Untuk beberapa detik yang canggung, kami sama-sama terdiam. Dan aku berani bersumpah jika ini rasanya sangat menyakitkan. Lebih sakit dari pada saat aku mendengar Arkha yang selalu menyebut nama Kiasah. Aku mengambil napas panjang dan kembali menatapnya. "Untuk proses perceraian, aku nggak harus pulang ke Bandung, kan? Nggak perlu hadir di persidangan?" "Emang siapa sih, yang mau cerai?" Barga sedikit menyentak. Membuatku mengerjap beberapa kali. "Kita." Jawabku, tanpa mengalihkan tatapan darinya. Barga nampak semakin gusar. Raut wajahnya menegang. Ia mengacak rambutnya dengan kasar. Membuat berantakan, dan terlihat... sexy. Aku rindu menyusupkan jariku pada setiap helai rambutnya yang sedikit kasar.



Menjambaknya saat ia menciumku dengan keras, saat kami mendapatkan pelepasan bersama. Saat... Ok, stop it, Frisca! "Perjanjiannya nggak kayak gini, kan? Kamu bilang, kita hanya butuh waktu untuk sama-sama yakin sebelum mengulang ijab qabul. Iya, kan, Fris? Terus kenapa tiba-tiba sekarang kamu ngomong cerai." "Iya, aku tau. Tapi jauh dari kamu, bikin aku mikir, Apa yang bisa kita harapkan dari pernikahan ini? Nggak ada, selain sama-sama saling menyakiti. Dan menurut aku, perpisahan memang satu-satunya jalan yang terbaik." "Oke. Tapi aku butuh satu alasan yang jelas, kenapa kamu bisa tiba-tiba minta pisah dari aku?" Aku menatapnya. Tegas, dan tanpa kedip. "Karena pernikahan kita nggak punya masa depan. As simple as that. Dan jika sudah seperti ini, apa yang bisa kita harapkan? Bahkan untuk saling terbuka aja kita nggak bisa, Bar?" Tepat setelah ucapanku selesai, terdengar tangisan Omar dengan cukup keras. Menjadi alasanku untuk memutus panggilan Barga.



"Bar, udah dulu ya. Nanti aku hubungi lagi. Assalamualaikum." *** BARGA Frisca memutus panggilanku begitu saja, dan membuatku berpikir, how I miss them so much. Mendengar suara tangis Omar, membuat rasa rinduku semakin membengkak untuk mereka. Dan membuatku berpikir, apa aku sanggup kehilangan mereka? Dan melihat Frisca dengan mukenanya... Oh. My.



Godness. She's more than just a beautiful. She was beautiful for the way she thought. She was beautiful, deep down to her soul. She's like an angel. My angel. And I knew I loved her. But I realized I loved her too late. Because she was gone...



Aku menggulingkan tubuhku hingga telungkup di sisi tempat tidur Frisca. Menyesap sisa harum tubuhnya yang masih tertinggal di sana. Dua minggu lebih sprei ini bahkan belum aku ganti karena tidak ingin menghilangkan jejaknya di atas ranjang ini.



Frisca... You makes me going crazy. Yes, you did! *** "Ngomong dong, Jack. Kasih gue solusi kek, saran apa kek!"



Jack mendesah pasrah. "Speechless gue, bro. Nggak bisa bayangin, lo umur 21 tahun udah jadi duda. Anjir, mati aja lo mendingan, Bar!" Aku benar-benar hilang harapan. Kalau Jack saja menyarankan aku untuk mati, itu artinya menang sudah tamat riwayatku. "Gue cinta sama dia, Jack. Gue nggak mau kehilangan dia." Jack berdecak. "Ya, ngomong langsung lah sama orangnya. Ngapain ngomong sama gue?" Jack menyesap rokoknya sesaat, sebelum kembali melanjutkan perkataannya. "Tapi kalau saran dari gue, mendingan lo samperin dia ke KL. Tunjukin keinginan lo yang memang nggak mau pisah dari dia. Bilang sama ibunya, kalau lo datang ke sana untuk jemput anak dan istri lo. Dan



terakhir, lo omongin deh tuh, kata-kata yang tadi lo omongin sama gue." "Kata-kata yang mana?" "Yang tadi, bajing! Yang lo ngomong kalau lo cinta sama dia dan nggak mau kehilangan dia." "Emang harus diomongin ya, Jack?" Jack menoyor kepalaku dengan cukup keras. "Bego tuh jangan dipelihara napa, Bar! Ya, harus lo ungkapin lah. Dia mana bisa tau kalau lo nggak ngomong!" "Gue pikir cinta itu cukup dirasain aja, Jack. Nggak perlu kita omongin." "Cewek itu butuh kejelasan, Bar. Mereka butuh ungkapan, karena nggak semuamya ngerti kalau hanya kita tunjukin dengan tindakan." Perkataan si Jack tadi membuatku berpikir keras, bahkan saat pulang dari kampus, selama berada di angkot, hingga saat tiba di rumah. Aku mengistirahatkan tubuhku di atas sofa ruang tengah. Memandangi foto pernikahan kami yang terpajang di salah satu sudut ruangan. Frisca dengan kebaya putih sederhana, yang ia pakai selama melangsungkan akad nikah



denganku. Dan di samping foto itu, ada foto Frisca yang sedang menggendong Omar, denganku yang merangkulnya dari samping. Foto yang diambil saat acara akikahan tepat pada hari ke tujuh kelahiran Omar. Memperhatikan senyum kegembiraan tulus yang merekah dari wajah kami. Membuatku berpikir, honestly, we are perfect for each other. Lalu kenapa harus ada perpisahan jika memang kami dapat saling menyempurnakan? Aku berdiri dan melangkah menuju dapur. Membawa gelas dan mengisinya dengan air mineral dari dispenser. Ketika minum, mataku menangkap selembar post-it dengan tulisan tangan Frisca yang ditempel di pintu atas lemari pendingin.



Aku masak sop iga. Sebelum kerja makan dulu ya. Jangan lupa dipanasin. Ps. Es krim di freezer sisa bagian aku lho. Awas aja kalau pulang kerja nanti aku liat udah nggak ada!



Aku tersenyum miris. Dan hatiku kembali mencelos saat membuka pintu kulkas bagian atas, dan menemukan tumpukan botol-botol kecil berisikan ASI perah dengan label yang bertuliskan tanggal di setiap bagian depannya.



Membuatku kembali meringis saat bayangan Frisca dan Omar kembali mengisi pikiranku. "Cewek itu butuh kejelasan, Bar. Mereka butuh



ungkapan, karena nggak semuamya ngerti kalau hanya ditunjukan dengan tindakan."



Perkataan si Jack kembali terngiang di telingaku. Sial. Ternyata jatuh cinta itu rumit. Tapi sudah sangat terlambat untuk menyesalinya. Saat ini pilihanku hanya dua, matiin gengsi atau kehilangan? Aku berjalan memasuki kamar sambil melepas kausku. Melemparkan ke dalam keranjang cucian dan menarik handuk dari dalam lemari. Namun, ada sesuatu yang juga ikut tertarik hingga jatuh di atas lantai. Kain pantai berwarna kuning. Aku ingat, kain ini Frisca beli di pasar Cakranagara saat menjalani shooting iklan di Lombok. Membuatku kembali mengingat perkataan yang sempat Frisca ucapkan saat kami tengah menikmati sunset di pantai Kuta,



"Kamu tau, Bar, apa yang lebih kelam dari senja yang terbenam menjelang malam? Sebuah rasa kehilangan. Aku pernah merasakan itu saat kehilangan Oma, lalu Arkha.



Dan aku nggak mau kembali menjadi kelam... saat aku harus kehilangan kamu." Seketika, sebuah kesadaran menghantamku secara telak. Membuatku teringat akan bayangan perempuan mungil dan sangat ringkih. Istriku. Istri yang keras kepala namun rapuh. Dan sudah menjadi kewajibanku untuk melindunginya. Bukannya malah menghancurkannya pelanpelan hingga membuatnya berlari menjauh dariku. Aku kembali menuju ruang tengah dan menyambar telepon genggamku di atas meja. Membuka aplikasi pemesanan tiket online dan mencari tiket penerbangan terakhir menuju KL. Sial. Bandung-Kuala Lumpur hanya ada dua kali penerbangan. Oke, tak masalah. Sambil menunggu besok, sambil kupikirkan kata-kata apa saja yang harus aku ucapkan untuk meyakinkan Frisca saat kami bertemu nanti. *** FRISCA



"Terus, bilang apa lagi dia?" tanya Mami, saat kami duduk berhadapan di restoran Oma yang baru satu minggu ini opening. Terletak di lantai satu Suria KLCC Mall. Mami mendengarkan dengan saksama, ketika aku menceritakan obrolanku dengan Barga saat facetime dengannya tadi malam. "Nggak sempet jawab, aku udah putus duluan." Mami terdiam sejenak. Kembali menyeruput green tea-nya dari cangkir teh di depannya. "Mami nggak mau menggurui, karena Mami pikir, kamu lebih tau mana yang terbaik untuk jalan hidup kamu sendiri. Tapi satu hal yang harus kamu tau. Honore de Balzacp pernah mengatakan, 'a good marriage would be between a blind wife and a deaf husband'. Itu artinya, jadi istri itu kadang harus pura-pura buta. Nggak semua hal harus kamu lihat. Salah satunya saat kamu melihat Barga terlalu dekat dengan teman perempuannya. Suggest diri kamu sendiri kalau mereka hanya berteman, dan yakin jika Barga hanya mencintai kamu. Hal itu penting, Sayang. Karena kalau kamu terlalu menganggap benar ucapan



orang-orang, yang ada kamu malah capek sendiri. Sama saja seperti kamu menyiksa diri kamu sendiri." Aku menyimpan cangkir teh yang kupegang sejak tadi, dan ganti menggenggam tangan Mami. Membuat Mami membalas menggenggam tanganku dengan lebih erat. "How lucky i am to have you, Mam. We've had lots



of hard times. Remember when I came and told you that I was pregnant? Mami nggak marahin aku, Mami nggak



menghakimi aku. Mami justru merangkul aku dan meyakinkan aku jika kita bisa sama-sama membesarkan anak yang aku kandung walaupun tanpa kehadiran ayahnya. Dan aku salut sama Mami, karena masih bisa bertahan dan masih setia nungguin Papi sampai lima belas tahun masa tahanan Papi." Mami tersenyum lembut dan meremas tanganku sekilas. "Kalau bukan kita yang support Papi, lalu siapa lagi? Mami tau, Papi kamu sudah banyak mendapat pelajaran selama di LAPAS. Dan lagi, Mami akan menghabiskan masa tua dengan siapa kalau Mami tinggalin Papi sekarang? But anyway, sudah sore ternyata. Mau pulang jam berapa?"



Aku melirik jam yang melingkari tanganku, pukul empat sore waktu Malaysia. "Ya udah, kita pulang ke condo sekarang. Kasian juga Omar udah kelamaan jalan-jalannya." Setelah itu, kami berjalan beriringan menuju basement. Mami mendorong stroller Omar sedangkan aku mengangkut kantung belanjaan. Hanya setengah jam waktu yang kami butuhkan untuk perjalanan dari Suria KLCC Mall menuju kondominium milik Mami di daerah Ampang. Mutiara Upper East Apartment. Sebuah tempat tinggal kelas menengah yang menjadi tempat tinggal Mami selama di KL. Di Malaysia, harga rumah jauh lebih mahal dari pada harga mobil. Hingga membuat kebanyakan warganya lebih memilih menyewa kondominium atau flat yang harga sewanya lebih murah. "Mami sama Omar duluan aja. Biar aku yang masukin mobilnya ke basement." Ujarku, saat menghentikan mobil Mami di depan lobby gedung apartment. Setelah memarkirkan mobil di basement, aku segera menyusul Mami dengan membawa serta kantung belanjaan



yang tersimpan di jok belakang. Sempat menyapa security yang berjaga di depan elevator sebelum masuk ke dalamnya. Dan ketika memasuki condo, langkahku terhenti saat menemukan seseorang sedang duduk di ruang tamu yang juga menjadi ruang tengah. Sedang memangku Omar yang tertawa-tawa saat digodai olehnya. Dia menengok, dan tersenyum lembut ke arahku. Membuatku menahan keinginan untuk berlari menghampirinya dan memeluknya dengan erat. "Ya ampun, Fris. Barga udah nungguin kita dari siang di lobby. Ajak makan suaminya ya. Kasian, pasti kelaperan dari tadi." Ucap Mami tiba-tiba saat keluar dari dapur dengan membawa makanan yang kami bawa dari restoran Oma dan menyajikan di atas meja makan. "Nggak juga, Mam. Tadi di pesawat udah makan kok." "Beneran nggak laper?" Barga mengangguk yakin. "Ya udah, kalau gitu. Mami tinggal ke minimart depan dulu ya. Ada yang mau Mami beli. Omar Mami ajak aja."



"Tapi, stoller Omar aku tinggal di mobil." ucapku, mengambil alih jawaban. "Ya udah, mana kuncinya, sekalian Mami ambil kalau gitu." Aku menahan kunci mobil saat Mami mengulurkan tangannya. "Mami mau ke mana, sih? Ke minimart depan kok bawa-bawa botol susunya Omar?" bisikku penuh curiga, saat melihat botol susu berisikan asi perahku berada di tangan Mami. "Buat jaga-jaga, takutnya nangis. Udah, kamu sambut dulu suami kamu. Selesaikan masalah kalian baik-baik. Dia sampai nyusulin kamu ke sini, itu artinya dia memang menganggap kamu penting. Jangan kayak anak kecil ya. Pikirkan juga tentang Omar." Mami berbalik dan mengalihkan perhatiannya pada Barga. "Bar, Mami tinggal dulu sebentar ya." Setelah mendapat anggukan kepala dari Barga, Mami segera melangkah menuju pintu keluar dengan membawa Omar dalam gendongannya. Meninggalkanku yang berdiri kaku dan bingung harus melakukan apa.



Hingga akhirnya, aku menghampiri Barga dan duduk di sampingnya. "Kamu mau minum?" Barga menaikan botol air mineral di tangannya untuk menunjukannya padaku. "Ya udah, tas sama jaket kamu simpen di kamar aja." Aku berdiri dan Barga mengikutiku di belakang. "Kamar siapa?" tanyanya, setelah kami berada di dalam kamar. Aku segera merapihkan atas tempat tidur yang masih berantakan saat aku tinggalkan tadi. "Kamar aku. Biar nanti aku tidur sama Mami." ucapku, sambil melipat selimut bekas aku pakai. "Kenapa tidur sama Mama? Nggak sama aku aja." Aku mendengus. Dan saat berbalik, aku tersentak saat mendapati Barga sudah berdiri tepat di belakangku. Matanya menatapku dengan penuh hasrat. Membuatku tak mampu mengalihkan pandanganku darinya. "Kamu kok tega banget sih sama aku? Enteng banget kamu minta pisah dari aku. Kamu tau nggak, cuma tiga minggu aja nggak ketemu kamu, udah bikin aku kayak orang nggak waras tau nggak?! Apalagi kalau kamu bener-



bener pergi dari aku. Please, bilang sama aku kalau kamu cuma main-main. Bilang sama aku kalau kamu juga nggak mau pisah dari aku." Aku menggeleng pelan. "Nggak. Kita emang harus..." Ucapanku terhenti saat Barga membungkam mulutku dengan mulutnya. Menciumku dengan agresif dan sangat liar. Membuatku sedikit kepayahan untuk menolaknya. Dan aku tak punya pilihan lain selain pasrah dan membalas ciumannya. -tbcTahan dulu yaa.. Adegan selanjutnya disimpan untuk part depan. Lol



20 WARNING : This part contains sexually explicit material and is intended solely for adults only! *** BARGA



Aku menelan semua protes Frisca dengan mulutku. Merasakan saat tubuhnya menegang karena ciuman tibatiba ini. Namun ia diam. Tak melawan, dan seakan terhipnotis hingga akhirnya mengalah dan mulai membalas ciumanku. Oh, astaga. Aku sangat merindukan ini. Seluruh kerinduan dan rasa takut kehilangannya kucurahkan lewat ciuman ini. Begitu dalam, dan apa adanya.



Her eyes are eager. Daring me to bring it on. Oh, I can bring it. Don't ever doubt that, baby! Merasakan kebutuhanku akan dirinya yang perlahan mengambang dipermukaan. Untuk beberapa detik yang singkat, kami masih saling menikmati ciuman itu, hingga terdengar sebuah isakan tertahan darinya. Membuat kesadaranku kembali dan akhirnya melepaskan ciuman kami. Frisca menunduk dalam. Hatiku semakin mencelos saat melihatnya menangis. "Stop it, Bar. Please... stop it." Bisik Frisca ditengah isak tangisnya. Dan pada detik yang sama, aku mengutuk diri sendiri karena sudah bersikap brengsek.



"Fris..." Astaga, bahkan suaraku sendiri menghianatiku. "I'm apologize for..." "No. It's not about you. This is about me. Aku kesel sama diri sendiri karena nggak pernah bisa nolak kamu. Aku kesel karena masih aja bales ciuman kamu walaupun tau kalau kamu itu brengsek." Ujarnya, sedikit merengek. Aku membingkai wajahnya. Membantu menghapus air matanya dengan ibu jariku. Kemudian turun dan mengusap lembut bibirnya yang basah oleh ciuman tadi. "Aku tau, aku brengsek. Maaf, karena aku terlalu impulsif. Aku cuma nggak bisa nahan perasaan aku sendiri.



I want you. I wanted it to be yours so badly."



"Tapi kita butuh bicara, Bar." "Then do it." "Jangan di kamar. Aku butuh tempat yang lebih netral untuk kita bicara." Aku mengangguk paham. Segera kubawa telapak tangannya dan menggandengnya kembali ke ruang tengah. Kami duduk bersisian di atas sofa dengan posisiku yang menghadap ke arahnya. Frisca menengok. Menarik napas panjang sebelum bicara.



"Being a single mother wasn't something I'd ever



planned to be... but now, it's who I want to be." Dahiku berkerut mendengarnya. "What you mean?"



Aku masih terus memperhatikan saat raut wajahnya berubah murung. Dan ia semakin menundukkan wajahnya. "Keputusan aku tetep sama, Bar. Aku mau cerai." Bisiknya, lirih. Dengan satu tetes air mata yang mengiringi. Napasku tercekat. Sebesar itukah keinginannya untuk berpisah dariku? "Kenapa?" tanyaku pada akhirnya. Tak dapat menyembunyikan getaran dari suaraku. Frisca kembali menatapku. Matanya menatap lurus kedua iris mataku yang terus memperhatikannya dengan intens. "Karena aku capek, Bar. Aku capek terus menerus bersandiwara seakan semuanya baik-baik saja. Kenyataannya, aku hancur ketika tahu bahwa kamu mencintai wanita lain. Alasannya bukan tentang Omar, tapi ini tentang aku. Tentang bagaimana rasanya menjadi orang yang terabaikan. Harus kuakui ... sakit, Bar...."



Frisca menutup wajahnya dengan kedua tangan dan kembali menangis. Dan aku hanya bisa ternganga. Mengernyit bingung karena sama sekali tak paham dengan maksud ucapanya. Aku menarik kedua tangan Frisca dan memaksanya untuk kembali menatapku. "You thought I was having



affair?"



Frisca mengangguk. "How could you think that? How could you ever



believe I would cheat on you?"



"Bu Fatma." Jawabnya, membuatku semakin mengernyit bingung. "Bu Fatma bilang sama aku, kamu bawa nginep perempuan lain di rumah kita." Dan pikiranku mengarah pada kejadian minggu lalu. Saat para tetanggaku melihatku keluar rumah bersamaan dengan Icha. And I got the point. The power of 'gosip'. "Kamu percaya sama aku?" Bisikku, tepat di depan wajahnya. Frisca nampak berpikir sesaat sebelum menjawab, "Tapi keadaannya nggak mendukung aku untuk bisa percaya sama kamu, Barga. Dan aku tau siapa perempuan



itu. Aku lihat ada foto bunga mawar yang dia posting ke Instagram dan itu pasti dari kamu, kan?" Ini konyol. Benar-benar konyol. Dan akhirnya, tawaku pecah dengan sendirinya. Frisca menatapku sebal. Seperti ingin protes namun ia tahan. Wajahnya sampai terlihat merah padam karena menahan kesal. "Ya ampun, Frisca... Frisca!" Ujarku, sambil berusaha meredam tawa dan mengatur napas kembali. "Kamu itu orang berpendidikan. Sekolah di Nevada, kuliah di Melbourne, tapi pikiran kamu..." Aku gelenggeleng kepala. "Kenapa sih, susah banget kayaknya untuk jujur sama aku? Untuk bicara terus terang sama aku. Kenapa, Fris? Karena gengsi? Karena kamu nggak mau mengakui kalau kamu cemburu? "Pertama, aku nggak pernah bawa perempuan lain tidur di rumah kita selain keluarga aku. Dan kedua, perempuan yang kamu maksud itu Icha, kan? Dan foto bunga mawar yang kamu lihat di IG-nya itu, hasil kelakuan alay-nya si Jack. Dia yang nembak Icha, dan mereka udah jadian sekarang. Nggak ada ceritanya aku cinta sama



perempuan lain, Frisca. Jatuh cinta sama satu cewek aja udah bikin rumit, apalagi ditambah cewek lain." Aku mengulurkan tangan untuk menggapai tangannya. Membawanya dalam genggamanku dan menatapnya dengan serius. Kuubah nada bicaraku menjadi lebih lembut. "Aku tau, aku bukan suami yang romantis. Aku juga nggak bisa seperti laki-laki lain yang gampang ungkapkan sayang. Aku bahkan baru tau kalau perempuan itu butuh ungkapan cinta. So then, let me to tell you... that I love



you, Frisca. I cannot live without you. And I don't even know how to try."



*** FRISCA Aku terdiam. Berusaha keras untuk tetap bernapas. Dan entah bagaimana, namun seluruh keraguanku hilang tanpa sisa. Tergantikan oleh sebuah rasa asing yang terlanjur melekat kuat meninggalkan rasa. Dan akhirnya akupun memilih menyerahkan diri pada ketetapan takdir. Memilih untuk percaya pada satu hal yang perlu aku yakini. Aku mencintainya. Tanpa syarat dan apa adanya.



"Maaf, aku nggak bisa ikutin cara alay-nya si Jack, ungkapkan cinta dengan bunga atau hal-hal manis lainnya. Aku cuma mau bilang... aku masih Barga yang sama. Cuek dan nggak peka. Tapi aku punya cara sendiri untuk nyayangin kamu, untuk ungkapin rasa cinta aku sama kamu. Dan mungkin menurut kamu itu aneh. Tapi kerja keras aku selama ini, sebagai bukti kalau aku sayang sama kamu. Cinta sama kamu. Bahkan sebelum aku sadar dengan perasaan itu. Aku nggak mau hubungan yang berlebihan. Cukup sewajarnya aja, asal jangan curiga dan bisa saling jaga. Kamu masih salat, kan?" Aku mengerjap beberapa kali sebelum mengangguk. "Selalu dijaga salatnya ya, Fris. Karena kebahagiaan dan keberkahan rumah tangga kita, ada disetiap sujud kamu sebagai istri yang selalu mendoakan aku." Tak bisa menunggu lama lagi, aku mengangkat tubuhku dan berpindah duduk di atas pangkuannya. "Kangen..." Bisikku, memeluknya dengan erat dan menyerap semua rindu yang kini mulai tersampaikan. "Bawa aku pulang, Bar. Segera urus acara akad nikah kita, dan jadikan aku halal untuk kamu."



Barga tertawa pelan dan balas memelukku lebih erat. Dan kini, bukan lagi tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Ini semua tentang belajar memaafkan dan berusaha saling menerima. Tentang bagaimana usaha untuk saling mempertahankan dan takut kehilangan. Semua proses yang kami lalui dalam pernikahan ini, ternyata banyak mengajarkanku tentang kedewasaan yang tidak berpatok pada usia. Dewasa bukan lagi tentang umur, tapi dilihat dari sikap dan bagaimana cara menyikapi sebuah masalah dan berusaha untuk menyelesaikan. Dan buatku, Barga dengan ketidak-pekaannya dan juga sikap cueknya, menjadi pelajaran tersendiri, tentang bagaimana caranya untuk menyatukan dua kepala yang berbeda menjadi satu. Untuk menemukan satu tujuan, yaitu bahagia dan membahagiakan. *** Mami memelukku dengan erat saat mengantarkan kami ke bandara. Kami sama-sama menangis. Sangat berat rasanya harus kembali berpisah dan meninggalkan Mami sendiri.



"Bahagia ya, Sayang. Karena kebahagiaan kamu, menjadi kunci kebahagiaan Mami." "Mami kenapa, sih nggak ikut pulang aja. Aku dan Barga mau ngulang akad nikah, dan aku mau Mami ada di sana." Mami membelai wajahku lembut. Merapihkan rambutku yang sedikit berantakan dan kembali memelukku. "Doa Mami ada di sana menemani kamu. Inget terus pesan Mami ya. Jadilah istri yang penurut dan berbakti pada suami." "Walaupun kita jarang sama-sama, tapi Mami percaya, kan kalau aku sayang sama Mami." "Iya, Mami percaya. Udah ah, jangan cengeng. Cepetan check in. Kasian Barga juga udah nungguin dari tadi." Aku menengok dan memperhatikan Barga yang sedang menggendong Omar. Barga menengok ke arahku dan tersenyum, kemudian berjalan perlahan menghampiri kami. "Bar, Mami titip Frisca ya. Maklumin aja kalau dia sedikit kolokan. Anak tunggal, biasa dimanja dari kecil.



Kalau perlu dikerasin, kerasin aja, Bar. Biar dia nurut sama kamu." "Mami!" protesku. Membuat mereka tertawa bersamaan. Barga merangkul pundakku dan menarik tubuhku agar semakin merapat padanya. Setelah berpamitan, aku dan Barga melangkan menaiki escalator untuk turun menuju konter pemeriksaan imigrasi. Aku menengok sekali lagi, dan menemukan Mami yang masih memperhatikan kami dari atas. Kulambaikan tangan untuk Mami, dan Mami membalasnya. Sebelum berbalik, sekilas aku seperti melihat Mami menghapus kedua matanya dengan sapu tangan. *** Hanya dua hari waktu yang kami persiapkan untuk prosesi akad nikah yang kedua kalinya. Tidak banyak yang hadir seperti saat akad nikah pertama. Hanya ada keluarga inti dan beberapa kerabat dekat. Bertempat di rumah kami, dengan Mas Bilal sebagai saksi dari pihak Barga, serta Jack sebagai saksi dari pihakku, prosesi akad nikahpun siap dimulai.



Dengan suara lantang dan hanya satu kali tarikan napas, Barga dengan lancar berhasil mengkabul ijab yang diucapkan wali hakim sebagai pengganti Papi yang tidak bisa hadir untuk menjadi wali nikahku. Dan kini, kehalalan status sebagai suami istri telah kami genggam. sebagai pasangan halal yang mampu menjadikan hal mudarat menjadi manfaat. Menjadikan kekotoran menjadi kesucian. Hingga mampu merubah hal maksiat menjadi suatu ibadah. Barga masuk ke dalam kamar saat aku sedang membersihkan wajah dari riasan make up yang aku gunakan saat akad tadi. Lelaki itu, suamiku. Berjalan menghampiriku dan mengecup kepalaku dengan lembut. Lalu turun dan menciumi leherku setelah ia menyingkirkan uraian rambut yang menutupinya. Kemudian, ia menyerahkan selembar amplop yang disimpan di atas meja rias tepat di hadapanku. Aku memutar kepala ke arahnya. "Apa itu?" tanyaku. "Buka aja."



Aku mengambil amplop itu dan membukanya. Sebuah voucer menginap di hotel The Trans Luxury Bandung. Hotel tempat Barga kerja. "Dari siapa?" tanyaku. "Hadiah dari Jack sama Icha." Aku tertawa pelan. "Dan sekarang, ada upik abu yang berubah jadi pangeran. Tadinya tukang angkatin barang, sekarang jadi tamu kehormatan." Barga ikut tertawa dan mengacak rambutku pelan. "Udah, cepetan siap-siap. Kita berangkat sekarang." "Terus Omar?" "Omar sama Bunda. Nggak usah khawatir. Kapan lagi coba, kita bisa berduaan kayak gini?" *** Malam harinya, kami telah menempati premier room The Trans Luxury Hotel Bandung. Sebuah room standart namun tetap terkesan mewah dan sangat berkelas. Aku meletakkan ponselku kembali di atas meja setelah menghubungi Bunda. Menanyakan kabar Omar karena rasa kekhawatiran yang besar, mengingat inilah pertama kalinya aku meninggalkan Omar dalam waktu yang cukup lama.



Barga memelukku dari belakang saat aku duduk di sisi ranjang. "Percaya aja sama Bunda. Omar pasti baik-baik aja." Bisiknya, tepat di samping telingaku. "Aku percaya. Cuma ya, namanya ibu ninggalin anak pasti kepikiran terus." "Dan waktu kamu ninggalin aku, kepikiran juga nggak?" Aku menggeleng. "Nggak kepikiran. Tapi memang dipikirin terus." Aku menjerit saat Barga tiba-tiba menarikku dan merebahkan tubuhku di atas ranjang, lalu ia naik di atasku. "Udah boleh kan, sekarang?" tanyanya. "Udah boleh apa?" "Sex without condom." "Tumben pake nanya dulu. Biasanya main hajar-hajar aja." "Soalnya kata dokter, aku harus tanya kamu dulu. Nggak boleh dipaksa kalau kamu nggak mau." Aku cekikikan mendengarnya. Kemudian tersenyum lembut sebelum akhirnya menganggukan kepala sebagai persetujuan untuknya. Ada kilatan hasrat yang besar dari



pupil matanya saat mendekat ke arahku. Membuatku pasrah saat ia mulai meloloskan setiap lembar pakaian yang kami berdua kenakan. Ia mengecup bahuku dengan lembut, menjelajahi leherku dengan bibirnya yang dingin hingga membuatku menggigil. Menghadiahkan mata air hingga membentuk satu muara yang menyejukan. Barga menjauhkan kedua kakiku dan menempatkan dirinya di tengah-tengahku. "Ahh..." Desahku, saat Barga memulai memasukiku. Secara perlahan, sangat lembut. Bersentuhan langsung kulit dengan kulit. Dan aku pasrah. Menyerahkan seluruh kelopakku di atas takdirnya. Membuat ini jauh lebih nikmat dari pada seks pertama kami tanpa pengaman. "Frisca..." Barga mengerang di telingaku. Kemudian ia menaikan tubuhnya dan menatapku dari atas. Terus bergerak mengisiku dan semakin meregangkan. Aku belingsatan, namun tetap membalas tatapannya. Astaga, adakah yang lebih nikmat dari ini? Barga seperti



potongan-potongan fragmen seksi dan tampan dan panas dan menggoda di atas sana. Dan dia milikku. Suamiku. "Hampir, Sayang." Ucap Barga dengan suara rendahnya. Aku mengangguk. "Aku juga." Setelah mendengar itu, Barga merubah posisinya. Berusaha menggapai pusat intiku dan membuatku semakin merangkak naik. Aku mengeliat gelisah. Pikiranku kacau oleh sentuhannya di seluruh tubuhku. Aku tak ingin ini semua berakhir. Namun tubuhku berkata lain. Sebuah perasaan yang sangat familiar mendekat padaku hingga akhirnya, aku meledak dalam sebuah orgasme hebat selama perjalanan seks kami. Dan beberapa detik kemudian, Barga menyusulku. Memuntahkan isinya di dalamku dan membuatku kembali meledak saat merasakan denyutan hebat dari miliknya di dalamku. Barga menyembunyikan wajahnya pada ceruk leherku. Napasnya masih memburu dan terdengar kasar di telingaku. "I love you." bisiknya. His voice is raspy. With need



for me.



"I love you every second. I love you every step on my



way. I love you with my every breath. I love you so much, Frisca."



Aku tertawa. Tawa lepas yang sangat menyenangkan. Namun terhenti saat Barga kembali membungkam mulutku dengan mulutnya. Ia menciumku. Satu kali. Dua kali. Berulang kali, hingga aku kembali merasakan si 'boy' yang kembali hidup di dalam sana.



Suddenly, i'm ready for the next round. -tbcTamat apa lanjut?? XD



21 A/N: Baca part kemaren, baru nyadar adegan nananinanya terlalu vulgar. Yaa ampun. Banyak dedek gemez disini. Maafin kakak ya ( kakak lohh ya manggilnya, jangan emak apalagi Oma ). Maklum, lagi ditinggal dinas suami, jadi pelampiasannya sama papa Barga. Lol



Part ini juga ada adegan becek-beceknya sedikit. Wkwkkw... Be wise ya! *** BARGA Cinta itu ilusi. Sebuah ironi. Begitulah hal yang kupikirkan dulu, saat masih tersesat di dalam lorong-lorong gelap masa lalu. Menatap jengah saat menyaksikan Arkha yang banyak bertindak konyol ketika jatuh cinta. Namun, kini kutelan mentah-mentah teori itu. Cinta itu keindahan. Sebuah perasaan yang hakiki. Ada seni di dalamnya. Dan bagiku, pengorbanan yang kulakukan untuk keluarga kecilku, adalah bentuk seni sebagai wujud rasa sayang untuk mereka. Aku menengok saat pintu kamar terbuka, disusul dengan munculnya Frisca dari dalam kamar. Mematikan lampu, lalu kembali menutup pintunya secara perlahan. Kemudian, dia duduk disampingku yang sedang terduduk di atas sofa ruang tengah, dan menyandarkan kepalanya di atas pundakku. "Omar udah tidur?" tanyaku.



Frisca mengangguk. "Kamu lagi ngapain, sih?" tanyanya, ketika memerhatikan layar laptop yang berada di atas pangkuanku. "Bikin tugas buat besok. Tidur duluan, gih!" Bukannya menurut, Frisca malah mengapit lenganku dan memeluknya dengan erat. "Masa aku tidur sendiri." Ucapnya manja. Aku terkekeh dan mengecup kepalanya. "Ada yang lagi manja, nih. Sebentar lagi selesai kok." "Mau aku buatin kopi, nggak?" "Nggak usahlah. Nanti malah nggak bisa tidur." Frisca kembali menyandarkan kepalanya di atas pundakku dan ikut memerhatikan layar laptop di depan kami. "Bar," "Hm?" "ASI aku kok sekarang sedikit ya keluarnya? Sekarang udah nggak pernah pumping lagi karena nggak keluar banyak ASI-nya." Aku mengalihkan perhatian pada istriku sepenuhnya. "Kamu kecapean mungkin. Ngurusin Omar, terus ngurusin



rumah juga. Atau mungkin, bisa juga karena Omar udah enam bulan, kan. Udah mulai makan, dan frekuensi menyusunya juga berkurang, jadi ASI kamu juga berkurang sendiri." "Bisa jadi, sih." Jawabnya, kemudian kembali mengapit lenganku. Setelahnya, kami sama-sama terdiam. Ingin menyampaikan hal yang beberapa hari ini terus kupikirkan, namun bingung memulainya dari mana. "Fris..." panggilku perlahan. Frisca kembali mendongak dan menatapku. "Kalau aku keluar dari kerjaan... kamu keberatan nggak?" tanyaku, pada akhirnya. Kening Frisca berkerut mendengarnya. "Kerjaan yang mana?" "Dua-duanya." "Kenapa? Aku juga udah resign dari kantor. Terus kalau dua-duanya nganggur, kita mau hidup dari mana?" Aku menggeser posisiku. Membuat Frisca melepas pelukannya dan mengubah posisi kami menjadi saling berhadapan.



"Jadi gini, Fris, kita kan masih punya uang dari hasil jual mobil. Dan rencananya, uang itu mau aku pakai untuk modal usaha. Kamu tau food truck, kan? Di Vegas dan di Melbourne pasti udah banyak. Nah, rencananya aku mau buat kayak gitu. Kalau kamu setuju, aku mau ngomong sama Ayah. Ngajakin Ayah join dan minta jadi investor, soalnya modal yang kita butuhin lumayan besar. Kalau Ayah udah acc, baru aku ngajuin resign." Aku menunggu jawaban Frisca setelah selesai bercerita. Mengamatinya yang juga tengah mengamatiku dengan gamblang. "Emang kenapa kamu tiba-tiba kepikiran mau buka usaha?" tanyanya, setelah terdiam cukup lama. Aku mengangkat bahu. "Nggak tau. Tiba-tiba kepikiran aja. Terinspirasi dari masa mudanya Ayah mungkin. Jadi dulu Ayah sama Om Ligar punya usaha distro waktu mereka masih kuliah. Dan sekarang, Ayah buka perusahaan penerbit SLO sendiri, setelah resign dari PLN. "Dan lagi aku pikir, sekarang ini kuliner kita terlalu didominasi sama makanan dan minuman dari luar. Padahal



negara kita sendiri punya banyak makanan dan minuman khas daerah yang nggak kalah enak. Tinggal kita combine aja sama selera anak muda sekarang supaya tetep kekinian." "Contohnya apa?" Aku berpikir sebentar sebelum menjawab. "Banyak. Misalnya, late macchiato, kita ganti late-nya dengan bajigur. Jadinya bajigur macchiato. Atau es cingcau smooties, jadi santannya kita ganti susu UHT supaya lebih sehat. Kalau makanannya... batagor tapi isian ayam, daging atau udang. Terus atasnya pakai taburan keju dan saus mayonase. Gimana? Keren, kan?" Frisca kembali terdiam. Menatapku tanpa kedip, hingga akhirnya tawanya pecah seketika. "Ya ampun, Barga... Barga. Ide kamu itu ada-ada aja, sih! Terlalu anti mainstream kamu orangnya. Mana ada bajigur macchiato? Yang umum aja kadang susah diterima, apalagi yang anti mainstream kayak gitu." Aku berdecak. "Anak-anak muda sekarang itu justru senang berinovasi, Fris. Mereka suka dengan sesuatu yang aneh, unik, dan anti mainstream."



Frisca kembali terdiam. Raut wajahnya berubah serius, namun matanya tak lepas menatapku. "Kamu serius, Bar? Buka usaha sendiri itu nggak gampang, lho! Kamu harus konsisten, harus mau susah dulu, harus rela merangkak dulu dari bawah. Dan kamu siap untuk itu?" Aku membawanya tangannya dalam genggamanku, dan menatapnya tanpa ragu. "Aku tau. Sadar dengan semua resikonya. Tapi aku punya kamu dan Omar untuk jadi alasan aku supaya nggak gampang nyerah. Asal kamu selalu ada di samping aku. Bukan untuk diajak susah, bukan. Karena laki-laki manapun pasti nggak mau bawa perempuannya hidup susah. Tapi untuk mendampingi aku dalam berproses. Supaya aku juga punya alasan untuk nggak gampang lepasin kamu." Seperti apa yang Coldplay katakan di dalam lagunya Up&Up. 'We're gonna get it, get it together right now.



Gonna get it, get it together somehow'.



Karena Tuhan dan rencananya. Tidak ada yang bisa menerka dan tidak ada yang bisa menduga. Yang penting usahanya. Karena untuk melompat tinggi, aku butuh



berjalan mundur, butuh berlari hingga menghentakan kaki. Dan bukan seberapa jauh aku melompat, tapi seberapa kuat aku mampu bertahan dengan kerja keras itu sebelum mencapai lompatan tertinggi. "Kalau memang keputusan kamu seperti itu, sebagai istri, aku pasti akan dukung kamu. Kalau mau, kamu bisa pakai dulu uangnya Omar yang dikasih Bunda?" "Janganlah. Itu kan uangnya Omar." "Ya, nggak apa-apa. Kita pakai aja dulu. Nanti Omar udah besar baru kita ganti uangnya. Aku percaya kok, rejeki itu ada di mana-mana. Datang tanpa bisa kita duga, akan selalu tepat waktu dan nggak akan salah sasaran. Apalagi untuk orang-orang yang mau berusaha keras seperti kamu. Dan aku percaya, ketika nanti kita jatuh satu kali, kamu akan punya seribu kali cara untuk bisa membuat kita bangkit berkali-kali. Tapi... yang jadi pertanyaan aku. Kalau nanti Omar udah besar, udah sekolah, terus ditanya sama gurunya, 'Omar, Papanya kerja apa?', terus Omar jawabnya apa? Kang bajigur, Bu. Atau Kang batagor, Bu. Gitu?"



Aku tertawa lepas mendengarnya. Mengacak rambutnya sekilas, sebelum menarik tubuhnya dan menempatkannya di atas pangkuanku.



Oh, God. How I love her so much. She's always been a top priority for me. Apapun yang aku lakukan saat ini,



tujuannya hanya untuk membahagiakannya. Untuk mempertahankan senyum yang saat ini merekah indah di wajahnya. Aku menciumnya. Satu kali. Dua kali. Merasa tak pernah puas dengannya. She's my ecstasy. Did I say she



was a beautiful butterfly before? Nope. She is a fucking lioness.



Lihat saja sekarang, dia merubah posisi duduknya menjadi mengangkangiku. Membalas ciumanku dengan tak kalah agresif. Aku menikmati pemandangan saat ia melepas blouse-nya hingga menampakan kedua buah ranum miliknya yang tertutup bra hitam. Dan dia menutup mata, mengerang nikmat saat aku meremasnya dengan lembut. Frisca kembali membuka mata, menarik ujung kausku dan melepaskannya dengan gesit.



"Mau di mana? Di kamar atau di sini?" tanyanya. Membuat tawa kecil kembali lolos dari mulutku. "Tumben nawarin sendiri? Aku lagi nggak minta, lho!" Frisca memajukan tubuhnya. Memeluk leherku erat, dan membuat tubuh atas kami yang tak terhalang apapun menempel dengan ketat. "Anggap aja reward buat kamu. Imbalan dari aku karena kamu selalu berusaha keras untuk bahagiain aku. Biar kamu tambah semangat juga usahanya." Jawabnya, dengan senyum sensual yang mengundangku untuk kembali mencicipi bibirnya. "Di sini aja. Biar kamu mendesahnya bisa lebih keras." *** FRISCA Aku berlarian kecil saat mendengar ketukan pada pintu. Ada Jack dan Icha di sana saat aku membuka pintu. "Lagi ngapain si Barga?" tanya Jack, setelah kupersilakan mereka masuk.



"Lagi main sama Omar di kamar. Excited banget dia, lihat anaknnya udah bisa ngerangkak. Bentar ya, aku panggilin dulu." Akupun segera berbalik, berjalan menuju kamar dan memberitahukan kedatangan Jack. Barga segera keluar dari kamar menuju ruang tamu, dengan membawa Omar dalam gendongannya, sedangkan aku menuju dapur untuk membuatkan minuman. "Lagi buat apa, Fris?" Sapa Icha, saat menyusulku ke dapur. Inilah pertama kalinya kami bicara berdua seperti ini. Bahkan aku belum meminta maaf karena sudah berpikiran negatif kepadanya. "Bikinin kopi buat Jack sama Barga. Kamu mau minum apa? Kopi atau teh?" "Teh aja deh." Aku mengangguk, dan segera menyeduh teh dengan sedikit tambahan gula untuknya. "Aku baru denger cerita soal kamu sama Barga." Aku mendongak saat mendengarnya bicara. "Soal apa?" tanyaku.



"Kamu yang salah paham sama aku. Aku minta maaf sebelumnya ya, Fris. Mungkin aku sama Barga terlalu akrab sampai akhirnya bikin kamu cemburu." Aku tersenyum dan kembali mengaduk minuman di depanku. "Aku juga harusnya minta maaf sama kamu, karena udah nuduh kamu macem-macem." "Bukan salah kamu juga. Aku aja yang nggak bisa bedain batasan berteman dengan laki-laki single dan suami orang. Tapi, dari awal aku ketemu Barga, aku tau dia orang baik. Dia tulus bantuin aku waktu itu. Dan setelah temenan sama dia, aku juga tau kalau dia sayang banget sama kamu. Dan nggak ada sama sekali pikiran aku untuk nikung suami orang." Kami tertawa bersamaan. "Aku juga ngerasa konyol banget, waktu Barga jelasin kalau cowok yang nembak kamu itu Jack. Tapi ngomongngomong, kok kamu bisa pacaran sama si Jack, sih?" Icha cekikikan mendengar pertanyaanku. "Semenjak Jack nganterin aku pulang dari rumah sakit waktu besuk



kamu lahiran, dari situ kita udah mulai deket. Terus tibatiba dia nembak aku. Ya udah... akhirnya kita jadian." "Kamu seumuran sama aku kan, Cha?" Icha mengangguk. "Berarti, kita sama-sama dapetin berondong." Dan kami kembali tertawa bersamaan. "Ya udah yuk, balik lagi ke depan." Ajakku, sambil mengangkat baki. Icha berjalan lebih dulu dan aku menyusulnya di belakang. "Grandmax aja kalau mau, Bar. Harganya lebih murah. Perawatannya juga nggak ribet." Ujar Jack, saat aku menaruh baki berisi minuman dan beberapa cemilan di atas meja ruang tengah. "Bokap juga ngomongnya gitu. Grandmax ada yang udah di-modif juga buat jualan makanan. Jadi bisa langsung pakai." "Terus yang bantu lo jualan siapa?" "Si Mul katanya punya saudara lagi nganggur. Kalau emang cocok, gue bisa hire dia jadi karyawan gue. Semua perencanaannya udah mateng, kok. Tinggal eksekusinya aja."



"Ya udah kalau gitu. Besok gue anterin lo ke tempat penjualan mobil." Malam harinya, setelah kepulangan Jack dan Icha, aku dan Barga kembali duduk berhimpitan di ruang tengah. Menemani Barga yang sedang serius menonton pertandingan sepak bola dari tim favoritnya. Sedangkan aku sendiri, memilih memainkan telepon genggam milik Barga. "Bar," panggilku. "Hm?" "Kok nomor aku kamu namain MCR?" Barga menengok dan ikut memerhatikan ponselnya. Ia terkekeh pelan setelahnya. "Itu kan singkatan." "Singkatan apa?" "My Chemical Romance." Dahiku otomatis berkerut mendengarnya. "Itu kan nama band?" Barga mengangguk. "Emang. Tapi kamu tau nggak, apa artinya itu?" Aku menggeleng.



"Chemical Romance itu istilah halus dari kecanduan narkotika. Dan kenapa aku namain kamu dengan nama itu, artinya memang kamu itu chemical romance aku. Buat aku merasa kecanduan sama kamu. Nggak bisa kalau hidup nggak sama kamu." Aku mengulum bibir mendengarnya. Menarik tangannya untuk melingkari pundakku dan menyandarkan kepalaku di atas dadanya. Satu tahun kami menjalani rumah tangga. Menikmati setiap kesusahan dan kesenangan bersama. Dan selama itu juga, sudah terlalu banyak pengorbanan yang Barga lakukan untuk mempertahankan rumah tangga ini. Membuatku sampai pada satu kesimpulan, bahwa setiap perempuan memiliki keinginan, dan setiap laki-laki punya keputusan. Keduanya harus berjalan beriringan untuk sampai pada sebuah harmoni. Karena pernikahan bukan akhir, namun awal menuju sebuah penyatuan. Penyatuan dua kepala menjadi satu untuk mencapai satu tujuan, yaitu bahagia dan saling membahagiakan. -tbc-



22 BARGA Jika ingin tahu seberapa dalam dasar laut, kita harus menyelam dan mengukurnya secara langsung. Dan jika ingin tahu seberapa sulitnya menjalani sebuah usaha, maka kita harus terjun langsung dan merasakannya sendiri. Dan kini aku paham, jika menjadi seorang entrepeneur tak semudah kelihatannya. Butuh modal dan semangat besar untuk membuatnya tetap bergerak. Nekat dan tahan banting. Harus mau merangkak dulu sebelum berlari kencang. Seperti saat ini, sudah hampir satu bulan menjalani usaha mobil kuliner, dan ternyata, selama itu juga usahaku masih jalan di tempat. Jangankan balik modal, keuntungan yang aku dapat hanya mampu untuk menutupi biaya operasional yang memang cukup tinggi, dan juga untuk membayar gaji karyawanku sesuai dengan kesepakatan yang sudah kujanjikan sejak awal. Hal itu membuat kondisi keuanganku dan Frisca benar-benar kritis saat ini. Uang



tabungan kami bahkan sudah dikuras habis-habisan untuk modal awal usaha. Aku keluar kelas setelah selesai jam kuliah terakhir. Menghampiri mobil kuliner milikku yang sedang mangkal di depan kampus, dan terlihat masih sepi pembeli. Cuaca sedang gerimis sejak pagi, membuat penjualan hari ini semakin anjlok. "Sepi ya, Gun?" tanyaku, pada si Gugun--karyawan yang membantuku berjualan. "Pisan, Boss." Jawabnya. (Baca : Pisan = banget) Aku masuk ke bangku pengemudi, menelungkupkan kepalaku di atas setir mobil untuk istirahat sejenak. Menunggu sampai kampus sepi, setelah itu berpindah lapak jualan di Taman Lansia yang letaknya bersebelahan dengan Gedung Sate. Aku kembali mendongak saat merasakan getaran pada kantung celana. Ada pesan masuk dari Frisca. Frisca : Pulang jam berapa? Kulirik jam pada dashboard mobil. Masih jam satu siang. Me : Sampe malem kayaknya. Kenapa?



Menunggu beberapa lama, namun tidak ada balasan lagi dari Frisca. Aku pun berinisiatif untuk menghubunginya yang langsung dijawab Frisca pada nada panggil pertama. "Kenapa?" tanyaku, setelah mendengar sapaannya dari ujung telepon sana. "Kamu pulang jam berapa?" Frisca balik bertanya dan tidak menghiraukan pertanyaanku. "Malem kayaknya, Fris. Ada apa, sih? Kamu bikin aku khawatir."



"Ya udah, nanti aja ngobrolnya di rumah."



"Ada masalah serius?" "Nope. Something aren't important." Jawaban ragu-ragu dari Frisca, membuat rasa penasaranku semakin membesar. "Ya udah, aku pulang sekarang." Setelah memutus panggilanku. Aku keluar dari mobil dan menghampiri Gugun yang terlihat sedang melayani beberapa orang pembeli. "Gun, gue balik dulu ya. Jam tigaan nanti lo bawa mobilnya ke Taman Lansia. Nanti gue nyusul ke sana."



"Siap!" Setelah itu, aku berjalan ke arah halte dan segera melesat menuju rumah dengan menggunakan ojek yang biasa mangkal di sana. Setengah jam kemudian, aku tiba di rumah. Frisca dan Omar menengok bersamaan saat aku membuka pintu. Terlihat Frisca yang sedang menemani Omar bermain di ruang tengah. Omar tertawa saat melihat kedatanganku. Kemudian, ia merangkak pelan-pelan untuk menghampiriku. "Pa pa pa pa pa pa pa pa," ucapnya, dengan jenaka. Membuat rasa lelah dan beban pikiran yang kurasakan seharian ini, hilang dengan sendiri. Aku berjongkok dan membawa tubuh mungil itu dalam gendonganku. "Abang lagi apa?" "Pa pa pa pa pa pa pa." "Iya, ini Papa. Dari kemaren belum main sama Papa ya?" "Pa pa pa pa pa pa pa."



Aku menciumi wajahnya dengan gemas. Membuat Omar tertawa kegelian sambil meronta-ronta dalam gendonganku. Ya, Tuhan... adakah yang lebih membahagiakan dari pada ini? Aku melirik Frisca yang masih terduduk di atas karpet, dan menyadari wajahnya yang sedikit pucat. "Kenapa, Sayang?" tanyaku, saat menghampirinya. Frisca diam sesaat, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Kamu sakit?" Dia menggeleng. "Terus kenapa?" Dia hanya membalas tatapanku dan tak bicara sedikipun. Kami terdiam cukup lama hingga akhirnya dia bersuara, "aku... kayaknya hamil deh, Bar." Dahiku berkerut. Tak paham dengan maksud ucapannya. "Kok bisa?" tanyaku. Frisca berdecak. "Ya, bisa lah. Orang kita rajin bikinnya."



"Bukan gitu maksudnya. Kamu kan udah pasang KB, kok masih bisa hamil?" "Justru itu, aku juga bingung. Tapi udah dua bulan aku belum dapat haid. Dan gejalanya juga sama kayak dulu waktu hamil Omar," rengek Frisca, terdengar ada sedikit kecemasan dari nada bicaranya. Dan kini, giliran aku yang terdiam. Bingung menjelaskan bagaimana tepatnya perasaanku saat mendengar kabar itu. Hamil? Mengandung maksudnya? Dan itu artinya, aku akan punya anak lagi? Shit. Seharusnya aku senang mendengar kabar ini. Tidak ada kabar yang lebih membahagiakan untuk seorang suami, selain mendengar istrinya sedang hamil. Namun, mengingat bagaimana kondisi keluarga kami saat ini, membuatku merasa belum siap jika harus punya anak lagi. Aku melirik Frisca yang juga ikut terdiam. Terlihat matanya sudah mulai berkaca-kaca. Mungkin menyadari kekalutanku.



Aku menarik kepalanya dengan lembut dan menyandarkan di atas dadaku. Memeluknya, membelai rambutnya, mencoba menenangkannya. Walau pikiranku sendiri kacau. "Kalau emang beneran hamil juga nggak apa-apa kok. Ada bapaknya ini, kan? Ada yang tanggung jawab." ucapku, mencoba mencairkan ketegangan. "Tapi kondisi keuangan kita lagi kayak gini, Bar. Omar juga masih kecil banget. Dan kemungkinan besar, lahirannya sesar lagi. Terus kita mau dapat biayanya dari mana?" Aku kembali menghela napas. Membingkai wajahnya dan menatapnya dengan tegas. "Kamu sendiri kan yang bilang, rezeki itu ada di mana dan akan selalu datang tepat pada waktunya. Yang penting tawakal dan usahanya. Iya kan, Sayang? "Lagipula, anak-anak kita sudah diatur rezekinya masing-masing. Kalau kamu meragukan rezeki mereka, itu artinya... kamu juga meragukan Sang Pemberi Rezeki.



Relax, take it easy, it will get done... you don't need to push yourself through it. Besok kita periksa ke dokter ya."



Frisca mengangguk. Melingkarkan tangannya pada sekeliling tubuhku, dan memelukku dengan erat. "Masak apa? Aku laper." Frisca kembali mengulur pelukannya. "Ikan acar kuning. Kesukaan kamu. Aku panasin dulu ya biar tambah enak makannya." Aku menahan tangannya saat akan berdiri, dan mencuri ciuman singkat di atas bibirnya. "Ma ma ma ma ma ma." Kami menengok, dan menemukan Omar yang sedang memerhatikan kami. Menyeringai, memperlihatkan gusinya yang masih belum tumbuh gigi. "Nyium dikit doang, sih, Bang. Pelit amat Mamanya nggak boleh dibagi-bagi." "Ma ma ma ma ma." "Sama Papa dulu sini. Mamanya nyiapin makanan dulu." Aku mengangkat Omat saat sedang merangkak menghampiri Frisca. "Mamam." "Iya, mamam. Abang udah mamam?"



Omar menepuk-nepuk wajahku dengan tangannya yang kecil. "Pa pa pa pa pa pa." Kembali kuciumi wajah dan lehernya berulang-ulang, membuatnya kembali tertawa riang dan menggeliat kegelian. Incubus benar. "Whatever tomorrow brings, I'll be



there with open arms and open eyes."



Karena kita manusia bisa apa, sih jika Yang Di Atas sana sudah berkehendak? Tidak ada. Selain pasrah, dan ikhlas menerima. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum kembali berjualan, aku sudah memboyong keluarga kecilku menuju rumah sakit. Mendaftarkan Frisca untuk konsultasi dengan dokter ahli kandungan yang sama saat hamil Omar dulu. "Hamil lagi, Mbak?" tanya seorang Ibu-ibu, saat kami sedang mengantre di depan ruangan dokter. Frisca tersenyum sopan. "Iya," jawabnya. "Kakaknya berapa umurnya?" "Sekarang jalan delapan bulan." "Masih kecil padahal ya. Kasian udah mau punya adek lagi."



Frisca melirikku dengan senyum pahit di wajahnya. "Ketagihan, Bu. Bikin anak enak, sih!" Ujarku, mengambil alih jawaban. Membuat Frisca kembali menatapku, dengan tatapan I-will-kill-you, sedangkan si ibu usil terlihat terkejut dengan jawaban asalku. Beruntung, nama Frisca dipanggil saat itu, membuatku segera berdiri dan mendorong stroller Omar menghampiri pintu ruang praktek. Aku membawa Omar dalam gendonganku, dan meninggalkan stroller-nya di luar ruangan, setelah mengamankannya di samping tembok. "Besok-besok ingetin aku bawa lakban. Biar mulut kamu aku lakban kalau ngomong ngaco lagi!" bisik Frisca, ketika melewatiku saat akan masuk ke dalam ruang praktik dokter. Membuatku terkekeh pelan, sebelum menyusulnya di belakang. Frisca kembali menjalani USG, dan ternyata memang benar. Frisca hamil dengan usia kandungan yang sudah memasuki minggu ke delapan. "Tidak ada alat kontrasepsi apapun yg efektif 100%, semua ada kekurangannya. Tapi kegagalan alat KB



bervariasi, efektifnya tiap orang berbeda-beda. Ada juga pasien saya, sudah steril, maksudnya saluran tubanya sudah diikat keduanya tapi kenyataannya dia masih bisa hamil. Apalagi KB IUD yang fungsinya hanya mengacaukan hormonal agar tidak berovulasi dan menetralisir efek hormonalnya, memang tidak terlalu efektif juga. IUD juga fungsinya barier saja, bisa jadi bergeser ketika Ibu sedang mengalami menstruasi dan Ibu terlalu banyak beraktifitas. Selama ada sel telur dan sel sperma bertemu, kemungkinan untuk hamil pasti akan selalu ada. Menyusuinya diteruskan saja jika tidak terjadi masalah. Kecuali jika Ibu sering merasakan kontraksi ketika sedang menyusui, terpaksa harus dihentikan." Begitu penjelasan dokter saat melakukan konsultasi. Dan membuatku berpikir, mungkinkan hal ini ada hubungannya dengan aku yang sering makan tauge? Semenjak hamil, istri cantikku ini menjadi pemalas dan lebih kolokan. Membuatku tidak bisa ikut berjualan selama tiga hari ini, dan membiarkan Gugun meng-handle semuanya sendiri.



Aku masuk ke dalam kamar saat mendengar tangisan Omar yang masih belum berhenti sejak Frisca membawanya masuk untuk ditidurkan. "Kenapa, Fris?" tanyaku, saat menghampiri mereka di atas ranjang. "Omar nggak mau dinenenin. Udah nggak ada ASInya mungkin. Jadinya dia kesel sendiri," ujar Frisca, terlihat seperti ingin menangis. Aku mengambil alih Omar dan menggendongnya keluar kamar. "Bobok sama Papa aja ya, Bang. Anak pinter nggak boleh rewel. Kasian Mama ada dedek bayinya di dalem perut." "Nenen, nenen," rengek Omar, dan akhirnya kembali menangis. Aku kembali menghela napas panjang.



Sabar, Bar. Sabaaarrrrr...



Sambil menggendong Omar dengan satu tangan, aku membuka kulkas dan mengeluarkan ASI perah milik Frisca yang sudah dicairkan di bagian bawah kulkas, lalu merendamnya dengan air hangat.



Aku mengajak Omar bermain sebentar sambil menunggu hingga suhu ASI-nya berubah hangat. Menuangkan di dalam dot, kemudian memberikannya pada Omar. Beberapa menit kemudian, terdengar dengkuran halus dari Omar saat mulai terlelap. Membuatku dapat bernapas lega pada akhirnya. Seperti ada kepuasan tersendiri saat kita berhasil menidurkan anak. Karena percaya atau tidak percaya, menidurkan anak itu jauh lebih sulit dari para jomblo yang sedang mencari jodoh. Terutama untuk kita makhluk yang tak berpayudara. Aku kembali masuk ke dalam kamar, membaringkan Omar di dalam tempat tidurnya dengan sangat hati-hati. Terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka, disusul dengan keluarnya Frisca dari dalam kamar mandi dengan wajah pucat. Ia naik ke atas tempat tidur dan kembali berbaring. Aku menghampirinya, "muntah lagi?" tanyaku. Frisca mengangguk. "Mau aku buatin teh manis."



Dia menggeleng pelan. Aku ikut berbaring dan memeluknya dari belakang. "Hamil yang sekarang sedih banget. Omar jadi nggak keurus, kamu juga sampe ikutan repot. Sekarang masak aja nggak bisa karena nggak kuat nyium bau bumbu dapur. Maafin aku ya, Bar, jadinya malah bikin kamu tambah repot sampe nggak bisa kerja." "Kamu kan hamil gara-gara aku juga, Fris. Ngapain minta maaf, sih? Kita itu satu tim sekarang, harus bisa sama-sama saling menguatkan, saling support. Kita jalani semuanya bareng-bareng. Kamu lagi hamil, nggak boleh banyak pikiran, nggak boleh stres. Ingat, ada nyawa lain di dalam tubuh kamu sekarang. Jangan terlalu over thinking. Percaya aja sama Allah." Aku paham, seorang laki-laki memang hanya bisa terus berjuang tanpa tahu pasti apa yang akan terjadi di depan sana. Dan sebagai laki-laki, aku memang tidak bisa memastikan perempuanku akan selalu hidup terjamin. Namun aku yakin, jika kami dapat terus saling mendukung, saling menguatkan, dan saling mendoakan, maka aku percaya... Tuhan yang akan menjamin semuanya.



-tbcBalesin komennya nanti ya. Mama cantik mau siapsiap nganterin anak karnaval sepeda hias dulu, cyiinn. Thanks for your attention. *cipok basah satu-satu dari Papa Barga :*



23 FRISCA Aku menengok saat Barga masuk ke dalam kamar dengan membawa cangkir teh di tangannya. "Sari kurma lagi?" tanyaku, saat Barga mengasongkan cangkir itu ke arahku. Barga mengangguk. Aku menggeleng. "Biar sehat, Fris. Kamu muntah-muntah terus tapi nggak ada makanan yang masuk. Mau dapet nutrisi dari mana dedek bayinya? Kasian, kan." "Tapi nggak enak, Bar." "Dikit-dikit aja minumnya. Kasian kamunya juga kalau nggak ada makanan yang masuk sama sekali."



Aku menghela napas. Menegakkan posisiku sebelum mengangkat cangkir berisikan air hangat yang sudah dicampurkan dengan sari kurma dari tangan Barga. Menyesapnya perlahan, kemudian mengernyit karena rasa mual yang kembali menyerang. Memasuki usia kandungan sepuluh minggu, morning sickness yang kualami semakin bertambah parah. Awalnya, aku mengira gejala morning sick pada ibu hamil hanya terjadi pagi hari saja. Namun, kenyataannya gejala itu kualami sepanjang hari. Sejak terbit matahari hingga terbenam kembali. Membuatku tidak bisa mengerjakan pekerjaan apapun karena rasa mual yang selalu datang tibatiba. Sangat berbeda saat hamil Omar dulu. Semuanya tetap normal, berjalan lancar, tanpa ada keluhan apapun. "Masih keluar flek?" "Udah nggak lagi, semenjak Omar disapih. Tapi masalahnya malah pindah sama Omar sekarang. Dari kemarin Omar diare terus. Karena nggak cocok sama susu formulanya mungkin."



Aku menyimpan cangkir yang masih tersisa setengahnya di atas nakas. "Sedih. Niat resign dari kantor karena pengin ngasih haknya Omar, dapat ASI sampai dua tahun. Ternyata tetep nggak bisa juga." Barga mengusap rambutku. "Nggak apa-apa. Yang penting kan selama enam bulan pertama Omar udah dapet ASI ekslusif. Bukan maunya kamu juga nggak bisa menyusui sampai dua tahun, kan." "Ya udah, kamu berangkat jualan sekarang, gih!" "Yakin, kamu nggak apa-apa kalau aku tinggal?" "Yakin, Bar. Udah, kamu jualan aja sana. Udah seminggu nggak bantuin jualan. Kasian karyawan kamu, dia juga butuh libur, kan." Barga kembali mengusap rambutku dengan penuh kelembutan. "Ya, udah. Tapi kalau ada apa-apa, kamu langsung telepon aku ya?" Aku mengangguk. Barga mencium keningku sebelum melangkah melewati pintu dan kembali menutupnya Setelah kepergian Barga, aku menutup semua tirai jendela kamar. Menghalau masuknya sinar matahari yang



membuatku merasa tak nyaman. Sejak hamil, entah mengapa aku menjadi benci sinar matahari. Barga bilang itu hanya sugesti. Namun, tetap saja merasa risih jika keadaan kamar terang benderang. Entah berapa lama aku tertidur, hingga suara tangis Omar membangunkanku. Aku membuka mata dan menemukan Omar sudah berdiri di dalam boksnya dengan berpegangan pada pinggirannya. Mulutnya mencibir, dan wajahnya sudah sangat basah oleh air mata. Aku bangun dari tempat tidur, lalu berjalan menghampirinya. "Ya, ampun. Kasian banget anak Mama," ucapku, seraya menggendong Omar dan sedikit terkejut saat merasakan suhu tubuhnya yang sedikit meninggi. Kuraba dahi dan lipatan lehernya, sepertinya memang demam. Aku melangkah keluar kamar dengan membawa Omar dalam gendonganku. Membuka kabinet dapur dan mengambil kotak obat yang tersimpan di sana. Aku mengeluarkan termometer yang tersimpan di dalam kotak obat untuk mengukur suhu tubuh Omar, dan sedikit panik saat melihat angka 38,9 derajat yang tertera pada layar kecilnya.



"Makan dulu ya, Bang. Habis makan langsung minum obat biar cepet sembuh." Hingga sore hari, demam Omar masih belum turun. Padahal sudah dua kali aku memberinya obat penurun panas. Diarenya pun masih belum sembuh. Membuat Omar terus menerus merengek dan tidak bisa lepas dari gendonganku. Omar tidak mau makan, dia juga menolak minum susu. Membuatku ingin ikut menangis saat dia kembali menangis. Telepon genggamku berdering. Menampilkan foto Barga di layarnya. "Kamu udah makan belum?" sapa Barga, saat aku menjawab panggilannya. "Udah, dari tadi kenyang ngabisin buburnya Omar. Kamu udah selesai jualan?" "Udah. Ini mau pulang sekalian beliin kamu makan.



Itu Omar lagi nangis, ya?"



"Iya. Rewel banget dari tadi. Demam, diare, nggak mau makan, susah ditidurin pula. Pusing aku, Bar."



"Ya udah, sabar aja. Ini aku juga udah mau pulang kok. Mau aku beliin apa?"



"Nggak usah. Mau kamu cepet pulang aja." Aku menaruh kembali telepon genggam di atas meja setelah Barga memutus panggilannya, lalu kembali menggendong Omar dan membawanya keluar rumah. "Kita tungguin Papa di depan ya, Bang. Tapi Abang harus sambil makan ya." Dengan membawa bubur saring sebagai menu makanan untuk Omar, aku menggendongnya dengan kain gendongan dan mengajaknya makan di teras depan rumah. Ada mobil yang berhenti tepat di depan gerbang, saat aku sedang menyuapi Omar. Tak lama kemudian, seorang perempuan berhijab turun dari dalam mobil. "Assalamualaikum," sapanya, saat memasuki gerbang dan berjalan menghampiri kami. "Waalaikumsalam. Sengaja main ke sini, Ki?" "Tadi habis nganterin Mami ngisi seminar di ITB, terus mau lanjut makan malem sama temen-temennya di Dago. Mas Bilal nggak mau diajakin nimbrung sama ibuibu, akhirnya aku ajak mampir ke sini aja."



"Anaknya mana?" "Dititipin Ibu. Katanya sepi kalau nggak ada cucunya di rumah." Aku tersenyum saat suaminya berjalan menghampiri kami. "Omar lagi makan apa?" Kia mengusap pipi Omar. "Ya, ampun. Panas banget badannya, Fris." "Iya, udah dua hari ini diare, terus tadi pagi deman." "Udah dibawa ke dokter?" Aku menggeleng pelan. Bahkan untuk biaya dokter



aja kita nggak punya.



Aku menunduk. Berpura-pura membersihkan mulut Omar dari sisa makanan untuk menyembunyikan mataku yang mulai memanas. "Ayo, di dalem aja ngobrolnya. Malah pada berdiri di luar," ajakku, sengaja mengalihkan pembicaraan. "Barga masih belum pulang?" tanya Mas Bilal, saat memasuki rumah dan duduk di sofa ruang tengah. "Belum, Mas. Tadi nelpon katanya bentar lagi pulang."



"Fris, tadi kita beli makanan di luar. Nggak apa-apa kan, kalau mau sekalian makan malem di sini?" Kiasah mengasongkan bungkusan yang ia bawa di tangannya. "Kok jadi malah yang punya rumah yang disuguhin, sih!" candaku, yang disambut tawa kecil oleh Kiasah. Aku menurunkan Omar dan membiarkannya bermain di atas karpet, lalu mengambil bungkusan dari Kiasah dan membawanya ke dapur Aku membuka satu per satu bungkusan itu dan menempatkannya di dalam wadah untuk dihidangkan. Dan saat membuka bungkusan terakhir, aku mengernyit saat mencium bau tajam yang menyeruak. "Ini apa, Ki?" tanyaku, pada Kiasah yang sedang membuat kopi untuk suaminya. Kiasah menengok dan mengamati bungkusan yang sedang aku pegang. "Gulai kambing," jawabnya. Ow, shit! Aku meninggalkan bungkusan itu begitu saja dan berlarian kecil memasuki kamar mandi yang berada di dalam kamar tidurku, dan kembali memuntahkan seluruh isi perutku di dalam kloset.



"Frisca, kamu nggak papa?" Terdengar teriakan Kia dari balik pintu kamar mandi. Setelah membasuh wajahku dengan air dingin, aku membuka pintu kamar mandi dan menemukan Kia yang sedang menungguku di depan pintu. Nampak mengamatiku dengan penuh kekhawatiran. "Kamu hamil lagi?" tanya Kia penuh selidik. Aku duduk di depan meja rias. Mencabut beberapa lembar tisue yang tersimpan di sana, dan menyeka titik keringat yang mulai bermunculan di keningku. "Udah jalan tiga bulan, Ki." Kiasah menatapku ngeri. "Seriously?" Aku mengangguk pelan. Dan tanpa bisa dicegah, air mataku mengalir dengan sendirinya. "Aku dan Barga benerbener lagi diuji banget sekarang. Usaha Barga masih sepi. Pendapatannya juga masih belum stabil. Keadaan kami lagi kayak gini, tau-tau aku hamil. Kemarin sempet keluar flek. Aku pikir mungkin karena aku masih nyusuin Omar, dan akhirnya terpaksa harus di-sapih. Nambah lagi biaya untuk beli susu formula. Tapi Omar malah jadi diare terus dari



kemarin, tiba-tiba badannya panas tadi pagi. Mau dibawa ke dokter juga mikir lagi karena nggak punya uang." "Ya, Allah... kalian itu kenapa, sih pada keras kepala banget? Kalau ada apa-apa itu kenapa nggak mau diomongin sama keluarga yang lain. Malah dibikin susah sendiri. Bunda sama Ayah Ello pasti nggak tau keadaan kalian kayak gini, kan?" Aku menggeleng. Kiasah mendengus. "Ya, udah. Kita bawa Omar ke dokter sekarang ya?" Aku kembali mendongak dan menatap Kiasah. "Nggak usah, Ki. Kalian masih harus jemput Tante Diayu, kan. Sekarang dikasih obat penurus panas aja. Kalau sampai besok masih belum sembuh, baru aku bawa Omar ke dokter." Setelahnya, kami sama-sama terdiam. Aku menyeka air mata yang kembali mengalir. Ternyata, untuk belajar ikhlas itu sangat sulit. "Fris, kalau Omar dibawa ke Jakarta aja gimana?" Aku mendongak saat mendengar ucapan Kiasah. "Biar diurus sama oma-omanya di sana. Paling nggak, sampai morning sick kamu hilang, dan keadaan kamu jadi lebih baik.



Karena kalau dibiarin kayak gini, kasihan Omar juga karena malah nggak keurus jadinya." Belum sempat aku menjawab, obrolan kami terhenti saat terdengar tangisan Omar. Kiasah keluar kamar dan membawa Omar dari gendongan suaminya. "Omar ngantuk kayaknya. Kamu tidurin dulu, sambil kamu pikirin saran dari aku tadi, ya." Aku menurut. Mengambil alih Omar dari gendongan Kiasah dan membaringkannya di atas ranjang. Selama menidurkan Omar, aku terus memikirkan saran dari Kiasah tadi. Kiasah memang benar, Omar akan terlantar jika terus dibiarkan seperti ini. Karena untuk mengurus diri sendiri saja sudah membuatku sedikit kepayahan, apalagi untuk mengurus Omar yang sedang berada dalam masa aktifnya. Namun, lagi-lagi aku berpikir, apa aku bisa tinggal berjauhan dengan Omar? "Sayang." Aku terbangun saat merasakan usapan lembut di atas kepalaku. Saat membuka mata, kulihat Barga sedang berjongkok di depanku.



"Ya, ampun... aku ketiduran, Bar." Barga tersenyum dan kembali mengusap kepalaku. "Kata Kak Kia, tadi muntah-muntah lagi ya?" Aku mengangguk. "Iya. Nggak kuat nyium bau kambing." "Udah habis kok gulai kambingnya." "Terus, Kia sama Mas Bilal?" "Masih ada di depan. Aku bangunin kamu karena kata Kak Kia kamu belum makan dari tadi. Makan dulu, yuk!" Barga membantuku bangun dan menggandengku keluar kamar. Keadaan sudah gelap saat aku keluar. Terlihat Kiasah dan suaminya yang sedang duduk di ruang tengah. "Kamu udah makan?" tanyaku, saat Barga mengajakku ke meja makan. "Udah. Semuanya udah makan. Tinggal kamu aja yang belum." Aku mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk pauknya. Memilih makan di ruang tengah dan



bergabung dengan yang lain dari pada makan sendiri di meja makan. "Produk yang kamu jual itu sebenarnya potensial untuk semua kalangan. Mulai dari pelajar, mahasiswa, sampai orang kantoran juga bisa masuk target jual kamu. Karena zaman sekarang ini, produk lokal yang dikemas dengan gaya luar yang modern itu justru lebih memiliki nilai jual." Ujar Mas Bilal, saat aku bergabung dan duduk di samping Barga. "Iya, sih. Aku juga mikirnya gitu, Mas. Karena sebenarnya, ngikutin selera pasar itu nggak sulit. Apalagi zaman sekarang, tinggal masukin sedikit aroma barat aja." "Nah, itu dia. Selain dari produknya, juga dari strategi selling-nya. Kamu udah coba promosi di media sosial?" "Belum," jawab Barga. "Promosiin lah di medsos kamu. Efek media sosial itu besar untuk sarana promosi." "Iya, Bar. Apalagi Instagram dan Twitter kamu makin banyak follower-nya sejak kamu jadi bintang iklan," ucapku, ikut memberikan tanggapan.



Barga menengok ke arahku, dan menganggukanggukan kepalanya. "Bener juga, ya. Kenapa aku nggak kepikiran dari sebelumnya ya?" Kami tertawa kecil mendengarnya. "Sebagai seorang entreprenuer, kamu harus jeli melihat setiap peluang, Bar. Harus bisa juga ikuti seperti apa tren pasar saat ini. Karena strategi kreatif untuk meningkatkan nilai produk kamu itu penting di tengah era persaingan seperti sekarang ini." Aku menyimpan piring kosong dan mengambil gelas minuman yang aku bawa tadi. Melirik Barga yang nampak tengah memikirkan dengan serius ucapan Mas Bilal. "Bar." Panggilan Kiasah membuatku dan Barga menengok ke arahnya. Kiasah melirikku sesaat sebelum bicara, "kondisi kalian kan lagi kayak gini. Tadi Kak Kia udah ngomong juga sama Frisca, gimana kalau Omar Kakak bawa dulu ke Jakarta. Kalau nggak di rumah Kakak, ya mungkin di rumah Bunda Gendis. Paling nggak, di sana banyak orang yang ngurusin. Soalnya Kakak ngeliatnya kasihan juga sama Frisca. Lagi mabuk kayak gini, ngurusin anak seumuran



Omar yang lagi aktif-aktifnya. Kamu juga baru mulai usaha, nggak mungkin kamu tinggalin terus, kan?" Aku dan Barga saling tatap. "Aku, sih terserah kamu. Kamu setuju atau nggak?" ujar Barga. Aku mengangkat bahu. "Nggak tau. Bingung. Emang bener apa yang Kia bilang. Kasian Omar, jadi nggak keurus karena kondisi aku lagi kayak gini. Tapi sedih juga kalau aku jauh dari Omar. Pasti kepikiran terus, Bar. Rumah juga jadi sepi karena kamu pulangnya malam terus, kan." Barga terkekeh. Mengusap kepalaku sekilas, lalu merangkul pundakku. "Sementara aja. Sampai kondisi kamu stabil. Biar kamu juga tenang kalau mau istirahat." *** BARGA Malam harinya, setelah kepulangan Kak Kia dengan membawa serta Omar, aku masuk ke dalam kamar dengan membawa cangkir berisikan susu ibu hamil untuk Frisca. "Minum dulu susunya, Fris."



Frisca mengangkat gelas susu dari tanganku dan meminumnya hingga habis. Aku meminta gelas yang sudah kosong, lalu menyimpannya di atas meja. "Tidur, yuk!" Aku mengajaknya berbaring dan memeluknya dari belakang. "Udah, Sayang. Jangan dipikirin terus. Omar pasti baik-baik aja di sana sama Bunda. Sekarang, lebih baik kamu fokus sama kandungan kamu. Istirahat yang cukup, jangan terlalu sering mikir yang macem-macem." Frisca menarik tanganku untuk memeluknya lebih erat. "Don't worry about me. I'm going to be just fine. Eventually, I'll be great. Selama kamu terus meluk aku kayak gini." Aku menyingkap rambutnya, memerlihatkan lekuk lehernya yang telanjang dan memberikan kecupan si setiap bagian lehernya yang jenjang. Frisca memiringkan kepalanya sedikit, seolah memberikan jalan untukku mengeksplorasi tubuhnya yang semakin ranum sejak hamil. Shit! Istri lagi keadaan kayak gini masih nafsu aja lo,



Bar!



But, it's incredibly arousing. Apalagi saat mendengar desahannya. Driving me. Owning me. Naughty kind of way. Aku bangun tiba-tiba hingga membuat Frisca terkejut. "Mau ke mana, Bar?" tanyanya, saat aku turun dari ranjang dan melepas kaus yang kukenakan. "Mandi!" jawabku, sebelum menutup pintu kamar mandi dan mengguyur tubuhku dengan air dingin. Calm down, Boy. Belum waktunya dapat jatah.... -tbc24 FRISCA



"Omar sudah dibawa ke dokter. Katanya, kemarin itu nggak cocok dengan merek susu formula yang diminum. Akhirnya Bunda ganti merek yang lain. Sekarang sudah nggak diare lagi. Panasnya juga sudah normal. Jangan terlalu dipikirin, Fris. Omar baik-baik aja kok. Kalau kamu pikirin terus, nanti malah rewel anaknya. Kamu fokus sama kandungan kamu aja. Madu dan sari kurmanya diminumin



terus. Harus dipaksa makan juga walaupun mual. Ya udah, kalian baik-baik ya di sana." Aku mendesah lega saat mendengar kabar dari ibu mertuaku. Delapan bulan sudah terbiasa dengan kehadirannya, membuat keadaan rumah terasa lain tanpa adanya Omar. Terlebih dengan kondisinya yang sedang sakit. Membuatku terus merecoki ibu mertuaku setiap jamnya, hanya untuk menanyakan kabar tentangnya. Aku mengintip dari balik tirai saat terdengar suara gemuruh cukup keras. Hujan lebat, dengan kilatan petir saling menyambar. Membuatku kembali mendesah pasrah saat memikirkan omset penjualan hari ini. Lagi-lagi, keadaan memaksaku untuk selalu ikhlas. Bagaimana ketika sebuah kesederhanaan pikiran dan keterbatasan pilihan, menjadi penopang ketika berada di tengah himpitan keadaan. Demi menghilangkan pikiran-pikiran negatif, aku memilih untuk menyibukan diri di dapur. Membuka lemari pendingin, dan kembali menghela napas ketika melihat isi



di dalamnya. Hanya ada telur, buah dan beberapa biskuit. Tidak ada bahan makanan lain yang bisa dimasak Aku kembali mendesah. Sepertinya menu makan malamku harus sama dengan menu sarapan tadi. Nasi putih dengan telur dadar. Barga datang tak lama setelah aku selesai makan dan mencuci piring. Aku mengamatinya saat kami duduk bersebelahan di ruang tengah. Menyadari raut wajah kelelahan yang ia tampakan. Tanganku terulur, membelai rambutnya yang sudah sedikit panjang dan berantakan. Membuat Barga menengok, lalu membawa tanganku untuk digenggamnya. "Kamu udah makan?" tanyaku, yang dijawab anggukan kepala oleh Barga. "Udah ada kabar dari Bunda?" Giliran aku yang mengangguk. "Udah. Katanya Omar baik-baik aja. Diare dan demamnya udah sembuh." "Syukurlah." "Gimana tadi jualannya?"



Barga mendesah pelan. "Lumayan, Fris. Lumayan anjlok maksudnya. Hujannya awet banget. Nggak ada berhentinya dari pagi." Aku menggeser posisiku agar semakin merapat padanya. Menyandarkan kepalaku di atas bahunya. "Allah itu Maha Adil, Bar. Dia tau, siapa aja umatumatnya yang mau berusaha. Dinikmati aja prosesnya, dan disyukuri berapapun itu hasilnya." Barga tersenyum dan membelai kepalaku dengan lembut. "Maafin aku ya. Selama nikah sama aku, kayaknya hidup kamu susah terus." "Aku kan udah pernah bilang, ketika kita jatuh satu kali, aku yakin kamu akan punya seribu cara untuk membuat kita bangkit berkali-kali. Dan usaha kamu selama ini bukan hanya omong kosong. Aku tau, kamu udah berusaha keras sampai sejauh ini, dan aku nggak akan menuntut lebih dari kamu." "Tapi setiap perempuan punya hak untuk menuntut, Fris." "Aku tau. Aku bukan orang naif yang percaya kalau hidup dengan cinta aja udah bisa bikin kita bahagia.



Gimanapun juga, kita pasti butuh materi, karena perut nggak akan kenyang kalau hanya diisi cinta. Tapi aku juga nggak mau muluk-muluk, Bar. Cukup sederhana dan seadanya. Karena hubungan yang sehat itu dibangun dengan sikap saling menerima, bukannya malah saling menuntut." Kedua tangan Barga membingkai wajahku dengan lembut. Menatapku dalam. Mengisyaratkan rasa cinta yang besar hanya dari pancaran matanya tanpa banyak kalimat yang terkhidmat "Sekarang ini, banyak laki-laki yang menilai perempuan dari penampilan luar. Tanpa mereka pikir, bahwa sesuatu yang sementara seperti itu akan hilang pelan-pelan. Cuma ketulusan dan kesabaran seorang perempuan yang akan menentukan siapa ibu yang baik untuk anak-anak mereka. Dan aku beruntung dapetin kamu." Barga melingkarkan tangannya di atas pundakku. Membuatku membalasnya dengan memeluk pinggangnya dan menyandarkan kepalaku di atas dadanya.



Rasanya lengkap saat kami dapat saling mengisi seperti ini. Menenangkan. Dan membuat hati damai. Barga menarik daguku. Membuatku mendongak ke arahnya saat dia memberikan ciuman lembut di bibirku. Mataku menutup dan mulutku terbuka. Lidahnya membelaiku, mengajaku bermain, dan membuatku semakin hanyut dalam permainan yang ia ciptakan. "Rasa susu coklat," bisiknya. Aku terkekeh pelan. "Aku baru minum susu." "Tapi enak," ujar Barga, lalu kembali menciumku. Perlahan tapi pasti, kabut gairah mulai menguasaiku. Seperti gelembung keindahan di atas jazirah mimpi yang membawaku pada sensasi kenikmatan duniawi. Aku mendesah di dalam mulutnya saat Barga semakin memperdalam ciuman kami, mengajaku naik ke atas puncak menara kastil, lalu melepaskanku begitu saja. "Kenapa?" protesku, saat Barga melepas ciumannya. "Nggak boleh, Fris. Kondisi kamu masih lemah. Nanti malah kenapa-kenapa." "Tapi aku mau, Bar." Aku membelai rahangnya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar sisa cukuran. Mengecupi



lehernya yang sedikit lengket oleh keringat. Membaui aroma maskulin yang menguar dari balik bajunya. "Frisca ...." Terdengar geraman pelan dari mulutnya saat dia menolakku dengan gesture enggan. "Celana aku udah sesak ini, Fris. Si boy kalo udah bangun susah ditidurin lagi." Aku menyembunyikan wajahku di dadanya saat tawaku pecah. Terlebih ketika merasakan jendulan besar di bawah sana. "Kebiasaan hamil kamu yang sekarang ini aneh banget. Kamu nggak kuat nyium bau bumbu masakan, tapi seneng banget nyiumin bau keringat aku." "Anak kamu tuh, maunya yang aneh-aneh terus." Barga menyeringai, kemudian mengusap-usap perutku dengan hati-hati. "Aku belum bilang ya kalau aku sekarang udah tergabung dengan ISTI?" ujar Barga, saat matanya kembali menatapku. "ISTI?" Barga mengangguk. "Ikatan Suami Takut Istri."



Hah?



"Emangnya aku istri yang nyeremin ya?" rengekku, membuat Barga tertawa mendengarnya. "Konteks takutnya itu lain, Fris. Bukan takut karena kamu nyeremin, bukan. Tapi, takutnya itu karena takut kehilangan. Takut kalau kamu tiba-tiba pergi dari aku." Aku terdiam. Membalas tatapannya yang sedang memandangiku dengan gamblang. Tubuhku seakan bergerak sendiri, berpindah duduk di atas pangkuannya dan memeluknya dengan erat. Posisi favoritku. "Waktu dengar cerita Ayah yang dulu pernah poligami, aku sempat takut, Bar. Takut kisahnya turun ke kamu. Tapi kamu nggak ada pikiran mau poligami juga kan, Bar? Karena kalau ada... aku bawa kamu ke tukang sunat sekarang. Kalau habis burungnya kan nggak akan macem-macem jadinya." "Astaga!" seru Barga, dengan refleks memegangi adik kecilnya. "Masa depan aku ini, Fris. Tega banget mau kamu habisin." Aku tertawa keras mendengarnya. "Nggak ada pikiran aku untuk poligami. Istri satu aja udah bikin kenyang, apalagi kalau nambah dua. Lagipula,



semua yang aku lakukan untuk kamu, tujuannya untuk meninggalkan 'kisah' di dalam kepala kamu. Apapun itu. Sedih dan bahagia, kesusahan dan kesenangan, akan kita jalani sama-sama. Karena kenangan itulah yang akan kita ceritakan ketika kita tua nanti." Well, kebahagiaan memang bukanlah sebuah teori ataupun hitung-hitungan duniawi. Karena kebahagian batin, hanya akan didapatkan ketika manusia benar-benar berada dalam fase ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya. Aku kembali memeluk Barga dengan lebih erat. Berharap selamanya akan seperti ini, hingga menjadi tua dan mati dalam pelukannya. *** Barga keluar kamar ketika aku tengah menyiapkan sarapan. Aku memerhatikannya saat ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kamera digital SLR. "Punya siapa itu, Bar?" Barga menengok. "Si Jack," jawabnya singkat, lalu kembali memusatkan perhatian pada benda itu.



Aku memilih mengabaikannya dan melanjutkan kegiatanku. Memasak nasi goreng dengan bumbu instan. Karena hanya bumbu inilah yang dapat kutolerir. Dan aku bergidik saat merasakan sentuhan di pinggangku, lalu disusul dengan kecupan lembut di atas bahuku. "Masak apa?" bisik Barga di samping telingaku. "Nasi goreng. Ke kampus jam berapa nanti?" "Hari ini nggak ada kelas. Ke kampus bantuin si Gugun jualan doang. Kamu bisa plating kan, Sayang?" Aku menengok dengan dahi berkerut. "Plating apa?" "Menu jualan aku. Kamu buat se-eye catching mungkin. Semenarik mungkin. Supaya orang penasaran dan tertarik untuk beli. Udah biasa bikin storyboard buat iklan, pasti gampang lah buat kamu bikin kayak gini." "Bahan-bahannya mana?" "Nggak ada. Harus beli dulu," ucapnya, sambil menyeringai lebar. "Ya udah, sana beli dulu bahannya ke pasar." Barga terlihat terkejut. "Ke pasar? Aku yang pergi ke pasar? Seriusan, Fris?"



"Menurut kamu? Emang siapa lagi yang mau pergi." Aku memutar posisiku dan kembali mengaduk-aduk nasi goreng di dalam wajan. Barga memeluk perutku dari belakang. "Temenin, dong. Masa aku sendiri sih? Pasarnya aja nggak tau di mana." "Aku aja semenjak hamil nggak pernah ke pasar. Nggak kuat nyium baunya." Dan ia hanya bisa mendesah pasrah. "Belanjanya di supermarket aja ya. Jangan di pasar." Aku mematikan kompor, menuang nasi goreng di atas piring, dan menambahkan dua telur di atasnya. Telur lagi .... "Mahal, Bar, kalau belanjanya di supermarket. Sayang kalau cuma untuk plating aja." Aku menahan tawa saat melihatnya menggaruk kepala dengan raut wajah frustasi yang ia tampakkan. "Ya udah, aku belanja ke pasar sendiri. Sekarang kamu tulis bahan-bahan apa aja yang harus aku beli." "Bawain dong, note juga pulpennya."



"Astaga ... untung aku cinta, Fris!" gerutunya, sambil melangkah menjauh memasuki kamar, dan tak lama kembali dengan membawa note beserta pulpen di tangannya. Aku menuliskan bahan apa saja yang sekiranya diperlukan untuk hiasan. Dan sekalian menambahkan catatan untuk keperluan dapur. Hampir satu jam berlalu, namun Barga masih belum kembali. Aku menunggunya sambil menonton televisi dengan posisi tidur berselonjor di sofa ruang tengah. Tak lama kemudian, telepon genggamku berdering. Meneriakkan nada panggil yang khusus kupasangkan untuk Barga. "Kenapa, Bar?"



"Fris, aku kecopetan ...." Apa?



Aku menegakkan posisiku dan menengarkan setiap kata yang diucapkan Barga dengan saksama, "Tadi setelah



beli buah-buahan di kios buah, dompetnya masih ada, Fris. Tapi pas lagi mau beli rokok, dompetnya udah nggak ada." "Isinya apa aja?" tanyaku lemah.



"Uang hasil jualan kemarin, Fris. Habis semuanya.



KTP, SIM, Kartu Mahasiswa, Kartu Asuransi, semuanya ada di dalam dompet. Dari tadi aku ngejar copetnya tapi udah ngilang." Ya, Allah ... apa lagi ini?



Aku menarik napas dalam. Mengisi paru-paruku dengan udara yang mampu menenangkan. "Ya, udah kamu pulang sekarang. Plating seadanya aja dengan bahan-bahan yang udah kamu beli." Setelah panggilan Barga terputus, aku kembali meringkuk di atas sofa. Merasakan genangan air mata menumpuk ketika sebuah kenyataan menghantam kami secara telak. Mengapa cobaan untuk kami seakan tidak ada habisnya? Membuat keyakinanku menyusut karena lelah. Aku lelah pada keadaan. Lelah pada kenyataan yang memaksaku untuk menerima semuanya dengan ikhlas. Belum selesai keresahanku karena harus berjauhan dengan anakku sendiri, sekarang harus ditambahkan pula dengan kejadian ini. Dan semua ini seperti pukulan berat bagiku.



Terdengar suara gerbang yang terbuka. Membuatku kembali menarik napas dalam untuk meredam kesedihanku. Sudah cukup beban yang Barga pikul selama ini, dan aku tidak ingin menambahkannya dengan memperlihatkan kesedihanku di depannya. Saat Barga membuka pintu, tatapannya langsung bertemu denganku. Kemudian ia mengembuskan napas pelan dan menggelengkan kepala. Aku melangkah mendekat, mengusap wajahnya dengan penuh sayang. "Nggak apa-apa. Memang bukan rezeki kita." Barga tersenyum sedih. "Untung ada kamu di sini. Kalau nggak ... aku nggak tau gimana jadinya." "Ikhlasin ya, Sayang. Kita harus percaya, bahwa orang-orang sukses adalah mereka yang sebelumnya pernah gagal. Karena takut mengulang kegagalan adalah sebuah langkah mundur yang tidak kita sadari." -tbc25



BARGA Tak butuh banyak waktu bagiku untuk bangkit kembali setelah kejadian kemarin. Aku suka bagaimana cara Frisca menenangkanku semalaman. Menyentuhku, membuatku merasa tidak sendiri. Aku membutuhkannya, jelas, dan tanpa ragu—dan Frisca tahu itu. Seperti motivasi yang pernah diucapkan Winston Chuchill, seorang penulis terkenal Inggris, yang juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Britania Raya saat perang dunia kedua. Bahwa, "Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat". So, here we go. Kembali bangkit berkali-kali setelah terjatuh satu kali. Aku berjalan menghampiri mobil kulinerku di depan kampus setelah selesai jam kuliah terakhir. Terlihat beberapa anak-anak mahasiswa yang sedang dilayani oleh Gugun. "Barga, bajigur macchiato-nya enak. Nggak kalah enak sama caramel macchiato di SB. Batagornya juga." Seorang



mahasiswi senior bicara padaku saat aku menghampiri mereka. Aku mengeringai lebar. "Masa, sih?" "Sini dong kita foto dulu biar makin nge-hits." Aku tertawa. Namun tetap mengikuti keinginan mereka. "Ih, keren!" seru mahasiswi tadi saat melihat hasil fotonya. "Foto bareng founder bajigur macchiato. Nanti kita posting di Path dan Instagram juga ya." Tawaku semakin keras mendengarnya. "Makasih ya. Besok ajak temen-temennya jajan di sini juga dong." "Oke. Tapi dapet gratisan ya." "Boleh, nanti gue kasih gratisan sedotan." Mereka semua tertawa. Tak lama setelah kepergian mereka, aku menghampiri Gugun yang masih melayani satu pembeli lagi. "Gimana, udah dapet tempat buat acara DaFest besok?"(Baca : DaFest = Dago Festival. Acara karnaval



musik dan bazaar yang diadakan di sepanjang jalan Dago, Bandung) "Udah, Bos. Kalem aja."



"Dago sebelah mana? Awas dapet tempat yang nyungsep." Gugun berdecak. "Teu percayaan pisan ka aing. Di parkiran Hero supermarket, Bos. Depan Plaza Dago." "Serius? Kok bisa dapet tempat di situ?" ujarku tak percaya. Mengingat tempat yang disebutkan si Gugun tadi adalah tempat strategis yang paling banyak dijadikan tempat tongkrongan oleh anak-anak Bandung "Serius. Gue kan kenal sama preman daerah situ." "Anjir, gaya lo, Gun. Siapa emang premannya? Si Kang Bahar? Apa Kang Mus?" Gugun terbahak. "Berapa sewanya?" "Sekitar segituan lah. Lebih mahal karena kita pakai mobil, jadi makan tempat lebih banyak. Kalau cuma stand makanan biasa lebih murah. Jam empatan kita harus udah standby, Bos. Udah mulai banyak yang nongrong jam segitu." "Ya, udah. Berarti besok kita gantian, Gun. Gue jualan siang, lo yang handle malem. Nggak apa-apa, kan? Bini gue lagi hamil, nggak tega ninggalin dia malem-malem



di rumah sendirian. Paling gue bantuin lo sampai jam sembilanan." "Siap, Bos. Gue sendirian juga nggak apa-apa." Obrolan kami terhenti saat datangnya beberapa pembeli. Malam hari setelah selesai berjualan, aku kembali membawa mobil kulinerku pulang ke rumah. Frisca membantu membukakan pintu gerbang saat aku tiba. "Kok belum tidur?" Aku mengecup puncak kepalanya dengan penuh sayang. Frisca menggeleng. Senyumannya seperti moodbooster bagiku setelah seharian lelah bekerja. "Sengaja nungguin kamu," ucapnya, lalu menggandeng tanganku memasuki rumah. "Kamu belum makan, kan? Aku udah pesen makanan untuk kamu." Aku memerhatikan beberapa macam makanan yang sudah tersaji di atas meja makan. "Kamu pesan makanan dari mana?" tanyaku, tanpa mengalihkan pandanganku dari meja makan. "Ayam goreng Suharti."



Aku menengok padanya. "Punya uang dari mana bisa beli makanan kayak gini?" Frisca mengerjap beberapa kali. Raut wajahnya berubah tak seceria sebelumnya. Mungkin menyadari ketegangan dari nada suaraku. "Kamu habisin uang kita untuk beli makanan ini?" Dia menggelang pelan. "Terus dari mana?" "Minta sama Mami." Frisca menunduk, tak berani menatapku sama sekali. Sedangkan aku... jelas saja aku terkejut mendengar jawabannya. Dia meminta uang kepada ibunya karena keadaan kami yang sedang kekurangan seperti ini? Mungkin niatnya baik karena ingin meringankan bebanku. Namun, entah mengapa aku justru merasa kecewa dengan tindakannya kali ini. Egoku berontak karena merasa terhina. Arogansi laki-laki. Kembali ke situ lagi.



Frisca berjalan menghampiriku, menyentuh bahuku dengan lembut. "Kamu marah ya?" Aku membuang muka. Tak ingin luluh karena melihat wajahnya. "Kamu kenapa nggak minta tinggal di rumah mama kamu aja sekalian, Fris?" "Kamu kok gitu sih ngomongnya, Bar. Aku nggak akan ke mana-mana. Aku mau di sini nemenin kamu." "Kalau kamu masih mau di sini sama aku, kamu harusnya bisa hargai aku sebagai suami. Aku ini lagi berusaha keras untuk siapa lagi kalau bukan untuk kamu, untuk Omar. Untuk bayi kecil yang ada di perut kamu. Terus sekarang kamu melangkahi aku dengan minta uang sama Mami kamu. Sama sekali nggak menghargai usaha aku. "Kalau memang akhirnya kita ngandelin orangtua juga, kenapa nggak dari kemarin-kemarin aja sekalian? Ngapain kita harus susah dulu sampai hampir kelaparan? Mami kamu udah balik ke Jakarta, kan? Besok kamu ke tempat Mami kamu aja dulu. Daripada kamu malah hidup melarat di sini."



Frisca menggeleng, menggapai tanganku dan menggenggamnya dengan erat. "Aku nggak mau ke manamana. Aku tetep mau di sini. Aku minta tolong Mami, karena nggak tega lihat kamu kerja keras setiap hari, Bar. Dan aku ngelakuin itu karena aku sayang sama kamu." Dan aku hanya bisa tertawa miris mendengarnya. "Tapi tetap aja hidup harus realistis, Fris. Karena sayang aja nggak menjamin hidup kamu bisa bahagia. Lagipula, kenapa segitu ngototnya sih kamu mau hidup sama aku, yang kerjaan aja nggak punya, penghasilan juga nggak jelas?" Frisca terdiam. Terlihat matanya mulai berkaca-kaca. "Aku ngotot karena aku yakin, orang yang nggak bisa diem kayak kamu pasti punya banyak cara untuk berhasil. Dan apa aku salah kalau aku pengin sedikit mengurangi beban kamu? Karena aku juga sadar, selama ini aku nggak bisa bantu apa-apa. Tapi di samping itu, nama kamu selalu aku sebut di setiap saat aku berdoa." Dia membalikkan tubuhnya dan berjalan memasuki kamar. meninggalkanku yang terdiam tanpa mampu melakukan apapun.



Meninggal aja deh lo, Bar!



Tanpa banyak berpikir, aku memutar tubuhku dan berjalan keluar rumah. Mengunci pintunya dari luar dengan kunci cadangan yang biasa aku bawa. Mungkin ada baiknya kami saling menjaga jarak dahulu untuk sementara waktu. Sampai kami bisa sama-sama tenang. Sampai pikiran kami kembali dingin. Selagi aku berjalan keluar dari komplek perumahan tempatku tinggal, aku membuka ponsel untuk menghubungi si Jack. "Lo di mana, Jack?" tanyaku, saat panggilanku tersambung padanya.



"Kostan Icha. Kenapa?"



Aku berdecak. "Lo ngapain sih malem-malem gini masih di kostan cewek? Tadi lo nggak ngampus?" "Kepo aja lo. Ngampus lah. Ini gue baru jemput Icha



pulang kerja. Kenapa sih emangnya?"



"Icha udah nyampe di tempat kostnya, kan? Balik lo, jangan lama-lama main di kost cewek. Gue tungguin di warung Mang Didin sekarang."



Aku menaruh kembali telepon genggamku di dalam kantung celana setelah panggilan terputus. Lalu naik ke dalam angkutan umum yang kebetulan sedang ngetem di depan gerbang masuk perumahan tempat aku tinggal. Hampir satu jam kemudian, aku tiba di tempat tujuan. Sebuah kedai makanan dekat kampus yang buka 24 jam. Terlihat si Jack sudah tiba lebih dulu. Aku membuka tas dan menyodorkan kamera miliknya setelah duduk di depannya. "Thanks," ucapku. "Udah kelar emang?" "Udah. Udah gue posting di sosmed juga." "Ya, udah. Tinggal tunggu hasilnya aja. Acara DaFest besok udah dapet tempat jualan belum? Anak-anak mesin mau pada ke sana. Nanti gue ajak mereka nongkrongnya di tempat lo. Lo sediain bangku plastik yang banyak. Tambahin juga rokok sama air mineral." Aku mengangguk. "Lo mau ngopi?" "Boleh." Jack berdiri, memesan kopi pada penjaga kedai, lalu duduk kembali.



"Hari Senin besok, gue minta tolong lo tengokin si Gugun ya, Jack. Kalau pas lo lagi nyantai aja. Gue mau ke Jakarta dulu soalnya." "Ngapain lo ke Jakarta?" tanyanya, sambil membakar sebatang rokok. "Ngurusin surat-surat. Kemarin gue habis kecopetan." Jack menoleh dengan cepat ke arahku. "Seriusan? Di mana?" "Di pasar deket rumah gue." "Ilang semua?" "Ya, semua. Termasuk duit hasil penjualan hari sebelumnya juga ludes." "Hidup lo kok apes banget sih, Bar?" ucapnya, sambil geleng-geleng kepala. "Mau naik pangkat kali gue. Makanya diuji dulu." Jack diam. Menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, hingga saat kopi kami tiba. Aku menyeruput kopiku sedikit demi sedikit. "Terus ... hidup lo ke depannya gimana? Masih megang duit nggak?" tanyanya.



"Ada lah dikit-dikit. Untungnya kartu ATM udah gue kasih Frisca." "Mau pinjem duit gue dulu?" Aku menoleh padanya, lalu menggelengkan kepala. "Jangan dulu lah. Gue masih ada duit kok. Paling nggak, buat modal jualan hari ini sampai besok. Kalau nanti mentok, mau nggak mau gue harus ngerecokin lo lagi, Jack." Setelahnya, kami sama-sama terdiam. Menikmati batangan kanker masing-masing sambil meminum kopi yang sudah mulai mendingin. "Udah malem. Nggak balik lo?" tanya Jack, setelah kami terdiam cukup lama. "Nanti aja. Lagi males diem di rumah." Terdengat decakan keras dari mulut si Jack. "Kenapa lagi sih? Berantem mulu kerjaannya kek bocah." Aku diam. Kembali menghisap rokokku dan mengembuskannya perlahan. "Lo sendiri bakal gimana kalo usaha lo selama ini nggak dihargai sama sekali? Dianggap sepele dan mungkin nggak ada nilainya?"



Terlihat Jack mengela napas panjang. Kami kembali terdiam setelahnya. Menunggu sanggahan apa yang akan diberikan si Jack untuk menimpali ucapanku. "Sebenernya, lo juga jangan terlalu keras sama Frisca. Dia memang dasarnya orang berada, dari kecil udah biasa hidup enak. Sekarang lo ajak dia hidup ngegembel kayak gini, ya pasti dia berontak lah." "Iya, gue juga ngerti. Tapi gue ini lagi berusaha, Jack. Apa aja gue lakuin buat dia, buat anak-anak gue juga. Sekalipun itu mustahil dan mungkin agak sedikit ngeselin, tapi gue berjuang habis-habisan untuk menuju ke arah sana. Dan kenapa dia nggak bisa percaya aja sama semua rencana gue. Karena semuanya memang butuh proses, kan? Nggak ada yang bisa kita dapetin secara instan. Masak mie aja harus nunggu air mendidih dulu, baru lo bisa cemplungin mienya. Jadi gigolo aja harus belajar ngejilat dulu baru lo bisa bikin puas pelanggan." Jack melempariku dengan puntung rokok yang sudah mati bara apinya. "Kampret!" serunya. "Udah lo balik sana! Kasihan, bini lo nungguin di rumah."



Aku mendengus kasar. "Nungguin apaan? Kamarnya aja dia kunci dari dalem." "Ya elo, sih! Hidup kebanyakan gengsi. Jilatin deh tuh gengsi lo. Kali aja bisa bikin kenyang!" Aku tak menanggapinya. Hingga saat si Jack memutar tubuhnya, menghadapku dan menatapku serius. "Balik sekarang, Bar. Inget, istri lo lagi hamil. Lo boleh marah sama dia, tapi jangan lepas tanggung jawab lo untuk jagain dia. Kalau ada apa-apa sama dia di rumah gimana?" Aku diam. Mengingat bagaimana Frisca menatapku dengan mata berkaca-kaca saat aku membentaknya. Bagaimana saat ia mengucapkan kalimat terakhir sebelum berbalik dan memasuki kamar tidur kami. Tanpa komando dariku, tubuhku seakan bergerak sendiri. Mematikan puntung rokok di dalam asbak, lalu berdiri. "Balik dulu gue." Jack mendongak dan menatapku heran. Namun, tak lama ia menyeringai lebar. "Nah, gitu dong, Bar. Ada masalah itu di hadapi, bukan dihindari." Terdengar ucapan si Jack sebelum aku keluar dari kedai.



Tiba di rumah, Frisca masih mengurung diri di dalam kamar. Melepaskan tas serta jaket, aku pun segera merebahkan tubuh di atas sofa ruang tengah. Mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang teramat lelah dan menuntut jeda sejenak. Tanpa mandi dan berganti pakaian, aku terlelap dengan cepat. Bahkan tak butuh bantal serta selimut. *** FRISCA Subuh menjelang fajar, aku terbangun dan menemukan Barga sedang meringkuk di atas sofa. Tidurnya begitu pulas disertai dengan dengkuran halus. Dalam hati aku merasakan sebuah keseganan ketika harus membangunkannya. Aku maju selangkah, sedikit menunduk, lalu menggoyangkan bahunya perlahan. "Barga," panggilku. Barga melenguh, memiringkan tubuhnya dan kembali tertidur. "Bangun, Bar ... salat subuh dulu. Nanti lanjut tidur lagi."



Dia menarik napas panjang, mengusap wajahnya sebelum akhirnya bangun dan melangkah memasuki kamar. Tanpa bicara sedikit pun padaku, bahkan menoleh ke arahku pun tidak. Aku mendengus. Tak ingin menghiraukan kelakuannya, aku melangkah menuju halaman belakang rumah untuk mencuci pakaian, lalu membuat sarapan untuk Barga. "Aku pergi dulu ya. Nanti malem aku jualan di Dago Festival. Takutnya pulang malem, kamu tidur duluan aja. Nggak usah nungguin aku." Barga mengejutkanku saat aku tengah mengolesi roti tawar dengan mentega untuknya. Suaranya ... dalam dan terdengar kaku. Mungkin masih marah karena kejadian kemarin. Aku menengok, membuat mata kami bertemu selama beberapa detik. Aku memerhatikan keadaannya yang jauh lebih rapi dari sebelumnya. Terlihat segar sehabis mandi dengan rambut basah. "Kamu nggak sarapan dulu?" Barga menggeleng. "Nggak usah. Nanti aja makan di luar."



Tak ingin kembali memancing keributan, aku memilih tidak memedulikannya dan membiarkannya saat ia melangkah keluar dari rumah. *** Berulang kali aku melirik jam yang tergantung di dinding kamar, sudah hampir tengah malam. Namun Barga masih belum pulang. Ingin menghubunginya tapi gengsi. Lagipula, kenapa sih harus diributkan? Niatku baik karena ingin mengurangi sedikit bebannya. Istri mana yang tega membiarkan suaminya kerja keras banting tulang sendirian? Aku pikir tidak ada. Dan kenapa sih sikap arogannya masih harus ditampakkan di tengah kondisi kami yang seperti sekarang ini. Terdengar bunyi ping dari ponselku. Pesan masuk dari Barga



Aku nggak pulang. Bantu si Gugun jualan sampai selesai acara, besok pagi dilanjut jualan di CFD Dago. Makasih doanya. Karena doa kamu, hari ini usaha kita rame. Kamu hati-hati di rumah ya. Kunci pintu selalu.



Aku menaruh kembali ponselku di atas nakas. Menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh dan mulai menangis. Tanpa banyak kata terpahat, Barga selalu berhasil menunjukan seolah-olah aku ini berharga. Merasa jika aku memang teramat penting untuknya, hingga dia rela berjuang sedemikian kerasnya untukku. Lalu aku sendiri, apa yang aku lakukan untuknya selain mengacaukan semuanya? Mengingat bagaimana ekspresinya kemarin, terlihat terluka dan lebih dari sekedar tersinggung. Aku ingin memulai pembicaraan, meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Walaupun aku tahu, hal itu tidak akan mengubah fakta bahwa aku telah mengecewakannya dan sedikit melukai egonya.



Maafin



aku,



Bar...



-tbcNgomongin Dago Festival jadi kangen masa muda. Wkwkkwkw



Makasih yang masih lanjut baca cerita absurd ini. Semoga ga butuh panadol setelah selesai baca yaaa. 4 part lagi menuju ending... Yeaayyy 26



Warning : sexual content. Adik-adik manis harap menyingkir yooo...



*** FRISCA Pagi ini, fajar pertama di awal bulan September. aku terbangun dengan kekosongan. Sendiri dalam kehampaan. Dan rasanya aneh saat tidak menemukan Barga di sampingku ketika terbangun. Embun pekat menyambutku tatkala membuka pintu. Duduk di teras depan rumah, menyaksikan ketika matahari muncul mengusir kegelapan diremang fajar yang tertutup kabut. Sama seperti hari-hari sebelumnya, pukul enam pagi, selalu lewat ibu-ibu penjual nasi kuning di jalanan depan rumah. Aku membeli dua bungkus nasi kuning dengan



taburan irisan telur dadar, bihun goreng, serta tambahan kerupuk bawang. Satu untukku dan satu lagi untuk Barga. Masuk kembali ke dalam rumah, lalu sarapan, dan diakhiri dengan memuntahkan lagi semuanya di kamar mandi. Selalu seperti itu. Saat keluar dari kamar mandi, bersamaan dengan Barga yang muncul di ambang pintu kamar. Untuk beberapa detik yang singkat, mata kami terkunci satu sama lain. Merasakan atmosfer ketegangan yang seketika menyeruak di tengah-tengah kami. Dia tampan. Dan masih terlihat tampan walaupun dengan jeans pudar dan kaus putih yang sudah lusuh. Terlihat semakin menarik dengan rambutnya yang sudah mulai panjang dan sedikit berantakan. Kami masih saling menatap dalam diam. Tetap bertahan seperti itu hingga aku mengalah. Membuang muka dan menunduk untuk menyembunyikan tawa kecil yang keluar dengan sendirinya. "Ngapain cengengesan?"



Aku mengangkat kembali wajahku, menemukan dia yang juga sedang terkekeh di sana. "Kamu sendiri ngapain cengar-cengir di situ?" Barga tertawa kecil. "Lucu aja ngebayangin kelakuan kita kemarin yang kayak anak kecil." Aku masih mempertahankan senyumku saat dia berjalan mendekat. "Habis muntah lagi ya?" Aku mengangguk. "Gimana jualannya?" "Rame banget, Fris. Sampai Gugun nggak bisa handle sendiri. Akhirnya si Jack ikut bantuin juga. Tadi malem nggak apa-apa kan aku tinggal sendiri?" "Nggak apa-apa. Waktu kamu masih kerja di minimart, aku juga udah biasa tidur sendirian, kan?" Barga tersenyum. Dia kembali maju satu langkah, merapikan uraian rambutku yang sedikit berantakan, lalu membingkai wajahku dengan kedua tangannya. "Aku minta maaf. Harusnya aku nggak perlu marahmarah kayak kemarin. Nggak perlu sampai ngebentak kamu. Padahal niat kamu baik mau bantu aku. Cuma karena gengsi di depan Mami kamu, akhirnya aku



nutupinnya dengan marah. Aku cuma takut Mami kamu mikirnya aku ini suami yang payah. Nggak bisa bawa anaknya hidup enak." "Nggak, Bar." Aku menyela ucapannya. "Justru Mami salut sama kamu. Dan Mami menghargai sekali kerja keras kamu untuk keluarga kecil kita. Aku juga minta maaf, karena aku udah lancang melibatkan Mami di dalam masalah rumah tangga kita kemarin. Tapi sedikit pun aku nggak ada maksud untuk meremehkan kamu, Bar. Aku percaya sama semua rencana kamu. Aku yakin banget sama kemampuan kamu. Tapi aku juga nggak bisa diem aja lihat keadaan kamu kemarin." Barga mengusap wajahku lembut. "Iya, Sayang. Iya... aku ngerti. Aku seneng kamu bisa nilai aku bukan hanya dari omongan. Tapi dari tindakan yang mungkin ... nggak semua orang bisa mengerti tujuannya apa." Aku melingkarkan tanganku pada tengkuknya dan menarik kepalanya agar sedikit menunduk, lalu memberikan kecupan singkat di bibirnya. "Kamu akhir-akhir ini kenapa selalu pesimis?"



"Ada bedanya antara pesimis dan realistis, Fris. Dan aku nggak mau iming-imingi kamu hal yang belum tentu bisa aku tepati." Menggunakan jari telunjuk, aku menutup mulutnya agar dia berhenti bicara. Aku benci melihatnya seperti ini. "Selama ini, kamu yang selalu mengenalkan aku cara bersyukur dengan hal-hal yang sederhana. Dan aku nggak mau kamu terlalu ambisius ngejar semua ambisi kamu, sampai akhirnya kamu lupa gimana caranya untuk bersyukur dengan hal-hal kecil yang kita punya." Barga menjauhkan jari telunjukku untuk kembali bicara. "Aku bukan laki-laki yang cukup hebat untuk selalu menjadi benar, Fris. Yang aku tahu, aku cuma laki-laki yang nggak akan berhenti untuk belajar dan bersabar. Karena aku paham, menjaga air mata kamu itu adalah tanggung jawab yang besar untuk aku." Dengan sedikit kasar, aku menarik kerah bajunya dan membuatnya semakin menunduk ke arahku. "You talking



too much, Dude. Shut up your mouth and just give me a kiss," bisikku, di depan wajahnya yang berjarak sangat dekat denganku.



Barga tertawa lirih. Menciumku singkat, dan membuatku mengerang protes saat ia melepaskannya. "Jangan sekarang. Aku bau. Belum mandi dari kemarin."



Dan dia pikir aku peduli?



Aku semakin menarik tengkuknya dan menciumnya lebih dulu. Astaga ... aku bahkan baru tahu bahwa hormon kehamilan ini bisa mengubahku menjadi perempuan binal. Dan tanpa banyak menunggu, Barga membalas ciumanku lebih dalam. Membawa tubuhku dalam dekapannya dan menurunkanku di atas ranjang. Aku menyadari saat tubuh Barga mulai berkeringat. Merasakan sentakan panas dan elektris dari perut hingga ke payudara saat tangannya bermain-main di sana. Di tengah ketegangan, aku mencoba menarik napas dalam. Berusaha mengontrol reaksi liar dalam tubuhku agar tetap berada dalam keseimbangan. Namun, sentuhan Barga menghancurkan semuanya. Membuatku semakin terengahengah di bawahnya.



My vagina's despressed. "Barga."



"Hm?" "Undress me." Barga melepas semua sentuhannya dan membuatku merasa kehilangan. Dia menatapku dengan serius. Dahinya berkerut tanda sedang berpikir keras. "Jangan dulu ya? Aku takut, Fris. Beneran!"



"No. I'm okay. Don't ever think about me, Bar. Just do it. I want you ... so badly. Please ...."



Barga kembali menatapku. Memerhatikanku dengan gamblang selama beberapa detik. Dan kekecewaan menyiksaku saat dia kembali menggelengkan kepala. "Aku takut, Frisca. Satu bulan kita nggak berhubungan. Aku takut nggak bisa ngontrol emosi, dan akhirnya malah nggak bisa jaga kamu." Aku membuang muka. Memutar tubuhku hingga membelakanginya. "Fris, jangan kayak gini, dong. Baru juga baikan. Masa mau marahan lagi?" "Ya udah. Kalau kamu nggak mau ngapain masih diem di sini?"



Terdengar helaan napas berat darinya. "Aku mau, Frisca. Tapi aku takut." Aku kembali memutar posisiku. Mengusap wajahnya yang masih berada di atasku. "Just do it in my way, Bar.



Please ... come on." "How dare you?" ujar Barga, dengan menggelengkan kepala.



"Because I trust you."



Barga masih mengamatiku selama beberapa detik. Hingga saat dia berdiri dan menarik keluar kausnya, saat itu aku tahu bahwa usahaku berhasil. Aku masih memerhatikan Barga yang sedang melucuti pakaiannya satu per satu hingga lepas seluruhnya. Dengan lembut kudekap tubuhnya, menariknya masuk dan berbagi kehangatan selimut denganku. Barga menarik tanganku hingga membuatku terduduk, lalu membantu melepas dress lusuh yang kugunakan beserta celana dalamnya. "No bra?" bisiknya. Aku menggeleng dengan mengulum senyum.



Dan kini ... aku tak ayalnya bagai insan yang terbakar seperti lilin. Meleleh karena api, saat Barga memasuki dengan sangat perlahan. Penuh kehati-hatian. Dan aku tahu Barga berusaha sangat keras untuk itu. Perlahan tapi pasti, dia mulai bergerak di dalamku.



Ah ... that's feel so good. "Astaga, Frisca. You're so unexpected. You take my breath away."



Ini menyenangkan. Sangat menggairahkan. Suasana kamar dengan cahaya remang-remang karena tertutupnya semua tirai jendela, serta ditambah dengan suasana hati kami yang masih dipenuhi andrenalin usai pertengkaran kemarin, membuat percintaan ini terasa lebih panas walaupun dilakukan dengan sangat perlahan.



Sex after war is the best medicine. And it is true.



Titik-titik keringat mulai bermunculan di sekitar wajahnya. Aku menyekanya dengan telapak tangan, dan kembali menangkup wajahnya hingga membuat Barga menurunkan sedikit posisinya. Menciumku dengan lembut, selembut gerakannya di dalamku. Membuatku sangat menikmati setiap detik yang kami lewati pagi ini.



Ini tentang merendahkan diri untuk membunuh keangkuhan. Tentang mencemooh ketololan diri sendiri yang dipertontonkan di depan sebuah kebijaksanaan. Ini tentang fajar pertama di awal bulan September. Tentang hakikat sebuah pernikahan, yang dapat kita capai bukan karena mencari pasangan yang tepat, melainkan tentang bagaimana caranya menjadi pasangan yang tepat. Dan ini semua ... tentang berani salah untuk menjadi benar. Serta tentang kebahagiaan yang harus selalu kami kejar. Barga menyerukan wajahnya di leherku. "Hampir, Sayang ...." Gerakannya semakin intens saat dia mulai mengejar pelepasan bersama. Membuatku semakin belingsatan ketika sensasi kenikmatan itu seakan membuatku pecah hingga berkeping-keping, dan Barga menyusul di belakangku. "You okay?" tanyanya, penuh kekhawatiran. Aku terkekeh pelan. Mengecupi bibirnya berulang kali. "It's wonderfull. Bisa diulang lagi besok." "Kamu diem aja udah cobaan besar buat aku, apalagi kamu nakal kayak gini, Fris."



Aku tertawa. Barga melepas penyatuan kami secara perlahan, lalu berguling dan berbaring di sampingku. Aku memiringkan posisiku, merebahkan kepalaku di atas dadanya, dan memeluk perutnya dengan erat. Aroma seks masih menyeruak begitu kuat di antara kami.



"Thank you for always taking care of me"



Barga mendekap tubuhku dengan satu tangannya. "Dulu, aku bukan orang yang gampang ungkapin sayang. Kayaknya, cinta itu bullshit aja menurut aku. Tapi kamu, nggak tau dengan pelet apa, bisa bikin aku nggak lagi mikirin soal logika, nggak peduli lagi tentang selera. Sampai akhirnya bisa buat aku nggak bosen untuk bilang aku cinta kamu, aku sayang kamu, dan aku nggak mau kehilangan kamu. Hebat juga kamu, ya." Kami terkekeh bersamaan. "Kadang, sikap kecil laki-laki yang sering nggak disadari perempuannya justru lebih berarti dari sekedar omong kosong, Frisca. Tapi aku nggak akan maksa kamu untuk mengerti tentang itu. Aku cuma berharap, waktu



yang akan menunjukan sama kamu, gimana 'hebatnya' aku menjaga kamu tanpa banyak orang tau." "Aku tau," selaku. "Aku tau kamu peduli sama aku, bahkan sebelum kamu nikahin aku. Aku tau usaha keras kamu untuk selalu menjaga aku selama ini. Kamu inget, waktu kamu datengin aku ke rumah sakit setelah baca chat di grup anak-anak mahasiswa Indonesia RMIT dari handphone-nya Arkha? Waktu itu mereka ngasih kabar tentang aku yang harus dirawat karena pendarahan waktu hamil Omar. "Saat itu kamu bilang, kenapa kamu ngotot mau nikahin aku, karena keadaan aku ngingetin kamu sama Bunda. Kamu cerita tentang Bunda yang juga ditinggal meninggal suami pertamanya waktu hamil Arkha. Dan kamu nggak mau aku ngalamin hal seperti Bunda. Kamu pernah tanya sama aku, kenapa segitu ngototnya aku mau hidup sama kamu. Sekarang aku jawab, karena dulu, kamu juga segitu ngototnya mau nikahin aku." Aku tergelak dalam ironi. Merasakan saat mataku kembali memanas saat mengulang semuanya.



Lelaki ini ... begitu berbeda dengan semua laki-laki yang pernah dekat denganku. Sangat jauh dari apa yang aku harapkan saat pertama kali menerima ajakannya untuk menikah. Bukan hanya tampan dan menawan, melainkan ada hal unik di dalam dirinya yang sangat sulit untuk kujabarkan. Barga seperti kombinasi menarik dari sebuah kesederhanaan dan kelembutan. Selalu berbicara tentang cinta dan kejujuran. Mengulurkan tangannya dan membantuku berdiri dengan yakin di antara nasib dan keyakinan. "Besok aku mau ke Jakarta." Aku mendongak dan menatapnya. "Ngapain?" "Ngurusin surat-surat." "Aku ikut," ucapku manja. "Aku kangen banget sama Omar, Bar. Boleh ya aku ikut?" "Tapi aku naik travel. Nanti kalau kamu mabuk gimana?" "Bawa permen asem. Bisa ilang mualnya." Barga terkekeh. "Iya, boleh." "Sekarang aja perginya, Bar."



"Ya ampun, Fris. Aku malem nggak tidur sama sekali. Nyampe rumah langsung diajakin perang, terus sekarang diajakin ke Jakarta." Aku mencium bibirnya, menyusupkan lidahku ke dalam celah mulutnya yang sedikit terbuka. "Ya udah, kamu tidur dulu. Tapi bangun tidur nanti kita perang lagi kayak tadi ya?" Dulu, tidak ada sedikitpun ketertarikanku dengan lelaki yang usianya lebih muda dariku. Namun, seperti apa yang Barga katakan tadi, kini logika cinta seakan tak bekerja pada penilaian atas selera. Yang aku tahu, kami saling mencintai. Tanpa syarat dan selalu apa adanya. -tbcPagi-pagi dikasih cerita beginian wkwkwk...



Castnya Barga & Jaka Kurniawan. Yang jualannya cowokcowok kayak begini, gimana nggak bikin laku dagangan coba?! Lol. 27



Kita tidak harus sama untuk dapat bersama. Tidak juga harus berbeda agar bisa jalan berdua. Kita hanya perlu menertawakan masalah bersama ..., Dan menangisi apa yang kita khawatirkan tanpa perlu saling melepaskan.



[ ELEGI PATAH HATI ] *** BARGA Dengan menggunakan salah satu penyedia jasa travel transportasi, kami berangkat dari Bandung menuju Jakarta. Hampir empat jam perjalanan yang kami lalui dengan kondisi jalanan yang cukup padat. Bahkan satu bungkus permen asam yang Frisca bawa, habis tanpa sisa untuk menghilangkan rasa mual dan mabuk yang ia rasakan sepanjang perjalanan. Lewat magrib, travel yang kami naiki tiba di pool Cikini. Aku membawa Frisca pulang menuju rumah Ayah dengan menggunakan taksi, setelah menyempatkan makan malam lebih dulu di warung makan khas sunda yang terletak tak jauh dari situ.



Bunda menyambut kami di depan pintu saat baru tiba. Terlihat terkejut karena kedatangan kami yang tibatiba tanpa mengabarkan lebih dulu. Dan secara kebetulan, ada Kak Kia serta Mas Bilal yang juga membawa anak mereka menginap di rumah Ayah. "Omar mana, Bun?" tanyaku, sambil mengajak Frisca duduk di ruang tengah. Bergabung dengan keluargaku yang lainnya. "Udah tidur dari tadi. Makan dulu, ya? Tadi Ayah, Kak Kia, Mas Bilal juga baru pada makan." "Udah makan, Bun. Tadi ngajakin Frisca makan dulu di Ampera Dua Tak. Lahap banget Frisca makan sama sayur asem. Sampe nambah dua kali dia." "Enak ya, Fris? Bunda juga paling suka sayur asem sama sambel terasinya kalau makan di situ." Frisca tertawa. "Ditambah juga tadi lagi laper banget, Bun. Omar tidur di mana?" tanyanya kemudian. "Di kamar Bunda. Nempel banget Omar sama Ayah. Dikelonin nininya nggak mau. Maunya sama babahnya terus. Sama seperti Barga dan Arkha waktu kecil, maunya sama Ayah terus."



Ayah berdecak. "Ya, iya. Nininya cerewet banget. Sakit kali kupingnya Omar kalau deket-deket nininya." Tanpa menghiraukan kelakuan absurd kedua orangtuaku, aku kembali bicara pada Frisca. "Pindahin aja Omar ke kamar aku, Fris. Sekalian kamu istirahat." "Lho, gimana bisa tidur bertiga? Kasur kamu kecil gitu!" sela Bunda, mengomentari ucapanku. "Di gudang masih ada kasur busa yang nggak pernah dipake, kan? Aku tidur pake itu juga nggak apa-apa. Frisca kangen sama Omar. Dari tadi pagi udah bawel terus mau cepet-cepet ke sini." Frisca menengok, terlihat sekali raut kelelahan dari wajahnya. "Kamu yang pindahin dong, Bar. Nggak enak masuk kamar Bunda sama Ayah." Aku menurut. Memasuki kamar orangtuaku dan menggendong Omar yang sudah pulas tertidur di tengahtengah ranjang dengan tumpukan bantal di sekelilingnya sebagai penghalang. Cepat sekali anak ini tumbuh. Hanya tidak bertemu satu minggu membuatnya terlihat lebih besar dari terakhir kali melihatnya.



Frisca mengikuti saat aku berjalan menuju kamar bujangku di lantas atas. Membukakan pintu, dan membantuku merebahkan Omar di atas tempat tidur yang tergeletak begitu saja di atas lantai, dengan hanya beralaskan karpet bolong-bolong karena terkena puntung rokok. "Khas kamar cowok banget!" Komentarnya saat baru masuk ke dalam kamar. Aku tersenyum menyeringai. "Ini udah dirapihin Bunda. Dulu waktu masih aku tempatin, lebih ancur lagi dari ini. Atau kamu mau tidur di kamar sebelah aja? Kamarnya Bang Arkha lebih rapi." Frisca mendelik. Membuatku kembali terkekeh. Aku membuka lemari, dan memberikan kaus milikku yang masih tersimpan di sana. "Ganti bajunya dulu, Fris." "Kiasah sama Mas Bilal sering nginep di sini juga, Bar?" tanyanya, ketika menerima kaus yang aku asongkan ke arahnya. "Baru sekarang-sekarang aja. Dulu nggak pernah sama sekali."



"Emangnya, dulu hubungannya Kia sama Arkha gimana, sih?" "Cieee... kepo, ya?" Frisca kembali mendelik. "Penasaran aja, hubungan mereka dulu kayak apa. Karena setau aku, mereka itu backstreet, kan?" "Nggak ada yang tau. Dan sekalinya ketauan, langsung heboh semuanya. Mereka kabur berdua, nginep di Puncak. Pulangnya langsung disidang rame-rame. Aku denger waktu mereka pulang, Ayah tanya sama Bang Arkha, ngapain aja mereka di hotel semaleman? Si Arkha bilang mereka ciuman terus tidur sambil pelukan. Langsung dihajar habis-habisan saat itu juga sama Ayah." Frisca menutup mulutnya yang ternganga dengan telapak tangannya. "Separah itu?" Aku mengangguk. "Dan nggak tau gimana ceritanya, tau-tau kita diundang di acara lamarannya Mas Bilal dan Kak Kia. Dari situ Bang Arkha tambah nggak jelas. Pernah keciduk razia waktu lagi ngetrek di Warung Buncit, sampai akhirnya dia mutusin untuk ambil hadiah beasiswanya dari OSN." (Baca : OSN = Olimpiade Sains Nasional)



"Oh ... pantes aja. Dulu Arkha tiba-tiba nge-Line aku. Nanya-nanya tentang kampus RMIT." "Terus, kamu juga yang bantu dia untuk daftar di sana, ya?" "Iya. Bantu dia daftar, bantu nyari home accomodation untuk dia juga." "Akhirnya CLBK lagi?" Frisca berdecak, namun tiba-tiba memeluk leherku dan memberikan kecupan singkat di bibirku. "Tapi karena Arkha juga, aku bisa sama kamu akhirnya." Aku mengacak rambutnya dengan lembut. "Ya, udah. Kamu istirahat, ya. Aku ke bawah lagi." Aku mengecup kepalanya sebelum keluar dari kamar dan kembali bergabung dengan keluargaku. "Gimana City kemarin?" tanya Mas Bilal, saat aku baru mendaratkan tubuhku di atas sofa ruang tengah. "Menang, Mas. Tiga - satu lawan West Ham." "Baca di Detik, si Aguero terancam kena sanksi karena nyikut bek tengahnya West Ham, ya?" "Iya, nyikut si Raid dia. Awalnya lolos dari wasit. Tapi ternyata Asosiasi Sepakbola ngeliat dari rekaman TV. Udah



terancam nggak ikut Liga Primer lawan MU tanggal sepuluh nanti dia." "Kipernya juga lagi dipinjam klub Torrino, kan?" Aku tertawa. "Menang telak MU kayaknya." "Kakak udah lihat e-flyer kamu di Instagram. Keren, Bar. Siapa yang buat layout-nya," ujar Kak Kia, yang baru kembali dari dapur dengan membawa baki berisikan tiga cangkir kopi di tangannya. Menyajikan di atas meja untukku, Ayah dan untuk suaminya. "Aku sendiri dong, Ka. Frisca bantu buat plating-nya aja. Sisanya, semua aku yang kerjain. Dari mulai belanja bahan-bahannya ke pasar juga aku sendiri. Sampai kecopetan akhirnya." Terlihat, mereka semua mengalihkan perhatian padaku sepenuhnya saat mendengar kalimat terakhir yang kuucapkan. "Kecopetan di mana?" Bunda bertanya lebih dulu. "Di pasar, Bun. Tempat biasa Bunda belanja sama Frisca kalau lagi nginep di Bandung." "Kok bisa sampai kecopetan sih, Bar?" Kini giliran Kak Kia yang bertanya.



Aku mengedikan bahu. "Emang bukan rezeki aku aja kali, Kak. Makanya sekarang aku pulang ke sini. Besok mau urus surat-surat yang hilang biar cepet kelar. Pusing mikirin masalah ini." "Lagian kamu sembrono banget, sampai bisa kecopetan." Aku menengok pada Ayah. "Ayah tau sendiri, kapan aku pergi ke pasar. Nggak ngerti sama sekali situasi pasar itu kayak apa. Bahan-bahan untuk jualan aja aku suruh karyawanku yang belanja." "Tapi ketangkep nggak copetnya?" "Ya, kalau copetnya ketangkep aku nggak perlu repot ngurus surat-surat kali, Bun." Kak Kia dan Mas Bilal tertawa kecil mendengar jawabanku. "Oh iya, Bar. Untuk bahan dasar menu yang kamu jual itu, dapet dari mana?" tanya Mas Bilal, mengalihkan topik pembicaraan. "Untuk sekarang, aku masih ngorder sama tukang bajigur dan tukang cingcau yang biasa terima pesanan, Mas. Tapi kalau batagor, karyawanku yang buat sendiri. Karena



dulu dia pernah kerja di Batagor Ihsan, jadi dikit-dikit nyuri resep dari sana, tapi aku combine juga dengan resep aku sendiri. Niatnya pengin hire tukang bajigur dan tukang cingcau di pinggir jalan untuk kerja sama. Jadi biar mereka kerja sama aku aja, nggak perlu jualan muter-muter lagi. Tapi nantilah. Rencana itu masih jauh banget kayaknya." "Terus, kamu nggak ada minat untuk buka sistem franchise?" Aku berdecak. "Mas Bilal nih suka ngeledek aja. Siapa yang mau franchise?" "Lho, kenapa nggak kamu coba aja? Mas juga mau kalau usaha kamu bisa franchise. Tapi Mas nggak akan pakai foodtruck, Mas maunya buka stand makanan di Mall." Aku diam. Memikirkan dengan serius saran dari Mas Bilal. "Ini Mas serius lho, Bar. Bukan maksud mau ngeledek. Karena potensi usaha kamu itu menjanjikan jika terus dikembangkan. Dan lagi, di negara kita ini masih minim sekali pengusaha yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan, jika dibanding dengan negara Asia lainnya.



Makanya, Mas mendukung sekali ide usaha kamu ini. Karena sekecil apapun usaha yang kita miliki, we are the boss. Lain halnya dengan karyawan. Setinggi apapun jabatan yang kita pegang, tetep aja statusnya bawahan. Iya kan?" Aku mengangguk mantap saat mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan Mas Bilal. Lalu melirik pada Ayah untuk meminta pendapatnya. Ayah menaikan kedua alis matanya saat aku menengok. "Menurut Ayah, semua omongan Mas Bilal tadi itu benar. Usaha ini ide original kamu, kan? Istilahnya, kamu jual ide kamu ini, untuk orang lain yang ingin memiliki usaha juga tapi nggak punya ide seperti kamu. "Tapi ada satu hal lagi yang harus Ayah ingatkan. Kamu harus daftarkan dulu merek usaha kamu, sebelum usaha kamu makin berkembang nantinya, dan akhirnya muncul para plagiat. Karena di Indonesia, ada hal aneh dikit pasti langsung ditiru. Tapi kamu jadi tenang. Karena brand kamu sudah terdaftar, semua orang sudah tau bahwa kamu ini pioneer. Pencetus ide awal. Dan kamu juga bisa terhindar dari sengketa merek."



"Daftarnya di MUI ya, Yah?" "Kalau di MUI itu, untuk mendapatkan label halal di produk makanan kamu. Boleh juga untuk make sure costumer kamu bahwa produk kamu ini terjamin. Tapi untuk satu produk aja biayanya mahal dan prosedurnya panjang. Lebih baik itu nanti aja, saat usaha kamu sudah mulai maju. Sekarang yang penting daftarin brand kamu aja dulu, Bar." Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Ayah bisa bantu daftarin, kan? Soalnya aku harus mikirin juga untuk franchise. Buka gerai di Mall kan harus ada konsepnya. Belum lagi harus urus surat-surat, Yah." Ayah berdecak. "Ya udah, masalah daftarin merek dan surat-surat biar Ayah semua yang urus. Kamu fokus sama usaha kamu aja dulu." Well, we're ready to rock. Mulai melangkah pasti. Susun semua strategi. Dan jadikan setiap detik yang kulewati menjadi lebih berarti. *** FRISCA



Secara perlahan, aku keluar dari kamar Barga dan memasuki kamar Arkha yang terletak tepat di sampingnya. Aroma khas Arkha menyambutku saat baru membuka pintu. Kamarnya rapi, lebih tertata jika dibandingkan dengan kamar Barga. Aku melangkah masuk, mengamati semua isi di dalamnya. Ada foto Arkha yang terpajang di salah satu sudut kamar. Terlihat tampan dengan jas almamater RMIT. Melangkah mendekati rak buku miliknya, aku menemukan beberapa koleksi novel fiksi klasik yang semuanya berbahasa asing.



Kurang nasionalisme kamu, Kha.



Aku sangat berharap menemukan buku harian tempat Arkha mencurahkan semua isi hatinya seperti di ceritacerita novel pada umumnya. Namun, sayangnya Arkha bukan sejenis cowok melow yang biasa menuliskan curahan hatinya di dalam buku harian. Apalagi zaman serba digital seperti ini. Blog pribadi miliknya pun hanya dia isi dengan tulisan tentang biografi band favoritnya dan beberapa kumpulan puisi.



Ada satu kotak yang menarik perhatianku. Aku membuka dan menemukan sebuah Ipod yang aku ketahui milik Arkha. Menekan tombol ON hingga membuatnya menyala, lalu mendengarkan lagu terakhir yang Arkha dengarkan.



Adalah dendam tak terucap Rahasia yang tak terungkap Inikah perih yang tertahan Hingga ku tak sanggup melawan Adanya aku pernah diminta Sosok terindah yg dipuja Kini lepas jauh terhempas Karenamu 'kan terbang bebas Cintaku dicela rasa dilupa Olehmu ... olehmu .... Dan aku disapih perlahan jadi buih Olehmu ... olehmu .... [Mian Tiara - Disapih] Aku seperti terkesiap saat mendengarkan lagu terakhir yang dimainkan di Ipod miliknya. Dulu, aku yang mengenalkan lagu ini pada Arkha. Karena liriknya seperti



menceritakan tentang perasaan kami masing-masing. Aku untuk Arkha, dan Arkha untuk Kiasah. Sialan. Kilatan rasa sakit yang aku rasakan ketika terakhir kali mengantarkan dirinya ke bandara, kembali kurasakan saat ini. Bagaimana pertanda menciptakan gelagat-gelagat— yang baru kusadari setelahnya—bahwa semua itu isyarat bahwa dirinya akan pergi jauh. Tanpa banyak kata terpahat, hanya tindakan-tindakan kecil yang menunjukan seolaholah kami tak 'kan bertemu kembali. Dan ternyata memang benar adanya. Aku tergelak sedih. Mengingat bagaimana aku yang dulu memaksa dada melapangkan ruang untuk menerima semua kenyataan saat mendengar kabar meninggalnya Arkha. Bagaimana saat aku harus menekan perih karena hati yang seolah timpang ketika mendapati kenyataan bahwa aku tengah mengandung anaknya setelah beberapa jam menghadiri pemakamannya. Aku memejamkan mata. Samar-samar, pikiranku kembali memutar kenangan beberapa tahun silam.



Memajangkan potongan-potongan kisah masa lalu yang bertalu. Hingga aku tersentak saat seseorang memelukku dari belakang. "Ciee, ada yang kangen." Aku menyeka air mata, lalu membalikan badan dan memaksakan senyum untuknya. "Bar ...." "Hm?" "Besok ... anterin aku ziarah ke makamnya Arkha, ya?" Barga diam. Membuatku menyadari saat matanya menelisikku secara jelas. Dia menyematkan uraian rambutku ke belakang telinga. "Boleh, besok aku anterin kamu ke makamnya Bang Arkha. Tapi sekarang kamu harus istirahat, kasian badan kamu kecapean habis macetmacetan tadi." Aku tersenyum, lalu menangguk. Mengikuti saat Barga menuntunku keluar dari kamar Arkha. Ada kasur tambahan yang entah sejak kapan dipindahkan ke dalam kamar Barga. Dengan posisi membelakanginya, aku



menarik kedua lengan Barga agar memelukku dari belakang. Sangat erat. Seolah menjanjikan sebuah penjagaan ketika perputaran malam yang menjelma menjadi pagi, serta menemani perjalanan dini hari untuk bersiap menyambut selarik kisah yang harus kulewati dalam nadi-nadi hari untuk keesokannya, bahkan hingga seterusnya. -tbcKyaaahhhh... Satu part lagi, lanjut epilog. Dan ada tambahan extra part (kalo masih ada ide) wkwkw. Makasih Naomichyntiaa yang udah bikinin trailer Elegi Patah Hati yang aku pajang di mulmed. Keren banget trailernya. 28



People mysterious ways



fall



in



[Ed Sheeran - Thinking Out Loud] *** FRISCA



love



in



Bagiku, bagi napasku, bagi setiap detik yang kulewati, bagi setiap jejak yang kususuri, kuakui bahwa masih ada sebagian kenangan tentang Arkha yang terlanjur melekat kuat di dinding ingatan yang kian tiarap. Seperti cat minyak di atas kanvas putih. Tak bisa terhapus. Hanya dapat berubah warna saat aku menutupnya dengan warna lain, hingga akhirnya menciptakan satu lukisan luka atas nama cinta yang pernah kusanjung pada masa-masa silam.



I personally always talk about how I would be act if I meet him again, but that's all bull. God knows I would be freaking the fuck out cause this is someone I've looked up and has been part of my life for so long. Namun, kusadari cinta bukan transaksi ganja. Ada uang, maka ada barang. Aku mencintai dia, dan dia pun harus mencintaiku juga. Kutahu hidup tak senaif itu. Dan—lagi-lagi—aku berpikir, aku tidak mau mati dengan cara seperti ini. Tidak dengan membawa dendam yang mengotori. Tidak dengan membawa rasa sakit yang membebani. Tidak dengan keadaan langit kelabu dan gemuruh keras yang menjadi pertanda hujan badai. Tidak.



Seperti sebaris lirik yang dinyanyikan Avenged Sevenfold, 'A life that healed a broken heart'. Hidup yang menyembuhkan hati yang patah. Dan aku setuju. Karena hiduplah yang memberiku seorang Barga sebagai penyembuh luka-luka yang ditorehkan Arkha. "Udah selesai?" Aku menengok pada lelaki yang berjongkok di sampingku. Lelaki muda ini, siapa yang mengira jika ternyata anak lelaki tengil ini sangat mampu memahami hidup dengan baik. Mengajariku bahwa hidup lebih indah bagi siapa saja yang mensyukurinya. Aku tersenyum padanya lalu mengangguk. "Arkha," ucapku, sambil menatap batu nisan di hadapanku. "Aku belum sempat berterima kasih karena kamu telah membiarkanku memilikimu dalam sebagian hidupku. Aku juga belum sempat berterima kasih, karena kehilanganmu membuatku banyak mengucap syukur dengan adanya Omar dan Barga. Hingga aku sanggup dilupakan untuk melepasmu pergi dan bahagia. Aku menengok kembali pada Barga. "Lihat senyum itu, Kha. Senyum yang lembut untukku dibalik sifat keras



kepalanya untuk selalu membahagiakanku. Tatapan mata yang penuh sayang kepadaku ditengah perjuangannya untuk dapat dilihat ketika orang lain menyepelekan. Mereka menyebutnya Barga, tapi aku menyebutnya kehidupan. "Dialah kehidupanku saat ini. Adik kamu. Laki-laki brengsek, keras kepala, yang selangkah pun tidak pernah mundur untuk membuatku bahagia. Pasangan gila kamu setiap kali bertingkah konyol. Di balik kekonyolan kalian, aku tau kamu menyayanginya. Sama seperti dia yang juga menyayangimu. Aku ingat, dulu kamu pernah bilang sama aku, rumah adalah segala cerita dan kebahagiaan. Walaupun kalian lain ayah, tapi kalian punya satu tujuan untuk membahagiakan orang yang sama. Mengagungkan seorang ibu yang sama. "Terima kasih, karena sudah membawanya untukku. Karena Barga, sekarang aku tidak lagi takut apapun. Barga mengajarkanku, bahwa hitam tidak akan pernah menang di saat biru dan hijau mengajariku untuk selalu tersenyum terang. Dan aku mencintainya. Sangat mencintainya." Barga tersenyum menyeringai saat mendengar kalimatku yang terakhir.



"Kamu istirahat yang tenang di sana ya, Kha. Berbahagialah, seperti aku yang berbahagia di sini." Aku menyambut uluran tangan Barga dan mengikutinya saat membimbingku menapaki jalan setapak. Melewati setiap baris makam yang berjajar rapi. Sama seperti aku yang menyerahkan seluruh hidupku untuk mengikutinya, membiarkannya membimbingku melewati suka maupun duka dalam hidup, sekali pun kami harus merintih bersusah payah. Barga membukakan pintu penumpang untukku, lalu memutar dan duduk di kursi pengemudi. Memasukkan persneling, menurunkan perlahan tuas rem tangan, dan membawaku pergi dari area pemakaman Arkha. Pergi dari segala kenangan tentang Arkha yang sudah kutinggalkan di atas makamnya bersama jasadnya yang terkubur di bawahnya. Mobil Honda Civic dengan sistem transmisi otomatis, membuat satu tangan Barga dengan bebas menggenggam tanganku tanpa berniat melepaskan. Aku menengok dan mengamati wajahnya dari samping. Dengan kontur wajah tegas namun tetap lembut setiap kali menatapku. Dengan



raut wajah serius dan dahi yang sering berkerut jika sedang berpikir keras. Barga menengok saat aku cekikikan memikirkannya. "There's something funny going on around here?"



"Yeah." "What is that?" "How I love you so much much much much more."



Barga menatapku heran saat mobil berhenti di perempatan lampu merah. Dia menempatkan telapak tangannya di dahiku. "Kamu kesambet apaan tadi di makamnya Arkha?" Aku melepas safety belt dan menggeser tubuhku untuk semakin menempel pada Barga. Memeluk sebelah tangannya dengan erat. "Meluknya nanti aja di rumah, Fris. Pakai lagi safety belt-nya. Polisi di Jakarta lebih nyeremin daripada di Bandung." "Barga." Aku tak menghiraukan tegurannya. "Hm?" "Aku mau besuk Papi di LAPAS."



Barga mengalihkan perhatiannya ke arahku selama beberapa lama sebelum kembali memerhatikan jalanan di depannya. "Kamu yakin?" Aku mengangguk. "Selama kamu mau temenin aku ... aku yakin." "Kapan?" "Hari ini aja. Sebelum kita pulang ke Bandung." "Jam besuknya kapan aja?" "Setiap hari. Dari jam sembilan sampai jam dua sore kalau nggak salah. Tapi kita nggak perlu bawa apa-apa. Nggak usah bawa handphone. Bawa uang seperlunya aja. Karena sebelum masuk ke lapas, kita bakalan digeledah nanti. Dan biasanya, kalau mereka lihat barang yang aneh sedikit langsung dijarah sama mereka." Barga kembali terdiam, cukup lama. Hingga akhirnya ia mengeluarkan suara. "Kamu udah nggak benci lagi sama Papi kamu?" Aku menghela napas dan memeluknya lebih erat. Menyandarkan kepalaku di atas bahunya. "Aku nggak pernah dan memang nggak bisa benci sama Papi. Aku cuma kecewa. Dan aku marah pada keadaan yang memaksa



untuk menempatkanku pada situasi yang menyakitkan saat aku masih belum ngerti apa-apa. Saat itu umurku baru dua belas tahun dan aku lupa apa aja yang terjadi, yang aku ingat cuma rasa sakitnya aja." Barga melepas genggaman tangannya dan menggantinya dengan merangkul pundakku. Membelai rambutku dengan lembut. "Ya udah, nggak usah diingetinget lagi. Nanti aku temenin kamu besuk Papi kamu sebelum kita pulang ke Bandung." Aku menaikan tubuhku, mencium pipinya sekilas. "Thank you," bisikku. Pukul sebelas siang. Kami duduk di dalam ruang tunggu Lembaga Permasyarakatan Cipinang yang terletak di ujung timur Jakarta. Barga terus menggenggam tanganku, terasa dingin karena ketegangan yang kurasakan. Entahlah, mungkin karena sudah sangat lama dari terakhir kali bertemu dengan Papi, hingga membuatku sedikit nervous saat akan bertemu kembali dengannya. Tibalah giliran kami. Setelah mengeluarkan biaya yang diminta orang yang bertugas saat itu, kami dibawa memasuki sebuah aula serbaguna. Ruangan yang



merupakan tempat berkumpulnya para napi dan keluarga di jam besuk. Tempat tersebut bisa menampung sekitar dua puluh kelompok, dan untuk setiap kelompoknya disediakan satu atau dua meja serta beberapa kursi. Tak lama Papi masuk. Terlihat tetap gagah walau sedikit lebih kurus dengan wajah yang tampak lebih segar dari terakhir kali bertemu dengannya. Papi tampak sedikit terkejut saat melihat keberadaanku. Aku berdiri dan memeluknya dengan erat. Papi terdiam selama beberapa detik sebelum membalas pelukanku dengan tak kalah eratnya. Dan aku menyadari betapa aku sangat merindukan pelukan ini. Begitu menenangkan. Seperti menemukan tempat pulang. Kerinduan, kelegaan, kesedihan, kami tumpahkan semuanya lewat tangisan yang mengharu biru. "Papi ... Frisca kangen banget sama Papi." Aku semakin terisak hebat. "Papi juga. Kangeeennn sekali." Memang benar, kasih sayang yang paling hebat bagi manusia adalah kasih sayang kedua orangtua kepada anaknya. Tak ada yang bisa menandingi bagaimana



besarnya dan tulusnya rasa sayang mereka untukku. Dan kemana aku selama ini? Menutup mata karena kemarahan yang kurasakan pada ayah kandungku sendiri, hingga mengabaikannya dan tak pernah memedulikannya lagi. Aku sadar, sebagai anak, seharusnya aku mendoakannya di saat yang lain menertawakan. Menguatkan di saat yang lain menyepelekan, memeluknya di saat yang lain membalikkan badan, dan berkata aku menyayanginya di saat semua orang berteriak koruptor di depan wajahnya. Aku melepas pelukanku dan menatap wajahnya dari dekat. Walau ketampanannya sudah termakan usia, namun tak mengurangi kegagahannya dengan baju batik yang ia kenakan. "Papi sehat?" bisikku, tak bisa bersuara lebih keras lagi. "Sehat. Alhamdulillah. Semua orang di sini baik. Papi diperlakukan dengan baik. Kamu semakin kelihatan cantik. Mirip mamimu waktu masih muda. Itu siapa? Barga, ya?"



Aku menengok, menemukan Barga sedang memerhatikan kami. Dia tersenyum untukku. "Iya, ini Barga. Suami Frisca." Barga maju dan menyalami Papi, namun Papi menyambutnya dalam sebuah pelukan. "Akhirnya, kamu bawa suami kamu untuk ketemu Papi. Papi sudah sering mendengar tentang kalian dari Mami. Termasuk foto cucu laki-laki Papi. Sudah sebesar apa dia sekarang?" "Namanya Omar, sekarang udah delapan bulan. Udah mulai nakal. Sekarang Frisca lagi hamil anak kedua, Pap." Papi tersenyum. Mengangguk-anggukan kepala mendengarnya. "Papi senang lihat kamu bahagia. Kasih Papi cucu yang banyak ya." Aku dan Barga terkekeh. "Masih berapa lama lagi Papi di sini?" tanya Barga, mengambil alih percakapan. "Papi kena vonis lima belas tahun penjara. Dan Papi sudah menjalani selama dua belas tahun. Tinggal sisa tiga tahun lagi. Tapi Papi nggak berasa sudah dua belas tahun berada di sini. Papi nggak terlalu menghitung-hitung. Selalu



mencoba dinikmati saja. Karena kalau dirasakan, akan terasa lama. Tapi kalau terus beraktivitas, sepertinya tidak merasa di dalam sini," katanya. "Memangnya selama di dalam sini, apa aja aktivitas yang Papi lakukan?" "Banyak. Setiap pagi atau sore Papi manfaatkan untuk bermain badminton dan tenis meja dengan teman-teman sesama penghuni di sini. Dan Papi baru merasakan ada hikmah yang besar setelah berada di sini. Papi jadi rajin baca buku dan rajin salat berjamaah. Papi juga merasakan akrabnya suasana keluarga di sini." Air mataku kembali menetes. "Maafin Frisca karena baru besuk Papi sekarang." "Nggak apa-apa, Sayang. Papi sangat mengerti kondisi kamu. Pasti lebih sulit keadaan kamu dan Mami yang ada di luar, daripada Papi yang ada di dalam sini." Lebih dari satu jam kami mengobrol dengan Papi. Menceritakan apa yang belum sempat diceritakan, mendengarkan apa yang memang perlu di dengarkan. Mencoba membuka pikiran dengan keikhlasan karena ternyata keikhlasan tak selamanya menyakitkan.



Menyakitkan hanya bagi mereka yang menyia-nyiakan kesempatan untuk memperoleh hikmah dari permasalahan yang diberikan hidup untuk mereka. Tiba di rumah, kami disambut dengan suara tangis Omar dengan cukup keras. "Kenapa, Bun?" tanya Barga, mengambil alih Omar dari gendongan ibu mertuaku. "Lihat Ayah pergi tadi, nangis mau ikut." "Emangnya Ayah mau ke mana?" "Lho, bukannya mau urus surat-surat kamu?" Aku menghampiri Barga. "Gendong sama Mama aja, ya?" Omar menatapku. Sudah berhenti menangis namun masih sedikit terisak. Mulutnya mencibir, mata bulat besarnya basah oleh genangan air mata. Lalu pandangannya berpindah pada Barga, dan berpindah kembali padaku. Aku dan Barga tertawa kecil ketika Omar terus menatap kami secara bergantian. "Ini siapa?" tanyaku, menempatkan tangan di atas dada. "Ma—ma."



"Kalau ini?" Aku menunjuk Barga. "Pa—pa." Aku mencium pipinya gemas. "Kata Nini, Abang udah bisa tepuk tangan, ya? Gimana tepuk tangannya?" Omar bertepuk tangan dan tertawa setelahnya. "Tangannya Abang mana?" "Nih." Omar menaikan tangan kanannya. "Matanya mana?" Omar mengedip beberapa kali. Aku dan Barga kembali tertawa. "Pinter banget, sih anak Papa." Barga membawa Omar ke ruang tengah dan membaringkannya di atas sofa, lalu menciumi wajah hingga perutnya. Aku tertawa saat melihat Omar menjerit dan tertawa ketika Barga menggelitiki perutnya. Pada akhirnya, hanya bahasa keikhlasan yang berhasil menyadarkanku akan arti kehidupan. Bagaimana aku yang selama ini senantiasa bersembunyi di balik tameng arogansi. Selalu merasa benar, dan mereka semua salah. Menganggap jika diri sendiri sebagai korban, dan merekalah Tuan Takur yang jahat.



Dee Lestari mengatakan, 'semua perjalanan hidup adalah sinema.' It one, two, three, four ... roll and ... action!



***



"Kamu liat Barga, Ki?" tanyaku, pada Kiasah yang sedang berada di dapur. "Barga di belakang sama Mas Bilal. Lagi ngomongin konsep buat buka gerai di mall. Ini aku lagi bikin kopi buat mereka. Omar udah tidur?" Aku mengangguk. "Udah. Ayah sama Bunda juga udah pada tidur, ya?" "Udah. Fris, tolong bawain tahu gorengnya ke belakang ya." Aku mengangkat piring saji berisikan tahu goreng panas dan membawanya mengikuti Kiasah yang sudah berjalan lebih dulu ke halaman belakang rumah Ayah. Terlihat Barga dan Mas Bilal yang sedang berbincang serius. Aku menaruh piring di atas meja, mengambil tempat di samping Barga dan mengamati coretan kertas di tangannya. Barga menengok ke arahku saat Mas Bilal sedang meminum kopinya. "Kok belum tidur?" tanya Barga.



"Belum ngantuk." "Tapi Omar udah tidur?" Aku mengangguk. "Besok Omar ikut pulang sama kita, kan?" "Iya, besok Omar ikut pulang sama kita. Lagipula, minggu depan Ayah sama Bunda lagi sibuk-sibunya ngurusin kantor baru Ayah di Semarang." Barga memainkan sejumput rambutku yang terurai panjang. "Gimana, udah dapet konsepnya?" "Udah. Mas Bilal ngikut aku aja." "Terus nanti pengiriman bahan makanannya gimana?" "Pakai travel. Sekitar tiga sampai empat jam udah sampai. Cuma harus diantar dan diambil sendiri ke poolnya langsung." Entah bagaimana caranya, Barga bisa membuatku percaya akan semua rencananya tanpa sedikit pun merasa ragu. Membuatku yakin bahwa Tuhan mendengarkan lebih dari yang kuucapkan, menjawab lebih dari yang kupinta, memberi lebih dari yang kubayangkan, dengan waktu dan caranya sendiri.



Dan untukku, bahagia bagi cinta yang tulus tak melulu soal kesempurnaan. Walau dalam keadaan tubuh gendut karena hamil besar sekali pun, Barga is the one that makes me sexy everyday. Dan untuk apa sempurna, jika sederhana mencukupi kami untuk bahagia? -tbcSampai ketemu lagi dengan mereka di epiloogggg... 29



It's not the endings, but it's beginning of the journey. ***



Aku menengok saat pintu kamar perawatanku terbuka. Tak lama, masuklah seorang lelaki muda yang tidak kuharapkan keberadaannya. Lagi-lagi dia, mau apa lagi dia mengejarku hingga ke sini? Aku menatapnya malas. "Tau dari mana kamu, aku dirawat di sini?" tanyaku sinis, tanpa menatap matanya. "Aku baca chat dari grup anak-anak RMIT di handphone-nya Arkha."



Aku menengok padanya. Membalas tatapannya yang menatapku dengan tegas. Tak ingin dibantah. "Aku udah bilang, kamu nggak perlu mengorbankan diri kamu sendiri untuk tanggung jawab dengan kehamilan aku. Ini anaknya Arkha. Dan kenyataannya memang Akrha udah nggak ada. Kenapa kamu ngotot banget, sih mau ambil tanggung jawabnya Arkha dan nikahin aku?" Dia maju beberapa langkah, dan berhenti tepat di ujung ranjang rumah sakit tempatku berbaring. "Keluarga aku udah tau kamu sekarang lagi hamil anaknya Arkha." Satu bantal yang kutiduri melayang bebas ke arahnya. "Kamu itu emang brengsek, ya! Kamu bilang kamu nggak akan kasih tau orangtua kamu soal kehamilan aku. Kamu janji sama aku, cukup kita berdua aja yang tau soal masalah ini. Terus kenapa sekarang kamu bongkar semuanya sama orangtua kamu? Kamu dendam sama aku karena aku udah nolak kamu? Kamu mau bikin aku malu di depan orangtua kamu?" Barga kembali maju beberapa langkah dan semakin merapat padaku. "Dengerin aku dulu, Fris. Bukan aku yang



ngomong sama mereka. Kak Kia baca chat terakhir yang kamu kirim untuk Arkha." Aku diam. Mengingat isi chat terakhir yang kukirim untuk Arka. Iya, aku ingat. Aku sempat membalas pesan dari Arkha saat dia memberiku kabar sesaat sebelum pesawatnya take off. Aku memberitahukan tentang kecurigaanku yang sudah dua bulan telat menstruasi saat itu. "Bang Arkha belum sempat buka HP-nya waktu baru landing. Jadi kayaknya dia juga belum baca chat dari kamu. Kak Kia yang pertama nemuin HP itu. Waktu dinyalain, langsung masuk chat dari kamu. Kak Kia langsung bilang sama semua keluarga, dan akhirnya aku ngaku kalau aku memang udah tau kamu hamil anaknya Arkha." Aku membuang muka darinya. Lebih memilih untuk menatap langit sore kota Jakarta dari jendela kamar perawatanku. "Fris." Barga menyentuh lenganku. Memaksaku kembali menengok padanya "Aku udah bilang sama semua keluargaku, kalau aku mau tanggung jawab sama bayinya



Arkha. Aku udah minta izin sama mereka untuk nikahin kamu." Aku menggelengkan kepala. Tidak mengerti dengan isi kepala anak ini. Apa yang dia cari dariku? Mengapa begitu ngototnya dia ingin menikahiku? "Stop it, Bar. Please ... jangan tekan aku kayak gini. Aku nggak mau nikah sama kamu. Kalaupun Arkha masih hidup, aku juga nggak akan maksa dia untuk nikahin aku. Apalagi kamu. Cowok asing yang tiba-tiba ngotot mau tanggung jawab sama bayi yang aku kandung. Pernikahan itu bukan lelucon, Bar. Nggak bisa kita main-main dengan keputusan itu." "Aku nggak main-main," sela Barga. "Aku serius, Frisca." Aku menatapnya lama. Menelisik matanya untuk mencari selah dari segala keyakinan yang ia tunjukan padaku. "Kenapa?" tanyaku lemah, pada akhirnya. "Kasih aku satu alasan yang kuat. Kenapa kamu sampai sengotot ini mau nikahin aku?"



Barga membawa kursi yang tersimpan di ujung ruangan, memindahkannya tepat di samping ranjangku, lantas duduk di atasnya. Terlihat dia menarik napas dalam sebelum bicara. "Mungkin ini kedengarannya klise, tapi satu alasan yang bikin aku sampai sengotot ini mau nikahin kamu, karena keadaan kamu sekarang ngingetin aku sama keadaan ibuku waktu dulu lagi hamil Arkha. Sama persis seperti kamu ini. Cuma bedanya, dulu Bunda udah nikah. Dan suaminya meninggal waktu Bunda lagi hamil Arkha. "Dan asal kamu tau, Fris. Bayi yang lagi kamu kandung ini, keturunan terakhir dari almarhum ayahnya Arkha. Dan lagi, Fris. Pradigma orang-orang tentang perempuan yang hamil di luar nikah itu negatif. Benar atau salah, bagi mereka tetap posisi kamu sebagai wanita yang salah. Menjalani kehamilan dengan adanya pendamping aja sulit, Fris. Apalagi kalau kamu menjalani semuanya sendiri. Biarin aku gantiin posisinya Arkha untuk tanggung jawab sama kamu. "Aku tahu, aku ini bukan siapa-siapa, dan juga bukan apa-apa. Aku cuma Barga Anggara, laki-laki umur dua



puluh tahun yang bahkan nggak tau caranya melawan lupa atau lupa melawan. "Aku juga nggak mau menuntut apapun dari kamu. Yang biasa-biasa aja, tapi mencoba menghadapi masalah bersama-sama, sampai akhirnya kita saling terbiasa samasama. Sampai ada satu moment yang akhirnya membuat kita yakin, jika kamu nggak ada, aku nggak bisa. Akhirnya takut kehilangan pun jadi kebiasaan." Aku tersentak saat Barga membawa tanganku dalam genggamannya. Seperti ada sengatan listrik yang mengalir dari sentuhannya. "Nikah sama aku, Fris. Kita mulai semuanya barengbareng. I always got your back no matter what happens. So, please ... trust me." *** Aku mengenalmu dalam sebuah cerita yang tidak pernah bisa kuyakini awalnya. Membawaku dalam sebuah siklus asmara tentang kesederhanaan serta keterbatasan pilihan di tengah himpitan keadaan.



Kauhadir, ketika aku sedang menunggu datangnya pagi di tengah malam yang menyeramkan. Kaudatang dengan tangan kosong. Tanpa janji-janji omong kosong. Menawarkan sebuah kisah tanpa kesempurnaan. Mengajakku hidup bersama dalam sebuah kesederhanaan. Kau seperti cahaya matahari di antara pagi yang tertutup embun. Seperti senja yang menjadi penutup selarik kisah dengan euforia yang membuncah. Dan demi satu tulang rusuk yang kupinjam darimu, izinkan aku untuk menjalani kisah panjang denganmu, selalu bersamamu, hingga 'ku tua dan mati dalam pelukanmu. Karena aku untukmu ... percayalah itu selamanya. 'Aku mencintamu karena seluruh alam semesta ini



berkonspirasi membantuku untuk menemukan kamu' (Paulo Cuelho)



*End* Yawlaaahhh, akhirnya tamat juga ini cerita. Makasiihhh yaa semua yang udah baca kisah ini. Untuk semua saran dan kritiknya. Untuk vote dan komennya. Aku masih punya satu hutang extra part, sebelum unpublish cerita ini seluruhnya. Kalau ada yang mikir aku unpub lalu publish ulang untuk naikin viewer, nggak apa-apa. Nggak jadi aku republish di wattpad berarti. Kita pindah lapak aja ke storial dan publish Ello Series 1, 2, 3 dan EPH di storial aja. *emak-emak baperan* wkwkwkw. Sekali lagi makasihhh yaaa semuanya. Yuk dadah babay dulu sama Barga, Frisca dan Abang Omar. I love you all :*



EXTRA PART This special part for you, Guys. Enjoy ^^ *** "Bar...." Aku merasakan saat seseorang mengguncang bahuku dengan keras. "Barga!" "Hm?" "Aku keluar flek. Udah waktunya melahirkan kayaknya." Aku bangun dari tempat tidur dengan cepat. Menemukan Frisca yang sedang memegangi perut dan pinggangnya, terlihat jelas sedang menahan sakit. "Kita ke rumah sakit sekarang. Kamu ganti baju dulu, aku siapin mobil sambil bangunin Mbak Jijah untuk jaga anak-anak," ucapku, sembari membuka lemari dan mengasongkan pakaian ganti yang kupilih random untuknya.



Keluar dari kamar, aku melangkah menuju kamar asisten rumah tangga yang terletak di bagian samping rumah. Mbak Jijah awalnya bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Bunda, tetapi karena Bunda merasa Frisca lebih membutuhkan bantuan darinya, hingga akhirnya Mbak Jijah diminta pindah untuk membantu Frisca mengurusi rumah kami dan juga anak-anak. Setelah membangunkan asisten rumah tanggaku, aku menengok anak-anak di kamarnya. Tampak masih sangat pulas dalam tidurnya. Aku tersenyum memerhatikan mereka. Anak-anakku, Caezar Omar dan Anjani Darra. Saat ini, usia Omar sudah lima tahun, sedangkan Jani tiga bulan lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ke-4. Dan malam ini, akan bertambah satu anggota baru dalam keluarga kami. Menambah kehebohan suasana rumah yang semula sudah seheboh pasar Ciroyom Bandung. Berbeda saat melahirkan Omar dan Jani yang harus melakukan persalinan secara sesar, untuk anak ketiga kami, Frisca memaksa ingin melahirkan normal. Berulang kali kami melakukan konsultasi setiap bulannya, dan jawaban



dari dokter selalu positif hingga sejauh ini. Tidak ada masalah dalam kehamilan ketiga ini yang mengharuskan Frisca kembali melahirkan secara sesar. Mungkin karena jarak kehamilan ketiga ini cukup jauh dengan jarak kehamilan Jani sebelumnya. Aku masuk kembali ke dalam kamar dan menemukan Frisca sedang duduk di pinggiran tempat tidur. "Masih sakit?" kuusap titik keringat di keningnya. "Masih. Udah mulai rapat jarak kontraksinya." "Mana aja yang mau dibawa?" Frisca menunjuk tas bayi yang sudah tersimpan di sudut kamar. "Satu tas itu aja. Semuanya udah aku siapin di situ." Aku menyampirkan tali selempangnya di bahu, lantas membantu memapah Frisca menuju mobil yang sedang kupanaskan mesinnya. Terlihat Mbak Jijah berdiri dengan panik di ruang tengah. "Mbak, minta tolong bukain gerbang depan, ya." Dia mengangguk. Segera mengambil kunci gerbang, dan membawanya keluar.



Kududukan Frisca dengan sangat hati-hati di bangku penumpang depan. Menurunkan sandarannya sedikit, lantas memasangkan safety belt sebelum jalan memutar untuk duduk di bangku pengemudi. "Mbak, kalau jam tujuh aku belum pulang, Mbak tolong antar anak-anak ke sekolah. Tapi mudah-mudahan Frisca lahirannya cepet, jadi aku bisa antar anak-anak ke sekolah, sekalian aku juga mau ngisi seminar di Sabuga soalnya." "Iya, Mas Barga. Semoga Mbak Frisca lahirannya lungsur langsar. Sehat ibu dan bayinya." Aku mengamini ucapan Mbak Jijah. Setelah berpamitan, kulajukan mobil dengan berusaha bersikap setenang mungkin meski dalam hati panik. Mencoba berkonsentrasi, memecah jalanan Bandung yang terlihat lengang di tengah malam buta. Frisca mencengkram bisepku dengan sangat keras. "Sakit banget, Bar." "Tahan sebentar, Fris. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit."



Tak lama, terdengar bunyi letupan pelan. "Ya, ampun, Bar ... air ketubannya udah pecah!" Aku menengok ke arah Frisca. Memerhatikan bagian bawah tubuhnya. Dan benar saja ... roknya sudah sangat basah dengan air yang terus mengalir hingga menggenang di atas karpet mobil. Dan aku baru sadar jika bunyi letupan tadi adalah bunyi pecahnya air ketuban. "Bar, cepetan, Bar. Bayinya udah mau keluar ini kayaknya. Aku takut lahiran di mobil." Apa kalian pernah menonton adegan car chase di film-film, dimana penjahat yang sedang dikejar-kejar oleh polisi? Yeah, seperti itulah yang kurasakan saat ini. Seperti merasakan bagaimana tegangnya James Bouney dan kekasihnya saat berusaha melarikan diri dari agen CIA yang mengejar dan berusaha membunuh mereka. Bagaimana caranya aku agar bisa fokus memerhatikan jalanan di depanku, dengan tekanan yang cukup berat saat mendengar Frisca terus menerus mengaduh kesakitan.



Dan saat mobilku memasuki pelataran rumah sakit, rasanya seperti Brian O'Connor ketika menemukan garis finish dalam film Fast and Furious. Lega rasanya. Aku menghentikan mobilku tepat di depan pintu Unit Gawat Darurat. Keluar dari mobil, dan minta segera disiapkan bangkar kepada perawat yang bertugas untuk istriku yang sudah siap melahirkan. Dengan sangat cekatan, beberapa perawat UGD membopong tubuh Frisca, dan membawanya masuk ke dalam ruang persalinan. Kepala bayinya bahkan sudah terlihat saat perawat menggunting underware Frisca yang sudah basah oleh air ketuban. "Ibu, pasiennya dokter Esteer, ya? Ini bukaannya sudah lengkap, Bu. Tapi saya khawatir, karena sebelumnya Ibu Frisca punya riwayat melahirkan sesar. Saya takutnya ada komplikasi saat ibu melahirkan normal dan khawatir tidak dapat ditindak jika bukan ditangani oleh dokter obgyn." Emosiku semakin tak karuan saat mendengar ucapan bidan. "Terus jadi gimana?" tanyaku dengan sedikit sewot.



"Kami sedang berusaha menghubungi dokter Esteer. Saya nggak berani, Pak, ambil tindakan tanpa ada persetujuan dari dokter Esteer." "Tapi istri saya udah siap melahirkan. Nggak liat itu kepala bayinya aja udah nongol?" hadirku, dengan semakin emosi. "Barga... hey, calm down. Take it easy. Mereka cuma khawatir, karena persalinanku ini beresiko. Udah, kamu santai aja. Nggak perlu emosi." Aku berdecak. "Gimana aku nggak emosi, Fris. Istri aku lagi kesakitan, bukannya cepet ditolongin malah diulurulur waktunya." Frisca kembali meringis dan mencengkram lenganku dengan cukup keras. "Bidan Ayu!" Kami semua menengok. Seorang perawat muncul dari ambang pintu. "Kata dokter Esteer, kalau pembukaannya sudah lengkap langsung diambil tindakan aja. Dokter Esteer lagi di jalan menuju ke rumah sakit."



Bidan Ayu mengangguk dan kembali mengalihkan perhatiannya padaku. "Ya udah, Pak. Kita lakukan persalinan sekarang. Ibunya tiduran miring ke kiri, ya. Saya siapkan peralatannya dulu." "Oke." "Perlengkapan bayi dan pakaian ganti untuk ibunya sudah dibawa, Pak?" tanya perawat yang satunya lagi. "Udah, tapi tasnya ketinggalan di mobil. Saya ambil dulu." Namun saat hendak berbalik, Frisca mencekal lenganku dengan semakin kuat. "Mau ke mana?" tanyanya. "Ambil tas dulu di mobil." Frisca menggeleng. "Nggak boleh. Kamu nggak boleh ke mana-mana." "Sebentar aja, Sayang. Nanti aku balik lagi ke sini." "Nggak. Minta tolong ambilin aja." Aku melirik perawat yang ternyata sedang memandangiku. Dia tersenyum. "Nggak apa-apa, Pak. Biar saya aja yang ambil tasnya di mobil."



Aku menarik kunci mobil dari dalam saku celana dan menyerahkannya pada perawat tadi. "Maaf ya, Sus, jadi ngerepotin. Mobilnya Noah warna hitam." Setelah kepergian perawat tadi, bidan dengan beberapa perawat lainnya masuk kembali ke dalam ruang bersalin dan menutup pintunya dari dalam. "Bapak mau temani istrinya?" Aku mengangguk yakin. Menggosok punggung Frisca untuk membantu mengurangi rasa sakitnya, sambil menunggu bidan yang sedang mempersiapkan peralatan persalinan. "Sakit banget ya, Fris?" tanyaku, saat melihat Frisca kembali meringis pelan. Sikapnya sangat tenang. Terus berusaha mengatur napas dengan sesekali meringis saat kontraksinya semakin kuat. Jauh lebih tenang dari aku yang sejak tadi tidak bisa menahan panik. Dan kini aku paham, mengapa surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Karena pengorbanan seorang ibu memang bukan hal yang sepele. Dari sejak awal kehamilan, apa saja sudah Frisca rasakan. Mual hingga muntah-muntah sudah



bukan hal yang aneh lagi. Bahkan, pada kehamilan anak ketiga ini, Frisca mengalami bintik-bintik pada bagian punggungnya. Seperti biang keringat pada kulit bayi. Dan membuatku harus rela terganggu waktu tidur setiap malam karena Frisca selalu memintaku menggosoki punggungnya setiap malam. Namun, aku ikhlas melakukan semuanya. Termasuk saat ini, ketika tanganku harus rela menjadi alat untuk menyalurkan rasa sakitnya. "Ibu boleh terlentang sekarang. Jangan dulu ngeden sebelum saya intruksikan, ya." Dan dengan bantuan dari bidan serta beberapa perawat yang bertugas malam itu, Frisca berhasil melahirkan anak ketiga kami. Seorang anak lelaki tampan, dengan berat 3560 gram, dan panjang 51 sentimeter. Jauh lebih besar dari Omar dan Jani. Dan aku turut menitikan air mata saat bidan menaruh bayi kecil itu di atas dada sang ibu. Melakukan proses Inisiasi Menyusui Dini sebagai stimulasi awal menyusui untuk bayi yang baru dilahirkan.



Aku mengusap rambut Frisca dan mencium keningnya sebagai ungkapan rasa terima kasih. "Akhirnya ... kamu berhasil juga melahirkan normal." Frisca tersenyum lemah. "Lemes, Bar. Capek banget. Tapi lihat bayinya jadi hilang semua sakitnya." Aku kembali mencium keningnya. "Makasih, ya." Pukul enam pagi, saat Frisca sedang beristirahat dan bayi kami sedang diobervasi lebih dulu. Aku menyempatkan waktu pulang ke rumah untuk mengantar anak-anakku ke sekolah. Terdengar teriakan Jani dari dalam rumah saat aku baru saja tiba. "Kenapa, Kak?" tanyaku, menghampiri Jani dan Omar di kamarnya. Dengan Mbak Jijah yang sedang menengahi mereka. "Papa, pensil warnanya Asha patah sama Abang." Aku menekuk kaki, dan mensejajarkan tubuhku dengan Jani. "Ini pensil warnanya siapa?" "Punya Asha." "Kenapa pensil warnanya Asha ada sama Kakak? Bukannya Kakak udah punya pensil warna sendiri?"



"Tapi Kakak mau yang ada gambar Elsa. Punya Kakak nggak ada gambar Elsa-nya, Pah." Aku mengerutkan dahi. Menengok pada Mbak Jijah yang sedang berdiri di depan pintu. "Elsa itu apaan, sih, Mbak?" tanyaku. "Queen Elsa itu yang ada di film Frozen, Mas. Kesukaannya Kakak Jani kalau lagi nonton." Aku menghela napas. Kembali menatap Jani. "Ya udah, nanti Papa beliin yang ada gambar Elsa-nya. Tapi yang ini Kakak kembalikan sama Asha, ya." Dan kini, perhatianku teralih pada Omar. "Abang juga jangan lupa nanti minta maaf sama Asha. Bilang, pensil warnanya Asha patah sama Abang. Ngerti?" Omar mengangguk patuh. "Ya udah. Mandi sekarang, ya. Nanti Papa antar kalian ke sekolah." "Mama mana, Pah?" tanya Jani. "Mama ada di rumah sakit. Dedek bayinya udah lahir. Abang sama Kakak sekarang sekolah dulu. Nanti pulang dari sekolah, Papa jemput kalian. Kita lihat dedek bayinya sama-sama, ya."



Omar dan Jani terlihat terkejut saat mendengar ucapanku. "Dedek bayi yang ada di perut Mama udah lahir? Cantik nggak, Pah?" tanya Jani dengan penuh semangat. Aku terkekeh dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Nggak cantik, Sayang. Dedek bayinya laki-laki. Ganteng kayak Abang Omar." Omar berjingkrak-jingkrak senang. "Yeaayy, Abang punya temen. Kasian Jani nggak ada temennya." Jani cemberut mendengar ucapan Omar. "Kenapa dedek bayinya bukan perempuan, Pah? Kalau perempuan, mau Kakak kasih nama Elsa buat dedek bayinya." "Lebih bagus kalau dedek bayinya laki-laki, Kakak jadi anak Papa paling cantik. Iya, kan?" "Nggak mau!" seru Jani. Berbalik dan duduk di atas tempat tidurnya. "Ya udah, Kakak nggak mau sekolah." Aku saling berpandangan dengan Omar. "Abang mandi duluan aja, ya. Nanti kalau mau sabunan, panggil Papa." Omar menurut. Melangkah memasuki kamar mandi dengan patuh.



Dan kini, giliran anak perempuanku yang menuruni sifat ibunya. Manja dan gampang sekali ngambek. Aku menghampiri Jani dan duduk di sampingnya. "Kakak kok gitu, sih? Kakak kan anak pinter." "Kakak maunya dedek bayi perempuan, Pah. Terus, nanti Kakak kasih nama Elsa." "Iya, nanti Papa bikinin lagi deh, dedek bayi perempuan buat Kakak. Tapi sekarang Kakak siap-siap sekolah dulu. Udah jam tujuh, Kakak masuknya jam setengah delapan, kan?" "Tapi beli mainan!" Aku berdecak. "Mainan apa lagi, Kak? Mainan Kakak itu udah banyak." "Mainan boneka-bonekaan yang bisa nangis. Yang rambutnya panjang. Terus, nanti Kakak kasih nama Elsa." Aku menggelengkan kepala. "Nggak!" ucapku dengan tegas. Tak ingin membiasakan anakku membujuknya dengan iming-iming sebuah hadiah. "Papa nggak mau beliin mainan buat Kakak. Kakak aja nggak mau nurut sama Papa."



Jani menekuk wajahnya. Semakin cemberut saat mendapat penolakkan dariku. "Mau nurut nggak sama Papa?" Terlihat matanya sudah mulai berkaca-kaca. Namun sedetik kemudian, Jani berdiri dan berjalan keluar kamar sambil menyeka air matanya. "BUDE JIJAAAHHH. KAKAK MAU DIMANDIIN SAMA BUDEEE! PAPANYA NAKAAALL!" Yeah, seperti itulah keadaan rumah setiap harinya. Penuh dengan kehebohan. Hal kecil pun bisa menjadi besar jika sudah diributkan oleh Jani dan Omar. Ada hal-hal yang harus keras untuk kujaga, dan itulah mereka. Istri, serta ketiga anak-anakku. Satu hal yang aku yakini, ketika aku ingin bahagia, maka aku harus membuat tujuan yang dapat mengendalikan pikiran, melepaskan semua hal negatif dari dalam tubuh, serta selalu berusaha untuk menikmati setiap proses. *** "Apa kabar semuanya?" sapaku, saat berada di depan ratusan peserta seminar kewirausahaan di gedung Sasana Budaya Ganesa, Bandung.



"Senang sekali, melihat anak-anak muda di sini punya semangat yang luar biasa. Oke, karena waktu saya singkat, saya langsung mulai saja dengan perkenalan. Nama saya Barga Anggara. Umur saya saat ini 26 tahun. Saya seorang ayah dari tiga orang anak. Dan baru saja tadi malam, istri saya melahirkan anak ketiga kami. Sebuah pencapaian yang luar biasa di usia yang ke-26 ini. "Dan sebuah kehormatan bagi saya, dapat diberi kesempatan berdiri di sini, di depan teman-teman semuanya untuk berbagi sedikit pengalaman hidup saya saat memulai usaha Bajigur Machiato ini. "Jadi, ide saya ini berawal karena kejenuhan saya dengan kuliner di negara kita yang sudah terlalu didominasi oleh makanan dan minuman dari luar. Sedangkan, negara kita sendiri punya makanan dan minuman khas daerah dalam negeri yang tidak kalah enak dengan kuliner luar negeri. "Salah satunya cendol. Kalian pasti nggak tau, bahwa cendol kita itu sudah termasuk dalam lima puluh minuman terenak sedunia versi CNNgo. Yang lainnya ada juga es kelapa muda. Dan dari situlah, akhirnya muncul ide di



kepala saya, untuk meningkatkan popularitas bajigur dan juga cingcau. Karena officially, saya asli orang Sunda. Dan kedua minuman itu khas daerah saya. Dan dari ide isengiseng itulah, akhirnya saya bisa berdiri di sini. Sebagai salah satu narasumber dari seminar kewirausahaan ini. "Well, menurut kalian, apa sih modal awal untuk berwirausaha? Jawabannya simple. Hanya sebuah kemauan. Itu aja dulu. Karena dari kemauan ini, perlahan muncul sebuah tekad. Dan tekad ini yang akhirnya membawa kita untuk belajar lebih jauh, mencari tahu lebih banyak tentang kewirausahaan. Menemukan ide-ide mengejutkan yang sebelumnya tidak terpikir sama sekali di kepala kita. Setelah itu, ada sebuah proses. Dan proses ini hal yang paling menarik untuk diceritakan." Mengambil jeda sejenak, aku membawa kursi yang kududuki dan memindahkannya hingga di ujung stage agar lebih dekat dengan audience. "Saya, dulu hanya seorang mahasiswa Teknik Electro. Siangnya kuliah, dan malamnya kerja sebagai kasir minimarket. Hari Sabtu dan Minggu, dimana teman-teman saya memanfaatkan hari liburnya untuk hangout, tapi saya



memilih untuk bekerja sebagai tukang cuci piring di hotel. Hingga akhirnya saya berpikir, kalau saya seperti ini terus ... kapan waktu saya untuk kumpul dengan keluarga? Menikmati quality time dengan istri dan anak-anak saya? Dan karena hal itu pula yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk membuka usaha ini. Hingga sampai saat ini, sudah ada 312 cabang outlet waralaba yang sudah tersebar di seluruh Indonesia. Dengan penghasilan bersih mencapai satu miliyar dalam setahun. Maaf, ya. Saya bukannya mau sombong, hanya ingin sedikit pamer aja." Aku tertawa konyol. "Dalam sebuah bisnis, jatuh bangun itu adalah hal yang lumrah. Begitupun hal yang saya rasakan. Banyak sekali kerikil serta lubang besar yang menghalangi jalan saya untuk sampai puncak. Namun, dari situlah saya belajar tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Kerja keras dan konsistensi yang menjadi pengiring langkah saya untuk tiba di garis finish. "Selain itu, lingkungan sedikit banyaknya mempengaruhi akan menjadi apa kita nantinya. Dan saya pribadi sangat berterima kasih kepada ayah saya yang sudah



mendidik saya dengan keras sejak kecil. Membentuk pribadi saya menjadi seorang anak laki-laki yang tahan banting, dan selalu mengingatkan saya untuk selalu konsisten dengan apa yang sedang saya kerjakan saat itu. "Selain orang tua saya, ada juga istri dan anak-anak saya. Mereka alasan saya jatuh bangun hidup dan berjuang. Senyum mereka adalah maha tujuan saya berusaha. Sampai istri saya pernah bilang, bahwa saya ini seorang brengsek, keras kepala, yang sedikit pun tidak pernah mundur untuk membuat mereka bahagia. Karena saya paham, sebaikbaiknya rumah, adalah kebahagiaan di tengah senyuman keluarga." Aku kembali tersenyum saat mengingat wajah Frisca, Omar, Jani, serta bayi kecil yang belum kuberi nama. "Mereka yang membuat saya terus berlari kencang saat yang lain berjalan. Memaksa saya untuk melakukan sesuatu yang belum orang lain lakukan. Memikirkan apa yang belum sempat orang pikirkan. Dan berani melompat tinggi, saat yang lain hanya duduk dengan santai. Hingga pada akhirnya, mereka yang membuat saya tersenyum saat yang lain belum. Jika bahagia adalah pilihan, maka berjuang



adalah



kewajiban!"



*end* Alhamdulillah... akhirnya sampai juga kita di extra part. Maaf yaa kalau endingnya kurang memuaskan. Makasih yang udah ikut berpartisipasi dalam readers voice kemarin. Aku sampai ngakak2 sendiri baca review kalian tentang watak dari tokoh dari cerita EPH ini. Dan semua penilaian itu akan aku pakai untuk bantuan ngedit cerita ini sebelum aku repost lagi. Makasih juga buat al-al12, verbacrania, azizale22, kincirmainan, Vicantika yang udah membantai ceritaku habis-habisan di grup kemarin. Maaf yaa kalo aku sempet baper. Tapi karena kalian juga, aku jadi tahu di mana aja letak kesalahan dalam ceritaku ini. Dan tauu nggak seehh... setelah aku unpublish part awal dan aku hilangin tag maturenya, EPH ada di rank #14 in romance. Uluuhhh langsung joged kayang akika, cyiin. Kecup basah buat kalian semuanya.



Sekali lagi makasiihhh yaa semuanya. Sampai jumpa lagi dengan ceritaku selanjutnya. Lambai cantik dari Papa Barga dan Mama Frisca.