Etika Profesi Hakim [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ETIKA PROFESI HAKIM BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga- lembaga yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial. Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.[1] Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya. Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.[2] Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. Dan yang paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang disusun KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari



ketidaksepahaman



antara



MA



dan



KY.



Berkaitan dengan fenomena yang tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA dan KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa suatu kode etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik harus disusun oleh profesi yang bersangkutan yang akan menjalankan kode etik tersebut. Alangkah janggalnya apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yang akan menjadikan kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yang akan menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, kode etik dibuat untuk mengatur perilaku dan sepak terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.[3] Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat ini. Namun demikian, harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa lembaga peradilan belum seperti yang diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan. Seiring berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini, publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian mendesak pihak- pihak yang berwenang dalam menjalankan negara ini untuk melakukan upaya- upaya luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin masyarakat memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan. Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di badan peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:[4] 1.



kualitas



2.



proses



dan



integritas



pemeriksaan



pengawas disiplin



yang yang



tidak tidak



memadai; transparan;



3. belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses); 4. semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu; dan



5. tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan. Hal-hal yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguhsungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat "pengampunan" dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak. 1.2



Identifikasi Identifikasi



a.



masalah



Bagaimanakah



dalam



Profesi



paper



Hakim



b.



Bagaimanakah



tangung



c.



Bagaimanakah



tanggung



1.3



Masalah



Tujuan



dan



jawab jawab Pembuatan



ini



adalah



:



Karakteristiknya..? profesi



Hakim...?



moral



Hakim...? Paper



Tujuan pembuatan paper adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata perkuliahan Etika dan Tanggung Jawab Profesi,dan untuk memberikan pengetahuan bagi pembaca khususnya untuk pembuat paper ini dan umumnya untuk para mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. BAB II PEMBAHASAN 2.1



Profesi



Hakim



dan



Karakteristiknya



Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili.[5]Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.[6] Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut.[7]



1. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan. 2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. 3. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan. 4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup. 5. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: "Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."[8] 6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.[9] Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut. [10] 1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi. 2.



Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu



pada



nilai-nilai



luhur.



3.



Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.



4. dan



Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu peningkatan mutu pengemban profesi.



Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini. 2.2



Persyaratan



Calon



Hakim



Berdasarkan Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.[11] a. b. c.



Warga Bertakwa Setia



Negara



kepada



kepada



Tuhan



Pancasila



dan



Indonesia.



Yang



Maha



Undang-Undang



Esa.



Dasar



1945.



d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya. e.



Pegawai



Negeri.



f.



Sarjana



hukum.



g. h. 2.3



Berumur



serendah-rendahnya



Berwibawa, Pendidikan



jujur, dan



25



(dua



adil, Pelatihan



dan



puluh



lima)



berkelakuan Calon



tahun. baik. Hakim[12]



Proses pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa prajabatan dan sangat erat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim. Selain digunakan sebagai program orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para peserta untuk memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilanpengadilan negeri di wilayah Indonesia. Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada tahap yang disebut Diklat Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian prajabatan, yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.



Setelah melalui proses pengangkatan dan memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para peserta diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yang diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Pada tahap ini, para peserta akan menerima berbagai materi keahlian di bidang hukum, dan mulai dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para peserta diharuskan memenuhi masa magang kembali dengan status sebagai calon hakim di berbagai pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yang disebut Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yang sudah lebih mengarah pada pelaksanaan tugas hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para peserta yang dianggap layak untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden melalui Menhukham. 2.4



Pola



Rekrutmen



dan



Kualitas



Hakim



Bagaimana mekanisme perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim akan menentukan kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yang sejak awal memang memiliki kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah selayaknya terjaring dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yang nantinya duduk di muka ruang pengadilan sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim yang berkualitas terbaik. Faktanya, berbagai putusan pengadilan yang kontroversial terus bermunculan sehingga berbagai pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum pada putusan yang dikeluarkan oleh para hakim bisa jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola rekrutmen hakim yang selama ini diterapkan di Indonesia. Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus Buloggate yang membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak kelemahan dari segi hukum dan amat mencederai perasaan hukum dan keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yang memutus perkara tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari partai politik, sedangkan sisanya adalah hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan perkara korupsi dana non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan kasus ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut menggambarkan adanya disparitas kualitas antara hakim karir dan hakim non- karir.[13] Dalam buku "The Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli perbandingan hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem Civil LaW) cenderung memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri dan pemikiran yang mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau takut untuk membuat keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik yang besar. Hal ini berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common Law yang sebelum menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, atau akademisi.[14] Menurut Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik lulusan The University of Melbourne, pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu individu hakim, harus menjadi fokus agar sumber daya manusia (SDM) dapat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan pengadilan).[15] Dalam artikelnya, "Pengembangan Integritas Profesi Hakim", Reza memaparkan kondisi yang ada dalam dunia peradilan berkaitan dengan kualitas profesi hakim seperti di bawah ini.[16]



1. Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (dan para pemangku otoritas hukum pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat pun mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak usainya Perang Sipil di negara itu. Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama bersumber dari tidak adanya model kompetensi yang menjadi acuan mengenai karakter ideal yang sepatutnya dipunyai oleh setiap individu hakim. 2. Dalam survei yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2006, saat ditanyakan kepada para hakim, banyak hakim yang menyebutkan bahwa penambahan jumlah hakim dan staf pendukung sebagai prasyarat efektif kedua—dari tujuh faktor— terpenting dalam rangka peningkatan kualitas peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti justru menyimpulkan bahwa kualitas personel lembaga kehakiman tidak dipengaruhi oleh jumlah aparat peradilan. Mutu putusan para hakim berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme mereka. Selanjutnya, Reza menguraikan dua hal yang dapat menjadi alternatif solusi untuk mengembangkan integritas hakim sebagai berikut.[17] 1. Sebagai sumber daya manusia, para hakim juga idealnya dikenakan perlakuan SDM (HR/human resources treatment) secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan. Ini artinya, penilaian ketat tidak hanya diterapkan pada para kandidat hakim. Setelah menjabat, para kandidat terpilih harus diberikan penilaian secara berkala pula. Prinsipnya, semakin sentral peran SDM terhadap kinerja suatu organisasi, semakin ketat pula idealnya manajemen SDM diberlakukan pada organisasi tersebut. 2. Ke depan perlu dirumuskan acuan kinerja (performance standards atau distinct job manual) dan perangkat aturan organisasi lainnya sebagai pedoman pengembangan karir para hakim. 2.5



Tanggung



Jawab



Profesi



Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yang harus ada dalam pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi dan bidang apapun. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.[18] 1. Tugas, yaitu kewajiban dan kewenangan atau kekuasaan yang harus dilaksanakan untuk kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara melaksanakannya. 2. Aparat, yaitu pelaksana tugas tersebut yang terdiri atas komponen pelaksana, pendukung, dan penunjang. 3. Lembaga, yaitu wadah (struktur dan organisasi) beserta sarana dan prasarana tempat para aparat melaksanakan tugasnya. Bagi seorang aparat, mendapat suatu tugas berarti memperoleh sebuah tanggung jawab yang terkait tiga hal, yaitu: 1.



mendapat



kepercayaan



2.



merupakan



suatu



3.



merupakan



suatu



untuk



kehormatan amanat



yang



dapat sebagai harus



mengemban pengemban dijaga



dan



tugas;



tugas;



dan



dijalankan.



Tanggung



jawab



dapat



dibedakan



atas



tiga



jenis,



yaitu



tanggung



jawab



moral, tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.[19]



2.6



Tanggung



Jawab



Moral



Hakim



Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini. [20] 1.



To



hear



2.



To



answer



3. 4.



To



corteously



(mendengar



dengan



sopan



wisely



(menjawab



dengan



arif



consider



To



soberly



decide



(mempertimbangkan



impartially



tanpa



(memutus



dan dan



beradab). bijaksana).



terpengaruh



tidak



berat



apapun). sebelah).



Peradaban Islam pun memiliki literatur sejarah di bidang peradilan, salah satu yang masih tercatat ialah risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang hakim di Kufah, yang selain mengungkapkan tentang pentingnya peradilan, cara pemeriksaan, dan pembuktian, juga menjelaskan tentang etika profesi. Dalam risalah dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini.[21] 1. Mempersamakan kedudukan para pihak dalam majelis, pandangan, dan putusan sehingga pihak yang merasa lebih mulia tidak mengharapkan kecurangan hakim, sementara pihak yang lemah tidak berputus asa dalam usaha memperoleh keadilan hakim. 2. Perdamaian hendaklah selalu diusahakan di antara para pihak yang bersengketa kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:[22] Kartika, Cakra,



melambangkan berarti



seorang



Ketuhanan hakim



dituntut



Yang untuk



Maha



Esa;



bersikap



adil;



Candra, Sari,



berarti



berarti



hakim



hakim



Tirta,



harus



haruslah



berarti



bersikap berbudi



bijaksana



luhur



seorang



atau



atau tidak



hakim



berwibawa; tercela;



harus



dan jujur.



Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:[23] a.



percaya



b.



menjunjung



c.



f. g. h. i.



tinggi



kepada citra,



Tuhan



wibawa,



baik



menjadi



Yang dan



dan



teladan



Maha



martabat



hakim;



tidak bagi



Esa;



tercela; masyarakat;



menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; tidak



melakukan



bersikap



perbuatan



jujur,



berkepribadian, bersemangat



j.



ingin



yang



adil,



penuh sabar,



maju



merendahkan rasa



(meningkatkan dipercaya;



berpandangan Sikap



Hakim



martabat tanggung



bijaksana,



dapat



k. 2.7



takwa



berkelakuan



d. e.



dan



nilai



hakim; jawab; berilmu; peradilan); dan luas.



dalam



Kedinasan



Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan.[24] Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:[25] 1. bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku; 2. tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-piha yang berperkara; 3. harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;



4.



harus



menjaga



kewibawaan



dan



kekhidmatan



persidangan;



dan



5. bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap atasan, seorang hakim harus bersikap:[26] 1.



taat



2.



kepada



menjaankan tugas-tugas



3.



berusaha



yang telah



memberi



pimpinan;



digariskan dengan



saran-saran



jujur dan ikhlas;



yang



membangun;



4. mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan 5.



tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.



Sedangkan



terhadap



sesama



rekan,



hakim



haruslah:[27]



1.



memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antarsesama rekan;



2.



memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama rekan;



3. 4.



memiliki



pula



1.



terhadap



penghargaan



bawahan/pegawai,



harus



harus



4.



memelihara



mempunyai



5.



setiap



terhadap



hakim



mempunyai



membimbing



3.



2.8



kesetiaan,



korps



hakim;



dan



menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.



Begitu



2.



kesadaran,



sikap



bawahan sikap



sebagai



memberi Sikap



sifat untuk



kekeluargaan



selayaknya



antara



kepemimpinan;



mempertinggi seorang



bapak/ibu



bawahan



dengan



contoh



Hakim



Di



bersikap:[28]



kecakapan; yang



baik;



hakim;



dan



kedisiplinan. Luar



Kedinasan



Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:[29] 1. 2. 3.



memiliki berkelakuan



kesehatan baik



jasmani dan



dan



rohani;



tidak



tercela;



tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;



4. menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; dan 5.



tidak



Sementara



melakukan dalam



perbuatan-perbuatan



kehidupan



rumah



yang tangga,



merendahkan hakim



martabat



harus



hakim.



bersikap:[30]



1. menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum maupun norma kesusilaan; 2.



menjaga



ketentraman



dan



keutuhan



keluarga



dan



rumah



tangga;



3. menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat; dan 4.



tidak



Sedangkan 1. 2. 3. 2.9



dibenarkan



dalah



hidup



kehidupan



berlebih-lebihan



bermasyarakat,



hakim



dan



mencolok.



harus



selalu:[31]



selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat; dalam



hidup



harus



bermasyarakat menjaga



Tanggung



harus



nama Jawab



mempunyai baik



rasa



dan



gotong-royong; martabat



Hukum



dan



hakim. Hakim



Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu: a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1)); b. bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)). Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di



antaranya



sebagai



berikut.



Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi: -



pelaksana



putusan



Mahkamah



Agung;



- wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya; -



penasehat



hukum;



dan



-



pengusaha.



b. Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan: - dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; -



melakukan



perbuatan



tercela;



terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; melanggar melanggar



sumpah larangan



atau



sebagaimana



janji dimaksud



jabatan; dalam



Pasal



dan 10.



c. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim. d. Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama. e. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah: 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;



4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 5.



Undang-Undang



6.



Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan



7.



Undang-Undang



2.10



Tanggung



Nomor



24



Nomor



Tahun



31



2003



Tahun



Jawab



tentang



1997 Teknis



Mahkamah



tentang



Konstitusi;



Peradilan



Militer.



Profesi



Hakim



Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi. BAB III PENUTUP Kesimpulan . Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi. DAFTAR PUSTAKA Kamil, Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006. Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Pramita, 1996. Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 1999. Mahendra, Yusril Ihza. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Tim Pakar



Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasai Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002. Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006. Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005. Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Cet. ke-2. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006. Tasrif, S. "Kemandirian Kekuasaan Kehakiman" dalam Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Usman, Suparman, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta,Gaya Media Pratam, 2008. Widyadharma, Ignatius Ridwan. Hukum Profesi tentang Profesi Hukum. Semarang: CV Ananta, 1994. Zakiah, Waingatu. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan. Jakarta: Indonesian Corruption Watch, 2002.



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hakim sangat erat kaitannya dengan hukum atau negara hukum. Karena hukum akan ditegakkan dimana ada pengadilan yang merupakan tempat untuk mengadili dan tentunya dalam pengadilan ada hakim yang berperan sebagai pemutus sebuah keputusan yang adil. Untuk itu, perlu adanya kode etik profesi hakim yaitu aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap Hakim Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai Hakim. Adapum maksud dan tujuan adanya kode etik profesi hakim ini adalah Sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter Hakim dan pengawasan tingkah laku Hakim. Selain itu juga sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial, dan pencegah timbulnya kesalah pahaman dan konflik antar sesama anggota dan antara anggota dengan masyarakat. Tujuan dari kode etik ini adalah memberikan jaminan peningkatan moralitas Hakim dan kemandirian fungsional bagi Hakim dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. Dengan adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik. Kalaupun ada biasanya akan ditangani oleh komisi yang dibentuk oleh Pengurus Pusat IKAHI dan Pengurus Daerah IKAHI untuk memantau, memeriksa, membina, dan merekomendasikan tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar Kode Etik Profesi. Kode etik profesi hakim sudah tentu berisikan aturan-aturan mengenai etika-etika hakim yang baik. Sehingga sumber dari kode etik ini tentunya adalah sumber yang baik dan dapat dipercaya. Nilai-nilai akhlaq yang diajarkan oleh agama yang melahirkan nilai moralitas yang baik adalah sumber dari kode etik ini. Oleh karena itu, butuh adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam praktek sehari-hari. Hal ini karena kode etik hanya merupakan sebatas aturan saja. Adanya Komisi Yudisial yang berada dalam struktur Lembaga yudikatif di Indonesia belum mencukupi dalam mengawasi hakim menjalankan tugasnya. Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut. Dari hal-hal yang sudah dipaparkan diatas, maka penulis mengambil tema untuk makalah ini yaitu hukum, moral, dan agama sebagai landasan praktek kode etik profesi hakim di Indonesia. B. Rumusan Permasalahan 1. Bagaimana aplikasi Kode Etik Profesi Hakim Indonesia dalam prakteknya? 2. Bagaimana pentingnya penerapan hukum, moral, dan agama sebagai landasan praktek kode etik profesi hakim di Indonesia?



BAB II PEMBAHASAN 1. Kode Etik Profesi Hakim Indonesia dalam Praktek Dasar kode etik profesi hakim diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam hal ini tertuang dalam pasal 1 yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Adapun pokok-pokok dari etika profesi Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu: a. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yaitu bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial. (Terdapat dalam pasal 1) b. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (1)) c. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (2)) d. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (Terdapat dalam pasal 5) Selain itu, dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) IKAHI (Ikatan Hakim Inndonesia) ke XIII di Bandung Tanggal 21 Februari Tahun 2001 menghasilkan sebuah peraturan mengenai kode etik profesi Hakim yang merupakan satu-satunya kode etik yang berlaku bagi para hakim Indonesia. Munas ini dipimpin oleh Pimpinan Musyawarah Nasional XIII yaitu H. Sakir Ardiwinata, SH, Deliana Sayuti Ismudjoko, S.H, dan Drs. H. Matardi, S.H dengan sekretaris Dwiarso Budi Santiarto, SH. Kode etik profesi hakim menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik. Kalaupun ada biasanya akan ditangani oleh komisi yang dibentuk oleh Komisi Yudisial, Pengurus Pusat IKAHI dan Pengurus Daerah IKAHI untuk memantau, memeriksa, membina, dan merekomendasikan tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar Kode Etik Profesi Banyak realita yang bisa dilihat. Misalnya, hakim disuap agar pihak yang salah tidak diberikan hukuman yang berat bahkan dibebaslepaskan dari segala tuntutan. Hal ini jelas melanggar kode etik hakim yaitu yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Dalam ayat (2) yaitu Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya



ringan. Selain itu, hakim juga sering menggunakan jabatannya tidak pada tempatnya. Misalnya, seorang hakim menggunakan jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena orang melihatnya sebagai seorang hakim. Ditambah lagi ketika memanfaatkan jabatn tersebut banyak orang lain yang dirugikan. Hal ini bertentengan dengan kode etik profesi yang difasilkan dalam Munas XIII di Bandung yaitu mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi. Kenyataannya, masih banyak lagi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim. Tetapi, memang publik kurang mengetahuinya karena tidak begitu diangkat di ranah publik. Dan pemberian sanksi nya pun belum begitu tegas terbukti masih banyak terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim. Padahal, hakim adalah cermin pengadilan. Sehingga, dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim berarti mencoreng nama pengadilan sebagai contoh lembaga yang harus diteladani menjadi lembaga yang sudah tidak percaya lagi kredibilitasnya oleh masyarakat. 2. Hukum, Moral, dan Agama sebagai landasan praktek kode etik profesi hakim Indonesia Sebelum penjabaran pembahasan hukum, moral, dan agama yang harus digunakan hakim dalam menjalankan aplikasi kode etik profesinya, berikut penulis paparkan matriks sebelas asas etika perilaku hakim dan empat penggolongan kewajiban hakim: Dari matriks diatas dipaparkan bahwa sebelas asas etika prilaku hakim bahwasannya adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat moralitas yang merupakan ajaran agama mengenai akhlaq yang berbanding lurus dengan keimanan seseorang. Norma etika (profesi) hukum dapat disebut sebagai bagian dari ilmu tentang ahlak (akhlak, budipekerti) atau moral science. Norma etika profesi hukum (sebagai bagian dari “ilmu ahlak”) mengatur kewajiban para anggota profesi hukum (hakim, penuntut umum, advokat dan notaris) berperilaku yang dapat disetujui oleh orang-orang yang adil (that merit the approval of just men). Menurut logika, maka anggota profesi hukum yang berperilaku melanggar norma etika, harus dikenakan sanksi (tindakan disiplin). Ada dua alasan (kategori alasan) utama untuk memberi tindakan disiplin pada perilaku seorang anggota profesi hukum (tentunya termasuk hakim), yaitu: •perilaku yang mengingkari moral (morally wrong); dan •perilaku yang sangat tercela dan menghina profesi hakim, sehingga yang bersangkutan tidak pantas lagi menjadi hakim (unworthy to continue as a judge). Tentang kewajiban Hakim kepada masyarakat melambangkan adanya kewajiban pada hakim untuk berperilaku terhormat (honorable), murah-hati (generous) dan bertangggungjawab (responsible). Hal itu berarti bahwa seorang anggota profesi hakim tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus pula mendapat kepercayaan publik, bahwa seorang hakim akan selalu berperilaku demikian. Pengadilan diadakan untuk memberi keadilan, dikatakan juga sebagai “tempat kedudukan keadilan” (the seat of justice). Karena itu pengadilan harus melayani kepentingan masyarakat (serve the public interest) dan bukan kepentingan negara atau pemerintah. Ketentuan pertama “berperilaku adil”, harus mengacu pada rasa keadilan dalam masyarakat. Seorang hakim juga tidak boleh dipengaruhi oleh permintaan untuk “berpihak” (partisan demands) atau dipengaruhi oleh keinginan untuk mendapat popularitas pribadi. Karena itu seorang hakim harus mendengar dengan cermat pendapat dari kedua belah pihak dalam konflik (penggugat dan tergugat; penuntut umum dan terdakwa). Tentang kewajiban hakim kepada pengadilan, perilaku seorang hakim harus bebas dari ketidak pantasan atau ketidak patutan (improper behavior; improprietary). Seorang hakim harus selalu menginsyafi bahwa perilakunya akan dapat mencoreng jabatan dan citra pengadilan. Karena itu perilakunya di dalam sidang maupun dalam keseharian haruslah tanpa cela (beyond reproach).



Seorang hakim harus mengusahakan agar tidak terlibat dalam kegiatan yudisial (bertindak selaku hakim) dimana kepentingan pribadinya tersangkut. Dia harus berperilaku jujur, netral (impartial), tidak takut pada kritik masyarakat, tidak mengharapkan mendapat pujian masyarakat dan menjaga kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. Hakim juga harus menjaga kewibawaan sidang pengadilan yang sedang berada dalamproses mengadili. Karena itu dia harus memimpin sidang dengan menjaga tata-tertib dan aturan-aturan sopan santun (decorum). Dia harus menunjukan sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada sesama hakim (dalam majelis yang sedang bersidang), kepada penuntut umum, advokat, terdakwa dan para saksi. Perilaku bercirikan kejujuran melarang hakim untuk bersikap curang dalam perkara yang dihadapinya. Dia dapat berperilaku curang karena antara lain. dipengaruhi oleh ambisi dan kepentingan diri (pengaruh politik), maupun dipengaruhi oleh pemberian hadiah, ataupun suatu “kebaikan” (favor). Tentang kewajiban hakim kepada sejawat hakim maupun sejawat profesi hukum lainnya, seorang hakim harus memahami pula bahwa tugasnya untuk menerapkan hukum dan undang-undang melalui penfsirannya, kepada kasus yang dihadapinya, membawa/mempunyai dampak pada perkembangan hukum (the development of the law). Karena itu dalam menafsirkan undang-undang pada kasus tertentu, ia harus sangat hati-hati dan harus dapat dan berani mempertanggungjawabkan keputusannya itu kepada sejawat hakim lain maupun sejawat profesi hukum lainnya. Terutama dalam keadaan negara Indonesia, dimana perkembangan hukum masih harus disesuaikan dengan masyarakat Indonesia yang majemuk dan kompleks, maka putusan hakim yang menafsirkan suatu aturan hukum, yang dibuat oleh eksekutif bersama yudikatif, dapat mempunyai dampak besar (misalnya hak rakyat atas ganti rugi tanah yang diperlukan oleh pemerintah; atau pengertian merugikan keuangan negara; atau bentuk pencemaran nama baik oleh media pers). Untuk dapat berperilaku menjunjung tinggi harga diri seorang hakim harus mencegah tumbulnya kecurigaan bahwa dirinya dan jabatannya telah dimanfaatkan (oleh hakim tersebut atau orang lain) untuk meyakinkan atau memaksa seseorang atau suatu perusahaan memberi sumbangan kepada suatu usaha komersial. Karena itu seorang hakim harus menahan diri mempergunakan kekuasaan jabatannya (the power of his office) untuk kepentingan bisnis atau untuk memenuhi ambisi pribadi ataupun politik seseorang. Perilaku semacam ini akan menimbulkan citra buruk terhadap profesi hakim, maupun profesi lainnya yang berhubungan dengan pengadilan. Untuk menghargai waktu yang telah disediakan oleh mereka yang berperkara (termasuk saksi-saksi, penuntut umum dan advokat), maka sering hakim harus menunjukkan sikap berdisiplin tinggi. Hal ini berarti bahwa hakim harus tepat waktu dalam memulai sidang, karena kelambatan dan kelambanan dalam proses persidangan akan sangat merugikan mereka yang mempunyai tugas-tugas lain, di samping kewajiban kehadiran mereka dalam sidang hakim bersangkutan. Agar sidang dapat diarahkan dengan baik, disiplin hakim mencakup pula kerajinannya mempelajari berkas perkara sebelum hari sidang. Agar sidang tidak berjalan lamban dan tidak efisien dan menjadi tidak efektif, maka perilaku hakim yang berdisiplin tinggi adalah juga berarti menegakkan disiplin itu pada dirinya dan jalannya sidang. Hal itu berarti bahwa hakim harus menghargai sikap profesional pada dirinya, maupun para pihak yang berperkara. Setiap tindakan atau perilaku tidak-profesional yang terjadi dalam sidangnya harus segera ditertibkan dan diperbaiki, dimana perlu dengan memproses tindakan tidak-profesional tersebut untuk dilaporkan kepada organisasi profesi yang bersangkutan, agar dapat diperiksa dan



dikenakan tindakan disiplin. Termasuk dalam kewajiban hakim pada para sejawatnya adalah berperilaku rendah hati. Didalam sidang hakim itu (sangat) berkuasa. Dia dapat menerima ataupun menolak permintaan para pihak dalam perkara (misalnya menghadirkan saksi) atau “mengusir” seseorang dari ruangan sidang. Dengan berperilaku rendah hati, seharusnya hakim tidak “memamerkan” kekuasaannya ini. Hakim harus ramah pada teman sejawat hakim (yang duduk sebagai anggota majelis yang bersangkutan), juga kepada para kuasa dari para pihak (penuntut umum dan advokat), serta tentunya juga pada para saksi dan terdakwa atau penggugat dan tergugat. Terutama keramahannya ini harus ditujukan kepada para teman sejawat hakim dan sejawat lainnya yang masih muda dan belum berpengalaman. Tentang kewajiban hakim kepada para pihak dalam perkara, tentunya kewajiban ini yang paling disorot publik dan menuai banyak perdebatan tentang isinya dan apakah suatu perbuatan (yang dianggap merugikan salah satu pihak berperkara) adalah perbuatan yang perlu mendapat sanksi disiplin. Hakim harus berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, dan berperilaku menjunjung tinggi kesetaraan di hadapan hukum. Banyak kasus yang dibawa ke pengadilan adalah kasus yang “samar-samar” hukumnya (khususnya kalau diterapkan pada perkara bersangkutan). Tindakan pidana yang dilakukan tidak sebanding dengan hukuman yang diterima. Hakim harus bersikap mandiri. Disini pula tepat untuk mengingatkan kembali tentang bahaya penerimaan hadiah, pepatah kuno mengatakan: “hadiah akan membutakan mata dan menyesatkan kata-kata seorang yang arif bijaksana” (a gift does blind the eyes of the wise, and pervert the words of the righteous). Kemandirian pengadilan (independency of the judiciary) sering “dikumandangkan” sebagai hak dari sistem peradilan (kekuasaan kehakiman) yang diamanatkan dalam konstitusi. Tetapi sering para “penuntut hak” itu lupa, bahwa lebih utama bagi publik (masyarakat pencari keadilan) adalah kewajiban hakim untuk bersikap mandiri. Jadi berarti bahwa hakim tidak boleh di “dorong” untuk bersikap partisan (memihak). Sikap ini sering juga sukar bagi hakim, karena kedua belah pihak yang sedang berada dalam “konflik” tentunya menginginkan hakim untuk “berpihak (membenarkan)” argumentasi masing-masing Juga akan sukar bagi hakim apabila ada “tekanan kekrabatan” (kinship influence). Memang seorang hakim harus mengundurkan diri bila salah satu pihak dalam perkara mempuyai hubungan kekeluargaan dengannya, tetapi “hubungan kekrabatan dalam sistem keluarga besar” akan menyukarkan dirinya untuk menghindar dari usaha-usaha mempengaruhinya. Karena itulah disyaratkan bahwa seorang hakim mempunyai integritas tinggi, sikap ini tidaklah hanya berarti “jujur dan dapat dipercaya”, tetapi juga mencerminkan keteguhan dalam pendirian (istiqamah; strength and firmness of character). Ada kalanya hakim secara tidak sadar akan membiarkan suatu perkara berlarut-larut (delay in the administration of justice), mungkin karena kesibukannya sendiri, sehingga tidak mempersiapkan diri untuk memahami perkara, atau karena “sungkan” (merasa tidak enak hati) untuk menolak permintaan salah satu pihak, karena advokat (atau penuntut umum) adalah teman dekatnya. Diperlukan kekuatan dan keteguhan untuk tetap berperilaku adil agar perkara dapat selesai dengan “cepat dan biaya murah”. Dalam menghadapi perkara-perkara yang harus diadilinya seorang hakim juga harus menjunjung tinggi asas kesetaraan di muka hukum (equality before the law). Ia tidak boleh terpengaruhi oleh pangkat (jabatan), status sosial, suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, agama dan kepercayaan, dan aliran politik seseorang yang dihadirkan dimuka sidangnya. Ia harus meyakini adanya tingkat atau kedudukan yang sama dari setiap orang dimuka hukum. Kesetaraan dimuka hukum ini harus diartikannya juga setelah hakim tersebut memberikan putusannya. Karena



itu dia harus secara adil juga menguraikan dengan seksama argumentasi yang diajukan oleh pihak yang dikalahkan olehnya dalam perkara tersebut. Uraian tersebut harus dapat menunjukkan bahwa hakim tersebut telah pula dengan seksama mempertimbangkan argumentasi pihak yang dikalahkannya. Pendapat hukum dari hakim ini (judicial opinion; legal reasoning) merupakan pula bukti bahwa hakim yang memutus dalam tingkat perkara tersebut memberikan sepenuhnya hak kepada pihak yang kalah untuk meminta banding atas putusan perkaranya, pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi. Dari penjabaran diatas jelas menyatakan bahwa kode etik profesi hakim merupakan penjelmaan dari nilai-nilai etika dan sikap terpuji yang merupakan cerminan moralitas yang baik yang bersumber dari ajaran agama. Hal ini tentunya tidak lepas dari nilai akhlaq yang juga merupakan ajaran-ajaran agama yang harus diamalkan dalam bermuamalah. Hal ini dikarenakan, ilmu hukum dalam keotentikannya merupakan ilmu yang sarat dengan moral dan moralitas. Ilmu hukum merupakan realitas kodrati yang eksis dan tertanamkan di setiap hati nurani manusia dan a priori terhadap segala bentuk perilaku manusia. Dalam posisinya sebagai norma kehidupan seperti itu, maka ilmu hukum merupakan ilmu amaliah. Artinya, tidak ada ilmu hukum tanpa diamalkan, dan tidak ada sesuatu amalan digolongkan bermoral kecuali atas dasar ilmu hukum. Bagaimanapun perkembangan ilmu hukum harus berjalan secara wajar, sehat dan mampu menjadi pendorong terwujudnya kehidupan yang lebih adil, bahagia dan sejahtera. Dalam konteks pemikiran demikian, maka keutuhan moral dengan ilmu hukum harus tetap dijaga, baik pada tataran teoretis maupun praktis. Moral dan moralitas religius, sebagai fondasi utama untuk merespon keterpurukan perkembangan ilmu hukum sangat penting, karena pada tataran paradigmatis, filosofis maupun empiris, sejarah kehidupan manusia di belahan bumi manapun telah terbukti bahwa agama mampu menjadi pilar-pilar yang kokoh bagi terwujudnya perikehidupan dan penegakan hukum yang benarbenar adil. Apa yang dimaksud dengan moral di sini tidak lain adalah akhlak. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak dari kata khuluq. Khuluq berarti tabiat, watak, perangai dan budi pekerti yang bersumber atau berinduk pada al-Khaliq (Tuhan Yang Maha Esa). Akhlak (khuluq) sebagai hal yang melekat dalam jiwa, yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang dengan mudah untuk dilakukan tanpa dipikir dan diteliti. Jika hal-ihwal jiwa itu melahirkan perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syara’, maka hal-ihwal itu disebut khuluq yang baik, sebaliknya jika yang keluar darinya adalah perbuatan-perbuatan buruk, maka hal-ihwal jiwa yang menjadi sumbernya disebut khuluq yang buruk. Dengan demikian setiap perbuatan individu maupun interaksi sosial tidak dapat lepas dari pengawasan al-Khaliq (Allah swt). Dari definisi itu dapat ditegaskan bahwa akhlak senantiasa berkaitan dengan nilai baik dan buruk. Pertanyaan yang muncul kemudian dengan definisi ini adalah masih relevankah memposisikan alKhaliq sebagai sumber, induk dan tolok ukur untuk penilaian baik dan buruk, sehingga dapat dibedakan antara akhlak yang baik/mulia (akhlaq al-karimah) dan akhlak buruk/jahat (akhlaq almadzmudah)? Bagi orang-orang yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah swt, tentu tidak akan pernah ada keraguan barang sedikitpun bahwa sumber, induk dan tolok ukur tertinggi akhlak adalah Allah swt. Dialah Yang Maha Benar (al-Haq) dan daripada-Nya asal-usul kebenaran itu. Dia pula Yang Maha Adil (al-Adl) dan daripada-Nya keadilan absolut berasal. Berasal dan berawal dariNya dan akan terpulang kepada-Nya, segala amal manusia baik yang tergolong bermoral maupun amoral. Ajaran demikian itu telah sampai pada semua manusia melalui agama yang diwahyukan kepada para Rasul dan selanjutnya oleh para Rasul diajarkan, dijelaskan bahkan dicontohkan dalam



segala aspek kehidupan. Inilah yang saya sebut dengan moral religius. Moral religius merupakan moral kehidupan. Apabila kita sepakat bahwa seluruh aspek kehidupan tidak ada yang bebas, lepas dan netral dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan, maka sebenarnya apa yang disebut moral religius menjadi identik dengan moral ilmu hukum. Jangkauan dan cakupan moral religius menjadi sangat luas, menyeluruh dan menyentuh semua sendi-sendi kehidupan bagi siapapun, di manapun dan kapanpun. Dengan kata lain, moral religius atau moral ilmu hukum bersifat universal. Dalam keuniversalannya, moral religius mengandung karakteristik sebagai berikut: Pertama, berkarakter teistik. Tuhan itu Esa, dan dengan keesaan-Nya telah meliputi segalanya, sehingga tidak tersisa barang sedikit pun untuk men-Tuhan-kan yang selain Allah swt. Nilai-nilai moral absolut hanya ada pada Dia, dan oleh sebab itu segala bentuk aktivitas manusia, termasuk dalam berolah ilmu hukum harus berporos, berproses, dan bermuara kepada-Nya. Dengan kata lain, ilmu hukum yang bermoral adalah ilmu hukum yang dibingkai oleh pandangan dunia yang teistik. Sebaliknya, terhadap ilmu hukum yang menempatkan selain Allah swt sebagai ukuran kebaikan, kebenaran dan keadilan, pantas dipertanyakan komitmen moralnya. Dalam konteks ini semestinya, kita ingat akan sentilan Allah swt dalam firman-Nya yang berbunyi: ”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50). Kedua, berkarakter manusiawi. Moral religius, sebagaimana agama itu sendiri adalah tiang kehidupan. Moral religius menjamin terwujudnya kehidupan manusia agar tegak dan konsisten, tidak mudah tergoyahkan oleh berbagai perubahan dan hasutan yang membawa kepada kerusakan. Berolah ilmu hukum atas dasar moral religius, pada dasarnya beraktivitas dalam pemenuhan tuntutan fitrah manusia. Ilmu hukum yang bermoral adalah ilmu hukum yang mampu menjadi pemandu dan obat kerinduan manusia pada kebaikan, kebenaran dan keadilan absolut. Oleh sebab itu, ilmu hukum dituntut bersifat fasilitatif terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia baik lahir maupun batin. Ilmu hukum harus mampu memanusiakan manusia seutuhnya, dan mampu mencegah, membetengi, dan melindungi dari setiap upaya yang melanggar hak asasi manusia. Ketiga, berkarakter realistik. Moral religius menaruh perhatian terhadap kebebasan, kelebihan maupun kelemahan yang melekat pada diri setiap manusia. Realitas seperti itu benar-benar diperhatikan, sehingga walaupun semua manusia telah dititahkan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding makhluk-makhluk lain, akan tetapi realitas yang terjadi dapat sebaliknya yakni manusia berada jauh di bawah martabat seekor binatang. Dalam kondisi seburuk apapun, moral religius mampu memberikan jalan keluar terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia karena keterbatasannya itu. Terbuka ampunan terhadap orang-orang yang terlanjur menganiaya diri sendiri, tetapi kemudian sadar akan kesalahannya dan segera mohon ampun serta segera kembali ke jalan yang benar. Terhadap orang-orang melanggar hukum Tuhan karena terpaksa (bukan karena sengaja), tiadalah diketegorikan dia berdosa. Moral religius, dengan demikian sangat peduli terhadap realitas plural yang dihadapi setiap manusia, termasuk pluralitas hukum, asalkan kemajemukan itu masih dalam bingkai kebebasan yang dituntunkan agama. Keempat, berkarakter holistik. Sebagaimana kita sadari bahwa ilmu hukum akan selalu eksis bersamaan dengan eksistensi manusia. Manusia dalam eksistensinya, tidaklah berdiri sendiri dan terpisah dari entitas lain. Dalam proses kehidupan akan selalu ada komunikasi dan interaksi dengan entitas lain, baik vertikal terhadap Tuhan maupun horizontal terhadap makhluk-makhluk lain. Moral religius menyediakan ruang-gerak untuk berlangsungnya keseluruhan komunikasi dan interaksi tersebut. Derajat, kualitas dan moralitas ilmu hukum akan terlihat dari seberapa besar ruang-gerak



yang diberikan oleh ilmu hukum dalam memfasilitasi proses komunikasi dan interaksi keseluruhan entitas, sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada entitas manapun yang terabaikan. Moralitas religius senantiasa mendorong kesatuan yang mendasari tatanan penciptaan maupun tujuan penciptaan semua makhluk, dalam dimensi waktu lampau, kini maupun yang akan datang, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dengan begitu, ketika ada perbedaan persepsi, pandangan, konsep, teori dan apapun di antara entitas yang eksis dalam kehidupan ini, maka yang terjadi adalah saling menyapa, saling memberi, saling berbagi dan bukan saling membenci, mencaci, ataupun mereduksi. Moralitas religius senantiasa menempatkan dan menghormati setiap entitas dalam kedudukannya sebagai subjek dan tidak sekali-kali mengobjekan pihak lain. Ilmu hukum yang bermoral religius senantiasa merengkuh pandangan holistik dalam menggarap objeknya, dan tidak sekali-kali membuang ataupun menafikan eksistensi sebuah entitas. Dalam konteks ini kita telah diingatkan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam suatu ukuran tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan. ”Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apapun yang ada di antara keduanya tanpa hikmah . . . (as-Shaad: 27). Secara teoritis, hukum Indonesia tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa Indonesia. Hukum tertinggi Negara, UUD 1945, dimulai dengan klausal “berkat ramat Allah”, mengandung prinsip dasar Ketuhanan yang Maha Esa dan pengakuan terhadap agama. Agama adalah sumber moralitas yang paling kokoh bagi bangsa Indonesia. Moralitas sebagai nilai baik buruk berasal dari agama, hati nurani, dan pikiran yang sehat. Dalam Islam, ketiga hal ini menjadi satu. Sementara itu hukum pada awalnya adalah nilai-nilai moral yang disepakati menjadi nilai-nilai hukum sehingga menjadi aturan hukum atau perundangundangan. Karena itu, hukum yang langsung berasal dari moralitas akan mendapat penghormatan dari masyarakat karena hukum tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, hukum, moral, dan agama merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Agama merupakan aturan yang merangkum tentang nilai-nilai akhlaq yang baik yang merupakan aplikasi konkrit dari sebuah moralitas. Sehingga hukum disini adalah nilai-nilai moral yang disepakati menjadi nilai-nilai hukum sehingga menjadi aturan hukum atau perundangundangan yang berlaku. Dengan kata lain, nilai-nilai yang diajarkan agama berupa akhlaq yang merupakan apilkasi langsung dari nilai moralitas yang baik akan menjadi landasan pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan. Kode etik profesi hakim merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama berupa akhlaq yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Dan hakim dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika profesinya dengan baik. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dengan adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang



begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik. Untuk itu, butuh adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam praktek sehari-hari. Hal ini karena kode etik hanya merupakan sebatas aturan saja. Adanya Komisi Yudisial ataupun komisi yang dibentuk oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) belum mencukupi dalam mengawasi hakim menjalankan tugasnya. Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut. Hal ini dikarenakan, kode etik profesi hakim merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama berupa akhlaq yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Dan hakim dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika profesinya dengan baik. Sebuah aturan (kode etik) yang bersumber dari nilai-nilai kebaikan sudah tentu akan bisa dijalankan dengan niat dan cara yang baik pula.



MAKALAH ETIKA PROFESI HAKIM ETIKA PROFESI HAKIM MAKALAH KATA PENGANTAR Assalammu’alaikum



Wr.Wb



Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan makalah yang membahas tentang kode etika dalam profesi dari mata kuliah etika profesi. Makalah ini dimaksudkan sebagai penjelasan ringkas dari etika profesi. Dengan membaca makalah etika profesi ini, diharapkan pembaca dapat memahami dan mengerti tentang etika profesi serta dapat memahami faktor dan hal-hal yang berhubungan dengan etika profesi. Dalam penulisan makalah ini, Penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu Penulis sangat mengharapkan masukan dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Demikianlah makalah ini Penulis buat, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membaca. Wassalammu’alaikum



Wr,Wb DAFTAR ISI



HALAMAN KATA DAFTAR ISI BAB A. B.



JUDUL PENGANTAR I LATAR



BELAKANG BATASAN



PENDAHULUAN MASALAH MASALAH



BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN HAKIM B. KEWAJIBAN / TUGAS HAKIM C. TANGGUNG JAWAB HAKIM D. KODE ETIK HAKIM E. HUBUNGAN KODE KEHORMATAN HAKIM DENGAN UNDANG-UNDANG F. KEKUASAAN KEHAKIMAN BAB KESIMPULAN DAFTAR



III



PENUTUP PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN



A.



LATAR



BELAKANG



MASALAH



Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Tugas hakim adalah mengkonstatir, mengkwalifisir dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus dikonstatirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikwalifisir, pasal 5 ayat 1 UU. 14/1970 mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga walaupun itu keluarganya, kalau sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama. Hakim harus berpegang kepada Tri Parasetya Hakim Indonesia. Hakim harus dapat membedakan antar sikap kedinasan sebagai jabatannya sebagai pejabat negara yang bertugas menegakkan keadilan dengan sikap hidup sehari-hari sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat. Untuk membedakan itu hakim mempunyai kode etik sendiri bagaimana supaya dia dapat mengambil sikap. Zaman sekarang kadang-kadang hakim salah menempatkan sikapnya, yang seharusnya sikap itu harus dilingkungan keluarga, ia bawa waktu persidangan. Ini tentunya akan mempengaruhi putusan. Masalah kode etik inilah yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini. Supaya hakimhakim agar lebih memperhatikan lagi tugasnya sebagai penegak keadilan di dalam masyarakat. B.



BATASAN



MASALAH



Supaya pembahasan makalah ini tidak menyimpang, maka kami membatasi makalah ini dengan : 1. Pengertian hakim, tugas, dan tanggung jawabnya. 2. Kode etik hakim dan hubungannya dengan Undang-undang BAB II PEMBAHASAN A.



PENGERTIAN



HAKIM



Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim disebut juga kode kehormatan hakim. Hakim juga adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhetian dan pelaksanaan tugasnya ditentukan oleh undang-undang. B. Hakim



KEWAJIBAN sebagai



penegak



hukum



/ dan



keadilan



TUGAS mempunyai



HAKIM kewajiban



yaitu



:



Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup



dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tangah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orangorang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya. C.



TANGGUNG



1.



JAWAB



HAKIM



Tanggung Jawab Hakim Kepada Penguasa



Tanggung jawab hakim kepada penguasa (negara) artinya telah melaksanakan peradilan dengan baik, menghasilkan keputusan bermutu, dan berdampak positif bagi bangsa dan negara.  







2.



Melaksanakan peradilan dengan baik. Peradilan dilaksanakan sesuai dengan undangundang, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masayarakat, dan kepatutan (equity). Keputusan bermutu. Keadilan yang ditetapkan oleh hakim merupakan perwujudan nilai-nilai undang-undang, hasil penghayatan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, etika moral masyarakat, dan tidak melanggar hak orang lain. Berdampak positif bagi masyarakat dan negara. Keputusan hakim memberi manfaat kepada masyarakat sebagai keputusan yang dapat dijadikan panutan dan yurisprudensi serta masukan bagi pengembangan hukum nasional. Tanggung



Jawab



Kepada



Tuhan



Tanggung jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya telah melaksanakan peradilan sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, menurut hukum kodrat manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui suara hati nuraninya. D.



KODE



ETIK



HAKIM



Untuk jabatan hakim, Kode Etik Hakim disebut Kode Kehormatan Hakim berbeda dengan notaris dan advokat. Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Oleh karena itu Kode Kehormatan Hakim memuat 3 jenis etika, yaitu :   



Etika kedinasan pegawai negeri sipil Etika kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum. Etika hakim sebagai manusia pribadi manusia pribadi anggota masyarakat.



Uraian Kode Etik Hakim meliputi :



    



Etika keperibadian hakim Etika melakukan tugas jabatan Etika pelayanan terhadap pencari keadilan Etika hubungan sesama rekan hakim Etika pengawasan terhadap hakim.



Dari kelima macam uaraian kode etik ini akan kita lihat apakah Kode Etik Hakim memiliki upaya paksaan yang berasal dari undang-undang. 1. Etika Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :           



keperibadian



Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Menjunjung tinggi, citra, wibawa dan martabat hakim Berkelakuan baik dan tidak tercela Menjadi teladan bagi masyarakat Menjauhkan diri dari eprbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim Bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab Berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan) Dapat dipercaya Berpandangan luas



2. Etika melakukan Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :        



  



tugas



jabatan



Bersikap tegas, disiplin Penuh pengabdian pada pekerjaan Bebas dari pengaruh siapa pun juga Tidak menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan dan wewenang untuk kepentingan pribadai atau golongan Tidak berjiwa mumpung Tidak menonjolkan kedudukan Menjaga wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan Berpegang teguh pada Kode Kehormatan Hakim



3. Etika pelayanan Sebagai pejabat penegak hukum, hakim : 



hakim



terhadap



pencari



keadilan



Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan di dalam hukum acara yang berlaku Tidak memihak, tidak bersimpati, tidak antipati pada pihak yang berperkara Berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak membedabedakan orang Sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan



   



Menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan Memutus berdasarkan hati nurani Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa



4. Etika hubungan sesama Sebagai sesama rekan pejabat penegak hukum, hakim :       



5.



rekan



hakim



Memlihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesam rekan Memiliki rasa setia kawan , tenggang rasa, dan saling menghargai antara sesama rekan Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim Menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan , baik di dalam maupun di luar kedinasan Bersikap tegas. Adil dan tidak memihak. Memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya dan hakim atasannya. Memberi contoh yang baik di dalam dan di luar kedinasan. Etika



pengawasan



terhadap



hakim.



Di dalam urusan Kode Kehormatan Hakim tidak terdapat rumusan mengenai pengawasan dan sanksi ini. Ini berarti pengawasan dan sanksi akibat pelanggaran Kode Kehormatan Hakim dan pelanggaran undang-undang. Pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Menurut ketentuan pasal 20 ayat (3) Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum; Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman. E.



HUBUNGAN KODE KEHORMATAN HAKIM DENGAN UNDANG-UNDANG



Jabatan hakim diatur dengan undang-undang, yaitu UU No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Seorang yang menjabat hakim harus mematuhi undang-undang dan berpegang pada Kode Kehormatan Hakim. Hubungan antara undang-undang dan Kode Kehormatan Hakim terletak pada ketentuan Kode Kehormatan Hakim yang juga diatur dalam undang-undang, sehingga sanksi pelanggaran undang-undang diberlakukan juga pada pelanggaran Kode Kehormatan Hakim. Apabila menurut Majelis Kehormatan Hakim ternyata seorang hakim terbukti telah melakukan pelanggaran, maka berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1), hakim yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan : 1. 2. 3. 4. 5.



Dipidana karena bersalah melakukan tindakan pidana kejahatan. Melakukan perbuatan tercela. Terus menerus melalaikan kewajiban menjalankan tugas pekerjaan. Melanggar sumpah atau janji jabatan. Melanggar larangan pasal 18 (rangkap jabatan)



Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dilakukan setelah hakim yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. Menurut penjelasan pasal tersebut: 1. Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan pidana penjara sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan. 2. Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim. 3. Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas yang dibebankan kepada hakim yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan tadi dapat disimpulkan bahwa sanksi undang-undang adalah juga sanksi Kode Kehormatan Hakim yang dapat dikenakan kepada pelanggarnya. Dalam hal ini, Kode Kehormatan Hakim juga menganut prinsip penundukan pada undang-undang. F.



KEKUASAAN



KEHAKIMAN



Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dalam pengertian di dalam keuasaan kehakiman bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva dan rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang-Undang. Kebebasan dalam pelaksanaan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasil dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapinya sehingga keputusannya mencerminkan persaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Penyelenggaraan Kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan Peradilan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dalam hal ini kekuasaan kehakiman 1. 2. 3. 4. Peradilan



dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan : Peradilan Umum Peradilan Agama Peradilan Militer Tata Usaha Negara



Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara adalah peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata maupun pidana. Mahkamah



Agung



adalah



Pengadilan BAB III PENUTUP



Negara



Tertinggi.



KESIMPULAN Dari urain diatas penulis dapat menyimpulkan beberapahal, antara lain : Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim disebut juga kode kehormatan hakim. Tugas hakim adalah : 1. Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. 2. Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana. Tanggung jawab hakim 1. Tanggung jawab 2. Tanggung jawab kepada Tuhan



ada



2 kepada



yaitu



: penguasa



Kode kehormatan hakim dikenal dengan "Tri Prasetya Hakim Indonesia". Yaitu :"Saya berjanji : a. Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat Hakim Indonesia; b. Bahwa saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan Hakim Indonesia; c. Bahwa saya menjunjung tianggi dan mempertahankan jiwa Korps Hakim Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya di jalan yang benar." Perlambang sifat hakim yaitu : KARTIKA = Percaya dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, CAKRA = Adil, CANDRA = Bijaksana / Berwibawa, SARI = Berbudi luhur / berkelakuan tidak tercela, dan TIRTA = Jujur DAFTAR PUSTAKA    



   



Kansil, C.S.T. Drs, S.H., 1986, Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK), Jakart: PT. Bina Aksara. Muhammad, Abdul Kadir, Prof S.H., 2001, Etika Profesi Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Sumaryono,E, 1995, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta : Kanisius. UU RI No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan, dan UU N0 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Beserta Penjelasannya, Surabaya : Karina, 2003. Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm 101. C.S.T. Kansil, Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK), Jakart: PT. Bina Aksara, 1986, hlm. 18 - 19 Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, hlm 102 - 104 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995, hlm. 175 - 177



  



 



Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 104 - 105 C.S.T Kansil, Op. Cit, hlm. 8 - 12 UU RI No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan, dan UU N0 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Beserta Penjelasannya, Surabaya : Karina, 2003, hlm. 130 – 150. http://situscoplug.blogspot.com http://pusat-makalah-hukum.blogspot.com/



Posts tagged “etika profesi hakim” Etika Profesi Hakim Bab I Pendahuluan 1. 1. Latar belakang masalah



Untuk melaksanakan suatu fungsi, pada semua lini dalam setiap bidang pada dasarnya terdapat beberapa unsur pokok, yaitu : Tugas, yang merupakan kewajiban dan kewenangan. Aparat, orang yang melaksanakan tugas tersebut. Lembaga, yang merupakan tempat atau wadah yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana bagi aparat yang akan melaksanakan tugasnya. Bagi seorang aparat, mendapatkan tugas merupakan mendapatkan kepercayaan untuk dapat mengemban tugas dengan baik dan harus dikerjakan dengan sebaiknya. Untuk mengerjakan tugas tersebut akan terkandung sebuah tanggung jawab dalam melaksanakan dan mengerjakan tugas tersebut. Tanggung jawab dapat dibedakan menjadi 3 hal yakni : moral, tehnis profesi dan hukum. Tanggung jawab hukum merupakan tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan rambu-rambu hukum yang telah ada, dan wujud dari pertanggung jawaban ini merupakan sebuah sanksi. Sementara itu tanggung jawab moral merupakan tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan yang bersangkutan (kode etik profersi). Pada dasarnya tuhan menciptakan manusia tidaklah sendiri diperlukannya berinteraksi dan bekerjasama dengan oranglain dalam melakukan tugasnya. Namun dalam menjalankan tugasnya sering kali manusia harus berbenturan dengan satu samalain. Dalam hal ini dibutuhkan sebuah pranata sosial berupa aturan-aturan hukum. hukum melalui peradilan akan memberikan prelindungan hak, terhadap serangan atas kehormatan dan herga diri serta memulihkan hak yang terampas. Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya sistim peradilan yang diharapkan dapat membuat keseimbangan sosial dan kedamaian didunia ini. Namun perlu kita sadari aparat-aparat hukum juga merupakan seorang manusia yang memiliki kekurangan dan memiliki kesalahan



yang tidak dapat dipungkiri. Beberapa tekanan terkadang dapat membuat seseorang melakukan hal-hal yang kadang tidak sesuai maka dari itu diperlukannya kode etik dalam menjalankan sebuah profesi. 1. 2. Rumusan masalah



Dari latar belakang di atas telah kit abaca bahwa profesi yang ada pada saat ini memiliki tanggung jawab yang besar terutama dalam profesi hakim. Maka kami dapat menarik beberapa masalah dari latar belakang diatas yang kami rumuskan menjadi enam rumusan masalah yakni : 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Apa yang dimaksud dengan etika? Bagaimana kedudukaan hakim di dalam sistim peradilan? Apa fungsi dan tugas hakim dalam sistim peradilan? Apa yang dimaksud dengan etika profesi dan kode etik hakim? Apa maksud dan tujuan dari kode etik hakim Apa kewajiban dan larangan dalam profesi hakim?



Bab II Pembahasan 2.1



pengertian etika



etik (etika) merupakan falsafah moral untuk mendapat petunjuk tentang prilaku yang baik, berupa nilai-nilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang baik, dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi.[1] Sedang kan didalam kamus besar bahasa Indonesia,dirumuskan pengertian etik (etika)[2] : 1. ilmu tentang apa saja yang baik dan buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral(akhlak) 2. kumpulan azaz atau nilai yang berkrnaan dengan akhlak 3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut opleh suatu golongan atau masyarakat umum



setiap bidang profesi mempunyai nilai-nilai yang merupakan pedoman dalam prikehidupan profesi yang bersangkutan. Demikianlah, pada lingkungan profesi hakim Indonesia, terdapat kode etik profesi. Kode etik profesi hakim Indonesia, didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di indonesia walaupun tentunya juga mengandung nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.



2.2



kedudukan hakim



2.2.1 secara formal kedudukan hakim telah diatur didalam undang – undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan – ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diubah dengan undang – undang No. 35 tahun 1999, undang – undang tersebut didasarkan pada UUD- 1945 pasal 24 dan 25 beserta penjelasannya, sebagaimana telah diubah dengaan perubahan ke 3 tanggal 9 november 2001[3]. Selanjutnya ketentuan – ketentuan pokok tersebut dijabarkan lebih lanjut



dalam undang – undang tentang mahkamah agung maupun undang – undang tentgang peradilan umum juga tata usaha Negara dan peradilan militer. Dalam fungsi dan tugas tersebut. Hakim berkedudukan sebagai pejabat Negara sebagaimana diatur dalam undang – undang No.8 tahun 1974, sebagaimana telah di ubah dengan undang – undang No.43 tahun 1999 tentang pokok – pokok kepegawaian.



2.2.2 kontroversi kedudukan hakim kedudukan sebagai pemberi keadilan itu sangat mulia, sebab dapat dikatakan bahwa kedudukan itu hanyalah setingkat di bawah Tuhan Yang Maha Esa Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sehingga dapat pula dikatakan bahwa hakim itu bertanggung jawab langsung kepada-NYA. Disamping itu hakim juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat[4]. Namun walaupun begitu hakim tetap manusia biasa yang bisa salah, keliru, dan khilaf. Dalam ke khilafan, orang mempunyai niat yang baik tapi pelaksanaan melakukan kealpaan. Dalam kekeliruan, orang mempunyai niat yang baik tapi pengetahuannya tidak baik, sehingga pelakjsanaan nya kliru. Dalam pelaksanaan nya terkadang kesalahan terjadi karena adanya niatan yang tidak baik walaupun pengetahuannya sebenarnya baik, sehingga dalam pelaksanaan nya secara sadar melakukan kesalahan. 2.2.3 intervensi dalam kondisi sebagai manusia yang fana itu, seorang hakim harus menghadapi keadaan yang mengintervensi kebebasan dan kemandiriannya : 1. yang bersifat internal



intervensi ini berupa dorongan dari dalam diri pribadi hakim sendiri seperti misalnya : rasa simpati, impati, antipati, emosi, integritas, keinginan, kepentingan, popularitas dan lain-lain 1. yang bersifat aksternal



intervensi ini berupa kondisi yang berasal dari luar diri hakim, seperti misalnya persaudaraan, pertemanan, penyuapan, pengarahan, tekanan, intimidasi, tindakan kekerasan, pembentukan opini, kepentingan politis dan lain-lain, termasuk juga intervensi struktural. 2.3. fungsi dan tugas hakim Berdasarkan keturunan-keturunan formal tersebut fungsi dan tugas hakim adalah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili. Kata mengadili merupakan ru,musan yang sederhana, namun didalamnya terkandung pengertian yang sangat mendasar, luas dan mulia, yaitu meninjau dan menetapkan suatu hal secara adil atau memberikan keadilan. Pemberian kadilan tersebut harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat tekhnis profesional dan harus bersifat non politis serta non pertisan. Peradilan dilakukan sesuai standart profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan pihak-pihak.



2.3.1 kode etik profesi hakim Sebagai salah satu upaya mewujudkan fungsi dan tugas hakim, dusun kode etik profesi hakim oleh IKAHI yang merupakan pedoman prilaku. Naskah lengkap kode etik profesi hakim sebagaimana dirumuskan dalam Munas XIII di bandung tahun2001. 2.4 etika profesi dan kode etik hakim Profesi hakim sebagai salah satu bentuk dari profesi hokum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. ―etika‖ berasal dari bahasa yunani, ethos dalam kamus Webster new world dictionary, etika didefinisikan sebagai “the characteristic and distinguishing attitudes, habits, belive, etc, of an individual or of group”[5] dengan kata lain, etika merupakan system nilainilai dan norma-normna yang berlaku yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkahlakunya. Istilah etika sering dikaitkan dengan tindakan yang baik atau etika berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tgentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Sedang profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, keterampilan, kejujuran tertentu. Sedangkan kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai suatu landasan tingkah laku. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal etika moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan dalam hal ini profesi hukum ( hakim) Istilah profesi dalam kamus Webster new world dictionary didefinisikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang memerlukan pendidikan atau latihan yang maju dan melibatkan keahlian intelektual, seperti dalam bidang obat-obatan, hokum, teologi, engineering dan sebagainya[6]. Profesi adalah pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan dengan cara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan. Berdasarkan rumusan diatas, jabatan hakim adalah suatu profesi, karena memenuhi kriteriakriteria. Pekerjaan tetap, bidang tertentu, berdasarkan keahlian khusus, dilakukan secara bertanggung jawab dan memperoleh penghasilan. Profesi dibedakan pula menjadi profesi biasa dan profesi luhur. Profesi biasa adalah profesi biasa pada umunya sedangkan profesi luhur adalah profesi yang pada hakikanya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Selanjutnya untuk melaksanakan profesi yang luhur secara baik dianut moralitas yang tinggi, dan tanggungjawab dari pelakunya. Etika profesi memiliki kaedah-kaedah pokok[7]: 1. profesi haaarus dipandang sebagai pelayanan dan oleh karena itu sifat tanpa pamrih menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi 2. pelayanan professional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur 3. pengembangan profesi harus selalu berorientasi pada pada masyarakat sebagai keseluruhan 4. persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengembangan profesi



profesi hakim mempunyai kedudukan dan tugas khusus karena fungsinya tersebut memerlukan persyaratan-persyaratan khusus dan lebih berat. hukum mengatur tindakantindakan manusia yang nyata dan harus mendasarkan pengertiannya dan pengaturannya pada tindakan-tindakan nyata pula. Etika profesi, kode etik hakim bersifat universal, terdapat di Negara manapun dan dimasa yang lalu karena mengatur nilai-nilai moral kaedah-kaedah penuntun dan aturan prilaku yang seharusnya dan seyogyanya dipegang teguh oleh seorang hakim dalam menjalankan tugas profesinya. Tujuan akhir atau filosofi seorang hakim ialah ditegakkannya keadilan keadilan ilahi karena ia memutus dengan didahuluinya sumpah dan Demi Keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa[8]. Cita hukum keadilan yang terdapat di dalam ―das solen‖ melalui nilai-nilai etika profesi/kode etik hukum. 2.5 maksud dan tujuan kode etik profesi Jika pedoman hidup mendasari prilaku setiap orang yang meyakini kebenaran pedoman hidup tersebut maka kode etik tersebut harus menjadikan dan dijadikan pedoman bagi prilaku/tindakan profesi hakim di luar pertimbangan-pertimbangan hukum serta harus dijunjung tinggi serta dipergunakan untuk memajukan korps dan masyarakat ini berarti pula bahwa seorang hakim secara langsung harus melakukan ketentuan-ketentuan yang terhormat dalam kode etik tersebut baik dalam menjalankan tugas maupun dalam berinteraksi m asyarakat. Maksud dan tujuan kode atik profesi hakim adalah sebagai berikut: 1. sebagai alat untuk melakukan pembinaan dan pembentukan karakter hakim serta untuk pengawasan tingkahlaku hakim. 2. Sebagai sarana kontrol sosial, mencegah campur tangan ekstra judicial serta sebagai sarana pencegah timbulnya salah paham dan konflik antar sesama anggota dan antara anggota dengan masyarakat 3. Untuk lebih memberikan jaminan bagi peningkatan moralitas hakim dan kemandirian fungsional bagi hakim. 4. Untuk lebih menumbuhkan kepercayaan masyarakat dalam lembaga peradilan.



2.5.1 komisi kehormatan profesi hakim dan pengawasan hakim Salah satu keputusan yang dihasilkan oleh Munas IKAHI XIII di bandung yaitu dibentuknya komisi kehormatan hakim, dimana komisi ini sebelumnya bernama majelis kehormatan. Keberadaan komisi kehormatan hakim ini adalah untuk menegakkan dan agar dapat terlaksananya ketentuan-ketentuan yang tercantum dan terurai dalam kode etik hakim tersebut sekaligus untuk mengawasi serta untuk memberikan pertimbangan serta sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik tersebut. Pembentukan komisi ini dilakukan di tingkat pusat maupun daerah. Komisi ini memiliki utagas untuk memantau, memeriksa, membina dan untuk merekomendasikan tingkahlaku hakim yang melanggar atau diduga melanggar kode etik profesi. Sedangkan komisi yang memiliki wewenang ini disesuaikan dengan ruang lingkup keberadaannya. Hanya bedanya, jika komisi tingkat daerah berwenang mengambil tindakan-



tindakan terhadap anggotanya di daerah/wilayahnya, sementara komisi kehormatan hakim tingkat pusat dapat mengambil tindakan-tindakan terhadap anggotanya didaerahnya/wilayahnya, sementara didalam tingkat pusat dapat mengambil tindakan yang tidak dapat diselesaikan oleh komisi tingkat daerah dimana menurut pengurus pusat IKAHI harus ditagani oleh komisi kehormatan profesi hakim tingkat pusat. 2.5.2 tugas komisi kehormatan profesi hakim dan pengawasan hakim 1. memberikan pembinaan pada anggota untuk selalu menjunjung tinggi kode etik 2. meneliti dan memeriksa laporan/pengaduan dari masyarakat atas tingkah laku dari para anggota IKHI 3. memberikan nasehat dan peringatan kepada anggota dalam hal anggota yang bersangkutan menunjukkan tanda-tanda pelanggaran kode etik



2.5.3 wewenang komisi kehormatan profesi hakim dan pengawasan hakim 1. memanggil anggota untuk didengar keterangannya sehubunagn dengan adanya pengaduan dan laporan. 2. memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan terhadap anggota yang melanggar kode etik dan merekomendasikan untuk merehabilitasi anggota yang tidak terbukti bersalah. Berkaitan dengan pengawasan hakim itu sendiri, mahkamah agung ri telah mengeluarkan keputusan tentang pengawasan oleh pengadilan tingkat banding dari peradilan tingkat pertama dengan keputusan MA Nomor : 009/SK/11/1994. 2.6 kewajiban dan larangan Kewajiban 1. Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berpekara secara berimbang dengan tidak memihak (impartial). Ketidak berpihakan seorang hakim terhadap pihak-pihak yang berp[erkara tidak boleh terpengaruh karena adanya hubungan keluarga, teman baik, karena pihak yang dihadapi tokoh masyarakat, ataupun ketidak berpihakan disebabkan oleh adanya tawaran-tawaran materi. 2. Sopan dalam bertutur dan bertindak. Tindakan dan tutur kata yang sopan tidak hanya di tunjukan dalam kerangka menjalankan tugasnya osebagai hakim tetapi juga dalam hubungan dan interaksi dengan masyarakat. 3. Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar. Hal ini akan menghindarkan hakim dari kesalahan-kesalahan dalam mengambil keputusan, karena setiap persoalan yang dihadapi selalu diplajari dengan cermat dan penuh kehati-hatian. 4. Memutus perkara berdasarkan atas hokum dan rasa keadilan. Keputusan diambil bukan karena pertimbangan suka atau tidak suka tetapi betul-betul didasarkan atas aturan hokum yang ada. Tindakan ini merupakan bagian dari upaya penegakan supremasi hokum. Sedangkan rasa keadilan bahwa orang-orang yang tertindas, tidak berdaya dan selalu



menjadi korban atas berbagai bentuk kesewenang-wenangan secara moral harus diperjuangkan, tanpa melihat posisi dan kedudukannya sebagai warganegara. 5. Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan hakim. Seorang hakim harus mampu menghindari tindakan-tindakan negative yang dapat merusak citra profesi hakim di masyarakat.



Larangan Hal-hal yang tidak diperbolehkan seorang hakim dalam menjalankan profesinya yaitu: 1. Melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani. 2. Menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara. 3. Membicarakn suatu perkara yang ditanganinya diluar persidangan. 4. Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam persidangan maupun diluar persidangan mendahului putusan. 5. Melecehkan sesama hakim,jaksa, penasehat hokum,para pihak berperkara, ataupun pihak lain. 6. Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain, kecuali dilakukan dalam rangka pengkajian ilmiah. 7. Menjadi anggota partai politik dan pekerjaan/jabatan yang dilarang undang-undang. 8. Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi maupun kelompok



Bab III Simpulan dan Saran



3.1



Simpulan



Maka dari pembahasan di atas yang telah kami jabarkan dan jelaskan maka dapat penulis simpulkan bahwa: 1. setiap bidang profesi mempunyai nilai-nilai yang merupakan pedoman dalam prikehidupan profesi yang bersangkutan. Demikianlah, pada lingkungan profesi hakim Indonesia, terdapat kode etik profesi. Kode etik profesi hakim Indonesia, didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di indonesia walaupun tentunya juga mengandung nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. 2. kedudukan hakim secara formal telah diatur didalam undang – undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan – ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diubah dengan undang – undang No. 35 tahun 1999, undang – undang tersebut didasarkan pada UUD- 1945 pasal 24 dan 25 beserta penjelasannya, sebagaimana telah diubah dengaan perubahan ke 3 tanggal 9 november 2001. 3. fungsi dan tugas hakim adalah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili. 4. lembaga untuk memantau, memeriksa, membina dan untuk merekomendasikan tingkahlaku hakim yang melanggar atau diduga melanggar kode etik profesi hakim dalam menjalankan tugasnya dibentuklah komisi kehormatan profesi hakim dan pengawasan hakim.



3.2



saran



Dari simpulan diatas maka penulis dapat memberikan saran dalam pelaksanaanprofesi hakim dalam menjalankan profesi hakim ialah: 1. peradilan harus bersifat tekhnis profesional dan harus bersifat non politis serta non partisan 2. Tujuan akhir atau filosofi seorang hakim ialah ditegakkannya keadilan keadilan ilahi karena ia memutus dengan didahuluinya sumpah dan Demi Keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa 3. Pemberian kadilan harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas hakim secara maksimal 4. kode etik hakim harus menjadikan dan dijadikan pedoman bagi prilaku/tindakan profesi hakim di luar pertimbangan-pertimbangan hukum serta harus dijunjung tinggi serta dipergunakan untuk memajukan korps dan masyarakat ini berarti pula bahwa seorang hakim secara langsung harus melakukan ketentuan-ketentuan yang terhormat dalam kode etik tersebut baik dalam menjalankan tugas maupun dalam berinteraksi m asyarakat.



Daftar Pustaka



Prof.Adul kadir muhamad, SH. etika profesi hukum Drs. Wildan Suyuthi, SH.MH, mahkamah agung RI, 2003, Jakarta Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa. Kamus besar bahasa Indonesia. 1988 jakarta



[1] Purwoto S. ganda subrata pedoman, prilaku hakim, mahkamah agung RI, 2003, jakarta [2] Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa. Kamus besar bahasa Indonesia. 1988 [3] Purwoto S. ganda subrata pedoman, prilaku hakim, mahkamah agung RI, 2003, jakarta [4] Drs. Wildan Suyuthi, SH.MH, mahkamah agung RI, 2003, jakarta [5] Drs. Wildan Suyuthi, SH.MH, mahkamah agung RI, 2003, jakarta [6] Drs. Wildan Suyuthi, SH.MH, mahkamah agung RI, 2003, jakarta [7] Drs. Wildan Suyuthi, SH.MH, mahkamah agung RI, 2003, jakarta [8] Prof.Adul kadir muhamad, SH. etika profesi hukum