Fungsi Wahyu Dan Akal Dalam Memahami Aqidah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS TERSTRUKTUR



DOSEN PENGAMPU



PENDIDIKAN AKIDAH



NURTIARA, M.Pd



FUNGSI WAHYU DAN AKAL DALAM MEMAHAMI AKIDAH



OLEH: APRINA NOOR LATIFAH



(210101010901)



ASMA’UL HUSNA



(210101010461)



MUHAMMAD SYARIF RIZKI



(210101010561)



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BANJARMASIN 2021



KATA PENGANTAR



Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Pemberi Rahmat yang telah memberikan karunia dan rahmatnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga senantiasa pula dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta sahabat, kerabat, keluarga beliau, dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Kami ucapkan terimakasih kepada ibu Nurtiara,M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Aqidah yang telah membimbing dan memberikan arahan kepada kami terhadap pembuatan makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan pada tepat waktu.Dan kami ucapkan juga terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dan telah membantu baik secara moral maupun moril. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini.Oleh karena itu dengan rendah hati kami meohon kritik dan saran yang bersifat membangun dalam kesempurnaan makalah ini.Semoga dengan ada nya makalah ini dapat menambah wawasan, menjadi ilmu yang bermanfaat, serta mendapat kan keberkahan dari Allah SWT, aamiin.



Marabahan, 9 Oktober 2021



Kelompok V



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii BAB I ...................................................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1 C. Tujuan .......................................................................................................... 1 BAB II ..................................................................................................................... 2 A. Pengertian Wahyu dan Akal......................................................................... 2 B. Fungsi Wahyu dalam Memahami Akidah ................................................... 3 C. Fungsi Akal dalam Memahami Akidah ....................................................... 5 D. Hubungan Wahyu dan Akal ......................................................................... 8 BAB III ................................................................................................................. 10 A. Simpulan .................................................................................................... 10 B. Saran ........................................................................................................... 10 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 11



ii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang. Dalam islam akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan. Lima unsur itu ialah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Agama mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada manusia. Dan jalan kedua yaitu akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu yang diyakini sebagai pengetahuan mutlak,sementara pengetahuan yang diperoleh sebagai pengetahuan yang bersifat relative, memerlukan pengujian terus-menerus, mungkin benar dan mungkin juga salah.



B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana fungsi wahyu dalam memahami akidah? 2. Bagaimana fungsi akidah dalam memahami akidah?



C. Tujuan 1. Untuk mengetahui fungsi wahyu dalam memahami akidah 2. Untuk mengetahui fungsi akal dalam memahami akidah



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Wahyu dan Akal Secara etimologis, kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy yang artinya suara, api, dan kecepatan serta juga dapat diartikan sebagai bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Sedangkan secara terminologis, wahyu diartikan sebagai apa-apa yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabi-nabi. Atau dengan kata lain, wahyu dapat didefenisikan sebagai penyampaian dari Tuhan kepada orang-orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia sebagai petunjuk hidup. Wahyu tersebut mengandung ajaran dan petunjuk yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dalam definisi kaum teolog, wahyu adalah pengajaran ilmu secara khusus dari Allah kepada hambaNya yang terpilih yang ditugasi untuk memberi petunjuk kepada umat manusia. Dengan pendekatan filsafat (paripatetik) wahyu adalah emanasi (pelimpahan) pengetahuan suci Ilahiyah dari akal aktif (al-‘aql al-fa’al) kepada manusia terpilih melalui intuisi suci (al-hads al-quds) yang dikembangkan secara penuh. Yusufian dan Shariff (2011:16-17), mendefinisikan wahyu sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui jalan khusus yang hanya ditempuh oleh sekelompok orang tertentu (para nabi) yang capaiannya bersifat hudhuri dan mustahil keliru. Dengan demikian wahyu yang dimaksud adalah teks suci keagamaan (Alquran) yang merupakan wahyu dari Allah pada nabiNya sebagai representasi kebenaran Ilahi dan menjadi rujukan primer dalam kebenaran agama. Dengan demikian hubungan antara akal dan wahyu dipahami sebagai relasi antara pengetahuan aklani dan pengetahuan wahyuni.1 Sabara, “Polemik Akal dan Wahyu dalam Lanskap Pemikiran Islam (Antara Rasionalisme vis a vis Fideisme)”, dalam Jurnal Ilmu Akidah, Vol 1, No. 1, 2015 (Sulawesi Selatan Aqidah-Ta, 2015), hlm. 5 1



2



Adapun untuk definisi akal, secara bahasa akal berasal dari bahasa Arab aqala yang berarti mengikat dan menahan. Sedangkan secara istilah, akal memiliki arti daya berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu daya dari jiwa serta mengandung arti berpikir. Al-Ghazali memberikan empat penjelasan dalm mentakrifkan akal. Pertama, akal ialah sesuatu sifat yang boleh membezakan antara manusia dengan haiwan dan makhluk lain. Melalui anugerah akal, manusia mampu dan dapat menerima segala ilmu yang berbentuk teori serta mampu untuk menyusun idea-idea. Akal dalam bentuk ini merupakan asas utama dan pokok kepada fikiran manusia. Kedua, akal ialah segala ilmu dan pengetahuan yang dapat memastikan sesuatu kemungkinan terhadap perkara-perkara yang mungkin dan kemustahilan terhadap perkara yang berbentuk mustahil. Ketiga, akal ialah segala ilmuwan dan pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui pengalaman-pengalaman yang lalu dan apa yang dialaminya. Hal tersebut berdasarkan kebiasaan orang yang berpengalaman atau mempunyai pengalaman itu adalah terdiri daripada mereka yang berakal. Sebaliknya, orang tidak mempunyai pengalaman itu dikira orang yang jahil dan bodoh. Keempat, akal ialah sesuatu yang mempunyai kekuatan atau sesuatu kekuatan yang diperoleh atau dicapai ekoran perkembangan daripada kemuncak naluri tersebut. Akal mampu dan dapat mengenal serta mengesan akibat-akibat daripada segala perbuatan atau mengenal segala perkara. Lantaran itu apabila kekuatan untuk mengawal dan membendung nafsu tersebut tercapai, maka seseorang itu dikira orang yang berakal.2



B. Fungsi Wahyu dalam Memahami Akidah Di setiap bangsa dan semua zaman, banyak orang dilemparkan karena kekurangan ilmu pengetahuan dan kelalaiannya sendiri keluar dari Shahir Akram Hassan, “Kedudukan Wahyu dan Akal dalam Penghujahan berdasarkan Ilmu Mantik”, dalam Jurnal Sains Humanika, Vol 9, No. 4, 2015 (Malaysia ISDEV, 2017), hlm. 20 2



3



garis keyakinan, sehingga ia jatuh ke dalam lembah keraguan tantang apa yang tidak dapat disaksikan oleh pancainderanya. Bahkan ragu terhadap perkara yang dapat disaksikan oleh pancaindera itu sendiri. Akan tetapi dengan kejatuhan mereka, seolah-olah mereka menjadi turun ke dasar bawah yang lebih rendah dari martabat hewan. Karena mereka telah melupakan akalnya, kekuatan akal itu, rahasianya dan kemampuannya, dan mereka mersakan hal yang demikian itu sebagai suatu kelezatan untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan perintah dan larangan, dan tidak enggan melakukan apa-apa yang sepantasnya dilarang. Maka apabila datang kepada mereka yang membicarakan tentang masalah kenabian dan soal-soal Agama, serta rohani mereka menaruh minat yang besar terhadap itu, mareka berdaya upaya mengalihkan pandangan mereka ke arah yang lain dan menutup pendengaran mereka agar tidak terpengaruh kepada dalil-dalil yang di anggap mereka baru, yang nantinya akan merasuki keyakinan mereka tentang kepercayaan yang diiringi oleh syariat agama. Menurut Muhammad Abduh perintah dan larangan Tuhan erat hubungannya dengan sifat dasar (nature) perbuatan yang bersangkutan; dengan perkataan lain upah dan hukuman bergantung pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Kaum Asy’ariyah, kata Muhammad Abduh tidak mempunyai pendapat yang demikian. Baik dan buruknya itu semua tidak bergantung pada perintah dan larangan Tuhan. Bagi mereka baik ataupun buruknya sesuatu perbuatan diketahui dari perintah ataupun larangan yang diturunkan Tuhan tentang perbuatan itu. Posisi akal terhadap wahyu merupakan pembantu dalam memahami wahyu, sebab akal kebutuhan sedang wahyu adalah merupakan sendi-sendinya yang kukuh, dan tidak butuh sandaran yang absolut.3



3



Ilman Sarwedi Siregar, Konsep Kenabian dan Wahyu Menurut Pemikiran Muhammad Abduh dalam Karyanya Risalah Tauhid, Skripsi S1 Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim, 2015, hlm. 35-37



4



Ada beberapa aliran yang mengemukakan pendapatnya terkait fungsi wahyu, diantaranya yang pertama adalah aliran Mu’tazilah. Menurut Mu'tazilah, fungsi wahyu adalah dibawah fungsi akal. Mereka lebih memuji akal mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi. Segala sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya mana yang tidak sesuai dengan akalnya dibuang, walaupun ada hadits dan Ayat Al-Qur'an yang bertalian dengan masalah itu. tetapi berlawanan dengan akalnya. Berikutnya adalah aliran Asy’ariyah dimana menurut mereka, fungsi wahyu (Al-Qur'an) dan hadits adalah sebagai pokok, sedang fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu dan hadits. Kemudian menurut aliran Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi akal. Fungsi akal pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenaran dan penjelas dalil-dalil Al-Qur'an bukan menjadi hakim yang mengadili dan menolaknya.



C. Fungsi Akal dalam Memahami Akidah Menurut Syaikh Abdurrahman Siddik, akal itu bagaikan nur. Sedangkan nur dimaknai sebagai lampu, pelita atau suluh. Dalam hal ini, bisa dimengerti kalau beliau ingin mengatakan bahwa akal itu berfungsi untuk menyinari atau menerangi sebagai petunjuk ke arah kebenaran. Jika akal mencapai kebenaran, maka dengan sendirinya akan menjadikan jiwa yang baik, atau jiwa yang terhindar dari keinginan atas dasar hawa nafsu. Sehingga akal yang berdasarkan jiwa yang baik akan membawa pemiliknya mampu menangkap ilmu dharuri (yang mudah dicerna) dan ilmu nazhari (yang lebih tinggi tingkatannya). Sebagaimana dalam kutipan bait sya’ir Abu Ali Ibnu Sina dalam Fadhil Al-Djamaly (1988: 27) : Sesungguhnya jiwa itu bagaikan kaca Sedang akal bagaikan lampunya Dan hikmah Allah bagaikan minyaknya Bila ia bersinar maka kau akan menjadi hidup Dan bila padam maka kau menjadi mati



5



Dalam ungkapan sya’ir diatas, Abu Ali Ibnu Sina memperlihatkan betapa pentingnya fungsi akal bagi kehidupan rohani manusia. Apabila manusia menggunakannya berarti rohaninya menjadi hidup, sebaliknya rohani manusia menjadi mati, jika tidak difungsikan. Bagi Syaikh Abdurrahan Siddik, akal tidak hanya sekedar menjadikan pemiliknya hidup, tetapi mampu mengantarkan pemiliknya mengenal Allah. Dalam istilah beliau, akal mampu ‘pagari mengenal Tuhan’ (Siddik, 1915: 26). Fungsi akal mampu untuk memagar atau ‘pagari’ (dalam istilah Syaikh Abdurrahman Siddik) mengenal Allah. Istilah ini bermakna menjaga atau memelihara. Pagar biasanya sarana untuk melindungi, menjaga atau memelihara sesuatu yang ada di dalamnya dari ancaman luar. Sehingga apa yang dilindungi, atau yang dijaga (dalam hal ini sesuatu itu ialah pengenalan kepada Allah) menjadi terpelihara dan tumbuh menjadi baik, terbebas dari gangguan sehingga tidak rusak atau mati. Kekuatan akal mampu menjadi wadah untuk mengenal eksistensi Allah.4 Ketika Islam mengajak manusia untuk berpikir, sesungguhnya apa yang dikehendakinya adalah berpikir dalam batas kemampuan dan jangkauan akal. Islam mengajak untuk memperhatikan apa yang diciptakan Allah, seperti langit dan bumi, ataupun manusia itu sendiri dan berbagai masyarakat manusia. Islam hanya melarang berpikir tentang Zat Allah, sebab Zat Allah berada di luar jangkauan akal pikiran. Di dalam sebuah hadits riwayat Abu Nu’aim secara marfu‟ disebutkan: “Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu memikirkan tentang Zat Allah, sebab kamu tidak akan dapat memikirkan kadar kedudukan-Nya (sebagai mana mestinya).” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyahsecara marfu‟ kepada Nabi dengan sanad yang lemah tetapi maknanya shahih).



Taufik, “Materi Pendidikan Akidah: Studi atas Pemikiran Syaikh Abdurrahman Siddik dalam Kitab Tazkiratun Li Nafsi Wa Li Qossiriina Missilii”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol 15, No. 2, 2010 (Bangka Belitung Ta’dib, 2010), hlm. 12-13 4



6



Agama Islam dalam mengajak manusia untuk beriman kepada akidahnya dan mempercayai ajarannya, hendaknya tidaklah menggunakan jalan kekerasan dan paksaan, karena sifat keimanan itu sendiri bertentangan dengan kekerasan dan paksaan dalam bentuk apapun. Islam tidak pula menarik manusia untuk menerima akidahnya dengan menggunakan kejadian dan perbuatan luar biasa, yang dapat mengherankan akal dan pikiran manusia, dimana akibatnya mereka menerima dan percaya saja kepada akidah itu tanpa peninjauan dan penyelidikan lebih jauh. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S Ash-Shu’ara ayat 4 yang artinya: “Kalau kamu mau, niscaya akan kami turunkan kepada mereka keteranganketerangan dari langit, maka karena kuduk (tengkuk) mereka tunduk (menekur) kepadanya.” Ayat diatas berarti bahwa Tuhan tidak menghendaki yang demikian, karena Tuhan hanya menyukai keimanan yang timbul dari kesadaran dan tafahus. Agama Islam tidak menggunakan paksaan (kekerasan) dan tidak mempergunakan kejadian-kejadian istimewa dan luar biasa untuk menarik manusia ke dalam Islam. Mereka dibawa untuk menerima akidah Islam dengan bukti-bukti dan dalil yang dapat memenuhi kalbu dan jiwa mereka. Dengan demikian, Islam mengindahkan dan menjanjikan kepercayaannya ditengah dunia ramai, melalui alasan dan bukti yang dapat diterima akal. Dalil-dalil yang dikemukakan Islam untuk menarik perhatian dan meyakini akidah bahwa Tuhan itu ada, Esa dan Sempurna, semuanya beredar dalam lingkungan penyelidikan akal dan membangkitkan keasadaran batin dan perasaan kemanusiaan yang murni. Berkenaan dengan penggunaan akal, dan untuk meyakini akidah Islam, manusia dipersilakan untuk mengarahkan pandangannya pada dunia yang besar ini, di bumi dan di langit, serta rahasia-rahasia yang terpendam di dalamnya. Agar memperhatikan bagaimana dunia ini dibangun dengan susunan yang teratur dan teguh, bersangkut-paut antara satu dengan yang lain, sehingga merupakan kesatuan yang erat. Penyelidikan yang mendalam dengan menggunakan akal ini pada akhirnya dapat meyakinkan kita, bahwa alam



7



semesta mustahil ada dan tercipta dengan sendirinya atau timbul karena kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain. Penyelidikan



dapat



melahirkan



pengakuan



yang



mutlak,



ditimbulkan oleh perasaan halus, bahwa dunia yang indah tersusun dan teratur rapi berjalan menurut suatu hukum yang tetap dan tidak berubahubah, tentu ada pencipta, pengatur, dan pemeliharanya yang mempunyai pengetahuan cukup, kekuasaan penuh dan kebijaksanaan tepat. Alam yang besar dan ruang angksa yang luas berjalan menurut pengetahuan dan hikmat kebijaksanaan-Nya, menuju titik kesudahan. Pada suatu saat kelak, pencipta itu berbuat terhadap alam seluruhnya untuk membinasakan dan menghancurkan sesuai dengan iradat dan kebijaksanaan-Nya. Peristiwa yang demikian itu banyak diberitakan oleh Kitab Suci. Dibalik peristiwa kehancuran dan leburnya alam benda dan dunia yang fana ini, terjadilah hari akhirat yang kekal abadi.5



D. Hubungan Wahyu dan Akal Akal adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia, yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain. Dengan akal manusia dapat memikirkan terhadap apa saja yang terjadi di sekitar. Dengan akal pula manusia mampu membedakan yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang membahayakan dan yang menyenangkan pada dirinya. Besar kecilnya pemahaman akal sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Lemah atau kuatnya kekuatan akal dapat menentukan corak dari sebuah pemikiran khususnya keagamaan. Wahyu merupakan penolong bagi akal untuk mengetahui alam akhirat dan keadaan hidup manusia nanti. Wahyu juga memberikan kepada akal informasi tentang kesenangan dan kesengsaraan serta bentuk



5



Desi Fitriani Siregar, Potensi Akal dalam Mengokohkan Akidah Islam Perspektif Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Skripsi S1 Akidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam, UIN Sumatera Utara, 2018, hlm. 49-52



8



perhitungan yang akan dihadapinya. Semua itu sukar untuk dirasakan secara fisik, tetapi akal mampu untuk memahami adanya hal-hal tersebut. Menurut Ibnu Thufayl, akal ditujukan sebagai daya pikir untuk memahami sesuatu. Sedangkan wahyu berperan sebagai konfirmasi untuk mencapai pengetahuan yang hakiki yakni tentang adanya Tuhan.6



6



Achmad Sapei, Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibn Thufayl, Skripsi S1 Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, hlm. 43-45



9



BAB III PENUTUP



A. Simpulan Akal dan wahyu merupakan hujjah Allah, keduanya tidak ada pertentangan, bahkan saling berpadu secara utuh sebagai instrumen kebenaran. Akal berperan sebagai tolok ukur untuk memilah mana yang benar dan salah serta yang baik dan yang buruk, akal juga berfungsi mengafirmasi kebenaran agama, membuktikan prinsip-prinsip keimanan, dan melindungi agama dari penyimpangan, akal juga berperan sebagai kunci dalam memahami proposisi agama. Sedangkan wahyu berperan untuk menjelaskan keterbatasan akal dalam memahami Tuhan, mengarahkan akal pada objek-objek penting, serta menunjukkan rincian jalan keselamatan yang tak akan bisa dicapai dengan hanya kekuatan akal.



B. Saran Sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah akal sebagai pembeda dari makhluk yang lain, hendaknya kita bisa menggunakannya dengan baik dan bijak untuk lebih memahami secara mendalam terkait akidah. Dimana tentu saja tetap berdasarkan wahyu sebagai pendukung maupun penguat atas pemikiran-pemikiran perihal akidah.



10



DAFTAR PUSTAKA



Hassan, Shahir Akram. 2017. Kedudukan Wahyu dan Akal dalam Penghujahan berdasarkan Ilmu Mantik. Sains Humanika Vol IX Nomor 4: 19-25 Sabara. 2015. Polemik Akal dan Wahyu dalam Lanskap Pemikiran Islam (Antara Rasionalisme vis a vis Fideisme). Aqidah-ta: Jurnal Ilmu Akidah Vol I Nomor 1: 1-21 Sapei, Achmad. 2010. Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibn Thufayl. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Siregar, Desi Fitriani. 2018. Potensi Akal dalam Mengokohkan Akidah Islam Perspektif Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Siregar, Ilman Sarwedi. 2015. Konsep Kenabian dan Wahyu Menurut Pemikiran Muhammad Abduh dalam Karyanya Risalah Tauhid. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim. Taufik. 2010. Materi Pendidikan Akidah: Studi atas Pemikiran Syaikh Abdurrahman Siddik dalam Kitab Tazkiratun Li Nafsi Wa Li Qossiriina Missilii. Ta’dib: Jurnal Pendidikan Islam Vol XV Nomor 2: 236-254 https://slideplayer.info/amp/3664732/



11