General Anestesi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

General Anestesi



General anestesia (GA) adalah blokade nyeri dari seluruh tubuh yang mengakibatkan depresi nervus saraf pusat yang reversibel dengan menggunakan obat-obatan secara intravena, inhalasi (volatile), atau kombinasi keduanya. Trias anestesi meliputi sedasi, analgesi dan relaksasi. Pemberian obat anestesi umum dapat secara parenteral dan inhalasi. Stadium anestesi terdiri dari : a.



Stadium I : stadium analgesia atau stadium disorientasi Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.



b.



Stadium II : stadium eksitasi atau stadium delirium Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.



c.



Stadium III : stadium pembedahan Mulai dari akhir stadium II, dimana pernafasan mulai teratur. Dibagi dalam 4 plana, yaitu :



1.



Plana 1 Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dengan pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus otot menurun.



2.



Plana 2 Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan frekwensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan refleks kornea menghilang.



3.



Plana 3 Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada torakal karena paralisis otot interkostal yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3 terjadi paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot diafragma, pupil melebar dan refleks



cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi refleks farings & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin menurun. 4.



Plana 4 Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.



d.



Stadium IV : stadium paralisis Mulai dari kegagalan pernapasan yang kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi



Pada kasus pembedahan khusus yang tidak tahu berapa lama pembedahaan akan berlangsung, dapat dipilih jenis anestesi umum. Selain itu, pada pasien yang memiliki kecemasaan yang cukup besar dapat juga dipilih anestesi umum, agar pasien tersebut tetap tenang dan tidak berontak saat dilakukan pembedahan.



Tahapan General Anestesi -



Induksi (awal pembiusan)



-



Konduksi (maintenance pembiusan)



-



Recovery (sadar kembali setelah anestesi)



Prosedur Anestesi Umum Persiapan pra anestesi umum Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.



Tujuan kunjungan pra anestesi: - Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.



- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin. - Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.



Persiapan pasien A. Anamnesis Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis: 1. Identifikasi pasien, misal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll. 2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal. 3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obatobat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator. 4. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah. 5. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.



B. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.



C. Pemeriksaan laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.



D. Masukan oral Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.



E. Klasifikasi status fisik Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia. ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas. ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat. ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. ASA VI: mati batang otak, potensi untuk donor organ. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.



F. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya : -Meredakan kecemasan dan ketakutan -Memperlancar induksi anesthesia -Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus -Meminimalkan jumlah obat anestetik -Mengurangi mual muntah pasca bedah -Menciptakan amnesia -Mengurangi isi cairan lambung -Mengurangi refleks yang membahayakan



Persiapan peralatan anestesi Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan tujuan kita memberi anesthesia yang lancar dan aman.



Mesin anestesi Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut: - Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat - Mengeluarkan CO2 dengan efisien - Bertekanan rendah - Kelembaban terjaga dengan baik - Penggunaannya sangat mudah dan aman



Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari: - Sumber O2, N2O, dan udara tekan. - Alat pantau tekanan gas (pressure gauge) - Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve) - Meter aliran gas (flowmeter) - Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers) - Lubang keluar campuran gas (common gas outlet) - Kendali O2 darurat (oxygen flush control) Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah disepakati ialah: Oksigen (putih), N2O (biru), Udara (Putih hitam kuning), CO2(Abuabu), Halotan (Merah), Enfluran (Jingga), Isofluran (Ungu), Desfluran (Biru), Sevofluran (kuning).



Sirkuit anestesi Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan menghisapnya dengan kapur soda.



Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari: - Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea - Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve) - Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube) Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk - Kantong cadang (reservoir bag) - Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet). Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O . Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system), sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.



Sungkup muka Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk observasi kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa. Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas. Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk ventilasi pasien.



Endotracheal tube (ETT) ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura. Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm. Sedangkan untuk bayi dan anak kecil cara memilih ukuran pipa trakea adalah dengan rumus : -



Diameter dalam pipa trakea (mm)



: 4.0 + ¼ umur (th)



-



Panjang pipa orotrakeal tube (cm)



: 12 + ½ umur (th)



-



Panjang pipa nasotrakeal (cm)



: 12 + ½ umur (th)



Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA) LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit dan membantu ventilasi saat bronkoskopi. Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau komplians paru rendah seperti penyakit jalan nafas restriktif.



Induksi dan rumatan anestesi Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS: S : Scope : Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.



T : Tubes : Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5 tahun dengan balon (cuffed). A : Airway : Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring (nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas. T : Tape : Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut I : Introducer : Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan C : Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia S : Suction : Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya



Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau rectal. a) Induksi intravena Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anesthesia, tambahan apada analgesia regional atau untuk membantu prosedur diagnostic. Obat yang biasa digunakan adalah : Tiopental dosis induksi 3-7 mg/kg disuntikan perlahan dihabiskan 30-60 detik, Propofol dosis bolus induksi 2-3 mg/kg, Ketamin untuk induksi intravena 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 310 mg/kg, Opioid (fentanil) dosis induksi 20-50 mg/kg.



b) Induksi intramuscular Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.



c) Induksi inhalasi Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat - tidak berbau menyengat / merangsang - baunya enak



- cepat membuat pasien tertidur. Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.



d) Induksi per rectal Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. Tandatanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.



Rumatan anesthesia Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan cara intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu kepada trias anesthesia yaitu hipnotik-sedatif, analgesia dan relaksasi. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena juga dapat menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.



Rumatan inhalasi Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol % atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol % atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernafas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).



Teknik anestesi - Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.



- Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan sungkup muka. - Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali



Ekstubasi Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.



Pasca bedah Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan). Selain itu juga bisa diberikan obat-obatan simptomatik biasanya analgesia ketorolac dan antimuntah ondansetron



REGIONAL ANESTESI



Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi disekitar syaraf sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesi regional dibagi menjadi epidural, spinal dan kombinasi spinal epidural, spinal anestesi adalah suntikan obat anestesi kedalam ruang subarahnoid dan ekstradural epidural di lakukan suntikan kedalam ekstradural. ( Brunner & suddarth, 2002 ). Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok simpatis, blok sensoris dan blok motoris maka perlu diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat anestesi lokal pada SAB dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi yang dicapai tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak faktor antara lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan berat jenis obat. Berat jenis obat lokal anesthesia dapat diubah–ubah dengan mengganti komposisinya, hiperbarik diartikan bahwa obat lokal anestesi mempunyai berat jenis yang lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal, yaitu dengan menambahkan larutan glukosa, namun apabila ditambahkan NaCl atau aqua destilata akan menjadi hipobarik (Gwinnutt, 2011).



1. Anatomi Tulang punggung (columna vertebralis) Terdiri dari : 



7 vertebra servikal







12 vertebra thorakal







5 vertebra lumbal







5 vertebra sacral ( menyatu pada dewasa )







4 vertebra kogsigeal ( menyatu pada dewasa )



Medula spinalis diperadarahi oleh spinalis anterior dan spinalis posteror.



Tulang belakang biasanya bentuk-bentuk ganda C, yang cembung anterior di daerah leher dan lumbal. Unsur ligamen memberikan dukungan struktural dan bersama-sama dengan otot pendukung membantu menjaga bentuk yang unik. Secara ventral, corpus vertebra dan disk intervertebralis terhubung dan didukung oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior. Dorsal, ligamentum flavum, ligamen interspinous, dan ligamentum supraspinata memberikan tambahan stabilitas. Dengan menggunakan teknik median, jarum melewati ketiga dorsal ligamen dan melalui ruang oval antara tulang lamina dan proses spinosus vertebra yang berdekatan (Morgan et.al 2006) . Untuk mencapai cairan cerebro spinal, maka jarum suntik akan menembus : kulit, subkutis, ligament supraspinosum, ligament interspinosum, ligament flavum, ruang epidural, durameter, ruang subarahnoid. (Morgan et.al 2006)



Gambar 2. Lapisan Columna Vertebralis



2. Indikasi Spinal Anestesi (Yuswana, 2005) a. Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah dan tulang. b. Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya atau pembedahan saluran kemih. c. Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi peritoneal. d. Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria. e. Diagnosa dan terapi



3. Kontra indikasi Spinal Anestesi (Latief, 2001) a. Absolut 1) Pasien menolak 2) Infeksi tempat suntikan 3) Hipovolemik berat, syok 4) Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan 5) Tekanan intracranial yang meninggi 6) Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi 7) Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai b. Relatif (latief, 2001) 1) Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia) 2) Kelainan neurologis 3) Kelainan psikis 4) Pembedahan dengan waktu lama 5) Penyakit jantung 6) Nyeri punggung 7) Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal



4. Persiapan Spinal Anestesi Pada dasarnya persiapan anestesi spinal seperti persiapan anestesi umum, daerah sekitar tusukan



diteliti apakah akan menimbulkan



kesulitan, misalnya kelainan anatomis



tulang punggung atau pasien gemuk sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. ( Latief, 2001) Selain itu perlu di perhatikan hal-hal dibawah ini : a. Izin dari pasien (Informed consent) b. Pemeriksaan fisik : Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung c. Pemeriksaan Laboratorium anjuran HB, HT, PT (Protombin Time) (Partial Thromboplastine Time).



dan PTT



d. Obat-obat Lokal Anesthesi. Salah satu faktor yang mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas (Barik Grafity) yaitu rasio densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan dengan densitas cairan spinal pada suhu 370C. Barisitas penting diketahui karena menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan ketinggian blok karena grafitasi bumi akan menyebabkan cairan hiperbarik akan cendrung ke bawah. Densitas dapat diartikan sebagai berat dalam gram dari 1ml cairan (gr/ml) pada suhu tertentu. Densitas berbanding terbalik dengan suhu (Gwinnutt, 2011). Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di golongkan menjadi tiga golongan yaitu: 1) Hiperbarik Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih besar dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal benar–benar hiperbarik pada semua pasien maka baritas paling rendah harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain 0,5% (Gwinnutt, 2011). 2) Hipobarik Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal pada suhu 370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh: tetrakain, dibukain. (Gwinnutt, 2011). 3) Isobarik Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya sama dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena terdapat variasi densitas cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999-1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5% (Viscomi 2004). Spinal anestesi blok mempunyai beberapa keuntungan antara lain: perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stres dapat dihambat,



komplikasi terhadap jantung, paru, otak dapat di minimal, tromboemboli berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sedang pasien masih dalam keadaan sadar. (Kleinman et al,2006).



5. Persiapan alat anestesi spinal ( Latief, 2001) a. Peralatan monitor b. Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG. c. Peralatan resusitasi / anestesi umum. d. Jarum spinal



6. Prosedur spinal anestesi Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan terbka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan pasien (Bernards, 2006). Adapun prosedur dari anestesi spinal adalah sebagai berikut (Morgan, 2006): a. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite preoperatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi. b. Posisi pasien : 1) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada. 2) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block. 3) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau prone.



c. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril. d. Cara penusukan. Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran puncture headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).



7. Keuntungan dan kerugian spinal anestesi Keuntungan penggunaan anestesi regional adalah murah, sederhana, dan penggunaan alat minim, non eksplosif karena tidak menggunakan obat-obatan yang mudah terbakar, pasien sadar saat pembedahan, reaksi stres pada daerah pembedahan kurang bahkan tidak ada, perdarahan relatif sedikit, setelah pembedahan pasien lebih segar atau tenang dibandingkan anestesi umum. Kerugian dari penggunaan teknik ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk induksi dan waktu pemulihan lebih lama, adanya resiko kurang efektif block saraf sehingga pasien mungkin membutuhkan suntikan ulang atau anestesi umum, selalu ada kemungkinan komplikasi neurologi dan sirkulasi sehingga menimbulkan ketidakstabilan hemodinamik, dan pasien mendengar berbagai bunyi kegiatan operasi dalam ruangan operasi. (Morgan et.al 2006).



8. Komplikasi spinal anestesi Komplikasi anestesi spinal adalah hipotensi, hipoksia, kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, mual muntah, nyeri kepala setelah operasi, retansi urine dan kerusakan saraf permanen (Bunner dan Suddart, 2002 ; Kristanto 1999). 9. Komplikasi pasca anestesi



Komplikasi anestesi adalah penyulit yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien. Penyulit dapat ditimbulkan belakangan setelah pembedahan. Komplikasi anestesi dapat berakibat dengan kematian atau cacat menetap jika todak terdeteksi dan ditolong segera dengan tepat. Kompliaksi kadangkadang datangnya tidak diduga kendatipun anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi anestesi tergantung dari deteksi gejala dini dan kecepatan dilakukan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Thalib, 1999).



10. Teknik Spinal Anestesi a. Teknik Median (metode midline) Tulang belakang dipalpasi dan posisi tubuh pasien diatur agar tegak lurus dengan lantai. Ini untuk memastikan jarumnya dimasukkan secara paralel dengan lantai dan akan tetap pada posisi garis tengah walaupun penusukan lebih dalam (Gambar 3). Processus spinosus vertebrae di lokasi yang akan digunakan dipalpasi, dan akan menjadi tempat memasukkan jarum. Setelah mempersiapkan dan menganestesi kulit seperti di atas, jarum dimasukkan ke garis tengah. Mengingat bahwa arah processus vertebra mengarah ke bawah, maka setelah jarum masuk langsung diarahkan perlahan ke arah cephalad. Jaringan sub kutan akan memberikan sedikit tahanan terhadap jarum. Setelah dimasukkan lebih dalam, jarum akan memasuki ligamen supraspinal dan interspinal, yang akan terasa meningkat kepadatan jaringannya. Jarum juga terasa lebih kuat tertanam. Jika terasa jarum memnyentuh tulang, berarti jarum mengenai bagian bawah processus spinosus. Kontak dengan tulang pada tusukan yang lebih dalam menunjukkan bahwa jarum pada posisi garis tengah dan menyentuh processus spinosus atas atau berada di posisi lateral dari garis tengah dan mengenai lamina. Dalam kasus seperti ini jarum harus diarahkan kembali. Saat jarum menembus ligamentum flavum, akan terasa tahanan yang meningkat. Pada titik inilah prosedur anestesi spinal dan epidural dibedakan. Pada anestesi epidural, hilangnya tahanan tiba-tiba menandakan jarum menembus ligamentum flavum dan memasuki ruang epidural. Untuk anestesi spinal, jarum dimasukkan lagi hingga menembus membran dura-subarachnoid dan ditandai dengan adanya aliran LCS. (Morgan et.al 2006)



b. Teknik (metode) Paramedian Penusukan kulit untuk teknik paramedian dilakukan 2 cm lateral ke prosesus spinosus superior dari tingkat yang ditentukan. Karena teknik lateral ini sebagian besar menembus ligamen interspinous dan otot paraspinous, jarum akan menghadapi perlawanan kecil pada awalnya dan mungkin tidak tampak berada di jaringan kuat. Jarum diarahkan dan lanjutan pada 10-25 ° sudut ke arah garis tengah. Identifikasi ligamentum flavum dan masuk ke dalam ruang epidural sering kali lebih halus dibanding dengan teknik median. Jika tulang dijumpai pada kedalaman yang dangkal dengan teknik paramedian, jarum kemungkinan bersentuhan dengan bagian medial lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan terutama ke atas dan sedikit lebih lateral. Di sisi lain, jika tulang yang ditemukan lebih dalam, jarum biasanya kontak dengan bagian lateral lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan hanya sedikit ke atas, lebih ke arah garis tengah. (Morgan et.al 2006)



Gambar 3. Teknik Paramedian



EPIDURAL ANESTESI



Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi local kedalam ruang epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang berasal dari medula spinalis dan melintasi ruang epidural. Anestetik local melewati duramater memasuki cairan cerebro spinal sehingga menimbulkan efek anestesinya. Efek anesthesia yang dihasilkan lebih lambat dari anesthesia spinal dan terbentuk secara segmental. Anesthesia epidural dapat digunakan mulai dari analgesia dengan blok motorik minimal sampai anesthesia dengan blok motorik penuh. Variasi ini dapat dikontrol dengan pemilihan obat, konsentrasi dan dosis. Pengunaan analgesia post operasi secara kontinu dengan narkotik atau local anestesi melalui kateter epidural semakin popular saat ini.



Anatomi Daerah epidural tersusun atas bagian dasar oleh membran sacrococcygeal, bagian posterior dibatasi oleh ligamentum flavum dan daerah anterior dari lamina dan processus articularis, bagian anterior dibatasi oleh ligamentum longitudinal posterior yang membungkus tulang vertebra dan discus intervertebralis. Bagian lateral dibatasi oleh foramen intervertebralis dan pedikel



Ruang epidural berisi lemak dan jaringan limphatik maupun vena epidural. Vena tidak memiliki katub dan berhubungan langsung dengan vena intracranial. Vena juga berhubungan dengan vena thorasik dan vena abdominal. Vena pada foramen intervertebralis, berlanjut pada pelvis yaitu pada pleksus vena sacralis. Daerah paling luas didaerah tengah dan runcing pada



bagian lateralnya. Pada daerah lumbal luasnya 5-6 mm dan pada daerah thoraks luasnya 3-5 mm. Fisiologi 1. Blokade neural. Anestesi local yang ditempatkan didaerah epidural bereaksi secara langsung pada akar nervus spinalis yang terdapat dibagian lateral dari ruang epidural. Akar nervus tersebut dibungkus dengan lapisan dural dan anestesi local mencapai cairan serebrospinal dengan menyerap pada dura. 0nset blok lebih lama dibandingkan dengan anestesi spinal, dan intensitas blok sensoris dan motorik rendah.



2. Kardiovaskuler. Hipotensi akibat dari blokade simpatik mirip seperti yang digambarkan pada anestesi spinal. Dosis yang besar dari anestesi local yang digunakan dapat diabsorbsi secara sistemik, mengakibatkan terjadinya depresi miokard. Epinefrin yang ditambahkan pada anestesi local dapat diabsorbsi dan akan memberikan efek sitemik seperti takikardi dan hipertensi.



3. Anesthesia epidural mengurangi terjadinya thrombosis vena dan embolisme pulmoner pada pembedahan ortopedi. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan perfusi keanggota gerak bagian bawah. Selain itu terdapat kecenderungan terjadinya penurunan koagulasi, penurunan agregasi platelet, dan perbaikan fungsi fibrinolitik selama anestesi epidural.



4. Perubahan fisiologis lain serupa dengan yang dihasilkan oleh anestesi spinal. Indikasi Pada umumnya indikasi epidural anestesi sama dengan spinal anestesi. Sebagai keuntungan epidural anestesi adalah anestesi dapat diberikan secara kontinyu setelah penempatan cateter epidural, oleh karena itu tehnik ini cocok untuk pembedahan yang lama dan analgesia setelah pembedahan.



Indikasi Khusus : a. Pembedahan sendi panggul dan lutut. Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi epidural untuk pembedahan panggul dan lutut dapat mengurangi insidens trombosis vena. Penyebab kematian pasien yang menjalani pembedahan sendi yang total adalah emboli paru. Lagi pula kehilangan darah selama pembedahan sendi panggul lebih kecil pada pemakaian tehnik anestesi epidural.



b. Revaskularisasi ektremitas bawah Penelitian menunjukkan bahwa anestesia epidural pada pasien dengan penyakit pembuluh darah periper , aliran darah kedistal selama rekonstruksi pembuluh darah anggota gerak bagian bawah adalah baik dan penyumbatan cangkokan pembuluh darah setelah operasi adalah kecil dibandingkan dengan anestesi umum.



c. Persalinan. Pasien-pasien obsteric yang takut nyeri melahirkan dapat ditangani dengan epidural anestesi dan memperoleh bayi dengan riwayat biokemia yang baik dari pada bayi dilahirkan pada ibu yang diberikan opioid atau anetestetik lainnya secara intravena.



d. Penanganan nyeri post operasi. Anestesi local konsentrasi rendah dan opoid atau kombinasi obat ini dengan analgesik lain adalah manjur pada kontrol nyeri post operasi. Analgesia post operasi ini memudahkan ambulatory dini dan kerja sama yang baik dengan phisio terapi.



Kontra Indikasi



Absolut : 



Pasien tidak setuju







Infeksi local pada daerah kulit yang akan ditusuk.







Sepsis generalisata (seperti septicemia, bacteremia).







Koagulopathi.







Alergi terhadap suatu jenis anestetik local.







Peningkatan tekanan intracranial.



Relatif : 



Hipovolemia







Penyakit SSP







Nyeri punggung kronik.







Pasien yang mendapat obat penghambat platelet, termasuk aspirin, dripiridamol, dan NSAID



Prosedur a.



Persiapan peralatan dan Jarum epidural. Seperti pada anestesi umum, obat-obatan serta mesin anestesia disiapkan sebelum penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk vasopressor untuk mencegah hipotensi, oksigen suplemen melalui nasal kanula atau masker untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik. Pada umumnya jarum weiss atau tuohy ukuran 17 yang digunakan untuk ideintifikasi ruang epidural. Jarum ini mempunyai stylet dan ujungnya tumpul dengan lubang pada sisi lateral dan mempunyai dinding tipis yang dapat dilalui kateter ukuran 20. Jarum ukuran 22 sering digunakan untuk tehnik dosis tunggal.



b. Menentukan posisi pasien Pasien dapat diposisikan pada posisi duduk, posisi lateral atau posisi prone dengan pertimbangan yang sama dengan anestesi spinal.



c. Identifikasi Ruang epidural. Ruang epidural teridentifikasi setelah ujung jarum melewati ligamentum flavum dan menimbulkan tekanan negatif pada ruang epidural. Metode untuk identifikasi ini dibagi dalam dua kategori : loss of resistance tehnik dan hanging drop tehnik.



1) Loss of resistence tehnik. Tehnik ini adalah cara yang umum dipakai untuk identifikasi ruang epidural. Cara ini dengan mengarahkan jarum melewati kulit masuk kedalam ligamentum interspinosus, dimana dibuktikan oleh adanya tahanan. Pada saat ini intraduser dikeluarkan dan jarum dihubungkan dengan spoit yang diisi dengan udara atau Nacl 0,9 %, kemudian tusukan dilanjutkan sampai keruang epidural. Ada



dua



cara



mengendalikan



kemajuan



penempatan



jarum.



Pertama



menempatkan dua jari menggenggam spoit dan jarum dengan tekanan tetap pada pangkalnya sehingga jarum begerak kedepan sampai jarum masuk kedalam ruang epidural. Pendekatan lain dengan menempatkan jarum beberapa millimeter dan saat itu dihentikan dan kendalikan dengan hati-hati. Dorsum tangan non dominan menyokong belakang pasien dengan ibu jari dan jari tengah memegang poros jarum. Tangan non dominan mengontrol masuknya jarum epidural dan setelah itu ibu jari tangan dominan menekan fluger dari spoit. Ketika ujung jarum berada dalam ligamentum fluger tidak bisa ditekan dan dipantulkan kembali, tetapi ketika jarum masuk ruang epidural terasa kehilangan tahanan dan fluger mudah ditekan dan tidak dipantulkan kembali. Cara yang kedua lebih cepat dan lebih praktis tetapi memerlukan pengalaman sebelumnya untuk menghindari penempatan jarum epidural pada lokasi yang salah. Apakah suntikan dengan Nacl 0,9 % atau udara yang dipakai pada loss of resistens tehnik tergantung pada pilihan praktisi. Ada beberapa laporan gelembung udara menyebabkan inkomplet atau blok tidak sempurna; betapapun ini terjadi hanya dengan udara dalam jumlah yang banyak.



Gambar. Posisi tangan pada jarum epidural



2) Hanging Drop tehnik. Dengan tehnik ini jarum ditempatkan pada ligamentum intrspinosus , pangkal jarum diisi dengan cairan Nacl 0,9 % sampai tetesan menggantung dari pangkal jarum. Selama jarum melewati struktur ligamen tetesan tidak bergerak; akan tetapi waktu ujung jarum melewati ligamentum flavum dan masuk dalam ruang epidural, tetesan cairan ini terisap masuk oleh karena adanya tekanan negatif dari ruang epidural. Jika jarum menjadi tersumbat, atau tetesan cairan tidak akan terisap masuk maka jarum telah melewati ruang epidural yang ditandai dengan cairan serebrospinal pada pungsi dural. Sebagai konsekuensi tehnik hanging drop biasanya digunakan hanya oleh praktisi yang berpengalaman .



Gambar. Cara memasukkan jarum kedalam ruang epidural



d. Pilihan tingkat block. Anestesia epidural dapat dilakukan pada salah satu dari empat segmen dari tulang belakang (cervical, thoracic, lumbar, sacral). Anestesia epidural pada segmen sacralis biasanya disebut sebagai anesthesia caudal. 1) Lumbar epidural anesthesia. a. Midline approach. Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutup kain steril dan diidentifikasi interspace L4-5 sejajar Krista iliaka. Interspace dipilih dengan palpasi apakah level L3-4 atau L4-5. Jarum ukuran 25 digunakan untuk anestesi local dengan



infiltrasi dari suferfisial sampai kedalam ligamentum interspinosa dan supraspinosa. Jarum ukuran 18 G dibuat tusukan kulit untuk dapat dilalui jarum epidural. Jarum epidural dimasukkan terus pada tusukan kulit dan dilanjutkan kearah sedikit kecephalad untuk memperkirakan lokasi ruang interlaminar dan sebagai dasar adalah pada perocesus spinosus superior. Setelah jarum masuk pada struktur ligamentum , spoit dihubungkan



dengan jarum dan tahanan



diidentifikasi. Poin utama disini bahwa adanya perasaan jarum masuk pada struktur ligamentum. Apabila perasaan kurang jelas adalah akibat tahanan pada otot paraspinosus atau lapisan lemak mengakibatkan injeksi local anestesi kedalam ruang lain dari pada ruang epidural dan terjadi gagal blok. Apabila ini terjadi penempatan jarum pada ligamentum diperbaiki, kemudian jarum dilanjutkan masuk keruang epidural dan loss of resistensi diidentifikasi dengan Hati-hati.



Gambar. anestesi epidural lumbal: pendekatan median.



b. Paramedian approach Biasanya dipilih pada kasus dimana operasi atau penyakit sendi degeratif sebelumnya ada kontra indikasi dengan median approach. Tehnik ini lebih mudah bagi pemula, karena saat jarum bergerak kedalam ligamen dan perubahan tahanan tidak terjadi, maka jarum masuk ke otot paraspinosus dan tahanan hanya dirasakan bila jarum sampai pada ligamentum flavum. Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutupi kain streril seperti pada mid line approach. Jarum ditusukkan kira-kira 2-4 cm kelateral garis tengah pada



bagian bawah processus spinosus superior. Tusukan kulit dibuat dan jarum epidura langsung diarahkan kecephalad seperti pada median approach dan kemudian jarum dilanjutkan kearah midline. Setelah strukur dermal ditembusi spoit dihubungkan dengan jarum dan selanjutnya jarum masuk masa otot psraspinosus akan terasa tahanan minimal dan kemudian sampai



ada



peningkatan tahanan yang tiba-tiba ketika jarum sampai pada ligamentum flavum. Jika jarum telah melewati ligamentum flavum dan setelah loss of resiten teridentifikasi maka jarum telah masuk kedalam ruang epidural.



Gambar. Anestesia epidural lumbal : pendekatan paramedian . 2) Thoracic epidural anesthesia. Thoracic epidural anesthesia adalah tehnik yang lebih sulit dari pada lumbar epidural anesthesia , dan kemungkinan untuk trauma pada medulla spinalis adalah besar. OLeh karena itu, yang penting bahwa praktisi sepenuhnya familiar dengan lumbar epidural anesthesia sebelum mencoba thoracic epidural block. a. Midline approach Interspase lebih sering diidentifikasi dengan pasien pada posisi duduk. Pada segmen atas thoracic, sudut processus spinosus lebih miring dan curam kearah kepala. Jarum dimasukkan melewati jarak yang relatif pendek mencapai ligamentum supraspinous dan interspinous, dan ligamentum flavum diidentifikasi biasanya tidak lebih dari 3-4 cm dibawah kulit. Kehilangan tahanan yang tiba-tiba adalah tanda masuk dalam ruang epidural. Semua tehnik epidural anesthesia



diatas regio lumbal kemungkinan kontak langsung dengan medulla spinalis harus dipertimbangkan selama mengidentifikasi ruang epidural. Jika didapatkan nyeri yang membakar kemungkinan bahwa jarum epidural kontak langsung dengan medulla spinalis harus dipertimbangkan dan jarum harus dengan segera dipindahkan. Kontak berulang dengan tulang dan tidak didapatkan ligamentum atau ruang epidural adalah indikasi untuk merubah pada pendekatan paramedian.



Gambar. Epidural anestesia thorakal : pendekatan median. b. Paramedian approach. Pada pendekatan paramedian , interspase diidentifikasi dan jarum ditusukkan kira-kira 2 cm kelateral garis tengah pada pinggir kaudal prosesus spinosus superior. Pada tehnik ini jarum ditempatkan hampir tegak lurus pada kulit dengan sudut minimal 10-15 derajat kearah midline dan dilanjutkan sampai lamina atau pedikle dari tulang belakang disentuh. Jarum ditarik kebelakang dan ditujukan kembali agak kecephalad. Jika tehnik ini sempurna ujung jarum akan kontak dengan ligamentum flavum. Spoit dihubungkan dengan jarum, dan pakai tehnik loss of resistence atau hanging drop untuk mengidentifikasi ruang epidural. Sama dengan paramedian approach pada regio lumbar, jarum harus dilanjutkan sebelum ligamentum flavum dilewati dan ruang epidural didapatkan.



Gambar. Anestesi epidural thorakal : pendekatan paramedian.



3) Cervical epidural anesthesia. Tehnik ini khusus dilakukan dengan pasien pada posisi duduk dan leher difleksikan. Jarum epidural dimasukkan pada midline khususnya pada interspase C5C6 atau C6-C7 dan ditusukkan secara relatif datar kedalam ruang epidural dengan memakai tehinik loss of resistence dan lebih sering dengan hanging drop.



Gambar. Anestesia epidural cervical : pendekatan median.



e. Penempatan kateter. Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada operasi yang lama dan pemberian analgesia post operasi. 1) Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika bevel diposisikan kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus ditarik kembali1-2 cm untuk menurunkan insiden parestesia dan pungsi dural atau vena.



2) Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami parasthesia yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika kateter tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-sama. 3) Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter. 4) Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah masuk, kateter ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural. 5) Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi dapat dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan kemudian kateter diplester dengan kuat pada bagian belakang pasien dengan ukuran yang besar, bersih dan diperkuat dengan pembalutan.



f. Obat-obatan untuk anestesi epidural. Anestetik local. Pilihan obat anestetik local untuk anesthesia epidural ditentukan oleh lamanya prosedur operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain adalah kerja singkat, mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah kerja lama. Buvipakain konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada prosedur yang membutuhkan blok motoris untuk setiap blok sensorik dibandingkan dengan obat lainnya. Tabel. Anestetik local untuk anesthesia epidural Obat



Konsentrasi



Lama anesthesia dengan epinefrin (menit)



Chloroprokain



2–3 %



60



Lidokain



1,5 %



60 – 90



Mepivakain



1,5 %



90 – 120



Bupivakain



0,5 %



> 180



Etidokain



1,0 %



> 150



Epinefrin. Penambahan epinefrin (5 mg/ml) kedalam anestesi local yang disuntikkan kedalam ruang epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara menekan absorbsi, menurunkan konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan sitemik. Epinefrin juga mengurangi suatu kelainan akibat penyuntikan intravaskuler. Sejumlah kecil epinefrin diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek beta adrenergik, peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan denyut jantung.



Tes dosis Karena anestesi epidural termasuk meninjeksikan sejumlah besar obat anestesi local, pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar. Aspirasi pluger dari spoit dapat menarik darah atau CSS. Kateter epidural ditarik kembali dan ditempatkan pada tempat lain apabila terdapat darah atau CSS dalam kateter. Tes dosis selalu diperlukan, hal ini terdiri dari 3 ml anestesi local dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan mengandung 5 mg epinefrin (lidokain 1,5 % dan epinefrin 1 : 200.000 yang sering digunakan). Bila jarum atau kateter masuk kedalam vena epidural mengakibatkan peningkatan denyut jantung 20 denyut permenit atau lebih besar dalam dua menit. Jika jarum atau kateter terletak diruang epidural , hal tersebut tidak terjadi dan tidak ada perubahan tekanan darah atau denyut jantung. Sering sejumlah kecil cairan teraspirasi sebelum obat anestesia diinjeksikan. Adanya cairan ini adalah cairan serebrospinal atau anestesia lokal yang diinjeksikan sebelumnya. Dipstick test membedakan adanya glukosa, dimana cariran serebrospinal mengandung glukosa dan tidak ada pada cairan anestesi lokal. Dosis anestesi. Penyebaran obat anestetik local dalam ruang epidural hanya tergantung pada volume yang dinjeksikan . sedang konsentrasi anestetik local dalam larutan hanya berpengaruh pada derajat dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural labih lambat walaupun ditambahkan sodium bikarbonat kedalam anestesi local untuk mempercepat onsetnya. Volume larutan anestetik yang tepat untuk anesthesia epidural lumbal berkisar dari 15 – 25 ml. Studi pada sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata adala 1,6 ml per segemen spinal yang dianestesi. Pada ruang epidural torakal yang sempit kurang lebih dibutuhkan setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra abdominal yang meningkat diperlukan volume anestetik local lebih sedikit untuk mencapai distribusi yang diberikan.



Penambahan anestetik local yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli anestesiologi pada observasi klinik. Bila anestetik dihabiskan untuk dua dermatom , penambahan sepertiga sampai setengah dari jumlah anestetik local semula akan diperoleh anesthesia yang adekuat. Bilamana menggunakan anestetik epidural dan anestesi umum bersama-sama, penambahan dosis diberikan pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi local.



Opioid. Dibandingkan dengan spinal opioid , epidural opioid menghasilkan efek yang hampir sama dan dibutuhkan perhatian yang sama, karena diberikan jumlah yang lebih besar. Opioid mempunyai kerja sinergis dengan anestetik local yaitu memepertinggi efektivitas konsentrasi yang kecil dari obat anestetik local.



Komplikasi 1.



Intra operatif



a.



Pungsi dural Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural. Jika hal ini terjadi,



ahli anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada kasusnya. Perubahan keanestesi spinal dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal. Kemudian anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan sejumlah anestesi lokal keruang subarachnoid melalui jarum. Jika anestesi epidural diperlukan ( misalnya untuk analgesia post operasi), kateter akan direposisikan keda-lam interspace diatas pungsi dengan demikian ujung dari kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi spinal dengan injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.



b.



Komplikasi kateter



1) Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim.. hal ini lebih sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian lateral dibandingkan apabila jarum diinsersikan pada median atau ketika bevel dari jarum secara cepat ditusukkan kedalam ruang epidural. Hal tersebut dapat juga terjadi apabila bevel dari jarum hanya sebagian yang melewati ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada kasus terakhir , pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam ruang epidural dapat memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum sebaiknya ditarik dan direposisikan bersama-sama jika terjadi tahanan.



2) Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga darah teraspirasi oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan dosis test. Kateter seharusnya ditarik secara perlahan-lahan sampai darah tidak ditemukan pada aspirasi dari pengetesan. Penarikan penting agar dapat segera dipindahkan dan diinsersikan kembali.



3) Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak terjadi infeksi, tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi dibandingkan dengan pembedahan. Pasien seharusnya dinformasikan dan diterangkan mengenai masalah yang terjadi. Komplikasi dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter lebih besar dibandingkan dengan komplikasi dari penanganan secara konservatif. c.



Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja . Injeksi dengan sejumlah



basar volume



anestesi local kedalam ruang subarachnoid dapat menghasilkan anestesi spinal yang total. d.



Injeksi intravaskuler anestesi local kedalam vena epidural menyebabkan toksisitas pada



sistim saraf pusat dan kardiovaskuler yang menyebabkan konvulsi dan kardiopulmonary arrest. e.



Overdosis anestesi local. Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan disebabkan



oleh adanya penggunaan obat yang jumlahnya relatif basar pada anesthesia epidural.



f.



Kerusakan spinal cord. Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset



parestesia unilateral menandakan insersi jarum secara lateral masuk kedalam ruang epidural. Selanjutnya injeksi atau insersi kateter pada bagian ini dapat menyebabkan trauma pada serabut saraf. Saluran kecil arteri pada arteri spinal anterior juga masuk kedalam area ini dimana melewati celah pada foramen intervertebral. Trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan iskemia spinal cord anterior atau hematoma epidural. g.



Perdarahan. Perforasi pada vena oleh jarum dapat menyebabkan suatu perdarahan yang



emergensi dan mematikan. Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan pada tempat itu maka dapat meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara tepat. 2.



Post Operasi a. Sakit kepala post pungsi dural. Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17, menyebabkan sebanyak 75 % dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post punsi dural . b. Infeksi. Abses epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi epidural. Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain . Infeksi dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang dipergunakan untuk pertolongan nyeri post operasi atau melalui suatu infeksi kulit pada tempat insersi. Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah punggung secara local. Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut saraf dan paralisis. Pada awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu lekosit dari lumbal pungsi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau Magnetik Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting adalah dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik yang baik adalah berhubungan dengan cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan. c. Hematoma epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural. Trauma pada vena epidural menimbulkan koagulophati yang dapat menyebabkan suatu hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri punggung yang hebat dan



defisit neurologi yang persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan computered tomographi atau MRI. Decompresi laminektomy penting dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi.



ARTERI LINE Pengertian Arterial line pada umumnya di pakai pada perawatan pasien critical di intensive care unit yang di gunakan untuk memantau tekanan darah secara komprehensive. Ini di gunakan terhadap pasien yang terutama hypotensive ataupun hypertensive sehingga memerlukan obat2 secara intravenous untuk mengontrol tekanan darah hingga dalam batas normal atau sesuai dgn yang di inginkan. Disamping itu arterial line juga di gunakan untuk pengambilan darah sampling terutama blood gas analisa. Dan hal yang paling penting untuk di perhatikan bahwa line ini bukan untuk medication karena ada pengalaman bahwa ada yang memberikan obat melalui art line. Suatu pengukuran terhadap sistem kardiovaskuler dengan cara invasif yaitu memasukan kateter ke dalam pembuluh arteri pulmonal melalui pembuluh darah vena besar



Hal2 yang penting dalam perawatan arterial line ; 



Arterial dressing harus di ganti minimal 2 hari sekali oleh 2 RN kalau posisi atau kondisi dressing berubah sehingga mempengaruhi hasil bacaan di monitor.







Harus di lakukan zeroing setiap minimal satu shif sekali atau kalau di perlukan







Check peripheral perfused sekitar tempat insertion site terhadap kemungkinan adanya komplikasi.







Pressure bag harus memberikan tekanan 300 mmHg untuk tetap memberikan 3 mls/hour flushing melalui artetial line.







Perhatikan trace terhadap adanya overdamping atau underdamping yang sanagt mempengaruhi hasil di layar monitor terutama hasil SBP ( systolic blood pressure), DBP dan MAP (Mean Arterial Pressure.



DISAIN DAN JENIS KATETER 1.Ukuran untuk dewasa dan anak. a.Panjang 60 - 110 cm



b.French : 4.0 – 8,0 c.Volume balon mengembang : 0,5-1,5 ml d.Diameter balon : 8-13 mm e. Material : Polyvinyl chloride dengan penyesuaian suhu ruangan dan suhu tubuh. f. Shaft : Ada tanda/marker tiap 10 cm dengan tanda hitam LOKASI DAN CARA PEMASANGAN a. Pemasangan kateter dapat dilakukan secara perkutan atau cutdown melalui vena besar yaitu : Vena Internal jugolaris, Vena subclavia,Vena antecubital atau Vena femoralis.



b. Jarak posisi RA, RV, PA dan BAJI. Tempat penusukan RA RV PA BAJI Satuan V.internal jugolaris kanan 15 25 40 45 cm V.internal jugolaris kiri 20 30 45 50 cm V.antecubital kanan 45 60 75 80 cm V.antecubital kiri 50 65 80 85 cm V.subclavia kanan 10 20 35 40 cm V.subclavia kiri 15 25 45 50 cm



PERSIAPAN PEMASANGAN 1. Persiapan pasien. a. Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga mengenai tujuan pemasangan dan prosedur tindakan. b. Membuat surat ijin tindakan. c. Mengatur posisi pasien yang aman dan nyaman sesuai dengan daerah pemasangan.Bila memungkinkan pasien memakai masker. 2. Persiapan alat – alat. a. Alat – alat khusus: - Cairan bilas untuk tranduser ( Nacl 0.9 % 500 ml : heparin 500 iu ) dosis heparin 1 – 4 iu / ml. - Cairan bilas untuk curah jantung / CO ( D5W 500 ml ).



- Infus set. - Kantong tekanan. - Disposibel tranduser ( triple atau double tranducer ) - Penyangga tranducer - Standart infus - Manometer line - Threeway stopcock - Kateter arteri pulmonalis - Introduce kit - Monitor, modul, elektroda, kabel - Pipa U / Water interface b. Alat – alat untuk penusukan : - Set instrumen steril - Set alat tenun steril - Sarung tangan steril - Cairan antiseptik ( betadin cair 10 % ) - Obat anestesi local ( lidocain 2 % atau marcain 0.5 % ) - Spuit 1 ml, 2.5 ml, 5 ml, 10 ml - Heparin - Benang untuk jahit - Kasa steril - Plester



CVP 1. Pengertian CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga ujungnya berada di dalam atrium kanan atau di muara vena cava. CVP disebut juga kateterisasi vena sentralis (KVS) Tekanan vena sentral secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan. Secara tidak langsung menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan ventrikel kanan pada akhir diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena sentral adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004) nilai normal CVP adalah 4 – 10 mmHg. Perawat harus memperhatikan perihal : 1. Mengadakan persiapan alat – alat 2. Pemasangan manometer pada standard infus 3. Menentukan titik nol 4. Memasang cairan infus 5. Fiksasi 6. Fisioterapi dan mobilisasi 2. Tujuan 1. Mengetahui tekanan vena sentralis (TVS) 2. Untuk memberikan total parenteral nutrition (TPN) ; makanan kalori tinggi secara intravena 3. Untuk mengambil darah vena 4. Untuk memberikan obat – obatan secara intra vena 5. Memberikan cairan dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat 6. Dilakukan pada penderita gawat yang membutuhkan erawatan yang cukup lama CVP bukan merupakan suatu parameter klinis yang berdiri sendiri, harus dinilai dengan parameter yang lainnya seperti : 



Denyut nadi







Tekanan darah







Volume darah







CVP mencerminkan jumlah volume darah yang beredar dalam tubuh penderita, yang ditentukan oleh kekuatan kontraksi otot jantung. Misal : syock hipovolemik –> CVP rendah



3. Persiapan untuk pemasangan a. Persiapan pasien Memberikan penjelasan pd klien dan klg ttg: – tujuan pemasangan, – daerah pemasangan, & – prosedur yang akan dikerjakan b. Persiapan alat – Kateter CVP – Set CVP – Spuit 2,5 cc – Antiseptik – Obat anaestesi lokal – Sarung tangan steril – Bengkok – Cairan NaCl 0,9% (25 ml) – Plester 4. Cara Kerja a. Daerah yang Dipasang : 



Vena femoralis







Vena cephalika







Vena basalika







Vena subclavia







Vena jugularis eksterna







Vena jugularis interna



b. Cara Pemasangan : 



Penderita tidur terlentang (trendelenberg)







Bahu kiri diberi bantal







Pakai sarung tangan







Desinfeksi daearah CVP







Pasang doek lobang







Tentukan tempat tusukan







Beri anestesi lokal







Ukur berapa jauh kateter dimasukkan







Ujung kateter sambungkan dengan spuit 20 cc yang diisi NaCl 0,9% 2-5 cc







Jarum ditusukkan kira – kira 1 jari kedepan medial, ke arah telinga sisi yang berlawanan







Darah dihisap dengan spuit tadi







Kateter terus dimasukkan ke dalam jarum, terus didorong sampai dengan vena cava superior atau atrium kanan







Mandrin dicabut kemudian disambung infus -> manometer dengan three way stopcock







Kateter fiksasi pada kulit







Beri betadhin 10%







Tutup kasa steril dan diplester



5. Keuntungan Pemasangan di Daerah Vena Sublavia 1. Mudah dilaksanakan (diameter 1,5 cm – 2,5 cm) 2. Fiksasi mudah 3. Menyengkan penderita 4. Tidak mengganggu perawatan rutin dapat dipertahankan sampai 1 minggu 6. Cara Menilai CVP dan Pemasangan Manometer 1. Cara Menentukan Titik Nol CVP Manometer 



Penderita tidur terlentang mendatar







Dengan menggunakan slang air tang berisi air ± setengahnya -> membentuk lingkaran dengan batas air yang terpisah







Titik nol penderita dihubungkan dengan batas air pada sisi slang yang satu. Sisi yang lain ditempatkan pada manometer.







Titik nol manometer dapat ditentukan







Titik nol manometer adalah titik yang sama tingginya dengan titik aliran V.cava superior, atrium kanan dan V.cava inferior bertemu menjadi satu.



7. Penilaian CVP 



Kateter, infus, manometer dihubungkan dengan stopcock -> amati infus lancar atau tidak







Penderita terlentang







Cairan infus kita naikkan ke dalam manometer sampai dengan angka tertinggi -> jaga jangan sampai cairan keluar







Cairan infus kita tutup, dengan memutar stopcock hubungkan manometer akan masuk ke tubuh penderita







Permukaan cairan di manometer akan turun dan terjadi undulasi sesuai irama nafas, turun (inspirasi), naik (ekspirasi)







Undulasi berhenti -> disitu batas terahir -> nilai CVP







Nilai pada angka 7 -> nilai CVP 7 cmH2O







Infus dijalankan lagi setelah diketahui nilai CVP



8. Nilai CVP 



Nilai rendah : < 4 cmH2O







Nilai normal : 4 – 10 cmH2O







Nilai sedang : 10 – 15 cmH2O







Nilai tinggi : > 15 cmH2O



Penilaian CVP dan Arti Klinisnya CVP sangat berarti pada penderita yang mengalami shock dan penilaiannya adalah sebagai berikut : 1. CVP rendah (< 4 cmH2O)







Beri darah atau cairan dengan tetesan cepat.







Bila CVP normal, tanda shock hilang -> shock hipovolemik







Bila CVP normal, tanda – tanda shock bertambah -> shock septik



2. CVP normal (4 – 14 cmH2O) 



Bila darah atau cairan dengan hati – hati dan dipantau pengaruhnya dalam sirkulasi.







Bila CVP normal, tanda – tanda shock negatif -> shock hipovolemik







Bila CVP bertambah naik, tanda shock positif -> septik shock, cardiogenik shock



3. CVP tinggi (> 15 cmH2O) 



Menunjukkan adanya gangguan kerja jantung (insufisiensi kardiak)







Terapi : obat kardiotonika (dopamin).



8. Faktor -faktor yang Mempengaruhi CVP 1. Volume darah : 



Volume darah total







Volume darah yang terdapat di dalam vena







Kecepatan pemberian tranfusi/ cairan



2. Kegagalan jantung dan insufisiensi jantung 3. Konstriksi pembuluh darah vena yang disebabkan oleh faktor neurologi 4. Penggunaan obat – obatan vasopresor 5. Peningkatan tekanan intraperitoneal dan tekanan intrathoracal, misal : 



Post operasi illeus







Hematothoraks







Pneumothoraks







Penggunaan ventilator mekanik







Emphysema mediastinum



6. Emboli paru – paru 7. Hipertensi arteri pulmonal 8. Vena cava superior sindrom 9. Penyakit paru – paru obstruksi menahun 10. Pericarditis constrictiva 11. Artevac ; tersumbatnya kateter, ujung kateter berada di dalam v.jugularis inferior