Evolusi Agama [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Evolusi Agama I.



PENDAHULUAN Pada tahap-tahap awal kajian sosiologi agama dipengaruhi oleh Darwinisme, yaitu



evolusionisme pada biologis dibawa untuk menganalisis tahap-tahap perkembangan yang terjadi pada agama-agama di dunia. Pada saat itu Comte dan Spencer menyumbang begitu kuat pada pendekatan evolusi agama yang Selanjutnya diteruskan oleh Durkheim dan Weber. Namun pada abad ke-20 evolusionisme mengalami kemunduran baik dari ranah ilmu pengetahuan umum utamanya kemunduran yang terjadi pada ranah kajian agama. Walaupun begitu, pemikiran evolusionisme modern atau yang disebut neo-evolusionisme kemudian muncul untuk memperbaharui dan menjawab kritik-kritik terhadap evolusionisme klasik. Salah satu penganutnya adalah Robert N. Bellah yang menganalisis agama berdasarkan pemikiran evolusionisme. Ia berasumsi sekurang-kurangnya ada lima tahapan yang dapat digunakan dalam memudahkan untuk menganalisa agama-agama di dunia. II. A.



ROBERT N. BELLAH: EVOLUSI AGAMA Definisi Evolusi Agama Istilah evolusi yang dimaksud adalah evolusi yang terjadi sebagai suatu proses



meningkatnya diferensiasi dan kompleksitas organisme, organisasi, sistem sosial atau satuan apapun yang kemampuan beradaptasinya leebih besar terhadap lingkungan sehingga sistem tersebut relatif lebih otonom terhadap lingkungannya dibandingkan sistem yang kurang kompleks pada masa nenek moyang dahulu. Jadi definisi evolusi ini mengikuti revisi dari neoevolusionisme yang mana evolusi itu bukan mitos tetapi realitas yang nyata, ilmiah ketimbang spekulatif, ruang lingkupnya terbatas, sasaran utamanya adalah penyebab evolusi ketimbang rentetan tahap perkembangan yang dilalui, dirumuskan secara deskriptis dan kategoris, bentuknya peluang ketimbang secara pasti, dan menggabungkan penemuanpenemuan evolusionisme dari cabang lain. Clifford Geertz (1963) mengemukakan bahwa untuk mendefinisikan agama dibutuhkan sebuah tulisan tersendiri agar penjelasan yang mendalam dapat diperoleh. Namun untuk tujuan yang terbatas maka agama didefinisikan sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan manusia dengan kondisi-kondisi akhir keberadaannya. Jadi dari definisi tersebut dapat dilihat apa yang sebenarnya berevolusi dari agama.



Dalam konteks ini yang dimaksud Robert N. Bellah dengan evolusi agama adalah bukan tuhan, bukan manusia yang beragama, dan bukan juga situasi akhir struktur keberagamaan dari manusia yang berevolusi. Melainkan yang berevolusi adalah “agama sebagai sistem simbol”. B. Skema Evolusi Agama Skema evolusi agama terbentuk berdasarkan beberapa asumsi dan asumsi pertama yang juga paling mendasar adalah mengenai simbolisasi agama yang disebut oleh Geertz (1963) sebagai “keteraturan umum dari keberadaan” cenderung mengalami perubahan sepanjang waktu, setidak-tidaknya dalam hal-hal tertentu seperti lebih berdiferensiasi, mendalam, dan rasional; Asumsi kedua adalah konsepsi-konsepsi seperti tindakan, sifat pelaku, organisasi dan tempat keagamaan dalam masyarakat cenderung berubah dengan cara yang sistematis menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada simbolisasi tadi; Asumsi ketiga adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam konteks agama ini atau yang disebut evolusi agama ini berkaitan dengan berbagai perubahan yang terjadi pada dimensi lain dalam konteks sosial yang menjelaskan proses umum evolusi sosial-budaya. C. Tahap-Tahap Evolusi Agama Bellah mengajukan lima tahap atau fase yang terjadi pada evolusi agama dan tahap-tahap evolusi agama yang diajukan Bellah didasarkan pada proposisi bahwa “setiap tahap-tahap pada evolusi agama maka kebebasan pribadi dan masyarakat relatif mengalami peningkatan terhadap lingkungannya.” Namun sebelum membahas tahap-tahap evolusi agama tersebut, perlu dicatat bahwa kita tidak hanya mengetahui tahapan-tahapan evolusi agama saja, tetapi kita juga harus mempelajari isi setiap tahap di mana sistem simbol, tindakan keagamaan, organisasi sosial dan implikasi sosial digunakan dan diwujudkan. Dan tahapan-tahapan evolusi agama tersebut adalah: 1. Fase Agama Primitif Levy-Bruhl disusul oleh Marcel Mauss mengkonstruksikan konsep primitif itu terbatas untuk Australia yang merupakan satu-satunya daerah kebudayaan yang amat luas dan penting yang tidak terkena kebudayaan neolitik. Alasan Levy Bruhl menjadikan bahwa konsep primitif terbatas kepada peradaban Australia adalah karena tidak ada data yang sama di semua tempat di dunia dengan data-data Australia yang dimilikinya. Levy-Bruhl pun tidak menemukan bentuk yang murni. Perbedaan antara data Australia dengan data yang dikumpulkannya di tempat-tempat lain di dunia ternyata sangat besar dan karena sebab itulah, Bruhl tidak setuju dengan teori Durkheim yang mengatakan bahwa agama Australia



adalah bentuk elementer dari agama dan lebih suka menyebutnya dengan Istilah “pra agama” . Oleh karena itu, landasan pemikiran primitif yang disampaikan oleh Levy-Bruhl yang kemudian diterjemahkan oleh W.E.H Stanner inilah yang menjadi landasan teoritis Bellah mengenai tahap primitif dari agama. Konteks evolusi yang diterapkan di sini dapat dikatakan bahwa eksistensi agama yang paling sederhana sekalipun adalah bentuk kemajuan evolusioner. Karena barangkali pada manusia atau makhluk hidup pra-agama hanya bisa “menahan penderitaan secara pasif” namun berbeda dengan manusia yang beragama (meskipun sederhana) pada batas tertentu dapat “menyerap dan mendominasi penderitaan melalui kemampuannya melakukan simbolisasi”. Sistem simbol agama pada tingkat primitif disebut oleh Levy-Bruhl sebagai Le monde myhique yang diterjemahkan sendiri oleh Stanner sebagai the Dreaming. Dreaming adalah waktu di luar waktu atau dalam istilah Stanner ‘everywhen’ yang dihuni oleh roh-roh nenek moyang yang sebagian merupakan manusia dan sebagian hewan. (Stanner 1958, h. 514). Walaupun mereka (roh-roh nenek moyang) dianggap heroik dan memiliki kemampuan di luar kemampuan manusia biasa sehingga mereka dianggap menjadi pemelihara banyak hal di dunia ini. Namun mereka bukanlah tuhan, karena mereka tidak bisa mengontrol dunia dan tidak disembah. Tindakan keagamaan primitif tidak ditandai oleh penyembahan dan berkurban (Sacrifice), melainkan oleh identifikasi, “partisipasi” dan tindakan. Karena sistem simbol primitif adalah par excellence, maka tindakan keagamaan primitif pun adalah ritual par excellence. Dalam ritual, penganut mengidentifikasikan diri dengan makhluk-makhluk mitis yang mereka representasikan, tidak ada perantara dan tidak ada penonton dan semua yang hadir terlibat dalam ritual dan menjadi satu dengan mite. Struktur yang melandasi ritual di Australia selalu memiliki tema-tema yang berkaitan dengan inisiasi mirip dengan sacrifice. Stanner menganalisa empat tindakan dasar ritual yaitu persajian (offerings), penghancuran (destruction), perubahan identitas (transformation), dan penjelmaan kembali (return communion). Organisasi keagamaan tahap primitif merupakan struktur sosial yang terpisah dan tidak dikenal. Masyarakat dan organisasi keagamaan adalah satu. Peranan-peranan keagamaan cenderung menjadi satu dengan peranan-peranan yang lain. Dan diferensiasi berdasarkan usia, jenis kelamin, dan kelompok kerabat amat penting. Sehubungan dengan implikasi-implikasi sosial pada tingkat agama primitif, analisa Durkeheim (1947) sebagian besar masih tetap relevan diguanakan di sini yaitu mengenai



kehidupan ritual benar-benar mendorong terwujudnya solidaritas masyarakat dan mendorong kaum muda untuk mengikuti dan menaati norma-norma kelakuan tribal. Selain itu kita tidak boleh melupakan aspek-aspek inovatif agama primitif. 2. Fase Agama Arkaik Agama Arkaik meliputi sistem-sistem agama Afrika, Polinesia, beberapa agama di Dunia Baru, agama tahap permulaan dari Timur Tengah kuno, India, dan Cina. Gambaran khas agama arkaik adalah munculnya cult murni dengan sejumlah dewa, pendeta, persembahan, sacrifice, dan beberapa kasus kerajaan para ahli agama.. Dalam Sistem simbol agama Arkaik, makhluk-makhluk mitis lebih dilihat sebagai makhluk-makhluk yang memiliki sifat-sifat yang jelas. Atau singkatnya berbeda dengan agama primitif dalam agama Arkaik, makhluk-makhluk mitis ini menjadi tuhan. Tindakan keagamaan arkaik berbentuk cult di mana perbedaan antara manusia subjek dantuhan sebagai objek jauh lebih jelas daripada agama primitif. Karena pembagian lebih tajam kebutuhan akan sistem komunikasi agar manusia dan tuhan dapat berinteraksi menjadi jauh lebih penting . persembahan dan utamanya kurban tak lain adalah sistem komunikasi itu. Organisasi keagamaan Arkaik tetap berfusi dengan struktur-struktur sosial yang lain, tetapi profilerasi (penyebaran) kelompok-kelompok yang berdiferensiasi secara fungsional dan hirarkis menimbulkan semakin banyak cult, karena setiap kelompok dalam masyarakat arkaik cenderung memiliki cultnya sendiri. Implikasi sosial agama arkaik pada batas-batas tertentu sama dengan yang ada pada agama primitif. Individu dan masyarakat dilihat terintegrasi dalam kosmos ketuhanan yang bersifat alamiah.1[19] 3. Fase Agama Historis Tahap ini disebut historis dikarenakan agama-agama yang termasuk di dalamnya relatif baru. Agama-agama ini muncul dalam masyarakat yang kurang lebih melek huruf. Kriteria yang membedakan agama-agama historis dari arkaik adalah bahwa agama-agama historis dalam hal tertentu semuanya transendental. Sistem simbol dari agama sejarah sangat berbeda satu sama lain tetapi memiliki unsur Transenden yang membedakannya dari agama arkaik. Dalam hal ini agama historis bersifat dualistik. Di satu pihak Penekanan kuat pada ciri pengaturan hirarkis dari agama arkaik terus dipertahankan pada sebagian besar agama historis; namun di pihak lain agama-agama historis



1



menimbulkan “demitologisasi” yang relatif besar terhadap agama arkaik. Misalnya konsep tentang satu tuhan yang tidak bersekutu atau berkerabat. Tindakan keagamaan dalam agama-agama historis adlah tindakan untuk mencapai keselamatan. Bahkan ketika unsur-unsur ritual dan kurban tetap menonjol pada fase ini, unsur-unsur tersebut mengalami interpretasi makna yang baru. Agama historis dihubungkan dengan lahirnya kolektif keagamaan yang berdiferensiasi sebagai ciri utama organisasi keagamaannya. Bersama dengan konsep transendental di luar alam kosmos, muncul elit agama yang mengklaim hubungan langsung dengan alam yang bukan duniawi ini. Dengan munculnya elit agama dalam bidang politik, masalah keabsahan politik memasuki tahap baru. Keabsahan kini terletak pada keseimbangan yang baik antara kepemimpinan politik dan agama. Implikasi sosial dari agama historis tersirat dalam ciri-ciri organisasi-organisasi keagamaan. Diferensiasi elit agama menciptakan suatu ketegangan sosial yang baru dan kemungkinan konflik yang baru dan perubahan dalam konteks sosialnya. 2[24] Misalnya konfrontasi antara para pemimpin agama seperti ulama, paus dan lain-lain dengan pemimpin politik seperti sultan, raja dan sebagainya. 4. Fase Agama Pra-Modern Reformasi Protestan menjadi dasar pengamatan dari tahap agama pra-modern ini. Reformasi protestan adalah usaha reformasi dalam bidang agama yang berhasil diinstitusionalisasikan. Reformasi ini lebih bersifat mendorong terwujudnya tindakan otonomi positif di dunia di mana keselamatan untuk selamat di dunia yang lain (akhirat) ada di tangan individu masing-masing. Karakteristik agama pra-modern adalah lenyapnya hirarkis yang menstrukturkan dunia dan akhirat. Dualisme agama historis tetap menjadi gambaran agama pra-modern tetapi mengalami makna yang barudalam konteks konfrontasi yang lebih langsung antara ke dua dunia itu. Di dalam keadaan yang baru tadi, keselamatan tidaklah ditemukan dalam semacam penarikan diri dari dunia melainkan terlibat dalam kancah kegiatan keduniawian. Simbolisasi agama pra-modern berpusat pada hubungan langsung antara individu dan kenyataan transendental. Sejumlah besar unsur kosmologis (misalnya kristen kuno) merosot menjadi takhayul. Tindakan keagamaan pada tingkat pra-modern ini dikonsepsikan sebagai identitas keseluruhan segi kehidupan. Maksudnya tindakan keagamaannya itu sifatnya tidak hanya 2



ritual yang cenderung mengandung unsur penarikan diri terhadap dunia. Ritual pemujaan dapat dilakukan tidak hanya dalam konteks ibadah ritual seperti ke tempat ibadah-ibadah saja. Namun ritual pemujaan tuhan dapat dilakukan dalam semua aspek kehidupan. Jadi penekanannya lebih kepada aspek keyakinan daripada tindakan khusus yang disebut religius. Pada tahap ini bentuk organisasi keagamaannya dipengaruhi oleh perubahan simbol agama tersebut. Tidak hanya menolak otoritas pemimpin agama seperti paus, tetapi juga membentuk sebuah sistem dua kelas baru yang pembagiannya berdasarkan antara orangorang yang terpilih dan orang-orang pembangkang. Selain itu peranan anggota gereja dan warganegara menjadi hal yang penting. Baik gereja maupun negara memiliki otoritas yang terbatas itu dikarenakan pranata hukum telah berkembang dengan baik sehingga gereja dan negara tidak bisa sepenuhnya mendominasi satu sama lain atau masyarakat secara keseluruhannya. Implikasi sosial dari reformasi protestan atau agama pra modern ini menjadi pendorong bagi munculnya beraneka ragam struktur institusional, sejak semula atau segera menjadi sekuler sepenuhnya, yang berdiri berdampingan atau pada batas tertentu bersaing dan membatasi kekuasaan negara. 5. Fase Agama Modern Gambaran pokok dari perubahan yang terjadi pada fase modern ini adalah rusaknya dualisme yang begitu penting dalam semua agama historis. Membicarakan sistem simbol agama modern adalah sulit dan memerlukan analisa mendalam. Namun pada tingkat pemikiran, Bellah berusaha menelusuri dan menjelaskan proses melunturnya dasar-dasar simbolik lama dengan menggunakan pendekatan etika rasional Kant. 3[30] Namun yang dimaksud di sini tidak berarti manusia pada fase ini adalah sekuler atau tidak beragama. Tetapi yang dimaksud oleh Bellah di sini adalah bahwa simbolisasi keagamaan tradisional tetap dipertahankan dan berkembang ke arah yang baru sehingga manusia semakin menyadari simbolisme itu sendiri dan harus bertanggung jawab atas imbolisme yang diwujudkannya tersebut. Tindakan keagamaan dalam masa modern merupakan kesinambungan kecenderungankecenderungan yang sudah ada dalam masa pra-modern. Tetapi kini manusia tidak lagi begitu menyandarkan diri pada gereja untuk mencari makna kehidupannya. Organisasi keagamaan di masa yang akan datang seperti apa yang ditulis oleh Thomas Paine, My mind and My Church, dapat dikatakan bahwa simbolisasi kolektif karena 3



ketidakmampuan hidup dalam melarikan diri akan segera hilang. Namun asumsi ini juga kurang begitu tepat. Implikasi sosial utama dari situasi agama modern adalah bahwa kebudayaan dan kepribadian itu sendiri dianggap mampu memperbaiki diri terus menerus. Keadaan ini ditandai dengan gagalnya usaha mempertahankan makna dan standar moral.



ANTROPOLOGI AGAMA



Oleh : Ahmad Fauzi (E51109258) Ansar Asmin (E51110258) Muh. Ismar



(E51110263)



Wahyunis



(E51112262)



UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK JURUSAN ANTROPOLOGI MAKASSAR 2012