Filsafat Anti Korupsi PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FILSAFAT ANTI-KORUPSI Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi



Oleh: Reza A.A Wattimcna



1016004142



©2012 Kanisius



PENERBIT PT KANISIUS



Anggota SEKSAMA (Sekretariat Bersama) Penerbit Katolik Indonesia Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)



Jl. Cempaka 9, Dcrcsan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349 E-mail: office(2>kanisiusmedia.com Website: www.kanisiusmedia.com



Editor: Dwiko Desain sampul: Sungging



Ilustrasi sampul: Sleep Walking Well, www.mihaicriste.blogspot. com/2007/01 / slep-walkingwell.html



Edisi elektronik diproduksi oleh Divisi Digital Kanisius tahun 2016.



ISBN 978-979-21-3847-4 (pdf)



ISBN 978-979-21-3362-2 (cetak)



Prakata



S



ewaktu menulis buku ini, saya sedang menggemari band The Beatles. Seperti kita semua tahu, band ini amat terkenal, mulai dari dekade 1960-an, sampai sekarang. Bahkan menurut beberapa pemusik Indonesia ternama, The Beatles adalah band pertama yang mendefinisikan apa artinya menjadi sebuah band! Artinya kita tidak bisa membayangkan apa itu "band", sampai era The Beatles lahir. Menarik bukan? Pertanyaan yang menggantung di benak saya adalah, apa yang membuat The Beatles bisa menjadi begitu terkenal dan berpengaruh di seluruh dunia?



Sebagai band mereka amat solid, sebelum akhirnya pecah, karena beragam sebab. Lagu-lagu mereka bermutu tinggi, dan tetap digemari, bahkan sampai sekarang, sekitar 20 tahun setelah band itu bubar. Menurut saya The Beatles menjadi legenda, karena lagulagu mereka bermutu tinggi. Dan lagu-lagu mereka bermutu tinggi, karena mereka secara mendalam merefleksikan kondisi-kondisi manusia ( human conditions), mulai dari cinta, kesedihan, imajinasi, kesendirian, revolusi, politik, dan sebagainya, serta berhasil menu angkannya dalam rumusan syair serta musik yang indah.



Jadi The Beatles menjadi legenda abadi dunia, karena mereka berbicara dan bernyanyi tentang "kondisi-kondisi manusia" ( human conditions). Beberapa waktu belakangan



F I L S A FAT



ANTI-KORUPSI



ini, di Indonesia, dan juga di seluruh dunia, korupsi telah menjadi tema yang sering didiskusikan, dicari akar penyebab serta jalan keluar untuk melenyapkannya. Namun, terhubung dengan The



Beatles, saya belum menemukan satu buku pun terkait dengan upaya memahami perilaku korupsi manusia dengan melihat dari kondisi-kondisi



manusia



yang



melakukannya.



Tak



satu



pun!



Bagaimana dengan Anda?



Padahal pelaku korupsi adalah manusia dengan segala kerumitan dan dinamika jiwanya yang amat unik. Dan kita perlu untuk memahami kerumitan dinamika jiwa manusia tersebut. Sejauh saya pahami,



ini



adalah



buku



pertama



yang



tidak



secara



teknis



mendekati korupsi dari aspek hukum, politik, ataupun ekonomi, melainkan dari sisi-sisi terdalam manusia yang melakukannya. Inilah yang menurut saya menjadi nilai unik sekaligus kelebihan dari buku ini. Buku ini ditujukan untuk para praktisi hukum, politisi, maha siswa dari berbagai perguruan tinggi, dan orang-orang yang peduli pada upaya bangsa untuk menghancurkan korupsi di berbagai bidang.



Terima



kasih



terbesar



saya



ucapkan



pada



Keuskupan



Surabaya dan Universitas Katolik Widya Man dala Surabaya yang telah menjadi rumah yang membahagiakan untuk saya selama ini. Selamat membaca dan selamat tercerahkan.



Daftar Isi



Daftar Isi



7



Pendahuluan: Korupsi______________________________________9 Bab 1: Korupsi dan Hasrat Berkuasa Manusia______________29 1. Friedrich Nietzsche 30 2. Kehendak untuk Berkuasa_________________________32 3. Penutup___________________________________________42 Bab 2: Korupsi dan Pemburuan Kenikmatan________________47 1. De Sade, Hidup dan Metode Berfilsafatnya_________50 2. Filsafat yang Menyimpang_________________________57 3. Kesimpulan dan Catatan 65 Bab 3: Korupsi dan Sisi Hewani Manusia___________________69 1. Elias Canetti dan Destruksi Filsafat Tradisional ...._...72 2.



Massa dan Kekuasaan_____________________________80



3. Beberapa Catatan



103



Bab 4: Korupsi dan Sifat Wajar Kejahatan__________________109 1. Hannah Arendt__________________________________1 1 0 2. Banalitas Kejahatan_____________________________1 1 1 3. Arendt dan Konteks Indonesia ........... ...............1 1 7 Bab 5: Korupsi dan Simbolisme Kejahatan______________1 2 1 1. Symbolism of Evil 124 2. Tentang Noda Jiwa________________________________126 1. Tentang Dosa___________________________________129 2. Tentang Rasa Bersalah_________________________133 Bab 6: Korupsi sebagai Kejahatan Sistemik __________139 Bab 7: Korupsi dan Kekosongan Jiwa Manusia________157 1. Slavoj Zizek 159 2. Manusia sebagai Subjek Dialektis______________166 3. Penutup: Subjek Dialektis______________________195 Kesimpulan: Melampaui Korupsi______________________199 Daftar Acuan.................................................................205



Biodata Penulis



209



Pendahuluan:



Korupsi



B



uku ini mengupas akar-akar korupsi dari sudut pan dang filsafat dengan tujuan untuk mencegah dan melenyapkannya. Pada ranah filsafat buku ini dapat dianggap sebagai sebuah proyek filsafat transendental untuk memahami kondisi-kondisi kemungkinan ( conditions of possibilité yang bersifat apriori (sebelum pengalaman), yang membuat manusia bertindak korup. Buku ini memiliki me tode pendekatan serupa yang dilakukan I Iabermas dengan proyek teori komunikasinya, yakni menemukan kondisi- kondisi kemungkinan [conditions of possibility) yang bersifat apriori yang memungkinkan manusia berkomunikasi,' dan proyek filsafat transendental Kant yang hendak menemukan kondisi-kondisi kemungkinan ( conditions of possibilité) dari pengetahuan manusia. 2



Akar dari korupsi ada bermacam-macam. Wacana ten tang korupsi pun bertebaran di berbagai bidang keilmuan, mulai dari filsafat, teologi, hukum, sampai dengan ekono mi. 3 Pada ranah moral korupsi dapat diartikan sebagai seWattimena, Reza A.A., Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta, 2007. Wattimena, Reza A.A., Filsafat Kritis Immanuel Kant, Evoli- tera, Jakarta, 2010.



Untuk berikutnya saya mengikuti uraian dari wikipedia tentang corruptioru http://en.wikipedia.org/wiki/Corruption diakses 20 Februari 2012 WIB.



gala sesuatu yang merusak moral, atau yang mencerminkan kerusakan moral. Tindakan korup adalah tindakan yang menjauh dari yang baik, dari yang ideal. Di dalam wacana ekonomi dan hukum, korupsi adalah pembayaran atau pengeluaran yang mengangkangi aturan hukum yang berlaku. Ada beragam sebutan untuk tindakan ini, mulai dari menyuap, main belakang, sampai sebutan unik di daerah Timur Tengah, yakni bakseesh. Secara etimologis kata korupsi berasal dari kata Latin, yakni corruptus. Artinya adalah tindakan yang merusak, atau menghancurkan. Ketika digunakan sebagai kata benda, korupsi berarti sesuatu yang su dah hancur, sudah patah.



Bentuk korupsi pertama adalah korupsi politik. Artinya adalah penyalahgunaan kekuasaan publik (politik) untuk memperoleh keuntungan pribadi. Misalnya anda dipercaya mengelola anggaran DPR, namun anda menggunakan sebagian anggaran itu untuk memperkaya diri anda sendiri, atau untuk kepentingan pribadi lainnya. Penggunaan kekuasaan sebagai pejabat negara yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku juga dapat disebut sebagai korupsi. Pada level yang paling parah, korupsi sudah menjadi penyakit sistemik, sehingga sudah dianggap biasa, dan orang sudah tak lagi punya harapan untuk memberantasnya. Bia sanya korupsi amat luas tersebar dan tertanam amat dalam di sistem politik dan ekonomi negara-negara berkembang. Ini terjadi karena sistem pembagian kekuasaan antara eksekutif (pelaksana kebijakan), legislatif (pembuat kebijakan), dan yudikatif (pemantau kebijakan) tidak berjalan dengan lancar. Akhirnya sistem hukum tak memiliki kekuatan dan kemandirian yang cukup untuk menjamin bersihnya pemerintahan dari korupsi.



Di dalam filsafat klasik, korupsi dianggap sebagai sega la hal yang bertentangan dengan kemurnian. Dalam arti ini jiwa adalah



sesuatu yang murni, sementara tubuh, dan semua materi fisik, adalah hal-hal yang korup. Yang diperlukan untuk mencapai kebijaksanaan dan pencerahan adalah menyangkal fisik dan materi, serta mencari kebenaran di dalam jiwa. Di sisi lain, sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles, korupsi juga bisa identik dengan dua hal, yakni kematian dan dekadensi moral yang disamakan olehnya dengan hedonisme, yakni hidup yang tujuan utamanya adalah mencari nikmat badaniah semata. Pada level politik yang cukup ter lihat adalah karena kesenjangan ekonomi yang terlalu ting gi, dan rusaknya kepercayaan yang mengikat antar anggota masyarakat. Ini bergerak seperti lingkaran setan. Penyebab korupsi dalam konteks ini adalah krisis kepercayaan. Namun karena korupsi krisis kepercayaan pun meningkat, kesenjangan ekonomi semakin besar, dan akhirnya merusak berbagai dimensi kehidupan bersama. Inilah yang menurut Uslaner menjadi penyebab, mengapa korupsi mampu bertahan lama, dan sulit sekali untuk dibasmi. 1 Korupsi adalah penyakit universal negara yang bisa ditemukan di mana pun. Penyebabnya amat mendalam sehingga upaya untuk mengganti sistem pemerintahan, misalnya dari totaliter ke demokrasi, seperti di Indonesia, tidak akan cukup untuk menaklukan korupsi sampai ke akarnya. Justru sebaliknya negara-negara yang notabene berhasil melenyapkan korupsi, seperti Singapura dan Hongkong (Cina), bukanlah negara demokratis.



Di sisi lain masalah utama menyebarnya korupsi adalah karena orang tidak tahu persis apa arti kata korupsi. Pada dasarnya korupsi adalah suatu konsep yang amat sulit untuk dijelaskan, apalagi dipahami. Setiap definisi menurut Uslaner selalu bermasalah, dalam arti tidak cukup mewakili kerumitan arti kata tersebut. Secara umum dapat dikatakan, bahwa korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan publik adalah kekuasaan yang diberikan oleh publik, dan publik bisa ber arti masyarakat, ataupun organisasi-organisasi yang ada di dalamnya. 2 Pada level ini banyak orang sepakat dengan defi nisi



1 2



A



Bagian ini diinspirasikan dari Uslaner, Eric, Corruption, Inequality, and Rule of Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2008, him. 4. "Corruption, in turn, leads to less triist in Ibid, hlm. 6. ""Corruption" is a term whose meaning shifts with the speaker .... / use the common definition of corruption as the "misuse of public power for private or political gain."



tersebut. Namun pada level yang lebih kecil, masalahnya menjadi semakin rumit. Misalnya apakah pemberian hadiah pada seseorang (karena jabatannya) adalah suap yang berarti adalah korupsi? Bagaimana dengan hadiah Lebaran atau hadiah Natal, apakah tidak boleh juga?



Inilah masalah utamanya. Korupsi seringkah didefinisi kan dengan mengacu pada standar nilai masyarakat tertentu yang tidak selalu bisa diterima oleh masyarakat lainnya. Artinya apa yang bagiku merupakan korupsi, bagi orang lain merupakan silaturahmi, atau tindakan wajar. Bahkan sebagaimana diamati oleh Uslaner, ada beberapa masyarakat yang mengangap tindak korupsi adalah suatu keharusan, karena merupakan bagian dari kultur masyarakat tersebut/' Pada hemat saya pola berpikir semacam ini amatlah sesat, karena mengabaikan begitu saja akibat-akibat yang meru sak dari praktek korupsi dengan menggunakan alasan-alasan kultural yang seolah luhur, namun sebenarnya busuk. Sum ber daya yang seharusnya digunakan untuk kebaikan bersama dihisap oleh orangorang yang duduk di kursi kekuasaan untuk mempergendut rekening pribadinya. Akibatnya orang-orang yang seharusnya mendapat pertolongan justru semakin terpuruk di dalam sulitnya kehidupan.



Kultur korupsi di masyarakat bisa tercipta, karena adanya lingkaran setan kesenjangan ekonomi, tidak adanya keper cayaan, adanya korupsi yang berkelanjutan, dan mulai lagi menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebih besar, begitu seterusnya. Di dalam kultur semacam ini, perbuatan korup, seperti menyuap dan mencuri, adalah sesuatu yang biasa, bagian dari rutinitas. Dengan kata lain orang harus korupsi, kalau mau selamat. Orang-orang yang tidak korup justru menjadi korban, dan dikucilkan. Korupsi menjadi sebentuk hegemoni, yakni kekuasaan yang menindas, namun dilihat sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, danjustru malah diang gap wajar dan bernilai baik. Orang menyuap karena tidak ada jalan lain untuk melakukan pekerjaan, selain menyuap. Orang mencuri karena



tidak ada jalan lain untuk hidup, selain mencuri. Sementara tindak menyuap dan mencuri Ibid, "The controversy goes further, as sotne soeieties are de-



seribed as having a culture in which corruption is acceptable." justru



malah



mengembangkan



kultur



korupsi



yang



telah



ada



sebelumnya. Inilah lingkaran setan korupsi.



Yang juga perlu ditegaskan adalah, bahwa korupsi bu kan hanya soal hukum, tetapi lebih dalam dari itu, yakni soal kultur. Jika urusan korupsi hanya diserahkan pada para penegak hukum, maka di negara-negara yang memiliki kultur korupsi kuat, orang-orang yang kaya dan berkuasa tidak akan pernah dituntut secara hukum, apalagi dihukum. Juga jika korupsi hanya dilihat sebagai soal hukum, maka pasal-pasal yang multitafsir dapat digunakan oleh para koruptor untuk melakukan korupsi. Dan di Indonesia pasalpasal yang multitafsir dan saling bertentangan satu sama lain amatlah banyak. Dua hal ini akan membuat pemberantasan korupsi menjadi semakin sulit, dan kultur korupsi akan se makin kuat. Maka kita tidak boleh secara sempit melihat korupsi semata sebagai masalah hukum saja.



Di dalam buku ini, saya akan mencoba meneropong fenomena korupsi dari kaca mata filsafat. Dalam arti ini korupsi adalah ekspresi dari situasi manusiawi kita sebagai manusia, yakni karena kita memiliki hasrat berkuasa, gemar berburu kenikmatan, memiliki sisi-sisi hewani yang brutal, sehingga korupsi seolah menjadi tindakan wajar yang tak lagi dilihat sebagai kejahatan. Saya akan jelaskan ini lebih jauh nanti. Namun sebelumnya kita sudah melihat, bagaimana korupsi amat terkait dengan kesenjangan ekonomi dan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat. Pertanyaan besarnya tetap bagaimana cara kita membasmi korupsi? Secara empiris yang



pertama-tama kita butuhkan adalah basis data yang kokoh dan akurat. Sebagaimana dikutip oleh



Uslaner, sampai saat ini hanya ada 18 negara yang memi liki data lengkap terkait dengan korupsi. 3 Dengan kata lain hanya ada 18 negara di dunia ini yang sungguh peduli pada pemberantasan korupsi. Mereka adalah Argentina, Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Meksiko, Belanda, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, dan Jerman. Sementara yang lainnya entah berjalan setengah hati, sehingga data tak lengkap, yang berarti pola pemberantasan korupsi juga tak berjalan mulus, atau tak peduli sama sekali.



Uslaner juga menegaskan bahwa kunci untuk memberantas korupsi adalah dengan membuat masyarakat tidak lagi tergantung pada cara-cara korup untuk mencapai sukses, atau sekedar menjalani hidup. 4 Artinya orang berdagang tidak harus menyuap. Orang mendirikan perusahaan tidak harus menyogok. Orang mengejar tender tidak harus menjilat sang pembuat tender. Orang masuk sekolah elit tidak perlu harus menyogok si kepala sekolah. Orang bisa menjadi pemimpin negara, tanpa harus menjilat pengusaha rakus, atau menipu rakyat dengan slogan-slogan penuh kebohongan. Tindak menyuap polisi untuk meloloskan diri dari surat tilang memang terlihat sebagai tindakan kecil. Namun itu tetaplah tindakan korupsi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya, korupsi kecil itu berpartisipasi di dalam memperbesar kultur korupsi, yang nantinya bisa merusak seluruh sistem masyarakat, dan menghancurkan masyarakat tersebut. Di dalam seluruh proses



3



4



Ibid, him. 241. "The big question remains: How might we reduce corruption? To answer this, we would need time series data on corruption, inequality, trust, legal fairness, and institutional quality (among other variables) for a large number of countries." Ibid, him. 246. "The key to reducing corruption seems to involve making people less dependent upon it."



ini tetap dibutuhkan sosok pemimpin negara yang tegas dan berani mengambil keputusan untuk memberantas korupsi, dan menghukum para koruptor.



Supaya masyarakat tak perlu lagi bergantung pada cara- cara korup untuk hidup, maka perlu ada sistem jaminan sosial yang bermutu, yang mampu menopang hidup mereka sebagai manusia yang memiliki martabat. Dalam konteks ini menurut Uslaner, yang terpenting



adalah



adanya



sistem



pendidikan



yang



mampu



menjangkau semua warga masyarakat, tanpa kecuali. 9 Artinya pendidikan gratis untuk rakyat, mulai dari taman kanak-kanak, sampai dengan universitas. Tidak mungkin? Swedia, Denmark, Botswana,



Singapura,



Hongkong,



dan



Korea



Selatan



sudah



menjalankan proses ini, walaupun memang masih ada cacat di dalamnya. Dengan adanya pendidikan yang bermutu pada semua orang, maka mereka bisa lebih kritis di dalam memahami praktekpraktek apa yang bisa diterima secara moral, dan mana yang tidak. Adanya kesadaran kritis tersebut membuat perilaku korup menjadi problem yang dipertanyakan dan dipikirkan. Perilaku korup menjadi masalah, dan bukan lagi sesuatu yang wajar. Ini adalah langkah awal



untuk



memberantas



korupsi.



Dan



yang



kedua



dengan



menyimak Ibid, hlm. 247. "The key mechanism to make people less depen- dent upon corrupt leaders is a universal social welfare regime - and especially one based upon education for ali"



pengalaman-pengalaman Singapura, Ilongkong, dan Korea Selatan, pendidikan gratis untuk semua orang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 10



Tantangannya juga cukup besar. Di negara-negara yang "sehat", orang membayar pajak dengan gembira, karena mereka tahu, bahwa uang itu akan digunakan untuk membiayai program-program pemerintah yang menjamin terciptanya masyarakat yang adil dan makmur untuk semua. Salah satu program itu adalah pendidikan gratis untuk semua, tanpa kecuali. Namun di negara-negara yang korup, orang akan enggan untuk membayar pajak, karena mereka tahu, uang pajak akan lari ke kantong-kantong penguasa dan orangorang dekatnya untuk mempertahankan dan bahkan mem perbesar kekuasaannya, sementara kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang miskin, akan terbengkalai. Tidak hanya itu mereka juga tahu, jika sakit, rumah sakit akan meminta bayaran tinggi. Jika masuk sekolah



mereka



akan



diminta



membayar



mahal.



Di



dalam



rutinitasnya mereka juga berpikir, bahwa mencuri hal-hal yang berada di bawah otoritas mereka adalah hal wajar. Jika sudah seperti itu, kultur korupsi akan semakin besar, dan akan semakin sulit



untuk



dilenyapkan.



Semakin



besar



kultur



korupsi,



maka



semakin besar pula kemungkinan suatu negara untuk hancur, atau jatuh dalam perang saudara yang menelan banyak korban, baik korban jiwa, maupun korban harta benda.



Ibid, "Singapore, Ilong Kong, and South Korea all pro- vide free education to all children and this has been a key component in their economic growth."



Namun bukankah pendidikan bagi semua warga tanpa kecuali itu membutuhkan biaya besar? Mampukah kita? Kekhawatiran yang ada biasanya



berpijak



digunakan



untuk



pada



argumen



pendidikan



bisa



berikut,



bahwa



digunakan



untuk



uang



yang



keperluan



mendesak jangka pendek, yakni peningkatan ekonomi dalam bentuk pembukaan lapangan kerja. Bukankah kerja (jangka pendek) lebih penting dari pada pendidikan (jangka panjang)? Ahli manajemen ternama asal Harvard University, AS, Michael Porter, ber pendapat, bahwa strategi perusahaan harus selalu mempertimbangkan aspek jangka pendek dan jangka panjang pada saat bersamaan. Pendapat ini diungkapkannya ketika dimintai pendapat soal strategi bisnis di tengah resesi ekonomi yang melanda AS pada 2008 lalu. Saya sepakat



dengan



Porter.



Ada



beberapa



data



yang



mendukung



argumennya.



Pada



pertengahan



abad



19,



Swedia



membuat



kebijakan



pendidikan universal, yakni pendidikan untuk semua warga, tanpa kecuali. Sampai sekarang para pengambil kebijakan di Swedia amat yakin, bahwa itu adalah langkah terbaik untuk melenyapkan korupsi



dan menjamin pertumbuhan ekonomi yang mantap dalam jangka panjang sampai sekarang ini. 5 Belajar dari pengalaman Swedia, pada hemat saya, untuk bisa memberantas korupsi sampai ke akarnya, serta menjamin pertumbuhan ekonomi yang mantap mulai dari sekarang sampai masa datang, sistem jaminan sosial, dalam



bentuk pendidikan bermutu serta pelayanan kesehatan yang memadai untuk semua rakyat, harus dimulai. Dana untuk itu memang besar, tetapi bisa diperoleh dengan pembuatan pajak progresif (semakin besar



harta



seseorang,



maka



semakin



besar



pajaknya),



dan



membentuk sistem hukum yang kokoh, yang menjamin tata laksana sistem tersebut berjalan sebersih mungkin. Seperti sudah disinggung sebelumnya, korupsi selalu melibatkan pengkhianatan atas kepercayaan yang diberikan publik, baik publik rakyat ataupun publik organisasi. Secara positif korupsi juga dapat dilihat sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan privat.6 Misalnya mobil dinas kementrian (kepercayaan publik) yang digunakan untuk berlibur ke luar kota (kepentingan privat-keluarga). Sebagian korupsi dilakukan untuk memperoleh uang untuk kepentingan pribadi dari sumbersumber yang seharusnya untuk kepentingan publik. Di balik konsep ini tertanam pengandaian dasar, bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar



antara



masyarakat.



barang



Korupsi



publik



dan



mengaburkan



barang



privat



pembedaan



di ini,



dalam dan



memperlakukan barang publik sebagai barang privat. Pengaburan ini tidak selalu harus identik dengan kehendak jahat ataupun kerakusan manusia, tetapi juga oleh ideologi yang sedang kuat berpengaruh di dalam masyarakat. 5 6



Ibid, "Rothstein (2007) argues that the adoption of universal education in Sweden in the mid-nineteenth century was central to the long-term decline in corruption." Untuk berikutnya saya terinspirasi dari Johnston, Michael, Syndromes of Corruption, Cambridge University Press, Cambridge, 2005.



Di dalam gejala liberalisasi ekonomi, di mana semua un sur bisnis dan ekonomi masyarakat dijadikan milik swasta, orang menjadi amat sulit membedakan antara milik publik dan milik privat. Inilah yang saya maksud, ketika menyatakan, bahwa ideologi bisa amat mempengaruhi kemampuan orang untuk sungguh membedakan barang privat dan barang publik. Johnston mencatat, bahwa perubahan kebijakan pemerintah juga membuat orang sulit membedakan barang privat dan barang publik. Kesulitan yang bermuara pada kebingungan ini merupakan peluang terjadinya korupsi yang tak disadari. Pada level yang paling parah, menurut Johnston, perilaku korup tidak lagi dilihat sebagai korupsi, melainkan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, yakni bagian dari rutinitas. Korupsi menjadi udara yang kita hirup sehari- hari, sehingga kita tidak lagi menyadari keberadaannya.' 3



Berbicara tentang korupsi kita selalu berbicara tentang dua hal, yakni pengkhianatan dan penyalahgunaan. Pertanyaan yang lebih kritis adalah, bagaimana kita mengartikan "penyalahgunaan" secara tepat, secara persis? Seperti dicatat oleh Johnston, biasanya orang mengartikan "penyalahgunaan" sebagai hal-hal yang secara langsung bertentangan dengan hukum formal yang berlaku. Hal ini dianggap menguntungkan, karena hukum formal dianggap cukup stabil, dan mengikat.' 4 Namun ada kelemahan yang cukup mendasar dari argumen ini. Jika sang penguasa itu korup, maka ia pasti akan membuat hukum-hukum yang juga korup, yang membenarkan kekuasaannya. Inilah lingkaran setan korupsi yang akan muncul, jika kita menyandarkan definisi hukum semata-mata secara legal formal. Lalu apa pilihan yang kita punya?



Altenatif lain sebagaimana dicatat oleh Johnston adalah ukuran kultural sebagai ukuran korupsi. Artinya korup atau tidaknya suatu tindakan diukur dari "pandangan dunia" yang berlaku di tempat tersebut. Argumen ini juga amat lemah, karena cara pandang suatu masyarakat seringkah amat kabur, dan mengundang beragam tafsiran yang berbeda, sehingga menciptakan kebingungan. Juga muncul bahaya relativisme, di mana satu orang mengira satu tindakan sebagai korupsi, sementara orang yang berasal dari tempat yang lain melihat itu sebagai tindakan yang wajar, bahkan baik. Pada hemat saya ketika mencoba mendefinisikan korupsi, kita perlu selalu berpijak pada beberapa nilai dasar, yakni nilai keadilan, perdamaian, dan akuntabilitas, atau pertanggungjawaban. Jadi apa



pun tolok ukur normatifnya, entah itu hukum formal ataupun sistem nilai budaya, prinsip keadilan, perdamaian, dan akuntabilitas tetap harus terkandung di dalamnya.



Seperti sudah disinggung sebelumnya, pada hemat saya, korupsi adalah suatu tindak penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Beberapa konsep yang perlu ditekankan, sebagaimana dicatat oleh Johnston, adaand other formal rules because of their relative précision, stability, and broad application."



lah konsep "penyalahgunaan", "publik", "privat", dan bahkan "keuntungan". Banyak orang memiliki pemahaman yang berbeda tentang konsep-konsep tersebut. Masyarakat yang satu memiliki pemahaman yang amat bertentangan dengan masyarakat lainnya tentang konsep-konsep itu. Saya rasa di titik inilah kita memiliki kesulitan besar untuk memahami arti tindakan korupsi, dan bagaimana cara mencegah, ataupun menghancurkannya. Di masyarakat Indonesia, pembedaan antara ruang publik maupun ruang privat pun masih tidak jelas. Misalnya ketika saya parkir di pinggir jalan untuk membeli buah, apakah itu melanggar kepentingan publik, atau tidak? Biasanya orang akan menjawab iya, walaupun tindakannya tetap melanggar apa yang ia katakan. Intinya ia tetap melanggar kepentingan publik.' 5



Di Indonesia sebagaimana saya amati, korupsi tidak lagi dijalankan secara perorangan, tetapi sudah memben tuk sistem persekongkolan orang-orang korup. Akibatnya sistem persekongkolan yang korup tersebut menghambat kemajuan mentalitas maupun institusi-institusi yang menopang masyarakat, dan menghambat gairah partisipasi rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan. Dan juga



sudah kita lihat sebelumnya, bagaimana suatu tindakan yang mengikuti aturan dan hukum yang ada pun juga bisa merugikan masyarakat, yakni menghambat perkembangan institusi dan partisipasi rakyat. Hal ini bisa terjadi, ketika pemerintah yang ada, terutama lembaga legislatif, membuat peraturan undang-undang yang korup, yakni undang-undang yang memungkinkan terjadinya perilaku korup. Inilah yang menurut Johnston terjadi di negaranegara maju sekarang ini. Parlemen menghasilkan undang-undang yang tidak adil, sehingga memicu terciptanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang korup dan merugikan rakyat.' 6



Menurut saya salah satu solusi yang bisa diambil untuk menanggapi masalah ini adalah dengan membuat pembe daan yang tegas antara kepentingan publik dan kepentingan privat. Pembedaan ini kemudian disosialisasikan secara masif dan intensif kepada seluruh rakyat melalui pendidikan, maupun media-media lainnya. Memang harus diakui pembedaan itu tidaklah mutlak, dan bisa berubah sesuai dengan situasi. Segala urusan publik harus diputuskan dengan menggunakan mekanisme publik pula yang mengikutsertakan, sedapat mungkin, semua pihak terkait. Jangan sampai keputusan-keputusan publik dibuat dengan mekanismemekanisme kepentingan privat yang seringkah berten tangan dengan kepentingan bersama. Inilah yang sekarang ini terjadi. Keputusan-keputusan yang terkait dengan kelbid, "Some systemic corruption problems might involve uses of wealth and power that are legal but still impair institutions and preempt the participation ofothers. Indeed, I will argue in chap- ter 4 that such is the case in the United States and many other market democracies."



pentingan bersama dibuat melalui mekanisme-mekanisme yang hanya



melibatkan



pribadinya



sekelompok



orang



masing-masing.' 7



pertanggungjawaban



yang



bersifat



dengan



Akibatnya publik.



kepen tingan tidak



Ketidakadilan



ada pun



tercipta. Pada hemat saya ini juga bisa digolongkan se bagai korupsi,



karena terjadi percampuran yang ganjil antara kepentingan publik dan kepentingan privat.



Maka keputusan yang bersifat publik harus dilempar ke publik, dan tidak pernah boleh dibuat di dalam ruang- ruang rahasia yang bersifat privat. Di dalam proses ini, peran pemerintah amatlah besar, terutama dalam dua hal, yakni sungguh menerapkan prosesproses



publik



di



dalam



setiap



pembuatan



kebijakan,



serta



memberikan hukuman yang proporsional pada setiap percampuran ganjil



antara



ruang



publik



dan



ruan



privat.



Kegagalan



untuk



menjalan dua peran itu bisa melahirkan sistem korupsi yang luas dan dalam, sehingga amat sulit untuk dibongkar. Lalu bagaimana dengan sektor privat, seperti bisnis dan beragam jenis perusahaan lainnya yang dimiliki perorangan? Bagaimana proses akuntabilitas di dalam organisasi-organisasi yang memang bukan milik publik? Sebenarnya sejauh saya paham, proses-proses hukum semacam itu memang sudah ada. Hukum sudah mengenali beragam bentuk penipuan di lingkungan perusahaan bisnis, mulai dari pemalsuan, penipuan, dan monopoli pasar yang juga bisa dikategorikan sebagai korupsi, sehingga bisa dijerat dengan pasal-pasal hukum yang ada. Walaupun begitu tetaplah harus dipahami, bahwa korupsi-korupsi yang terjadi di Indonesia, baik di sektor privat maupun sek tor publik, sudah bersifat sistemik dan kultural. Maka anali sis dan intervensi yang dilakukan tetap harus menggunakan pendekatan yang juga bersifat sistemik dan kultural. Inilah yang akan coba saya lakukan di dalam buku ini.



Selepas perang ideologi yang ditandai dengan runtuhnya rezim totaliter di Uni Soviet pada awal dekade 1990-an lalu, masyarakat dunia berharap, bahwa proses-proses pasar bebas dan demokrasi politis akan mengantarkan pada ter- ciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Komunisme dan sosialisme, yang dianggap sebagai satu-satunya



penghalang



untuk



mencapai



kesejahteraan



dan



keadilan, kini sudah tidak lagi laku sebagai ideologi tata kelola politik dan ekonomi masyarakat. Namun harapan memang tak selalu sejalan



dengan



mengedepankan



kenyataan. kompetisi,



Ideologi



dicabutnya



pasar berbagai



bebas



yang



aturan



yang



mengekang gerak modal, dan dicabutnya berbagai subsidi untuk rakyat sendiri.



justru



malah



Bisa



dibilang



mengancam kini



proses-proses



demokrasi



sudah



demokrasi



berubah



itu



menjadi



aristokrasi, yakni pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok elit. Dalam konteks ini elit bisnislah yang memegang kekuasaan sesungguhnya. Dengan kata lain ideologi pasar bebas justru malah mengangkangi demokrasi, dan menjauhkan rakyat dari keadilan yang diimpikan bersama.



Ideologi pasar bebas juga telah mengubah pandangan dunia manusia-manusia



abad



21.



Singkat



kata,



solidaritas



sosial



komunitas digantikan oleh kompetisi ekonomi, nilai- nilai ideal hidup digantikan semata-mata oleh kekayaan ekonomi, dan partisipasi politik digantikan semata-mata oleh membayar pajak, tak lebih dan tak kurang. Dengan kata lain menurut saya kini terjadi privatisasi kehidupan publik, yang berdampak pada rusaknya tata komunitas yang telah ada sebelumnya, dan menjadi sumber identitas sosial masyarakat tersebut. Di era pasar bebas ini, bagi ba nyak orang, kata demokrasi dan ekonomi membawa nada negatif, yakni semakin lebarnya jurang antara yang kaya dan yang miskin, serta semakin



besarnya kecemasan orang akan kehilangan pekerjaan yang telah menopang dia dan keluarganya selama ini. Pada sisi politik gerak pasar bebas telah menghisap idealisme kepemimpinan yang telah membawa Indonesia pada kemerdekaan lebih dari 60 tahun yang lalu. Kepemimpinan politis sekarang ini pun tak luput dari nilai- nilai kompetisi ekonomi yang jauh dari cita-cita solidaritas maupun keadilan sosial.



Akibatnya terjadi berbagai anomali politik di berbagai negara di dunia. Banyak lahir negara-negara yang maju se cara ekonomi, namun terbelakang secara demokrasi, seperti Cina, Singapura, dan Kuwait.



Di



sisi



lain



negara-negara



yang



mencoba



untuk



meningkatkan kualitas demokrasinya justru terjebak dalam hutang luar negeri yang begitu besar, dan mengalami krisis di berbagai bidang, seperti AS, Eropa, dan Indonesia. Pada hemat saya putusnya hubungan harmonis antara pasar bebas dan demokrasi bisa terjadi, karena tingkat korupsi yang begitu dalam, yang terjadi di negaranegara demokratis. Korupsi terjadi di sektor publik, maupun di sektor privat dalam bentuk monopoli pasar, praktek suap, dan manipulasi harga produk yang juga berarti penipuan masyarakat luas demi meraup keuntungan finansial. Maka pembongkaran dan pemusnahan korupsi menjadi tugas kita bersama, karena korupsi menjadi (satu-satunya) penghalang kita untuk sampai pada keadilan sosial dan kebaikan bersama untuk semua.



Sekarang



ini



banyak



orang



hanya



melihat



korupsi



sema ta



sebagai persoalan ekonomi dan politik. Padahal akar dari korupsi adalah situasi manusia itu sendiri, dan mengakar amat dalam di



dalam kultur masyarakat terkait. Diperlukan kehendak politik yang amat besar dari seluruh masyarakat, terutama pimpinannya, untuk menciptakan tata kelola demokratis yang bebas dari korupsi, serta menciptakan aturan-aturan yang menata ekonomi, supaya bisa memastikan sumber daya yang ada bisa tersebar secara merata, dan keadilan sosial bisa tercipta. Buku ini ingin membantu terjadi nya proses-proses tersebut dari sudut pandang filsafat. Buku ini hendak melihat korupsi sebagai fenomena manusiawi, kultural, dan sistemik,



serta



menjauhi



kebiasaan



masyarakat



untuk



melihat



korupsi semata sebagai persoalan politik maupun ekonomi belaka. Harapannya jelas supaya kita semua bisa memahami akar dari korupsi yang tertanam di dalam diri kita masing-masing, dan belajar untuk menjinakkannya. Untuk itu buku ini akan dibagi ke dalam tujuh bagian.



Pada bagian awal saya akan mencoba melihat korup si sebagai bentuk konkret dari kehendak untuk berkuasa yang tertanam di dalam diri manusia. Untuk ini saya banyak terbantu oleh pemikiran Friedrich Nietzsche (Bab i). Pada bagian berikutnya saya akan mencoba



memahami



korupsi



sebagai



bentuk



konkret



dari



pemburuan kenikmatan yang khas manusia. Saya menggunakan pemikiran Marquis de



Sade di dalam bab ini (Bab 2). Kemudian saya akan menco ba menempatkan korupsi sebagai bentuk konkret dari sisi hewani



manusia. Sebagai pijakan teoritis, saya mengguna kan pemikiran Ellias Canetti (Bab 3). Pada bagian berikutnya saya akan mencoba memahami korupsi sebagai bentuk dari ketidakpekaan kita atas kejahatan. Hannah Arcndt menyebutnya sebagai banalitas kejahatan, yakni kejahatan yang tidak lagi dilihat sebagai kejahatan, tetapi semata sebagai sesuatu yang wajar (Bab 4). Kemudian saya akan mencoba memahami korupsi dalam kaitannya dengan simbolsimbol kejahatan yang tersebar di dalam sejarah manusia. Saya menggunakan pemikiran Paul Ricocur dalam bab ini (Bab 5). Berikutnya saya akan mencoba memahami korupsi sebagai suatu bentuk kejahatan sistemik. Pemikiran Adorno amat membantu saya dalam hal ini (Bab 6). Terakhir saya akan mencoba memahami korupsi sebagai suatu bentuk kekosongan jiwa manusia. Pemikiran Slavoj Zizek membantu saya dalam hal ini (Bab 7). Seluruh buku ini akan ditutup dengan beberapa butir pemikiran saya terkait dengan upaya-upaya "melampaui" korupsi. Selamat membaca.



Bab 1



Korupsi dan Hasrat Berkuasa Manusia



D



unia politik di Indonesia diwarnai kemunafikan dan korupsi. Para politisi mengumbar janji pada masa pemilu, guna mendapatkan suara dari rakyat. Namun setelah menduduki kursi kekuasaan, mereka lupa, dan menelantarkan rakyatnya. Tak hanya itu ketika menjabat, mereka melakukan korupsi atas uang rakyat, demi memperkaya diri mereka sendiri, atau menutup pengeluaran mereka, ketika pemilu. Seringkah uang hasil korupsi dibagi ke teman-teman dekat, bahkan ke institusi agama, untuk mencuci tangan. Jika sudah begitu mereka lalu mendapatkan dukungan moral dan politik dari teman-teman yang "kecipratan" uang, dan bahkan dukungan moral-religius dari institusi agama. Bukan rahasia lagi inilah pemandangan sehari-hari situasi politik di Indonesia. Kekuasaan diselubungi kemunafikan dan korupsi yang bermuara pada penghancuran kehidupan rakyat jelata.



Membaca dan mendengar fenomena ini, saya teringat pemikiran Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman. Ia berpendapat bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba, yakni kehendak untuk berkua-



sa [the will to power). Apa yang dimaksud dengan kehendak untuk berkuasa ini? Apa kaitan dari kehendak untuk berkuasa dengan kehidupan manusia secara khusus, dan alam semesta secara umum? Apa yang membuat kehendak untuk berkuasa akhirnya bermuara pada kemunafikan-kemu- nafikan hidup, seperti yang seringkah dialami dunia politik Indonesia? Dengan berpijak pada pemikiran Nietzsche, saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk itu tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian. Awalnya saya akan memperkenalkan siapa itu Friedrich Nietzsche secara singkat (i). Lalu saya akan menjabarkan pemikiran Nietz sche tentang kehendak untuk berkuasa, terutama yang ter cantum di dalam bukunya yang berjudul Between Good and Evil. Pada bagian ini saya juga terbantu oleh tulisan James I. Porter tentang Nietzsche (2). Pada bagian akhir saya akan memberikan kesimpulan, sekaligus mengajukan satu tanggapan terhadap pemikiran Nietzsche (3).



1. Friedrich Nietzsche



Friedrich Nietzsche lahir pada 1844, 7 dan meninggal pada 1900. Ia adalah seorang filsuf Jerman di akhir abad ke-19, dan dikenal sebagai seorang pemikir yang melakukan serang an terhadap Kristianitas dan moralitas tradisional di Eropa pada jamannya. Fokus filsafatnya adalah pengembangan diri manusia semaksimal mungkin, dan analisis kebudayaan di jamannya. Ia menekankan sikap menerima dan merayakan kehidupan, kreativitas, kekuasaan, segala kontradiksi, serta absurditas hidup manusia. Ia menolak untuk mengakui adanya dunia lain di luar dunia ini. Ide paling penting di dalam filsafat Nietzsche, menurut saya, adalah ide penerimaan pada hidup. Konsekuensinya semua ajaran dan pemikiran di dalam peradaban manusia yang menolak kehidupan ditolak olehnya. Dengan pemikirannya ini ia memberikan inspirasi besar bagi para penyair, psikolog, filsuf, sosiolog, artis, dan para pemikir progresif di kemudian hari.



Di abad ke-20 lalu, pengaruh pemikiran Nietzsche amat terasa di daratan Eropa. Di mata para pemikir progresif, pembaharu7



Bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya atas http:// plato.stanford.edu/entries/nietzsche/ diakses 19 Desember 2011 pk. 8.44



pembaharu keilmuwan, maupun seniman, Nietzsche dianggap sebagai seorang "nabi". Beragam bidang kehidupan mulai dari arsistektur, metodologi penelitian ilmiah, filsafat, seni, sampai dengan fashion mengambil inspirasi dari ide-idenya yang kreatif dan mencerahkan. Percikan-percikan pemikirannya selalu terasa segar, baru, dan inspiratif. Di dalam bidang psikologi, Nietzsche berpetu alang mengangkat aspek-aspek hewani dan ketidaksadaran manusia, yang kemudian memberikan inspirasi bagi Freud untuk mengembangkan psikoanalisisnya. Tak jarang pula pemikiranpemikiran Nietzsche digunakan untuk membenarkan hal-hal kejam, seperti perang, penaklukan, diskriminasi, seperti yang dilakukan oleh NAZI Jerman dan partai fasis Italia.



Pada era 1960-an, pengaruh filsafat Nietzsche hanya terasa di kalangan seniman dan penulis. Pada masa-masa itu dunia akademik belum mengangkat kekayaan pemikirannya. Dunia filsafat sendiri masih terpesona pada pemikiran- pemikiran Hegel, Husserl, dan Heidegger. Strukturalisme Saussure dan Lévi-Strauss haru mulai berkembang. Namun pada akhir dekade 1960-an, terutama di Prancis, para filsuf mulai menengok ke filsafat Nietzsche untuk mengembangkan tradisi filsafat mereka sendiri. Inilah yang nantinya mengental menjadi posmodernisme yang menantang cara berpikir lama, dan melakukan kritik sosial yang bersifat me nyeluruh (dari kritik ekonomi sampai gaya hidup) pada ja mannya. Di negaranegara berbahasa Inggris, karena kaitannya dengan fasisme dan NAZI Jerman, para filsuf baru mulai membuka diskusi tentang pemikirannya setelah 1970-an.



Walaupun hidup sakit-sakitan, Nietzsche tetap mampu menulis dengan amat baik dan kreatif selama bertahun-ta hun di masa hidupnya. Rasa sakit tubuh pun terus datang dan pergi. Ini semua menggambarkan kekuatan mental yang ia miliki di dalam berpikir dan mencipta. Bahkan menurut saya rasa sakit dan penderitaan itulah yang menjadi sumber inspirasi dari tulisan-tulisan filsafatnya. Dari rasa sakit dan ketabahannya, ia menuliskan gagasan-gagasan pencerahan yang mempengaruhi peradaban manusia, sampai sekarang ini.



2. Kehendak untuk Berkuasa



Konsep kehendak untuk berkuasa adalah salah satu kon sep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. 8 Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan seba- gai seorang pemikir naturalistik ( naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-in- sting alamiahnya ( natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun makhluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas [free wilt), substansi C substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara- cara baru. Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup (i), proses transen densi insting-insting alamiah manusia (2), dan cara meman dang realitas yang menyeluruh ( wholism) (3). 20 Pemikiran tentang kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisantulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas (1), sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas ( the nature of reality) (2), dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya ( reality as such) (3). contested aspects of Nietzsche's writings, and rightly so. The theory presses the idea of a naturalistic moral psychology to startling extremes. " Ibid, "It calls for a radical revision of our concepts of self and reality, in ways that will become clear below. Concepts like the sublimation of the instincts, the affirmation of life, and holism float across its surface like so many bright images of a life better conceived. And yet, for all its brilliance, the will to power prèst . />S\ f Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche I .



/ .



»



f I ..



8 Bagian ini diinspirasikan dari Porte r, James. L, "Nietzsches Theory of The Will to Power", A Companion to Nietzsche, Pearson, Keith, Ansell, (ed), Blackwell, London, 2006, hlm. r- . Q " T U / t U / i n v ì i



r» ii»»// i r\ ^/»m^iv » c /»m/i /»/" 11i/» /»ri



kehendak untuk berkuasa adalah "klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan." 9 Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur terdalam [fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa.



"Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, tubuh ini tetap harus memperlakukan



tubuh-tubuh



lain



sama



seperti



ia



memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri tetap merupakan



pembadanan



dari



kehendak



untuk



berkuasa,



tubuh itu akan ingin tumbuh, menyebar, memegang, memenangkan dominasi - bukan karena soal moralitas atau imoralitas, melainkan karena tubuh itu hidup, dan karena hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa." 10 Ini adalah gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan kehidupan alam semesta pada um umnya. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya, adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus insting- tual manusia. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apa pun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. 23 Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subjek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.



9



Ibid, him. 550. "the tyrannically inconsiderate and relentless enforcement of claims of power," 10 Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, Cambridge University Press, Cambridge, 2002, him. 153. "if this body is living and not dying, it will have to treat other bodies in just those ways that the individuals it contains refrain from treating each other. It will have to be the embodiment of will to power, it will want to grow, spread, grab, win dominance, — not out of any morality or immorality, but because it is alive, and because life is precisely will to power."



Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan objektif. Yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan adalah subjektivitas [subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir ( interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri. 24 Dengan subjektivitas dan kemampuan untuk Porter, James. I., "Nietzsche's Theory of The Will to Power", him. 550. "the will to power is then an activity that affects and in fact constitutes the character of everything in the world and that is itself the result of such effects"



Ibid, him. 551. "Interpretation and subjectivity are essential; they furnish the world with relations, and therefore endow it with features or so Nietzsche seems willing to concede at least some of the time (e.g., WP 560 and 564). But where do these activities occur? The answer is in the will to power, the activity that selects and arranges things from a perspective, and whose effects condition the whole."



menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat [causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subjek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa mcnciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subjektivi tas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya "manusiawi" (human).



Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia se cara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain



dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari ka camata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah "afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri." 25 Hidup memang 25



Ibid, "as a joyous affirmation of life".



tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.



Sebagai bagian dari dunia yang dimotori kehendak untuk berkuasa, manusia pun tidak lagi dipandang sebagai makhluk rasional, melainkan sebagai makhluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya dari dunia. Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta dunia [worldcreating activity). Jadi karena dikelilingi oleh kehendak untuk berkuasa, manusia pun terdorong untuk mencipta dunia. Tindak mencipta dianggap sebagai dorongan alamiah, dan bahkan kebutuhan eksistensial manusia. Dalam arti ini manusia bukanlah subjek seutuhnya, karena ia adalah bentuk konkret saja dari kehendak untuk berkuasa. Manusia adalah subjek yang bukan subjek. Manusia dan dunia adalah cerminan dari kehendak untuk berkuasa.



"Para ahli fisiologi", demikian tulis Nietzsche, "harus berpikir dua



kali



sebelum



menempatkan



dorongan



untuk



mempertahankan diri sebagai dorongan paling utama dari makhluk hidup. Di atas semua itu, makhluk hidup mau mengeluarkan kekuatannya - hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa -: mempertahankan diri hanya salah



satu konsekuensi yang tidak langsung dan paling sering muncul dari ini." 11



Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa dili hat dari efek-efek yang ditimbulkannya. Hakekat dari dunia dan manusia adalah efekefek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa.



Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis ( systematic worldiriew). Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk menyibak berbagai situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa diperlakukan sebagai konsep metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat Yunani Kuno, atau substansi. 12 Menurut Porter konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari realitas. Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami dunia seutuhnya. Dalam konteks ini Nietzsche kemudian menawarkan sebuah pemahaman yang lebih "puitis" tentang hakekat dunia yang memang tak bisa sepenuhnya tertangkap oleh akal budi manusia. 13 Konsep kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia. Bisa dibilang bahwa Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai alat utama manusia untuk memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis 11 Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, him. 15. "Physiologists should think twice before positioning the drive for self- preservation as the cardinal drive of an organic being. Above all, a living thing wants to discharge its strength — life itself is will to power —: self- preservation is only one of the indirect and most frequent consequences of this." 12 Wattimena, Rcza A.A., Metodologi Penelitian Filsafat, Kani- sius, Yogyakarta, 2011, him. 67. 13 Porter, "Nietzsche's Theory of The Will to Power", him. 553. "The will to power; I will be proposing, does not describe the nature of the world, or rather of the reality that underlies everyday appearances. Rather, it describes a process of misrecognition, the poetic manufacture of the world; and it does this by rendering »fr/» If /»»v/'i» / /»v /-»-v»/-/ »•.»/•/»/-»/»•'/»•vif /»*