Ester Asam Lemak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS 2 METODOLOGI PENELITIAN : DESAIN DAN ANALISA LITERATUR REVIEW RUMUSAN MASALAH :



Uji Aktivitas Antimikroba dan Emulsifier Senyawa Hasil Reaksi Transesterifikasi & Interesterifikasi Asam Lemak Minyak Jarak Teroksidasi dengan Enzim Lipase Candida rugosa



Disusun Oleh: Farras Syuja 2006491752



Program Studi Magister Ilmu Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia 2020



OUTLINE 2.1 Asam Risinoleat



2.1.1 Karakteristik Asam risinoleat 2.1.2 Asal Asam Risinoleat 2.1.3 Produksi Asam Risinoleat dari Minyak Jarak Kepyar (dengan Hidrolisis) 2.1.4 Aplikasi dari asam risinoleat dan turunanya



2.2



Oksidasi



Asam 2.2.1 Definisi Oksidasi



Risinoleat



2.2.2 KMnO4 Sebagai Zat Pengoksidasi 2.2.3 Dihidroksilasi pada Asam Risinoleat



2.3 Esterifikasi



2.3.1 Definisi Esterifikasi 2.3.2 Interesterfikasi 2.3.3 Asam Laurat sebagai pelarut yang digunakan dalam reaksi interesterfikasi 2.3.4 Transesterfikasi 2.3.5 Alkohol (1-Butanol) sebagai pelarut yang digunakan dalam transesterifikasi



2.4 Enzim



2.4.1 Definisi enzim 2.4.2 Struktur enzim 2.4.3 Teori Enzim berdasarkan cara kerja 2.4.4 Klasifikasi Enzim 2.4.5 Aktifitas Enzim



2.5 Enzim Lipase Candida 2.5.1 Enzim Lipase dan fungsinya rugosa



2.5.2 Enzim Lipase dalam proses esterifikasi 2.5.3 Enzim Lipase Candida rugosa



2.6. Senyawa Antimikroba



2.6.1 Definisi antimikroba 2.6.2 Metode antimikroba 2.6.3 Mekanisme Kerja Senyawa Antimikroba



2.7. Mikroorganisme Uji



2.7.1 Propionibacterium acnes 2.7.2 Staphylococcus epidermidis



2.8. Emulsifier



2.8.1 Emulsi 2.8.2 Jenis emulsi: Minyak dalam air, atau air dalam minyak 2.8.3 Senyawa emulsifier dan strukturnya



Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Asam Risinoleat 2.1.1 Karakteristik Asam risinoleat Asam risinoleat atau asam 12-hidroksioktadek-9c-enoat [C18:1(9),(12-OH)] tersusun dari 18 atom karbon alifatik, gugus karbonil, satu ikatan rangkap diantara karbon nomor 9 dan 10, serta gugus hidroksil pada urutan atom karbon ke 12 Gugus hidroksil yang berada pada posisi atom C12 mengakibatkan asam risinoleat bersifat lebih polar dibandingkan dengan asam lemak lainnya (Naik et al., 2018). Sifat hidrofobik dari asam risinoleat dapat meningkatkan nilai kapasitas enkapsulasi obat dari suatu polimer untuk waktu yang lebih lama dan akan bertindak sebagai drug carrier. Keberadaan ikatan rangkap tunggal (cis) diantara karbon nomor 9 dan karbon nomor 10 dapat menjadi lokasi yang potensial untuk modifikasi senyawa lebih lanjut seperti crosslingking, grafting, oksidasi dan lain sebagainya (Rajalakshmi et al., 2019). Asam Risinoleat digunakan secara luas karena asam lemak hidroksi ini memiliki atom karbon yang berada pada konfigurasi R dan gugus OH-nya berada dalam posisi homoallylic, yang merupakan suatu alasan untuk beberapa transformasi kimia dan biokimia multidireksionalnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aktivitas biologis dari senyawa kiral sangat bergantung pada konfigurasi molekulnya. Asam lemak hidroksi enansiopure {(R)-asam risinoleat}, dapat mempelajari dampaknya pada organinisme membran lipid (Kula et al., 2014). Asam risinoleat memiliki viskositas yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen antara molekul yang terbentuk dari gugus karboksil (-COOH) dan gugus hidroksil (-OH). Untuk lebih jelasnya, sifat fisika dan kimia dari asam risinoleat dapat dilihat pada tabel 2.1 dan struktur asam risinoleat dapat dilihat pada gambar 2.1



Gambar 2. 1 Struktur asam risinoleat (Sumber gambar: dibuat pribadi menggunakan corel draw)



Tabel 2. 1 Struktur Fisika dan Kimia Asam Risinoleat (Sumber: U.S National Library Of Medicine)



Molecular Formula



C18H34O3



Berat Molekul



298.5 g/mol



Viskositas



400 cSt



Bentuk Fisik



Cairan Kental



Warna



Kuning



Bau



Pekat dan Menyengat



CAS Number



141-22-0



Titik Didih (oC)



245 C



Titik Lebur (oC)



5,5 C



Densitas



0,940 g/ml



2.1.2 Asal Asam Risinoleat Asam risinoleat merupakan asam lemak terbesar yang terkandung dalam minyak jarak sekitar 89%. Kandungan asam lemak lainnya yang terdapat dalam minyak jarak adalah asam oleat, asam linoleat, asam palmitat dan asam stearate. Komposisi asam lemak penyusun minyak jarak beserta kadarnya dipengaruhi oleh kondisi tempat tanaman jarak tumbuh (Jena & Gupta, 2012). Tekstur dan warna dari asam risinoleat dan minyak jarak kepyar terdapat dalam gambar 2.2



Gambar 2.2 Asam risinoleat dan Minyak Jarak Kepyar



Minyak jarak tersebut merupakan bagian dari tanaman jarak kepyar (Ricinus communis L.) yang merupakan salah satu tanaman terpenting di negara berkembang dikarenakan kegunaan yang sangat beragam di bidang industri. Minyak jarak kepyar ini sebagian besar dibudidayakan di Afrika, Amerika Selatan, dan India. Negara-negara penghasil minyak jarak utama berasal dari Brasil, Cina, dan India (Patel et al., 2016). Minyak jarak memiliki karakteristik yang unik salah satunya stabilitas oksidatif yang tinggi sehingga dapat memperpanjang masa penyimpanan minyak dengan mencegah pembentukan peroksida dibandingkan dengan minyak nabati lainnya (Alves et al., 2017). Untuk lebih jelasnya, sifat fisika dan kimia dari asam risinoleat dapat dilihat pada tabel 2.2 dan permintaan akan minyak jarak dari tahun ke tahun terdapat dalam gambar 2.3



Gambar 2.3 Permintaan minyak jarak sumber Sumber: (Patel et al., 2016)



Tabel 2. 2 Struktur Fisika dan Kimia dari Minyak Jarak Sumber : (Patel et al., 2016) Viskositas (Centistokes)



889,3



Warna dan tekstur



Kuning dan Kental



Bau



Menyengat



Densitas (g/mL)



0,959



Konduktivitas termal (W/moC)



4,727



Panas spesifik (kJ/kg/K)



0,089



Titik nyala (oC)



145



Titik tuang (oC)



2,7



Titik leleh (oC)



-2 sampai -5



Indeks refraksi



1,480



Minyak jarak kepyar juga memiliki kandungan asam lemak essensial yang sangat rendah yang berbeda dengan minyak nabati lainnya sehingga bersifat racun bagi tubuh, dan tidak dapat digunakan sebagai minyak pangan. Minyak jarak kepyar dapat dibedakan dengan trigliserida lainnya karena faktor densitas, viskositas, dan kelarutan dalam alkohol yang tinggi. Minyak jarak mempunyai ikatan rangkap dan juga gugus OH sehingga minyaknya lebih kental (Ketaren, 2008). Didalam minyak jarak terdapat 2 tipe protein yang secara permanen menonaktifkan ribosom seperti risin dan lektin, sehingga menghentikan sintesis protein dan akhirnya menyebabkan kematian sel. Ini membuat minyak jarak menjadi racun Ketika dikonsumsi oleh tubuh manusia (Patel et al., 2016) 2.1.3 Produksi Asam Risinoleat dari Minyak Jarak Kepyar (dengan Hidrolisis) Asam risinoleat diperoleh dari reaksi hidrolisis trigliserida (minyak jarak kepyar Ricinnus communis L). Hidrolisis merupakan proses pembuatan asam lemak melalui pemecahan molekul minyak dengan penambahan air. Secara umum hidrolisis merupakan reaksi pemutusan ikatan menggunakan air. Ikatan ester dapat dihidrolisis dengan keberadaan asam atau basa membentuk asam karboksilat atau anion karboksilat (Atkins, 2006). Persamaan umum reaksi hidrolisis terdapat dalam Gambar 2.4.



Gambar 2. 4 Persamaan umum reaksi hidrolisis (Sumber Gambar: dibuat pribadi menggunakan corel draw) Reaksi hidrolisis minyak umumnya dilakukan dengan larutan basa. Penggunaan larutan basa akan menghasilkan asam lemak (asam risinoleat) yang lebih banyak dibandingkan menggunakan larutan asam, karena reaksi hidrolisis dalam suasana basa bersifat irreversible sedangkan hidrolisis dalam suasana asam bersifat reversible. Selain itu pengunaan larutan basa sebagai katalis dalam proses hidrolisis dapat menghasilkan aktivitas hidrolitik yang tinggi, sehingga reaksi dapat berlangsung dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan pada kondisi asam (Sumangat & Hidayat, 2008). Reaksi hidrolisis minyak dengan larutan asam juga dapat menurunkan energi aktivasi serta menurunkan tegangan permukaan minyak-air sehingga air



mudah masuk ke dalam fase minyak. Reaksi hidrolisis dengan larutan basa merupakan reaksi eksotermis, sehingga pada saat penambahan larutan tersebut harus dilakukan sedikit demi sedikit, diaduk dan mengontrol suhu agar tetap stabil (Ramadhan, 2010). Pada proses hidrolisis dengan larutan basa, mula-mula terbentuk gliserol dan anion karboksilat. Selanjutnya, anion karboksilat akan bereaksi dan membentuk garam-garam asam lemak, yang dikenal dengan sabun (Smith, 2011). Persamaan umum reaksi hidrolisis basa (saponifikasi) terdapat dalam gambar 2.5



Gambar 2. 5 Persamaan umum reaksi hidrolisis basa (saponifikasi) (Sumber gambar: dibuat pribadi menggunakan corel draw) Untuk memperoleh asam lemak bebas dari sabun (garam-garam asam lemak) yang dihasilkan pada tahap sebelumnya, dilakukan reaksi netralisasi dengan asam kuat berlebih, salah satunya HCl. HCl bertindak sebagai penyumbang kation hidrogen yang kemudian akan ditangkap oleh anion alkanoat dari sabun sehingga dapat membentuk asam lemak serta garam. Lalu dilakukan pemisahan antara asam lemak dengan garamnya (Ramadhan, 2010). Persamaan umum reaksi netralisasi terdapat dalam Gambar 2.6.



Gambar 2. 6 Persamaan umum reaksi netralisasi (Sumber gambar: dibuat pribadi dengan corel draw) Kondisi reaksi hidrolisis minyak jarak relatif lebih mudah dibandingkan dengan hidrolisis minyak jenis lainnya yang memerlukan reaksi bertekanan tinggi dengan suhu tinggi. Namun proses



hidrolisis menggunakan basa (saponifikasi) pada akhir reaksi akan menghasilkan produk samping (garam) dalam jumlah besar dan sulit untuk dipisahkan. Hidrolisis minyak menggunakan enzim merupakan alternatif dari produksi asam lemak risinoleat. Hydrolisis menggunakan katalis enzim beroperasi pada suhu sedang (sekitar 35–40 ◦C) dan akan menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih baik. Namun, kelemahan utama dari proses hydrolysis menggunnakan katalis enzim adalah kecepatan reaksi yang lambat dan biaya enzim yang lebih tinggi. Karena, reaksi enzimatik terlalu lambat dan membutuhkan energi dalam jangka waktu yang lama, menyebabkan keseluruhan biaya yang terakumulasi dalam pemanfaatan sejumlah besar reaksi akan lebih tinggi. Sehingaa hidrolisis dengan proses enzimatik kurang sesuai untuk lingkungan industry (Rathod & Pandit, 2009). 2.1.4 Aplikasi dari asam risinoleat dan turunanya Asam risinoleat merupakan salah satu senyawa yang memiki peranan penting dalam industri oleokimia. Asam risinoleat merupakan senyawa yang sangat reaktif dikarenakan memiliki beberapa gugus fungsi yang mudah bereaksi. Gugus fungsi yang mengalami berbagai macam reaksi pada asam risinoleat yaitu gugus karboksil, gugus hidroksil, dan ikatan rangkap dua (Matysiak et al., 2018). Gugus karboksil dari asam risinoleat dapat mengalami reaksi hidrolisis, saponifikasi, alkoholisis, esterifikasi, dll. Pada ikatan rangkap duanya diantara C9 dan C10 dapat terjadi reaksi oksidasi, adisi, halogenasi, sulfonasi, dll. Gugus hidroksilnya antara lain reaksi dehidrasi, alkoksilasi, esterifikasi, halogenasi, dll (Ogunniyi, 2006). Penggunaan asam risinoleat lebih banyak dilakukan melalui senyawa-senyawa turunannya dibandingkan dengan penggunaan secara langsung, hal ini dikarenakan asam risinoleat memiliki gugus fungsi yang dapat bereaksi dengan senyawa lainnya. Senyawa-senyawa turunan asam risinoleat dapat digunakan dalam industri sebagai surface-active agents, plasticizer, dan bahan bahan kimia seperti sebacic acid, methyl n-hexyl ketone, dan heptanal (“Kirk‐Othmer Encycl. Chem. Technol.,” 2000). Produk hidrogenasi asam risinoleat dan esternya dapat digunakan sebagai bahan kosmetik, obat salep, lilin sintetik, maupun agen anti jamur. Produk ester asam risinoleat dengan alkohol dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan surfaktan. Selain itu, reaksi esterifikasi asam risinoleat dengan gliserol juga akan menghasilkan monorisinoleat yang dapat digunakan sebagai bahan emulsifier (Ramadhan, 2010).



Turunan asam risinoleat dikenal efektif dalam menghambat pertumbuhan berbagai jenis virus, bakteri, khamir, dan jamur. Senyawa ini memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif di antaranya S.aureus, B.subtilis, dan E.coli, meskipun aktivitasnya terhadap bakteri gram negatif lebih kecil dibandingkan terhadap bakteri Gram positif (Narasimhan, Mourya, and Dhake, 2007). Turunan asam risinoleat juga berperan sebagai agen antimikroba terhadap bakteri Eschericia coli, Bacillus subtilis, Aspergillus brasiliensis, Penicillium expansum, & Staphylococcus aureus. Untuk aplikasi lainnya dari asam risinoleat dan turunannya dapat dilihat pada gambar 2.7 (Johnson, 2007)



Gambar 2.7 Aplikasi lainnya dari asam risinoleat dan turunannya Sumber gambar : (Johnson, 2007).



2.2 Oksidasi Asam Risinoleat 2.2.1 Definisi Oksidasi Reaksi oksidasi merupakan reaksi pelepasan elektron atau peningkatan bilangan oksidasi. Reaksi oksidasi terjadi bersamaan dengan reaksi reduksi, sehingga dinamakan dengan reaksi redoks. Berkebalikan dengan reaksi oksidasi, reaksi reduksi merupakan reaksi penangkapan elektron atau penurunan bilangan oksidasi. Zat yang dapat melepas atau memberikan elektron disebut dengan oksidator, sedangkan zat yang menerima elektron disebut dengan reduktor.



Asam lemak jenuh bersifat stabil dibandingkan dengan asam lemak tak jenuh. Ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen melalui proses oksidasi. Asam lemak tak jenuh semakin reaktif terhadap oksidasi dengan bertambahnya ikatan rangkap pada rantai molekul (Tuminah, 2009). 2.2.2 KmnO4 Sebagai Zat Pengoksidasi Ada dua kategori utama oksidator (zat pengoksidasi) ada reagen yang mengandung ikatan oksigen-oksigen dan reagen yang mengandung ikatan logam oksigen. Oksidator yg mengandung ikatan O-O termasuk O3 (ozon), H2O2 (hydrogen peroksida), dan asam peroksida. Oksidator yang paling umum dengan ikatan logam oksigen mengandung kromium dengan enam ikatan Cr-O atau mangan dengan ikatan tujuh Mn-O. Reagen Mn+7 yang paling umum adalah KmnO4 (kalium permanganat) (Smith, 2011). Oksidator yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah KmnO4, karena KmnO4 bersifat lebih ramah lingkungan (Dash et al., 2009). Senyawa alkena dapat dioksidasi dengan menggunakan kalium permanganat (KmnO4). Dalam suasana basa, KMnO4 yang awalnya berwarna ungu akan membentuk endapan mangan oksida (MnO2) berwarna cokelat. Sedangkan dalam suasana asam, KMnO4 akan membentuk Mn2+ yang tidak berwarna. Selain dengan KMnO4, oksidasi alkena untuk membentuk diol juga dapat dilakukan dengan OsO4. (https://chem.libretext). Keberhasilan reaksi oksidasi menggunakan permanganat bergantung dengan pH larutan KMnO4 yang digunakan. Dalam suasana sangat asam, ion permanganate akan tereduksi menjadi ion Mn2+ yang tidak berwarna. Dalam suasana sedikit asam, netral, atau sedikit basa ion permanganat akan tereduksi menjadi MnO2 berupa endapan coklat. Dalam suasana sangat basa, ion permanganat akan tereduksi menjadi ion manganat yang ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi hijau tua. (Dash et al., 2009) 2.2.3 Dihidroksilasi pada Asam Risinoleat Salah satu jenis reaksi oksidasi adalah reaksi dihidroksilasi. Dihidroksilasi adalah reaksi oksidasi melalui penambahan dua gugus hidroksil ke dalam ikatan rangkap, membentuk 1,2-diol atau glikol. Berdasarkan pada agen pereaksinya, dua gugus -OH dapat ditambahkan ke sisi yang berlawanan (anti adisi) atau sisi yang sama (syn adisi) dari ikatan rangkap (Smith, 2011). Saat reaksi oksidasi berlangsung, warna larutan lama-kelaman berubah menjadi coklat yang menandakan terbentuknya MnO2. Dalam kondisi sangat basa, MnO2 bersifat stabil dan tidak ikut



mereduksi karbon ikatan rangkap dua (Dash et al., 2009). Posisi penambahan dua gugus –OH pada asam risinoleat dapat dilihat pada Gambar 2.8.



Gambar 2.8 Oksidasi Asam Risinoleat menggunakan KMnO4 (Sumber gambar: dibuat pribadi dengan corel draw) Dihidroksilasi langsung dengan permanganat dapat berhasil dengan jumlah stoikiometrik tertentu. Permanganat merupakan zat pengoksidasi kuat yang dapat memecah glikol melalui oksidasi lebih lanjut pada kondisi asam dan suhu tinggi, namun dalam kondisi basa dan suhu dingin glikol yang terbentuk tidak teroksidasi lebih lanjut (Dash et al., 2009). 2.3 Esterifikasi 2.3.1 Definisi Esterifikasi Esterfikasi merupakan proses pembentukan senyawa ester dari hasil reaksi antara asam karboksilat dengan alkohol. Reaksi ini juga sering disebut esterifikasi fischer. Reaksi esterifikasi biasanya dibantu dengan katalis asam. Persamaan umum reaksi esterifikasi terdapat dalam gambar 2.9.



Gambar 2.9 Persamaan umum esterifikasi



Katalis asam yang umum digunakan pada esterifikasi fischer adalah asam sulfat, asam tosilat, dan asam lewis. Penggunaan katalis asam bertujuan untuk mempercepat laju esterifikasi. Manfaat lain dari penggunaan katalis asam dalam reaksi esterifikasi ialah menjadikan karbon karbonil lebih elektrofilik sehingga mengalami serangan nukleofilik dari alkohol dan protanasi gugus hidroksil membentuk air pada tahap eliminasi (Smith, 2011). 2.3.2 Interesterfikasi Interesterifikasi adalah reaksi perubahan ester trigliserida atau ester asam lemak menjadi ester lain melalui reaksi dengan alkohol, asam lemak, dan transesterifikasi. Interesterifikasi kimiawi trigliserida merupakan suatu alternatif yang baik dibandingkan dengan reaksi transesterifikasi, karena ia menghasilkan suatu senyawa bernilai tambah yaitu triacetin yang merupakan produk sampingan dari reaksi interesterifikasi. Interesterifikasi merupakan proses pertukaran molekul asam lemak atau penataan kembali asam lemak dalam TAG yang sama maupun dari TAG yang berbeda dan akan menghasilkan suatu produk berupa lipid terstruktur dengan sifat fisika-kimia dan nutrisi yang telah dimodifikasi. Reaksi ini hanya dapat terjadi apabila terdapat katalis. Reaksi interesterifikasi ini dapat dilakukan dengan katalis kimia seperti NaOCH atau dengan katalis enzim seperti lipase dan papain. (Dhawan et al., 2020). Reaksi Interesterifikasi dapat dilakukan baik secara kimiawi maupun enzimatis. Interesterifikasi enzimatik dengan katalis lipase menawarkan lebih banyak keuntungan seperti selektivitas tinggi, kondisi reaksi yang lebih ringan, menghasilkan lebih sedikit produk samping, dan pemurnian produk yang lebih mudah dibandingkan dengan interesterifikasi kimiawi. Penggunaan interesterifikasi enzimatik juga menawarkan beberapa manfaat lingkungan seperti penghapusan penggunaan bahan kimia yang berpotensi sebagai racun sehingga akan mengurangi adanya limbah hasil produksi. Selain itu, proses enzimatis dari reaksi interesterifikasi membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan mengurangi asupan lemak trans dengan mengganti minyak nabati yang terhidrogenasi dengan minyak terinteresterifikasi dan meningkatkan konsumsi PUFA dan asam lemak lainnya dengan sifat fungsional. Namun di setiap kelebihan pastinya memiliki kekurangan. Kekurangan dari reaksi interesterifikasi enzimatis adalah memerlukan biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan secara kimiawi (Sivakanthan & Madhujith, 2020).



2.3.3 Asam Laurat sebagai pelarut yang digunakan dalam reaksi interesterfikasi Asam lemak yang digunakan dalam reaksi interesterifikasi adalah asam laurat. Asam laurat atau asam dodekanoat adalah asam lemak jenuh dengan rantai sedang yang tersusun dari 12 atom C. Sumber utama asam lemak ini adalah minyak kelapa, yang dapat mengandung 50% asam laurat. Sumber lain adalah susu sapi. Struktur dari asam laurat dapat dilihat pada gambar 2.10 dan karakteristik dari asam laurat dapat dilihat pada tabel 2.3



Gambar 2.10 Struktur Asam laurat (Sumber gambar : https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Lauric-acid)



Tabel 2.3 Sifat fisika dan kimia dari asam laurat (Sumber tabel : https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Lauric-acid) Parameter



Keterangan



Warna dan Bau



Tidak Berwarna dan berbau



Wujud



Serbuk



Nama IUPAC



dodecanoic acid



Nomor CAS



143-07-7



Rumus Molekul



C12H24O2



Berat Molekul



200.32 g/mol



Titik Didih



298.9 °C



Titik Beku



111 °F



Densitas



0.883 g/ml



Tekanan Uap



1.60e-05 mmHg



Kelarutan dalam air



Larut (4.81 mg/L)



2.3.4 Transesterfikasi Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi sintesis ester menggunakan rute alkohol. Transesterifikasi dapat dikatakan sebagai tahap konversi dari senyawa trigliserida menjadi alkil ester melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping gliserol. Diantara alkoholalkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis) (Smith, 2011). Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi bolak balik yang relatif lambat. Untuk mempercepat jalannya reaksi dan meningkatkan hasil, proses dilakukan dengan pengadukan yang baik, penambahan katalis dan pemberian reaktan berlebih agar reaksi bergeser ke kanan. Pemilihan katalis dilakukan berdasarkan kemudahan penanganan dan pemisahannya dari produk. Untuk itu dapat digunakan katalis asam basa dan enzimatis dalam reaksi transesterifikasi (Groggins, 1958). 2.3.5 Alkohol (1-Butanol) sebagai pelarut yang digunakan dalam transesterifikasi Alkohol merupakan suatu senyawa yang memiliki gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon jenuh. Rumus molekul dari alkohol ialah ROH, dimana R merupakan alkil tersubtitusi. Alkohol mempunyai persamaan geometris dengan air, sudut ikatan –R-O-H mendekati nilai tetrahedral dan atom oksigen terhibridasi sp3. Alkohol merupakan salah satu bahan baku yang paling dibutuhkan dalam kimia hidrokarbon, memiliki harga yang terjangkau, dan mudah didapatkan (Smith, 2011). Alkohol yang akan digunakan dalam reaksi transesterifikasi adalah 1 butanol yang merupakan salah satu senyawa alkohol yang memiliki rumus molekul C4H9OH. 1butanol merupakan senyawa organik yang banyak dibutuhkan oleh berebagai industri dan digunakan sebagai solven dalam sintesis organik. Struktur dari asam laurat dapat dilihat pada gambar 2.11 dan karakteristik dari asam laurat dapat dilihat pada tabel 2.4



Gambar 2.11 Struktur 1-butanol (Sumber gambar : dibuat pribadi menggunakan corel draw)



Tabel 2. 4 Sifat fisika dan kimia dari 1-butanol (Sumber: https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/1-butanol) Parameter



Keterangan



Warna dan Bau



Tidak Berwarna namun berbau



Wujud



Cairan



Nomor CAS



71-36-3



Rumus Molekul



C4H9OH



Berat Molekul



74 gr/mol



Titik Didih



116 C



Titik Beku



-89 C



Densitas



0,81 g/ml



Tekanan Uap



67 hPa



Kelarutan dalam air



Larut



2.4 Enzim 2.4.1 Definisi enzim Enzim merupakan sekelompok protein yang memiliki peranan sebagai biokatalisator, maksudnya suatu katalisator untuk berbagai macam reaksi kimia pada ruang dan sistem biologi. Enzim dapat mengalami denaturasi diakibatkan oleh pemanasan, gelombang ultrasonik, radiasi ultraviolet, atau penambahan asam, basa dan pelarut organik lainnya. Denaturasi enzim ini menyebabkan suatu enzim menjadi tidak aktif atau tidak dapat bekerja. Berbeda dengan katalisator non protein (H+, OH-, atau ion ion logam) setiap enzim mengkatalisis “sejumlah kecil” reaksi maksudnya sering kali terdapat satu enzim hanya bereaksi dengan satu jenis reaksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa enzim merupakan katalisator yang spesifik. Karena pada umumnya enzim bersifat spesifik terhadap subtrat yang dikatalisis, baik spesifik terhadap gugus fungsi maupun secara stereokimia (Cox & Nelson, 2008). Kelebihan enzim sebagai biokatalisator antara lain mempercepat reaksi kimia tanpa pembentukkan produk samping, produktivitas tinggi, menghasilkan produk akhir yang tidak terkontaminasi, tidak memberikan efek kerusakan lingkungan dan memiliki spesifitas tinggi. (Leuchtenberger, 1991). Spesifisitas enzim merupakan kemampuan untuk mendeskriminasi



subtrat berdasarkan pada perbedaan afinitas untuk mencapai sisi aktif enzim. Enzim mula-mula bekerja dengan mengikat reaktan kemudian mengubahnya menjadi produk antara dan setelah itu melepaskan produk kembali dan terpisah dari enzim. Subtrat diikat pada sisi pengikatan subtrat yang spesifik (sisi aktif) melalui interaksi dengan asam amino yang menyusun enzim tersebut (Boyle, 2005).



Gambar 2.12 Persamaan enzim sederhana Sumber Gambar (lehninger. 2005) 2.4.2 Struktur enzim Enzim dapat disebut juga dengan Holoenzim. Holoenzim terbagi menjadi dua, yaitu apoenzim dan kofaktor. Apoenzim merupakan penyusun utama enzim, dimana bagian enzim aktif yang terdiri atas protein dan bersifat tidak stabil serta mudah berubah. Sehingga dibutuhkan kofaktor untuk menjaga fungsi enzim tetap normal. Kofaktor merupakan suatu komponen berupa molekul yang bersifat nonprotein. Kofaktor terbagi menjadi dua, yaitu molekul organik dan nonorganik. Molekul organik (koenzim) contohnya adalah vitamin. Sedangkan molekul non-organik (ion logam) contohnya adalah Fe2+, Mn2+ (Boyle, 2005). Penjelasan lebih lanjut dari struktur protein dapat dilihat pada gambar 2.13



Gambar 2.13. Struktur Protein (Sumber gambar: (Boyle, 2005)



2.4.3 Teori Enzim berdasarkan cara kerja Teori ini berdasarkan pada kesesuaian bentuk antara enzim dan substrat, sehingga memungkinkan untuk berikatan secara spesifik. Enzim diibaratkan seperti kunci gembok yang memiliki sisi aktif dan substrat sebagai anak kuncinya. Ilmuwan E. Fischer menyatakan hipotesis yang menjelaskan interaksi spesifisitas enzim dan substrat seperti Lock and Key (gembok dan kunci). Spesifisitas terjadi karena hanya S (key) yang sesuai yang dapat dikatalisis E (Lock) dan menghasilkan produk. Hal ini berarti hanya satu substrat yang dapat dikatalisis oleh satu enzim. Struktur E dan S tetap selama pengikatan atau struktur E dan S rigid. Hipotesis lainnya adalah induced-fit model, beberapa enzim cukup fleksibel untuk berubah bentuk dan ukuran. Hanya substrat yang sesuai yang dapat menyebabkan perubahan konformasi yang dibutuhkan untuk katalisis. Ketika substrat menempel pada bagian enzim yang memiliki sifat katalitik (active site) ikatan tersebut akan menginduksi sisi aktif enzim melakukan penyesuaian dengan membentuk suatu kompleks. Kemudian kompleks diubah menjadi produk dan enzim dilepas kembali (Antonio Blanco, G(1) Antonio Blanco, G. B. Enzymes Are Biological Catalysts. Med. Biochem. 2017, 2017)



Gambar 2.14 (a) Teori Lock and Key (b) Teori induced-fit model Sumber Gambar: (Antonio Blanco, G(1) Antonio Blanco, G. B. Enzymes Are Biological Catalysts. Med. Biochem. 2017, 2017)



2.4.4 Klasifikasi Enzim Enzim diklasifikasikan ke dalam 6 kelas utama berdasarkan tipe reaksi yang dikatalisis dan beberapa sub kelas seperti tercantum pada Tabel 2.4 bawah ini. Tabel 2.5 Klasifikasi Enzim (Sumber Tabel: Mc. Murry, John & Castellion, Mary E, 1992 dantelah diolah Kembali) Kelas



Subkelas Oksidase



Oksidoreduktase



Reduktase Dehidrogenase



Transferase



Hidrolase



Liase Isomerase



Ligase



Jenis Reaksi yang dikatalisis -



Oksidasi substrat



-



Reduksi substrat



-



Pelepasan atom hidrogen (H2) sehingga terbentuknya ikatan rangkap



Transaminase



-



Transfer gugus amino antara substrat



Kinase



-



Transfer gugus fosfat antara substrat



Lipase



-



Hidrolisis gugus ester dalam lipid



Protease



-



Hidrolisis gugus amida dalam protein



Nuklease



-



Hidrolisis gugus fosfat dalam lasam nukleat



Dehidrase



-



Kehilangan air



Dekarboksilase



-



Kehilangan karbondioksida



Epimerase



-



Isomerisasi pada pusat kiral substra



-



Pembentukan ikatan baru dengan melibatkan ATP



-



Pembentukan ikatan baru antara substrat dan CO2



Sintetase Karboksilase



dengan melibatkan ATP



2.4.5 Aktifitas Enzim Jumlah enzim dinyatakan dengan unit enzim. Satu unit enzim adalah jumlah enzim yang mampu mengkatalisis 1 mikromol substrat per menit pada kondisi tertentu. Sedangkan kemurnian enzim dinyatakan dalam aktivitas spesifik yaitu jumlah unit aktivitas enzim per miligram protein. Dalam melakukan aktifitasnya sebagai katalis, enzim harus berada pada kondisi yang sesuai yang dibutuhkan dari masing masing enzim. Sehingga nantinya enzim dapat bekerja secara optimal.



Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas katalitis enzim, antara lain temperature, pelarut, pH, dan konsentrasi. (Cox & Nelson, 2008) 2.4.5.1 Efek temperatur pada aktivitas enzim Laju reaksi enzimatik akan meningkat ketika temperatur meningkat karena meningkatnya energi kinetik pada sistem. Dalam batas tertentu, enzim mengkatalisis reaksi mengikuti karakter ini dan kecepatan reaksi biologi menjadi dua kali lipat setiap peningkatan 10°C. Walaupun aktivitas enzim meningkat dengan kenaikan temperatur tetapi ada batas maksimum yang sesuai dengan suhu optimum aktivitas katalitik enzim. Di atas suhu optimumnya, aktivitas enzim akan menurun, bahkan ketika terlalu panas maka enzim akan mulai terdenaturasi (Cox & Nelson, 2008). 2.4.5.2 Efek pelarut pada aktivitas enzim Pelarut memainkan peranan penting terhadap aktivitas enzim. Pelarut enzim terutama air, berperan secara langsung maupun tidak langsung terhadap seluruh interaksi non kovalen seperti ikatan hydrogen, interaksi hidrofobik, dan interaksi elektrostatik yang mempertahankan konformasi katalitik suatu enzim. Pelarut enzim dikelompokkan berdasarkan kepolarannya. Dalam memilih pelarut enzim juga harus memperhatikan karakteristik keseluruhan dari reaksi utama mengenai polaritas substrat dan produk akhir yang dihasilkan (Cox & Nelson, 2008). 2.4.5.3 Efek pH pada aktivitas enzim Efek pH berhubungan dengan kombinasi beberapa faktor seperti energi yang terlibat dalam ikatan substrat pada sisi aktif enzim, ionisasi residu asam amino yang terlibat dalam aktivitas katalitik enzim, ionisasi substrat, perbedaan struktur protein karena kekuatan ionic medium. Laju reaksi enzimatik karena perbedaan pH membuat kurva lonceng normal, dimana laju maksimum tercapai pada pH optimum larutan. Nilai pH optimum, berhubungan dengan pKs asam amino terionisasi yang terlibat dalam struktur protein. Perubahan pH di dalam medium mempengaruhi keadaan ionisasi gugus fungsi pada molekul enzim dan substrat. pH optimum menyatakan keadaan terdisosiasi pada gugus yang penting yang sesuai dengan interaksi enzim dan substrat membentuk kompleks. Nilai pH ekstrim asam atau basa akan menyebabkan denaturasi enzim dan selanjutnya menyebabkan inaktivasi enzim (Cox & Nelson, 2008)



2.4.5.4 Efek Konsentrasi pada aktivitas enzim Dengan meningkatnya konsentrasi enzim berarti ada molekul tambahan yang akan membawa substrat sehingga laju reaksi meningkat. Jika konsentrasi meningkat dua kali maka laju reaksi atau aktivitas enzim akan meningkat dua kali. 2.5 Enzim Lipase Candida rugosa 2.5.1 Enzim Lipase dan fungsinya Lipase termasuk salah satu kelompok enzim hydrolase dengan subkelas esterase dan nama sistematika adalah triasilgliserol asil hydrolase. Lipases (triacylglycerol lipase EC 3.1.1.3) merupakan enzim yang banyak digunakan untuk reaksi hidrolisis trigliserida menghasilkan asam lemak. Lipase cenderung bersifat polar, sedangkan subtratnya bersifat nonpolar, sehingga lipase bekerja pada bagian antarmuka (interface) fasa air dan minyak. Secara umum struktur lipase merupakan lipatan rantai polipeptida yang menghalangi sisi katalitik dengan terowongan hidrofobik yang dapat mengakomodasi rantai lemak, sehingga memungkinkan pergerakan substrat untuk dapat berinteraksi dengan sisi aktif enzim. Sisi katalitik lipase biasanya dicirikan oleh tiga residu asam amino serin, histidine dan glutamate (Akoh & Min, 2008). Lipase mampu mengkatalisis berbagai reaksi diantaranya reaksi hidrolisis, esterifikasi, transesterifikasi, asidolisis, alkoholisis, interesterifikasi dan amionlisis (Öztürk, 2001). Berbagai jenis reaksi yang telah dapat dikatalisis oleh enzim lipase terdapat pada Gambar 2.15



Gambar 2.15 Reaksi yang dikatalisis enzim lipase (Sumber gambar: (Öztürk, 2001)



Dalam medium air, lipase akan bertindak sebagai enzim yang mengkatalisis reasksi hidrolisis. Namun dalam medium pelarut organik, lipase cemderung bekerja dalam reaksi esterifikasi dan interesterifikasi daripada hidrolisis (Lucia et al., 2006). Lipase merupakan enzim yang sangat stabil, yang mungkin akan aktif bahkan dalam kondisi yang kurang baik. Mereka dapat diperoleh dari berbagai macam sumber yaitu dari hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme alami atau rekombinan, dan telah dimanfaatkan dalam banyak aplikasi bidang industri dan teknologi makanan dan farmasi, sebagai suatu biokatalis penting (Stargiou, 2013). 2.5.2 Enzim Lipase dalam proses esterifikasi Enzim Lipase Sebagian besar digunakan untuk reaksi hidrolisis namun enzim ini juga menunjukkan aktivitas katalitik terhadap alkohol dan asam lemak dalam proses reaksi sintesis ester. Lipase memiliki potensi industri yang cukup besar dalam mengkatalisis reaksi esterifikasi, interesterifikasi dan transesterifikasi dalam media non-air (pelarut organik dan cairan superkritis), biasanya untuk produksi biofuel. Sintesis ester yang dimediasi oleh lipase telah diteliti banyak para ahli dalam beberapa tahun terakhir. Senyawa seperti trigileterida, ester rantai sedang dan steroid memainkan banyak fungsi penting yaitu sumber energi, unsur membran, pengemulsi. Oleh karena itu, ester asam karboksilat dan kandungan alkohol memainkan peran yang relevan dalam bidang industri. Sifat fungsional ester karboksilat berhubungan langsung dengan panjang tulang punggung hidrokarbon. Sintesis ester dapat dilakukan pada temparatur dan tekanan ruangan, serta pH netral baik secara batch atau continuosly. Oleh karena itu penggunaan lipase untuk melakukan esterifikasi mengurangi kebutuhan akan berbagai proses pemisahan pascareaksi yang kompleks. Dengan demikian biaya operasi keseluruhan semakin rendah (Stargiou, 2013). 2.5.3 Enzim Lipase Candida rugosa Lipase Candida rugosa merupakan salah satu enzim yang paling sering digunakan dalam bidang biotransformasi. Lipase Candida rugosa merupakan enzim yang diperoleh dari isolasi mikroorganisme (mikrofungi unisesluler) Candida rugosa. Lipase Candida rugosa memiliki berat molekul 56 kDa, pH isoelektrik pada 4,5 dan aktivitas optimum di antara pH 6,5-7,5 serta temperature optimum pada 30-350C (Petersen et al., 2001). Candida rugosa berasal dari genus Candida, genus ini mencakup sekitar 154 spesies lainnya. Candida rugosa merupakan mikroorganisme yang aman dan tidak ada efek buruk terhadap mahluk hidup lainnya. Candida rugosa mikrofungi berbentuk bola, koloninya berwarna



putih, tumbuh pada suhu 20-300C dan membutuhkan makronutrient (karbon, nitrogen sulfur) serta konsentrasi air yang tinggi. Lipase Candida Rugosa memiliki 3 asam amino pada active site dikenal dengan asam amino triad. Asam amino yang menjadi active site ialah serin histidine dan aspartate (Cox & Nelson, 2008).



Gambar 2.16 Enzim Lipase C.Rugosa Sumber Gambar: Lipase dari C. rugosa berhasil mengkatalisis sintesis 19 jenis ester. Hasil yang palinh tertinggi, lebih dari 90% dan didapatkan setelah bereaksi selama 20 jam, terjadi pada sintesis ester rantai pendek seperti pentil propanoat, isopentil butanoat, dan butil butanoat. Meningkatkan jumlah atom karbon pada substrat di atas 8 menyebabkan penurunan yang signifikan dari laju reaksi awal dan produk hasil akhir (Bezbradica et al., 2006). 2.6. Senyawa Antimikroba 2.6.1 Definisi antimikroba Antimikroba merupakan suatu zat atau senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dengan cara menggangu metabolisme mikroorganisme. Antimikroba juga bisa membunuh mikroorganisme bakteri. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyakit dan infeksi, membasmi bakteri pada makhluk hidup yang terinfeksi, serta mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh bakteri. Antimikroba dapat menghambat bagian-bagian yang peka dalam sel (Pelczar & Chan, 1988). 2.6.2 Metode antimikroba yang digunakan Metode antimikroba yang sering diterapkan adalah metode difusi disk. Prinsip dari metode ini ialah zat antimikroba yang akan diuji berdifusi dari reservoir ke dalam medium agar yg telah diinokulasi dengan mikroba uji. Kemudian dilakukan inkubasi selama 24 jam lalu menghitung diameter zona hambat dari bakteri. Metode difusi disk terdapat dalam Gambar 2.17



Gambar 2.17 Metode difusi disk (sumber gambar: dokumentasi pribadi) 2.6.3 Mekanisme Kerja Senyawa Antimikroba Berdasarkan dari mekanisme kerja senyawa antimikroba, aktifitasnya terbagi menjadi 4 kelompok yaitu (Brooks, Geo F . Butel, Janet. Morse, 2004) 1. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel Antimikroba ini bekerja dengan menghambat pembentukan asam folat. Mikroba patogen tidak dapat mensintesis asam folat dari Para Amino Benzoate Acid (PABA) di luar tubuh, sehingga mikroba harus mensintesis asam folat sendiri.Asam folat merupakan zat yang dibutuhkan bakteri untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Contoh dari kelompok antimikroba ini ialah sulfonamide. 2. Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel Antimikroba ini bekerja dengan cara menhalangi sintesis peptidoglikan sehingga dinding sel bakteri tidak sempurna. Dinding sel bakteri terdiri dari unit-unit glikan polimer yang berikatan satu sama lain dengan ikatan silang peptida sehingga membentuk peptidoglikan dinding sel. Contoh dari kelompok antimikroba ini adalah Sikloserin. 3. Antimikroba yang mengganggu membran sel Membran sel dapat berperan sebagai penghalang dalam permeabilita selektif, melakukan pengangkutan aktif, serta mengendalikan susunan dalam sel. Beberapa zat antimikroba dapat menganggu peran membran sel, sehingga kehidupan sel dapat terganggu. Antimikroba ini bekerja dengan cara merusak sitoplasma dari bakteri sehingga akan menghambat dan membunuh mikroorganisme bakteri. 4. Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel Antimikroba ini bekerja dengan cara memberikan suhu tinggi atau konsentrasi pekat beberapa zat kimia yang dapat mengakibatkan koagulasi (denaturasi) yang bersifat irreversible terhadap komponen protein dari bakteri. Sehingga pertumbuan dari mikroorganisme bakteri akan terhambat dan menyebabkan kematian.



2.7. Mikroorganisme Uji 2.7.1 Propionibacterium acnes Pada permukaan kulit manuia, komunitas mikroba sebagian besar tersusun dari bakteri yang memiliki genus Corynebacteria, Propionibacteria dan Staphylococci. Salah satu spesies dari bakteri bergenus propionibacteria yang sangat terkenal ialah bakteri Propionibacterium acnes. (Dréno et al., 2018). Propionibacterium acnes merupakan bakteri gram positif, yang tumbuh relatif lambat dan toleran terhap udara (Ramadana & Boleng, 2016). Propionibacterium acnes memiliki karakteristik berbentung batang, berkoloni, memiliki permukaan yang halus, dan berwarna putih Bakteri ini bersifat anaerobik dengan temperatur optimal untuk pertumbuhannya adalah 37oC. Propionibacterium acnes berperan dalam pembentukan jerawat yang dapat tinggal di kulit dan selaput lendir manusia. Bakteri ini ikut serta dalam fotogenesis jerawat dengan menghasilkan lipase, yang dapat memecah asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi jaringan dan mendukung terjadinya jerawat (Intan, 2011). Bentuk dari Bakteri Propionibacterium acnes terdapat dalam Gambar 2.18 dan Klasifikasinya terdapat dalam Tabel 2.8.



Gambar 2.18 Bakteri Propionibacterium acnes (Sumber Gambar : https://www.sciencephoto.com)



Tabel 2.6 Klasifikasi bakteri Propionibacterium acnes Sumber : ITIS (Integrated Taxonomic Information System) Report



Kingdom Phylum Subclass Order Suborder Family Genus Species



Bacteria Actinobacteria Actinobacteridae Actinomycetales Propionibacterineae Propionibacteriaceae Propionibacterium Propionibacterium acnes



2.7.2 Staphylococcus epidermidis Staphylococcus epidermidis berbentuk bulat, memiliki warna putih pucat, berdiameter 0,51,5 µm (±0,8 µm), umumnya tidak menghasilkan pigmen dan memperlihatkan susunan bakteri yang bergerombol seperti buah anggur. Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif yang dinding sel dibentuk oleh gliserol terpolimerisasi, glukosa, dan N-asetil glukosamin. S. Epidermidis bersifat anaerob fakultatif namun juga dapat tumbuh dengan baik pada kondisi aerob (“Supragingival Microbes,” 2015). Staphylococcus epidermidis adalah bakteri yang umumnya menjajah kulit manusia dan telah diisolasi dari berbagai sumber seperti daging, susu, keju, tanah, pasir, air laut, air tawar, debu, dan udara (Eladli et al., 2019). Bentuk dari Bakteri Staphylococcus epidermidis terdapat dalam Gambar 2.17 dan Klasifikasinya terdapat dalam Tabel 2.9



Gambar 2. 1 Bakteri Staphylococcus epidermidis (Sumber Gambar : https://blog.microbiologics.com)



Tabel 2.6 Klasifikasi Bakteri Staphylococcus epidermidis Sumber Tabel : Sumber : Sumber : ITIS (Integrated Taxonomic Information System) Report



Kingdom



Bacteria



Phylum



Firmicutes



Class



Bacilli



Order



Bacillales



Family



Staphylococcaceae



Genus



Staphylococcus



Species



Staphylococcus epidermidis



2.8. Emulsifier 2.8.1 Emulsi Emulsi merupakan suatu sistem koloid berupa dispersi cairan dalam cairan. Emulsi secara termodinamika bersifat tidak stabil dikarenakan terdapat dua fase cair yang tidak dapat bercampur. Kestabilan fase tersebut dapat dikendalikan oleh zat pengemulsi atau emulsifier (Norton et al., 2013). Emulsi terbagi menjadi dua fase yaitu fase terdispersi dan fase kontinyu. Fase terdispersi/fase diskontinu merupakan zat cair yang terbagi menjadi butiran-butiran kecil di dalam zat cair yang lain. Sedangkan fase pendispersi/fase kontinyu merupakan zat cair dalam emulsi yang berfungsi sebagai bahan dasar dari emulsi tersebut (Adamson & Gast, 1997). 2.8.2 Jenis emulsi: Minyak dalam air, atau air dalam minyak Sistem emulsi minyak dalam air (M/A) merupakan sistem emulsi dimana minyak berperan sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase pendispersi. Contohnya; mayonaise, susu, dan krim. Sistem emulsi air dalam minyak (A/M) merupakan sistem emulsi dimana air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase pendispersi Contohnya; margarin dan mentega. (Arbianti et al., 2008)Gambaran jenis emulsi minyak dalam air dan air dalam minyak terdapat dalam Gambar 2.18.



Gambar 2.18 Emulsi Minyak dalam air dan Emulsi Air dalam Minyak (Sumber Gambar: http://www.mipa-farmasi.com/2016/05/emulsi.html)



2.8.3 Senyawa emulsifier dan strukturnya Emulsifier atau zat pengemulsi merupakan suatu senyawa yang digunakan untuk menjaga kestabilan emulsi minyak dan air. Zat pengemulsi dianggap sebagai senyawa yang mempunyai aktivitas permukaan (surface-active agents) sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan (surface tension) antara udara-cairan maupun cairan-cairan yang terdapat dalam suatu sistem Umumnya emulsifier merupakan senyawa organik yang memiliki dua gugus yaitu gugus hidrofilik yang bersifat polar maupun gugus lipofilik yang bersifat nonpolar. Bagian hidrofilik dari emulsifier dapat berupa senyawa yang bersifat nonionic, anionic, kationik, atau amfoterik. Sedangkan bagian lipofilik dari emulsifier pada umumnya berupa asam lemak rantai panjang (Adamson & Gast, 1997). Gambaran bentuk kepala dan ekor dari emulsifier terdapat dalam Gambar 2.14.



Gambar 2.19 Emulsifier (Sumber Gambar: (Adamson & Gast, 1997)



Bagian kepala merupakan bagian yang bersifat hidrofilik, sedangkan bagian ekor merupakan bagian yang bersifat hidrofobik. (Schueller dan Romanowski, 1999). Emulsifier umumnya disintesis dari minyak bumi dan minyak nabati. Emulsifier yang dibuat dari minyak nabati bersifat biodegradable, sehingga tidak mencemari lingkungan, dan juga berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Salah satu contoh emulsifier ialah Lisofosfatidilkolin (LPC) atau biasa dikenal dengan lesitin. (Arbianti et al., 2008).



Daftar Pustaka Adamson, a W., & Gast, a P. (1997). Physical Chemistry of Surfaces Sixth Edition. In SubStance. https://doi.org/10.1149/1.2133374 Akoh, C. C., & Min, D. B. (2008). Food Lipids: Chemistry, Nutrition, and Biotechnology, Third Edition. In Food lipids: chemistry, nutrition, and biotechnology. Alves, S. P., Araujo, C. M., Queiroga, R. C., Madruga, M. S., Parente, M. O. M., Medeiros, A. N., & Bessa, R. J. B. (2017). New insights on the metabolism of ricinoleic acid in ruminants. Journal of Dairy Science, 100(10), 8018–8032. https://doi.org/10.3168/jds.201713117 Antonio Blanco, G(1) Antonio Blanco, G. B. Enzymes Are Biological Catalysts. Med. Biochem. 2017, 153–175. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803550-4/00008-2.ustavo Blanco. (2017). Enzymes are biological catalysts. Medical Biochemistry, 153–175. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803550-4/00008-2 Arbianti, R., Utami, T. S., Hermansyah, H., & Andani, D. (2008). Pengaruh Kondisi Operasi Reaksi Hidrogenasi Metil Laurat dengan Katalis Nikel untuk Pembuatan Surfaktan Oleokimia. 3, 229–235. Atkins, P. (2006). Peter Atkins. New Scientist. https://doi.org/10.1016/s0262-4079(06)61136-6 Bezbradica, D., Karalazić, I., Ognjanović, N., Mijin, D., Šiler-Marinković, S., & Knežević, Z. (2006). Studies on the specificity of Candida rugosa lipase catalyzed esterification reactions in organic media. Journal of the Serbian Chemical Society, 71(1), 31–41. https://doi.org/10.2298/JSC0601031B Boyle, J. (2005). Lehninger principles of biochemistry (4th ed.): Nelson, D., and Cox, M. Biochemistry and Molecular Biology Education. https://doi.org/10.1002/bmb.2005.494033010419 Brooks, Geo F . Butel, Janet. Morse, S. A. (2004). Mikrobiologi Iftdokteran. 23, 251–257. Cox, M., & Nelson, D. L. (2008). Lehninger Principles of Biochemistry. 1200.



http://www.amazon.co.uk/Lehninger-Principles-Biochemistry-Michael-Cox/dp/0716743396 Dash, S., Patel, S., & Mishra, B. K. (2009). Oxidation by permanganate: synthetic and mechanistic aspects. In Tetrahedron. https://doi.org/10.1016/j.tet.2008.10.038 Dhawan, M. S., Barton, S. C., & Yadav, G. D. (2020). Interesterification of triglycerides with methyl acetate for the co-production biodiesel and triacetin using hydrotalcite as a heterogenous base catalyst. Catalysis Today, July, 0–1. https://doi.org/10.1016/j.cattod.2020.07.056 Dréno, B., Pécastaings, S., Corvec, S., Veraldi, S., Khammari, A., & Roques, C. (2018). Cutibacterium acnes (Propionibacterium acnes) and acne vulgaris: a brief look at the latest updates. Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology, 32, 5–14. https://doi.org/10.1111/jdv.15043 Eladli, M. G., Alharbi, N. S., Khaled, J. M., Kadaikunnan, S., Alobaidi, A. S., & Alyahya, S. A. (2019). Antibiotic-resistant Staphylococcus epidermidis isolated from patients and healthy students comparing with antibiotic-resistant bacteria isolated from pasteurized milk. Saudi Journal of Biological Sciences, 26(6), 1285–1290. https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2018.05.008 Jena, J., & Gupta, A. K. (2012). Ricinus communis linn: A phytopharmacological review. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 4(4), 25–29. Johnson, W. (2007). Final report on the safety assessment of ricinus communis (castor) seed oil, hydrogenated castor oil, glyceryl ricinoleate, glyceryl ricinoleate SE, ricinoleic acid, potassium ricinoleate, sodium ricinoleate, zinc ricinoleate, cetyl ricinoleate, ethyl ric. International Journal of Toxicology, 26(SUPPL. 3), 31–77. https://doi.org/10.1080/10915810701663150 Ketaren, S. (2008). Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta. https://doi.org/10.2139/ssrn.276289 Kirk‐Othmer Encyclopedia of Chemical Technology. (2000). In Kirk‐Othmer Encyclopedia of Chemical Technology. https://doi.org/10.1002/0471238961



Kula, J., Bonikowski, R., Szewczyk, M., & Ciolak, K. (2014). Synthesis of (S)-ricinoleic acid and its methyl ester with the participation of ionic liquid. Chemistry and Physics of Lipids, 183, 137–141. https://doi.org/10.1016/j.chemphyslip.2014.06.005 Leuchtenberger, A. (1991). M.F. Chaplin und C. Bucke: Enzyme technology. 264 Seiten, zahlr. Abb. und Tab. Cambridge University Press, Cambridge, New York u.a. 1990. Preis: 35,- £ 59,90 $ (H/b) bzw. 12,50 £ 24,95 $ (P/b). Food / Nahrung. https://doi.org/10.1002/food.19910350608 Lucia, L. A., Argyropoulos, D. S., Adamopoulos, L., & Gaspar, A. R. (2006). Chemicals and energy from biomass. Canadian Journal of Chemistry. https://doi.org/10.1139/V06-117 Matysiak, S., Zabielska, J., Kula, J., & Kunicka-Styczyńska, A. (2018). Synthesis of (R)- and (S)-Ricinoleic Acid Amides and Evaluation of Their Antimicrobial Activity. JAOCS, Journal of the American Oil Chemists’ Society. https://doi.org/10.1002/aocs.12013 Naik, S. N., Saxena, D. K., Dole, B. R., & Khare, S. K. (2018). Potential and Perspective of Castor Biorefinery. In Waste Biorefinery. Elsevier B.V. https://doi.org/10.1016/b978-0-44463992-9.00021-5 Norton, J. E., Fryer, P. J., & Norton, I. T. (2013). Formulation engineering of foods. In Formulation Engineering of Foods. https://doi.org/10.1002/9781118597651 Ogunniyi, D. S. (2006). Castor oil: A vital industrial raw material. Bioresource Technology, 97(9), 1086–1091. https://doi.org/10.1016/j.biortech.2005.03.028 Öztürk, B. (2001). Immobilization of Lipase from Candida rugosa on Hydrophobic and Hydrophilic Supports. Immobilization of Lipase from Candida Rugosa on Hydrophobic and Hydrophilic Supports, 105. Patel, V. R., Dumancas, G. G., Viswanath, L. C. K., Maples, R., & Subong, B. J. J. (2016). Castor oil: Properties, uses, and optimization of processing parameters in commercial production. Lipid Insights, 9(1), 1–12. https://doi.org/10.4137/LPI.S40233 Pelczar, M. J., & Chan, E. C. S. (1988). Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta: Universitas Indonesia.



Petersen, M. T. N., Fojan, P., & Petersen, S. B. (2001). J Biotechnol. In Journal of Biotechnology (Vol. 85, Issue 2). Rajalakshmi, P., Marie, J. M., & Maria Xavier, A. J. (2019). Castor oil-derived monomer ricinoleic acid based biodegradable unsaturated polyesters. Polymer Degradation and Stability, 170, 109016. https://doi.org/10.1016/j.polymdegradstab.2019.109016 Ramadana, F., & Boleng, D. T. (2016). Pengaruh Ekstrak Daun Karamunting ( Melastoma malabathricum L .) terhadap Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium acnes. Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, Dan Pembelajaran, 1–8. Ramadhan, F. I. (2010). Pembuatan asam risinoleat melalui hidrolisis minyak jarak dalam larutan basa skripsi. Rathod, V. K., & Pandit, A. B. (2009). Effect of various additives on enzymatic hydrolysis of castor oil. Biochemical Engineering Journal, 47(1–3), 93–99. https://doi.org/10.1016/j.bej.2009.07.008 Sivakanthan, S., & Madhujith, T. (2020). Current trends in applications of enzymatic interesterification of fats and oils: A review. Lwt, 132(July), 109880. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2020.109880 Smith. (2011). Organic Chemistry. Organic Chemistry, Third edit(University of Hawai’i at Manoa), 1285. Sumangat, D., & Hidayat, T. (2008). Karakteristik Metil Ester Minyak Jarak Pagar Hasil Proses Transesterifikasi Satu dan Dua Tahap. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian, 5(2), 18– 26. https://doi.org/10.21082/jpasca.v5n2.2008.18-26 Supragingival Microbes. (2015). In Atlas of Oral Microbiology. https://doi.org/10.1016/b978-012-802234-4.00003-3 Stargiou, P et al. (2013). Advance in Lipase-catalyzed esterification reaction. Journal Biotechnologi Advance 31