Faringitis Kronik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I TINJAUAN PUSTAKA I.1 Faringitis I.1.1. Faring I.1.1.1. Anatomi Faring Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong, yang besar dibagian atas dan sempit dibagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra.1 Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.2 Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.1,2



Gambar 1. Anatomi faring



1



Faring terdiri atas : Nasofaring Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.1,2,3 Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.2 Laringofaring (Hipofaring) Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang, Kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.2 Ruang Faringal Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofaring (Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan 2



fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.2 Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis.2



I.1.1.2. Histologi Faring Bentuk histologi faring bervariasi tergantung pada letaknya. Nasofaring terdiri dari epitel torak bersilia dengan sel goblet. Sedangkan pada orofaring dan laringofaring, epitelnya berubah menjadi epitel gepeng berlapis tidak bersilia. Adaptasi struktur ini mengakomodasi peningkatan friksi dan trauma kimia yang lebih besar akibat pergerakan makanan. 3



I.1.1.3. Fisiologi Faring Faring berfungsi sebagai saluran untuk sistem pencernaan (penghubung antara mulut dengan esofagus) dan pernapasan (rongga hidung dengan trakea), menelan, dan membanu artikulasi bicara. Menelan terdiri dari 3 proses : 3,4 a. Fase oral Fase oral terjadi di dalam mulut dan bersifat volunter. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus terdorong posterior karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring dan ismus fausium sehingga makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.



3



b. Fase faringal Fase faringal terjadi secara involunter pada akhir fase oral yaitu perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus. Aditus laring tertutup, bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian aliran udara ke laring sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke saluran pernapasan.



c. Fase esofagal Fase esofagal merupakan perpindahan bolus makanan dari esofagus ke lambung dan bersifat involunter. Rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringal akan membuka introitus esofagus sehingga bolus akan masuk ke esofagus. Gerak bolus makanan pada esofagus bagian atas masih dipengaruhi kontraksi m.kontriktor faring inferior akhir fase faringal. Selanjutnya bolus makanan akan didorong distal oleh gerakan peristaltik esofagus.



I.2. Faringitis I.2.1. Definisi Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Infeksi bekteri group A Streptokokus β hemolitikus.1 I.2.2. Patofisiologi Penularan infeksi terjadi melalui sekret hidung dan ludah (droplet infection). Mulamula kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel. Bila epitel terkikis, maka jaringan limfoid superfisial



akan



bereaksi



dengan



melawan



infeksi



dengan



infiltrasi



leukosit



polimorfonuklear.5 I.2.3. Klasifikasi Faringitis I.2.3.1. Faringitis Akut I.2.3.1.1. Definisi Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran kelenjar getah bening leher dan malaise. Faringitis akut dan tonsillitis akut sering ditemukan bersama- sama dan dapat menyerang semua umur. Penyakit ini ditular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah ( droplet infections).2



4



I.2.3.1.2. Etiologi Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%) dan bakteri (5-40%) yang paling sering.2 Kebanyakan faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yang menyebabkan faringitis termasuk Influenza virus, Parainfluenza virus, Coronavirus, Coxsackie viruses A dan B, Cytomegalovirus, Adenovirus dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis.6,7 Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus, Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15% dewasa dan 20-30% pada anak-anak (5-15 tahun).2,8 Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial gram negative ditemukan pada pasien aktif secara seksual, terutama yang melakukan kontak orogenital. Dalam sebuah penelitian pada orang dewasa yang terinfeksi gonorea, faringitis gonokokal ditemukan 20% pada pria homoseksual, 10% pada wanita dan 3% pada pria heteroseksual. Sekitar 50% individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, meskipun odinofagia, demam ringan dan eritema dapat terjadi.7 Selain itu, Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring dan menyumbang terjadinya faringitis fungal. Faringitis gonorea hanya terdapat pada pasien yang menlakukan kontak orogenital.2 Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau demam.9 I.2.3.1.3. Epidemiologi Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak. National Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital Ambulatory Medical Care Survey telah mendokumentasikan antara 6,2-9,7 juta kunjungan anak-anak dengan faringitis ke klinik dan departemen gawat darurat setiap tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang dewasa per tahun.10 Menurut National Ambulatory Medical Care Survey, infeksi saluran pernafasan atas, termasuk faringitis akut, dijumpa 200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di Amerika Serikat.11 5



Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-kira 1530% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksi Group A Streptococcus. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari 3 tahun.7 I.2.3.1.3. Gejala Klinis Gejala-gejala yang timbul pada faringitis akut bergantung pada mikroorganismenya. Faringitis akut yang disebabkan bakteri mempunyai gejala nyeri kepala yang hebat, demam atau menggigil, malaise, nyeri menelan, muntah dan mungkin batuk tapi jarang.2 Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus group A dapat diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu demam, limfaadenopati pada anterior servikal, eksudat pada tonsil, tidak ada batuk.9 Faringitis yang disebabkan virus biasanya mempunyai gejala nyeri tenggorokan yang parah dan dapat disertai dengan batuk, suara serak dan nyeri substernal. Demam, menggigil, malaise, mialgia dan sakit kepala juga dapat terjadi.7 Sedangkan gejala pada faringitis fungal adalah nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis.2 I.2.3.1.4. Diagnosis Pada faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri, pemeriksaan pada faring yang dapat dilihat yaitu adanya eritema faring dan tonsil, eksudat pada faring dan tonsil, petechiae palatine, edema uvula dan limfadenopati servikalis anterior. Tidak semua pasien didapati dengan semua gejala tersebut, banyak pasien datang dengan gejala yang ringan dan tanpa eksudatif. Anak-anak di bawah 3 tahun dapat disertai coryza dan krusta hidung. Faringitis dengan eksudat jarang terjadi pada umur ini.11 Pada faringitis viral, pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, Coxsachie virus dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachie virus dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.2 Diagnosis biasanya dibuat tanpa kesulitan, terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarah ke faringitis. Biakan tenggorokan membantu dalam menentukan organisme penyebab faringitis, dan untuk membedakan faringitis karena bakteri atau virus. Sangatlah penting untuk mengetahui onset, durasi, progresifitas dan tingkat keparahan dari gejala yang menyertai seperti demam, batuk, kesukaran bernafas, pembengkakan limfonodi, paparan 6



infeksi, dan adanya penyakit sistemik lainnya seperti diabetes dan lain-lain. Faring harus diperiksa apakah terdapat tanda-tanda eritem, hipertrofi, adanya benda asing, eksudat, massa, petechie dan adenopati.7 Juga penting untuk menanyakan gejala yang dialami pasien seperti demam, timbulnya ruam kulit (rash), adenopati servikalis dan coryza. Jika dicurigai faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus, seorang dokter harus mendengar adanya suara murmur pada jantung dan mengevaluasi apakah pada pasien terdapat pembesaran lien dan hepar. Apabila terdapat tonsil eksudat, pembengkakan kelenjar limfe leher, tidak disertai batuk dan suhu badan meningkat sampai 38ºC maka dicurigai adanya faringitis karena infeksi GABHS.11 Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri GABHS. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan swab dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90-99 %. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari 10 hari.11 I.2.3.1.5. Penatalaksanaan Terapi pada penderita faringitis viral dapat diberikan aspirin atau asetaminofen untuk membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada tenggorokan. Penderita dianjurkan untuk beristirahat di rumah dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Faringitis yang disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.2 Terapi untuk faringitis bakterial diberikan antibiotik terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A Streptokokus β hemolitikus. Dapat juga diberikan Penicilin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500mg selama 6-10 hari, jika pasien alergi terhadap penisilin maka diberikan eritromisin 4x500 mg/hari. Kumur dengan air hangat atau antiseptik beberapa kali sehari.2 Faringitis yang disebabkan Candida dapat diberikan Nystasin 100.00 – 400.000 2 kali/hari dan faringitis yang disebabkan Gonorea dapat diberikan Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250mg secara injeksi intramuskular.2 I.2.3.1.6. Komplikasi Komplikasi umum pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media, epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan infeksi streptokokus jika tidak diobati dapat menyebabkan demam reumatik akut, peritonsillar abses, peritonsillar cellulitis, abses retrofaringeal, toxic shock syndrome dan obstruksi saluran pernasafan akibat dari 7



pembengkakan laring. Demam reumatik akut dilaporkan terjadi pada1 dari 400 infeksi GABHS yang tidak diobati.7



I.2.3.2. Faringitis Kronik I.2.3.2.1. Faringitis kronik hiperplastik Pada faringitis kronik hierplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak kelejar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tapak mukosa dinding posterior tidak rata dan berglanular. Pasien mengeluh mula-mula tenggorokan terasa kering dan gatal lalu akhirnya berdahak.2 I.2.3.2.2. Faringitis kronik atrofi Faringitis ini sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, tidak terjadi pengaturan suhu dan kelembaban udara pernapasan sehingga akan menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi lendir kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.2



I.2.3.3. Faringitis spesifik I.2.3.3.1. Faringitis leutika Troponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring dan gambaran klinisnya tergantung pada stadiu penyakitnya.2 -



Stadium primer Kelainan terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi terus berlangsung, maka akan timbul ulkus yang tidak nyeri tekan.



-



Stadium sekunder



-



Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritem pada dinding faring yang menjalar ke arah laring.



-



Stadium tersier Pada stadium ini terdapat guma dengan predileksi pada tonsil dan palatum.



I.2.3.3.2. Faringitis tuberkulosa Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Cara infeksi secara eksogen melalui kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Secara endogen terjadi melalui darah pada tuberkulosis miliaris. Keadaan umum pasien buruk



8



karena anoreksia dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri hebat pada tenggorok, otalgia serta pembesaran kelenjar limfe servikal. Terapi sesuai tuberkulosis paru.2



I.3. Abses Faring I.3.1. Abses Retrofaring I.3.1.1. Definisi Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini biasanya atrofi pada umur 4 – 5 tahun, maka sebagian besar abses retrofaring terjadi pada anak-anak dan relatif jarang pada orang dewasa.12-15 I.3.1.2. Etiologi Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah 1) infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring. 2) trauma dinding belakang faring oleh benda asing. 3) Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas.2 I.3.1.3. Gejala dan tanda Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil rasa nyeri menyebabkan rewel dan tidak mau makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.2 I.3.1.4. Diagnosis Berdasarkan anamnesis adanya riwayat infeksi saluran napas atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7mm pada anak dan dewasa srta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan 22 mm pada orang dewasa.2 I.3.1.5. Penatalaksanaan Terapi abses retrofaring ialah dengan medikaentosa dan tindakan bedah. Medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob. Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien bering Trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap agar tidak terjadi aspirasi.2 9



I.3.1.6. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi ialah 1) penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera, 2) mediastinitis, 3) obstruksi jalan napas, 4) Bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru.2 I.3.2. Abses Parafaring2 I.3.2.1. Etiologi Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara 1) langsung. Yaitu akibat tusukan jarum saat tonsilektomi. 2) proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam gigi, tonsil, faring, hidung mastoiddan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses. 3) penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula. I.3.2.2. Gejala dan tanda Trismus, indurasi atau pembengkakan sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial. I.3.2.3. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau CT scan. I.3.2.4. Komplikasi Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Kerusakan dinding pembuluh darah bila nekrosis dapat ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. I.3.2.5. Penatalaksanaan Medikamentosa dengan antibiotika dosis tinggi secara perenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses dilakukan bila tidak berpengaruh terhadap pemberian antibiotika dilakukan dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intraoral.



10



BAB II LAPORAN KASUS II.1. Identitas Pasien Nama



: Tn. AS



Usia



: 27 Tahun



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Agama



: Islam



Alamat



: Asrama Yonkav Ambarawa Kab. Semarang



Pekerjaan



: TNI



Status Pernikahan



: Menikah



No. CM



: 059436-2014



Tanggal Masuk



: 2 Juni 2014



Tanggal Keluar



: 4 Juni 2014



II. 2. Anamnesa Dilakukan secara autoanamnesa di Klinik THT dan Bangsal. Keluhan utama : nyeri menelan Keluhan tambahan : nyeri leher sebelah kiri Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke klinik THT dengan keluhan nyeri menelan dan nyeri pada leher kiri sejak sekitar 3 hari yang lalu. Nyeri dirasakan semakin memberat dan menjalar ke bagian leher sebelah kiri, tidak menjalar ke telinga, keluhan disertai demam, tidak batuk dan tidak ada hidung tersumbat. Riwayat mengorok (-). Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya sebanyak 1 kali sekitar 5 bulan yang lalu. Riwayat hipertensi disangkal, riwayat diabetes mellitus disangkal, riwayat alergi disangkal.



11



Riwayat Operasi : Pasien mengaku pernah operasi tonsilektomi di Rumah Sakit yang berada di Yogyakarta sekitar 8 tahun yang lalu. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga lain yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat Kebiasaan/Sosial : Pasien bekerja sebagai tentara, merokok 5-6 batang perhari, sering makan gorengan.



II.3. Pemeriksaan Fisik Status generalisata a. Keadaan umum



: tampak sakit ringan



b. Kesadaran



: compos mentis (GCS : E4V5M6)



c. Tanda vital



:



Tekanan darah



: 120/80 mmHg



Nadi



: 90x/menit



RR



: 18x/menit



Suhu



: 36,8oC



d. Kepala 



Mata



: mesocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor



Status lokalis THT Telinga



Kanan



Kiri



Daun telinga



N



N



Liang telinga



Lapang



Lapang



Discharge



-



-



Membran timpani



Intak



Intak



Tumor



-



-



Mastoid



N



N



12



Hidung



Kanan



Kiri



Hidung luar



N



N



Cavum nasi



Lapang



Lapang



Septum



Tidak ada deviasi



Discharge



-



-



Mukosa



Merah muda



Merah muda



Konka



N



N



Tenggorokan : 



Mukosa



: hiperemis (+)







Dinding belakang faring



: hiperemis (+), membengkak pada bagian kiri







Suara



: tidak ada kelainan







Uvula



: terdorong ke kanan







Tonsil



: T0-T0



e. Leher



: trakea di tengah, pembesaran KGB (-)



f. Thoraks



: simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)



-



Cor



: BJ I, II regular, murmur (-), gallop (-)



-



Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-



g. Abdomen : supel, tidak ada nyeri tekan, bising usus 5-8x/menit, hepar dan lien tidak teraba membesar. h. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)



II.4. Diagnosis Banding 



Faringtis kronis







Abses parafaring







Abses retrofaring



II.5. Pemeriksaan Penunjang 1. Hasil Laboratorium : tanggal 2 Juni 2014 Pemeriksaan



Hasil



Nilai Rujukan



13,9



12,5-15,5



Hematologi Darah lengkap Hemoglobin



13



Lekosit



15,2



5,0-11 ribu



Eritrosit



4,66



4,1-5,3 juta



Hematokrit



41,7



37-45%



Trombosit



279



150-400 ribu



MCV



89,5



77-91 mikro m3



MCH



29,8



24-30 pg



MCHC



33,3



32-36 g/dl



RDW



12,3



10-16%



MPV



8,1



7-11 mikro m3



Limfosit



2,3



1,5-6,5 103/mikroL



Monosit



1,2



0-0,8 103/mikroL



Eosinofil



0,1



0,04-0,8 103/mikroL



Basofil



0,0



0-0,2 103/mikroL



Neutrofil



11,7



1,8-7,5 103/mikroL



Limfosit%



14,9



25-40%



Monosit%



7,6



2-8%



Eosinofil%



0,7



2-4%



Neutrofil%



76,7



60-70%



PCT



0,225



0,2-0,5 %



II.6. Diagnosis Kerja Faringitis kronis eksaserbasi akut suspek abses faring II.7. Penatalaksanaan a. Farmakologi - Inj. Ringer laktat 18 tpm - Inj. Cefotaxime 2x1 (skin test) - Inj. Ketorolac 3x1 - Inj. Metronidazole 3x1 b. Non farmakologi - Tirah baring II.8. Prognosis Dubia ad bonam



14



BAB III ANALISA KASUS III.1. S (Subjektif) Pasien datang ke klinik THT dengan keluhan nyeri menelan dan nyeri pada leher bagian kiri sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dirasakan semakin memberat dan menjalar ke bagian leher sebelah kiri, tidak menjalar ke telinga, keluhan disertai demam. Riwayat mengorok (+). Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya sebanyak 1 kali sekitar 5 bulan yang lalu. Pasien mengaku pernah operasi tonsilektomi sekitar 8 tahun yang lalu. -



Nyeri menelan menunjukkan adanya gangguan pada daerah faring.



-



Adanya demam menunjukkan adanya infeksi akut saluran napas atas



-



Pernah mengalami hal yang sama sebelumnya menunjukkan perjalanan penyakit yang diderita sudah kronis.



III.2. O (Objektif) Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan : 



Suhu tubuh meningkat : menunjukkan adanya infeksi akut.



pada pemeriksaan rongga mulut dan tenggorokan ditemukan : 



faring hiperemis dan membengkak pada bagian kiri : menunjukkan adanya peradangan pada faring, pembengkakan menunjukkan adanya abses pada bagian unilateral dari faring.







Uvula terdorong ke kanan : adanya abses dapat mendorong posisi uvula yang seharusnya berada ditengah.



pada pemeriksaan darah rutin ditemukan : 



nilai leukosit meningkat : menunjukkan adanya infeksi akut.



III.3. A (Assesment) Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, dapat ditegakkan diagnosis pada Tn. AS adalah faringitis kronis eksaserbasi akut suspek abses faring.



15



III.4. P (Planning) 



Inj. Cefotaxime 2x1 Cefotaxime adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai



efek



bakterisidal dan bekerja



dengan menghambat



sintesis



mukopeptida pada dinding sel bakteri. Cefotaxime sangat stabil terhadap hidrolisis beta laktamease, maka Cefotaxime digunakan sebagai alternatif lini pertama pada bakteri yang resisten terhadap Penisilin. Cefotaxime memiliki aktivitas spektrum yang lebih luas terhadap organisme gram positif dan gram negatif. Aktivitas Cefotaxime lebih besar terhadap bakteri gram negatif sedangkan aktivitas terhadap bakteri gram positif lebih kecil, tetapi beberapa streptococci sangat sensitif terhadap Cefotaxime.15 



Inj. Ketorolac 3x1 Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal selama 5 hari. Ketorolac selain digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek anelgesik yang bisa digunakan sebagai pengganti morfin pada keadaan pasca operasi ringan dan sedang. Efeknya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain menghambat sintese prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2. ketorolac tromethamine memberikan efek anti inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan.15







Inj. Metronidazole 3x1 Metronidazole adalah antibiotik dan antiprotozoa yang diklasifikasikan sebagai nitroimidazole. Menghambat sistesis asamnukleat dan digunakan untuk mengobati infeksi bakteri anaerobik sebaik infeksi protozoal. Metronidazole memiliki efek amubisid dan efek trikomoniasid. Metronidazole memperlihatkan daya amubusid dan trikomoniasid langsung.15



16



DAFTAR PUSTAKA



1. Soshi, Arjun S., George, Philip E., and Vashista Rishi. 2013. Pharynx Anatomy. Diakses



pada



tanggal



9



Juni



2014.



Available



on



http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview 2. Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007. Bab IX Nyeri Tenggorok. Dalam Efiaty A.S., Nurbaiti I., Jenny B. dan Ratna D.R.. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta, 2007. Edisi ke-6: 212-215; 217-218. 3. Soepardi, efiaty A., Iskandar, N., Bashirudin J., dan Restuti, Ratna D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbitan FKUI. 4. Elaine N. Marieb and Katja Hoehn. Human Anatomy and Physiology.7th edition.ebook 5. Mansjoer A., Triyati K., Savitri R.,Wardhani Wahyu I., dan Setiowulan W.2001.Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 6. Anthony W Chow and Shira Doron, 2013. Evaluation of Acute Pharyngitis in Adults. Available From: http://www.uptodate.com/contents/evaluation-of- acute-pharyngitisin-adults 7. John L. Boone, MD., 2003. Etiology of Infectious Diseases of the Upper Respiratory Tract. In: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Nexk Surgery. 16th Edition. 2003 BC Decker Inc. Chapter 30. P: 635-7. 8. Ferri, 2013. Pharyngitis/ Tonsilitis. In: Ferri: Ferri’s Clinical Advisor 2013, 1st ed. Available From: http://www.mdconsult.com/books/page.do?eid=4-u1.0- B978-0-32308373-7..00025-X--sc0140&isbn=978-0-323-083737&uniqId=412762026-1430#4u1.0-B978-0-323-08373-7..00025-X--s2610 9. Jill Gore, 2013. Acute Pharyngitis. In: Journal of the American Academy of Physician Assistants:



February



2013-



Volume



26-Issue



2-



p



57-58.



Available



From:http://journals.lww.com/jaapa/Fulltext/2013/02000/Acute_Pharyngitis. 12.aspx 10. Mary T. Caserta and Anthony R. Flores, 2013. Pharyngitis In: Mandell: Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases, 7th ed.Volume 1,



Part



II,



Section



B,



Chapter



54,



p:



815-821.



Available



From:



http://www.mdconsult.com/books/page.do?eid=4-u1.0-B978-0-443-06839- 3..00054-



17



0--s0015&isbn=978-0-443-06839-3&uniqId=412762026-1459#4- u1.0-B978-0-44306839-3..00054-0--s0015 11. Alan L. Bisno, M.D., 2011. Acute Pharyngitis: Primary Care. In: The New England Journal



of



Medicine



2011;



344:205-211.



Available



From:



http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM200101183440308 12. Berger TJ, Shahidi H. retropharyngeal abscess. eMedicine Journal. August 13 2001, Volume 2, Number 8 : http://author.emedicine.com/PED/ topic2682.htm 13. Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ, Ed. Head and neck surgery – otolaryngology, Vol 1. Philadelphia: JB Lippincott Company , 1993 . h.738-49. 14. Retropharyngeal



abscess.



University of



Maryland Medicine :



http://umm.



drkoop.com/conditions/ency/article/000984.htm 15. Brunton, Laurence L., Chabner, Bruce A., and Knollman, BC. 2011. Goodman & Gilman’s The pharmacological Basis of Therapeutics.12th edition. China: McGrawHill.



18