Gambar Wayang - Gagrak Surakarta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Brahma - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Brahala - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Bomantara - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Bomanarakasura - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Bogadenta - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Bisma - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Bisma (Sansekerta: Bhīshma) terlahir sebagai Dewabrata (Sansekerta: Dévavrata), adalah salah satu tokoh utama dalam Mahabharata. Ia merupakan putera dari pasangan Prabu Santanu dan Satyawati. Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama Dewabrata, namun berganti menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa tidak akan menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa. Ia gugur dalam sebuah pertempuran besar di Kurukshetra oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan bantuan Arjuna. namun ia tidak meninggal pada saat itu juga. Ia sempat hidup selama beberapa hari dan menyaksikan kehancuran para Korawa. Ia menghembuskan nafas terkahirnya saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana).



Arti nama Nama Bhishma dalam bahasa Sansekerta berarti “Dia yang sumpahnya dahsyat (hebat)”, karena ia bersumpah akan hidup membujang selamanya dan tidak mewarisi tahta kerajaannya. Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya, yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya. Kelahiran Bisma merupakan penjelmaan salah satu Delapan Wasu yang berinkarnasi sebagai manusia yang lahir dari pasangan Dewi Gangga dan Prabu Santanu. Menurut kitab Adiparwa, Delapan Wasu menjelma menjadi manusia karena dikutuk atas perbuatannya yang telah mencuri lembu sakti milik Resi Wasistha. Dalam perjalanannya menuju bumi, mereka bertemu dengan Dewi Gangga yang juga mau turun ke dunia untuk menjadi istri putera Raja Pratipa, yaitu Santanu. Delapan Wasu kemudian membuat kesepakatan dengan Dewi Gangga bahwa mereka akan menjelma sebagai delapan putera Prabu Santanu dan dilahirkan oleh Dewi Gangga. Bisma merupakan penjelmaan Wasu yang bernama Prabhata. Kehidupan awal Sementara tujuh kakaknya yang telah lahir meninggal karena ditenggelamkan ke sungai Gangga oleh ibu mereka sendiri, Bisma berhasil selamat karena perbuatan ibunya dicegah oleh ayahnya. Kemudian, sang ibu membawa Bisma yang masih bayi ke surga, meninggalkan Prabu Santanu sendirian. Setelah 36 tahun kemudian, Sang Prabu menemukan puteranya secara tidak sengaja di hilir sungai Gangga. Dewi Gangga kemudian menyerahkan anak tersebut kepada Sang Prabu, dan memberinya nama Dewabrata. Dewabrata kemudian menjadi pangeran yang cerdas dan gagah, dan dicalonkan sebagai pewaris kerajaan. Namun karena janjinya terhadap Sang Dasapati, ayah Satyawati (ibu tirinya), ia rela untuk tidak mewarisi tahta serta tidak menikah seumur hidup agar kelak keturunannya tidak memperebutkan tahta kerajaan dengan keturunan Satyawati. Karena ketulusannya tersebut, ia diberi nama Bisma dan dianugerahi agar mampu bersahabat dengan Sang Dewa Waktu sehingga ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Bisma memiliki dua adik tiri dari ibu tirinya yang bernama Satyawati. Mereka bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, ia pergi ke Kerajaan Kasi dan memenagkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada adik-adiknya. Karena Citrānggada wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan Wicitrawirya sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan panah menembus dada Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba bereinkarnasi menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu putera Raja Drupada yang bernama Srikandi. Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.



Pendidikan Bisma mempelajari ilmu politik dari Brihaspati (guru para Dewa), ilmu Veda dan Vedangga dari Resi Wasistha, dan ilmu perang dari Parasurama (Ramaparasu; Rama Bargawa), seorang ksatria legendaris sekaligus salah satu Chiranjīwin yang hidup abadi sejak zaman Treta Yuga. Dengan berguru kepadanya Bisma mahir dalam menggunakan segala jenis senjata dan karena kepandaiannya tersebut ia ditakuti oleh segala lawannya. Bisma berhenti belajar kepada Parasurama karena perdebatan mereka di asrama tentang masalah Amba. Pada saat itu dengan sengaja Bisma mendorong Parasurama sampai terjatuh, dan semenjak itu Parasurama bersumpah untuk tidak lagi menerima murid dari kasta Kshatriya karena membuat susah. Peran dalam Dinasti Kuru Di lingkungan keraton Hastinapura, Bisma sangat dihormati oleh anak-cucunya. Tidak hanya karena ia tua, namun juga karena kemahirannya dalam bidang militer dan peperangan. Dalam setiap pertempuran, pastilah ia selalu menang karena sudah sangat berpengalaman. Yudistira juga pernah mengatakan, bahwa tidak ada yang sanggup menaklukkan Bisma dalam pertempuran, bahkan apabila laskar Dewa dan laskar Asura menggabungkan kekuatan dan dipimpin oleh Indra, Sang Dewa Perang. Bisma sangat dicintai oleh Pandawa maupun Korawa. Mereka menghormatinya sebagai seorang kakek sekaligus kepala keluarga yang bijaksana. Kadangkala Pandawa menganggap Bisma sebagai ayah mereka (Pandu), yang sebenarnya telah wafat. Perang di Kurukshetra Saat perang antara Pandawa dan Korawa meletus, Bisma berada di pihak Korawa. Sesaat sebelum pertempuran, ia berkata kepada Yudistira bahwa dirinya telah diperbudak oleh kekayaan, dan dengan kekayaannya Korawa mengikat Bisma. Meskipun demikian, karena Yudistira telah melakukan penghormatan sebelum pertempuran, maka Bisma merestui Yudistira dan berdo’a agar kemenangan berada di pihak Pandawa, meskipun Bisma sangat sulit untuk ditaklukkan. Bisma juga pernah berkata kepada Duryodana, bahwa meski dirinya (Bisma) memihak Korawa, kemenangan sudah pasti berada di pihak Pandawa karena Kresna berada di sana, dan dimanapun ada Kresna maka di sanalah terdapat kebenaran serta keberuntungan dan dimanapun ada Arjuna, di sanalah terdapat kejayaan.[2] Dalam pertempuran akbar di dataran keramat Kurukshetra, Bisma bertarung dengan dahsyat. Prajurit dan ksatria yang melawannya pasti binasa atau mengalami luka berat. Dalam kitab Bismaparwa dikatakan bahwa di dunia ini para ksatria sulit menandingi kekuatannya dan tidak ada yang mampu melawannya selain Arjuna – ksatria berpanah yang terkemuka – dan Kresna – penjelmaan Wisnu. Meskipun Arjuna mendapatkan kesempatan untuk melawan Bisma, namun ia sering bertarung dengan setengah hati, mengingat bahwa Bisma adalah kakek kandungnya sendiri. Hal yang sama juga dirasakan oleh Bisma, yang masih sayang dengan Arjuna, cucu yang sangat dicintainya. Kresna yang menjadi kusir kereta Arjuna dalam peperangan, menjadi marah dengan sikap Arjuna yang masih segan untuk menghabisi nyawa Bisma, dan ia nekat untuk menghabisi nyawa Bisma dengan tangannya sendiri. Dengan mata yang menyorot tajam memancarkan kemarahan, ia memutar-mutar chakra di atas tangannya dan memusatkan



perhatian untuk membidik leher Bisma. Bisma tidak menghindar, namun justru bahagia jika gugur di tangan Madhawa (Kresna). Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk menghentikan langkahnya. Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat itu!…” Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, ia mengurungkan niatnya dan naik kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali pertarungannya. Kematian Sebelum hari kematiannya, Pandawa dan Kresna mendatangi kemah Bisma di malam hari untuk mencari tahu kelemahannya. Bisma mengetahui bahwa Pandawa dan Kresna telah masuk ke dalam kemahnya dan ia menyambut mereka dengan ramah. Ketika Yudistira menanyakan apa yang bisa diperbuat untuk menaklukkan Bisma yang sangat mereka hormati, Bisma menjawab: .. ketahuilah pantanganku ini, bahwa aku tidak akan menyerang seseorang yang telah membuang senjata, juga yang terjatuh dari keretanya. Aku juga tidak akan menyerang mereka yang senjatanya terlepas dari tangan, tidak akan menyerang orang yang bendera lambang kebesarannya hancur, orang yang melarikan diri, orang dalam keadaan ketakutan, orang yang takluk dan mengatakan bahwa ia menyerah, dan aku pun tidak akan menyerang seorang wanita, juga seseorang yang namanya seperti wanita, orang yang lemah dan tak mampu menjaga diri, orang yang hanya memiliki seorang anak lelaki, atau pun orang yang sedang mabuk. Dengan itu semua aku enggan bertarung Bisma juga mengatakan apabila pihak Pandawa ingin mengalahkannya, mereka harus menempatkan seseorang yang membuat Bisma enggan untuk bertarung di depan kereta Arjuna, karena ia yakin hanya Arjuna dan Kresna yang mampu mengalahkannya dalam peperangan. Dengan bersembunyi di belakang orang yang membuat Bisma enggan berperang, Arjuna harus mampu melumpuhkan Bisma dengan panah-panahnya. Berpedoman kepada pernyataan tersebut, Kresna menyadarkan Arjuna akan kewajibannya. Meski Arjuna masih segan, namun ia menuntaskan tugas tersebut. Pada hari kesepuluh, Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak melawan. Di belakang Srikandi, Arjuna menembakkan panah-panahnya yang dahsyat dan melumpuhkan Bisma. Panah-panah tersebut menancap dan menembus baju zirahnya, kemudian Bisma terjatuh dari keretanya, tetapi badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh puluhan panah yang menancap di tubuhnya. Namun Bisma tidak gugur seketika karena ia boleh menentukan waktu kematiannya sendiri. Bisma menghembuskan nafasnya setelah ia menyaksikan kehancuran pasukan Korawa dan setelah ia memberikan wejangan suci kepada Yudistira setelah perang Bharatayuddha selesai.



Bisma dalam pewayangan Jawa Antara Bisma dalam kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan terjadi di pulau Jawa. Riwayat Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang luhur. Ia juga mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Berkediaman di pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan seorang yang sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak menjadi raja. Resi Bisma sangat sakti mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Ia mengikuti sayembara untuk mendapatkan putri bagi Raja Hastina dan memboyong 3 Dewi. Salah satu putri yang dimenangkannya adalah Dewi Amba dan Dewi Amba ternyata mencintai Bisma. Bisma tidak bisa menerima cinta Dewi Amba karena dia hanya wakil untuk mendapatkan Dewi Amba. Namun Dewi Amba tetap berkeras hanya mau menikah dengan Bisma. Bisma pun menakut-nakuti Dewi Amba dengan senjata saktinya yang justru tidak sengaja membunuh Dewi Amba. Dewi Amba yang sedang sekarat dipeluk oleh Bisma sambil menyatakan bahwa sesungguhnya dirinya juga mencintai Dewi Amba. Setelah roh Dewi Amba keluar dari jasadnya kemudian mengatakan bahwa dia akan menjemput Bisma suatu saat agar bisa bersama di alam lain dan Bisma pun menyangupinya. Diceritakan roh Dewi Amba menitis kepada Srikandi yang akan membunuh Bisma dalam perang Bharatayuddha. Dikisahkan, saat ia lahir, ibunya moksa ke alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu Santanu kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati, istri Parasara yang telah berputra Resi Wyasa. Setelah Durgandini bercerai, ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan Citrānggada dan Wicitrawirya, yang menjadi saudara Bisma seayah lain ibu. Setelah menikahkan Citrānggada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan janda Citrānggada dan Wicitrawirya diserahkan pada Wyasa, putra Durgandini dari suami pertama. Wyasa-lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Dretarata, orangtua Pandawa dan Kurawa. Demi janjinya membela Astina, Bisma berpihak pada Korawa dan mati terbunuh oleh Srikandi di perang Bharatayuddha. Bisma memiliki kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Maka ketika sudah sekarat terkena panah, ia minta sebuah tempat untuk berbaring. Korawa memberinya tempat pembaringan mewah namun ditolaknya, akhirnya Pandawa memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya (kasur panah) (sarpatala). Tetapi ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir daripada perang Bharatayuddha.



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Bisawarna - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Bima w/ lindu - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Bilung - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Bayu - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Basupati - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Basukunti - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Basuki - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Basudewa - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Barat Waja - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Barata Branta - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Banuwati - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Banjaranjali - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Bandondari - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Banaputra - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Bambang Wijanarko - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Balaupata - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Baladewa w/ rayung - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Baka - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Bagong w/ gembor - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Bagong dadi Ratu - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Bagaspati - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Badraini - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Aswatama - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Dalam wiracarita Mahabharata, Aswatama (Sansekerta: Aśvatthāmā) atau Ashwatthaman (Sansekerta: Aśvatthāman) adalah putera guru Dronacharya dengan Kripi. Sebagai putera tunggal, Dronacharya sangat menyayanginya. Ia juga merupakan salah satu dari tujuh Chiranjīwin, karena dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta. Saat perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia bersama Kretawarma dan Krepa yang bertahan hidup. Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta. Aswatama dalam Mahabharata Sebagian kisah hidup Aswatama dimuat dalam kitab Mahabharata. Kisahnya yang terkenal adalah pembunuhan terhadap lima putera Pandawa dan janin yang dikandung oleh Utara, istri Abimanyu. Janin tersebut berhasil dihidupkan kembali oleh Kresna namun lima putera tidak terselamatkan nyawanya. Riwayat Aswatama merupakan putera dari Bagawan Drona dengan Kripi, adik Krepa. Semasa kecil ia mengenyam ilmu



militer bersama dengan para pangeran Kuru, yaitu Korawa dan Pandawa. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Saat perang di antara Pandawa dan Korawa meletus, ia memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya, dan berteman dengan Duryodana. Aswatama adalah ksatria besar dan konon pernah membangkitkan pasukan Korawa dari duka cita dengan cara memanggil “Narayanāstra”. Namun Kresna menyuruh pasukan Pandawa agar menurunkan tangan dan karenanya senjata itu berhasil diatasi. Ia juga memanggil “Agneyāstra” untuk menyerang Arjuna namun berhasil ditumpas dengan Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima dalam Bharatayuddha berakhir secara “skakmat”. Kabar angin yang salah mengenai kematiannya dalam perang di Kurukshetra membuat ayahnya meninggal di tangan pangeran Drestadyumna. Aswatama yang menaruh dendam mendapat izin dari Duryodana untuk membunuh Drestadyumna secara brutal setelah perang berakhir secara resmi. Saat akhir peperangan, Aswatama berjanji kepada Duryodana bahwa ia akan membunuh Pandawa, dan menyerang kemah Pandawa saat tengah malam, namun karena kesalahan ia membunuh 5 putera Pandawa dengan Dropadi (Pancawala). Pandawa yang marah dengan perbuatan tersebut memburu Aswatama dan akhirnya ia bertarung dengan Arjuna. Saat pertarungan, Aswatama memanggil senjata ‘Brahmashira’ yang sangat dahsyat, yang dulu ingin ditukar dengan chakra milik Kresna namun tidak berhasil. Dengan senjata itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan senjata yang sama. Takut akan kehancuran dunia, Bagawan Byasa menyuruh agar kedua ksatria tersebut mengembalikan senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya, Aswatama (yang mungkin kurang pintar) tidak bisa melakukannya dan diberi pilihan agar senjata menyerang target lain untuk dihancurkan. Dengan rasa dendam, Aswatama mengarahkan senjata menuju rahim para wanita di keluarga Pandawa. Di antara mereka adalah Utara, menantu Arjuna. Oleh karena itu Utara tidak bisa melahirkan Parikesit, putera Abimanyu, yang kelak akan meneruskan keturunan para Pandawa bersaudara. Senjata Brahmastra berhasil membakar si jabang bayi, namun Kresna menghidupkannya lagi dan mengutuk Aswatama agar menderita kusta dan mengembara di bumi selama 3.000 tahun sebagai orang buangan tanpa rasa kasih sayang. Dalam versi lain, dipercaya bahwa ia dikutuk agar terus hidup sampai akhir zaman Kali Yuga. Aswatama juga harus menyerahkan batu permata berharga (“Mani”) yang terletak di dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para Dewa, danawa, dan naga. Aswatama dalam pewayangan Jawa Riwayat hidup Aswatama dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama. Riwayat Aswatama adalah putra Bagawan Drona alias Resi Drona dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji dari negara



Tempuru. Ia berambut dan bertelapak kaki kuda karena ketika awal mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi kuda Sembrani, dalam upaya menolong Bambang Kumbayana (Resi Drona) terbang menyeberangi lautan. Aswatama dari padepokan Sokalima dan seperti ayahnya memihak para Korawa pada perang Bharatayuddha. Ketika ayahnya, Resi Drona menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di Hastinapura, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Panah Cundamanik. Cerita dalam khazanah Sastra Jawa Baru dikenal sebagai lakon wayang: “Aswatama Gugat”. Aswatama pada kesempatan itu ingin membalas dendam kematian ayahnya, bagawan Drona. Pada perang Bharatayuddha, Drona gugur karena disiasati oleh para Pandawa. Mereka berbohong bahwa “Aswatama” telah gugur, tetapi yang dimaksud bukan dia melainkan seekor gajah yang bernama Hestitama (Hesti berarti Gajah) namun terdengar seperti Aswatama. Lalu Drona menjadi putus asa setelah ia menanyakannya kepada Yudistira yang dikenal tak pernah berbohong pun mengatakan iya. Aswatama juga merasa kecewa dengan sikap Prabu Duryudana yang terlalu membela Prabu Salya yang dituduhnya sebagai penyebab gugurnya Adipati Karna. Aswatama memutuskan mundur dari kegiatan perang Bharatayudha. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah dari Amarta ke Astina, secara bersembunyi Aswatama masuk menyelundup ke dalam istana Astina. Ia berhasil membunuh Drestadyumena (pembunuh ayahnya, Resi Drona), Pancawala (putra Prabu Puntadewa), Dewi Banowati (Janda Prabu Duryodana) dan Dewi Srikandi, sebelum akhirnya ia mati oleh Bima, badannya hancur dipukul Gada Rujakpala.



December 23, 2007



Aswanikumba - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Aswani - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Aswan - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Asmara - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Arjunawijaya - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Arjunasasrabahu - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Arjunapati - Solo



Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Arjuna - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Arimuka - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Arimbi - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Arimbi Raseksi - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Arimba - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Antrakawulan - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Antawirya - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Antasena - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Antareja - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Antagopa - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Antaboga - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Anoman - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Anjani - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Anjani Kera - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Animandaya - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Anila - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Angkawijaya - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Anggraini - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Anggisrana - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Anggira - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Anggawangsa - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Anggada - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Andrika - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Amongmurka - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Amongdenta - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Ambika - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Dalam Mahabharata, Ambika merupakan puteri dari Raja Kasi dan istri dari Wicitrawirya, Raja Hastinapura. Bersama dengan saudaranya, Amba dan Ambalika, ia direbut oleh Bisma dalam sebuah sayembara (Bisma menantang para raja dan pangeran yang berkumpul lalu menaklukkan mereka). Bisma mempersembahkan mereka kepada Satyawati untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya. Namun Wicitrawirya wafat dalam usia muda sebelum memberikan keturunan bagi Ambika. Setelah kematian Wicitrawirya, ibunya Bisma yaitu Satyawati, mengajukan permohonan pertamanya kepada Resi Weda Wyasa (Bagawan Byasa) untuk melanjutkan garis keturunan Dinasti Kuru. Sesuai dengan keinginan Satyawati, Sang Bagawan mengunjungi kedua istri Wicitrawirya untuk menganugerahkan mereka masing-masing seorang putera. Ketika Byasa mengunjungi Ambika, ia melihat rupa Byasa sangat menakutkan dan penampilannya



sangar dengan mata yang menyala-nyala. Dalam keadaannya yang ketakutan, ia menutup matanya dan tidak berani membukanya. Maka dari itu, Dretarastra (puteranya), ayah para Korawa, terlahir buta. Setelah kelahiran Dretarastra, ketika Satyawati meminta Byasa untuk mengunjungi Ambika untuk kedua kalinya, Ambika tidak mau datang dan mengirimkan pelayan menggantikan dirinya. Maka si pelayan melahirkan Widura, yang kemudian diasuh sebagai adik Dretarastra dan Pandu. Ambika hidup beberapa lama sampai memiliki cucu, yaitu Pandawa dan Korawa. Ketika Pandu mangkat, Satyawati mengajak Ambika untuk mengasingkan diri ke dalam hutan bersama-sama, demi meninggalkan kehidupan duniawi. Keinginan tersebut disetujui oleh Ambika. Bersama dengan Ambalika, mereka bertiga pergi ke dalam hutan meninggalkan Hastinapura, dan membiarkan penerus Dinasti Kuru menentukan nasibnya sendiri.



December 23, 2007



Ambalika - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Dalam Mahabharata, Ambalika merupakan puteri Raja Kasi dan istri dari Wicitrawirya, Raja Hastinapura. Bersama dengan saudaranya, yaitu Amba dan Ambika, ia direbut oleh Bisma dalam sebuah sayembara (Bisma menantang para raja dan pangeran yang berkumpul lalu menaklukkan mereka.) Bisma mempersembahkan mereka kepada Satyawati untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya. Namun Wicitrawirya wafat dalam usia muda sebelum memberikan keturunan kepada Ambalika. Setelah kematian Wicitrawirya, ibunya Bisma yaitu Satyawati, mengajukan permohonan pertamanya kepada Resi Weda Wyasa (Bagawan Byasa) untuk melanjutkan garis keturunan Dinasti Kuru. Sesuai dengan permohonan Satyawati, Sang Bagawan mengunjungi istri Wicitrawirya untuk menganugerahi mereka seorang putera. Ambalika disuruh oleh Satyawati untuk terus membuka matanya supaya jangan melahirkan putera yang buta seperti yang telah



dilakukan oleh Ambika (Ambika melahirkan putera buta bernama Dretarastra). Karena taat dengan perintah mertuanya, ia terus membuka matanya namun ia menjadi pucat setelah melihat rupa Sang Bagawan yang luar biasa. Maka dari itu, Pandu (puteranya), ayah para Pandawa, terlahir pucat. Ambalika hidup beberapa lama di Hastinapura sampai ia memiliki cucu, yaitu para Pandawa dan Korawa. Ketika puteranya yang bernama Pandu telah wafat, perasaan Ambalika terpukul. Atas saran dari Satyawati, Ambalika meninggalkan kehidupan duniawi dan pergi ke dalam hutan. Bersama dengan Ambika, mereka betiga meninggalkan para penerus Dinasti Kuru di Hastinapura.



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Amba - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Amba (Sansekerta: Ambā) adalah puteri sulung dari raja di Kerajaan Kasi dalam wiracarita Mahabharata. Bersama dengan tiga adiknya yang lain, yaitu Ambika dan Ambalika, Amba diboyong ke Hastinapura oleh Bisma untuk diserahkan kepada Satyawati dan dinikahkan kepada adiknya yang bernama Wicitrawirya, raja Hastinapura. Amba dalam Mahabharata Penolakan Bisma Kedua adik Amba menikah dengan Wicitrawirya, namun hati Amba tertambat kepada Bisma. Amba berkata, “Dewabrata, saya tidak mau diberikan kepada adikmu. Tujuanmu dahulu adalah mengambil kami bertiga untukmu, dan ayahku memberikan kami untukmu saja, setelah sayembara itu“.



Bisma yang bersumpah untuk tidak kawin seumur hidup, menolak untuk menikah dengan Amba karena takut melanggar sumpah. Namun kemanapun ia pergi, Amba selalu mengikutinya. Akhirnya Bisma mengungsi ke tempat gurunya, yaitu Rama Bargawa atau Parasurama. Cukup lama ia tinggal di sana, jauh dari Hastinapura, meninggalkan keluarganya. Parasurama heran dengan puteri cantik yang selalu mengikuti Bisma. Atas penjelasan Bisma, Parasurama tahu bahwa puteri cantik tersebut bernama Amba. Parasurama membujuk Bisma agar mau menikahi Amba. Karena terus-menerus mengatakan sesuatu yang membuat Bisma tidak nyaman, Bisma mendorong guurnya tersebut hingga jatuh. Semenjak itu, Parasurama mengusir Bisma dan bersumpah bahwa ia tidak akan menerima murid dari kasta Kshatriya lagi. Kematian Amba Dalam pengembaraan Bisma, Amba selalu mengikutinya. Akhirnya Bisma menodongkan panah ke arah Amba, untuk menakut-nakutinya agar ia segera pergi. Namun Amba berkata, “Dewabrata, saya mendapat bahagia atau mati, karena tanganmu. Saya malu jika harus pulang ke tempat orang tuaku ataupun kembali Hastinapura. Dimanakah tempat bagiku untuk berlindung?“ Bisma terdiam mendengar perkataan Amba. Lama ia merentangkan panahnya sehingga tangannya berkeringat. Panah pun terlepas karena tangannya basah dan licin oleh keringat. Panahnya menembus dada Amba. Dengan segera Bisma membalut lukanya. Ia menangis tersedu-sedu. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Amba berpesan kepada Bisma, bahwa ia akan menjelma sebagai anak Raja Drupada yang banci, yang ikut serta dalam pertempuran akbar antara Pandawa dan Korawa. Setelah Amba berpesan kepada Bisma untuk yang terakhir kalinya, ia pun menghembuskan nafas terakhirnya, seperti tidur nampaknya. Dalam kehidupan selanjutnya, Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi, yang memihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Srikandi adalah anak Raja Drupada dari Kerajaan Panchala yang berkelamin netral atau waria (wanita+pria). Amba dalam pewayangan Jawa Kisah hidup Amba antara kitab Adiparwa (buku pertama Mahabharata) dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, seperti misalnya nama-nama tokoh maupun kerajaan di India yang diubah agar bernuansa Jawa, namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Riwayat Amba Dewi Amba adalah putri sulung dari tiga bersaudara, putri Prabu Darmahumbara, raja negara Giyantipura dengan peramisuri Dewi Swargandini. Kedua adik kandungnya bernama: Dewi Ambika (Ambalika) dan Dewi Ambiki (Ambaliki). Dewi Amba dan kedua adiknya menjadi putri boyongan Resi Bisma (Dewabrata), putra Prabu Santanu dengan Dewi Jahnawi (Dewi Gangga) dari negara Astina yang telah berhasil memenangkan sayembara tanding di negara Giyantipura dengan membunuh Wahmuka dan Arimuka. Karena merasa sebelumnya telah dipertunangkan dengan



Prabu Citramuka, raja negara Swantipura, Dewi Amba memohon kepada Dewabrata agar dikembalikan kepada Prabu Citramuka. Persoalan mulai timbul. Dewi Amba yang ditolak oleh Prabu Citramuka karena telah menjadi putri boyongan, keinginannya ikut ke Astina juga ditolak Dewabarata. Karena Dewi Amba terus mendesak dan memaksanya, akhirnya tanpa sengaja ia tewas oleh panah Dewabrata yang semula hanya bermaksud untuk menakut-nakutinya. Sebelum meninggal Dewi Amba mengeluarkan kutukan, akan menuntut balas kematiannya dengan perantaraan seorang prajurit wanita, yaitu Srikandi. Kutukan Dewi Amba terhadap Dewabrata menjadi kenyataan. Dalam perang Bharatayuda arwahnya menjelma dalam tubuh Dewi Srikandi yang berhasil menewaskan Resi Bisma (Dewabrata).



December 23, 2007



Agnyanawati - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Adirata - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Adimanggala - Solo



Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Abiyasa - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Abiyasa Raja - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Abiyasa atau Byasa (Sansekerta: Vyāsa) (dalam pewayangan disebut Resi Abyasa) adalah figur penting dalam agama Hindu. Beliau juga bergelar Weda Wyasa (orang yang mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa sebelumnya, membukukannya, dan dikenal sebagai Weda. Beliau juga dikenal dengan nama Krishna Dwaipayana. Beliau adalah filsuf, sastrawan India yang menulis epos terbesar di dunia, yaitu Mahabharata. Sebagian riwayat hidupnya diceritakan dalam Mahabharata. Dalam Mahabharata, dapat diketahui bahwa orangtua Resi Byasa adalah Bagawan Parasara dan Dewi Satyawati (alias Durgandini atau Gandhawati).



Kelahiran Dalam kitab Mahabharata diketahui bahwa orangtua Byasa adalah Resi Parasara dan Satyawati. Diceritakan bahwa pada suatu hari, Resi Parasara berdiri di tepi Sungai Yamuna, minta diseberangkan dengan perahu. Satyawati menghampirinya lalu mengantarkannya ke seberang dengan perahu. Di tengah sungai, Resi Parasara terpikat oleh kecantikan Satyawati. Satyawati kemudian bercakap-cakap dengan Resi Parasara, sambil menceritakan bahwa ia terkena penyakit yang menyebabkan badannya berbau busuk. Ayah Satyawati berpesan, bahwa siapa saja lelaki yang dapat menyembuhkan penyakitnya boleh dijadikan suami. Mendengar hal itu, Resi Parasara berkata bahwa ia bersedia menyembuhkan penyakit Satyawati. Karena kesaktiannya sebagai seorang resi, Parasara menyembuhkan Satyawati dalam sekejap. Setelah lamaran disetujui oleh orangtua Satyawati, Parasara dan Satyawati melangsungkan pernikahan. Kedua mempelai menikmati malam pertamanya di sebuah pulau di tengah sungai Yamuna, konon terletak di dekat kota Kalpi di distrik Jalaun di Uttar Pradesh, India. Di sana Resi Parasara menciptakan kabut gelap nan tebal agar pulau tersebut tidak dapat dilihat orang. Dari hasil hubungannya, lahirlah seorang anak yang sangat luar biasa. Ia diberi nama Krishna Dwaipayana, karena kulitnya hitam (krishna) dan lahir di tengah pulau (dwaipayana). Anak tersebut tumbuh menjadi dewasa dengan cepat dan mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang resi. Weda Wyasa Umat Hindu memandang Krishna Dwaipayana sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian (Catur Weda), dan oleh karena itu ia juga memiliki nama Weda Wyasa yang artinya “Pembagi Weda”. Kata Wyasa berarti “membelah”, “memecah”, “membedakan”. Dalam proses pengkodifikasian Weda, Wyasa dibantu oleh empat muridnya, yaitu Pulaha, Jaimini, Samantu, dan Wesampayana. Telah diperdebatkan apakah Wyasa adalah nama seseorang ataukah kelas para sarjana yang membagi Weda. Wisnupurana memiliki teori menarik mengenai Wyasa. Menurut pandangan Hindu, alam semesta adalah suatu siklus, ada dan tiada berulang kali. Setiap siklus dipimpin oleh beberapa Manu, satu untuk setiap Manwantara, yang memiliki empat zaman, disebut Catur Yuga (empat Yuga). Dwapara Yuga adalah Yuga yang ketiga. Purana (Buku 3, Ch 3) berkata: Dalam setiap zaman ketiga (Dwapara), Wisnu, dalam diri Wyasa, untuk menjaga kualitas umat manusia, membagi Weda, yang seharusnya satu, menjadi beberapa bagian. Mengamati terbatasnya ketekunan, energi, dan dengan wujud yang tak kekal, ia membuat Weda empat bagian, sesuai kapasitasnya; dan raga yang dipakainya, dalam menjalankan tugas untuk mengklasifikasi, dikenal dengan nama Wedawyasa Tokoh Mahabharata Selain dikenal sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian, Byasa juga dikenal sebagai penulis (pencatat) sejarah dalam Mahabharata, namun ia juga merupakan tokoh penting dalam riwayat yang disusunnya itu. Ibunya (Satyawati) menikah dengan Santanu, Raja Hastinapura. Dari perkawinannya lahirlah Citrānggada dan Wicitrawirya. Citrānggada gugur dalam suatu pertempuran, sedangkan Wicitrawirya wafat karena sakit. Karena



kedua pangeran itu wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati menanggil Byasa agar melangsungkan suatu yajña (upacara suci) untuk memperoleh keturunan. Kedua janda Wicitrawirya yaitu Ambika dan Ambalika diminta menghadap Byasa sendirian untuk diupacarai. Sesuai dengan aturan upacara, pertama Ambika menghadap Byasa. Karena ia takut melihat wajah Byasa yang sangat hebat, maka ia menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, Byasa berkata bahwa anak Ambika akan terlahir buta. Kemudian Ambalika menghadap Byasa. Sebelumnya Satyawati mengingatkan agar Ambalika tidak menutup mata supaya anaknya tidak terlahir buta seperti yang terjadi pada Ambika. Ketika Ambalika memandang wajah Byasa, ia menjadi takut namun tidak mau menutup mata sehingga wajahnya menjadi pucat. Byasa berkata bahwa anak Ambalika akan terlahir pucat. Anak Ambika yang buta bernama Dretarastra, sedangkan anak Ambalika yang pucat bernama Pandu. Karena kedua anak tersebut tidak sehat jasmani, maka Satyawati memohon agar Byasa melakukan upacara sekali lagi. Kali ini, Ambika dan Ambalika tidak mau menghadap Byasa, namun mereka menyuruh seorang dayang-dayang untuk mewakilinya. Dayang-dayang itu bersikap tenang selama upacara, maka anaknya terlahir sehat, dan diberi nama Widura. Ketika Gandari kesal karena belum melahirkan, sementara Kunti sudah memberikan keturunan kepada Pandu, maka kandungannya dipukul. Kemudian, seonggok daging dilahirkan oleh Gandari. Atas pertolongan Byasa, daging tersebut dipotong menjadi seratus bagian. Lalu setiap bagian dimasukkan ke dalam sebuah kendi dan ditanam di dalam tanah. Setahun kemudian, kendi tersebut diambil kembali. Dari dalamnya munculah bayi yang kemudian diasuh sebagai para putera Dretarastra. Byasa tinggal di sebuah hutan di wilayah Kurukshetra, dan sangat dekat dengan lokasi Bharatayuddha, sehingga ia tahu dengan detail bagaimana keadaan di medan perang Bharatayuddha, karena terjadi di depan matanya sendiri. Setelah pertempuran berakhir, Aswatama lari dan berlindung di asrama Byasa. Tak lama kemudian Arjuna beserta para Pandawa menyusulnya. Di tempat tersebut mereka berkelahi. Baik Arjuna maupun Aswatama mengeluarkan senjata sakti. Karena dicegah oleh Byasa, maka pertarungan mereka terhenti. Penulis Mahabharata Pada suatu ketika, timbul keinginan Resi Byasa untuk menyusun riwayat keluarga Bharata. Atas persetujuan Dewa Brahma, Hyang Ganapati (Ganesha) datang membantu Byasa. Ganapati meminta Wyasa agar ia menceritakan Mahabharata tanpa berhenti, sedangkan Ganapati yang akan mencatatnya. Setelah dua setengah tahun, Mahabharata berhasil disusun. Murid-murid Resi Byasa yang terkemuka seperti Pulaha, Jaimini, Sumantu, dan Wesampayana menuturkannya berulang-ulang dan menyebarkannya ke seluruh dunia.



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Abimanyu - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



Abimanyu (Sansekerta: abhiman’yu) adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera Arjuna dari salah satu istrinya yang bernama Subadra. Ditetapkan bahwa Abimanyu-lah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dianggap seorang pahlawan yang tragis. Ia gugur dalam pertempuran besar di Kurukshetra sebagai ksatria termuda dari pihak Pandawa, karena baru berusia enam belas tahun. Abimanyu menikah dengan Utara, puteri Raja Wirata dan memiliki seorang putera bernama Parikesit, yang lahir setelah ia gugur.



Arti nama Abimanyu terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu abhi (berani) dan man’yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman’yu secara harfiah berarti “ia yang memiliki sifat tak kenal takut” atau “yang bersifat kepahlawanan”. Kelahiran, pendidikan, dan pertempuran Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. Mahabharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu. Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya. Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatriaksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka. Kematian Abimanyu Pada hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi. Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut. Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa. Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap



pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada. Arjuna membalas dendam Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari berikutnya sebelum matahari tenggelam. Menanggapi hal itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah matahari sudah tenggelam. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam, dan sesuai aturan, mereka menghentikan peperangan dan kembali ke kubu masing-masing. Dengan demikian, pihak Korawa tidak melanjutkan pertarungan dan Jayadrata tidak dalam perlindungan mereka lagi. Saat kereta Arjuna dekat dengan kereta Jayadrata, matahari muncul lagi dan Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata. Penjelasan mengenai kematiannya Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran. Putera Abimanyu, yaitu Parikesit, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai ksatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan dalam usia yang masih sangat muda. Abimanyu dalam pewayangan Jawa Dalam khazanah pewayangan Jawa, Abimanyu, sebagai putra Arjuna, merupakan tokong penting. Di bawah ini dipaparkan ciri khas tokoh ini dalam budaya Jawa yang sudah berkembang lain daripada tokoh yang sama di India.



Riwayat Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina. Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat “Wahyu Hidayat”, yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat “Wahyu Cakraningrat”, suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar. Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang isteri, yaitu: Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi, Dewi Uttari, putri Prabu Matswapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputra Parikesit. Bharatayuddha Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu ksatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai gelar strategi perang hanya tiga orang yakni Werkodara, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Werkodara dan Arjuna dipancing oleh ksatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu. Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur gelar perang, dia maju sendiri ketengah barisan Kurawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ketubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya “arang kranjang” (banyak sekali) dan Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata ditubuhnya) sebagai risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Uttari bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha, padahal ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari. Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putra mahkota Hastina (Lesmana Mandrakumara) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya, pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk



membunuh Abimanyu harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyupun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling. SLOKA mengisahkan kematian Abimanyu Ngkā Sang Dharmasutā təgəg mulati tingkahi gəlarira nātha Korawa, āpan tan hana Sang Wrəkodara Dhanañjaya wənanga rumāmpakang gəlar. Nghing Sang Pārthasutābhimanyu makusāra rumusaka gəlar mahā dwija, manggəh wruh lingirāng rusak mwang umasuk tuhu i wijili rāddha tan tama Sāmpun mangkana çighra sāhasa masuk marawaça ri gəlar mahā dwija. Sang Pārthātmaja çūra sāra rumusuk sakəkəsika linañcaran panah, çirṇa ngwyuha lilang təkap Sang Abhimanyu təka ri kahanan Suyodhana. Ḍang Hyang Droṇa Krəpāpulih karaṇa Sang Kurupati malayū marīnusi.



Ṇda tan dwālwang i çatru çakti mangaran Krətasuta sawatək Wrəhadbala. Mwang Satyaçrawa çūra mānta kəna tan panguḍili pinanah linañcaran. Lāwan wīra wiçesha putra Kurunātha mati malara kokalan panah. Kyāti ng Korawa wangça Lakshmanakumāra ngaranika kaish Suyodhana. Ngkā ta krodha sakorawālana manah panahira lawan açwa sarathi. Tan wāktān tang awak tangan suku gigir



ḍaḍa wadana linaksha kinrəpan. Mangkin Pārthasutajwalāmurək anyakra makapalaga punggəling laras. Dhīramūk mangusir ỵaçānggətəm atễn pəjaha makiwuling Suyodhana. Ri pati Sang Abhimanyu ring raṇāngga. Tənyuh araras kadi çéwaling tahas mas. Hanana ngaraga kālaning pajang lèk. Çinaçah alindi sahantimun ginintən. Terjemahan :



Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan Arjuna tak ada padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna, yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu bagaimana cara keluar dari formasi tersebut. Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan, sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi. Dengan ini tak dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum dapat menimbulkan



kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera Raja Korawa yang berani juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut sangat terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Lakshmanakumara, yang disayangi Suyodhana. Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Suyodhana. Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.



December 22, 2007



Abilawa - Solo Posted by topmdi under Aksara A, Gagrak Surakarta No Comments



 



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Narayana - Solo Posted by topmdi under Aksara N, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Narayana Jangkah - Solo



Posted by topmdi under Aksara N, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Narasoma - Solo Posted by topmdi under Aksara N, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Narada - Solo Posted by topmdi under Aksara N, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Nakula - Solo Posted by topmdi under Aksara N, Gagrak Surakarta No Comments



Nakula (Sansekerta : Nakula), adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Dewi Madrim. Ia adalah saudara kembar Sadewa dan dianggap putera Dewa Aswin, Dewa tabib kembar. Menurut kitab Mahabharata, Nakula sangat tampan dan sangat elok parasnya. Menurut Drupadi, Nakula merupakan suami yang paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk Nakula adalah membanggakan ketampanan yang dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira dalam kitab Prasthanikaparwa. Arti



nama



Secara harfiah, kata nakula dalam bahasa Sansekerta merujuk kepada warna Ichneumon, sejenis tikus atau



binatang pengerat dari Mesir. Nakula juga dapat berarti “cerpelai”, atau dapat juga berarti “tikus benggala”. Nakula juga merupakan nama lain dari Dewa Siwa. Nakula



dalam



Mahabharata



Menurut Mahabharata, si kembar Nakula dan Sadewa memiliki kemampuan istimewa dalam merawat kuda dan sapi. Nakula digambarkan sebagai orang yang sangat menghibur hati. Ia juga teliti dalam menjalankan tugasnya dan selalu mengawasi kenakalan kakaknya, Bima, dan bahkan terhadap senda gurau yang terasa serius. Nakula juga memiliki



kemahiran



dalam



memainkan



senjata



pedang.



Saat para Pandawa mengalami pengasingan di dalam hutan, keempat Pandawa (Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) meninggal karena meminum air beracun dari sebuah danau. Ketika sesosok roh gaib memberi kesempatan kepada Yudistira untuk memilih salah satu dari keempat saudaranya untuk dihidupkan kembali, Nakula-lah dipilih oleh Yudistira untuk hidup kembali. Ini karena Nakula merupakan putera Madri, dan Yudistira, yang merupakan putera Kunti, ingin bersikap adil terhadap kedua ibu tersebut. Apabila ia memilih Bima atau Arjuna, maka tidak ada lagi putera



Madri



yang



akan



melanjutkan



keturunan.



Ketika para Pandawa harus menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata, Nakula menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran “Grantika”. Nakula turut serta dalam pertempuran akbar di Kurukshetra, dan memenangkan



perang



besar



tersebut.



Dalam kitab Prasthanikaparwa, yaitu kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa Mahabharata, diceritakan bahwa Nakula tewas dalam perjalanan ketika para Pandawa hendak mencapai puncak gunung Himalaya. Sebelumnya, Dropadi tewas dan disusul oleh saudara kembar Nakula yang bernama Sadewa. Ketika Nakula terjerembab ke tanah, Bima bertanya kepada Yudistira, “Kakakku, adik kita ini sangat rajin dan penurut. Ia juga sangat tampan dan tidak ada yang menandinginya. Mengapa ia meninggal sampai di sini?”. Yudistira yang bijaksana menjawab, “Memang benar bahwa ia sangat rajin dan senang menjalankan perintah kita. Namun ketahuilah, bahwa Nakula sangat membanggakan ketampanan yang dimilikinya, dan tidak mau mengalah. Karena sikapnya tersebut, ia hanya hidup sampai di sini”. Setelah mendengar penjelasan Yudistira, maka Bima dan Arjuna melanjutkan perjalanan mereka. Mereka meninggalkan jenazah Nakula di sana, tanpa upacara pembakaran yang layak, namun arwah Nakula mencapai kedamaian. Nakula



dalam



pewayangan



Jawa



Nakula dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat). Ia merupakan putera keempat Prabu Pandudewanata, raja negara Hastinapura dengan permaisuri Dewi Madri, puteri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa. Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama Puntadewa (Yudistira), Bima alias Werkudara dan Arjuna Nakula adalah titisan Batara Aswin, Dewa tabib. Ia mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji



Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Ia juga mempunyai cupu berisi “Banyu Panguripan”



atau



“Air



kehidupan”



pemberian



Bhatara



Indra.



Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal



di



kesatrian



Sawojajar,



wilayah



negara



Amarta.



Nakula



mempunyai



dua



orang



isteri



yaitu:



Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua orang putera masing-masing bernama



Bambang



Pramusinta



dan



Dewi



Pramuwati.



Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama



Tirtamanik.



Setelah selesai perang Bharatayuddha, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa di gunung Himalaya bersama keempat saudaranya.



December 24, 2007



Nagatatmala - Solo Posted by topmdi under Aksara N, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Nagagini - Solo Posted by topmdi under Aksara N, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Mustakaweni - Solo Posted by topmdi under Aksara M, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Mintaraga - Solo Posted by topmdi under Aksara M, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Lesmana Mandrakumara - Solo Posted by topmdi under Aksara L, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Lawa - Solo Posted by topmdi under Aksara L, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Laksmana - Solo Posted by topmdi under Aksara L, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kuwera - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kusya Ramakusya - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kunti - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Kunti (Sansekerta: Kuntī) dalam kisah Mahabharata adalah puteri dari Prabu Kuntiboja. Ia adalah saudara dari Basudewa yang merupakan ayah dari Baladewa, Kresna dan Subadra. Ia juga adalah ibu daripada Yudistira, Werkodara, dan Arjuna dan juga adalah istri pertama Pandu Dewanata. Selain itu Kunti juga ibu dari Karna. Sepeninggal Pandu Dewanata, ia mengasuh Nakula dan Sadewa, anak Pandu Dewanata dari Dewi Madri. Seusai Bharatayuddha, ia dan iparnya Dretarastra, Gandari, dan Widura pergi bertapa sampai akhir hayatnya. Asal-usul Ayah Kunti adalah Raja Surasena dari Wangsa Yadawa, dan saat bayi ia diberi nama Pritha. Ia merupakan adik Basudewa, ayah Kresna. Kemudian ia diadopsi oleh Raja Kuntiboja yang tidak memiliki anak, dan semenjak itu ia diberi nama Kunti. Setelah Kunti menjadi puterinya, Raja Kuntibhoja dianugerahi anak.



Masa muda Pada saat Kunti masih muda, ia diberi sebuah mantra sakti oleh Resi Durwasa agar mampu memanggil Dewa-Dewi sesuai dengan yang dikehendakinya. Pada suatu hari, Kunti ingin mencoba anugerah tersebut dan memanggil salah satu Dewa, yaitu Surya. Surya yang merasa terpanggil, bertanya kepada Kunti, apa yang diinginkannya. Namun Kunti menyuruh Sang Dewa untuk kembali ke kediamannya. Karena Kunti sudah memanggil dewa tersebut agar datang ke bumi namun tidak menginginkan berkah apapun, Sang Dewa memberikan seorang putera kepada Kunti. Kunti tidak ingin memiliki putera semasih muda, maka ia memasukkan anak tersebut ke dalam keranjang dan menghanyutkannya di sungai Aswa. Kemudian putera tersebut dipungut oleh seorang kusir di keraton Hastinapura yang bernama Adirata, dan anak tersebut diberi nama Karna. Kehidupan selanjutnya Kemudian, Kunti menikahi Pandu, seorang raja di Hastinapura. Pandu juga menikahi Madri sebagai istri kedua, namun tidak mampu memiliki anak. Akhirnya Pandu dan kdua istrinya hidup di hutan. Disanalah Kunti mengeluarkan mantra rahasianya. Ia memanggil tiga Dewa dan meminta tiga putera dari mereka. Putera pertama diberi nama Yudistira dari Dewa Yama, kedua bernama Bima dari Dewa Bayu, dan yang terakhir bernama Arjuna dari Dewa Indra. Kemudian Kunti memberitahu mantra tersebut kepada Madri. Madri memangil Dewa Aswin dan menerima putera kembar, dan diberi nama Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu tersebut dikenal dengan nama Pandawa. Setelah kematian Pandu dan Madri, Kunti mengasuh kelima putera tersebut sendirian. Sesuai dengan amanat Madri, Kunti berjanji akan memperlakukan Nakula dan Sadewa seperti puteranya sendiri. Setelah pertempuran besar di Kurukshetra berkecamuk dan usianya sudah sangat tua, Kunti pergi ke hutan bersama dengan ipar-iparnya yang lain seperti Dretarastra, Widura, dan Gandari untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Mereka menyerahkan kerajaan kepada Yudistira. Di dalam hutan, Kunti dan yang lainnya terbakar oleh api suci mereka sendiri dan wafat di sana.



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kumbayana - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kumbakarna mata 1 - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kumba Kumba - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kresna w/ Rondon - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Kresna atau Krishna (Devanagari: dilafalkan kṛṣṇa) adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu karena dianggap merupakan aspek dari Brahman.[1] Ia disebut pula Nārāyana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di Waikuntha. Ia biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawad Gita). Dalam Agama Hindu pada umumnya, Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu, yang dianggap sebagai Dewa yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya Waisnawa,



Kresna



dipuja



sebagai



sumber



dari



segala



awatara



(termasuk



Wisnu).



Menurut Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh raja yang bijaksana, sakti, dan



berwibawa. Dalam ajaran agama Hindu, ia dikenal sebagai awatara Dewa Wisnu yang kedelapan. Dalam Bhagawad Gita, beliau adalah perantara kepribadian Brahman (Tuhan Yang Maha Esa) yang menjabarkan ajaran kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Beliau mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata akan berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, Sanjaya putera Widura, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha. Asal



usul



nama



“Krishna”



Dalam bahasa Sansekerta, kata Krishna berarti “hitam” atau “gelap”, dan kata ini umum digunakan untuk menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita dijabarkan bahwa Krishna memiliki warna kulit gelap bersemu biru langit.[3] Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat. Sebagai Contoh, di Kuil Jaganatha, di Puri, Orissa, India (nama Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Krishna sebagai penguasa jagat raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa dan Subadra yang berkulit cerah. Nama



lain



Kresna sebagai Awatara sekaligus orang bijaksana memiliki banyak sekali nama panggilan sesuai dengan kepribadian atau keahliannya. Nama panggilan tersebut digunakan untuk memuji, mengungkapkan rasa hormat, dan menunjukkan rasa persahabatan atau kekeluargaan. Nama panggilan Kresna di bawah ini merupakan nama-nama dari kitab Mahabarata dan Bhagawad Gita versi aslinya (versi India). Nama panggilan Kresna adalah: Achyuta



(Acyuta,



yang



Arisudana Bhagavān



(Bhagawan,



kepribadian



Kesava Kesinishūdana Mādhava Madhusūdana Mahābāhu Mahāyogi Purushottama Varshneya Vāsudeva



gagal) musuh)



Tuhan



Yang



Maha



Esa)



(Pengembala (Gowinda,



yang



Hrishikesa Janardana



pernah



(penghancur



Gopāla Govinda



tak



memberi



sapi) kebahagiaan



(Hri-sikesa, (juru



(Madawa,



(Maha-bahu,



pembunuh



(Warsneya, (Wasudewa,



Kesi)



Dewi



Laksmi)



raksasa



yang



manusia



indah)



raksasa



penakluk



(Maha-yogi, (Purusa-utama,



manusia)



berambut



suami



(Madu-sudana,



indria)



umat



yang



(Kesi-nisudana,



indria-indria)



penguasa selamat



(Kesawa,



pada



Madhu)



berlengan



perkasa)



rohaniawan utama,



yang



berkepribadian



keturunan



wangsa putera



besar) paling



baik) Wresni)



Basudewa)



Vishnu



(Wisnu,



Yādava



(Yadawa,



penitisan



Batara



keturunan



Wisnu)



dinasti



Yadu)



Yogesvara (Yoga-iswara, penguasa segala kekuatan batin) Kehidupan



Sang



Kresna



Ikthisar kehidupan Sri Kresna di bawah ini diambil dari Mahābhārata, Hariwangsa, Bhagawata Purana, dan Wisnu Purana. Lokasi dimana Kresna diceritakan adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat. Kutipan pada permulaan dan akhir cerita merupakan teologi yang tergantung pada sudut pandang cerita. Penitisan Kutipan di bawah ini menjelaskan alasan mengapa Wisnu menjelma. Dalam sebuah kalimat dalam Bhagawatapurana: Kitab Mahabharata (Adiparwa, bagian Adiwansawatarana) memberikan alasan yang serupa, meskipun dengan perbedaan yang kecil dalam bagian-bagiannya. Kelahiran Kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi mengatakan bahwa Sri



Kresna



lahir



pada



tanggal



19



Juli



tahun



3228



SM.



Kresna berasal dari keluarga bangsawan di Mathura, dan merupakan putera kedelapan yang lahir dari puteri Dewaki, dan suaminya Basudewa. Mathura adalah ibukota dari wangsa yang memiliki hubungan dekat seperti Wresni, Andaka, dan Bhoja. Mereka biasanya dikenali sebagai Yadawa karena nenek moyang mereka adalah Yadu, dan kadang-kadang dikenal sebagai Surasena setelah adanya leluhur terkemuka yang lain. Basudewa dan Dewaki termasuk ke dalam wangsa tersebut. Raja Kamsa, kakak Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya ke penjara, yaitu Raja Ugrasena. Karena takut terhadap ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan salah satu putera Dewaki, maka ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara dan berencana akan membunuh semua putera Dewaki yang baru lahir. Setelah enam putera pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putera ketujuhnya, lahirlah Kresna. Karena hidupnya terancam bahaya maka ia diselundupkan keluar dan dirawat oleh orangtua tiri bernama Yasoda dan Nanda di Gokul, Mahavana. Dua anaknya yang lain juga selamat yaitu, Balarama (putera ketujuh Dewaki, dipindahkan ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putera dari Basudewa dan



Rohini



yang



lahir



setelah



Balarama



dan



Kresna).



Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai Krishnajanmabhoomi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya. Masa



kanak-kanak



dan



remaja



Nanda merupakan pemimpin di komunitas para pengembala sapi, dan ia tinggal di Vrindavana. Kisah tentang Kresna saat masa kanak-kanak dan remaja ada di sana termasuk dengan siapa dia tinggal, dan perlindungannya kepada



orang-orang sekitar. Kamsa yang mengetahui bahwa Kresna telah kabur terus mengirimkan rakshasa (seperti misalnya Aghasura) untuk membinasakannya. Sang raksasa akhirnya terkalahkan di tangan Kresna dan kakaknya, Balarama. Beberapa di antara kisah terkenal tentang keberanian Kresna terdapat dalam petualangan ini serta permainannya bersama para gopi di desa, termasuk Radha. Kisah yang menceritakan permainannya bersama para gopi kemudian dikenal sebagai Rasa lila. Kresna



Sang



Pangeran



Kresna yang masih muda kembali ke Mathura, dan menggulingkan kekuasaan pamannya – Kamsa – sekaligus membunuhnya. Kresna menyerahkan tahta kembali kepada ayah Kamsa, Ugrasena, sebagai Raja para Yadawa. Ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut. Dalam masa ini ia menjadi teman Arjuna serta para pangeran Pandawa lainnya dari Kerajaan Kuru, yang merupakan saudara sepupunya, yang tinggal di sisi lain Yamuna. Kemudian, ia memindahkan kediaman para Yadawa ke kota Dwaraka (di masa sekarang disebut Gujarat). Ia menikahi



Rukmini,



puteri



dari



Bhishmaka



dari



Kerajaan



Widarbha.



Menurut beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan orang di antaranya merupakan istri terkemuka, termasuk di antaranya Radha, Rukmini, Satyabama, dan Jambawati. Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang lain ditawan oleh Narakasura, sampai akhirnya Kresna membunuh Narakasura dan membebaskan mereka semua. Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka masih di bawah kekuasaan Narakasura, namun Kresna dengan gembira menyambut mereka sebagai puteri bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari berbagai wujud Dewi Lakshmi. Bharatayuddha



dan



Bhagawad



Gita



Kresna merupakan saudara sepupu dari kedua belah pihak dalam perang antara Pandawa dan Korawa. Ia menawarkan mereka untuk memilih pasukannya atau dirinya. Para Korawa mengambil pasukannya sedangkan dirinya bersama para Pandawa. Ia pun sudi untuk menjadi kusir kereta Arjuna dalam pertempuran akbar. Bhagavad Gītā merupakan wejangan yang diberikan kepada Arjuna oleh Kresna sebelum pertempuran dimulai. Kehidupan



di



kemudian



hari



Setelah perang, Kresna tinggal di Dwaraka selama 36 tahun. Kemudian pada suatu perayaan, pertempuran meletus di antara para Yadawa yang saling memusnahkan satu sama lain. Lalu kakak Kresna – Balarama – melepaskan raga dengan cara melakukan Yoga. Kresna berhenti menjadi raja kemudian pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon melakukan meditasi. Seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna seperti rusa kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian. Menurut Mahabharata, kematian Kresna disebabkan



oleh



kutukan



Gandari.



Kemarahannya



setelah



menyaksikan



kematian



putera-puteranya



menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu menghentikan peperangan. Setelah mendengar kutukan tersebut, Kresna tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya adalah



bertempur



di



pihak



yang



benar,



bukan



mencegah



peperangan.



Menurut referensi dari Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, ditafsirkan bahwa Kresna wafat sekitar tahun 3100 SM.[6] Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk. Setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan pemerintahan mereka terjadi saat permulaan Kali Yuga. Selanjutnya dikatakan bahwa Kali Yuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima berarti tahun 2007 sama dengan tahun 5108 (atau semacam itu) semenjak Kali Yuga. Hubungan



keluarga



Ayah Kresna adalah Prabu Basudewa, yang merupakan saudara lelaki (kakak) dari Kunti atau Partha, istri Pandu yang merupakan ibu para Pandawa, sehingga Kresna bersaudara sepupu dengan para Pandawa. Saudara misan Kresna yang lain bernama Sisupala, putera dari Srutadewa atau Srutasrawas, adik Basudewa. Sisupala merupakan musuh bebuyutan Kresna yang kemudian dibunuh pada saat upacara akbar yang diselenggarakan Yudistira. Kresna



dalam



pewayangan



Jawa



Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para Yadu dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura. Ia (dengan nama kecil Narayana) dilahirkan sebagai 3 bersaudara dengan kakaknya dikenal sebagai Baladewa (Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak lain adalah isteri dari Arjuna. Ia memiliki tiga orang isteri dan tiga orang anak. Isteri isterinya adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Anak anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan



Siti



Sundari.



Pada perang Bharatayuddha, beliau adalah sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding sebagai sais Arjuna beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawad Gita. Kresna dikenal sebagai seorang yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia, pusakapusaka sakti, antara lain Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, Terompet kerang (Sangkala) Pancajahnya, Kaca paesan,



Aji



Pameling



dan



Aji



Kawrastawan.



Setelah meninggalnya Prabu Baladewa (Resi Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni, Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantara panah seorang pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya. Kresna



dalam



Bhagawad



Gita



Kresna dianggap sebagai penjelmaan Sang Hyang Triwikrama, atau gelar Bhatara Wisnu yang dapat melangkah di tiga alam sekaligus. Ia juga dipandang sebagai perantara suara Tuhan dalam menjalankan misi sebagai juru selamat umat manusia, dan disetarakan dengan segala sesuatu yang agung. Kutipan di bawah ini diambil dari kitab Bhagawad Gita (percakapan antara Kresna dengan Arjuna) yang menyatakan Sri Kresna sebagai Awatara.



Kutipan Bhagawat Gita



yadā yadā hi dharmasya, glānir bhavati bhārata, abhyutthānam adharmasya tadātmanaṁ sṛjāmy aham paritrāṇāya sādhūnāṁ, vināśāyā ca duṣkṛtām, dharma-saṁsthāpanārthāẏa, sambhavāmi yuge yuge aham ātmā guḍākeśa sarva-bhūtāśaya-sthitaḥ, aham ādiś ca madhyaṁ ca bhūtānām anta eva ca purodhasāṁ ca mukhyaṁ māṁ viddhi pārtha bṛhaspatim, senāninām ahaṁ skandaḥ, sarasām asmi sāgaraḥ prahlādaś cāsmi daityānāṁ, kālaḥ kalayatām aham mṛgāṇāṁ ca mṛgendro ‘haṁ vainateyaś ca pakṣiṇām dyūtaṁ chalayatām asmi tejas tejasvinām aham jayo ‘smi vyavasāyo ‘smi sattvaṁ sattvavatām aham vṛṣṇīnāṁ vāsudevo ‘smi pāṇḍavānām dhanañjayaḥ, munīnām apy ahaṁ vyāsaḥ kavīnām uśanā kaviḥ Kapan pun kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itu Aku turun menjelma, wahai keturunan



Bharata



(Arjuna)



Untuk menyelamatkan orang saleh dan membinasakan orang jahat, dan menegakkan kembali kebenaran,



Aku



sendiri



menjelma



dari



zaman



ke



zaman



O Arjuna, Aku adalah Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam hati semua makhluk hidup. Aku adalah



awal,



pertengahan



dan



akhir



semua



makhluk



Wahai Arjuna, di antara semua pendeta, ketahuilah bahwa Aku adalah Brihaspati, pemimpinnya. Di antara para panglima, Aku adalah Kartikeya, dan di antara segala sumber air, Aku adalah lautan Di antara para Detya, Aku adalah Prahlada, yang berbakti dengan setia. Di antara segala penakluk, Aku adalah waktu. Di antara segala hewan, Aku adalah singa, dan di antara para burung, Aku adalah Garuda. Di antara segala penipu, Aku adalah penjudi. Aku adalah kemulian dari segala sesuatu yang mulia. Aku adalah



kejayaan,



Aku



adalah



petualangan,



dan



Aku



adalah



kekuatan



orang



yang



kuat



Di antara keturunan Wresni, Aku ini Kresna. Di antara Panca Pandawa, Aku adalah Arjuna. Di antara para Resi, Aku adalah Wyasa. Di antara para ahli pikir yang mulia, aku adalah Usana.



December 24, 2007



Krepi - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Krepa Resi - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Krepa Muda - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kirata - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kimindama - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kesawasidi - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kenyawandu - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kencakarupa - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kekayi - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kartapiyoga - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kartanadi - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kartamarma - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Karna - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Karna (Sansekerta:



; Karṇa) alias Radheya adalah salah satu tokoh dari wiracarita Mahabharata yang



terkenal. Ia sebenarnya adalah masih saudara satu ibu dengan tiga Pandawa, yaitu Yudistira, Werkodara dan Arjuna (Nakula



dan



Sadewa



bukan



saudara



langsung



Karna,



melainkan



saudara



tirinya).



Dalam bahasa Sansekerta, nama Karna secara harfiah berarti telinga. Dalam makna yang tersirat, kata “Karna” dapat juga berarti “terampil” atau “pandai”. Karna juga menyandang nama “Radheya” saat masih kecil. Nama itu diberikan oleh orangtua tirinya, yaitu Adirata dan Radha. Nama “Radheya” secara harfiah berarti “putera Radha”.



Anggapan terkenal mengatakan bahwa kata “Karna” dipilih sebab ia dilahirkan melalui telinga, namun anggapan tersebut tidak selamanya benar sebab beberapa versi mengatakan bahwa Karna lahir normal, dan keperawanan ibunya (Kunti) kembali lagi setelah melahirkan. Setelah bayi tersebut dilahirkan, Kunti tidak memberinya nama dan menghanyutkannnya ke sungai Aswa, lalu dipungut oleh Adirata sebagai hadiah bagi Radha. Semenjak saat itu, bayi yang dipungut oleh Adirata diberi nama Radheya. Tidak ada yang mengetahui asal-usul Karna dan bagaimana Karna dilahirkan, sampai Kunti membeberkan rahasia yang sebenarnya. Kelahiran Karna merupakan putera dari Kunti, ibu para Pandawa, dan ayahnya adalah Dewa Surya. Dalam Mahabharata diceritakan bahwa pada masa mudanya, Kunti diberi suatu anugerah oleh Resi Durwasa, agar mampu memanggil para Dewa dan memohon anugerah darinya. Setelah menerima anugerah tersebut, Kunti mencoba memanggil Dewa Surya. Dewa Surya pun datang ke hadapan Kunti dan menanyakan apa keinginannya. Dewi Kunti berkata bahwa ia hanya mencoba anugerah yang diberikan kepadanya, dan ia meminta agar Sang Dewa kembali ke tempat beliau. Namun Dewa Surya menolak untuk pergi ke kahyangan sebab mantra yang diberikan oleh Resi Durwasa juga berfungsi untuk meminta anak dari dewa yang telah dipanggil. Kunti yang tidak mengetahui hal tersebut menjadi terkejut. Ia tidak ingin menikah di usia muda. Akhirnya Dewa Surya berjanji bahwa kelak setelah Kunti melahirkan puteranya,



keperawanannya



akan



dikembalikan



lagi.



Kemudian Dewa Surya kawin dengan Kunti, setelah itu Sang Dewa kembali ke asalnya. Beberapa lama kemudian, seorang putera lahir. Tanda-tanda bahwa kelak ia akan menjadi kesatria besar sudah tampak dari bentuk fisiknya. Sejak lahir, Karna telah menerima anugerah berupa sepasang pakaian perang, lengkap dengan sebuah kalung yang indah terpasang di lehernya. Karena tidak ingin menimbulkan desas-desus, setelah Kunti melepaskan seluruh pakaian perang yang dikenakan Karna, Kunti memasukkan putera tersebut ke dalam keranjang dan menghanyutkannya ke sungai Aswa. Putera tersebut dipungut oleh seorang kusir (kasta Suta) di keraton Hastinapura bernama Adirata. Sejak saat itu, Karna menjadi putera Adirata dan Radha, yang sebenarnya merupakan orangtua tirinya. Karena diasuh di keluarga yang berkasta Suta, Karna pun sering mendapat diskriminasi. Kepribadian Karna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah yang hampir setara dengan Arjuna. ia mahir berperang, namun bakatnya terperangkap dalam status sosial yang rendah. Hal itu membuatnya haus akan status yang memberikannya identitas. Meskipun Karna diasuh dalam keluarga yang berkasta rendah, ia memiliki sikap seorang ksatria, meskipun jarang yang mengakuinya. Ia memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan Duryodana, yang telah mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga, sekaligus menaikkan statusnya. Atas perlakuan baik yang dilakukan Duryodana terhadap dirinya, Karna berjanji bahwa ia akan selalu berada di pihak Duryodana. Kebencian Karna terhadap



Arjuna



bertemu



dalam



satu



jalan



dengan



kebencian



Duryodana



terhadap



para



Pandawa.



Karna memiliki persaingan yang sangat hebat dengan Arjuna, dan berambisi bahwa ia akan membunuh Arjuna saja saat Bharatayuddha, bukan Pandawa yang lain. Sebelum Bharatayuddha, Kunti datang ke hadapan Karna dan



mengatakan bahwa ia sebenarnya ibunya. Kunti menyuruh Karna agar memihak Pandawa. Karna mengatakan bahwa ia hanya mengakui Radha sebagai ibunya dan tetap memihak Kurawa. Karna juga mengatakan, bahwa ia hanya mau membunuh Arjuna, bukan Pandawa yang lain. Berguru



pada



Parasurama



Karena ingin menjadi seorang kesatria, Karna berguru kepada Parasurama. Parasurama adalah seorang BrahmanaKshatriya yang sudah sangat berpengalaman dalam ilmu peperangan, dan sudah berumur panjang, dari zaman Treta Yuga (zaman Ramayana) sampai zaman Dwapara Yuga (zaman Mahabharata). Parasurama memiliki pengalaman yang buruk dengan kasta ksatria, dan sejak itu ia enggan untuk mengajar para kesatria. Karna yang sebenarnya seorang kesatria, menyamar sebagai seorang brahmana agar mendapat pendidikan dari Parasurama. Pada suatu hari, saat Parasurama ingin beristirahat, Karna melayaninya dengan membiarkan sang guru tertidur di pahanya. Ketika Parasurama sedang tertidur, datanglah seekor serangga menggigit kaki Karna. Karna tidak ingin membiarkan gurunya terbangun, maka ia biarkan serangga tersebut mengigit kakinya. Darah segar mengucur dari kaki Karna, namun ia tidak bergeming. Saat Parasurama terbangun, ia terkejut karena melihat kaki Karna mengeluarkan banyak darah. Ia kemudian bertanya pada Karna, kenapa ia tidak mengusir laba-laba tersebut dan membiarkan serangga itu mengigit kakinya. Karna menjawab, bahwa ia tidak ingin membiarkan gurunya terbangun. Parasurama berkata, “Kekuatan seperti itu hanya dimiliki oleh kaum kesatria, dan bukan seorang brahmana. Engkau telah berbohong kepadaku dengan menyamar sebagai anak brahmana. Aku mengutukmu agar kelak segala ilmu yang



kuberikan



kepadamu



tidak



akan



berguna



saat



kau



sangat



membutuhkannya”.



Setelah menerima kutukan tersebut, Karna sedih dan meninggalkan asrama gurunya dengan hati hancur. Setelah berjalan tanpa tujuan, Karna duduk di tepi pantai sambil termangu-mangu memikirkan jati dirinya. Dia duduk di sana untuk beberapa lama, kemudian bangun lalu pergi. Ketika ia kembali ke tempat tersebut, ia melihat sesosok binatang yang berlalu cepat sekali. Karena ia merasa bahwa hewan tersebut adalah seekor rusa, ia melepaskan anak panahnya ke arah sosok tersebut. Ketika ia mendekatinya, ia terkejut bahwa yang dipanahnya bukanlah seekor rusa, melainkan sapi milik seorang brahmana. Karna meminta ma’af kepada si pemilik sapi sebab ia telah ceroboh, tetapi brahmana itu tida memafkannya, malah sebaliknya menjadi sangat marah. Brahmana tersebut berkata, “Apabila engkau berperang melawan musuhmu yang hebat, roda keretamu akan terjerembab ke tanah. Dan karena engkau telah membunuh sapiku yang sedang lengah, engkau juga akan dibunuh oleh musuhmu sangat engkau lengah”. Setelah mendengar kutukan yang ditujukan kepadanya, Karna lunglai. Lalu ia pulang menemui Radha, ibu yang sangat dicintainya. Di sana ia menceritakan segala kisah sedih yang menimpa dirinya. Akhirnya Karna bertekad bahwa ia akan pergi mengadu nasib di Hastinapura, ibukota kerajaan para keturunan Kuru. Penobatan



sebagai



Raja



Angga/Awangga



Di Hastinapura diadakan pertandingan dan adu kekuatan untuk menunjukkan bahwa pendidikan para pangeran di sana sudah berhasil. Karna yang percaya diri datang ke stadion dimana pertandingan diadakan dan menantang Arjuna ketika Arjuna sedang menunjukkan kepandaiannya dalam ilmu memanah. Para hadirin yang ada di stadion



heran melihat Karna yang berani menantang Arjuna, kesatria bangsa Kuru. Saat melihat Karna, Kunti menjadi lunglai. Arjuna menerima tantangan Karna untuk menunjukkan yang terbaik. Ketika kedua kesatria bersiap-siap, Krepa naik ke atas panggung dan menanyakan identitas Karna. Ia juga berkata bahwa Karna boleh bertanding dengan Arjuna apabila mereka sederajat. Setelah mendengar kata-kata Krepa, Karna diam dan menunduk malu sebab ia merupakan seorang anak kusir. Duryudana yang bersimpati, berdiri dan berkata, “Guruku, keberanian bukanlah milik para kesatria saja. Tetapi kalau Arjuna ini dijadikan patokan bahwa seorang kesatria harus bertarung dengan kesatria, maka keinginanmu akan kupenuhi. Kami akan menobatkan pendatang baru itu sebagai Raja Angga/Awangga,



sebab



kerajaan



itu



belum



memiliki



raja”.



Akhirnya pada saat itu juga, Karna dinobatkan menjadi Raja Angga/Awangga. Para brahmana membacakan wedaweda dan Duryudana memberi mahkota, pedang, dan air penobatan kepada Karna. Karna terharu dengan kemurahan hati Duryodana. Balasan yang diinginkan oleh Duryudana hanyalah persahabatan yang kekal. Semenjak persahabatan itu terjalin, Yudistira merasa cemas sebab kekuatan sepupunya yang jahat (Korawa) menjadi semakin kuat karena dibantu oleh Karna, kesatria yang setara dengan Arjuna. Penolakan



Drupadi



Pada saat Karna sudah cukup dewasa, ia mengikuti sebuah sayembara di Kerajaan Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan puteri Drupadi. Para Pandawa turut serta dalam sayembara tersebut, namun mereka menyamar dengan pakaian kaum brahmana. Sebuah ikan dari kayu dipasang pada sebuah cakram berputar di atas arena, di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan tersebut. Para hadirin yang mengikuti sayembara harus menembak



mata



ikan



yang



berputar



tersebut



hanya



dengan



melihat



pantulannya



di



bawah



kolam.



Banyak kesatria yang gagal melakukannya, hingga Karna tampil ke muka. Ia memusatkan pikirannya pada bayangan ikan tersebut dan mengarahkan panahnya ke atas, namun pandangannya ke bawah, tertuju pada bayangan ikan yang terpantul pada air kolam. Kemudian Karna melepaskan panahnya dan menembus mata ikan tersebut. Sesuai dengan aturan, Karna berhasil memenangkan sayembara tersebut dan Drupadi berhak menjadi istrinya. Namun Drupadi menolak hasil sayembara tersebut, karena ia tidak mau menikah dengan Karna yang seorang anak kusir. Mendengar hal itu, Karna menjadi sakit hati dan menerima keputusan tersebut, namun dalam hatinya ia sangat marah. Beberapa versi mengatakan bahwa Karna tidak mampu untuk menaklukkan tantangan tersebut, hanya Arjuna yang sangggup melakukannya. Peran



Karna



dalam



Bharatayuddha



Kresna mengetahui bahwa Karna adalah Pandawa sulung, namun lain ayah. Dan semua tahu bahwa Karna-lah pemilik Panah Kunta. Kresna sempat ingin membuat Karna memihak Pandawa pada Bharatayuddha mendatang dan ia mengatur sebuah pertemuan rahasia antara Karna dan ibunya Kunti. Karna pun memelas setelah ia melihat ibunya menangis namun ia menganjurkan ibunya untuk tetap tegar karena ia melakukan kewajiban bela negara. Ia



juga memberi tahu ibunya bahwa selain dia berkorban demi negara, ia juga akan menyelamatkan para Pandawa lima karena ia tidak akan menggunakan panah Kunta untuk membunuh Arjuna dan saat ia berperang dengan Arjuna dia memastikan bahwa Arjuna tidak tahu bahwa Karna adalah kakaknya sendiri sehingga tidak segan membunuhnya. Pada perang Bharatayuddha, ia membunuh Gatotkaca dan hampir membunuh Arjuna. Tetapi Arjuna menang bertanding dan Karna pun gugur. Baru setelah Karna gugur, para Pandawa mengetahui asal usulnya dan mereka sangat terpukul oleh hal ini. Karna



dalam



pewayangan



Jawa



Karna dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama. Kelahiran Ibu dari Karna dan Panca Pandawa yaitu Kunti, pernah mencoba sebuah aji pada masa kecilnya untuk memanggil seorang Dewa. Yang dipanggilnya adalah Dewa Matahari (Surya) dan beliau membuatnya hamil. Puteranya akan keluar dari telinga untuk menjaga keperawanan Kunti, maka dinamakannya Karna. Nama-nama Karna lainnya berhubungan dengan statusnya sebagai putera Dewa Matahari, yaitu Arkasuta, Suryatmaja dan lain sebagainya. Oleh ibunya, Karna dihanyutkan di sungai sampai ia ditemukan oleh Prabu Radeya dan diangkat anak, sayangnya kerajaan Prabu Radeya tunduk kepada Hastinapura dan ia dibesarkan oleh seorang sais prabu Dretarastra, yang bernama Nandana atau Adirata. Oleh Adirata, Karna kemudian diberi nama Aradea. Nama itu digunakan Karna sampai



dewasa,



hingga



ia



mengetahui



identitas



diri



yang



sesungguhnya.



Meskipun Karna masih saudara seibu dengan Yudistira, Werkodara (Bima), dan Arjuna, tetapi para Pandawa tidak mengetahuinya sampai ia gugur di perang Bharatayuddha, sehingga mereka suka menghinanya. Kemahiran Karna sangat mahir menggunakan senjata panah. Kesaktiannya setara dengan Arjuna. Ia mempunyai panah andalan bernama Kunta. Suatu ketika, ketika terjadi uji tanding antara Korawa dengan Pandawa sebagi murid-murid Drona, Karna berhasil menandingi kesaktian Arjuna. Namun karena Karna bukan raja atau anak raja maka beliau diusir dari arena. Karena mengetahui kesaktiannya, maka Duryodana, ketua para Korawa mengangkatnya menjadi Raja



Awangga.



Sejak



itu



Karna



bersumpah



setia



kepada



Duryodana.



Senjata andalannya, yaitu panah Kunta adalah pemberian Batara Narada sebab beliau mengira bahwa Karna adalah Arjuna karena kemiripannya. Panah tersebut adalah senjata yang paling ampuh, bahkan melebihi Cakra milik Prabu Kresna dan panah Pasupati Arjuna, namun untungnya hanya sekali pakai. Sarung dari panah tersebut yang masih disimpan Batara Narada kemudian dititpkan ke Bima untuk diberikan ke Arjuna adalah saat para pandawa mengetahui bahwa Batara Narada salah alamat. Sarung dari Kunta tersebut kemudian dipakai untuk memutus tali pusar bayi Tetuka alias Gatotkaca.



Kesaktian Karna dilahirkan memakai anting-anting dan baju kebal pemberian ayahnya (Batara Surya). Kunti, ibunya, mengenal dirinya saat adu ketrampilan murid-murid Dorna karena melihat anting-anting tersebut. Selama memakai kedua benda ini Karna tidak akan mati oleh senjata apapun. Hal ini diketahui oleh Batara Indra yang sangat menyayangi Arjuna. Oleh karena itu beliau meminta benda tersebut dengan menyamar sebagai seorang pengemis. Batara Surya mendahuluinya dengan menemui Karna terlebih dulu dan memperingatkan Karna. Tapi Karna menganggap mati dalam perang tanding lebih terhormat daripada panjang umur. Batara Surya kemudian menyarankan Karna untuk meminta senjata ampuh sebagai kompensasi atas kedua benda tersebut. Hal ini disanggupi Karna. Ketika pengemis itu datang, Karna langsung mengenalinya dan memberi hormat dan pengemis itu berubah kembali menjadi Batara Indra. Sebagai kompensasi, Batara Indra memberi senjata Kunta kepada Karna.



December 24, 2007



Kaniraras - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kangsadewa - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kandihawa - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kanastren - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kamajaya - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kalmasapada - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kalimantara - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kalantaka - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kalanjaya - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kalakarna - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kalabendana - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kala - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Kala Pracona - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Kakrasana - Solo Posted by topmdi under Aksara K, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Jungkung Mardeya - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Jembawati - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Jembawan - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Jayawilapa - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Jayasemedi - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Jayadrata - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



Dalam wiracarita Mahabharata, Jayadrata (Sansekerta: Jayadratha) adalah seorang raja di Kerajaan Sindhu. Dia menikahi Dursala, adik perempuan Kurawa bersaudara. Jayadrata merupakan tokoh penting di balik pembunuhan Abimanyu. Ia menghadang para ksatria Pandawa saat mereka berusaha menyelamatkan Abimanyu. Atas kematian Abimanyu, Arjuna berusaha membunuh Jayadrata. Akhirnya pada Bharatayuddha hari keempat belas, Jayadrata gugur di tangan Arjuna. Anugerah



Siwa



Jayadrata menghina Drupadi, istri para Pandawa, karena berusaha menculik dan mengawininya. Setelah Arjuna memburu dan menangkapnya hidup-hidup, nyawanya diselamatkan oleh Yudistira, dan ia dijadikan budak. Kemudian Bima mencukur rambutnya sehingga Jayadrata botak. Karena dendam terhadap perlakuan tersebut, Jayadrata melakukan tapa ke hadapan Siwa. Ia memohon kekuatan untuk menaklukkan Pandawa, namun Siwa mengatakan



bahwa itu hal yang mustahil – namun ia menganugerahkan Jayadrata agar mampu mengalahkan seluruh Pandawa bersaudara pada hari pertama – kecuali Arjuna. Maka, akhirnya Arjuna berhasil mengalahkan Jayadrata. Perang



di



Kurukshetra



Raja Sindhu – Jayadrata – memihak Duryodana dalam perang di Kurukshetra. Pada hari ketiga belsa, Jayadrata menggunakan kekuatannya ketika menghentikan Pandawa di dekat formasi Cakrawyuha yang sulit ditembus, yang dimasuki oleh Abimanyu – putera Arjuna. Di dalam formasi tersebut, Abimanyu bertarung sendirian. Ia dikepung oleh para ksatria Kurawa dan terdesak, sementara ksatria-ksatria Pandawa yang ingin menyelamatkan Abimanyu dihadang



oleh



Jayadrata.



Saat



terjebak



dan



kesusahan,



Abimanyu



dibunuh



dengan



curang.



Arjuna terkejut dan pingsan setelah mendengar kematian Abimanyu. Atas penjelasan para ksatria Pandawa, Abimanyu dikurung dalam formasi Cakrawyuha dan dibunuh dengan serangan serentak. Beberapa ksatria ingin membantu dan menyelamatkan Abimanyu, namun dihadang oleh Jayadrata. Mendengar hal itu, Arjuna bersumpah bahwa ia akan membakar dirinya sendiri pada akhir hari keempat belas apabila ia tidak berhasil membunuh Jayadrata. Dendam



Arjuna



Pada hari keempat belas, Arjuna berencana untuk membunuh Jayadrata. Namun ribuan ksatria dan prajurit dari pihak Kurawa melindungi Jayadrata dan memisahkannya dengan Arjuna. Sampai hari menjelang sore, Arjuna belum berhasil menjangkau Jayadrata dan membunuhnya, dan apabila setelah malam tiba Arjuna belum berhasil membunuh Jayadrata maka ia akan membakar dirinya sendiri. Kresna yang melihat Arjuna dalam kesusahan mencoba membantunya dengan membuat gerhana matahari buatan. Saat suasana menjadi gelap, pihak yang bertarung merasa bahwa perang pada hari itu sudah berakhir karena malam sudah tiba. Pasukan Kurawa yang melindungi Jayadrata pulang ke kemah mereka. Pada saat Jayadrata tak terlindungi, matahari muncul kembali dan ternyata hari belum malam. Pada kesempatan itu, Arjuna menyuruh Kresna agar menjangkau Jayadrata. Saat mendekat, ia melepaskan anak panahnya dan memutuskan leher Jayadrata. Riwayat



selanjutnya



Setelah perang berakhir, Arjuna bertarung dengan pasukan Sindhu ketika mereka menolak untuk mengakui Yudistira sebagai Maharaja dunia. Ketika Dursala, istri Jayadrata, keluar untuk melindungi puteranya, yaitu raja muda penerus tahta Sindhu, Arjuna menghentikan pertarungan. Jayadrata



dalam



pewayangan



Jawa



Antara kisah Jayadrata dalam kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan terjadi di pulau Jawa.



Riwayat Jayadrata adalah seorang ksatria yang sangat sakti dari pihak Kurawa. Misteri menyelubungi asal usulnya. Kisahnya bermula ketika Wrekudara lahir, ari-ari yang membungkusnya dibuang. Pertapa tua, yaitu Bagawan Sapwani, secara kebetulan memungutnya, mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang bocah lelaki, yang tumbuh dewasa dengan nama Jayadrata. Dari pandangan sekilas saja tampak jelas kemiripan kekerabatan dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden Gatotkaca. Ketika Jayadrata beranjak dewasa, ia dibujuk untuk datang ke Hastina oleh Sangkuni yang cerdik, yang memandang perlu seorang sekutu yang seperti itu untuk melawan Pandawa. Di sana Jayadrata diberi suatu kedudukan yang tinggi dan dikawinkan dengan saudara perempuan Duryodana, Dewi Dursilawati. Hal ini mengikatnya dengan kuat pada pihak Kiri. Dalam Perang Bharatayuddha, dialah yang membunuh ksatria muda Abimanyu, dan setelah itu pada gilirannya ia dibunuh oleh Arjuna yang kehilangan anaknya. Karakter Jayadrata adalah jujur, setia, dan terus terang bagaikan Gatotkaca di antara Kurawa. Ia mahir mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia diberi pusaka gada bernama Kyai Glinggang. Jayadrata nama sesungguhnya adalah Arya Tirtanata atau Bambang Sagara. Arya Tirtanata kemudian dinobatkan sebagai raja negara Sindu, dan bergelar Prabu Sinduraja. Karena ingin memperdalam pengetahuannya dalam bidang tata pemerintahan dan tata kenegaraan, Prabu Sinduraja pergi ke negara Hastina untuk berguru pada Prabu Pandu Dewanata. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri, ia menukar namanya dengan nama patihnya, Jayadrata. Di negara Hastina Jayadrata bertemu dengan Keluarga Kurawa, dan akhirnya diambil menantu Prabu Dretarastra, dikawinkan dengan Dewi Dursilawati dan diangkat sebagai Adipati Buanakeling. Dari perkawinan tersebut



ia



memperoleh



dua



orang



putra



bernama



Arya



Wirata



dan



Arya



Surata.



Jayadrata gugur di tangan Arjuna di medan perang Bharatayuddha sebagai senapati perang Kurawa. Kepalanya terpangkas lepas dari badannya oleh panah sakti Pasupati



December 24, 2007



Jatayu - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Jatasura - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Jatagini - Solo



Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Jatagimbal - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Jarasanda - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Jarameya - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Janget Kinatelon - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Janaka - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Jambumangli - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Jamadagni - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Jakapuring - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Jaka Pengalasan - Solo Posted by topmdi under Aksara J, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Irawan - Solo Posted by topmdi under Aksara I, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Indrajit - Solo Posted by topmdi under Aksara I, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Hiranyakasipu - Solo Posted by topmdi under Aksara H, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Hartadriya - Solo Posted by topmdi under Aksara H, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Hamso - Solo Posted by topmdi under Aksara H, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Guwarsa - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Guru [Bhatara] w/ reca - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Gunadewa - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Gotama - Solo



Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Gorawangsa - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Gendari - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Gathutkaca - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Garuda - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Gareng w/ wregul - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Gardapati - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Gangga - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Gandawati - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Gandamana - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Gandabayu - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Gana - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Gagakbaka - Solo Posted by topmdi under Aksara G, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Ekawati - Solo Posted by topmdi under Aksara E, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Endra - Solo Posted by topmdi under Aksara E, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Emban - Solo Posted by topmdi under Aksara E, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Ekalaya - Solo Posted by topmdi under Aksara E, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Dwara Patih - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Dwapara - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Duryudana - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Duryudana Bokongan - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Duryudana (Sansekerta: Duryodhana) atau Suyodana adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata, musuh utama para Pandawa. Duryudana merupakan inkarnasi dari Iblis Kali. Ia lahir dari pasangan Dretarastra dan Gandari. Duryudana merupakan saudara yang tertua di antara seratus Korawa. Ia menjabat sebagai raja



di



Kerajaan



Kuru



dengan



pusat



pemerintahannya



di



Hastinapura.



Duryudana menikah dengan puteri Prabu Salya dan mempunyai putera bernama Laksmana (Laksmanakumara). Duryudana digambarkan sangat licik dan kejam, meski berwatak jujur, ia mudah terpengaruh hasutan karena tidak berpikir panjang dan terbiasa dimanja oleh kedua orangtuanya. Karena hasutan Sangkuni, yaitu pamannya yag licik dan berlidah tajam, ia dan saudara-saudaranya senang memulai pertengkaran dengan pihak Pandawa. Dalam perang Bharatayuddha, bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima pada pertempuran di hari kedelapan belas karena pahanya dipukul dengan gada.



Arti



nama



Secara harfiah, nama Duryudana dalam bahasa Sansekerta memiliki arti “sulit ditaklukkan” atau dapat pula berarti “tidak terkalahkan”. Kelahiran Saat Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaan frustasi dn cemburu terhadap Kunti, yang telah memberikan Pandu tiga orang putera. Atas tindakannya, Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan. Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakti, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari. Kemudian Byasa memotong gumpalan daging tersebut menjadi seratus bagian, dan memasukkannya ke dalam pot. Kemudian pot-pot tersebut ditanam di dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, pot tersebut digali kembali. Yang pertama kali dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryudana, diiringi oleh Dursasana, dan adik-adiknya yang lain. Tanda-tanda yang buruk mengiringi kemunculannya dari dalam pot. Para brahmana di keraton merasakan adanya tanda-tanda akan bencana yang buruk. Widura mengatakan bahwa jika tanda-tanda seperti itu mengiringi kelahiran putranya, itu tandanya kekerasan akan mengakhiri dinasti tersebut. Widura dan Bisma menyarankan agar putera tersebut dibuang, namun Dretarastra tidak mampu melakukannya karena rasa cinta dan ikatan emosional terhadap putera pertamanya itu. Pendidikan Tubuh Duryudana dikatakan terbuat dari petir, dan ia sangat kuat. Ia dihormati oleh adik-adiknya, khususnya Dursasana. Dengan belajar ilmu bela diri dari gurunya, yaitu Krepa, Drona dan Balarama atau Baladewa, ia menjadi sangat kuat dengan senjata gada, dan setara dengan Bima, yaitu Pandawa yang kuat dalam hal tersebut. Persahabatan



dengan



Karna



Saat para Korawa dan Pandawa unjuk kebolehan saat menginjak dewasa, munculah sesosok ksatria gagah perkasa yang mengaku bernama Karna. Ia menantang Arjuna yang disebut sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Namun Krepa mengatakan bahwa Karna harus mengetahui kastanya, agar tidak sembarangan menantang seseorang yang tidak setara. Duryudana membela Karna, kemudian mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga. Semenjak saat itu, Duryudana bersahabat dengan Karna. Baik Karna maupun Duryudana tidak mengetahui, bahwa Karna sebenarnya merupakan putera Kunti. Karna juga merupakan harapan Duryudana agar mampu meraih kemenangan saat Bharatayuddha berlangsung, karena Duryudana percaya bahwa Karna adalah lawan yang sebanding dengan Arjuna. Perebutan



kerajaan



Duryudana memiliki sifat iri hati terhadap kekayaan Yudistira serta kemegahannya di Indraprastha. Terlebih lagi kepada para Pandawa lainnya yang selalu membuat hatinya jengkel. Berbagai usaha ingin dilakukannya untuk



menyingkirkan para Pandawa, namun selalu gagal berkat perlindungan Kresna. Duryudana memiliki seorang paman bernama Sangkuni. Sifatnya sangat licik dan senang melontarkan ide-ide buruk untuk mempengaruhi keponakannya tersebut. Saat Duryudana datang berkunjung ke Istana Indraprastha, ia terkagum-kagum dengan kemegahan istana tersebut. Saat memasuki sebuah ruangan, ia mengira sebuah kolam sebagai lantai. Tak pelak lagi ia tercebur. Kejadian tersebut disaksikan oleh Dropadi. Ia tertawa terpingkal-pingkal dan menghina Duryudana. Ia mengatakan bahwa anak orang buta ternyata ikut buta juga. Mendengar hal itu, Duryudana sangat sakit hati. Dalam hati, ia marah besar terhadap



Dropadi.



Setelah pulang dari Indraprastha, Duryudana termenung memikirkan bagaimana cara mendapatkan harta Yudistira. Melihat keponakannya murung, Sangkuni menawarkan ide licik untuk mengajak Yudistira main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Niat tersebut disetujui oleh Duryudana, termasuk Dretarastra yang terkena rayuan dan hasutan Sangkuni yang berlidah tajam. Pada hari yang dijanjikan, Yudistira bermain dadu dengan Duryudana yang diwakilkan oleh Sangkuni. Di awal permainan, Sangkuni membiarkan Yudistira menikmati kemenangan, namun pada pertengahan permainan, kemenangan terus dimenangkan oleh Sangkuni berkat kelicikannya. Akhirnya Yudistira menyerahkan



harta,



kerajaan,



bahkan



adik-adiknya



sendiri,



termasuk



Dropadi,



istrinya.



Saat Dropadi disuruh untuk menanggalkan bajunya karena Yudistira sudah kalah taruhan, ia tidak mau melakukannya. Dengan kasar Dursasana menarik kain Dropadi. Namun berkat pertolongan gaib dari Kresna, kain yang dikenakan Dropadi tidak habis meski terus-menerus ditarik dan diulur-ulur. Akhirnya Bima bersumpah bahwa ia akan memukul paha Duryudana kelak, karena Duryudana menghina Dropadi dengan menyuruh waniat tersebut berbaring di atas pahanya. Pertempuran



di



Kurukshetra



Saat Yudistira dan Pandawa lainnya sudah menjalankan masa pembuangan selama 12 tahun dan masa penyamaran selama setahun, mereka kembali ke Hastinapura dan meminta kembali kerajaan mereka sesuai dengan perjanjian yang sah. Namun Duryudana bersikap sombong dan menolak permohonan Yudistira mentah-mentah. Yudistira kemudian meminta agar mereka diberikan lima buah desa saja, karena sudah merupakan kewajiban Pandawa untuk turut serta dalam pemerintahan sebagai pangeran Kerajaan Kuru. Duryudana pun bersikeras bahwa ia tidak akan mau memberikan tanah kepada Pandawa bahkan seluas ujung jarum pun. Duryudana menantang Pandawa



untuk



melakukan



peperangan.



Sebelum pertempuran dimulai, Kresna datang ke hadapan Duryudana dan sesepuh Kerajaan Kuru seperti Dretarastra, Widura, Bisma, dan Drona. Ia datang untuk menyampaikan misi perdamaian. Namun usul Kresna ditolak juga oleh Duryudana. Dalam kesempatan tersebut, ia memiliki niat jahat untuk menculik Kresna. Namun Kresna mengetahui niat jahat Duryudana tersebut dan menampakkan wujud aslinya. Dengan gagalnya usaha Kresna, peperangan



tak



dapat



dipungkiri



lagi.



Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Duryudana didampingi ksatria-ksatria kuat dan dengan segenap tenaga melindunginya, seperti misalnya Bisma, Drona, Karna, Aswatama, Salya, dan lain-lain. Ia menggantungkan



harapannya untuk meraih kemenangan kepada Bisma dan Karna, karena mereka adalah ksatria yang unggul dan setara, atau bahkan melebihi Arjuna. Karna yang bersumpah setia akan selalu memihak Duryudana, berusaha memberikan yang terbaik bagi sahabatnya tersebut. Namun satu-persatu ksatria besar yang memihak Duryudana, gugur di medan laga dalam usaha membela Raja Hastinapura tersebut, termasuk ksatria yang sangat diharapkan Duryudana, yaitu Bisma dan Karna. Begitu pula saudara-saudaranya, seperti misalnya Dursasana, Wikarna, Bima, Citraksa,



dan



lain-lain.



Akhirnya, hanya beberapa ksatria besar di pihak Kurawa masih bertahan hidup, seperti misalnya Kretawarma, Krepa, Aswatama, dan Salya. Pada pertempuran di hari kedelapan belas, ia mengangkat Salya sebagai senapati pihak Korawa, namun pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Menjelang akhir peperangan tersebut, Duryudana mulai merasa cemas akan kekalahannya. Anugerah Gandari Ratu Gandari yang sedih dengan kematian putera-putranya, merasa cemas dengan Duryudana, putera satu-satunya yang masih bertahan hidup dalam peperangan. Agar puteranya tersebut mencapai kemenangan, ia memberikan sebuah kekuatan ajaib. Kekuatan tersebut berasal dari kedua matanya yang ia tutup. Jika kekuatan tersebut dilimpahkan kepada tubuh Duryodna, maka ia akan kebal terhadap berbagai macam serangan. Ia menyuruh Duryudana



agar



mandi



dan



memasuki



tenda



dalam



keadaan



telanjang.



Saat Duryudana ingin menghadap ibunya, ia berpapasan dengan Kresna yang baru saja datang mengunjungi ibunya. Kresna mencela dan mengejek Duryudana yang mau datang ke hadapan ibunya sendiri dalam keadaan telanjang.



Karena



malu,



Duryudana



menutupi



bagian



bawah



perutnya,



termasuk



bagian



pahanya.



Saat Duryudana memasuki tenda, Gandari sudah menunggunya, kemudian wanita itu membuka penutup matanya. Saat matanya terbuka, kekuatan ajaib dilimpahkan ke tubuh Duryudana. Namun ketika Gandari melihat bahwa Duryudana menutupi bagian bawah perutnya, ia berkata bahwa bagian tersebut tidak akan kebal dari serangan musuhnya karena bagian tersebut ditutupi saat Gandari melimpahkan kekuatan ajaibnya. Pertempuran



terakhir



dan



kematian



Saat Duryudana bertarung sendirian dengan Pandawa, Yudistira mengajukan tawaran, bahwa ia harus bertarung dengan salah satu Pandawa, dan jika Pandawa itu dikalahkan, maka Yudistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryudana. Duryudana memilih bertarung dengan senjata gada melawan Bima. Kedua-duanya memiliki kemampuan yang setara dalam memainkan senjata gada karena mereka berdua menuntut ilmu kepada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan terjadi dengan sengit, keduanya sama-sama kuat dan sama-sama ahli bergulat dan bertarung dengan senjata gada. Setelah beberapa lama, Duryudana mulai berusaha untuk membunuh Bima. Pada waktu itu, Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya bahwa ia akan mematahkan paha Duryudana karena perbuatannya yang melecehkan Dropadi. Atas petunjuk Kresna tersebut, Bima mengingat sumpahnya kembali dan langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryudana. Setelah pahanya dipukul dengan keras, Duryudana tersungkur dan roboh. Ia mulai mengerang kesakitan, sebab bagian tubuhnya yang tidak kebal telah dipukul oleh Bima. Saat



Bima ingin mengakhiri riwayat Duryudana, Baladewa datang untuk mencegahnya dan mengancam bahwa ia akan membunuh Bima. Baladewa juga memarahi Bima yang telah memukul paha Duryudana, karena sangat dilarang untuk



memukul



bagian



itu



dalam



pertempuran



dengan



senjata



gada.



Kresna kemudian menyadarkan Baladewa, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi Bima untuk menunaikan sumpahnya. Kresna juga membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Duryudana. Duryudana lebih banyak melanggar aturan-aturan perang daripada Bima. Ia melakukan penyerangan secara curang untuk membunuh Abimanyu. Ia juga telah melakukan berbagai perbuatan curang agar Indraprastha jatuh ke tangannya. Duryudana gugur dengan perlahan-lahan pada pertempuran di hari kedelapan belas. Hanya tiga ksatria yang bertahan hidup dan masih berada di pihaknya, yaitu Aswatama, Krepa, dan Kretawarma. Setelah Duryudana gugur, ia masuk neraka, namun kemudian menikmati kesenangan di surga karena ia gugur di Kurukshetra, tanah suci yang diberkati. Pandangan



lain



Dalam pandangan para sarjana Hindu masa kini, Duryudana merupakan raja yang kuat dan cakap, serta memerintah dengan adil, namun bersikap licik dan jahat saat berusaha melawan saudaranya (Pandawa). Seperti Rawana, Duryudana sangat kuat dan berjaya, dan ahli dalam ilmu agama, namun gagal untuk mempraktekkannya dalam kehidupan. Namun kebanyakan umat Hindu memandangnya sebagai orang jahat yang suka mencari masalah. Duryudana juga merupakan salah satu tokoh yang sangat menghormati orangtuanya. Meskipun dianggap bersikap jahat, ia tetap menyayangi ibunya, yaitu Gandari. Setiap pagi sebelum berperang ia selalu mohon do’a restu, dan setiap kali ia berbuat demikian, ibunya selalu berkata bahwa kemenangan hanya berada di pihak yang benar. Meskipun jawaban tersebut mengecilkan hati Duryudana, ia tetap setia mengunjungi ibunya setiap pagi. Di wilayah Kumaon di Uttranchal, beberapa kuil yang indah ditujukan untuk Duryudana dan ia dipuja sebagai dewa kecil. Suku Kumaon di pegunungan memihak Duryudana dalam Bharatayuddha. Ia dipuja sebagai pemimpin yang cakap dan dermawan.



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Dursilawati - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Dursasana - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Dursasana atau Duhsasana (ejaan Sansekerta: Duśśāsana) merupakan adik dari Duryodana, salah seorang Korawa yang cukup terkenal. Ia putra Prabu Dretarasta dengan Dewi Gandari. Badannya gagah, mulutnya lebar dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, menggoda wanita dan senang menghina orang lain. Ia mempunyai seorang istri bernama Dewi Saltani, dan berputra satu orang yakni Dursala. Arti



nama



Nama Dursasana terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu dur atau duh, dan śāsana. Secara harfiah, kata Dusśāsana memiliki arti “sulit untuk dikuasai” atau “sulit untuk diatasi”. Kelahiran Saat Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaan frustasi dan cemburu terhadap Kunti, yang telah memberikan Pandu tiga orang putera. Atas tindakannya, Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan. Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakti, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari. Kemudian Byasa memotong gumpalan daging



tersebut menjadi seratus bagian, dan memasukkannya ke dalam pot. Kemudian pot-pot tersebut ditanam di dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, pot tersebut digali kembali. Yang pertama kali dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan adik-adiknya yang lain. Pelecehan



Dropadi



Saat Yudistira kalah main dadu dengan Duryodana, Dropadi yang menjadi taruhannya jatuh ke tangan Duryodana. Duryodana mengutus pengawalnya untuk menjemput Dropadi, namun Dropadi menolak. Kemudian Duryodana mengutus adiknya sendiri, yaitu Dursasana. Dengan kasar ia datang ke kediaman Dropadi kemudian menjambak rambut Dropadi serta menyeretnya sampai di arena dadu, dimana suami beserta ipar-iparnya berkumpul. Kemudian Duryodana menyuruh Pandawa dan Dropadi untuk menanggalkan pakaian mereka sebab harta mereka sudah menjadi



milik



Duryodana.



Dropadi yang menolak untuk melepaskan pakaiannya, dipaksa oleh Dursasana. Dropadi memuja-muja Tuhan agar mendapatkan pertolongan. Kemudian Kresna muncul secara gaib (kasat mata) dan memberi keajaiban kepada pakaian Dropadi agar kain yang dikenakannya tidak habis-habis meski ditarik terus-menerus. Saat Dursasana menarik pakaian Dropadi dengan paksa, kain sari yang melilit di tubuhnya tidak habis-habis meski terus diulur-ulur. Akhirnya



Dursasana



merasa



lelah



dan



pakaian



Dropadi



tidak



berhasil



dilepas.



Atas tindakan tersebut, Bima bersumpah bahwa kelak ia akan membunuh Dursasana, merobek dadanya, dan meminum darahnya. Kematian Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Bima membunuh Dursasana, merobek dadanya, dan meminum darahnya. Kemudian Bima membawa darah Dursasana kepada Dropadi. Dropadi mengoleskan darah tersebut pada rambutnya, sebagai tanda bahwa dendamnya terbalas. Kemattian Dursasana mengguncang perasaan Duryodana. Ia sangat sedih telah kehilangan saudaranya yang tercinta tersebut. Semenjak itu ia bersumpah akan membunuh Bima. Dursasana



dalam



pewayangan



Jawa



Dursasana dikenal pula dalam khazanah pewayangan Jawa. Misalkan menurut cerita pedalangan Yogyakarta ia tewas dalam kisah Bratayuda babak 5 lakon Timpalan / Burisrawa Gugur atau lakon Jambakan / Dursasana Gugur. Menurut



tradisi



Jawa



ia



berkediaman



di



wilayah



Banjarjungut,



peninggalan



mertuanya.



Dalam kisah “Pandawa Dadu” (Sabhaparwa), Yudistira kalah bermain dadu sehingga kekayaan, keraton, saudarasaudara, dan istrinya telah berada dalam kekuasaan Korawa sebagai pembayaran taruhan. Dursasanalah yang paling bernafsu untuk menelanjangi Dropadi (istri Yudistira), sehingga Drupadi bersumpah akan menggulung rambutnya yang panjang jika telah keramas dengan darah dari Dursasana, begitu pula Bima bersumpah akan meminum



darah



Dursasana



Dursasana tewas di tangan Bima dalam perang Bharatayuddha.



sebelum



mati.



December 23, 2007



Dursala - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Durna - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Dalam wiracarita Mahabharata, Durna, Drona (Sansekerta : Droṇa) atau Dronacharya (Sansekerta: Droṇāchārya) adalah guru para Korawa dan Pandawa. Ia merupakan ahli mengembangkan seni pertempuran, termasuk devastras. Arjuna adalah murid yang disukainya. Kasih sayang Drona terhadap Arjuna adalah yang kedua jika dibandingkan dengan rasa kasih sayang terhadap puteranya, Aswatama. Kelahiran



dan



kehidupan



awal



Drona dilahirkan oleh seorang brahmin (kaum pendeta Hindu), putera dari pendeta Bharadwaja, di masa sekarang disebut Dehradoon (modifikasi dari kata dehra-dron, guci tanah liat), yang berarti bahwa ia (Drona) berkembang bukan



di



dalam



rahim,



namun



di



luar



tubuh



manusia,



yakni



dalam



Droon



(tong



atau



guci).



Kisah kelahiran Drona diceritakan secara dramatis dalam Mahabharata.[1] Bharadwaja pergi bersama rombongannya



menuju Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat bidadari yang sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta dikuasai nafsu, menyebabkannya mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Ia mengatur supaya air mani tersebut ditampung dalam sebuah pot yang disebut “drona”, dan dari cairan tersebut Drona lahir kemudian dirawat. Drona kemudian bangga bahwa ia lahir dari Bharadwaja tanpa pernah berada di dalam rahim. Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan, namun belajar agama dan militer bersama-sama dengan pangeran dari Panchala bernama Drupada. Drupada dan Drona kemudian menjadi teman dekat dan Drupada, dalam masa kecilnya yang bahagia, berjanji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Drona pada saat menjadi Raja



Panchala.



Drona menikahi Kripi, adik Kripa, guru di keraton para pangeran Hastinapura. Kripi dan Drona memiliki Aswatama sebagai putera. Belajar



kepada



Parasurama



Mengetahui bahwa Parasurama mau memberi pengetahuan yang dimilikinya kepada para brahmana, Drona mendatanginya. Sayangnya pada saat Drona datang, Parasurama telah memberikan segala miliknya kepada brahmana yang lain. Karena tersentuh oleh kesanggupan hati Drona, Parasurama memutuskan untuk memberikan pengetahuannya tentang ilmu peperangan kepada Drona.[1] Drona



dan



Drupada



Demi keperluan istri dan puteranya, Drona ingin bebas dari kemiskinan. Teringat kepada janji yang diberikan oleh Drupada, Drona ingin menemuinya untuk meminta bantuan. Tetapi, karena mabuk oleh kekuasaan, Raja Drupada menolak untuk mengakui Drona (sebagai temannya) dan menghinanya dengan mengatakan bahwa ia manusia rendah. Dalam Mahabarata, Drupada memberi penjelasan yang panjang dan sombong kepada Drona tentang masalah kenapa ia tidak mau mengakui Drona. Drupada berkata, “Persahabatan, adalah mungkin jika hanya terjadi antara dua orang dengan taraf hidup yang sama“. Dia berkata bahwa sebagai anak-anak, adalah hal yang mungkin bagi dirinya untuk berteman dengan Drona, karena pada masa itu mereka sama. Tetapi sekarang Drupada menjadi raja, sementara Drona berada dalam kemiskinan. Dalam keadaan seperti ini, persahabatan adalah hal yang mustahil. Tetapi ia berkata bahwa ia akan memuaskan hati Drona apabila Drona mau meminta sedekah selayaknya para Brahmin daripada mengaku sebagai seorang teman. Drupada menasihati Drona supaya tidak memikirkan masalah itu lagi dan ingin ia hidup menurut jalannya sendiri. Drona pergi membisu, namun di dalam hatinya ia bersumpah akan membalas dendam.[2] Legenda



Dronacharya



Legenda tentang Drona sebagai guru besar dan ksatria tak terbatas pada Mitologi Hindu saja, namun dengan kuatnya mempengaruhi tradisi sosial India. Drona memberi inspirasi perdebatan tentang moral dan dharma dalam Wiracarita Mahabharata.



Bola



dan



cincin



Drona pergi ke Hastinapura dengan harapan dapat membuka sekolah seni militer bagi para pangeran muda dengan memohon bantuan Raja Dretarastra. Pada suatu hari, ia melihat banyak anak muda, yaitu para Korawa dan Pandawa yang sedang mengelilingi sumur. Ia bertanya kepada mereka tentang masalah apa yang terjadi, dan Yudistira, si sulung, menjawab bahwa bola mereka jatuh ke dalam sumur dan mereka tidak tahu bagaimana cara mengambilnya



kembali.



Drona tertawa, dan menasihati mereka karena tidak berdaya menghadapi masalah yang sepele. Yudistira menjawab bahwa jika Sang Brahmin (Drona) mampu mengambil bola tersebut maka Raja Hastinapura pasti akan memenuhi segala keperluan hidupnya. Pertama Drona melempar cincin kepunyaannya, mengumpulkan beberapa mata pisau, dan merapalkan mantra Weda. Kemudian ia melempar mata pisau ke dalam sumur seperti tombak. Mata pisau pertama menancap pada bola, dan mata pisau kedua menancap pada mata pisau pertama, dan begitu seterusnya, sehingga



membentuk



sebuah



rantai.



Perlahan-lahan



Drona



menarik



bola



tersebut



dengan



tali.



Dengan keahliannya yang membuat anak-anak sangat terkesima, Drona merapalkan mantra Weda sekali lagi dan menembakkan mata pisau itu ke dalam sumur. Pisau itu menancap pada bagian tengah cincin yang terapung kemudian ia menariknya ke atas sehingga cincin itu kembali lagi. Karena terpesona, para bocah membawa Drona ke kota



dan



melaporkan



kejadian



tersebut



kepada



Bisma,



kakek



mereka.



Bisma segera sadar bahwa dia adalah Drona, dan keberaniannya yang memberi contoh, ia kemudian menawarkan agar Drona mau menjadi guru bagi para pangeran Kuru dan mengajari mereka seni peperangan. Kemudian Drona mendirikan sekolah di dekat kota, dimana para pangeran dari berbagai kerajaan di sekitar negeri datang untuk belajar di bawah bimbingannya.[3] Diskriminasi



kasta



Ekalawya adalah seorang pangeran muda dari suku Nishadha, yang datang mencari Drona karena minta diajari. Drona tidak mau menerimanya karena ia tidak berasal dari golongan Warna Kshatriya (kasta). Ekalawya tidak terkejut, kemudian memasuki hutan, dan ia mulai belajar dan berlatih sendirian, dengan sebuah patung tanah liat menyerupai Drona dan ia sembah. Dengan menyendiri, Ekalawya menjadi ksatria dengan kehebatan yang luar biasa, setara dengan Arjuna. Pada suatu hari, seekor anjing menggonggong saat ia serius melakukan latihan, dan tanpa melihat, sang ksatria menembakkan panah lalu menancap di mulut anjing tersebut. Para Pandawa melihat anjing itu lari, dan heran karena ada yang mampu melakukan perbuatan tersebut. Mereka melihat Ekalawya, yang mengaku bahwa ia adalah murid Drona. Drona kaget karena merasa tidak memiliki murid seperti Ekalawya. Kemudian Ekalawya menjelaskan bahwa setiap hari ia belajar dengan patung yang menyerupai Drona yang ia anggap sebagai guru. Karena merasa prestasi Arjuna akan tersaingi, Drona meminta agar Ekalawya mempersembahkan dakshina kepada sang guru sebagai tanda bahwa pelajarannya telah sempurna. Dakshina yang diminta Drona adalah ibu jari Ekalawya. Ekalawya pun memotong jarinya sendiri sehingga ia tidak bisa lagi menggunakan



senjata



panah.



Karna yang ingin belajar di bawah bimbingan Drona juga ditolak dengan alasan bahwa Karna tidak berasal dari kasta ksatria. Karena merasa terhina, Karna belajar kepada Parasurama dengan menyamar sebagai brahmana. Pembalasan



terhadap



Drupada



Saat para Korawa dan Pandawa menyelesaikan pendidikannya, Drona menyuruh agar mereka menangkap Raja Drupada yang memerintah Kerajaan Panchala dalam keadaan hidup-hidup. Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu mengerahkan tentara Hastinapura untuk menggempur Kerajaan Panchala, sementara Pandawa pergi ke Kerajaan Panchala tanpa angkatan perang. Arjuna menangkap Drupada dan membawanya ke hadapan Drona. Drona mengambil separuh dari wilayah kekuasaan Drupada, dan separuhnya lagi dikembalikan kepada Drupada. Dengan dendam membara, Drupada melaksanakan yajña untuk memohon anugerah seorang putera yang akan membunuh Drona dan seorang puteri yang akan menikahi Arjuna. Maka, lahirlah Drestadyumna, pembunuh Drona dalam Bharatayuddha, dan Dropadi, yang menikahi Arjuna dan para Pandawa. Pertempuran



di



Kurukshetra



Saat perang di Kurukshetra berkecamuk, Drona menjadi komandan pasukan Korawa. Ia merencanakan cara yang curang untuk membunuh Abimanyu pada pertempuran di hari ketiga belas. Kematian



Drona



Sebelum perang, Bagawan Drona pernah berkata, “Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya”. Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeraskerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, “Aswatama mati”. Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata: “naro va, kunjaro va” — “entah gajah atau manusia”). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha. Drona



dalam



pewayangan



Jawa



Riwayat hidup Drona dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama. Perlu digarisbawahi juga, bahwa kepribadian Drona dalam Mahabharata berbeda dengan versi pewayangan. Kepribadian Resi Drona berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan,



kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam siasat perang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Keris Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna). Riwayat Bhagawan Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana, putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Beliau adalah guru dari para Korawa dan Pandawa. Murid kesayangannya adalah Arjuna. Resi Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir



setengah



wilayah



negara



Pancala



dari



kekuasaan



Prabu



Drupada.



Dalam peran Bharatayuda Resi Drona diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Bisma. Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumena, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestadyumena. Akan tetapi sebenarnya adalah dikarenakan taktik perang yang dilancarkan oleh pihak Pandawa yang melancarkan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan sang Resi. Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah bagaimanapun saktinya sang resi, beliau sangat sayang terhadap keluarganya



sehingga



termakan



siasat



tipu



dalam



peperangan



yang



mengakibatkan



kematiannya.



Dalam perjalanannya mencari Sucitra, ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan berakhir bila ada seorang satria mencintainya dengan tulus. Karena pertolongannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda betina itu. Namun karena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu kuda), yang kemudian diberi



nama



Bambang



Aswatama.



Setelah bertemu Sucitra yang telah menjadi Raja bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik menghina Raja Drupada. Namun sang Mahapatih Gandamana] (dulu adalah Patih Hastinapura di bawah pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan yang tidak seimbang. Meskipun Kumbayana sangat sakti ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana yang memiliki Aji Bandung Bondowoso (ajian ini diturunkan pada murid tercintanya, Raden Bratasena)



yang



memiliki



kekuatan



setara



dengan



1000



gajah.



Kumbayana menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak seperti yang ada sekarang ini. Namun dia tidak mati dan ditolong oleh Sakuni yang bernasib sama (Baca sempalan Mahabharata yang berjudul Gandamana Luweng). Hingga akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya mendidik anak-anak Hastina (Pandawa dan Korawa).



December 23, 2007



Durmagati - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Durgandana - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Durga - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Druwasa - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Drupadi - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Dropadi atau Draupadi (Sansekerta: Draupadī) adalah salah satu tokoh dari Wiracarita Mahabharata. Ia adalah putri Prabu Drupada, Raja Kerajaan Panchala. Pada kitab Mahabharata versi aslinya, Dropadi adalah istri daripada para Pandawa lima semuanya. Tetapi dalam tradisi pewayangan Jawa di kemudian hari, ia hanyalah permaisuri prabu Yudistira saja. Arti



nama



Pada mulanya, Dropadi diberi nama “Kresna”, merujuk kepada warna kulitnya yang kehitam-hitaman. Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna secara harfiah berarti gelap atau hitam. Lambat laun ia lebih dikenal sebagai “Dropadi” (ejaan Sanskerta: Draupadī), yang secara harfiah berarti “puteri Drupada“. Nama “Pañcali” juga diberikan kepadanya, yang secara harfiah berarti “puteri Kerajaan Panchala“. Karena ia merupakan saudari dari Drestadyumna, maka ia juga disebut Yajñasenī.



Kelahiran Dropadi merupakan anak yang lahir dari hasil Putrakama Yadnya, yaitu ritual untuk memperoleh keturunan. Dalam kitab Mahabharata diceritakan bahwa setelah Drupada dipermalukan oleh Drona, ia pergi ke dalam hutan untuk merencanakan pembalasan dendam. Kemudian ia memutuskan untuk memperoleh seorang putera yang akan membunuh Drona, serta seorang puteri yang akan menikah dengan Arjuna. Atas bantuan dari Resi Jaya dan Upajaya, Drupada melangsungkan Putrakama Yadnya dengan sarana api suci. Dropadi lahir dari api suci tersebut. Perkawinan



dengan



para



Pandawa



Dalam kitab Mahabharata versi India dan dalam tradisi pewayangan di Bali, Dewi Dropadi bersuamikan lima orang, yaitu Panca Pandawa. Pernikahan tersebut terjadi setelah para Pandawa mengunjungi Kerajaan Panchala dan mengikuti sayembara di sana. Sayembara tersebut diikuti oleh para kesatria terkemuka di seluruh penjuru daratan Bharatawarsha (India Kuno), seperti misalnya Karna dan Salya. Para Pandawa berkumpul bersama para kesatria lain di arena, namun mereka tidak berpakaian selayaknya seorang kesatria, melainkan menyamar sebagai brahmana. Di tengah-tengah arena ditempatkan sebuah sasaran yang harus dipanah dengan tepat oleh para peserta dan



yang



berhasil



melakukannya



akan



menjadi



istri



Dewi



Dropadi.



Para peserta pun mencoba untuk memanah sasaran di arena, namun satu per satu gagal. Karna berhasil melakukannya, namun Dropadi menolaknya dengan alasan bahwa ia tidak mau menikah dengan putera seorang kusir. Karna pun kecewa dan perasaannya sangat kesal. Setelah Karna ditolak, Arjuna tampil ke muka dan mencoba memanah sasaran dengan tepat. Panah yang dilepaskannya mampu mengenai sasaran dengan tepat, dan sesuai dengan persyaratan, maka Dewi Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun para peserta lainnya menggerutu karena seorang brahmana mengikuti sayembara sedangkan para peserta ingin agar sayembara tersebut hanya diikuti oleh golongan kesatria. Karena adanya keluhan tersebut maka keributan tak dapat dihindari lagi. Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya sedangkan Yudistira, Nakula, dan Sahadewa pulang menjaga Dewi Kunti, ibu mereka. Kresna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Dropadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana tersebut mendapatkan



Dropadi



sebab



mereka



telah



berhasil



memenangkan



sayembara



dengan



baik.



Setelah keributan usai, Arjuna dan Bima pulang ke rumahnya dengan membawa serta Dewi Dropadi. Sesampainya di rumah didapatinya ibu mereka sedang tidur berselimut sambil memikirkan keadaan kedua anaknya yang sedang bertarung di arena sayembara. Arjuna dan Bima datang menghadap dan mengatakan bahwa mereka sudah pulang serta membawa hasil meminta-minta. Dewi Kunti menyuruh agar mereka membagi rata apa yang mereka peroleh. Namun Dewi Kunti terkejut ketika tahu bahwa putera-puteranya tidak hanya membawa hasil meminta-minta saja, namun juga seorang wanita. Dewi Kunti tidak mau berdusta maka Dropadi pun menjadi istri Panca Pandawa. Upacara



Rajasuya



Pada saat Yudistira menyelenggarakan upacara Rajasuya di Indraprastha, seluruh ksatria di penjuru Bharatawarsha diundang, termasuk sepupunya yang licik dan selalu iri, yaitu Duryodana. Duryodana dan Dursasana terkagum-



kagum dengan suasana balairung Istana Indraprastha. Mereka tidak tahu bahwa di tengah-tengah istana ada kolam. Air kolam begitu jernih sehingga dasarnya kelihatan sehingga tidak tampak seperti kolam. Duryodana dan Dursasana tidak mengetahuinya lalu mereka tercebur. Melihat hal itu, Dropadi tertawa terbahak-bahak. Duryodana dan Dursasana sangat malu. Mereka tidak dapat melupakan penghinaan tersebut, apalagi yang menertawai mereka adalah



Dropadi



yang



sangat



mereka



kagumi



kecantikannya.



Ketika tiba waktunya untuk memberikan jamuan kepada para undangan, sudah menjadi tradisi bahwa tamu yang paling dihormati yang pertama kali mendapat jamuan. Atas usul Bisma, Yudistira memberikan jamuan pertama kepada Sri Kresna. Melihat hal itu, Sisupala, saudara sepupu Sri Kresna, menjadi keberatan dan menghina Sri Kresna. Penghinaan itu diterima Sri Kresna bertubi-tubi sampai kemarahannya memuncak. Sisupala dibunuh dengan Cakra Sudarsana. Pada waktu menarik Cakra, tangan Sri Kresna mengeluarkan darah. Melihat hal tersebut, Dewi Dropadi segera menyobek kain sarinya untuk membalut luka Sri Kresna. Pertolongan itu tidak dapat dilupakan Sri Kresna. Dropadi



dipermalukan



di



muka



umum



Setelah menghadiri upacara Rajasuya, Duryodana merasa iri kepada Yudistira yang memiliki harta berlimpah dan istana yang megah. Melihat keponakannya termenung, muncul gagasan jahat dari Sangkuni. Ia menyuruh keponakannya, Duryodana, agar mengundang Yudistira main dadu dengan taruhan harta, istana, dan kerajaan di Indraprastha. Duryodana menerima usul tersebut karena yakin pamannya, Sangkuni, merupakan ahlinya permainan dadu dan harapan untuk merebut kekayaan Yudistira ada di tangan pamannya. Duryodana menghasut ayahnya, Dretarastra, agar mengizinkannya bermain dadu. Yudistira yang juga suka main dadu, tidak menolak untuk diundang. Yudistira mempertaruhkan harta, istana, dan kerajaannya setelah dihasut oleh Duryodana dan Sangkuni. Karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, maka ia mempertaruhkan saudara-saudaranya, termasuk istrinya, Dropadi. Akhirnya Yudistira kalah dan Dropadi diminta untuk hadir di arena judi karena sudah menjadi milik Duryodana. Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi, namun Dropadi menolak. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun Dropadi menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna yang melihat Dropadi dalam bahaya. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha. Kematian Dalam kitab Mahaprasthanikaparwa diceritakan, setelah Dinasti Yadu musnah, para Pandawa beserta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjalanan suci mengelilingi Bharatawarsha. Sebagai tujuan akhir perjalanan, mereka



menuju pegunungan Himalaya setelah melewati gurun yang terbentang di utara Bharatawarsha. Dalam perjalanan menuju ke sana, Dropadi meninggal dunia. Suami



dan



keturunan



Dalam kitab Mahabharata versi aslinya, dan dalam tradisi pewayangan di Bali, suami Dropadi berjumlah lima orang yang disebut Pandawa. Dari hasil hubungannya dengan kelima Pandawa ia memiliki lima putera, yakni: Pratiwinda



(dari



Sutasoma



(dari



hubungannya



dengan



hubungannya



dengan



Yudistira) Bima)



Srutakirti



(dari



hubungannya



dengan



Arjuna)



Satanika



(dari



hubungannya



dengan



Nakula)



Srutakama (dari hubungannya dengan Sadewa) Kelima putera Pandawa tersebut disebut Pancawala atau Pancakumara. Dropadi



dalam



pewayangan



Jawa



Dalam budaya pewayangan Jawa, khususnya setelah mendapat pengaruh Islam, Dewi Dropadi diceritakan agak berbeda dengan kisah dalam kitab Mahabharata versi aslinya. Dalam cerita pewayangan, Dewi Dropadi dinikahi oleh Yudistira saja dan bukan milik kelima Pandawa. Cerita tersebut dapat disimak dalam lakon “Sayembara Gandamana”. Dalam lakon tersebut dikisahkan, Yudistira mengikuti sayembara mengalahkan Gandamana yang diselenggarakan Raja Dropada. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara, berhak memiliki Dropadi. Yudistira ikut serta namun ia tidak terjun ke arena sendirian melainkan diwakili oleh Bima. Bima berhasil mengalahkan Gandamana dan akhirnya Dropadi berhasil didapatkan. Karena Bima mewakili Yudistira, maka Yudistiralah yang menjadi istri Dropadi. Dalam tradisi pewayangan Jawa, putera Dropadi dengan Yudistira bernama Raden Pancawala. Pancawala sendiri merupakan sebutan untuk lima putera Pandawa. Akulturasi



budaya



Terjadinya perbedaan cerita antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Setelah Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu runtuh, munculah Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan dengan hukum agama Islam. Pertunjukan wayang yang pada saat itu sangat digemari oleh masyarakat, tidak diberantas ataupun dilarang melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam.



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Drupada - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Drestajumena - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Drestajumena - Drestadyumna (Sansekerta: dhrishtadyumna) adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Dia merupakan kakak bagi Dropadi dan Srikandi, keturunan Raja Drupada yang berasal dari Kerajaan Panchala. Ia berada di pihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Dialah yang membunuh Resi Drona. Saat Sang Resi tertunduk lemas dan kehilangan seluruh daya kekuataanya, sebagai akibat dari kabar bohong tentang meninggalnya sang putera Aswatama, Drestadyumena maju dan memenggal leher Sang Resi. Arti



nama



Dalam bahasa Sansekerta, nama Dhristadyumna secara harfiah berarti “diagungkan karena keberaniannya”. Kelahiran Saat Drona berhasil merebut separuh Kerajaan Panchala dari tangan Drupada, kebencian Drona terhadap Drupada lenyap, namun sebaliknya Drupada membenci Drona untuk selama-lamanya dan berambisi untuk membalas



dendam. Ia tahu bahwa Drona sulit dikalahkan sebab Drona merupakan murid Bhargawa dan memiliki senjata ilahi. Akhirnya Drupada memutuskan untuk menyelenggarakan upacara yadnya yang disebut Putrakama supaya memperoleh putera yang bisa membunuh Drona. Dengan dibantu oleh para resi, upacara tersebut terselenggara dengan baik. Dari dalam api upacara, munculah seorang pemuda gagah, lengkap degan baju zirah dan senjata. Atas sabda dari langit, anak tersebut diberi nama Drestadyumna. Kematian Setelah perang besar berakhir, putera dari Resi Drona, yaitu Aswatama, bersama dengan Krepa dan Kertawarma, melakukan pembalasan dendam dengan membantai hampir semua putera-puteri, cucu, dan kerabat Pandawa, termasuk yang menjadi korban adalah Drestadyumena sendiri, Srikandi, dan Pancawala. Pembantaian tersebut dilakukan pada malam hari, ketika pasukan Pandawa sedang tertidur lelap. Kisah tersebut terdapat dalam kitab Sauptikaparwa. Drestadyumna



dalam



pewayangan



Jawa



Dalam pewayangan Jawa, Arya Drestadyumena atau Trustajumena adalah putra bungsu Prabu Drupada, raja negara Panchala dengan permaisuri Dewi Gandawati, putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai kakak kandung dua orang masing-masing bernama Dewi Drupadi, istri Prabu Yudistira, Raja Amarta (Indraprastha), dan



Dewi



Srikandi,



istri



Arjuna.



Konon Arya Drestadyumna lahir dari tungku pedupaan hasil pemujaan Prabu Drupada kepada Dewata yang menginginkan seorang putera lelaki yang dapat membinasakan Resi Drona yang telah mengalahkan dan menghinanya. Drestadyumna berwajah tampan, memiliki sifat pemberani, cerdik, tangkas dan trenginas. Ia menikah dengan Dewi Suwarni, putri Prabu Hiranyawarma, raja negara Dasarna. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua



orang



putra



lelaki



bernama



Drestaka



dan



Drestara.



Drestadyumna ikut terjun dalam kancah perang Bharatayuddha. Ia tampil sebagai senapati perang Pandawa, menghadapi senapati perang Korawa, yaitu Resi Drona. Pada saat itu roh Ekalaya, raja negara Parangggelung yang ingin menuntut balas pada Resi Drona menyusup dalam diri Drestadyumna. Setelah melalui pertempuran sengit, akhirnya



Resi



Drona



dapat



dibinasakan



oleh



Drestadyumna



dengan



dipenggal



lehernya.



Drestadyumna mati setelah berakhirnya perang Bharatayudha. Ia tewas dibunuh Aswatama, putera Resi Drona, yang berhasil menyusup masuk istana Hastina dalam usahanya menuntut balas atas kematian ayahnya.



December 23, 2007



Dresanala - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Dewi Tari Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Dewayani - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Dewabrata - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Destarastra - Solo



Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Dretarastra (Sansekerta: Dhritarāshtra) dalam wiracarita Mahabharata, adalah putera Wicitrawirya dan Ambika. Ia buta semenjak lahir, karena ibunya menutup mata sewaktu mengikuti upacara Putrotpadana yang diselenggarakan oleh Resi Byasa untuk memperoleh keturunan. Ia merupakan saudara tiri Pandu, dan lebih tua darinya. Sebenarnya Dretarastra yang berhak menjadi Raja Hastinapura karena ia merupakan putera Wicitrawirya yang tertua. Akan tetapi beliau buta sehingga pemerintahan harus diserahkan adiknya. Setelah Pandu wafat, ia menggantikan jabatan adiknya tersebut. Dretarastra adalah bapak dari para Korawa dan suami Dewi Gandari.



Kelahiran Ayah Dretarastra adalah Wicitrawirya dan ibunya adalah Ambika. Setelah Wicitrawirya wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, untuk menemui Resi Byasa, sebab Sang Resi akan mengadakan suatu upacara bagi mereka agar memperoleh keturunan. Satyawati menyuruh Ambika agar menemui Resi Byasa di ruang upacara. Setelah Ambika memasuki ruangan upacara, ia melihat wajah Sang Resi sangat dahsyat dengan mata yang menyala-nyala. Hal itu membuatnya menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, maka anaknya terlahir buta. Anak tersebut adalah Dretarastra. Masa



pemerintahan



Karena Dretarastra terlahir buta, maka tahta kerajaan diserahkan kepada adiknya, yaitu Pandu. Setelah Pandu wafat, Dretarastra menggantikannya sebagai raja (kadangkala disebut sebagai pejabat pemerintahan untuk sementara waktu). Dalam memerintah, Dretarastra didampingi oleh keluarga dan kerabatnya, yaitu sesepuh Wangsa Kuru



seperti



misalnya



Bisma,



Widura,



Drona,



dan



Krepa.



Saat putera pertamanya yaitu Duryodana lahir, Widura dan Bisma menasihati Dretarastra agar membuang putera tersebut karena tanda-tanda buruk menyelimuti saat-saat kelahirannya. Namun karena rasa cintanya terhadap putera pertamanya tersebut, ia tidak tega melakukannya dan tetap mengasuh Duryodana sebagai puteranya. Perebutan



kekuasaan



Duryodana berambisi agar dirinya menjadi penerus tahta Kerajaan Kuru di Hastinapura. Dretarastra juga menginginkan hal yang sama, namun ia harus bersikap adil terhadap Yudistira, yang lebih dewasa daripada Duryodana. Saat Dretarastra mencalonkan Yudistira sebagai raja, hal itu justru menimbulkan rasa kecewa yang sangat dalam bagi Duryodana. Setelah melalui perundingan, dan atas saran Bisma, Kerajaan Kuru dibagi dua. Wilayah Hastinapura diberikan kepada Duryodana sedangkan Yudistira diberikan wilayah yang kering, miskin, dan berpenduduk jarang, yang dikenal sebagai Kandawaprasta. Atas bantuan dari sepupu Yudistira, yaitu Kresna dan Baladewa, mereka mengubah daerah gersang tersebut menjadi makmur dan megah, dan dikenal sebagai Indraprastha. Permainan



dadu



Dretarastra adalah salah satu dari beberapa sesepuh Wangsa Kuru yang hadir menyaksikan permainan dadu antara Duryodana, Dursasana, dan Karna yang diwaklili oleh Sangkuni, melawan Pandawa yang diwakili Yudistira. Yudistira kehilangan segala kekayaannya dalam permainan dadu tersebut, termasuk kehialngan saudara dan istrinya. Saat Dropadi berusaha ditelanjangi di depan para hadirin dalam balairung permainan dadu, Dretarastra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia tidak melarang tindakan Dursasana yang hendak melepaskan pakaian Dropadi. Setelah usaha Dursasana untuk menelanjangi Dropadi tidak berhasil, Bima bersumpah bahwa kelak ia akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya. Kemudian Dretarastra merasakan firasat buruk bahwa keturunannya akan binasa. Ia segera membuat suatu kebijakan, agar segala harta Yudistira yang akan menjadi milik Duryodana segera dikembalikan. Ia juga menyuruh agar Yudistira dan saudaranya segera pulang segera ke



Indraprastha. Namun, karena bujukan Duryodana dan Sangkuni, permainan dadu diselenggarakan untuk yang kedua kalinya. Kali ini taruhannya bukan harta, melainkan siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan setelah itu diperbolehkan untuk kembali ke kerajaannya. Yudistira pun tidak menolak dengan harapan akan memperoleh kemenangan, namun keberuntungan tidak memihak Yudistira. Akhirnya, Yudistira beserta istri dan saudara-saudaranya mengasingkan diri ke hutan dan meninggalkan kerajaan



mereka.



Saat Pandawa meninggalkan kerajaannya, Dretarastra masih dibayangi oleh dendam para Pandawa atas penghinaan yang dilakukan oleh putera-puteranya. Karena tindakan Dretarastra yang tidak berbicara sepatah kata pun saat Dropadi berusaha ditelanjangi di depan umum, ia dikritik agar lebih mementingkan kewajiban sebagai raja daripada rasa cinta sebagai seorang ayah. Pertempuran



di



Kurukshetra



Dretarastra memiliki seorang pemandu yang bernama Sanjaya. Sanjaya adalah keponakan Dretarastra karena ia merupakan putera Widura, yaitu adik tiri Dretarastra. Sanjaya diberi anugerah oleh Resi Byasa agar ia bisa melihat masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Ialah yang menjadi reporter perang di Kurukshetra bagi Dretarastra. Ia pula yang turut menyaksikan wujud Wiswarupa dari Sri Kresna menjelang pertempuran di Kurukshetra berlangsung. Saat Dretarastra dihantui kecemasan akan kehancuran putera-puteranya, ia selalu bertanya kepada Sanjaya mengenai keadaan di medan Kuru atau Kurukshetra. Berita yang dilaporkan oleh Sanjaya kebanyakan berupa berita duka bagi Dretarastra, sebab satu-persatu puteranya dibunuh oleh Arjuna dan Bima. Sanjaya juga berkata bahwa apabila Kresna dan Arjuna berada di pihak Pandawa, maka di sanalah terdapat kejayaan, kemashyuran, kekuatan luar biasa, dan moralitas. Meskipun laporan Sanjaya sering mengecilkan hati Dretarastra dan memojokkan puteraputeranya, namun Dretarastra tetap setia mengikuti setiap perkembangan yang terjadi dalam pertempuran di Kurukshetra. Penghancuran



patung



Bima



Pada akhir pertempuran, Dretarastra menahan rasa duka dan kemarahannya atas kematian seratus puteranya. Saat ia bertemu para Pandawa yang meminta restunya karena mereka menjadi pewaris tahta, ia memeluk mereka satu persatu. Ketika tiba giliran Bima, pikiran jahat merasuki Dretarastra dan rasa dendamnya muncul kepada Bima atas kematian putera-puteranya, terutama Duryodana dan Dursasana. Kresna tahu bahwa meskipun Dretarastra buta, ia memiliki kekuatan yang setara dengan seratus gajah. Maka dengan cepat Kresna menggeser Bima dan menggantinya dengan sebuah patung menyerupai Bima. Pada saat itu juga Dretarastra menghancurkan patung tersebut sampai menjadi debu. Akhirnya Bima selamat dan Dretarastra mulai mengubah perasaannya serta memberikan anugerahnya kepada Pandawa. Kehidupan



selanjutnya



dan



kematian



Setelah pertempuran besar di Kurukshetra berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Indraprastha sekaligus



Hastinapura. Meskipun demikian, Yudistira tetap menunjukkan rasa hormatnya kepada Dretarastra dengan menetapkan bahwa tahta Raja Hastinapura masih dipegang oleh Dretarastra. Akhirnya Dretarastra memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawai dan mengembara di hutan sebagai pertapa bersama Gandari, Widura, Sanjaya, dan Kunti. Di dalam hutan di Himalaya, mereka meninggal ditelan api karena hutan terbakar oleh api suci yang dikeluarkan oleh Dretarastra.



December 23, 2007



Dentawilukrama - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Dasarata - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Dasamuka - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Darmawasesa - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Darma - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments







My Account



o



Global Dashboard



o



Tag Surfer



o



My Comments



o



Edit Profile



o



Contact Support



o



WordPress.com



o



Log Out







Blog Info



o



Random Post



o



Subscribe to blog



o



Report as spam



o



Report as mature



• • •



Home



Para sedulur semua …



Blognya “Wayang Kulit”



Ikut melestarikan budaya Jawa - topmdi blogs group



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Darini - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Dandang Minangsi - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Danaraja - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Danapati - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Damagosa - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Dadunwacana - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Dadung Awuk - Solo Posted by topmdi under Aksara D, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Citrawati - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Citrarata - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Citranggada - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Citralanggeni - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Citraksi - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Citraksa - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Citrahoyi - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Citragada - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Cingkrabala - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Caranggana - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Candra Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Cakra - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Cakil - Solo Posted by topmdi under Aksara C, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Buta Terong - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Burisrawa - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Burisrawa (Sansekerta: Bhūriśravā) adalah seorang antagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan pangeran dari Kerajaan Bahlika yang berperang pada pihak Korawa saat perang Bharatayuddha. Ia tewas karena dipenggal oleh Arjuna saat ia hendak menyerang Satyaki.



December 23, 2007



Bumiloka - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Bukbis - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Bremani - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Bremana - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Brantalaras - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 23, 2007



Brajamusti - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Brajalamatan - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



December 23, 2007



Brajadenta - Solo Posted by topmdi under Aksara B, Gagrak Surakarta No Comments



 



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 25, 2007



Yuyutsu - Solo Posted by topmdi under Aksara Y, Gagrak Surakarta No Comments



Yuyutsu (Dewanagari) adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah saudara para Kurawa, dari ibu yang lain, seorang dayang-dayang. Berbeda dengan para Kurawa, ia memihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Hal itu membuatnya menjadi penerus garis keturunan Drestarastra, sementara saudaranya yang lain (Kurawa) gugur semua di medan Kuru atau Kurukshetra. Setelah Yudistira mengundurkan diri dari dunia, Yuyutsu diangkat menjadi raja di Indraprasta.



Arti nama Nama Yuyutsu dalam bahasa Sansekerta artinya ialah “yang memiliki kemauan untuk berperang/bertempur”.



December 25, 2007



Yudhistira - Solo Posted by topmdi under Aksara Y, Gagrak Surakarta No Comments



Yudistira (Sansekerta: Yudhiṣṭhira) adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Beliau adalah raja Indraprasta, kemudian memerintah Hastina setelah memenangkan pertempuran akbar di Kurukshetra. Yudistira merupakan putera sulung Pandu dengan Kunti. Beberapa sumber mengatakan bahwa ia memiliki kepandaian memakai senjata tombak. Nama Yudistira dalam bahasa Sansekerta dieja Yudhiṣṭhira, yang artinya adalah “teguh atau kokoh dalam peperangan”. Ia juga dikenal sebagai Dharmaraja yang artinya Raja Dharma, sebab konon Yudistira selalu menegakkan Dharma sepanjang hidupnya. Beberapa nama julukan juga dimilikinya, seperti misalnya: Ajataśatru (seseorang yang tidak memiliki musuh) Bhārata (keturunan Raja Bharata Dharmawangsa (keturunan/trah Dewa Dharma) Kurumukhya (pemimpin para keturunan Kuru) Kurunandana (putera kesayangan Dinasti Kuru) Kurupati (raja dari Dinasti Kuru) Beberapa nama julukan tersebut juga dimiliki oleh beberapa tokoh Dinasti Kuru yang lain, seperti misalnya Arjuna, Bisma dan Duryudana. Kelahiran, kepribadian, dan pendidikan Ayah Yudistira bernama Pandu, menikahi Dewi Kunti, puteri Raja Surasena, adik Basudewa. Setelah pernikahannya, tanpa sengaja Pandu memanah seorang Brāhmana dan istrinya, yang dikira sebagai seekor rusa yang sedang bercinta. Sebelum kematiannya, Sang Brāhmana mengutuk Pandu supaya kelak ia meninggal jika sedang bercinta dengan istrinya. Pandu menerima sumpah tersebut, yang menyebabkannya tidak bisa bercinta dengan istrinya sehingga tidak mampu memperoleh keturunan. Kunti, istri Pandu, memperoleh kesaktian dari seorang Rishi (orang suci) bernama Durwasa, sehingga ia mampu memanggil Dewa-Dewa. Dengan memanfaatkan kemampuan Kunti tersebut, Pandu dan istrinya memperoleh keturunan dengan memanggil Dewa-Dewa yang mampu menganugerahi mereka putera. Mereka memanggil tiga Dewa, yaitu: Yamaraja (Dharmaraja, Dewa Dharma), Marut (Bayu, Dewa Angin), dan Sakra (Indra, Raja surga). Yudistira lahir dari Yamaraja, yaitu Dewa Dharma, kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan. Yudistira memiliki empat adik, yaitu: Bhima (lahir dari Dewa Bayu), Arjuna (lahir dari Dewa Indra), dan si kembar Nakula dan Sahadewa (lahir dari Dewa Aswin). Karna, merupakan putera pertama Dewi Kunti yang diperoleh tanpa sengaja pada masih gadis. Jadi, Karna merupakan saudara tua Yudistira dan para Pandawa (lima putera Pandu). Sebagai penitisan Dewa Dharma (keadilan dan kebijaksanaan) Yudistira berperilaku mulia dan berpengetahuan luas di bidang kerohanian. Karena perilakunya yang mulia, Yudistira layak untuk mewarisi tahta Hastinapura. Namun hal itu menimbulkan perdebatan bagi putera Drestarastra, yaitu Duryudana dan para Korawa. Yudistira menuntut ilmu agama, sains, dan senjata bersama saudara-saudaranya dan para Korawa di bawah asuhan



Dronacharya (Bagawan Drona) dan Kripacharya (Bagawan Kripa). Ia mahir dengan senjata tombak dan memperoleh gelar “Maharatha“, yaitu ksatria yang mampu menumpas 10.000 musuh dalam sekejap. Raja Indraprastha Yudistira dan Pandawa lainnya amat disayangi oleh sesepuh Wangsa Kuru, seperti Bisma, Drona, Krepa, daripada Duryudana dan para Korawa karena kebaikan hati Yudistira dan rasa hormatnya terhadap sesepuh tersebut. Saat Yudistira dan Pandawa tumbuh dewasa, Dretarastra mengalami konflik dengan putera-puteranya, yaitu para Korawa. Yudistira adalah pangeran yang tertua dalam garis keturunan Kuru dan berhak menjadi raja, namun Dretarastra ingin bersikap adil juga terhadap anaknya. Akhirnya Dretarastra memberi sebagian wilayah Kerajaan Kuru, yaitu sebuah daerah yang gersang dan berpenduduk jarang yang disebut Kandawaprastha. Dengan bantuan sepupunya yang bernama Kresna, Yudistira memperbarui daerah tersebut. Kresna memanggil Wiswakarma, arsitek para dewa, untuk membangun daerah tersebut menjadi kota megah. Arsitek Mayasura membangun balairung besar yang dikenal sebagai Mayasabha. Akhirnya Kandawaprastha menjadi kota yang megah dan berganti nama menjadi “Indraprastha” atau “kota Dewa Indra“. Perlahan-lahan penduduk baru berdatangan dan Indraprastha menjadi kota yang ramai. Rajasuya Setelah diangkat menjadi Raja Indraprastha, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya untuk menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja jahat. Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa memimpin tentara masing-masing ke setiap empat penjuru Bharatawarsha untuk mengumpulkan upeti saat penyelenggaraan Rajasuya. Raja-raja yang mengakui pemerintahan Yudistira menjadi sekutu dan datang ke Indraprastha. Saat upacara berlangsung, Yudistira bertanya kepada Bisma untuk mempertimbangkan siapa yang akan menerima hadiah terlebih dahulu. Bisma menunjuk Kresna, namun Sisupala menggerutu karena menurutnya seorang pengembala sapi seperti Kresna tidak berhak menjadi orang yang paling dihormati dalam Rajasuya. Kemudian Sisupala menghina Kresna bertubi-tubi. Karena hinaan Sisupala sudah melebihi seratus kali, Kresna mengakhiri nyawa Sisupala sesuai janji Kresna kepada ibu Sisupala. Pembuangan selama 13 tahun Selain berkepribadian mulia, Yudistira juga senang main dadu. Hal itulah yang dimanfaatkan Duryudana untuk mengambil alih kekuasaan Yudistira. Bersama dengan pamannya – Sangkuni – mereka menyusun rencana licik, yaitu mengajak Yudistira main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Permainan dadu sudah disetel sedemikian rupa sehingga kemenangan berpihak pada Korawa. Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, kemudian ia dihasut oleh Duryudana dan Sangkuni untuk mempertaruhkan istana dan kerajaannya. Karena pikirannya sudah dibelenggu oleh hasutan mereka, maka Yudistira merelakan istana dan kerajaannya untuk dipertaruhkan. Karena permainan dadu sudah disetel sedemikian rupa, maka Korawa menang dan memperoleh istana dan kerajaan yang dipimpin Yudistira. Yudistira yang merasa tidak memiliki apa-apa lagi, mempertaruhkan saudara-saudaranya, yaitu para Pandawa.



Akhirnya Yudistira kalah sehingga saudara-saudaranya menjadi milik Duryudana. Kemudian Yudistira mempertaruhkan dirinya sendiri. Karena ia kalah lagi, maka dirinya menjadi milik Duryudana. Yudistira yang sudah kehabisan harta untuk dipertaruhkan, akhirnya dibujuk oleh Duryudana untuk mempertaruhkan istrinya yaitu Dropadi. Yudistira menyetujuinya. Akhirnya segala harta milik Yudistira, termasuk saudara, istri, dan dirinya sendiri menjadi budak Duryudana. Namun karena bujukan Drestarastra, Pandawa beserta istrinya mendapatkan kebebasan mereka kembali. Namun sekali lagi Duryudana mengajak main dadu, dan taruhannya siapa yang kalah harus megasingkan diri ke hutan selama 13 tahun. Untuk kedua kalinya, Yudistira kalah sehingga ia dan saudara-saudaranya terpaksa mengasingkan diri ke hutan. Meletusnya perang Pandawa telah menjalani hukuman buang selama 13 tahun, sesuai dengan perjanjian, mereka menginginkan kembali tahta Kerajaan Besar Hastinapura yang menjadi haknya secara turun-temurun. Akan tetapi pihak Kurawa yang merupakan sepupu Pandawa tidak mau menyerahkan tahta Hastinapura. Setelah semua upaya damai menemui jalan buntu, terjadilah perang selama 18 hari di medan Kuru atau Kurukshetra. Yudistira saat Bharatayuddha Yudistira terkenal akan sifatnya yang selalu bersikap sopan dan santun, bahkan ketika peperangan sekalipun, Yudistira masih menghaturkan sembah kepada Bhisma, yang seharusnya ia hadapi dalam pertempuran. Karena tindakannya tersebut, Bhisma menganugerahinya kemenangan. Penghormatan Yudistira Pada hari pertama perang di Kurukshetra, kedua belah pihak sudah saling berhadapan, siap untuk membunuh satu sama lain. Pada hari itu pula Arjuna mendapatkan wejangan suci dari Sri Kresna sebelum perang, bernama Bhagavad Gītā. Setelah kedua belah pihak selesai melakukan inspeksi terhadap pasukannya masing-masing dan siap untuk berperang, Yudistira melakukan sesuatu yang mengejutkan. Ia menanggalkan baju zirahnya, meletakkan semua senjatanya, dan turun dari kereta. Dengan mencakupkan tangan ia berjalan menuju barisan musuh. Semua pihak yang melihat tindakannya tidak percaya terhadap apa yang sudah dilakukan Yudistira. Para Pandawa mengikutinya, mereka bertanya-tanya, namun Yudistira hanya membisu. Hanya Kresna yang tersenyum karena ia mengetahui maksud Yudistira. Ketika Yudistira sudah mencapai barisan musuh, semua musuh sudah siaga dan tidak melepaskan pandangannya dari Yudistira. Dengan rasa bakti yang tulus, Yudistira menjatuhkan dirinya dan menyembah kaki Bisma, kakek yang sangat dihormatinya, seraya berkata, “Hamba datang untuk memberi hormat kepadamu, o paduka nan gagah tak terkalahkan. Kami akan menghadapi paduka dalam pertempuran. Kami mohon perkenan paduka dalam hal ini. Dan kami pun memohon do’a dan restu paduka”. Bisma menjawab, “Apabila engkau, o Maharaja, dalam menghadapi pertempuran yang akan berlangsung ini tidak



datang kepadaku seperti ini, pasti akan kukutuk dirimu agar menderita kekalahan. Aku puas, o putera mulia. Berperanglah dan dapatkan kemenangan, hai putera Pandu. Apa lagi cita-cita yang ingin kaucapai dalam pertempuran ini? Pintalah suatu berkah dan restu, o putera Pritha, pintalah sesuatu yang kauinginkan! Atas restuku itu pastilah, o Maharaja, kekalahan takkan menimpa dirimu”. Setelah menghaturkan sembah kepada Bisma, Yudistira menyembah Guru Drona, Krepa, dan Salya. Semuanya memberikan restu dan mendo’akan kemenangan agar berpihak kepada Yudistira karena tindakan sopan yang sudah dilakukannya. Setelah mendapat do’a restu, Yudistira kembali menuju pasukannya, memakai baju zirahnya, naik kereta, dan siap untuk bertempur. Yuyutsu memihak Yudistira Sebelum pertempuran dimulai, Yudistira berseru, “Siapa pun yang memilih kami, itulah yang kupilih menjadi sekutu”. Susana hening sejenak setelah mendengarkan seruan Yudistira. Tiba-tiba di dalam pasukan Korawa, terdengar sebuah jawaban dari Yuyutsu. Yuyutsu berseru, “Hamba bersedia bertempur di bawah panji-panji paduka, demi kemenangan paduka sekalian. Hamba akan menghadapai para putera Drestarastra, itu pun apabila paduka Raja berkenan menerima hamba, o paduka Raja nan suci”. Dengan gembira, Yudistira berseru, “Mari, kemarilah! Kami semua ingin bertempur menghadapi saudara-saudaramu yang tolol itu! O Yuyutsu, baik Vāsudewa (Kresna) maupun kami berlima menyatakan kepadamu bahwa aku menerimamu, o pahlawan perkasa. Berjuanglah bersama kami, untuk kepentinganku, menegakkan Dharma. Rupanya hanya kau sendiri orang yang harus melanjutkan garis keturunan Drestarastra, sekaligus melakukan upacara persembahan kepada para leluhur mereka. O putera mahkota nan gagah, terimalah kami yang juga menerimamu. Duryudana yang kejam itu akan segera menemui ajalnya”. Setelah berseru demikian, maka Yuyutsu meninggalkan para Korawa dan memihak Pandawa. Kedatangannya disambut gembira. Tak lama kemudian, pertempuran dimulai. Kematian Bagawan Drona Sebelum perang, Bagawan Drona pernah berkata, “Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya”. Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeraskerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, “Aswatama mati”. Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata, “naro va, kunjaro va” — “entah gajah atau manusia”). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha. Walaupun tidak pernah berbohong, karena perbuatannya ini Yudistira tetap mendapat ‘hukuman’. Kereta perangnya,



yang semula dikaruniai kemampuan melayang sejengkal di atas tanah, kini terpaksa harus turun menginjak tanah. Dan kelak, di hari kembalinya Pandawa ke sorga, Yudistira tidak diperbolehkan memasuki kahyangan terlebih dahulu melainkan harus menunggu saudara-saudaranya. Cerita ini dikisahkan dalam episode Swargarohanaparwa, atau kitab terakhir Mahabharata. Maharaja dunia Setelah perang berakhir, Yudistira dan pasukan Pandawa mendapatkan kemenangan, namun anak Yudistira, para putera Dropadi, dan banyak jagoan di pihak Pandawa seperti misalnya Drestadyumna, Abimanyu, Wirata, Drupada, Gatotkaca, gugur. Jutaan tentara dari kedua belah pihak telah gugur. Yudistira melaksanakan upacara Tarpana kepada jiwa-jiwa yang pergi ke akhirat. Setelah kedatangannya di Hastinapura, dia diangkat menjadi Raja Indraprastha sekaligus Raja Hastinapura. Sebagaimana sifatnya yang penyabar, Yudistira masih menerima Dretarastra sebagai Raja di kota Hastinapura, dan mempersembahkan rasa baktinya yang mendalam dan rasa hormatnya kepada yang tua, meskipun perbuatannya jahat dan biang keladi yang menyebabkan putera-puteranya mati. Aswamedha Kemudian Yudistira melangsungkan Aswamedha Yadnya (upacara pengorbanan) untuk menegakkan kembali aturan Dharma di seluruh dunia. Pada upacara ini, seekor kuda dilepas untuk mengembara selama setahun, dan Arjuna sang adik Yudistira memimpin pasukan Pandawa, mengikuti kuda tersebut. Para Raja di seluruh negara yang telah dilalui oleh kuda tersebut harus memilih untuk mengikuti aturan Yudistira atau maju berperang. Semuanya membayar upeti, sekali lagi Yudistira dinobatkan sebagai Maharaja Dunia dan tak dapat dipungkiri lagi. Mangkat lalu naik ke surga Yudistira mendaki gunung Himalaya sebagai perjalanan terakhirnya Setelah masa permulaan Kali Yuga dan wafatnya Kresna, Yudistira dan saudara-saudaranya mengundurkan diri, meninggalkan tahta kerajaan kepada satu-satunya keturunan mereka yang selamat dari peperangan di Kurukshetra, Parikesit, Sang cucu Arjuna. Dengan meninggalkan segala harta dan sifat keterikatan, para Pandawa melakukan perjalanan terkahir mereka dengan berziarah ke Himalaya. Saat mendaki puncak, satu persatu – Dropadi dan Pandawa bersaudara – gugur menuju maut, terseret oleh kesalahan dan dosa mereka yang sesungguhnya. Namun Yudistira mampu mencapai puncak gunung, karena ia tidak cacat oleh dosa dan kebohongan. Watak Yudistira yang sesungguhnya muncul saat akhir Mahabharata. Di atas puncak gunung, Indra, Raja para Dewa, datang untuk membawa Yudistira ke Surga dengan kereta kencananya. Saat Yudistira melangkah mendekati kereta, sang Dewa menyuruhnya agar meninggalkan anjing yang menjadi teman perjalanannya, karena makhluk tak suci tidak layak masuk Surga. Yudistira melangkah ke belakang, menolak untuk meninggalkan makhluk yang selama ini dilindunginya. Indra heran dengannya – “Kau mampu meninggalkan saudara-saudaramu dan tidak melakukan pembakaran jenazah yang layak untuk mereka…namun kau menolak untuk meninggalkan anjing yang tak tahu



jalan!” Yudistira menjawab, “Dopadi dan saudara-saudaraku telah meninggalkanku, bukan aku [mereka].” Dan ia menolak untuk pergi ke surga tanpa anjing tersebut. Pada saat itu si anjing berubah wujud menjadi Dewa Dharma, ayahnya, yang sedang menguji dirinya…dan Yudistira melewatinya dengan tenang. Yudistira dibawa pergi dengan kereta Indra. Pada saat mencapai surga ia tidak menemukan saudara-saudaranya yang saleh maupun istrinya, Dropadi. Namun ia melihat Duryudana dan sekutunya yang jahat. Sang Dewa memberitahu bahwa saudaranya sedang berada di neraka untuk menebus dosa kecil mereka, sementara Duryudana berada di surga semenjak ia gugur di tanah yang diberkati, Kurukshetra. Yudistira dengan tulus ikhlas pergi ke Neraka untuk bertemu dengan saudaranya, namun pemandangan dan suara yang menyayat serta darah kental membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur, ia menguasai diri dan sayup-sayup mendengar suara Dropadi dan saudaranya tercinta…memanggil-manggil dirinya, menyuruhnya untuk tinggal di sisi mereka dalam penderitaan. Yudistira memutuskan untuk tinggal, dan menyuruh supaya kusir keretanya untuk kembali ke surga…sebab ia memilih untuk tinggal di neraka dengan orang-orang baik daripada tinggal di surga dengan orang jahat. Pada saat itu pemandangan berubah. Kemudian Indra berkata bahwa Yudistira sedang diuji kembali, dan sebenarnya saudara-saudaranya sudah berada di surga. Setelah menerima kenyataan tersebut, Yudistira melepaskan jasadnya dan menerima surga. Yudistira dalam versi pewayangan Jawa Dalam kisah versi Jawa, Yudistira beristrikan Dewi Dropadi, puteri Prabu Drupada dengan Dewi Gandawati dari negara Panchala, dan berputera Pancawala (Pancawala). (Menurut kisah India, Drupadi diperistri oleh kelima Pandawa bersama-sama). Ia adalah putera sulung Prabu Pandu raja negara Hastina dengan dengan permaisuri Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Ia mempunyai dua orang adik kandung masing-masing bernama: Bima (Werkudara) dan Arjuna, dan dua orang adik kembar lain ibu, bernama Nakula (Pinten) dan Sadewa (atau Sahadewa alias Tansen), putra Prabu Pandu dengan Dewi Madrim, puteri Prabu Mandrapati dari negara Mandaraka. Kelima orang bersaudara ini disebut sebagai Pandawa. Yudistira dianggap sebagai keturunan (titisan) Dewa Keadilan, Batara Dharma oleh karena itu salah satu julukannya adalah Dharmasuta, Dharmaputra atau Dharmawangsa. Selain itu ia juga disebut Puntadewa atau Samiaji. Nama Yudistira sendiri diambil karena dalam tubuhnya menunggal arwah Prabu Yudistira, raja jin negara Mertani (menurut kisah pewayangan Jawa). Yudistira mempunyai pusaka kerajaan berwujud payung bernama “Kyai Tunggulnaga” dan sebuah tombak bernama “Kyai Karawelang”. Ia adalah tipe murni raja yang baik. Darah putih (Seta ludira. Seta berarti putih, ludira berarti darah) mengalir di nadinya. Tak pernah murka, tak pernah bertarung, tak pernah juga menolak permintaan siapa pun, betapapun rendahnya sang peminta. Waktunya dilewatkan untuk meditasi dan penghimpunan kebijakan. Tak seperti kesatria yang lain, yang pusaka saktinya berupa senjata, pusaka andalan Yudistira adalah Kalimasada yang misterius, naskah keramat yang memuat rahasia agama dan semesta. Dia, pada dasarnya, adalah cendikiawan tanpa pamrih,



yang memerintah dengan keadilan sempurna dan kemurah hatinya yang luhur. Dengan kenampakan yang sama sekali tanpa perhiasan mencolok, dengan kepala merunduk yang mawas diri, dan raut muka keningratan yang halus, dia tampil sebagai gambaran ideal tentang “Pandita Ratu” (Raja Pendeta) yang telah menyingkirkan nafsu dunia. Akan tetapi ada pula kelemahannya, yakni gemar berjudi. Oleh karena kegemarannya ini, Yudistira beberapa kali tertipu dan dikalahkan dalam adu judi dengan Duryudana, Raja Hastina dan pemuka Korawa. Dalam salah satu kekalahannya, terpaksa Yudistira (dan Pandawa keseluruhannya) menyerahkan negaranya dan membuang diri ke hutan selama 13 tahun.



December 25, 2007



Yamawidura - Solo Posted by topmdi under Aksara Y, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 25, 2007



Yamadipati - Solo Posted by topmdi under Aksara Y, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Wratsangka - Solo Posted by topmdi under Aksara W, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Wisrawa - Solo Posted by topmdi under Aksara W, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 25, 2007



Wisnu - Solo Posted by topmdi under Aksara W, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Wirasa - Solo Posted by topmdi under Aksara W, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Wisanggeni - Solo Posted by topmdi under Aksara W, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 25, 2007



Wilutama - Solo Posted by topmdi under Aksara W, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Wibisana - Solo Posted by topmdi under Aksara W, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Watugunung - Solo Posted by topmdi under Aksara W, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 25, 2007



Wasista - Solo



Posted by topmdi under Aksara W, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Utari - Solo Posted by topmdi under Aksara U, Gagrak Surakarta No Comments



Utaraa (Sansekerta: Uttarā) atau Utari, adalah nama puteri Raja Wirata. Ia menikah dengan Abimanyu, putra Arjuna. Dari perkawinannya ia memiliki seorang putera bernama Parikesit. Utara mempunyai tiga saudara bernama Sweta, Utara, dan Wratsangka. Mereka bertiga tewas di tangan Bisma Dewabrata dalam perang Bharatayuddha. Pada saat Utaraa mengandung Parikesit, senjata sakti yang dilepaskan oleh Aswatama mengarah ke janinnya. Namun atas perlindungan gaib dari Kresna, janin tersebut terlindungi. Dengan selamat, bayi tersebut lahir sebagai penerus Dinasti Kuru dan bernama Parikesit.



December 25, 2007



Utara - Solo Posted by topmdi under Aksara U, Gagrak Surakarta No Comments



Utara (Sansekerta: Uttara) adalah nama salah satu putera Raja Wirata. Ia turut serta dalam pertempuran besar di Kurukshetra dan memihak Pandawa. Ia terbunuh pada hari pertama oleh Salya dari pihak Korawa. Saudaranya yang lain, yaitu Sweta dan Wretsangka, terbunuh di tangan Bisma. Utara memiliki adik perempuan bernama Utaraa.



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 25, 2007



Uma - Solo Posted by topmdi under Aksara U, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Ugrasena - Solo Posted by topmdi under Aksara U, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Udawa - Solo Posted by topmdi under Aksara U, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 25, 2007



Tuhayata - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Trisirah - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Trinetra - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 25, 2007



Trikaya - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Trijata - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Trigangga - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 25, 2007



Tremboko - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Togog - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Tembara - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 25, 2007



Tangsen - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



December 25, 2007



Tambak Ganggeng - Solo Posted by topmdi under Aksara T, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Suryawati - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Suryatmaja - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Surya - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Surtikanti - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Suratrimantra - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sumitra - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sumantri - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Sumali - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sulastri - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sukesi - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Sugriwa - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sucitra - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Subali Resi - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



« Previous Page — Next Page »



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Subadra - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Subadra atau Sembadra (dalam tradisi pewayangan Jawa) merupakan salah satu tokoh penting dalam Wiracarita Mahabharata, kisah epik Hindu. Ia merupakan puteri Prabu Basudewa (Raja di Kerajaan Surasena), dan juga merupakan saudara tiri Krishna atau Kresna. Subadra (Dewi Sumbadra menurut ucapan Jawa) ini yang merupakan penjelmaan dari Dewi Sri adalah istri pertama dari Arjuna (putra Pandu ketiga), dan ibu dari Abimanyu. Ia juga terkenal dalam budaya pewayangan Jawa sebagai seorang putri anggun, lembut, tenang, setia dan patuh pada suaminya. Ia merupakan sosok ideal priyayi putri Jawa. Subadra yang sewaktu kecil bernama Rara Ireng mempunyai dua orang kakak yaitu Kakrasana yang kemudian menjadi raja Mandura bergelar Prabu Baladewa dan Narayana yang kemudian menjadi raja di Dwarawati dengan gelar Prabu Sri Batara Kresna. Subadra menikah dengan salah satu anggota Pandawa yakni Arjuna. Dari rahim Sumbadra inilah lahir Abimanyu yang kelak kemudian akan menurunkan Prabu Parikesit.



Riwayat Subadra lahir sebagai puteri bungsu pasangan Basudewa dan Rohini, istrinya yang lain. Subadra dilahirkan setelah kedua kakaknya, yaitu Kresna dan Baladewa, membebaskan Basudewa yang dikurung oleh Kamsa di penjara bawah tanah. Kemudian Ugrasena, ayah Kamsa, diangkat menjadi raja di Mathura dan Subadra hidup sebagai puteri bangsawan di kerajaan tersebut bersama dengan keluarganya. Saat Arjuna menjalani masa pembuangannya karena tanpa sengaja mengganggu Yudistira yang sedang tidur dengan Dropadi, ia berkunjung ke Dwaraka, yaitu kediaman sepupunya yang bernama Kresna, karena ibu Arjuna (Kunti) bersaudara dengan ayah Kresna (Basudewa). Di sana Arjuna bertemu dengan Subadra dan mengalami nuansa romantis bersamanya. Kresna pun mengetahui hal tersebut dan berharap Arjuna menikahi Subadra, demi yang terbaik bagi Subadra. Pada saat itu status Arjuna adalah suami yang memiliki tiga istri, yaitu Dropadi, Chitrāngadā, dan Ulupi. Maka pernikahannya dengan Subadra menjadikan Subadra sebagai istrinya yang keempat. Subadra dan Arjuna memiliki seorang putera, bernama Abimanyu. Saat Pandawa kalah main dadu dengan Korawa, mereka harus menjalani masa pembuangan selama dua belas tahun, ditambah masa penyamaran selama satu tahun. Subadra dan Abimanyu tinggal di Dwaraka sementara ayah mereka mengasingkan diri di hutan. Pada masamasa itu Abimanyu tumbuh menjadi pria yang gagah dan setara dengan ayahnya. Ketika perang besar di Kurukshetra berkecamuk, para pria terjun ke peperangan sementara para wanita diam di rumah mereka. Abimanyu dan Arjuna turut serta ke medan laga dan meninggalkan Subadra di Dwaraka. Pada waktu itu umur Abimanyu 16 tahun. Saat pertempuran berakhir, hanya Arjuna yang selamat sementara seluruh puteranya yang turut berperang gugur, termasuk Abimanyu yang sangat dicintai Arjuna dan Subadra. Namun sebelum gugur, Abimanyu sudah menikah dengan Utara dan memiliki seorang putera bernama Parikesit. Parikesit kemudian menjadi raja Hastinapura menggantikan Yudistira, pamannya. Subadra menjadi penasihat serta guru bagi cucunya tersebut. Pemujaan Di India, Subhadra menjadi salah satu dari tiga dewa yang dipuja di Kuil Jagannath di Puri, bersama dengan kakaknya yang bernama Krishna (sebagai Jagannatha) dan Balarama (atau Balabhadra). Salah satu kereta dalam Ratha Yatra yang diselenggarakan secara tahunan didedikasikan untuknya. Menurut beberapa interpretasi, Subhadra dianggap sebagai inkarnasi dari YogMaya.



December 24, 2007



Sritanjung - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Srimahapunggung - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Srikandi - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sitija - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Siti Sundari - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Sisupala - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sinta - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Singa Singa - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Setyaki - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Satyaki (alias Yuyudhana) adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah saudara ipar Kresna. Ia berperang pada pihak Pandawa dalam perang Bharatayuddha. Ia merupakan salah satu tokoh dari Wangsa Wresni, selain Kertawarma dan Kresna. Pertempuran di Kurukshetra Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Satyaki memihak Pandawa. Pada pertempuran di hari keempat belas, Satyaki terlibat duel sengit dengan Burisrawa yang sudah lama bermusuhan dengan Satyaki. Burisrawa menyerang Satyaki bertubi-tubi sampai ia jatuh pingsan karena lelah. Saat Burisrawa bersiap-siap untuk membunuh Satyaki, Arjuna datang dan memanah lengan Burisrawa sampai putus. Burisrawa kesakitan dan mencaci maki Arjuna yang menyerang tiba-tiba. Arjuna berkata bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk melindungi nyawa Satyaki atas dasar persahabatan. Ketika Satyaki mulai sadar dari pingsannya, ia mengambil senjata kemudian memenggal Burisrawa.



Kematian Tiga puluh enam tahun setelah pertempuran di Kurukshetra berakhir, Wangsa Wresni dan Yadawa berpesta hingga mabuk. Dalam peristiwa tersebut, Kertawarma dan Satyaki saling mengejek. Satyaki menghina Kretawarma yang tega membunuh prajurit dalam keadaan tidur sedangkan Kertawarma menghina Satyaki yang membunuh Burisrawa dalam keadaan tak bersenjata. Setelah perang mulut dengan sengit, mereka bertempur, begitu pula yang dilakukan Wangsa Wresni lainnya. Atas kutukan Gandari, Wangsa Wresni saling bertarung dengan sesamanya sampai binasa, kecuali Kresna dan Baladewa serta para wanita. Satyaki dalam pewayangan Jawa Kelahirannya di waktu ibu Satyaki mau dibawa oleh pencuri, tidak ada yang mampu mengalahkan pencuri itu bahkan para Pandawa. Setelah lahir Satyaki ia dido’akan agar cepat tumbuh, seketika ia menjadi ksatria yang gagah, suaranya mantap mirip Bima, tapi tubuhnya kecil, dialah yang mampu mengalahkan maling tersebut yang bernama Singomulanjoyo, kemudian nama itu dipakai oleh Satyaki. Nama lainnya adalah Yuyudana, Bimo Kunthing, Singomulanjoyo. Mempunyai senjata Gada Wesi Kuning pemberian Prabu Kresna.



December 24, 2007



Setyaka - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Setyaboma - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Setiawan - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Setiajit - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Seta - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Sentanu - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sengkuni - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Sengkuni, Sangkuni atau Sakuni (Sansekerta: śakuni) adalah seorang tokoh antagonis dari wiracarita Mahabharata dan merupakan paman para Korawa, sebab beliau adalah kakak lelaki daripada Dewi Gandari, ibu para Korawa. Ketika para Pandawa berjudi melawan para Korawa, ialah yang menjadi pemain pada pihak Korawa. Di India, Sangkuni disebut Syakuni, sedangkan di tanah Sunda, ia disebut patih Sangkuning. Permainan dadu Untuk membantu keponakannya merebut kekayaan Yudistira di Indraprastha, Sangkuni berencana agar Duryodana mengundang Yudistira bermain dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Dalam permainan tersebut, Sangkuni berjanji akan mewakili Duryodana agar ia bisa menang dengan menggunakan kelicikannya. Niat tersebut disetujui oleh Duryodana. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat tersebut matang-matang dengan para pemuka keluarga yang lain, namun karena hasutan Sangkuni, ia merelakan rencana tersebut. Undangan pun dikirim ke Indraprastha dan pada hari yang ditentukan, Yudistira bersama keempat adiknya beserta istri mereka datang ke Hastinapura. Pada awal permainan, Sangkuni mengalah dan membiarkan Yudistira menikmati kemenangan kecilnya. Tak berapa lama kemudian, Sangkuni selalu memenangkan permainan. Angka dadu yang diminta Sangkuni pasti akan muncul



sesuai dengan harapannya dan tak pernah meleset, karena ia menggunakan kesaktiannya. Harta dan kerajaan milik Yudistira pun jatuh ke tangan Duryodana, termasuk saudara-saudaranya beserta istri mereka, yaitu Dropadi. Namun berkat pertolongan dari Dretarastra, Yudistira memperoleh kebebasannya kembali. Hartanya pun dikembalikan. Karena kecewa, permainan dadu pun diselenggarakan untuk yang kedua kalinya. Kali ini taruhannya adalah siapa yang kalah harus meninggalkan kerajaan dan mengasingkan diri di dalam hutan selama 12 tahun, dan setelah itu hidup dengan penyamaran di kerajaan lain selama setahun, dan setelah itu baru diperbolehkan kembali ke kerajaannya. Setelah menerima persyaratan tersebut, Yudistira bermain dadu untuk yang kedua kalinya dengan Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni. Namun kali ini pun ia kalah dan terpaksa mengasingkan diri ke dalam hutan selama 12 tahun dan hidup dalam penyamaran selama setahun, bersama dengan adik-adiknya dan istri mereka. Kematian Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Sangkuni memihak Duryodana. Ia gugur di tangan Sahadewa. Sangkuni dalam pewayangan Jawa Arya Sakuni yang waktu mudanya bernama Trigantalpati adalah putra kedua Prabu Gandara, raja negara Gandaradesa dengan permaisuri Dewi Gandini. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung masing-masing bernama Dewi Gandari, Arya Surabasata dan Arya Gajaksa. Arya Sakuni menikah dengan Dewi Sukesti, putri Prabu Keswara raja negara Plasajenar. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra bernama Arya Antisura alias Arya Surakesti, Arya Surabasa dan Dewi Antiwati yang kemudian diperistri Arya Udawa, patih negara Dwarawati. Sakuni mempunyai sifat atau watak yang tangkas, pandai bicara, buruk hati, dengki dan licik. Ia bukan saja ahli dalam siasat dan tata pemerintahan serta ketatanegaraan, tetapi juga mahir dalam olah keprajuritan. Sakuni mempunyai pusaka berwujud “Cis” (Tombak pendek untuk memerintah gajah) yang mempunyai khasiat dapat menimbulkan air bila ditancapkan ke tanah. Dalam perang Bharatayuddha, Sakuni diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa setelah gugurnya Prabu Salya, raja negara Mandaraka. Ia mati dengan sangat menyedihkan di tangan Bima. Tubuhnya dikuliti dan kulitnya diberikan kepada Dewi Kunti untuk melunasi sumpahnya. Mayat Sakuni kemudian dihancurkan dengan Gada Rujakpala.



December 24, 2007



Sembadra - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Sekipu - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sayempraba - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sawitri - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Satyawati - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sasrawindu - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sasrahadimurti - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Sasikirana - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sangkanturunan - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sanga Sanga - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Sambu - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Samba - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Salya - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Salya (Sansekerta: Shalya) merupakan kakak Madri, yaitu ibu Nakula dan Sadewa, dalam wiracarita Mahabharata. Salya pemimpin Madra-desa atau Kerajaan Madra. Ia merupakan paman Nakula dan Sadewa dari keluarga ibunya dan dicintai serta disayangi oleh para Pandawa. Salya merupakan pemanah mahir serta ksatria yang sangat tangguh. Dalam pertempuran akbar di Kurukshetra, ia memihak Korawa. Ia terbunuh pada hari kedelapan belas oleh Yudistira, salah satu keponakannya. Salya dalam Mahabharata Salya merupakan raja di Kerajaan Madra atau Madra-desa, yaitu salah satu kerajaan India Kuno yang terletak di sebelah barat Asia Selatan. Ia merupakan ksatria yang sangat tangguh pada zamannya. Ia sangat disegani oleh keponakannya, yaitu Pandawa. Sebenarnya, Salya memihak Pandawa saat pertempuran akbar di Kurukshetra. Salya mengirimkan pasukannya



dengan jumlah besar menuju markas Pandawa. Dalam perjalanan, ia dijamu oleh Duryodana yang ia kira adalah Yudistira. Hal itu sebenarnya merupakan siasat Duryodana agar mau membantu Korawa dalam pertempuran nantinya. Karena merasa berhutang budi, Salya pun mau memihak Korawa. Kemudian Salya bertemu dengan Yudistira dan meminta ma’af atas kekeliruannya. Dengan segan, Salya terjun ke medan laga Kurukshetra di pihak Korawa. Salya berperan sebagai kusir kereta Karna dalam peperangan tersebut. Saat Karna terbunuh pada hari ketujuh belas, Salya diangkat menjadi pemimpin pasukan Korawa. Namun ia memegang jabatan tersebut hanya setengah hari, sebab itu ia berhasil dibunuh oleh Yudistira dengan menggunakan senjata tombak. Salya dalam pewayangan Jawa Prabu Salya ketika mudanya bernama Narasoma, adalah putera Prabu Mandrapati, raja Negara Mandaraka dari permaisuri Dewi Tejawati. Prabu Salya adalah saudara kandung bernama Dewi Madrim yang kemudian menjadi isteri kedua Prabu Pandu, raja negara Astina. Prabu Salya menikah dengan Dewi Pujawati alias Dewi Setyawati. Putri tunggal Bagawan Bagaspati, brahmanaraksasa di pertapan Argabelah, dengan Dewi Darmastuti, seorang hapsari atau bidadari. Dari perkawinan tersebut, ia dikaruniai lima orang putra, yaitu: Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa dan Bambang Rukmarata. Prabu Salya mempunyai sifat tinggi hati, sombong, congkak, banyak bicara, cerdik dan pandai. Ia sangat sakti, lebihlebih setelah mendapat warisan Aji Candrabirawa dari mendiang mertuanya, Bagawan Bagaspati yang mati dibunuh olehnya. Prabu Salya naik tahta kerajaan Mandaraka menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang meninggal bunuh diri. Pada perang Bharatayuddha, Salya memihak Korawa dan menjadi pemimpin pasukan setelah Karna. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Salya gugur di medan pertempuran Bharatayudha oleh Prabu Yudhistira alias Prabu Puntadewa dengan pusaka Jamus Kalimasada.



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Sakutrem - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sakuntala - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Sakri - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



« Previous Page — Next Page »



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Sadewa - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



Sadewa atau Sahadewa (Sansekerta : sahadéva), adalah seorang protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah seorang Pandawa pula, tetapi berbeda dengan Yudistira, Bima, dan Arjuna ia adalah putra Dewi Madrim, adik Dewi Kunti. Ia adalah saudara kembar Nakula dan dianggap penitisan Aswino, Dewa Kembar. Sadewa pandai dalam ilmu astronomi yang ia pelajari di bawah bimbingan resi Drona. Sementara itu juga mengerti banyak mengenai penggembalaan sapi. Oleh karena itu ia bisa menyamar menjadi seorang gembala pada saat di negeri Wirata yang dikisahkan pada Wirataparwa. Selama masa penyamarannya di Kerajaan Matsya yang dipimpin Raja Wirata, Sadewa bertanggung jawab merawat sapi dan bersumpah akan membunuh Raja Gandhara, Sangkuni,



yang telah memperdaya mereka sepanjang hidup. Ia berhasil memenuhi sumpahnya untuk membunuh Sangkuni, pada saat hari kedua menjelang perang Bharatayuddha berakhir. Kepribadian Dari kelima Pandawa, Sadewa yang termuda. Meski demikian ia dianggap sebagai yang terbijak di antara mereka. Yudistira bahkan berkata bahwa ia lebih bijak daripada Brihaspati, guru para dewa. Sadewa adalah seorang ahli perbintangan yang ulung dan dianggap mengetahui kejadian yang akan terjadi dalam Mahabharata namun ia dikutuk bahwa apabila ia membeberkan apa yang diketahuinya, kepalanya akan terbelah. Maka dari itu, selama dalam kisah ia cenderung diam saja dibandingkan dengan saudaranya yang lain. Seperti Nakula (kakaknya), Sadewa adalah ksatria berpedang yang ulung. Ia juga menikahi puteri Jarasanda, Raja di Magadha dan adik iparnya juga bernama Sadewa. Keturunan Seluruh Pandawa bersama-sama menikahi Dropadi, dan Dropadi memberikan masing-masing seorang putera kepada mereka. Dari hasil hubungannya dengan Dropadi, Sadewa memiliki putera bernama Srutakama. Selain itu, Sadewa memiliki putra yang bernama Suhotra, dari istrinya Wijaya.



December 24, 2007



Sadana - Solo Posted by topmdi under Aksara S, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Rukmini - Solo Posted by topmdi under Aksara R, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Rukmakala - Solo Posted by topmdi under Aksara R, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Resi Anggira Posted by topmdi under Aksara R, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Rekatatama - Solo Posted by topmdi under Aksara R, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Rasawulan - Solo Posted by topmdi under Aksara R, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Ramawijaya - Solo Posted by topmdi under Aksara R, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Rama Bargawa - Solo Posted by topmdi under Aksara R, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Rajamala - Solo Posted by topmdi under Aksara R, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Ragu - Solo Posted by topmdi under Aksara R, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Putut Supawala - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Purwati - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Purwaganti - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Puntadewa - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Priambada - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Premadi - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Pratipa - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Prahasta - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Pragoto - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Pragalba - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Prabowo - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Prabasini - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Prabu Kusuma - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Prabakesa - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Petruk w/ bujang - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Pertiwi - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Pergiwati - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Pergiwa - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Parikesit - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Parikesit Ratu - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Parikesit (Sansekerta: parikṣita, parikṣit) atau Pariksita adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah raja Hastina dan cucu Arjuna. Ayahnya adalah Abimanyu sedangkan putranya adalah Janamejaya. Dalam kitab Adiparwa, akhir riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Parikesit meninggal karena digigit Naga Taksaka yang bersembunyi di dalam buah jambu, sesuai dengan kutukan Brahmana Granggi yang merasa sakit hati karena Prabu Parikesit telah mengkalungkan bangkai ular hitam di leher ayahnya, Bagawan Sarmiti. Parikesit tewas digigit oleh Naga Taksaka, setelah beliau diramalkan akan dibunuh oleh seekor ular. Maka beliaupun menyuruh untuk mengadakan upacara sarpayajna untuk mengusir semua ular. Tetapi karena sudah takdirnya, beliau pun digigit sampai wafat.



Peristiwa sebelum kelahiran Saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang. Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna samasama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang maish berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya. Ramalan



kehidupan



Resi Dhomya memprediksikan kepada Yudistira setelah Parikesit lahir bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi



oleh



Sang



Dewa).



Resi Dhomya memprediksikan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti Arjuna, yaitu kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi keluarganya. Raja



Hastinapura



Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, lima Pandawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Parikesit sudah layak diangkat menjadi raja, dengan Krepa sebagai penasihatnya. Beliau menyelenggarakan Aswameddha Yajña tiga kali di bawah bimibingan Krepa. Kehidupan



selanjutnya



Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggalah Bagawan Samiti. Beliau sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Kemudian Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada putera Bagawan Samiti yang bernama



Sang



Srenggi



yang



bersifat



mudah



marah.



Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular melilit leher ayahnya. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan



Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. ia mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk mengakhiri kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung. Kemudian Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut diduguhkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Raja Parikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Keturunan



Raja



Parikesit



Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putera bernama Janamejaya. Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian



memiliki



seorang



putra



bernama



Aswamedhadatta.



Para keturunan Raja Parikesit tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata. Parikesit



dalam



pewayangan



Jawa



Parikesit adalah putera Abimanyu alias Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang Bharatayuddha, ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di istana Hastinapura setelah



keluarga



Pandawa



boyong



dari



Amarta



ke



Hastinapura.



Parikesit naik tahta negara Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu Karimataya, nama gelar Prabu Yudistira setelah menjadi raja negara Hastinapura. Ia berwatak bijaksana, jujur dan adil. Prabu



Parikesit



Dewi



Dewi



5



Puyangan,



Dewi Dewi



mempunyai



(lima)



orang



berputera



Gentang, Satapi



alias



permasuri



Dewi



8



(delapan)



Ramayana berputera



Tapen,



Impun,



berputera berputera



Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta.



December 24, 2007



Parikenan - Solo



dan



orang



putera,



dan



Pramasata



Dewi Yudayana



dan Dewi



yaitu:



Tamioyi Dewi



Pramasti Niyedi



Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Panyarikan - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Pandu - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Pandu (Sansekerta: dieja Pāṇḍu) adalah nama salah satu tokoh dalam wiracarita Mahabharata, ayah dari para Pandawa. Pandu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, yaitu Dretarasta yang sebenarnya merupakan pewaris dari Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura, tetapi karena buta maka tahta diserahkan kepada Pandu dan Widura, yang tidak memiliki ilmu kesaktian apapun tetapi memiliki ilmu kebijaksanaan yang luar biasa



terutama



bidang



ketatanegaraan.



Pandu memiliki dua orang istri, yaitu Kunti dan Madri. Sebenarnya Pandu Dewanata tidak bisa mempunyai anak karena dikutuk oleh seorang resi, karena pada saat resi tersebut menyamar menjadi kijang untuk bercinta, Pandu memanah hingga resi itu tewas. Kedua istri Pandu Dewanata mengandung dengan cara meminta kepada Dewa.



Pandu Dewanata akhirnya tewas karena kutukan yang ditimpa kepadanya, dan Madri menyusul suaminya dengan membakar dirinya. Arti



nama



Nama Pandu atau pāṇḍu dalam bahasa Sansekerta berarti pucat, dan kulit beliau memang pucat, karena ketika ibunya (Ambalika) menyelenggarakan upacara putrotpadana untuk memperoleh anak, ia berwajah pucat. Kelahiran Ayah Pandu adalah Wicitrawirya dan ibunya adalah Ambalika. Saat Wicitrawirya wafat, ia belum memiliki keturunan. Maka Ambalika diserahkan kepada Bagawan Byasa agar diupacarai sehingga memperoleh anak. Ambalika disuruh oleh Satyawati untuk mengunjungi Byasa ke dalam kamar sendirian, dan di sana ia akan diberi anugerah. Ia juga disuruh agar terus membuka matanya supaya jangan melahirkan putera yang buta (Dretarastra) seperti yang telah dilakukan Ambika. Maka dari itu, Ambalika terus membuka matanya namun ia menjadi pucat setelah melihat rupa Sang Bagawan (Byasa) yang luar biasa. Maka dari itu, Pandu (puteranya), ayah para Pandawa, terlahir pucat. Kehidupan Pandu merupakan seorang pemanah yang mahir. Ia memimpin tentara Dretarastra dan juga memerintah kerajaan untuknya. Pandu menaklukkan wilayah Dasarna, Kashi, Anga, Wanga, Kalinga, Magadha, dan lain-lain. Pandu menikahi Kunti, puteri Raja Kuntibhoja dari Wangsa Wresni, dan Madri, puteri Raja Madra. Saat berburu di hutan, tanpa sengaja Pandu memanah seorang resi yang sedang bersenggama dengan istrinya. Atas perbuatan tersebut, Sang Resi mengutuk Pandu agar kelak ia meninggal saat bersenggama dengan istrinya. Maka dari itu, Pandu tidak bisa memiliki anak dengan cara bersenggama dengan istrinya. Dengan kecewa, Pandu meninggalkan hutan bersama istrinya dan hidup seperti pertapa. Di dalam hutan, Kunti mengeluarkan mantra rahasianya dan memanggil tiga Dewa, Yaitu Yama, Bayu, dan Indra. Dari ketiga Dewa tersebut, ia meminta masing-masing seorang putera. Ketiga putera tersebut adalah Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kunti juga memberi kesempatan kepada Madri untuk meminta seorang putera dari Dewa yang dipanggilnya, dan Madri memanggil Dewa Aswin. Dari Dewa tersebut,



Madri



menerima



putera



kembar,



diberi



nama



Nakula



dan



Sadewa.



Kelima putra pandu dikenal sebagai Pandawa. Kematian Lima belas tahun setelah ia hidup membujang, ketika Kunti dan putera-puteranya berada jauh, Pandu mencoba untuk bersenggama dengan Madri. Atas tindakan tersebut, Pandu wafat sesuai dengan kutukan yang diucapkan oleh resi yang pernah dibunuhnya. Kemudian Madri menitipkan putera kembarnya, Nakula dan Sadewa, agar dirawat oleh Kunti sementara ia membakar dirinya sendiri untuk menyusul suaminya ke alam baka.



December 24, 2007



Pancawala - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Palupi - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



Gagrak Surakarta Archived Posts from this Category



December 24, 2007



Palasara - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Padmanaba - Solo Posted by topmdi under Aksara P, Gagrak Surakarta No Comments



December 24, 2007



Niwatakawaca - Solo Posted by topmdi under Aksara N, Gagrak Surakarta No Comments