Extra Part [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Extra Part 01 Baby El



Rasanya baru kemarin Shella berjuang, bertaruh nyawa untuk melahirkan anaknya. Kini, bocah laki-laki yang dulu selalu ia bawa ke mana pun selama sembilan bulan sudah berusia tiga tahun. El terlihat seperti seorang Arkan Dirgantara versi kecil. Tidak hanya mukanya yang mirip, sifatnya pun benar-benar jiplakan ayahnya. Kadang menyebalkan, susah diatur, tapi ujungnya bikin tersenyum sendiri. Namun, tak jarang juga Shella merasa cemburu karena El yang mirip, ia juga lebih dekat dengan ayahnya. Ia juga cemburu Pak Arkan jadi jarang ada waktu untuknya. “Kamu jam segini belum siap-siap. Emang nggak berangkat kerja?” tanya Shella kepada suaminya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB, tetapi suaminya itu masih santai tiduran di ranjang anaknya. El pun masih anteng tertidur di sebelahnya. “Ini weekend, Shella,” balasnya sambil terkekeh. “Ah, iya!” Shella menepuk jidatnya sendiri. Bisa-bisanya ia lupa kalau hari ini hari libur. Shella akhirnya ikut duduk di ranjang El. Ukuran ranjang yang lebih kecil, membuatnya hanya kebagian sedikit tempat. Melihat itu, Pak Arkan jadi gemas sendiri dan menarik Shella agar merebahkan kepala di dada bidangnya. Ia melilitkan tangannya di perut istrinya, sengaja menjadikan alasan ukuran ranjang yang kecil itu untuk mendekap istrinya erat-erat. “Sayang... nanti Baby El bangun....” Shella berusaha untuk melepaskan pelukan Pak Arkan di perutnya. “Sayang, lepas dulu....”



1



“Nggak mau. Kita, kan, udah jarang ada waktu berdua, tau,” balas Pak Arkan, lalu memiringkan tubuh. Ia memeluk Shella dari belakang. “Kamu mau jalan-jalan nggak?” “Jalan-jalan ke mana?” “Ke mana aja. Terserah kamu maunya ke mana.” “El gimana? Dibawa juga?” “Kan, ada Mama, ada Bunda juga. Kita bisa titipin El ke mereka.” Shella membalikkan posisinya, membuat mereka jadi berhadapan. “Nggak enak. Nanti dibilang, punya anak seneng bikinnya doang, pas udah lahir malah di titip-titipin.” “Kan, cuma sebentar. Kita jalan juga, kan, nggak ada sehari,” jawab Pak Arkan setelah menghela napas panjang. “Ke mana, Ayah?” Pertanyaan itu membuat Pak Arkan dan Shella langsung melepaskan pelukannya. Mereka mengubah posisi menjadi duduk. “Waaaaah... anak Bunda udah bangun.” Shella pun mengulurkan tangan, membuat El langsung berhambur ke pangkuannya. “Annyeong, Bunda.” Pak Arkan mendengkus tak suka. Shella sering kali mengajarkan Bahasa Korea kepada anaknya. Tidak hanya itu, istrinya juga sering mengajak El menonton MV bujang-bujangnya. “Annyeong, Sayang.” Shella merapikan rambut anaknya yang berantakan. “Ayah nggak belangkat kelja?” tanya El dengan pelafalannya yang masil cadel. Pak Arkan menggeleng pelan sambil memindahkan El ke pangkuannya. “No, hari ini Ayah libur.” “Ayah mau ke mana?” “Ke mana? Ayah di rumah aja, sama El, sama Bunda.” El mengucek-ucek matanya. “Tadi El dengel Ayah mau pelgi sama Bunda.”



2



“Emang El bolehin Ayah sama Bunda pergi?” tanya Pak Arkan. Ia pun kembali merebahkan tubuhnya sambil memeluk El. Tidak lama kemudian, Shella juga mengikuti. El mengangguk. “Boyeh.” “Beneran?” “Benel, Bunda, tapi El ikut.” Ya, nggak jadi berduaan kalo kamu ikut! sahut Pak Arkan dalam hati. Wajahnya pun langsung berubah jadi masam. Memang dasar anak kecil, syarat yang diberikan selalu macam-macam. Kalau begitu, tidak ada bedanya. Melihat hal itu, Shella terkekeh geli. “Nggak, deh. Bunda capek, mau di rumah aja.” El memiringkan tubuhnya menghadap Shella. “Nda kenapa? Nda cape, ya?” tanyanya sambil mengusap-usap pipi Shella. Shella mengangguk. “Heem, Bunda capek. El nakal, sih, kalo abis main nggak mau beresin lagi.” El memajukan bibirnya. “Nanti kalo El main lagi, jangan Bunda belesin, ya.” “El mau beresin sendiri?” El menggeleng. “Bial Ayah aja yang belesin.” Jawaban El lagi-lagi membuat Pak Arkan mendengkus. Pintar sekali anaknya ini—atau bisa juga disebut... licik. “Kenapa nggak El yang beresin? Kan, El yang abis berantakin,” ujar Pak Arkan, setengah jengkel. “El, kan, kalo abis main cape. Bunda juga nggak boleh capean, belalti Ayah aja yang belesin.” Shella melirik suaminya. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melihat ekspresi masam suaminya. “Ayah, kan, kerja, jadi Ayah juga capek dong. Masa harus beresin mainan El lagi?” “Kata Ayah, kan, Ayah nggak pelnah cape,” tutur El sambil mengerjap polos.



3



Melihat itu, Pak Arkan tidak bisa marah. Ia malah merutuki dirinya sendiri yang pernah berkata kepada El kalau tidak pernah capek sepulang kerja. Kalau tahu kata-katanya akan dijadikan senjata oleh El, mungkin ia tidak akan mengatakan itu. “Tapi, kalo nanti Ayah kerja, dan harus beresin mainan El, Ayah juga bisa kecapean, terus kalo Ayah sakit gimana?” Sahut Pak Arkan sambil menahan diri untuk tidak mencubit gemas pipi tembam anaknya. El menatap ayahnya dengan wajah memelas. “Nggak boleh. Ayah nggak boleh sakit. Nanti yang beliin El es klim sama mobilan balu siapa?” Ada pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Salah satu sifat Shella yang menempel kepada El adalah pintar memoroti ayahnya. Pak Arkan sudah tak heran lagi. “Kamu, kok, pinter banget, sih, ngabisin uang Ayah. Belajar sama siapa, hm?” tanya Pak Arkan sembari melirik Shella. “Sama Bunda dong!” balas Shella, lalu tertawa. El mengangguk-anggukkan kepala. “El pintel kalena belajal sama Bunda. Bunda El, kan, pintel.” “Pinter morotin Ayah,” sambung Pak Arkan. “Molotin itu apa, Ayah?” tanya El dengan tampang polos. “Morotin itu sesuatu yang bikin bahagia,” balas Shella, membuat El kembali membalikkan posisinya. “Kalo gitu, El mau molotin Bunda sama Ayah setiap hali.” “HEH?”



El yang tidak mau mandi sedari pagi langsung buru-buru minta dimandikan begitu kedatangan para nenek dan keluarga tantenya. Bocah laki-laki itu tentu tidak mau terlihat jelek di depan Tamara— kakak sepupunya. Entah kenapa, keduanya itu selalu bersaing dan bertengkar setiap bertemu. “Cepetan, Bundaaaa!” omel El kepada bundanya yang tengah 4



memakaikannya celana. “Sabar, Sayang....” “Tamala nginep sini nggak, Nda?” El tidak mau memanggil Tamara dengan embel-embel “Kak”, “Mba”, atau semacamnya. Ia menganggap Tamara adalah musuhnya, bukan saudara. “Bunda nggak tau, coba nanti Bunda tanya ke Onty Della, ya,” jawab Shella sambil memakaikan kaus berwarna biru tua dengan gambar mobil—salah satu favorit El. El menggeleng keras. “Jangan bolehin Tamala nginep sini, ya, Nda.” Shella mengerutkan dahi. “Kok, gitu? Kenapa? Emang El nggak suka kalo ada temen mainnya?” El lagi-lagi menggeleng. “Tamala nakal, dia suka lebutin Omayanya El.” Omaya adalah panggilan El untuk Bunda Maya. Sebenarnya, awalawal Pak Arkan mengajarinya untuk memanggil Omah Maya. Namun karena terlalu ribet, anak itu menyingkatnya sendiri menjadi Omaya. Begitu juga dengan Omah Rina yang menjadi Omana, dan Opah Farhan yang menjadi Opahan. “Omaya, kan, punya El, sama punya Tamara, jadi nggak boleh rebutan.” Shella memberi pengertian. El memajukan bibirnya. “El nggak mau balengan Omaya sama Tamala.” “El nggak boleh gitu. Nanti Tuhan nggak suka.” Bocah itu terdiam seperti sedang memikirkan beban negara. Dahinya berkerut tanda tidak suka, begitu juga dengan bibirnya yang terus cemberut. Ia bahkan tidak peduli kalau Shella sengaja menata rambutnya jadi belah tengah. “Udah, ah. Yuk, turun,” ajak Shella. El mengulurkan kedua tangannya, meminta agar digendong. Shella menghela napas. “Udah ganteng nggak mau jalan sendiri?” El menggeleng. “El mau digendong.”



5



Wajah memohon El menjadi kelemahan Shella. Ia pun mengiakan permintaan anaknya itu. Bocah laki-laki itu langsung menempatkan kepalanya di bahu sang bunda. Kebiasaan El kalau sudah ada Tamara pasti akan menjadi lebih manja dari biasanya. Wajah El yang masih saja ditekuk meski mereka sudah menuruni tangga. Shella berjalan menuju ruang tamu, tempat yang lain sedang berkumpul. El semakin menekuk wajahnya ketika mendapati Tamara duduk di pangkuan Omah Maya. Ia melingkarkan tangannya di leher bundanya, menyembunyikan wajahnya di sana. “Turun, Sayang,” ujar Shella setelah duduk di sebelah suaminya. El hanya menggeleng, tak mau mengangkat wajahnya. “Kenapa?” tanya Pak Arkan kepada istrinya, tapi Shella hanya mengangkat bahu. “Kenapa, Sayang? Hei....” Bukannya menjawab, El justru terisak. Semua yang ada di sana jadi semakin heran. “Loh, kok, nangis? Kenapa? Dimarahin Bunda, ya?” tanya Pak Arkan. “Bunda nggak salah... Bunda nggak malahin El,” sahut El, masih dengan terisak dan wajah yang disembunyikan di dada bundanya. Pak Arkan mengelus kepala El. “Terus El nangis kenapa?” El hanya menggeleng. Tak mungkin ia mengaku kalau cemburu melihat Omah Maya memangku Tamara. “El cengeng!” ejek Tamara. Ucapan itu sukses membuat El langsung mengangkat wajahnya yang berlinang air mata. “El nggak cengeng!” “El cengeng! Buktinya kamu nangis.” Tamara semakin semangat mengejek El. El turun dari pangkuan bundanya. Ia berjalan menghampiri Tamara dan langsung menarik-narik baju gadis yang berusia satu tahun lebih tua darinya itu. “Omaya punya El! Tamala awas!” usir El.



6



Tamara malah memukul tangan El yang menarik bajunya. “Omah punya Tamara! El yang awas!” Omah Maya menghela napas. “Omah punya El, Omah juga punya punya Tamara, oke?” “NO!” balas El dan Tamara kompak. Omah Maya menarik lembut tangan El agar mendekat. “Nggak boleh gitu. Sini, El mau dipangku Omah juga?” El mengangguk, tetapi Tamara sengaja mengubah posisi duduknya agar tak ada celah untuk El. Melihat itu, El kembali memasang wajah cemberut. “Tamara... nggak boleh gitu, Sayang,” tegur Della. “Omah punya Tamara!” Gadis empat tahun itu memegang kedua tangan Omah Maya erat-erat. Della berjalan mendekati putrinya. “Omah punya Tamara, tapi punya El juga.” “Tamara nggak mau barengan sama El!” Tamara masih saja bersikeras. “Siapa yang ngajarin Tamara begitu?” ucap Della, masih mencoba untuk memberi pengertian. “Omah, kan, bundanya Mama sama Onty Shella. Mama sama Onty Shella mau barengan, kenapa Tamara nggak?” “Tamara sayang sama Omah,” balas Tamara dengan mulut bergetar. Sepertinya ia ingin menangis karena teguran mamanya itu. “El, kan, juga sayang sama Omah. Harusnya seneng dong kalo Omah banyak yang sayang, nggak boleh rebutan gitu, oke?” Tamara menatap El yang masih berdiri di dekat sofa dengan wajah sendu. “El sayang nggak sama Tamara?” tanyanya. “Nggak!” jawab El langsung. “Soalnya Tamala nakal, nggak mau bagi-bagi Omaya sama El.” Shella menepuk jidatnya sendiri. “Haduh... perasaan dulu Shella nggak kayak gitu.” “Tapi El cemburuan kayak kamu, Shell,” sahut Adit. Ia sedari tadi



7



diam menyaksikan perdebatan anak dan keponakannya. “Bener,” Pak Arkan menimpali. “Gampang cemburu dan bujuknya harus ngeluarin duit, itulah Shella dan El.” “Padahal udah bener El mirip kamu, ya, Ar,” sahut Della. “Eh, malah sifat jelek Shella pake nurun segala.” Shella memajukan bibir dan melipat tangannya di depan dada. “Nggak tau, ah, Shella ngambek!” Pak Arkan tertawa. Ia pun menarik Shella ke dalam pelukannya. “Senjata dari zaman kuliah masih sama.” “El, liat tuh Ayah sama Bunda,” tutur Adit, membuat El langsung menoleh. Namun hanya sebentar, karena ia kembali menghadap Omah Maya. “Tamala awas!” Kali ini, El berusaha untuk mendorong-dorong Tamara. “Gantian sama El.” Tamara melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menggelengkan kepala dengan tampang yang sangat menyebalkan di mata El. “No! Omah punya Tamara!” “Ya udah, sana kamu pulang! Nggak boleh main ke lumah El lagi!” “Eh, nggak boleh gitu ngomongnya,” tegur Shella. El menoleh ke arah bundanya dengan mata berkaca-kaca. “Bundaaaa...,” rengeknya sambil berlari ke arah Shella. Shella mengangkat El ke dalam pangkuannya. Bocah laki-laki itu langsung menggesekkan ke pelukan sang bunda dan kembali menangis. “Nggak boleh cengeng. Katanya mau strong kayak Ayah.” Shella mengusap-usap bahu El yang naik-turun. Walaupun namanya pertengkaran anak kecil, Adit jadi tidak tega melihat keponakannya menangis seperti itu. Ia pun menghela napas, lalu berdiri untuk mengangkat Tamara ke dalam gendongannya. “Papa!” protes gadis kecil itu. “Kamu nggak boleh nakal. Gantian sama El.” “Papaaa!Tamara mau sama Omaaah!” Tamara meronta di gendongan



8



Adit. “Mending kita cari makanan di dapur Onty Shella,” ajaknya. Adit membawa Tamara ke dapur, tidak peduli dengan anaknya yang terus meronta minta diturunkan. “Tuh, Tamara udah ke dapur, El nggak mau sama Omaya?” tanya Pak Arkan sambil berusaha untuk melihat wajah anaknya. El tidak menjawab, tetapi masih terisak pelan. “Bener, nih? El nggak mau sama Omaya? Ya udah, Ayah aja yang minta dipangku Omaya.” Perkataan Pak Arkan tak hanya membuat El mengangkat wajahnya, tetapi juga sang istri. Shella langsung memberikan tatapan tajam. Pak Arkan pun terkekeh sambil menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V, dan berucap, “Bercanda”. Shella memang jadi dua kali lipat lebih garang setelah mempunyai anak. “Sini, El sama Omaya, sebelum Tamara dateng lagi,” Maya menghampiri El sambil mengulurkan kedua tangannya. El balas mengulurkan tangannya, meminta Maya untuk menggendongnya. “Aduh... cucu Omaya udah gede, ya. Udah berat.” El melingkarkan tangannya erat-erat di leher omahnya. “Omaya punya El, jangan bagi-bagi Tamala!” Maya mengangguk. “Iya, Omaya punya El.” “Omaya nginep lumah El, ya, tapi jangan ajak Tamala.” “Kenapa gitu? Nanti Tamara nangis dong kalo nggak sama Omah.” El memajukan bibirnya. “Kan, Tamala tiap hali sama Omaya. El juga pengin bobo sama Omaya, disuapin Omaya, telus nonton TV sama Omaya.” Maya tersenyum hangat. Ia mengangguk sambil mengusap-usap kepala cucunya. “Oke, Omaya nginep di sini. Tapi ada syaratnya.” “Apa?” tanya El antusias. “El nggak boleh nakal sama Bunda, sama Ayah, dan sama semuanya. El harus nurut sama Bunda, nggak boleh bikin Bunda kecapean, dan



9



nggak boleh berantem lagi sama Tamara.” El yang semula tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala, langsung memanyunkan bibirnya begitu mendengar kalimat terakhir itu. Sampai kapan pun, Tamara adalah musuh terbesarnya. “Tamala yang suka nakalin El, tapi El nggak nakal, Omaya.” “Kalo El nggak nakal, berarti El nggak boleh ribut-ribut sama Tamara lagi.” Dengan lembut, Omah Maya kembali menasehati. “Omaya, kan, punya kalian berdua, jadi nggak boleh ada yang egois, oke?” El mengerjapkan mata. “Egois itu apa, Omaya?” “Hm, egois itu... sama aja nakal. Dan Tuhan nggak suka sama anak yang egois,” jelas Maya, mencoba dengan bahasa yang mudah dipahami oleh cucunya. “Nanti Tuhan malah?” Maya mengangguk. “Iya. Tuhan marah dan nggak suka sama anak yang egois.” “Belalti Tuhan malah dan nggak suka sama Tamala. Soalnya Tamala yang egois, tapi El baik kok, Tuhan.” Della menatap adik dan iparnya yang juga sedang mengernyit heran mendengar jawaban anaknya. “Ajaranmu itu, Shell, narsis,” ujarnya. “Eh, kalo yang suka narsis itu ayahnya, Mba, bukan Shella,” sahut Shella. “Enak aja. Dibilang sifat El yang jelek itu dari kamu, bukan dari aku,” balas Pak Arkan tak terima. Shella mendengkus. “Masa Shella kebagian jeleknya doang. Ada positifnya dikit kali.” “NGGAK MAU, PAPAAA!” Tiba-tiba saja terdengar teriakan Tamara dari arah dapur. Hal itu membuat El semakin mengeratkan lilitan tangannya di leher Omah Maya. “Stt... diem! Kalo bandel, nanti nggak Papa beliin siomay lagi,” ancam Adit yang sedang berjalan kembali menuju ruang tengah.



10



“Tamara minta ke Mama,” jawab Tamara. “Uang Mama, kan, dari Papa.” “Ya udah, Tamara minta ke Omah!” “Nggak boleh!” El yang menyahut. “Omaya punya El! Tamala nggak boleh minta samay sama Omaya-nya El.” Tamara memberengut tak suka. Apalagi ia melihat El yang berada dalam gendongan omahnya. “Apa, sih? Omah, tuh, punya Tamara.” Tamara meronta untuk turun dari gendongan papanya. Setelah turun, ia langsung menarik-narik kedua kaki El yang terjulur ke bawah. “El awas!” “Nggak mau! Omaya punya El!” pekik El. Tamara berlari ke mamanya dan langsung menangis. Ya, beginilah anak-anak, sok keras, tetapi ujungnya sama-sama menangis. “Udah gantian. Tadi, kan, Tamara udah sama Omah, sekarang tinggal El,” ujar Shella. Ia kan dulu pernah cemburu juga dengan bocah kecil itu, entah kenapa sekarang rasa kesalnya seperti dibalaskan oleh El. “Onty nakal! Tamara nggak lek sama Onty Shella!” Walaupun masih menangis, suara Tamara terdengar begitu ketus. “Onty juga nggak like sama Tamara.” “Shella!” tegur Pak Arkan, Della, dan bundanya bersamaan. Ibu muda satu anak itu masih saja suka meledek anak kecil. Shella tetaplah Shella, si keras kepala yang tidak mau mengalah. Saking gemasnya, Pak Arkan pun sampai menjawil pipi istrinya itu. “Kamu tuh udah dewasa, masa mau berantem sama anak kecil?” omel Pak Arkan. “Ih! Shella, kan, cuma belain anak sendiri,” sahut Shella. “Benel! Bunda nggak pelnah salah!” Ucapan El pun membuat Shella berdiri dan tepuk tangan. “Nah, seratus! Bundanya El nggak pernah salah. Kalo Bukan Ayah yang salah, berarti Tamara.” Shella bangga dengan anaknya, meskipun



11



lebih dekat dengan sang Ayah, bocah itu selalu tahu apa keinginan bundanya. “El juga nggak salah. Kalo El ada salah, berarti Bunda yang salah ngajalinnya,” ucap El kemudian. “Eh?” Baru saja dibanggakan, El malah menjatuhkannya kembali. Memang benar-benar titisan ayahnya.



12



Extra Part 02 Ompin & Onta Wedding



Pagi ini Shella kembali dibuat repot. Selain harus berdandan dan merias dirinya sendiri, ia juga harus mengurusi El. Anaknya itu memang susah dibangunkan, dan jika dipaksa harus bangun pagi, maka akan manyun sepanjang jalan kenangan. Seperti sekarang ini, selesai dimandikan, El masih saja manyun. Bocah itu bergelung dengan handuk dengan keadaan tubuh yang masih basah. Tidak lama kemudian, ia kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang besar milik Shella dan Pak Arkan. Ya, semalam, El memang tidur bersama orang tuanya di kamar ini karena bocah itu yang merengek setelah diajak nonton film horor bersama ayahnya. “El masih ngantuk, Nda...,” rengeknya. “Iya, tapi, kan, kita ada acara. El nggak mau ikut? Katanya El mau liat Ompin sama Onta nikah.” Shella duduk di ujung ranjang dan berusaha mengangkat tubuh bocah itu. “Ompin nikah?” tanya El antusias, bahkan sampai mengangkat kepalanya. Shella mengangguk. “Iya, Sayang. Makannya Bunda bangunin El pagi-pagi. Kan, hari ini kita ke nikahan Ompin sama Onta.” Ompin dan Onta adalah panggilan dari El untuk Arvin dan juga Lita. Aneh memang, tetapi bukan El namanya kalau tidak memberikan panggilan yang aneh. Sepertinya hanya Della dan Adit yang tidak mendapatkan panggilan aneh dari El—atau mungkin belum. Hari ini, keluarga Dirgantara akan menghadiri undangan pernikahan dari Lita dan Arvin. Ya, pasangan freak itu akhirnya memutuskan untuk menikah setelah berpacaran lebih dari empat tahun. Shella tentunya sangat senang ketika mendapat kabar bahwa kedua sahabatnya



13



akhirnya memutuskan untuk menikah. Ia sempat ragu, tetapi ternyata laki-laki seperti Arvin bisa juga serius. “Udah, Sayang?” Pak Arkan masuk ke kamar, sudah lengkap dengan jas yang warnanya senada dengan dress Shella dan kemeja El. “Kamu bantuin El pake baju, ya, Shella belum selesai dandan,” balas Shella dengan bibir dimanyunkan. Pak Arkan mengangguk. “Gih, kamu dandan aja. El biar aku yang urus.” “Makasih, Sayang.” Shella mencium pipi suaminya, membuat El langsung melempar tatapan tak suka. “Ayah punya El!” “Ayah punya Bunda, wleee....” Shella meledek anaknya sendiri sambil menjulurkan lidah. Lalu, sebelum El mengamuk dan melempar barang-barang, ia buru-buru kabur ke meja rias. “Ayah,” panggil El. “Kenapa Bunda nyebelin?” “Kayak kamu, kan?” balas Pak Arkan. El semakin menekuk wajahnya. “No! El nggak nyebelin.” Sambil memakaikan El pakaian, Pak Arkan pun bertanya dengan senyum jail, “Yang makan es krim dua, terus bilangnya satu siapa?” El diam dengan kepala langsung menunduk. Ia seolah tak mau menatap wajah ayahnya dan ketahuan berbohong. “Siapa coba?” ulang Pak Arkan karena El tak kunjung menjawab. “El,” balas bocah itu. “El minta maaf, Ayah.” “Jangan dimaafin, Ayah,” sahut Shella yang tengah menata rambut. “Biarin aja, biar Tuhan marah.” “Bunda juga bohong sama Ayah. Bilangnya udah nggak liatin foto Papi Jaemin—“ “Papi?” Pak Arkan mengernyit heran. El mengangguk. “Iya, Ayah. Papi Jaemin yang di Kolea.” “Siapa yang ngajarin kamu manggil dia Papi?!” Suara Pak Arkan



14



semakin tidak santai. “Bunda dong,” balas Shella sambil tertawa bahagia, apalagi melihat wajah suaminya yang sudah siap meluapkan emosi. “Ayah, belalti El punya Ayah sama punya Papi?” tanyanya dengan tampang polos, tapi justru membuat Pak Arkan ingin sekali menelannya. “Nggak, El cuma punya satu Ayah. Jangan nurut sama bundamu itu.” Shella menunjuk Pak Arkan dengan ujung sisir yang dipegangnya. “Eh, durhaka dong. Surganya, kan, di telapak kaki ibu, jadi El harus nurut sama Bunda.” Pak Arkan mengangguk-angguk, seolah paham. “Oke, uang bulanan aku potong,” ancamnya tak main-main.



“Masyaallah, cantika matuliti banget bestie gue!” Shella memekik tertahan melihat sahabatnya yang berdiri di pelaminan dengan balutan baju pengantin. Lita terlihat sangat berbeda saat didandani seperti ini. Shella bahkan sampai tidak mengenali sahabatnya itu. “Gila, Shell, gue nikah juga akhirnya!” Malahan, Arvin yang menyahut sambil tertawa lepas. “Bisa serius juga lo empat tahun nabung, ya, Vin?” Shella menaikturunkan alisnya untuk menggoda dua pengantin itu. “Iyalah, masa gue nikah mau pake duit orang tua?” Dengan sombongnya, Arvin kembali membalas. “OMPIN!” panggil El yang berada di gendongan ayahnya. “Hello, Boy!” Arvin mengusap-usap kepala El. “Kamu ganteng juga, kayak Ompin.” “Gantengan El!” balas El sombong. “Iya deh, tapi Ompin juga ganteng, kan?” “Gantengan Ayah El.” Jawaban El membuat Pak Arkan tersenyum puas dan bangga. 15



“Bener banget, El, pesona Papa muda emang bukan main,” sahut Lita, lalu terkekeh sendiri. Arvin mendengkus tidak suka. “Baru juga sah, udah muji-muji laki orang?” “Bercanda, ini namanya bumbu-bumbu rumah tangga.” Lita tertawa lepas. Beginilah rasanya menikah dengan sahabat sendiri. Untuk terlihat romantis saja sangat sulit. Dari dulu, ia ingin menikah dengan laki-laki berwibawa dan humoris, tetapi ternyata lauhul’mauhfuz-nya justru laki-laki humoris yang tidak ada wibawanya. “Pak Arkan ke sini nggak bawa kado Lamborghini gitu?” tanya Lita. “Kamu minta kado, apa mau ngerampok?” Pak Arkan mengerutkan dahi dengan tatapan mata yang tajam. “Kamu harusnya bersyukur, saya masih mau dateng ke sini, padahal saya sibuk.” Lita berdecak, lalu berbisik kepada suaminya, “Suami Shella emang nggak berubah dari dulu.” “Udah, udah, kita turun, yuk, Shell. Kasihan yang mau salaman juga,” ajak Pak Arkan sambil beranjak pergi dengan membawa El. Shella mengiakan, tetapi lebih dulu memeluk Lita sekali lagi. “Selamat, ya, Ta, nggak nyangka gue bisa nemenin lo sampe ke nikahan begini. Akur-akur sama Arvin, sempetin waktu juga buat selalu berkabar dan main sama gue.” “Pasti. Thanks, ya.” Lita tidak ingin menangis di acara penting ini, meskipun sebenarnya air mata sudah siap menetes. “Gue titip temen gue, ya, Vin,” ujar Shella sambil menepuk-nepuk bahu Arvin. Arvin mengacungkan jempolnya. “Tenang, Lita aman sama gue.” “Sampe Lita nangis karena lo, gue doain gatel-gatel badan lo!” “Ompin! Onta! Selamat, ya!” ucap El dengan semangat dari ujung panggung pelaminan. Ternyata ia dan ayahnya belum turun juga. “Eng... kata Ayah, nanti malem semangat!” Perkataan El membuat Shella langsung melayangkan tatapan tajam



16



pada suaminya. “Ngajarinnya, Yah!” “Emang nanti malem Ompin sama Onta mau ngapain?” tanya El polos. “Bikin adonan.” El mengangguk-anggukan kepalanya. “Ayah sama Bunda nggak bikin?” “El mau?” “Mau, Ayah.” El mengangguk antusias. “Tapi, El ikut.”



Shella mengerjapkan kedua mata dan meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Ia tadi langsung tertidur setelah pulang dari acara pernikahan Lita dan Arvin. Kakinya terasa ingin patah karena seharian mengenakan high heels. Ia melirik Pak Arkan yang masih tertidur dengan posisi tangan melingkar di perutnya. Tetapi, ke mana El? Seingatnya, tadi mereka tidur bertiga di ranjang ini. Shella bangun, dan menyingkirkan tangan suaminya. Ia mencepol rambutnya asal-asalan, lalu keluar kamar untuk mencari keberadan El. Bahaya kalau itu sampai keluar rumah, diberi es krim saja sudah nurut sama orang. “EL!” panggil Shella sambil menuruni anak tangga. “BUNDA, LODA MOBILNYA LEPAS!” Sahutan itu terdengar dari arah ruang tamu. Buru-buru, Shella melangkahkan kakinya ke sana. “Astaghfirullahaladzim... kamu apain ruang tamu, El?” Shella berkacak pinggang. Kepalanya seketika pusing melihat keadaan ruang tamu yang sudah seperti pasar. Mainan berserakan di mana-mana, bungkus snack, bahkan sampai setoples yang entah pada ke mana tutupnya. “El main.” “Tadi, kan, Bunda bilang kamu harus bobo siang, kenapa sekarang malah berantakin mainan lagi?” tanyanya, berusaha tidak menunjukkan 17



rasa kesalnya meskipun darah sepertinya sudah naik ke kepala. “El udahan bobonya. El pengin main,” balas El sambil menundukkan kepalanya. “Sekarang, coba kamu beresin sendiri.” El semakin menundukkan kepala. Ini pertama kalinya ia takut dengan bundanya sendiri. Bundanya memakai nada dingin dan katakata singkat seperti itu, El jadi tidak berani menjawab. “Kenapa, sih, Shell?” Shella menoleh ke arah tangga. Suaminya itu baru turun dengan wajah khas bangun tidur. Ia pun sempat menguap sebelum menghampiri Shella dan El. “Liat kelakuan anak kamu,” tutur Shella sambil menunjuk ruang tamu yang sudah seperti kapal pecah. Pak Arkan melihat keadaan ruang tamu yang super-berantakan. Pantas saja istrinya itu marah-marah. Mungkin kalau ini di dunia kartun, telinga Shella sudah mengeluarkan asap. “El kenapa berantakin mainan lagi?” tanya Pak Arkan lembut sambil menyejajarkan tingginya dengan tinggi El. Ia tau, jika El menunduk seperti itu, tandanya sedang takut. Pak Arkan mengangkat El ke dalam gendongannya, lalu mengajaknya untuk duduk di sofa. “Kenapa, hm? Kok nggak jawab?” “Maafin El, Ayah,” balas El dengan suara lirih. Bocah itu langsung menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang ayah, dengan tangan yang melingkar di leher ayahnya. “Bunda, kan, capek harus beresin mainan El terus. Nanti kalo Bunda kecapean, terus sakit, gimana? El mau Bunda sakit?” El menggeleng. “Nggak mau.” “Minta maaf sama Bunda,” titah ayahnya. El diam saja, tak berani mengangkat wajahnya. Shella mendengkus, lalu berbalik badan dan kembali ke kamarnya. Daripada kelepasan emosi di depan anaknya, lebih baik ia masuk



18



menenangkan diri ke kamar. Biarlah El jadi urusan suaminya. “Tuh, kan, Bunda ngambek. El, sih, nggak mau minta maaf,” ucap Pak Arkan ketika Shella sudah menaiki anak tangga. El mengangkat wajah, dan menatap punggung bundanya yang sudah menjauh menaiki tangga. “Bunda malah sama El?” “El susah dibilangin, sih.” “El minta maaf.” “Tadi kenapa nggak mau minta maaf sama Bunda?” “El takut,” balasnya, lalu melihat ke arah mainannya yang berserakan di ruang tamu. Semua ini gara-gara ia tak berhasil menemukan roda mobil di mana-mana, sampai akhirnya menumpahkan isi kotak mainan yang sudah tertata rapi. Pak Arkan mengusap-usap kepala putranya. “Sekarang, El yang beresin, ya?” El mengangguk. “Ayah mau bantuin El?” Pak Arkan mengulurkan jari kelingkingnya. ”Janji dulu nggak bakal bikin Bunda marah lagi.” El balas mengulurkan kelingking dan mengaitkannya pada jari kelingking sang ayah. “El janji.”



Setelah merasa sedikit lebih tenang, Shella kembali turun ke ruang tamu. Pemandangan yang ia lihat sekarang ini membuatnya tak bisa menahan senyuman. Suaminya sedang menyapu dan El yang memunguti bungkus snack, mainan yang sebelumnya berserakan pun sudah kembali masuk ke dalam boks. “Gitu, kan, bagus,” ujar Shella, membuat keduanya menoleh. “Ngasih tau ke anak itu nggak harus pake emosi. Justru mereka bakal lebih nurut kalo kita ngasih tau dengan cara yang lembut,” balas Pak Arkan, sambil tetap melanjutkan kegiatan menyapunya tanpa menoleh ke arah Shella. “Iya, maaf.” 19



Shella mendekati El, mengangkat bocah itu ke gendongan, dan membawanya duduk di sofa. “Bunda minta maaf, ya, Sayang.” El mengangguk. “El juga minta maaf.” “Bunda maafin. Yang penting, jangan begitu, ya, lain kali.” “Okay, Bunda!” El menangkup wajah Shella dengan tangan mungilnya, lalu menempelkan bibirnya di pipi kanan Shella. “I love you, Bunda.”



20



Extra Part 03 Abang El



Gabriel Arsenio Dirgantara, bocah laki-laki yang biasanya susah sekali dibangunkan apalagi disuruh mandi, hari ini bangun lebih awal dan buru-buru minta dimandikan. Hal ini dikarenakan rumahnya akan kedatangan Omana dan Opahan, pasangan kakek-nenek favoritnya. “Bundaaa!” “Sayang.” Panggilan dari El dan ayahnya terdengar kompak. Shella yang baru selesai menjemur handuk pun langsung menatap mereka bergantian. “Kenapa?” tanya Shella. “Pakein dasi.” “Kancingin baju El.” Lagi-lagi keduanya kompak menjawab. Shella menghela napas pelan. “Mana dulu, nih? Kan, tangan Bunda cuma dua.” “Ayah dulu!” “El dulu!” Mentang-mentang bapak sama anak, setiap bicara harus kompak. “Ayah dulu, ya. Kan, Ayah mau berangkat kerja, biar nggak telat,” ujar Shella, meminta izin kepala El. El mengangguk. “Oke, Bunda.” Kemudian, bocah itu susah payah menaiki ranjang hanya dengan pakaian dalamnya. Shella mendekati Pak Arkan, dan memasangkan dasi yang sudah bertengger di leher laki-laki berusia 31 tahun itu. “Kamu berangkat ke mana dulu?” “Ke kantor, lagi nggak ada jadwal ngajar di kampus,” jawab Pak Arkan sambil menatap wajah istrinya yang telaten memakaikan dasi. “Aku kayaknya pulang sore, nggak apa-apa, ya?” 21



Shella tersenyum tipis. “Aku, sih, nggak papa, tapi izin tuh sama anak kamu,” balasnya sambil menunjuk El dengan dagu. “El, Ayah hari ini pulang sore, ya.” Pak Arkan agak menyerong agar dapat melihat El. “Tapi, El boleh makan es klim dua, ya?” pinta El sambil mengerjapkan kedua matanya. “Kok, dua? Nanti kalo El batuk pilek gimana?” tanya ayahnya. “Ayah kenapa pulang sole? Nanti kalo Ayah sakit, gimana?” El malah balik bertanya, tak mau kalah. “Kan, Ayah pulang sore karena kerja, cari uang buat jajan El, buat jajan Bunda. Kalo Ayah nggak kerja, El jajan pake apa?” El memajukan bibirnya. Ia yang tadi sedang menonton YouTube pun langsung meletakkan ponsel bundanya begitu saja. Ia merangkak mendekati ayahnya. “Tapi El mau main sama Ayah.” “Besok, ya. Besok, kan, Ayah libur, oke?” El diam, tidak menjawab apa-apa. “Hari ini ada Omana sama Opahan, jadi El ada temen main,” sahut Shella. “Tapi Omana sama Opahan suluh nginep, ya, Nda.” El menoleh ke arah Shella dengan tatapan memohon. “Nanti El bilang ke Omana sama Opahan, ya.” Shella menatap anaknya dengan tulus, sebisa mungkin agar bocah itu menurut dan tak merecoki jadwal kerja suaminya. “Tapi Bunda bantuin El.” “Oke!”



“Udah, yuk. Masuk, yuk,” ajak Shella—entah yang keberapa kalinya. Ya, seperti inilah El kalau sudah bertemu dan bermain dengan opahnya. Ia pasti lupa waktu. Dari siang tadi, keduanya asyik bermain di halaman. Dari yang namanya mobil-mobilan, petak umpet sampai 22



dengan main bola. Tidak hanya El, tetapi Opa Farhan juga begitu semangat menuruti permintaan cucu pertamanya. Laki-laki paruh baya itu sama sekali tidak mengeluh capek karena harus mengikuti kemauan El. “El, masuk, yuk, Sayang,” ulang Shella. “Nanti Bunda.” “Udah sore, El harus mandi. Nanti kalo Ayah pulang, terus liat El belum mandi, gimana?” El memeluk bolanya, menatap sang bunda dan sang opa bergantian. “Besok lagi, ya. Kasihan Opahan juga capek,” sambung bundanya. “Opahan capean?” tanya El kepada Opa Farhan. Opa Farhan membungkuk, memegangi kedua lututnya. “Iya, nih. Udah dulu, ya, mainnya. Besok kita sambung lagi, oke?” Ajaib. El mengangguk. Shella mendengkus. Bisa-bisanya bocah itu lebih menuruti sang opa, daripada bundanya sendiri. “Ayo, mandi, Bunda,” ajak El sambil menggandeng tangan Shella. “Mandi sendiri?” El menggeleng. “Sama Bunda.” “Bunda udah mandi.” “Bundaaaa...,” rengeknya dengan kedua pipi digembungkan. “Oke, tapi Bunda minta es krimnya, ya?” El tidak langsung menjawab. Bocah itu hanya terdiam dengan kedua pipi yang masih digembungkan. Memberikan es krim kepada sang bunda rasanya seperti mau memberikan uang satu miliar. “Satu aja, ya.” “Satu es krim, setiap Bunda mandiin El, gimana?” “Nggak mau, Nda! nanti es klim El abis buat Bunda,” jawabnya sambil manyun. Hal itu sontak membuat Shella tertawa. Sebenarnya ia hanya ingin El terbiasa untuk mandi sendiri. Tetapi, suaminya itu belum mengizinkan.



23



Katanya, takut kepeleset. Setelah itu, Shella membawa El ke kamarnya. Akhir-akhir ini, El memang lebih sering tidur di kamar Shella dan Pak Arkan, daripada di kamarnya sendiri. Padahal, dulu El sendiri yang minta dibuatkan kamar pribadi. Ya, namanya juga bocah labil. Selesai mandi, berganti baju, dan dibedaki seperti bocah pada umumnya, El merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia mengambil ponsel sang bunda dan membuka aplikasi YouTube. Seperti biasa, ia langsung menonton kartun Rara dan Nusa kesayangannya. “Bunda,” panggil El. “Kenapa?” “Lala kan pelempuan, kenapa dia nggak nyebelin kayak Tamala?” tanyanya, membuat Shella terkekeh. “Tamara juga, kan, nggak nyebelin. Emang, Tamara ngapain El?” “Tamara suka lebutin Omana nya El.” Shella mendekat, dan ikut merebahkan tubuhnya di sebelah sang anak. “Omaya, kan, punya El sama Tamara juga. El nggak boleh serakah, nanti Tuhan marah sama El gimana?” El memperhatikan wajah serius bundanya. Ia menggeletakkan ponsel begitu saja, lalu tangannya beralih menyusuri wajah cantik Shella. “Belalti Omaya-nya El balengan sama Tamala?” Shella mengangguk. “Betul. Kayak Bunda barengan sama Onty Della.” “Tapi, Bunda sama Ayah cuma punya El, kan? Nggak bagi-bagi sama siapa-siapa?” tanyanya lagi. Shella mengenyit, mencoba untuk mencerna pertanyaan anaknya. “Sekarang Bunda sama Ayah cuma punya El.” Shella menjeda perkataannya, lalu menuntun tangan El untuk turun ke perutnya. “Tapi, nanti kalo di perut Bunda ada dede bayi, berarti Bunda sama Ayah, punya El dan punya adik El.” El bingung. Ia diam masih sambil serius menatap wajah bundanya.



24



“Pelut Bunda bisa simpan dede bayi?” “Bisa dong. El juga, kan, dulu dari perut Bunda. Makannya, sekarang El harus nurut sama Bunda.” “Sama Ayah, nggak?” “Sama Ayah juga dong. Oke?” El mengangguk semangat. “Isokey, Bunda!” Cklek! “Assalamu’alaikum.” Pak Arkan membuka pintu kamar, dan tersenyum manis kepada bidadari dan malaikat kecil. “Waalaikumsalam.” “Ayaaah!” panggilnya semangat. Bocah itu langsung menuruni ranjang, berlari menghampiri ayahnya, dan mengulurkan tangan minta digendong. “El udah mandi!” “Oh, ya? Coba Ayah cium dulu.” Pak Arkan menunduk, menyodorkan pipi kirinya agar dicium El. Begitu El menciumnya, ia langsung mengangkat bocah itu ke dalam gendongan. “Wah, bener, udah mandi. Mandi sendiri atau sama Bunda?” “Sama Bunda.” “Kalo bundanya udah mandi belum?” Pak Arkan duduk di samping Shella yang juga sudah mengubah posisinya menjadi duduk. “Udah, dong. Bunda, kan, rajin,” balas Shella menyombongkan diri. “Masa, sih? Coba Bunda cium juga.” Pak Arkan kembali menyodorkan pipi kirinya. Namun, sebelum semuanya terjadi, El buru-buru menutupi pipi kiri sang ayah dengan tangan mungilnya. “NO! Pipi Ayah udah dicium El!” ujar El dengan bibir dimajukan. “Kan, Ayah mau dicium Bunda juga.” El menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nanti ciuman El ilang.” “Oh, ya udah deh, Bunda yang sebelah kanan.” Pak Arkan memiringkan tubuh, agar pipi kanannya dapat dijangkau sang istri. Tetapi, lagi-lagi El menutupi pipi kanan sang ayah dengan tangannya.



25



“Ini buat El juga. Bunda nggak boleh!” pintanya tanpa bantahan. Pak Arkan menghela napas, begitu pun dengan Shella. Padahal bocah itu baru saja diberi tahu agar berbakti, eh, sekarang udah durhaka lagi. “Ya udah deh, Bunda cium Papi Jaemin aja.” Shella memalingkan wajah, memasang raut muka kesal untuk meyakinkan El. Pak Arkan menatap istrinya tidak suka. Bisa-bisanya Shella justru melontarkan nama itu. Ia menurunkan El di ranjang, lalu mendekatkan posisi duduknya kepada sang istri. “Ayah mau sama Bunda aja deh, biar Bunda nggak ngelirik Jaeman lagi,” ujarnya sambil menyenderkan kepalanya di bahu Shella. El memberengut tak suka. Ia menarik-narik lengan ayahnya agar tak menempel dengan si bunda. “Ayah, siniii!” “Nggak mau.” Shella terkekeh, dan sengaja memanas-manasi El dengan mengusapusap kepala suaminya. “Ayah punya El!” Bocah itu melipat kedua tangannya di depan dada. “Udah, sana El ke kamar aja, atau sama Omana, tuh, di ruang tamu,” perintah ayahnya. El menggeleng. “Nggak mau!” tolaknya sambil memalingkan wajah. Pak Arkan mengedikkan bahu, tak ada niatan sedikit pun untuk membujuk El. Ia justru semakin memanas-manasi bocah laki-laki itu dengan cara melingkarkan tangannya di perut sang istri dan mengusapusapnya. “Pelut Bunda ada adik El, ya?” tanya El terdengar tidak ikhlas. “Ada dong. Adiknya baik dan nggak nyebelin kayak El.” El mendengkus. “El, kan, kayak Ayah, belalti Ayah juga nyebelin.”



Satu bulan berlalu. Bagaikan mantra dukun, perkataan suaminya tempo lalu menjadi kenyataan. Akhir-akhir ini Shella merasakan dirinya sedikit berbeda. Ia jadi sensitif, mudah menangis, nafsu makannya pun 26



berkurang, dan mual-mual. Merasakan gejala yang tidak asing itu, ia pun meminta Bi Siti untuk membelikan tespack. Setelah diperiksa, ternyata hasilnya positif. Ia bukannya tidak bersykur, hanya saja Shella memikirkan kondisi El yang masih sangat dini untuk diberi adik. Ia dan suamin memang sudah rencana untuk memberikan El adik pada saat El sudah masuk sekolah Taman Kanak-Kanak. Tetapi, ternyata Tuhan kembali memberikannya kepercayaan untuk menjadi seorang ibu. “Gimana, Mba, hasilnya?” tanya Bi Siti begitu Shella turun ke ruang tamu. “Positif, Bi,” balasnya. “Alhamdulillah.” Bi Siti meraupkan kedua telapak tangan ke wajahnya. “Nanti Bu Rina sama Bu Maya udah nggak perlu rebutan cucu lagi. Kan, udah dikasih satu-satu.” Shella tersenyum tipis. “Iya, Bi.”



Setelah makan siang, Shella memutuskan untuk kembali memasuki kamar. Hari ini, rasanya ia sangat malas untuk melakukan apa pun. Untunglah, El sudah mempunyai teman bermain, yaitu seorang anak laki-laki yang baru pindah ke rumah sebelah sekitar dua minggu lalu. Kenzo namanya. Semenjak ada Kenzo, El jadi tidak manja, tidak rusuh, dan tidak keseringan makan es krim. Setelah sarapan, bocah itu pasti akan bermain dengan Kenzo. Lalu, pulang untuk makan siang, dan main lagi. Shella tak ambil pusing, baginya yang penting anaknya itu tidak merepotkan dan sering merengek. Ia juga sudah meminta tolong kepada ibunya Kenzo, Mba Erys, untuk lapor kepadanya kalau El nakal. Pintu kamar Shella terbuka, menampilkan wajah suaminya yang sedang tersenyum lebar. “Sssalamu’alaikum, Cantik.” “Waalaikumsalam.” Pak Arkan tak melunturkan senyumnya. Ia menghampiri Shella, 27



mencium puncak kepalanya, setelah sang istri lebih dulu menyalami dan mencium punggung tangannya. “El masih jadi si Bolang?” tanya Pak Arkan. “Tadi pulang buat makan siang, terus pergi lagi.” Pak Arkan menganggukan kepalanya. Ia melepas jasnya, dasi, sepatu dan kaus kakinya. “Sayang,” panggil Shella. “Hm?” balas suaminya masih sambil melepas kaus kaki. “Kenapa, hm?” ulangnya, karena Shella tak kunjung membuka suara. Shella diam dan memajukan bibirnya, membuat Pak Arkan mengernyit heran. “Kenapa, sayang? Ada masalah?” Shella menggeleng. Ia pun mengambil tangan Pak Arkan, dan meletakkan tespack di telapak tangan suaminya. “Ap—” “Shella hamil,” potong Shella. Pak Arkan menunduk, menatap benda kecil bertanda dua garis merah di tangannya. “Serius?” tanyanya tak percaya. Shella mengangguk. “Iya, ih!” “Loh, kenapa?” tanya Pak Arkan bingung. “Kenapa lagi, sayang? Kamu hamil, alhamdulillah, dong. El pasti seneng mau punya adik. Bunda, Mama, Papa, Mba Della, Bang Adit, dan dua temen kampretmu itu juga pasti seneng.” “El masih terlalu kecil buat dikasih adik. Kan, rencana kita punya anak lagi kalo El udah lima tahun,” jawab Shella pelan. “Tapi, kan, Tuhan ngasih kepercayaannya sekarang, kenapa? Mau kekanakan lagi kayak dulu? Minta nanas muda lagi?” tanya suaminya. “Ya, nggak gitu juga, ih! Kamu sih, kalo—” “Udah, nggak usah nyalahin siapa-siapa. Yang harus kamu lakuin sekarang itu bersyukur, karena kembali dikasih kepercayaan buat jagain titipan Tuhan.” Pak Arkan mengusap-usap pipi Shella. “Nggak boleh manyun terus, oke?”



28



“BUNDAAA!” Teriakan El dan suara pintu yang dibuka secara kasar menganggu aktivitas keduanya. Pak Arkan dan Shella menoleh, menatap anaknya yang sedang menyengir dengan napas tersengal-sengal. “Tumben jam segini pulang?” tanya Pak Arkan. “El liat mobil Ayah, jadinya pulang.” El menghampiri kedua orang tuanya. Ia mengulurkan tangan agar dibantu untuk menaiki ranjang. Ayahnya pun mengangkat El ke pangkuannya. “El mau dipangku Bunda,” pinta El. “No,” tolak ayahnya. “Kenapa?” “Di perut Bunda ada dede bayi, jadi Bunda nggak boleh pangkupangku El.” “Dede bayi?” ulang bocah itu antusias. “Iya. Adiknya El.” Kedua mata El berbinar menatap ayahnya. “Ayah, benelan?” “Bener dong.” “Belalti nanti El dipanggil Abang El?” Pak Arkan menganggukan kepalanya, tak kalah antusias. “Bener, Abang El nanti nggak boleh main-main, harus jagain adik El sama Bunda di rumah.” El bertepuk tangan kegirangan. “Yeaaay! El jadi Abang!” “El seneng?” tanya Shella, sedikit tidak percaya dengan reaksi anaknya itu. El mengangguk semangat.“Seneng, Bunda!” Shella tersenyum manis, untunglah anaknya itu tidak merengek. Padahal sebelumnya, Shella sudah membayangkan El merajuk sampai harus dibujuk ini-itu. Ia jadi malu dengan dirinya sendiri yang mengkhawatirkan hal yang tidak berarti tadi. “Tuh, El aja seneng, masa kamu nggak,” sahut suaminya. “Ih, Bunda juga seneng.”



29



“Gitu dong, jangan manyun terus.” Shella kembali tersenyum lebar, agar suaminya senang. “VC sama Jaemin lagi, ya, Sayang,” ledeknya sambil menaik-turunkan alisnya. “Nggak ada. Sana kamu cari duit sendiri.” Pak Arkan memicingkan matanya. Apa Pak Arkan harus slelau menguras dompet setiap istrinya hamil? Bisa jadi gembel ia lama-lama. “Bercanda, kok.” Pak Arkan mengarahkan El agar menghadapnya, “Boy,” panggilnya. “Sebentar lagi Baby El bakal jadi Abang El, berarti El nggak boleh nakal lagi, ya. Harus nurut apa kata Bunda sama Ayah. Setiap abis main harus diberesin sendiri, nggak boleh sering ngambek, dan nggak boleh ngebantah apa kata Bunda sama Ayah, oke?” “Oke, Ayah!” balas El ambil tersenyum lebar. “Janji sama Ayah bakal jadi anak baik?” “Yes, Ayah!” El menempelkan bibirnya di pipi kiri sang ayah cukup lama. “El, janji!” Pak Arkan balas tersenyum. Ia pun menatap Shella sambil menggenggam sebelah tangannya. “Bunda juga, ya, janji jangan seringsering ngambek nggak jelas, nggak boleh ngomel-ngomel, dan jadi Bunda yang baik buat Abang El dan dede bayi. Oke?” Shella tersenyum geli, bisa-bisanya suaminya jadi sangat manis begini. “Gimana? Yes or no?” ulang Pak Arkan karena Shella tak kunjung menjawab. Shella mengangguk, dan mencodongkan tubuhnya. Ia ikut menempelkan bibirnya di pipi kanan sang suami cukup lama. “Yes! Mr. Husband.”



30