Gagal Jantung Kongestif (CHF) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENDAHULUAN 1. Congestive Heart Failure a) Pengertian Congestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis pada jantung yang menyebabkan jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Darah yang dipompa untuk dialirkan ke seluruh tubuh mengandung oksigen serta nutrisi yang dibutuhkan tubuh, dan jantung juga mengangkut zat-zat sisa seperti karbondioksida untuk dikeluarkan dari tubuh. (Mc.Phee, S.J et, al, 2010) Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari struktur jantung atau fungsi yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh. Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks dimana seseorang memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung; tanda khas gagal jantung dan adanya bukti obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat. (PERKI,2020) b) Etiologi (Agustina, dkk., 2017) Etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif adalah sebagai berikut : o Penyakit jantung koroner Penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel kiri. o Hipertensi Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya gagal jantung. Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif. o Cardiomiopathy Merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, atau kelainan kongenital. Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated Cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel



miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis.



o Kelainan katup jantung Dari beberapa kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan gagal jantung kongestif ialah regurgitasi mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung. peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat di distribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal jantung kongestif. o Aritmia Atrial fibrasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 50% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan mordibitas dan mortalitas. o Alkohol dan obat-obatan Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapatkan 2- 3% kasus gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap miokardium. o Lain-lain Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada wanita belum ada fakta yang konsisten. Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. selain itu, obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif. c) Klasifikasi Ada beberapa klasifikasi pada Congestive Heart Failure : Congestive Heart Failure dibagi menjadi tiga tipe, yaitu Gagal jantung kanan, gagal jantung kiri, dan gagal jantung campuran atau kongestive. Pada gagal jantung



kiri disebabkan karena ruang ventrikel atau bilik kiri dari jantung tidak berfungsi dengan baik dan mengakibatkan fungsi bilik kiri tidak berjalan secara optimal. Maka terjadilah peningkatan tekanan pada serambi kiri dan pembuluh darah di sekitarnya. Kondisi ini menciptakan penumpukan cairan di paru-paru (edema paru). Pada gagal jantung kanan disebabkan karena jantung kesulitan memompa darah ke paru-paru. Akibatnya, darah kembali ke pembuluh darah balik (vena), hingga menyebabkan penumpukan cairan dan timbulah bendungan paru, dan vasokontriksi perifer yang mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.Gagal jantung kanan ditandai dengan adanya edema perifer, asites dan peningkatan tekanan vena jugularis. Sedangkan pada gagal jantung campuran atau kongestif adalah gabungan dari keduanya. Namun demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun kanan sering terjadi secara bersamaan. (McPhee, S.J., 2010) Klasifikasi menurut New York Heart Association ( NYHA)  Kelas 1 : Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan kelelahan berlebihan, palpitasi, dispnea atau nyeri angina.  Kelas 2 : Pasien dengan penyakit jantung dengan sedikit pembatasan aktivitas fisik. Merasa nyaman saat istirahat. Hasil aktivitas normal fisik kelelahan, palpitasi, dispnea atau nyeri angina.  Kelas 3 : Pasien dengan penyakit jantung yang terdapat pembatasan aktivitas fisik. Merasa nyaman saat istirahat. Aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea atau nyeri angina.  Kelas



4



:



Pasien



ketidakmampuan



dengan



untuk



penyakit



melakukan



jantung aktivitas



yang fisik



mengakibatkan apapun



tanpa



ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung dapat muncul bahkan pada saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas.



d) Manifestasi Klinis Gejala yang muncul sesuai dengan gejala gagal jantung kiri diikuti gagal jantung kanan dan terjadinya di dada karena peningkatan kebutuhan oksigen.



Gejala dan Tanda Gagal Jantung Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure



Berikut ini adalah Manifestasi Klinis Gagal Jantung Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure



e) Patofisiologi Beberapa mekanisme yang mempengaruhi progresivitas gagal jantung, antara lain mekanisme neurohomonal yang meliputi aktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi sistem renin-angiotensin dan perubahan vaskuler perifer serta remodeling ventrikel kiri, yang semuanya berperan mempertahankan homeostasis.



 Aktivasi sistem saraf simpatis Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan mengaktifkan serangkaian mekanisme



adaptasi



untuk



mempertahankan



homeostasis



kardiovaskuler,



mekanisme ini merupakan adaptasi yang penting segera setelah terjadi penurunan curah jantung. Aktivasi sistem saraf simpatik terjadi bersamaan dengan berkurangnya tonus parasimpatik. Pada keadaan ini, terjadi penurunan inhibisi refleks baro-reseptor arterial atau kardiopulmoner. Reseptor ini berfungsi menurunkan tekanan darah. Di sisi lain terjadi



peningkatan



eksitasi



kemoreseptor



perifer



nonbarorefl



eks



dan



metaboreseptor otot., akibatnya meningkatkan tonus simpatis dan pengurangan tonus parasimpatis dengan hasil akhir penurunan denyut jantung dan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Karena tonus simpatis meningkat, akan terjadi peningkatan kadar norepinefrin, neurotransmiter adrenergik yang poten, di sirkulasi seiring berkurangnya ambilan kembali norepinefrin dari ujung saraf. Meskipun demikian, pada gagal jantung stadium lanjut akan terjadi penurunan norepinefrin miokard karena mekanisme yang masih belum diketahui. Peningkatan aktivasi reseptor simpatis β-adrenergik meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi miokard yang berakibat peningkatan curah jantung. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan stimulasi reseptor α-adrenergik miokard yang menyebabkan inotropik positif dan vasokonstriksi arteri perifer. Meskipun norepinefrin meningkatkan kontraksi dan relaksasi serta mempertahankan tekanan darah, hal ini justru menyebabkan kebutuhan energi miokard akan bertambah sehingga memperburuk iskemi saat distribusi oksigen terbatas. Penambahan arus adrenergik dari sistem saraf pusat akan menyebabkan ventricular tachycardia atau sudden cardiac death. Di sisi lain, peningkatan tonus simpatis renal menyebabkan vasokonstriksi sehingga aliran darah ginjal berkurang, seiring dengan peningkatan reabsorpsi Natrium dan air di tubular ginjal. Selain itu, terjadi pula pelepasan arginin vasopressin (AVP) dari hipofi sis posterior untuk mengurangi ekskresi air yang akan memperburuk vasokonstriksi perifer. Angiotensin II juga menstimulasi pusat haus di otak dan menyebabkan pelepasan AVP dan aldosteron, yang keduanya menyebabkan disregulasi homeostasis garam dan air. Pada pasien gagal jantung, terjadi pula peningkatan PGE2 dan PGI2 , serta pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP) dan brain natriuretic peptide (BNP). Dalam kondisi fisiologis, keduanya dilepaskan saat terjadi regangan miokard dan peningkatan asupan Natrium. Setelah dilepas, keduanya berperan meningkatkan ekskresi air dan garam serta menghambat



pelepasan renin-aldosteron, atau dengan kata lain sebagai “counterregulatory”. Meskipun demikian, makin parah derajat gagal jantung, efek ANP dan BNP terhadap ginjal makin berkurang.  Aktivasi sistem renin-angiotensin (renin angiotensin system, RAS) Berbeda dengan pengaktifan tonus simpatis, aktivasi sistem renin- angiotensi terjadi setelah selang waktu yang lebih lama. Mekanisme aktivasi RAS pada gagal jantung meliputi hipoperfusi renal, penurunan filtrasi Natrium ketika mencapai makula densa, dan peningkatan stimulasi simpatik di ginjal yang berakibat pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerular. Renin ini kemudian berikatan dengan angiotensinogen



yang



disintesis



di



hati



untuk membentuk angiotensin I.



Angiotensin converting enzyme (ACE) berikatan dengan angiotensin I membentuk angiotensin II. Sebanyak 90% aktivitas ACE terjadi di jaringan dan 10% sisanya pada interstitial jantung dan pembuluh darah. Angiotensin II akan meningkatkan efeknya setelah berikatan dengan reseptor AT1 dan AT2 . AT1 banyak berlokasi pada saraf miokard sementara AT2 pada fibroblas dan interstitial. Aktivasi reseptor AT1 menyebabkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron, dan pelepasan katekolamin, sementara aktivasi reseptor AT2 menyebabkan vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin. Angiotensin II berperan mempertahankan homeostasis sirkulasi dalam jangka pendek. Meskipun demikian, ekspresi berlebihan angiotensin II menyebabkan fibrosis pada hati, ginjal, dan organ lainnya. Angiotensin II juga dapat memperburuk aktivasi neurohormonal dengan meningkatkan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatis. Selain itu, terjadi pula stimulasi korteks adrenal untuk memproduksi aldosteron yang juga berperan dalam mempertahankan homeostasis jangka pendek dengan mempengaruhi reabsorpsi Natrium pada tubulus distal ginjal. Meskipun demikian, ekspresi aldosteron berlebihan menyebabkan hipertrofi dan fibrosis vaskuler serta miokard yang menyebabkan berkurangnya compliance vaskuler dan meningkatkan kekakuan ventrikel. Aldosteron berlebihan juga menyebabkan disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, serta inhibisi ambilan norepinefrin, yang semuanya akan memperburuk gagal jantung.  Perubahan neurohormonal vaskuler perifer Pada pasien gagal jantung, terjadi interaksi kompleks antara sistem saraf otonom dengan mekanisme autoregulasi lokal yang bertujuan mempertahankan suplai darah ke otak dan jantung, sementara mengurangi suplai ke kulit, otot rangka, organ splanknik dan ginjal; semua itu akibat pelepasan norepinefrin sebagai



vasokonstriktor yang poten, natriuretic peptides, NO, bradikinin, PGI2 serta PGE2. Bagi jantung, peningkatan tonus simpatis ini bertujuan mempertahankan tekanan arteri, sementara stimulasi simpatik pada vena menyebabkan peningkatan tonus vena untuk



mempertahankan



venous



return



dan



pengisian



ventrikel



untuk



mempertahankan hukum Starling. Seharusnya pada keadaan normal, pelepasan NO terus-menerus akan menyebabkan “counter- response” yakni vasodilatasi, namun hal ini tidak terjadi pada gagal jantung stadium lanjut. Remodeling ventrikel kiri Pada pasien gagal jantung, terjadi perubahan miosit jantung, yakni berkurangnya kontraktilitas otot jantung, berkurangnya miofi lamen miosit jantung, perubahan protein sitoskeleton, serta desensitisasi sinyal β-adrenergik. Selain itu, terjadi pula pelepasan mediator-mediator radang seperti TNF-α dan IL-1 saat terjadi kerusakan pada jantung, yang berperan dalam perburukan gagal jantung. Hipertrofi miosit jantung karena peningkatan tekanan sistolik dinding ventrikel menyebabkan penambahan sarkomer paralel dan peningkatan ukuran miosit sehingga menyebabkan penebalan dinding ventrikel kiri (pressure overload menyebabkan hipertrofi konsentrik). Pada volume overload, peningkatan tekanan diastolik menyebabkan peningkatan Panjang miosit dan penambahan jumlah sarkomer serial (hipertrofi eksentrik). Pada gagal jantung terjadi mekanisme kompensasi Frank Starling. Gagal jantung yang disebabkan oleh penurunan fungsi ventrikel kiri menyebabkan isi sekuncup (stroke volume) menurun dibandingkan jantung normal. Penurunan isi sekuncup menyebabkan pengosongan ventrikel menjadi tidak adekuat; akhirnya volume darah yang terakumulasi di ventrikel selama fase diastolik menjadi lebih banyak dibandingkan keadaan normal. Mekanisme FrankStarling menyebabkan peningkatan peregangan miofiber sehingga dapat menginduksi isi sekuncup pada kontraksi berikutnya, sehingga dapat membantu pengosongan ventrikel kiri dan meningkatkan curah jantung (cardiac output). Kompensasi ini memiliki keterbatasan. Pada kasus gagal jantung berat dengan depresi kontraktilitas, curah jantung akan menurun, lalu terjadi peningkatan enddiastolic volume dan end-diastolic pressure (yang akan ditransmisikan secara retrograd ke atrium kiri, vena pulmoner dan kapiler) sehingga dapat menyebabkan kongesti pulmoner dan edema. f) Komplikasi Mekanisme kompensasi dimulai pada gagal jantung dapat menyebabkan komplikasi pada sistem tubuh lain.



Hepatomegali kongestif dan splenomegali



kongestif yang disebabkan oleh pembengkakkan sistem vena porta menimbulkan



peningkatan tekanan abdomen, asites, dan masalah pencernaan. Pada gagal jantung sebelah kanan yang lama, fungsi hati dapat terganggu. Distensi miokardium dapat memicu disritmia, mengganggu curah jantung lebih lanjut. Efusi pleura dan masalah paru lain dapat terjadi. Komplikasi mayor gagal jantung berat adalah syok kardiogenik dan edema paru. (Le Mone, Burke, & Bauldoff 2016) Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan komplikasi pada sistem tubuh lain, yaitu :  Sistem kardiovaskuler : Angina, disritmia, kematian jantung mendadak, dan syok kardiogenik.  Sistem pernapasan : Edema paru, pneumonia, asma kardiak, efusi pleura, pernapasan Cheyne-Stokes, dan asidosis respiratorik.  Sistem pencernaan : Malnutrisi, asites, disfungsi hati. Menurut PERKI, 2020 Komplikasi CHF yaitu : a) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin. b) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin). c) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis ditinggikan. d) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan. 2. Penatalaksanaan Congestive Heart Failure a) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada pasien CHF menurut PERKI 2020, yaitu :  Elektrokardiogram Electrocardiogram (ECG) atau elektrokardiogram (EKG) adalah pemeriksaan sederhana untuk mengukur irama dan aktivitas listrik jantung. Karena itu, prosedur ini juga sering disebut rekam jantung. Tiap kali jantung berdetak, aliran listrik akan mengalir dan memicu kontraksi otot jantung. Kontraksi otot ini menyebabkan jantung mampu memompa darah ke seluruh tubuh. Pada pemeriksaan EKG, aliran listrik jantung direkam oleh mesin dan hasilnya akan diperiksa untuk melihat ada tidaknya gangguan atau kerusakan



jantung.  CT Scan Pemeriksaan CT Scan adalah prosedur yang menggunakan sinar X, dengan hasil yang diolah dengan komputer untuk menghasilkan gambar dalam irisanirisan, sehingga dapat melihat masing-masing gambaran irisan yang diambil dengan lebih detail. Dengan teknik ini, gambar yang dihasilkan jauh lebih detail dibandingkan rontgen biasa, sehingga dapat membantu diagnosis dengan lebih akurat.  Kateterisasi jantung Kateterisasi jantung adalah prosedur yang bertujuan mendiagnosis dan mengobati berbagai kondisi jantung. Caranya yaitu dengan memasukkan kateter, yakni tabung tipis dan panjang dengan kamera kecil pada ujungnya, ke dalam pembuluh darah di selangkangan, leher, atau lengan. Tabung ini kemudian diarahkan ke pembuluh darah jantung. Melalui kateterisasi jantung, kondisi pembuluh darah yang menyuplai jantung dapat diketahui lebih lanjut. Kateterisasi jantung diperlukan untuk mendeteksi masalah jantung yang dialami oleh pasien sekaligus mengatasinya.  Rontgen dada Rontgen dada dapat menunjukkan adanya perubahan atau masalah dalam paruparu yang berasal dari jantung. Misalnya seperti, cairan dalam paru-paru (pulmonary edema) yang merupakan hasil dari gagal jantung kongestif.  Pemeriksaan elektrolit Pemeriksaan elektrolit atau tes kalium (potasium) dilakukan untuk mengukur tingkat kalium dalam darah. Kalium merupakan zat elektrolit yang penting untuk fungsi otot dan saraf. Pemeriksaan elektrolit dapat digunakan untuk memantau atau mendiagnosis kondisi medis yang berkaitan dengan tingkat kalium abnormal seperti penyakit ginjal, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung.  Oksimetri nadi Oksimetri nadi adalah tes untuk mengukur level oksigen dalam darah. Tes ini juga dapat mendeteksi seberapa efisien oksigen dialirkan ke seluruh tubuh. Tes dilakukan dengan menjepit jari tangan, jari kaki, atau daun telinga dengan alat oksimetri nadi.  BUN Tes Blood Urea Nitrogen (BUN) adalah pemeriksaan laboratorium yang



bertujuan untuk menetapkan kadar nitrogen ureum dalam darah. Pemeriksaan kadar nitrogen ureum darah (BUN) dilakukan dengan cara mengukur konsentrasi nitrogen di dalam plasma darah. b) Penatalaksanaan Terapi (Dipiro, 2019., PERKI, 2020) Terapi bagi penderita gagal jantung berupa terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan dari adanya terapi yakni untuk meredakan gejala, memperlambat perburukan penyakit, dan memperbaiki harapan. Terapi non-farmakologi pada penderita gagal jantung berbentuk manajemen perawatan mandiri. Manajemen perawatan mandiri diartikan sebagai tindakantindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung. Manajemen perawatan diri berupa ketaatan berobat, pemantauan berat badan, pembatasan asupan cairan, pengurangan berat badan (stadium C), pemantauan asupan nutrisi, dan latihan fisik. Terapi non-farmakologis juga dapat dilakukan dengan restriksi garam, penurunan berat badan, diet rendah garam dan rendah kolesterol, tidak merokok, dan dengan melakukan olahraga. Sedangkan terapi farmakologis bertujuan untuk mengatasi gejala akibat gagal jantung, contohnya kongesti dan mengurangi respon kompensasi. Salah satu mekanisme respon kompensasi digambarkan dengan model neurohormonal. Adanya aktivasi neurohormonal akibat norepinefrin, angiotensin II, aldosteron, vasopressin, serta beberapa jenis sitokin menimbulkan respon kompensasi yang memperburuk kondisi gagal jantung . Oleh sebab itu, pengobatan pada pasien gagal jantung biasanya memiliki mekanisme kerja yang berkaitan dengan aktivitas neurohormonal. Selain untuk mengurangi gejala, terapi farmakologis juga digunakan untuk memperlambat perburukan kondisi jantung dan mengatasi terjadinya kejadian akut akibat respon kompensasi jantung. Adapun biasanya pengobatan baik untuk gagal jantung diastolik maupun sistolik adalah sama. Golongan obat-obatan yang digunakan adalah diuretik, antagonis aldosteron, ACE-inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), Beta Blocker, glikosida jantung, vasodilator, agonis beta, bypiridine, dan natriuretic peptide. Urutan terapi pada pasien gagal jantung biasanya diawali dengan diuretik untuk meredakan gejala kelebihan volume. Kemudian, ditambahkan Angiotensin Receptor Blocker atau ARB jika ACE inhibitor tidak ditoleransi. Namun, penambahan ARB



Dilakukan hanya setelah terapi diuretik diberikan secara optimal. Dosis diatur secara bertahap hingga dihasilkan curah jantung optimal. Beta blockers diberikan setelah pasien stabil dengan pemberian ACE-inhibitor. Sedangkan glikosida jantung (digoxin) Diberikan jika pasien masih mengalami gagal jantung meskipun telah diberikan terapi kombinasi.



DAFTAR PUSTAKA Agustina, A., Afiyanti, Y., & Ilmi, B. 2017. Pengalaman Pasien Gagal Jantung Kongestif dalam Melaksanakan Perawatan Mandiri. Healthy-Mu, 1(1). Khasanah, S. 2019. Perbedaan Saturasi Oksigen Dan Respirasi Rate Pasien Congestive Heart Failure Pada Perubahan Posisi. Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal Bedah, 2(1), 1. Le Mone, Burke, & Bauldoff. 2016. Keperawatan Medikal Bedah, Alih Bahasa. Jakarta: EGC. McPhee, S.J., & Ganong, W. F. 2010. Patofisiologi penyakit : Pengantar menuju kedokteran klinis. In EGC. Jakarta. NYHA. 2020. Classes of Heart Failure. New York: New York Heart Association. PERKI. 2020. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Purba, L. 2016. Studi Kasus Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Dengan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Congestive Heart Failure Di Rumah Sakit Tk Ii Putri Hijau Medan Tahun 2016. Jurnal Riset Hesti Medan, 1(2), 118. WHO. 2018. Prevention of Cardiovascular Disease. In Epidemiologi Sub Region AFRD and AFRE. Cosentino F, et al. 2019 ESC Guidelines on diabetes, pre-diabetes, and cardiovascular diseases developed in collaboration with the EASD. European Heart Journal 2019;00:169



Yancy CW, et.al. 2017 ACC/AHA/HFSA focused update of the 2013 ACCF/ AHA guideline for the management of heart failure: a report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines and the Heart Failure Society of America. J Cardiac Failure. 2017;23:628–651.