Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI FEKAL undefined undefined FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI Banyak faktor yang mempengaruhi proses eliminasi fekal. Pengetahuan tentang faktorfaktor ini memungkinkan perawat melakukan tindakan antisipasi yang diperlukan untuk mempertahankan pola eliminasi normal. 1. Usia Perubahan dalam tahapan perkembangan yang memepengaruhi status eliminasi terjadi di sepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresikan enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Makanan melewati sakuran pencernaan dengan cepat karena gerakan peristaltic berlangsung dengan cepat. Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karena kurangnya perkembangan neuromusukular. Perkembangan biasanya tidak terjadi sampai usia 2-3 tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL meningkat, khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengonsumsi makanan dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa perubahan sering pada saluran GI, yang berlangsung seiring dengan proses. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki sakuran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan proses penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim lipase. Lansia yang dirawat di rumah sakit terutama berisiko mengalami perubahan fungsi usus. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa terdapat 91% insiden diare atau konstipasi dalam populasi lansia yang berjumlah 33 orang, yang di rawat di rumah sakit, dengan usia rata-rata 76 tahun (Ross, 1990). Selain itu, gerakan peristaltic menurun seiring dengan peningkatan usia dan melambatnya pengosongan esofagus. Pengosongan esofagus yang melambat dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di bagian epgester abdomen. Materi pengabsorpsi pada mukosa usus berubah menyebabkan protein, vitamin dan mineral berkurang. Lansia juga kehilangan tonus otot pada otot dasar perineum dan sfingter anus. Walaupun integritas sfingter eksterna tetap utuh,



lansia mungkin mengalami kesulitan dalam mengontrol pengeluaran fese. Beberapa lansia kurang menyadari kebutuhanya untuk berdefekasi akibat melambatnya impuls saraf sehingga mereka cenderung mengalami konstipasi. 2. Diet Asupan makanana seriap hari secara teratur membantu memoertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serta, residu makanan yang tidak dpat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa fese. Dinding usus tergang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makan berserat sambil sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan fese tetap lunak. Makananmakanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi ( masa) : a) Buah-buahan mentah (apel, jeruk) b) Buah-buahan yang diolah (prum, apricot) c) Sayur-sayuran (bayam, kangkung, kubis) d) Sayur-sayuran mentah (seledri, mentimun) e) Gandum utuh ( sereal, roti) Mengonsumsi makanan tinggu serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola elominasi jika faktor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi, meningkatkan motilitas kolon.beberapa makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic, tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan fese menjadi encer. Beberapa makanan, seperti susus dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makanan tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dan kram . 3. Asupan Cairan Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang meyebabkan kehilangan cairan( seperti



muntah)



mempengaruhi



karakter



feses.



Cairan



mengencerkan



isi



usus,



memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yagng menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6-8 gelas ( 1400-2000



ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak fese dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi. 4. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik meningkatkan peristaltic, sementara imobilitas menekan motilitas kolon. Ambukasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankanya eliminasi normal. Upaya mempertahankan tonus otot rangka,yang digunakan selama poses defeasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan indivuidu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang belangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf. 5. Faktor Psikologis Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respons stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal mempuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis. Namun, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut. Faktor yang meningkatkan Eliminasi a) Lingkungan yang bebas stress b) Kemampuan untuk mengikuti pola defekasi pribadi, privasi c) Diet tinggi serat d) Asupan cairan normal (jus buah, cairan hangat) e) Olahraga ( berjalan) f)



Kemampuan untuk mengambil posisi jongkok



g) Diberikan laksatif dan katartik secara tepat Faktor yang merusak Eliminasi a) Stress emosional ( ansietas atau depresi)



b) Gagal mencetuskan reflex defekasi, kurang waktu atau kurang privasi c) Diet tinggi lemak, tinggi karbohidrat d) Asupan cairan berkurang e) Imobilitas atau tidak aktif f)



Tidak mampu jongkok akibat imobililtas, usia lanjut, deformitas musculoskeletal, nyeri dan nyeri selama defekasi



g)



Penggunan analgesic narkotik, antibiotic dan anesthesia umum, serta penggunaan katartik yang berlebihan



6. Kebiasaan Pribadi Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa lebih mudah melakukan defekasi di kamar mandi mereka sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan dapat mengakibatkan perubahan,seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah refleks yang paling mudah distimulus untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan. Klien yang dirawat di rumah sakit jarang dapat mempertahankan privasi saat melakukan defekasi. Fasilitas kamar mandi sering kali digunakan bersama – sama dengan teman sekamarnya, yang kebiasaan higienenya mungkin cukup berbeda. Penyakit yang diderita klien sering membatasi aktivitas fisiknya dan ia membutuhkan pispot atau commode yang ditempatkan disamping tempat tidurnya. Pemandangan , suara, dan bau yang dihubungkan dengan kondisi tempat fasilitas toilet digunakan bersama – sama atau saat menggunakan pispot sering menimbulkan rasa malu. Rasa malu sering membuat klien mengabaikan kebutuhannya untuk berdefekasi, yang dapat memulai siklus rasa tidak nyaman yang hebat. 7. Posisi Selama Defekasi Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak kearah depan, mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengkontraksi otot – otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti arthritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk toilet yang rendah. Alat untuk meninggikan tempat duduk toilet memampukan klien untuk bangun dari posisi duduk ditoilet tanpa bantuan. Klien yang menggunakkan alat tersebut dan individu yang berpostur pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekuk pinggulnya dengan benar.



Untuk klien imobilisasi ditempat tidur, defekasi sering kali dirasakan sulit. Posisi terlentang tidak memungkinkan klien mengkontraksi otot – otot yang digunakan selam defekasi. Membantu klien keposisi duduk yang lebih normal pada pispot akan meningkatkan kemampuan defekasi. 8. Nyeri Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasuk hemoroid, bedah rectum, fistula rectum , bedah abdomen dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi – kondisi seperti ini, klien seringkali mensupresi keinginannya untuk berdefekasi guna menghindari rasaa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi. 9. Kehamilan Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obstruksi sementara akibat keberadaan fetus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamil sering mengedan selama defekasi dapat menyebabkan terbentuknya hemoroid yang permanen. 10. Pembedahan dan Anestesi Agens anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang dihirup menghambat implus saraf parasimpatis keotot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gerakan peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi Karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikit atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali. Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat tehambat lebih lanjut. 11. Obat – obatan Obat – obatan dapat untuk meningkatkan defekasi telah tersedia. Laksatif dan katartik melunakkan feses dan meningkatkan gerakan peristaltic. Walaupun sama, kerja laktasif lebih ringan daripada katartik. Apabila digunakan dengan benar, laksatif dan katartik mempertahankan pola eliminasi normal dengan aman. Namun, penggunaan katartik dalam jangka waktu lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang responsive terhadap stimulus yang diberikan oleh laksatif. Penggunaan laksatif yang



berlebihan juga dapat menyebabkan diare beratyang dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Minyak mineral, sebuah laksatif umum, menurunkan absorbsi vitamin yang larut dalam lemak. Laksatif dapat mempengaruhi kemanjuran kerja obat lain dengan mengubah waktu transit( mis : waktu obat berada di dalam saluran GI ). Obat – obatan, seperti disiklomin HCL ( Bentyl ) menekan gerakan peristaltik dan mengobati diare. Beberapa obat memeiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya menyebabkan konstipasi. Obat – obatan antikolinergic, seperti atropine atau glikopirolat ( Robinul ), menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walaupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinergic dapat menyebabkan konstipasi. Banyak antibiotic menyebabkan diare dengan mengganggu florabakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait denagn diare semakin parah, obat – obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan yang dapat digunakan. 12. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostic, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi di bagian usus. Klien tidak di izinkan untuk makan atau minim setelah tengah malam jika esoknya akan di lakukan pemeriksaan., seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI di bagian bawah, atau serangkaian pemeriksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien biasanya menerima katartik dan enema. Pengososngan usus dapat menggangu eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal. Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium mengeras jika di biarkan di dalam saluran GI.. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur di lakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium setelah prosedur di lakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalm mengevakuasi semua bariun, Mungkin usus klien perlu di bersihkandengan menggunakan enema



MASALAH PADA GANGGUAN ELIMINASI A. Pengertian 1. Gangguan Eliminasi Urin Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine, yaitu tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine. 2. Gangguan Eliminasi Fekal Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti. B. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi 1. Masalah-masalah dalam eliminasi urin : a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidak sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri. b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen otot sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih. c. Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi pada malam hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam. d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih. e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih. f. Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan. g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine 2. Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu: a. Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap. b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB. d. Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat. e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan



makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2. f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.



ELIMINASI FEKAL



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek yang penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal dan sistem tubuh lainnya, karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa factor, pola dan kebiasaan eliminasi bervariasi di antara individu. Pengeluaran feces yang sering, dalam jumlah besar, dan karakteristik normal biasanya berbanding lurus dengan rendahnya insiden kanker kolorektal. Untuk menangani masalah eliminasi klien, perawat harus memahami eliminasi normal dan factor-faktor yang meningkatkan atau menghambat eliminasi. Asuhan keperawatan yang mendukung akan menghormati privasi dan kebutuhan emosional klien. Tindakan yang dirancang untuk meningkatkan eliminasi normal juga harus meminimalkan rasa ketidaknyamanan.



B. RUMUSAN MASALAH Dari pembuatan karya tulis ini kami menemukan beberapa permasalahan yang timbul antara lain : 1. Bagaimana pencernaan normal dan eliminasi?



2. Factor apa saja yang mempengaruhi eliminasi? 3. Apa saja masalah defekasi yang umum? 4. Apa yang dimaksud diversi usus? 5. Bagaimana proses keperawatan eliminasi fekel?



C. TUJUAN PENULISAN Secara umum tujuan dan manfaat kami membuat karya tulis ini antara lain: 1. Untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh kampus Stikes Wira Medika PPNI Bali 2. Untuk mengetahui bagaimana pencernaan normal dan eliminasi 3. Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi eliminasi 4. Untuk mengetahui masalah defekasi yang umum 5. Untuk mengetahui diversi usus 6. Untuk mengetahui proses keperawatan eliminasi fekel



BAB II PEMBAHASAN A. PENCERNAAN NORMAL dan ELIMINASI Saluran gastrointestinal (GI) merupakan serangkaian organ muskular berongga yang dilapisi oleh membran mukosa (selaput lender) untuk mengabsorpsi cairan dan nutrisi, menyiapkan makanan untuk diabsorpsi dan digunakan oleh sel-sel tubuh, serta menyediakan tempat penyimpanan feses sementara. Selain menelan cairan dan nutrisi, saluran GI juga menerima banyak sekresi dari organ-organ seperti kandung empedu dan pankreas. Setiap kondisi yang secara seriua menganggu absorpsi atau sekresi normal cairan GI, dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan. 1. Mulut Saluran GI secara mekanis dan kimiawi memecah nutrisi yang di lakukan di mulut. Gigi mengunyah makanan, memecahnya menjadi berukuran yang dapat ditelan. Sekresisaliva mengandung enzim, seperti ptialin, yang mengawali pencernaan unsur-unsur makanan tertentu. Saliva mencairkan dan melunakan bolus makanan di dalam mulut sehingga lebih mudah ditelan. 2. Esofagus Makanan masuk ke esofagus, melalui sfingter esofagus bagian atas, yang merupakan otot sirkular yang mencegah udara memasuki esofagus dan makanan mengalami refluks



(bergerak ke belakang). Makanan didorong oleh gerakan peristaltik lambat yang dihasilkan oleh kontraksi involunter dan relaksasi otot halus secara bergantian. Pada saat bagian esofagus berkontraksi di atas bolus makanan ,otot sirkular di bawah (atau di depan) bolus berelaksasi. Kontraksi- relaksasi otot haus yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju gelombang berikutnya.



3. Lambung Makanan disimpan dalam lambung dan dicerna serta diabsorpsi sehingga menjadi kimus. Lambung menyekresi HCl (mempengaruhi asam lambung), lender (melindungi mukosa



lambung



dari



keasaman),



enzim



pepsin(mencerna



protein)



dan



factor



intrinsik(komponen untuk absorpsi vit. B12). 4. Usus Halus Usus halus merupakan sebuah saluran, usus halus dibagi menjadi 3, yaitu duodenum jejunum, dan ileum. Kimus yang berada dilambung menuju ke usus halus dan bercampur dengan enzim pencernaan saat menuju usus halus, dan saat bercampur gerakan peristaltik berhenti untuk melakukan absorpsi. Nutrisi dan elektrolit diabsorpsi dengan enzim dari pancreas dan empedu ke dalam duodenum. Nutrisi juaga diabsorpsi di jejunum, sedangkan ilum mengabsorpsi vitamin tertentu, zat besi, dan garam empedu. 5. Usus Besar Saluran GI bagian bawah adalah usus besar yang merupakan organ utama dalam eliminasi fekel. Kimus yang tidak di absorpsi masuk ke dalam sekum melalui katup ileosekal (lapisan otot sirkula). Volume air, natrium, dan klorida diabsorpsi oleh kolon, sehingga terjadi kontraksi haustral yang sama dengann kontraksi segmental di usus halus. Sebanyak 2,5 L air diabsorpsi oleh kolon selama 24 jam, 55 mEq natrium, dan 23 mEq klorida. Apabila kecepatan kontraksi peristaltik berlangsung cepat secara abnormal, maka faces menjadi encer dan sebaliknya, apabila kontraksi peristaltik lambat, maka feces menjadi keras. Kolon dilapisi oleh lender berwarna jernih sampai buram dengan konsistensi berserabut. Lubrikasi pada ujung distal kolon, tenpan isi kolon menjadi lebih kering dan lebih keras. Gerakan kolon ada 3, yaitu: 1. Haustral shuffing adalah gerakan pencampuran kim untuk membantu absorpsi air 2.



Kontraksi haustral adalah gerakan untuk mendorong materi cair dan semipadat sepanjang kolon



3. Gerakan peristaltic adalah berupa gelombang, gerakan maju ke anus



Sekresi kolon membantu keseimbangan asam basa. Bikarbonat disekresi untuk mengganti klorida. 4-9 mEq kaliium dilepaskan setiap hari. Perubahan serum menjadi fungsi kolon, seperti diare menyebabkan ketidakseimbbangan elektrolit. Kolon mengeliminasi produk buangan dan gas(flatus). Flatus timbul akibat menelan gas, difusi gas dari aliran darah ke dalam usus dan kerja bakteri yang tidak dapat diabsorpsi. Orang dewasa dalam kondisi normal mengeluarkan 400-700 ml flatus setiap hari.



B. FAKTOR ELIMINASI Factor-faktor yang mempengaruhi proses defekasi, antara lain : 1. Usia Pada usia bayi control defekasi belum berkembang sedangkan pada usia lanjut control defekasi menurun 2. Diet Makanan berserat akan mempercepat proses feses, banyaknya makanan yang masuk ke dalam tubuh juga mempengaruhi proses defekasi 3. Intake cairan Intake cairan yang kurang akan menyebabkan feses menjadi lebih keras, disebabkan karena absorbs cairan yang meningkat 4. Aktivitas Tonus otot abdomen, pelvis, dan diagfragma akan sangatmembantu proses defekasi. Gerakan peristaltic akan memudahkan bahan feses bergerak sepanjang kolon. 5. Fisiologis Keadaan cemas, takut, dan marah akan meningkatkan peristaltic, sehingga menyebabkan diare 6. Pengobatan Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan diare atau konstipasi 7. Gaya hidup Kebiasaan untuk melatih pada buang air besar sejak kecil secara teratur, fasilitas buang air besar, dan kebiasaan menahan buang air besar. 8. Prosedur diagnostic Pasien yang akan dilakukan procedure diagnostic biasanya dipusatkan atau dilakukan klisma dahulu agar tidak dapat BAB kecuali setelah makan 9. Penyakit Beberapa penyakit pencernaan dapat menimbulkan diare dan konstipasi



10. Anestesi dan pembedahan Anesthesia umum dapat menghalangi inpuls parasimpatis, sehingga kadang-kadang dapat menyebabkan ileus usus. Kondisi ini dapat berlangsung selama 24-48 jam. 11. Nyeri Pengalaman nyeri waktu BAB seperti adanya hemoroid, epesiotomi akan mengurangi keinginan untuk BAB 12. Kerusakan sensorik dan motorik Kerusakan spinal cord dan injuri kepala akan menimbulkan penurunan stimulus sensorik untuk defekasi.



Faktor yang mempengaruhi eliminasi ada 2, yaitu: 1. Factor yang meningkatkan eliminasi a.



Lingkungan yang bebas stress



b. Kemampuan untuk mengikuti pola defekasi pribadi,privasi c.



Diet tinggi serat



d. Asupan cairan normal (jus buah, cairan hangat) e.



Olahraga (berjalan)



f.



Kemampuan untuk mengambil posisi jongkok



g. Diberikan laksaktif dan katartik secara tepat 2. Factor yang merusak eliminasi a.



Stress emosional (ansietas atau depresi)



b. Gagal mencetuskan reflex defekasi, kurang waktu atau privasi c.



Diet tinggi lemak, tinggi karbohidrat



d. Asupan cairan berkurang e.



Imobilitas atau tidak aktif



f.



Tidak mampu jongkok akibat imobilitas, usiia lanjut, deformitas musculoskeletal, nyeri, dan nyeri selamaa defekasi



g.



Penggunaan analgesic narkotik, antibiotic, dan anestesi umum, serta penggunaan katartik yang berlebihan



C. DEFEKASI Klien yang mengalami atau berisiko mengalami masalah elimiinasi akibat stress emosional (ansietas atau depresi). Perubahan fisiologi pada saluran GI, perubahan struktur usus melalui pembedahan, program terapi lain gangguan yang mengganggu defekasi, seperti :



1. Konstipasi Kontipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan frekuensi yang diikuti oleh pengeluaran feces yang lama, keras dan kering yang akan menimbulkan nyeri pada rektum. Biasanya terjadi pengedanan saat defekasi. Apabila motilitas usus halus melambat, masaq feses lebih lama pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air pada feces diabsorpsi. Penyebab umum konstipasi antara lain : a.



Kebiasaan defekasi yang tidak teratur



b. Klien memproduksi diet rendah serat dalam bentuk lemak hewan c.



Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga



d. Pemakaian laksatif yang berat e.



Obat penenang, opiate, antikolinergik, zat besi yang menyebabkan konstipasi



f.



Pada lansia mengalami perlambatan peristaltic



g. Konstipasi juga disebabkan oleh kelainan saluran GI h. Kondisi neurologis yang menghambat impuls saraf ke kolon i.



Penyakit organic, seperti hipokalsemia



2. Impaksi Impaksi adalah kumpulan feses yang mengeras dan mengendap di rectum dan tidak dapat dikeluarkan. Impaksi feses diakibatkan doleh konstipasi yang tidak diatasi. Klien yang mengalami kebingumgan, kelemahan, atau tidak sadar berisiko mengalami impaksi. Apabila feses diare keluar secara mendadak dan continue dicurigai berisiko impaksi. Kehilangan nafsu makan (anoreksia), distensi, dank ram abdomen serta nyeri di rectum dapat menyertai kondisi impaksi. 3. Diare Diare adalah peningkatan jumlah feses yang cair dan tidak berbentuk. Diare adalah gejala gangguan yang mempengaruhi proses pencernaan, absorpsi, dan sekresi di dalam saluran GI. Isi usus yang terlalu cepat keluar, sehingga absorpsi cairan dapat terjadi dan iritasi di dalam kolon menyebabkan sekresi lender, sehingga feses encer dan tidak mampu mengontrol keinginan untuk defeksi. Kondisi yang menyebabkan diare, antara lain : a.



Stress emosional



b. Inffeksi usus c.



Alergi makanan



d. Intoleransi makanan e.



Selang pemberian makanan



f.



Obat-obat zat besi dan antibiotic



g. Laksatif (jangka pendek) h. Perubahan melalui pembedahan gastrektomi i.



Reseksi kolon



4. Inkontenensia Inkontinensia feses adalah ketidakmammpuan mengontrol feses dan gas dari anus. Kondisi yang membuat defekasi, feses encer, volumenya banyak, dan feses mengandung air bisa menyebabkan inkontenensia. Inkontenensia dapat membahayakan citra tubuh 5. Flatulen Flatulen adalah penyebab umum abdomen mejadi penuh, rasa nyeri dan kram. Dalam kondisi normal, gas dalam usus keluar melalui mulut ( bersendawa) atau melalui anus (pengeluaran flaktus). Namun jika ada penurunan mortilitas khusus akibat penggunaan opiate, agens anestesi umum, bedah abdomen, atau immobilisasi, flatulen dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan distensi abdomen dan menimbulkan nyeri yang terasa sangat menusuk. 6. Hemoroid Hemoroid adalah vena-vena yang berdilatasi, membengkak dilapisan rectum. Ada dua jenis hemoroid yakni hemoroid eksternal dan hemoroid internal.



D. DIVERSI USUS Penyakit tertentu menyebabkan kondisi-kondisi yang mencegah pengeluaran feses secara normal dari rectum. Ini menimbulkan suatu kebutuhan untuk membentuk suatu lubang (stoma) buatan yang permanen atau sementara. Lubang yang dibuat melalui upaya bedah paling sering dibentuk di ileum (ileostomi) atau dikolon (kolostomi). Ujung usus kemudian ditarik ke sebuah lubang di dinding abdomen untuk membentuk stoma. Tergantung pada tipe prosedur bedah yang dilakukan, jenis stoma yang dibentuk ada dua, yakini klien tidak akan memiliki control terhadap materi feses yang keluar dari stoma atau klien memiliki control terhadap pengeluaran feses. 1. Ostomi Inkontinen Sebuah ileostomi merupakan jalan pintas keluarnya feses sehingga feses tidak melalui seluruh bagian usus besar. Akibatnya, feses keluar lebih sering dan berbentuk cair. Feses yang keluar lebih sering dan cair juga terjadi pada kolostomi dikolon asenden. Kolostomi pada transversal umumnya menghasilkan feses lebih padat dan berbentuk. Kolostomi sigmoid menghasilkan feses yang mendekati bentuk feses normal. Terdapat 3 jeniss kolostomi, antara lain :



a.



Loop colostomy Biasanya dilakukan dalam kondisi kedaruratan medis yang nantinya kolostomi tersebut akan ditutup. Jenis kolostomi ini mempunyai stoma yang berukuran besar yang dibentuk di kolon transversal. Ahli bedah menarik sebuah lengkung ke atas abdomen, kemudian membuuka usus dan menjaritnya. Lengkung ostomi memiliki 2 stoma yaitu ujung proksimal untuk mengeluarnya feces dan distal untuk mengeluarnya lendir.



b. End colostomy Terdiri dari 1 stoma yang dibentuk dari ujung proksimal usus dengan bagian distal saluran GI dapat dibuang atau dijarit tertutup (kantung Hartmann) c.



Double barrel colostomy Terdiri dari 2 stoma yang berbeda yaitu stoma proksimal yang berfungsi dan stoma distal yang tidak berfungsi.



2. Ostomi Kontinen Ostomi kontinen adalah deversi kontinen atau reservoir kontinen. Pada sebuah prosedur yang disebut ileoanal pull-through. Kolon diangkat dan ileum dianastomosis atau disambungkan ke sfingter anus yang utuh. Tidak setiap klien yang menjalani kolestomi merupakan kandidat untuk dilakukan prosedurnya ini. Untuk menentukan kriteria pilihan, dibutuhkan koordinasi yang baik antara klien dan ahli bedah. Ileostomi kontinen Kock adalah tipe ostomi kontinen lain yang baru. Pada prosedur ini klien tidak memiliki stoma eksternal yang permanen dan tidak perlu menggunakan kantong ostomi, tapi klien menggunakan kantong ostomi internal yang berasal dari ileum. Ujung kantong kemudian dijarit dan dianastomosis ke anus. Pada prosedur ini reservoir atau kantung internal dibentuk dari potongsan usus halus klien. Bagian kantung ditarik keluar ke abdomen klien sebagai sebuah stoma eksteral. Tidak seperti stoma ostomi lainya, stoma eksternal dari ileostomi kontinen Kock biasanya terletak sangat rendah pada abdomen klien. Biasanya garis celana dalam klien. Pada bagian ujung kantung internal terdapat tonjolan katup satu arah, yang memungkinkan pencapaian kontinensia. Katup ini hanya memungkinkan isi feses keluar dari kantung jika kateter eksterna ditempatkan kedalam stoma secara intermiten. Karena kandungan feses hanya dikeluarkan dari kantung Kock jika diintubasi dengan kateter, tidak eperti individu lain yang menggunakan ostomi, klien tidak perlu mengenakan sebuah kantung ostomi.



Sebuah Ostomi dapat menimbulkan perubahan citra tubuh yang serius, terutama jika ostomi bersifat permanen. Klien sering sering mempersepsikan stoma sebagai suatu bentuk pemotongan. Walaupun pakian menutupi ostomi, klien merasa berbeda. Banyak klien memiliki kesulitan untuk mempertahankan atau memulai hubungan seksual yang normal. Faktor penting dalam reaksi klien adalah karakter sekresi feses dan kemampuan untuk mengontrolnya. Bau busuk, tumpahan atau kebocoran feses yang encer dan ketidakmampuan mengatur defekasi membuat klien kehilangan harga diri.



E. PROSES KEPERAWATAN dan ELIMINASI FEKEL 1. Pengkajian a.



Riwayat keperawatan



1) Pola defekasi : frekuensi, pernah berubah 2) Prilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola 3) Deskripsi feses: warna, bau, dan tekstur 4) Diet : makanan yang mempengaruhi defekasi, makanan yang biasa dimakan, makanan yang dihindari, dan pola makan yang teratur atau tidak 5) Cairan : jumlah dan jenis minuman/ hari 6) Aktivitas : kegiatan sehari-hari 7) Kegiatan yang spesifik 8) Penggunaan medikasi : obat-obatan yang mempengaruhi defekasi 9) Stress : stress yang berkepanjangan atau pendek, koping untuk menghadapiatau bagaimana menerima 10) Pembedahan/ penyakit menetap b. Pemeriksaan fisik 1) Abdomen : distensi, simetris, gerakan peristaltic, adanya massa pada perut, tenderness 2) Rectum dan anus : tanda-tanda imflamasi, perubahan warna, lesi, fistula, hemoroid, adanya massa, tendernessi c.



Keadaan feses



1) Konsistensi, bentuk bau, warna, jumlah, unsur abnormal dalam feses, lendir d. Pemeriksaan diagnostic 1) Anuskopi 2) Proktosigmoidoskopi 3) Rontgen dengan kontras



2. Diagnose keperawatan Gangguan Eliminasi Fekel : Konstipasi Perubahan pola yang normal dalam berdefikasi dengan karakteristik menurunnya frekuensi buang air besar dan feses yang keras. Kemungkinan berhubungan dengan : a.



Imobilitas



b. Menurunnya aktivitas fisik c.



Ileus



d. Stress e.



Kurang privasi



f.



Menurunnya mobilitas intestinal



g. Perubahan atau pembatasan diet



Kemungkinan data yang ditemukan : a.



Menuruunnya bising usus



b. Mual c.



Nyeri abdomen



d. Adanya massa pada abdomen bagian kiri bawah e.



Perubahan konsistensi feses, frekuensi buang air besar Kondisi klinis kemungkinan terjadi pada :



a.



Anemia



b. Hipotiroidisme c.



Dialisa ginjal



d. Pembedahan abdomen e.



Paralisis



f.



Cedera spinal cord



g. Imobilitas yang lama Tujuan yang diharapkan : a.



Pasien kembali ke pola normal dari fungsi bowel



b. Terjadi perubahan pola hidup untuk menurunkan factor penyebab konstipasi



3. Intervensi NO.



INTERVENSI



RASIONAL



1.



Catat dan kaji kembali warna, konsistensi, Pengkajian



dasar



untuk



jumlah air,dan waktu buang air besar



mengetahui adanya masalah bowel



2.



Kaji dan catat pergerakan usus



Deteksi



dini



penyebab



konstipasi 3.



Lakukan pengeluaran manual dan lakukan Membantu gliserin klisma



4.



Konsultasikan



mengeluarkan



feses dengan



dokter



tentang Meningkatkan eliminasi



pemeriksaan laksatif, enema, dan pengobatan 5.



Berikan cairan adekuat



Membantu feses lebih lunak



6.



Berikan makanan tinggi serat dan hindari Menurunkan konstipasi makanan yang banyak mengandung gas dengan konsultasi bagian gizi



7.



8.



Bantu klien dalam melakukan aktivitas aktif Meningkatkan dan pasif



usus



Berikan pendidikan kesehatan



Mengurangi/



pergerakan



menghindari



inkontenensia



4. Implementasi a.



Mencatat dan kaji kembali warna, konsistensi, jumlah air,dan waktu buang air besar



b. Mengkaji dan catat pergerakan usus c.



Melakukan pengeluaran manual dan lakukan gliserin klisma



d. Mengkonsultasikan dengan dokter tentang pemeriksaan laksatif, enema, dan pengobatan e.



Memerikan cairan adekuat



f.



Memberikan makanan tinggi serat dan hindari makanan yang banyak mengandung gas dengan konsultasi bagian gizi



g. Membantu klien dalam melakukan aktivitas aktif dan pasif h. Memberikan pendidikan kesehatan



5. Evaluasi S = Subjective data(Data Subjektif ), Keluhan pasien O = Objective data(Data Objaktif)



A = Assessment(Pengkajian), Hasil dari evaluasi, ada 3, yaitu a.



Tujuan tercapai



b. Tujuan tercapai sebagian c.



Tujuan tidak tercapai P = Planning (Perencanaan), Pertahankan kondisi atau lanjutkan intervensi Misalnya : S = Pasien mengatakan nyeri pada saat ingin buang air besar O = Pasien tampak lebih nyaman dengan skala 3(0-10) A = Masalah teratasi sebagian P = Lanjutkan intervensi



a.



Mengkaji skala nyeri (0-10)



b. Makan-makanan yang berserat c.



Banyak minum air



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Eliminasi fekal merupakan proses pembuangan sisa metabolisme tubuh yang tidak terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produk usus penting untuk fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh lain karena sisa-sisa produk adalah racun. Jumlah fese yang dikeluarkanpun berfarisasi jumlahnya tiap individu. Fese normal mengandung 75 % air dan 25 % materi padat. Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriubilin yang berasal dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja Escherecia coli. Flatus yang dikeluarkan orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10 lt flatus dalam usus besar. Kerja mikroorganisme mempengaruhi bau feses. Fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa factor, pola eleminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda.



DAFTAR PUSTAKA Potter & Perry.1999.Fundamental Keperawatan: konsep, proses, dan praktik, edisi 4.Jakarta:EGC. Wartonah,Tarwoto.2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.edisi 3.Jakarta:Salemba Medika



Diposkan oleh AngLiCe WiKa di 06.16 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Tidak ada komentar: Poskan Komentar Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)



hayy...