Goenawan Mohamad - Catatan Pinggir 07 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

GOENAWAN MOHAMAD



http://facebook.com/indonesiapustaka



7



PUSAT DATA & ANALISA



TEMPOiii



Catatan Pinggir 9



http://facebook.com/indonesiapustaka



7



Catatan Pinggir 7



i



http://facebook.com/indonesiapustaka



ii



Catatan Pinggir 7



GOENAWAN MOHAMAD



http://facebook.com/indonesiapustaka



7



PUSAT DATA & ANALISA



TEMPOiii



Catatan Pinggir 7



CATATAN PINGGIR 7 Goenawan Mohamad, Juli 2003 - Juni 2005 Kata pengantar: Bambang Sugiharto Editor bahasa: Dewi Kartika Teguh W., H. Sapto Nugroho, Uu Suhardi Korektor dan Indeks: Ade Subrata Kulit muka, tata letak, dan ilustrasi: Edi RM Foto pengarang: Rully Kesuma ©Goenawan Mohamad, 2006 Hak Cipta dilindungi Undang-undang. Cetakan Pertama, Juni 2006 Cetakan Kedua, Maret 2011 Diterbitkan oleh Pusat Data dan Analisa Tempo Kebayoran Centre, Blok A 11 - A 15, JI. Kebayoran Baru - Mayestik Jakarta 12440 Telp. ( 021) 725.5625 - Faks (021) 725.0524 Website: www.pdat.co.id e-mail: [email protected]



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dicetak oleh Percetakan PT Temprint, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan



iv



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



Daftar Isi ix



Pengantar



1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97 101



Kota Tuhan Titanic 1944 NKRI Gatholoco Angkor Syak Schwarzenegger Technē Nippon 11/9 Imam (1) Musuh Said Rumah Gelegar Korupsi Emak Kaya Pohon-Pohon Riba Allah Maaf Dhanu Tso Wang Saddam



Catatan Pinggir 7



v



http://facebook.com/indonesiapustaka



107 115 119 123 127 131 135 139 143 147 151 155 159 163 167 171 175 179 183 187 191 195 199 203 207 211 215 219 223 227 231 vi



2004 Setiap Desember Adalah Menunggu Jarak The Clowns Asrul Sepatu Horor Pilih Parrhesia Prancis Grondslag Karbala Agama Hiperboria La Mezquita Passion Imam (2) Anggrek Spion Ambon Abu Ghuraib Berber Zhivago Lisan Si Anjing Troya Tertawa Tepi Tanggulsari Ramalan Karnaval Darah Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



235 239 243 247 251 255 259 263 267 271 275 279 283 287 291 295 299 303 307 311 315



Saksi Proklamasi Maharaja Kynisme Fantasi Beslan Jakarta, 10 September 2004 Pengebom Sosok 1965 Infeksi Sayu Pulung November Saman Liberalisme Yakin Kejadian Van Gogh Mati Jasih



321 329 333 337 341 349 353 357 361



2005 Terang, Gelap, Harap Tsunami Balsam Kotak Hitam Surat kepada Teman yang Mencemooh Indonesia Gempa Beguganjang Al-Ghazali In Memoriam Catatan Pinggir 7



vii



http://facebook.com/indonesiapustaka



365 369 373 377 381 385 389 393 397 401 405 409 413 417 421 425



viii



Minyak Adil Memberi Amina Bandung Vatikan Magda Takut Mulyana Munir Guantanamo Waiçak Ciliwung Eropa Turki Jacko



Catatan Pinggir 7



KOTA TUHAN



http://facebook.com/indonesiapustaka



J



IKA kita hidup di lorong-lorong miskin yang berlumur narkotik dan bergelimang darah, jika kita tinggal di bawah permukaan kota besar tempat gerombolan menembak manusia­ seperti menembak ayam, jika kita hidup di favela Rio de Janeiro, di mana 20 persen penduduk tinggal dalam keadaan jorok dan jelata, dengan kata lain, jika kita bagian dari Cidade de Deus­ seperti yang dipaparkan film sutradara Fernando Meirelles,­bisa­ kah kita melepaskan diri dari kedurjanaan? Pertanyaan itu sama artinya dengan bisakah kita berharap. Di ”Dunia Ketiga”, di Rio ataupun Jakarta, yang dikepung kemis­ kin­an, kejahatan, dan korupsi, harapan adalah problem pokok yang tak diakui. Seakan-akan dia sudah ada. Seakan-akan Yang Durjana, Evil yang menyengsarakan itu, adalah sesuatu yang jauh, yang mustahil bisa jadi bagian dari hidup sehari-hari. Tapi abad ke-20 yang baru lewat menunjukkan, ada orang yang makan, minum, bersetubuh, berak, kencing, tidur, dan be­ ker­ja seperti orang kebanyakan, berkeluarga seperti orang keba­ nyakan, tapi pada saat yang sama sanggup mengerjakan tugas mem­bunuh manusia dengan cara bengis dan dalam skala besar. Adolf Eichmann adalah contoh yang terkenal—dan kita ingat, birokrat yang setia di bawah pemerintahan Hitler inilah yang meng­giring dengan rutin orang Yahudi untuk dibantai, yang jadi contoh Hannah Arndt ketika ia berbicara tentang the banality of evil, ”banalnya kedurjanaan”. Kedurjanaan macam itu tentu saja tak hanya berkenaan de­ ngan­Jerman dan Holocaust. Apalagi di abad ke-21. Saya ang­gap­ yang tergambar dalam karya Meirelles, Cidade de Deus, menunjukkan bahwa kedurjanaan bisa jadi bagian hidup sehari-hari bukan karena manusia jadi sekrup sebuah Negara yang bengis. KeCatatan Pinggir 7



1



http://facebook.com/indonesiapustaka



KOTA TUHAN



durjanaan juga bisa jadi begitu di wilayah yang justru ditinggalkan Negara, di tengah kemelaratan dan anarki­yang berlapis dan berliku bagaikan labirin. Di sana, orang se­akan­-akan telah me­ nye­rah, tak akan bisa keluar dari jebakan ruang pengap itu. Tentang itulah agaknya Cidade de Deus, ”Kota Tuhan” da­ lam­­karya Meirelles itu, menjawab De civitate Dei, ”Kota Tuhan” dalam karya Santo Agustinus. ”Kota Tuhan” Agustinus di abad ke-4 adalah sebuah alternatif bagi Roma yang roboh karena keruntuhan akhlak. ”Kota” itu— tentu saja sebuah kiasan—tak bersendi pada kekuasaan, melainkan pada sukma manusia yang dengan saleh menanti datangnya kembali Al Masih. De civitate Dei adalah sebuah suara optimisme. Dalam gam­ bar­an Agustinus, Tuhan bukanlah dewa-dewa Romawi pra-Kristen yang melembagakan pertunjukan darah di arena seraya membuat manusia takut dan menjadikannya buas. Tuhan-nya Agustinus memberi manusia kemampuan untuk merenungi dan menikmati hadirat-Nya, dan memberinya ke­mau­an bebas. Tuhan itu tak akan mencopot kemauan bebas makhluk­ ini meskipun bi­la ia berbuat dosa. Karena kebesaran sikap itu, menurut Agustinus, Tuhan akan lebih ”memunculkan kebaikan dari dalam kedurjanaan” ketimbang mencegah kedurjanaan terjadi. Tapi, mungkinkah ada harapan seperti itu di tengah wilayah miskin kota besar di abad ke-21? Di ”Kota Tuhan” Meirelles, kita ketemu Li’l Dice. Sejak kecil sampai dengan ketika ia dewasa dengan nama Li’l Zé—bos lorong-lorong hitam Rio de Janeiro—ia menyelesaikan hampir­ semua soal dengan pembunuhan. Ia bisa dengan tenang­meng­ajar seorang anak umur 10 tahun untuk menembak mati se­orang sebayanya yang tak berdaya. Saya kira bahkan Santo Agustinus akan bertanya bagaimana mungkin Tuhan menciptakan Li’l Dice. Manusia ini tam­pak­tak 2



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



KOTA TUHAN



tahu bagaimana ia akan keluar dari labirin orang mis­kin kota itu, yang telah berjalin dengan narkotik, kekerasan, tapi memberinya­ kekuasaan dan kebebasan. Sejak ia masih disebut Li’l Dice, Zé memang hanya mengenal itu, bersama ratusan anak yang telah meninggalkan orang tua, ditinggalkan orang tua. Rumah-rumah melarat mencekik mereka, dan liku-liku­kota besar mengajari mereka untuk tidak tercekik dengan cara yang paling brutal. Favela Rio de Janeiro dalam Cidade de Deus adalah sebuah kombinasi rumah piatu dengan rumah jagal. Di sana, hari-hari bermain bertaut dengan saat-saat membantai, malammalam narkoba bergabung dengan jam-jam berteman. Film Meirelles dibuka dengan adegan Li’l Zé dan serombongan bocah bersenjata mengejar seekor ayam yang lepas menjelang disembelih, melintasi liku-liku kampung yang sempit. Mereka berteriak, tertawa, menembak, tak takut kalau ada peluru yang mengenai orang yang lewat. Dari mereka, ”kebaikan” agaknya tak akan bisa muncul dari ke­durjanaan, dan harapan patut ditertawakan. Ned, seorang pe­ muda tampan yang lurus hati, yang karena dendam bergabung dengan salah satu kelompok hitam di favela durjana itu, bertekad tak akan membunuh orang yang tak bersalah. Tapi pada akhir­ nya ia berbuat sama dengan bajingan lain. Agustinus, apa yang akan Tuan katakan tentang ”Kota Tuhan”­ ini? Tentu Tuan, seorang santo dari abad ke-4, tak akan menjawab. Tapi mungkin ada jawab yang terlupakan. Jangan­-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup­—yang sebentar, tapi menggugah, mungkin indah. Sebagai­mana kedurjanaan bisa jadi banal, siapa tahu mukjizat juga bisa terjadi sebagai saat yang tak mengejutkan, dan kita sering melupakannya. Adegan ini misalnya: dalam keadaan luka sehabis tembak-me­ nembak, Ned mencoba menghibur seorang anak yang tergeleCatatan Pinggir 7



3



KOTA TUHAN



tak hampir mati kena peluru. Anak itu kemudian yang ternyata membunuhnya. Tapi detik-detik ketika Ned berbicara hangat kepadanya mungkin adalah saat isyarat Tuhan: bahwa Ia tak meninggalkan ”Kota”-Nya—atau kota mana pun—dan membuat hidup sepenuhnya keji dan nyeri. Dengan atau tanpa Agustinus, bersyukur itu indah.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 6 Juli 2003



4



Catatan Pinggir 7



TITANIC



http://facebook.com/indonesiapustaka



K



ETIKA di bulan April 1912 kapal Titanic pelan-pelan teng­gelam di laut dingin di tengah malam, para penumpang kelas satu berusaha berebut tempat di sekoci penyelamat. Sejumlah kelasi mencegah mereka dengan menodongkan senjata,­karena menurut aturan anak-anak dan perempuanlah yang harus diberi tempat lebih dulu.... Kurang-lebih itulah yang tampil dalam film James Cameron­ yang termasyhur itu—sebuah adegan yang mengesankan­betapa­ orang-orang di kelas atas itu adalah mereka yang tak punya­­rasa belas dan tak bisa mengalah. Tapi sedikitnya separuh dari Titanic adalah sebuah fiksi. Ada yang mengatakan bahwa kejadian yang sebenarnya dalam benca­ na­Titanic justru sebuah kisah kepahlawanan orang di kelas atas. Dalam daftar malapetaka Titanic ada John Jacob Astor, Benjamin Guggenheim, dan Isidor Straus, orang-orang kaya Amerika terkemuka, sementara yang selamat adalah mereka­yang tak berdaya. Fareed Zakaria, dalam The Future of Freedom, mengutip statistik dari bencana hari itu: di antara penumpang kelas­satu, se­mua anak kecil selamat, dan hanya lima perempuan yang mati—tiga di antaranya bersedia tenggelam bersama suami­mereka. Benjamin Guggenheim, misalnya, menolak ikut masuk ke dalam sekoci. Ia memberi tempat kepada seorang perempuan yang kemudian memang selamat. Pesannya yang ter­akhir:­ ”Katakan kepada istri saya.... Tak ada seorang perempuan pun tertinggal di kapal ini hanya gara-gara Ben Guggenheim seorang pengecut.” Dengan itu, tema pun berubah. Yang tampak ialah bahwa selapis elite bukanlah dengan sendirinya sekelompok orang yang hanya mujur dan mendapat. Pengertian noblesse oblige tak datang Catatan Pinggir 7



5



http://facebook.com/indonesiapustaka



TITANIC



dari angan-angan, bahwa siapa saja yang memiliki privilese dan berkuasa justru wajib untuk siap memberikan diri bagi kepen­ ting­an umum dan terutama untuk nasib mereka yang lemah.­Fareed Zakaria hendak mengemukakan, sebagai bagian dari argumennya, bahwa dewasa ini sikap itu tengah tenggelam. Demo­ kratisasi merambah ke mana-mana tapi justru tak mendatangkan kebebasan. Demokratisasi perlu. Tapi, dalam pandangan Zakaria, arus ini berbahaya bila tak tersedia satu lapisan masyarakat yang memimpin, yang senantiasa menghargai hak-hak perorangan untuk berpikir merdeka, bersuara merdeka, dan memiliki hukum yang dijalankan secara benar. Contoh buruk adalah Gujarat. Di ne­ga­ ra bagian India itu, demokrasi berjalan, para pemimpin dipilih­ oleh rakyat banyak. Tapi demokrasi ini menghalalkan penindas­ an dan pembunuhan minoritas muslim oleh mayoritas Hindu— sebuah demokrasi yang dalam pengertian Fareed Zakaria disebut­ ”tak-liberal”. India, yang dulu dipim­pin satu lapisan atas yang me­lahirkan Nehru, kini sudah digantikan oleh sebuah demokrasi­ yang memanjakan purbasangka orang jalanan. Dengan kata lain, di Gujarat, seperti halnya dalam demo­krasi di tempat lain, tak ada elite seperti di kapal Titanic dalam versi­ Zakaria. Tak ada orang-orang yang dalam kata-kata Ki Hajar De­­wantara bersikap ing ngarsa sung tuladha: jika berada di depan,­ kita wajib memberi teladan keadilan dan kelapang­an hati. Ki­Ha­ jar adalah orang yang percaya pada sistem ”demokrasi dengan kepemimpinan”. Tapi dari mana datangnya kepemimpinan, dan bagaimana noblesse oblige bisa tumbuh? Zakaria memang tak membuktikan bahwa yang terjadi di Titanic mencerminkan sebuah code of honour atau patrap kehormat­ an kalangan atas. Meskipun demikian, harus diakui bahwa­ sejarah lapisan atas tak seluruhnya hitam. Pengertian ”elite” tak ha­ 6



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



TITANIC



nya mengenai status, tapi juga serangkai nilai-nilai­yang mencerminkan rasa bangga pada keluhuran diri dan rasa percaya akan po­sisinya dalam sejarah. Ernesto ”Che” Guevara termasuk dalam lapisan itu: ia seorang dokter, anak keluarga kaya di Argentina, tapi mengabdikan hidupnya buat kaum yang papa di Amerika Latin. Ki Hajar Dewantara sendiri,­ yang datang dari Ndalem Pa­­kualaman, Yogya, adalah contoh lain. Bahkan kakaknya ber­ gerak­di kalangan buruh. Tapi tentu saja dengan sikap ing ngarsa sung tuladha saja selapis pemimpin tak dengan sendirinya menumbuhkan dan memperta­ hankan kebebasan manusia. Kaum revolusioner di­Rusia dan di Cina adalah sebuah elite yang siap berkorban bagi kepentingan umum, tapi tak akan membiarkan demokrasi­ tumbuh—satu hal yang kini juga tampak di Singapura, sebuah republik dengan kepemimpinan yang anehnya dikagumi Zakaria. Maka dibutuhkan sejenis elite lain. Tapi bagaimana mereka­ bi­sa dipesan, terutama di zaman ketika ideologi elitisme runtuh? Di zaman ini, cerita tentang noblesse oblige umumnya telah digan­ tikan dengan cerita kapitalisme. Langsung atau tidak, kapitalisme­ mengajarkan bahwa hidup akan jadi lebih baik jika orang meng­ akui pamrihnya sendiri, dan bersama itu sadar akan perhitungan untung-rugi. Sebab, dengan demikian orang bisa berunding, tak ada yang merasa lebih suci dan tak ada orang yang tergila-gila untuk jadi ”luhur” seraya menimbulkan heboh. Uang, kapital, dan pendidikan yang meluas memang telah me­nyebabkan kasta-kasta lama guncang atau runtuh. Sementara itu, kini belum lahir kasta baru dengan nilai-nilai yang mantap un­tuk menghindarkan Gujaratisme yang intoleran atau ”premanokrasi” yang korup. Saya tak tahu adakah kita di­jalan buntu. Tapi Indonesia bukannya tanpa sejarah selapis elite yang mengabdi. Kartini, Agus Salim, Tan Malaka, Bung Hatta, Bung Kar­no,­­­ Catatan Pinggir 7



7



TITANIC



Syahrir, Mononutu, Leimena, dan lain-lain tercatat telah­ber­buat yang terbaik untuk publik. Mereka memang dilupakan­ dalam masa ”Orde Baru”, ketika kehidupan politik seakan-akan sebuah kapal Titanic dalam versi yang busuk, ketika yang di atas sampai jam terakhir hanya hendak menye­lamatkan diri sendiri. Tapi siapa tahu kini ada kesempatan untuk mengingat mereka kembali, untuk benih baru setelah 2004.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 13 Juli 2003



8



Catatan Pinggir 7



1944



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



UNIA tampak sedikit lebih tenang di Dumbarton Oaks hari itu. Musim gugur mendekat, udara bertam­ bah sejuk seperti lazimnya bulan September, dan di rumah yang dihiasi lukisan dari zaman Bizantium dan Abad Te­ ngah itu, di antara­petak-petak kebun yang asri, empat menteri luar negeri­bertemu­—seakan-akan setelah itu, tak ada musim di­ ngin yang akan mencengkeram. Sebuah cita-cita tinggi sedang hendak dicapai, sebuah rencana besar disusun: mereka menyiapkan cetak-biru sebuah lem­baga yang disebut ”Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Mimpi­mereka perdamaian, niat mereka keamanan dunia. Mereka—wakil Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan Cina—datang karena rasa ngeri, tapi juga karena sangka baik. Betapa berbeda tahun 1944 itu dengan tahun 2003. Di Dum­ barton Oaks, harapan sedang naik. Posisi keempat negeri­ yang bertemu itu di atas angin dalam perang besar yang me­landa Eropa, Afrika, dan Asia. Musuh mereka, Jerman, Italia,­dan Jepang, su­dah terdesak. Tapi para calon pemenang itu toh tahu betapa besar ongkos konflik selama lima tahun itu. Seusai­perang,­tercatat 21 juta orang sipil tewas—setelah Hitler bunuh diri di bunkernya di Berlin dan bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Dunia gentar. Para pemimpin pelbagai negeri berupaya untuk menemukan cara dan institusi yang dapat menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Ide untuk mendirikan PBB bahkan bermula sebelum pertemuan di Dumbarton Oaks. Hulunya bisa ditemukan dalam Atlantic Charter yang di­susun­ Presiden AS Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill pada tahun 1941. Atau bahkan jauh sebelumnya, setiap kali manusia baru merasakan luka busuk peperangan. Imma­nuel Kant Catatan Pinggir 7



9



http://facebook.com/indonesiapustaka



1944



telah memikirkannya pada tahun 1795. Presi­den­Wilson melaksanakan gagasan yang sama pada tahun 1918, dengan mendirikan­ Liga Bangsa-Bangsa. Kant, Wilson, dan pertemuan di Dumbarton Oaks sama-sama bertolak dari sebuah sangka baik, bahwa setelah sebuah pe­ rang­ besar, bangsa-bangsa akan bersedia bekerja sama, dan berunding, untuk perdamaian. Tapi tak jarang memang sangka baik itu ditertawakan oleh me­reka yang bisa menunjukkan bahwa dunia bukanlah sebuah re­sepsi perkawinan. PBB dianggap telah keliru dalam memandang bagaimana dunia ”sebenarnya”. Mungkin karena PBB berangkat dari cita-cita yang ter­lam­pau­ luhur hingga harus dilaksanakan dengan sikap prag­ma­tik­—tapi sebuah sikap pragmatik yang sering membingungkan. Dalam cita-cita itu, perdamaian dunia akan dikaitkan dengan perkawanan dan kesetaraan. Tapi tak mudah untuk memutuskan apa dan siapa yang berdamai dan setara di dunia ini. Akhir­ nya, ”bangsa”-lah yang dipilih untuk menjadi sang subyek. Sebagai konsekuensinya, ”bangsa” harus dianggap homogen­ da­lam tubuhnya. Sebuah ”bangsa” harus diasumsikan punya struk­tur, punya batas dan otoritas yang mewakilinya. Walhasil, ”negara-bangsa”-lah yang diakui sebagai subyek. PBB pada akhir­ nya memang sebuah perkumpulan ”negara-bangsa”, lain tidak. Tapi ”bangsa” bukanlah sebuah subyek yang kukuh apalagi kekal. Pada tahun 1971, misalnya, ”bangsa Pakistan” tak lagi ber­ arti mencakup mereka yang hidup di sebelah timur. Bangladesh men­jadi sebuah bangsa tersendiri, dan diterima sebagai anggota PBB pada tahun 1974. ”Negara” juga tak dengan sendirinya identik dengan ”bangsa”.­ Kekuasaan yang berada di pucuk ”negara”, yang dalam sidang PBB mengatasnamakan orang banyak yang hidup di sebuah wi­ layah, belum tentu sebuah kekuasaan yang diterima orang banyak­ 10



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



1944



itu. Yakinkah kita, bisakah ”bangsa” Korea Utara di­wakili rezim yang sekarang bertakhta? Begitu juga ”bangsa” Saud? Dalam pada itu, ”negara” juga bisa berganti secara radikal,­seperti setelah robohnya Tembok Berlin pada tahun 1989. USSR atau Uni Soviet tak lagi sebuah federasi komunis, dan Rusia ber­ diri sendiri pada tahun 1991. ”Negara-bangsa”, subyek itu, memang sebuah pengertian yang­sering meragukan—dan juga tanpa kesetaraan: begitu besar­ beda India (penduduknya lebih dari semiliar), misalnya, dari Bru­­nei (penduduknya cuma 300 ribu), meskipun kedua-duanya punya suara yang sama di PBB. Sebenarnya sejak pertemuan di Dumbarton Oaks, telah tampak perbedaan itu: ada bangsa yang menang dan ada yang kalah perang. Itu sebabnya sampai dengan hari ini ada ”negara-bangsa” yang duduk dalam Dewan Keamanan dengan kekuasaan memveto keputusan yang diambil. Tapi rupanya di awal abad ke-21, Amerika, salah satu ”negara-bangsa” yang punya posisi istimewa itu, kian merasa privilese itu tak memadai. PBB, bagi pemerintahan Bush, adalah gangguan bagi kedau­ latan nasionalnya. Kini Amerika tegak seperti sebuah ben­teng be­sar yang memandang ke luar dengan sikap seperti memelototi­ sebuah wilayah barbar yang mengancam—dalam bentuk AlQai­dah ataupun AIDS. Dan ia merasa bisa membereskan sendiri wilayah barbar itu. Maka buat apa PBB? Tapi mari kita bayangkan PBB bubar. Bayangkan sebuah dunia yang tanpa lembaga untuk merundingkan konflik bersenjata antara pelbagai negeri. Bayangkan sebuah dunia tempat penyelesaian sengketa sepenuhnya ditentukan oleh perang dan oleh siapa yang paling kuat dalam perang itu. Mungkin itulah yang sedang terjadi. Tapi sepenuhnya? Kini sebuah hegemon akan tak cukup dengan hanya menggertak dan menyuap. Dunia kian berliku dan tak terduga. Ke­kuat­an—setiCatatan Pinggir 7



11



1944



daknya dalam perekonomian—tak pernah bisa bertahan sendi­ rian terus-menerus. Pada akhirnya akan diperlukan juga sebuah daya yang bukan cuma militer, tapi daya untuk meyakinkan tentang apa yang dianggap ”adil” dan ”tak adil”. Dengan kata lain, se­buah ”ideologi”, yang palsu ataupun setengah palsu, tapi me­ mer­lukan percaturan pendapat. Kita tak berada di masa pra1944, sebelum Dumbarton Oaks, sebelum orang di dunia merasa saling membutuhkan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 20 Juli 2003



12



Catatan Pinggir 7



NKRI



http://facebook.com/indonesiapustaka



A



CEH kini bukan hanya sebuah daerah yang dirajang pe­­rang, tapi juga sejumlah pertanyaan. Pertanyaan­ itu­ semuanya berkait dengan apa sebenarnya sebuah ”In­do­ nesia”­—ya, apa sebenarnya ”Indonesia” yang hendak diperta­han­ kan. Kata para jenderal dan politikus, keutuhan wilayah itulah yang harus dibela. Tapi apa arti ”wilayah” sebuah negeri? Apa pu­ la ”keutuhan” itu? Kita acap lupa ”wilayah” adalah sebuah tempat­ dalam ilmu bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan sekian garis bujur. Ia sebuah ruang. Dalam riwayatnya yang panjang manusia membela ruang itu sebagai membela milik sendiri, tapi dalam hal ”Indonesia”, apa artinya ”milik”? ”Milik” pada akhirnya berarti kekuasaan, dan kekuasaan itu ber­gerak dalam sejarah. Seandainya Raffles, orang Inggris itu, te­rus berkuasa di Jawa dan tak menyerahkan pulau ini kepada Be­landa pada tahun 1816, mungkin Singapura yang kemudian­ didirikannya akan jadi bagian dari sebuah wilayah yang kini disebut ”Indonesia”. Atau sebaliknya: bisa juga Yog­ya­karta akan termasuk sebuah negeri yang disebut ”Singapura”. Perang dan perdagangan—kedua-duanya bukan sesuatu yang sakral—yang membuat dan menetapkan peta bumi. Benarkah ”wilayah” be­ gitu­berarti hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan? Benar­ kah begitu penting ”keutuhan”? ”Keutuhan”—kata ini pun tak pasti benar dari mana da­ tang­nya. Yang jelas, ia mencakup pengertian yang lebih luas ke­ timbang sekadar ketentuan tapal batas. ”Keutuhan” bukan sekadar persoalan teritorial. Ia juga bisa berarti sumber­alam dan kese­ imbangan ekologi, termasuk hutan tropis yang hijau dan biodiversitas hewan yang hidup, juga para penghuni, kehidupan sosi­ Catatan Pinggir 7



13



http://facebook.com/indonesiapustaka



NKRI



al, dan khazanah kebudayaan mereka. Apa artinya­ ”keutuhan” yang dipertahankan bila hutan jadi terbakar,­sawah dan lumbung hancur, dan suatu masyarakat berantakan? Apa artinya ”keutuh­ an” jika kelompok manusia yang berbeda saling membunuh dan mengusir? Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankan adalah sebu­ ah ”Indonesia” sebagai ingatan yang berharga. Sejak kita kanakkanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang dari ”Sabang sampai Merauke”, tentang orang-orang Aceh yang menyumbangkan yang mereka miliki buat Republik Indonesia yang baru berdiri, tentang kolonialisme Belanda yang justru mempersatukan pelbagai orang di Nusan­tara. Kenangan itu sangat intim. Ia bagian dari identitas kita. Tapi se­tiap catatan dari masa lalu selalu mengandung apa yang luhur dan juga apa yang brutal, apa yang mengharukan dan juga apa yang mengerikan, bahkan memuakkan. Kenangan tentang sebu­ ah ”Indonesia” dapat berisi dokumen yang mere­kam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang berbeda—niat yang membuat Sumpah Pemuda pada tahun 1928 terjadi dan sebuah generasi baru dengan ikhlas melupa­kan­ikatan kesetiaan la­ ma mereka, untuk membangun sebuah ikatan kesetiaan baru. Tapi sejarah persatuan itu juga dapat berupa sejarah ketidakikhlasan. Bahkan sejarah kekerasan, pemaksaan, dan penyera­ gam­an. Itulah sebabnya Bung Hatta pernah memperingat­kan agar ”per-satu-an” dibedakan dari ”per-sate-an”. Maka, sebuah ”Indonesia” yang manakah yang hendak kita per­tahankan? Saya termasuk mereka yang akan menjawab: sebuah ”Indone­ sia” yang dengan Aceh ada di dalamnya, tapi bukan sebuah NKRI (singkatan yang kaku dari ”Negara Kesatuan Republik Indonesia”), yang memaksa Aceh untuk berada di dalamnya. Saya akan menangis bila Aceh terlepas dari Republik. Tapi saya juga 14



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



NKRI



akan menangis bila Aceh dibungkam oleh mereka yang datang atas nama Republik. ”Indonesia” yang utuh adalah Indonesia yang punya cita-cita yang berharga untuk utuh. Amerika Serikat adalah contoh yang tak menarik pada harihari ini, tapi dulu, pada pertengahan abad ke-19, ketika se­bagian­ wilayah republik itu hendak memisahkan diri, seorang presiden yang kurus dan arif terpaksa mengirim tentara untuk memadamkan ”pemberontakan” itu. Tapi bukan karena takut akan hilangnya sekian ribu kilometer persegi tanah. Ada yang lebih penting ketimbang keutuhan wilayah—yakni keutuhan sebuah cita-cita yang layak. Maka, ketika sejumlah negara bagian di Selatan menjadi ke­ kuatan separatis karena ingin melanjutkan perbudakan, Presiden Lincoln memutuskan: mereka harus dikalahkan. Sebuah perang pun meletus. Korban berjatuhan, amat dahsyat. Tapi Amerika Se­rikat waktu itu tahu untuk apa. Kalimat pertama pidato Presiden Lincoln di Makam Pah­ lawan­ Gettysburg menjawab kenapa perang itu harus terjadi— dan itu tak jauh dari pertanyaan mengapa Amerika Serikat harus berdiri: ia adalah ”sebuah bangsa baru, yang dibuahi­dalam kemerdekaan, dan dipersembahkan untuk cita-cita­ bahwa semua manusia diciptakan sama”. Perbudakan jelas ber­tentang­an dengan cita-cita itu, dan siapa yang akan mempertahankannya dengan kekerasan harus dikalahkan. Di Indonesia belum terdengar alasan yang sejelas itu, tapi di Aceh, tentara telah dikirim. Perang berkobar. Korban jatuh di kedua belah pihak. Apa sebenarnya sebuah ”Indonesia” yang hendak dipertahankan? Jawabannya akan menentukan hidup kita kelak. Sebuah ”Indonesia” yang masih bercita-cita atau sebuah ”Indonesia” yang tanpa cita-cita? Sebuah ”Indonesia” yang pandai bernegosiasi atau sebuah ”Indonesia” yang bagaikan preman, yang me­nangguk unCatatan Pinggir 7



15



NKRI



tung dari kekerasan? Sebuah ”Indonesia” yang percaya kepada hak-hak rakyat atau sebuah ”Indonesia” yang sedang hendak menampik demokrasi? Sebuah ”Indonesia” yang patut dibanggakan atau sebuah ”Indonesia” yang bahkan oleh bangsanya sendiri berhenti diacuhkan? Aceh memang sejumlah pertanyaan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 27 Juli 2003



16



Catatan Pinggir 7



GATHOLOCO



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



IAP sistem keimanan akan didatangi seorang Gatholoco—sebuah sosok negatif. Dalam khazanah Islam di Jawa, nama tokoh ini berasal dari sebuah puisi naratif panjang yang kontroversial. Ia kadang digambarkan sebagai orang berbadan pendek kurus, berambut keriting, berkulit muka bopeng bekas cacar, bermata juling. Di mulutnya yang kecil terpasang gigi yang ruwet. Ku­pingnya lebar, dadanya cacat dan perutnya buncit. Kulitnya kotor seakan-akan bersisik (mbesisik mangkak), dan napasnya ter­ sengal-sengal. Dengan kata lain, Gatholoco tampil sebagai seseorang yang akan sulit sekali diterima orang ramai. Dan itulah yang terjadi, ke­tika dalam kisah ini, tiga orang kiai dari Pondok Pesantren Re­jasari menemuinya di jalan menuju Pondok Cepèkan. Segera mereka menampik Gatholoco sebagai sebuah bentuk yang luar biasa buruk, menggelikan, dan malah layak dikutuk: dengan te­ nang­nya makhluk ini selalu memegang bedudan, pipa bambu untuk mengisap candu. ”Astagfirullah!” seru para kiai. Maka salah seorang dari me­re­ ka bertanya siapa nama orang ini, dan di mana pula ru­mah­­nya. ”Namaku Gatholoco,” katanya dengan suara tenang dan pe­ nuh percaya diri. ”Aku manusia lelaki sejati, dan rumahku di te­ ngah­jagat.” Ketika ketiga kiai itu tertawa mendengar nama yang tak lazim itu, Gatholoco tanpa tersinggung menjelaskan. Gatho, katanya, berarti ”kepala yang rahasia” (sirah kang wadi), dan loco berarti untuk digosokkan (pranti gosokan). Tampak ada asosiasi antara nama itu dengan phallus, dan para kiai tahu ada yang saru—aib, jorok dalam kaitannya dengan yang Catatan Pinggir 7



17



http://facebook.com/indonesiapustaka



GATHOLOCO



seksual—dalam ekspresi Gatholoco. Nama itu bukan saja buruk, tapi juga ”haram, najis, lan mekruh”. Dengan kata lain, seluruh diri Gatholoco adalah sebuah kontravensi. Ia sebuah penolakan. Dan itulah yang dilakukannya—atau itulah yang dilakukan­ oleh penulis naskah ini. Sang tokoh dengan bangga me­nga­ta­ kan, kepada dirinya sendiri, bahwa ”ingsun seneng bantah il­ mu”,­ia senang berbantah tentang ilmu, dan ”ora mundur bantah­ kawruh”, tak akan mundur berbantah dalam perihal pe­nge­ta­hu­ an. Terutama dengan ortodoksi yang berkuasa di kalangan muslim, yang dalam naskah ini dilambangkan dalam diri para kiai di pondok-pondok. Bagaimana sebenarnya agama Gatholoco sendiri tak begitu­ jelas—dan mungkin, sebagai sebuah kontravensi terhadap sega­ la yang bersih, lurus, dan terang, ia harus tidak jelas. Terkadang ia mengutarakan keinginan untuk mengembalikan ke-Jawa-an yang asli, semacam ”nasionalisme” kebudayaan yang memang tak jarang muncul dalam perbincangan di Jawa sampai pertengah­an abad ke-20. ”Agama Nabi Muhammad,” katanya, ”adalah agama orang Arab.” Dan Tanah Jawa rusak, juga agama lamanya, karena di­ bawahkan ”orang lain” itu (kabawah mring liyan jinis). Tapi di bagian lain, ia menganggap Nabi Muhammad se­akan­ akan­ sebuah kekuatan yang menguasai dirinya: ”Pangucap­ pa­ ngé­lingingsun, pangganda pamiyarsa, déné lésan lawan dhiri, ka­ bèh kagungané Rasulullah” (ucapan dan ingatanku, pencium dan penglihatanku, lisanku dan diriku, semua itu milik Rasulu­l­lah).­ Dalam kesusastraan mistik atau suluk, acap kali memang ”Muhammad” atau ”Nur Muhammad” disebut sebagai sebuah ke­ kuat­an batin atau ruhani tempat manusia menemukan dirinya yang rindu untuk menyatu dengan Allah. Semangat ala Gatholoco memang tampak dalam pandang­an mistisisme di mana-mana, juga dalam sejarah Kristen dan Yahu18



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



GATHOLOCO



di: suatu dorongan dan hasrat untuk membuat iman jadi sebuah peristiwa internal seutuhnya, ketika agama telah jadi sejenis lembaga yang mengatur perilaku orang. Sebab, ”perilaku” hanyalah sesuatu yang lahiriah—satu-satunya hal yang dapat diawasi dan dibuat beraturan dengan hukum. Itu pula yang dikatakan Gatholoco kepada para kiai yang me­­ ngecamnya. Bagi laki-laki yang merasa lebih unggul penge­ta­ huannya ketimbang para kiai ulung itu, beribadat dengan ra­pi meng­ikuti aturan waktu salat bukanlah sikap menyembah­ Tu­ han,­ melainkan ”mung mangéran marang wayah”, ha­nya­ mem­­ per­tuhankan waktu. Ketika Kiai Hasan Besari dari Pon­dok­­Cepèkan menunjukkan bahwa Gatholoco tak pernah ber­sem­bah­ yang, sang tamu pun menjawab tangkas: ”Sembah­yang­ku kekal dan tak pernah henti.” Ia bersujud ke hadapan Tuhan bersa­ma dengan napasnya, katanya, dan tak cuma diperintah oleh jad­wal. Discourse Gatholoco tentu saja tak mudah dikisahkan kembali. Percakapan tentang pengalaman mistik menemukan problem­ dalam pem-bahasa-an. Ketika bahasa bergerak lebih ke arah sifatnya yang komunikatif, dan bukan sifatnya yang ekspresif, peng­ alaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan. Bentuk tembang untuk perjalanan Gatholoco sebenarnya bukan medium yang sesuai untuk apa yang hendak disampai­ kan di sana—yakni sebuah perdebatan. Perdebatan meng­asum­ sikan ada konvensi bersama tentang pemberian makna. Dengan kata lain, ada sifat yang tetap dan dapat diandalkan. Tapi dalam tembang, dalam puisi, kata sering bukan meng­ikuti­subyek yang berdaulat dalam menetapkan makna; acap kali kata bergerak meng­ikuti ”dorongan” puitik. Puisi me­ngan­dung sesuatu yang majenun. Gatholoco sendiri majenun dan ia tahu. Tapi, katanya, ”ing­­ sun edan urut margi, nunut margané kamulyan” (”aku gila sepanjang jalan, mengikuti jalan dalam kemuliaan”). Catatan Pinggir 7



19



GATHOLOCO



”Gila sepanjang jalan” memang mengisyaratkan sesuatu yang kacau dan membingungkan—bukan sebuah arah yang dengan ajek dan mantap didatangi. Tapi ada yang mulia di sana: ada ke­ rin­duan kepada Yang Maha Benar yang tak di­ganti­kan oleh para pemasang rambu-rambu. Dengan segala niat baik, para pengatur ingin menyelamatkan manusia. Tapi ia hanya menggantikan Tuhan dengan Regulasi. Pada saat itu, tiap iman akan kedatangan seorang Gatholoco.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 3 Agustus 2003



20



Catatan Pinggir 7



ANGKOR



http://facebook.com/indonesiapustaka



H



UTAN dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan hujan, membuat sisa-sisa kota tua Angkor Thom se­ akan­-akan­bersatu kembali dengan Waktu—tapi Waktu yang agaknya tidak kita kenal. Berdiri di antara tiang batu yang hitam dan dinding laterit yang kecokelatan yang membentuk Candi Bayon, kita akan bertatapan dengan empat patung kepala Buddha yang dipahat di mercu yang setinggi 45 meter itu; kita akan terkesima menyadari sebuah sejarah 800 tahun. Tapi se­ jenak.­Sekarang. Tentu saja saya seorang turis, yang telah membayar $ 20 untuk­ masuk ke kompleks Angkor ini. Pada akhirnya saya seorang pe­ ngun­jung dengan waktu yang terdiri dari sederet ”sejenak” dan ”sekarang” yang terukur. Tiap turis memulai langkahnya untuk terkesima, tapi kemudian, meskipun ia seorang diri, berjalan dengan waktu yang ditentukan oleh publik. Di pintu gerbang itu ada sebuah organisasi; ia menawarkan tiket dan menyodorkan pengertian bahwa peng­ alaman di tengah hutan dan di antara 30 candi itu harus disusun dalam satuan yang bisa dikalkulasi dengan uang yang diakui orang ramai—karena pengalaman sedang diperjualbelikan. Pengalaman: mungkin kini ia adalah waktu yang dikemas.­ Agaknya ada sesuatu dalam akal manusia yang mampu mengemasnya—akal yang kian menguat peranannya dalam mo­dern­i­­ sasi­hidup. Dengan itulah ”masa lalu” bisa dipasarkan atau dikutuk, ”masa depan” bisa ditawarkan atau diatur. Tak hanya­ oleh kapitalisme. Ketika Pol Pot mengubah Kamboja menjadi­”Kamboja Demokratik”, konon ia hancurkan candi dan patung, ia copot jubah para biksu, dan ia tiadakan persembah­yangan di seluruh negeri. Semua yang dianggap masuk kategori pengalaman Catatan Pinggir 7



21



http://facebook.com/indonesiapustaka



ANGKOR



”masa lalu” harus dibuang. Kamboja hanya boleh siap untuk meng­alami ”masa depan”. Pol Pot dan Khmer Merah—orang-orang modern yang tak me­ngenal semadhi—mengemas pengalaman sebagai sesu­atu yang terdiri dari beberapa tahap. Bagi kaum Marxis ini, tiap tahap tak akan kembali. Marx, seperti Hegel, menyajikan­seja­rah sebagai proses dialektik tadi-kini-dan nanti. ”Tadi” me­ngan­­dung­ sesuatu yang akan menyebabkan ”kini” menampilkan­antitesisnya. Setelah itu, ”nanti” akan menghadirkan suatu Aufhebung, sesuatu yang mengatasi bentrokan ”tadi” dan ”kini”. Tapi siapa yang menggerakkan dialektik itu, merumuskan ma­na yang ”tadi” dan mana yang ”kini”? Siapa yang menjadi saksi Aufhebung yang berlangsung? Hegel, Marx, dan Pol Pot pastilah mengasumsikan bahwa ada subyek (atau ”Subyek”) yang ber­geming, tak berubah-ubah, yang mengalami dan me­ngemas apa yang dialami, dan menyebutnya sejarah. Seperti sang turis yang telah membayar $ 20 dan ingin mendapatkan pengalaman yang telah dikemas. Tapi benarkah? Jangan-jangan tidak. Saya berdiri di depan Candi Bayon. Hutan dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan hujan, dan para biksu yang berteduh di ruang-ruang kecil candi seraya ber-se­ma­ dhi­.... Tidakkah mereka sebenarnya tengah bersatu dengan Waktu yang tak terduga dalamnya—bukan waktu­ yang dibentangkan ke khalayak ramai, bukan waktu yang gam­pang diukur, tapi sebuah ekstasis. Saat yang dahsyat. Saat ketika sang subyek raib, tak lagi berdaulat. Buddha pun tak hanya mengajarkan dukkha (”duka”) da­lam kehidupan. Ia juga mengajarkan anatman dan anitya: ia menunjukkan bahwa tak ada subyek yang sama, tak ada yang permanen. Hidup adalah sebuah arus eksistensi yang selalu lahir kembali, tapi tiap-tiap kali berbeda, tiap-tiap kali satu momen kelahiran tak ingat akan kelahiran sebelumnya, juga tak akan tahu kelahir­ 22



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



ANGKOR



an yang kelak. Ada yang berulang, tapi tak terasa sebagai repetisi dari hal yang identik. Agaknya itulah sebabnya kematian, keberanian, ke­sedihan, dan cinta, tak henti-hentinya ditulis dan diabadikan oleh para penyair—dan apa yang menggetarkan dari Mahabha­ rata, yang sayu dari Shakespeare tak terasa sebagai hanya repli­ ka, tak cuma mengulang hal yang itu-itu saja. Ada gerak kemba­ li yang kekal, ada eternal return, tapi yang pulang bukanlah yang sama, melainkan yang beda. Pada saat itu, tampak bahwa memang ”beda menghuni repetisi,” kata Gilles Deleuze. Sebab momen ekstasis tak pernah terulangi. Yang dahsyat tak akan jadi dahsyat ketika ia dikemas dalam reproduksi. Sebab itu, bagi mereka yang percaya akan dukkha, anatman, dan anitya, patung adalah puing, hutan adalah kesunyian, dan hujan seperti kabut. Mercu setinggi 45 meter di Candi Bayon itu, juga Angkor Wat, bukanlah sebuah situs kebanggaan yang datang sebagai warisan masa lalu yang agung. Mereka adalah penemuan hari ini, kesyahduan hari ini, bagian dari duka hari ini. Sebab apa hubungan antara si biksu muda pada abad ke-21, yang pe­ tang­itu berjalan di atas jembatan candi, dan Raja Surya­varman II, pendiri candi besar abad ke-12 ini? Jika semadhi adalah sebuah pengakuan tentang ketidak-kekalan hidup,­jika ketidak-kekalan hidup berarti juga tidak langgengnya ke­raja­an dan benda-benda, bukankah warisan hanyalah bentuk­an ilusi? Namun mungkin salah satu bagian dari samsara, bahwa ilu­ si­juga ternyata diperlukan manusia—oleh para turis, misalnya.­ Mereka membayar, mereka senang untuk terkesima tentang se­ suatu yang ganjil, yang lain, dari masa silam, dan mere­ka­ me­ motret. Kemudian mereka akan pergi ke tempat lain. Atau pulang dan mengenang hutan, puing, patung, parit besar, sebuah kota yang telah punah. Mereka pun merasa berbahagia karena mengetahui sesuatu yang sebenarnya tak pernah seluruhnya terCatatan Pinggir 7



23



ANGKOR



ungkap. Tapi di dalam hidup yang ruwet, siapa saja berhak tersenyum, puas, bahwa ada yang bisa diulangi, ada yang bisa dikemas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 10 Agustus 2003



24



Catatan Pinggir 7



SYAK



http://facebook.com/indonesiapustaka



B



OM, teror, dan perang selalu mengedarkan rasa takut dan ketaksabaran—dan ketaksabaran adalah bahan buruk un­tuk demokrasi. Terutama jika kita lihat demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dari diktat (dari mana kata ”diktator” ber­­asal) yang datang lekas. ”Demokrasi adalah pemerintahan dengan diskusi,” kata tokoh politik Inggris Clement Attlee. Tapi tentu saja Attlee tak hanya bicara itu. Kalimatnya punya­ ekor: ”Demokrasi adalah pemerintahan dengan diskusi, tapi ha­ nya­ efektif kalau kita bisa menghentikan orang omong.” Maka (mengikuti Attlee), tiap pemerintahan demokratis bu­tuh­sebuah kiat: bagaimana menggabungkan kepintaran ber­diskusi dengan kepintaran membungkam mulut. Tapi sebenarnya ”berdiskusi” dan ”membungkam mulut” bu­ kan­lah dua laku yang otomatis bertentangan. Menghentikan orang omong akan hanya sia-sia jika tindakan itu bukan­tindak­ an yang bisa diterima dengan ikhlas dan diakui sah. Akan lebih riuh suara menggerundel, akan lebih bengis suara­ mengumpat, jika orang tak sepakat akan perlunya tutup mulut.­Walhasil, diperlukan sebuah diskusi untuk tak berdiskusi, diperlukan sabar untuk tak sabar. Kesepakatan adalah sebuah kuasa. Kata ”kuasa” juga ber­arti­ ”otoritas” dan ”amanat”. Di situlah kelebihan demokrasi: ada hubungan yang mendasar antara pengertian ”kuasa” dan ”ama­ nat” dan juga dengan ”kesepakatan”. Dengan itulah kekuasaan dan/atau kekuatan (yang dalam bahasa Inggris ber­ada dalam satu kata, power) punya asal usul yang jelas, yakni dukungan orang ramai yang memberikan mandat. Kekuasaan tak datang dari Tuhan, warisan, nasib baik, atau kecerdasan si berkuasa. Asal usul kekuasaan itulah yang seharusnya jadi awal tiap perCatatan Pinggir 7



25



http://facebook.com/indonesiapustaka



SYAK



cakapan tentang demokrasi. Saya kira itulah kelemahan dasar tesis Fareed Zakaria (ia editor Newsweek edisi internasional) dalam The Future of Freedom, meskipun ini sebuah risalah yang cerah dan cemerlang. Zakaria tak membahas dari mana kekuasaan untuk memerintah datang, dan bagaimana kekuasaan itu jadi sah dan diterima. Ia seperti mengabaikan itu, sementara ia dengan syak melihat demokratisasi yang kini terjadi di mana-mana. Ia syak, sebab demokratisasi, menurut Zakaria, justru telah me­nyebabkan kebebasan manusia terancam. Di Gujarat, India, partisipasi rakyat banyak malah melahirkan sebuah ”demokrasi yang illiberal”. Merekalah yang membunuh dan mendesak mino­ ritas muslim dan mengintimidasi kemerdekaan bersuara. ”Suara rakyat suara Tuhan” pun berakhir jadi ”suara rakyat, suara Tuhan, suara setan.” Maka Zakaria pun lebih suka menunda demokrasi (sebab­itu ia mengagumi Lee Kuan Yew dan memuji Soeharto). Ia mendahulukan perbaikan taraf ekonomi, sampai tumbuh kelas mene­ngah­ yang bebas dari Negara, sampai tercapai pendapat­an per kapita tertentu. Ia penerus Edmund Burke yang melihat revo­lusi dan rakyat dengan cemas. Ia mempertahankan teori Seymour­Martin Lipset bahwa ”kian kaya sebuah bangsa, kian besar kansnya untuk mempertahankan demokrasi.” Sebab itulah, baginya, prioritas pertama dalam membangun­ sebuah bangsa bukanlah memberi rakyat banyak kesempatan langsung untuk mempengaruhi kebijakan. Zakaria mendahulu­ kan didirikannya lembaga-lembaga untuk mengembangkan ”kons­titusionalisme”, dengan peradilan yang mandiri, hak-hak minoritas yang terjaga, begitu juga kemerdekaan lain manusia— meskipun tak dijelaskannya dari mana datangnya sebuah kekuasaan untuk menjalankan itu semua. Tak aneh bila Zakaria pun muram tentang Indonesia. Bagi­ nya, ”Indonesia pada tahun 1998 bukanlah sebuah calon ideal­ 26



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SYAK



untuk demokrasi.” Sebab dari semua negeri Asia Timur, Indonesialah yang paling bergantung pada sumber alam. Dalam teori Zakaria, di sebuah negeri yang seperti itu—misalnya Arab Saudi yang bergantung pada minyak—tak cukup orang yang, karena kebutuhan hidup, bergerak menjalankan ekonomi. Merekalah kelas menengah yang tak disuapi sang penguasa dan merekalah sendi demokrasi. Zakaria kembali ke tesis klasik Barrington Moore: tak ada kelas menengah, tak ada demokrasi. Maka di matanya, demokratisasi Indonesia yang tergopoh itu hanya membawa hal-hal buruk. GDP mengkeret sampai hampir 50 persen. Sistem politik yang terbuka ”menghamburkan kaum fundamentalis Islam yang, di sebuah negeri tanpa sebuah bahasa politik yang cukup, berbicara dengan sebuah wacana yang dikenali—wacana agama.” Jika berhasil, kata Zakaria, kebangkitan Islam politik di Indonesia akan mengancam sifat negara yang tak berdasar agama ini dan ”mengembangbiakkan gerakan separatis.” Tapi tentu saja Zakaria salah, setidaknya separuh. Indonesia tak seperti Brunei yang bergantung benar pada petrodolar disertai sebuah sistem politik yang memandang Sultan sebagai sang pemilik yang tak harus memperbaharui mandatnya tiap lima tahun sekali. Kelas menengah di Indonesia memang masih lemah, pendapatan per kapita rendah, tapi masih harus dilihat, tidakkah politik di Indonesia sebenarnya diarahkan oleh mereka yang berpendapatan per kapita US$ 3.000 ke atas. Hasil Pemilihan Umum 1999 pun tak seperti yang diduga­ Zakaria: ”wacana agama” memang menonjol, tapi segalanya­diperdebatkan secara terbuka, sebab sebelumnya, kemerdekaan bersuara dan berserikat telah direbut. Maka keragaman pen­dapat pun tampak, juga antara mereka yang menyebut diri ”po­litisi Islam”. Kaum ”fundamentalis” tak menyebabkan per­ubahan kons­ titusi hingga Indonesia jadi ”Negara Islam”. Catatan Pinggir 7



27



SYAK



Saya kira, di situlah berkah demokrasi: ia melahirkan kuasa yang disepakati, dan ada proses bertukar pikiran sebelum kese­ pakatan. Ada kesabaran sebelum mulut ditutup dengan ikhlas. Maka jika kini bom dan waswas bisa menghilangkan kesabar­an itu, kita tahu apa yang menunggu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 17 Agustus 2003



28



Catatan Pinggir 7



SCHWARZENEGGER



http://facebook.com/indonesiapustaka



J



IKA ide tentang rakyat adalah ide tentang pasar, dan pe­ milih­an umum jadi toko kelontong besar, demokrasi akan memilih seorang Arnold Schwarzenegger. Laris, laris, praktis!—itu mungkin teriak penjaja dalam po­ litik di sebuah zaman ketika media akhirnya menyederhanakan segala hal. Pilihlah dia. Tak perlu program. Tak perlu sebuah lembaga yang mengelola seleksi kepemimpinannya. Tak perlu orang ramai tahu adakah mutunya telah teruji untuk memimpin sebuah masyarakat yang, sebagaimana lazimnya, penuh dengan konflik. Yang perlu adalah apa yang dalam pemasaran dan periklanan di­ sebut brand-name, atau merek, atau logo, yang mudah dikenal. Praktis: tidak perlu menelisik dan mencari-cari lagi. Saya tak hanya menulis tentang California. Indonesia yang tak lama lagi akan memilih presidennya barangkali akan me­ng­alami proses yang kini terjadi di negara bagian Amerika­ Serikat yang mengandung Hollywood di salah satu sudutnya itu. Di Cali­for­ nia, para pemilih lebih cenderung kepada selebritas­ ketimbang par­tai-partai. Kini orang ingin menerapkan demokrasi yang langsung sebagaimana mereka jadi konsumen yang memesan baju, perhiasan, film, lagu, langsung melalui Internet. Tanpa perantara, tanpa panduan seorang connoisseur, mere­ka­ bersua dengan begitu banyak pilihan. Juga pilihan calon kepa­la negara bagian mereka. Ketika Schwarzenegger muncul, seba­gai­ mana ia muncul dalam Terminator, sebuah film yang dinikmati hampir semua orang, orang pun bertepuk: nah, ini dia! Di Indonesia, Pemilihan Umum 2004 tampaknya belum akan menampilkan seorang bintang film tenar. Tapi di sini pun, orang akan menghadapi jorjoran sekian puluh partai­politik yang hampir semua tanda gambarnya tak bisa kita ingat.­Pemilihan taCatatan Pinggir 7



29



http://facebook.com/indonesiapustaka



SCHWARZENEGGER



hun depan buat pertama kali juga akan jadi sebuah persaingan sekian puluh calon presiden, yang prestasinya hanya sayup-sayup sampai ke telinga banyak orang. Pada saat yang sama, para pemilih sedang kecewa. Mereka­kehilangan kepercayaan kepada partai-partai, sebagaimana mereka­ tak punya banyak harapan kepada kerja para wakil di DPR dan DPRD. Apa gerangan yang jadi pedoman bagi para pemilih kelak? Pernah kita berangan-angan bahwa akan ada saatnya, ke­ti­ka­ rakyat lebih ”sadar politik”, mereka akan memilih berdasarkan­ pertimbangan yang rasional: menelaah agenda yang ditawarkan­ sang calon, meneliti prestasi dan tabiatnya, dan mem­banding­ kan­nya dengan partai dan tokoh lain. Pernah kita percaya bahwa karena pendidikan sudah semakin membaik (sebuah premis yang entah datang dari mana), Indonesia akan melahirkan pemimpin yang mencerminkan tingkat kecerdasan baru itu. Tapi apa yang kemudian terjadi? Dulu, Indonesia pernah dipimpin Bung Karno, seorang lulus­ an perguruan tinggi dengan erudisi yang mengesankan, dengan tulisan-tulisan yang terpelajar, tajam, dan menggugah. Kini ki­ ta tak tahu apa gerangan yang pernah ditulis (atau di­pikir­kan) Me­gawati. Dulu, Indonesia pernah punya Bung Hatta, seorang ekonom yang banyak membaca, menelaah, mengutarakan pikir­ an, dan tak henti-hentinya berjuang bersungguh-sungguh hingga ia baru menikah setelah Indonesia merdeka. Kini kita punya seorang Hamzah Haz.... Agar tak tampak bahwa Indonesia hanya satu-satunya kisah ke­merosotan, baiklah saya sebutkan bahwa Amerika Serikat juga punya pengalaman mirip: negeri yang pernah punya presi­den seorang Thomas Jefferson ini—seorang filosof, ilmuwan, arsitek, penemu—sekarang mendapatkan seorang George W. Bush, yang dengan pengetahuan umum yang terbatas mengutarakan yang 30



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SCHWARZENEGGER



hanya sedikit diketahuinya dalam bahasa Inggris yang juga terbatas. Tapi apa lacur, dia, seperti Megawati, juga dipilih. Tampaknya, di tengah hiruk-pikuk apa dan siapa para tokoh yang berseliweran, dia adalah sebuah Coca-Cola atau McDonald’s. Seperti Schwarzenegger, dia punya brand-name (”Bush”) yang sudah dikenal orang banyak. Agaknya sesuatu telah berlangsung dalam politik dewasa ini—sesuatu yang barangkali bisa disebut sebagai peng-kelontong-an informasi. Di toko kelontong, bermacam ragam hal ditawarkan. Tak ada yang telah diseleksi lebih dulu, menurut jenis, tingkat mutu, dan segmen pembeli. Dewasa ini, itulah yang terjadi—melalui Internet, iklan televisi dan radio dan surat kabar, me­lalui berita yang datang setiap jam dan hampir dari segenap penjuru. Semuanya menghambur serentak. Semuanya tak akan tertelan oleh siapa pun. Dan ketika para konsumen merasa mampu langsung menentukan pilihannya, mereka pun akhirnya berpedoman kepada ”laris, laris, praktis”. Pasar seakan-akan jadi total. Apa pun yang dikatakan kaum ”neo-liberal”, ada yang ter­ ancam­ ketika pasar jadi total: ketika perhitungan laku dan tak laku, laris dan tak laris, menguasai semuanya, dan ketika tak ada mediasi lagi antara yang menawar dan yang menawarkan—karena mediasi itu pun ditentukan oleh kriteria laku atau tak laku. Pernah ada masanya kita tahu bahwa buku yang laris belum tentu buku yang bermutu. Pernah kita mendasarkan informasi kita tentang ”bermutu” atau ”tidak” kepada satu atau dua orang penilai­ yang berwibawa. Tapi dewasa ini, bukan penilaian para penilai itu saja yang digugat. Bahkan ide tentang ”bermutu” itu sendi­ ri­ sudah dirobohkan, seakan-akan di sana ada kekuasaan para cendekia yang memaksa. Wibawa dianggap sebagai sebuah dosa. Para cendekia kini Catatan Pinggir 7



31



SCHWARZENEGGER



telah jadi makhluk yang dicurigai. Tapi orang lupa bahwa pasar­ yang total hanyalah sebuah ilusi. Selalu ada mediasi: agen-agen periklanan yang canggih dan humas yang bisa membuat merah atau biru apa saja yang hitam. Dengan kampanye yang dibiayai uang berjuta-juta, bukan konsumen yang memilih, me­lain­kan­ konsumen yang dipilihkan. Benetton, Bush, Estee Lauder, Megawati, BMW, Nike, Schwarzenegger....



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 24 Agustus 2003



32



Catatan Pinggir 7



Technē



http://facebook.com/indonesiapustaka



L



ADANG yang kering, sungai yang sat, hutan yang terbakar, ribuan orang yang mati karena suhu yang menye­ ngat, tenaga listrik yang gagal.... Hampir bersamaan, dunia dipukul oleh galaknya Alam dan gagalnya teknologi, ketika kemarau begitu terik dan musim panas begitu ganas. Seakanakan Eropa, Amerika, Asia, Afrika mendadak serentak ”terkebelakang”. Seakan-akan di semua tempat itu hidup manusia kembali dikungkung Nasib dan Kebetulan yang tak bisa ditangkal. Pada saat seperti ini umumnya kita akan mendengar orang ber­kata tentang datangnya ”balasan” bagi ketakaburan manusia. Dan Tuhan pun akan disebut. Tapi benarkah ketakaburan manusia selalu bertentangan dengan kesadaran akan Tuhan? Manusia memang bisa memaklumkan, bahwa ia tak ditentukan oleh hakikat atau esensi; ia ”menjadi” dalam eksistensi. Ia bisa menunjukkan bahwa ia, yang me­ nurut ”hakikat” (apa itu?) tak bisa terbang, ternyata kemudian bisa mengarungi angkasa. Kini jenis kelamin bisa diubah, kematian bayi bisa dicegah, harapan untuk hidup bisa diperpanjang. Berangsur-angsur, kodrat atau nature, begitu juga Nasib dan Ke­ betulan, jadi barang yang ganjil. Ada yang mengatakan bahwa keadaan itu keliru, sebab ia ”asing”.­Banyak yang mengatakan bahwa ”mengalahkan Alam” ini adalah tema utama kesadaran Eropa. Pada tahun 1930-an, penyair Sanusi Pane (juga Sjahrir, aktivis politik) mengibaratkan­ Eropa (”Barat”) sebagai Faust. Dalam drama yang ditulis Goethe, terutama di buku kedua, Faust memang manusia yang menghimpun pengetahuan, menaklukkan bumi, dan membangun per­ adab­an. Tapi ada yang dilupakan Sanusi Pane dan Sjahrir ketika mengCatatan Pinggir 7



33



http://facebook.com/indonesiapustaka



technē



gunakan Faust sebagai alegori: sosok yang seperti itu sebenarnya baru pada abad ke-19, lewat karya Goethe. Jauh sebelumnya, dalam legenda rakyat, tokoh Faust adalah seorang peramal nasib dan ahli sihir—satu bagian dari imajinasi yang dibentuk oleh kepercayaan tentang Nasib dan Kebetulan. Ia bukan sosok modern. Dengan kata lain, tampaknya tak ada satu jenis Faust. Juga tak ada satu jenis Arjuna. Sanusi Pane—yang memuja apa yang dibayangkannya seba­­­ gai­ ”Timur” dengan model apa yang dibayangkannya se­bagai­ ”India”—mengemukakan sebuah ibarat tandingan: Ar­juna.­ Agak­nya bagi Sanusi, kesatria Pandawa dalam epos Maha­bharata ini seorang yang hidup bersatu ke dalam Alam dan menyerap dunia dalam kontemplasi. Tapi bisakah kita lupa bahwa setidaknya separuh dari sosok­ Arjuna adalah seorang penakluk? Bahkan ketika ia memutuskan untuk bertapa, sebagaimana dikisahkan dalam cerita wayang­ Begawan Mintaraga. Sebab bertapa punya dua momen yang ber­ kait. Momen pertama adalah ketika manusia merunduk, menye­ rahkan diri kepada sebuah adidaya yang berada di atas keter­ba­ tasan insani. Momen kedua ketika ia menaklukkan alam dalam ra­ganya (ia, Mintaraga) dan menjadi diri yang éling lan waspada,­ yang ”sadar dan waspada”. Dengan kata lain, ketika ia meng­ ambil­posisi sebagai satu subyek, atau kesadar­an, yang kukuh dan mandiri, mengatasi carut-marut dunia. Ia sepenuhnya identik de­ngan Karsa. Dalam kisah Mintaraga, ia adalah Karsa untuk mendapatkan sebuah senjata yang amat sakti—buat mengalahkan liyan, ”yang-Lain”. Dalam posisi itu, bertapa bukanlah momen Sidharta Gautama­ yang bermeditasi di bawah pohon Bodhi. Dalam mencapai sunya­ ta, setiap ”kini” Gautama adalah keabadian yang menggetarkan. Sebaliknya Mintaraga: ia tak melibatkan diri­da­lam ”kini”. Ia melihat ke masa depan. Ia melakukan in­vestasi:­kelak, setelah 34



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



technē



pengorbanan pada hari ini, kekuasaan (senjata ”Pasopati”) akan bisa diperoleh dan digunakan. Arjuna adalah seorang modern. Ia menempuh sebuah laku yang produktif. Ia lebih dekat kepada yang disebut Aristoteles sebagai technē , bukan theoria, bukan pula praxis. Dengan theoria manusia membentuk teori, dengan praxis ia menjalankan laku moral dan politik. Melalui pro­ ses­ menjadi Mintaraga dan dengan bantuan para dewa, Arjuna memproduksikan kekuasaan, seperti Faust yang dibantu Mefistoteles. Sering terpikir oleh saya, jangan-jangan tak ada perpisah­an yang radikal antara yang modern dan yang pra-modern: antara­ Faust si peramal yang hendak menggapai masa depan dan Faust si penakluk alam yang hendak membangun masa depan. Atau antara Arjuna pada momen pertama bertapa dan Mintaraga pada momen berikutnya. Sering terpikir oleh saya, jangan-jangan pelbagai ajaran agama yang menampik pandangan sekuler, yang meletakkan manusia di atas semuanya, pada dasarnya mengulang sekularisme itu dalam cara lain—terutama ketika tiba saatnya agama berniat mengha­ sil­kan manusia yang teguh beriman secara dahsyat: manusia yang se­lalu di ”jalan lurus”, sesuai dengan sebuah desain, cocok dengan akidah. Dengan kata lain, ketika akidah menjadi teknik (dari kata Technē ) yang merancang manusia agar tak tergantung kepada­ Na­sibnya yang lemah dan mudah berdosa, dan agar manusia siap menghadapi Kebetulan, godaan yang memergokinya di jalan. Hukum dan fikih mungkin sebuah teknologi penye­la­mat­an. Tapi tiap hukum, sebagaimana teknologi, mereduksi hidup,­ me­nyederhanakannya, agar bisa mengendalikannya. Padahal ki­ ta tahu dalam hidup selalu ada yang tak bisa dikendali­kan, bahkan tak seluruhnya bisa diungkap, dirumuskan, dan diukur. Da­ lam hidup selalu terkandung ”bumi”—setidaknya dalam pengerCatatan Pinggir 7



35



technē



tian Heidegger. ”Bumi menghantam tiap usaha untuk menembusnya,” kata pemikir ini, yang mengecam humanisme lama ini. ”Bumi menampilkan diri hanya ketika ia tetap tak terungkap dan tak terjelaskan.” Saya ingat kata-kata itu sekarang: ladang yang kering, su­ngai­ yang sat, hutan yang terbakar.... Mesin, dan pelbagai ”jalan­ lurus” lain, tampaknya tak bisa terus-menerus mencegahnya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 31 Agustus 2003



36



Catatan Pinggir 7



NIPPON Pendiriankoe sekarang tetaplah soedah, Berdjoeang sampai sa’at jang achir, BERSAMA NIPPON, madjoe melangkah, KEBESARAN ASIA MESTILAH LAHIR .... —Hamka, ”Diatas Roentoehan Malaka-Lama”, dalam Pandji Poestaka, No. 25, 1943



http://facebook.com/indonesiapustaka



B



ANYAK orang yang salah harap dan salah sasar pada tahun 1943. Hamka adalah salah satu di antaranya. Ketika­ itu Indonesia diduduki Jepang, negeri yang mendamik dada sebagai pembebas Asia, kekuatan yang meneriakkan slogan­ ”Ing­gris kita linggis, Amerika kita setrika!” Seperti banyak sastra­ wan dan tokoh masyarakat di masa itu, Hamka juga menghunus­ kata ”berdjoeang”, ”madjoe” dan ”Asia” dengan tangkas—ter­ kadang terlampau tangkas. Saya pernah bertemu dengan seorang yang ingat bahwa pada su­atu hari tahun 1940-an itu ia melihat Hamka, novelis­(Tengge­ lamnya Kapal Van der Wijk, Di Bawah Lindung­an Ka’bah) yang sudah mulai diakui sebagai seorang tokoh masya­rakat muslim, naik kuda ke esplanade Kota Medan, seraya diikuti­orang ramai yang berlari-lari, untuk menunjukkan kesetiaan kepada Maharaja Hirohito nun jauh di negeri Nippon. Benar atau tidak Hamka melakukan itu, tekad dalam sajaknya­ yang dimuat Pandji Poestaka yang saya kutip di atas menun­jukkan ke mana anginnya bertiup. Itu tak sendirian. Jika kita baca seja­ rah dengan saksama, kita akan menemukan tokoh pergerakan na­sional Bung Karno menganjurkan pemuda­ Indonesia masuk Ro­musha, hingga berduyun-duyun orang bekerja sampai ke tanah jauh, sampai mati sengsara, untuk­ke­pentingan Jepang. Penyair Sanusi Pane, penganut theosofi,­menganggap perang yang Catatan Pinggir 7



37



http://facebook.com/indonesiapustaka



NIPPON



di­lancarkan kaum militer dari Tokyo­sebagai ”Perang Suci”. Pakar hukum Supomo memandang bentuk negara fasis di bawah Maharaja Hirohito sebagai teladan. Dilihat pada hari ini, posisi seperti itu (ada yang kemudian­ me­­nyebutnya sebagai sikap para ”kolaborator”) tampak tak ge­mi­ lang sama sekali. Bahkan memalukan. Pandangan yang­tersirat di sana sering hanya gema dari argumen kalangan cerdik pandai Jepang yang mendukung perang yang sedang berkecamuk. Pe­ rang­itu memang oleh pemerintah mereka disebut dengan gagah sebagai ”Perang Asia Timur Raya”, tapi bagi ba­nyak manusia lain—terutama mereka yang hidup di Cina, di Nanking khususnya—ia sebuah keganasan yang terorganisasi. Tapi tentu saja dapat dilihat cara lain: tekad ”BERSAMA NIPPON madjoe melangkah” itu di Indonesia tumbuh dari kepedihan hidup di bawah kolonialisme Eropa, guncangnya harga diri, kebutuhan yang akut untuk punya identitas sendiri. Bahkan­ tanpa dijajah pun, benturan dengan apa yang sering dianggap sebagai ”Eropa” atau ”Barat”—atau apa yang disebut sebagai ”modernitas”—amat merisaukan. Sebab itulah masa itu para cende­ kia­wan Jepang mencoba menelaah kemungkin­an jalan lain: ”meng­atasi modernitas” (kindai no chôkoku). Pemikiran ”Mazhab Kyoto”, dengan tokoh sentral Nishida Ki­taro (1870-1945), berada di ujung tombak gerakan ini. Tapi pada akhirnya argumennya bisa dilihat sebagai sederet apologi bagi watak totaliter dari nasionalisme. Dalam versi yang saya sederhanakan, pemikiran Nishida meng­­anggap manusia tak mungkin bersifat universal. Saya ingat­ ucapan Mayor Okura dalam novel Kalah dan Menang S. Takdir Alisjahbana, bahwa mustahil untuk mengatakan manusia itu sa­ tu. Baginya, tempat dan komunitas menentukan subyek. Itulah inti ”logika tempat” (basho no ronri), dalam filsafat Nishida. Dunia di luar sana tak terpisah dari aku di sini. 38



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



NIPPON



Dengan itu Nishida membantah dasar pikiran modern yang dimulai oleh Descartes. Proses yang menyebabkan Descartes bisa mengatakan cogito ergo sum dimulai dengan ”aku yang berpikir” yang mempertanyakan ”dunia yang dipikirkan”. Mempertanya­ kan, meragukan, berarti juga melepaskan diri. Dan tak hanya me­misahkan diri. Dalam pemikiran modern,­subyek (”aku yang berpikir”) adalah pemegang peran yang mewujudkan dan membentuk sekitarnya. Dunia dikonstruksikan dan alam dikalahkan dari sini. Bagi Nishida, betapa salah pendirian itu. Baginya, renung­an Descartes lahir dari hanya satu cara tertentu, yakni cara analitik.­ Padahal ada cara lain menerima dunia: bukan dengan analisis yang mengurai-memisahkan, melainkan dengan menyerapnya secara intuitif sebagai keseluruhan antara ”aku di sini” dan yang lain yang di luar sana itu. Tapi ada kritik yang bisa ditembakkan ke arah Nishida, yang me­nunjukkan bahwa ia sebenarnya tak berhasil ”meng­atasi” modernitas. Basho no ronri-nya hanya membalikkan pemikir­an Descartes. Ia tak bisa melepaskan diri dari dikotomi yang ditentangnya sendiri. Ia menganggap tempat (”Jepang” atau ”Asia”) sebagai­ sesuatu yang di luar subyek, mutlak,­ dan bisa didefinisikan ter­ sendiri. Ia mengabaikan persoalan bahwa apa itu ”Jepang”, apa itu ”Asia”, sebagaimana apa itu ”Barat”, pada­akhirnya ditentukan­ oleh sebuah subyek dengan ke­kuasa­­annya sendiri. Tapi Nishida tidak unik. Pikirannya sebenarnya tak banyak­ ber­beda dengan pandangan yang sering ingar pada hari ini. Dan bukan cuma nasionalisme. Dasar pandangan ini adalah juga sebuah ilusi geometris.­De­ ngan­ kata lain, pandangan yang melihat subyek, dan cara­nya­ meng­hayati nilai-nilai, sebagai bagian dari identitas ”tempat” atau ”ruang” yang homogen (”Timur”, ”Amerika”). Kalau tidak, ia dilihat sebagai bagian ”waktu” yang bisa dipetak-petak sebagai Catatan Pinggir 7



39



NIPPON



ruang (”zaman jahiliah”, ”Abad Pertengah­an”). Dan sebagaimana­ layaknya ruang, subyek dan nilai-nilainya pun (”beradab”, ”bia­ dab”,­”beriman”, ”murtad”, dan lain-lain) seakan-akan dapat ditentukan batasnya, dapat diperbandingkan luas dan dalamnya. Seakan-akan hal-hal itu akhirnya bisa dan harus dibakukan—sebelum dibekukan. Bukankah dari sini (dan tak hanya ketika Hamka dan lainlain menjunjung ”Perang Asia Timur Raya”) subyek yang berbeda, yang ganjil, akhirnya mati ditenggelamkan?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 7 September 2003



40



Catatan Pinggir 7



11/9



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



AYA coba mengingat lagi New York 11 September 2001, pagi, satu setengah jam sebelum Menara Kembar di World Trade Center diserang. Saya duduk di sebuah kursi di sebuah taman kecil tak jauh dari Penn Station, minum kopi dari gelas kertas, sendirian, memandang ke jalan. Hari baru saja menyingsing kerja, tapi telah terdengar suara se­orang penginjil kaki lima yang menyeru, di seberang sebuah hotel, lewat pengeras suara: ”Ke mana Anda akan tinggal di alam barzakh?” Sekian puluh menit kemudian kota pun guncang. Dua pesa­ wat ditabrakkan ke dua gedung tinggi tak jauh dari Wall Street. Ledakan dahsyat menyusul. Menara Kembar itu runtuh bergantian. Sekitar 3.000 orang terbakar, tertimbun gedung, terlontar dari pucuk, atau dalam keadaan ketakutan, meloncat sekian ratus meter ke bawah. Hancur. Kekejaman itu seakan-akan mence­ mooh bahwa hidup bukan apa-apa. Para teroris itu seakan-akan berseru, ”Ayo, mati ramai-ramai!” Tapi benarkah hidup cuma seperti sebuah gerak jalan anakanak—berbaris santai dari titik A ke titik B, kemudian bubar? Sang penginjil di tepi jalan itu menjanjikan keabadian. Para pem­ bajak, yang pagi itu siap mati sebagai syuhada, mem­bayang­­kan firdaus. Di kaki lima dan di angkasa mereka semua meyakini ”alam barzakh”. Hidup seakan-akan ditampik.... Tapi barangkali­ ada yang keliru di sini. Hidup tak ditampik. Hanya ada sesuatu yang Mutlak yang bisa mengabaikannya. Hanya yang Mutlak dan rasa benci yang menegaskan paradoks­ itu: hidup harus dihancurkan karena ia begitu berharga. Hanya yang Mutlak dan rasa benci juga yang bisa membuat kehidupan jadi dua kubu yang pasti: kita dan mereka. Dan kata itulah yang Catatan Pinggir 7



41



http://facebook.com/indonesiapustaka



11/9



disebut banyak orang Amerika setelah 11 September 2001: ”Kenapa mereka membenci kami?” Sebuah pertanyaan yang wajar—meskipun yang dipersoal­ kan­ bukan benci. Sebagaimana yang mungkin berkecamuk di ke­pala para teroris, yang dipersoalkan adalah mereka dan kami. Fokus perhatian tak diarahkan untuk mencari jawab kenapa kini kebencian berkecamuk di pelbagai bagian dunia. Yang jadi obse­si adalah merumuskan posisi kami dan mereka, mengutarakan ke­ istimewaan kami dan keanehan mereka. Patriotisme memang sering seperti api lilin di dalam tong: terang, tapi terkurung. Di Gedung Putih dan Pentagon orang tak melihat bahwa rasa benci dan teror bukan hanya diderita orang­ Ame­rika. Bahkan ratusan orang asing, terutama Pakis­tan,­­yang jadi buruh di World Trade Center, tewas pada tanggal 11 September yang mengerikan itu. Kata kami hari itu seharusnya berlaku ba­gi siapa saja, di bagian dunia mana saja, tempat orang-orang yang tak bersalah dibunuh untuk pernyata­an politik. Kata mere­ ka juga tak seharusnya hanya terbatas kepada­yang asing, yang di luar tapal batas dan tak mengibarkan Bintang-Garis. Tapi ini memang sebuah masa nasionalisme yang patologis­da­ lam sejarah Amerika. Di Gedung Putih dan di Pentagon, dan­ju­ ga di pelbagai negara bagian, orang kian menebarkan perseteruan kami dan mereka—dan sebuah benteng raksasa pun ditegakkan, pintu gerbangnya dijaga ketat, dan menara­ pengintainya di­ba­­ ngun­­canggih. Tak selamanya itu ber­hu­bung­­an dengan kesiaga­ an­anti-teror. Clyde Prestowitz, dalam Rogue Nation, sebuah buku yang­ me­nguliti tendensi AS hari ini untuk menutup diri dari dunia,­ mendaftar perilaku pemerintah Bush. Dengan melihat­diri begitu kuat untuk berdiri sendirian di atas bumi, AS pun menjadi­kan PBB sasaran olok-olok. Bahkan sebelum Perang Irak dilancarkan tanpa mengindahkan organisasi bangsa-bangsa itu, pelbagai per42



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



11/9



janjian internasional sebenarnya sudah dijauhi—termasuk Konvensi Pengaturan Senjata Kimia, Konvensi Anti-Penyiksaan Ta­ han­an, dan Konvensi Internasional Hak Anak. Dan kita semua tahu AS tak hendak mengakui Mahkamah Pidana Internasional yang disepakati negara-negara Eropa. Kita memang bisa memandang semua itu sebagai campur ba­ ur antara paranoia dan ketakaburan. Tapi mungkin ada se­suatu­ yang lain dalam postur ini—postur yang diwakili oleh kaum Kristen Kanan yang kini amat berpengaruh. Prestowitz mengu­ tip kata-kata Herman Melville, pengarang Moby Dick dari abad ke-19: ”Kita orang Amerika adalah Bangsa Terpilih yang Khas— bangsa Israel pada zaman ini.” Bahasa Melville adalah bahasa Alkitab. Dalam kata-kata itu terkandung sebuah ”janji” yang akan dipenuhi oleh Tuhan,­janji tentang sebuah tanah yang kaya susu dan madu dan sebuah kota yang bersinar di atas bukit. Mungkin semacam surga,­ tak jauh dari yang dibayangkan sang pengkhotbah di tepi jalan Kota New York.... Saya ingat Regis Debray, ketika cendekiawan terkemuka Pran­cis itu membandingkan Eropa dan Amerika. Terbentuk oleh tra­­disi Puritanisme Kristen, kata Debray, AS adalah ”sandera dari se­buah moralitas suci”. AS memandang diri ditakdir­kan untuk jadi wadah Kebaikan, dengan misi untuk menghancurkan Kedurjanaan. ”Percaya kepada Petunjuk Allah,” tulis Debray pula, ”Amerika menjalankan sebuah politik yang pada dasarnya ber­ sifat­theologis.” Dan kuno. Eropa telah melalui yang kuno itu. Ia telah mengalami buruk­ nya perang yang memakai ”moralitas suci” dan mengikuti­ ”Petunjuk Allah” berabad-abad yang lalu. Ia telah menanggungkan sengketa yang berdasarkan keyakinan absolut, juga dalam Nazi­ isme dan Komunisme. Eropa, kata Debray, ”telah selesai me­na­ ngisi­hilangnya yang Mutlak”. Bagi Eropa, planet­ini terlampau Catatan Pinggir 7



43



11/9



kompleks untuk diterangkan dengan sebuah ”logika monoteistik yang biner”—hitam atau putih, mulia atau durjana, kawan atau lawan. Saya mencoba mengingat New York 11 September 2001: sang penginjil, para teroris, imbauan surga, bendera-bendera yang nasionalistik, kami dan mereka, hitam dan putih....



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 14 September 2003



44



Catatan Pinggir 7



IMAM (1)



D



http://facebook.com/indonesiapustaka



ENGAN mata membelalak, dengan teriak, dengan nama Tuhan dan tangan yang diayunkan, Imam Sa­ mudra­sebenarnya tak mengagetkan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tak gentar. Ia juga tak menyesal. Pengadilan mem­buktikan ia bersalah telah merancang pembunuhan besarbesaran yang terjadi di Bali pada Oktober 2002 itu, ketika bom meledak di sebuah kafe yang padat di Kuta. Hakim memutuskan: ia dihukum mati. Tapi hukuman itu akan dijalaninya—begitulah ia percaya—sebagai kesempatan untuk menjadi syuhada. Ia yakin bahwa Taman Firdaus menantinya. Syuhada sebenarnya bukan hanya sebuah cerita tentang iman dan keberanian. Sebagaimana halnya pahlawan, ia petunjuk tentang sebuah masyarakat yang tak berbahagia. Bila orang hanya jadi berarti sesudah mati, pasti begitu buruknya kehidupan. Ketika orang harus menjalankan dan mengalami­sesuatu yang brutal karena masa depan yang indah (dalam bentuk sebuah masyarakat yang ideal atau sebidang surga yang asyik), pasti ada yang tak beres dalam masa kini. Maka ”yang-kelak” harus dibayar oleh ”yang-kini” dengan amat mahal, dengan­kematian dan kekejam­ an. Seperti diutarakan oleh dua baris dalam sebuah sajak Bertolt Brecht: Ah, kita yang coba membuka tanah yang ramah Kita sendiri tak akan ramah Persoalannya, tentu, apa yang dibayangkan sebagai ”tanah­ yang ramah” itu, sehingga yang ”tak akan ramah”, bahkan yang­ ke­jam, harus dilakukan. Bagi Brecht, seorang sosialis, ”tanah” itu Catatan Pinggir 7



45



http://facebook.com/indonesiapustaka



IMAM (1)



pasti bukan Firdaus di akhirat buat diri sang syu­hada­sendiri­—seperti kenikmatan seorang borjuis yang diperoleh setelah ia menanamkan modalnya dalam keadaan penuh­ri­siko­pada hari kemarin. Dalam cita-cita dan perjuang­an politik­umum­nya, masyarakat masa depan itu adalah sesuatu­yang dalam pelbagai hal lebih­ baik ketimbang masyarakat sekarang—dan dengan demikian, yang mati, yang mengorbankan diri, hadir merendah, bahkan menghilang, di tengah-tengah derap­bersama. Itu sebabnya ada penghormatan istimewa bagi ”pahlawan tak dikenal”. Adapun Imam Samudra ingin mati syahid dan masuk surga .... Tapi baiklah kita katakan bahwa ia melakukan dua hal sekaligus: menggapai Firdaus yang penuh bidadari itu untuk dirinya sendiri dan sekaligus menghasilkan sesuatu untuk ”bersama”— yang agaknya diterjemahkannya sebagai ”umat”. Namun ada per­bedaan antara para pelaku pengeboman Bali dan para teroris seperti yang dilukiskan Albert Camus dalam Les Justes. Keduadua­nya memang tak sepenuhnya melakukan kekejaman itu untuk diri mereka sendiri. Tapi bila dalam Les Justes, membunuh se­ orang yang duduk di takhta adalah bagian dari aksi politik, tak begitu jelas begitukah halnya dalam hal bom di Bali yang meledakkan hampir 200 orang yang tengah bersenang-senang di kafe itu. Aksi politik bertujuan merebut kekuasaan—dan itulah yang ada dalam agenda kaum revolusioner Rusia, tokoh-tokoh dalam Les Justes. Bom yang diledakkan dan juga para pelaku­nya­hanya salah satu unsur dalam sebuah strategi. Di kalang­an kaum revo­ lusioner itu, ada musuh yang didefinisikan secara jelas: kekuasaan Tsar dan struktur kekuasaan itu, yang harus dihabisi. Tapi apa strategi dan apa musuh Imam Samudra? Merebut ke­ kuasaan ”Amerika”? Tak mudah menjawab itu. Kata ”Amerika” dapat berarti­ba­ nyak: sebuah negeri, atau sebuah bangsa, atau sebuah pe­me­rin­ 46



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



IMAM (1)



tahan, atau sebuah gaya hidup, mungkin sebuah kebudaya­an. Tak setiap orang Amerika menjalankan ”gaya hidup Ame­rika”, sebagaimana tak selamanya ”bangsa Amerika” identik­ dengan ”pemerintah Amerika”. Tak jauh berbeda dari itu adalah sebutan ”Zionis”. Seorang ”Zionis” bisa berarti seorang Yahudi,­tapi juga bisa berarti seorang yang meyakini paham Zionisme. Namun tak semua orang Yahudi penganut Zionisme, dan tak semua penganut Zionis mempunyai satu paham politik. Maka ”Amerika” se­ ba­gai apa yang akan dikalahkan? ”Zionis” dalam arti apa yang harus dihabisi? Kerancuan ini jelas membedakan terorisme di Bali dari sebu­ ah aksi politik. Sebuah aksi politik akan berangkat dari sebuah kata yang sama tentang musuh, tapi dengan dua pengerti­an dan fungsi yang berbeda. Yang pertama adalah pengertian definitif, untuk merumuskan sasaran secara persis: ”Amerika” secara spesifik berarti, misalnya, ”pemerintah Bush”. Dengan itu ditentukan pula bagaimana ia dikalahkan, sesuai dengan kondisinya yang khu­sus, dan dengan cara yang cocok—yang tak selamanya melalui kekerasan. Yang kedua, kata ”Amerika” atau ”Zionis” adalah pengertian konotatif, mirip dengan stigma, sesuatu yang tak persis, malah mendekati gelap, sebuah kata yang dipakai untuk mencari dukungan orang ramai agar sama-sama membenci, memojokkan sang lawan. Tapi politik menghilang ketika sebutan yang konotatif menjadi sepenuhnya pengertian definitif, dan jihad muncul. Dalam sebuah ”perang suci”, sang Setan tak pernah jelas sosok­nya. Tak pula ia bertahan di satu tempat, di suatu waktu. Sebuah ”perang suci” tak punya patokan yang jelas, bagaimana dan bila ”pihak sini” menang dan ”pihak sana” kalah. Yang berlaku bukan ”tujuan menghalalkan cara”, sebab ”tujuan” itu tak dirumuskan. Akhirnya ”cara” itu jadi tujuan. Perang itu berkecamuk kapan saja, di mana saja. Ia seakan-akan di luar ruang dan waktu. Ia buCatatan Pinggir 7



47



IMAM (1)



kan sebuah praxis. Ia sebuah langkah kosmis. Perang di luar sejarah itukah yang hendak dilancarkan Imam Samudra—dan sebab itu tak perlu dipikirkan kapan Amerika kalah, bagaimana Amerika kalah? Jika demikian, yang utama bukanlah ”membuka tanah yang ramah” seperti disebutkan dalam sajak Brecht. Yang utama adalah pensucian diri terus-menerus. Persekutuan dengan orang lain pun tak perlu. Maka politik pun dinafikan, rembukan, rundingan, dan komunikasi, dianggap tak penting—dan hidup, sebenarnya, kian menjadi mustahil.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 21 September 2003



48



Catatan Pinggir 7



MUSUH



http://facebook.com/indonesiapustaka



M



AYORITAS dengan mudah menang, tapi dengan mudah pula membeku, dan kemudian mencekik. ”Musuh paling berbahaya bagi kebenaran dan kebebasan,” kata Dr. Stockman dalam Musuh Masyarakat, ”adalah mayoritas yang kompak.” Saya kira bukan kebetulan bila karya Henrik Ibsen dari tahun 1882 ini dipentaskan sekarang oleh Actors Unlimited­dari Ban­ dung,­ketika reformasi politik Indonesia berubah masam,­ketika orang menemukan bahwa suara terbanyak ter­nyata hanya­melahirkan Megawati dan Hamzah Haz. Ditulis oleh Ibsen dengan luar biasa cepat, Musuh Masyarakat (En folkefiende) memang berangkat dengan niat berpolemik. Ia melawan­suara yang di akhir abad ke-19 itu berkumandang di Eropa,­bahwa demokrasi, opini publik, dan moderasi adalah hal-hal yang harus dimuliakan. ”Saya seorang aristokrat,” tulis Ibsen. Aristokrasi berarti­ pe­ nam­pikan suara yang datang dari bawah. Dalam Musuh Masya­ rakat, penampikan itu tampak bahkan dalam bangunan­ lakon ini. Ibsen menampilkan Dr. Stockman, seorang pejabat­kesehatan yang terpelajar, lurus hati, dan berani. Ia dengan berapi-api mengatakan, ”Saya di pihak yang benar,” di hadapan­orang ramai­ yang menentangnya—dan tak secercah pun argumen mereka mempengaruhi posisinya. Ia kukuh sebab ia merasa punya bukti. Dokter ini menemukan­ bahwa air pemandian di kota pantai di selatan Norwegia itu, tempat ratusan pendatang berkunjung untuk berobat­— dan menjadikannya ”urat nadi” kehidupan penduduk—ternyata­ me­ngan­ dung­insuforia yang berbahaya. Di sini Ibsen­tak hanya menam­ pilkan Stockman yang teguh, bahkan tegar. Ibsen juga tak memberi kesempatan cukup kepada suara lain untuk beroleh nilai. Catatan Pinggir 7



49



http://facebook.com/indonesiapustaka



MUSUH



Dalam lakon ini, sang wali kota tampak sebagai seorang politikus yang hanya memikirkan sumber hidup­kota. Sang wartawan, Hovstad, akhirnya hanya mengutamakan para pelanggan korannya, wakil ”opini publik” itu. Sang pengusaha, Aslaksen, cuma mem­pertahankan milik, dan ketika ia mengimbau perlunya ”mo­ derasi”, ia adalah suara borjuis kecil yang takut akan segala yang ekstrem. Seluruh warga kota tampak sebagai kawanan: tak jauh dari hitungan laba dan rugi, mereka membeku, tak berani untuk berubah, berbeda. Mereka bungkam suara yang bebas, juga suara mereka sendiri. Dengan kata lain, sang pengarang—ingat, ia seorang ”aristokrat”—hadir ibarat Tuhan yang tak bahagia. Stockman ada­ lah­rasulnya yang menyodorkan kebenaran yang tak bisa dikompromikan. Mungkin itu sebabnya lakon ini kurang te­rasa­sebuah proses; ia terasa sebagai sebuah percakapan yang di­bebani dan di­ kendalikan oleh sebuah ide (atau keyakinan, atau amarah) besar yang tunggal. Ide tunggal itu—bahwa mayoritas adalah musuh kebenaran dan kebebasan—begitu­menguasai­cerita, hingga lakon ini, yang sepenuhnya berpusat­ dalam kata-kata Stockman,­ akhirnya tak mempersoal­kan benar atau tidaknya pencemaran terjadi di air pemandian. Yang jadi fokus: keteguhan hati Pak Dok­ter, yang di akhir lakon berkata, ”Orang terkuat di dunia ada­lah ia yang tegak sendirian.” Sebenarnya aneh. Teater, berbeda dengan pamflet, bukan sebuah suara seorang yang tegak sendirian. Teater tak hidup dari sa­ tu sisi. Teater adalah tempat di mana bahkan suara dan titah sang pujangga (kita ingat kata author membentuk authority) tak hadir mutlak. Bahkan dalam bentuk monolog sekalipun, sebuah pementasan yang berhasil tak akan bergerak di garis lempang yang membatasi lakon, yang menutup kemungkinan tumbuhnya halhal yang tiap kali bisa berbeda. Sebab teater, seperti demokrasi, bukan sebuah arena tempat perbeda­an dikalahkan sejak layar di­ 50



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



MUSUH



buka. Teater, seperti demokrasi, tak dibangun dari sebuah kenya­ taan hidup yang jernih dan jelas. Saya kira di situ letak kesalahan Ibsen, sang ”aristokrat”.­Rasul­ nya, Stockman, berangkat dari hasil penelitian labo­ratorium.­ Kon­k lusinya: ada sesuatu yang beracun dalam air pemandian. Tak lama kemudian ia menyimpulkan bahwa ada insuforia yang lain: bahwa massa, mayoritas yang kompak itu, ”meracuni sumber kehidupan moral kita dan menjangkiti tanah tempat kita ber­ diri.” Artinya, dengan satu analogi mendadak, Stockman menyejajarkan air pemandian dengan kehidupan moral—seakan­-akan kehidupan moral pun dapat ditilik dari luar, dingin, dari mikroskop, dengan konsistensi ilmu-pasti. Pangkal tolak­nya adalah rasio, yang ia kira mampu membaca dan menguasai­alam dan hi­ dup.­Ia seorang Descartes baru—seorang yang menganggap kehidupan bersama seharusnya dibangun de­ngan­ sebuah desain yang sadar. Seorang Descartes yakin bahwa­sebuah kota memerlukan bimbingan seorang perekayasa­yang pintar, ulung, dan perkasa. Baginya, hidup seharusnya tak membiarkan hal yang tak ter­duga-duga muncul dan mengganggu desain besar itu—seperti sang pemabuk yang bersuara ganjil di tengah para peserta rapat umum yang berderap seia-sekata. Apa beda, kemudian, antara si Descartes baru dan mereka yang seia-sekata itu? Apa beda antara Stockman dan ”mayoritas­ kompak” yang dimusuhi dan memusuhinya? Sang dokter memang tampak sebagai subyek yang seakan-akan tanpa sejarah, tan­pa badan, tanpa kepentingan, yang melahirkan dan jadi fondasi bagi dirinya sendiri. Sementara itu, para warga kota seakan-­ akan terapung-apung, hanya mewakili naluri untuk menyela­ mat­kan perut dan properti. Tapi sebenarnya beda itu tak amat jauh. Keduanya posisi­yang satu ”ya”, satu ”kata”. Yang menonjol dari ”mayoritas­yang­komCatatan Pinggir 7



51



MUSUH



pak” adalah sifatnya yang ”kompak”. Keduanya meng­hen­daki hi­dup yang bisa dimanipulasi dan dikuasai, menampik yang tak ajek dan tak pasti. Dalam arti tertentu, itulah sikap anti-teater dan anti-demo­ krasi. Tentu saja jika demokrasi, seperti teater, sebenarnya bukan­ lah proses untuk menemukan kebenaran, melainkan untuk meng­hadapi kesalahan, dan mengatasinya, terkadang dengan se­ dih, terkadang dengan ketawa.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 28 September 2003



52



Catatan Pinggir 7



SAID



K



ABAR tentang Edward Said meninggal saya baca di sebaris sandek. Kalimat itu muncul di layar telepon genggam ketika saya tengah duduk di depan sebuah lampu meja yang penyungginya terbuat dari batu berukirkan dua sosok penari: sebuah nukilan Borbudur. Kabar datang, pergi, informasi melintas cepat-cepat. Mung­ kin­­ sebab itulah orang membangun monumen. Memahat­ ada­ lah­ mengingat. Atau sebaliknya: sejarah ingin dipahat, ditulis­ kan dengan huruf kapital ”S”, tapi segala yang datang dan pergi tak bisa disusun dalam kronologi dan tema besar. Mereka terus mengerumuni kita, merasuki kita. Dan Sejarah pun seakan-akan mengunjal napas, capek dan gaek, di hadap­an kini. Kini itu tak kun­jung berhenti. Yang terpeluk oleh Sejarah hanya segala yang telah lewat, reruntuhan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



”The sigh of History rises over ruins...” Edward Said meninggal, dan aneh bahwa saya teringat po­ tong­an kalimat Derek Walcott itu. Sang penyair Karibia­tengah­ melukiskan sebuah sore di sebuah dusun Trinidad ketika orangorang keturunan India mempertunjukkan satu versi­Ramayana di lapangan desa. Bendera warna-warni berkibar, bocah-bocah berpakaian merah dan hitam mengarahkan panah­mereka ke cahaya­ setelah siang, dan di arah sana tampak dua bangunan bambu,­ba­ gian dari patung dewa yang nanti akan dibakar. Para penabuh tabla telah menyalakan api. Langit­mulai gelap. Burung-burung ibis yang kemerahan terbang pulang. Di lapangan itu, para aktor Ramayana di dusun Trinidad itu­­ bukan hendak menegakkan kembali masa lampau. Mereka Catatan Pinggir 7



53



http://facebook.com/indonesiapustaka



SAID



hanya ingin bermain, menjalankan ritus. Lanskap itu sebuah lapangan yang hidup dan hiruk. Kejadian itu bukan wakil sebuah ”periode”. Ia bukan secuil contoh dari satu ”zaman”. Di sini, di ma­na-mana, suara Sejarah luruh. The sigh of History dissolves.... Tapi bila Sejarah sebenarnya tak mampu menyusun peta waktu, sebagaimana geografi tak bisa menyusun peta bumi dan peng­ huni—karena hal-hal itu selalu berubah, karena­ variasi­ mereka­ tak tepermanai—dengan cara apakah kita mampu membaca­ garis hidup dan memahami dunia? Yang pasti, kita tak akan bi­sa membacanya utuh. Mengetahui adalah menguasai,­tapi itu ikh­ tiar yang tak kunjung sampai. Sebab itulah cerita pengetahuan adalah cerita mobilisasi sehimpun lembaga, teknologi, dan mo­ dal.­Pengetahuan pun berbaur dengan kekuasaan. Pengetahuan men­jadi kekuasaan. Bertahun-tahun Edward Said dikenal dengan premis á la Foucault itu, dan dengan itulah karya besarnya, Orientalism, selalu­ diperbincangkan. Mungkin karena ia sebuah polemik yang di­ tembakkan ketika imperialisme dibongkar: sebuah serangan ke sejumlah besar karya para ilmuwan, pemikir, dan penulis di Eropa. Mereka ini bagian dari usaha kolonialisme, kata Said. Mereka menghadapi lanskap yang hidup dan hiruk di luar lingkup mere­ ka, dan mereka meringkas dan meringkus; mereka membentuk sebuah Sejarah. Di bungkusnya mereka capkan label ”Timur” dan ”Barat”. Walhasil, ”Timur” adalah sebuah sistem pelukisan tentang sebuah dunia ”lain” yang oleh kekuatan politik diberi rangka tertentu untuk disajikan untuk disiasati orang di ”Barat”. Dengan semangat polemis yang sama Said juga menunjukkan bahwa ”Eropa” memang butuh satu sosok yang berbeda agar ia bi­sa memperjelas identitasnya sendiri. Maka ”Eropa” pun membentuk sebuah Sejarah dan Peta yang secara esensial lain, bahkan berlawanan. Tentu saja bagi Said, ”esensialisme” ini sewenangwe­nang. Dalam edisi 1995 dari buku terkenalnya itu ia mengu­ 54



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SAID



tuk tiap ”usaha untuk memaksa kebudayaan dan orang-orang ke dalam jenis dan esensi yang terpisah dan beda.” Sebab, katanya, ”posisi palsu ini menyembunyikan per­ubahan sejarah.” ”Palsu”—dengan hasil yang salah. ”Pertimbangkan, besar­ nya­Asia yang direduksi jadi fragmen-fragmen ini...,” tulis Derek Walcott, yang juga tak percaya bahwa Sejarah bisa ditulis bahkan tentang serpihan Ramayana di dusun Trinidad itu. Dari Said kita juga belajar bahwa semua gambaran tentang ”Asia”, sebagai dis­ course, selalu diwarnai oleh bahasa, budaya, institusi, dan suasana­ politik si orang yang membuat gambar. Semuanya bukan ”kebenaran”. Begitulah, Said adalah sebuah kritik. Tapi sebagaimana­ la­ zimnya sebuah polemik, Orientalism kadang terlalu bersemangat menembak, dan meleset. Ia lupa bahwa hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan tak hanya terbatas dalam discourse yang topang-menopang dengan imperialisme ke dunia ­”Timur”. Heidegger, sebelum Foucault, telah memaparkan bahwa sejak masa So­krates dan Plato di Yunani, cara manusia (Eropa) berpikir telah mengarah ke meringkus dan meringkas dunia di luar dirinya— dan tendensi ini diperkeras oleh penerjemahan konsep Yunani lama oleh semangat imperial Romawi. Cara berpikir itu tak ayal merasuki gambaran Said sendiri tentang para ”Orientalis”. Ia membangun satu Sejarah dari sebuah lapangan pemikiran yang hidup dan hiruk. Ia tak memberi kemungkinan sesuatu yang berbeda, bahwa di Eropa, ”Timur” tak selamanya dilukiskan sebagai sesuatu yang harus­ dijajah agar beradab—misalnya ketika Voltaire di pertengah­an abad ke-18 memuji Islam dan mengejek Gereja Katolik. Said begitu berapiapi mengecam pengetahuan ”Barat” tentang ”Timur” sehingga ia (dan juga para pengagumnya) sering tak hendak melihat kesalah­ an pengetahuan ”Timur” tentang dirinya sendiri. Tapi di situ pula Said menyiratkan kepedihan: menghadapi­ Catatan Pinggir 7



55



SAID



kekuasaan yang bertaut dengan pengetahuan, menghadapi senjata, harta, dan kata-kata yang begitu kuat dan menaklukkan, ia berangkat untuk membebaskan. Bukan kebetulan ia seorang Pa­ les­tina. Tapi kini ia meninggal, dan seorang teman mengirim­ seba­ ris sandek: ”Kenapa saya sedih?” Kenapa kita sedih? Mung­kin­ karena hati kita adalah Palestina, jawab saya, pernah me­rasa­kan bagaimana diringkas, diringkus, dan dibungkam di dunia.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 5 Oktober 2003



56



Catatan Pinggir 7



RUMAH



T



UAN bertanya tidakkah saya takut akan kehilangan ru­­mah. Seperti biasa saya punya jawab yang panjang, membingungkan, dan tak menarik. Sebab saya ingat akan sebuah sajak Chairil Anwar tentang rumah dan tak berumah—tentang kepastian dan ketidakpastian: Banyak gores belum terputus saja Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya



http://facebook.com/indonesiapustaka



Langit bersih-cerah dan purnama raya... Sudah itu tempatku tak tentu di mana Ada kontras yang langsung dalam sajak itu. Rumah yang rapi dan terang itu adalah kelanjutan dari sebuah riwayat dan sekali­ gus harapan yang tak bisa dipenggal—salah satu dari ”gores [yang] belum terputus”. Tapi pada saat yang sama, di dalam­nya ada yang tak permanen. Perubahan yang drastis, per­pindahan yang tak menentu, juga keresahan dan kepergi­an, akan datang menyusul: ”Sudah itu tempatku tak tentu di mana”. Rasanya tak kita dengar sebuah keluh dan sesal dalam baris terakhir Chairil Anwar itu. Bagi si ”aku” dalam puisi itu, ke­tidak­ tentuan adalah sesuatu yang tak tersingkirkan, juga bila ia ber­ ada dalam sebuah ruang dengan riwayat yang intim dan panjang.­ Sajak ini mengakui bahwa dalam ketenteraman itu selalu ada yang lain, yang bukan-ketenteraman. ”Satu rumah kecil putih de­ ngan lampu merah muda” itu memang sebuah kosmos alit yang utuh, tapi di dalamnya selalu terkandung khaos yang tak tampak. ”Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran”, tulis Chairil da­lam bait berikutnya. Dan pada akhirnya kita pun terban, seper­ Catatan Pinggir 7



57



http://facebook.com/indonesiapustaka



RUMAH



ti diembus angin, ”tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi..!?”. Tuan bertanya tidakkah saya takut akan kehilangan rumah. Saya cenderung bertanya kembali dengan pertanyaan panjang yang tak menarik: apa yang kini tersisa dari lokalitas dan stabi­litas yang pernah ada dahulu? Tuan lihat: kini begitu banyak orang digusur, begitu banyak orang mengungsi. Saya sering dengar­ajaran yang mengibaratkan manusia sebagai tanaman: punya petak, punya letak, punya akar. ”Akar” jadi hal yang mustahak. Seorang penulis pernah mengutip Heidegger yang bertanya, ”Masih adakah rumah yang memupuk akar, di mana manusia selamanya berdiri... dalam keadaan bodenständig?” Heidegger: pemikir ini dengan nostalgia seorang Jerman tua­ bisa dengan terharu bicara tentang sebuah rumah petani abad ke19 di Hutan Hitam di dekat Freibourg. Ia memang salah satu sua­ ra abad ke-20 yang menyaksikan teknologi dengan­cemas, salah satu kritik murung Eropa yang letih oleh kemajuan. Dalam ceramah memperingati 175 tahun kelahiran komponis Conradin Kreutzer, Heidegger menunjuk bahwa­ teknologi secara hakiki mengancam ”keberakaran manusia di hari ini”. Di tempat lain di masa lain, Gaston Bachelard juga menyesali­perkembangan Paris yang mengubah ruang jadi mandul: di kota itu, kata penulis La poétique de l’espace ini, ”rumah tinggal telah jadi sekadar horizontalitas”. Namun kritik kepada modernitas—dalam arti dorongan me­ naklukkan alam dan menjadikannya ruang tanpa kedalam­an— tak sepenuhnya menjawab, benarkah ”akar” begitu sen­tral­dalam hidup manusia. Tidakkah teknologi memberikan sesuatu yang lain, yakni kemerdekaan? Dalam hal ini Chairil Anwar bisa mengejutkan dan sekaligus fasih. Dalam sebuah sajaknya yang lain ia—merasa ter­impit di sebuah ruang yang pasti—menyatakan sebuah alternatif:



58



Catatan Pinggir 7



RUMAH



Kita terapit, cintaku —mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak— Mari kita kepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati Terbang mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat



http://facebook.com/indonesiapustaka



—the only possible non-stop flight Terbang dan mengarungi samudra dengan kapal udara maupun laut, menjelajah dengan Internet yang tak bertempat,­semua itu dimungkinkan oleh teknologi—dan manusia pun bebas membuat ”jiwa” jadi ”merpati” yang tak ”terapit” dan ”me­ngecil diri”. Kita pun mengarungi keluasan tak henti-henti,­ tak takut bila akhirnya kita tak ”mendapat”. Dan rumah pun jadi bagian dari mobilitas, dan arsitektur tak lagi merancang kastil yang gelap berat, melainkan konstruksi yang ringan bagaikan kemah musafir. Atau gubuk para gelandangan dan bedeng para peng­ ungsi. Rumah petani di Hutan Hitam itu akhirnya hanya dalam kenangan. Tapi nostalgia memang sebuah paradoks. Ia mendekatkan kita dengan apa yang tak lagi dekat. Mungkin karena hidup bukanlah sepenuhnya kehadiran, melainkan juga ketidakhadir­ an? Rumah—meskipun bukan sebuah puri yang angker—bisa merupakan kehadiran yang membatasi. Tapi bahkan dengan kecenderungannya yang konservatif pun Heidegger melihat peran­ perbatasan sebagai sebuah awal. ”Sebuah perbatasan bukanlah­ suatu tempat di mana sesuatu berhenti,” katanya dalam sebuah ceramah untuk satu simposium tentang ”manusia dan ruang” pada tahun 1951. Sebuah perbatasan, katanya, ”Adalah dari ma­ na sesuatu memulai geraknya untuk hadir.” Dengan kata lain, kemerdekaan itu ada justru di antara ketidakmerdekaan. Maka apa arti sebuah rumah, sebenarnya? Sebuah ruang hi­ Catatan Pinggir 7



59



RUMAH



dup­di mana ada kemerdekaan. Ketika rumah kehilangan sifatnya itu, ia pun jadi sesuatu yang lain—mungkin sepetak bumi berpasir hisap yang menyedot kita ke kematian. Sebab itu rumah (juga tanah air dan tiap ruang tempat kita mempertautkan diri) adalah sebuah ekspresi dan sekaligus sebuah rekaman perjalanan penjelajahan. ”Rumahku dari unggun-timbun sajak,” kata sebaris sajak seorang penyair Belanda yang disa­dur Chairil Anwar. Pada akhirnya, paradoks itu memang tak terelakkan. Manusia­ berdiri bertaut dengan bumi, selalu dalam bodenständig, tapi kita tak mungkin terjebak di dalam pot dan petak tanah. Tak meng­ he­rankan bila—meskipun ia menakutkan rusaknya ”akar”— Heidegger juga mengutip penyair Johann Peter Hebel:­ ”Kita tanaman, yang... harus bangkit dengan akarnya, dari bumi, jika ingin­berbunga di udara terbuka...”. Takutkah saya kehilangan rumah? Bukankah kita akan selalu kehilangan rumah?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 12 Oktober 2003



60



Catatan Pinggir 7



GELEGAR



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



UA gelegar mengagetkan seperti petir—api murub— asap hitam membubung—pekik berpuluh-puluh sua­ ra­kesakitan yang serentak.... Kebuasan itu memang bi­ sa tampak seperti sebuah spectacle, baik di New York pada tahun 2001 maupun di Bali pada tahun 2002. Kita seakan-akan menyaksikan lukisan Hutan Terbakar Ra­ den Saleh dalam tiga dimensi, atau satu adegan opera Götterdäm­ merung karya Wagner. Mungkin sebab itu, ketika dua pesawat Boeing 767 ditabrakkan para teroris ke Menara Kembar di New York, dan bangunan kukuh itu runtuh, dan 3.000 mati, Stockhausen, komponis Jerman terkenal itu, berucap, ”Itulah karya se­ ni terbesar untuk seluruh kosmos.” Tapi orang marah mendengarnya. Teror sebagai karya seni, kor­­­ban sebagai tontonan, para pembunuh sejajar dengan para je­­ ni­us? Stockhausen dikecam; sejak itu ia tutup mulut. Tapi sa­lah­ kah­­sang komponis untuk mengatakan demikian, di zaman ketika setiap benda, setiap tindak, dapat dinyatakan seba­gai ”seni”? Pada tahun 1911 pelukis Marcel Duchamp meng­ikut­sertakan sebuah sentoran kencing ke dalam sebuah pameran seni rupa di New York. Sebuah ”revolusi” pun terjadi. Pada tahun 2001 seharusnya tak mengejutkan lagi jika Stockhausen membaptiskan penghancuran Menara Kembar sebagai sebuah ”karya seni”. Apa gerangan ”seni” dan apa gerangan yang bukan? Di mu­ seum­seni rupa Tate Modern, London, ada sebuah karya Paul McCarthy, Rocky (1976). Karya itu sebuah rekaman video: si seniman­ telanjang, memasang sarung tinju, wajahnya ditutup­topeng binatang; seraya seakan-akan menyerang memukul,­ia meninju tubuhnya sendiri. Kini orang bisa menunjukkan­inilah beda antara McCarthy dan seorang Palestina yang meledak­kan dirinya sendi­ Catatan Pinggir 7



61



http://facebook.com/indonesiapustaka



GELEGAR



ri: Rocky diletakkan di Tate Modern karena ia dinyatakan seba­ gai ”seni” dan dibuat oleh seorang seniman. Itulah hasil sampingan ”revolusi” Duchamp: berseni atau tidaknya X tak lagi ditentukan oleh indah atau tidaknya X, melainkan sepenuhnya oleh sebuah fatwa. Bagaimana X menyentuh­ hati para penikmat atau pengamat, tak lagi penting. Hubungan antara X dan penikmat bahkan praktis tak dibicarakan. Sang se­ niman adalah Sang Penentu. Beberapa tahun­yang lalu Danarto­ memasang sebuah kanvas kosong, putih, di sebuah pameran Taman Ismail Marzuki. Karena ia seorang Danarto—waktu itu ia telah diakui sebagai sastrawan yang memulai penulisan ”realisme magis” di Indonesia dan juga seorang pelukis—kita pun diyakin­ kan bahwa kanvas kosong itu sesuatu yang punya potensi untuk menyentuh hati dan menimbulkan permenungan, misalnya tentang ”sepi” dan ”ketiada­an”. Dengan begitu sang seniman diletakkan dalam posisi dengan­ fondasi kukuh. Tapi sebenarnya itu hanyalah separuh cerita. Separuh lainnya menunjukkan bahwa posisi itu didapatnya juga karena ada pusat kesenian, atau sebuah galeri ternama, atau karena seorang kurator yang johari dan sejumlah kritikus yang menu­ lis di media tenar. Diakui atau tidak, sang seniman adalah sebuah tokoh yang ditopang oleh institusi dan geografi yang ”tepat”. Seandainya Danarto menggantungkan pigura kosongnya di pojok­ stasiun bus, orang mungkin akan memakainya untuk tempat pengumuman ”Awas Copet!” Seperti Danarto, Stockhausen punya otoritas, Stockhausen bi­sa dibungkam, atau jadi lucu, tapi bagaimanapun, sebuah fatwa tetap krusial. Gelegar dan kebuasan yang spektakuler 11 September 2001 itu memang bisa dianggap bukan ”karya seni”, sebab Muhammad Atta dan kawan-kawannya tak menyatakan diri mereka seniman dan tak hendak mempersembahkan teror itu sebagai sebuah performance. Tapi pentingkah niat mereka? Harold­ 62



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



GELEGAR



Rosenberg, kritikus seni rupa untuk The New Yorker, pernah me­ ngatakan bahwa sepotong kayu yang diketemukan di pesisir bisa saja jadi ”seni”. Dengan kata lain, selama sebuah otoritas membaptiskan sesu­ atu sebagai ”seni” atau ”seni modern”—sepotong kayu di pasir, sebuah jembatan yang dibungkus terpal, sebuah piano yang dirusak, mungkin juga sebuah gedung yang dihancurkan—semua­ nya­bisa dikeramatkan dalam wacana kesenian. Memang di situ tampak ada otoritas yang begitu kuasa, hingga­ bisa memfatwakan X jadi Y begitu saja. Tapi yang me­risau­kan bukan itu. Yang merisaukan juga bukan anarki dalam menilai. Susan Buck-Morss, dalam Thinking Past Terror: Islamism and Criti­ cal Theory on the Left (Verso, 2003), dengan tepat menunjukkan ada yang lebih mencemaskan: pembenaran ”ontologis”. Pembenaran ontologis adalah yang mengatakan, ”Karena X ada di Taman Ismail Marzuki, maka X sebuah karya seni.” Ini berbeda dengan pembenaran ”epistemologis”, yang mengata­kan, ”Karena X adalah sebuah karya seni, maka ia ada di Taman Ismail Marzuki.” Pembenaran ontologis juga bisa kita temukan dalam pernyataan ini: ”Karena AS negeri yang beradab, ia menghormati­hak asasi­ manusia.” Pembenaran epistemologis: ”Karena AS menghormati hak asasi manusia, ia sebuah negeri yang ber­adab.”­ Dalam pembenaran ontologis, apa pun yang dilakukan AS, ka­rena negeri ini menurut definsinya ”beradab”, tak akan me­ lang­­­gar hak asasi. Sebaliknya dalam pembenaran epistemolo­gis, ma­sih ada kemungkinan untuk dipersoalkan, benarkah AS se­ buah­­negeri yang beradab. Sama halnya dengan perkara lain: ”Karena aku berjihad, ma­ ka­ jalanku secara definisi suci.” Ini berbeda dengan pernyataan ini: ”Karena yang kujalankan sesuatu yang suci, maka aku berjihad.” Statemen terakhir ini membuka diri untuk ditelaah, benar­ Catatan Pinggir 7



63



GELEGAR



kah yang kujalankan ”sesuatu yang suci.” Pembenaran epistemologis memang mengandung ke­ter­­­buka­­­ an, pertanyaan, dan sikap kritis—juga kepada diri sen­diri.­Pembenaran ontologis tidak. Dan agaknya itulah yang berlangsung ketika ”aku” berilusi bahwa ”aku”-lah yang punya­fondasi untuk me­nentukan yang indah dan tak indah, yang suci dan tak suci. Da­ri sini apa pun akan tampak sah, juga ke­kejaman, gelegar bom, jerit kematian....



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 19 Oktober 2003



64



Catatan Pinggir 7



KORUPSI



http://facebook.com/indonesiapustaka



K



ORUPSI adalah korupsi karena sebuah garis batas. Kita ingat­Si Mamad. Ia mengambil setumpuk kertas milik kan­tor yang kemudian dijualnya—dan ia merasa bersalah. Rasa bersalah itu begitu kencang mengganggu pegawai kecil ini, hingga ia menggelikan dan sekaligus mengenaskan, dan sebab itulah film Sjumandjaja dari tahun 1973 ini, yang diolah­ dari sebuah cerita An­ton Chekov pada abad ke-19, jadi satu kisah me­narik. Ia tak me­maparkan kejahatan, melainkan kesadaran. Mamad, dengan baju dinasnya yang kuno dan kereta anginnya yang tua, sadar bah­wa ada sebuah garis batas yang telah dirusak­ nya, dan tindak itu adalah korupsi. Tapi dari mana datangnya garis itu, sebenarnya? Di permukaan, ia bermula dari perbedaan antara konsep ”mi­lik sendiri” dan ”milik orang banyak”. Dalam bentuk­nya­ yang terburuk, milik ”orang banyak” itu adalah milik ”publik”.­ Seorang koruptor bukan seorang pencopet yang mencuri dompet­ milik orang seorang. Namun benarkah Si Mamad (dalam cerita aslinya ia bekerja di sebuah kementerian) merasa bersalah karena me­nyadari ia korupsi? Mungkin tidak. Ada pendapat, pengertian ”publik” adalah bagian dari kesadaran modern. Di dunia tradisional, demikian­ dikatakan, tak ada garis batas antara yang ”negara” dan yang ”pri­ badi”, sejajar dengan tak ada garis batas antara yang ”publik” dan yang bukan. Ketika Bupati Lebak dalam novel Max Havelaar meminta rakyat memberikan persembahan bagi diri­nya, Havelaar, asisten residen Belanda itu, mendakwanya ”korupsi”. Tapi benar­ kah? Ada yang membela bahwa sang Bupati (seperti Raja Louis XIV yang menyatakan l’ état c’est moi) memang sejak dulu meng­ anggap Lebak, juga rakyat dan upeti mereka, adalah bagian dari Catatan Pinggir 7



65



http://facebook.com/indonesiapustaka



KORUPSI



miliknya, bahkan dirinya. Dengan kata lain, Havelaar yang berapi-api itu memakai sebuah dalil ”modern” ke sebuah dunia ”pra-modern”. Ia meleset. Namun saya mengerti kenapa Si Mamad merasa bersalah­dan Ha­velaar marah. Bukan sebab kesadaran ”modern” rasa­nya,­tapi karena di situ ada sesuatu yang lebih tua dan lebih dalam, yakni soal ”adil” dan ”tak adil”—ihwal yang telah me­risau­kan manusia­ sejak sebelum datang negara modern dengan legislasinya. Saya kira dari situlah lahirnya garis batas yang saya sebut tadi. Korupsi dianggap salah karena ia ”tak adil”: perbuatan itu meng­hasilkan sesuatu yang berlebihan—uang, kekuasaan, nama baik, juga kekejaman—yang secara berlebihan pula merugikan orang lain yang sedang ada dalam status dan posisi lain. Maka bi­ sa dimengerti kenapa bukan cuma Havelaar yang marah. Seper­ti ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam karyanya yang terkenal tentang pemberontakan petani Banten­ pada abad ke-19, orang-orang udik itu pun melawan, seraya berharap datangnya ”Ra­tu Adil”. Angan-angan atau bukan, ratu yang adil tak selamanya dianggap berasal dari seberang samudra dongeng. Dulu saya per­nah­ membaca satu fragmen sejarah Jawa Tengah abad ke-7, tentang­ Ratu Sima yang melarang orang mengganggu barang yang bukan­ miliknya. Syahdan, suatu hari seorang pangeran melihat sekantong emas di jalan. Ia menyepaknya. Baginda Ratu pun menghu­ kum anak kandungnya itu. Dongeng atau bukan dongeng, cerita ini mencerminkan hasrat untuk yang ”adil”: di sana hukum berlaku bagi siapa saja, dan ada penangkalan terhadap ”nepotis­ me”—biarpun ini abad ke-7. Kemudian lahir negara modern. Juga di Indonesia. Negara­ mo­dern sesungguhnya adalah sebuah bangunan yang berusaha­ agar soal ”adil” dan ”tak adil” tidak diputuskan hanya karena kebetulan dan karena nasib. Seperti dibayangkan Hegel (dari 66



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



KORUPSI



Ero­pa yang dirundung perang dan persengketaan), ”Negara” (dieja dengan ”N”) berarti Negara Rasional, yang mengelola kebersamaan tanpa anarki ataupun tirani. Di sana hukum di­patuhi­ sebagai pengejawantahan akal budi yang universal, bukan karena­ dorongan nafsu dan kepentingan tertentu. Di sana birokrasi di­ gambarkan sebagai struktur yang ajek dan meng­ikuti­nalar. Marx memang kemudian menunjukkan bahwa Hegel hanya­ menutup-nutupi fiil yang buruk. Bagi Marx, ”Negara” adalah se­ suatu yang menindas. Baru ketika tak ada lagi kelas sosial yang punya kebutuhan untuk represif, Negara akan lingsir. Tapi seper­ ti Hegel, Marx membayangkan Negara sebagai suatu kehadiran, utuh, kompak, bergeming—seakan-akan tak akan pernah terjadi saling terobos antara yang ”Negara” dan yang ”bukan-Nega­ ra”, antara yang ”publik” dan yang ”privat”. Hegel dan Marx tak membayangkan Negara sebagai sesuatu yang tak kunjung selesai. Seandainya mereka melihat Indonesia sekarang.... Di negeri ini, Negara adalah sebuah paradoks: ia represif dan sekaligus rentan, cerewet dan sekaligus ceroboh. Polisi­yang dengan rajin menyetop sopir yang dianggap melanggar aturan Ne­ ga­ra adalah juga polisi yang siap menerima sogok. Birokrasi­yang dengan produktif mengeluarkan regulasi adalah juga biro­­krasi yang mengharap agar peraturan pemerin­tah sering dilanggar, dan dengan itu si pelanggar akan membayar. Dengan kata lain, korupsi bukanlah tanda bahwa Negara­kuat dan serakah. Korupsi adalah sebuah privatisasi—tapi yang se­ ling­kuh. Kekuasaan sebagai amanat publik telah diperdagangkan sebagai milik pribadi, dan akibatnya ia hanya­ merepotkan, tapi tanpa kewibawaan. Keadilan yang dikelola­ oleh kejaksaan dan kehakiman bisa dibeli dengan harga tertentu,­ maka ia berperan tapi tak menjadi keadilan. Kekerasan yang dimonopoli Negara, dan dipegang oleh polisi dan tentara,­bisa jadi komoditas seperti jasa tukang pijat, ketika seorang marinir bisa disewa unCatatan Pinggir 7



67



KORUPSI



tuk membunuh dan seorang anggota Kopassus bisa dibayar untuk jadi bodyguard. Berangsur-angsur, korupsi, yang melintasi sebuah garis batas, berakhir jadi cerita hantu. Hantu itu bernama ”Negara Kesatuan Republik Indonesia”—sesuatu yang sebenarnya bukan 100 per­ sen­”Negara”, bukan pula ”kesatuan”, sesuatu antara ada dan tiada, seram dan tak menentu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 26 Oktober 2003



68



Catatan Pinggir 7



EMAK



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



ERKADANG modernitas datang di sebuah dunia yang tak terduga. Terkadang tak jelas dari luar ataukah dari dalam ia muncul. Kita dengar kisah Djasi’ah, misalnya. Ia tokoh utama dalam Emak, memoar yang ditulis Daoed Joe­ soef tentang ibunya yang dikenangnya dengan penuh rasa cinta­ itu. Perempuan ini datang dari keluarga petani di Suma­tera Utara, dan menikah dengan Moehammad Joesoef, se­orang peng­ usaha susu lembu yang juga berladang. Pasangan suami-istri itu buta huruf Latin. Berakar di lingkungan Nahdlatul Ulama, keluarga itu membesarkan kelima­ anaknya dengan ritual Islam yang lazim. Tradisi tak boleh di­abai­ kan. Nasihat Djasi’ah kepada anaknya: ”Kau harus berlaku seba­ gai batang air...”. Sebab, sekalipun sungai itu tetap terus mengalir ke muara dan semakin menjauhi mata airnya, ”ia tidak pernah me­mutuskan diri barang sedetik dari sumbernya itu...”. Dengan kata lain, antara muara dan sumber, antara arah dan asal, tak jatuh bayang-bayang. Tapi kita kemudian tahu bahwa ada bayang-bayang lain di kampung di tepi Kota Medan­ itu, dalam empat dasawarsa pertama abad ke-20 itu, ketika hutan masih rimbun dan sungai masih bersih. Di sana, dunia modern tampak tumbuh tak terduga. Djasi’ah adalah bagian dari yang tak terduga itu. Ia punya­lima anak, tiga di antaranya perempuan, dan di antara anak­nya yang lelaki adalah Daoed Joesoef (dibaca ”Daud Yusuf”), orang Indonesia pertama yang mendapat gelar Doctorat d’Etat dengan sebut­ an­ cum laude pula, dari Universitas Sorbonne, Prancis. Daoed Joe­­­soef sadar: ia telah bisa melintasi dunia kampung di Medan itu dan masuk ke kancah akademi di Eropa Barat karena ia adalah ba­gian dari kehidupan baru yang dibangun oleh seorang emak Catatan Pinggir 7



69



http://facebook.com/indonesiapustaka



EMAK



yang menakjubkan. Djasi’ah digambarankannya sebagai seorang perempuan yang ”bertubuh langsing semampai”, ”berambut ikal dan panjang”, ber­kulit bersih yang terawat. Tapi perempuan ini juga seorang yang, dalam ke-20 bab buku ini, merupakan bagian dari argumen tentang pelbagai persoalan hidup: pendidikan, lingkungan, agama dan masyarakat, ilmu pengetahuan. Mungkin dengan demikian ia kedengaran terlampau me­ nak­jubkan. Tapi rasanya bukan hanya imajinasi pengarang ketika dikisahkan bagaimana perempuan ini berani menentang apa yang dianggap lazim dan baik oleh masyarakat sekitarnya. Djasi’ah belajar naik sepeda. Dengan demikian ia jadi perempuan pertama di kampung itu yang berperilaku demikian, seraya mengenakan serual (dan bukan kain) panjang. Ia tahu orang akan bergunjing sebab itu, tapi ia tak peduli. Ia tetap naik sepeda, seperti ia tetap mempertahankan anaknya yang perempuan bersekolah di Meisjes Vervolgschool. Si Daoed­ juga dikirimnya ke ”sekolah Belanda”, yang oleh orang kampung disebut ”sekolah kafir”. Djasi’ah memang tak terduga-duga, tapi dunia modern­ datang kepadanya tak hanya dalam bentuk sepeda, atau tonil dari Betawi, atau topi baret. Dunia itu juga tak datang dalam sebuah ruang yang kosong. Sebab di sana terbentang sebuah masyarakat kolonial yang tegang. Di sana telah hadir Soelaiman,­yang kemudian dibuang ke Digul oleh pemerintah, dan Mas Singgih, yang bekerja diam-diam di kalangan kuli perkebunan untuk mencetuskan perjuangan politik. Kolonialisme sering membawa hal-hal yang tak diniatkannya sendiri. Sang penjajah hendak menetapkan posisi si terjajah di dalam dunia dan sejarah yang terpisah—yang satu ”Barat” dan yang lain ”Timur”, yang satu ”modern” dan yang lain ”tradisio­ nal”,­ yang satu ”maju” yang lain ”asli”. Terkadang kategori itu 70



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



EMAK



me­lekat, tapi tak jarang si terjajah merasa terancam, terjepit, dan ia pun menerobos keterpisahan itu. Hasilnya adalah sebuah mimicry, seperti ketika bunglon meng­­ubah warna tubuhnya mengikuti latar tempatnya me­nem­ pel.­ Si bunglon ingin selamat. Orang bisa mencemoohnya, tapi pa­da saat itu, yang menyamar sebenarnya yang membebas­kan di­ ri. Modernitas sebagai mimicry itulah mungkin yang mendorong Soelaiman menempuh jalan ”Belanda” dengan belajar tata buku dan hitung dagang dan bahasa Belanda serta Inggris. Seperti Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer: seorang perempuan yang menerobos batas gender, kelas, warna kulit, dan menyamakan diri setaraf dengan sang Tuan. Djasi’ah bukan Nyai Ontosoroh. Dunianya—sebagaimana dikenang oleh seorang anak—tak memantulkan ketegangan masyarakat kolonial seperti yang digambarkan Bumi Manusia. Kampung itu teramat damai, rumah terasa teramat rukun, kebun, bunga, tetangga dan hutan terasa sebagai bagian dari sebuah harmoni agung—sebuah gambaran idyllic yang hanya bisa ditangkap oleh nostalgia. Tapi Emak juga tampaknya bisa menangkap modernitas sebagai mimicry—meskipun kiasan batang air yang saya kutip di atas tetap melekat pada dirinya. Dengan itu, baginya modernitas tampak tumbuh dari dalam, tanpa konflik, bukan dari luar, dari ”Barat”. Di keluarga Joesoef yang salih itu, Islam dan ritualnya memang tak menjadi lekang. Di sini agama dihayati sebagai akal, dan sebab itu bisa menangkap apa yang universal. Dengan akal, Djasi’ah, seorang perempuan tak terpelajar di kampung Kota Medan pada awal abad ke-20, bisa menyimpulkan hal yang sama dengan yang disimpulkan seorang filosof Jerman abad ke-19. Kenapa tidak? Kini orang masih belum capek bergumam tenCatatan Pinggir 7



71



EMAK



tang ”bentrok peradaban” seraya bimbang, mungkinkah ada sesuatu yang ”universal” di percakapan kita—sesuatu yang bisa menjangkau orang lain di mana saja, siapa saja. Dewasa ini, dengan semangat ”bentrok peradaban”, bahkan agama diangkat bukan sebagai salam, tapi sebagai perisai untuk menutup diri. Pada saat seperti ini, tak ada salahnya kita ingat Emak yang pandai memasak. Dari arah dapurnya ia menemukan kiasan lain. Baginya, lebih baik agama ibarat garam: meresap, menyebar, dan memberikan manfaat di mana-mana, tanpa kelihatan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 2 November 2003



72



Catatan Pinggir 7



KAYA



D



I kampung saya semasa kecil, kami sering menghabiskan jam-jam menjelang berbuka puasa di sebuah masjid di dekat sungai. Di ruang kiri ada orang dewasa yang mengajarkan membaca Quran, dan di sela-sela itu beberapa­menit kami menembangkan lagu yang sering disebut sebagai ”pujipujian” bagi Tuhan. Pada dasarnya nyanyian itu hanya bentuk hafalan dari sejumlah diktum dan petuah. Saya ingat satu baris yang agak ganjil, da­ lam bahasa Jawa:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Ing donya sugih dosa Ing akerat dipun siksa Setelah agak dewasa kami tahu bahwa kedua kalimat itu ku­ rang-­lebih berarti ”siapa yang penuh dosa di dunia, di akhirat­ia­ akan disiksa.” Tapi waktu itu, seperti galibnya anak-anak, ka­ mi tak semuanya paham kata-kata yang kami lagukan, dan teristimewa kalimat itu membingungkan: dalam melodinya, ada­ pause sejenak antara kata ”sugih” dan ”dosa”. Tentang itu, se­ orang teman yang lebih tua dan lebih lanjut bacaan Quran-nya me­ngatakan bahwa arti kedua baris itu adalah ”barang siapa­yang kaya di dunia” (ing ndonya, sugih), ia akan menanggung ”dosa” (dosa) dan kelak akan disiksa di neraka. Kami tak membantahnya, mungkin juga karena teman ini­ datang dari sebuah rumah dengan lantai tanah, dinding anyam­ an­ bambu, tiang yang sudah aus, dan ruang dalam yang gelap. Kini saya dapat membayangkan bagaimana dia harus mampu mendapatkan argumen bagi keadaan dirinya, bagi nasib­nya, sebagai seorang anak keluarga yang melarat sejak kakek­-neneknya. Catatan Pinggir 7



73



http://facebook.com/indonesiapustaka



KAYA



Sementara ia taat beribadat. Atau ia merasa­kan ada sesuatu yang tak adil bila para pedagang di antara te­tang­ga kami, dengan peka­ rangan luas, toko lengkap, rumah besar, dan pakaian bagus, bisa hidup menikmati kehidupan dunia sekarang dan, insya Allah,­ juga kehidupan akhirat nanti. Atau mungkin ada sebab lain. Jauh di lubuk tiap sikap religius, yang juga menyangkut sikap ethis, selalu ada tendensi zuhud yang melihat keduniawian sebagai cela. Pada umumnya orang Islam di sekitar saya tak punya anggapan semacam itu. Tapi kami se­lamanya ingat bahwa Nabi, yang datang dari keluarga tak berpunya, meskipun kemudian menikah dengan seorang wanita ber­ada, sering pergi menjauhi Mekah yang komersial itu dan bertakhanus di Gua Hira. Mencari kekaya­an dapat menyesatkan, dan contoh terburuk adalah mem­bunga­kan uang dalam riba— satu hal yang jauh sebelum Islam juga telah dicela oleh ulama Yahudi dan Gereja Kristen. Di masa kecil di Jawa Tengah itu, ada unsur lain. Di sini, para ning­rat memandang rendah wong ati saudagar, seperti disebut dalam syair Wulangreh. Ini hampir tak ada bedanya dengan sikap kaum mandarin di Cina, yang menunjukkan keunggulan kelas sosial mereka dengan budi pekerti yang halus dan tangan lentik yang terawat. Mereka ini, sebagaimana para samurai Jepang yang anggun dan penuh dekorum, menganggap para pedagang ha­ nya­sejumlah makhluk kasar, licin, dan loba. Dan sebagaimana dalam susunan kasta di India, kaum waisya dianggap lebih rendah ketimbang kaum brahmana dan kesatria, di zaman Yunani kuno Aristoteles juga menganggap bahwa warga sebaiknya tak mengikuti cara ”yang vulgar dan kaum pedagang.” Ia memper­ ingat­kan orang akan bahaya pleonexia, tamak dan berlebihan. Si kaya, dengan harta benda yang bertimbun melalui perdagangan, memang tak selalu diterima dengan nyaman di sepanjang sejarah. Seperti Yesus yang mengatakan bahwa lebih gam74



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



KAYA



pang bagi seekor unta untuk masuk ke liang jarum ketimbang seorang kaya memasuki kerajaan Tuhan, teman saya di masjid kampung dulu juga percaya bahwa ”sugih [kuwi] dosa.” Tapi sejarah berjalan dengan harta bertimbun. Pada akhir­nya, lambat laun, sikap religius dan ethis menyesuaikan diri dengan pelbagai tendensi pleonexia itu. Gereja Lutheran yang tetap melarang riba sampai tahun 1139 dan Geraja Katolik yang­menegaskan ajaran yang sama sampai tahun 1745 harus­menghadapi kenyataan yang diungkapkan secara lucu oleh seorang penulis Italia abad ke-14: ”Mereka yang menjalankan riba masuk neraka, mere­ ka yang gagal menjalankan riba masuk ke kemiskinan.” Sebuah buku yang terbit tahun lalu, The Mind and the Mar­ ket, yang ditulis dengan bahasa yang terang oleh Jerry Z. Muller, merekam perubahan sikap dan pemikiran Eropa tentang ”kapitalisme” dalam sejarah yang panjang itu. Buku ini adalah sebuah kombinasi antara sejarah yang penuh anekdot dan sebuah argumen. Dari dalamnya kita bisa tahu bagaimana­Voltaire bukan saja pintar memainkan uangnya, terkadang dengan cara curang, dan men­jadi cendekiawan terkaya Eropa pada abad ke-18. Kita juga tahu bagaimana Adam Smith, pe­ngan­jur ”masyarakat komersial” yang kemudian disebut ”kapitalisme” itu, meninggal pada tahun 1790 dengan milik yang minim karena telah mendermakan seluruh hartanya dengan diam-diam. Juga kita tahu bagaimana orang-orang Yahudi Eropa, yang oleh Gereja dilarang memiliki tanah, dan oleh gilda-gilda pertukangan dan keahlian disingkirkan (karena mereka bukan Kristen), pada akhirnya harus menjadi kaum pedagang dan bankir— dan justru sebab itu memperoleh stigma sebagai tukang riba yang dibenci. Dari Muller kita juga menemukan semacam sebuah pleidoi bagi kapitalisme, atau setidaknya sebuah sikap yang menerima bahwa kapitalisme akan bersama kita untuk waktu yang panjang, dan bahwa para saudagar dan pencari harta akan mengeruCatatan Pinggir 7



75



KAYA



muni sejarah sampai entah kapan. Tak semua akibatnya buruk. Tak semuanya berupa dosa. Bahkan mungkin garis demarkasi antara yang ”dosa” dan ”bukan”­ telah luruh, perbatasan antara yang ”suci” dan ”tak suci” akhir­ nya cair. Melalui distribusi dan teknologi, khotbah­dan dakwah, gereja dan kuil, buku sufi dan risalah radikal, pelan atau cepat berkait dengan apa yang juga bergelimang di jalanan dengan ke­ ri­ngat orang jujur, kelicikan para penipu, penjudi, pelacur, pencuri—dengan kata lain, uang, modal, pasar, dan dunia yang tak putus-putusnya resah.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 9 November 2003



76



Catatan Pinggir 7



POHON-POHON



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



IAPA yang pernah menanam pohon akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya sebuah batang dalam ruang, tapi juga sebentuk tanda dalam waktu. Berapa ratus tahun terhimpun dalam hutan yang masih utuh di sekeliling Danau Tamblingan? Ribuan pokok tua dan muda saling merapat, jalin-menjalin bersama perdu, carang dan sulur; sekitar pun tambah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang entah sejak kapan me­ nyem­bunyikan jalan setapak. Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di perbukit­an­­Bali Utara itu, menembus semak, entah berapa kilometer, dalam kesepian yang hanya terusik oleh bunyi langkah sendi­ri. Jauh di timur, di tepi danau, tampak sebuah puri kecil yang nyaris terlindung. Di saat itu, di separuh gelap yang hijau itu, yang kekal hadir. Keabadian bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakan­-akan bergetar di ruas batang trembesi. Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu pun ber­­ ubah.­Bagaikan sepetak tanah yang gundul, di mana jalan­akan direntang dan pasar akan dibangun, waktu pun ter­hantar,­datar, siap diukur. Tamasya itu—hutan yang hilang, waktu yang dirampat—tak lagi punya tuah. Ia hanya punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga ”puak yang perkasa dan damai” itu—ungkap­an Marcel Proust tentang pohon-pohon—pun punah, tak akan dilahirkan kembali.­ Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan di mana Ke­ gaib­an masih belum hilang, di mana Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-raja yang uzur dan tua menyingkir ke dalamnya sebagai pertapa, untuk—seperti Destarastra, di­sertai­ Catatan Pinggir 7



77



http://facebook.com/indonesiapustaka



POHON-POHON



Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir Mahabharata—me­ nantikan mati. Para penguasa yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba menemui kembali pohon-pohon (seraya mengenakan pakaian dari kulit kayu dan anyaman gelagah), dan berharap untuk dapat bertaut lagi dengan Kegaiban yang dulu mereka lupakan. Berapa lama gerangan Kegaiban itu dilupakan, sehingga tuah alam sirna? Hilangnya pesona dunia, the disenchantment of the world, bermula ketika datang ”modernitas”—itulah yang dikatakan dalam risalah termasyhur Max Weber. Tapi mungkin lupa dan lenyap itu jauh lebih tua ketimbang abad ke-17 Eropa. Bagi saya, lupa itu bisa datang kapan saja, ketika manusia melihat dunia hanya sebagai sehimpunan obyek yang siap dalam jangkauannya, untuk disimpulkan dalam ”pengetahuan” atau untuk diutak-atik sebagai alat. Pada saat itu, manusia pun lupa, bahwa ia pernah terpesona oleh apa yang disebut dalam filsafat Jawa seba­ gai sangkan paraning dumadi, ”asal dan bakal apa yang ada, yang men-jadi”. Pada saat itu, manusia yang lupa juga tak lagi tersentuh oleh apa yang disebut orang-orang tasawuf sebagai wujud. Pada saat itu manusia sibuk dengan apa yang tampak dan ter­ dengar, dengan segala yang dapat diraba dan dicium, dengan apa yang ada yang di hadapannya—dan ia pun abai bahwa­”ada” (wujud) adalah sesuatu yang ajaib, sebenarnya: Kenapa kok ada ”ada”? Kenapa bukan ”tidak ada” saja? Pertanyaan itu mengusik, tapi bukan sebuah pengusik. Ia sebenarnya sebuah getar yang menggugah. Dan di gua pertapaan yang dilindungi pohon-pohon, ”puak yang perkasa dan damai”,­ getar yang menggugah tapi telah dilupakan itu hendak ditebus kembali. Dengan diam, sunyi, rela, melepas hasrat. Dengan, dalam kata-kata penyair Wordsworth, ”kepasifan yang arif”. Di sanalah ruang yang statis itu bertaut dengan waktu yang ber­lalu. Sang pertapa membiarkan, mempersilakan, apa saja 78



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



POHON-POHON



yang di luar egonya untuk merayakan wujud. Ia tak mengalah­ kan waktu. Ia tak membabatnya hingga datar, rata, terukur, seperti sang pembangun yang menjarah hutan. Sang pertapa, raja yang telah jadi resi itu, tak lagi hendak menentukan. Ia di­­tentu­ kan. ”Lalu waktu, bukan giliranku...,” kata salah satu puisi meditatif Amir Hamzah. Sang resi mencoba meresapkan­betapa abad membentuk batang, tahun menyambung dahan,­ dan, di dekat ka­kinya, embun menyusun jaring lembut di antara rumput dan daun putri malu. Ia kini bahkan merasakan bahwa basah adalah momen dari air yang terus-menerus bergerak, entah dari mana, entah ke mana. Mungkin dalam kekekalan. Konon, seorang sufi akan menyebut bahwa pada saat itulah­ ia­menemukan tajall?, manifestasi-diri Yang Maha Gaib. Ia akan teringat akan sebuah Hadis, bahwa Tuhan menyembunyikan diri-Nya ”di balik tujuh puluh ribu cadar cahaya dan kegelapan”. Ia akan langsung merasakan betapa benar dan indahnya kalimat itu: kedua anasir dalam cadar itu hadir, dan yang gelap tak akan menyingkirkan yang terang, juga sebaliknya. Sebab sang sufi adalah manusia yang dulu ibarat raja, atau sebuah subyek yang imperial, yang ingin mengendalikan dunia di luar dirinya dan sebab itu tak hendak membiarkan hal-hal yang gelap hadir. Kini, sebagai resi yang pasif tapi arif, ia bersyukur, bahwa kegelapan itu juga bagian dari rahmah. Sebab, sebagaimana dikatakan dalam Hadis pula, seandainya Tuhan menanggalkan semua cadar, cahaya yang menyemburat dari Paras-Nya akan serta-merta ”menghancurkan penglihatan makhluk mana saja yang berani menatap”. Mungkin tajall? itulah Lichtung—kata yang dipilih Heideg­ ger, ketika Ada (Sein) menyatakan diri, ketika Yang Gaib mengejawantah. Lichtung, dalam deskripsi George Steiner, penafsir Hei­degger, adalah ”seperti cahaya yang bergerak di sekitar obyekobyek dalam hutan yang gelap, meskipun kita tak tahu dari mana Catatan Pinggir 7



79



POHON-POHON



sumbernya”. Hutan gelap, rimba purba, tapi yang terkadang menghadirkan cahaya yang mempesona tanpa jelas sumbernya—mungkin itulah kiasan yang baik hari ini: kerinduan manusia kepada tiap getaran dari Kekekalan Yang Maha Gaib, sekaligus Yang Maha Indah, di mana hidup adalah pohon-pohon lebat yang mensyukuri matahari. Tapi kita menebangnya, kita menghancurkannya, dan nihilisme yang menakutkan itu pun mulai.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 16 November 2003



80



Catatan Pinggir 7



RIBA



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



UAN Kapital menarikan dansa macabre.... Gambaran Marx yang muram, tentang modal yang membujuk manusia berjoget mengiringi Maut, kini tampak seperti lu­ kisan yang ditemukan kembali di seberkas naskah kuno. Tuan Kapital kini tampil lain. Mungkin ia seperti Dasamuka dalam cerita wayang: selalu mampu menjelma dengan wajah yang baru, tak kunjung mati. Ia bahkan bisa menghilang. Dulu ia satu metamorfosis dari riba, uang yang lahir dari uang. Kita tahu bahwa perbuatan menganakkan uang itu di­nis­ ta­kan ramai-ramai dari zaman ke zaman. Devarim, kitab yang me­maklumkan ulangan undang-undang Musa, yang konon di­ susun pada abad ke-7 sebelum Masehi, melarang orang Yahudi­ menarik bunga dari pinjaman kepada ”saudara”-nya. Empat abad kemudian Aristoteles menegaskan bahwa riba memang layak di­benci. Delapan ratus lima puluh tahun setelah itu, di sekitar abad ke-6 Masehi, Uskup Jakob dari Saroug, di Suriah, menulis bahwa bunga (rebitha) adalah hasil siasat Setan untuk memulihkan kembali kekuasaannya. Pada abad itu pula kemudian Islam datang, dengan pesan yang mirip. Setelah Muhammad SAW, mungkin yang layak disebut adalah Marx. Pada abad ke-19 Marx menggunakan kata Schaher, yang menurut mereka yang mengerti bahasa Jerman zaman itu ber­arti ”seseorang yang siap mengambil laba dari apa pun dengan cara yang licik”. Kata itu juga berarti ”riba”. Di sini tampak bahwa­ ”riba” dan ”laba” (yang dalam kata Arab konon disebut ribh) sa­ ngat dekat. Laba, bagi Marx, berasal dari kelebihan hasil dari me­ meras tenaga buruh. Ia buah pengisapan. Apalagi dari uang itu beranak pula uang, melalui bunga. Ketika terhimpun modal, lihat, kata Marx, modal itu sebenarnya ”tenaga kerja yang telah Catatan Pinggir 7



81



http://facebook.com/indonesiapustaka



RIBA



mati” yang, ”bagaikan vampir, hidup hanya dengan cara menye­ dot tenaga kerja yang hidup.” Tapi berangsur-angsur zaman melihat Tuan Kapital bukan la­ gi sebagai makhluk asing yang mengerikan. Jika Mao gagal meng­ hapuskannya dari sejarah, jika Cina, yang secara resmi masih disebut ”Republik Rakyat” itu, maju dan makmur secara­menga­ gumkan setelah menjadi ”Republik Pasar Besar”, orang pun bersepakat bahwa tentu ada yang keliru dalam cerita vampir di jilid kedua Das Kapital. Modal—yang menggerakkan pasar dan di­ ge­rakkan oleh pasar, yang memuliakan milik­ dan menggairahkan kebebasan jual beli, yang mempertukarkan dengan giat barang dan jasa—sekarang terasa lumrah dan sekaligus modern. Ia ibarat sebuah generator listrik yang hanya­terdengar derunya, tapi dari sana, lampu warna-warni dan roller­coaster bergerak ramai di sebuah Pekan Malam. Getar generator itu kini menyebar praktis ke seluruh muka bu­mi. Di mana pun tampaknya tak ada pilihan selain menerima kekuatannya. Pada akhirnya dialah makna modernitas itu sendi­ ri. Apa boleh buat, dunia, dalam kata-kata Fredric Jameson,­hi­ dup­dengan a singular modernity. Pasti, Dasamuka itu telah berubah rupa. Ia telah menyulap di­rinya dan berbareng dengan itu menyulap banyak­ hal lain. Kita tahu, dari Marx, bahwa dengan modal, barang bisa berubah menjadi komoditas, dan bersama itu memperoleh daya yang bisa memukau manusia, bagaikan sebuah azimat. Tapi tak hanya itu. Modal bisa membuat ”riba” berhenti sebagai ”riba”. Seraya menggerakkan pasar, modal membuat perdagangan uang bersaing sengit, dan para peminjam tak lagi sepenuhnya bergantung pada seorang rentenir. ”Riba” pun akhirnya diterima sebagai ”ongkos modal”. Artinya, sesu­a­tu yang bisa dirancang (dan dikontrol) da­ lam anggaran. Dalam mengubah diri itu pula, Tuan Kapital bisa muncul se82



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



RIBA



bagai Coca-Cola, MTV, atau media Murdoch, suatu kekuat­an yang bergerak memusat dan cenderung menyeragamkan. Tapi ia juga bisa menyulap diri sebagai pembawa variasi, dari jenis ayam goreng sampai dengan jenis komputer jinjing. Dan ia bisa menghilang. Pada saat yang sama, ia menyusup ke mana-mana. Kini ada yang percaya bahwa zaman kapital sudah melenyap. Bahkan sebuah masa ”pasca-kapitalis” telah tiba, sebab, kata mereka, kini bukan modal yang berkuasa, melainkan­ informasi. Dan informasi, dalam zaman netokrasi­kini, kata me­ re­ka (mungkin seraya menghitung jutaan warung Internet di pelosok bumi), tak pernah tetap berada di satu pusat. Tapi benar­ kah?­Bisakah netokrasi berkembang tanpa Bill Gates dan para pe­ modal sejenisnya? Tidakkah perbedaan kelas di sini juga ditentukan oleh siapa yang memiliki modal yang—meskipun Bourdieu mungkin akan menyebutnya seba­gai ”modal kultural”—bermula­ dari basis ekonomi tertentu? Jika dilihat demikian, Tuan Kapital memang bisa tampak ga­ gah dan berubah-ubah dengan cerah. Ia bahkan bisa menampilkan diri sebagai pembebas. Penelaah kebudayaan popu­ler Ars­ wen­do Atmowiloto baru-baru ini memperkenalkan satu dikotomi yang menarik: ada ”siaga” dan ada ”niaga”. Yang pertama ada­lah kecenderungan kekuatan politik untuk menutup diri seraya curiga kepada yang ”luar”. Yang kedua adalah kecenderung­ an perdagangan untuk membangun pasar yang terbuka. Sebab pasar adalah tempat orang asing atau bukan asing­bertemu, yang, untuk kepentingan mereka sendiri, menjaga agar pertemuan itu bukan sebuah konflik. Pada abad ke-18 orang Prancis menyebutnya sebagai un commerce doux. Hari ini, memang lebih dipujikan untuk merayakan nia­ ga ketimbang siaga—dan saya kira itulah maksud dikotomi­ Ars­­wendo. Tapi tentu saja orang bisa mencatat bahwa niaga bi­ sa­ membawa siaga: perang dagang bisa menjadi perang senjata.­ Catatan Pinggir 7



83



RIBA



Perebutan wilayah di Nusantara antara Inggris dan Belanda­ adalah contohnya, dan tak salah jika Marx pernah mencemooh pengertian doux commerce itu. Kini, kalaupun perang macam itu tampak mustahil, ada yang tak mustahil: dalam siaga terdapat nia­ga. Pertumbuhan ekonomi AS belum lama ini, misalnya, ba­ nyak­disumbang oleh perang, dengan segala perabot dan persiap­ annya. Dengan kata lain, Tuan Kapital memang tak selamanya membujuk manusia untuk menarikan dansa macabre. Tapi ia, yang ada di siang, ada di malam, memang bisa mencemaskan kita.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 23 November 2003



84



Catatan Pinggir 7



ALLAH



http://facebook.com/indonesiapustaka



O



RANG sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Ma­ ka berabad-abad yang lalu, di kota-kota yang berbataskan gurun, di mana langit luas dan malam dihuni cerita dan rahasia, para rasul datang memperingatkan. Mereka mengecam berhala. Mereka mengecam doa yang membayangkan Tuhan sebagai—jika kita pakai kiasan hari ini—seraut pohon bonsai. Berhala atau bonsai: sesuatu yang memikat justru karena dile­ takkan di sebuah kotak yang tetap, seakan-akan hidup, tapi sebenarnya hanya Tuhan yang diperkecil oleh manusia, sesembah­ an yang jauh dari hakikat Dia yang maha-agung. Orang-orang muslim punya sebuah cerita dari Quran. Di hadapan Fir’aun, begitulah dikisahkan, Musa memberi­jawab yang tak diharapkan ketika raja Mesir itu bertanya, ”Dan apakah Tuhan alam dunia itu?” Pertanyaan itu, ”Ma rabbu alala­mina?”, cenderung menantikan sebuah definisi. Tapi jawaban Musa berbeda, dan sangat kena. Nabi itu hanya mengata­kan bahwa ”Tuhan” adalah ”Tuhan dari Timur dan dari Barat, dan dari segala yang ada di antaranya.” Musa tak memberikan sebuah definisi, sebab Tuhan yang di­ definisikan sama halnya dengan Tuhan yang dibatasi, rapat-rapat,­ dalam bahasa. Jawaban Musa sebenarnya sebuah deskripsi—atau lebih tepat, sebuah penggambaran yang tak berakhir di satu ke­ sim­pulan. Kita bisa menafsirkannya seba­gai usaha untuk menunjukkan, dengan kiasan, bahwa Tuhan adalah keagungan yang hadir di ufuk Timur, di mana cahaya bersinar, dan juga di arah Barat, tempat gelap berangkat. Dengan kata lain: Tuhan adalah Rabb-i—”pemilik”, ”tuan”, dan ”pengasuh”—dari segala­nya, da­ri yang tampak dan tak tampak, dari yang bersama terang dan yang menemui kelam. Catatan Pinggir 7



85



http://facebook.com/indonesiapustaka



ALLAH



Itu sebabnya Ia ”esa”. Di sini, ”esa”—yang dalam bahasa Indonesia ditambahi dengan kata ”maha”—berbeda dari ”satu”. ”Satu” adalah sebuah bilangan, sementara yang ilahiah tak dapat dihitung. Ia bukan seperti bulan dan matahari. Ia bukan juga Tuhan dalam Also Sprach Zarathustra: Tuhan yang digambarkan Nietzsche sebagai sosok ”tua berjanggut muram” yang ”cemburu” dan berkata, ”Hanya ada satu Tuhan! Kalian tak boleh punya tuhan lain selain aku!” Dalam Zarathustra, setelah pernyataan itu diucapkan, tuhan-tuhan lain pun mati— bukan karena dibinasakan, tapi karena tertawa geli. Bagi saya, karikatur Nietzsche ini tak bisa menangkap sikap­ mereka yang hanif, yang percaya bahwa Ilahi adalah tunggal.­ Ka­um monotheis tak datang untuk mengurangi jumlah. Mere­ ka­ tak hendak meringkas persoalan. Justru sebaliknya. Yang Maha-agung adalah tunggal karena Ia begitu akbar dan sulit di­utarakan. Ia adalah dasar dan juga sumber dari sebuah daya yang menggetarkan—sebuah daya yang menyebabkan segala hal muncul ke dalam terang, ”ada”. Siapa saja yang tergetar oleh daya itu, dan mencoba menyebut sumber yang ada di baliknya dengan sebuah nama, dengan sebuah kata, ia akan merasa tak sanggup. Chairil Anwar mengeluh dalam sebuah sajak yang ia beri nama Doa: ”Betapa susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh.” ”Kau” yang ”penuh seluruh” itu tak mungkin Tuhan yang diperkecil. Ibn ’Arabi, sufi dan pemikir besar Spanyol pada abad ke12, menyebutnya sebagai ”Yang Mutlak” (haqq). Arti­nya, ”yang paling tak dapat ditentukan dari semua yang tak dapat ditentukan,” ”ankar al-nakirat.” Ia gaib segaib-gaibnya, Ia ”yang paling tak dapat diketahui dari semua yang tak dike­tahui.” Ia tak dapat diketahui karena Ia melampaui semua kualifikasi yang berlaku di dunia manusia. Tapi manusia sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Ka­ 86



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



ALLAH



dang-kadang mereka perlakukan Tuhan sebagai penguasa dalam sebuah wilayah, raja dengan batas tegar. Kini banyak yang mengi­ ra bahwa ketika Quran turun dan menyebut nama itu, ”Allah”, Islam hendak memperkenalkan sesosok tuhan lagi ke dalam pan­ theon yang telah sesak. Seakan-akan ”Allah” bukanlah nama yang dipakai oleh orang Arab di zaman pra-Islam, baik yang jahiliyah maupun­yang ha­ nif, baik yang politheistis maupun yang Kristen. Seakan­-akan ”Allah”­ semata-mata Tuhan-orang-Islam yang bertakhta di sebuah kerajaan yang beradat-istiadat tersendi­ri.­ ”Tuhan mereka ber­beda dengan Tuhan kami,” kata kaum Fundamentalis Kristen yang melihat dunia Islam dengan waswas. Seakan-akan Tuhanorang-Kristen, Tuhan-orang-Yahudi,­dan sederet tuhan yang la­ in, bersaing—persis seperti Tuhan yang cemburu dalam sajak Zarathustra. Mungkin sebab itu para rasul perlu datang lagi. Tapi bisa­ kah?­Saya coba renungkan lagi Fusus al-Hikam (ditulis pada tahun 1229), melalui Sufism and Taoism, uraian yang tekun dan te­ rang dari Toshihiko Izutsu, ilmuwan Jepang yang jadi penafsir utama Ibn ’Arabi. Saya kini kian tahu kenapa Tuhan adalah Yang Mutlak. Tapi kita agaknya hidup di dunia yang dikuasai oleh ahl ’aql wa-taqyid wa-hasr, mereka yang mendekati Yang Gaib seraya ”mengikat, membatasi, dan mengekang.” Tuhan pun diperkecil. Pada akhirnya Ia hanya Ilahi yang ditinggalkan. Tuhan yang seperti itu hadir di mana-mana, tapi seakan­-akan variasi dari sebuah patung polisi lalu lintas: sesosok berhala di tepi jalan, untuk mengingatkan, menakut-nakuti, meng­awasi. Tuhan­ bukan lagi sumber dari ”rahmah al-imtinan” yang dilukiskan Ibn ’Arabi: rahmat yang menjangkau siapa saja dan apa saja tanpa mengharapkan apa saja—rahmat yang bahkan bukan sebagai pahala bagi mereka yang berbuat baik. Dengan Tuhan yang tanpa rahmat seperti itu, kita pun hidup Catatan Pinggir 7



87



ALLAH



di masa yang ditandai Fehl Gottes: ”gagalnya Tuhan datang,” kata Heidegger. Meskipun nama-Nya disebut terus-menerus, ”dunia telah menjadi tanpa penyembuhan, tak suci.” Sebaris sajak Cha­i­ ril­mungkin mengungkapkan hal itu: ”Caya-Mu panas suci/tinggal kerlip lilin di malam hari.” Adakah di sini kita berbicara tentang ”sekularisme”? Saya ki­ ra tidak. Mungkin kita justru berbicara tentang suasana ketika­ ”yang suci” telah jadi banal, ketika ”yang kudus” diletak­kan seba­ gai rutin hidup sehari-hari, dan mengurus tetek-bengeknya. Pada saat itu memang ”Tuhan” ramai-ramai di­pasar­kan dan dipamerkan. Tapi ia diletakkan di sebuah kotak, seperti seraut pohon bonsai.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 30 November 2003



88



Catatan Pinggir 7



MAAF



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



IAP tahun selalu ada sebuah puasa panjang, dan ke­mu­­ dian­sebuah ritual memaafkan. Saya pernah bersua de­ ngan­seorang alim yang mengatakan, sebagaimana halnya puasa 30 hari pada bulan Ramadan, memaafkan juga dapat diungkapkan dalam idiom ”mengosongkan diri”. Sekaligus ”penyucian”. Ada jalin-menjalin beberapa kata dan makna di sini. ”Kosong” (dalam ”mengosongkan”) berarti tanpa isi: sesuatu yang se­ penuhnya negatif. Mungkin sebab itu ada seorang penyair Jawa abad ke-19 yang memilih memakai kata suwung, yang lebih­ber­ asosiasi dengan ”hampa” dan ”lengang”, dan juga dekat dengan kata sawung, sebuah sinonim dari kata ”jawab” (disawung, dalam Baoesastra Jawa yang disusun W.J.S. Poerwadarminta pada tahun 1939, sama dengan ”dijawab”). Tak mengherankan bila Rangga­ warsita, penyair itu, mengungkapkannya dalam sebuah paradoks: suwung nanging sakjatining isi, ”kosong tapi pada hakikatnya berisi”. Ia menggambarkan suatu sikap meditatif. Dalam pada itu, ”penyucian” dalam bahasa Indonesia me­ ngan­­dung dua patah kata Melayu, ”cuci” dan ”suci”. Dua patah­ ka­ta yang berdekatan bunyi itu mengingatkan kita bahwa yang ber­sih dan yang kudus terkait karib, bahwa yang sakral ada hu­ bungannya dengan yang tak cemar. Ketika kita mem­bayang­kan berpuasa dan memaafkan sebagai ”penyucian diri”, kita memandangnya sebagai sebuah pembebasan dari subyek yang bergeli­ mang lemak dan Lumpur dunia, dan dalam proses itu, ia pun ”penuh”, ”mapan”, dan ”kenyang”. Sebuah subyek yang menggelembung, mapan, dan penuh ada­lah sebuah subyek yang tak hendak menerima lagi apa yang datang dari luar dirinya. Ia tak akan lagi menyambut yang lain.­ Catatan Pinggir 7



89



http://facebook.com/indonesiapustaka



MAAF



Ia bukan aku yang suwung yang menghendaki dan merindukan­ sawung. Ia tak menghendaki respons. Ia merasa sudah padat­jawab. Jika ia memberikan maaf kepada orang lain, bagi­nya itu sama artinya dengan memberikan derma, dan bukan justru karena ia merasa menerima kemurahan hati dari Hidup. Ia tak menyadari bahwa Hidup menghadirkan sesuatu yang lebih kaya ketimbang sebuah Aku yang soliter, lebih beragam ke­ timbang satu subyek yang dipenuhi diri sendiri dan memandang dunia sebagai koloni yang bisa ia taklukkan dan ia bentuk sesuai dengan desainnya. Untuk melepaskan diri dari Aku yang seperti itu, kita bisa melihat ke satu konsep yang jauh dari cogito ergo sum, yakni konsep dalam sebuah bahasa Afrika Selatan: ubantu. Seorang yang mempunyai ubantu adalah seorang yang terbuka dan dapat dijelang oleh yang lain, meneguhkan yang lain, tak merasa terancam oleh yang lain; ia merasa jadi bagian dari sebuah dunia yang asyik, ramai, dan banyak memberi. Dengan gambaran manusia yang berubantu itulah Desmond Tutu, rohani­wan arif yang muncul dari kekejaman apartheid itu, berbicara tentang permaafan—dan memang cerita yang mengagumkan tentang puasa dan permaafan pada kurun waktu ini adalah cerita Afrika Selatan, cerita Nelson Mandela. Mandela dipenjarakan selama 27 tahun oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan, ketika kaum kulit hitam dipaksa­hidup di bawah represi dan penghinaan serta dibungkam dengan teror, penyiksaan, pembunuhan. Selama itu, selama dalam tahanan yang praktis tak pernah diketahui dunia itu, Mandela dipaksa bekerja rodi hingga matanya rusak. Dalam arti tertentu ia berpuasa. Tapi agaknya puasanya yang lebih­ besar datang berangsur-angsur— yakni ketika pelan-pelan ia mengosongkan diri, mengempiskan ego, dari keangkuhan yang mengatakan, ”akulah sang korban; aku berhak membalas dendam”. 90



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



MAAF



Ketika pada tahun 1963 ia ditangkap, ia seorang pemimpin gerakan pembebasan yang percaya bahwa perlawanan bersenjata itu sesuatu yang niscaya. Agaknya tak ada yang bisa menya­lahkan dia sepenuhnya jika ia berpikir demikian; dendam bisa memberikan kekuatan, dan dendam juga bisa berbicara tentang keadilan. Tapi ketika pada tahun 1990 Mandela dilepas, ia sudah berubah oleh sebuah puasa (mungkin juga bisa dilihat sebagai ”jihad”) yang lebih besar. ”Aku tahu bahwa orang mengharapkan aku menyimpan amarah kepada orang kulit putih,” katanya. ”Tapi aku tak punya rasa itu sedikit pun.” Dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom, ia menyebut­ bahwa salah satu yang sangat disesalinya ialah bahwa ketika ia di­ bebaskan, ia tak sempat mengucapkan selamat tinggal secara se­ patutnya kepada para petugas penjara. Tak aneh. Sebab, bagi­nya mereka juga bagian dari sistem yang membuat orang jadi ”tawan­ an kebencian” yang ”dikunci di balik jeruji prasangka dan pikir­ an sempit”. Saat ia jadi bebas, dan bersyukur, ia juga ingin agar mereka, dan siapa pun, lepas dari penjara yang seperti itu. ”Aku ingin Afrika Selatan melihat bahwa aku mencintai musuh-musuhku, sementara aku membenci sistem yang menyebabkan kita bermusuhan.” Pada Mandela tampak ada kaitan antara puasa dan maaf, antara mensyukuri kebebasan dan keinginan untuk menyebarkan keadaan bersyukur itu kepada siapa saja. Tentu, ia seorang pemimpin politik yang berniat dan bertugas membangun Afrika Selatan, negeri yang dengan jerih dan sakit diperjuangkannya itu; sebab itu sikapnya memaafkan juga lahir dari sebuah pertimbangan pragmatis. Seandainya ia memutuskan untuk membakar nafsu menuntut balas, seandainya ia tak mencoba jadi lambang usaha ”kebenaran dan rekonsiliasi”, Afrika Selatan akan jadi gurun api dan sungai darah. Bersikap pragmatis tak selamanya tanpa nilai. Gandhi juga pernah me­nga­takan, jika tiap orang menCatatan Pinggir 7



91



MAAF



jalankan prinsip ”satu mata harus­ dibalas dengan satu mata”, maka ”seluruh dunia akan buta”. Ada perhitungan untung rugi di sini, meskipun harus dicacat bahwa ”buta” tak dengan sendirinya punya arti harfiah. Buta bisa berarti juga sebuah kemalangan, ketika hanya­kege­ lapan yang datang kepada kita. Kegelapan itu tak ada hu­bung­ annya dengan misteri, melainkan dengan satu warna­ dan satu corak di jalan buntu: bahwa manusia seutuhnya adalah makhluk yang satu dimensi: hanya bisa menaklukkan dan ditaklukkan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 7 Desember 2003



92



Catatan Pinggir 7



DHANU



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



UNIA tak ingat lagi siapa Dhanu. 21 Mei 1991, pukul 10.20 malam, perempuan berkulit gelap dengan bibir tebal itu mendekat ke pusat upacara. Ia membawa karangan daun cendana. Di lapangan Kota Sriperumbudur (48 kilometer dari Madras) itu, hadir Perdana Menteri Rajiv Gandhi. Ia sedang mendengarkan seorang gadis membacakan sajak. Dhanu mendekat terus. Tiba-tiba ledakan terdengar. Rajiv Gan­dhi tewas seketika. Juga sekitar 14 orang lain. Di antaranya­ adalah Haribabu, seorang juru potret setempat. Tubuhnya han­ cur­tapi kameranya masih utuh. Dari sinilah polisi dapat menemukan 10 buah foto. Empat di antaranya merekam kejadian hari itu: Dhanu yang mem­bawa­ daun cendana, Gandhi yang sedang mendengarkan sajak,­ dan saat ledakan. Di samping itu, ada wajah-wajah lain yang kemudian diketahui sebagai anggota tim pembunuhan. Menurut kete­ rangan polisi, sebelumnya Haribabu telah dihubungi oleh Tamil Eelam—gerakan bersenjata yang menginginkan negeri tersendi­ ri di Sri Lanka—untuk merekam kejadian bersejarah yang mere­ ka rencanakan itu. Ia berhasil. Seperti Dhanu sendiri: pengebom bunuh diri pertama pada abad ke-20. Dunia kini tak ingat lagi siapa Dhanu, dengan atau tanpa re­ kaman. Tapi agaknya tindakannya bergema terus, dengan atau tanpa memakai namanya. Dua tahun kemudian, dalam upacara 1 Mei, seorang lain meledakkan dirinya dan membunuh Presiden Sri Lanka, Premadasa, di sebuah jalan di Kota Kolombo. Sejak itu, berpuluh ledakan sudah terjadi, berapa ratus orang­ mati di pelbagai negeri. Seakan-akan sebuah kekerasan rutin. Ketika pukul 7.42 pagi, 5 Desember pekan lalu, sebuah kereta api yang baru meninggalkan Stasiun Yessentuki, di kaki perbukitan Catatan Pinggir 7



93



http://facebook.com/indonesiapustaka



DHANU



Kau­kasus, tak jauh dari Chechnya, meledak, kita masih tersentak sebentar, tapi tak limbung. Meskipun lebih dari 40 orang tewas, meskipun sebagian besar mereka pelajar yang akan berlibur. Se­ telah gelegar itu, hanya ada suara geram resmi. ”Bumi akan terbakar di bawah kaki mereka,” kutuk Menteri Dalam Negeri Gryz­ lov kepada para teroris yang sejak Juni 2000 sudah membunuh hampir 300 orang itu. Tapi bumi terbakar di bawah kaki siapa saja. Dan tak semua orang mengutuk. Pada awal Juni 2001, Hassan Hotary, seorang ayah Palestina, mengatakan kepada wartawan AP ia bangga bahwa anaknya yang berumur 22 tahun, Said, telah meledakkan diri sendiri di sebuah diskotek di Tel Aviv dan membunuh 20 anak muda Israel. Dua tahun kemudian seorang perempuan Palestina me­lakukan hal yang sama dan membunuh 19 orang di sebuah res­toran di Israel Utara. Hanadi Tayssir Jaradat, 29 tahun, dari Kota Jenin, pernah menyaksikan saudara kandung dan sepupunya dibunuh pasukan Israel. Hari itu ia menuntut balas. Ibunya­ menangis, tapi berkata, ”Saya bahagia ia membunuh mereka yang membunuh anak saya.” Dendam dan pembalasan selalu punya alasan dan membuat hidup tak gampang. Lebih rumit lagi: tiap alasan tak selamanya­ dapat dibandingkan. Maka bisakah kita sepakat tentang patut dan tak patut, untuk menilai tindakan Dhanu dan Hanadi? Ketika seorang manusia berniat melakukan sesuatu yang mengerikan,­ dengan korban yang tewas, tapi dilakukannya karena keyakinan yang kukuh untuk tujuan yang luhur, dengan apakah kita akan menghukumnya? Tentang korban dan keyakinan, contoh yang besar ada dalam khazanah agama. Bagaimana kita menghakimi Ibrahim yang ber­sedia membunuh seorang anak yang tak bersalah untuk sesu­ atu yang luhur—yakni untuk Tuhan? Tiap penghakiman bertolak dari sesuatu yang universal, yang­ 94



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



DHANU



sebenarnya bersua dengan yang partikular. Di situlah dilemanya,­ di situlah tampak ada yang kurang dalam kemampuan manusia­ wi kita. Antara aturan yang berlaku di mana saja (dan kapan saja) dan kejadian pada seseorang dalam situasi khusus, kita sering hanya termangu. Kini kita memang dengan ringan mengikuti kisah Ibrahim, sebab kita tahu akhirnya adalah sebuah happy-ending. Kita tak lagi ingat horor yang berkecamuk dalam dirinya, ketika ia bersua dengan mysterium tremendum. Derrida, dalam Donner la mort, sebuah naskah yang terbit pada awal 1990, menggambar­kan Ibrahim pada saat itu mengalami Ia yang ”seluruhnya­beda”, tout au­ tre, Yang Maha Lain, yang tak memberikan alasan­­sebagaimana manusia memberikan argumen. Pada saat yang sama, Ia menggerakkan Ibrahim untuk melakukan sesuatu di mana ”ethika harus dikorbankan atas nama kewajiban”. Maka, sejak ia mendapat perintah itu, Ibrahim pun diam. Ra­ sa gentar dan gementar Ibrahim memang tak terucapkan. Bahasa, seperti halnya hukum, seperti halnya moralitas ala Kant dan komunitas kasih sayang ala Hegel, adalah sesuatu yang ”sosial”. Padahal apa yang hendak dilakukannya di Gunung Moriah itu, dengan pisau yang siap menyembelih putra­nya sendiri, tak akan bisa dimengerti dan dimufakati orang pada umumnya. Di sini aturan tentang baik buruk yang berlaku secara universal tak bisa diterapkan. Tapi itulah yang menurut Derrida terjadi tiap kali: ada selalu korban, yang tiap saat harus diakui. ”Siang dan malam, di tiap saat, di atas semua Gunung Moriah di dunia, aku melakukan ini, mengangkat pisauku di atas apa yang kucintai dan seharusnya kucintai....” Kita tiap kali, sadar atau tak sadar, sebenar­ nya mengorbankan mereka, tempat kita berutang kesetiaan yang dalam: manusia atau makhluk yang lain. Tapi benarkah tiap kali yang ”ethis” harus diabaikan? Ataukah sebenarnya peristiwa terpenting dalam cerita Ibrahim berCatatan Pinggir 7



95



DHANU



langsung pada saat lain, yakni, seperti diungkapkan Emannuel Lévinas, ketika Ibrahim mendengarkan suara malaikat, agar pi­ sau­ tak jadi dihunjamkan, dan ia merasa Tuhan telah melepaskannya dari beban tugas yang absurd itu, dan ia merasa lega: di hadapannya tergeletak seekor domba? Jika demikian, agaknya ada sebuah momen ketika titah tak mutlak dan Ibrahim tak se­ utuh­nya tegar. Saya tak tahu haruskah kita dengan demikian mengatakan Ibrahim lemah. Dhanu dan orang yang serupa akan menganggap­ nya begitu—dan itu sebabnya kita hidup dengan keyakin­an, bom, dan kematian.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 14 Desember 2003



96



Catatan Pinggir 7



TSO WANG



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



UHAN dan TV, iman dan Internet, khotbah yang tak henti-henti melintasi tempat yang beragam, barangkali­ itu­lah yang membuat agama kini menjangkau ke pelba­ gai penjuru, mengatasi ruang dan waktu. Barangkali itu juga yang membuat agama tak menemukan bumi. Tempat telah jadi se­sua­tu yang virtual. Rasanya ada yang hilang di sini. Tempat bertaut dengan tubuh. ”Tubuh” berarti tubuh yang dilahirkan dan melahirkan, jas­ mani yang berbahasa dan yang bersanggama, badan yang dewasa dan mati. Dalam riwayat tubuh itulah ritus perjalanan hi­dup­ dilembagakan dan dirayakan, dan dengan demikian tersusun­lah tradisi. Sejarah pun mendapatkan unsurnya yang khas. Tapi yang khas itu bisa diabaikan, ketika TV dan Internet membuat dorongan komunikatif begitu penting untuk melintasi perbatasan, menjangkau segala pelosok. Tempat pun dengan mudah diabaikan, dan tubuh tak mendapatkan peran. Pada saat itu fundamentalisme pun tersiar. Ada yang berpendapat bahwa fundamentalisme adalah keinginan untuk kembali menemukan tempat asal, ke fundamen,­ untuk tak melupakan tradisi dan sejarah. Derrida, misalnya, menganggap kekerasan fundamentalis sebagai reaksi­ terhadap­ sejenis globalisasi yang disebutnya sebagai ”mondialatinisation”, proses pe-Latin-an dunia. Dalam proses ini, yang lain, yang bukan-Latin, yang tak bertaut dengan sejarah yang ”La­tin”,­terdesak. ”Latin” di sini mungkin juga berarti sesua­tu­yang­berhubung­ an dengan dunia Kristen di Eropa. Tapi ”Latin”­bisa juga bentuk pemahaman tentang dunia yang menyamakan ”mengetahui” dengan ”menguasai”. Maka reaksi pun bangkit. Yang ”bukan-Latin” tak hendak Catatan Pinggir 7



97



http://facebook.com/indonesiapustaka



TSO WANG



ditelan oleh ”latinisasi”, yang-”sini” tak hendak dicengkeram da­ lam kuasa yang-”sana”. Bila darah tumpah, pembantaian dan pen­cincangan terjadi, dan tubuh dipotong dan dirusak (seperti ko­non dalam kekerasan di Aljazair antara kaum ”Islamis” dan musuh mereka), itu semua menurut Derrida adalah ”pembalasan” terhadap tendensi ilmu-teknologi untuk membuat orang lain sekadar sebagai hal ihwal yang diletakkan di layar kaca dalam bentuk yang kering dan gepeng, tanpa tubuh, seperti makhluk virtual dalam mainan komputer. Fundamentalisme, yang sering dikatakan sebagai anti-modernitas, menampik itu. Tapi saya kira dalam hal ini Derrida keliru. Saya kira fundamentalisme justru punya kesejajaran dengan teknologi digital: seperti segala hal yang berlalu lintas dalam alam virtual, sikap ke­agamaan ini tidak berbicara kepada orang lain sebagai sosokdalam-tempat-dan-tubuh. Fundamentalisme menganggap diri­ nya­paling murni, dan itu berarti tak tersentuh tanah, tak bertaut dengan geografi dan sejarah apa pun, tak terbentuk oleh bumi dan jasmani yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari masa ke masa. Ia bahkan memandang bahasa, yang dipakai kitab suci, seakan-akan bukan sesuatu yang dibentuk oleh tubuh tertentu dan hubungan sosial tertentu pula. Ia melihat dirinya pembawa­ kata yang kekal dan universal, dan dengan keyakinan itu ia bergegas. Beragama seperti itu—apalagi bila ia ikut berlalu lintas dalam teknologi komunikasi yang menjangkau tanpa garis perbatas­ an—adalah beragama yang akhirnya tak punya lagi keinginan dan kesempatan untuk berdiam. ”Berdiam” berarti menemukan tempat, tapi ”berdiam” juga ber­arti tak gaduh dan tak resah. Dalam menemukan tempat, dalam tiada gaduh dan tiada resah itu, beragama akan me­nemu­ kan kembali rasa bersyukur. Sebab dalam berdiam, berpikir adalah tafakur dan tafakur adalah berterima kasih. Das Denken 98



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



TSO WANG



dankt, kata Heidegger. Dalam berterima kasih yang diam itulah, dalam keadaan yang oleh sebuah puisi mistik Jawa abad ke-10 disebut ”sepi, sepah, samun”, sebuah sikap pasif adalah sebuah sikap yang justru terbuka kepada keakraban dengan yang lain, dengan pesona dan misteri dari yang lain—apalagi Yang Maha-Lain. Sebab itu agaknya tema berdiam merupakan sebuah tema yang terdapat di mana-mana, ketika iman belum kehilangan ta­ fakur dan belum sibuk ke luar, ketika kesalihan belum mema­ mer­kan diri, ketika agama belum didera oleh hasrat komunikatif,­ dan tentu saja ketika teknologi digital belum berkecamuk. Pada abad ke-14, Meister Eckhart, mistikus yang wafat di Cologne pada tahun 1327, pernah mengatakan bahwa bersikap pasif ”le­ bih­sempurna” ketimbang bersikap aktif. Sikap pasif adalah ketika kita tak berambisi dan tak menjadi agresif menjangkau, merengkuh, mengambil alih Yang Maha-Lain. Sikap pasif adalah ketika ”mengetahui” dalam artinya yang terdalam adalah ”tidakmengetahui”. Jauh sebelum Eckhart, pada abad ke-4 sebelum Masehi, Zhuangzi, pemikir Cina dari aliran Daoisme yang termasyhur,­ juga telah berbicara tentang berdiam dan ”mengetahui”. Ting­ kat­tertinggi pengetahuan, katanya, adalah diam tak bergerak­di dalam apa yang secara mutlak tak dapat diketahui dengan akal. Di dalam diam itu, yang bekerja adalah sikap intuitif, dalam posisi tso wang. Tso wang berarti, kurang-lebih, ”duduk-lupa”. Seseorang ”duduk-lupa” ketika semua anggota tubuhnya diluruhkan, ketika kegiatan kuping dan matanya ditiadakan, ketika ia membebas­ kan diri dari ego yang mengeras dalam identitas, dan bersatu dengan Yang Ada Di Mana-Mana. ”Pandanglah ke dalam kamar yang tertutup itu,” ujar sang Guru kepada Yen Hui, ”dan lihat bah­wa interior yang kosong itu membawa warna putih yang te­ Catatan Pinggir 7



99



TSO WANG



rang.” ”Semua berkah dari dunia,” kata sang Guru pula, ”datang untuk berdiam dalam keheningan itu.” Tapi zaman tampaknya tak memberi tempat bagi kehening­an lagi. Kini agama cenderung bergerak, bergegas, sering ga­duh dan meluas. Khotbah di TV, sandek atau SMS, Internet, dan pamflet telah membentuk bahasa baru: bukan bahasa yang mengucapkan pedihnya kegagalan di hadapan misteri,­melainkan bahasa yang menjanjikan hal yang serba jelas untuk­semua orang. Dan bersama bahasa baru, datang sebuah ke­­yakin­an baru—sebuah keya­ kin­an yang tak peduli bahwa ”mengetahui” sebenarnya adalah ”tak mengetahui”.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 21 Desember 2003



100



Catatan Pinggir 7



SADDAM



http://facebook.com/indonesiapustaka



B



ISAKAH kita bayangkan Saddam Hussein seperti San­ tia­go, si nelayan tua dalam The Old Man and the Sea, no­ vel­ Hemingway yang konon disukainya itu? Orang tua itu kalah. Telah 85 hari ia di laut, dan tak memperoleh ikan seekor pun, maka ia pun menempuh laut yang lebih jauh, lebih dalam, ketika akhirnya kailnya menyangkut mulut seekor marlin besar. Sebuah pergulatan sengit pun terjadi, sebuah adu kekuatan, dan akhirnya manusia juga yang menang. Tapi Santiago tahu, begitu ia mengalahkan ikan itu, keberuntungannya tak akan lama. Ia benar. Tak lama setelah ia arahkan jukungnya kembali ke­­ darat untuk membawa pulang perolehan kailnya, seekor hiu­da­ tang menyerang. Santiago melawan. Dibunuhnya he­wan­­ laut buas itu, tapi harpunnya lenyap ke laut. Ia tahu ia belum lepas da­ri bahaya. Diikatkannya pisaunya ke sebatang kayu, dan ia menunggu. Dua ekor hiu lain muncul, menyerbu, hendak­ merenggutkan marlin itu dari perahunya. Kali ini ia kalah, ia luka-luka, dan marlin yang diperolehnya dengan susah payah itu hanya tinggal tulang-belulang ketika pe­ ra­hunya tiba di pantai. Tapi benarkah ia kalah? Pak tua orang Kuba itu sejenak hampir tak bisa bernapas, dan ada rasa ganjil di mulutnya. Ia takut, tapi hanya sejurus. Lalu ia meludah ke laut, ke arah hiu yang menyerangnya, dan berkata: ”Kalian makanlah itu, galanos. Dan coba bermimpi kalian telah membunuh seorang manusia.” Bisakah kita bayangkan Saddam seperti Santiago? Saddam beberapa bulan yang lampau hidup dengan sejumlah istana dan ribuan senjata dan dengan gagah berbicara tentang perlawanan dan kemenangan, kini tertangkap, tak melawan, di sebuah liang perlindungan di bawah tanah. Melalui televisi kita lihat wajahnya Catatan Pinggir 7



101



http://facebook.com/indonesiapustaka



SADDAM



yang nestapa: rambutnya gondrong berantakan, janggutnya tak tercukur, kantong matanya lembek melipat, pandangnya lelah, dan ia tak berdaya ketika seseorang menyuruhnya membuka mulut, dan sebuah senter pun menerangi mulut tua itu, mengecek lidah dan giginya seakan-akan ia seekor hewan yang perlu diperiksa sebelum dijual ke pasar.... Bisakah kita bayangkan Saddam seperti Santiago, yang dalam novel pendek Hemingway itu mengatakan: ”Orang bisa dihancurkan, tapi tak dikalahkan”? Bisakah kita bayangkan ia seperti penyu—makhluk dengan jantung yang berdegup terus berjamjam setelah disembelih? Mark Bowden, dalam bulanan The Atlantic (Mei 2002), yang menyebut betapa suka Saddam kepada The Old Man and the Sea (berdasarkan cerita Saad al-Bazzaz, direktur televisi dan radio Irak yang kemudian lari dari Bagdad), melihat kemungkin­ an lain: siapa tahu Saddam, yang hampir tiap hari berenang di setiap istana yang disinggahinya, membayangkan diri seperti si ikan marlin, yang muncul dari laut, gemerlap, agung, ajaib, sebuah kekuatan yang tak disangka-sangka. Bahkan Santiago tua memberi hormat. ”Kau mematikan aku, ikan, katanya. Tapi kau berhak. Tak pernah aku lihat sesu­ atu yang lebih agung, lebih cantik, lebih kalem dan lebih luhur ketimbang kau, Bung. Ayo, bunuh aku. Aku tak peduli siapa mematikan siapa.” Tapi tak seperti Santiago, ikan itu kalah dan habis. Maka mungkin terlampau berlebihan untuk mencari perumpamaan tentang Saddam dari The Old Man and the Sea, dan mungkin terlampau mudah kita percaya bahwa ia memang menyukai­ He­ mingway. Said K. Aburish, orang Palestina yang menulis­ buku Saddam Hussein: The Politics of Revenge, menga­ta­kan bahwa Saddam, anak dari dusun Al-Awja di dekat Tikrit,­sebenar­­nya baru bisa baca-tulis setelah ia berumur 10 tahun. Pe­ngalam­an politik­ 102



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SADDAM



nya tak ditempuh melalui buku-buku; Saddam adalah seorang tokoh preman (”a gunman, a thug,” kata Aburish dalam sebuah in­ terview dengan Frontline) dalam Partai Baath. Menurut Aburish­ pula, yang dikagumi Saddam bukan Hemingway, melainkan Stalin. Dengan kumis tebal seperti diktator Uni Soviet itu, Saddam­ ju­ga seorang organisator. Caranya membersihkan lawan politik­ nya dalam partai juga mirip yang terjadi dalam ”Peradilan Moskow” yang mengerikan di antara tahun 1936-38, ketika Stalin me­nuduh dan menangkap, memaksa mengaku, dan menembak mati sejumlah anggota politburo PKUS; orang-orang Lenin itu dituduh sebagai mata-mata musuh. Di bulan Juli 1979, Saddam mengundang para anggota Dewan Komando Revolusi serta ratusan pemimpin Partai Baath ke sebuah ruang konferensi di Bagdad. Saddam muncul dengan pa­ kai­an militer. Wajahnya sedih. Ia pun berbicara tentang komplot­ an yang katanya diatur oleh Suriah untuk menggulingkan pim­ pin­an. Tak lama kemudian, Muhyi Abd al-Hussein Mashhadi, Sekretaris Jenderal Dewan, muncul dari balik layar. Ia, yang telah ditangkap dan disiksa sebelumnya, mengaku adanya rencana jahat itu, dan menyebut nama yang terlibat. Mereka hadir di sana. Tiap kali sebuah nama disebut, pasukan bersenjata pun menyeret orangnya keluar. Kemudian mereka, 60 orang banyaknya, ditembak mati. Di panggung, Saddam menitikkan air mata.... Saddam, Stalin dan Santiago: bukankah pada dasarnya mereka manusia yang dibayangkan Hemingway: di lautan yang­penuh pergulatan itu, kemauan untuk menang adalah segala-galanya? Dalam gambaran itu, hidup ditentukan oleh dunia subyektif— yakni kehendak untuk membuktikan bahwa, seperti ujar Santiago, ”manusia tak dibuat untuk kalah”. Di dalam posisi itu, kesendirian adalah sesuatu yang tak ter­ elakkan: sang subyek seakan-akan berada di lautan tak bertepi. Catatan Pinggir 7



103



SADDAM



Sebab, apa pun yang hadir di luar dirinya bukanlah sesuatu untuk berteman, melainkan sebuah medan untuk ditempuh dan ditaklukkan. Kesendirian: di liang perlindungannya yang terakhir, Saddam tak punya siapa pun, kecuali sebuah pistol, sejumlah­uang—dua penanda kekuatan zaman ini. Tapi saya kira bahkan­di istananya yang megah pun, ia, seperti tiap penguasa yang mutlak, selalu seperti itu: tak ada percakapan yang tulus, yang ada hanya tembok dan ketakutan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 28 Desember 2003



104



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



2004



Catatan Pinggir 7



105



http://facebook.com/indonesiapustaka



106



Catatan Pinggir 7



SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU



S



ETIAP Desember adalah menunggu. Malam akan habis, kalender dirobek, dan dini hari dicegat pertanyaan yang se­tengah tertelan: ”Apa yang akan datang? Siapa yang ba­ kal datang?” Mungkin sebab itu setiap Desember berada di ambang ad­ vent. Orang Kristen membatasinya sebagai masa empat pekan menjelang Natal. Pengertian ini konon datang dari abad ke-12, dari bahasa Latin adventus, yang berasal dari kata kerja advenire, yang secara harfiah berarti ”datang ke”. Advent: kedatangan sesu­ atu yang penting dan ditunggu. Sesuatu yang penting dan ditunggu, sesuatu yang belum je­ las apa, mungkin sesuatu yang mustahil, sebuah mukjizat, tapi mungkin juga sebuah bencana.... Setiap Desember adalah awal orang meniti buih di selat yang gelap yang terkadang rusuh. Di seberang, hanya beberapa langkah lagi, terbentang kurun waktu di mana harapan bisa memukau tapi juga bisa lancung. Kini kita gamang. Terutama karena kita telah sering harus bersandar pada kepercayaan yang patah. Yang kita punyai hanya beberapa bekas kekerasan, rasa terkecoh oleh impian, rasa cemas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



The evil and armed draw near... And the houses smell of our fear. Saya ingat kalimat itu: ”Makin dekat juga yang keji dan bersen­ jata.../Dan rumah-rumah mengendus ketakutan kita.” W.H. Au­ den menuliskannya melalui sebuah Desember yang juga waswas, di antara akhir 1941 dan pertengahan 1942, sebagai baris-baris dalam For the Time Being: A Christmas Oratorio, puisi Natal yang panjang yang dibuka dengan ”Advent,” bagian pertama. Catatan Pinggir 7



107



http://facebook.com/indonesiapustaka



SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU



Waktu itu perang masih membelah bumi. Tak seorang pun yang tahu dapatkah Hitler (dan ”yang keji dan bersenjata”) akhir­ nya dikalahkan. Tapi puisi itu tak hanya berpusar pada titik yang kelam. Oratorio itu digubah setelah Auden kembali memeluk iman yang pernah ditinggalkannya. For the Time Being mengan­ dung harapan Nasrani: ada kabar baik bahwa mukjizat bisa terjadi. Yesus dilahirkan dan malam itu terbit bintang yang jernih di atas Bethlehem. Bintang di kejauhan itu seakan-akan menggamit, ketika, da­­ lam kata-kata Auden, kita ”hanya samar-samar tahu, apa gera­ ngan kita dan kenapa kita di sini.” Dan ”untuk menemukan ba­ gai­mana jadi manusia saat ini,” itulah alasan kita mengikutinya. ”To discover to be human now/Is the reason we follow this star.” Tapi justru di situlah terasa bahwa kita berjalan di lorong seng­ sara: untuk tahu bagaimana ”jadi manusia,” kita ternyata harus menunggu sesuatu yang praktis mustahil—bintang yang jernih itu, benda langit yang menandai saat ketika Yang Suci masuk merasuk ke dalam hidup sehari-hari dan Yang Kekal menjelma­ke dalam yang temporal. Lorong sengsara itu—mungkin Buddhisme berbicara lebih jelas tentang hal ini—tak kunjung berakhir. Juga setelah berpuluh-puluh Desember lewat. Tiap kali kita harus menempuh lagi suasana seperti yang terpantul dari pelbagai puisi Auden: sebuah suasana ”Audenesque”, seperti disebut oleh Graham Greene pada tahun 1930-an: kemurungan yang makin akrab. Kemurungan ”Audenesque” adalah warna dunia yang ditinggalkan sesuatu—dan ”sesuatu” itu sangat berarti. Sebuah sajak Auden yang terkenal, bagian dari Twelve Songs, bergumam dengan nada getir yang ditahan: Stop semua jam, putuskan telepun Bujuk anjing untuk diam, beri dia tulang yang ranum 108



Catatan Pinggir 7



SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU



http://facebook.com/indonesiapustaka



Bisukan piano, dan dengan genderang mendesah Kita keluarkan jenazah; silakan mereka yang bertakziah. Mungkin selalu ada saat seperti itu, ketika kita seakan-akan ingin berhenti dari hari, dan membiarkan datang ”mereka yang bertakziah,” the mourners. Takziah untuk siapa? Siapa jenazah di hari kemarin, kini, dan esok? Kita tak perlu tahu. Sebab yang mati, yang hancur, yang hilang, begitu banyak. Bahkan tak akan jadi ganjil jika kita sendiri telah terdaftar di pemakaman. Maka biarkan di langit kapal terbang membentuk huruf berita kematian dan polisi lalu-lintas memasang kaus-tangan hitam. Bintang-bintang kini tak dikehendaki—kata bait terakhir sajak itu—maka padamkan. For nothing now can ever come to any good. ”Sebab kini tak ada yang akan bisa baik.” Putus asa itu lengkap, atau nyaris lengkap.... Pada bulan Desember 1939, Auden ada di sebuah bioskop di satu bagian Manhattan, New York, di mana penduduk hampir se­muanya berbahasa Jerman. Sebuah film berita tentang invasi Hitler ke Polandia diputar. Sesuatu mengguncang Auden sore itu: ketika di layar tampak deretan orang Polandia yang ditahan, penonton berteriak, ”Bunuh mereka! Bunuh mereka!” Tak ada yang berpura-pura. Tak ada yang malu untuk ”tak ber­ adab”. Beberapa tahun kemudian Auden mengingat pengalam­an itu: ”Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, waktu itu, mengapa aku bereaksi menentang sikap ingkar kepada tiap nilai humanis­ tis ini.” Apa haknya untuk mengecam? Atas dasar apa ia bisa menuntut­ para penonton di bioskop di Manhattan itu agar mereka tak dengan bengis meminta orang lain dibantai? Apa alasannya untuk menegaskan bahwa yang membakar dunia dengan kebencian tak boleh dianggap pahlawan dan yang dizalimi tak boleh merasa Catatan Pinggir 7



109



SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU



berhak menyembelih? Auden tak bisa menjawab. Di ambang putus asa, ketika ia merasa ”nothing now can ever come to any good,” ia kembali ke da­ lam iman yang dikenalnya di masa kanak. Ia bersedia lari melin­ tasi­gurun panjang ke arah bintang di Bethlehem itu. Di kandang tempat Kelahiran itu terjadi, ia ingat bahwa di sanalah, buat pertama kali dalam hidup, tiap hal muncul sebagai sesuatu yang berharga, sesuatu yang layak disapa. Tiap hal jadi se­buah ”Engkau” (You), bukan sekadar obyek (It) yang dengan gampang dibungkam:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Remembering the stable where for once in our lives Everything became a You and nothing was an It. Betapa dalam dan menakjubkan momen itu, ketika Yang Suci masuk merasuk ke dalam hidup sehari-hari dan Yang Kekal me­ nem­puh laku temporal, ”the Eternal do a temporal act.” Tapi bersamaan dengan itu, momen itu sebetulnya juga bukan­ sesuatu yang sama sekali mustahil: ketika ”tiap hal” jadi ”sebuah Engkau”, ketika itulah kita menyambut tulus yang-lain di luar diri kita. Dan kita ingin menemaninya. Inilah sebuah epiphaneia: ketika ”tiap hal” tampil sebagai ”Engkau”, di situlah terjadi mani­ festasi diri Yang Ilahi, Kasih, Yang Kekal, Yang Suci—hingga kita pun tak hendak memasung dan merusaknya. Seorang sufi seperti Ibn ’Arabi akan menyebut momen itu sebagai tajalli (kadang-kadang juga fayd atau ”pancaran”). Ia akan berbicara tentang ”pancaran yang mahakudus” dan ”napas kasih sayang” yang diembuskan Yang Mutlak, hingga dari tiada terbitlah ada. Tapi dengan pandangan itu, dunia tampak berubah. Dan tak semua orang bersenang hati. Herodes, raja yang menitahkan agar semua bayi hari itu dibunuh—untuk menangkal Sang Bayi Yesus 110



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU



turun ke dunia—punya argumen yang membenarkan tindakan preventif itu. Auden menggambarkan Herodes sebagai orang yang berpikir panjang—atau lebih tepat, orang yang ingin mempertahankan kehidupan yang rasional, sosial, dan praktis: bila tiap hal jadi ”sebuah Engkau”, bagaimana dunia tak akan kacau? Bila Kasih tak takut akan anarki (”Love does not fear substantial anarchy,” kata orang-orang arif yang datang ke kandang sapi di Bethlehem itu), apa jadinya tatanan sosial? Herodes melihat betapa berbahayanya bila ”kehormatan Ilahi” diberikan kepada tiap hal: ”cerek teh dari perak, liang cetek dalam tanah, nama-nama pada peta, hewan piaraan, kincir angin yang runtuh....” Raja itu ingin menjaga tata yang tertib. Ia tak mau pengetahuan jadi kalang-kabut karena, ketika rasio hilang, yang ada hanya ”sebuah kekacauan pandangan-pandangan subyektif.” Ia menyukai ”Hukum yang Rasional.” Dunia subyektif merisaukannya. Apa jadinya bila kebutuhan menyembah Tuhan tersalur dalam jalur yang tak dapat disosialisasi, dan cerita pahlawan seluruhnya ”ditulis dalam bahasa yang privat”? Kehidupan bersama yang ditopang konsensus akan runtuh. Aturan tak akan bisa berlaku secara universal. Hukum akan jadi sendi yang tak pasti. Ketika hidup diperlakukan sebagai ekspresi ”napas kasih sayang,” akan mampukah kita memberi keadilan, dalam arti hukuman? ”Keadilan akan di- gantikan oleh Belas Kasihan...,” kata Herodes dengan masygul, ”dan akan lenyap semua rasa takut pada pembalasan.” Tapi apa yang akan kita pilih? Ini Desember 2003 yang di­ ba­yangi­teror, perang, statemen-statemen keras. Juga suara galak­ yang pasti bahwa pembalasan lebih efektif ketimbang belas ka­ sih­an, lebih tertib, sebab balas-membalas membentuk simetri. Berbareng dengan itu, benci telah jadi tugas politik. Ia tak lagi per­kara pribadi, ia ada dalam barisan yang rapi, berderap. Tak Catatan Pinggir 7



111



http://facebook.com/indonesiapustaka



SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU



aneh, sebab bahkan menyembah Tuhan juga telah kehilangan bahasa yang privat. Tentu, Auden tak bisa memilih argumen Herodes. Ia telah tahu apa artinya Kelahiran itu, ketika tiap hal jadi sebuah ”Engkau”. Baginya dunia tak lagi tersusun dari ”mereka” yang seragam yang bisa diatur sepenuhnya dari sebuah ruang kontrol. Kasih telah turun, dan, seperti dikatakan para orang arif yang datang ke Bethlehem, Kasih membutuhkan ”sebuah kelainan yang dapat bilang Aku”—an Otherness that can say I. Berarti hidup adalah bangunan subyektif yang berbeda-beda. Kita tak akan bisa mengutamakan tata yang tertib. Kita tak akan bisa hidup hanya dengan iman yang dibariskan dalam alur yang siap dan aman. Tuhan justru dicari dalam the Kingdom of Anxi­ ety, ”Kerajaan Kecemasan”. Di situ, mungkin iman adalah seperti iman Kierkegaard: sebuah lompatan yang berani, sendiri. Setelah malam Kelahiran itu lewat, dan hari jadi siang, ”sang sukma harus menanggungkan sebuah sunyi yang tak mendukung ataupun menentang keyakinannya bahwa kehendak Tuhan akan jadi.” Dengan kata lain, itulah iman dalam ketidakpastian, di jalan yang rancu. Juga ketika kita hidup dengan bekas-bekas kekerasan dan begitu gentar hingga ”rumah-rumah mengendus ketakutan kita.” Maka, sehabis Desember, bisa saja kita kembali gagal mencintai semua saudara kita. Tapi kita tahu, kita tak bisa memimpikan kerajaan yang sempurna tempat kita lari mengungsi. Justru impian itu ”sebagian hukuman kita.” Sebaliknya, ”kuitansi yang harus dibayar, perabot yang harus direparasi, kata-kata ganjil yang harus dihafal”—semua yang sepele, yang belum selesai—bisa punya arti bila kita ingat bahwa hidup dan cinta bisa menakjubkan: ketika Yang Suci merasuk ke dalam yang sehari-hari dan Yang Kekal di tengah yang temporal. Seorang Herodes tak akan paham. Tapi itu dasar kita untuk bersyukur, untuk tak mengutuk. Dan dari sana kita pun akan bisa 112



Catatan Pinggir 7



SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU



”mengakui kekalahan kita tapi tanpa patah harap.” Sebab semua masyarakat dan zaman adalah detail yang akan le­ wat. Jakarta, 22 Desember 2003



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 4 Januari 2004



Catatan Pinggir 7



113



http://facebook.com/indonesiapustaka



114



Catatan Pinggir 7



JARAK



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



ALAM waktu satu-dua jam, 50 ribu orang mati di sudut Iran. Jumlah itu bisa lebih. Tapi kita sebaiknya tak bicara tentang Tuhan dan manusia. Ketika 26 Januari 2001 Gujarat dihantam gempa, dan diper­ kirakan 30 ribu orang tewas, sekelompok anggota ”Lashkar-iToiba” menyimpulkan: itulah hukuman Allah atas orang­­Hindu di negara bagian itu; mereka telah membunuh dan meng­aniaya minoritas muslim, Kristen, dan Sikh di India.­­ Seorang menteri yang beragama Kristen di Negara­Bagian Karna­taka setuju. Bahkan ada orang Hindu yang mengangguk:­”Ini memang hukum­ an Shiva kepada kami.” Benarkah? Saya ragu. Sebab saya ragu benarkah semua orang yang tewas itu—termasuk anak-anak—berdosa kepada kaum mi­noritas. Saya ragu bila Tuhan ceroboh dan tak adil. Dan ba­ gai­­mana kita akan mengaitkan bencana di Iran pekan lalu itu dengan laknat? Di pojok itu tak pernah terdengar ada minoritas yang dibantai, tak ada pesta mabuk, zina massal, dan pembobol­ an bank ramai-ramai. Pada akhirnya kita harus bicara tentang manusia dengan ma­ nusia. Bahkan bukan soal manusia dengan alam. Gempa tek­ to­nik­terjadi karena struktur bumi yang apa boleh buat. Hanya Super­man, dalam film, yang bisa membereskan lempeng-lempeng San Andreas Fault di bawah bumi California. Berapa kali sudah wilayah ini terkena guncangan? Dan bukankah orang di sana masih menunggu gempa yang lebih besar—sambil terus menikmati tamasya Big Sur di tepi Pasifik, mengolah anggur, dan menjual film porno? Gempa seperti lotre dan kanker: ia tak bisa diantisipasi, tapi kita tahu ia bisa sewaktu-waktu datang, dan di sini berlaku­nya­ Catatan Pinggir 7



115



http://facebook.com/indonesiapustaka



JARAK



nyi­an Rod Stewart: ”Some guys got all the luck, some guys got all the pain.” Bencana itu memukul Iran berkali-kali, dan bukan Monaco. Apa mau dikata. Sejak tahun 130, ketika­ ilmuwan Cina Chang Heng mencoba menebak gempa yang disangka­nya gelombang angin di bawah tanah, sampai kini hanya sedikit yang dapat diprediksi, dan semuanya tak bisa dicegah. Kata para pakar, tiap tahun rata-rata terjadi 50 ribu getaran dengan skala 3 sampai 4 Richter, dan 800 kali dengan skala 5 sampai 6. Ya, kita harus bicara tentang manusia dan manusia. Teruta­ ma­­ketika gempa menyangkut hidup yang hancur dan anak-anak yang mati. Dalam The Theory of Moral Sentiment-nya yang agak kurang tersohor, di tahun 1759 Adam Smith telah menyebut bencana alam itu dalam perspektif itu. Misalkan, kata Smith, Kerajaan Cina dengan jumlah penduduknya yang besar itu tenggelam karena gempa. Orang di Ero­ pa mungkin akan sedih, menyatakan belasungkawa, memba­ yang­kan beratnya kemalangan di negeri jauh itu. Mereka mung­ kin akan memperkirakan akibat malapetaka itu bagi per­da­ gangan Eropa. Tapi setelah itu, hidup tak terguncang. Yang hendak main tenis akan terus ke lapangan, yang mau meminang akan tetap mengenakan baju terbaik dan membeli bunga. Tapi bandingkan, kata Smith, jika [si orang di Eropa] tahu bahwa ia akan kehilangan jari manisnya besok. ”Ia tak akan bisa tidur malam ini.” Dan tentang malapetaka di Asia itu, ”ia akan mendengkur dengan rasa aman yang paling dalam di atas remukredamnya seratus juta jiwa saudara-saudaranya.” Di tahun 1759 itu, Smith menggunakan kata ”saudara-saudara” (brethren) untuk jadi kata ganti ”orang Cina”. Sepatah­ kata yang mengusik, yang membuka hati: bahwa jarak—yang di zaman itu membentuk perbedaan besar di bumi—bisa meng­ akibatkan ketakpedulian. Smith mungkin tahu: empat tahun sebelumnya, beberapa­ha­ 116



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



JARAK



ri setelah gempa besar menghajar Lisabon dan 100 ribu orang tewas, Voltaire menulis sebuah sajak yang marah, Poème sur le dé­ sas­tre de Lisbonne: ”Lisabon dalam puing, orang berdansa di Pa­ ris.”­ Tentu saja Voltaire berlebihan. Di zamannya, malapetaka di ibu kota Portugal itu baru diketahui orang di ibu kota Prancis 23 hari kemudian. Si pembawa berita mungkin tiba dengan kuda yang hampir pingsan. Kini ”jarak” mengandung paradoks. Teknologi—khusus­nya satelit—telah mengubah hubungan manusia dengan pe­ngertian itu. Kini yang terjadi di Kota Bam bisa tiba tanpa­tertunda di sebuah kamar di Kota Bon. Guncangan itu tak me­nge­nal lagi tapal batas dan jarak—hal yang sebenarnya dapat dikatakan tentang dolar Amerika, terorisme, Kitab Suci, dan The Lord of the Rings. Atau ”jarak” telah jadi sesuatu yang lain, yang tak dapat di­ ukur­dengan mil. ”Jarak” kembali jadi ekspresi dunia subyektif: hati dan pikiranku dekat dengan korban di Iran atau tidak, imajinasiku akrab dengan si Frodo dalam fantasi Tolkien atau tidak. Dengan catatan: ”jarak”, seperti disebut dalam buku Adam Smith, sampai sekarang pun masih dipengaruhi oleh ”melihat”. Apalagi televisi kian pegang peran penting dalam dunia subyektif kita: hari ini, dunia di luar sana jadi mudah dibentuk dengan ”zoom-in” dan dijauhi dengan ”zoom-out”. Masalahnya:­ ketika sang subyek makin mampu menentukan sang obyek, ketika aku makin mampu memandang dia dengan cara yang kupilih, tak selamanya ”melihat” menimbulkan ”rasa dekat”. Memang, televisilah yang menyentuh orang Amerika­menghimpun dana untuk para korban di Iran itu. Tapi di ruang­kontrol markas tentara Amerika Serikat, opsir-opsir yang terlatih bisa ”melihat” sasarannya yang bakal celaka nun di Bagdad, sebelum meluncurkan ”bom cerdas”, tanpa merasa perlu menyaksikan darah muncrat dan ubun-ubun hancur. Catatan Pinggir 7



117



JARAK



Walhasil, dengan televisi dan ”bom cerdas”, dunia tak dengan sendirinya jadi bagus. Tapi hanya itukah, warna kelam, yang kita miliki? Pangloss, tokoh yang tak terlupakan dalam Candide, no­ vel­ Voltaire, adalah seorang super-optimis. Ia percaya, ”karena­ semua diciptakan untuk satu tujuan, maka semua diciptakan untuk tujuan yang terbaik.” Voltaire membuat kita tertawa geli mendengar itu. Ia ingin agar kita ingat: pada suatu hari di Lisa­ bon,­ ”seratus ribu semut, sesama kita, mendadak tertimbun di busut kita.” Semut? Setidaknya hari ini kita makin tahu: mereka bukan semut, kita bukan semut. Ada yang menangis karena seseorang menangis.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 11 Januari 2004



118



Catatan Pinggir 7



THE CLOWNS



http://facebook.com/indonesiapustaka



H



ARI itu, di Jakarta, saya melihat sebuah pemandangan yang tak pernah ada di bagian mana pun di dunia: di sebuah kantor yang tak begitu luas, sederet orang tampak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak henti-henti. Saya mendatangi mereka dan bertanya: ”Ada apa, ya, bapakbapak dan ibu-ibu?” Mereka menjawab, serentak: ”Kami semua ingin jadi calon anggota DPR.” Dan kembali mereka berdesak-desak, seperti orang yang ra­ mai berebut tiket dan tempat untuk pulang mudik di hari Leba­ ran di Stasiun Gambir. D-P-R.... Apa gerangan arti singkatan itu bagi mereka? ”Dewan Perwakilan Rakyat”? Sebuah jawatan dengan sekian ratus lowongan mendadak? Sebuah tempat undian berhadiah? Sebuah lembaga pemberi dana? Orang-orang di ruang­an itu tak pernah bertanya.... Atau saya keliru. Sebab mereka­ sebenar­nya pernah bertanya, meskipun dalam bentuk sepotong kalimat yang itu-itu juga: ”Adakah nama saya di dalam Daftar itu, Pak?” Dan mereka terus berdesak, mereka terus cemas. Mereka ber­ keringat, mata mereka merah kurang tidur, tenggorokan mereka serak. Sementara itu, nun di sebuah gedung yang jauh, di ruang tertutup, para pembuat Daftar, para pengurus partai duduk dengan sejumlah gelas kopi dan sejumlah batang rokok yang mengedarkan asap. Mereka tak akan keluar dari sana walaupun sejurus untuk menjawab pertanyaan orang yang berdesak­-desak itu. Diam adalah emas, kata pepatah yang mereka pasang­di pintu. Ke­pu­ tus­an kami harus ditaati. Disiplin itu indah. Catatan Pinggir 7



119



THE CLOWNS



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tapi ada juga yang menduga dan mengatakan bahwa mere­ ka­­sebenarnya tak tahu harus menjawab apa. Pendeknya: mere­ka­ telah membuat Daftar itu, artinya sederet nama-nama, dengan­ atau tanpa kriterium, dan menyuruh para sekretaris me­ngetik­nya siang-malam, dan menamakan nama-nama itu ”calon legislator”. Lalu diumumkan. Tentu tak pernah jelas apakah yang mereka susun itu: sejumlah orang yang kelak akan bekerja membuat undang-undang yang sesuai dengan cita-cita partai? Sejumlah orang yang secara ter­atur dan rajin datang ke rakyat pemilih dan men­dengar­kan apa yang diinginkan dan diamanatkan? Atau sejumlah konco? Atau sehimpun penyokong? Beberapa ratus penyetor upeti dan kesetiaan? Yang pasti, daftar itu kelak akan disebut juga daftar ”wakil rakyat”, tapi bahkan orang-orang itu sendiri tak yakin apakah mereka bisa dipanggil demikian. Apa kemudian panggilan mereka yang tepat? Mungkin pertanyaan ini tak penting sama sekali. Berangsur-angsur saya sadar: saya sebenarnya sedang melihat sebuah persiapan per­tunjuk­an di sebuah gedung komedi. Tiba-tiba ada sebuah pertanyaan terlintas di pikiran saya: Badut? Mereka badut? Seorang teman yang kalem menjawab: ”Ya, mungkin.” Lalu ia menambahkan, dengan nada yang lebih kalem: ”Tapi tak ada salahnya. Biarkan datang para pelawak. Keadaan sedang kacau. Send in the clowns....” Isn’t it bliss? Don’t you approve? One who keeps tearing around, One who can’t move... Where are the clowns? Send in the clowns.



120



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



THE CLOWNS



Dia pun menggumamkan lagu Stephen Sondheim itu—petil­ an terkenal dari musikal A Little Night Music yang kini dilupakan.­ Sebuah senandung sayu dari New York tahun 1973, yang menurut hemat saya tak sepenuhnya tepat untuk masuk ke dalam sebuah percakapan tentang politik Indonesia di tahun 2004. Tapi bukankah memang demikian: setiap kali di sebuah pertunjukan sirkus terjadi kesalahan atau kecelakaan, sang manajer akan memberi perintah, ”Send in the clowns!”, ”Bawa masuk para badut!” Lalu para pelawak akan muncul ke depan panggung, pura-pura berdesak, pura-pura bertengkar, jumpalit­an, menari-nari, dan penonton tak akan tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres di panggung itu tadi.... Teman saya punya cerita bahwa awal mula kehebohan ini sebenarnya memang sebuah kecelakaan yang benar-benar terjadi di balik panggung: sejumlah pemain sirkus politik yang mencoba meloncat dari trapeze terjungkal. Ajaib: mereka tidak mati. Mere­ ka hanya berubah wujud: menjadi badak—seperti dalam lakon Ionesco Les Rhinocéros. Dalam lakon ini, penduduk sebuah kota kecil semua berubah menjadi badak bercula—dan hanya Bérenger, seorang penduduk kota yang lumrah, tapi menolak konformitas, yang tetap jadi manusia. Kata teman saya itu, mungkin tak ada seorang Bérenger di balik panggung sirkus kita itu, tak ada seorang yang mau melawan konformitas yang telah menyebabkan para tokoh politik menjadi badak. Sebab itu manajer sirkus (siapa dia, tak kita ketahui) semakin panik. Ia sadar sesuatu yang amat mencemaskan tengah berlangsung. Maka ia pun mengatur agar penonton, orang ramai itu, tak tahu. The show must go on. Sebuah ilusi harus dibangun. Dan badut-badut dikerahkan.... Sorry, my dear! Catatan Pinggir 7



121



THE CLOWNS



And where are the clowns Send in the clowns Don’t bother, they’re here. Penonton, orang ramai itu, memang kemudian tak menyadari bahwa sejumlah badak baru, hasil sebuah metamorfosis yang aneh, berbaris di balik pentas. Lalu mereka bertepuk, dan kemudian pulang. Tapi di ruangan yang saya sebut di atas, pemandangan yang tak ada duanya di dunia itu belum juga hilang: sederet orang tampak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak henti-henti. Mereka semua ingin jadi calon anggota DPR. Isn’t it rich? Isn’t it queer?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 18 Januari 2004



122



Catatan Pinggir 7



ASRUL



http://facebook.com/indonesiapustaka



K



ETIKA Asrul Sani meninggal, sebuah generasi yang lain telah mendapat rumah mereka sendiri. Ia pasti akan bersyukur. Sebab inilah yang dianganangan­­kannya dalam Perumahan untuk Fadjria Novari: ”Aku akan dirikan sebuah perumahan baru.... Rumah yang akan kuberikan ialah sejarah kehidupan.” Prosa itu (terbit di tahun 1951) berasal dari perjalanan pulang­ ke kampung kelahiran, ketika ayah sang penulis meninggal. Se­ akan-akan ”aku” melihat lingkungan itu buat pertama kalinya. Sebuah momen yang menyenangkan, tapi sejurus dan tanpa nostalgia. Ia telah meninggalkan tempat kelahiran itu bertahun-tahun yang lampau, dan ia akan meninggalkannya lagi. Sebab di rumah si bapak yang kuno, apak dan mandek, ”segalanya... ada pada tempatnya,” tulisnya. Tak boleh diubah. Ruang itu tertutup. ”Kain-kain pintu tebal dan jendela yang sempit menolak segala yang hendak masuk dan yang hendak keluar.” Maka ia pun memutuskan: ”Buat aku rumah ini tiada ada lagi. Telah punah hubunganku dengannya.” Itu bukan konklusi satu-satunya. Ia juga telah menyusun te­ kad bahwa kelak ia tak akan membuat rumah yang seperti itu bagi Fadjria Novari, anaknya. Yang akan dibangunnya adalah sesuatu yang bergerak dalam proses: sebuah ”sejarah kehidupan”. Generasi Asrul Sani memang generasi yang menolak pulang­ dan membantah rumah. Dalam sajaknya yang terkenal, Si Anak Hilang, Sitor Situmorang melukiskan suasana yang sama meski­ pun­ dengan lebih murung. Dalam serangkai kuatren (seakan-­ akan sang penyair sedang menyusuri kembali bentuk­ lama) di­ gambarkannya kegembiraan si ibu ketika anaknya kembali ke kampung di tepi danau itu dari perjalanan ke Eropa. Si ayah juga Catatan Pinggir 7



123



http://facebook.com/indonesiapustaka



ASRUL



rindu, meskipun mencoba menahan hati. Tapi benarkah anak muda itu sambungan hidup mereka? Di malam hari, diam-diam si anak pergi ke pantai. Ia tahu, ge­lom­ bang dan pasir danau itu tahu: sesungguhnya ”si anak tiada pulang”. Merantau adalah menampik. Mengembara adalah memberontak. Rivai Apin, penyair sebaya Asrul (mereka berdua, bersama Chairil Anwar, menulis kumpulan puisi Tiga Mengu­ak­Tak­ dir), lebih keras mencetuskannya. Aku harus ke laut, katanya, sebab apa yang ditemukannya di darat, ”di sini”? ”Batu semua!” teriaknya. Chairil Anwar memilih untuk terbang. ”Mari kita le­ pas, kita lepas jiwa mencari,” serunya, untuk ”mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat”. Apa gerangan yang mengusik generasi itu untuk ”lepas”? Asrul menjawab dari ruang orang tuanya. ”Dalam rumah itu,” tulisnya, ”diam sebuah pendapat yang tiada mau tahu dengan pen­ dapatku. Di segala sudut ada hukum-hukum hidup yang dibungkus dan diberi cadar.” Sikap itu sebenarnya tak mengejutkan. Sebuah esai yang ditulisnya di tahun 1948 berjudul Orang Tak Berasal. Di sana ia menyatakan, ”pusaka adalah penjajahan.” Lalu apa yang membentuk dirinya? Di sebuah masa ketika Indonesia, dalam kata-kata Chairil, adalah bangsa yang ”baru bisa bilang ’aku’”, generasi Asrul memang memilih ”aku” yang tak dibentuk oleh asal dan pusaka. Me­reka suara modernitas par excellence. Mereka memang mirip dengan generasi pembaharu sebelumnya, generasi S. Takdir Ali­ sjah­bana. Tapi dengan beda yang mendasar. Modernitas, bagi Takdir, ibarat penjelajahan dengan sebuah biduk yang digalang dengan disiplin dan rasionalitas yang mampu menghitung—sebuah bahtera yang cocok untuk samudra yang menyimpan badai. Sementara itu bagi gene­rasi Asrul, yang 124



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



ASRUL



hidup dengan khaos dan ketakpastian dalam perang­ untuk kemerdekaan tahun 1940-an, modernitas artinya pembebasan, dan itu adalah, jika kita pakai kiasan Rivai, satu pengembaraan yang menyambut ”taufan gila”, dengan bekal yang hampir nol: ”cukup asal ada bintang di langit”. Dengan kata lain, modernitas Takdir tak jauh dari yang dige­ rakkan kelas borjuis Eropa seperti dilukiskan Marx dan Engels:­ sebuah kekuatan dahsyat yang bernama kemajuan. Takdir tak hendak bermain-main dengan agenda besar itu. Sebuah bangun­ an, sebuah bangsa, harus kuat dan disiapkan. Maka diremehkannya puisi Chairil sebagai ”rujak”—segar, tapi tanpa gizi. Sementara itu, bagi generasi yang ”menguak” Takdir, modernitas adalah pertautan dengan yang oleh Baudelaire disebut seba­ gai ”yang melintas, yang sementara, yang tergantung”. Bahkan apa yang lazimnya dianggap sebagai situs yang tetap, ”rumah”, mereka terima dengan sikap mendua. Bagi Asrul­Sani, ”rumah” bukanlah konstruksi jadi, tapi ”sejarah ke­hidup­an”. Bagi Rivai Apin, ”rumah” adalah yang membuat dirinya setengah asing. ”Di rumahku aku disambut oleh keaku­anku yang belum sudah,” tulisnya. Mungkin sebab itu pada generasi Asrul tampak ”modernisme” yang mirip dengan yang meledak di Eropa awal abad ke20: sebuah gairah eksperimentasi, élan yang menjebol, yang sadar bahwa tak ada batas yang pasti—sebuah élan yang berlanjut dalam karya Putu Wijaya dan Sutardji Calzoum Bachri dan menyusup sampai ke novel Ayu Utami dan Nukila Amal. Gene­rasi Asrul seakan-akan telah membentuk satu paradigma. Memang pernah mereka dihujat. Di pertengahan tahun 1950an (menjelang Bung Karno menggemakan pekik ”ga­nyang”­ ke arah ”Barat”), Ajip Rosidi bersuara: generasi Asrul-Chairil-Rivai, kata Ajip dengan sengit, secara ”rohaniah” bertanah-air di Eropa. Meskipun mereka, kata Ajip pula, ”masih makan nasi dan ikan Catatan Pinggir 7



125



ASRUL



asin”. Dengan kata lain: bagi Ajip, mere­ka makhluk blasteran. Tapi kelirukah blasteran, khususnya blasteran dengan ”Ba­ rat”? Seruan ”awas, Barat!” pernah terdengar sebelumnya—dan membuat Penyair Sanusi Pane mendukung Fasis­me Jepang yang memuliakan ”Timur”. Di sini Ajip hanya memamah-biak asumsi ”Orientalis”: seakan-akan ada ”bukan-Barat” yang tunggal dan tak bercampur. Asrul tak akan mau memamah-biak macam itu. Ia malah le­ bih­dulu ketimbang Edward Said ketika mengatakan: ”Aku tidak lagi mau bicara tentang Barat dan Timur, karena arca-arca yang kukenal semuanya hanya dapat dipandang dengan berpatokan pada waktu.” Dengan kata lain, identitas kita, arca kita, tak bisa kita sembah sebagai hal yang kekal.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 25 Januari 2004



126



Catatan Pinggir 7



SEPATU



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



UAN Hakim, seorang perempuan marah di depan majelis, dan melontarkan sepatunya ke arah kolega Tuan yang duduk bertoga di ruang itu.... Ingat? Sepatu: benda yang tiap kali bersentuhan dengan debu, lumpur, serba-serbi tahi, sisa makanan yang dimuntahkan, air comberan yang disiramkan ke trotoar. Sepatu: bagian dari proteksi tubuh yang menempuh perjalanan. Tuan tentu tahu, di tungkai kaki orang kebanyakan, sepatu adalah tanda ikhtiar untuk pantas, bersih, dan aman di permukaan bumi. Tapi jika Tuan lupa apa yang terjadi, inilah­cerita­nya:­ pada tahun 1987. Mimi, perempuan itu, kecewa dan marah kepada bapak bertoga yang duduk angker dan terhormat di belakang meja tinggi itu. Ini berlangsung di sebuah ruang­pengadilan di Jakarta. Sepatu itu dilontarkannya untuk menyatakan sebuah pe­ rasa­an, juga sebuah pendapat. Mimi kemudian dihukum penjara enam bulan. Ia dianggap­ menghina mahkamah. Tapi perempuan itu sempat bercerita: berminggu-minggu ia beperkara, mengadukan Nina, yang menurut­ Mimi pernah menipunya sampai Rp 76 juta. Ia ingin agar Nina dihukum berat. Ia menyuap hakim dengan uang Rp 2,5 juta. Tapi hakim itu, kata Mimi, tak berbuat sebagaimana­dipesan. Ia menduga, sang hakim curang: Nina memberi sogok yang lebih besar.... Seperti Tuan Hakim pasti akan sepaham dengan saya, Mimi te­lah menghina mahkamah dua kali. Pertama, ia melontarkan sebuah benda yang biasanya bersentuhan dengan najis ke arah hakim. Kedua, ia memandang para hakim mirip pelacur yang mengecewakan—tenaga yang bisa dipesan, dibeli, dan diharapkan memuaskan nafsu. Catatan Pinggir 7



127



http://facebook.com/indonesiapustaka



SEPATU



Sebuah perilaku yang mengagetkan? Tidak rupanya. ”Insiden Mimi” tak mendorong Menteri Kehakiman atau Ketua­Parlemen atau Majelis Ulama untuk berbuat sesuatu. Tuan juga diam saja. Sa­ya tahu kenapa demikian: di belakang insiden itu telah hadir­ sebuah penghinaan yang lebih lama dan lebih besar—penghina­ an­ kepada harapan. Juga penghinaan kepada Republik. Dan kedua-­duanya bukan Mimi yang melakukannya. Sebab inilah tema yang umum diketahui: kian hilangnya kepercayaan kami, orang Indonesia, kepada mahkamah Tuan. Bagi kami sulit berharap dari proses yang harus kami tempuh untuk mendapatkan keputusan yang adil. Pada tahun 2002, Mardjono­ Reksodiputro, seorang guru besar ilmu hukum di Universitas Indonesia, menerbitkan hasil penelitiannya tentang­keharusan menyogok yang mencegat kami, warga masyarakat, di sepanjang per­jalanan pro justicia, sejak dari di kantor polisi sampai di kantor hakim. Ia mengutip apa yang kami gerundelkan bila kami melapor kepada yang berwajib ketika barang kami dicuri: ”Mela­ porkan ayam kita hilang, akhirnya kambing kita ikut hilang.” Sebuah catatan Bank Dunia dan Bappenas yang kemudian di­ terbitkan pada 1999 memang menunjuk: di Indonesia, seorang yang mencari keadilan harus membayar—dalam arti me­nyu­ ap­—jumlah uang yang memberatkan, sejak awal sekali, bahkan ketika ia baru mendaftarkan perkaranya ke mahkamah. Dan jika nanti vonis jatuh, dan keputusan hakim dibuat, pihak yang ber­ sengketa masih harus membayar lagi untuk mendapatkan salin­ an surat keputusan itu. Ketika tak ada jalan lain ke arah keadilan, cerita seperti itu­ men­jadi sebuah cerita putus asa. Tepatnya, sebuah putus asa yang dianggap sah. Di antara kami, harapan telah jadi makhluk­yang ganjil. Kami, orang Indonesia, akan tampak ajaib bila mempu­ nyai­nya. Saya tak tahu siapa yang mula-mula membuat Indonesia se128



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SEPATU



buah negeri tempat rasa putus asa telah sampai ke tungkai kaki. Bahkan telah membuat Indonesia tak layak sebagai sebuah nege­ ri. Sebuah negeri membutuhkan ”negara”. Dalam pengertian yang sekarang lazim, ”negara” berarti kekuasaan sebagai milik publik, bukan milik pribadi. Tapi di mana gerangan ”negara”? Kami bingung. Seorang se­ jara­wan pernah mengatakan kepada saya, memang hanya baru setelah administrasi VOC digantikan oleh birokrasi kolonial Hin­dia Belanda, kehadiran ”negara” di kepulauan ini mulai berdampak. Tapi agaknya sampai kini pun ia samar. Kalaupun tak samar, ”negara” adalah sesuatu yang amat tipis. Untuk 220 juta penduduk, hanya ada sekitar 3.500 hakim dan sekitar seperempat juta tentara militer dan hanya 270 ribu polisi. Bersamaan dengan itu, bagi banyak orang, ”nega­ra”­yang tipis itu belum merupakan sosok yang utuh. Ia belum hadir sebagai sebuah struktur dengan seperangkat aparat yang efektif menyentuh kehidupan sosial. Ketika jalan macet, KTP hilang, utang tak dibayar, kami sering tak tahu siapa yang akan membereskan itu sampai tuntas. Negarakah? Jika Tuan seorang Mimi, ”Negara” adalah person-person yang bisa ia ketuk pintunya di rumah. Dan semuanya kian rancu, ketika otoritas di balik pintu itu ternyata bisa diperjualbelikan. Tuan tahu apa yang terjadi karena itu? Negara, yakni kekuasaan milik publik, berubah. Pri­vati­sasi yang serong telah berlangsung. Pada saat itu, Republik pun runtuh, tanpa diumumkan, tanpa jerit dan gelegar. Bahkan kejadian itu disembunyikan. Dan runtuh pula sebuah kehidupan bersama, di mana orang bisa saling percaya, di mana konflik dikelola­ dengan damai dan tak berat sebelah. Yang ada: sebuah labirin gelap kekuasaan-kekuasaan pribadi. Itu sebabnya Mimi melontarkan sepatu. Benda itu tak akan membuat kepala pak hakim benjol. Perkara itu tak akan diperiksa lebih jauh. Mimi akan kehilangan 50 persen pelindung kakinya. Catatan Pinggir 7



129



SEPATU



Uang Rp 76 juta itu tak akan kembali. Ia sendiri dihukum. Tapi bukankah sepatu itu satu-satunya alat ekspresi yang ada padanya—benda yang harus dilontarkan, seakan-akan sebagai laku simbolik: ia semula mengenakannya agar bersih, pantas, dan aman, tapi ia ternyata berada di gedung mahkamah yang tak bersih, tak pantas, dan tak aman. Bukankah sepatu Mimi yang terlontar pada hari itu bisa ditafsirkan se­bagai­penunjuk kontras yang merisaukan itu, Tuan Hakim?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 1 Februari 2004



130



Catatan Pinggir 7



HOROR



http://facebook.com/indonesiapustaka



K



ETIKA Akbar masih menyandang nama kecilnya, Muhammad, ia telah memperoleh gelar Ghazi, sang ”pe­ nyem­belih kafir”. Pada umur 14 tahun, pangeran itu di­undang mempertunjukkan keberanian dan keterampilannya, dan ia lulus ujian: ia tebas leher seorang tahanan Hindu dalam sekali tetak. Keturunan Jengis Khan, keturunan Timurleng, pengendara­ kuda jalang, pelaga senjata yang cekatan, yang bermain polo kalau perlu di malam hari (untuk itu ia ciptakan bola yang bisa bersinar bila cahaya tak cukup), ia sanggup berjalan kaki 60 kilometer tanpa lelah. Semua disiplin dan energi itu ia gerakkan ketika ia, di tahun 1560, pada umur 18, mulai memerintah tanpa didampingi, dan menjadi maharaja ke-3 dalam dinastinya. Ketika itu, imperium Moghal cuma seperdelapan India yang­ sekarang. Dengan semangat moyangnya, ia perluas tanah itu hampir ke seluruh Tanah Hindustan. Tapi luas itu datang bersama kompleksitas. Akbar tahu kenapa: ia, seorang muslim, pendatang keturunan asing, me­merin­ tah sebuah mayoritas yang tak seiman, di sebuah sub-kontinen yang sejak masa purba melahirkan pelbagai kitab dan orang suci. Bahkan agama Kristen pun mulai datang, dan para padri Katolik­ telah tiba di Delhi. Hindustan masuk ke dalam sebuah transisi yang tegang. Akbar tahu, tapi lebih dari itu ia berpikir, ia merenung: ada yang merisaukan, ketika manusia berdesak-desak dengan­kesuci­ an masing-masing. Ia berusaha keras: ia menikah dengan­­putriputri Rajput yang Hindu, ia menyetujui anjur­an pengikut­Jainisme agar berhenti berburu, ia beri kebebasan kepada­misi Yesuit untuk menyiarkan agama, ia kenakan baju suci Zoroaster­dengan Catatan Pinggir 7



131



http://facebook.com/indonesiapustaka



HOROR



takzim. Tapi ia tak puas. ”Pikiranku tak tenteram di tengah ke­aneka­­ ragaman sekte dan keyakinan,” katanya. ”Terlepas dari kegemi­ lang­an lahiriah ini, dengan rasa puas apa... aku dapat menjalan­ kan­kendali atas imperium ini? Aku menanti orang-orang rendah hati yang berprinsip untuk memecahkan kesulit­an dalam hati nuraniku....” Maka diundangnya para arif dan aulia dari pelbagai kaum ke majelisnya. Di hari seperti itu, jam panjang diisi pembahas­an tentang pokok ilmu, rahasia wahyu, kejadian aneh dalam sejarah, atau keganjilan alam. Wakil dari agama-agama juga hadir. Akbar berada di tengah mereka, tapi juga di luar mereka. Ia seorang rasionalis, dan ia memandang agama dengan pers­pektif itu. ”Keunggulan manusia,” katanya, ”terletak dalam mutiara akal.” Tak semua tamunya tenteram mendengarnya. Terutama keti­ ka Akbar melangkah lebih jauh. Pada suatu hari, baginda meng­ undang orang-orang terpelajar dan juga komandan militer di kota-kota sekitar Agra untuk datang ke ibu kota. Di hadapan hadir­ in yang terhormat itu, ia berpidato: ”Satu hal yang buruk, bagi sebuah imperium yang berada di bawah titah satu pemimpin, bila anggota-anggotanya berbeda pendirian satu sama lain .... Sebab itu kita perlu membuat mereka menjadi satu, tapi dengan satu cara hingga mereka jadi ”satu” dan juga ”semua”—dengan keuntungan: tak ada yang hilang di sebuah agama, sementara ia mendapatkan yang lebih baik dari agama yang lain.” Tampaknya, kerinduan akan perdamaian dan toleransi, juga keyakinan akan rasionalitas—dan tentu saja politik keamanan dan integrasi—membuat Akbar mengambil keputus­an yang luar biasa: hari itu ia mendirikan sebuah agama baru. Ia beri nama ”Din Illahi”, yang kurang-lebih berarti ”agama Tuhan”. Ia sendiri yang akan memimpin agama baru itu. Konon ibadah yang harus dijalankan para pemeluknya merupakan­sebuah sintesis dari pel132



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



HOROR



bagai aturan—yang sedikit banyak campur-aduk. Tapi kita tahu, Din Illahi tak berhasil menggantikan Islam, Hindu, Buddha, Zoroaster, Kristen, atau apa pun. Hanya bebera­ pa ribu orang bergabung ke dalamnya. Umurnya tak lebih lama ketimbang Akbar. Cuma sebuah bangunan di Fathpur-Sikri saja, kenisah agama yang berangkat dari dan untuk impian perdamai­ an itu, yang terus tersisa sampai hari ini. Tentu, perdamaian tak dengan sendirinya berarti pelebur­an. Tapi lebih dari itu saya kira ada satu hal pokok kenapa Din Illahi tak bertahan: Akbar tak melihat bahwa iman bukanlah mempercayai apa yang terang tanpa mempercayai apa yang gelap. Jika iman bersentuhan dengan yang kudus, maka persentuhan itu bukan sebuah jabat tangan, sebab di sana ada juga horor—seperti yang dilukiskan Bhagawat Gita, ketika Arjuna menyaksikan Sang Wishnu hadir di dekatnya menjelang perang besar yang mengerikan itu: ”Masuk aku ke dalam ta­ring­mu,” katanya geme­ tar, merunduk di depan sang Dewa yang menampakkan diri. Seolah-olah Amir Hamzah, penyair sufi itu, merupakan­ gema­nya: ”mangsa aku dalam cakarmu”, atau seperti kata Chairil­ Anwar, ”aku hilang bentuk, remuk”, atau seperti kata Yeremiah­ kepada Tuhan, ”Kau telah gagahi aku”: Tuhan tak datang ke dalam hati kita dengan jaminan bahwa yang akan ada hanya ketenteraman, sebuah proteksi yang mutlak, dan semua hal bisa dimengerti. Tapi Akbar hidup di sebuah istana yang aman dan serba tersedia, dan ia telah membuktikan diri bahwa ia bisa mengua­sai apa pun—Hindustan, tubuhnya sendiri yang terlatih, per­kara politik dan filsafat yang majemuk. Ia merasa beruntung memiliki mutiara itu: akal. Seandainya ia lebih dekat ke ke­seng­saraan, lebih kecut menghadapi nasib, lebih rusuh hati melihat kesewenangwenangan dan penyaliban, atau seandainya ia ada di abad ke-20, seperti Simone Weil, ia mungkin akan tak menawarkan iman Catatan Pinggir 7



133



HOROR



ibarat seorang arsitek menawarkan desain bangunan yang rapi. ”Keindahan dunia terletak di ambang labirin,” kata Weil, filosof perempuan yang mati muda dengan tubuh lapar itu. Sese­ orang yang tak berhati-hati dan masuk beberapa langkah ke dalamnya, kata Weil pula, suatu saat tak mampu menemukan jalan kembali. Jika ia tetap berani, ia akan tiba di pusat labirin itu. ”Dan di sana, Tuhan menunggunya, untuk mengerkah­nya,”­tulis Weil. ”Lalu ia akan kembali, tapi telah berubah menjadi lain.”



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 8 Februari 2004



134



Catatan Pinggir 7



PILIH



http://facebook.com/indonesiapustaka



N



YONYA A datang ke kampung kami dan berkata, ”Pi­ lih­lah aku!” Saya kagum. Sebab saya tak termasuk mere­ ka yang berkata, ketus, ”Kok, ambisius banget, sih.” Seorang calon anggota parlemen, juga seorang calon presi­den, memang tak bisa membisu, bukan? Ia harus menjajakan diri. Ia harus membujuk, bahkan seperti meminta, orang ramai.­Ia ingin mereka mendukungnya, bukan? Tak perlu ber­pura­-pura. Bersikap pura-pura menunjukkan seorang pemimpin ingin jadi mempelai yang dilamar. Padahal dialah yang harus jadi pelamar. Dan dengan jerih payah. Siapa yang tak pernah merasakan jerih payah itu tak akan me­ rasakan bagaimana berartinya suara orang lain. Siapa yang tak merasakan bagaimana pentingnya demos yang bebas­menentukan­ pilihan tak akan pernah menghormati mereka. Dalam demokrasi, kekuasaan adalah sejenis utang. Si pemegang kuasa sadar bahwa kelak ia akan ditagih. Kekuasaan adalah proses dan hasil tawar-menawar. Nyonya A datang dan bilang, ”Pilihlah aku!” Tidak, ia tidak­ pantas dicemooh. Soalnya bukanlah ia terlalu berambisi atau tidak. Soalnya: apa yang ia tawarkan? Ia menjawab, ”Sebuah Indonesia yang lebih baik.” Banyak­ orang memang tergugah mendengar itu. Sebab pada titik inilah politik dan demokrasi—dan khususnya pemilihan umum—tak lagi hanya bisa diterangkan dengan kiasan dunia per­dagang­an. Ada yang lebih dari itu. Sebab pemilihan umum, apalagi pada 2004, adalah percobaan bersama untuk merebut kembali apa yang dikatakan oleh Nyonya A, tanpa berpikir panjang, ”sebuah Indonesia.” Bukan karena Republik sedang diancam keretakan teritorial. Catatan Pinggir 7



135



http://facebook.com/indonesiapustaka



PILIH



Lebih serius ketimbang pecahnya wilayah adalah Indonesia yang sedang kehilangan ”komunitas”. Sebuah komunitas tumbuh dari ethos bersama yang menggu­ gah hati dan membangun kepercayaan. Tapi dalam hal keperca­ ya­an itulah—”kepercayaan” dalam arti trust—kita kini rusak berantakan. Kini saya cenderung mencurigai orang lain dan orang lain mencurigai saya. Bukan karena semua orang saling memata-­ matai seperti dalam suasana totaliter. Kita jadi begitu karena kita selalu waswas: benarkah ada seseorang yang tidak mengambil apa yang jadi hak ”Indonesia” untuk dirinya sendiri? Dengan kata lain: mencuri? Pada tahun 1967, sepatah istilah diperkenalkan oleh Nono Anwar Makarim di Harian Kami: ”kleptokrasi”—sebuah pemerintahan yang akhirnya tersusun dari sosok dan sistem para maling. Ia berbicara tentang Indonesia, tentu. Sejak lahir­sampai dengan mati, kita memang kepergok dengan orang-orang yang pernah cu­rang dan mungkin akan selalu curang: orang di kantor kelurahan, orang di kantor polisi, orang di kantor penghulu, petugas administrasi sekolah, bahkan juga guru, pengacara, dan pasukan pe­madam kebakaran. Dan kita tahu: pada saat pasukan branwir kota praja hanya mau me­madam­kan api bila dibayar tersendiri oleh seorang warga yang rumahnya jadi korban, pada saat itu ”komunitas” kita raib, ”Indonesia” kita tenggelam. Kini Nyonya A datang, dan kita akan berseru, seperti sajak Taufiq Ismail itu berseru, ”Kembalikan Indonesia kepadaku!” Bisakah ia melakukannya? Ia mengangguk, ”Sulit, Bung, tapi insya Allah.” Saya kira ia jujur. Sebab kini Indonesia juga mengalami fragmentasi lain. Masyarakat jadi modern, dan masalah yang berbeda-beda muncul ke permukaan sekaligus—terkadang secara tak disangka-sangka, seperti ketika penyakit ayam jadi wabah flu burung dan Amrozi jadi teroris. Setiap segmen dalam masyarakat 136



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



PILIH



seakan-akan meminta perhatian untuk diperbaiki, dan kita— termasuk Nyonya A—akan dirundung pertanyaan: dari mana harus dimulai? Ia menawarkan diri akan membawa ”sebuah Indonesia yang lebih baik” bila ia dipilih. Tapi juga kata ”yang lebih baik” masih­ butuh pertimbangan lebih jauh, apa ukurannya, bagai­mana­ mengukurnya. ”Baik” dan ”lebih baik” mungkin memerlukan sebuah teori. Namun kita tahu pada masa ini sebuah teori sering ter­dengar­­ seperti sebuah omong besar yang melalaikan kenyataan­ bahwa­ selalu ada hal kecil yang tak tercakup. Pada masa ini kita tak bisa sepenuhnya berharap ada hal yang universal yang akan disetujui­ semua orang, sebagai dasar dan tujuan bersama­yang me­nye­bab­ kan teori itu sah. Sebab itu ada yang me­nganjurkan:­mari kita hi­ dup dengan ironi. Kita tak terlalu ngotot dengan­satu premis. Selalu harus ada jarak dengan kesimpulan dan dugaan kita sendiri. Kita hanya perlu berpegang prinsip, ”Jangan­kejam kepada yang lain,” seperti resep Richard Rorty. Kita tak perlu pongah bahwa kita tahu sebelum bekerja. Praxis harus dibebaskan, dan hasilnya bahkan kalau bisa harus segera bisa dinikmati. Tapi itukah yang ingin kita dengar dari Nyonya A? Ada yang menganggap bahwa selama ”sebuah Indonesia” belum lagi ”sebuah Indonesia”, kita tak berhak bermain-main dengan­ ironi. Kita perlu sebuah agenda yang kukuh dan tak mudah lekang di dalam fragmentasi dan ketidakpastian sekarang. Kita perlu pu­ nya­satu jawaban yang padu untuk segala macam pertanya­an, termasuk yang kelak datangnya tak terduga. Singkat­nya, kita perlu­ Tuhan. Sebab hanya Tuhan yang akan memberikan jawaban semacam itu. Tapi bisakah Nyonya A mampu mewakili Tuhan dan ja­wab­ an­­nya? Ia datang dan mengatakan, ”Pilihlah aku!” Arti­nya, saya kira, ia tak menganggap kemampuan dirinya untuk­memimpin Catatan Pinggir 7



137



PILIH



sebuah bangsa ditopang oleh sebuah jawaban agung. Ia sadar ia akan naik bila didukung oleh orang ramai—yang tak semuanya dahsyat, sebab pasti ada juga yang pelupa,­tak terlalu tinggi IQnya, tapi ramah meskipun terkadang dengki dan lalai bersembah­ yang. Dan ketika ia bilang, ”Pilihlah aku!” ia tahu ia tak akan ada di sana buat selama-lamanya. Itu sebabnya pemilihan umum memang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga kerendahan hati: ”sebuah Indonesia yang lebih baik” selamanya akan jadi sebuah janji—tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 15 Februari 2004



138



Catatan Pinggir 7



PARRHESIA



http://facebook.com/indonesiapustaka



J



IKA Indonesia datang hari ini ke pengadilan, besok ia akan pulang dengan kaki patah. Tak ada yang akan menyelamatkannya. Keadilan bukanlah sekadar masalah kesalahan dan hukuman. Keadilan adalah lapisan humus dari ladang sebuah kebersamaan. Dengan itu, di atasnya sebuah negeri akan tumbuh sebagai sebuah negeri. Tanpa itu, hanya akan ada kemahkemah peperangan, sebuah situasi yang digambarkan Hobbes de­ngan sikap dingin: di sanalah hukum dibuat oleh mereka yang punya kekuasaan, bukan oleh mereka yang punya kebenaran. Au­ toritas, non veritas facit legem. Kini itulah yang sedang terjadi di Indonesia: sebuah negeri­ yang sedang patah-patah. Humus yang menyuburkan kebersamaan itu begitu tipis dan semakin habis. Hakim-hakim tak bisa dipercaya lagi, apalagi jaksa dan polisi. Para pengacara­hanya dianggap sibuk memilih warna dasi dan datang ke mahkamah se­ ba­gai makelar, mempersiapkan jual-beli tuntutan dan keputus­ an. Orang mulai mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, demokrasi tak menolong. Statemen ini bukan sesuatu yang baru. Ia sudah merupakan cemooh kaum aristokrat dan pendukung oli­garki di zaman Yunani kuno. Kata mereka, demos,­atau rakyat kebanyakan (yang dalam bahasa Indonesia juga disebut ”orang ra­mai”), memang hanya sejumlah suara riuh ramai. Di abad ke-4 sebelum Masehi seorang bernama Isocrates telah menulis ketus ke arah para demokrat: ”Untuk urusan pribadi, tuan datang kepada mereka yang lebih cerdik pandai untuk mendapatkan nasihat, tapi untuk urusan Negara, tuan mencurigai dan tak menyukai orang yang punya karakter. Malah tuan lebih suka menjalin hubungan dengan tukang pidato yang paling sakit jiwa.” Catatan Pinggir 7



139



http://facebook.com/indonesiapustaka



PARRHESIA



Tukang pidato seperti itu (katanya kini banyak di partaipartai politik dan parlemen) tentulah tak akan bisa diharapkan memperbaiki keadaan. Sebab politikus pun, sekarang—dengan mobil baru, rumah baru, dan perjalanan ke luar negeri yang sarat bekal, dan tanpa tahu dari mana mereka mendapatkan semua itu—sudah dianggap jadi bagian dari autoritas, kekuasaan, bukan veritas, kebenaran. Tapi apa gerangan ”kebenaran”? Apa gerangan ”keadilan”? Bagaimana mungkin itu didapat oleh orang ramai? Bagaimana­ pula itu diperoleh para orator jelek itu? Namun saya kira, di sinilah justru jawaban kenapa demokrasi penting—selama demokrasi berada bersama parrhesia, sebuah kata kuno untuk menggambarkan ”kemerdekaan bicara”. Menarik, bahwa kata itu datang dari dunia teater. Euri­pides­di abad ke-4 sebelum Masehi memperkenalkannya dalam keenam lakon yang ditulisnya. Dalam lakon Perempuan­-Perempuan Phoe­nisia, sang ibu, Iocasta, bertanya kepada anaknya, Polynei­ ces, yang datang dari tanah buangan untuk merebut takhta dari kakaknya: Apa yang paling menyakitkan selama hidup di tanah pengasingan? Jawab Polyneices: ”Yang terburuk ini: kemer­ dekaan bicara tak ada.” Satu segi baru dikemukakan Euripides dalam lakon Ion. De­ wa Apollo, yang memerkosa seorang perempuan, tak meng­akui anaknya yang lahir dari perbuatan itu. Sang dewa diam. Tapi toh manusia kemudian menyimpulkannya sendiri, ketika orang datang bertanya kepadanya. Jawaban itu memang ternyata dusta, tapi satu proses telah dimulai. Seperti diutarakan Michel Foucault tentang parrhesia dalam Ion, yang terjadi adalah ”pencari­ an tahu dengan cara interogatif”, bukan dengan diam menunggu­ jawab sang dewa dalam bentuk orakel yang biasanya remangremang. Dengan melalui tanya-jawab, yang gelap pun menjadi terang. 140



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



PARRHESIA



Teater adalah sebuah dunia di mana percaturan tanya dan jawab menjadi alasan hidup. Dari sini suspens tumbuh, dan dari sini gerak tampak. Tapi lebih dari itu, teater adalah sebuah arena, tempat manusia tampil sebagai makhluk yang harus memandang apa yang terbatas dengan sudut pandang yang terbatas. Teater­ adalah seni tentang perspektif. Tapi pada saat yang sama, dari perspektif yang dibentuk oleh tubuh dan posisinya, ada proses ke arah yang tak terbatas itu. Teater juga sebuah dunia di mana bahasa menunjukkan sejarahnya yang tak lurus dan riwayatnya yang tak sepenuhnya te­ rang-benderang. Bila bahasa adalah sesuatu yang 100 persen­bersih dan transparan, teater akan berhenti. Di sini hidup tak dapat dibayangkan sebagai wujud matematik. Bahasa akan senantiasa gagal, atau separuh gagal, tapi ajaib: manusia tak selamanya harus saling menggembok mulut. Bisu bahkan sesua­tu­yang seperti titik hitam dalam geometri: di sana, semuanya berhenti. Maka yang penting bukanlah jaminan akan datang solusi, bukan pula garansi bahwa akan terbit kebenaran. Yang penting­ adalah percakapan dengan kebebasan. Juga kemerdekaan untuk mencari sendiri apa yang benar dan yang adil—dengan sikap ingin­tahu, ragu, juga gigih. Itu sebabnya mahkamah yudikatif lahir. Ada pendakwa, ada pembela, ada hakim. Ketika hakim jadi bisu karena disuap, parrhesia hilang. Dengan demikian, memang kebenaran harus dilihat seba­gai suatu yang hendak dicapai bukan dalam laboratorium. Mengu­ tip Foucault di sini menjadi relevan: ia membandingkan parrhe­ sia dengan pengertian yang datang kemudian, ketika modernitas­ mulai, yakni tentang evidence. Bagi pengertian ala Descartes itu,­cocoknya keyakinan dengan kebenaran didapat dalam satu peng­alaman dalam pikiran kita tentang evidence. Bagi orang Yunani seperti dalam teater Euripides, kecocokan itu tidak di sana, tapi dalam percakapan, dalam parrhesia. Catatan Pinggir 7



141



PARRHESIA



Di situlah demokrasi jadi penting. Sebuah republik bukanlah sebuah ruang steril. Maka apa boleh buat, yang berbicara tak ha­ nya­para pakar dengan rumus, tapi orang biasa—dengan kesalah­ an-kesalahannya, dengan nafsunya, dengan ketakut­annya. Kita hidup bersama mereka, dalam dunia mereka.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 22 Februari 2004



142



Catatan Pinggir 7



PRANCIS



http://facebook.com/indonesiapustaka



Y



ANG suci tampaknya belum surut. Juga ketika mukjizat menghilang dan Tuhan hanya disebut dari ruang yang hingar. Dunia memang mengalami Entzauberung—se­ patah kata dari Weber yang terkenal itu, yang menggambarkan hilangnya tuah dari kehidupan. Modernitas hadir. Tapi tidakkah modernitas yang sekuler itu juga punya batas? Prancis: di negeri ini, di mana Islam agama terbesar No. 2, anak-anak muslimah datang ke sekolah dengan berjilbab. Mereka tampaknya merawat apa yang sakral. Mungkin petuah­orang tua tentang tradisi dan harga diri. Mungkin ajaran agama. Mungkin juga tubuh mereka, hingga perlu diberi tabir dari debu duniawi dan dari jamahan yang profan. Mungkin sekali ketiga-tiganya. Tapi apa yang terjadi jika sesuatu yang dianggap suci bentrok­ dengan sesuatu yang dianggap suci? Di Paris, Régis Debray, da­ lam wawancara dengan majalah Lire nomor Februari ini, mengingatkan, ”Kita jangan mencampuradukkan yang suci dengan yang religius, dan yang religius dengan yang ilahi­ah.” Sebab ba­ nyak­”agama tanpa dewa-dewa dan tanpa Tuhan.” Dari Debray, suara ini menarik untuk didengar. Dalam umur 64 tahun, ia bertahun-tahun mewakili suara yang kiri, bahkan ra­dikal. Ia pernah ikut bergerilya di Amerika Latin­ membantu ”Che” Guevara; ia dipenjarakan di Bolivia dari tahun 1967 sampai 1970. Buku pertamanya, Révolution dans la Révolution (1967), menampakkan rasa kagumnya kepada gerak­an revolusioner. Tapi yang dilakukan pada umur 27 tak dengan sendirinya berulang kemudian. Saya terkejut ketika membaca Lire: kini Debray­meraya­ kan ”nilai-nilai Amerika”, termasuk soal menghormat bendera di waktu pagi. ”Saya iri akan orang-orang Amerika dalam hal kesa­ daran warga negara­ (civisme) dan patriotisme mereka, bahkan Catatan Pinggir 7



143



http://facebook.com/indonesiapustaka



PRANCIS



bila kedua hal itu dipakai untuk tujuan-tujuan buruk.” Debray, kini patriot di abad ke-21, hendak menunjukkan bahwa tak ada masyarakat yang tak punya wilayah yang disuci­kan dan tanpa transendensi. Uni Soviet dulu punya Lenin. Amerika Se­rikat punya Washington dan para ”bapa pendiri”. Dan apa kiranya sukma Republik Prancis? Jawab Debray, ”Kita juga punya satu wilayah seperti itu,” dengan ”pahlawan-pahlawan­besar” seperti Danton, seperti Leclerc. Debray menyebut Leclerc, prajurit legendaris Prancis dalam Perang Dunia II yang dua kali dipenjarakan Jerman dan dua kali melarikan diri. Perwira aristokrat ini kemudian bertempur di padang pasir Afrika. Pasukannya dipuji Churchill karena kebe­ rani­annya dalam peperangan di Tunisia. Leclerc juga yang ikut merebut kembali Paris dan menerima pernyataan menyerah tentara Jerman dari Jenderal Von Cholitz, 25 Agustus 1944. Debray menyebut Danton. Tokoh Revolusi Prancis ini pun orang yang berani, juga ketika ia harus menghadapi kaum revo­ lusioner yang lebih ekstrem yang kemudian memenggal kepala­ nya,­5 April 1794. Yang pertama, Leclerc, mengisyaratkan pentingnya la patrie,­ tanah air. Yang kedua mengisyaratkan pentingnya la läicité, semangat sekuler. Dalam lakon Georg Buchner, Dantons­ Tod (”Ma­tinya Danton”), kita dengar tokoh ini berkata bangga: ia mengingkari adanya kebajikan; ia juga mengingkari adanya dosa. Baginya, ”Yang ada hanya para epikurian, yang halus dan yang kasar.” La patrie dan la läicité di Prancis memang bertaut: Revolusi Prancis yang memusuhi Gereja itu juga salah satu tonggak awal lahirnya ”negara nasional”. Tapi tampaknya, seperti di pelba­gai negara modern, kini ada yang terasa kurang. Jika kebajikan dan dosa tak diakui, dan yang penting adalah kaum ”epikurian” yang memprioritaskan hari ini, bukankah masih diperlukan jawab: 144



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



PRANCIS



apa yang bisa membahagiakan manusia secara bersama-sama di sebuah dunia yang tak peduli akan akhirat? Apa kebahagiaan bagi aku dan Tuan? Apa yang bukan? Jawab untuk itu, konon, akan bisa ditemukan jika ada nilainilai yang jadi fondasi sebuah kebersamaan. Tapi setelah Revo­lusi Prancis, setelah modernitas dan Entzauberung, politik berlangsung dalam kondisi ”pasca-fondasional”. Tak ada konsepsi meta­ fisik­ tentang apa yang ”bajik” dan apa yang ”buruk”. Yang ada ha­nya undang-undang, dan kita tahu: undang-undang lahir dari perundingan yang tak selamanya bersih. Tapi apa daya? De-kristen-isasi telah terjadi, kata Debray, tapi malangnya tak disertai pulihnya kembali makna. Keseimbangan antara hak dan kewajiban tak ditegakkan lagi—dan di sini saya kira Debray ingin berbicara tentang hilangnya ”otoritas”. Seperti yang pernah dibicarakan Hannah Arendt, itu ber­arti hilangnya wibawa yang mampu mempengaruhi perilaku dalam polis atau ”madinah” kita, tanpa memaksa, tanpa kekerasan. Maka Debray pun bicara tentang ”yang suci”, le sacré, suatu transendensi yang menjaga agar sebuah bangunan sosial tak runtuh. Tapi dengan caranya sendiri. Ia berbicara tentang ”suatu liang di dasar”, ”suatu ketidakhadiran fundamental”. Dengan agak dramatik ia katakan, ”Orang berbaris ke Taman Firdaus atau orang datang dari surga yang hilang.” Dan dari surga yang hilang itu, dari la läicité itu, memang ada rasa cemas. Tapi itu juga ”tenaga pendorong kita”. Dari sinilah ”yang suci” diimbau. Ia terasa hadir dalam kesetiaan manusia kepada sesuatu (bagi Debray: tanah air), yang bisa menyebabkan ia berani mati, juga ketika Tuhan tak diakui. Dari sini kita tahu kenapa Debray menyebut sekolah sebagai sebuah sanctuaire, wilayah damai tempat orang berlindung. Sekolah bukan sebuah tempat umum. Seperti tiap komunitas, seperti halnya gereja atau kuil, sekolah juga memerlukan ”ambang” (les seuils). Catatan Pinggir 7



145



PRANCIS



Bila ke masjid orang menanggalkan sepatu, ”kenapa tak begitu halnya dengan jilbab ketika memasuki sekolah?” Pertanyaan yang bagus. Tapi ada yang belum dijawab Debray: benarkah anak-anak muslimah itu datang ke sekolah untuk berlindung? Ataukah untuk mendapatkan sesuatu yang kelak membuat mereka tak perlu proteksi, dengan atau tanpa­ yang ”suci”? Dan bila pun mereka datang berlindung, tak mungkinkah itu karena mereka takut cedera oleh ketidak­bebas­an dan intoleransi, yang jangan-jangan datang dari mere­ka yang mempersucikan la patrie?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 29 Februari 2004



146



Catatan Pinggir 7



GRONDSLAG



http://facebook.com/indonesiapustaka



J



AKARTA, menjelang pertengahan 1945, tiga bulan sebelum­ bom atom jatuh di Hiroshima. Sekitar 80 orang hadir di sebuah pertemuan 10 hari. Di antara mereka tak ada buruh atau peladang, orang dari pesantren atau masyarakat adat, dan hampir tak ada perempuan. Tapi ke-80 orang itu bukan orang yang jauh dari orang ramai. Selama belasan tahun, mereka pernah aktif sebagai ”orang perg­e­ rak­an” dan bertemu dengan pelbagai lapisan rakyat, atau jadi pejabat, atau ikut aksi untuk kemerdekaan lewat partai dan perhimpunan. Di antara mereka, ada Sukarno dan Hatta, yang telah jadi buah bibir sebagai ”Bung Karno” dan ”Bung Hatta”. Hari-hari itu, tugas mereka—diberikan oleh penguasa Jepang di Jakarta waktu itu, yang tahu Dai Nippon akan kalah dan me­ re­ka harus meninggalkan kepulauan ini—adalah menyiapkan la­hirnya sebuah ”Indonesia” yang ”merdeka”. Tapi apa yang disebut ”Indonesia”? Bagaimana keadaan ”merdeka” itu? Jawab masih kabur. Masih banyak pengertian pokok yang ha­ nya diangankan—dalam arti dikehendaki, dirancang-bentuk,­ tapi disadari atau tidak, hasilnya hanya punya dasar yang tentatif. Dengan itu mereka berunding. Rapat berlangsung di Gedung Tyuuoo Sangi-In, tak jauh dari Stasiun Gambir. ”Kita harus­mencari persetujuan paham,” kata mereka, seperti kemudian ditirukan Bung Karno. Maka, pada tanggal 1 Juni, Bung Karno, salah seorang ang­go­ ta­sidang, berbicara tentang perlunya sebuah philosophische grond­ slag. ”Negara Indonesia” yang sedang disiapkan itu butuh sebuah ”dasar filsafat”. Sebab bagi Bung Karno sebuah republik­tak bisa didirikan ”dengan isi seadanya saja.” Banyak negeri, katanya, ”berdiri di atas suatu Weltanschauung.” Catatan Pinggir 7



147



http://facebook.com/indonesiapustaka



GRONDSLAG



Ia sebutkan contoh lima negeri dan lima ”pandangan dunia”.­ Uni Soviet: Marxisme-Leninisme; Jerman di bawah Hitler: Nazi­ isme; Jepang: Tennoo Koodoo Seishin; Arab Saudi: Islam; Cina: gagasan Sun Yat Sen dalam ”tiga asas” atau San Min Chu I. Dari tesis inilah Bung Karno pun merangkai ”Pancasila”. Menarik bahwa tak seorang pun waktu itu yang bertanya kenapa grondslag begitu penting. Memang, ”persetujuan paham” perlu ada di sebuah negeri dengan isi yang majemuk. Tapi bukankah ”persetujuan paham” bisa dicapai tanpa sebuah ”filsafat” yang mendasari kehidupan bersama? Tidakkah lebih musta­jab bila se­buah negara punya aturan yang memadai buat membe­reskan sengketa dan menjaga kesepakatan? Dengan kata lain: bu­kankah lebih penting hukum positif ketimbang Weltanschauung?­Jangan lupa: Swiss dan Brasilia—yang begitu plural penduduknya—tak punya satu ”filsafat dasar”, tapi kedua­nya tak pernah pecah. Tapi orang terpesona kepada pidato Bung Karno. Mereka kemudian menjadikannya sebagai Lahirnya Pancasila, sebuah canon­ pemikiran politik Indonesia. Dan orang bertepuk buat grondslag. Pada masa itu mereka memang biasa mendengarkan semboyan ”Asia untuk bangsa Asia”, dan ingin menampik modernitas yang gemuruh dari ”Eropa”. Bagi mereka, ”Barat” adalah kehampaan. Di sana telah hilang pegangan, telah runtuh ”metanarasi” yang bisa memberi makna yang dihayati bersama, ”telah mati Tuhan”. Sanusi Pane, penyair yang memuja Hindia dan bersedia bekerja untuk kantor propaganda Jepang itu, melihat ”Barat” sebagai ”nihilisme”. Cemas itu memang bergema luas, juga di ”Barat” sendiri. Da­ niel Bell mencatatnya dalam The Cultural Contradictions of Ca­ pital­ism: itulah, ia berkata, salah satu problem modernitas dan sekularisasi. ”Tuhan telah mati,” kata Bell, berarti ”pertalian so­ sial­telah putus” dan ”masyarakat telah mati.” Memang seharusnya Tuhan tak patut dianggap hanya sebagai 148



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



GRONDSLAG



sang penyangga nilai-nilai. Tapi manusia perlu jawab bagaimana menemui ajal, mengerti tragedi, memaknai cinta, menanggung ke­wajiban. Sebuah kebersamaan selalu membutuhkan ”budaya”, bukan hanya teknik dan teknologi. Agaknya itulah sebabnya orang menyambut grondslag. Se­ bagai­mana orang terpikat tulisan Mao atau terpukau pemikiran Sayyid Qutb: ada hasrat mengembalikan ”fondasi”­ke kehidupan politik. Tuah dan mukjizat Kata telah surut dari dunia. Bersama­ an dengan itu, acuan normatif tentang apa yang baik dan buruk, penilaian estetik tentang yang indah dan jelek, dan persoalan kognitif tentang yang benar dan salah telah berkembang di pe­ nge­tahuan yang terpisah-pisah—sebuah gejala modernitas, kata Max Weber. Dalam kondisi itu, betapa bisa sebuah masyarakat ber­gerak bersama, tanpa dilecut kekuasaan? Ternyata tak gampang memecahkan soal ini. Membuat sebuah grondslag yang bertuah dan bermakna bagi jutaan orang pada akhirnya merupakan ikhtiar besar ”penyembuhan”. Panca­ sila­dan Maoisme disebarkan dengan indoktrinasi yang bertubitubi. Dalam hal ini Qutb punya kelebihan: ia bisa menyatakan bahwa grondslag yang ditawarkannya adalah ”Islam”. Agama ini telah menyangga manusia berabad-abad, dengan keyakin­an bahwa ia datang dari Tuhan. Namun pada akhirnya ide-ide Qutb—sebuah kritik kepada modernitas—juga harus bersua dengan kritik lain kepada modernitas. Gianni Vattimo, pemikir Italia itu, memperkenalkan makna il pensiero debole, ”pikir yang lemah”. Dengan itu kita bisa lebih rendah hati dan melihat bahwa ”semua adalah tafsir”. Juga apa yang dikemukakan Qutb sebagai ”Islam”. Tak berarti seluruh grondslag perlu dicopot. Apalagi dalam hal Pancasila, ada yang penting: ia sebuah grondslag dan sekali­gus juga perundingan—dan ini tak hanya berlangsung di Gedung Catatan Pinggir 7



149



GRONDSLAG



Tyuuoo Sangi-In itu. Di sebuah negeri yang sehat, semangat­kebangsaan tak akan pernah jadi mutlak bila ada semangat lain yang sah, yakni perikemanusiaan. Di sana kita bisa yakin kepada kebenaran Tuhan tanpa menghabisi semangat­demokrasi. Pancasila kini memang dilecehkan. Tapi mungkin karena per­nah mereka membuat Pancasila ”sakti” dan bukan sebuah negosiasi. Kita lupa: grondslag itu adalah proses manusia dengan il pensiero debole.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 7 Maret 2004



150



Catatan Pinggir 7



KARBALA



http://facebook.com/indonesiapustaka



K



ARBALA dan kematian—berapa kali lagi tragedi disebut dalam dua kata itu? Tiap kali terjadi pembunuhan di sana, kita bertanya, mungkin dengan suara yang tak bisa keras, apakah meneguhkan kekuasaan, ataukah sebaliknya? Pembantaian pertama tercatat lebih dari 1.300 tahun yang la­lu. Daulat Ummayah memperkukuh posisi politiknya seba­ gai­ pemegang kekhalifahan Islam dengan membunuh Husain, cucu Nabi, beserta para pengiringnya pada tahun 680. Sejak itu para pengikut yang kalah dan terserak-serak membentuk kekuat­ an dengan keyakinan sendiri, dan gerakan Syiah pun lahir. Dan Karbala, kota kecil di tengah Irak di dekat gurun pasir Suriah, pun jadi lambang pengorbanan dan kesedihan, ketahan­an dan harapan. Juga statemen perbedaan. Orang Syiah kemudian mendirikan masjid dan makam syuhada besarnya di kota itu. Tapi hampir 200 tahun kemudian,­ pada tahun 851, Khalif Al-Mutawakkil menghancurkannya. Orang Syiah dianiaya lagi. Kian lama kian tampak betapa iman dan kekuasaan saling menghalalkan. Jika Anda bertanya apa arti ”iman” di sini, jawabnya bergantung pada mereka yang bertindak atas nama ”iman” itu. Al-Mutawakkil, yang bertakhta pada tahun 847, oleh sejarah Syiah digambarkan sebagai ”tiran yang berdarah”. Ada diceritakan bagaimana khalif ini suka dihibur para badut yang mence­ mooh Ali ibn Thalib, menantu Nabi, tokoh yang dipuja­ orang Syi­ah di atas siapa pun selain Rasulullah. Tapi justru itu mungkin sang Khalif memandang dirinya sendiri sebagai orang yang tawakal—seperti tersirat dari namanya—atau penjaga akidah. Begitulah pasti ia ingin dikenang. Kini orang masih bisa me­ nyaksikan Masjid Al-Mutawakkil yang selesai didirikannya­ Catatan Pinggir 7



151



http://facebook.com/indonesiapustaka



KARBALA



pada tahun 852 di Samarra. Masjid terbesar di dunia Islam masa itu, seluas 239 x 156 meter persegi, juga sebuah karya arsitek­tur yang tampak tak ruwet tapi mempesona. Menaranya, dengan tubuh tambun dan pucuk setinggi 52 meter, tampak seperti spiral yang terbentuk dari tangga. Konon Al-Muta­wakkil sering menaiki tangga itu dengan mengendarai keledai putih dari Mesir— seakan-akan dalam perjalanan yang khidmat, tapi terhormat, mendekati Allah. Sebab ia merasa telah mendekati Allah dengan cara lain: seba­ gaimana ia membangun arsitektur besar dengan bentuk yang tak meliuk-liuk, ia juga ingin menyusun daulatnya secara lurus dan rapi. Sejarawan Al-Tabari mencatat bagaimana sang Khalif meng­atur ruang hidup di seantero negeri dengan garis yang tegas. Pa­da tahun 850, diletakkanlah batas yang terang yang memisahkan orang Kristen dan Yahudi dari orang Islam. Mereka harus ber­­­pa­kaian dengan warna tertentu, yakni warna madu. Mere­ ka­harus naik kuda dengan sanggurdi kayu, dan memasang dua kan­cing di topi. Mereka bukan saja tak boleh­jadi pegawai kerajaan, membuat makam yang lebih tinggi ketimbang makam muslimin pun dilarang. Meratakan, itulah agaknya garis besar desain yang dipakai. Gereja dan sinagoge yang didirikan setelah Islam datang harus­ dihancurkan. Sepersepuluh dari luas rumah orang Kristen dan Yahudi disita. Jika cukup luas, dijadikan masjid atau tempat umum. Tak boleh ada yang mencong—dan itu tak hanya mengenai­ bangunan dan kehidupan, tapi juga pemikiran. Maka Al-Muta­­ wakkil membungkam kaum Mu’tazilah—para pemikir yang bisa dikatakan sebagai pendahulu Aufklärung, ber­abad-abad sebelum Eropa merumuskan peran manusia seba­gai­makhluk pe­ nafsir yang mandiri. Bagi kaum Mu’tazilah, Quran adalah makh­luk. Kitab itu adalah ciptaan, dan sebab itu tak setara de152



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



KARBALA



ngan Tuhan sendiri. Bacaan ini memang mulia, tapi bukan sesu­ atu yang mahasuci dan abadi. Bagi kaum Mu’tazilah, tiap kali Quran datang kepada kita, ia datang melalui penafsiran kita atau orang lain—baik orang awam maupun para fuqaha yang pintar hukum agama. Betapapun indah­dan agungnya, Kalam Ilahi itu tetap diungkapkan dan di­terima­ dalam bahasa yang terikat ruang dan waktu. Dalam arti itu kaum Mu’tazilah meneguhkan keyakin­an­bahwa tak ada apa pun yang menyamai Tuhan. Juga boleh­dikatakan, mereka memandang kata dan tafsir mirip dengan­apa yang lebih dari 1.300 tahun kemudian diutarakan­kaum ”dekonstruksionis” dan lain-lain: bahwa bahasa bukanlah­ ibarat­ sebuah pipa lempang, sesuatu yang sepenuhnya trans­paran­ dan konsisten. Juga bahwa sang pembaca, atau pen­dengar,­lebih menentukan makna kata, apalagi ketika yang berkata-kata tak hadir di hadapannya. Maka Quran tak akan pernah tertutup di satu kesimpulan. Namun bagaimana seorang penguasa bisa menerima pikir­ an­macam ini? Bukankah dengan demikian tak ada hukum yang pasti? Dan tanpa kepastian dan ketunggalan, bagaimana kekuasaan akan bertopang dan masyarakat didisiplinkan? Memperkukuh diri dan mendisiplinkan memang hasrat lazim­ penguasa—apalagi yang merasa didukung ketentuan syariah. Bagi mereka ini, tiap Karbala harus dihancurkan: tiap statemen perbedaan, tiap lambang dari ”sana” yang meng­ingat­kan tragedi akibat kesewenang-wenangan dari ”sini”, harus dihapus. Apalagi Al-Mutawakkil punya preseden. Dua puluh tahun se­belumnya, kaum Mu’tazilah begitu percaya kepada kebenar­ an mereka sendiri, hingga Khalif Al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah yang yakin, memaklumkan paham ini sebagai doktrin resmi Daulat Ummayah. Orang tak boleh jadi saksi di mahkamah, apalagi jadi hakim, jika tak mau menerima prinsip bahwa Quran adalah makhluk. Catatan Pinggir 7



153



KARBALA



Pengganti Al-Ma’mun melanjutkan pemaksaan ini, dengan lebih keras. Syahdan, seorang alim, Ibn Hanbal namanya, sempat disiksa dan dipenjarakan. Tapi justru sebab itu ia dianggap orang ramai sebagai wali dan syuhada—yang tampil dengan­ ajar­an yang ketat tentang tafsir dan hukum, seakan sebuah anti­tesis bagi ”pencerahan” Mu’tazilah yang gagal. Sulit rupanya belajar dari Karbala: bahwa iman bisa dipergu­ nakan untuk mengukuhkan kekuasaan, tapi dari gurun pasir­ Mesopotamia sekalipun, iman juga bisa melahirkan sebuah ke­ kuatan tandingan. Dari tragedi, lahir sejarah lagi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 14 Maret 2004



154



Catatan Pinggir 7



AGAMA



P



ADA tahun 1930-an, penyair Amir Hamzah pergi ke Pu­ lau­Bali, bersua dengan seorang perempuan yang me­mu­ kaunya, dan menulis:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Hatiku yang terus hendak mengembara ini membawa daku ke tempat yang dikutuk oleh segala kitab suci di dunia, tapi engkau, ha­ ti­ku, berkitab sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain. Siapa akan menyangka baris-baris itu datang dari Amir Ham­ zah? Penyair ini, seorang aristokrat Melayu, kita kenal­ lewat­ puisinya yang intens tentang Tuhan dan himpunan terjemah­an­ nya yang seakan-akan tak menengok ke ”Barat”: Setanggi­Timur. Juga potretnya: pecinya rapi, parasnya alim dan bersih. Tak akan terduga bahwa Amir adalah sebuah keresah­an untuk ”terus hendak mengembara,” begitu binal, bandel, dan berontak. Tak ga­ mang memasuki tempat terkutuk. Tak sudi mendengarkan­”segala kitab suci.” Penyair yang menakjubkan biasanya memang penyair yang tak jinak. Horatius, penulis puisi liris terkemuka di Roma abad ke-7 sebelum Masehi, berseru, ”Sapere aude!” Beranilah menggu­ nakan pengertian sendiri! Puisi yang hanya mengulang kaji akan mati sebelum sampai. Bagi Horatius, pada awalnya adalah mandiri. Amir Hamzah hidup beratus tahun setelah itu, pada abad ke20 yang rusuh. Ia bagian dari modernitas. Ia manusia­dari masa tatkala kemandirian dinyatakan sebagai tanda ”Pencerah­an”. Tanda itu dicantumkan oleh Kant, ketika pemikir ter­masy­ hur­ ini menjawab pertanyaan berkala Berlinische Monatschrift pada bulan November 1784. Pencerahan, kata Kant, adalah pemCatatan Pinggir 7



155



http://facebook.com/indonesiapustaka



AGAMA



bebasan diri manusia dari selbst verschuldeten Unmündigkeit, dari ketergantungan pada bimbingan orang lain—ke­tidak­dewasaan yang ditumbuhkan manusia sendiri dalam diri­nya. Untuk jadi dewasa, sapere aude! Manusia ”Pencerahan” adalah manusia yang ”berkitab sendiri.” Para penulis sejarah Eropa kemudian mengaitkan zaman ”Pen­cerahan” dengan awal maraknya sekularisme, semangat yang menyambut sekularisasi kehidupan. Sekularisasi tentu tak hanya bertolak dari rumusan Kant. Pemikir ini memang­terkenal dengan thesisnya bahwa dalam diri manusia­sendiri­ada kapasitas untuk menyelesaikan masalah ethis, tanpa­ ”segala­ kitab suci di dunia.” Tapi Kant bukan orang yang memulai gairah modernitas. Di masanya, bintang tak lagi menentukan nasib, ikon Kristus tak lagi keramat, hantu habis, vampir tergusur, malaikat sirna. Tuhan tentu saja masih dipercaya, tapi Ia telah jadi sebuah konsep, misalnya sebagai ”Sebab Pertama dari Yang Pertama.” ”Gerhana Tuhan,” kata Martin Buber, telah mulai. Tentang sejarah yang seperti itulah lahir teori tentang ”sekularisasi”. Teori ini adalah teori tentang perubahan masyarakat. Menurut telaah Max Weber yang termasyhur, per­ubahan itu bermula ketika rasionalitas kian membentuk cara manusia melihat hidup dan mengambil keputusan. Masyarakat tak lagi hanya bersandar pada iman. Ajaran agama, dengan wibawa Tuhan sekalipun, tak selalu memadai untuk menyelesaikan soal hidup yang kian kompleks. Perang dan perdagang­an telah melahirkan pelba­ gai benda, teknik, keahlian, dan perilaku yang baru. Di tengah kompleksitas ini, elite keagamaan pun susut wi­ba­ wanya, ketika mereka tak sepenuhnya siap menjawab. Timbul­ lah lembaga dan lingkaran lain yang mandiri. Ilmu tak bisa lagi mengikuti doktrin Gereja, seni tak lagi hanya me­layani­ yang sakral, dan penilaian tentang yang ”jangan” dan yang ”harus” makin berjarak dari titah Tuhan, meskipun tak dengan sendiri­ 156



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



AGAMA



nya menampiknya. Matikah agama sejak itu? Akan lenyapkah pesonanya ketika manusia berani mengembara bahkan ke ”tempat yang dikutuk segala kitab”? Ada yang menjawab: pasti. Dekat ke pertengahan abad ke19 Auguste Comte menuliskan teorinya bahwa tiap masyarakat­ akan meninggalkan ”keadaan theologis” dan akhirnya masuk ke ”keadaan ilmiah dan positif”. Menjelang akhir abad ke-19 Marx dan Engels yakin revolusi sosial akan menghapuskan agama, ”candu” bagi kelas buruh itu. Di paruh kedua abad ke-20, Peter Berger memperkirakan pada abad ke-21 kehidupan sekuler akan begitu meluas, hingga orang beragama pun terpencil. Nasib si mukmin, katanya, akan seperti nasib ”seorang ahli astrologi dari Tibet yang tinggal di sebuah kampus di Amerika”: ganjil, mungkin menarik, dan bingung. Kini abad ke-21, dan kita tahu Berger dan lain-lain salah. Agama tak mati-mati. Teori sekularisasi secara telak telah terbantah. Teman saya, Luthfie Assyaukani, memberi saya sejumlah risalah yang kini menyesali teori itu. Rodney Stark, pakar­sosiologi agama itu, menyerukan agar ”doktrin sekularisasi” dikubur. Pada tahun 1997 Peter Berger sendiri mengakui kekeliruannya: ternyata dunia tak berubah jadi sekuler, ternyata agama tampil lebih lantang. Tapi jika teori sekularisasi mati, mati jugakah proses sekularisasi? Akan terhalaukah sekularisme, pandangan yang menjunjung surutnya peran agama dalam kehidupan sosial? Saya kira tidak; ia hanya berubah kulit, atau muncul di sela-sela retakan sosial zaman ini. Dalam sebuah esai pada tahun 1980, From Secu­ larity to World Religions, Berger menunjukkan dina­mika lain di masa kini: pluralisme. ”Kepastian subyektif” (subjective certainty)­ dalam beragama tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Dunia kini bak sebuah bazar. Ada pelba­ Catatan Pinggir 7



157



AGAMA



gai ekspresi iman, aneka agama, dan masing-masing bisa tampak bagaikan ”satu intan dua cahaya,” untuk memakai kiasan Amir Hamzah di sajak lain. Yang ada bukan sepasukan ”jahiliah” yang utuh menghadapi sepasukan ”mukminin” yang tunggal. Keretakan, atau beda, di mana-mana tampak. Meskipun orang me­ nga­takan kini kita hidup di masa ”pasca-sekuler”, agama tetap tak mampu sepenuhnya membentuk tafsir kita tentang dunia. Apa boleh buat. Sudah agak lama bermacam ragam Amir Hamzah mengembara, menjajal wilayah asing, bertanya, dan ber­bisik kepada Tuhan (Tuhan yang tak bisa lagi memaksakan Kata-Nya): Mangsa aku dalam cakar-Mu, bertukar tangkap de­ ngan lepas....



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 21 Maret 2004



158



Catatan Pinggir 7



HIPERBORIA



http://facebook.com/indonesiapustaka



P



ADA hari-hari pemilihan umum, politik seakan-akan ha­­nya­ sebuah kerinduan mendapatkan pemimpin. Di­ sa­dari­ atau tidak, dalam gambar tokoh yang dipasang, da­lam percakapan tentang ”siapa” (dan bukan ”apa”) yang akan menang, ada sesuatu yang purba: sesuatu yang datang dari sebuah zaman ketika raja dan brahmana dianggap punya­ kemampu­an agung untuk membuat sebuah negeri menjadi ”panjang punjung”, luas dan luhur, bak deskripsi para dalang wayang kulit. Lebih tua dari lukisan para dalang Jawa adalah paradigma Platonis tentang negeri atau polis yang ideal—konon diilhami­oleh kerajaan Mesir purba—tentang perlunya ”filosof-raja”, pandhita-­ ratu, memimpin masyarakat. Saya tak tahu sejauh mana pada masa silam itu orang membaca Republik karya Plato, tapi ber­ abad-abad lamanya jarak antara ”raja” dan ”Tuhan” sangat dekat, seakan-akan baginda yang bertakhta itu juga mendapatkan kearifan dari surga. Seakan-akan tak sembarang orang bisa duduk di puncak, sebab hak itu datang dari Ilahi. Agaknya mithos memang harus dibangun untuk melupakan­ kemungkinan bahwa kekuasaan sebenarnya datang secara kasar, dari ujung pedang. Pada abad ke-20, Mao Zedong, seorang Marxis, membongkar mithos itu dengan mengatakan bahwa kekuasaan lahir dari laras bedil. Mao memang menandai sebuah zaman runtuhnya ideologi­ yang mempercayai bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang alami­ ah. Demokrasi telah datang. Isyarat pertama yang dramatis adalah sebuah adegan di Whitehall, London, 30 Januari 1649: hari itu Raja Charles dipenggal oleh kekuatan yang dikerahkan Parlemen untuk melawan, dipimpin oleh Oliver Cromwell. Lebih­ termasyhur lagi ke seluruh dunia tentu saja dari Revolusi PranCatatan Pinggir 7



159



http://facebook.com/indonesiapustaka



HIPERBORIA



cis, ketika Louis XVI ditebas lehernya pada 21 Januari 1793 oleh kaum revolusioner. Simbol itu bisa dibaca lebih jauh: sang kepala dilenyapkan. Tinggal badan, lengan yang menanam padi dan gandum, tangan­ yang menembakkan panah dalam perburuan, kaki yang menempuh jalan dan menyeberangi sungai .... Meskipun demikian, politik ternyata tak berhenti-henti me­ rindukan kepala. Kekuasaan Cromwell nyaris dikukuhkan sebagai kerajaan. Ia menolak. Tapi setelah ia meninggal pada 1658, Inggris kembali menjadi kerajaan. Tak jauh berbeda dari itu adalah Prancis: Napoleon, seorang opsir yang pintar, akhir­ nya­jadi Maharaja, dan revolusi yang bersemboyan ”kebebasan, kesetaraan, persaudaraan” dikhianati. Konon mendengar kabar itu, Beethoven, yang baru selesai menggubah karya musik untuk sang opsir revolusi, merobek-robek komposisi yang baru dicipta­ kannya. Beethoven boleh marah, tapi tampaknya ada kecenderung­an yang laten dalam diri manusia yang memasang ”kepala” sebagai pangkal dari segalanya. Angan-angan ini juga jadi bagian sentral dalam buah pikiran modern. ”Kepala” di dalam pengertian ini sama dengan ”subyek” yang kukuh dan utuh, serba tahu, pasti de­ngan satu hal: dirinya sendiri. Cogito, ergo sum. Saya agak terkejut ketika mengetahui bahwa bahkan pikir­an seperti itu juga terkandung dalam pemikiran Lenin yang atheis di satu sisi dan di dalam pemikiran Sayyid Qutb yang islamis­di sisi lain. Bagi pemikiran Lenin (dalam risalah pendeknya, Apa yang Mesti Dilakukan?), revolusi tak akan datang secara spontan. Proletariat—tangan yang memutar roda mesin dan memalu besi—harus digerakkan oleh kepala yang ”sadar” akan dirinya,­persisnya oleh Partai yang dipimpin oleh kaum revolusioner profesional.­ Bagi Qutb, seperti ditulisnya dalam Ma’alim fi’ l Tariq (”Tonggak160



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



HIPERBORIA



Tonggak Perjalanan”), perjalanan menuju­masyarakat yang islami harus dirintis dan dijaga oleh para ”pelopor”, yang tahu tonggak-tonggak sepanjang jalan menuju tujuan. Ia harus ”mengenali tempat awal, sifat dasar, tanggung jawab, dan tujuan terakhir perjalanan panjang ini.” Dengan kata lain, ”sadar” dan ”mengetahui” adalah pokok. Te­ori jadi pangkal dan praksis hanya menurutinya. Seakan-akan­ ”aku berpikir, maka aku ada” tak pernah bisa dikalahkan dengan argumen bahwa ”aku ada, maka aku berpikir.” Seakan-­akan­ subyek (yang berpikir itu) menentukan ”ada”, mem­bentuk­ dan meng­­ubah dunia yang di luar. Seakan-akan ”me­nge­­tahui” begitu menentukan hingga tak perlu dihiraukan ada ”dunia-kehidup­ an”, Lebenswelt, yang acap kali tak terumuskan. Persoalannya, ”dunia-kehidupan” itu begitu centang-perenang: ada alam yang tak dapat diduga, ada tubuh yang punya­ naf­su, ada bawah-sadar, ada emosi yang berubah-ubah, ada perbedaan yang tak tepermanai, ada pergantian yang meng­alir terus. Khaos, kata Nietzsche dengan bersemangat—”ada” adalah ”khaos”. Dunia, kata Nietzsche, adalah ”sebuah mons­ter energi, tanpa awal dan tanpa akhir.” Politik tampaknya tak akan dapat berlangsung, untuk menghasilkan kemaslahatan bersama, jika manusia bertolak dari ”monster energi” ini. Diperlukan kendali atas khaos, di­butuh­kan skematisasi terhadap Lebenswelt yang centang-perenang. Itu sebabnya bahkan Nietzsche sendiri menawarkan satu paradigma­mirip Plato: ”manusia Hiperboria”. Manusia jenis ini sekaligus pemikir dan pembuat undang-undang. ”Filosof sejati adalah panglima dan legislator,” katanya dengan gagah. Mereka akan menentukan ”Ke Mana” dan ”Untuk Apa” manusia. Dengan ”kehendak untuk berkuasa”, dunia akan dapat ditata. Tapi tidakkah dengan ”subyek” yang begitu kuat berniat­— ”manusia Hiperboria” Nietzsche, kaum ”revolusioner” Lenin, Catatan Pinggir 7



161



HIPERBORIA



para ”pelopor” Qutb—politik akan melahirkan harap­an yang terlalu melambung? Tidakkah Tuhan seakan-akan telah digantikan peran-Nya dalam menentukan nasib? Sejarah menunjukkan bahwa politik yang hanya mencari pemimpin, mengandalkan ”subyek” yang seakan-akan utuh, akan ber­akhir­dengan harapan yang guncang. Mungkin ada cara lain melihat: politik adalah se­ su­atu yang perlu tapi sayu: satu proses bersaing dan berunding, untuk mengatasi kekecewaan sejarah.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 28 Maret 2004



162



Catatan Pinggir 7



LA MEZQUITA Cordoba, sayup-sayup sampai —Federico Garcia Lorca



http://facebook.com/indonesiapustaka



P



ADA suatu hari di tahun 1152, Ibn Rushd dipanggil menghadap Amir Abu Yaqub Yusuf di Marrakesh, ibu kota Maroko waktu itu. Ia tak tahu kenapa. Ketika itu umurnya baru 27. Tapi ia memang istimewa: ia lahir serta tumbuh di Cordoba, pusat kecerdasan di Eropa pada abad ke-12, dan ia dibesarkan di keluarga yang terpelajar.... Maka ke Marrakesh ia datang. Di ruang dalam istana, di­lihat­ nya Baginda sedang berdua dengan Ibn Tufail, filosof dan penga­ rang Hayy ibn Yaqzan, sebuah fiksi alegoris yang ber­abad-abad kemudian dianggap mengilhami Robinson Crusoe. Ibn Tufail juga gurunya di bidang filsafat. Hari itu rupanya dia ingin memperkenalkan Ibn Rushd. Tak disangka, sang Amir memulai perkenalan dengan ber­ta­ nya,­”Bagaimana pendapat para filosof tentang surga? Abadikah, dan adakah awalnya?” Ibn Rushd terenyak. ”Aku tercekam rasa takut,” katanya me­ nge­nang, ”Aku bingung.” Mungkin sadar ia membuat gentar pemuda itu, Baginda pun berpaling ke Ibn Tufail. Segera diskusi berkembang, dengan ku­ tip­an yang tangkas dari karya Plato, Aristoteles, dan para pakar­ theologi muslim. Ibn Rushd merasa betah. Apalagi sang Amir me­ngagumi kecerdasannya. Abu Yaqub pula yang kemudian mengangkatnya jadi dokter istana. Dari sini disusunnya sebuah ensiklopedia, Kitab Al-Kulliyat fi-l­­-­tibb, yang kemudian, dalam versi Latin, berpengaruh di sekolah kedokteran di seluruh Eropa. Ia memperkenalkan fungsi reti­ Catatan Pinggir 7



163



http://facebook.com/indonesiapustaka



LA MEZQUITA



na. Ia tunjukkan bahwa pasien jadi kebal bila sembuh dari cacar—satu kesimpulan yang sampai kini berguna untuk imunisasi. Tapi ia juga mendapat tugas yang—meskipun kemudian­ membuat namanya dikenang—amat tak gampang: menulis­taf­ sir karya Aristoteles. Bagaimana filsafat seorang Yunani yang tak bertuhan bisa bertemu dengan kaidah agama pada abad ke-12? Soal ini merupakan tema pokok ketegangan pemikiran zaman itu, ketika tafsir Ibn Rushd bergema di pusat-pusat kajian di Eropa: filsafat terbentur akidah. Ibn Rushd sebenarnya mencoba menemukan jalan tengah. Ta­pi ia hanya berhasil dalam buku. Di kancah kekuasaan ia gagal. Ketika Abu Yaqub digantikan Al-Mansur pada tahun 1184, ia tersisih. Ia dibuang ke Lucena. Begitu banyak tuduhan ia telah lepas dari ajaran Islam. Di Sevilla buku-buku filsafat­nya dibakar. Hanya yang mengenai kedokteran dibebaskan. Sudah sejak itu agaknya berlaku anggapan bahwa ilmu ber­ada di kategori yang jauh dari filsafat. Memang, ilmu menghadapi problem seperti pisau menghadapi buah: mengupas,­membelah, dan mengurai, sedangkan filsafat bergulat di dalam masalah seperti seseorang yang terjun ke dalam jeram. Tapi ada yang mempersamakan keduanya—dan itu sebabnya Ibnu Rushd seorang ilmuwan besar: ia berani meletakkan keyakinan dan praduganya­ sendiri di dalam kurung, untuk sementara atau selamanya. Di tiap tahap ilmu, di tiap saat filsafat, meragukan dan bertanya adalah niscaya. Bukan untuk mengada-ada. Yang bertanya tentang tubuh dan penyakitnya akhirnya toh akan tersangkut ke masalah roh dan jasad. Yang bertanya abadi atau tidaknya surga mau tak mau akan terlibat dalam masalah bagaimana manusia harus bersikap. Jika surga tak kekal, apa sebenarnya makna pahala? Apa pula arti dosa? 164



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



LA MEZQUITA



Pertanyaan macam itu tak selalu bisa dihalau, bahkan dari masjid sekalipun. Siapa yang mencegahnya akan mirip seorang juru mudi yang ngeri ketika biduknya terguncang topan, tapi memilih tidur. Tidur, mungkin mimpi. Sampai kapan? Ketika kepada orang dianjurkan ”carilah­ilmu bahkan sampai ke Negeri Cina,” ketika itu pula ada asumsi bahwa­ ada yang ”baik” di sebuah negeri yang begitu jauh dan begitu berbeda. Tapi kenapa ”baik”? Apa arti ”baik”? Menolak untuk memasuki renungan tentang itu sama halnya dengan menampik untuk mencari ilmu. Sebab ilmu dimulai dari pertanyaan dan berlanjut dalam petualangan. Sampai ke Negeri Cina sekalipun. Tapi di Sevilla, buku Ibn Rushd dibakar, filsafat ditakuti.­ Sampai sekarang pun pembakaran itu belum usai agaknya. Sayyid­Qutb, yang menghasratkan Islam kembali berkibar di bidang ilmu, mencegah orang memasuki filsafat—dan tentu saja lupa bahwa di Cordoba dulu orang akan mengabaikan sikap yang demikian. Tapi Cordoba tak selamanya bersinar. Pada tahun 1236, Ferdinand III merebutnya dan menjadikannya bagian dari Spanyol yang Katolik. Sebuah benteng diubah jadi kantor Inkuisisi Gereja yang ganas: dari sinilah diputuskan orang dihukum bakar bila imannya dicurigai ”cemar”. Yang tak murni, yang ”asing”, dibasmi. Pernah saya berkunjung ke bangunan-bangunan tua di tepi Sungai Guadalquivir itu. Seperti laiknya turis, saya masuk ke la mezquita, masjid besar yang mulai didirikan pada abad ke-8 itu. Sejak 1236, ia tentu saja sudah berubah jadi katedral. Kuno tapi kekar (100 tahun lebih tua ketimbang Borobudur), impresif tapi murung, di dalamnya ratusan tiang berjajar bagaikan pohon hutan, menyangga lengkung merah pualam. Tapi agak ke tengah, barisan itu tiba-tiba terhenti. Ada ruang yang di­bangun­ untuk ambulatori dengan atap kubah. Catatan Pinggir 7



165



LA MEZQUITA



Sedikit tergetar saya melihat itu. Sesuatu telah dipatahkan. Di sebuah sisi masih tampak bekas mihrab, dengan tepi yang bertatahkan kaligrafi Arab: barisan renik kalimat syahadat. Lebih separuhnya telah dibusak, lenyap. Tak jauh dari sana: patung Kristus. Kekerasan telah terjadi di sini, pasti: keindahan dan iman yang lama dihapus oleh keyakinan baru. Tapi bukankah yang dilakukan Ferdinand III terhadap masjid Cordoba tak berbeda­dengan yang dilakukan Amir al-Mansur yang membakar karya filsafat di Sevilla? Hanya kuasa dan iman yang tegar yang tega berbuat demi­ kian: yang tak sama dengan dirinya, biarpun indah dan ber­arti, harus ditiadakan. Yang renik dan kompleks, biarpun memukau, bisa mengganggu kesalihan yang lurus. Mereka harus dibabat. Sejak itu Cordoba senyap. Dan kita yang datang dari jauh tahu: tak akan sampai kita ke Cordoba yang dahulu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 4 April 2004



166



Catatan Pinggir 7



PASSION



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



ARAH di mana-mana. Jangat itu, di bagian pinggang, koyak-koyak oleh pukulan cambuk bertembilang. Se­ pasang mata itu hampir tertutup oleh cairan kental dari luka. Kedua telapak tangan itu memuncratkan darah ketika dipantek dengan paku besi pada kayu salib .... Begitukah sengsara Yesus seharusnya ditampilkan? Saya menonton The Passion of the Christ di sebuah gedung bioskop yang khidmat tanpa mengunyah brondong jagung. Saya menyaksikan sebuah pornografi penyiksaan. Pornografi adalah suatu bentuk ekspresi yang menerobos apa yang selama ini tak dianggap pantas: menggambarkan tubuh ma­ nusia dengan maksud menimbulkan rangsangan yang opti­mal. Sebab itu, dalam pornografi, bagian badan manusia diurai­ dengan bergairah, dan detail sama pentingnya dengan totalitas­— sebuah totalitas yang hampir sepenuhnya tampak sebagai sebuah peristiwa badan. Dalam The Passion of the Christ, film karya Mel Gibson itu, apa yang selama ini tak lazim justru dibentangkan dengan berse­ mangat di layar putih. Film ini menerobos tabu dalam hal ini. Tradisi gambar klasik penyaliban umumnya terasa bersih—se­ akan-­akan bersih berarti suci—hampir selalu tampak tanpa darah, tanpa gerak. Pada ikon-ikon kuno terasa sikap orang Kristen lama yang menganggap penyaliban lebih sebagai perjalanan rohani menuju kemenangan. Satu kekecualian yang tak terdugaduga tampak pada karya Hans Holbein Muda dari tahun 1521: tubuh Yesus terbaring kurus, luka, sendirian, dengan mata masih terbuka kesakitan—sebuah gambaran ke­sengsara­an badan yang begitu mencekam hingga Dostoyewski, dalam novel terkenalnya, Idiot, menyebut lukisan itu seba­gai sesuatu yang bisa menggunCatatan Pinggir 7



167



http://facebook.com/indonesiapustaka



PASSION



cangkan iman. Tapi bahkan karya Holbein tak menampilkan jasad yang ber­ lumur darah, dan luka itu menakutkan justru karena seperti membisu. Karya yang lebih modern juga tak hendak memekikkan­apa yang memang brutal dalam tiap penyaliban. Kanvas Rouault dari tahun 1930-an tentang sengsara Kristus, misalnya, berhasil menampilkan suasana misterius dan muram—dengan penggunaan teknik ”impasto” dan garis luar yang tebal—tapi tak terasa ada tubuh di sana; yang hadir hampir sepenuhnya puisi spiritual. Seakan-akan di kalangan Kristen masih berlaku kata-kata­ Goethe: ”Kita tutupi dengan cadar penderitaan Kristus, semata-­ mata karena kita menghormatinya begitu dalam.” Tapi pada tahun 2004, Mel Gibson merobek cadar itu. Apa yang pernah digambarkan satu naskah kuno Gereja Syria­tak terdapat lagi di dalam The Passion of the Christ-nya: ”Hari menjadi gelap sebab mereka sedang membantai Tuhan, yang ditelanjangi di atas pohon.” Golgotha dalam film Gibson penuh dengan closeup di bawah sinar matahari. Ia ingin agar gambaran yang dicapai­ nya ”realistis” dalam memaparkan kesakitan Yesus—dan ”realistis”, dalam tradisi Hollywood, adalah sesuatu yang terang bende­ rang, dapat dilihat dengan mata telanjang. Tapi sebagaimana ”realisme” iklan, tak ada yang datar di sini. Yang lebih terasa bukanlah ”realisme” sehari-hari, sebab tampak be­nar hasrat untuk memukau, meyakinkan. Salah satu adegan yang paling brutal dalam film ini—lebih brutal dari film Si Pi­ tung, yang pada satu saat menggambarkan mata yang dicongkel dengan satu pukulan silat—adalah pemaparan panjang ketika Yesus diikat di sebuah tonggak dan dihajar oleh dua aljogo Roma­ wi dengan pecut kayu dan cambuk yang ujungnya bertembilang­ besi. Daging di pinggang kelihatan terkelupas dalam darah, te­ renggut. Yesus mengaduh. Kedua penyiksa itu tertawa puas: sadisme dalam bentuknya yang paling­terbuka. 168



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



PASSION



Saya bukan orang Kristen, dan saya tak merasa memperoleh apa pun dari sensasi itu. Dari The Passion of the Christ saya tak bisa mendapatkan pengertian, kenapa—setelah hukuman yang luar biasa bengisnya itu—dosa manusia menjadi tertebus. Saya lebih cenderung memahami pendapat René Girard ketika ia mengemukakan bahwa kepercayaan tentang upacara korban sebagai jalan agar manusia selamat adalah justru sebuah kepercayaan praKristen. Bukankah itu juga yang diyakini pada masa Inca purba, ketika mereka menyembelih korban manusia ke hadapan dewadewa? Bagi Girard, cerita kesengsaraan Yesus justru perubahan radikal dari keyakinan seperti itu. Passio Christi adalah awal sebuah era ketika sejarah manusia tak dilihat dari kacamata mereka yang menang dan selamat, melainkan dari ia yang disiksa: para budak yang membangun piramida, kaum jelata yang menjalani rodi bagi jalan Daendels pada abad ke-19 di Jawa, para tahanan yang tak bersalah yang menyebabkan sebuah masyarakat ”aman dan terkendali”. Mungkin itu sebenarnya yang bisa dicapai oleh The Passion of the Christ. Film dimulai dengan adegan malam di Kebun Gethsemani: Yesus dalam keadaan ketakutan, berdoa sendiri­an dalam gelap, karena ia tahu nasib apa yang menantinya. Ia mencoba menolak nasib itu: ia memohon kepada Tuhan agar ia dibebaskan dari tugas. Tuhan tak berkenan, sebagaimana Tuhan tak mele­ pasnya dari salib. Namun jika semua ini iradat Tuhan, haruskah via dolorosa­itu, jalan kesengsaraan itu, tak putus-putusnya penuh kekejam­­an? Film Mel Gibson pada akhirnya terasa sebagai sebuah hi­per­bol. Semuanya dilebih-lebihkan, sampai tingkat yang me­ragu­kan: kenapa Yesus, seseorang yang dihukum bukan karena­ berbuat kejam, diperlakukan jauh lebih sadistis ketimbang para penjahat yang juga disalibkan bersamanya di siang hari itu? Dalam film Mel Gibson, tubuh para bajingan itu tampak tak bergelimang daCatatan Pinggir 7



169



PASSION



rah tak terbalut debu, tak ada tanda mereka telah didera sebelum dikirim ke Golgotha. Hiperbol memang diperlukan, tapi jika efek yang diharapkan terjadi. Di sekitar kesengsaraan yang luar biasa itu, tak tera­sa­­ oleh saya sesuatu bergetar—ada orang ramai, ada beberapa sosok orang yang jatuh hati, tapi The Passion of the Christ sedikit sekali mengantar kita kepada cerita lain dari Yesus: bagaimana laku yang begitu menggugah, yang dirumuskan dengan satu kata, ”Cinta”, lebih besar ketimbang ”Sakit”.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 11 April 2004



170



Catatan Pinggir 7



IMAM (2)



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



EANDAINYA sebuah komunitas ibarat sebuah kabilah, seorang pemimpin yang teguh memang diperlukan. Sebuah kabilah yang bergerak dari tempat ke tempat memerlukan arah yang jelas, patokan dan panutan tertentu, sehingga tak tercerai-berai. Tapi persoalannya: tepatkah ibarat itu? Tepat—jika kita berbicara tentang sehimpun puak di gurun pasir, yang hidup di ruang yang seakan-akan kosong, begitu luas, begitu tunggal, sehingga, seperti dirangkul langit, ia seolah­-olah tak pernah disentuh oleh sejarah. Tapi kita tahu tak semua komunitas manusia seperti itu. Ada yang menetap dan kepergok dengan kota-kota yang riuh, ada yang tinggal di bawah gunung berapi yang tak menentu dan su­ ngai­deras yang berkelok. Dengan kata lain, tak semua orang bisa membayangkan komunitasnya sebagai ”kabilah” yang berjalan di sebuah gurun. Bah­kan kiasan ”kabilah”, yang mendasari pemikiran politik Islam pada abad-abad pertama setelah Nabi, sebenarnya tak persis­ bisa berlaku lagi ketika kehidupan puak yang berasal dari masya­ rakat Arabia utara itu berubah menjadi kehidupan ”negeri”, bahkan ”imperium”. Islam akhirnya toh mengambil tempat di tamas­ ya­yang tak lagi mempunyai keangkeran tunggal padang pasir. Memang buat sekitar dua abad setelah Islam tegak membentuk sebuah komunitas di Yathrib (”Madinah”), masih do­minan ”pemikiran politik” dengan ”tradisi kesukuan” itu. Nabi Muhammad sebenarnya berhasil mengatasi itu. Tapi ada ciri yang berlanjut. Patricia Crone, dalam God’s Rule (diterbitkan oleh Columbia University Press tahun ini), dengan cukup lengkap me­ nu­lis sejarah pemikiran politik Islam selama enam abad pertama­ atau masa ”Tengah” (medieval) itu. Ia menyebut­ satu ciri yang Catatan Pinggir 7



171



http://facebook.com/indonesiapustaka



IMAM (2)



utama: bagi tradisi ini, di dalam diri seorang imam bisa ditemu­ kan sekaligus kebenaran dan kekuasaan. Dalam dirinya, yang religius dan yang politis bertaut. Imam inilah yang memberi wujud legal kepada umat. Imam itu pula yang menunjukkan jalan ”ka­ bilah”. Teladannya adalah Musa, pemimpin orang Yahudi yang mem­bimbing mereka dengan hukum dan petunjuk ke tanah yang dijanjikan. Musa adalah ”nabi paradigmatik dalam Quran,” kata Crone, dan Muhammad, disadari atau tidak, adalah ”Musa baru”. Sebab itu seorang imam bukan saja ada di depan; ia juga ada di awal. ”Tanpa dia,” tulis Crone, ”tak ada kabilah, hanya para pejalan yang tercerai-berai.” Seorang imam adalah ”seseorang yang harus ditiru.” Dalam pemikiran zaman itu, seorang imam berbeda dengan seorang malik. Dalam tradisi suku-suku Arab, sebagai­mana juga dalam sejarah bangsa Yahudi yang direkam Perjanji­an Lama, ada kecurigaan besar terhadap posisi kepemimpinan seorang raja. Crone mengutip seorang penyair pra-Islam yang dengan bangga­ ingin bercerita tentang ”hari yang panjang dan berjaya ketika kami memberontak raja-raja dan tak hendak mengabdi kepada mereka.” Dalam khazanah Islam, sikap yang tak serta-merta mempercayai ”raja” itu berlanjut. Dalam Surah An-Naml ayat 34 ada satu kalimat, diucapkan oleh seorang ratu, bahwa raja-raja,­bila mere­ ka memasuki sebuah negeri, akan merusak negeri itu; mereka pula yang membuat orang yang luhur budi menjadi keji. Maka ketika Umar diangkat menjadi khalifah, inilah yang konon dikatakannya: ”Aku bukanlah seorang raja yang akan memperbudak kalian, aku hanya hamba Tuhan yang telah ditawari kepercayaan.” Ada satu kisah ketika pasukan muslim menang perang di Spanyol. Mereka berteriak kecewa­ ketika mendengar bahwa seorang putra pemimpin mereka mengenakan mahkota: ”Dia 172



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



IMAM (2)



telah jadi Kristen!” seru mereka. Tapi tak berarti mereka memilih demokrasi. Sikap anti-­raja itu tumbuh, seperti ditunjukkan oleh Crone, dari keada­an tak adanya ”negara”. Tradisi mereka tak menghendaki kemerdekaan orang per orang untuk lepas dari adat dan keingin­an komunitas. Meskipun demikian, pada masa Bani Umma­yah, desakan dari bawah agar sang khalif lebih mendengarkan keluhan rakyat, agar ada rembukan dan pembagian yang adil dari perolehan kekaya­ an, terjadi tak henti-henti. Dari masa ini bahkan tumbuh gerak­ an oposisi yang dengan darah dan besi menyatakan pendirian. Bagi mereka, tak ada ”imam agung” di atas takhta, sepanjang tak ada yang layak menggabungkan kepemimpinan politik dan agama dalam dirinya. Tapi mungkinkah ada seseorang yang seperti itu, setelah Nabi? Persoalan inilah yang menghantui pemikiran politik Islam terus-menerus hingga sekarang. Terutama ketika metafora ”kabilah” tak bisa dihayati lagi. Lebih banyak orang Islam­yang hidup dengan alam yang berbeda dari jazirah Arabia. Ada yang menghuni tepi sawah dan ladang, tinggal di bawah ke­­raja­an-kerajaan tua yang menceritakan awal dan akhir para raja. Lanskap itu, dan perubahan politik dari zaman ke zaman itu, adalah petunjuk betapa tak ajeknya hidup dalam drama ruang dan waktu. Maka menarik untuk membaca, dari buku Crone, jawaban yang ditawarkan Al-Asamm, seorang pemikir dari Basra, Irak, pada abad ke-9. Seorang imam, bagi Al-Asamm, adalah sese­orang yang kepemimpinannya diterima secara mufakat oleh komunitas. Tapi ketika komunitas jadi begitu besar dan tak semuanya berperangai luhur, bagaimana menciptakan satu konsensus yang meyakinkan? Sejarah Islam menunjukkan betapa mustahilnya mencapai suara bulat seperti itu. Maka Al-Asamm berpendapat bahwa kaum muslimin bisa saja memiliki beberapa imam di beragam tempat pada saat yang Catatan Pinggir 7



173



IMAM (2)



sama. Tak mungkin lagi kekhalifahan yang tunggal. Pemikir yang meninggal pada tahun 817 ini memang termasuk kaum Muktazillah yang menganggap bahwa ke-imam-an adalah konvensi manusia semata. Dari mereka ini pula datang pendapat bahwa sebagaimana otoritas seorang imam dalam salat bersama, otoritas pemimpin sebuah komunitas juga harus berakhir begitu ia menjalankan satu tugas. Lebih dari sembilan abad kemudian, Amerika memilih cara yang seperti ditawarkan orang Irak itu. Lebih dari satu milenium kemudian, Indonesia.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 18 April 2004



174



Catatan Pinggir 7



ANGGREK



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



AYA berdiri di bawah surya pukul 9 yang menyenangkan di sebuah pagi di tahun 1962. Pori-pori kulit serasa bergetar, ultraviolet matahari meresap. Saya sendirian. Tapi burung-burung gereja sibuk bergantian hinggap di pelataran. Dari pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun menyentuh tanah. Apa gerangan arti burung-burung, hangat pukul 9, pohon­ yang rindang? Di tahun 1960-an itu saya telah melupakan perta­ nya­an macam itu. Bangun pagi, berjalan siang, dan tidur malam saya tak menyadari bahwa ada nilai tersendiri dalam hal ihwal yang cuma melintas, tak pasti, dan sepele. Waktu itu Indonesia ada­lah arena kata-kata yang membahana: ”Revolusi”, ”Sosialisme Indonesia”, ”Dunia Baru”—semuanya dengan huruf kapital,­ semuanya dengan pekik, poster, dan pengeras suara, semuanya menggugah, menerobos jiwa. Saya memandang kembali ke burung-burung itu. Tiba-tiba sa­ ya sadar sebelumnya tak pernah saya terkesima akan hal yang sebenarnya ”dahsyat” tapi tersisih: warna bulu yang menakjubkan­ itu, sepasang mata yang seperti merjan jernih itu, sayap yang serba sanggup itu. Sebagai umumnya orang muda waktu itu, saya tak punya waktu buat tetek bengek. Kami hanya menyimak soalsoal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan. Tapi haruskah pesona kecil di pelataran sepi dicampakkan? Sejak itu saya pun berusaha memasuki sebuah dunia bahasa­ yang lain—bahasa yang tak sarat dengan ide-ide yang merasa­ke­ kal dan kata benda abstrak. Saya membaca kembali puisi tentang cuaca, ranting, rama-rama, dan hal-hal fana lain yang anehnya membuat hidup berarti dan kita bersyukur. Maka saya bisa mengerti jika ada orang yang akhirnya memi­ lih anggrek hutan. Di tahun 1999, buku Richard Rorty, Philoso­ Catatan Pinggir 7



175



http://facebook.com/indonesiapustaka



ANGGREK



phy and Social Hope, diterbitkan Penguin. Salah satu esai­nya, yang bersifat otobiografis, mengutarakan pilihan antara­anggrek hutan dan gagasan revolusi—yang akhirnya menampilkan Rorty se­bagai pembawa suara pragmatisme baru dalam filsafat. Rorty dibesarkan dalam keluarga dengan cita-cita sosial­isme yang kuat. Kakeknya, Walter Rauschenbusch, adalah seorang pastor di Kota New York dan pemikir Kristen terkenal. Terpenga­ ruh oleh gerakan Anabaptist di Jerman di abad ke-16, ia ingin me­negaskan cita-cita sosial ajaran Yesus dan sikap mandiri dari gereja serta dogmanya. Ibu Rorty, Winifred, dan suaminya, James Rorty, punya semangat yang sama tapi di kancah lain: masuk ke kalangan kiri. Setidaknya dalam satu masa, mereka lebih mencintai­Trotsky ke­ timbang Kristus. Ketika Richard yang lahir di tahun 1931 itu masih bocah, ke rumahnya sering datang bertamu filosof Sidney Hook, kritikus sastra Leonard Trilling—dua cendekia­wan progresif masa itu—dan sekretaris Trotsky yang hidup bersama ke­luar­ga Rorty dengan nama samaran. Tak meng­heran­kan bila bagi Richard kecil, semua orang baik pasti sosial­is. Tapi ia juga mencintai kembang anggrek liar yang tumbuh di pegunungan. Soalnya: patutkah ia memiliki kegairahan pribadi kepada dunia flora, sementara dunia manusia penuh pen­deritaan? Tidakkah anggrek hanya akan mengganggu, ketika perhatian harus dikerahkan untuk menjadikan hidup lebih­adil, seperti dirancang sosialisme? Tapi pemuda yang sejak umur 12 tahun itu tahu akan perlu­ nya­keadilan tahu pula bahwa kaum sosialis, dengan tekad tunggal itu, bisa mengabaikan apa yang berarti di hari ini. Bukan­ha­ nya­kembang hutan, tapi juga hidup manusia. Ia tahu bahwa­Sta­ lin menghendaki Trotsky dibunuh. Dan Trotsky memang akhir­­ nya tewas dikampak. Ia mungkin juga tahu bahwa­Trotsky sen­ diri,­tatkala masih seorang tokoh biro politik­Partai Komunis di 176



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



ANGGREK



bawah Lenin, tega untuk mengerahkan tentara guna menghan­ curkan satu perlawanan para kelasi di Konrad—mereka yang ikut dalam Revolusi Oktober tapi merasa tak diperlakukan adil. Walhasil, asas besar bisa begitu dahsyat hingga sampai hati menghantam tangan yang menadah dan mulut yang senyum. Sebab itulah antara anggrek dan Trotsky, Rorty akhirnya memilih yang pertama. Ia menjauh dari segala macam rencana besar dan ”Teori Tinggi”. Ia bahkan menurunkan status filsafat­sebagai sumber dan dasar pengetahuan. Ia lebih mendekat kepada karyakarya sastra, di mana kembang anggrek dan wajah­yang konkret rancak hadir, di mana bahasa­menangkap ke­ragam­an yang asyik, dan di mana keputusan benar atau salah tak datang tegar. Kita harus punya ironi dalam diri, suatu private irony, kata Rorty. Kita harus mampu meragukan benarkah khazanah kita merupakan sesuatu yang sudah final, dan memandang kebenaran kata-kata kita sendiri dengan ringan hati. Tak berarti, dengan dunia privat yang menyimpan ironi itu, kita tertutup dari dunia bersama. Antara yang privat dan yang publik tak bisa saling menjajah, kata Rorty. Yang menyatukan kita dengan yang lain bukanlah ”teori” revolusi, prinsip filsafat, moral atau agama. Yang menyatukan kita adalah kemampuan un­tuk berbagi rasa sedih, sakit, dan miskin. Cinta akan bertaut dengan keadilan jika di satu pihak gairah kepada kembang anggrek bisa berlanjut, dan di lain pihak kekejaman ditampik. Tapi hidup harus diperbaiki dengan ”pragmatisme sosial”, bukan dengan satu ”kebenaran”. ”Kebenaran” hanya tecermin dalam suk­ ses­kita mengurangi sengsara, ketegangan, dan kebengisan. Tentu, untuk itu perlu sebuah lingkungan yang demokratis.­ Yang saya belum tahu dari Rorty ialah bagaimana membangun­ sebuah dunia yang ”global, kosmopolitan, demokratik, bersema­ ngat kesetaraan, tanpa kelas, tanpa kasta” dari nol, bila tak ada asas ”kebenaran” tertentu. Rorty menganggap apa yang dicaCatatan Pinggir 7



177



ANGGREK



pai Amerika Serikat sebuah bukti bahwa kemungkinan ke dunia seperti itu terbuka tanpa melalui teori, melainkan praxis. Tapi orang di luar Amerika, katakanlah di Palestina, akan ragu: benar­ kah sengsara dan kekejaman senantiasa bisa dihindari bila kearif­ an adalah bagian dari politik, yang dibentuk oleh pasar dan jumlah suara terbesar?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 25 April 2004



178



Catatan Pinggir 7



SPION



O



RANG yang 18 tahun lamanya dipenjara itu—12 tahun di antaranya ia disekap dalam isolasi—menulis sajak, ditujukan kepada dirinya sendiri:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Ya, kau. Kaulah agen rahasia rakyat. Kaulah mata bangsa. Bung Spion, ceritakan apa yang kau lihat. Ceritakan apa yang disembunyikan Orang-orang dalam itu, mereka yang pintar, ceritakan apa yang mereka Sembunyikan.... Sang terpidana itu memanggil dirinya ”Bung Spion”. Ia meng­ aku ia seorang mata-mata, tapi ia menjalankan tugas itu bukan untuk sebuah negeri musuh. Ia seorang ”agen rahasia rakyat”.­Ia sepasang ”mata bangsa”. Tapi benarkah demikian? Pada akhir September 1986, ia, Mor­dechai Vanunu, warga negara Israel, diculik oleh Mossad, dinas rahasia negeri itu, setelah ia ditipu agar datang ke Roma dari London. Ia dibius, diringkus, dan dibawa diam-diam dengan kapal laut kembali ke tanah airnya. Ia diadili secara rahasia, dan setahun kemudian dijatuhi hukuman 20 tahun, yang kemudian dipotong dua tahun. Ia dianggap bersalah karena ia, seorang juru teknik nuklir, dengan sengaja membongkar rahasia, menceritakan kepada dunia luar apa yang dilihatnya di tempatnya bekerja: bahwa Israel punya segudang senjata nuklir, disiapkan di Dimona, di Gurun Nejev. Ia sejak itu tak dimaafkan. Ketika ia akhirnya keluar dari Penjara Shikma di Ashkelon pada 21 April yang lalu, Shimon Peres, Catatan Pinggir 7



179



http://facebook.com/indonesiapustaka



SPION



tokoh Israel yang sering dikaitkan dengan gagasan ”perdamaian”, masih menganggap Vanunu telah ”mengkhianati bangsanya”. Harian Haaretz membuat satu survei pendapat, dan me­nyim­ pul­kan: hampir separuh khalayak Israel tak setuju Vanunu dibebaskan sekarang. Hampir seperempat dari mereka­ bahkan me­ nga­takan agar Vanunu tak usah dilepas sama sekali. Departemen Pertahanan Israel menganggap orang yang telah menjalani hukuman ini tetap sebuah ”ancaman keamanan”. Catatan harian Va­nunu di tahanan, katanya, menguraikan secara rinci keadaan tempatnya dulu bekerja di lokasi rahasia di Gurun Nejev. Para pe­tugas telah menyita catatan itu, tapi gudang ingatan Vanunu masih utuh. Ia masih bisa mengungkapkannya lagi kepada dunia. Maka kata Menteri Kehakiman Israel, ”Dia akan tetap kami awasi.” Vanunu, dengan kata lain, adalah musuh. Ia tak bisa se­benar­ nya­mengklaim bahwa ia sepasang ”mata bangsa”. ”Bangsa” yang du­lu merupakan bagian hidup orang Yahudi kelahir­an Maroko ini telah menolaknya. Orang Israel ternyata begitu­ cemas dan ma­­rah, hingga mereka menghalalkan perbuatan keji yang dila­ ku­­­kan untuk menyekap Vanunu—dari melanggar kedaulatan ne­­geri lain dengan menculik juru teknik nuklir itu di Italia, sampai pada tak membebaskan penuh sese­orang yang seha­rusnya su­ dah­merdeka. Bagi Vanunu sendiri, tali itu akhirnya putus. Sejak tahun-tahun awal masa hukumannya ia telah tak merasa lagi bagian dari Israel. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan ruang 3 x 2 meter­ itu, dan menjalankan ”hidup dalam kubur”. Dengan amarah­ yang tersimpan. Dalam sepucuk suratnya yang ia tulis dari sel, 10 tahun setelah ia disekap, ia mengatakan, ”Banyak hal bersa­ha­ja yang aku tak ingat lagi dalam kehidupan tembok semen yang sa­ ngat­biadab, brutal, dan kejam ini. Aku di penjara seperti seorang sandera, sebab mereka menculikku. [Tapi] aku harus lebih­kuat 180



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SPION



dan yakin, seperti tahun pertama dulu. Jalan terus, dan tak tunduk kepada kekuasaan yang kotor....” Di halaman Penjara Shikma, ketika ia dikeluarkan dari sel pa­ da pukul 11 itu, ia memang tak tunduk. Ia disambut para simpatisannya, sebagian orang Inggris dan Amerika, para aktivis antisenjata nuklir dan pendukung hak asasi. Tapi tak jauh dari sana, ada beberapa ratus orang Israel mencerca. Vanunu tetap berge­ ming­”Kepada semua mereka yang menyebut saya pengkhianat,” katanya, ”saya bangga dan bahagia atas apa yang dulu saya lakukan.” Ia menolak berbahasa Ibrani. Ia memilih bahasa Inggris. Ia meninggalkan agama Yahudi. Ia masuk Kristen. Apa arti sebuah ikatan—dan juga ingatan—jika asal dan latar belakang hanya berarti sebuah aliansi dusta, ketidakadil­an, dan destruksi? Persoalan ini bukan baru, tentu. Begitu keluar dari sel, Vanunu langsung menuju ke gereja, ke tempat imannya yang baru. Mungkin ia ingat: sekitar 2.000 tahun yang lalu di tanah Palestina itu Yesus juga dilempari batu di tanah kelahirannya sendiri. Kini, ketika Vanunu tampak melangkah ke luar halaman bui, orang-orang Israel yang memben­ cinya berteriak, ”Mati bagi dia!” seperti 2.000 tahun yang lalu orang-orang Yahudi berteriak, ke arah rabi yang telah disiksa itu, ”Salibkan dia!” Pada momen seperti itu kesetiaan kepada kaum sendiri akan sama artinya dengan kebengisan kepada apa yang berharga di luar kaum sendiri. Tapi ada yang lebih luhur ketimbang puak. Ketika pada Oktober 1986 Vanunu datang ke London untuk mengungkapkan kepada The Sunday Times bahwa Israel memang menghimpun senjata nuklir, ia terdorong oleh sebuah keyakinan: Israel, seperti negara mana pun, tak boleh mempersiapkan kekuatan yang mengancam kehidupan itu. Apalagi sebenarnya kekuatan itu sia-sia. Bom nuklir Israel tak Catatan Pinggir 7



181



SPION



akan berguna menghadapi bom bunuh diri, sebagaimana Amerika Serikat tak bisa mengalahkan Vietnam dan Uni Soviet tak bisa menjinakkan Afganistan. Keamanan, akhirnya, bukanlah soal per­senjataan yang piawai. Ada sesuatu yang tak kalah penting: tiadanya sikap sewenangwenang. Pada zaman ketika Bush dan Blair menggebuk Irak yang ternyata tak punya senjata nuklir, tapi membiarkan dan mendukung Israel yang memilikinya, yang sewenang-wenang menang. Siapa kuat, dapat. Siapa memaksa, bisa. Siapa brutal, halal. Maka dunia pun jadi padang pembantaian, dan manusia wadah kekejian. Sampai ketika kita teringat Vanunu. Dengan 18 tahun di penjara dan dengan jiwa yang tak terpatahkan, ia praktis menebus kembali kemampuan kita untuk melepaskan diri dari penghancuran.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 2 Mei 2004



182



Catatan Pinggir 7



AMBON



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



EORANG teman mengingatkan saya akan sepotong sejarah kekerasan di Maluku. Pada tahun 1950-an, Republik­ Indonesia mengirim sepasukan tentara untuk meng­hen­ti­ kan pemberontakan RMS di Ambon. Dalam pertempuran yang terjadi, komandan pasukan khusus TNI tertembak. Ia gugur. Na­manya Slamet Riyadi. Ia seorang Katolik. Fakta itu perlu saya sebut sekarang. Hari-hari ini, di Ambon orang-orang menghidupkan kembali pekik dan bendera ”Re­pu­ blik­Maluku Selatan” dan sejumlah orang lokal menentangnya, dan konflik yang untuk beberapa bulan mereda pun meledak kem­bali. Tak perlu banyak waktu, label ”Kristen” pun dipasang pada orang-orang RMS dan ”Islam” pada para penentangnya. Seandainya Slamet Riyadi masih hidup.... Kini kita tahu betapa berubah sudah Indonesia menjelang umurnya yang ke-60: agama kian sering dipakai untuk menjelaskan hal ihwal publik. Agama dianggap jadi latar konflik Maluku, perjuangan di Palestina, ”benturan peradaban”, terorisme, bah­ kan­kemiskinan Dunia Ketiga. Pada saat yang sama, agama jadi dalih perbuatan baik atau buruk, sumber identitas, dan bendera kesetiaan yang berkibar tinggi. Semua itu agaknya bertolak dari asumsi yang sebetulnya me­ ra­gukan: bahwa antara agama dan sebuah subyek (”aku” atau ”ka­mi”) yang memeluk agama itu, ada korespondensi yang lurus­ dan lengkap. Dianggap bahwa karena aku menegaskan diriku ”Islam”, segala yang kulakukan dengan sendirinya­ merupakan­ eks­presi Islam. Tak pernah dipikirkan kembali bahwa dalam kata-kata ”aku Islam” terkandung ”aku” yang tak pernah kekal, kompak, dan kukuh, dan juga ”Islam” yang tak pernah persis, pasti, dan permanen. Catatan Pinggir 7



183



http://facebook.com/indonesiapustaka



AMBON



Saya bayangkan Overste Slamet Riyadi beberapa saat sebelum ia mengembuskan napas penghabisan. Adakah ia melihat dirinya­ dan berkata ”aku, Katolik?” Katakanlah, ya. Tapi ”aku” mengan­ dung seribu makna: ”aku” yang ”sekadar aparat” tapi bisa juga ”aku” yang ”patriot” dan yakin. Juga ”Katolik”. Apa maknanya tak pernah dapat dirumuskan dengan lekas selekas menuliskan identitas di KTP. Apalagi proses antara jadi ”aku” dan jadi ”Katolik” (atau ”Islam”, atau ”Ambon”, atau ”Jerman”) bukanlah proses yang meluncur seperti air dalam dua bejana yang berhubungan. Pada zaman ini, setelah Freud, setelah yang lain-lain, kita ta­hu bahwa jiwa dan hati seseorang bukanlah sebuah bejana yang jer­ nih, berisi rapi jutaan fakta yang masuk lancar melalui indra dan akal budi. Yang ada hanya belantara kusut yang dikait-kaitkan oleh bahasa, dunia verbal yang tak selamanya­ terang dan lem­ pang.­Dalam keadaan itu, subyek menjadi proses­yang tak kun­ jung­ tunggal. Bahkan ajaran agama, filsafat, dan doktrin kebe­ nar­­an apa pun tak tampak sebagai peng­atur­ dan pencuci keru­ wet­an itu. Farid Esack, ulama-cendekiawan Islam dari Afrika Selatan, mengakui hal itu dengan jujur dan memukau. Sebagai muslim, ka­tanya, ia selalu mencari ilham dan petunjuk (atau mungkin peng­halalan) dari Quran selama ia mencoba memecah­kan persoalan yang dihadapinya. ”Saya dapat menggunakan Islam dan kitabnya, Quran, untuk memperkuat semua praduga saya, atau menyisihkannya, atau memberinya bentuk baru.” Tapi ada sebuah kejadian dalam sejarah yang memberinya kearifan. Dalam Perang Siffin, musuh ’Ali Ibn Abi Talib, kemenakan Nabi, meminta agar pertikaian diselesaikan dengan mengguna­ kan­Quran sebagai sebuah penengah. Dilema Ali mencerminkan apa yang dihadapi banyak orang muslim: ”Ketika Mu’awiyah mengundangku ke hadapan Quran untuk memberikan keputusan, aku tak dapat memalingkan wajah­ 184



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



AMBON



ku dari Kitab Allah itu. Tuhan telah menyatakan bahwa ’jika kalian bertikai tentang soal apa pun, rujuklah Allah dan RasulNya.’ [Tapi] ini Quran, tertulis dalam garis yang lurus, dijepit antara dua papan penjilid. Ia tak bicara dengan lidah; ia membutuhkan penafsir, dan penafsir adalah manusia.” Dalam kata-kata Farid Esack, ”penafsir adalah orang-orang yang datang dengan bawaan yang tak terelakkan dari kondisi­ ma­nusia.” Bacaan kita atas Quran atau warisan keagamaan kita mau tak mau ditandai oleh sifat bawaan itu, oleh ”frustrasi dan harapan” kita. Pertanyaannya kemudian: di mana kebenaran dan keadilan?­ Dalam konflik, dalam suasana amarah, kedua pengertian itu men­cerminkan impian kita tapi juga ketidakberdayaan kita. Agama memang sering memberi kita bayangan kepasti­an yang absolut tentang kebenaran dan keadilan, tapi seperti dikatakan Fa­­rid Esack di atas, pada akhirnya ajaran membutuhkan penafsir, dan penafsir adalah manusia. Kebenaran dan keadilan mau tak mau dirumuskan berdasarkan ”bawaan” sejarah seseorang. Tak berarti, kata Farid Esack, sebuah ”aku” tak punya­ke­­ya­ kin­­an. ”Tentu saja saya punya keyakinan,” katanya. Keyakin­an itu dipegangnya dengan bergelora, dan bahkan ia pernah mende­ rita karena itu. ”Tapi, aku tak akan dapat melangkahi orang lain ... bahwa hanya keyakinanku yang penting.­Sementara aku dapat dan memang memperoleh keyakinanku dari Quran, aku tak lagi dapat mengabaikan sifat pluralistik dunia tempat kita hidup. Aku harus menemukan satu ukuran untuk menentukan apa yang be­ tul­ dan tak betul, adil dan tak adil, prasangka­ku dan kecende­ rung­an­ku. Aku tak dapat lagi mengimbau kepada apa yang semata-mata hanya milik komunitasku.” Jika kita baca risalah seperti ini, memang dunia bisa tetap beragam dan selalu damai. Persoalannya ialah bahwa tak semua orang seperti Farid Esack. Sesuai dengan argumennya, tak semua Catatan Pinggir 7



185



AMBON



petuah agama mengungkapkan sikap terbuka kepada keterbatas­ an manusia dalam menafsir ajaran Tuhan; dengan kata lain, tak semua seperti yang kita temui dalam ucap­an ’Ali Ibn Abi Talib. Juga tak semua kata-kata suci mengandung suara sejuk; tak jarang ada yang bisa dengan gampang ditafsirkan sebagai pedoman untuk menampik toleransi. Maka agama, ketika di­pakai­ untuk menjelaskan hal ihwal, datang kepada kita dan membuat kita terhibur, tapi juga menjadi ganas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 9 Mei 2004



186



Catatan Pinggir 7



ABU GHURAIB



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



AK ada yang ganjil sebenarnya yang terjadi di Penjara­ Abu Ghuraib, Bagdad: di bui tempat prajurit Irak yang kalah perang disekap, yang menang dan yang kuat me­ rayakan kekuasaannya, dengan riang, dengan brutal, di atas tubuh yang tak lagi berdaya. Mari kita simak foto yang kini tersebar di seluruh dunia itu. Foto pertama: seorang tawanan perang Irak telanjang bulat­mela­ ta di tanah, dengan leher yang diikat seutas kendali. Seorang prajurit perempuan Amerika dari Kompi 372 Polisi Militer memegang ujung kendali itu, seakan-akan sedang menyeret binatang aneh. Foto kedua: beberapa tawanan, dicopot­ seluruh­ pakaiannya, disusun bertimbun seperti ban mobil­ bekas,­ dan dipotret. Laporan tertulis menyatakan bahkan ada tahanan yang dipaksa masturbasi di depan para tahanan lain.... Apa boleh buat. Perang telah terjadi di Irak, dan perang pada akhirnya memang kebrutalan yang dihalalkan, yang melahirkan­ si kalah dan si menang. Perang adalah sebuah pertaruhan di mana, dalam bentuknya yang ekstrem, si menang berarti hidup dan si kalah mati. Para tahanan Irak di Penjara Abu Ghuraib itu adalah makhluk yang bisa dianggap sebagai ban bekas atau hewan jeratan. Sebagaimana manusia ”mati”, mereka bisa berbuat apa? Pertanyaan itu bisa juga diarahkan ke luar Abu Ghuraib. Pe­ rang­Irak seluruhnya adalah sebuah statemen bahwa berjuta-juta­ manusia di dunia telah dipergoki dengan pertanyaan: mereka bisa berbuat apa? Tatkala negeri dengan persenjataan paling dahsyat di muka bumi itu berniat menaklukkan Bagdad, kehendaknya pun jadi, meskipun jutaan manusia menentangnya. Amerika tak perlu menjelaskan alasannya. Ia tak perlu minta maaf ketika alas­ Catatan Pinggir 7



187



http://facebook.com/indonesiapustaka



ABU GHURAIB



an­nya ternyata keliru. Ia tak perlu mempertanggungjawabkan gempuran senjatanya ke Irak, dan kerusakan dan kematian yang terjadi, kepada siapa pun, kecuali kepada dirinya sendiri. Ia tak perlu takut. Sebab, siapa diri sendiri itu? Sebuah wajah­ yang hampir sepenuhnya demam oleh patriotisme. Sering demam itu tak jelas lagi batasnya dengan ”jingoisme”, ketika rakyat­tampak menghargai prestasi perang (war records) dan bukan prestasi­ per­damaian (peace records) para pemimpin. Mereka bertepuk ta­ ngan melihat Presiden Bush muncul dalam baju pilot pesawat tempur.... Patriotisme, apalagi ”jingoisme”, adalah langkah pertama me­ nyisihkan orang lain. Dari sini juga datang ”kekecualianisme”. Kata American exceptionalism memang diperkenalkan oleh Alexis­ de Tocqueville pada pertengahan abad ke-19, tapi kini ia menemukan ekspresinya yang lain: apa yang dianggap pantas dan tak pantas, yang berlaku untuk masyarakat internasional, tak harus diakui oleh Amerika Serikat. Di Abu Ghu­raib seorang prajurit yang terlibat dalam penyiksaan tahanan mengaku tak pernah diajari aturan Konvensi Jenewa. Tapi bukan cuma itu yang diabaikan. Sebelum di Abu Ghu­ raib, Amerika telah menampik ikut bergabung dalam Mahkamah­ Pidana Internasional. Ia juga menolak menandatangani perjanjian larangan pemakaian ranjau darat yang diikuti oleh 137 negeri; ia tak mau ikut dalam kesepakatan internasional mengenai senjata biologis yang diratifikasi oleh 413 negeri. Negeri ini ingin, dan memang bisa, menentukan bahwa diri­ nya adalah sebuah kecuali. Makin lama ia makin membenarkan kata-kata Carl Schmidt, pemikir Nazi itu: ”Yang berdaulat adalah ia yang menentukan kekecualian.” Kekecualian berarti kebebasan penuh. Tapi kebebasan itu untuk diri sendiri—bukan untuk yang lain. Betapa aneh, sebenarnya, jika itulah yang terjadi. Sebab,­ 188



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



ABU GHURAIB



Amerika Serikat, sebuah negeri yang berdiri dengan sebuah ide yang justru tak menghendaki ada ”kecuali”—sebuah ide dengan semangat universalis, yakni menjunjung hak untuk merdeka bagi semua orang, bagi semua bangsa. Saya ingat pada tahun 1955. Ke­tika membuka Konferensi Asia-Afrika, Bung Karno mengutip sebuah sajak Longfellow tentang Paul Revere—seorang pejuang yang naik kuda tengah malam untuk­membangunkan bangsanya agar siap berperang untuk kemerdekaan. Sejarah Amerika Serikat seakan-akan sejarah kita semua. Kini betapa jauh, betapa ganjil. Semangat universalis yang ingin membuat Amerika Serikat bagian dari sebuah dunia yang merdeka sekarang justru bertaut dengan semangat yang ingin membuat negeri itu berada di luar—bahkan bila perlu dengan mengorbankan kemerdekaan yang universal, sebab kini pun, atas nama patriotisme, ada niat menghalalkan sensor dan tak mematuhi asas peradilan yang bebas. Tapi memang begitulah agaknya nasib ketiga revolusi besar dalam sejarah. Revolusi Prancis akhirnya melahirkan kediktator­ an, dan setelah itu: supremasi Prancis. Revolusi Rusia pada gilir­ annya melahirkan Stalin, dan dengan Stalin, ”internasionalisme” akhirnya hanya wadah pengaruh Rusia. Revo­lusi Amerika juga tak berbeda jauh dari nasib pola tragis itu: ia yang ingin menjangkau dunia akhirnya mendekam di diri sendiri. Mungkin karena pada mulanya adalah niat. Ketika sejara­wan­ Hobswan mengatakan bahwa, bagi orang Prancis, pembebasan negeri mereka ”hanyalah cicilan pertama dari ke­menang­­an universal kebebasan”, ia sebenarnya menunjukkan paradoks ketiga revolusi besar dalam sejarah. Ketiga-tiga­nya bertolak dari niat mengubah dunia. Ketiga-tiganya me­ngandung­satu subyek yang berniat, dan ada niat yang berhasil. Dari sini, ada sebuah model awal. Berangsur-angsur, sang subyek pun identik dengan pusat dan Catatan Pinggir 7



189



ABU GHURAIB



tauladan. Dalam sejarah Amerika, persepsi diri sebagai tauladan ini bergelimang dengan apa yang mutlak, yang luhur, dan yang sukses. ”Agama Kristen, demokrasi, Amerikanisme, bahasa dan budaya Inggris, pertumbuhan industri dan ilmu, institusi-institusi Amerika—semua ini campur-aduk dan kacau-balau,” tulis H. Richard Niebuhr dalam The Kingdom of God in America. Dalam campur-aduk itu, Amerika Serikat tetap ingin sebagai sebuah kecuali. Terkadang ia mengagumkan, terkadang menggeli­ kan, terkadang menakutkan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 16 Mei 2004



190



Catatan Pinggir 7



BERBER



http://facebook.com/indonesiapustaka



B



AJAK laut menghantui setiap kapal niaga yang melintasi­ Laut Tengah dan Atlantik pada abad ke-18. Berpusat di negeri-negeri di sepanjang Pantai Berber, para perompak lanun itu akan menyerbu bahtera, merampas barangnya, dan me­ nang­kap orang-orang Eropa yang ada di dalamnya dan men­jadi­ kan mereka budak belian. Sejak menjelang akhir abad itu, Amerika Serikat kian ikut cemas dengan ancaman itu. Maka pada tahun 1797 sebuah perjanjian ditandatangani dengan Maroko, Aljir, Tripoli, dan Tunis. Dalam traktat itu tercantum kalimat yang aneh. Di sana di­ sebut perkara ”Islam” dan ”Kristen”, seakan-akan soal bajak la­ ut­­ dan uang tebusan itu soal permusuhan agama: ”Pemerin­tah­­ Amerika Serikat tak dalam arti apa pun didasarkan kepada­agama Kristen,” demikian salah satu kalimat dalam perjanji­an itu, dan ”ia tak dengan sendirinya mempunyai watak per­musuhan­terhadap hukum, agama, dan ketenangan kaum muslimin.” Negaranegara bagian Amerika, demikian tercantum dalam naskah, ”tak pernah memasuki perang atau laku tak bersahabat dengan bangsa Islam [’Mehomitan’] mana pun.” Kita lihat: ada paradoks dalam alinea itu. Di sana agama disebut-sebut tapi juga disangkal. Kita tahu sebabnya: waktu itu, seperti hari ini, zaman belum terlepas dari masa ”pasca-Andalusia”. Inilah masa yang disebut oleh Anouar Majid, guru besar jurusan sastra Inggris di The University of New England, dalam bukunya yang baru, Freedom and Orthodoxy, sebagai masa ketika ”Barat” memisahkan diri dari kebersamaan umat manusia—dan mulai menaklukkan yang bukan dirinya. Yang hendak ditunjukkan Majid adalah peta bumi setelah Islam, yang berpusat di Andalusia, terusir, dan Spanyol jadi KatoCatatan Pinggir 7



191



http://facebook.com/indonesiapustaka



BERBER



lik. Dalam proses perubahan itu, di Madrid dilembaga­kanlah kekerasan terhadap sosok ”Yang Lain” yang ingin di­tam­pik. Orang ”Moor” (Arab, muslim) dan orang ”Yahudi” harus disingkirkan. Di bawah tilikan Gereja Spanyol yang ber­tangan besi, orang pun diusut terus-menerus benarkah ia seorang Katolik tulen. Berangsur-angsur, proses ini menyidik­juga benarkah seseorang ”bersih lingkungan”. Agar iman benar-benar murni, asal-usul harus dijaga. Maka harus ada limpieza de sangre, kemurnian darah. Dan sejak itu, orang Spanyol—yang mengirimkan armada­ menyeberangi Atlantik untuk menaklukkan ”orang Moor lain” entah di mana—membentuk sebuah dunia yang terbagi dua: di satu sisi, mereka yang sudah Kristen; di sisi lain, yang belum; di satu sisi, ”Barat”, dan di sisi lain, ”Timur”. Tak diakui lagi bahwa pada masa Andalusia, Islam, sebagaimana Kristen, adalah ”Ba­ rat”. Sejak itu, dikotomi itu menyebar ke mana-mana. Maka tak mengherankan bila perjanjian antara Amerika Serikat dan nege­ ri-negeri Berber itu masih mencerminkannya. Tapi Amerika bukan Spanyol. Ada yang penting dalam traktat itu: agama, meskipun diakui adanya, tak dianggap seba­gai pe­ nentu: ”Pemerintah Amerika Serikat tak dalam arti apa pun didasarkan kepada agama Kristen.” Memang ini pemerintah yang membuat perjanjian hanya dengan maksud praktis. Sudah beberapa kali kapal AS diserbu bajak laut. Bahkan sudah beberapa kali orang Amerika dibajak dan dijual sebagai budak, jika dilihat jumlah kisah tentang nasib seperti itu yang pernah terbit di Amerika. Pada tahun 1797: The Al­ gerine Captive oleh Royall Tyler. Pada tahun yang sama, sebuah majalah di Boston, Columbian Orator, memuat sandiwara dua ba­bak dengan judul Slaves in Barbary, tentang Amandar, orang Ve­nezia, yang diperbudak oleh orang Arab. Di sana ”Islam” dan ”Kristen” juga berulang kali dipakai seba­ gai kategori tunggal dalam pelbagai cerita tentang nasib manu192



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



BERBER



sia di bawah perbudakan Berber. Tapi Anouar Majid menuliskan kesimpulannya: tujuan buku-buku itu bukanlah untuk ”mempersetankan (demonization) orang muslim dan Islam, melainkan konsolidasi nasionalisme Amerika dan pembelaan asas-asas republiken.” The Algerine Captive, misalnya. Novel ini terbit hanya setahun sebelum AS mengirim armada untuk menyerang Tripoli, untuk menghentikan keharusan membayar uang pisungsung (”tribu­ tary”) kepada para penguasa di sana yang terus-menerus mengganggu bahtera dagang Amerika. Dalam novel ini, Updike Underhill, seorang dokter yang tertangkap dan diperbudak di Aljir, merenung tentang orang-orang muslim: ”Pada keseluruhannya, tak tampak dalam ajaran agama mereka yang merangsang mereka ke laku imoral, atau menyetujui kekejam­an yang mereka lakukan. Baik Al-Quran maupun para ulama mereka tak menghasut­ mereka untuk merampok, memperbudak, menyiksa. Dalam kitab suci mereka secara jelas dianjurkan orang berbuat amal, berlaku adil, dan belas kepada sesama.” Maka Underhill tak habis mengerti kenapa muslim dan orang Kristen bermusuhan. ”Jika perintah kitab suci masing-masing diikuti, kedua belah pihak akan berhenti membenci, mengutuk, dan menghancurkan yang lain.” Tapi novel ini juga sebuah catatan bahwa apa pun yang diajarkan agama, pada akhirnya ada hal lain yang membentuk perilaku manusia. Ketika Underhill, yang mengembara berlayar sampai Kongo, menjadi dokter perdagangan budak, ia dengan benci memandang dirinya sendiri sebagai bagian dari hal yang keji itu. Pada suatu saat, dianjurkannya beberapa orang budak melarikan diri. Ketika ketahuan, sang dokter pun ditangkap. Ia ikut jadi budak. Tapi ia tahu: sebagaimana di Aljir yang muslim ada manusia­ yang dirantai dan diperlakukan sebagai hewan, begitu pula di Catatan Pinggir 7



193



BERBER



Amerika yang Nasrani. Dalam hal ini, Algerine Captive—se­ba­ gai­mana agaknya dimaksudkan oleh Anouar Majid—bisa punya­ gema pada tahun 2004, setelah 11 September 2001. Hari ini pun, di Amerika dan di sekitar Pantai Berber, ”Barat” dan ”Islam”, bersama Tuhan dan Tentara, dibawa-bawa untuk menyelesaikan per­soalan manusia. Tapi seperti disaksikan Underhill, banyak jawaban jadi tunggal dan mutlak, ketika banyak­pertanyaan tak bisa diam, dan kekejaman terus terjadi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 23 Mei 2004



194



Catatan Pinggir 7



ZHIVAGO



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



IAP akhir Mei diam-diam saya memperingati seorang penyair yang mencoba menyingkir, ketika politik berniat membangun dunia dengan gegap-gempita, sedang­ kan ia mencoba bicara yang lain, tak percaya bahwa politik dan sejarah adalah segala-galanya. Tentu saja ia tertabrak. Begitulah Boris Pasternak meninggal di rumahnya di Peredelkino, 30 kilometer dari Moskow, 30 Mei 1960. Ia dikutuk pemerintahnya. Kekuasaan yang dibangun oleh Lenin dan Stalin memutuskan bahwa Pasternak seorang pengkhianat. Uni Soviet menghendaki tiap warganya bergerak seperti tentara dalam formasi perang, karena revolusi (umumnya ditulis dengan ”R”) yang bermula sejak Oktober 1917 belum selesai. Dunia masih harus diubah. Dan sejak Stalin memegang kendali, disiplin pun diteruskan dengan kian keras: rencana pembangun­an lima tahun sudah dicanangkan, semua orang harus menyingsing­ kan lengan baju, dan para seniman diberi arah. Pada tahun 1934, Andrey Zhdanov, orang kepercayaan Stalin, berpidato di Kongres Persatuan Penulis Soviet. Asas yang kemudian disebut sebagai Zhdanovshchina bermula dari sini: para sastrawan diharuskan menerapkan doktrin ”Realisme Sosialis”. Sebenarnya mustahil membikin satu resep bagi karya-karya sastra—tapi bagaimana para birokrat dan pejabat Partai Komunis mengerti proses kreatif? Bagi mereka, para sastrawan harus­ bertugas dalam rekayasa sosial untuk membentuk ”manusia ba­ ru”. Sebab, kata Zhdanov mengutip Stalin, sastrawan adalah ”insinyur jiwa manusia”. Tapi jiwa manusia lebih rumit ketimbang semen dan baja, dan Zhdanovshchina pun akhirnya jadi sebuah mekanisme yang me­ ngen­­dalikan ekspresi kesusastraan. Penulis satire Mikhail Zosh­ Catatan Pinggir 7



195



http://facebook.com/indonesiapustaka



ZHIVAGO



chenko dan penyair Anna Akhmatova—yang menerbitkan kar­ ya-karya yang ”a-politis, individualistis, dan borjuis”—dipecat dari Persatuan Penulis Soviet. Ketakutan pun menyebar. Apalagi semua tahu, sebelumnya, penyair Osip Mandelstam dibuang dan mati, seperti banyak orang ditangkap dan kemudian hilang. Pasternak juga bimbang dan gentar. Haruskah ia masuk ke da­lam ikhtiar besar yang mau meringkus segala-galanya, juga batin, ke dalam proyek ”Revolusi”? Ataukah ia menulis puisi seperti yang ia lakukan selama itu, dan tak ikut dalam ”Revolusi” itu, karena baginya ada hal-hal yang lebih segera dan bermakna? Saya kira pada saat itulah ia menulis Hamlet, sebuah sajak empat bait. Di sini Pasternak memakai tokoh lakon Shakespeare itu sebagai metafor, ketika harus memilih, to be or not to be, bertin­ dak­ atau tak bertindak, hidup atau mati. Tapi Pasternak juga meng­gabungkan kebimbangan Hamlet dengan rasa gentar Yesus­ di Taman Getsemani, ketika tahu nasib apa yang menanti. Di ambang pentas, Hamlet berbisik: ”Jauhkan cawan ini dari diriku, Abba, bapaku.” Ia sendirian. Ia seakan-akan noktah yang gamang dalam keluasan sejarah yang sedang bergerak. Di sekitarnya mengepung orang-orang ”farisyi”, katanya. Dengan kata lain, di sekitarnya mengepung orang-orang yang merasa paling benar, paling suci, karena paling patuh kepada akidah agama. Bagi saya menarik, bahwa Pasternak memilih kiasan Injil untuk situasi hidupnya: tampaknya ia menyamakan Stalinisme dengan sebuah agama yang memperkeras akidah dan memperkukuh lembaga. Tentu ia tak bisa masuk ke sana. Sifat religius yang terungkap lewat puisinya justru menunjukkan bahwa hidup tak seperti yang diartikan kaum farisyi: hidup itu sendiri mengan­ dung­sesuatu yang suci, meskipun tak tersentuh oleh akidah. Injil, demikian tertulis dalam Doktor Zhivago, bukanlah ”petunjuk dan perintah ethis”. Kristus ”berbicara dalam amsal yang diambil 196



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



ZHIVAGO



dari kehidupan”. Dan kehidupan, bagi Pasternak, adalah sesuatu yang intim tapi menakjubkan, bergairah meskipun ringkih. Hidup adalah ”adikku perempuan”, seperti dikatakannya dalam sajaknya Sestra moya-zhizn, yang ”berenang di dunia terang, berlindungkan hujan musim kembang”. Sementara di sana ada ”orang-orang berantai arloji” yang diam-diam kesal dan menggerutu. Kontras itulah agaknya tema dasar karya-karya Pasternak: di satu sisi hidup yang dekat, yang mempesona, yang bebas dan tak terduga-duga; di sisi lain, ada yang patuh, teratur dan berwibawa (”berantai arloji”). Di antara keduanya, sang penyair telah memilih. Karena hidup tak bisa ditaklukkan oleh doktrin, ia, yang memihak hidup, menampik untuk mengikuti Zhdanovshchina. Ke­tua Persatuan Penulis Soviet memutuskan: Pasternak harus dibabat. Tapi ia diam-diam terus menulis novel itu, Doktor Zhivago,­ kisah tragis seorang dokter di tengah Revolusi yang ganas, se­ orang yang percaya bahwa ada Kristus dan ada kekuatan yang tak tertandingi dari ”kebenaran yang tak punya senjata”. Ia setengah berharap setengah tidak bahwa novel itu akan bisa diterbitkan. Pada 1957, tiba-tiba Doktor Zhivago terbit, dalam bahasa Rusia, di Italia. Pada 1958, hadiah Nobel diberikan kepadanya. Tak ayal, Pasternak pun jadi obyek Perang Dingin antara ku­ bu Uni Soviet dan kubu ”Barat”. Bagi ”Barat”, ia lambang ketidakbebasan kreatif di bawah komunisme. Bagi para pendukung ”Revolusi” di mana-mana, ia layak dibungkam. Bahkan di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang juga ingin menerapkan Realisme Sosialis dan mengutip ajaran Zhdanov dengan bersema­ ngat,­menganggap Doktor Zhivago berdosa besar: sebuah ”fitnah” terhadap Revolusi Oktober. Pasternak tak bisa melawan. Semua karyanya dihentikan ber­ Catatan Pinggir 7



197



ZHIVAGO



edar. Ia kehilangan mata pencaharian. Dan tak mungkin ia akan diizinkan datang ke Stockholm untuk menerima hadiah kehormatan itu. Pada 1960 ia, yang menderita kanker paru-paru, meninggal. Tapi bisakah ia memilih Sejarah dan Akidah, dan bukan puisi? Tentu tidak. Sebab puisilah yang menyambut hidup, dengan gerak kecil-kecilan yang intens. Sebab puisi adalah Siul yang jadi matang di saat sekejap Kertak suara es di angin kedap Malam yang mengubah hijau jadi beku Duel suara bulbul dalam lagu



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 30 Mei 2004



198



Catatan Pinggir 7



LISAN



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



EANDAINYA tak ada TV, seandainya ucapan tercetak di­tiap berita pagi, dan kampanye politik tak diutarakan lisan.... Tapi, apa boleh buat, kini telah datang zaman lisan baru, dengan teknologi kata yang mutakhir itu: radio, telepon, televisi. Haruskah kita siap untuk kembali mengakui ini: ”suara­yang terdengar akan lenyap, tapi huruf yang tertulis akan me­netap”, seperti kata sebuah pepatah Latin? Jangan-jangan orang omong untuk segera dilupakan, seperti suara PKB yang dulu menghantam Golkar dan kini tidak, karena statemen kemarin dengan mudah jadi dusta dalam pidato hari ini. Tapi mungkin tidak. Jika kita percaya akan optimisme Walter­ Ong dalam The Presence of the Word, dunia lisan baru itu tak akan sepenuhnya sama dengan dunia lisan sebelum tulisan ditemukan, huruf dipastikan, dan mesin cetak dipergunakan. Bagaimana gerangan rupa dunia seperti itu, sebelum ada alifba-ta dan ha-na-ca-ra-ka, tak mudah kita memperkirakannya. Sebab, manusia telah memakai tulisan sejak tahun 3500 sebelum Masehi di wilayah Summeria, lima abad kemudian di Mesir dan India, dan 15 abad kemudian di Cina. Tapi mungkin kita bisa mengingat bagaimana kakek-nenek kita yang buta huruf hidup dan bekerja. Bagi mereka, kata adalah ”peristiwa”, tulis Walter Ong. Bagi mereka, kata hanya bunyi: ia berwujud tak tampak; ia ber­wujud justru setelah menghilang. Tanpa tulisan, kata selalu bagian dari sekarang—bukan tadi, bukan nanti. Jika kata itu menyimpan informasi, informasi itu baru bisa dipakai kembali­ setelah ada yang menghafal. Demikianlah keterangan tentang yang pernah dilakukan manusia pun dirawat dalam syair, pantun, dongeng, Catatan Pinggir 7



199



http://facebook.com/indonesiapustaka



LISAN



yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, oleh para empu, pujangga, dan pemangku adat. Kebenaran pada akhirnya bergantung pada sebuah kehadiran. Di sana, kuping yang mendengar lebih penting ketimbang ma­ta yang melihat. Dengan jelas Ong membedakan kedua indra­ manusia itu dan pengaruhnya bagi cara kita memandang dunia.­ Lewat mata, manusia mencapai dunia dalam bentuk ruang, dan­ ruang itu terdiri dari permukaan. Tapi mata kita tak akan me­ nangkap seluruh permukaan. Ia hanya mencapai yang ada di depan kita. Mata tak menjangkau dunia secara serentak, melainkan sebidang demi sebidang: kadang. Penglihatan cenderung memilah-milah. Kuping kita bekerja secara berbeda. Kapan saja, aku bukan hanya mendengar apa yang di hadapanku, melainkan serentak di belakangku, atau dari arah mana saja. Sebab itu, menurut Ong, mereka yang hidupnya dibentuk oleh sintesis pendengar­an tak jarang punya kecemasan tersendiri. Ada kesenjangan antara dunia bunyi dan dunia penampakan: dengan kupingku, aku tahu begitu banyak hal terjadi secara serentak, tapi dengan mataku aku tak mungkin melihatnya sekaligus. Tak mudah untuk memilah-milah atau menganalisis, dan sebab itu tak gampang mengelolanya. Dari sini Ong menyebut sebuah sindrom yang tak jarang menjangkiti mereka yang hidup dalam ”budaya dengar”. Pelba­ gai penelitian menyimpulkan bahwa di kalangan itu sering terjadi rasa cemas, takut, dan sikap tengkar yang kacau-balau, yang akhirnya meledak. Orang-orang Skandinavia dan Asia Tengga­ ra yang buta huruf meletupkan itu dalam amuk. Sebab, tanpa­ tulisan, manusia cenderung menyelesaikan problem­ menurut tra­disi puaknya. Tak ada analisis pribadi. Di sana orang hidup dalam ”budaya malu”, yang melembagakan desakan kolektif agar orang sama-sama mematuhi satu pola perilaku. Ada tekanan perkauman yang kadang menyesakkan. 200



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



LISAN



Itulah yang tak terjadi dalam budaya tulis. ”Dengan tulis­an,” kata Ong, ”individu... jadi sadar tentang dirinya sendiri, bahwa ia mampu berpikir sendiri.” Membaca teks mendorong orang menjauhkan dunia pikirannya dari kelompok. ”Buku,” kata Ong pula, ”memisahkan sang pembaca dari puaknya.” Sang pembaca bukannya tak punya rasa cemas. Dunia kata-­ katanya bukan saja jauh dari habitat percakapan yang nyata, tapi juga tak seluruhnya cocok dengan habitat itu. Ada yang beku di sana, ada yang terhenti dalam waktu. Huruf pun se­ring dikaitkan dengan kematian. Ong, seorang pastor Jesuit,­me­­ngutip­dari Injil surat Paulus untuk orang Korintha: ”huruf­mematikan, tapi roh memberi hidup.” Sang pembaca pun se­ring kesunyian, mandek dan bersikeras, meskipun tak me­ng­amuk.­ Tapi di mana sang pembaca kini? Ia nyaris tersingkir bersama huruf—di radio, telepon, dan televisi. Sebuah budaya lisan baru tiba. Tapi Ong menunjukkan: kali ini beda. Huruf tak sepenuhnya punah. Mereka datang di Internet dan sandek, di laptop dan telepon genggam. Kini kita hidup dalam sebuah gabungan yang membingungkan, tapi mengasyikkan. Ong menyambut hangat dunia baru ini. Ia tunjukkan bahwa berbeda dengan yang lama, kini kata jadi ”terbuka”. Tek­nologi media komunikasi telah mengubahnya. Bunyi dan suara pun ber­peran kembali, dan melibatkan manusia ke dalam ”kini”, tapi tak hanya itu: apa yang ”lalu” dapat kita gali kembali. Abad ke-21 punya keajaiban kecil: sebuah gudang gigantis yang mengawetkan informasi seluruh dunia kini bisa ditelisik cepat dan tepat dengan Google. Maka di satu sisi orang pun terlibat langsung dalam peristiwa, dan kita bisa bicara akrab atau berapi-api kepada mereka. Tapi sang pendengar, yang sekaligus penonton, bisa mengambil jarak. Ia juga bisa menyahut. Sang pembawa kata yang hadir tak punya aura dan otoritas yang mutlak lagi. Catatan Pinggir 7



201



LISAN



Sementara itu, huruf yang konon mematikan, juga kitab yang tamat, tak pula mampu menghentikan percakapan. Ajar dan ujar yang dihafal dan hukum yang dibukukan selalu bisa dipikirkan lagi dan digugat kembali. Keterbukaan sulit di­tampik­dari sini. Tapi, tentu, Ong tak menyebut bahwa televisi dan komputer,­ seperti halnya buku dan koran, masih jauh dari sebuah dunia di mana yang lisan dan tulisan dibungkam, mungkin oleh keke­ras­ an, mungkin oleh kemiskinan. Meskipun saya, seperti dia, ingin­ punya optimisme. Sekali-sekali.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 6 Juni 2004



202



Catatan Pinggir 7



SI ANJING



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



EORANG teman menjelaskan kepada saya kenapa ia tak ingin jadi presiden. ”Karena si Anjing,” katanya. Ia meng­­ aku­­ini sebuah jawaban yang congkak, karena sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa ia pernah membaca tentang Dioge­ nes, orang Sinop, yang lahir di kota di pantai Laut Hitam itu pada sekitar tahun 412 sebelum Masehi. Diogenes adalah sebuah legenda tersendiri. Aristoteles memanggilnya ”si Anjing”, atau, dalam bahasa Yunani, ”Kyon”. Filo­ sof­ yang aneh ini, yang hampir 30 tahun lebih tua ketimbang Aris­toteles, tak berkeberatan. Pandangan hidupnya memang bisa membuat ia dimaki. Ia seorang penampik yang radikal. Ia memilih untuk tak punya­apa pun. Ambisinya yang terbesar adalah untuk tak punya­ ambisi. Anak bankir dari wilayah Ionia ini (si ayah diketahui memalsukan uang dan diharuskan meninggalkan Sinop) akhirnya jadi seorang yang hidup seperti pertapa. Ditolaknya kekayaan dan tak diharapkannya penghargaan orang lain. Yang pokok, ba­ ginya, adalah auterkeia, ”swasembada”. Setiap hari ia berjubah kasar, bertongkat, dan membawa­kantong. Ia hidup dari derma sedapatnya. Bila ia minta makanan kepada seseorang, ia selalu bertanya adakah orang itu telah membe­ ri­kan sesuatu kepada orang lain; bila belum, ia akan meminta agar dirinya janganlah jadi penerima terakhir. Kenikmatan hidup dijauhinya dengan ekstrem: ia akan bergu­ lung di pasir yang terik di musim panas dan memeluk patung yang tertutupi salju di musim dingin. Terkadang ia tinggal di sebuah bilik kecil yang disediakan salah seorang temannya, atau, bila itu tak ada, ia akan tidur di pendapa Kuil Zeus di Athena atau di dalam pithos, bak besar di Metroum, kuil ibu dewa-dewa. Catatan Pinggir 7



203



http://facebook.com/indonesiapustaka



SI ANJING



Ada yang melihat persamaan antara perilaku Diogenes dan­ ajar­­an Kristen dan Buddhisme: memandang hidup dengan­ meng­ambil jarak dari hidup itu. Dalam salah satu kuliah filsafat di Collège de France di tahun 1984, Michel Foucault me­nyebut Diogenes sebagai pelopor gerakan yang menjadikan hidup seba­ gai ”lain”. Mungkin, kata Foucault, tema ini ikut membuka pintu­ bagi berkembangnya pandangan zuhud agama Kristen kemudian. Tapi sudah tentu ada beda antara Buddha, Yesus, dan Dio­ge­ nes. Si Anjing menyalak keras dan bisa menggigit. Menurut sebagian orang, dari sanalah asal-usul kata ”sinis” yang kita pakai hari ini. ”Sinisisme” (cynicism dalam bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin cynicus, terjemahan atas kata Yunani kynikos, ”seperti anjing”. Dari laku para pengikut Diogenes kemudian—yang menyebalkan banyak orang—kata itu akhir­nya jadi penanda sikap yang hanya mau melihat cacat manusia, bukan budi baiknya. Diogenes sendiri tak demikian. Tapi ucapan-ucapannya memang ketus. Niatnya adalah memprovokasi orang untuk ber­tu­ kar pikiran. Ia mencegah mereka pasif. Ia bukan saudagar katakata bagus yang bisa membuat hadirin tenang dan senang. Bahkan ia bisa kurang-ajar: konon ia tak ragu untuk berak dan masturbasi di depan orang, sebagai sebuah ekspresi ”tak-ada-rasa-malu” (anaideia). Mungkin baginya ”malu” adalah bagian dari ketidakbebasan. Memang ada sikap angkuh di situ. Plato benar. Pada suatu hari Diogenes menginjak-injak permadani miliknya, sambil berujar: ”Lihat, kuinjak-injak sikap jumawa Plato.” Plato pun menyahut: ”Ya, Diogenes—dengan sikap jumawa yang lain.” Tapi sikap jumawa itu berkait dengan kemerdekaan diri. Kita ingat kisah yang termasyhur ini: pada suatu hari Iskandar Agung datang ke tempat si Anjing berbaring seraya berjemur. Orang ku­at dari Makedonia ini memperkenalkan diri: ”Aku, Iskandar 204



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SI ANJING



Agung.” Sang filosof menjawab: ”Aku, Diogenes, si Anjing.” Ia acuh tak acuh. Kepada Iskandar ia pun berkata, kasar: ”Jangan berdiri di situ, menghalangi matahari.” Kisah ini agaknya cuma bagian dari sebuah fantasi, tapi yang penting ialah gambaran tentang hubungan kekuasaan yang tibatiba ternyata problematik. Foucault menguraikannya­dengan cemerlang berdasarkan risalah yang dituturkan oleh Dio Prusaeus, seorang filosof yang dalam pembuangan selama 14 tahun meng­ ikuti­jalan kaum Sinis, mengembara miskin di dekat Laut Hitam, hampir dua milenium yang lampau. Dalam risalah Dio Prusaeus, status Iskandar dan Diogenes di­ gambarkan sebagai sebuah paradoks: si Anjing yang tak punya apa-apa justru lebih tinggi tarafnya. Sebab Iskandar adalah sebuah kekurangan: ia butuh kekuasaan, dan dengan itu perlu pasukan, kekayaan, dan juga kesediaan rakyat Makedonia untuk patuh. Sebaliknya Diogenes: ia sudah dalam tahap auterkeia. Tentu saja Iskandar mampu membinasakan Diogenes yang kurang ajar itu. Tapi si Anjing menghadirkan sebuah dilema, ketika ia berkata: ”Kau punya kemampuan dan sanksi hukum untuk membunuhku. Tapi cukup beranikah kamu untuk mendengar­ kan apa yang benar dari mulutku, atau kau pengecut?” Di sini sebuah ”permainan parrhesiastik”, di mana kemer­de­ ka­an bicara berlangsung, dijalankan dengan penuh risiko. Tapi pada akhirnya tampak, kekuasaan sang raja bukanlah satu-satu­ nya kekuasaan. Ada kekuasaan ala Diogenes—sebuah titik nol dalam bak kosong yang mengandung kekuatan tersendiri. Itu sebabnya teman saya tak ingin jadi presiden. Meskipun ia tak menjalani hidup zuhud seperti kaum Sinis, ia tahu ada ukur­ an tentang kekuasaan-dan-kekuatan yang berbeda-beda yang harus diakui dalam hidup masyarakat. Ia kembali bercerita tentang si Anjing. Pada suatu hari, di sebuah pertandingan atletik dan lomba kuda, Diogenes datang unCatatan Pinggir 7



205



SI ANJING



tuk meletakkan mahkota pemenang di kepalanya sendiri.­Ketika ia hendak diusir, ia menjelaskan bahwa ia melakukan itu karena ia telah berhasil memenangi sebuah ”lomba”: ia telah mengatasi kemiskinan, pengasingan, dan putus asa. Bukan­kah hal itu le­ bih­sulit ketimbang melempar cakram, bertanding­gulat, dan lari cepat? Membuat kekuasaan dan ukurannya jadi beragam—dan me­ nunjukkan bahwa kekuasaan itu bisa hinggap di mana-mana— itulah sebenarnya yang dicapai Diogenes. Mungkin karena menyadari hal ini konon Iskandar pernah berkata: ”Seandainya aku bukan Iskandar, aku ingin jadi Diogenes.”



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 13 Juni 2004



206



Catatan Pinggir 7



TROYA



http://facebook.com/indonesiapustaka



P



ERANG itu berlangsung 10 tahun lamanya. Seribu kapal dan 100 ribu prajurit dikerahkan, dan Troya, sebuah kota kerajaan yang dulu konon terletak di ujung barat laut Turki, digepuk. Korban pun jatuh bertumpuk-tumpuk, para pendekar gugur. Dalam wiracarita yang termasyhur ini, medan tempur terlukis bengis: ”Idomeneus menusuk Erymas, lurus menerobos mulut: ujung tombak logam itu tembus ke dekat otak, menggrowak, membelah­ tengkorak yang berkilau keringat—gigi pun berhamburan, darah muncrat, menutupi kedua mata hingga kelopak, mengucur di liang hidung, dan bibir itu terkuak....” Untuk apa kebuasan itu? Menurut kisah Homeros, seorang pe­nyair buta yang konon hidup 2.850 tahun yang lalu, Perang Troya terjadi karena Agamemnon, raja orang Achaea, hendak me­rebut kembali istri adiknya yang diculik. Senjata pun dihunus karena sang penculik adalah seorang pangeran dari negeri lain. Seperti Ramayana: mengasyikkan tapi tak masuk akal. Terutama bagi penulis sejarah. Herodotus, sejarawan yang hi­ dup pada abad ke-5 sebelum Masehi, meragukan motif pembebasan istri itu. Maka wajar bila zaman ini, di tengah Perang­Irak yang lancung alasannya, film Troy yang disutradarai Wolfgang Pe­tersen menyodorkan penjelasan yang lebih bisa dimengerti abad ke-21. Hektor, pangeran dan pendekar perang dari Troya itu, berkata, menurut skenario David Benioff: ”Ini perkara kekuasaan, bukan cinta.” Kedua hal itu sebetulnya tak berbeda, bila ”cinta” berarti­”me­ miliki”. Dan pada zaman ketika ”memiliki” (kata lain untuk ”me­ nguasai”) jadi penting, ketika perempuan hanya­pelengkap, alas­ an Agamemnon untuk berperang habis-habis­an bisa merupakan Catatan Pinggir 7



207



http://facebook.com/indonesiapustaka



TROYA



kombinasi antara ”wanita” dan ”takhta”.­ Benar bahwa Helena, ipar­nya, diculik oleh Paris dan dibawa ke Troya. Tapi benar pula bahwa soalnya menyangkut gengsi dan kekukuhan sebuah kerajaan. Saya kira itu sebabnya Jean Giraudoux menuliskan lakonnya, Perang Troya Tak Akan Meletus (La Guerre de Troie n’aura pas lieu) dengan cemooh, dan ketika Arifin C. Noer mementas­kannya di Taman Ismail Marzuki 30 tahun yang lalu, ia menyelipkan logat orang Tegal dalam dialog, untuk meledek. Dalam Babak ke-2, Hektor yang tak menghendaki perang memanggil seorang pakar­ hukum internasional, Busiris. Orang ini menguraikan dasar-da­ sar legal untuk berperang melawan­orang Achaea yang telah siaga di laut itu. Tapi Hektor, yang melihat betapa gampangnya orang menemukan dalih untuk­ berperang, berhasil menekan Busiris agar memakai dalih yang sama untuk tidak berperang. ”Kita harus cepat-cepat menutup­semua pintu peperangan, dengan segala gembok, segala palang,” katanya. Menarik bahwa dalam lakon ini Hektor melihat perang seba­ gai sesuatu yang datang dari luar. Tapi ”luar” itu baginya bukan balatentara bangsa Achaea itu. Ia bahkan tak hendak menutup ger­bang kota untuk mereka. Yang ingin ditampiknya adalah bencana bagi yang tak bersalah. Akhirnya kita tahu, Hektor tak bisa mencegah bencana itu. Dalam penuturan Homeros, Hektor akhirnya ikut bertempur. Ia maju dengan gagah, meskipun ia tahu Troya akan jatuh dan ia akan gugur. Dan tatkala akhirnya kota itu bobol, dan pasukan­ Yunani masuk, yang tak bersalah memang jadi korban: putra Hektor, Astyanax, dilemparkan pasukan yang menang itu ke din­ding. Bayi itu mati. Tapi pangeran Troya itu benar: perang tak datang dari dalam dan dari 1.000 kapal Yunani. Dalam kisah Homeros, perang itu datang dari atas—dari para dewa. 208



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



TROYA



Dalam cerita kuno ini, Kahyangan adalah Olimpus yang sibuk: para dewa dengan bernafsu menyeret manusia ke dalam kebuasan yang sebenarnya tak mereka inginkan. Raja Priam­ dari Troya tahu itu. Ia memandang sedih Helena yang di­tuduh­ jadi biang perkara, dan berkata, ”Anakku, aku tak me­nyalahkan­mu. Para dewalah yang harus disalahkan. Merekalah yang menyebabkan perang yang mengerikan ini.” Mungkin terlampau gampang menyalahkan para dewa, tapi di bagian ketiga wiracarita Homeros, memang inilah yang terjadi: setelah bertahun-tahun kedua kubu berkelahi tanpa­ kalah­ dan menang, mereka pun bersepakat menyelesaikan per­soalan dengan cara yang lebih hemat dan adil: Paris, yang menculik He­ lena, akan berduel dengan Menelues, sang suami,­adik Raja Aga­ memnon. Siapa yang menang akan berhak menyunting­ perempuan jelita itu, dan setelah itu perang akan ditutup. Tapi ternyata dewa dan dewi di Olimpus tak menghendaki perdamaian.... Bagi Dewi Afrodita, yang mencintai Paris yang tampan, laki-­ laki itu harus ditolong di saat ia nyaris terbunuh. Bagi Hera, istri Zeus, pokoknya Troya harus hancur. Zeus akhir­nya mengalah: ba­pak para dewa ini menyetujui Troya binasa, karena­Hera kelak akan merelakan kota-kota kesayangannya, antara lain Argos dan Sparta, terbasmi. Dengan hasutan para dewa, kedua kubu pun se­ gera saling membunuh kembali. Kekejaman berkobar, dan Troya hancur. Saya tak tahu bagaimana dengan imajinasi seperti itu agama bisa menyusun argumennya. Tapi mungkin tiga milenia yang lalu kisah Homeros adalah awal kesadaran akan absurditas hidup dan ambivalensi iman: manusia percaya adanya dewa yang berkuasa, tapi dengan itu manusia harus menanggungkan nasib sebagai ketentuan Langit. Dalam kondisi semuram itu, apa kiranya yang membuat hidup berharga? Catatan Pinggir 7



209



TROYA



Saya kira jawabnya muncul di bagian akhir cerita: malam itu Priam, ayah Hektor, datang dari Troya tanpa pengawal ke kemah musuh. Ia menemui Akhilles yang telah membunuh Hektor dan dengan bengis menyeret jasadnya berkeliling dengan kereta pe­ rang.­Priam ingin mengambil jenazah anaknya. Akhilles tersentuh melihat pak tua yang kehilangan itu, dan se­raya mencoba menahan tangis, ia menyilakan tamunya duduk. ”Para dewa yang kekal tak peduli,” katanya, ”tapi nasib yang me­ re­ka timpakan kepada manusia penuh dengan tragedi.” Suara itu akrab. Di saat seperti ini hidup pun terasa berarti kembali, berpijar kem­bali, karena manusia berjabat tangan dan Kahyangan ter­ diam.­



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 20 Juni 2004



210



Catatan Pinggir 7



TERTAWA



http://facebook.com/indonesiapustaka



K



ETIKA hasrat berkuasa jadi lumrah, kebutuhan akan ter­tawa jadi penting. Ambisi bukanlah suatu hal yang buruk, namun sempit. Kehendak untuk jadi pemenang pemilih­an presiden pada dasarnya sama dengan tekad jadi pemegang Piala Eropa. Dalam motif itu, sebuah lapangan direduksikan jadi arena antara ”kita” dan ”mereka”. Arah hanya satu. Humor bisa menghentikan penyempitan itu. Yang jenaka meng­guncang konsentrasi, mengacau fokus, dan memperluas hi­ dup dengan menampilkan yang ganjil dan terjungkir balik. Misalnya lelucon ini: Calon Presiden X datang ke sebuah daerah miskin di Pulau B. Di hadapan sekitar 700 penghuni, sang calon berpidato. ”Saudara-saudara,” katanya, ”akan saya bangun instalasi air bersih untuk desa ini!” Penduduk mula-mula diam. Tiba-tiba seorang berteriak, ”Hoya!” Segera, semua warga juga berseru, ”Hoya! Hoya!” Pak Calon tak tahu apa arti kata yang diteriakkan dalam bahasa lokal itu, tapi ia lihat orang pada tersenyum. Ia pun kembali bergelora. ”Kelak, jika saya menang,” katanya lagi keras, ”akan saya keluarkan keputusan bahwa rakyat Pulau B tak perlu bayar pajak!’ ”Hoya! Hoya!” ”Meskipun begitu, Saudara-saudara, sekolah akan tetap di­ bangun!” ”Hoya! Hoya!” Pidato kampanye pun selesai. Sang Calon berkeliling melihatlihat rumah kumuh dan ladang kering di dusun yang miskin dan kotor itu. Di sebuah sudut ia nyaris terperosok. Seorang desa berCatatan Pinggir 7



211



http://facebook.com/indonesiapustaka



TERTAWA



kata, ”Awas, Pak, jangan sampai menginjak hoya”—dan ditunjuknya seonggok tahi. Realitas seakan-akan ambyar dalam peristiwa itu. Citra umum seorang calon presiden tiba-tiba bukan lagi sesuatu yang su­dah bulat. Umumnya ia dianggap pintar dan cerdik. Tapi di sana ia terkecoh oleh rakyat di dusun miskin yang galib­nya diba­ yang­kan sebagai ”terkebelakang”. Ada satu lelucon lain. Calon Presiden Z datang ke sebuah­per­ temuan di kawasan baru di luar Bogor. Penduduk ber­kumpul­di sebuah gelanggang olahraga, dan Pak Calon ber­pidato­ tentang perlunya pembaruan akhlak. Setelah itu, ia men­­datangi­orang ramai untuk bersalaman. Tiba-tiba seorang perempuan mendekat. Ia tersenyum. Pak Z pun membalas senyum itu dengan ramah. Ia ulurkan tangan­nya: ”Terima kasih, Bu. Ibu kelak akan memilih saya, kan?” ”Lo, tentu, dong,” sahut perempuan itu, ”Kan, saya istrimu yang pertama!” Kisah ini diarahkan ke seseorang yang dikenal beristri banyak,­ tentu. Humor memang bisa seperti agresi. Thomas­Hobbes, yang me­mandang manusia dengan muram, menyata­kan bahwa kita me­nertawai orang lain karena kita merasa hebat dan orang lain ki­ta anggap cacat. Seseorang yang menyusun teori tentang humor juga mengatakan bahwa lelucon adalah hasil evolusi dari sua­ra aum dalam duel rimba raya. Tapi ada lelucon yang tak menertawai orang lain, me­lain­kan di­ri sendiri. Dalam humor jenis ini hidup seakan-akan tak punya ketegangan. Ketika ”agresi” diarahkan ke diri sendiri,­ konflik adalah sesuatu yang mubazir. Tapi bagaimana­hidup berubah tanpa konflik? Maka ada yang mengatakan, humor bersifat konservatif. Ada benarnya. Dalam film Indonesia lama, sebagai ke­lanjut­an­ dari tonil populer tahun 1920-an, adegan kocak yang lazim ada­ 212



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



TERTAWA



lah ketika muncul jongos dan babu. Kedua anggota kelas bawah ini menampilkan diri begitu udik dan tolol. Mere­ka diadakan untuk sebuah kontras bagi sosok sang majikan yang serba ganteng,­ cantik, berhasil. Di sini tata sosial yang timpang, antara si juragan yang menang dan si abdi yang takluk, diperkuat. Tapi tak semua lelucon jongos-babu memperkukuh apa yang mapan, meskipun sepintas memang tampak begitu. Saya ingat Sri­mulat. Sejarah kelompok ini adalah sejarah orang-orang yang me­ ne­­robos tata sosial dan kategorinya. Jika kita ikuti buku Teguh Sri­mu­lat yang disusun Herry Gendut Janarto (terbit pada tahun 1990), sang pendiri kelompok lawak itu lahir dengan nama Raden Ajeng Srimulat. Ia putri Wedana Bekonang, Surakarta. Anak wedana ini tak cuma gemuk dan cantik; ia juga pintar menembang macapat, dan suaranya merdu. Di rumah orang tuanya, kesenian Jawa adalah bagian hidup sehari-hari. Tapi Srimulat melarikan diri. Kehidupan rumah orang tua­ nya­menyesakkan dia setelah ibunya meninggal. Ia mendapatkan ibu tiri yang tak menyetujui gadis itu meneruskan sekolah. Ia di­ pingit.­Ia minggat. Dalam pelarian ini ia bergerak terus. Rangkaian hidupnya la­ yak untuk bahan novel yang bagus: ia bergabung dengan rombongan seorang dalang, lalu sebuah grup ketoprak yang main di alun-alun kota, lalu sebuah paguyuban wayang orang yang di­ pim­pin seorang perempuan yang juga memimpin orkes yang memainkan lagu keroncong, dan akhirnya berkelana dari pasar malam ke pasar malam. Di panggung yang mengembara itu ia berjumpa dengan Te­ guh.­Pemuda yang 18 tahun lebih muda ini kemudian jadi suami­ nya, dan kemudian mengabadikan nama Srimulat dalam sebuah kelompok komedi yang sukses. Teguh adalah anak Kho Swie Hien dari Kampung Bareng, Catatan Pinggir 7



213



TERTAWA



Klaten, yang dibesarkan oleh Go Bok Kwie, seorang buruh percetakan, dan istrinya, Ginem. Dari latar yang miskin ini ternyata ia tumbuh jadi seorang pemain musik berbakat, antara­lain berkat Pak Wiro, tetangganya, seorang pembuat gitar. Tapi lebih dari itu, seperti Srimulat, Teguh juga orang yang menerobos tata masyarakat kolonial. Sementara Srimulat tak terjerat dalam kategori kelas, Teguh tak terjebak dalam kategori ras. Bukan kebetulan mereka betah di dunia seni hiburan. Sudah lama, apalagi pada masa menjelang runtuhnya kolonialisme di awal 1940-an, dunia ini bebas dari desain kekuasaan Hindia-Belanda yang merumuskan identitas dengan dasar asal-usul. Itu mungkin sebabnya lelucon Srimulat dalam adegan abdi-­ ma­jikan tak sama dengan klise dalam tonil tahun 1920-an. Si juragan bisa tampak bodoh dan sebaliknya si pembantu cerdik. Posisi berubah tak putus-putusnya. Martabat dan identitas ber­ada da­lam chaos. Semua bisa ditertawai, semua bisa menertawai—sebuah situasi carnavalesque yang meneruskan kerinduan demokrasi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 27 Juni 2004



214



Catatan Pinggir 7



TEPI



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



I sekitar Bagdad, siapa yang berdosa? Rasa bersalah telah jadi muskil. Kini tiap hari orang dibunuh, tapi tiap jam selalu ada dalih untuk membunuh. Sekelompok gerilyawan memenggal kepala Kim Sun-il, orang Korea yang mereka sandera. Tubuhnya ditinggalkan di antara Bagdad dan Kota Fallujah. Dunia mengutuk. Tapi para gerilyawan itu akan mengatakan: ”Benar, Kim tak berdosa, tapi pe­me­ rin­tah Republik Korea?” Mereka akan mengatakan bahwa yang berkuasa di Seoul se­ sung­guhnya dapat membebaskan warga negara Korea itu. Tapi tin­dakan itu tak mereka pilih. Sang presiden lebih perlu mendukung Amerika—dan kian terlibat dengan sesuatu yang kotor: menyerang Irak secara tak sah dan mendudukinya sampai hari ini. Tapi Presiden Republik Korea pasti punya jawab: Kim ada­ lah­sesuatu yang bisa disebut ”korban” (victim) dan juga ”kurban”­ (sacrifice). Ia biarkan Kim terbunuh agar lebih banyak­orang selamat. Republiknya selama ini dilindungi kekuatan Amerika Se­ rikat, dan sebab itu hubungan dengan negeri itu harus dirawat. Juga dari Seoul hendak ditunjukkan betapa sia-sianya siasat gertak para gerilyawan. Jika hari ini tak ada yang takut kepada mere­ ka, mereka akhirnya akan berhenti menyandera. Maka siapa yang benar, siapa berdosa? Ataukah di sini berkecamuk sebuah kekacauan batas dalam nilai? Mungkin justru sebaliknya. Kini Irak adalah tanah berdarah yang terbelah tegas. Tiap konflik seperti ini memang mengubah ruang jadi sebuah dunia Mani: sebuah pergulatan antara dua kubu, yang diterjemahkan sebagai perang antara Gelap dan Terang. Pergulatan itu kini tak Catatan Pinggir 7



215



http://facebook.com/indonesiapustaka



TEPI



ada dalam batin. Ketika aku bertikai tajam dengan dia, perang itu keluar dari diri, dan akulah sepenuhnya mewakili Terang, dia Gelap. Maka jika banyak yang hilang di Irak kini, salah satu yang penting adalah rasa tragis. ”Rasa” di sini berarti kesadaran yang merasuk ke hati. Yang tragis timbul ketika kita menyadari posi­ si manusia di tengah Terang dan Gelap—sebuah posisi yang genting. Izinkan saya bicara panjang tentang ini. Saya ingat Milan Kun­dera pernah mengutarakan kembali apa yang konon dikata­ kan Hegel: ”Bersalah, itulah kelebihan karakter tragis yang agung.” Ia benar, meskipun tak sepenuhnya meyakinkan. Ia membawa kita ke dalam Antigone, karya Sophokles yang termasyhur itu, yang di Indonesia, 30 tahun yang lalu, dipentaskan Bengkel Teater Rendra dengan mempesona. Dalam kisah ini, Antigone, putri Oedipus yang membuang diri dari takhta Thebes itu, menyaksikan bagaimana kedua adiknya saling­membunuh. Keduanya gugur. Kreon, Raja Thebes yang baru, melarang salah satu di antara­ pa­ngeran yang tewas itu dikuburkan. Mendengar ini, Antigone­ menentang sekuat tenaga. Diam-diam dimakamkannya tubuh yang dihinakan sebagai pengkhianat itu. Menge­tahui ini Kreon pun menghukum mati perempuan muda itu. Dalam tafsir Kundera, baik Kreon—yang hendak menjaga­ ketertiban hukum Thebes—maupun Antigone, yang tergerak­ untuk melawan ketertiban itu karena hukum Kreon melawan rasa keadilan dan aturan dewa-dewa, tampil bukan sebagai Te­ rang kontra Gelap. Keduanya bersalah, tapi juga tak bersalah. Yang penting ialah pengakuan, bahwa ada dosa di kedua belah sisi. Hanya dengan mengakui dosa itu, sebuah karakter menjadi karakter agung dan berbaik kembali pun jadi mungkin. Itu sebabnya Kundera mencemooh versi Antigone yang pernah 216



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



TEPI



dilihatnya di Praha, ketika Partai Komunis berkuasa di Cekoslovakia. Menurut ajaran resmi ”realisme sosialis”, kelompok teater waktu itu mementaskan Antigone sebagai teladan ”hero positif” Komunisme—sepenuhnya kebaikan—melawan Kreon, ”si jahat” Fascisme. Betapa menyesakkan, betapa dangkal. Jika kita lepaskan konflik manusia dari penafsiran sebagai perang antara kebaik­an dan kejahanaman, kata Kundera, dan jika kita pahami seng­keta itu dalam sorotan tragedi, akan tampak betapa nisbi­nya kebenaran manusia. Akan tampak pula ”keperluan untuk bersikap adil kepada musuh”. Kundera benar, tapi tesisnya berlaku terbatas. Di luar karya Sophokles, sebenarnya tak banyak tragedi yang mengisahkan rasa berdosa. Hamlet dan Raja Lear dalam lakon Shakespeare mati menyedihkan, mungkin bersalah, tapi yang menyentuh kita bukan itu. Sebab itu saya punya tesis lain. Bagi saya, ”berdosa” bukanlah inti ”rasa tragis”. Intinya adalah kesadaran tentang ”tepi”. ”Tepi” bukanlah ”batas”. Kata ini tak berkaitan dengan ke­ ter­­batasan. ”Tepi” mengandung sesuatu yang sepi, juga me­nun­ jukkan keadaan genting sebab siapa pun akan sendirian ketika ada pelbagai sisi yang dihadapi, ketika seseorang tak ber­ada di satu pusat yang mantap. Bukan saja karena Terang dan Gelap ada di mana-mana, tapi juga karena kedua-duanya mengandung bahaya. Pernah saya temukan sebuah kutipan, yang selalu saya ingat,­ ko­non dari Nelson Mandela, yang mengatakan bahwa yang perlu kita takuti bukanlah Gelap diri kita (”our darkness”) melainkan justru Terang diri kita (”our light”). Bagi saya kutipan itu menarik dan mengagumkan. Mandela, tentu saja, tak akan masuk kategori Gelap di buku sejarah. Bertahun-tahun ia disekap oleh pemerintahan kulit putih Afrika Selatan yang dikecam dunia. Ia bisa dengan mudah­ menyatakan Catatan Pinggir 7



217



TEPI



dirinya benar dan lawannya 100 persen berdosa, tapi ia sadar betapa berbahayanya sikap seperti itu. Angkuh karena benar akan menghilangkan ”rasa tragis”, dan tanpa rasa ini, seseorang akan merasa berdiri di pusat. Kesewenang-wenangan akan terjadi. Ju­ ga atas nama kebenaran. Irak kini adalah akibat dari kesewenang-wenangan itu. Irak adalah hasil sebuah kekuasaan besar yang meringkus peta dunia­ hanya dalam konflik antara Terang dan Gelap, antara Axis of Goodness dan Axis of Evil. Kekerasan dimulai dari Washington dan London, dari Bush dan Blair, yang seraya mengira di dekat Tuhan, tak merasa bahwa sebenarnya mereka juga ber­ada­di tepi. Maka di sekitar Bagdad kini rasa berdosa pun jadi muskil, dan para pembunuh hadir.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 4 Juli 2004



218



Catatan Pinggir 7



TANGGULSARI



http://facebook.com/indonesiapustaka



P



ADA suatu malam, demokrasi datang ke lapangan badminton itu. Waktu: hari Ahad malam, 27 Juni 2004. Tempat: sebuah lapangan bulu tangkis di Kampung Tanggulsari, Desa Kadipiro, Surakarta. Perlengkapan: Lampu. Meja. Kursi. Kertas. Sejumlah drum oli yang ditegakkan. Ratusan warga hadir. Sebuah acara yang mungkin belum ada duanya dalam sejarah Indonesia dibuka: ”Warga RT Mencari Presiden. Uji Layak Capres.” Tentu, Megawati tak muncul di sana. Juga para calon presiden­ yang lain. Acara itu dimulai sonder instruksi. Sebagaimana dila­ porkan Koran Tempo, penggagasnya penduduk Tanggulsari sen­ di­ri. Mungkin demokrasi memang sudah menjalar ke sana. Tapi mungkin juga sebaliknya: demokrasi 2004 justru datang dari kerinduan orang di kampung untuk boleh bersua­ra, boleh menentukan, boleh mencoba—dan boleh asyik. Di lapangan badminton itu seorang ”calon presiden” langsung di-”uji layak”—sepasang kata yang lebih gamblang ke­timbang fit and proper test. Bentuknya: sebuah perdebatan terbuka. Yang bertanding adalah ”tim sukses Wiranto”, ”tim sukses Yudhoyono”, dan ”tim sukses Amien Rais. Adapun ”tim sukses Megawati” dan ”Hamzah Haz” dikabarkan tak hadir. Mereka tak datang dari ja­ uh. Semuanya para tetangga. Tiap ”tim sukses” muncul dalam sosok seseorang yang ber­di­ ri di podium darurat yang dibuat dari drum oli itu. Dua orang pria (masing-masing ”mewakili” Wiranto dan Yudhoyono) dan seorang perempuan (”mewakili” Amien Rais) me­ng­urai­kan pro­ gram calon presiden mereka. Masing-masing bicara 10 menit.­KeCatatan Pinggir 7



219



http://facebook.com/indonesiapustaka



TANGGULSARI



mudian, mengikuti model yang mereka lihat di televisi, para pembicara harus menjawab pertanyaan tiga anggota panel: seorang ibu rumah tangga, seorang pegawai negeri sipil, dan seorang buruh pabrik. Yang hadir juga diberi kesempatan bertanya. Orang pun berebut mengacungkan jari untuk mengemukakan persoalan mereka sehari-hari. Lebih dari acara di TV, debat di Tanggulsari itu berlangsung hampir empat jam, tanpa iklan. Setelah uji coba usai, sebuah pemungutan suara menyusul. Pa­ nitia membagi kertas pemilih yang harus dicoblos hadirin. Hasilnya dihitung. Siti Nur Zulaikhah, ”mewakili” pasangan AmienSiswono, dapat 34 suara dan dinyatakan menang. Tapi baginya tak ada kembang yang harum dan piala yang mengkilap. Siti Nur Zulaikhah harus duduk di kursi yang disediakan—sebuah kursi rusak. Kata Haristanto, yang ikut me­nyi­ ap­kan acara ini: itulah sebuah pesan bahwa ”jabatan presi­den bukan kursi empuk”. Dan wartawan Koran Tempo pun menutup la­ porannya dengan satu catatan: ”Mereka yang kalah tidak protes. Mereka yang menang harus duduk di kursi rusak.” Saya tersenyum, saya kagum, dan saya bertanya dalam hati: apa gerangan yang akan dikatakan para pendukung ”demo­krasi terpimpin” tentang acara di lapangan bulu tangkis kampung itu? ”Demokrasi terpimpin” dilaksanakan Bung Karno­di antara 1958 dan 1965. Idenya kurang-lebih meneruskan teori Ki Hajar Dewantara, seorang aristokrat dari Yogya yang akhir­nya jadi pemikir pendidikan. Ki Hajar menganggap ”rakyat” ibarat anakanak yang perlu diajari dan dipimpin—entah sampai kapan. Apa pula yang akan dikatakan pendekar ”Orde Baru”, yang menganggap ”politik” harus disetop di desa-desa? Mereka ini berangkat dari asumsi bahwa di dusun, ”rakyat” hidup rukun dan selaras, tanpa ketegangan—mengikuti mitos para pelukis ”Hindia Molek” di zaman kolonial, bahwa ”Hindia Belanda” adalah 220



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



TANGGULSARI



sederet gunung biru, sebentang sawah kuning, seutas jalanan te­ duh, sebuah tanah jajahan yang anteng. Atau hidup masyarakat yang ”asli” dibayangkan laksana seregu pemain gamelan—sebuah alegori yang dipakai oleh Dr. Sutomo, pemikir politik yang konservatif di tahun 1930-an, untuk­ menunjukkan bahwa di ”masyarakat Indonesia”, orang bisa punya peran yang berbeda, tapi tak ada konflik. Jika dengan setia­ mereka menyuarakan ”bunyi” masing-masing, se­su­atu yang la­ ras, lancer, dan merdu pun pasti akan jadi. Bersaing­itu berbahaya, bersaing itu asing. Dengan argumen macam itulah ”Orde Baru” ingin ”melin­ dungi” pedesaan Indonesia dari ”bahaya” yang ditebarkan dari ”luar”. Paternalisme pun bersenyawa dengan paranoia. Partai po­ litik dicurigai sebagai pembawa sengketa ke kancah ”rakyat”.­Ma­ ka, dipraktekkanlah gagasan ”massa mengambang” atau (se­ring di­sebut dengan bahasa Inggris) floating mass. Dalam konsep ini, ”rakyat” tak diperkenankan terpaut tetap pada satu partai. Se­ men­tara itu, dengan tipu muslihat, alasan sok-ilmiah, dan te­ror,­ Gol­kar dimaklumkan bukan sebagai partai politik, meskipun­si­ ap menang pemilu. Dalam sistem ”Orde Baru”, Golkar ada­lah sejenis makhluk siluman. Sejak 1999 orang Indonesia sadar bahwa semua itu keliru— baik Ki Hajar maupun Golkar. Perbedaan partai, perbedaan pi­ lih­an pemimpin, bisa berlangsung tak berbahaya jika proses itu bebas, adil, terbuka. Di lapangan badminton Tanggulsari, sesu­ atu yang universal—tak hanya ”Barat”—berlaku. Tapi, pada saat yang sama, satu hal lain bisa disimpulkan: ki­­ni tak seorang pun dapat berkata, ”Pada hakikatnya, rakyat­ adalah....” ”Rakyat” bukanlah makhluk mitologis. Tak ada satu ”hakikat”­yang pas untuk kapan saja dan di mana saja. ”Rakyat adalah kita...,” tulis penyair Hartoyo Andangjaya. ”Kita” bukanlah ”aku”. Perbedaan adalah niscaya. Catatan Pinggir 7



221



TANGGULSARI



Oleh sang penyair, ”kita” juga ditampilkan dalam ”kerja”. Artinya dalam proses, dalam sejarah, dengan perubahan yang tak terlarai. ”Rakyat” selalu luput dari teori yang terakhir. Mungkin itu sebabnya demokrasi perlu: tak ada teori ter­akhir­­ ten­tang ”rakyat” dan manusia. Maka kita harus mampu meng­ akui kesalahan konsep dan penilaian sendiri—juga ketika kita jadi ”rakyat” yang memilih, juga ketika kita jadi ”pemimpin” yang dipilih. Dengan kata lain, demokrasi berangkat dari alegori Tanggul­ sari: siapa pun duduk di kursi rusak, siapa pun tak sempurna, siapa pun mesti sementara, seperti sebuah pementasan yang siap di­ tertawai—juga oleh diri sendiri.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 11 Juli 2004



222



Catatan Pinggir 7



RAMALAN



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



I Indonesia, kata sebuah ramalan, demokrasi tak akan bertahan. Dalam The Future of Freedom, Fareed Zakaria menulis, ”Indonesia... bukanlah sebuah calon ideal untuk demokrasi.” Zakaria adalah editor Newsweek International yang dari kantornya yang tinggi di New York memandang reformasi Indonesia sebagai langkah yang salah. Pada tahun 1998, IMF dan pemerin­ tah AS seharusnya tak mendesakkan reformasi­ perekonomian­ untuk mengatasi krisis moneter waktu itu. Desakan itu, kata Za­karia, membantu hancurnya legitimasi pemerintah Soeharto hingga ia jatuh. Inilah yang dikenangnya tentang ”Orde Baru”: ”Soeharto men­jalankan sebuah rezim yang cacat tapi yang dapat mencapai­ ketertiban, pemerintahan yang sekuler, dan liberalisasi­ ekonomi—sebuah kombinasi yang mengesankan di Dunia Ketiga.” Sebuah aplaus—meskipun kini percuma dan tak meyakinkan.­ Tapi bagaimanapun dalam membahas tendensi demokrasi di dunia kini, dan kemungkinan rusaknya kemerdekaan dalam proses itu, The Future of Freedom memukau dan Zakaria cemerlang. Namun di situ pula ia bisa selip. Kecemerlangan pikirannya sering membungkus kesimpulan yang terlalu tangkas. Pikirannya­ seperti sinar laser: tajam, gemilang, tapi sempit. Ia sempit, mungkin karena ia seorang Amerika yang tinggal di Amerika. Seperti banyak analis Amerika, dalam pandangannya ada asumsi diam-diam bahwa dunia hanya sedaun kelor: pelbagai hal di atasnya akan terguncang bila Amerika mengangkat kelingking. Narsisisme Amerika ini sebuah sindrom yang sulit disembuhkan—dan mungkin itu sebabnya Zakaria melihat perubahan di Indonesia pada tahun 1998 seba­gai akibat langsung tuntut­ an IMF dan pemerintah AS. Catatan Pinggir 7



223



http://facebook.com/indonesiapustaka



RAMALAN



Terlalu cepat ia melihat. Begitu cepat hingga ia tak melihat­kalimatnya sendiri di halaman 154. Di sana Zakaria berbicara tentang ”politik kemarahan”. ”Politik kemarahan,” tulisnya, bersifat lokal. Bila dunia Arab marah kepada sebuah keadaan (dan tentunya juga bila orang Indonesia marah kepada represi­”Orde Baru”), itu tak ada hubungannya dengan ”kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang imperial.” Pada akhirnya memang hasrat dan daya imperial Amerika­ ada­lah satu hal, dan kerumitan dunia adalah hal lain. Lihat saja ke­konyolan para penggagas ”The Project of the New American­ Cen­tury” yang kini dengan pongah berkutat di Pentagon. Mere­ ka ingin mengukuhkan supremasi Amerika di dunia, tapi apa yang terjadi? Di Fallujah, impian itu dihantam bom. Sayangnya Zakaria (sekali lagi: terlalu cepat berpikir) lupa akan­ kenyataan seperti itu—sebagaimana ia lupa argumennya sendiri. Sementara ia memuji Soeharto di halaman 118, ia melihat cacat kekuasaannya di halaman 117: pemerintahan Soeharto, tulis Zakaria, ”kekurangan institusi politik yang diterima sah.” Soeharto ”mengelola negerinya melalui sebuah kelompok kecil­ orang istana, sedikit sekali memperhatikan perlunya pemba­ ngun­­an lembaga.” Tanpa institusi politik yang diterima sah, bagaimana sebuah rezim bisa bertahan dalam krisis yang dahsyat? Jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 adalah akibat dari sebuah keadaan di mana dalam dirinyalah kekuasaan terpusat—juga kesalah­an-kesalahan kekuasaan itu. Ketika di sebuah sore yang panas tahun itu, di depan para mahasiswa yang menduduki kompleks DPR, saya ber­bicara dengan gugup bahwa turunnya Soeharto adalah prasyarat bagi reformasi, alasan itulah yang ada di balik kepala saya. Agaknya juga di hati para demonstran. Reformasi dipekikkan karena kita ingin menyelamatkan­Republik dari serangkaian institusi yang pura-pura, dari sebuah tata 224



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



RAMALAN



yang identik dengan takhta. Sebab itu reformasi adalah untuk membangun stabilitas. Zakaria menulis bahwa setelah 1998 yang muncul di Indonesia adalah sebuah ketidakstabilan. Harus dicatat: ia menulis sebelum tahun 2003—dan tentu tak menyaksikan apa yang terjadi pada tahun 2004. Melihat pemilihan 2004, saya mulai tak percaya bahwa Indonesia bukan ”calon ideal demokrasi.” Zakaria memang punya alasan kenapa ia tak melihat demo­ krasi Indonesia akan berhasil. Ada tiga. Pertama, dari semua negeri Asia Timur, Indonesia paling bergantung pada sumber alam. Sebab itu negeri ini tak gampang ter­ desak untuk membuka pintu ekonominya kepada tuntutan luar. Alasan ini bisa benar seandainya Zakaria menyamakan Indonesia dengan Arab Saudi, atau berbicara tentang tahun 1980-an, ketika pendapatan minyak negara begitu domi­nan dalam ekonomi Indonesia. Tapi bukankah setelah minyak tak lagi ”brol”, setelah proteksionisme hanya membuat ekonomi boros dan korup, Indonesia pun masuk ke dalam kegandrungan deregulasi dan pintu yang terbuka ke ekonomi global? Kedua, Indonesia tak punya cukup lembaga politik yang punya legitimasi. Zakaria benar, tapi jalan berpikirnya terputar: legitimasi itu justru hanya bisa dibangun dari demokrasi.­ Ketiga, mustahil mencoba demokratisasi pada taraf pen­da­ patan per kepala yang rendah, sekitar US$ 2.650. Eksperimen itu tak akan lama umurnya, katanya, mungkin sekitar 18 tahun. Tentang ini, kita tak tahu: terlalu pagi untuk menilai benarkah aritmetik demokrasi itu. Lagi pula tidakkah demokrasi bisa menguat bersama naik­ nya kekayaan penduduk dan bisa berkembang bersama mekar­nya harapan untuk sejahtera? Mungkin Zakaria akan berkata, ”Ah, saya ragu.” Nun jauh di sana, di tengah genderang perang Bush yang meCatatan Pinggir 7



225



RAMALAN



mandang dunia Islam dengan waswas, memang mudah untuk memandang negeri muslim terbesar ini dengan ragu. ”Sistem politik yang baru terbuka [di Indonesia]... telah menghamburkan­ ke luar kaum fundamentalis Islam,” tulis Zakaria. ”Di sebuah negeri yang tak punya bahasa politik yang memadai, [orang] mengutarakan sebuah wacana yang sangat dikenal—wacana keagamaan.” Pemilu 1999, Pemilu 2004: rasanya orang Indonesia telah membuktikan diri punya cerita yang lebih ramai dan bermutu ke­timbang mimpi buruk Amerika. Meskipun kini masih terlalu­ dini untuk tahu, benarkah saya berharap, atau menggantang asap.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 18 Juli 2004



226



Catatan Pinggir 7



KARNAVAL



http://facebook.com/indonesiapustaka



A



DA negeri yang berubah dari karnaval jadi pentas, dan ada yang dari pentas jadi karnaval. Saya cemas untuk hidup­di salah satu di antaranya. Karnaval kini telah jadi sebuah konsep, yang tiap kali di­ucap­ kan akan menyebabkan kita menengok ke gambaran­yang disaji­ kan Mikhail Bakhtin. Pemikir dan teoretikus kebudaya­an­ dari Rusia ini selalu membersitkan antusiasme jika ia ber­bicara­ tentang hal yang jadi pokok tesisnya ini. ”Karnaval,” tulis Bakhtin, ”tak mengenal lampu sorot.” Dengan kata lain, ia tak membedakan mana yang aktor dan mana yang penonton. Ia bukan pentas. Ia bukan pertunjukan.­ Sebab­ da­lam karnaval, tiap orang ikut serta. Karnaval merangkum­se­ muanya. Selama ia berlangsung, tak ada kehidupan di luar­nya. ”Selama masa karnaval, hidup tunduk kepada hukum­ karnaval itu,” kata Bakhtin, dan itu adalah ”dalil kemerdekaannya sendi­ ri.” Ada semangat ”universal”, yang berlaku untuk siapa saja, di mana berlangsung ”kehidupan kembali dan pembaruan kembali dunia, yang diikuti semua.” Sangat memikat, kedengarannya—juga bila imajinasi tentang karnaval diterapkan ke dunia politik. Di sana kita bisa mene­ mukan yang mirip dengan ”rame-rame patah cengke”, sebuah ekspresi yang bagus yang diambil dari sebuah nyanyian Maluku yang telah agak dilupakan. Tapi lebih dari sekadar ”rame-rame”, ada sesuatu yang lebih­ berarti dalam karnaval sebagai paradigma: dalam proses itu, yang lumer bukan saja batas yang biasa memisahkan pentas dari penonton, tapi juga batas yang final tentang apa pun. Pang­kat, privilese, norma, larangan, semua diabaikan. Karnaval ”tak bersahabat dengan semua yang dikekalkan dan dilengkapkan,” kata Catatan Pinggir 7



227



http://facebook.com/indonesiapustaka



KARNAVAL



Bakhtin. Dengan itu bisa kita bayangkan euforia penuh dari rakyat, pa­ ra demos yang berkeringat, dengan bau yang beragam dan gerak seenaknya berjingkrakan. Sama rata, sama rasa. Sangat memikat, tapi bisakah kita hidup dalam sebuah negeri­ yang seperti itu? Tidak, saya akan menjawab. Tidak, ham­pir se­ mua pemilih dalam Pemilu 2004 akan menjawab. Sebab bagi me­ reka, demokrasi justru sebuah usaha untuk me­nemu­kan yang stabil: sebuah pemerintah yang didukung luas dan yang menjaga hukum. Tapi memang ada yang kurang bergairah bila kita bayangkan sebuah kehidupan politik yang bagaikan pentas—tentu saja dalam bentuk sebuah panggung di gedung teater gaya baroque di sebuah kota Eropa yang tua. Para aktor menjalankan peran yang sudah ditetapkan. Mereka mengucapkan kata-kata yang su­dah ditulis. Kita pun tak bisa berteriak, sebelum layar turun, agar tokoh yang buruk turun saja. Dalam pelbagai bentuknya, kehidupan politik seperti itu pada akhirnya bertumpu pada bentuk, pada prosedur formal—nun di seberang prosenium, tempat lampu sorot menentukan mana yang sedang jadi fokus dan mana yang berdiri di latar belakang. Bakhtin, yang lulus dari Universitas St. Petersburg pada tahun 1918, memulai kariernya sebagai teoretikus bahasa dan penelaah sastra dalam masa Stalin berkuasa. Dengan kata lain, ketika re­ vo­lusi yang meletus pada tahun 1917 sudah digantikan elannya oleh sebuah birokrasi yang mantap dan langkah yang berderap dikendalikan Partai. Dalam kontrol itu, di bawah kaca sorot sensor, Bakhtin menulis tesis-tesisnya dengan nama lain. Itu pun tak menyelamatkannya, akhirnya. Pada tahun 1929 ia ditangkap dan dibuang ke wilayah Kazakh. Dari sini agaknya kita tahu betapa karnaval—dan bukan parade—merupakan model yang dirindukannya. Tapi dari sini bu228



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



KARNAVAL



kan hanya ketertiban Stalinis yang dinafikan. Di luar Soviet,­terutama justru setelah Bakhtin meninggal pada tahun 1975, datang para pengagum, khususnya mereka yang mempertanyakan kembali pola kehidupan modern, dengan label ”pasca-modernis” atau tidak. Hidup di bagian dunia di mana ”negara” adalah tauladan kerapian tersendiri, di mana proses demokrasi hanya menghasil­ kan­kompromi yang selalu memilih ”jalan-tengah”, politik seba­ gai buah modernitas seakan-akan membenarkan ramalan Max We­ber yang termasyhur: sebuah ”kandang besi”. Zygmunt Bauman menulis Modernity and Ambivalence dan menunjukkan betapa mengungkungnya kehidupan politik­ mo­ dern.­”Perilaku yang menunjukkan ciri modern,” tulis Bauman, ”substansi politik modern, intelek modern, kehidupan modern, adalah ikhtiar untuk menghabisi ambivalensi: sebuah ikhtiar untuk memberikan definisi yang persis—dan menekan serta menghapus setiap hal yang tak dapat dan tak hendak di­definisikan secara persis. Perilaku modern bukanlah ditujukan untuk menak­ lukkan tanah asing, tapi mengisi titik-titik kosong dalam com­ pleat mappa mundi.” Siapa yang sering mengikuti kritik kepada modernitas­ akan menganggap analisis Bauman mulai usang, dan seperti­acap­­kali terjadi di kalangan ”pasca-modernis”, ia tergoda oleh hiper­­bol. Dalam arti yang sama, karnaval ala Bakhtin adalah juga sebuah hiperbol. Atau lebih tepat barangkali: sebuah utopia.­Seperti la­ yak­nya setiap gambaran yang utopistis, peran­nya adalah sebagai penampikan. Juga, sebagai awal pencarian pilih­an-pilihan lain yang baru. Tapi memang di setiap periode, ada saat-saat di mana diperlu­ kan sebuah karnaval. Politik, sementara tetap berada sebagai pentas, beberapa saat perlu berubah menjadi ketoprak humor—sebuah bentuk baru dari teater yang formal dan tak mengejutkan lagi. Dalam ketoprak humor, yang tampak menggelikan adalah Catatan Pinggir 7



229



KARNAVAL



justru mereka yang saat itu begitu bersungguh-sungguh dan tak henti-hentinya ingin ”berarti”. Itulah yang terjadi dalam acuan Stalinis. Itu pula yang terjadi dalam acuan ”Orde Baru”. Maka demokrasi penting: ia bukan se­buah kisah para pahlawan dalam perang yang panjang, yang ber­lengan besar dan tak bisa menertawai dunia dan diri sendiri. Mung­kin sebab itu karnaval menawarkan keta­wa—ketawa yang tak mencemooh orang lain agar bisa merasa diri lebih tinggi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 25 Juli 2004



230



Catatan Pinggir 7



DARAH



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



ERING saya ingat anak-anak yang bernyanyi di halaman sebuah sekolah yang tak jauh dari danau. Pagi itu bersih. Lagu itu sudah biasa saya dengar di mana-mana, tapi pada saat macam itu terasa menggetarkan, mungkin karena tempat di dekat Danau Tamblingan itu sunyi, di ujung hutan, rindang oleh pohon yang lebat dan rimbun seperti rahasia. Atau mungkin karena di sudut itu, saya sempat merenung. Melodi itu bersahaja dan kata-kata itu bukan puisi yang cemerlang. Tanah airku, demikian paduan suara itu terdengar, tak bisa kulupakan, juga dalam pengembaraan yang jauh. Dari sekolah dusun itu mungkin tak ada anak yang pernah jauh berjalan. Tapi agaknya mereka bisa membayangkan, dari ke­ teduhan Bali Utara itu, bahwa ada sebuah negeri yang senantiasa melekat pada diri—sebuah negeri yang bukan hanya­sebuah tempat di peta bumi. Ada sebentuk nyanyian lain yang dilagukan hampir setiap orang Indonesia sejak kecil. Di sana disebut negeri ini sebagai­ ”tempat lahir”, ”tempat berlindung di hari tua”, dan ”tempat akhir­menutup mata”. Tapi kita tahu ”tempat” di kalimat itu juga berarti tanah ”tumpah darah”. ”Darah” selalu menerbitkan imaji yang dramatis, apalagi­darah yang ”tumpah”. Kata itu dekat dengan nyawa dan tubuh.­ ”Da­rah” yang tumpah berasosiasi dengan luka, sengsara,­risiko, bahaya, dan sengketa. Ada beda antara sebuah negeri sebagai sebuah ”tempat” dan­ sebuah negeri sebagai sebuah pengalaman khusus yang me­libat­ kan ”nyawa”, ”tubuh”, ”luka”, ”bahaya”, dan ”sengketa”. Dari per­bedaan itu kita akan lebih mengerti mengapa sebuah negeri bisa begitu berarti bagi diri kita. Sebab politik, dalam arti prosCatatan Pinggir 7



231



http://facebook.com/indonesiapustaka



DARAH



es, prosedur, dan prasarana mengatur kehidupan bersama di sebuah negeri, tak selamanya hanya bersangkutan dengan negosiasi di sekitar ruang dan bahan (”tanah” dan ”air”), tapi juga dengan trauma. Hampir semua negeri mempunyai trauma, meskipun tak selamanya diakui atau diingat lagi. Yang sulit melupakannya adalah orang Indonesia, Spanyol, atau Afrika Selatan. Mereka,­ lebih dari orang Singapura atau Abu Dhabi, akan mengerti mengapa sebuah negeri disebut ”tumpah darah”. Tanah itu sebuah arena publik yang pernah mengalami luka dan melihat diri sendiri tak bisa diterangkan bahkan oleh seorang Habermas. Dengan darah yang pernah tumpah kemarin, bagaimana kita bayangkan arena publik ini sebagai ”demokrasi rembukan” (de­ liberative democracy) yang menggunakan nalar untuk mencapai kemufakatan? Demokrasi Habermas hanya akan tampak seperti sebuah ruang sidang yang bersih dan rapi, jauh dari jalanan yang dihambat lubang dan reruntukan. Dengan bekas luka yang masih nyeri, tiap rembukan akan dilihat seba­gai sekadar siasat. Tak banyak orang percaya bahwa yang kuat dan korup membutuhkan rasionalitas. Posisi si lemah tak selamanya bisa diutarakan dengan nalar. Negara tak selamanya bisa dipercaya. Habermas menyadari ini dan menunjukkan peran civil society­ sebagai wali penjaga agar ”demokrasi rembukan” bisa berjalan baik dan benar. Harus ada pelbagai perkumpulan masyarakat yang menolak diatur oleh pasar dan dikungkung oleh Nega­ra. Itu­lah inti civil society atau ”masyarakat madani”. Tapi bisa yakinkah kita bahwa ”masyarakat madani” akan bisa mendukung rasionalitas? Bisakah ia berada di posisi yang tak akan berat sebelah ketika konflik terbit? Terus terang, saya tak pandai memahami Habermas. Bagi sa­ ya ia begitu yakin akan terjadinya konsensus, berkat laku komunikatif, berkat rasionalitas yang tak egosentris. Mungkin ia tak 232



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



DARAH



pernah membayangkan sebuah negeri sebagai ”tumpah darah”. Dalam bahasanya, ”negeri [kelahiran]” memang berarti Vater­ land, ”tanah bapak”. Bukan ”tanah ibu”, bukan ”ibu pertiwi” yang merasakan sakit dan cemas ketika si orok dilahirkan. Dengan metafor ”bapak”, yang terbayang adalah rasa terlin­ dung, tanpa kekhawatiran. Dengan bayangan ”bapak”, seng­­ke­ ta insya Allah akan dikelola hingga terpecahkan. Bahkan­konflik­ hanya akan tampak sebagai lintasan peristiwa di luar proses, se­ macam aksiden di arena publik. Tapi mungkin karena Habermas hidup di Eropa, tempat politik dan demokrasi begitu rapi dan mudah ditebak hingga terasa­ kehilangan élan. Di Indonesia, saya selalu ingat akan ”darah” yang ”tumpah” dalam kelahiran, perjalanan, dan kematian. Di sini orang hidup dengan risiko, bahaya, sengsara, tapi juga gairah dan pathos. Di sini konflik bukanlah sesuatu di luar proses, bukan ”kecelakaan”. Maka orang pun bermimpi tinggi tapi juga kecewa berat.­Tapi tidakkah dengan begitu demokrasi penting? Saya men­coba­ bilang ”ya” dan jadi pragmatis. Richard Rorty mengata­kan bahwa agenda dan laku politik adalah persoalan ”pembaruan yang pragmatis, jangka pendek, dan kompromi”. Bagaimana dengan mimpi dan gelora hati? ”Saya akan menyimpan radikal­isme dan pathos untuk saat-saat privat,” kata Rorty, tapi akan ”tetap jadi reformis dan pragmatis bila saya harus berurusan dengan orang lain.” Persoalannya, bagaimana membatasi saat yang privat dengan­ komitmen politik, di sebuah masyarakat di mana teror dan pe­ ngekangan bisa merasuk ke dalam lubuk pikiran yang sendiri. Demokrasi memang sebuah proses politik dengan ke­rendah­ an­hati. Demokrasi ada karena kita tahu betapa terbatas­nya diri, hingga keputusan jangka pendek dan kompromi pun jadi pilihan yang arif. Tapi apakah itu berarti kita tak perlu mengakui ada hal-hal­ Catatan Pinggir 7



233



DARAH



yang sebenarnya tak terselesaikan, misalnya ”keadilan”—dan sebab itu keputusan jangka pendek dan kompromi selalu mengan­ dung­cacat? Tidakkah kita harus selalu ingat bahwa ada hal-hal yang retak dan runtuh dan darah yang mungkin tumpah­ketika konsensus dibulatkan? Saya dengarkan terus nyanyian di tepi hutan itu. Mungkin saya salah. Mungkin di dalamnya ada kata ”terkenang sayu”.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 1 Agustus 2004



234



Catatan Pinggir 7



SAKSI



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



EMOKRASI bisa berangkat dari keramaian, tapi juga bisa dari kesunyian. Ketika orang Yunani berbicara tentang demos, yang dibayangkan adalah sesuatu yang jamak, se­bagai­mana halnya kata ”rakyat” tak pernah sebuah kon­ sep­tentang makhluk yang tunggal. Maka orang pun selalu me­ nga­itkan demokrasi dengan orang ramai, acap kali riuh-rendah—tak jauh dari kata ”demonstrasi”. Tapi ada yang salah rasanya ketika pemilihan umum disebut sebagai ”pesta demokrasi”. Pesta adalah kemeriahan, acap kali ka­ rena ada sesuatu yang telah dicapai, acap kali dengan sikap melupakan ihwal yang berat dan pedih. Pemilihan umum, sebaliknya, jauh dari lupa dan kegirangan berprestasi. Tapi kita ingat bahwa ”pesta demokrasi” adalah metafora untuk pemilihan umum yang diciptakan pada masa ”Orde Baru”— sebuah masa ketika kompetisi kekuasaan telah dipermak jadi seperti parade ondel-ondel: suatu kemeriahan yang tak teramat serius, dengan topeng-topeng besar yang itu-itu juga, yang berjalan tapi tak bisa banyak gerak. Meskipun tetap menarik karena ramai-ramai. Dan kita tahu, dalam sebuah rezim yang mengutamakan keamanan dan ketertiban, ramai-ramai itu diharapkan seperti re­ sep­si perkawinan kelas atas di Jakarta: tak ada humor, tak ada spontanitas, yang ada hanyalah jumlah, formalitas, pameran orang mampu. Maka dari metafora seperti itu kita sering lupa bahwa salah satu momen penting dalam kehidupan demokrasi bukanlah ramai-ramai, juga bukan macam tontonan topeng yang tak bervariasi. Pada saat pemilihan umum, justru yang sebaliknya yang terjadi: kesendirian, mungkin kesunyian. Di depan kotak suara, saya Catatan Pinggir 7



235



http://facebook.com/indonesiapustaka



SAKSI



tak bisa meminta bantuan teman dan keluarga saya. Saya juga tak bisa digantikan—meskipun akhirnya saya hanya akan diperlakukan sebagai angka. Pada saat itu saya tak bisa untuk tak merdeka, sebab memilih apa pun adalah laku kemerdekaan—juga ketika memilih untuk tak memilih. Di ruang tertutup di TPS, yang terdengar adalah diktum: ”Manusia dihukum untuk merdeka”. Tapi ”merdeka” dalam diktum Sartre yang termasyhur itu­tak menggambarkan seluruh situasi. Pada tahun 1950-an ucap­an itu merupakan bagian dari keyakinan humanisme se­orang ”eksistensialis”—keyakinan bahwa Tuhan telah mati, dan manusia berdiri sendiri, tanpa hakikat atau esensi yang di­tentukan sebelum ia ada. Dalam keadaan tanpa esensi itu, manusia­membentuk diri­ nya sendiri. Tanpa esensi, yang ada adalah eksistensi. Ia bagaikan seorang anak yatim piatu yang tak putus-putusnya berikhtiar. Ada yang heroik dalam citra itu—dengan sebersit gundah-gulana, l’angoisse. Tapi l’angoisse dalam filsafat kemerdekaan Sartre tak membuat­ manusia menemui dunia, atau hal-ihwal di luar kesadaran­nya, dengan takjub tapi rela. Ia malah menghimpun tekad, mengukur kekuatan. Mungkin tradisi humanisme yang membuat Sartre melihat­ hu­bungan manusia dengan dunia sebagai hubungan yang ber­ tolak­dari posisi ”subyek”. Dari posisi itu, seperti yang ada dalam pemikiran Descartes, kehadiran ”yang-lain” di luar kesadaran bersifat tentatif. Tatap-menatap antar-”subyek” pun me­rupakan ke­tegangan: tatapan adalah mempersoalkan. Kita ingat apa yang dikatakan seorang tokoh dalam lakon Sartre­yang terkenal, Pintu Tertutup, yang dipentaskan Akademi Teater Nasional di Jakarta pada 1956: ”Neraka adalah orang lain”. Memang Sartre bisa menyambut kesadaran sebagai ”kami”, ter­utama ketika ia mencoba menerima Marxisme dan bersua­ra sebagai aktivis politik. Tapi ”kami”-nya tak lain dari ”aku” dalam 236



Catatan Pinggir 7



SAKSI



http://facebook.com/indonesiapustaka



bentuk jamak. Ia tak mengenal ”kita”. Pada mula dan akhirnya adalah subyek, yang kukuh biarpun gundah. Dalam keadaan seperti itu, kukuh, manusia tampil terpisah sebagai pusat semesta. Ia tak mengenal saat-saat terkesima oleh Hidup, gentar, tersentuh, terpaut, akrab tapi hormat dalam Hi­ dup.­ Ia tak memandang dirinya, seperti dikatakan Heidegger dalam kritiknya kepada Sartre, sebagai ”gembala Ada”, bukan ”penguasa Ada”, bukan sang Tiran yang berkenan memasang kehidupan sebagai ”obyek”. ”Gembala” mungkin kiasan yang kurang tepat, sebab se­orang gembala adalah juga seorang pengarah jalan, sosok yang lebih ”tahu”. Saya cenderung mengatakan manusia adalah saksi. Sebab ia memang tak putus-putusnya memberikan kesaksi­an, tentang Hidup, tentang Ada, dan mungkin tentang ke­­angkuh­an atau kegundah-gulanaan diri dan sesamanya. Kesaksi­an bukanlah menyatakan sesuatu dengan bukti yang bisa di­verifi­kasi. Kesaksian bukanlah perkara ”pengetahuan”. Kesaksian, seperti dikatakan Derrida, justru akan kehilangan­nilainya­sebagai kesaksian jika ia bertelekan pada bukti, atau bertolak dari harapan bahwa sang saksi tahu persis, benar mutlak. Yang terpenting dalam hal seorang saksi ialah bahwa ia telah menyaksikan, dan ia meminta agar dipercaya. Ia bisa salah, tapi ia tak tergantikan. Seperti tersirat dalam sebuah sajak Paul Celan: Tak seorang pun bersaksi untuk sang saksi. Bila ketiga baris itu (yang ditafsirkan oleh Derrida dengan agak berputar-putar) mengimbau agar kita mengingat akan gawatnya posisi manusia sebagai saksi, dengan sajak itu kita akan me­mandang kemerdekaan manusia secara lain. Ketika manusia Catatan Pinggir 7



237



SAKSI



bertindak sebagai makhluk yang merdeka, ia bukan penakluk. Ia tahu apa artinya dipercaya, dan ia tahu ia sebuah risiko. Dalam posisi itulah ia berdiri di depan kotak suara, di kamar TPS yang tertutup, sendirian. Ia merdeka, tapi ia memandang­ diri­nya sebagai seorang yang memberi mandat, dan dengan de­ mikian ia seorang saksi, kini dan nanti. Ia juga memandang diri orang yang dipilihnya tak jauh dari dirinya: seorang yang akan bertugas, dan bukan penakluk, tahu apa artinya dipercaya, dan tahu bahwa dirinya bukanlah jaminan, tapi sebuah bahan harap­ an.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 8 Agustus 2004



238



Catatan Pinggir 7



PROKLAMASI



http://facebook.com/indonesiapustaka



P



ADA suatu malam di bulan Januari 1976, di Irlandia­ Utara, sebuah minibus disetop seregu orang bertopeng dan bersenjata. Para penumpangnya, buruh yang baru pu­lang dari pabrik, tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Di negeri itu berlangsung saling bunuh antara milisi­ Katolik dan milisi Protestan, dan pembantaian pun akhirnya menghantam siapa saja—juga rombongan buruh itu. Mereka dipaksa turun dari minibus. Di tepi jalan, satu demi satu mereka dideretkan berdiri berjajar. Para algojo sudah siap, senapan otomatis telah dikokang. Salah seorang dari orang bertopeng itu pun berkata, ”Siapa yang Katolik, maju ke depan.” Kebetulan para buruh itu semuanya Protestan, kecuali satu orang. Dengan ketakutan, orang ini mengikuti perintah. Tapi di malam gelap itu, sejenak, selintas, rekannya yang berdiri di sebelahnya memegang tangannya, seperti memberinya isyarat agar jangan, jangan ia menunjukkan diri, seakan-akan ia berkata, ”Kami semua tak akan mengkhianatimu, tak akan ada yang tahu apa agamamu.” Tapi orang itu sudah telanjur melangkah. Semua sudah melihat. Langkah kecil itu, apa boleh buat, sudah sebuah proklamasi. Ia pun maju menjemput Maut. Tembakan terdengar. Tapi ia terkejut. Tak ada peluru yang me­ngenainya. Ternyata yang jadi sasaran pembantaian adalah me­reka yang di sana, yang tak melangkah ke depan, yang bukan Katolik, termasuk rekan yang tadi mencoba memberinya­isyarat, ”jangan, jangan kamu menunjukkan diri”. Peluru menghajar, tubuh-tubuh itu roboh, tewas. Pembunuh bertopeng itu ternyata bukan milisi Protestan. Mereka gerilyawan Katolik. Catatan Pinggir 7



239



http://facebook.com/indonesiapustaka



PROKLAMASI



Insiden ini, yang benar-benar terjadi, dikisahkan oleh Seamus Heaney, dalam pidatonya ketika sastrawan Irlandia itu menerima Hadiah Nobel pada tahun 1995. Agaknya Heaney­ hendak bertanya bagaimana ia, seorang penyair pada zaman ini, berhadapan dengan sejarah, yang bagi Heaney sama dengan­”rumah jagal”. Tapi apa yang bisa dilakukan seorang penyair? Jawabannya pasti berhubungan dengan kata—predikat, penanda, identifikasi. Dari pembantaian di musim dingin itu kita bisa bertanya, kenapa gerangan orang perlu memilih definisi diri. Katakanlah orang dalam cerita ini bernama Samuel. Se­andai­ nya­ saat tak begitu genting, mungkin ia akan sejenak berpikir, apa sebenarnya arti proklamasi langkah kecil itu: apa arti predikat­ ”Katolik” itu bagi dirinya? Imannya yang kadang-kadang tak jelas? Keterpautannya dengan satu kaum semata-mata karena ia dilahirkan di kancah kaum itu? Ataukah ”Katolik” di situ hanya tanda seleksi, dan dengan demikian artinya ”bukan Protestan”, karena peluru menghendaki sasaran yang persis? Ataukah itu ber­ arti Samuel seseorang yang serta-merta ”tak bersalah”? Tak seorang pun bisa tahu mengapa manusia tak pernah­bisa bebas dari impuls untuk meringkas arti yang berbeda-­beda itu jadi sebuah identitas yang satu dan kompak. Sebuah cerita miste­ rius dalam Perjanjian Lama berkisah tentang dua sosok yang ber­ kelahi habis-habisan sepanjang malam. Tak ada­ yang menang. Adegan pun berakhir dengan memberikan­nama. ”Kaulah Israel,” kata yang satu kepada yang lain, lawan­nya. Seakan-akan, dengan memberikan nama, sebuah titik­final dicapai, dan satu tahap baru mulai. Nama memang bisa menghenti­kan ketidakpastian dan kekaburan yang me­run­dung­terus-menerus. Seperti halnya KTP dan SIM, tanda res­mi­pencegah kekaburan. Tapi setelah kekaburan hilang, belum tentu ada perdamaian.­­ Sebuah kata memang lahir dari kebersamaan: ketika para pem­ bu­nuh itu memakai kata ”Katolik”, mereka berasumsi­ bahwa 240



Catatan Pinggir 7



PROKLAMASI



yang dimaksudkan dengan predikat itu (dari kata praedicare, ”me­nyatakan secara publik”) sama artinya bagi orang ramai, termasuk para buruh yang dideretkan di tepi jalan itu. Di ambang pintu kebengisan sekalipun, tiap kata tetap mengundang kepercayaan bahwa ada makna yang bisa didukung bersama-sama. Tapi kita tak mungkin lupa, ia juga mengandung kekerasan. Ada sebuah sajak Heaney yang dua barisnya mengingatkan hal itu:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Between my finger and my thumb The squat pen rests; snug as a gun. Pena yang pendek kekar itu bersandar santai antara telunjuk dan jempol, seperti pistol.... Ya, kata tak hanya dituliskan rupanya, tapi juga bisa ditembakkan. Tentu saja harus diingat bahwa sebuah pistol bisa membunuh tapi juga bisa memberikan aba-aba untuk berlomba. Kata dan makna seakan-akan berkaitan dengan luka dan lari. Sebuah kata yang memasangkan identitas adalah ibarat sebuah jerat. Ketika seseorang disebut atau menyebut diri ”Katolik”, atau ”Muslim”, atau ”Yahudi”, ia masuk ke dalam sebuah kategori. Ia seper­ ti­macan terperangkap. Mungkin ia masih bisa melepaskan diri. Tapi tiap predikat selalu punya bekas luka, meskipun ia terus berlari sampai hilang pedih perih. Di tepi jalan di Irlandia Utara itu, Samuel bergerak dari mati ke hidup. Ia selamat, tapi ia meninggalkan teman-temannya yang dibantai. Tentu bisa dikatakan bahwa kata dipakai dengan hasrat untuk bicara ”benar”. Hari itu Samuel memang tak jadi bunglon untuk­ melindungi diri. Ia memilih jadi ”benar”: apa yang dikatakan tentang dirinya cocok dengan dirinya. Tapi bagaimana menguji kecocokan jika ”diri” itu hanya bisa dihadirkan dalam bahasa? Bahasa selalu berlebihan tapi juga terCatatan Pinggir 7



241



PROKLAMASI



lalu sedikit ”menangkap” pengalaman yang terus-menerus meng­ alir, berubah, ruwet, silih berganti. Meskipun­demikian, bahasa tak lantas dibuang, sebab dengan itu—dengan­nama, predikat, identitas—manusia bisa merapikan peng­alaman, dan tak kalangkabut. Bisa kita bayangkan ketika kata ”Katolik” terdengar pada ma­ lam yang dingin itu: seperti vonis. Tiap vonis menghentikan pro­ ses, memberi batas, tertutup seperti tembok. Pada saat yang sama, juga sebuah pemisah. ”Siapa yang Katolik, maju ke depan!”— dan dengan memaklumkan identitas, Samuel pun tak bersama lagi dengan rekan-rekannya, yang ingin me­lindungi­nya dan tak dapat dilindunginya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 15 Agustus 2004



242



Catatan Pinggir 7



MAHARAJA



http://facebook.com/indonesiapustaka



A



DA sebuah dongeng Hans Christian Andersen yang se­ ring­ dikutip sepotong tapi kemudian dilupakan, tentang seorang maharaja yang amat sibuk dengan satu cita-­ cita: berdandan bagus. Yang dipikirkannya hanya bagaimana berkereta­ sepanjang jalan, memperlihatkan pakaian model ter­ akhir.­ Syahdan, dua orang penipu datang menawari sang Maharaja­ seperangkat busana yang lain dari yang lain: terbuat dari kain yang ditenun dari serat ajaib, begitu halus, hingga hanya dapat di­ lihat oleh mereka yang pintar dan yang layak berkedudukan. Baginda pun terkesima. Ia berpikir, ”Bila kukenakan pakai­an seperti itu, aku akan tahu siapa saja bawahanku yang tak cocok menjabat, dan akan dapat kuketahui mana yang pintar dan mana yang dungu.” Kedua penipu itu pun mendapat order. Dengan cekatan me­re­ ka memasang alat tenun, dengan giat mereka bekerja. Dana ber­ limpah, tapi tentu saja alat tenun di sanggar itu kosong,­dan ke­­ sibukan mereka cuma pura-pura. Sang Maharaja sebetulnya ingin datang untuk melihat bagai­ mana rupa bahan yang sedang disiapkan itu. Tapi ia gentar. Ba­ gaimana kalau ternyata tekstil ajaib itu tak tampak di matanya? Ia akan mengetahui dirinya bodoh dan bukan orang yang layak bertakhta. Maka dikirimnya perdana menterinya ke sanggar itu un­tuk­­ mengecek, sambil menguji bagaimana sebenarnya mu­tu­­pejabat­ ini. Sang PM pun datang. Kedua penipu itu me­nyambut­nya, dan dengan petah-lidah menjelaskan betapa cemerlangnya warna nila di tepi sana dan betapa masih kurang rapinya tenunan di bagian sini. Sang PM tentu saja tak melihat­apa-apa, tapi ia menyatakan Catatan Pinggir 7



243



http://facebook.com/indonesiapustaka



MAHARAJA



kagum. Ia tak mau ketahuan bahwa­dirinya bodoh. Hal yang sama terjadi tiap kali Maharaja mengirim utusan. Syahdan, akhirnya Baginda sendiri bertamu ke sanggar itu. Ten­tu saja ia tak melihat apa-apa. Tapi ia bimbang: jangan-­jangan­ hanya ia sendiri yang tak bisa menikmati kain yang konon­indah tersebut. Maka, seperti yang lain-lain, ia tak mau mengaku. Akhirnya, kabar tersiar ke seluruh negeri tentang kain yang luar biasa itu. Baginda pun bersiap berpawai, dan kedua penipu­ itu dengan khidmat memasangkan busana yang tak ada itu ke tubuh Maharaja. Dengan semarak parade berlangsung. Sang Maharaja telanjang bulat, tentu, tapi dengan anggunnya tegak di atas kereta, dan seluruh khalayak kagum, ”Alangkah cemerlangnya busana beliau kali ini!” Mereka bertepuk. Hanya seorang anak kecil yang dengan polos mengatakan, ”Hai, Baginda telanjang!” Di seluruh dunia orang mengutip adegan ini untuk jadi alegori tentang kekuasaan yang memperdaya semua orang dan tentang kebenaran yang hanya bisa diutarakan oleh yang tak berdosa. Ta­ pi sebenarnya Andersen, seorang pendongeng ulung, membiarkan kisahnya tak selesai. Ia memang bercerita bahwa, setelah mendengar ujar si anak ke­cil, orang ramai pun sadar. Mereka berteriak, ”Baginda­telanjang!” Sang Raja dan para pembesarnya mendengar. Tapi ia dengan cepat memutuskan agar pura-pura besar itu tak batal.­Pawai terus. Baginda tetap tegak, anggun.... Di sini Andersen berhenti, dan kita bisa melanjutkan. Mungkin Baginda berpikir: jika ia terus bersikap seakan-akan ia berbu­ sana, jangan-jangan mereka yang berteriak itu yang akan jadi ragu akan benarnya penglihatan mereka. Sebab­apakah­kebenar­ an, sebenarnya? Andersen menuliskan dongeng­ ini pada tahun 1837. Abad lain yang menjawab, juga abad ini. Tapi mulanya adalah tahun 1930. 244



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



MAHARAJA



Waktu itu rakyat Jerman mendukung Nazi. Goebels, sang menteri propaganda, menyimpulkan bahwa jika dusta diulangulang, ia akan jadi kebenaran. Pada 1936-38 Stalin menghukum mati kawan-kawan separtai. Mereka tak bersalah, tapi toh mere­ ka siap mengaku bahwa tuduhan Stalin tentang kejahatan mere­ ka ”benar”. Jagat pemikiran pun guncang. Orang akhirnya menyimpul­ kan, sebuah tesis dianggap benar karena hubungan kepenting­an dan kekuasaan. Sampai hari ini: Presiden Bush meng­ubah­alasan­ nya menduduki Irak dan jutaan orang Amerika meng­­anggap itu benar, meskipun alasan semula—Saddam menyiap­kan senjata nuklir—terbukti salah dan Bush tampak telanjang. Dongeng Andersen jadi cerita masa kini, karena di sana kekuasaan tak hanya bermula dari laras bedil, tapi dari kata. Para penipu telah menggunakan kata dengan efektif, seperti iklan televisi yang disusun tepat dan disiarkan luas berulang kali. Tapi tentu saja kata-kata tak bekerja sepihak. Seandainya sang Raja percaya diri—atau percaya akan hubungan baik antara­mata dan otaknya—kata yang ampuh sekalipun akan boyak, tan­pa­ dampak. Namun Andersen datang dari sebuah zaman ketika­rasionalisme sedang menggugat tubuh, termasuk mata, kuping, dan kemaluan, hingga sang pendongeng terusik. Maka dicemo­ ohnya mereka yang meragukan kemampuan badan dan intuisi mereka sendiri untuk menangkap kebenaran. Mungkin karena tak ada lagi kebenaran yang pasti. Dalam do­ngeng itu, penipu, perdana menteri, raja, orang ramai, saling­ meneguhkan bahwa kebenaran akhirnya keputusan tentang kenyataan. Keputusan itulah yang membentuk kenyataan, yang membuat yang tak ada menjadi ada. Dengan kata lain: merekalah sebuah subyek yang penuh dengan kehendak meng­ubah dunia. Sampai akhirnya ada suara si bocah. Si bocah adalah pra-subyek: ia belum jadi pusat yang me­ Catatan Pinggir 7



245



MAHARAJA



ngukuh­kan kontrol dirinya atas dunia—ia membiarkan dunia yang dilihatnya di tengah jalan tanpa dibingkai tegar. Ia biarkan dunia yang dilihatnya seakan-akan menari, berbeda tiap kali. Anak adalah keterbukaan. Dalam Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry, hanya si anak yang dapat melihat sebuah gambar siluet bukan gambar sebuah topi, melainkan gajah­yang ditelan ular sawah. Bagi mereka, kebenaran bukanlah hasil mencocokkan dunia dengan akal dalam diri, bukan adaequatio intel­ lectus ad rem. Kebenaran adalah sebuah peristiwa yang sederhana tapi menakjubkan: ”Hai, Baginda telanjang.” Si bocah mungkin melihat itu mengasyikkan. Ia belum ingin mengubah dunia.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 22 Agustus 2004



246



Catatan Pinggir 7



KYNISME



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



EPASANG sosok pemimpin. Sebuah lagu nasional. Latar­­ yang molek, anak-anak yang sehat, bendera yang ber­ki­ bar.... Iklan, apalagi iklan untuk kampanye presiden, ada­ lah cerita yang tahu bahwa yang tampil hanya impian, dan sebab itu tak usah dipercaya—tapi sebenarnya juga sebuah mesin pembuat kepercayaan. Paradoks iklan mirip slinder doa dari Tibet. Benda ini bisa ber­putar seperti gasing di atas tangkai, dan dengan itu kita bisa berdoa. Begini caranya. Mula-mula tuliskan doa Anda pada secarik kertas. Gulung kertas itu, lalu letakkanlah di dalam slinder itu,­ kemudian putar dia. Anda kemudian boleh melamun tentang apa saja, misalnya tentang Richard Gere, tapi pada saat itu Anda berdoa, karena di slinder itu doa Anda telah berjalan.... Tentu saja Anda tahu, putaran kertas itu bukan menuju ke arah Sang Pengabul. Pikiran Anda tak mempercayai bahwa doa bisa dijalankan oleh sebuah alat. Tapi laku Anda mempercayainya.­ Bukan, Anda bukan bingung atau terbelah. Tak ada yang ganjil­ di sini. Sebab kita melakukannya sehari-hari: dari membeli sampo­ sampai dengan mengirim anak ke sekolah, dari naik haji sampai­ dengan menggunakan jasa bank, dari membuat pesta­ per­ka­ winan sampai dengan memilih wakil rakyat di DPR. Siapa bilang akal kita, juga hati kita, yakin bahwa pesta kawin menyenangkan orang, sekolah akan membuat anak bertambah pintar, dan di DPR keinginan rakyat sama dengan keinginan wakilnya? Kita hidup dalam zaman yang dikuasai oleh ”Akal Yang Sinis” (der Zynischen Vernunft), kata Peter Sloterdijk, dengan­agak dramatik. Pemikir Jerman mutakhir ini mencoba me­nunjukkan Catatan Pinggir 7



247



http://facebook.com/indonesiapustaka



KYNISME



bahwa ungkapan Marx atas ideologi kini sudah tak berlaku lagi. Ideologi, menurut Marx, ialah ketika ”orang tak tahu itu, tapi orang toh melakukan itu.” Ideologi adalah ”kesadar­an palsu”. Tapi itu pada abad ke-19. Pada zaman kini, dengan iklan dan retorika, sebuah kesadaran palsu yang berbeda pun beredar: orang datang ke kantor polisi melapor bahwa­ ia kecuri­an, sementara tahu betul itu tak akan menyebabkan si pencuri tertangkap dan barang yang hilang didapatkan kembali. Dengan singkat, ”mere­ ka tahu betul akan hal itu, tapi mereka mengerjakannya juga”. Dan itulah ”sinisme”. Maka bagi Sloterdijk, kritik kaum Marxis terhadap ideologi­ tak mempan lagi. Kritik Marxis bermaksud membuka kedok, misalnya bahwa kepercayaan agama atau cita-cita demokrasi politik sebetulnya hanyalah hasil kepentingan sebuah kelas. Tapi pada masa pasca-Marxis, topeng itu sudah diketahui sebagai topeng. Mau diapakan? Akal yang sinis adalah sebuah ”kesadaran palsu” tapi yang ”tercerahkan” (aufgeklärt). Dengan kata lain, kepalsuan itu kita akui. Kita tahu yang disebut ”keadilan” dan ”kebenaran” itu sebenarnya sesuatu yang menyembunyikan kepen­ ting­an mereka yang beruang atau berkuasa—tapi seakan-akan secara otomatis orang tetap menghadap bapak hakim, menyewa pengacara, dan mau menanti berhari-hari. Analisa Sloterdijk dapat mengena untuk menggambarkan pro­ses peradilan di Indonesia kini, tapi ia sebetulnya berbicara­ tentang mereka yang hidup di negeri yang rapi dan mapan. Yang menarik: kerapian dan kemapanan itu terkait dengan rasa lelah, ennui. Sebab masyarakat tak kaget lagi dengan politik, ketika niat dan janji akan perbaikan sudah jadi rutin, dan kekecewaan telah jadi akrab. Dengan kata lain ketika demokrasi liberal sudah mirip, dalam kiasan Baudrillard, ”menopause”. Di masyarakat yang masih la­ par akan harap seperti Indonesia, yang masih hangat dengan ke248



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



KYNISME



percayaan bahwa zaman baru akan datang dan lembaga yang mandek akan disegarkan, tersirat sebuah sikap yang naif tapi membuat gelora hidup. Lama-kelamaan bisakah kenaifan itu bertahan? Jika kita saksikan ennui yang digambarkan Sloterdijk,­jawab­­ nya adalah ”tidak”. Kesadaran palsu, tapi yang tercerahkan,­akan datang melalui informasi dan pendidikan—sebuah ”pendidik­ an dalam disilusi”. Orang tahu bahwa akhir­nya, seperti disebut dalam Opera Tiga Gobang Bertolt Brecht, tak banyak bedanya antara ”merampok bank” dan ”membuka usaha bank”. Orang akan tahu bagaimana sebenarnya hidup diputar-putar, tapi tak tahu bagaimana menampiknya. Hanya hasrat untuk hidup terus yang mendorong orang buat menerima hubungan dan lembaga yang sudah ada, hal-hal yang sebetulnya nilainya meragukan. Dengan kata lain, ilusi diperlukan, dan ”kebenaran” mungkin hanya kesepakat­an sosial dalam berkhayal. Lihatlah mata uang. Kita tahu kertas itu dengan gampang dapat kita robek dan bakar, tapi kita menerimanya sebagai sesuatu yang senilai dengan jerih payah kita. Jerih payah kita pun sudah disunglap, menjadi sesuatu yang bukan lagi pikiran dan keringat, melainkan sesuatu yang nyaris abstrak, dapat diukur dan dipertukarkan—misalnya dengan sekotak cokelat. Tentu saja, ilusi tak dapat selama-lamanya mencengkeram, betapapun kita membutuhkannya. Tak jarang orang akan mela­ wannya dan menertawainya. Dalam perlawan­an itu, dalam ke­ta­ wa, dan dalam sikap menampik, kita—kata Sloterdijk—memi­lih Kynismus, bukan Zynismus. Dengan ”kynisme”, yang tecermin­ da­lam cemooh di tepi-tepi jalan atau satire di pentas kabaret dan dagelan, orang seakan-akan mencubit­ diri­nya sendiri, untuk meng­ingatkan bahwa ada yang tertindas sebenarnya dalam ”pen­ di­dikan dalam disilusi” selama ini. Namun, saya ragu ”kynisme” akan membebaskan kita. Catatan Pinggir 7



249



KYNISME



Mung­­­­kin ia hanya candu bagi rakyat. Ketawa itu sehat, tapi juga­ bi­­sa congkak. Bukankah dengan mengatakan, seraya­ ketawa­ meng­­­ejek, misalnya bahwa ”elite hanya mengibuli rak­yat”, kita sebe­nar­nya cuma mau kelihatan lebih pintar dari rakyat? Maka agaknya diperlukan sesuatu yang lain, mungkin pe­ ngorban­an diri, agar manusia bisa menemukan keluhuran kembali. Dengan itu orang akan menyaksikan sesuatu yang mengatasi­ yang rutin, buntu, dan tak sinis. Kita ingat, sebelum momen yang agung itu digantikan mesin kepercayaan, itulah yang terjadi, bukan?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 29 Agustus 2004



250



Catatan Pinggir 7



FANTASI



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



I tiap masyarakat yang ramai, selalu ada mereka yang tak tampak. ”Saya tak tampak,” tulis Ralph Ellison, ”hanya karena orang tak mau melihat saya.” Ia berbicara sebagai orang hitam di Amerika pada tahun 1950-an. Novelnya, Invisible Man, menggambarkan masyarakat Amerika yang memisahkan orang hitam dari orang putih­ dari tempat yang paling eksklusif, misalnya klub pencinta bridge, hingga di tempat yang paling umum, misalnya sekolah, ruang tunggu, bus kota. Jika masa lalu itu direnungkan kini, mungkin kita akan heran, kaget, dan ngeri, mengetahui bahwa manusia pernah bisa menjalankan kebijakan yang sekeji itu. Dan itu terjadi di sebuah demokrasi, belum setengah abad yang lalu, setelah di­ketahui­betapa mengerikannya di Jerman, di bawah Nazi, ribu­an orang, juga anak kecil, harus ”tak tampak” lagi, dan sebab itu harus masuk ka­mar gas, semata-mata lantaran mereka terbilang manusia yang berbeda, yakni Yahudi. Kenapa hal itu mungkin? Mungkin karena ketakutan, mungkin kecemburuan, mung­ kin kecongkakan—tapi mungkin sesuatu yang lain: karena fantasi, kata Slavoj Zizek mengingatkan. Pemikir dari Slovenia ini saya kira layak didengar, sebab ia menjelaskan rasisme dari sebab yang lebih mendasar ketimbang sekadar soal pembagian kue ekonomi dan politik. Zizek mengikuti Lacan—ia selalu mengikuti guru psikoanalisis Prancis itu—dan ia menghadapkan kita pada diri kita sendiri yang merasa tak bersalah. Fantasi lahir karena kita kehilangan. Kita kehilangan karena­ kita hidup, mengenal dunia, menentukan pilihan, hanya­melalui bahasa, yang menetapkan nama, mengidentifikasi, membuat ka­ te­gori, hukum, norma, ukuran—singkatnya me­negak­kan seCatatan Pinggir 7



251



http://facebook.com/indonesiapustaka



FANTASI



buah tata simbolik. Tapi ada yang tak sepenuhnya bisa dibahasakan, ada yang tak tertangkap dalam tata simbolik. ”Kata-kata gagal,” kata Lacan. Seraya berbahasa kita tahu bahwa bahasa ha­ nya­memenggal ”The Real”, kata Zizek. Fantasi terbit untuk menebus trauma dari pemenggalan itu. Ia ingin memulihkan keutuhan. Kita pun memerlukannya: ia me­ nopang diriku dalam memahami dunia yang riuh-rendah dan begitu luas dan dalam. Galileo meyakinkan bahwa bumi bukan­ lah pusat alam semesta, tapi orang-orang salih di dusun Italia mungkin membutuhkan keyakinan yang datang dari Kitab Suci bahwa tidaklah demikian halnya. Fantasi itu dapat diibaratkan sebagai sebuah jendela, dari mana kita meninjau tempat lain, orang lain, seperti tingkap di apartemen si fotograf cacat dalam film Hitchcock Rear Window. Di jendela itu kita bisa memilih posisi. Salah satu posisi adalah menafikan yang ada di sana dan mengubahnya jadi tak tampak. Tapi kenapa dengan fantasi itu, sebuah posisi dipilih dan sebuah masyarakat menolak untuk melihat salah satu unsurnya sendiri? Saya kira karena kita tahu bahwa diri kita adalah subyek­ yang sebenarnya tak meyakinkan. Kita memandang diri melalui cermin, tapi kita harus berasumsi bahwa cermin itu ”benar”. Tapi pernahkah kita pasti? Maka dengan bahasa-lah, dengan nama, kita mengukuhkan diri. Kita menyebut diri ”pribumi” atau ”Tionghoa”, tapi kita tak akan pernah yakin apa sebenarnya arti kata itu. Untuk mendapatkan makna kata ”kucing” kita membutuhkan ”yang bukan kucing”. Mungkin sebab itu, kata Zizek, fantasi muncul dalam sebuah kontradiksi. Di satu pihak, ia memenuhi perannya untuk me­ nebus sesuatu yang hilang ketika ia, dengan tata simbolik, hendak memahami yang nyata. Maka orang pun berkhayal tentang sebuah masyarakat yang utuh, selaras, serasi, rapi—seperti fantasi Orde Baru tentang ”jati diri Indonesia” dan fantasi Nazi ten252



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



FANTASI



tang Volksgemeinschaft. Di lain pihak, orang tahu bahwa kenyataan sosial mustahil untuk bisa seindah itu. Maka sebuah fantasi lain muncul: ada orang lain yang datang mengganggu. Di Amerika Serikat, orang putih ingin orang hitam tak tampak mungkin karena orang hitam, yang miskin, yang dekil dan dianiaya, mengganggu hati nurani orang putih yang merasa bersalah. Di Arab Saudi, perempuan tak diizinkan menyetir­mobil dan di muka umum harus mengenakan pakaian hitam yang tertutup brukut, karena lelaki, yang jadi raja, polisi, dan ulama, takut dengan pikiran erotik di kepala sendiri—sama halnya bila ba­ pak pengkhotbah cemas melihat adegan ciuman di sebuah film. Ada pelbagai cara untuk membuat orang lain ”tak tampak”, antara lain mula-mula dengan memasukkannya ke dalam kotak atau kandang, diberi label, dan dikunci pintunya. Di Malay­sia, Singapura, dan Indonesia, program pengkotakan itu mengambil bentuk yang beragam. Di Indonesia, huruf Cina dilarang Orde Baru, begitu juga barongsai dan wayang po-te-hi. Di Malaysia dan Singapura, tak terasa ada yang dibuat ”tak tampak”. Tapi kotak itu dikukuhkan. Seakan-akan tampak sebagai ”saling menghormati” perbedaan, yang sebenarnya terjadi adalah upaya untuk saling menutup pintu—sebuah wujud, jika kita pakai analisis Zizek, ”rasisme postmodern”. Tapi bagaimana membuat yang tak tampak menjadi kelihatan,­ dan percakapan dimulai? Zizek menyebut peran ”negara”,­karena­ baginya kelompok di luar negara tak jarang hanya melanjutkan rasisme, terkadang dengan kekerasan. Tapi ”negara” tak sertamerta bisa dianggap netral dari pengaruh di luarnya. Menghadapi kritik semacam ini, Zizek memang tak banyak menawarkan pemecahan soal. Salah satu sarannya adalah ”melintas-tembus fantasi”, ”traverse the fantasy”, sampai akhirnya mengetahui bahwa ”Cina”, ”Melayu”, ”Arab” adalah sosok fantasi belaka. Seperti kata Lacan, ”kata-kata gagal.” Tempo, 5 September 2004 Catatan Pinggir 7



253



http://facebook.com/indonesiapustaka



254



Catatan Pinggir 7



BESLAN



http://facebook.com/indonesiapustaka



M



AKIN lama saya makin tak tahu apa artinya ”mengetahui”. Terutama sekarang. Seakan-akan saya tengah berlari di sebuah maraton, tapi bukan berlomba dengan pelari lain, melainkan dengan kecepatan itu sendiri. Lihat, saya bisa memperoleh informasi beberapa menit saja setelah sebuah peristiwa terjadi, seperti kali ini, ketika sekitar 250 orang tewas kena ledakan dan tembakan di sebuah kota di Rusia Selatan itu—ya, nun di sebuah kota yang tak pernah saya dengar­ sebelumnya, di sebuah wilayah yang disebut Republik Ossetia Utara, bagian dari Rusia, sebuah negeri yang begitu jauh tapi tiba-tiba memergoki kita dengan kengerian, kebuasan, setelah sejumlah orang militan yang bersenjata memasuki sekolah itu, menyandera anak-anak, guru, orang tua, memasang ranjau.... Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan? Begitu putus asa­­ kah mereka hingga mereka bersedia mati dengan bom meledak di tubuh mereka, seraya menantang serbuan pasukan komando Rusia, seraya membunuhi anak-anak, ya, anak-anak? Kecepatan telah mengejar saya—satelit berputar, radio bekerja, televisi bekerja, Internet bekerja—dan sebab itu jarak jadi jauh. Paradoks ini juga paradoks tentang ”tahu”. Duduk di depan komputer, saya tahu bahwa pada akhirnya banyak hal yang tak saya ketahui. Kecepatan bukannya menciutkan jarak, melainkan justru memelarkan jarak. ”Jarak” itu bukan jarak geografis, melainkan jarak antara bagian dalam diri saya yang berisi data—dengan segala detail yang mungkin—dan bagian dalam diri saya yang mengolah data itu. Apa sebenarnya yang menyebabkan orang Chechnya mau membunuh siapa saja dan di mana saja? Bagian diri saya yang menyimpan data—dengan bantuan Google, tentu—akan mengeluarkan Catatan Pinggir 7



255



http://facebook.com/indonesiapustaka



BESLAN



fakta geografis, sejarah, ekonomi, dan entah apa lagi, dan akan me­nyebut nama Shamil Basayev, atau bahkan ”Magomed ’Magas’ Yevloyev”, dan seterusnya. Tapi ada jurang yang menganga antara semua itu dan apa yang dapat saya ketahui tentang orangorang di Beslan itu, yang siap menyiapkan ranjau untuk meledak­ kan ratusan anak-anak. Hak menentukan nasib sendiri orang Chechnya yang di­ tampik­Kremlin? Semangat Islam ala Al-Qaidah? Tiba-tiba saya sadar bahwa ”Chechnya”, ”Islam”, dan seterusnya begitu membi­ ngung­kan: ”Chechnya” berarti anti-Rusia bagi Shamil Basayev, tapi mungkin tidak bagi Mufti Akhmad Kadirov. Betapa sulitnya identitas distabilkan untuk sebuah kelompok manusia, bahkan untuk diri sendiri pun. Dan betapa mudahnya kata berbunyi. Akhirnya saya hanya­ ta­hu tentang dunia melalui kata (”Chechnya”, ”Rusia”, ”Islam”,­ ”teroris”) yang tak saya buat sendiri, melainkan ditentukan oleh orang lain, disepakati, entah di mana dan bagaimana. Ada se­ orang filosof yang mengatakan kita hidup dalam ”penjara baha­ sa”, dan jangan-jangan dia benar. Kini saya merasa­kannya: saya tak pernah dapat keluar dari kata ”Chechnya” sebagai penanda­ negeri di gigir utara Pegunungan Kaukasus itu, dan kalaupun saya mengganti penanda itu dengan ”Belgedes”, saya tetap tahu bahwa yang ditandai dengan kata itu adalah ”kenyataan” yang akhirnya juga hanya bisa dimengerti dalam kerangka bahasa: ”Belgedes terletak di antara republik X dan republik Z, pendu­ duknya beragama Islam”—semua itu batasan simbolis yang diamini ramai-ramai. Meskipun simbol itu jangan-jangan ibarat kotak—dan ja­ ngan-­­­jangan tak sama isinya. Wittgenstein punya catatan yang terkenal tentang ini, dan biarlah saya sadur seenak saya: ”Ka­ta­ kan­lah tiap orang punya sebuah kotak dengan sesuatu di dalamnya: kita sebut sesuatu itu ”kupu-kupu”. Tapi sebetulnya tak ada 256



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



BESLAN



orang yang dapat mengecek apa isi kotak orang lain. Tiap orang yang bilang ia tahu apa itu ”kupu-kupu” mengata­kannya dengan melihat kupu-kupunya sendiri. Bagaimana kalau ada yang berbeda? Bagaimana kalau satu-satunya isi dalam kotak itu berubah?” Ada pepatah Melayu yang terkenal, yang berbunyi, ”Kepala sama berbulu, pendapat berlainan”, dan kita juga bisa membuat­ pepatah baru, ”Kata sama-sama berbunyi, tapi maknanya....”­­ Sa­ya tak ingin meneruskan pepatah baru ini. Sebab ada sesuatu dalam bahasa yang membuatnya terdorong mengklaim bahwa pada akhirnya ”makna” itu berlaku universal, atau setidaknya mapan, dan bahwa sebuah kata mewakili sebuah ”kenyataan”. Kalau tidak, bukankah manusia akan hidup­dalam kekacauan? Tapi saya tak pernah bisa membayangkan, bagaimana kita berbicara tanpa kekacauan kini, ketika di Beslan anak-anak dile­ takkan di tengah ajang pembantaian. Saya ingat cerita tentang seorang perempuan tua di musim yang sangat dingin di Leningrad, berdiri dalam antrean yang amat panjang untuk menjenguk anaknya di penjara. Dengan parasnya yang sudah membiru itu ia berbisik kepada penyair Anna Akhmatova yang ada di dekatnya: ”Dapatkah kau lukiskan ini?” Sang penyair diam. Bukankah itu juga yang dimaksudkan Adorno dengan sedikit dramatis, bahwa setelah Auschwitz—tempat ribuan anak-anak juga dibunuh oleh Hitler—tak ada lagi puisi bisa ditulis? Kepedihan, juga kebuasan, merasuk jauh di dalam diri kita dari masa ke masa. Saya tak tahu bagaimana semua itu bisa dirumuskan ke dalam sesuatu yang stabil dan sama di mana saja. Tapi Internet bekerja terus, radio bekerja terus, juga TV, dan ber­ asumsi bahwa dunia perlu tahu tentang 200 sekian yang mati di Beslan, 12 orang Nepal yang dibunuh di Irak, medali emas untuk Taufik, harga minyak dan kurs dolar, iklan mobil bekas, daftar­ dokter jaga, ”terorisme”, perjuangan untuk ”keadilan”.... Kata pun bergegas, saya terengah-engah, dan kian sulit untuk tahu apa Catatan Pinggir 7



257



BESLAN



artinya ”mengetahui”—kecuali dengan bahasa dan posisi kita, dengan hasrat dan ketakutan kita. Maka ada yang bilang, mari duduk diam, dan ikhlas bahwa kita tak akan tahu. Tapi sampai kapan? Tidakkah ada yang murung di sini—terutama ketika ada orang yang bersedia membunuh anak-anak agar kehadiran dan niatnya diketahui dunia.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 12 September 2004



258



Catatan Pinggir 7



JAKARTA, 10 SEPTEMBER 2004 —sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah mereka.



http://facebook.com/indonesiapustaka



K



ELAK, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin­ baru akan bisa membaca surat ini, yang ditulis oleh seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu meninggalkan kita semua secara tiba-tiba, ketika kalian belum mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan hari jadi muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di sebuah majalah tua: ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh, dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin adalah semacam doa: ”Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini, biarkan kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menangkap gelap.” Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi ia cemas akan kelam. Gelap adalah bagian dari hidup. Kelam ada­ lah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang mutlak. Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah. Dengan tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak membiarkan kelam itu berkuasa. Seakan-akan tiap senjakala ia melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk. Ia tahu bagaimana mereka disebut. Yang pertama bernama Kekerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga Ke­serakah­an, dan yang keempat Kebencian. Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia melawan. Di negeri yang sebenarnya tak hendak ditinggalkannya ini, Nak, tak semua orang melawan. Bahkan di masa kami tak sedikit Catatan Pinggir 7



259



http://facebook.com/indonesiapustaka



JAKARTA, 10 SEPTEMBER 2004



yang menyambut Empat Penunggang Kuda itu, sambil­berkata, ”Kita tak bisa bertahan, kita tak usah menentang mereka,­hidup­ toh hanya sebuah rumah gadai yang besar.” Dan seraya berujar demikian, mereka pun menggadaikan bagian dari diri mereka yang baik. Orang-orang itu yakin, dari perolehan gadai itu mereka akan mencapai yang mereka hasratkan. Sepuluh tahun yang akan da­ tang kalian mungkin masih akan menyaksikan hasrat itu. Terka­ dang tandanya adalah rumah besar, mobil menak­jubkan, pang­ kat dan kemasyhuran yang menjulang tinggi. Terkadang hasrat kekuasaan itu bercirikan panji-panji kemenangan yang berkibar—yang ditancapkan di atas tubuh luka orang-orang yang lemah. Ya, ayah kalian melawan semua itu—Empat Penunggang Ku­ da yang menakutkan itu, hasrat kekuasaan itu, juga ketika­hasrat­ itu mendekat ke dalam dirinya sendiri—dengan jihad yang sebe­ narnya sunyi. Seperti anak manusia di padang gurun. Ia tak me­ nge­nakan sabuk seorang samseng, ia tak memasang insinye se­ orang kampiun. Ia naik motor di tengah-tengah­ orang ramai, dan­­bersama-sama mereka menanggungkan polusi, risiko ke­ce­ lakaan, kesewenang-wenangan kendaraan besar, dan ketidakpastian hukum dari tikungan ke tikungan. Mungkin karena ia tahu bahwa di jalan itu, dalam kesunyian masing-masing, dengan fantasi dan arah yang tak selamanya sama, manusia pada akhirnya se­tara, dekat dengan debu. Alief, Diva, kini ayah kalian tak akan tampak di jalan itu. Ada yang terasa kosong di sana. Jika kami menangis, itu karena tiba-­tiba kami merasa ada sebuah batu penunjang yang tanggal. Sepanjang hidupnya yang muda, Munir, ayahmu, menopang sebuah ikhtiar bersama yang keras dan sulit agar kita semua bisa me­nyambut manusia, bukan sebagai ide tentang makhluk yang luhur dan mantap, tapi justru sebagai ketidak­pastian. 260



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



JAKARTA, 10 SEPTEMBER 2004



Ayahmu, Diva, senantiasa berhubungan dengan mereka yang tak kuat dan dianiaya; ia tahu benar tentang ketidakpastian itu. Apa yang disebut sebagai ”hak asasi manusia” baginya penting karena manusia selalu mengandung makna yang tak bisa diputuskan saat ini. Ada memang yang ingin memutuskan makna itu dengan meng­gedruk tanah: mereka yang menguasai lembaga, senjata,­ dan kata-kata sering merasa dapat memaksakan makna dengan kepastian yang kekal kepada yang lain. Julukan pun diberikan untuk menyanjung atau menista, label dipasang untuk mengontrol, seperti ketika mereka masukkan para tahanan ke dalam go­ longan ”A”, ”B”, dan ”C” dan menjatuhkan hukuman. Juga mere­ ka yang merasa diri menguasai kebenaran gemar meringkas seseorang ke dalam arti ”kafir”, ”beriman”, ”murtad”, ”Islamis”, ”fundamentalis”, ”kontra-revolusioner”, ”Orde Baru”, ”ekstrem kiri”—dan dengan itu membekukan kemungkinan apa pun yang berbeda dari dalam diri manusia. Ayah kalian terus-menerus melawan kekerasan itu, ketidak­ adilan itu. Tak pernah terdengar ia merasa letih. Mungkin sebab ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegang­an, dan ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berseru, ”Jangan kita jatuh ke dalam kelam!” Tapi akhirnya tiap jihad akan berhenti, Alief. Mungkin karena tiap syuhada yang hilang akan bisa jadi pengingat betapa ting­ gi nilai seorang yang baik. Apa arti seorang yang baik? Arti seorang yang baik, Diva, adalah Munir, ayahmu. Kemarin seorang teman berkata, jika Tuhan Maha-Adil, Ia akan meletakkan Munir di surga. Yang pasti, ayahmu memang telah menunjukkan bahwa surga itu mungkin. Adapun surga, Alief dan Diva, adalah waktu dan arah ke­ mana manusia menjadi luhur. Dari bumi ia terangkat ke langit,­ berada di samping Tuhan, demikianlah kiasannya, ketika diberiCatatan Pinggir 7



261



JAKARTA, 10 SEPTEMBER 2004



kannya sesuatu yang paling baik dari dirinya—juga nyawanya— kepada mereka yang lemah, yang dihinakan, yang ketakutan, yang membutuhkan. Diatasinya jasadnya yang terbatas, karena ia ingin mereka berbahagia. Maka bertahun-tahun setelah hari ini, aku ingin kalimat ini tetap bertahan buat kalian: ayahmu, syuhada itu, telah memberikan yang paling baik dari dirinya. Itu sebabnya kami berka­bung, karena kami gentar bahwa tak seorang pun akan bisa mengganti­ kannya. Tapi tak ada pilihan, Alief dan Diva. Kami, seperti kalian kelak, tak ingin jatuh ke dalam kelam.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 19 September 2004



262



Catatan Pinggir 7



PENGEBOM



http://facebook.com/indonesiapustaka



P



ADA tubuh yang berkeping-keping setelah bom meledak, pada kepala yang copot berdarah di tepi jalan itu, apa sebenarnya yang hendak diungkapkan? Pesan apa? Mungkin protes, mungkin keinginan untuk unjuk kemampuan. Tapi makin lama makin terasa bahwa terorisme adalah sebuah langkah bengis di jalan yang tak ada ujung. Semenjak 900 tahun lamanya cara kekerasan itu dipilih sebagai metode perjuang­ an politik, tapi tiap kali ia tak maju jauh dari sana. Kaum Hashshâshîn memulainya di bukit-bukit Iran di Alamut di abad ke-11, kaum anarkis mencobanya di Eropa di akhir abad ke-19, tapi apa hasilnya? Pertanyaan itu cepat atau lambat akan merundung mereka­ yang meledakkan bom di Bali dan Jakarta. Bagaimanakah mere­ ka menilai keberhasilan dan kegagalan kerja mereka? Menghitung jumlah ”musuh” yang mati? Ketakutan yang men­­cekam? Tapi ketakutan yang bagaimana? Ketakutan siapa?­Untuk apa? Dari balik asap dan destruksi hari itu, satu hal bisa di­sim­pul­ kan: mereka tak bisa disamakan dengan para pengebom bu­nuh di­ri Palestina. Para pelaku teror di wilayah yang kini diperintah Ariel Sharon itu membunuhi warga negara Israel, dengan perhitungan yang buas dengan dasar dendam dan aritmetika: makin berkurang orang Israel, yang bisa dianggap sebagai calon prajurit musuh dan pendukung sebuah kekuasaan yang tak adil, makin baik bagi orang Palestina. Akhirnya jumlah-lah yang akan menentukan dalam keadaan desak-mendesak di tanah yang diperebutkan itu. Dengan kata lain, terorisme di Palestina masih merupakan satu variasi lain dari tema yang dulu: perjuangan pembebasan nasional. Ikhtiar menegakkan negara sendiri itu berawal empat­ dasa­ Catatan Pinggir 7



263



http://facebook.com/indonesiapustaka



PENGEBOM



warsa yang lalu. Tapi si Palestina adalah tinju yang lemah,­dan si Israel, dengan bantuan AS, tinju yang jauh lebih kuat. Dalam keadaan asimetri itulah terorisme dipilih sebagai metode—membunuh dan mencederai siapa saja, juga orang yang tak bersalah, agar efeknya meluas dan tujuan politik tercapai. Metode itu, yang dimulai pada 1968, ditinggalkan Front Rak­ yat Pembebasan Palestina empat tahun kemudian karena­tak ada hasilnya. Bila siasat itu kini diteruskan dengan cara yang lebih me­ngerikan oleh Hamas, dasarnya tak berubah: seperti IRA di Irlandia yang meledakkan bom di pelbagai tempat umum di Inggris di tahun 1970-an, seperti yang dilakukan gerilyawan Chechnya hari-hari ini di bawah kekuasaan Rusia, terorisme itu tetap sebuah laku politik, meskipun dengan cara yang amat brutal. Laku politik bukanlah ibadat. Di sinilah terorisme ala Hamas­ berbeda coraknya dengan terorisme ala Imam Sa­mudra.­Para pe­ ngebom di Bali dan Jakarta memperlakukan kekerasan sebagai penyucian. Teriakannya keras menghujat ”Amerika”, tapi kata ”Amerika” itu tak mengacu ke sebuah bangun­an kekuasaan di su­atu ruang dan waktu. Kata itu telah jadi simbol sesuatu yang dekat dengan Roh Jahat. Perang itu jihad semesta. Dalam pergulatan kosmis ini kemenangan tak ditandai oleh lahirnya sebuah realitas politik baru yang menggantikan realitas politik lama. Pergulatan itu takdis. Kemenangan ditandai mati syahid. Artinya, aksi teror dilakukan dengan asumsi bahwa sang te­ ror­is­ akan gagal di dunia. Terornya tak dimaksudkan untuk­ meng­­ubah keadaan asimetri dalam besarnya kekuatan dan pe­ nga­ruh. Bahkan bom-bom yang meledak jauh dari pusat kekuasaan sang musuh—seakan-akan tembakan dari jarak yang tak bi­ sa menjangkau—dapat dilihat sebagai sebuah pe­negas­an atas ke­ tidakseimbangan yang berlaku: sang teroris akan tampak ga­gah­ berani menghadapi Raksasa Jalud. Ia tak membayangkan Ame­ rika akan takluk. 264



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



PENGEBOM



Bahkan ia sebenarnya tak peduli bila negeri itu akan ber­ tambah­ kuat, ibarat tubuh yang menghimpun antibodi setelah lolos dari serangan penyakit berulang kali. Bukan prioritas sang teroris melihat Amerika lenyap. Ketika dunia tak kunjung jadi suci, akhirnya yang penting bagaimana sang teroris sendiri akan bisa jadi suci, dalam kematian. Itu sebabnya terorisme seperti ini berbeda dengan gerakan mi­ lenarianisme revolusioner yang percaya bahwa pada suatu hari dunia akan jadi berubah oleh datangnya Keadilan. Bahkan ada tendensi anti-politik dalam teror di Bali dan di Jakarta: ada sikap mengabaikan kebersamaan, tak ada niat membujuk, sebab bukan dukungan orang ramai yang tampaknya hendak diperoleh. Tak berarti kaum teroris ini tak membutuhkan orang lain. Tak ada pengertian ”suci” dan ”syahid” tanpa orang lain menye­ tujui pengertian itu. Seorang martir menjadi martir karena­ ada dasar nilai yang diasumsikan telah diakui secara sosial. Apalagi sang teroris harus punya pembenaran atas kematian orang-orang yang tak bersalah, orang yang sebenarnya bukan musuh, ketika bom itu meledak. Untuk itu beberapa pengertian dipatok: ”keadilan” dan ”kesu­ cian”, yang sebenarnya selalu bisa ditafsirkan dari tiap sudut pandang dan kepentingan, dikancing ketat pemaknaannya, diberi point de capiton—dan sebuah ideologi terbentuk, kadang-kadang disebut ”agama”. Dengan itulah sang teroris memperoleh keyakinan akan misi dan martabat diri mereka di zaman ini, ketika keyakin­an lama kena guncang, ketika ajaran lama megap-megap tertimbun ribuan kata dan makna yang bergerak cepat, berubah cepat. Dilihat secara demikian, terorisme adalah sebuah usaha untuk­ tidak tenggelam. Ia mencoba ikut dalam perebutan hegemoni untuk menegakkan patokan pengertian dalam wacana masa kini. Ia membutuhkan pengakuan terhadap kebenaran sudut pandangCatatan Pinggir 7



265



PENGEBOM



nya. Tapi untuk itu ia sebenarnya memerlukan bahasa, daya pe­ nga­ruh ide-ide, bukan hanya suara bom dan jerit kematian. Sebab pada tubuh yang berkeping-keping, pada kepala yang meng­ ge­linding lepas di tepi jalan itu, apa sebenar­nya yang hendak diungkapkan? Pesan apa yang dapat disampaikan? Hanya sebuah jalan yang tak ada ujung, yang juga sebenar­nya jalan buntu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 26 September 2004



266



Catatan Pinggir 7



SOSOK



http://facebook.com/indonesiapustaka



P



OLITIK berubah ketika buah pikiran jadi gambar hi­ dup.­Politik berubah ketika seorang pemimpin menjelma­ jadi bintang yang dipasarkan. Televisi—yang senantiasa terdorong untuk cepat memikat secara visual, yang bekerja dengan waktu siar yang sesak dikepung iklan—telah membuat orang ramai tak punya kesempatan (atau kesabaran) untuk memperhatikan gagasan yang disajikan oleh seorang tokoh politik. Pendek kata, ”siapa” mendahului ”apa”. Bahkan ”siapa” tumbuh tanpa­”apa”. Seakan-akan kita menghadapi satu subyek yang bisa berdiri tanpa predikat. ”Subyek” semacam itu dengan sendirinya sosok yang genting:­ ia tergantung-gantung tak bertangan, tak berkaki. Ia dibentuk dari yang ditampilkan oleh kamera itu: patrapnya berbicara, cara­nya berjalan, dedeg tubuhnya, raut muka dan nada suaranya ketika mengucapkan kalimat—dan kita tak peduli apakah ia bercakap tentang pendidikan atau tentang empek-empek, tak amat peduli sejauh mana isi kalimatnya benar. Pada akhirnya ia seperti banyak hal yang tampil di layar itu: sebuah fantasi. Saya tak hanya bicara tentang Indonesia. Di akhir Juli 2004, di The New York Times, Paul Krugman menulis—dan saya rasa­kan ada frustrasi dalam prosanya—tentang ”triumph of the trivial”. Ia berbicara bagaimana menyesatkannya isi dan arus informasi­tentang kampanye dua calon presiden Amerika Serikat tahun ini: sang calon jadi selebritas. Dari ”berita TV”, kata Krugman, ”kita pun tahu tentang potongan rambut Tuan Kerry, dan bukan ga­ gas­­annya di bidang kesehatan. Kita tahu tentang cara George Bush menyisir, dan bukan kebijakan lingkungannya.” Tentu tak dapat dikatakan bahwa medium itulah yang membuat pesan politik hanya berisi tetek-bengek. Di balik­kekuatan Catatan Pinggir 7



267



http://facebook.com/indonesiapustaka



SOSOK



medium audio-visual itu ada sebuah daya lain: me­nang­nya sebuah ideologi yang mengobarkan semangat pasar.­ Memang, sejak zaman Yunani kuno, politikus selalu tampil sebagai persona—sosok yang mengatur diri untuk main di panggung sandiwara. Tapi di abad ke-21 kita menemukan yang le­ bih­­jauh: kini sosok yang muncul di mimbar itu sepenuhnya di­ bentuk­ untuk memenuhi hasrat para calon pelanggan. Subyek yang genting itu mencapai titik ekstremnya: ia sosok yang jadi produk, subyek yang jadi obyek, tokoh yang jadi toko. Harus diakui, politikus sebagai persona jarang berusaha untuk selalu tulus berbicara. Kebenaran akhirnya adalah perkara­ ke­mas­an.­Tapi di abad ke-21 ini, kemasan itu disesuaikan dengan kehidupan sosial yang digambarkan lebih sebagai sebuah shop­ ping mall. Di sini perbedaan dibentuk sebagai deret yang ”sintagmatik”, ibarat kiosk-kiosk yang tak hendak saling menggantikan. Bukan arena perjuangan. Demikianlah konflik seakan-akan absen, dan yang tergambar­ adalah segmen pasar yang beraneka. Melayani sebanyak-banyak­ nya konsumen, sang calon pemimpin pun harus mampu mene­ mui—tapi sekaligus melintasi—tiap segmen yang masing-ma­ sing­khas itu. Tak mengherankan bila pesan yang disampaikannya tak pernah persis dan konsisten: selalu ada sudut yang licin buat meluncur berpindah posisi. Maka kian lama kian akan diketahui—tapi tak dipedulikan benar—bahwa seorang tokoh terbentuk bukan karena fi’ il-nya yang sejati. Sang tokoh adakah hasil bentukan. Ia hanya­kita kenal melalui perantaraan media. Seperti telah disebutkan, ”realitas”nya sebenarnya fantasi; ia tersusun dari hasrat orang banyak dan juga membentuk hasrat orang banyak. Maka tak mengejutkan bila kini berjuta-juta calon pemilih di Amerika Serikat tetap hendak menjunjung George W. Bush terus di Gedung Putih, biarpun pelbagai temuan menunjukkan bah268



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SOSOK



wa presiden itu telah melibatkan negeri ke dalam perang­dengan alasan yang salah, bahwa ia gagal mengurangi terorisme di dunia dan pengangguran di dalam negeri, bahwa Amerika yang dipimpinnya makin dirundung paranoia dan retak di dalam.... Agaknya, di sana wabah fantasi begitu meluas, hingga daftar kesalahan Bush itu pun hanya diterima sebagai salah satu versi fantasi—sementara ada fantasi lain: Bush-lah yang akan mampu melindungi rakyat. Ketika kian gencar gerak media audio-visual­ dan makin kuat ideologi yang mengibarkan pasar, kian jelas pula bahwa ”kebenaran” bukanlah urusan Tuhan dan keabadian. ”Ke­benaran” harus diterima sebagai sesuatu yang mungkin dan tak stabil. Memang ada kaum fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, atau sekuler yang meyakini dan memasarkan ”kebenaran” yang te­guh. Mereka yakin itulah yang dapat mendasari kehidupan bersama. Tapi sementara tiap Minggu para pengkhotbah berseru,­ tiap hari Presiden Bush membaca Injil, bagaimana­semua orang dapat yakin? Seorang pemikir pragmatis seperti Richard Rorty— seraya mensyukuri kehidupan demokrasi Amerika—akan me­ nun­jukkan bahwa manusia tak membutuhkan ”prinsip ethis yang luhur”. Metafisika harus ditonjok. Soal keadilan, misalnya, tak usah diganduli filsafat, sebab keadilan dapat dicapai dengan ”muddling through”—seperti ketika­hakim memutuskan perkara yang sulit: ia cari celah, kadang salah, tapi ia terus memperbaiki yang dianggap keliru. Adakah bagi Rorty hidup hanya sebuah pasar malam? Ia, yang bukan Marxis, memang tak melihat sebuah negeri seba­gai sebuah pergulatan wacana untuk memperoleh hegemoni. Ia tak melihat, seperti Ernesto Laclau, bahwa dengan hegemonilah ”kebenaran” dan ”keadilan” diberi makna. Ia juga tak melihat sosok sang pemimpin sebagai bendera bagi sebuah barisan, yang kadang-kadang terdiri atas kawan baru dan Catatan Pinggir 7



269



SOSOK



musuh lama.... Memang terasa keras. Tapi justru dengan itu kita dapat melihat bahwa tiap kali satu bangunan politik baru berdiri, selalu­ada yang luka dan tersingkir—dan sebab itu tak ada ilusi tentang harmoni, malah timbul kerendahan hati. Maka tiap kali seorang pemimpin datang, sajak Chairil Anwar ini patut­dibaca­kan: ”Telah lahir seorang besar, dan tenggelam beratus ribu/Keduanya harus di­ catet, keduanya dapat tempat.”



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 3 Oktober 2004



270



Catatan Pinggir 7



1965



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



ENTANG pembantaian itu, tentang ribuan orang Indonesia yang dibunuh pada tahun 1965-1966 itu, pernahkah kita bisa bicara dengan pikiran terang? Mungkin belum. Mungkin tak akan. Tak mudah menentukan di titik mana cerita ini harus dibuka.­ Ada yang memulainya pada malam antara 30 September dan 1 Oktober itu, ketika sejumlah perwira tinggi Angkat­an Darat ditangkap oleh sepasukan tentara dan kemudian dibunuh di hutan­ karet agak di luar pusat Kota Jakarta. Orang bisa mengatakan da­ ri sinilah kekerasan berjangkit. Partai Komunis Indonesia dianggap sebagai penggerak pembunuhan awal itu. Maka dengan dendam dan ketakutan, seperti digambarkan dalam buku Herma­ wan­ Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), militer dan bukan-militer pun membantai beribu-ribu­orang anggota PKI atau yang dianggap anggota PKI. Teror pun berkecamuk—dan sebuah pemerintahan baru ditegakkan. Mengapa itu semua bisa terjadi? Pertanyaan ini segera bisa di­ bantah dengan: mengapa tidak? Kebuasan bukan barang asing­ dalam sejarah, dan yang pasti bukan dalam sejarah di kepulauan ini. Pada abad ke-17 di Mataram, tercatat Amangkurat I membinasakan 3.000 ulama yang dihimpun di alun-alun dalam waktu setengah jam. Bukan karena orang Indonesia tak mampu mengendalikan ke­­bengisannya sendiri, seperti ujar para analis murahan yang memakai kata Melayu ”amok” sebagai penjelasan. Orang Indonesia­ juga makhluk yang merayap dalam sejarah—dan sejarah itu adalah sebuah perjalanan yang menakutkan. Kekerasan pada tahun 1965-1966 itu tak datang mendadak. Catatan Pinggir 7



271



http://facebook.com/indonesiapustaka



1965



Awalnya dapat ditarik jauh ke masa sebelumnya. Mungkin sejak 1945: Indonesia mencoba berdiri sebagai republik­yang mer­ deka, tapi dunia pascakolonial bukanlah sebuah lingkungan yang ramah. Hanya setahun setelah proklamasi kemerdekaan, datang aksi militer Belanda yang tak ingin kehilangan kekuasaan­nya di sini. Perang mempertahankan kemerdekaan tak dapat dielakkan.­ Hampir berbareng dengan itu, berkecamuk gerilya Darul Islam dari hutan-hutan Jawa Barat. Dari luar, Perang Dingin antara ”blok kapitalis” dan ”blok komunis” menularkan ketegangannya.­ Bergaung pula suara bersemangat dan teriak kesakitan negeri yang baru merdeka dan mencoba merdeka di tempat lain di Asia dan Afrika. Gabungan semua itu menyebabkan sebuah dasawarsa yang tam­pak ”normal”, yang berakhir pada tahun 1958, sebenarnya me­nyimpan sesuatu yang ”tak normal”. Dalam masa itu Indone­ sia, dengan sebuah demokrasi parlementer, berniat mengelola kon­flik dan persaingan lewat partai, lembaga perwakilan rakyat, dan peradilan. Dengan kata lain, sebuah sistem yang ingin ter­ atur­tapi tetap terbuka, ketika pers bebas, partai bebas, dan hakim-hakim mandiri. Tapi tentara tak menyukainya, terutama karena demokrasi­ini meletakkan mereka di bawah kekuasaan sipil. Apalagi­sistem ini selalu mudah dianggap sebagai kegaduhan yang meretakkan persatuan, sebuah mekanisme yang tak bekerja efektif, sebuah struktur yang ”meniru Barat”. Di antara yang menentang demokrasi ”Barat” ini adalah Presi­ den Sukarno. Maka ketika sistem demokrasi parlementer itu tak mampu mengatasi pembangkangan bersenjata sejumlah kolonel (yang dibantu CIA), Indonesia menempuh jalan radikal. Bung Karno membubarkan parlemen yang pada tahun 1955 dipilih rakyat dengan penuh harap. Ia juga mengharamkan partai politik yang dianggap menentangnya: pers diberangus. 272



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



1965



Pada tahun 1958 ”demokrasi terpimpin” pun berlaku, dengan­ Su­karno di pucuk. ”Ekonomi terpimpin” juga diperkenalkan, per­­usahaan asing diambil alih dan dikendalikan tentara dan bi­ ro­­krat, yang akhirnya memimpin pelbagai bidang usaha (hingga­ hari ini). Di mana-mana, suasana ”revolusi” dicanangkan untuk­ mencapai cita-cita dahsyat ”sosialisme Indonesia”. Dan seba­gai­­ lazimnya ”revolusi”, permusuhan pun dijadikan ajaran: ada ”ka­ wan” dan ”lawan”, ada kaum ”progresif revolusioner” dan ”kon­ tra­revolusioner”. Ketika Perang Dingin­kian memanas di Asia— ke­tika AS kian terpojok di Vietnam dan ”komunistofobia”­menyebar ke mana-mana—suasana permusuhan itu menebarkan­ sa­ling curiga yang menajam di Indonesia. Sejak itu sebenarnya benih kekerasan tumbuh subur. Pelba­gai­­ organisasi dilarang, puluhan koran dibredel, orang-orang dipenjarakan tanpa diadili. Apa saja yang dinilai ”kontrarevo­lusioner” dihajar. Retorika diberi aksen imperatif yang galak dan kekerasan jadi penanda utama (”Ganyang!” adalah kata yang paling bergema). Semua kekuatan politik, apalagi PKI, mengobarkan suasana­ ”revolusioner” itu. Propaganda yang berapi-api bersipongang, dan hampir tiap kelompok politik me­ngerahkan pemuda berpa­ kai­an seragam dengan tampang siap tempur. Akhirnya, sebuah ledakan. Itulah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Orang terus berdebat, siapa yang menarik picu: CIA? RRC? Yang agaknya belum dilihat adalah bahwa api ”revolusioner” itu pada akhirnya dapat dipakai untuk membasmi­ siapa saja. Para jenderal yang malam itu dibabat semuanya dituduh ”kontrarevolusioner”. Tapi ketika pada awal Oktober 1965 Mayjen Soeharto membalas, ia juga menyatakan para pembunuh itu ”kontrarevolusioner”. Dengan atau tanpa CIA dan RRC, ”re­ vo­lusi” Indonesia telah siap memakan anak-anaknya sendiri. Tak berarti dosa 40 tahun yang lalu itu sebuah kutuk bersama.­ Ada algojo yang menyembelih, menyiksa, mengurung orang Catatan Pinggir 7



273



1965



yang tak bersalah selama bertahun-tahun: mereka­itu pelaku kejahatan besar. Tapi kejahatan itu jadi seperti perkara­ringan, sejak ”membabat” adalah aksi yang sah dalam men­capai­cita-cita besar, komunis ataupun antikomunis. Maka ikut bersalah pula mereka yang waktu itu menguasai bahasa dan posisi, bila mereka tak bertanya: tak pernah salahkah­ cita-cita? Tak adakah batasnya? Bukankah batas itu tersimpul dalam hidup yang berharga sehari-hari?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 10 Oktober 2004



274



Catatan Pinggir 7



INFEKSI



http://facebook.com/indonesiapustaka



A



DA sebuah infeksi, bernama kekerasan. Umurnya panjang. Ia mungkin telah lama di kesadaran kita, datang dari ade­gan perang Bharata ketika Bima bukan saja membunuh Dursasana, tapi juga mereguk darah bangsawan Kurawa yang dulu mencoba memerkosa Drupadi itu. Atau dari Perjanjian Lama, ke­ tika berlaku doktrin ”satu mata dibalas satu mata”. Atau dari den­ dam Electra yang getir dalam lakon Sophocles dan Euripides­pada zaman Yunani kuno. Atau apa yang dialami Eropa pada abad ke17: orang Katolik dan Protestan saling membunuh selama­30 tahun. Atau sejarah Islam, setelah Khalif kedua dibunuh, kemudian Khalif berikutnya, dan berikutnya.... Sampai abad ke-21 ini, infeksi itu terus bercabul: Israel, Pa­les­ tina, Irak, Chechen, Rusia, Amerika.... Koreng luka itu berjangkit beserta kumannya. Kekerasan menular—dengan penularan yang dikemas ”atas-nama-keadilan”. Tapi jika kekerasan yang satu diulangi yang lain, apa yang harus dilakukan? Jawabnya mungkin sebuah kekerasan lagi. Se­ tidak­nya jika kita percaya kepada teori René Girard. Pada zaman dulu orang menyembelih korban. Dengan memungut seseorang lain untuk dipersembahkan kepada dewa, orang pun percaya, kata Girard, bahwa ”perdamaian yang mukjizat” akan tiba. Untuk mengukuhkan teori itu adat orang Aztecs sering di­ pakai­sebagai contoh. Sebuah ensiklopedia mencatat bahwa sebelum abad ke-16, bangsa tua di Meksiko itu membunuh sampai 20 ribu manusia setahun sebagai persembahan bagi Dewa Matahari. Ini bukan pembantaian massal. Orang yang pernah menyaksikannya bercerita bahwa upacara itu tertib: sang korban—seorang yang tak bersalah, konon juga perawan sunti—digiring ke pu­ Catatan Pinggir 7



275



http://facebook.com/indonesiapustaka



INFEKSI



cuk­ piramida, dibaringkan, dadanya dirobek, dan jantungnya di­renggutkan. Lalu sebotol minyak bakar diletakkan di rongga dada yang menganga itu, dan di situ api dinyalakan. Dari nyala itu disulutlah sebuah suluh, yang kemudian menyulut obor yang lain, dan yang lain, sambung-menyambung ke seluruh wilayah. Saya tak sepenuhnya yakin akan teori Girard yang me­ringkas­ sejarah manusia sebagai digerakkan oleh ”hasrat mimetik” atau dorongan meniru. Saya juga ragu benarkah agar balas-membalas berhenti sebuah masyarakat perlu sebuah ”mekanisme kambing hitam”, dengan membuat pihak yang tak bersalah dan/atau lemah sebagai domba sembelihan. Tapi agaknya jelas bahwa siapa pun yang ngeri menyaksikan infeksi itu menjalar akan harus menyetopnya. Kalau perlu dengan menyelubunginya. Pengadilan adalah sebuah metode untuk itu. Lembaga ini mengambil alih kehendak membalas dendam dari pihak yang dicederai. Tapi dengan sesuatu yang berbeda: di lembaga itu pembalasan tak lagi dilakukan oleh pihak yang pernah jadi kor­ban. Hukuman akan jatuh, mungkin seseorang akan digantung, tapi pihak yang jadi pesakitan diharapkan tak akan lagi menghantam balik. Sebab sang hakimlah yang memutus­kan, sang hakim yang dianggap ”di luar dan atas” konflik. Pada saat itu, mana yang adil dan tak adil ditentukan oleh ukur­an yang dianggap telah diterima umum, baik oleh yang menghantam maupun oleh yang dihantam. Tapi bagaimana ukuran ”keadilan” itu disusun? Bagaimana­ disekap 4 tahun dalam penjara merupakan balasan yang setim­pal untuk, misalnya, perbuatan ”X” yang mencederai saya dengan pu­kulan karate? Mungkinkah rasa sakit hati ”Y” dapat diim­ bangi­dengan denda Rp 250 ribu? Pada akhirnya undang-undang memang harus selalu meng­ akui kegagalannya sendiri dalam memenuhi niat. Niat itu keadil­ an, namun keadilan mustahil mendapatkan bentuk yang pasti. 276



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



INFEKSI



Undang-undang selamanya berisi kekuatan yang hanya mencoba. Sebagaimana sebuah puisi tak bisa disimpulkan dengan bentuk parafrasa dalam prosa, begitu juga rasa sakit hati, rasa kehilangan, dan rasa kepedihan fisik: hal-hal yang diderita seorang korban itu tak mungkin secara memadai disepadan­kan­dengan angka tahun dan jumlah rupiah. Dilihat demikian, lembaga peradilan adalah sebuah harap­an dan juga sebuah kemustahilan, meskipun kemustahilan itu diperlukan. Ia juga sebuah hasil paksaan halus. Paksaan itu bertujuan agar peran dan bobot dirinya diterima dan diyakini orang pada umumnya bahwa pengadilanlah wilayah yang terbebas dari kepentingan sepihak. Tentu saja di sini tampak ia adalah bagian ”aparat ideologi” Negara, jika kita pakai kategorisasi Althusser: pengadilan bukan alat penggebuk seperti polisi dan tentara, tapi ia juga berperan me­ngendalikan agar kehidupan sosial, biarpun cacat dan rapuh, tetap utuh. ”Utuh” itu juga sebuah kemustahilan, sebetulnya. Pada zaman ketika masyarakat (atau ”bangsa” atau ”rakyat”) dibicara­kan sebagai sebuah Gestalt, sebuah bentuk utuh, kita sering alpa bahwa tiap bentuk menegakkan batas, dan ada anasir­yang rontok. Maka pada zaman ini pula para pemikir teori politik—Giorgio Agamben, Chantal Mouffe, dan lain-lain yang ada dalam kesa­ dar­­an ”dekonstruksi”—tampak amat peka memandang ke posisi mereka yang dilumpuhkan. Bagi Mouffe, antagonisme tak per­nah lepas dari ”the political”. Bagi Agamben, bentuk asali hu­ bung­an politik adalah ”pelarangan”. Tiap kota berdiri dan pagar di­bangun, selalu akan ada pengungsi, orang buangan, homo sacer yang bisa dengan mudah disingkirkan. Indonesia punya sejarah dengan horor dan homo sacer itu: pem­­bantaian manusia pada tahun 1965-66 dan pembunuhan ”pe­nembak misterius” pada akhir tahun 1980-an. Sejarah kita Catatan Pinggir 7



277



INFEKSI



tak semulus Singapura atau Pondok Indah. Tapi justru karena itu kita bisa lebih bisa mengerti bahwa ”keutuhan”, ”konsensus”, dan ”rekonsiliasi” (atau ”konsiliasi”, kata Presiden Susilo Bambang Yu­dhoyono) tak selamanya berlangsung karena nalar­yang mampu melahirkan argumen yang baik. Di tiap momen mufakat, ada selalu latar yang gelap dan bayangan yang bisa memukau, dan infeksi yang tersembunyi. Kemudian bagaimana kita menerima ini: bahwa melalui luka dan dosa, demokrasi bisa dewasa.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 17 Oktober 2004



278



Catatan Pinggir 7



SAYU



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



eseorang pernah mengatakan ia ”sentimentil”, dan ia sendiri mengakui itu ”benar”. Tapi saya tak yakin. Sampai­ ia meninggal karena kanker pankreas di Paris pekan lalu dalam umur 74, Jacques Derrida adalah pemikir yang bicara bukan lantaran ia mudah terharu. Bahasanya tak mendayu-dayu, bahkan kerap kali rumit. Pandangannya tak terasa murung. Tidak, ia bukan pemikir yang ”sentimentil”. Derrida adalah suara yang sayu. Ia memang hidup di zaman ketika usaha untuk menjelaskan dunia kian terasa tak mungkin lepas dari haribaan bahasa, dan tak kunjung selesai pula. Ia hidup di zaman yang belum juga me­ mecahkan lika-liku keadilan, belum menemukan cara ke pem­be­ basan. Ia juga hidup di zaman ketika makin disadari manusia ternyata tak berdaulat dan tegak utuh bertopang pada nalar yang te­rangbenderang. Di depan psikoanalisis Freud dan Lacan, tampak­ada yang lain di samping itu: segumpal nafsu, syahwat atau bukan, bawah-sadar dan tubuh, dan kaitan yang rumit dengan dunia lu­ ar, sering berupa percaturan kekuasaan. Tapi tak hanya di situ manusia bersua dengan ”yang-lain” da­ lam dirinya. Derrida bahkan menunjukkan, bahwa bahasa, yang membuat manusia berhubungan dengan dunia, tak selamanya­ dapat dibariskan seperti pramuka yang rapi oleh sang subyek. Bagi Derrida, makna kata tak berjalan lewat lorong yang lurus dari pikiranku, ke pikiranmu. Lorong lurus itu tak pernah ada. Makna dapat saja muncul macam-macam. Sebab di tiap saat, bahasa—yang terdiri atas untaian ”penan­ da”, yakni paduan bunyi vokal dan konsonan—punya dinamika­ nya sendiri. Tiap penanda memproduksikan makna karena ia­ Catatan Pinggir 7



279



http://facebook.com/indonesiapustaka



SAYU



bergerak dalam lalulintas penanda yang berlain-lainan. Seba­gai­ mana seseorang disebut ”abang” karena ada seseorang yang disebut ”adik”, sepatah kata menjadi berarti karena kata yang la­in. Dalam bahasa Indonesia ada kata ”kolong”. Kita tahu ”ko­long” tak pernah hadir sendiri di ruang mana pun. Sebentuk bu­nyi­vokal dan konsonan mengandung arti ”kolong” karena dalam diri pe­nanda itu ada jejak kata lain, yang berarti ”meja”, atau ”ka­ki meja”, dan ”lantai”. ”Kolong” dapat kita identifikasikan, tapi tampak: tak ada iden­titas yang tanpa jejak ”yang-lain”. Tiap ”kesatuan”, sebuah totalitas, senantiasa jadi demikian justru karena ada tilas, mungkin gema, dari apa yang bukan bagian kesatuan itu. Maka tak ada identitas—sebagai sesuatu yang utuh dan total—yang lahir secara alamiah. Tak ada identitas yang lahir dari asal-usul yang esa dan suci murni. Ketika Derrida berbicara tentang ”dekonstruksi”, pandang­ an tentang ”yang-lain” itulah yang tersirat. Kata ”dekonstruksi” memang kemudian diartikan sebagai metode penafsiran sebuah teks. Tapi sebenarnya bukan cuma itu. Dekonstruksi membongkar apa yang tampaknya utuh karena tahu ada yang-lain yang di­ tenggelamkan di sana. Ia sangat terkait dengan sesuatu yang etis dan politikal. ”Dekonstruksi adalah keadilan,” kata Derrida. Sebab sungguh tak adil untuk menampik mereka yang ter­cecer­ dan terbungkam ketika kesatuan dibentuk. Akan bertambah­tak adil bila kesatuan/identitas itu dianggap abadi. Kesatuan/identitas yang bergeming adalah sebuah kekerasan. Ia mengetam siapa saja, juga diri sendiri. Maka masalah keadilan pada akhirnya adalah masalah pembebasan. Dalam hal ini Derrida berdiri dalam tradisi yang sama dengan Marx. ”Emansipasi,” katanya dalam sebuah simposium di Paris di tahun 1993, ”... jadi persoalan yang luas hari ini.” Lalu katanya pula: ”Harus saya katakan saya tak bisa berlaku toleran 280



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SAYU



kepada mereka... yang bersikap ironis dalam memandang wacana besar emansipasi.” Suara tajam ini agaknya ia tujukan kepada pemikir liberal seperti Richard Rorty, yang cenderung melihat Derrida sebagai se­ orang ”ironis”. Umumnya orang memang akan menduga begitu­ bi­la membaca karya-karyanya, Glas, misalnya, yang seperti main-main mengambil jarak dari sebuah keyakinan yang serius. Mungkin itu sebabnya Rorty memasukkan Derrida ke dalam golongan pemikir yang karyanya ”untuk memenuhi tujuan pri­ vat”. Pengaruhnya secara politik akan tak berarti atau amat tak langsung. Dalam pandangan Rorty, Derrida berbeda dari filosof seperti John Stuart Mill atau John Rawls (tentunya juga Marx) yang berpikir untuk ”tujuan publik”. Tapi begitu jelaskah batas yang ”privat” dan yang ”publik” dalam Derrida? Bagi Derrida sendiri, yang hendak ia kemuka­ kan bukanlah sesuatu yang menghindari arena publik. Yang di­ kemukakannya adalah ”yang-rahasia”. Baginya, ”yang-rahasia”­ ada di sebuah zona yang tak dapat disentuh yang berkuasa­bahkan dalam sistem totaliter sekalipun. Tapi justru dengan meng­ akui ”yang-rahasia”, dan menghargainya, akan terbukalah wi­ layah publik itu bagi ”yang-lain”. Di sini Derrida bicara tentang demokrasi. Bagi Derrida, demokrasi mati bila ”yang rahasia” diletakkan semata-mata sebagai persoalan privat. Dengan kata lain, demokrasi adalah sebuah usaha dari ”yangrahasia” untuk membebaskan diri dari sebuah bangunan politik yang mau merengkuhnya—seperti ketika Stalin menginjak sajak Pasternak dan gereja atau ulama mengusut kemurnian doa. Di situ, yang-rahasia dihabisi. Di situ, yang-rahasia adalah yang-lain yang lemah. Di situ, ia yang dicampakkan. Demokrasi-lah yang menyambutnya. Itulah l’ hospitalité: pintu yang dibukakan oleh si empunya rumah bagi yang kalah dan Catatan Pinggir 7



281



SAYU



terbuang. Tak berarti si empunya rumah sebuah subyek yang mampu dan otonom seperti manusia Pencerahan dalam gagasan Kant. Ia justru subyek yang lulut pada titah. Tapi titah itu tak berasal dari Yang Mahakuasa. Titah itu justru yang memanggil kita dari ia yang dilukai, dihina, tak berdaya, dan ditinggalkan. Memang tampak mustahil kuasa seperti itu akan mengubah dunia. Tapi Derrida tak bicara tentang utopia, melainkan ”kemessiah-an”, sebuah janji di hari ini—hari yang selalu tak lengkap—bahwa la démocratie à venir, bahwa demokrasi selalu ”akan datang”. Di sini sang filosoflah yang menggetarkan kita. Suaranya sayu.­



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 24 Oktober 2004



282



Catatan Pinggir 7



PULUNG



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



I masa lalu orang sering melihat harapan. Bentuknya pu­lung: seberkas cahaya yang jatuh dari langit di malam hari, isyarat bahwa seseorang telah dipilih untuk­punya kelebih­an, dan dengan itu mengatasi dunia yang ruwet. Dengan kata lain, harapan adalah sesuatu yang luar biasa. Itu juga yang sampai sekarang terjadi. Pulung memang tak tampak turun di Cikeas, di bubungan rumah Presiden Indonesia yang baru. Tapi di Cikeas dan di luarnya, tiap kali kita ”meng-harap” kita selalu ”ber-harap”. Kita melakukan sesuatu untuk mengadakan harap, tapi pada saat yang sama kita bersikap bahwa kita ber­ ada dalam keadaan sudah mempunyainya (tersirat dari awalan ”ber”). Artinya, ada sebuah loncatan ajaib antara belum dan sudah ada. Harap seakan-akan tercipta dari ketiadaan, datang dari crea­ tio ex nihilo. Tapi ”harap” disebut juga ”harap-an”. Dalam bahasa Indo­ne­ sia, akhiran ”an” (seperti dalam ”temu-an”, ”minum-an”, ”pakaian”) menunjukkan sesuatu yang ada setelah sebuah laku. Pulung itu sebenarnya bukan datang dari ketiadaan. Cahaya yang luar biasa itu tak akan tampak seandainya orang tak menantikannya dengan cemas, dengan doa dan tirakat. Apa yang kelihatannya creatio ex nihilo pada hakikatnya sebuah hasil ikhtiar. Dan itu tak hanya terjadi dalam pengalaman Indonesia. Di Rusia, Nadezhda Mandelstam menulis sebuah memoar tebal, yang kemudian dalam bahasa Inggris disebut Hope Against Hope. Ia melukiskan suasana putus asa setelah suaminya, penyair Osip Mandelstam, dibuang dan tak pernah kembali. Osip adalah kor­ ban yang dibabat karena puisinya tak meng­ikuti­ doktrin ”realisme sosialis”, juga karena ia dianggap menghina Stalin, setelah menulis sebuah epigram tentang seorang penguasa pembunuh Catatan Pinggir 7



283



http://facebook.com/indonesiapustaka



PULUNG



yang berjari seperti cacing dan berkumis bak kecoak. Selama tujuh tahun, sampai dikabarkan Osip mati di pembuangan, Nadezhda menunggu—seperti beribu-ribu orang lain yang sanak keluarganya ditangkap dan tak pulang. Di tahun 1930-an itu Stalin memang memenjarakan siapa sa­ja yang dituduh ”kontrarevolusioner”. Umum tahu dan berbisik-bisik bahwa orang-orang yang tak bersalah telah dibuang atau ditembak mati. Dalam ketakutan, ribuan orang melakukan­ semacam doa yang ganjil: mereka menulis surat. Alamatnya para pejabat yang umumnya jauh tak terjangkau. ”Siapa di antara ka­ mi yang tak pernah menulis surat ke para penguasa luhur, yang dialamatkan ke nama yang kukuh berkilau bagai logam? Dan apa isi surat itu selain meminta mukjizat?” Mukjizat hampir tak pernah datang. Tapi toh doa yang ganjil itu, tirakat yang menulis dengan tangan gemetar itu, cukup­untuk menemani hidup yang kehilangan. Seakan-akan tiap orang berkata, ”Aku berharap, maka aku ada.” Sejak zaman purba manusia memang tak gentar masuk ke rim­ba meskipun begitu banyak bencana menanti. Optimisme itu­lah yang diwariskan di dalam genos generasi selanjutnya. Dari itu agaknya kita tahu, seperti kata Lionel Tiger yang menulis sebuah buku tentang ”biologi harapan”, bahwa manusia adalah ”sejenis hewan dengan bakat besar... untuk berharap”, an animal with a gorgeous genius for hope. Kita memang tak bisa lepas dari berharap. Percaya pada surga di langit dan surga di bumi adalah bagian kesadaran yang membuat sejarah berubah. Memang, abad ini datang dengan sikap ragu. Orang mulai melihat bahwa utopianisme adalah campuran amarah, angan-angan, dan sikap angkuh. Marxisme-Leninisme, sumber inspirasi yang begitu kuat, ternyata gagal di abad ke-20. Tapi optimisme baru muncul, dan kita dengar Francis Fukuyama memaklumkan rasa syukur bahwa kita telah tiba di akhir sejarah: 284



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



PULUNG



ekonomi pasar ternyata tak bisa dikalahkan, demokrasi liberal ternyata menang di mana-mana. Tapi bukankah itu juga ketakaburan? Di ”akhir sejarah”, manusia menghadapi soal yang timbul ketika kelak dua miliar­lebih­ manusia di Cina dan India memasuki ekonomi pasar seperti di­ sam­but Fukuyama—dengan dinamika yang dilecut oleh hasrat berjuta-juta orang untuk makan, bermobil, bepergian sepuaspuas­nya. Siapkah alam untuk itu? Seorang pengkritik Fukuya­ ma, Perry Anderson, memperkirakan dengan muram, seperti na­ bi Alkitab memperingatkan tamaknya kota-kota: bila gelombang konsumsi itu terus, ”separuh dari spesies manusia akan mesti punah”. Yang lemah juga yang akhir­nya harus tenggelam. Kita yang tak sampai hati akan berkata, ”Mari kita berikhtiar meminta pulung jatuh lagi!” Jangan-jangan benar: dunia perlu bertirakat, berpuasa—ta­ pi bukan puasa seperti yang diramaikan iklan sebagai sejumlah siang yang mempersiapkan jamuan besar. Juga, bukan puasa dalam pengertian ahli fikih yang hanya mengukur kesalihan dengan jarum jam. Puasa yang akan menyelamatkan kita adalah pu­asa yang terus-menerus, tak siang tak malam, untuk menghen­ tikan hasrat sebelum kenyang, hingga ”kenyang” sama artinya dengan hasrat yang berhenti. Pada saat yang sama, puasa itu bukan untuk surga yang disiapkan untuk diri sendiri. Tapi kita juga mafhum: pesan macam itu tak akan memikat banyak orang. Banyak orang akan menampik surga yang tak bersungai susu dan dihuni bidadari berpuluh ribu. Tapi bukankah manusia bisa mulia ketika ia bukan hanya hewan yang pintar berharap, tapi makhluk pembawa harapan, saat ia memberikan dirinya untuk yang lain yang butuh? Saya ingat adegan penutup novel Grapes of Wrath John Steinbeck: Rose of Sharon, gadis sulung keluarga Joad yang miskin dan malang, melahirkan bayi ketika air bah menghantam. Sisa Catatan Pinggir 7



285



PULUNG



ke­luarga itu pun naik ke tanah yang lebih tinggi, dan masuk­ke sebuah gubuk. Seorang anak tampak sendiri bersama ayah yang terhampar hampir mati kelaparan. Rose juga lapar, ia juga tak punya apa-apa. Tapi gadis yang dulu acuh tak acuh itu membungkuk bagi si sakit. Dengan air teteknya ia coba selamatkan orang yang tak dikenalnya itu, dan saya ingat kisah muram itu ber­akhir dengan senyum



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 31 Oktober 2004



286



Catatan Pinggir 7



NOVEMBER



http://facebook.com/indonesiapustaka



N



OVEMBER mungkin awal musim dingin harapan kita, jika 2004 adalah tahun penentuan Amerika. Negeri­ itu telah jadi begitu penting, hingga ia kini hadir seba­ gai­pusat yang membuat kita cemas. Hidup beribu-ribu mil dari Ame­rika­ Serikat, kita memandang ke sana dengan waswas: apa yang akan terjadi pada November ini bila ternyata sebagian­besar orang Amerika mendukung terus kekuasaan Presiden Bush? Kita tak berhak memilih, tapi kita juga akan terenyak. Kita ba­gian dari negeri lain, tapi kita akan kecewa, marah, dan ber­ tanya­kepada jutaan pemilih dari Hawaii sampai dengan Alaska itu: apa sebenarnya yang terjadi dengan diri Tuan-tuan? Kita tahu, ”11 September” telah tumbuh jadi kata yang menandai korban dan ketakutan, setelah ribuan orang tak ber­salah terbunuh oleh terorisme. Kita mengerti ada amarah dan dendam da­lam kata itu, karena selama bertahun-tahun ribu­an orang di bagian dunia lain juga binasa oleh kesewenang-wenangan yang sama. Tapi kita masygul kenapa hal itu tak me­nyebabkan orang Ame­rika merasa jadi bagian yang senasib­dengan orang lain; kenapa yang muncul adalah sikap angkuh ke seluruh dunia? Sikap angkuh yang menyebabkan Irak di­serbu­meskipun tanpa alasan yang sah, dan ribuan manusia, juga anak-anak, mati? Benarkah hal itu menyebabkan orang Amerika jadi aman di mana-mana? Kenapa tak dilihat betapa wabah kekerasan justru berjangkit? Jika Bush dapat mandat kembali dan ia terus, semua itu tak akan terjawab. Dan kita akan tetap heran, karena di Amerika sen­ diri pertanyaan itu menyebabkan negeri itu praktis terbelah. Pe­ rang,­ paranoia dan retorika yang pantang mundur menjalar ke mana-mana. Dari Gedung Putih dan Pentagon sebuah kehidup­ an politik yang enggan berkompromi telah lahir. Catatan Pinggir 7



287



http://facebook.com/indonesiapustaka



NOVEMBER



Kenapa? Barangkali karena Tuhan dan kemenangan. Setelah Perang Dingin usai, dan Amerika keluar unggul, tampaknya hanya satu kesimpulan yang dipegang: Tuhan memilih­ Amerika dalam sejarah. Tuhan memberinya kekuatan yang me­ nakjubkan. Dari sana lahir kekuasaan, dan kekuasaan itu tak mem­butuhkan negosiasi, apalagi persetujuan orang lain. Politik bukan lagi dilakukan dengan kemungkinan melihat kesalahan diri sendiri, dan sebab itu memungkinkan kompromi. Politik, ke dalam dan ke luar negeri, adalah imperialisme. Beda berarti benci, kemenangan berarti penaklukan. Belum pernah rasanya Amerika terpecah semendalam seperti sekarang sejak perang di Vietnam 40 tahun yang lalu. Dengan itu pula kita memang tahu, tak semua orang Ame­ri­ ka memilih kembali Bush. Keputusan sebuah bangsa memang bukan berarti tanda final sebuah konsensus. Pemilih­an umum adalah sebuah mesin yang kompleks dengan hasil yang bersahaja: seperti snapshot. Apa yang tampak sebenarnya menyembunyikan apa yang merupakan proses—ada kemarin,­ kini, dan esok, dengan kemungkinan yang lain-lain. Pada akhir­nya, sebuah mufa­ kat politik adalah sebuah bentuk hegemoni—satu corak menga­ lahkan dan menguasai yang lain—tapi tiap hegemoni selalu bersifat sementara. Kita sadar akan semua itu. Tak semua orang Amerika bisa dianggap bersalah. Ada ratusan ribu orang Amerika yang dengan se­penuh hati mencegah Bush jadi pilihan bangsa itu lagi. Tapi pada saat yang sama kita juga dapat bertanya, setelah November 2004, apa yang akan jadi sikap mereka yang kalah karena tak memilih Bush? Demokrasi yang telah berjalan berpuluh tahun memang mem­butuhkan dekorum: si kalah harus mengakui kekalahannya,­ seperti dalam sebuah turnamen tenis. Jika ia kalah, John Kerry akan melakukan itu. Dalam dekorum ini tersirat pandangan, 288



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



NOVEMBER



bahwa pemilihan umum adalah mesin yang berjalan rutin, net­ ral, tanpa didahului penilaian bahwa hasilnya akan ”baik” atau ”buruk” bagi manusia. Lambat-laun orang pun menganggap bahwa, dalam proses politik, yang ”baik” dan ”buruk” itu soal sementara, tak harus­dicantolkan kepada nilai-nilai yang kekal, tak usah dipegang habishabisan. Perbedaan, kompetisi, dan sengketa telah dijinak­kan. Akhirnya semua itu dianggap hanya soal pilihan. Pilihan itu, seperti di AS kini, dilambangkan dalam sosok dua tokoh. Kedua­ nya­ tak dimaksudkan sebagai tauladan kesempurnaan. Demo­ krasi bertolak dari pandangan bahwa tak satu pihak pun yang tanpa dosa. Tapi apa yang terjadi jika politik telah cenderung melihat yang lain berdosa—khususnya kepada Tuhan dan tanah air? Bagaimana jika masyarakat telah terbelah karena apa yang ”baik” dan ”bu­ ruk” begitu menajam dan begitu mendalam? Bisakah yang ka­lah akan mengatakan bahwa semua ini hanya sebuah pertanding­an yang rutin dan normal? Tapi tahun 2004 adalah tahun Amerika: kini di sanalah diper­ taruhkan hal-hal yang bukan sekadar soal bagaimana pertumbuhan ekonomi diperbaiki, perang diselesaikan, dan pendidikan disebarkan. Yang kini dipertaruhkan adalah hal-hal yang akan punya efek ke seluruh dunia bagi masa depan demokrasi: sejauh manakah kebebasan boleh dilindas untuk membuat orang merasa aman? Bolehkah hukum berlaku berbeda bagi orang asing dan pihak musuh? Benarkah Amerika sebuah keistimewaan dengan berkat Tuhan, dan sebab itu imperialismenya justru sebuah tauladan? Dapatkah manusia mengklaim posisi seperti itu, dan menjadikan Tuhan (dalam versi yang ada di kepalanya) sebagai hakim di tengah bumi yang majemuk? Pemerintahan Bush mewakili mereka yang dengan yakin menjawab ”ya”—dan yang ingin mengubah dunia dengan sua­ Catatan Pinggir 7



289



NOVEMBER



ra­”ya” itu. Maka, jika Bush dipilih kembali, November ini, sebuah mu­ sim dingin yang muram akan bermula: matahari tak akan bersi­ nar lagi bagi mereka yang percaya bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan, karena demokrasi mengandung sikap yang lebih rendah hati, karena demokrasi mengakui bahwa yang berperan adalah orang dan agenda yang tak pernah sempur­ na. Bahwa kini demokrasi di Amerika—yang telah dua ratus tahun umurnya—membuat kita begitu cemas, itu sendiri sesua­tu yang membuat kita cemas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 7 November 2004



290



Catatan Pinggir 7



SAMAN



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



AMAN adalah sebuah teror purba. Pada abad ke-2 orang Druid percaya bahwa dialah yang dipertuan di dunia kematian, yang tiap 31 Oktober malam akan mendatangkan barisan roh jahat. Penduduk wilayah Gaulia dan kepulauan Britania akan menunggu saat itu dengan gentar. Konon pada malam itulah para arwah akan datang mengetuk pintu rumah yang pernah mereka huni. Ketakutan kolektif ini melahirkan upacara—sebuah upaya­ melunakkan hati para demit yang melahirkan ”pesta” Hallo­ween.­ Ritual lama itu terus. Bukan karena takhayul masih kuat, tapi karena manusia tampaknya menggemari rasa takutnya­ sendiri. Ce­rita hantu gampang laku dan kecemasan mudah­disebarluas­ kan.­ Kini ”horor” itu bahkan jadi bagian dari indus­tri budaya. Pel­bagai benda dan jasa beredar di toko dan kaki lima dunia: kedok­ setan, jubah Drakula, pesta dalam gelap, novel Stephen King.... Di Amerika Serikat, tahun 2004, pemasaran setan-setanan 31 Oktober itu dapat menjelaskan kenapa ketakutan pasca-11 September berlanjut terus. Dalam persaingan sengit dua calon presi­ den, ketakutan kolektif itu (”Awas teror!”) diolah dengan kampanye yang panjang dan dana terbesar dalam sejarah: $ 550 juta dihabiskan untuk iklan di TV. Betapa kebetulan, tapi betapa cocok, ketika Usamah bin Ladin mendadak muncul 48 jam sebelum Halloween. Pemimpin ”AlQai­dah” yang menyatakan diri sebagai pengatur penghancur­an ke Menara Kembar itu menyiarkan statemennya. Berbicara da­ ri­sebuah waktu yang tak jelas dan tempat yang entah di mana, ia­memang personifikasi teror yang pantas bagi orang Amerika:­ Usamah adalah Saman yang dipertuan­di dunia kematian, yang Catatan Pinggir 7



291



http://facebook.com/indonesiapustaka



SAMAN



tam­pak sejenak dari sebuah rekaman video yang agak kabur. Jeng­gotnya panjang, sosoknya seperti jerangkong, pakaiannya seperti kostum si Tua Jahat dari dongeng Tolkien. Berbicara dengan yakin dan tenang, ia tunjukkan bahwa gempuran Amerika—sekian ribu prajurit, sekian ton amunisi, bertubi-tubi selama tiga tahun—tak mampu membunuhnya. Bak hantu orang Druid, ia hadir di antara ada dan tiada: teknologi yang piawai menam­ pilkannya dari dekat, tapi teknologi yang setaraf tak dapat menjangkaunya. Ketakjelasan itulah ciri pokok terorisme kini. Dulu, selama­ perang kemerdekaan Aljazair, bila bom meledak di subway atau di kafe Paris, orang tahu siapa pelakunya dan tujuan apa yang hendak dicapai. Hal yang sama terjadi semasa Perang Vietnam, bila di satu sudut Kota Saigon mendadak suara gelegar terdengar dan korban jatuh. Front Nasional Pembebasan Aljazair, seperti Front Nasional Pembebasan Vietnam (”Vietkong”), adalah organisasi­ perjuangan politik, dan teror hanya­lah salah satu metodenya. Tapi ”Al-Qaidah”? Sebuah organisasi besar? Sebuah ”aliran”? Kini teroris tersebar, tapi tak jelas apa hubungan bom di Ba­ li dengan bom di Spanyol, ledakan di Pakistan dengan pembu­ nuhan di Mesir. Dan gambarannya kian ruwet setelah penculik­ an dan bom bunuh diri berkecamuk di Irak sejak Amerika menduduki negeri itu. Apa yang menyatukan aksi yang tersebar itu? Apa yang membedakannya? Memang sering dunia diberi tahu motif keagamaan mere­ka yang keras. Dunia juga tahu apa yang membuat mereka marah. Tapi tak pernah jelas bagaimana program politik di balik semua itu, dan bila mereka anti-Amerika, tak dapat dibayang­kan ba­ gaimana mereka akan mengalahkan ”Sang Setan Besar”. Dalam kekaburan itu bahasa mencoba menemukan ekono­mi­ nya sendiri untuk lebih jernih. Pengertian disederhana­kan, kata dicoba diberi bangunan makna yang ajek. Sebagai­mana ”rasa ta292



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SAMAN



kut” purba diberi sosok ”gendruwo” atau ”kuntilanak”, juga ”te­ ror”­abad ke-21 diberi sosok ”Al-Qaidah”. ”Musuh” juga secara samar-samar diberi wajah ”Islam”, tak peduli apa itu datang dari Iran, Arab, Inggris, atau Negeri Dongeng. Dalam pidato yang disiarkan di TV itu, misalnya, tak sepatah­ pun saya temukan kata ”muslim” dalam teks Usamah bin Ladin; ia hanya menyebut Libanon dan Palestina. Tapi laporan Douglas Jehl dan David Johnston di The New York Times me­nulis­bahwa tokoh ”Al-Qaidah” itu berbicara tentang ”muslim securities”. Beberapa hari sebelumnya The Boston Globe mengutip seorang Ame­ rika yang pernah disandera oleh kaum mili­tan pada tahun awal Revolusi Iran. Ia menghubungkan penyanderaan di Teheran itu dengan pembantaian di World Trade Center tahun 2001. ”Saya tahu mereka akan datang lagi,” katanya—seakan-akan ”mereka” yang di Iran dua dasawarsa yang lalu sama dengan ”mereka” yang menghantui Amerika sejak ”11 September”. Dengan kata lain, berlainan dengan ketika menghadapi ge­ rak­an komunisme internasional, kini orang Amerika tetap tak ta­ hu siapa gerangan musuh itu dan kenapa dan dari mana ia muncul. Bahasa dapat diberi bangunan makna yang ajek, namun yang ”nyata” tetap luput. Teror tak mudah diringkas. Mambang dan peri akan tetap gentayangan. Bahkan para pe­rencana­di Pentagon tak tahu kapan perang melawan terorisme akan berakhir, bagaimana pula kemenangan dan kekalahan dirumuskan dalam rancangan operasi. Mungkin ini perang yang akan tak usai. Lingkaran setan dengan mudah terbentuk. Sebab telah tampak betapa mudah­nya mengganggu keseimbangan jiwa orang Amerika, dan betapa mudahnya para politikus mengubah paranoia khalayak ramai jadi pat­riotisme dan xenofobia jadi unilateralisme—yang pada gilir­ an­nya akan kian mengucilkan Amerika di dunia. Seregu kecil orang yang bersedia menghancurkan apa saja yang ”Amerika” Catatan Pinggir 7



293



SAMAN



akan dapat memicu semua itu. Seperti Halloween, di sini pun rasa takut dapat mendatangkan hal-hal yang dapat diperdagangkan; senjata, misalnya. Tapi berbeda dari Halloween, dalam perang melawan terorisme itu ada kematian, kehancuran, dan kebencian yang berjangkit. Juga kehilangan perspektif. Orang lupa bahwa lebih besar ketimbang ”Al-Qaidah” adalah ancaman kemiskinan, penyakit menular, hutan tropis yang habis, air bumi yang terkuras, ozon yang berlubang, dan bumi yang bertambah panas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 14 November 2004



294



Catatan Pinggir 7



LIBERALISME



http://facebook.com/indonesiapustaka



L



IBERALISME terguncang hari ini. Pemilihan umum 2004 Amerika Serikat menghukumnya, dan mungkin sebuah zaman baru di ambang pintu. Bertahun-tahun lamanya orang Amerika hidup dalam sebuah tata yang bertolak dari anggapan bahwa, dalam sebuah negeri, hak adalah sesuatu yang tak dapat ditanggalkan. Hak itu dianggap telah lebih dulu ada, dan harus ada, sebelum ke­putusan nilai tentang apa yang ”baik” dan ”buruk”, ”patriotik”­atau ”tak patriotik”, ”dosa” atau ”bersih”, ”pro-Yesus” atau ”anti-­Yesus”. Kini pandangan yang mengutamakan ”hak” itu memang pa­ tut­cemas. Seorang presiden telah menang dengan dukung­an­gemuruh gerakan Evangelis Kristen. Tak berarti sendi li­beral­­isme tum­bang. Konstitusi Amerika, yang mengadopsi beberapa pokok pemikiran liberal, punya mithosnya sendiri.­Ia tak mudah untuk dirombak, kecuali bila suara ”Kristen kanan”­yang menakutkan itu menguasai seluruh perdebatan publik. Tapi cukup tanda bahwa, setelah November 2004, hak sese­ orang dapat dicopot karena ada keputusan nilai tentang ”baik” dan ”buruk”, ”dosa” dan ”tak dosa”. Dan mudah di­ketahui,­keputusan itu bukan sesuatu yang universal. Ia hanya sebuah konsensus si mayoritas yang tak mendengarkan suara yang lain. Ia bahkan hanya menimbulkan sebuah soal besar: keadilan. Keadilan jadi penting, sebab tiap masyarakat terdiri atas anasir yang beraneka, juga nilai-nilainya. Di tahun 1960-an, di Amerika Serikat yang menindas mereka, orang-orang Hitam bergerak. Mereka selama berabad-abad bisu dan tak tampak, tapi sejak itu hadir dan bicara. Orang Amerika pun sadar bahwa sebuah negeri akan dirasuki racunnya sendiri bila di tubuhnya ada orang-orang yang tersembunyi dan tertindas: sekelompok yang berpendapat Catatan Pinggir 7



295



http://facebook.com/indonesiapustaka



LIBERALISME



lain, orang-orang yang tengah tak berdaya untuk berbeda sikap. Sebab itulah bagi liberalisme—yang kian marak sejak itu— keadilan bukan sekadar salah satu di antara sederet nilai. Keadil­ an adalah nilai yang utama. Dalam kata-kata John Stuart Mill, pemikir liberalisme abad ke-19, keadilan adalah ”bagian pokok... bagian yang paling suci dan mengikat, dari semua moralitas”. Keadilan itu terkait erat dengan kehendak merawat hak orang seorang. Amerika didirikan dengan keyakinan bahwa hak itu ber­ asal dari Tuhan. Atau, bagi pemikiran yang disebut­oleh Michael Sandel sebagai ”liberalisme deontologis”, hak itu ada bersama­ laku manusia ketika ia merdeka. Liberalisme ini—yang dimulai dari Kant di abad ke-18—menganggap kemerdekaan manusia tampak ketika manusia mampu jadi ”subyek pengalaman,” bukan semata-mata ”obyek pengalaman”, ketika ia dapat melampaui keadaan empiris yang membentuknya dan mengatasi ”mekanisme alam” dalam dirinya. Kehadiran ”subyek” itu kian dipertegas dalam sejarah politik.­ Revolusi meledak di mana-mana, dan ”hamba” jadi ”warga”, dan tiap kekuasaan manusia di atas manusia dipandang dengan syak. Sejak itu, untuk memakai kata-kata Ronald Dworkin, seorang pemikir liberal terkemuka dewasa ini, hak berperan ”sebagai kartu truf yang dipegang individu-individu”. Akan gagal sebuah pemerintahan, kata Dworkin, ”bila” lebih menyukai satu konsep­ si ketimbang konsepsi lain, baik karena para pejabat menganggap konsepsi itu secara intrinsik­ lebih unggul, atau karena ia didukung oleh kelompok yang lebih­banyak dan lebih kuat”. Dari sini kita tahu kenapa Dworkin menentang keras pilih­an untuk membiarkan Presiden Bush berkuasa kembali. Sebagaimana ditulisnya dalam The New York Review of Books menjelang pemilihan presiden, November. 2004, ia memperkirakan Bush akan mendesak agar Konstitusi diubah. Nilai-nilai kaum Evange­ lis Kristen akan jadi dasar hukum yang mengatur pernikahan, 296



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



LIBERALISME



penelitian ilmiah, bahkan politik luar negeri. Bagi Dworkin, yang memasygulkan bukanlah baik atau buruknya pengaruh itu, melainkan telah terancamnya sebuah Ame­ rika yang menampung segala suara, sebuah negeri yang inklusif dan berdasar keadilan. Tapi ada yang tampaknya tak terpecahkan oleh para pemikir liberalisme. Dari mana datangnya ”keadilan”? Bila ia jatuh dari langit, atau dari ”subyek transendental”, bukankah ia selalu keadilan yang ”mengejawantah”, yang diungkap­ kan di sebuah negeri, oleh sejumlah manusia, di sebuah masa, sehingga pengalaman manusia ikut menyemai dan membentuk­ nya?­Bagaimana mungkin sebuah pemerintah, juga sebuah masyarakat, dapat merumuskan ”keadilan” tanpa­ dipengaruhi peng­alaman hidup masyarakat itu, juga perimbangan kekuatan yang ada dalam tubuhnya? Liberalisme akan sulit menjawab ini. Maka sulit pula ia menghadapi pertikaian nilai moral, nilai yang mungkin tak datang dari langit, tapi dihayati bukan sebagai konflik kepentingan yang dapat dirundingkan dalam proses penyelesai­an praktis di bumi. Kaum Evangelis Kristen, misalnya, menampik pernikahan antar-­ orang gay, tapi kaum homoseksual­ menggugat: jika pernikahan dianggap sesuatu yang bagus, kenapa mereka tak boleh menjalaninya? Kaum Evangelis meng­­hendaki­pemerintah AS mendukung tindakan Ariel Sharon­terhadap orang Palestina; bagi mere­ ka itu sesuai dengan ramal­an Alkitab. Tapi orang lain menilai­ ketidakadilan itu meng­ancam perdamaian. Bagaimana libe­ral­ isme menghadapi konflik macam itu—yang berangkat dari dua dunia yang berbeda, dan bertujuan ke hidup yang berbeda? Ketika ”nilai moral” justru jadi sumber ketegangan sosial­ Ame­­rika, liberalisme pun oleng. Tampaknya memang ada ke­le­ mah­an liberalisme. Ia menganggap ”keadilan” nilai utama,­tapi ia melihatnya sebagai sesuatu yang telah ada dan selesai. Tapi Catatan Pinggir 7



297



LIBERALISME



bagaimana mungkin? ”Keadilan” itu seperti kolong: ia ”ada” tapi ia ”tak ada”. Ia ada karena merupakan lawan dari ketidakadilan, tapi maknanya belum terisi, meskipun terasa meluap-luap. Sebuah ”penanda yang kosong”, kata Laclau. Perjuangan politik yang tak henti-hentinya menunjukkan bahwa ”keadilan” meminta untuk tak dibiarkan hampa—dan demikianlah sejarah terjadi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 21 November 2004



298



Catatan Pinggir 7



YAKIN



http://facebook.com/indonesiapustaka



K



OTA kecil berpenduduk 17 ribu itu menyambut kun­ jung­an presiden mereka: Tuan Bush ternyata bersedia­ ber­kunjung. Bagi warga Poplar Bluff, Missouri, hari itu menggetarkan. Seorang laki-laki setengah baya berpidato: ”Ame­ rika Serikat negeri terhebat di dunia. Presiden Bush presi­den terhebat yang pernah saya ketahui. Saya cinta presiden saya. Saya cinta negeri saya. Saya cinta Yesus Kristus.” Yesus, Amerika Serikat, Bush. Mungkin bukan sebuah tritunggal baru. Tapi mengapa tidak? Dalam sebuah reportase di The New York Times Magazine 17 Oktober 2004, dengan anekdot itu Ron Suskind menunjukkan gejala yang sedang merundung AS: 42 persen orang merasa diri ”evangelis” dan ”dilahirkan kem­ ba­li” sebagai orang Kristen; di atas mereka, se­orang presiden yang menyandarkan keputusannya lebih kepada ”iman” ketimbang ”fak­ta”. ”Inilah buat pertama kalinya saya merasa Tuhan ada di Gedung Putih,” kata Gary Walby, seorang pensiunan jauhari intan di Kota Destin, Florida. Dan itulah yang, dalam kata-kata Suskind, membuat kepresi­ denan Bush ”radikal”: sang presiden memiliki kepastian ”yang me­lebihi kewajaran, yang diresapi oleh iman”. Harus dicatat: tak semua orang Kristen mengamini posisi itu. Iman (seperti juga tanpa iman) membawa orang ke arah yang berbeda-beda. Seorang pastor yang bekerja dengan orang miskin di Austin, Texas, berkata kepada Suskind: ”Iman yang nyata... membawa kita ke arah perenungan yang lebih dalam, dan bukannya... ke arah... kepastian yang gampang.” Tapi bukankah sudah lama orang hidup dengan sikap tak percaya, atau setengah percaya, atau tak peduli benarkah Tuhan terlibat dalam keruwetan manusia sehari-hari, dan sebab­itu ada ke­ Catatan Pinggir 7



299



http://facebook.com/indonesiapustaka



YAKIN



rin­duan kepada iman yang lempang? Dan mana mung­kin sebuah mesin kekuasaan dapat dijalankan tanpa ”kepastian yang gampang”? Tiap mesin menghendaki garis lurus, sempit dan ringkas. Benar, namun hanya dalam kiasan kekuasaan manusia­dapat di­sebut sebagai ”mesin”. Bahkan birokrasi yang paling­rasional selalu terancam kemustahilan. Kekuasaan ma­nu­sia­adalah kekuasaan menghadapi diri sendiri yang tak sepenuhnya­dipahaminya sendiri, manusia lain yang tak selama­nya dapat dimengerti, masyarakat yang tak pernah selesai­terbentuk, semesta hidup yang tak kunjung tertangkap oleh dalil. Kian lama zaman kian mengungkapkan kemustahilan itu.­ Anthony Giddens jadi menonjol dalam percaturan sosio­logi karena ia dapat merumuskan keadaan itu dengan sepatah kata kunci: ”risiko”—yang baginya mendasari perikehidupan (”budaya”) hari ini. Bahkan kian mengerikan kecelakaan yang mungkin berlangsung, kata Giddens, kian tak cukup peng­alaman kita perihal risiko yang bakal ditanggung. Begitulah maka pelbagai guncang­ an terjadi dan kita terlambat: krisis moneter, wabah AIDS, ”11 September”, lapisan ozon yang bertambah cepat rusak. Di hadapan itu semua, tak dapat saya bayangkan Tuan Bush— atau siapa saja yang mengira bahwa mereka ”bersama­Tuhan”— akan mampu menghilangkan sebuah dunia yang tak dapat diprediksi dan bergerak seperti kuda liar. Jadi apa arti kepastian? Iman, sebagaimana juga tanpa-iman, memang dapat menumbuhkan ilusi yang bukan-bukan tentang ”aku” sebagai subyek yang mampu memesan masa depan. Tapi Tuhan­tak ada di Gedung Putih. Gary Walby, sang jauhari tua itu, keliru. Tuhan tak berdiam di mana saja manusia duduk di takhta, dalam segala jenisnya. Sebab tiap kekuasaan, kafir atau bukan, di Amerika atau di Indonesia, di Kremlin atau di Vatikan, di Jenewa di bawah Calvin di abad ke-17 atau di Arab Saudi di abad ke-20, mengan­dung lubang hitam: kekerasan, bahkan kebuasan, atau se­tidak­nya cela 300



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



YAKIN



yang serius, menyedot kuat manusia. Buku sejarah penuh dengan kisah itu. Negara adalah bangunan yang tegak dengan pembantaian, penindasan, penyingkiran, atau pembungkaman. Tapi selamanya akhirnya meleset. Juga ambisi dan 1.001 salah tindak. Sebuah negeri selalu di­ rundung percaturan politik. Proses itu mau tak mau me­ngandung­ sikap bermusuhan, setidaknya iri, bahkan benci,­galak, dan naik pitam—sesuatu yang agaknya dilupakan para pengikut Habermas—sebab ketimpangan kekuasaan selalu ada, juga perebutan untuk mendapatkannya, dan ”konsensus­rasional” tak selamanya­ tercapai. Sejak generasi pertama manusia setelah Nabi Adam, sampai dengan generasi manusia dalam pemilihan umum di tahun 2004, kita menyaksikan pola itu. Pola itu menunjukkan setidaknya dua hal. Pertama, bahwa­ dengan atau tanpa iradah Tuhan, pergulatan kekuasaan berpro­ ses dalam dan dengan tubuh manusia, dengan dan dalam baha­ sa­nya, akal dan syahwatnya, niat baik dan pamrihnya. Kedua, proses itu pada akhirnya sebuah proses pengambilan keputusan. Dalam bahasa Indonesia, kata itu, yang juga disebut ”memutuskan”, mengandung kata dasar ”putus”: sesuatu yang traumatis. Memang ada pengambilan keputusan berdasarkan analisis dan forkas. Tapi itu sebenarnya bukan ”memutuskan”, melainkan ”meng­ikuti”. Saya kira Kierkegaard, pemikir yang saleh tapi terkadang aneh itu, benar ketika ia mengatakan bahwa saat manusia memutuskan adalah ”saat kegilaan”. Bukan karena manusia ngawur, tapi karena ketika ia me­nga­ ta­kan bahwa ia ”yakin” akan hal yang ia putuskan, sebenar­nya ia berhenti memperhatikan yang tak terduga, yang lain, yang tak tertangkap. Saat itu ”gila” karena ia meloncat ke dalam ketidakpastian. Ia subyek dari keputusannya, tapi juga obyek yang dibentuk oleh keputusan itu. Mustahil baginya untuk tahu betul apa sebenarnya kehendak-Nya. Maka manusia pun gentar dengan Catatan Pinggir 7



301



YAKIN



pelbagai cara dan berdoa dengan pelbagai cara. Menarik bahwa Bush juga gemar berdoa. Tapi di Gedung Putih, benarkah doa presiden yang ”terhebat” dari negeri yang ”terhebat” itu—untuk memakai penilaian orang di Poplar Bluff— berarti sebuah pengakuan akan ketidakhebatan? Ataukah hanya Amir Hamzah yang bersedia bertanya: ”Tuhanku apatah kekal?”



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 28 November 2004



302



Catatan Pinggir 7



KEJADIAN



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



IDAKKAH kita akan bosan? Demokrasi tanpa mukjizat. Bila ”akhir sejarah” adalah sebuah keadaan hidup ketika manusia menerima kemerdekaan dirinya sebagai sesuatu yang normal, tak akan perlu sedu sedan lagi: marah dan kesedih­ an kita bawa sendiri, sendiri—atau kita letakkan di ruang terbatas. Huru-hara tak dibutuhkan. Ketika kita tahu bahwa revo­ lusi pada akhirnya akan berakhir—dan kita mendapatkan cara merdeka yang lebih murah—buat apa perubahan yang mengguncang kita dari bulu kaki sampai ke ulu hati? Kita pun akan membuat prosedur, juga untuk berteriak. Kini pun, di jalanan tak ada teriak. Orang berdesak-desak.­ Dari jendela bus, masing-masing memandang ke luar, tak sabar,­ atau tidur dan menyerah ke dalam kemacetan rutin, dan berbisik, (mengingatkan kita akan lakon Utuy Tatang Sontani), ”Sayang ada orang lain ....” Orang lain tentu tak akan musnah. Kelangkaan, dari mana ekonomi lahir, akan tetap ada. Kita tetap harus berbagi. Tapi kita akan enggan berkelahi habis-habisan untuk mengubah distribusi itu. Di ”akhir sejarah”, kapitalisme telah diterima sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Manusia tak perlu membuat tangan gigantis sendiri. Ada ”tangan yang tak terlihat” yang mengatur benda, jasa, kekayaan, kesenangan. Tentu, kita tak akan jadi mesin otomat yang bangun tidur, be­ kerja, makan, ngobrol dengan tetangga atau nonton TV dan sebe­ narnya hampa. Kita masih bisa tergugah melihat kesewenangwe­nangan (misalnya di berita malam atau sinetron). Kita masih­ bisa bergabung dalam keranjingan Persebaya atau Manchester­ Uni­ted dan datang ke konser Slank. Kita masih bertarung habishabisan dalam turnamen taekwondo. Kita masih mencoba me­ Catatan Pinggir 7



303



http://facebook.com/indonesiapustaka



KEJADIAN



nang dalam festival tari, di pasar saham atau di laboratorium yang mencari obat baru untuk rambut rontok. Tapi itu semua adalah gairah dalam sebuah tertib. Ukuran dan juri disepakati—mirip kehidupan politik di atas kita. Dan kita akan menyebutnya ”zaman normal”. Mungkin membosankan. Sebab tidakkah terasa ada sesuatu­ yang kurang, sebuah defisit yang tak bisa kita hitung? Di negeri­di mana demokrasi-tanpa-mukjizat telah berlangsung lama, orang mulai melihat ada sesuatu yang ”salah” dalam gerak-tanpa-keharuan ini. Orang pun bicara, dengan setengah mencemooh, tentang ”republik prosedural”. Dan orang pun mulai menyidik bahwa batas antara yang ”nor­mal” dan ”abnormal” sebenarnya semu. Seperti halnya jiwa­ ma­nusia sendiri: normalitas adalah sesuatu yang mengan­dung luka dan lupa. Dalam keteraturan hari ini kita bukan saja mele­ takkan khaos dan ketidakpastian di hari kemarin. Kita juga tak meng­akui ada represi pada jam ini juga di satu sudut kota. Seperti lotere: prosedur yang teratur untuk menentukan pemenang sebe­ nar­nya justru bagian dari ritual untuk terkejut, sebuah upacara ketidakpastian. Probabilitas dapat diperkira­kan oleh statistik. Ta­pi para pakar tahu hasilnya selalu me­ngan­dung deviasi. Maka tatkala ”politik” jadi prosedur, orang memang patut ber­tanya: tidakkah ini hanya ilusi? Begitu gampangkah proses­ membuat prosedur itu diterima sebagai prosedur? Tidakkah pada mulanya ada isi, yang bermakna, yang menyangkut ”keadilan”, ”ke­bebasan”, dan ”kebenaran”, hal-hal yang sebenar­nya begitu penting bagi kelanjutan hidup (di) sebuah negeri? Di Indonesia, tahun ini, kita memang belum lupa bahwa­da­ lam ”politik” (sebagai prosedur), sebenarnya terkandung ”keja­ di­an”. Ketika Alain Badiou menyebut ”l’ événement” dalam seja­ rah—misalnya Revolusi Prancis—argumen filosof itu kita terima­ sebagai pengingat bahwa memang ada yang gerowong dalam tiap 304



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



KEJADIAN



ketertiban. Ke sana masuk sebuah gebrakan yang mengguncang keadaan (atau tata) yang ada. Otoritas dan kepatuhan berdiri, ta­ pi dalam situasi itu sebenarnya berlangsung juga sesuatu yang su­ wung—kosong tapi penuh dengan entah—sesuatu yang sarat dengan inkonsistensi tapi tak (hendak) diketahui. Ketika huru-hara meledak, bagaikan sebuah mukjizat transformasi pun terjadi. Para pelakunya menyebutnya ”Revolusi”. Melalui ”intervensi taf­ sir” itu, sang ”Kejadian” jadi ”Kebenaran”—sesuatu yang universal. Politik sebenarnya mengandung cita-cita ke arah yang universal itu. Kini hal itu jadi penting, sebab kita hidup dalam masa yang bertanya: jangan-jangan yang ”universal” sebenar­nya sesu­ atu yang hanya dicekokkan ke kepala kita oleh suara yang paling kuat. Dengan kata lain, kita hidup tanpa pegangan bersama yang mantap. Sang ”Kejadian” adalah yang memantapkan apa yang tak mantap. Tapi tidakkah Badiou sebetulnya sebuah suara nostalgia, keti­ ka politik terasa begitu-begitu saja dalam ”republik prosedural”? Sebenarnya ia memang menghendaki ”mukjizat”: teori­nya bukan hanya satu deskripsi, tapi acuan untuk membuat sebuah langkah besar, yakni sebuah Keputusan di tengah hal yang tak dapat diputuskan, dalam ketidakmantapan nilai-nilai. Dari Keputusan itu akan hidup kembali persoalan ”keadilan” dan ”kemerdekaan” yang kita simpan di bawah kasur prosedur. Namun acuan Badiou masih membuat saya waswas: Ke­putus­ an dalam ketidakmantapan itu juga pada dasarnya hanya ”prosedur”, meskipun dramatis. Tidakkah ”intervensi tafsir” dapat mem­buat kekerasan dari siapa pun jadi Kebenaran—juga dari Hitler? Saya bayangkan seorang Jerman yang pada tahun 1930an menonton film Leni Riefenstahl, Triumph des Willens. Di sana tampak rapat akbar Partai Nazi di Nürnberg pada tahun 1934— parade yang dahsyat, ribuan barisan dalam desain yang agung. Ia Catatan Pinggir 7



305



KEJADIAN



akan mudah dengan yakin menyatakan, ”Inilah Kejadian! Inilah Kebenaran!” Artinya masih ada yang kosong dan menakutkan, bukan mem­bosankan atau tidak. Soalnya kemudian kapan politik memberi isi dan prosedur hanya menjadi bentuk? Sekarang juga, saya kira. Bahkan di ”akhir sejarah” isi itu, makna itu, masih meng­ imbau­—selama di luar pintu itu ada seorang yang tergeletak,­ lapar, luka, dan kita tak berpaling.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 5 Desember 2004



306



Catatan Pinggir 7



VAN GOGH



http://facebook.com/indonesiapustaka



B



AGAIMANA kita bisa bicara tentang Mohammad B.? Pada suatu hari di bulan November 2004 yang dingin, ia membunuh Theo Van Gogh dengan tenang dan bru­tal­di sebuah jalan di Amsterdam. Ketika seniman film itu bersepeda, Mohammad B. menghadangnya, dan menembakkan pis­tolnya delapan kali. Terkena lutut, Van Gogh terjerembap. Ia diseret.­ Dalam keadaan luka itu ia memandang orang yang menem­bak­ nya dan mencoba berbicara. Tapi Mohammad B. tak menyahut. Dengan mantap tenggorokan Van Gogh dipotong­nya, hampir pu­tus. Setelah itu, satu statemen lima halaman di­­pasang­ke tubuh Van Gogh, direkatkan dengan sebilah pisau yang menghunjam sampai tangkai ke jantung si mati. Kesimpulan sementara: Mohammad B. membunuh karena Van Gogh dianggapnya menghina Islam. Delapan minggu sebe­ lum­nya film Submission diputar di TV. Kata orang yang telah melihatnya, salah satu adegan menunjukkan ayat-ayat Quran tertu­­­ lis­ di atas tubuh perempuan-perempuan yang mengenakan pa­­ kai­­an menerawang, dengan buah dada tampak. Ayat-ayat itu ko­ non menyebut perkenan Allah bagi laki-laki untuk memukul istri­­nya. Wajah perempuan-perempuan dalam film bikinan Van Gogh itu tampak bengap, runyam. Di belakang ide film itu adalah Ayaan Hirsi Ali, seorang pe­ rem­puan kelahiran Somalia, anggota parlemen Belanda.­ Aya­an Hirsi ingin menggambarkan perlakuan buruk Islam terhadap pe­ rempuan. Ia pernah menggambarkan riwayat hidup­nya sebagai seorang anak yang meninggalkan Somalia dalam umur 6 tahun, lalu hidup di Arab Saudi, Etiopia, dan Kenya. Menjelang umur 20 tahun, orang tuanya menyuruhnya menikah dengan laki-laki yang tak dipilihnya sendiri. Ia harus menyusul calon suaminya di Catatan Pinggir 7



307



http://facebook.com/indonesiapustaka



VAN GOGH



Kanada, tapi di tengah perjalanan ia berhenti di Jerman, lalu naik kereta api ke Belanda. Di sinilah ia belajar, berhasil, masuk ke kehidupan politik, dan bergabung dengan Partai Liberal. Setelah Van Gogh terbunuh, Ayaan Hirsi tak tampak lagi di depan umum, dan Belanda tercekam dengan apa yang selalu­terjadi setelah kekerasan: benci yang menular. Sekolah muslim dan masjid dicoba dibakar, dan satu juta orang Islam di antara 16 juta penduduk Belanda harus berhadapan dengan soal mendasar tentang hidup di sebuah dunia yang mereka pilih, yang juga sebuah dunia tempat seorang Van Gogh punya kemerdekaan untuk berbicara dengan cara menghina apa yang amat berharga, bahkan suci, di hati mereka. Bagaimana kita bisa bicara tentang Mohammad B.? Dia mewakili perilaku Islam, kata sebagian orang. Bukankah pembu­ nuh­an sudah terjadi sejak zaman Nabi, bila ada orang yang dianggap berbahaya bagi agama? Bukankah hal yang sama berlan­jut terus sampai abad ke-20? Satu daftar dapat dibuat: pada 1947, se­ orang pengacara Iran, Ahamd Kasravi, harus mati karena­tu­duh­­­ an­ seperti itu. Empat tahun kemudian, kelompok radikal­ yang sa­ma membunuh Perdana Menteri Haji Ali Razmara. Di Me­ sir, Farag Foda, penulis Al-hakika al-gha’ iba (The Missing Truth), yang menganjurkan sekularisme, dibunuh dalam umur 47 tahun. Pada 1993, Tahar Djaout, seorang novel­is Aljazair, dise­rang dan tewas. Pada 1994 novelis Naguib Mahfouz, pemenang Hadiah Nobel, ditikam. Dan kita ingat­Salman Rushdie yang ”dijatuhi hukuman mati” (tentu tanpa­ pengadilan) oleh Ayatullah Khomeini, dan Rushdie harus bersembunyi bertahun-tahun, sampai akhirnya penguasa Iran mencabut fatwa itu. Tidak, kata yang membantah, Mohammad B. tak mewakili­ Islam. Memang untuk berbuat kejam (”keras”), orang selalu da­ pat mengutip Quran dan hadis. Itu yang dilakukan oleh mereka­ yang membunuh Kaswavi dan mencoba menghabisi Salman 308



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



VAN GOGH



Rush­die. Tapi kenyataan tetap: sebagian besar muslim tak pernah membunuh atas nama agama mereka. Bahkan dari seluruh penduduk muslim Belanda, kata sebuah sumber di Dinas Rahasia, hanya 150 orang yang dapat dikategorikan ”radikal” dan mendekati ”teroris”. Kenapa kita tak melihat Mohammad B. sebagai seseorang de­ ngan keputusannya sendiri yang sunyi? Kenapa perkaranya­ tak hanya dibatasi sebagai perkara kriminal, dan bukan per­kara­ ”kultural”? Kenapa sumbernya ditarik jauh ke ajaran Islam? Bukankah ajaran Islam selalu bersifat tafsir orang, dan dari sana da­ pat lahir pembantaian tapi juga perdamaian? Bukankah hal yang sama berlaku untuk agama Yahudi dan Kristen juga dalam sejarah Eropa—yang menyebabkan orang bisa mengeluh: alangkah membingungkannya Sabda Tuhan? Tak kalah membingungkan adalah kata-kata manusia. Per­ soal­an sebuah negeri yang dihuni oleh beragam orang dengan beragam iman ialah ketika ”multikulturalisme” jadi kebijakan publik. Kebijakan ini akan bergantung pada bagaimana ”kultur” dipetakan dan bagaimana ”identitas” diresmikan. Orang cende­ rung­lupa bahwa ”identitas” tak pernah ada dalam hidup­orang se­orang. Label ”Islam” tak sepenuhnya mencakup (dan menguasai) kita. Kita tak akan pernah bisa tahu benar­kah Mohammad B. seorang ”Islam”, meskipun ia menyebut diri demikian, sebab kita sebenarnya tak ada jaminan seluruh dirinya mencerminkan ”Islam”—sebab tak ada ”Islam” yang membentuk para pemeluknya bagaikan sebuah cetakan yang sudah siap. Bagaimana kita bicara tentang Mohammad B.? Kita belum tahu apa sebenarnya yang dicarinya. Adakah pembunuhan pada hari itu cara dia menunjukkan sebuah jalan buntu, ketika dialog­ macet—ia tak akan dapat mengubah Van Gogh dari sikapnya yang menghina itu? Bahwa argumentasi pada akhirnya ditentukan oleh mana yang kuat, dan sebab itu Van Gogh dapat menyi­ Catatan Pinggir 7



309



VAN GOGH



ar­kan filmnya dan Ayaan Hirsi dapat mempunyai forum untuk menyampaikan kecamannya? Mungkin akhirnya Muhammad B. berkesimpulan, yang kuat adalah yang dapat membisukan yang lain—dan satu juta muslim itu pada akhirnya toh tak berdaya. Tapi mungkin ia tak tahu atau tak peduli: jika kekuatan berarti pembunuhan, tak akan ada ne­ ge­ri yang dapat menjadi negeri, dan yang ada hanya jutaan bangkai.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 12 Desember 2004



310



Catatan Pinggir 7



MATI



http://facebook.com/indonesiapustaka



P



ADA suatu sore tahun 1947, ayah saya dieksekusi oleh pasukan Belanda yang menduduki kota kami. Saya, anak terkecil, tak diperkenankan melihat jasadnya. Tapi kemudian Ibu bercerita bahwa ada tiga butir peluru yang ditembakkan ke kepala Bapak. Keluarga kami tak pernah tahu kenapa ia dihukum mati. Tak ada pengadilan pada hari-hari itu. Pasukan Belanda baru­saja me­ rebut kota kami, malamnya seorang gerilyawan me­lempar­kan gra­nat ke markas mereka dan membunuh entah berapa­ orang ser­dadu, dan Bapak mungkin berkaitan dengan itu semua, tapi mungkin tidak. Barangkali ia—yang dibuang ke Digul beberapa­ belas tahun sebelumnya setelah pemberontakan gerakan kiri yang gagal pada 1927—sudah ada dalam daftar orang yang tak dikehendaki. Sejak itu saya tahu, kekerasan dan kematian terjadi ketika ada orang yang tak dikehendaki dan sebuah kekuasaan jadi cemas. Pada 1965-1966 berpuluh-puluh ribu orang dibunuh­ketika Indonesia cemas—sebuah perasaan yang makin akut karena­waktu­ itu tak jelas siapa gerangan ”Indonesia” yang cemas itu. Tiap ka­ li masyarakat guyah, tiap kali sesuatu yang dapat dijunjung di­ tegakkan, dan tiap kali ada yang harus di­singkir­kan. Mem­ba­ ngun­ adalah menghancurkan. Dalam takhayul di kota saya di pantai utara Jawa, harus ada kepala yang dipotong ketika orang mem­buat jembatan. Mungkin itu juga yang tersirat dalam legen­ da tentang Roma yang termasy­hur itu: di bukit tempat kota itu didirikan, Romulus membunuh saudara kandungnya, Remus, sebelum tata dan tertib lahir. Itu sebabnya orang menghukum mati orang lain, bila ia ada da­lam daftar yang tak dikehendaki. Si ”bersalah”, si ”ganjil”, tak Catatan Pinggir 7



311



http://facebook.com/indonesiapustaka



MATI



hanya harus diubah dalam sikap. Tubuhnya harus ditiada­kan. Semangat totaliter (Stalin dalam Revolusi Rusia, Mao dalam Re­volusi Cina, dan Khomeini dalam Revolusi Iran) selalu ingin menciptakan ”manusia baru”. Maka orang dijejali­doktrin, diolah lewat proses ”transformasi pikiran”. Stalin me­ngerahkan seniman untuk mempraktekkan ”realisme sosialis”, sebab mereka adalah ”insinyur jiwa manusia”. Mao mendera rakyat Cina untuk menghafal ”Buku Merah”. Khomeini me­ngon­trol pikiran orang ramai dengan fatwa, titah Tuhan, dan sabda Nabi. Tapi pada saat yang sama, orang juga dibunuh. Bangkai yang tergolek di lapangan eksekusi adalah tanda ter­akhir­bahwa tubuh mempunyai arti. Tubuh pada akhirnya memang bagian sentral kehidupan politik. Pada 1995 Agamben menulis Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, dan salah satu tesisnya ialah tubuh hadir membentuk kehidupan politik. Bios, kehidupan politik, memasukkan ke dalam dirinya zoe, kehidupan alami manusia. Ingat, katanya, demokrasi Eropa dimulai dengan habeas corpus: perintah mahkamah untuk menghadirkan orang yang ditahan ke depan hakim, agar dapat ditentukan sah atau tidak­nya penahanan. Dalam artinya yang harfiah, habeas corpus adalah ”Anda dapat mendapatkan tubuh itu”. Tapi masuknya tubuh ke kehidupan politik juga telah menyebabkan pelbagai horor. Kita tahu yang iblis dalam rasialisme. Yang dibinasakan, disingkirkan, dan ditindas bukanlah mereka yang jahat. Penolakan berpangkal pada kulit, bentuk hidung, jenis rambut, dan segala pembawaan yang tak dapat dipilih dalam kandungan sang ibu. Juga hukuman mati: yang dihabisi bukan perbuatan, tapi kerja jantung, limfa, paru, dan otak. Adorno benar: sejak Ausch­ witz, rasa takut akan mati berarti rasa takut akan yang lebih buruk ketimbang mati. Di kamp konsentrasi, kamar gas, dan di saat eksekusi yang ditetapkan Negara untuk mengurangi jumlah 312



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



MATI



perusuh, yang terjadi bukan saja rasa sakit jasmani bagi individu, tapi rasa sakit yang dihadapi seseorang ketika ”individualitas nyaris punah”. Saya ingat Bapak. Saya tak pernah tahu mereka tutupikah ma­ tanya di depan regu tembak sore itu dengan sepotong kain. Ke­ kuasaan yang beradab melakukan hal itu—tapi juga di sini kisah peradaban adalah kisah kebiadaban. Kain yang menutupi mata itu juga menutupi sesuatu yang penting dalam wajah manusia. Praktis ia menutupi seluruh wajah. Artinya: ia membungkus apa yang ”lain” agar tampak jadi ”sama”. Hukuman mati adalah sejenis materialisme yang ganas dan menipu diri­nya sendiri. Ia menghormati yang jasmani tapi pada saat yang sama menghilang­kan yang berarti, dan beragam, dari yang jasmani. Tapi tak hanya di depan regu tembak hal itu terjadi. Yang jasmani secara tak kentara kian menggusur ”individualitas­ yang nyaris punah” ketika kelaparan, kekurangan tempat,­ke­kurang­an air, menjarah sebuah wilayah yang padat. Mungkin­itu sebabnya di negeri-negeri miskin, orang tak menggugat hukum­an mati sebagai sesuatu yang keji. Di sini, yang lebih buruk ketimbang mati adalah hidup yang rudin, terjepit, dan sekarat. Tak mengheran­ kan­ bila dari sini ada suara yang menggugat: gerakan anti-hu­ kum­an-mati yang kita dengar sekarang adalah tanda keberlimpahan Eropa. Eropa memang punya banyak keberlimpahan—di antara­nya­ sejarah yang bengis dan penuh kesalahan. Sering kita lupakan­ bahwa Kant, yang jauh pada abad ke-18 telah memberikan dasar filsafat yang kini dipakai untuk perjuangan hak asasi manusia— yang bicara bahwa ”kemanusiaan” bukanlah cuma alat, tapi tujuan—adalah orang yang setuju hukuman mati bagi para pembunuh. Ia, yang seumur hidup tak pernah pergi keluar dari Könisberg, kota kecilnya di Prusia Timur, memang orang yang gentar akan kekacauan. Catatan Pinggir 7



313



MATI



Tapi mungkin kita tahu kenapa. Bahkan dalam pikirannya yang luhur itu Kant lebih bicara tentang ”kemanusiaan”, atau ”manusia”, ketimbang tentang subyek-subyek yang empiris,­yang hidup dalam pengalaman sejarah. ”Manusia”: sesuatu yang abs­ trak. Dalam abstraksi itu, manusia—tanpa tubuh, tanpa per­ ubah­an—akan punah seluruhnya ditelan bios, di­ceng­keram kehidupan politik. Sejak itu, kita tahu kekerasan dan kematian bermula dengan segala bentuknya. Dengan tiga butir peluru Eropa menem­bus kepalanya, ayah saya hanya sebuah contoh.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 19 Desember 2004



314



Catatan Pinggir 7



JASIH



http://facebook.com/indonesiapustaka



J



ASIH mati membakar diri, dan kita bersalah. Kita harus mengaku .... Kita mungkin ikut membunuhnya, atau kita berdiri di kamar kita dengan dosa sejenis itu, karena kita sampai tak tahu bahwa ada ibu berumur 39 tahun yang begitu berputus asa hingga ia menghabisi nyawanya sendiri dan nyawa Galuh, anaknya yang berumur 4 tahun, yang terserang kan­ ker­otak dan tak ada lagi biaya untuk mengobatinya. Kita bersa­ lah karena Jasih begitu miskin utangnya yang lima juta rupiah ke­pada para tetangga itu begitu menekan dan kita selama ini ingkar. Kita tak pernah menengok. Kita tak pernah ingat. Malapetaka itu tak dapat kita cegah, dan kita bersalah. Jasih tak hidup di negeri yang jauh. Ia mati tak di tempat yang jauh. Ke­ jadian itu, di Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta­Utara, pada pertengahan Desember 2004. Artinya, bukan masa lalu. Artinya, sebenarnya terjangkau dari tempat saya. Juga terjangkau da­ri tempat Anda. Lagoa bukan di seberang lautan dan di balik benua. Kecamatan itu hanya bebera­pa puluh kilometer saja dari orang-orang (mungkin teman-teman kita) yang baru mem­ be­li sebuah apartemen di Paris, menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado istri dengan berlian 500 juta, menyo­ gok rekanan dengan 3 miliar, menyumbangkan uang untuk gere­ ja sebesar 70 juta, naik haji ketiga kalinya seraya mentraktir 10 orang teman ke Mekah, berjudi di London sampai kalah­1.000 pound sterling, atau hanya menyimpan uang beberapa mi­liar­di bank seraya menunggui bunga sekian persen. Daftar itu bisa diperpanjang. Dan bersama itu, kesalahan kita kian jelas. Tuan akan berkata, tentu, ”Ah, tidak jelas!” Tuan akan ber­ tanya kenapa Tuan disangkutkan ke dalam ”salah”. Maaf, be­ ribu-­ribu maaf. Saya punya bahasa yang kasar kali ini: jika kita Catatan Pinggir 7



315



http://facebook.com/indonesiapustaka



JASIH



(Tuan dan saya) tidak tahu, jika kita (Tuan dan saya) tidak­merasa bersalah karena kematian di Lagoa itu, jika kita merasa­tak ber­ urusan­dengan Jasih dan Galuh yang putus asa, itu ber­arti kita dungu atau tak punya hati. Tuan tahu bahwa sebuah kota, sebuah negeri, bukanlah tempat yang selama-lamanya longgar, dengan kekayaan yang berlimpah-ruah. Tak ada bagian dunia yang bebas dari kelangkaan dan kekurangan;­ itu­lah sebabnya ekonomi terjadi: orang berproduksi terus, tukar-­menukar tak henti-henti. Dan jika kita berbicara tentang Indonesia, kita akan lebih tahu apa artinya kelangkaan dan kekurangan itu. Bahkan kita akan tahu apa yang ada di balik­nya: kekayaan yang begitu timpang, kesempatan yang begitu­selisih. Dari sini Tuan tahu apa yang menyebabkan tak ada pengobatan yang murah bagi Galuh. Inilah daftarnya, meskipun tak lengkap: karena dokter-dokter yang tak pernah meng­ulurkan bantuan ke rumah orang miskin, karena in­dustriawan obat yang hanya memikirkan the bottom line, karena pejabat Departemen Kesehatan yang mencolong dana buat pe­ layanan­medis dan pencegahan penyakit di kampung-kampung, karena­ wartawan-wartawan (rekan-rekan saya) yang menerima suap dari dokter, industriawan obat atau pejabat dan sebab itu lalai untuk menceritakan putus asa di kekumuhan itu kepada publik, juga karena para wakil rakyat yang setelah beranjangsana ke luar negeri dengan uang ribuan dolar tak menegur kepala daerah­ yang tak banyak berbuat. Tuan dan saya tambah bersalah bila Tuan dan saya tak tahu itu apalagi berpura-pura tidak tahu itu. Tuan bersalah, tapi harus saya tambahkan memang: kesalahan Tuan lebih kecil sedikit ketimbang dosa saya, yang menulis tulisan ini dan sudah terlambat, yang menulis dan mendapatkan nama, yang ingin menangis untuk Jasih dan Galuh tapi kemudian merasa bahwa saya juga yang akhirnya mendapatkan manfaat, juga dari tangis itu. Jasih, Galuh, dan kakaknya, Galang, yang luka-luka, dan Mahfud, bapak anak-anak itu, yang kehilangan se316



Catatan Pinggir 7



JASIH



gala yang berarti baginya, tetap tak tertolong. Miskin. Berutang. Hari-hari yang sudah cacat. Mereka itu yang benar mengalami: kota begini sempit. Tiap jengkal yang kita miliki berarti tiap jengkal yang tak dimiliki orang lain. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah masya­ rakat apalagi masyarakat ini. Ada seorang yang mengatakan bah­wa pada saat seseorang memaklumkan, ”Inilah tempatku di bawah cahaya matahari,” itulah bermula perebutan tak sah seluruh muka bumi. ”Kematian orang lain memanggilku untuk dita­nyai,” kata Emmanuel Levinas, ”seakan-akan, karena sikap acuh tak acuh yang mungkin aku ambil kelak, aku bersekongkol dengan kematian yang dihadapkan kepada orang lain, kematian yang tak dapat diketahuinya.” Jasih, saya tak berharap saya layak kamu maafkan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 26 Desember 2004



Catatan Pinggir 7



317



http://facebook.com/indonesiapustaka



318



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



2005



Catatan Pinggir 7



319



http://facebook.com/indonesiapustaka



320



Catatan Pinggir 7



TERANG, GELAP, HARAP



http://facebook.com/indonesiapustaka



K



ALENDER selalu sampai di lembar terakhir, kita selalu tiba di pangkal pertanyaan: benarkah harapan mungkin? Tiap Desember orang memperkirakan dan merancang. Mereka sebenarnya bertanya. Tahun 2005 suram? Pertumbuhan di atas 5 persen? Akan ada teror baru? Statistik dan astrologi memberi jawaban yang selalu siap untuk cacat. Tiap ramalan adalah orakel. Tapi kita memasuki­tiap ta­hun baru (pesta yang seru, trompet kertas yang dipekik­kan di jalan-jalan, atau doa seorang diri di kamar sempit) dalam sebuah sikap yang tak selamanya diucapkan: hidup tak pernah indah, sebenarnya, tapi berharga. Memang ada orang yang membuat diri jadi peledak agar hancur apa yang dilihatnya sebagai musuh yang jahat, ada Jasih dari Kelurahan Lagoa yang membakar diri dan anak-anaknya karena merasa habis dalam kemelaratan, tapi mungkin justru itu juga isyarat: bagi si pengebom-bunuh-diri, hidup begitu berharga hingga kematiannya adalah pemberian yang paling luhur bagi se­buah tujuan agung; bagi Jasih, hidup begitu berharga hingga penderitaan tak patut melekat di dalamnya. Di dunia yang berjejal-jejal, yang kumuh, korup, bengis, dan tak adil—yang tiap hari kita alami dengan mata nyalang di jalan-­ jalan Jakarta—orang toh tetap tak memutuskan, ”Ah, tak perlu­ hari esok.” Orang akan tetap bangun tidur, membersihkan pelataran, atau jogging, atau mendengarkan kuliah subuh, terus me­ lakukan hal-hal yang dilakukan kemarin dan akan dilakukan nanti. Rasa putus asa yang radikal tak bisa memikat orang ramai. Sampai hari ini belum pernah ada sebuah masyarakat yang berduyun-duyun seperti lemming menenggelamkan diri di laut. Dengan kata lain, orang ber-harap, meskipun mungkin tidak­ Catatan Pinggir 7



321



http://facebook.com/indonesiapustaka



TERANG, GELAP, HARAP



meng-harap. Ada sebaris kata-kata yang bagus dari Vaclav­Havel, ketika ia masih seorang sastrawan yang menarik, tentang beda men­dasar antara ”harapan” dan ”optimisme”. Harap­an, kata Ha­ vel, ”bukanlah keyakinan bahwa hal-ihwal­ akan berjalan baik, melainkan rasa pasti bahwa ada sesuatu yang bukan hanya omong kosong dalam semua ini, apa pun yang akan terjadi akhir­nya”. Havel tak menguraikan bagaimana halnya optimisme. Tapi dapat ditarik kesimpulan di sini: optimisme adalah keyakin­ an yang kurang-lebih utuh dan konsisten tentang masa depan. Mungkin sebab itu optimisme mengandung sikap yang gagah, tapi itu juga dapat berarti jumawa, dan itu berarti pongah.­Sebab­ sebenarnya tak ada kemampuan dalam diri manusia yang se­ca­ ra konsisten dan utuh menangkap (tak hanya memperkirakan)­ ”apa-yang-akan-datang”. Bahkan juga ”apa-yang-lalu” dan ”yang-kini” tak dapat sepenuhnya diketahui dan dijadi­kan dasar bagi tindakan. Optimisme adalah ibarat iklan rumah yang akan dijual: selalu dengan cahaya terang-bende­rang, tapi selalu cende­ rung menyenangkan calon pembeli, maka ditambah ilusi, juga dusta, biarpun sedikit. Maka ada beda yang jauh antara ber-harap dan meng-harap. Ber-harap adalah berada dalam harapan yang sudah ada. Di sini harapan bukanlah sesuatu yang disengaja dan diniatkan. Dalam ber-harap tersirat sikap yang lebih rendah hati menghadapi ruang dan waktu. Orang Islam menghubungkannya dengan tawakal. Sebuah konsep yang unik, sebab di situ sekali­gus termaktub dua kecenderungan yang sebenarnya bertentangan: ”pasrah” dan ”tekad”. Dalam khazanah agama, tawakal merekatkan kedua kecende­ rungan itu dalam ”iman”. Jika kita perhatikan benar, agama memang meletakkan ”harapan” di pusat dirinya. Iman menghibur, meskipun sukar, meskipun sunyi. Kita diberi tahu bahwa hidup sebenarnya abadi, dan yang kekal akan datang setelah kematian. 322



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



TERANG, GELAP, HARAP



Kita diberi tahu tentang Taman Firdaus, atau pencapaian rohani yang akhirnya berarti kebebasan dari kesengsaraan dunia. Bagi agama, tanpa iman, harapan mustahil. Di abad ke-13 Thomas Aquinas menjelaskan kenapa. Ia me­ nga­takan bahwa harapan harus dibedakan dari ”hasrat”, karena­ harapan adalah ”muskil” (dan hasrat tidak demikian);­ harap­an juga harus dibedakan dari putus asa, karena ia ”mungkin”. Ber­ gerak bolak-balik dan timbul-tenggelam antara ”muskil” dan ”mungkin” itu, harapan membutuhkan Tuhan. ”Tak ada orang yang mampu sendirian menangkap kebaikan luhur dari kehidup­ an abadi; ia perlu bantuan ilahi,” begitulah kata Santo Thomas. Maka ada satu hal yang berlipat dua: ”kehidupan abadi ke mana kita berharap, dan bantuan ilahi dengan apa kita berharap”. *** Di abad ke-21, orang tetap menghubungkan harapan dan iman, seperti dulu. Tapi berbeda dengan yang dibayangkan Tho­ mas Aquinas: hari ini ”bantuan ilahi” penting, tapi untuk­agenda yang berbeda sama sekali. Di abad ke-21 banyak orang tak melihat lagi bahwa harapan sering terbanting-banting bergerak antara ”muskil” dan ”mungkin”. Yang mereka lihat, harapan tak lagi sesuatu yang misterius. Banyak orang berada dalam posisi mengharap, bukan ber-harap. Dalam meng-harap aku menghadapi dunia dan masa depan sebagai sesuatu yang kukehendaki. ”Apa-yang-akan-datang” kutarik ke arahku, dan dengan itu kuketahui dan kukuasai. Iman dan harapan di sini bertumpu pada subyektivitas yang kuat: aku melangkah ke masa depan karena sebuah kehendak, dengan ke­ sa­daran yang utuh karena sebuah niat, dengan langkah yang teratur dan efektif karena akal. Tuhan bersamaku: Ia membuat kehendak, niat, dan akalku menjadi bertambah dahsyat. Tuhan bersamaku: Ia hadir bukan untuk mengingatkan kelemahanku, melainkan untuk membuatku, sebagai subyek, mengatasi bagian Catatan Pinggir 7



323



http://facebook.com/indonesiapustaka



TERANG, GELAP, HARAP



diriku yang tak hendak ikut titah sang subyek—misalnya tubuhku. Subyektivitas yang kuat itu yang membentuk dunia modern,­ sampai hari ini. Modernitas adalah optimisme. Dengan kehendak yang kukuh, kesadaran yang stabil, dan akal yang tajam, kemajuan pun menderu laju. Dari deru itu bangkitlah sebuah masyarakat yang bagaikan penenung dapat menyulap tanah dan air jadi sumber produksi yang perkasa. Di Eropa, tempat lahir modernitas ini, dalam waktu yang tak sampai seratus tahun telah lahir ”kekuatan produktif yang lebih pejal dan lebih­kolosal ketimbang yang himpunan hasil karya seluruh generasi sebelumnya”. Kata-kata ini, datang dari Marx dan Engels­dalam ”Manifesto Komunis”, menggambarkan betapa gemuruhnya kemajuan manusia semenjak sejarah baru ini, yang pada dasarnya sejarah yang dipelopori kaum borjuasi.­ Yang tak disangka Marx dan Engels­ialah bahwa­kaum ini sampai hari ini tetap jadi penggerak optimisme. Memang ada yang membuat kita risau dalam proses itu. Ada yang menggambarkan zaman modern yang menang ini telah membentangkan jalan yang bersinar-sinar, tapi tiap cahayanya menyembunyikan malapetaka. Para cendekiawan, para pemuda­ progresif, para rohaniwan prihatin dan entah siapa lagi telah berulang-ulang mengecam kemajuan borjuis itu, dan me­ngutuk­ Tuan Modal sebagai sesuatu yang jahat. Teriakan itu masih keras, tapi belum ada juga yang tahu bagaimana menghentikan kapitalisme. Marx, Lenin, Mao pernah mencobanya, dan pernah sosial­ isme merupakan cara orang meng-harap. Sosialisme adalah optimisme. Tapi kemudian kita tahu ia gagal. Yang pandai merencanakan pembagian kue yang sama-rata tak dengan sendirinya pandai membuat kue yang cukup. Maka apa yang tinggal, setelah tiap kali halaman terakhir ka­ len­der kita robek? Mungkin harapan dan iman dalam versi­abad 324



Catatan Pinggir 7



TERANG, GELAP, HARAP



ke-21. Dengan kata lain, yang akan hadir adalah aku yang memandang ”yang-akan-datang” dengan mantap, sebab aku adalah subyek yang terbangun oleh kehendak, niat, dan akal yang bertambah dahsyat karena aku punya kepastian—yakni kepasti­ an yang diberikan agama. Persoalan yang akan timbul ialah ba­ gaimana subyek-plus-iman yang menganggap diri dahsyat itu akan terhindar dari ilusi optimisme. Ada satu sajak menarik dari Iqbal yang menggambarkan dia­ log antara Tuhan dan manusia. Kita tahu bahwa Iqbal perca­ ya, manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi, dengan ”kemerdekaan ego-insani” yang didapatnya dari sang Pencipta.­ Syahdan, manusia berkata, dengan bangga: Kau buat malam, aku buat lampu Kau buat lempung, aku bentuk cupu Tapi dalam sajak Iqbal itu pula Tuhan menjawab, mengingatkan manusia akan sisinya yang menakutkan:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dari bumi kusediakan baja sentosa Tapi kau menjadikannya pedang dan senjata Baris-baris terakhir itu adalah kritik kepada modernitas, tentu saja. Tapi bukan hanya modernitas yang ”kufur”. Siapa­saja manusia yang mengerahkan diri untuk mengalahkan, menjinakkan apa saja yang di luar dirinya—malam, lempung, baja—pada akhir­nya menobatkan diri sebagai maharaja alam: sang Khalifah menjadi berhala yang terasing. Salah satu kekeliruan subyektivitas yang demikian perkasa ialah tak melihat bahwa harapan punya sisi lain, yakni­”muskil”. Kepastian tak pernah ada. Manusia, juga bila ia seorang ”pelopor” dalam pengertian Sayyid Qutb—yang dianggap dapat menCatatan Pinggir 7



325



http://facebook.com/indonesiapustaka



TERANG, GELAP, HARAP



jaga arah perjalanan orang beriman ke masa depan yang bukan jahiliyah—adalah makhluk dengan tubuh dan sejarah yang tak terduga. Ia bertindak, dan menjadi subyek, karena ia kurang. Orang-orang alim, termasuk Thomas Aquinas, menyangka bah­­wa yang kurang akan dipenuhi dan yang tak terduga akan dapat ditertibkan dan harapan akan beres dalam bimbing­an ilahi.­­Tapi ini abad ke-21: Tuhan tak tampak. Kita tak pernah­ta­ hu adakah Ia sedang ”membimbing” atau kita saja yang meng­­ kha­yalkan-Nya. Tuhan, yang bahkan tak dapat di­pikir­kan, ha­ nya­datang meyakinkan kita di saat kita menemukan ba­­­yang-ba­ yang-Nya—hanya bayang-bayang-Nya—dalam diri­­­­­ manusia yang kita temui sehari-hari. Itulah tanda bahwa ma­­­nusia niscaya mulia, tapi dalam hidupnya dalam sejarah, ke­­muliaan adalah se­ su­atu yang mustahil. Optimisme mengabaikan ini, tapi harapan tidak: manusia adalah makhluk yang genting. *** Takut akan kecewa, kita memainkan ironi. Begitu banyak cita-cita gagal, maka lebih baik menerima apa yang sementara. Yang penting kita tak berdusta pada diri sendiri bahwa kita memang menyukai manusia, kebersamaannya, dan lingkungannya. Kita tak mungkin akan angkat tangan bila malapetaka terjadi pada semua itu. Kita tak putus asa bahwa ada yang diperbaiki— meskipun kita tak akan sepenuhnya tahu, apa arti ”baik” yang tersimpan dalam pengertian ”diper-baik-i” itu. Sebab ukuran beragam, silih berganti. Bahkan titah Tuhan tak selamanya jelas; para orang pandai menulis beribu-ribu buku untuk menafsirkannya. Tapi tahun 2005 datang, kalender telah dirobek, dan begitu­ banyak hal yang kita tahu tidak beres. Ironi saja tak akan membuat kita melangkah. Berpegang pada yang sementara dan titah kebaikan yang tak jelas, kita toh tetap memilih laku. Kita tak 326



Catatan Pinggir 7



TERANG, GELAP, HARAP



meng-harap. Kita ber-harap. Tanpa optimisme. Tapi kita tahu bahwa dalam hidup, gelap tak pernah lengkap, terang tak pernah sepenuhnya membuat siang. Di dalam celah itulah agaknya ha­ rap­an: sederhana, sementara, tapi akan selalu menyertai kita jika kita tak melepaskannya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 2 Januari 2005



Catatan Pinggir 7



327



http://facebook.com/indonesiapustaka



328



Catatan Pinggir 7



TSUNAMI



http://facebook.com/indonesiapustaka



A



NTARA pukul 9 dan 10 pagi 1 November 1755 itu, ker­ tas-­kertas bergetar di atas meja seorang penghuni Kota Lisbon. Tak lama kemudian suara gemeretak terdengar.­ Tiba-­tiba lantai atas ambruk. Perempuan itu pun lari keluar, dengan­ napas nyaris tercekik oleh debu puing yang tersembur dari mana-­mana. Kota hancur. Teriakan terdengar dari pelba­gai­­ sudut. Ia lihat para padri berdoa dan gereja-gereja mulai run­tuh.­ Dalam tempo enam menit, 30 gereja ambruk. Tapi sesuatu me­nyusul. ”Laut datang!” terdengar orang memekik. Gulungan gelombang setinggi enam meter menggodam kota di tepi pantai itu dengan ganas: gempa melontarkan tsunami ke daratan. Ketika kemudian air kembali ke laut, ribu­an bangkai tam­pak terapung, terangkut, lenyap. Kemudian bumi tak berguncang lagi, tapi api terbit. Lisbon—salah satu permata­ Eropa—terbakar selama lima hari. Seluruh bencana menewaskan puluhan, mungkin sampai 50 ribu. ”Apa yang harus dilakukan, wahai, makhluk fana?” Pertanyaan itu bergetar dalam sajak Voltaire tentang gempa di Lisbon itu dan merobek dunia pemikiran abad ke-18. Pesimismenya mencekam, meskipun pesimisme itu sebenarnya bagian dari kritiknya terhadap filsafat yang percaya bahwa Tuhan memberi manusia ”dunia yang terbaik dari yang mungkin ada”. Itulah filsafat Leibniz: alam semesta adalah harmoni yang didesain Tuhan. Tapi, tulis Voltaire: ”Leibniz tak dapat mengatakan padaku kenapa/Di dunia yang diatur oleh hukum yang paling arif ini/ kekacauan tak kunjung berhenti/Dan bencana terus/dan kenikmatan yang sia-sia bercampur nestapa”. Agaknya bagi Voltaire tak mungkin hal-ihwal hidup dijelaskan dengan Tuhan sebagai Sebab Utama. Tidakkah Ia seharus­ Catatan Pinggir 7



329



TSUNAMI



nya berada di atas hukum sebab-akibat? Dalam gempa Lisbon­ itu, misalnya: kenapa Tuhan meluluh-lantakkan sebuah kota Ka­tolik, di suatu hari suci, pada jam ketika hampir semua umat mengikuti misa? Dan kenapa rumah Sebatiao de Carvalho e Melo, menteri yang anti-Jesuit itu, tak tersentuh—sementara se­ orang padri Jesuit mengatakan bahwa gempa bumi dan tsunami itu sebuah hukuman Tuhan kepada orang jahat yang jadi makmur di Kota Lisbon? Hukuman Tuhan bagi umat Katolik? Tapi mereka tak sen­di­ rian jadi korban. Gempa hari itu juga mengguncang pantai lain di seberang dan menghancurkan Masjid Al-Mansur di Rabat. Beberapa pendeta Protestan yang bersyukur karena Tuhan terbukti marah kepada Roma segera harus tutup mulut. Delapan be­las hari setelah malapetaka Lisbon, sebuah gempa lain menghancurkan 1.500 rumah orang Protestan di Boston, Amerika.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Akan berkatakah Tuan, di depan ribuan korban: ”Balasan Tuhan jadi: mereka bayar dosa dengan mati?” Dengan kata lain, satu hal harus dilihat: yang disebut ”desain Tuhan” hanyalah konstruksi manusia—lengkap dengan hasrat dan kesumat manusia pula. Tapi bisakah Voltaire dari sini menyimpulkan bahwa hidup tak ada hubungannya dengan kebaik­ an? ”Alam, dan hewan, dan manusia—semua dalam keadaan pe­ rang,”­begitulah di sajaknya tertulis. Mari kita akui: kekejian berjalan tegak di atas bumi.” Mungkin kalimat itu bagian dari sebuah gaya polemik. Pe­ simis­me Voltaire toh tak menyebabkan ia menolak manusia dan menampik hidup. Ia tak bunuh diri. Ia hanya mencemooh optimisme abad ke-18, ketika rasionalisme meyakinkan diri dengan ilmu dan kawin campur dengan iman. Cemooh inilah yang kemudian dipertegasnya dengan novel Candide yang asyik dan lucu 330



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



TSUNAMI



itu, yang kelak berkaitan dengan kritiknya kepada ajaran Kristen. Ada yang mengatakan novel itu menjawab Rousseau, filsuf segenerasinya, yang mempersoalkan pesimisme itu dalam sepucuk surat bertanggal 18 Agustus 1756. Bagi Rousseau, manusia tak seburuk itu pada dasarnya. Sejak nenek moyang, manusia punya dua ciri: amour de soi, dorongan untuk mempertahankan hidup sendiri, dan pitié, perasaan belas kepada sesama­yang menderita. Sifat manusia memburuk ketika ia terlibat dalam pelembagaan milik pribadi, perdagangan, dan hal-hal lain yang terutama tampak di masyarakat kota, pusat peradaban. Dan itulah penjelasannya tentang bencana Lisbon: kesalahan harus ditimpakan kepada manusia di kota besar itu sendiri. Seandainya mereka tak berjejaljejal berebut kapling, seandainya mereka tak sibuk dengan milik mereka, bencana itu tak akan begitu besar makan korban. Voltaire tak menjawab, dan Rousseau mengeluh: ”Saya ajak dia berfilsafat, tapi dia mengolok-olok.” Tapi sebenarnya ada sa­ tu bagian yang serius dalam novel Candide—justru di kalimat pendek terakhir. Ketika Candide sedang di kebun, dan si Optimis­ Pangloss datang dan menguraikan bahwa ”dunia ini adalah yang terbaik dari yang mungkin ada”, Candide pun menjawab. ”Bagus, bagus, tapi kebun kita harus diolah.” Dengan kata lain: kerja atau praxis akan membantah klaim tiap pandangan dunia yang mencoba menjelaskan hidup secara menyeluruh. Agama dan filsafat—dengan optimisme atau tidak—bisa menyenangkan, tapi kemudian terbatas. Mungkin ada yang pernah bicara tentang Voltaire sang pragmatis. Tampaknya baginya ”pemikiran” lebih penting­ketimbang ”filsafat”, dan Voltaire adalah kritik yang terus-menerus-dengan gelora hati, kalimat kocak, pikiran tangkas,­ dan main-main. Ia mengatakan ”Aku menghormati Tuhan,­tapi aku mencintai manusia”: kita tahu ia memilih dekat dengan­yang konkret, meski­ pun­ia tak mengingkari ada yang lain dari yang konkret. Catatan Pinggir 7



331



TSUNAMI



Justru sebab itu ia tergugah oleh kesengsaraan manusia dan tahu ada hal yang tak terjelaskan dengan satu Sebab Besar. Maka biarkan Voltaire bicara kepada kita kini. Banyak benar kebuasan alam dan manusia yang tak terduga-duga, sejak tsunami Lisbon 1755 sampai dengan tsunami Aceh 2004, dan di situ apa artinya­ ”mengetahui”? Dalam sajaknya Voltaire mengingatkan bahwa ada momen dalam hidup ketika kita niscaya ”sumarah, memuja, berharap, dan mati”—se soumettre, adorer, espérer, et mourir.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 16 Januari 2005



332



Catatan Pinggir 7



BALSAM



http://facebook.com/indonesiapustaka



P



EREMPUAN itu digantung sepanjang malam di sebuah pohon. Hampir seharian opsir itu menginterogasi­nya dan tak berhasil mendapatkan sepatah pengakuan apa pun. Pe­rempuan setengah baya itu, seorang anggota SOBSI,­ selama­ bebera­pa jam telah ditelanjangi dan dipukuli di depan para ta­ han­an lain, tapi ia tetap diam, dan ketika hari menjelang malam ia digantung. Tangannya diikat ke pohon, kakinya terjun­tai hampir menyentuh tanah. Ia merasakan kesakitan yang amat sangat. Malam itu Sri Ambar pasti tak tahu bahwa itu belum siksa­ an­yang paling mengerikan yang akan dialaminya. Beberapa hari kemudian, setelah di depan para tahanan lain ia ditelanjangi lagi dan dipukuli berkali-kali, atas perintah sang opsir TNI pantat kiri Ambar ditusuk dengan sebilah pisau komando. Ketika ia te­ tap tak mengaku, pantat kanannya dicubles. Ia jatuh pingsan ka­ rena begitu banyak darah keluar. Malam itu ia belum tahu semua itu akan terjadi. Tergantung­ ke­dinginan di pohon itu, yang diingatnya hanya ini: ketika tak ada seorang tentara pun tampak di halaman tengah kamp itu, se­orang pegawai sipil yang sudah tua datang mengendap-endap mendekatinya. Ia membawa secangkir teh manis panas, dan ditolongnya Ambar minum. Lalu pak tua itu mengambil dari dalam sakunya sebotol kecil balsam, yang diusapkannya ke tubuh yang tergantung itu. ”Maaf, saya menyentuhmu,” ujarnya berbisik. Apa gerangan yang mendorongnya berbuat demikian? Tak se­ orang pun menyuruhnya. Ia mempertaruhkan keselamatan di­ri­ nya. Ia hanya seorang pegawai sipil di tengah kamp yang dikuasai para interogator militer yang ganas, di masa ketika ribu­an orang ditangkap dan dibunuh hanya karena diduga jadi pendukung PKI. Bila ia ketahuan menolong tahanan politik seperti yang diCatatan Pinggir 7



333



http://facebook.com/indonesiapustaka



BALSAM



lakukannya itu, ia pasti akan disiksa. Apa yang menggerakkan hatinya, padahal tak dikenalnya Ambar, dan tak ada yang akan memberinya upah dan pujian? Buku Carmel Budiardjo, Bertahan Hidup di Gulag Indonesia,­ mengisahkan semua itu, tanpa menanyakan dan menjawab pertanyaan apa pun, dan memang buku ini bertugas merekam peristiwa yang mengerikan pada tahun 1960-an itu. Tapi adegan di rumah penyiksaan di Jalan Gunung Sahari, Jakarta, itu tetap meng­usik hati. Sejarah Indonesia punya noda hitam yang sampai­ hari ini tak diakui: ternyata di antara kita ada yang tega untuk jadi amat jahat, bukan pada saat mereka menggarong, tapi pada saat merasa berbuat baik. Para interogator di kamp itu mungkin bisa tidur nyenyak se­ telah menghalalkan kebiadaban mereka sendiri dengan menga­ta­ kan, ”Ini untuk Republik kita.” Para komandan kamp itu mungkin bisa makan malam dengan anak dan istri setelah 24 jam me­ re­ka mengelola kebengisan, karena mereka yakin bahwa mereka tengah membereskan ”orang komunis yang tak bertuhan itu”. Mereka menyediakan buku agama untuk para tapol,­menyuruh orang-orang yang dikurung itu beribadat—seraya sampai hati menelanjangi si tak-berdaya untuk dinista dan dicederai, dipukuli payudaranya, digigit kupingnya sampai putus, disiksa anakanaknya di depan mata sang ibu, disetrum kemaluannya, dicabut kukunya dengan tang.... Tuhan, agama, tanah air—saya tak tahu lagi apa hubung­an semua itu dengan kedurjanaan di satu pihak dan perbuat­an mulia di lain pihak. Si petugas tua di rumah siksa di Jalan Gunung Sahari itu mungkin seorang yang saleh: akankah ia masuk surga karena mencoba mengurangi rasa sakit seorang perempuan yang dianiaya? Atau ke neraka, karena menolong seorang atheis? Berpikirkah ia tentang surga dan neraka, atau hanya inilah yang mendorong hatinya: ”Aku harus lakukan ini untuk seseorang 334



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



BALSAM



yang kesakitan, aku harus lakukan ini...”? Kesewenang-wenangan manusia sangat merisaukan, ter­uta­ ma­ jika dilakukan oleh orang-orang dekat kita, atas nama ”kebaikan”. Tapi di sisi lain ada sesuatu yang selalu membuat kita tak­jub: ”bintang-bintang di angkasa raya dan hukum moral­ di dalam hati”. Kata-kata Kant dari abad ke-18 ini berbicara tentang kenyataan sehari-hari yang sebenarnya ajaib: begitu kecilnya tubuh dan tempat manusia di alam semesta, tapi begitu kuatnya ”hukum moral” yang tersimpul dalam dirinya, yang membuat manusia dengan ikhlas menolong dan menjabat tangan sesama, dan menja­ lankan ”keharusan kategoris” seperti yang dilakukan pak tua itu: mempertaruhkan keselamatan diri untuk membawa segelas teh kepada seorang perempuan yang tergantung sepanjang malam, tanpa bertanya kenapa ia dihukum, percayakah ia kepada Allah, atau dari mana ia berasal. Hari ini saya teringat itu semua, ketika orang ramai menyebut­ Tuhan dan Islam—terkadang untuk menyejukkan hati, terka­ dang untuk mencurigai—tapi lupa, jangan-jangan yang penting­ adalah ”hukum moral di dalam hati”. Ribuan orang mati di Aceh, bencana alam itu begitu dahsyat, dan dunia terkejut. Dari hampir tiap sudut Indonesia, juga dari hampir setiap pojok bumi, dari Kuwait sampai Timor Leste, dari Mek­siko sampai Tokyo, orang menghimpun bantuan. Beratus-­ratus­ manusia—berseragam atau tidak, beragama atau tidak, punya dosa atau tidak— datang untuk meringankan pen­derita­an. Seorang tentara Amerika berkata, ia lebih senang bekerja menolong Aceh ketimbang berperang di Bagdad; seorang sopir taksi di Finlandia tiba-tiba menghentikan mobilnya untuk mengheningkan cipta; sejumlah perempuan Prancis tiba dari Paris untuk mengangkut jenazah yang membusuk di pojok-pojok Aceh. Apa yang menggerakkan hati mereka? Catatan Pinggir 7



335



BALSAM



Pasti ada pamrih, kata sebagian orang. Mungkin. Tapi ba­gai­ mana kita menduga pamrih? Sejauh mana kita tak memproyeksikan dengki dan pamrih kita sendiri kepada orang lain ketika berkata, ”Awas, ada pamrih”? Tak akan ada jawab, selain mengirangira. Sebab itu, di tengah kesakitannya yang sangat, Sri Ambar tak bertanya kenapa. Ia hanya tahu laki-laki itu menggosokkan balsam ke tubuhnya dengan lembut, dan berbisik, ”Maaf, saya menyentuhmu”—sebuah sikap hormat, bukan hanya belas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 23 Januari 2005



336



Catatan Pinggir 7



KOTAK HITAM



K



http://facebook.com/indonesiapustaka



ETIKA berpuluh ribu orang tewas dan beratus ribu kehilangan, ketika gempa dan gelombang pasang menghancurkan mendadak kehidupan, kita pun bertanya:



kenapa? Ada berpuluh-puluh ”kenapa”, sebab kata itu mempunyai ber­macam-macam endapan, berasal dari bermacam-macam zaman, dan tiap kali bergeser. Ketika yang terjadi adalah se­buah­kecelakaan kapal terbang, di balik ”kenapa” itu tersimpan ingatan tentang malapetaka yang mirip yang pernah dijelaskan dengan mengulas kesalahan teknis atau kekeliruan manusia di belakang mesin. Maka ”kenapa” akan mengarah ke­ sebuah kotak hitam yang merekam keadaan terakhir dalam kokpit pilot. Para pakar akan menganalisisnya atau menghitung berat kapal, gerak sayap, kencangnya angin, dan hal-hal lain yang tak berkaitan dengan kegaiban. Tapi ketika berpuluh ribu orang tewas, ketika gempa dan ge­ lombang pasang menghancurkan dusun, pantai, dan kota, ada ”kotak hitam” yang lebih hitam yang dicari. Sebab endap­an di balik ”kenapa” yang terucapkan saat itu terdiri atas lapisan-lapis­ an zaman dahulu, tatkala nenek moyang kita masih hidup­ de­ ngan­ rasa ngeri, terkesima, dan bingung mendengar­ petir yang me­­nyambar pohon tinggi, membakar hutan, dan membinasakan ma­nusia. Syahdan, mereka lari bersembunyi ke gua-gua. Tapi me­reka tetap gentar. Mereka, yang hidup berabad-abad sebelum Benjamin Franklin menemukan penangkal petir di tahun 1752, tak tahu bagaimana menghindarkan sergapan dari langit itu. Lalu penjelasan pun mulai dicari, dan ”kenapa” mulai dijawab: dengan mithologi. Su­ ku Yeruba dari Afrika kemudian menyebut Shango dalam mi­tho­ Catatan Pinggir 7



337



http://facebook.com/indonesiapustaka



KOTAK HITAM



logi mereka sebagai dewa guntur, dan orang Yunani menye­but Zeus. Mungkin sebab itu Vico, pemikir Italia di abad ke-18 itu, menggambarkan sejarah per­adab­an bermula ketika jeri menjadi puisi, ketika ketakutan manusia purba akan alam yang ganas dan tak terduga melahirkan para penyair theologi pertama. Mungkin theologi pertama itulah ”penaklukan” alam yang paling awal, sebelum ilmu-ilmu alam dijadikan pegangan. Mungkin dewa-dewa itu sejenis teknologi penenang. Satu-satunya cara manusia di masa itu untuk memahami apa yang tersembu­nyi dan tak mampu diketahuinya, satu-satunya cara untuk divinari (dari mana kata divinity berasal), hanyalah dengan membayangkan sebuah kehidupan yang seperti mereka kenal: kehidupan mereka sendiri. Diakui atau tidak, di balik kata ”kenapa”, setelah tsunami­besar melabrak Aceh di akhir 2004, bersembunyi endapan ”kenapa”­ yang purba, dan ketika seseorang mengatakan bahwa bencana alam itu hukuman Tuhan, ia sebenarnya mengulang tema ”penyair theologi pertama”. Tapi dengan sebuah perbedaan penting. Agama-agama politheis tak punya persoalan yang pelik dengan menjawab ”kenapa”, sebab Zeus dan Shango tak sendiri­an­­ di langit. Betapapun besar kuasa Zeus, ia menjadi nisbi­dengan­ hadir dan berperannya dewa-dewa lain. Di Olympus,­ Dewa Gun­tur yang membuat jeri itu ada bersama Dewa Cin­ta,­Dewa Anggur, Dewa Perdagangan, dan entah apa lagi, dan mereka tak selamanya tunduk kepadanya. Mithologi Yunani bahkan memungkinkan Promotheus, yang bukan dewa, memperdaya Zeus dan mencuri api dari Langit untuk diberikan kepada manusia Juga dewa-dewa dalam wayang kulit tak jauh posisinya dari sana. Batara Guru ada di Kahyangan bersama Wishnu, Narada, Kamajaya, Bayu, Durga, dan lain-lain. Berdiri dengan anggun dan tampan di atas tubuh lembu Nandi, Batara yang paling­terhormat itu diceluk sebagai ”Adik” oleh Narada.­Ia juga punya ke338



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



KOTAK HITAM



mampuan untuk berahi dan tak peduli, salah dan kalah. Raksasa Niwatakawaca dapat menyerbu tempat dewa-­dewa itu bertakhta, bahkan wayang memungkinkan sebuah komedi dalam lakon Taliputra, ketika Petruk, hamba yang buruk dan hina itu, meng­ ambil alih kerajaan langit. Politheisme itu tak memerlukan theodise. Ketika di awal abad ke-18 Leibniz memperkenalkan kata ini melalui bahasa­ Prancis (the´ odice´ e secara harfiah berarti ”keadilan Tuhan”),­ saya kira karena ia harus menjelaskan satu Tuhan yang sem­purna­dalam segala hal—tapi telah menciptakan sebuah dunia yang malang dan berantakan dan hidup manusia tak putus-­putusnya dirundung­ durjana dan kekejian. Begitu banyak ”kenapa” yang harus di­ jawab.­ Begitu banyak kehendak Tuhan yang butuh dijelaskan dan perlu pembelaan. Tapi di sini sebuah paradoks tak dapat dielakkan. Theodise pada dasarnya mirip dengan ”teknologi penenteram” manusia purba: kita membayangkan sesuatu berdasarkan pengalaman diri sendiri. Maka Tuhan dalam pengertian Leibniz adalah Tuhan yang seperti makhluknya. Ketika ia mendasarkan theodise­ nya dengan sebuah aksioma yang disebutnya ”Asas tentang Alas­ an yang Cukup”, ia membuat Tuhan sebagai sebuah kekuatan yang tunduk kepada raison (kata ini bisa berarti ”alasan” dan juga ”nalar” atau ”akal”). Tapi bagi saya tak jelas, kenapa Tuhan harus juga tunduk seperti itu? Kita tahu bahwa nalar adalah makhluk tapi kita tak tahu kenapa Tuhan harus terikat oleh makhluk-Nya ini. Persoalannya, tanpa Tuhan yang berdasarkan raison, manusia akan hidup tanpa perasaan tenang. Jika Tuhan tak adil, kita tak akan terhibur dari dunia yang tak adil ini. Kita harus selalu mene­ mukan kotak hitam itu, penjelasan kenapa manusia harus men­ de­rita sampai Kiamat, saat keadilan sejati dimaklumkan. Tapi bagaimana kalau kotak hitam itu tak pernah ditemukan? Catatan Pinggir 7



339



KOTAK HITAM



Tentang tsunami itu, mungkin kita akan cukup puas dengan penjelasan sejumlah pakar geologi. Tapi tentang kenapa anakanak itu yang harus cacat dan mati, dan bukan para jenderal yang membangun istana dengan perang dan kejahatan, bukan pula para pengkhotbah yang mengutuk ”Azab!” di atas mereka yang sengsara, kita mungkin tak bisa lain: kita harus lebih adil dan le­ bih­pengasih ketimbang Tuhan yang mereka bela.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 30 Januari 2005



340



Catatan Pinggir 7



SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA



http://facebook.com/indonesiapustaka



I



NDONESIA tak akan pernah lahir baru dalam satu kuartal. Jika Bung berpikir bahwa sebuah perubahan yang besar akan terjadi dalam waktu 100 hari, inilah yang harus saya bisikkan kepada Bung: angka ”100” di sini mirip dengan ”1001 malam” atau ”langit ketujuh”: bilangan yang lebih bersifat retoris ketimbang matematis. Kita tak dapat menggunakannya sebagai mistar pengukur. Kita hanya dapat memperlakukannya sebagai pembangkit imajinasi. Tapi Bung jangan menganggap bahwa sesuatu yang retoris adalah sesuatu yang tak bersungguh-sungguh. Imajinasi bukanlah bagian dari khayal kecil. Maka ketika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (”SBY”) berkata akan me­nunjukkan sebuah prestasi dalam waktu ”100 hari”, Bung dan saya tak perlu berpikir tentang sesuatu yang akan tiba cepat, tapi kita siap untuk menyaksikan sesuatu yang berarti. Sesuatu yang berarti itu adalah harapan. ”Harapan” di Indo­ nesia dewasa ini artinya bersahaja tapi tak dapat didefinisikan. Ia hanya dapat dimaknai sebagai lawan kata dari sinisme. Mempunyai harapan adalah tidak bersikap serta-merta mence­mooh dan berburuk sangka kepada apa saja dalam kehidupan bersama. ”Harapan” juga lawan kata dari apati, sikap yang tak peduli lagi terhadap apa pun yang dilakukan bagi kepentingan publik. Pemerintahan ini sebenarnya lahir dari harapan sebagai lawan­ kata sinisme dan apati. Bung tahu, kan, Presiden yang sekarang duduk di Istana karena ia dipilih dengan puluhan juta suara yang bersemangat. Harus saya katakan bahwa optimisme rakyat­ber­­ ada­dalam dosis yang tak berlebihan tapi memadai: mereka memilih ”SBY” karena percaya bahwa perubahan—bukan mukjizat, Catatan Pinggir 7



341



SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA



http://facebook.com/indonesiapustaka



Bung—akan terjadi.



*** Tapi Bung menangkis: pemerintahan ini juga lahir dalam ke­ adaan genting. Harapan yang kini terbentuk di Indonesia­ ber­ gerak bagaikan sebuah sekoci di tengah lautan gelap ke­tidak­per­ cayaan dengan ombak yang gusar. Bila pemerintah gawal­sedikit saja, harapan itu akan hilang, dan Indonesia akan selama-lama­ nya­mencemooh dirinya sendiri. Dari mana sinisme dan apati itu berasal? Bung tunjukkan: dari beribu-ribu arus kekecewaan langsung atau tak langsung yang mengalir dari sumber-sumber yang luas dan menyebar. Sum­ber itu punya satu nama: korupsi. Korupsi, kata Bung, akhirnya memang bukan sekadar keja­ hat­an mencuri milik Republik. Korupsi di Indonesia membunuh Republik itu sendiri. Ingat, kata Bung pula, sebuah kehidupan bersama memben­ tuk sebuah negeri oleh jalinan sosial dan politik yang spontan,­ efektif, dan lumintu. Jalinan itu sendiri tersusun dari yang sering disebut sebagai ”modal sosial”, meskipun saya lebih suka mema­ kai istilah ”buhul sosial”. Dengan kata lain: sesuatu yang memperkuat tali-temali antar-warga masyarakat, karena saling mempercayai. Korupsi di Indonesia telah merusak buhul sosial itu sampai ke sudut yang paling kecil. Bung tunjukkan kenyataan ini: begitu orang keluar dari ru­ mah, ia langsung punya alasan untuk bersangka-buruk. Misalnya suatu hari dalam kehidupan Susilo Bambang Gentolet, (”SBG”), seorang warga Jakarta di Tanah Abang: 7.00—SBG berjalan menunggu bus lewat dekat rumah. Hujan di hari keempat itu telah merusak jalan. Aspal bengkah, lubang menganga, comberan mendadak terbentuk. Ia harus berhati-hati agar celananya yang baru dicuci tak tersiram becek yang



342



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA



terlontar dari roda sepeda motor yang lewat kencang. SBG tahu jalan itu gampang rusak karena si pemborong perbaikan tak memenuhi syarat dalam mengaduk bahan dan menggarap kerja. Ia tahu si pemborong melakukan itu karena menyo­ gok pejabat kota praja. 7.15—Bus datang. Tidak di halte. Jakarta adalah salah satu dari ibu kota di dunia di mana bus tak pernah mematuhi halte dan pada saat yang tepat. Penumpang berdesak bahkan sampai setengah keluar pintu. Bus itu sudah 45 persen rusak, dan di te­ ngah­kemacetan yang berjam-jam, berdiri dalam bus adalah siksaan sehari-hari. SBG tahu bus kota tak bisa diperbanyak sekian kali lipat, sebab kendaraan pribadi tak dibatasi dengan peraturan perizin­an dan pajak yang tinggi. Bagaimana jika tiap peraturan dan tiap pajak dapat dibengkokkan dengan uang sogok? 9.27—SBG tiba di tempat ia bekerja, sebuah perusahaan impor alat-alat kedokteran. Hari itu teman sekerjanya dapat tugas mengantarkan beberapa puluh juta uang tunai untuk pejabat di Departemen Anu. Begitu ia duduk ia dengar kepala bagian pemasaran berkata mengeluh, ”Ah, kita bakal terpukul oleh banyaknya barang selundupan....” SBG menghela napas. Bagaimana mencegah penyelundup­an jika dinas bea cukai dapat dilewati dengan gampang? Bung bilang cerita itu dapat diperpanjang dan dibuat dalam pelbagai variasi. Buruk sangka sudah jadi bagian dari per­cakap­ an sehari-hari. Bung pun bertanya, apa gerangan yang kini menjalin hubung­ an yang spontan, efektif, dan lumintu antara orang dan orang, lem­baga dan lembaga. Pasti bukan sebuah ”negeri”! Jika untuk naik pangkat seorang pegawai negeri harus­ menyuap pegawai negeri lain, jika wewenang menyelenggarakan hukum bisa diperjualbelikan oleh polisi, jaksa, dan hakim, sebuah negeri bukan Catatan Pinggir 7



343



http://facebook.com/indonesiapustaka



SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA



lagi sebuah negeri. Di situlah Indonesia lenyap. Bung katakan secara lebih dramatis: Indonesia adalah sebuah Republik yang berhenti seba­gai ”re-publik”. Ia dicincang-cincang oleh pamrih privat yang terpi­ sah-pisah—sejak perlunya kepentingan tambahan penghasilan pak polisi lalu lintas sampai kepentingan mereka yang jauh tinggi di atas. Saya kira Bung benar. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan dan kesempatan. Di Indonesia, ia sebuah anarki yang melanjutkan hidupnya dengan baju dinas. *** Yang menakutkan, kata Bung pula, sebuah paradoks terjadi: anarki akhirnya jadi ”lembaga” ketika merasuki sebuah sektor yang paling takut akan anarki—yakni birokrasi dan militer. Kita bisa bicara banyak tentang anarki di kantor-kantor pe­me­ rintah. Memang mereka pakai baju seragam, berolahraga bersama tiap pekan, salat bersama tiap Jumat. Tapi dari kantor mereka, beribu-ribu kalimat dikeluarkan dan disebut peraturan, dan dari tiap peraturan terselip keharusan penduduk untuk punya izin ini dan itu. Kemudian, tiap kali orang me­nge­tuk untuk dapat izin, birokrat itu akan siap untuk disuap. Walhasil, 1.000 peraturan adalah tanda disiapkannya 1.000 pelanggaran. Anarki di kalangan militer tak kalah memasygulkan. Dengan anggaran pertahanan hanya 1 persen dari GDP, Menteri Per­tahanan Juwono Sudarsono pernah menghitung bahwa hanya 30 persen dari kebutuhan militer Indonesia yang dipenuhi oleh anggaran Negara. Selebihnya, angkatan bersenjata­harus mencari sumber pendapatannya sendiri. Tapi, menurut­angka yang diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch dalam sebuah buku tentang bisnis militer di Indonesia yang terbit pada tahun 2003— angka itu dikutip dari laporan audit resmi—jumlah dana yang diserahkan oleh unit usaha Yayasan­Kartika Eka Paksi yang di344



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA



miliki Angkatan Darat hanya Rp 142,331 miliar. Seorang perwira di bagian perencanaan Markas Besar TNI dikutip menga­ takan bahwa seluruh kontribusi yayasan militer hanya mencapai 0,7 sampai 1 persen dari anggaran yang diperlukan. Ingat, kata Bung pula, akhirnya korupsi bisa membunuh da­ lam arti harfiah. Bulan Juli 2003, seorang pengusaha ditembak ma­ti di Jakarta. Bersama dia, tewas juga pengawalnya. Kemudi­an di­ketahui bahwa sang pengawal adalah seorang sersan Kopas­sus. Sementara itu, polisi kemudian menemukan bahwa para pem­ bunuhnya adalah empat anggota marinir, yang disewa oleh se­ orang pengusaha lain dengan bayaran Rp 4 juta. Apa yang terjadi jika polisi dan militer mendapatkan pengha­ sil­an samping dengan memperdagangkan kekerasan, selain menjadi pengawal dan pembunuh dan menjaga sarang judi? Dapat diperkirakan, kian tak aman keadaan, akan kian mahal pula biaya keselamatan yang ditawarkan oleh polisi­ataupun tentara. Bukan mustahil bahwa di daerah di mana kekerasan berkecamuk, uang adalah, untuk mengutip kata seorang peneliti, the silent force of the conflict. Bayangkan sesua­tu­yang bukan mustahil terjadi: petugas keamanan menjual senjata kepada orang swasta dan seorang prajurit yang membawa M-16 (jenis senjata) akan pulang dengan membawa 16-M (”M” dari million). Sang petugas mungkin merasa bersalah, tapi ia juga bisa dengan tenang menga­ takan ia tak sendirian. Inilah cemooh Bung yang lebih lanjut, menirukan cemooh seorang perwira negeri tetangga yang pernah latihan bersama dengan TNI dan polisi: Indonesia adalah sebuah republik yang tentaranya berangkat bertugas dengan peralatan yang bobrok dan ransum yang buruk, sementara jenderal-jenderal polisi dan militernya punya rumah megah di dalam dan di luar negeri. Di sini, anarki bertaut dengan ketidakadilan. Dan ketika ke­ dua­nya berkembang terus, buhul sosial pun ambruk. Catatan Pinggir 7



345



http://facebook.com/indonesiapustaka



SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA



*** Lalu apa yang akan terjadi? Bung memang pantas mencemo­ oh, tapi mana mungkin Indonesia jadi baru dalam 100 hari? Ketika pemerintah SBY menyatakan akan memerangi korupsi,­ia sebenarnya ingin mengawetkan harapan—sebab harapan itu­lah yang justru rusak berat oleh ambruknya buhul sosial. Peluang itu bukan omong kosong. Bung jangan mencibir.­Korupsi di Indonesia tak datang bersama nenek moyang. Se­orang peneliti pernah mengatakan, korupsi di Mahkamah Agung baru terjadi pada tahun 1980-an, dan sebelum masa itu, para hakim adalah manusia-manusia yang bersih. Sementara itu, korupsi yang meluas dan besar-besaran baru mulai setelah Presiden Sukarno memperkenalkan konsep­”Ekonomi Terpimpin”. Ketika itu perusahaan-perusahaan swasta asing­diambil alih oleh Negara, dan pejabat-pejabat sipil dan militer pun duduk mengurus perkebunan, pertambangan, perda­ gang­­an, bahkan usaha penerbitan buku bacaan. Ketika ”Ekonomi Terpimpin” bertaut dengan ”Demokrasi Ter­­pimpin”, kekuasaan yang begitu besar di kalangan birokrasi­ (yang oleh PKI kemudian disebut ”kapitalis birokrat”) akhir­nya­ tak terkendali. Itu sebabnya dalam soal korupsi, Indonesia pa­ling­ mencolok di Asia Tenggara. Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina relatif bebas dari kejahatan itu. Mereka tak pernah meng­ ambil alih secara besar-besaran perusahaan swasta asing, tak pernah tergoda oleh sosialisme yang menjanjikan pemerataan, tapi akhirnya hanya pandai memproduksi 1.000 pengendalian. Itu­ lah sebabnya, kini korupsi yang buruk terjadi di Vietnam dan RRC: birokrasi sosialis yang seperti gurita tetap dipertahankan, namun kini berjabat tangan dengan kapitalisme. Indonesia di bawah Presiden Soeharto tak mengubah struktur dasar yang disiapkan Sukarno. Birokrasi tetap penting, dan seperti di Vietnam dan RRC sekarang, melahirkan sebuah sistem 346



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA



yang mengkombinasikan yang terburuk dari sosialisme (yakni ”kontrol”) dan yang terburuk dari kapitalisme (yakni ”kesera­ kah­an”). Siapa pun tak gampang memangkas gurita kontrol dan kesera­ kahan itu. Korupsi telah menjalar ke peradilan, parlemen daerah ataupun nasional, merasuki kehidupan partai politik, lembaga agama, dunia pers, bahkan NGO. Pemerintahan Indonesia— anarki yang melanjutkan hidupnya dengan baju dinas itu—kini jadi tauladan siapa saja di Indonesia. Tapi Bung tak bisa terusmenerus mencemooh. Siapa tahu Presiden yang dipilih rakyat dengan mayoritas yang meyakinkan itu tak akan terus maju-mundur—meskipun itulah konon kelemahannya yang terbesar. Siapa tahu ia akan memperlakukan hal-hal yang luar biasa seperti bencana di Aceh dan korupsi di seantero negeri dengan sikap ”kita ber­ada dalam keadaan perang total”. Banyak pencoleng mengatasnamakan ”kebangga­ an nasional” dan ”patriotisme” untuk memelihara kepentingan me­reka, tapi sikap patriotik utama sekarang adalah melawan si­ nisme dengan sesuatu yang luar biasa. Artinya, teruskan tangkap para pencoleng besar, tahan me­re­ ka, dan bila terbukti, kirim mereka ke Pulau Buru, bukan cuma Nusakambangan. Bung bilang perang total mengharuskan pekik pertempuran yang spektakuler, dan saya setuju. Kita harus menjaga sekoci ha­ rapan itu tak tenggelam dalam lautan ketidakpercaya­an yang da­ lam. Kita tak ingin Indonesia ikut tenggelam. Kita tak ingin kehilangan sebuah negeri yang begitu berharga. 28 Januari 2005 Tempo, 6 Februari 2005



Catatan Pinggir 7



347



http://facebook.com/indonesiapustaka



348



Catatan Pinggir 7



GEMPA



http://facebook.com/indonesiapustaka



5



00 guncangan gempa masih menyusul selama delapan bulan setelah tsunami melabrak kota dan membunuh hampir 25 persen penduduk Lisbon. Tapi bila bencana di awal November 1755 itu jadi sesuatu yang bersejarah, itu bukan hanya­ karena­ ia mengerikan. Kejadian itu juga menandai satu babak baru dalam pandangan hidup Eropa di abad ke-18—sebab sejak saat itu yang sekuler semakin mendesakkan posisinya, peran­ Gereja­guyah, dan orang kian ragu sejauh mana sebenar­nya Tuhan punya peran dalam gerak alam dan hidup manusia. Di hari-hari itu para padri mengatakan: ”Berdoalah.” Dalam trauma dan berkabung orang pun berlutut. Sudah sampai sekitar 50 ribu mayat bergelimpangan, dan kota yang anggun itu seperti reruntukan—hanya 20 persen bangunan yang masih dapat ditempati—sementara lima hari lamanya kebakar­an mengamuk. Orang berlutut, berdoa, tapi gempa terus mengguncang sejak November 1755 sampai dengan Agustus 1756. Maka apakah arti doa sebenarnya: sebuah pertautan dengan Tuhan untuk membuat sesuatu terjadi atau tak terjadi, atau sekadar ikhtiar untuk menghibur gundah? Apakah agama sebenar­ nya: sebuah iman untuk penyelamatan di dunia dan akhirat, atau, seperti kemudian dikatakan Marx, ”desah keluh makhluk yang tertindas, hati di dunia yang tak punya hati, semangat dari keadaan yang tanpa semangat?” Apa pun artinya, pada akhirnya orang Lisbon percaya bahwa­­ bukan ora melainkan labora, bukan dengan berdoa­ melainkan­ dengan bekerja—itulah yang membebaskan me­reka­dari ketakut­ an. Tapi tak hanya dalam hal itu Lisbon mengalami­awal ”sekularisasi”. ”Negara” memperkukuh kehadirannya dalam keadaan krisis yang mencekam itu. Sebab saat itu diperlukan kekuasaan Catatan Pinggir 7



349



http://facebook.com/indonesiapustaka



GEMPA



sebuah administrasi yang melihat mala­petaka sebagai problem, bukan tanda-tanda gaib—dan problem­adalah sesuatu yang terlontar di hadapan manusia untuk diterobos atau dipecahkan. Problem bukanlah misteri yang membuat manusia gemetar. Di pucuk kekuasaan administrasi yang ingin memecahkan­ problem itu duduk Marquis de Pombal. Lulusan Universitas­Coimbra ini baru sejak berusia 39 tahun menjadi pejabat­keraja­an. Mula-mula sebagai diplomat. Tapi kemudian, berkat­kemampu­ an dan kecerdasannya, ia jadi menteri luar negeri. Seorang duta besar Inggris mengingatnya sebagai ”satu-satunya­orang di seluruh kerajaan yang mampu mengatasi perkara”. Gempa bumi Lisbon membuktikan itu. Dengan cepat Pom­­ bal,­­waktu itu berumur 56, mengatur pembuangan mayat dengan­ cara yang radikal: ribuan jenazah itu ditumpuk ke dalam sebuah kapal besar yang biasa dipakai buat upacara, dan kapal itu ditenggelamkan di laut. Takut kalau menyinggung kalang­an agama, semua dilakukan dengan diam-diam, meskipun Pombal dapat me­yakinkan Kardinal Jose Manuel untuk menyetujui langkah­ nya.­Dengan segera pula dijaganya agar berita mingguan di Lisbon tetap terbit, buat mencegah desas-desus. Waktu itu berulang kali tersebar kabar angin bahwa sebuah gempa besar akan terjadi lagi, dan pemerintahan Pombal menuduh, sumbernya adalah kalangan padri Jesuit. Dengan itu pula sebenarnya sebuah konflik politik berlang­ sung. Dalam catatan sejarah, tak ada tanda bahwa Pombal se­ orang yang anti-Gereja. Ia pernah jadi duta besar Portugis untuk­ Takhta Suci. Ketika di Eropa berjangkit semangat­ ”Pencerahan”, Portugal bukan Prancis yang gelisah dengan pikiran-pikir­ an baru. Negeri Katolik dengan penduduk tiga juta ini punya 200 ribu pastor, ibu kotanya padat berisi 130 gedung keagamaan, termasuk 40 buah gereja, dan meskipun­dikecam oleh Paus, Gereja­ Kerajaan Portugal meneruskan praktek Inkuisisi yang buas: 350



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



GEMPA



menyiksa atau membakar hidup-hidup siapa saja yang dianggap murtad. Setidaknya di permukaan, tak ada gelombang antiKatolik di sini. Tapi bukannya tanpa konflik. Pombal sudah agak lama ikut dalam pergulatan politik untuk menyingkirkan Ordo Jesuit,­ yang punya pengaruh besar di Portugal sebelum Raja José I bertakhta. Pombal menganggap mereka itulah sumber keterbela­ kang­an. Ilustrasi tentang konflik ini yang paling banyak ditulis ialah ketika ia, di tengah-tengah krisis pasca-tsunami, menghadapi Maladriga. Padri berumur 66 tahun itu sebuah suara yang berpengaruh. Ia terkenal dengan misinya ke Brasilia untuk mengkristen­kan orang-orang pribumi di seberang Atlantik itu. Ia pernah­diterima­ dengan penuh kehormatan oleh Raja Juan V. Setelah raja tua ini mangkat, dan José I mulai berkuasa, nasibnya ber­ubah. Sang raja muda lebih percaya kepada Pombal. Para pejabat Negara umumnya menganggap kaum Jesuit terlampau­lepas dari kendali kerajaan, terutama di koloni-koloni di Amerika Latin, di mana para pad­­ri dari Ordo itu—seperti tergambar dalam film The Mission— melindungi orang-orang pribumi dari cengkeraman Negara. Sejauh mana Maladriga menentang posisi penguasa sekuler­ dalam soal ini tak jelas betul. Ia kemudian hanya dikenal dengan­ khotbah-khotbahnya yang memaparkan bahwa bencana yang menimpa Lisbon adalah azab bagi sebuah kota yang penuh dosa. Mungkin khotbahnya mengandung serangan kepada sang menteri yang dikenal sebagai tokoh anti-Jesuit. Yang pasti, pada akhir­ nya Pombal tak membiarkan ia bicara. Kelak, ia berhasil membuat Maladriga dihukum oleh Inkuisisi: sang padri yang alim itu dibakar hidup-hidup di depan umum. Dan kaum Jesuit diusir. Tak berarti di Portugal berlangsung sekularisasi yang dengan radikal bergerak setelah revolusi Prancis. Tapi sejarawan mencatat bahwa tsunami di Lisbon di abad ke-18 itu adalah sebuah ”gemCatatan Pinggir 7



351



GEMPA



pa bumi modern pertama”—sebuah gempa bumi yang membuat orang meletakkan misteri alam dan Tuhan lebih­baik dalam sebuah kotak, dan berpaling kepada hidup sebagai sederet problem dengan pemecahan yang tak bisa mutlak.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 13 Februari 2005



352



Catatan Pinggir 7



BEGUGANJANG



http://facebook.com/indonesiapustaka



L



AKI-laki itu tampak kurang saleh. Ia tak rajin ke gereja. Ia alpa pula mengingat lengkap 10 perintah Tuhan. Cacat ini akhirnya memudahkannya masuk ke dalam daftar orang yang dituduh bekerja dengan Setan dalam sihir hitam. Hakim memutuskan: ia harus digantung. Tapi kita tahu ia tak berdosa. Tuduhan beguganjang yang ber­ kecamuk di desa itu telah membunuhnya. Seorang bocah sakit dan sejumlah gadis berkelakuan ganjil, dan penduduk di­cekam ketakutan diserang santet. Ketegangan menyembul di sela-sela konflik kepentingan yang dicoba sembunyikan di tempat terpencil itu. Tuduh-menuduh menyebar. Suasana itu—gabungan yang seram antara paranoia, ke­ya­ kin­an agama, dan kekuasaan—adalah yang diabadikan Arthur­ Miller dalam The Crucible, sebuah karya yang akan tetap dikenang dunia ketika penulisnya meninggal dalam umur 89 di rumahnya di Connecticut akhir pekan lalu, 11 Februari 2005. Tentu, Miller menghasilkan karya yang lebih menyentuh, The Death of Salesman, atau lebih tangkas, All My Sons. Tapi The Cru­ cible akan ditengok lebih sering hari ini. Inilah masa ketika dengan iman orang membinasakan orang lain dan berkata, ”Siapa yang tidak bersama kami adalah musuh kami.” Presiden Bush pernah mengucapkan kata-kata itu, sebuah sikap yang didukung orang-orang Kristen Kanan di negerinya. Ki­ta tahu kaum fundamentalis Amerika itu tak sendirian: yang Is­lam, yang Yahudi, dan yang Hindu, dengan alasan politik dan theologi yang berbeda dan dengan kalimat yang berbeda pula, beramai-ramai bersuara garang dan muram. Miller sendiri cemas. Di tengah suasana ”perang antiterorisme” Bush, setahun yang lalu ia menulis sebuah esai pendek, dan Catatan Pinggir 7



353



http://facebook.com/indonesiapustaka



BEGUGANJANG



ia ingat bahwa 50 tahun yang lampau ia ”terdorong untuk menulis” satu kalimat bagi pidato si tokoh hakim dalam The Crucible. ”Tuan mesti mengerti,” kata hakim itu, ”orang harus­ berpihak ke­pada mahkamah ini, atau ia akan dianggap menentangnya.” Tak ada jalan tengah. Sebab ”ini zaman yang tajam...—kita tak hidup di senja remang-remang di mana iblis­bercampur dengan kebaikan dan membuat dunia bingung.” ”Zaman yang tajam” itu memang bisa datang berulang kali. The Crucible ditulis ketika kekuasaan di Amerika, jauh sebelum George W. Bush, mengejar-ngejar siapa saja yang ber­bahaya,­arti­ nya siapa saja yang ”komunis”. Karena kampanye Senator McCarthy, puluhan orang—termasuk yang bekerja­di dunia teater­ dan film, seperti Charlie Chaplin dan Elia Kazan—dicurigai ”merah”. The House of Un-American Activities (sebuah nama yang menggabungkan paranoia dan patrio­tisme) memanggil orang-orang yang diwaspadai ke komite para wakil rakyat untuk di­usut. Charlie Chaplin menolak dan meninggal­kan Amerika selama-lamanya. Sutradara Elia Kazan me­nyerah:­ia bersedia menyebutkan sederet nama kenalannya yang ”tak bersih”—sebuah tindakan yang kemudian menjadikannya pengecut seumur hi­ dup.­ Miller juga tak luput. Ia diusut keikutsertaannya dalam gerak­ an Kiri di masa lalu. Ia memang datang dari generasi yang jadi de­wasa di tahun 1930-an, ketika semangat Kiri bergolak penuh ama­rah penuh idealisme. Ia mengakui semuanya,­meskipun ia tak pernah jadi anggota Partai Komunis. Tapi ia menampik waktu­ di­paksa menyebut nama-nama lain yang ”terlibat”. Ia tak hendak­ ber­k hianat. Ia siap dianggap menghina­lembaga pengusut­di Bu­ kit Kapitol itu. Beruntung ia tak jadi dihukum, ketika kegalakan ”zaman yang tajam” itu mereda di akhir 1950-an dan ”McCarthyisme” berubah jadi cerita teror sebuah kepicikan. Tapi peristiwa itu 354



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



BEGUGANJANG



agak­nya mengukuhkan apa yang juga pernah dikatakannya sendiri setelah ia menulis A View from the Bridge: ”Sekali kita menerima ide bahwa kita membutuhkan ortodoksi, kita harus me­ nem­puh Inkuisisi.” Dengan kata lain, ortodoksi akan bergerak ke penindasan. Da­lam sejarah agama, pelbagai bentuk Inkuisisi telah membu­ nuh begitu banyak tubuh dan jiwa, dan begitu banyak orang bermutu yang menderita karena itu. Dalam sejarah Islam, di Bagdad abad ke-9 Khalifah Al-Ma’mun menjalankan mihna untuk memaksakan doktrin agamanya. Ia menganiaya Imam Hambali. Dalam sejarah agama Yahudi, Patriakh di Palestina di awal milenium pertama mendesak agar seorang rabbi muda yang membawa Sabda baru disalib, dan berabad kemudian para ahli agama menghukum Spinoza. Dalam sejarah Kristen, Inkuisisi Gereja membakar hidup-hidup ratusan orang yang dianggap murtad— sesuatu yang juga ditirukan Calvin di Je­ne­wa dengan membasmi tubuh Servetus di tiang kayu. Semua itu tak membuat ajaran yang dipaksakan itu menang. Tapi berulang kali ortodoksi bertaut dengan kekerasan, dan teror­ itu bangkit kembali. The Crucible adalah sebuah alegori untuk paranoia Amerika tahun 1950-an. Tapi kita tahu Miller mengambil ceritanya dari sejarah dusun Salem di sudut Massa­chusetts di abad ke-17, ketika kaum Puritan mulai berkuasa di koloni itu. Pada suatu saat sejumlah penduduk dianggap main santet. Peng­usutan pun mulai dengan sengit. Selama beberapa bulan di tahun 1692, belasan laki-laki dan perempuan diangkut untuk digantung di sebuah bukit di tebing gundul. Seorang ber­umur­80 tahun ditindih batu berat sampai mati ketika ia menolak untuk mengaku. The Crucible Miller menggubah kembali kejadian sejarah itu dengan tokoh John Proctor yang akhirnya juga digantung.­Proctor agaknya telah lama merasa bahwa gereja dan penguasa­nya buCatatan Pinggir 7



355



BEGUGANJANG



kanlah tempat berlindung. Ia tak mau pergi ke kebakti­an­­karena Parris, sang pengkhotbah, hanya bicara tentang ”ne­ra­ka dan kutukan”. ”Tuan hampir tak pernah menyebut Tuhan lagi, Tuan Parris,” katanya. Tentu saja Tuhan selalu disebut, Tuan Proctor. Tapi Tuhan dalam iman dan kebencian. Artinya, sesuatu yang akan terus ada. Carlos Fuentes, ketika memperingati ulang tahun Arthur Miller yang ke-80, pernah mengatakan bahwa iman dan kebencian itu, bigotry, adalah dosa abad ke-21. Akankah ia me­ngata­kannya lagi ketika Miller meninggal?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 20 Februari 2005



356



Catatan Pinggir 7



AL-GHAZALI



http://facebook.com/indonesiapustaka



B



ENARKAH kita tahu, atau benarkah kita tak tahu? Pertanyaan ini mengusik peradaban berpuluh-puluh abad—dan saya teringat Al-Ghazali. Ia adalah tauladan besar dalam sejarah pemikiran: seorang yang terusik, seorang yang bergulat sampai dasar dengan soal ”tahu” dan ”tak tahu”—dan dengan riwayat yang mengagumkan,­ meskipun kita belum tentu sepaham dengan kesimpulannya. Orang alim ini lahir di Tus, Iran, pada tahun 1058, anak se­ orang pemintal wol (ghazzal—dari mana nama ”ghazali” ber­ asal)­yang ingin agar keturunannya jadi orang yang ber­ilmu.­Sebelum orang tua itu meninggal, si Muhammad dan adiknya dise­ rahkannya kepada seorang sufi agar belajar membaca dan menulis. Ketika uang keluarga itu habis, Al-Ghazali masuk ke sekolah yang menyediakan kamar dan memberikan sedikit uang saku. Dari sinilah gairahnya untuk belajar beroleh peluang: ia berangkat dari tempat ke tempat, menimba ilmu seraya menulis buku. Pada akhir tahun 1080-an, ia datang ke tempat Nizam alMulk, seorang wazir yang amat terpelajar di Kota Bagdad. Di AlMu’askar (”Kamp”) itu para ulama piawai berdebat tentang pe­ nge­tahuan agama, dan di sana Al-Ghazali menonjol. Pada umur 34, ia pun diangkat jadi Rektor Madrasah Nizamiyyah di ibu kota itu. Selama empat tahun, sejak 1091, ia memimpin. Posisinya begitu luhur hingga seorang penulis biografinya menggambarkannya dengan sedikit berlebihan: martabat dan harta Al-Ghazali tak tersaingi bahkan oleh para wazir dan pangeran. Pada masa inilah ia menuliskan karyanya yang termasyhur, Tahafut al-Falasifah (Keruwetan Para Filosof), sebuah kritik yang kukuh terhadap filsafat, sebuah hantaman yang cerdas terhadap Catatan Pinggir 7



357



http://facebook.com/indonesiapustaka



AL-GHAZALI



pemikiran Ibnu Sinna dan Al-Farabi. Tapi tiba-tiba­ Al-Ghazali­ berubah: ia memutuskan untuk meninggalkan kedudukannya yang gemilang. Dalam otobiografinya, Al-Munqidh min al-Dalal (Selamat dari Sesat) ia menyatakan bahwa selama itu ia merasa ia telah meng­ajar bukan untuk Allah. ”Selama hampir enam bulan sejak Ra­jab tahun 488 Hijriah,” demikian tulisnya, ”aku terombangambing antara daya tarik duniawi dan desakan ke hidup­yang ke­ kal.” Pada suatu hari, lidahnya tiba-tiba kering. Ia tak bisa meng­ ajar. Kesehatannya memburuk. Para dokter tak tahu bagaimana mengobatinya dan menyimpulkan bahwa sakitnya bukanlah jasmani. Akhirnya Al-Ghazali pun ”berlindung kepada Allah yang meringankan hatinya untuk menampik kedudukan dan har­ta,­ dan lepas dari anak-anak dan sahabat”. Dibagi-bagikannya ke­ kayaannya dan ditinggalkannya Bagdad. Ia pun berkelana selama sebelas tahun ke Damaskus, Yerusalem, Hebron, Madinah, Mekah, dan kembali ke Bagdad sebentar pada Juni 1097, sebelum ia akhirnya kembali ke Tus. Di kota kelahiran itu ia tinggal selama sembilan tahun, berkhalwat, hidup menyendiri. Pada tahun 1106 ia mengajar sebentar di Nishapur, lalu ia pulang ke Tus, di mana ia wafat pada akhir tahun 1111. Umurnya hanya mencapai 53 tahun, tapi ia telah berhasil­hi­ dup­kekal: dari semua ulama dalam sejarah Islam selama hampir 1.000 tahun, dialah yang paling banyak dibaca dan dikenang di madrasah di dunia. Namanya diseru sebagai ”Hujjat al-Islam”. Ia ”bukti [kebenaran] Islam”. Orang memang dapat mengatakan bahwa Al-Ghazali dijunjung tinggi karena ia membela pemikiran ortodoks, dan dengan demikian bisa mengukuhkan posisi penguasa tafsir dan penguasa­ politik. Memang, ia layak berkata, sejak belum lagi berumur 20 ia ”tak berhenti mengarungi dalamnya samudra”, dan ”terjun dengan tabah menenggelamkan diri... ke dalam pertanyaan yang 358



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



AL-GHAZALI



gu­lita”. Tapi selama itu ia sebenarnya tak pergi­jauh; ia tak ber­ anjak dari dogma. Para pengkritiknya mengata­kan bahwa AlGhazali menggunakan metode filsafat untuk menghantam filsafat sebab ia tak menyukai pemikiran bebas. Ibn Rushd, seorang pemikir yang tak kalah ulung, yang hi­ dup­ di Spanyol seabad setelah penulis Tahafut al-Falasifah itu, menunjukkan bahwa Al-Ghazali memang penuh kontradiksi.­ ”Abdul Hamid”, tulis Ibn Rushd, menyebut nama lain Al-Gha­ zali, ”adalah seorang penganut Ash’airiyyah di antara kaum Ash­ ’airiyyah, seorang sufi di antara kaum sufi, dan filosof di antara­filosof”. Seorang penganut Ash’airiyyah umumnya bersikap orto­ doks, tapi seorang filosof tak mungkin taklid kepada doktrin. Dan bagaimana pula seorang sufi bersikap doktriner, seraya bertumpu pada rasio, dalam hubungan mistiknya dengan Tuhan? Orang akan selalu ingat, pada abad ke-12 Ibn Rushd menye­ rang Tahafut al-Falasifah dengan buku Tahafut al-Tahafut (Ruwetnya Keruwetan)—dan agaknya ini khas pengagum Aristote­ les, baginya amat penting peta yang jelas dan persis. Rasionalisme dalam filsafat Islam dari abad ke-8 bergema lagi di pemikiran Ibn Rushd, meskipun dengan kritik: Ibn Rushd percaya bahwa filsafat dan agama ibarat dua anak yang disatukan oleh seorang ibu pe­nyusu, dari mana mereka tumbuh sehat. Tapi agaknya Ibn Rushd kurang menunjukkan apresiasi kepada keresahan Al-Ghazali. Guru dari Tus ini sah untuk tak puas dengan filsafat, sebab bahkan dengan rasio, banyak hal tak bisa kita ketahui tentang hidup di dunia dan sesudahnya. Namun Al-Ghazali juga tak tepat dalam asumsinya, bahwa ajaran agama akan jadi jawab segalanya. Tak ada pintu terakhir bagi ”pertanyaan yang gulita”. Tapi apa mau dikata: Al-Ghazali hidup pada abad ke-11. Ia tak tahu bahwa pada abad ke-21 perenungan tak kunjung berhenti dan filsafat masih bersipongang justru dengan kritik kepada Catatan Pinggir 7



359



AL-GHAZALI



rasionalisme. Itu semua berlangsung disertai pengakuan bahwa juga iman ada batasnya. Perlu hebohkah kita? Beribu tahun yang lampau, juga Kitab Veda (yang berarti ”pengetahuan”) mengandung lagu-puja yang penuh pertanyaan yang gelap. Sebelum ada ”Ada” dan ”Tak Ada”, begitulah tersebut dalam Rig Veda, ”siapa yang meliputinya?” Satu kalimat menjawab: ”Ia yang jadi asal Penciptaan sesungguh­ nya tahu, tapi mungkin ia tak tahu.”



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 27 Februari 2005



360



Catatan Pinggir 7



IN MEMORIAM



http://facebook.com/indonesiapustaka



B



EGITU banyak kematian, tapi pada kematian seseorang yang berarti, ada sesuatu yang lain dalam kehilangan itu: sebuah penemuan kembali. Novelis Kuntowijoyo dan pelukis Semsar Siahaan meninggal­ pekan lalu, dengan sebab yang berbeda, di tempat yang berbeda. Populasi dunia kesenian Indonesia yang langka penghuni­ini berkurang dengan tiba-tiba. Tapi kemudian kita tahu, kita ingat:­ mereka berkarya, dan tiap karya kreatif menolak ikut per­ten­ tangan hidup dengan mati. Kedua almarhum itu, sang novelis berusia 61 tahun dan sang perupa 53, setahu saya tak saling mengenal. Pandangan mereka mungkin tak sama. Pikiran Kuntowijoyo menunjukkan sikap se­orang muslim yang tak jauh dari iman tapi dekat dengan kebebasan berpikir. Dari karya-karyanya dapat dirasa­kan Semsar seorang yang melihat ketidakadilan sosial sebagai sesuatu yang tak diakui oleh kekuasaan, dan sebab itu harus diutarakan. Temperamen dalam ekspresi mereka juga sangat berbeda. Prosa Kuntowijoyo: lirih dan sabar hampir seperti bedaya keta­ wang, dan dalam tempo yang seperti itu merangkum ide yang serius. Khotbah di Atas Bukit dramatik dalam imajinasi, tapi tak berteriak-teriak, Pasar memikat kita dalam deskripsi latar sosial, tapi dengan telaten. Gambar Semsar: garis-garisnya keras, menggelegak, menyusun sebuah drama yang tajam tapi kaku, mengutarakan sesuatu yang gawat tapi merangsang. Tak ada yang lembut dalam guratan tinta Cina itu. Bila ada yang menyamakan kedua mereka, itu adalah perhatian mereka pada ”isi”. Kata dan kalimat bagi Kuntowijoyo­— yang juga seorang sejarawan dan analis kehidupan sosial—senantiasa dibimbing oleh makna, dan bukan bermain di celah-celah Catatan Pinggir 7



361



http://facebook.com/indonesiapustaka



IN MEMORIAM



yang tak terduga di luar tata makna. Bagi Kunto­wijoyo, ”isi” atau ”makna” adalah sebuah kehadiran yang dihormati. Bagi Semsar,­ garis dan warna adalah penanda dari se­sua­tu, artinya sebuah ti­ nanda (signified), dan ia percaya bahwa tinanda itu, sebagai ”isi”, adalah yang jadi poros sebuah karya seni, sementara ”bentuk” bergerak di sekitarnya. Keduanya kini tak ada di antara kita lagi. Saya tak sempat per­ gi ke pemakaman Kuntowijoyo di Yogya, tapi saya sempat me­ nengok jenazah Semsar yang disemayamkan di salah satu ruang pameran Taman Ismail Marzuki, Jakarta: ia terbaring dalam peti mati, berpakaian upacara lengkap Bali, gagah tapi diam. Esoknya saya merasa, bahwa seperti yang telah mendahului mereka—Asrul Sani, Umar Kayam, S. Prinka, dan yang lainlain—Kuntowijoyo dan Semsar seakan-akan hanya sedang­pergi ke suatu tempat yang jauh. Kita akan lama tak ber­jumpa­—sesu­ atu yang semakin galib di dunia yang kian sibuk dan kian luas sekarang.... Dalam perpisahan ini, mereka tetap saja bagian dari pergaulan. Di rak di sudut sana ada sebuah novel Kuntowijoyo, di antara almari tua itu ada sebuah pigura karya Semsar. Dan kita akan merasa bahwa sebuah novel yang cemerlang atau sebuah gambar yang menggugah adalah sebuah benda­yang aneh: ia menjadi cemerlang atau menggugah karena terkait oleh masa ketika kita menikmatinya, tapi ia akan terus memasuki masa lain ketika banyak hal berubah di sekitarnya. Saya tak akan me­nyebut hal ini ”abadi”, sebab sebuah karya tak pernah berada di luar waktu. Dalam sebuah esai perihal penerjemahan, Walter Benjamin memakai pengertian yang mungkin bisa kita pinjam. Ia membedakan antara überleben dan fort­leben, antara ”lolos hi­ dup”­dan ”hidup lanjut”, antara ”sur­vival”­dan ”lumintu”. Tanpa sepenuhnya mengikuti Benjamin, saya kira dalam karya-karya Kuntowijoyo dan Semsar—karya mereka yang ma­ sih­berbicara kepada kita, yang masih mengharukan kita—tam362



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



IN MEMORIAM



pak bahwa setiap kali mereka seakan-akan ”lolos hidup”,­ über­ leben, terlepas dari kematian. Mungkin karena tiap kali kita ber­ temu dengan sebuah lukisan yang menggetarkan, misal­nya kar­ya Affandi, Kelenteng, atau sebuah sajak yang seperti Senja­di Pela­­ buh­an Kecil Chairil Anwar, kita menyaksikan­sebuah bayang-ba­ yang­keindahan yang seakan-akan sedang singgah. ”Bayang-ba­ yang”­dan ”singgah” adalah kata yang saya pilih, sebab keindah­an itu tak sepenuhnya tampil dalam lukisan dan sajak itu. Ada yang terasa ada tapi mengelak dan lepas, seperti hantu, yang mungkin juga bukan hantu. Dalam momen seperti itulah kita merasakan karya itu menjadi lumintu, hidup lanjut terus, fortleben. Yang hidup lanjut itu tak hanya ”isi”, melainkan yang meng­ atasi ”bentuk” dan ”isi”, mengatasi ”penanda” dan ”tinanda”. Saya tak tahu apakah kita bisa menyebutnya ”inspirasi”. Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai ”tilas” dari Ada, hadir ketika­Ada tak lagi mengejutkan dan mempesona, bahkan kita lupakan­ dalam hidup sehari-hari. Sebab itu sebuah karya seni yang menggetarkan seakan-akan sebuah wasiat dari Ada. Dengan itu kita bersyukur karena kematian bukanlah sesuatu yang mutlak. Kita bersyukur pada kemungkinan bahwa oposisi antara hidup dan mati bukanlah segala-galanya. Syahdan, pada bulan Oktober 2004 yang suram, dalam pemakaman Derrida di luar Kota Paris, seorang muda, Pierre, anak lelaki pemikir itu, membacakan sejumlah kata yang di­tinggal­kan ayahnya. Di antaranya semacam pesan, ”Affirmez la survie”. Kita perlu meneguhkan atau mengisbatkan kenyataan bahwa tiap kali kita ”lolos hidup”. Bagi saya itu artinya menghargai hidup tapi juga mengakui ke­gentingannya, merayakan hidup tapi merasakan kerapuh­an­ nya. ”Merasakan kenikmatan dan menangis di hadapan ajal yang dekat—bagi saya itu hal yang sama,” kata Derrida dalam wawan­ caranya dengan harian Le Monde dua bulan sebelum ia meningCatatan Pinggir 7



363



IN MEMORIAM



gal. Dan ia pun meninggal—selalu begitu banyak kematian. Kali ini Kuntowijoyo dan Semsar. Tapi kita tahu, kita ingat: mereka berkarya, dan tiap karya mengingatkan kita akan la survie, dan sebab itulah yang ditinggalkan kedua seniman Indonesia itu amat berharga.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 6 Maret 2005



364



Catatan Pinggir 7



MINYAK



http://facebook.com/indonesiapustaka



M



INYAK adalah ketakjuban. Ia berkah, ia juga ancam­ an. Tentang yang pertama kita bisa bicara panjang: ken­­dara­an bermotor yang mudah, pesawat terbang yang cepat, listrik di rumah dan gedung yang terang, dan segala­ yang membuat hampir tiap babak hidup manusia pada zaman ini—lahir, belajar, kerja, sakit, dan mati— ditopang oleh energi minyak bumi. Berkah minyak bisa pula mencong: ia membuat sejumlah orang mendadak kaya gila-gilaan. Minyak juga mengutuk. Daftar kutukannya tak panjang, ta­ pi makin mendesak. Kini kita mengerti, misalnya, kenapa­pada akhir 1990-an orang-orang U’wa sakit hati. Ketika per­­usaha­an Amerika Occidental Petroleum datang mencari minyak­di tebing Amazon di wilayah Kolombia itu—agar bisa dijual ke penghuni­ kota-kota dunia yang ingin berkendaraan nyaman—orangorang U’wa yang miskin menyaksikan bumi mereka diobrakabrik. Kita dengar jerit yang sama dari orang Venezuela di Delta Orinoco dan dari rakyat Nigeria di Delta Niger: semuanya jerit si melarat yang menghadapi gergasi. Tapi berangsur-angsur, yang semula hanya bertolak dari alas­ an­­ ”primordial” akhirnya didukung secara universal: mengebor tanah di tanah perawan akan merusak alam sekitar­ sampai tak mung­kin pulih; modal besar yang menyogok sampai ke pedalam­ an akan melemparkan penduduk ke segala arah; komunitas akan hancur. Karena itulah pada tahun 1996 organisasi Oilwatch berdiri, dengan jaringan di 50 negeri. Ia lahir dari tekad untuk ber­sama-­ sama mencegah meluasnya kekuasaan minyak dalam pelbagai bentuk, sekaligus menuntut agar planet bumi diselamatkan dari peradaban yang terus-menerus haus BBM. Catatan Pinggir 7



365



http://facebook.com/indonesiapustaka



MINYAK



Kutukan BBM memang terkadang tak segera kentara. Keka­ ya­an yang luar biasa bisa datang dari minyak, yang menyebabkan Indonesia, misalnya, pernah tumbuh pesat. Tapi bersama itu juga berkembang sifat pongah dan tamak, sebagai­mana tampak ketika Pertamina jadi ”kerajaan” Ibnu Sutowo­pada tahun 1980-an. Eksplorasi bumi dan laut membuat teknologi maju dan pengetahuan berkembang, tapi sering berkait dengan kekerasan, bahkan penjajahan. Tema ini sama sekali tak baru. Tema kekerasan dan ke­se­ra­ kah­an itu tersirat sejak Hergé menggambar komik Tintin­Di Ne­ geri Emas Hitam sampai ketika Hollywood membuat Blowing Wild pada tahun 1956, ketika kita, seraya melihat Gary Cooper digoda Barbara Stanwyck di layar putih, mendengar suara Fankie Lane mendayu-dayu, ”Marinaku, bebaskan aku, bebaskan aku dari emas hitam!” ”Marina mine, set me free, free from black gold....” Bebas dari ”emas hitam” bisa juga berarti bebas dari ancam­an penjajahan. Ancaman ini bukan hanya fantasi. Pada tahun­1975, Henry Kissinger, dengan memakai nama samaran ”Miles Ignotus”, menulis sebuah artikel, ”Seizing Arab Oil” di majalah Harp­ er’s, dengan skenario yang jelas: siapkan senjata. Sebab, Amerika Serikat, yang begitu bergantung pada BBM dari Timur Tengah,­ tak boleh kehilangan sumber hidupnya yang pokok. Maka tak mengagetkan bila kini Perang Irak didakwa sebagai bagian dari agenda kolonisasi macam itu. Jika diperkirakan cadangan mi­ nyak­ di dalam bumi AS tinggal 10 tahun, kenapa Washington harus melepaskan sumur itu? Maka tentara pun diperkuat. Ketika konsumsi BBM di muka bumi meningkat, sementara bahan bakar itu bergerak­habis, dan orang tetap merasa tak perlu mencari sumber energi­ lain, akan kian sengit dunia memperebutkan si ”emas hitam”. Ketegangan antara Malaysia dan Indonesia pada hari-hari ini—setelah Ma366



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



MINYAK



laysia mencoba memanfaatkan minyak di Ambalat, wilayah yang dianggap Indonesia sebagai milik­nya—adalah simptom yang akan kian sering tampak. Seperti tersirat dari argumen Kissinger, mempertahankan ”emas hitam” adalah segala-galanya. Kini pun, kata Michael Klare dalam buku Blood and Oil, ”militer Amerika semakin diubah untuk melayani perlindungan minyak global”. Apa boleh buat: zaman BBM berlimpah telah berakhir, zaman genting mulai. Tapi ancaman tak terbatas di situ. Ada cerita Jeremy Legget, seorang ahli pertambangan minyak dari Inggris yang mengajar­ di The Royal School of Mines di London. Ia dulu seorang ”pemburu” minyak yang puas bila memandang di bumi Baluchistan, misalnya, cairan memancar hitam dari liang tambang. Maklumlah, ia hidup makmur karena itu. Tapi pada suatu hari ia membaca majalah New Scientist. Pada Juni 1988, sejumlah pakar klimatologi bertemu di To­ ronto. Hasil penelitian mereka mendorong mereka mengeluar­kan sebuah peringatan yang gawat: karbon dioksida yang di­lontarkan dari mobil, motor, dan lain-lain ternyata merusak lapisan ozon di atas kita. Jika lapisan itu musnah, malapetaka yang sedahsyat perang nuklir menunggu bumi. Legget terkesiap, dan ketika ia semakin yakin akan data tentang kerusakan lingkungan itu, ia pun berhenti dari pekerjaan yang membuatnya kaya. Ia bergabung dengan mereka yang anti-­ minyak. Ia bergabung dengan gerakan Greenpeace yang tak henti-hentinya memperingatkan bahaya yang datang dari sana— dan yang, bersama aktivis lain, tak sungkan mendesak agar harga BBM jangan dibiarkan murah. Sebab, kata mereka, minyak yang murah tak akan mendorong orang untuk mencari dan menggunakan energi yang lain. Tentu saja orang macam Legget belum banyak. Seandainya ia di Indonesia kini, ia akan dicerca para politikus dan calon politiCatatan Pinggir 7



367



MINYAK



kus. Tapi gema Greenpeace akan terus membuat kita risau—dan kita memang perlu risau: Bebaskan aku, bebaskan aku dari emas hitam itu, karena angka-angka tampak jelas meng­ganggu­kenyamanan. Kita memang bukan pabrik besar, kita bukan negeri industri, tapi tiap kali kita menghidupkan mesin motor atau mobil, tiap kali kita menikmati berkah yang bernama BBM, kita sedang mempercepat sebuah kutukan. Kutuk­an itu tak terdengar seperti halnya penderitaan di Delta Niger, tapi perang minyak menanti dan ozon makin berlubang di atas bumi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 13 Maret 2005



368



Catatan Pinggir 7



ADIL



http://facebook.com/indonesiapustaka



T



AHUKAH Anda apa itu keadilan?” tanya Ayatullah Kho­­­meini. Dan pemimpin revolusi Iran itu meneruskan, dengan jawaban yang hanya separuh jawaban: ”Jika Anda tak tahu, tanyakanlah ke nalar Anda, sebab nalar bertindak bagaikan mata bagi manusia.” Kali ini, dengan separuh jawaban itu, Khomeini keliru. Dengan gampang orang bisa menunjukkan bahwa keadilan tak pernah bisa diterangkan oleh nalar, dan bahwa nalar tak selamanya­ ber­tindak bagaikan ”mata”, dan bahwa perumpamaan itu me­ leset. Saya punya sebuah pengalaman tentang itu. Saya pernah me­ mimpin sebuah tim. Pada suatu waktu, kepada tiap anggota­tim disediakan fasilitas dan penghargaan, berupa sebuah mobil. Untuk keadilan, sebuah jip dengan ukuran yang sama dan merek yang sama diberikan kepada setiap orang, dari ketua­tim sam­pai anggota di bawahnya yang berbeda-beda.­Bagi saya, setelah ada per­bedaan gaji, tak perlu ada tambahan perbedaan fasilitas, yang akhirnya lebih bersifat simbolis ketimbang fungsional. Bagi saya tak adil bila yang di atas kian banyak mendapat, yang di bawah tidak. Sekitar setahun sistem ini berjalan. Kemudian beberapa anggota tim yang merasa punya beban kerja yang lebih besar mulai berpikir. Mereka akhirnya berkesimpulan bahwa tak adil menutup kemungkinan bagi yang punya beban kerja lebih besar buat menikmati fasilitas yang lebih baik, di samping gaji yang lebih tinggi. Keadilan di sini berasas penghargaan yang berbeda sesuai­ dengan kontribusi yang berbeda pula. Sama-rasa-­sama-rata dianggap tak adil. Kata-kata Cicero berlaku: ”Keadilan yang ekstrem adalah ketakadilan yang ekstrem”. Catatan Pinggir 7



369



http://facebook.com/indonesiapustaka



ADIL



Argumen ini menang. Sejak itu ada beberapa jenis dan merek­ mobil dalam tim kami, karena yang bekerja lebih keras dan le­ bih­mampu dapat mobil yang tak hanya sebuah jip. Keadaan ini diterima oleh kebanyakan anggota tim—meskipun bagi saya ganjil. Sejak itu jika saya ditanya, ”Tahukah Anda apa itu keadil­ an?” saya akan angkat bahu. Adakah keadilan, jika subsidi BBM dicabut, dan beban orang yang lebih miskin akan memberat— karena menambah belanja Rp 500 baginya akan terasa lebih menguras kantong ketimbang bagi si kaya? Kita akan menjawab: tidak, Bung! Tapi sebuah pertanyaan lain juga dapat diajukan: adilkah jika sedikit sekali uang negara­ yang bisa dipakai buat pendidikan dan kesehatan, dibanding dengan begitu besar dana yang dikeluarkan untuk menombok ongkos bahan bakar—di antaranya bensin bagi para pemilik Jaguar, Audi, BMW, Mercedes-Benz? Akan makin adilkah jika nanti, dua tahun lagi, subsidi dicabut? Jika harga minyak di dunia mencapai US$ 80 per barel, sementara impor minyak bumi akan bertambah, dan Indonesia­ kian bergantung pada energi dari luar, bersama dengan kian me­ nurunnya produksi dalam negeri—adilkah bila sebagian besar dana habis di sini? Maaf, saya angkat bahu: tak ada yang bisa ditentukan secara a priori. Tentang keadilan, saya tak akan mengutip Khomeini.­ Ia begitu percaya kepada nalar sebagai pemberi jawab. Saya lebih­ percaya nalar sebagai pemberi pertanyaan. Tiap kali saya memandang lambang keadilan—dewi yang memegang dacin dengan mata dibalut penutup—tiap kali saya menafsirkannya sebagai tanda bahwa keadilan adalah sebuah keputusan yang bermula dari posisi tak melihat. Sebab, keadilan selalu hadir tapi nyaris tak terlihat. ”Ada keadilan,” kata Jules Renard, penulis Poil de carotte itu, ”tapi kita 370



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



ADIL



tak selalu melihatnya. Keadilan tak menonjolkan diri, tapi ia ada, tersenyum, di sebelah sana, agak di belakang ketakadilan, yang membuat heboh.” Sejarah manusia memang sejarah yang terjadi ketika ketak­ adilan membuat heboh. Orang justru hidup dengan imajinasi tentang keadilan—dan sebab itulah keadilan ”ada” bagaikan sebayang mambang, sekilas jejak—ketika yang dibicarakan itu tak ada. Sejarah menunjukkan bahwa hidup terbentuk justru oleh kekurangan. Demikianlah pada mulanya imajinasi, bukan nalar, sebab ke­adilan pertama-tama lebih bersipongang sebagai retorika ketimbang rumus, lebih berwujud penggugah hati ketimbang konsep yang selesai. Ia seperti cakrawala di seberang pantai: sesu­ atu yang mirip garis panjang di mana langit menyentuh bumi— dan kita akhirnya tahu bahwa langit tak pernah menyentuh bumi. Dengan imajinasi itu manusia berusaha, dan politik terjadi.­ Karena keadilan selalu berarti keadilan dalam hubungannya dengan orang lain, usaha menegakkannya berlangsung lewat­ perundingan, tuntut-menuntut, tawar-menawar, dan tak ja­rang­­ adu kekuatan dan pertumpahan darah. Tapi tak dapat dikatakan bahwa nalar tak punya peran sama sekali di sini. Untuk membuat keadilan singgah dalam ruang hi­ dup­kita, senjata mungkin perlu dihunus, tapi tak mungkin hanya­ itu. Keadilan baru ”keadilan”, dan meyakinkan­sebagai keadilan, bila ia sesuatu yang berlaku bagi siapa saja. Dalam tiap adu keku­ at­an itu selalu tersirat seruan tentang sesuatu yang universal. Nalarlah yang merumuskan yang universal itu. Karl Marx­ menyaksikan dengan pedih ketakadilan yang ditanggung­kaum buruh, tapi ia tak hanya bersuara dengan dengus dan cerca.­ Ia berbicara tentang sebuah ”sosialisme ilmiah”. Ia ber­bicara­ tentang revolusi dengan teori dan angka-angka. Das Kapital, yang Catatan Pinggir 7



371



ADIL



baru-baru ini selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sangat mengesankan, melalui kerja keras Oei Han Djoen, adalah sebuah bentuk dorongan untuk membuktikan bahwa keadaan yang tak adil harus dipaparkan agar diterima siapa saja dan kapan saja, tak hanya kaum proletar. Rasionalitas adalah bagian yang tak terelakkan dari politik keadilan. Ia bukan segala-galanya, tentu. Tapi demikian juga yang ”bu­ kan-rasio”, yang ”bukan-nalar”: perut yang lapar, hati yang ma­ rah, mata yang basah, kaki yang luka. Tiap kali kita me­nengok­ kembali apa yang terjadi dalam sejarah, kita tahu ”keadilan” adalah jejak universal yang tidak satu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 20 Maret 2005



372



Catatan Pinggir 7



MEMBERI



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



I bandara Meulaboh yang sepi dan tak punya apa-apa lagi, kami menunggu sebuah pesawat datang di sebuah kedai agak di depan landasan. Gubuk itu setengah­ berdinding­dengan kayu yang lusuh. Besarnya hanya 3 x 4 meter persegi.­Saya dan Sandra, dua orang dari Jakarta, duduk di bangku di luarnya, di bawah pohon, memesan kopi dan nasi bungkus. Pada pagi yang lambat itu, hanya ada empat orang pembeli datang silih berganti. Tujuh meter dari sana, sebuah pos militer yang belum lama di­ dirikan tampak habis bangun tidur: beberapa prajurit baru saja man­di, seorang tentara muda memberi makan dan meng­ajak omong burung, hanya beberapa orang yang sudah siap berseragam. Mereka empat peleton pasukan khusus Angkatan Udara yang dipasang untuk menjaga bandara kecil itu, yang sejak tsunami menghantam Meulaboh jadi ramai kapal terbang, membawa pelbagai macam bantuan, pelbagai macam orang. Dua helikopter PBB tampak diparkir di landasan. Di sekitar­ itu, ribuan pohon nyiur, damar, dan angsana mengepung, sebagi­ an masih tampak hitam seakan-akan hangus, bekas air laut yang naik pada akhir Desember 2004 itu—setelah gempa­dan ombak gergasi yang membuat sebagian kota pesisir itu luluh-­lantak, puluhan ribu orang tewas, hilang, atau hidup tak bertempat tinggal. ”Kami tinggal di kemah,” perempuan muda pemilik­wa­rung­ itu bercerita. Rumahnya lenyap, tapi tak ada keluarganya yang te­ was. Ia berpakaian rapi, dengan perhiasan sekadarnya, menandai bahwa ia bukan bagian dari mereka yang hancur total. Tapi ia bisa mengisahkan penderitaan tetangga dan ke­luarga­yang kematian. Dengan budi bahasa yang halus, ia mengatakan bahwa me­re­­ Catatan Pinggir 7



373



http://facebook.com/indonesiapustaka



MEMBERI



ka yang jadi korban memang menderita, tapi tabah, karena me­re­ ka tak menderita sendirian. Begitu banyak orang mati. Ia ber­ceri­ ta tentang camat kotanya yang terus-menerus me­nemani­ peng­­ ungsi, bahkan ikut tidur dan makan bersama di kemah. Ia me­ nyebut tentang begitu banyaknya bantuan yang datang dari pel­ ba­gai tempat lain di Indonesia, dari banyak penjuru dunia. Se­mua itu sampai ke kami, katanya. Bahkan berlebihan, sehingga bantuan pakaian yang sudah rusak terpaksa kami bakar. Kami ba­ kar diam-diam, agar mereka yang sudah mengirim dan memba­ wanya kemari tak tersinggung. Sandra terdiam dan berbisik, mungkin terkesima: ”Dalam keadaan yang berat, ia masih memikirkan perasaan orang lain....” Saya memandang ke jalanan. Apa arti ”orang lain”, pada saat seperti ini? Sebuah sepeda motor gandeng yang sudah tua bercat putih dengan huruf UN datang tersengal-sengal masuk ke landasan. Sebuah mobil pickup dengan logo sebuah organi­sasi dari Republik Cek menyusul. Apa arti orang lain itu, apa gerangan Aceh bagi mereka, dan apa arti mereka bagi Aceh? Apa arti geografi dan sejarah, juga makna tapal batas—sesuatu rekaan yang begitu sering diperebutkan dan dibanggakan? Saya mendengarkan tutur pemilik warung itu dan tiba-tiba merasa: hidup bisa sangat berbeda, jika pusat dunia tidak ada lagi. Kita tahu ”pusat” itu biasanya dilekatkan dengan tapal batas yang sempit di dekat diri sendiri. Dan saat itu rasanya tapal batas dan pusat raib, dan ruang yang ”soliter” pun digantikan oleh yang ”so­ lider”. Dunia jadi ramah. Bahkan yang menderita ingin menjaga­ perasaan orang yang tak menderita, sebagaimana juga sebaliknya. Ada yang agak ajaib di sini: ternyata beberapa saat lamanya di Aceh, ekonomi bisa berhenti. Ekonomi: sebuah proses yang bertolak bukan saja dari ke­lang­ kaan, tapi juga dari pertukaran, daur ”mengambil-menerima”. 374



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



MEMBERI



Pasar membuat prosedurnya. Di sana pusat hadir­dalam bentuk pamrih. Kepentingan diri dianggap patut. Hu­bungan berlangsung seperti kontrak. Tapi mungkinkah itu segala-galanya? Kontrak mengandung­ asumsi bahwa yang-lain akan menerima yang-seimbang. Tapi hal itu tak akan pernah terjadi. Sebab akan selalu ada benda-benda yang tak bisa dipindahtangankan—jimat, pusaka, kenangan, harapan, yang terkadang tersemat dalam benda-benda.­ Marx mungkin akan menyebutnya lebih mendasar: tiap benda tak ha­ nya­punya nilai-tukar. Pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain, agar­manusia bisa kembali menikmati hidup bukan sebagai ko­modi­tas belaka. Tapi kini pasar menang, dan cita-cita untuk­menggantikan ruang yang ”soliter” dengan yang ”solider” di­sisih­kan bagaikan barang yang apak dan lapuk. Memang ia tampak lapuk. Ia cita-cita yang lama. Ber­abad-­ abad manusia telah mendengar petuah kebajikan ini: ”jika ta­ ngan­kananmu memberi, jangan sampai tangan kirimu­me­nge­ tahuinya”. Lebih tua lagi Jainisme dan cerita tentang­sang rahib yang menghilang begitu ia menerima amal (atau ”dan”) di depan pendermanya. Sebab amal akan hilang maknanya­ sebagai amal bila hal itu membuat si pemberi tergoda oleh perasa­an mulia. Derma juga akan hilang maknanya sebagai keikhlasan bila si penerima dibebani utang budi. Tak ada resiprositas yang harus kelak dilakukan. Waktu harus seakan-akan tak ada. Tapi betapa penuh paradoks semua itu: si pemberi harus merasa mampu melepaskan sesuatu dari dirinya, tapi pada saat yang sama ia harus memandang ”sesuatu dari dirinya” itu bagian sebuah konsep yang tak ada artinya—konsep ”milik”. Ia juga harus ikhlas untuk tak menerima balasan, tapi agar tak direndahkan, si penerima harus punya kesempatan untuk membalas dengan se­ su­atu yang baginya bernilai. Catatan Pinggir 7



375



MEMBERI



”Memberi” akhirnya berlangsung sebagai sebuah enigma. Ia seperti sesuatu yang mustahil, tapi betapa besar artinya. Setidak­ nya di kedai itu saya tahu, bahwa dunia bisa tetap ramah, dalam kesedihan, dengan kesedihan. Memberi berarti saling memberi, menerima berarti saling menerima, dan tolong-menolong adalah sebuah parodi bagi proses yang digerakkan oleh pasar. Parodi—sebuah selingan yang sehat, bukan? Tak jauh dari kedai itu ada sebuah kedai kopi lain, lebih sederhana, setengah ditutup oleh robekan tenda Unicef. Seseorang telah menggantungkan sebuah papan nama di salah satu tiang bambunya: ”Warkop Starbucks”.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 27 Maret 2005



376



Catatan Pinggir 7



AMINA



http://facebook.com/indonesiapustaka



S



EBUAH persoalan yang pelik: bagaimana seorang muslimat akan bersikap terhadap ayat Quran yang mengizin­ kan­suami memukul istrinya? Tanggal 18 Februari 2005, di Noor Cultural Centre di Toronto, Kanada, Amina Wadud berbicara tentang ”Qur’an, Perempuan, dan Kemungkinan-kemungkinan Tafsir”. Dan guru besar studi Islam di Virginia Commonwealth University itu menjawab: ada empat sikap yang bisa diambil. Pertama: menafsirkannya secara harfiah. Kedua: membacanya­ dengan disertai pedoman legalistis yang membatasi cara ayat itu ditafsirkan. Ketiga: menafsir kembali berdasarkan pandangan alternatif. Dan keempat: berkata ”tidak” kepada ayat Quran itu. Amina tak menafikan kemungkinan seorang yang beriman akan berkata ”tidak” kepada ayat itu. Jika ia jujur, ia sendiri akan menolak untuk rela bila seorang suami diberi hak untuk memukul istrinya. Katakanlah sang suami memukul karena si istri bersalah. Tapi bagaimana menentukan ”bersalah”? Jika posisi lakilaki begitu tinggi, maka sang suamilah yang berhak jadi jaksa, hakim, dan sekaligus pelaksana hukuman. Dan si istri berdiri tanpa pembela, tanpa hak naik banding. Amina merasa itu tak adil. Tapi jika ia mengatakan ”tidak” kepada ayat itu, begitulah ia berkata, tak berarti ia menampik Tuhan dan wahyu-Nya. ”Justru Quran-lah,” kata Amina Wadud, ”yang memberi saya jalan untuk mengatakan tidak kepada Quran.” Mungkinkah? Seorang yang berkata ”tidak” kepada satu ayat Quran tapi sementara itu menyatakan tak menampik Allah dan wahyu-Nya? Ruangan itu penuh. Sekitar 300 orang mendengarkan. BeCatatan Pinggir 7



377



http://facebook.com/indonesiapustaka



AMINA



gitu Amina Wadud selesai berbicara, seseorang minta ke­sempat­ an­membantah. Ia menuduh Amina tak bisa berbahasa­Arab dan hanya mengerti satu surah saja dalam Quran. Se­orang lain berpidato bahwa Amina tak memahami Islam. Tapi ada yang meng­ akui ceramah Amina justru membebaskannya: ”Sangat bagus jika kita bisa hidup dengan penjelasan harfiah dan legalistis. Saya tak bisa. Amina juga tak bisa, bukan karena ingin berbuat tak pa­ tut, tapi karena ingin mencoba jadi makhluk moral yang benar dan pelaksana amanat Allah.” Dari celah-celah hadirin seorang berteriak, ”Agen CIA!” Amina Wadud datang dari keluarga Kristen yang taat— ayahnya seorang pendeta—dan masuk Islam di tahun 1970-an, di masa gelombang kedua gerakan feminisme Amerika. Perempuan Afro-Amerika ini mempelajari agama di Universitas AlAzhar. Ia juga pernah tinggal di Libya. ”Saya seorang nigger,” katanya. Memakai jilbab, ia tampak seperti seorang perempuan dari Asia Selatan. Tapi jika tampak­rambutnya yang keriting, orang akan tahu ia seorang hitam. Orang akan bersikap lain. Di Toronto hari itu seseorang meng­akui: ”Jika ada laki-laki kulit putih yang masuk Islam, kita akan segera memintanya untuk jadi imam dalam salat. Jika yang masuk Islam seorang perempuan hitam, kita akan memintanya untuk meng­ urus­anak-anak.” ”Saya seorang nigger,” kata Amina, suaranya bergetar. Ia bercerita kenapa ia begitu peka akan diskriminasi. Seorang ”nigger” dan sekaligus seorang perempuan di Amerika adalah seseorang yang membawa sejarah penindasan lebih dari dua abad. Amina menemukan dalam Islam sebuah harapan bahwa tak akan ada diskriminasi di lingkungan ini. Sejak mula, peng­anut Islam tak hanya terdiri atas satu kelompok etnis. Seorang pemeluk awal adalah Bilal, seorang hitam yang jadi tauladan. Adapun terhadap perempuan.... 378



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



AMINA



”Jelas bagi saya,” kata Amina suatu ketika, ”Quran bertuju­ an menghilangkan semua pengertian tentang perempuan seba­ gai subhuman, belum-manusia.” Quran tak bercerita bahwa wa­ nita diciptakan buat Adam untuk jadi pembantu, setelah hewanhewan tak ada yang cocok untuk peran itu—seperti disebutkan dalam Perjanjian Lama (Kejadian 2: 19-20): Sejak mula, kata Amina, ”semua hal diciptakan berpasang-pasang­an,” seperti kata Quran (51:49). Begitu nafs proto-manusia dijadikan, ia sudah ada sandingannya (zawj) sebagai bagian dari desain Allah. Maka ketika Adam bersalah memakan buah terlarang, Quran tak ha­nya­ menyalahkan Hawa. Tapi itu tafsir Amina Wadud, bukan? Bukankah dalam Quran juga sering disebut bahwa wanita tak setara dengan pria? Betul, jawabnya. Tapi ia percaya Tuhan adil, dan Quran cerminan sifat adil itu. Amina Wadud seakan-akan menggemakan lagi suara Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam, theolog dari Basra di abad ke-9: ”Tuhan, pintu keadilan, tak boleh digambarkan seba­ gai yang punya kuasa untuk bertindak tak adil.” Tapi salahkah Amina? Tiap tafsir selalu terbatas, mungkin subyektif, mungkin keliru, tapi tiap pembacaan (juga yang harfiah) tak ada yang ”murni”, bagian dari pergulatan untuk memahami Tuhan dengan keterbatasan manusia. Suatu saat konsensus mungkin terbentuk di antara para mujtahid dan dengan umat. Tapi seperti dipersoalkan Ibnu Rushd di abad ke-12, bagaimana­ konsensus atau ijma’ tentang hal-hal yang teoretis akan sampai kepada kepastian final? Agar sampai ke situ, kita harus tahu opini­ semua ulama yang memenuhi syarat, dan membuat mereka mufakat, juga tentang hal-ihwal yang esoteris.­ Itu mustahil. Tiap ijma’ hanyalah sebuah ikhtiar. Tapi kemustahilan itulah yang tak diakui. Ada orang-orang yang gampang mengamini sebuah tasfir dan mengkafirkan tafsir yang lain. Konon dalam bukunya, Al-Kashf ‘an Manahij al-Adilla Catatan Pinggir 7



379



AMINA



fi ‘Aqaid al-Milla, Ibnu Rushd menyebut itulah perilaku sebagian theolog: mereka memonopoli akses kepada kebenaran dan me­ ngu­tuk ”siapa saja yang tak setuju kepada mereka sebagai bid’ah atau kafir yang hak milik dan darahnya sah untuk dirampas”. Darah Amina Wadud mungkin juga akan terampas—jika kita percaya media di Amerika—setelah ia jadi imam salat Jumat­ di New York 18 Maret 2005. Tapi ia tak risau.... ”Saya lebih­menjaga kemurnian niat saya,” katanya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 3 April 2005



380



Catatan Pinggir 7



BANDUNG



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



I bawah celah di antara rimbun pohon-pohon hutan di Ohio, wanita tua itu memimpin pertemuan para bekas budak. Ia namai pertemuan itu ”Call”. Ia tak berkhotbah. Baby Suggs hanya berkata, ”Di tempat ini, di sini, kita da­ ging,­ daging yang nangis, ketawa; daging yang menari dengan kaki telanjang pada rumput.” Jika ada yang magis dalam novel Toni Morrison, Beloved, ialah­ karena ia mengingatkan kita akan arti ”daging”—daging yang pernah dirantai perbudakan, dicap seperti ternak, dan dihina­ dalam apartheid. Daging ”negro”. ”Jadi seorang negro di Amerika berarti mencoba senyum ketika kita ingin menangis. Berarti mencoba pegangi hidup jasmani di tengah jiwa yang mati. Berarti menyaksikan anak kita tumbuh dengan mendung rasa rendah diri meliputi langit mental mereka. Berarti melihat kaki kita dipotong dan kita dihukum karena tak bisa jalan.” Kalimat Martin Luther King Jr. pada tahun 1960-an itu mung­kin bergema ketika Morrison menulis novelnya yang terbit pada 1987 itu: kisah tentang sebuah rumah yang disebut hanya dari nomornya, ”124”, tentang Beloved, si hantu dari masa silam, tentang Sethe yang membunuh anak sendiri, dan tentang Baby Suggs yang berharap. Di ”Call” di hutan itu, Baby Suggs seakan-akan ingin me­mu­ lihkan kaki negro yang telah ”dipotong”, kaki yang tak bisa lagi menari dan merasakan asyiknya keleluasaan. Tapi akhirnya ia juga tak berdaya. Pada suatu hari Sethe, anak tirinya, datang ke ”124”. Perempuan itu lari dari tuannya,­pemiliknya. Ia telah memutuskan: lebih baik ia dan keempat­anaknya mati ketimbang jadi budak. Ketika sang pemilik datang membuCatatan Pinggir 7



381



http://facebook.com/indonesiapustaka



BANDUNG



runya, ia pun membunuh si upik—tapi gagal menghabisi nyawa yang lain, gagal juga bunuh diri. Apa yang bisa dilakukan? Baby Suggs pun menyerah. Ia merebahkan tubuhnya dan berkata: akhirnya si negro harus menanggungkan apa saja yang dilakukan si putih. Tapi tak semua menyerah. Sementara di Amerika orang hi­ tam­­ditindas sampai ke tengah abad ke-20, di benua lain jutaan­ orang dengan pelbagai warna kulit tak mau menolak untuk dise­ kap dalam koloni ”orang putih”. Sejak awal abad ke-20 me­reka membentuk kekuatan. Juga dengan senjata. Mereka disebut ”Asia-Afrika”. Tak ayal, orang hitam di Amerika pun melihat ”Asia-Afrika”­­ sebagai obor. Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada bulan April 1955 segera jadi bagian dari cerita mereka. Maka datanglah ke Indonesia Richard Wright, penulis novel Native Son yang terkenal itu, kisah tentang si Bigger Thomson yang terjepit di kehi­ dupan ”putih” Amerika dan jadi pembunuh. Dari Bandung ia menulis sebuah ”kronik” konferensi bangsa-bangsa yang tak mau terjepit, The Color Curtain. Buku itu terbit pada tahun 1956. Sayang tak mengesankan. Tapi Bandung tetap bergaung. Dengarkan suara Malcolm X, November 1963, di Detroit. ”Di Bandung semua bangsa datang.... Hitam, sawo matang, me­rah, atau kuning.... Nomor satu yang tak mereka izinkan datang ke konferensi Bandung adalah orang putih.... Sekali me­re­ ka keluarkan orang putih, mereka tahu mereka dapat bersatu....” ”Bandung” ternyata punya banyak arti. Para pemimpin Asia (Sukarno dan Nehru) melihatnya sebagai usaha mengatasi­ ke­ te­gangan militer antara Uni Soviet dan Amerika Serikat yang meng­ancam seantero bumi. Bagi mereka Konferensi A-A itu le­ bih­­ merupakan suara perdamaian ketimbang pekik pedih ras yang tertindas. 382



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



BANDUNG



Tapi bila bagi mereka ”Bandung” adalah kecaman atas dunia­ yang terbelah, bagi Malcolm X ”Bandung” justru pe­ngukuh­an sebuah dunia yang terbelah. Waktu itu ia memimpin gerakan orang hitam yang ingin memisahkan diri dari Amerika yang putih. Suaranya memang getir. Ketika ia ber­umur­enam tahun, bapaknya, seorang pendeta Baptis, dibunuh setelah menerima surat ancaman dari Ku Klux Klan, dan ibunya terguncang jiwanya.­ Malcolm kecil dan tujuh saudaranya telantar. ”Semua orang neg­ ro marah,” katanya, ”dan saya yang paling marah.” Marah punya daya tersendiri. Marah bisa seperti Beloved, hantu dari masa lalu, roh si upik yang terbunuh, wakil 16 juta bu­dak yang mati di sebuah ”holocaust” yang tak pernah disebut­ ”holocaust”. Marah bisa membuat sejarah. Dan bila bagi si kulit hitam sejarah itu tak ditandai oleh ”Bandung” sebagai­ panggil­ an­ perdamaian, itu karena tak jelas apa akhirnya: mungkinkah nanti ada sintesis antara si ”hitam” dan si ”putih”, seperti sin­tesis­ dalam bentuk masyarakat tanpa kelas menurut teori Marxis tentang sejarah perjuangan buruh? Bagi Franz Fanon, jawabnya muram. Pada suatu hari di satu sudut Paris, seorang anak berteriak ke arahnya, ”Lihat, ia­ neg­ ro!”. Saat itu ia sadar bahwa ia, si negro, mendapatkan kerangka­ makna dirinya melalui ”tatapan” orang lain, sebuah kerangka yang ”sudah siap, telah ada sebelumnya, menunggu” dan mudah dipakai bahkan oleh anak-anak. Makna itu telah dipatri di warna kulitnya. Ia ”negro”, titik. Seakan ke-”negro”-an adalah sesuatu yang kekal, tak di­pe­ ngaruhi­sejarah. Tapi Fanon sendiri sadar, dalam perjalanan, di dunia, ”Aku tak henti-hentinya menciptakan diriku sendiri.”­Bukan untuk mengingkari identitas, tapi karena identitas diri mustahil jadi jerat, atau sebaliknya, jadi berhala yang di­sembah­dan tak berubah. Bahkan Malcolm X berubah. Pada tahun 1964 ia ke Me­kah.­ Catatan Pinggir 7



383



BANDUNG



Ia baca Quran dan sadar bahwa manusia, juga dalam marahnya, tetap manusia yang terbatas, dan sebab itu harus adil, juga kepada musuh. Sebab manusia bukan sebuah definisi. Manusia adalah ”daging yang nangis, ketawa”, makhluk yang konkret, yang bisa berbahagia sesaat tapi juga bisa meng­atasi­benci, bisa bercita-cita tapi juga, seperti ia sendiri, Malcolm X, bisa dibunuh. Manusia seperti itulah yang merasa diwakili di Bandung: kombinasi antara hantu dari zaman yang zalim dan sikap gagah ke masa depan, gerakan yang gentar tapi penuh harap. Tentang ”Call” pada bulan April 1955 itulah Wright dalam The Color Cur­ tain menulis: ”Yang dinistakan, yang dihina, yang dilukai, yang dihilangkan haknya... berkumpul di sini.”



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 10 April 2005



384



Catatan Pinggir 7



VATIKAN —untuk Cak Nur



http://facebook.com/indonesiapustaka



P



ADA suatu hari, kata orang, Stalin bertanya: ”Berapa ba­ talion, sih, Vatikan punya?” Di negeri itu, kita tahu, ha­ nya­­ada beberapa ratus orang Corpo della Garda Svizzera yang bertugas sebagai penjaga Paus. Vatikan cuma 44 hektare, lebih­ sempit dibanding The Mall di Washington DC; anggar­ an­tahunannya sekitar 500 juta dolar, hanya 25 persen dari bujet Universitas Harvard. Tapi di sana duduk seorang tua yang ketika pekan lalu wafat dan dimakamkan, sekitar 200 pembesar tinggi dunia datang untuk berkabung dan memberi hormat. Abad modern memang tak pernah kehabisan paradoks—dan agaknya inilah yang dilihat Stalin. Kita tahu Vatikan dengan­ gampang akan dimusnahkan oleh sembarang negeri dengan­pasukan berpuluh-puluh divisi, tapi ternyata negeri-negeri­yang besar bahkan tetap perlu bermanis-manis dengan takhta yang ringkih itu. Kini, ketika Amerika Serikat ingin mempraktekkan kembali asas Hobbesian—bahwa ”tiap orang diharapkan berjanji patuh kepada yang punya kekuasaan untuk menyelamatkan atau menghancurkan”—Gedung Putih­masih merasa perlu menyapa Paus yang tak akan bisa me­runtuh­kan siapa pun. Vatikan adalah sebuah interupsi. Berabad-abad sejarah diba­ ngun­ oleh konflik, dan sebagaimana perang saudara Ing­gris di abad ke-17 mengilhami Thomas Hobbes, konflik itu menunjukkan bahwa hidup sering merupakan padang per­buru­an yang brutal. Kekuatan dan kekerasan (bukan niat baik)­adalah yang membentuk dunia. Tujuan hanya jadi pen­ting­bila dihubungkan dengan kemenangan dan kejayaan, dan kebenar­an berpangkal di Catatan Pinggir 7



385



http://facebook.com/indonesiapustaka



VATIKAN



situ. Dari masa seperti ini sarkasme Voltaire bergaung: ”Kata orang, Tuhan selalu berpihak pada batalion-batalion terbesar.” Tapi itu ”kata orang”. Dalam prakteknya, apalagi di hari ini, tak pernah ada kesepakatan di mana Tuhan berpihak. Maka selalu ada kebutuhan untuk memberi makna kepada ”batalionbatalion terbesar”, dan tak cuma memberi mereka rencana keme­ nangan. La politique—pergulatan untuk kejaya­an satu pihak— pada akhirnya juga le politique, pergulatan untuk mengisi apa yang kurang dari kejayaan itu. Yang kurang adalah ”pembenaran”—hingga sebuah tin­dak­­­ an­politik dapat diterima semua pihak untuk waktu yang se­dapatdapatnya tak terbatas. Yang kurang adalah sesuatu yang ”transendental”. Kita hidup di masa ketika siapa saja yang bersengketa, mau tak mau, harus mengajukan argumen. Segera atau berangsur-angsur orang tahu bahwa apa yang ”adil” dan ”lalim” tak bisa serta-merta di­putuskan sepihak dengan kekerasan. Maka ketika­tak ada hakim di pusat yang pasti yang akan memutuskan perkara ini, dan yang ada hanyalah hegemoni sebuah citra­atau ide yang tak mutlak dan tak lengkap, orang pun terus-menerus haus akan simbolsimbol ”pembenaran”. Vatikan, yang bukan pusat, adalah satu indikator kebutuhan­ itu, rasa kekurangan yang juga dirasakan oleh negeri mana saja yang hanya punya bujet dan bedil. Takhta Suci itu tak sempurna—bahkan ada yang menganggapnya tak suci benar—tapi setidaknya ia sebuah isyarat, bahwa dunia yang dibayangkan Hobbes tak sepenuhnya cocok dengan kehidupan. Dalam kehidupan, yang lemah ternyata bisa punya proteksi dan kesetiaan sendiri. Justru ketika Sri Paus dan aparatnya tak lagi menguasai tanah dan takhta seperti di Abad Pertengahan Ero­pa, dan tak lagi ter­ li­bat perang dan penindasan, ia bisa lebih meyakinkan sebagai lambang ”kerajaan yang lain”. 386



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



VATIKAN



Ia hadir dengan nilai lebih karena ia dianggap bukan ”ke­raja­ an dunia” yang tak henti-hentinya terpaut oleh kepenting­an yang sepihak dalam percaturan pamrih dan kekerasan. Bukankah Yesus menampik kerajaan macam itu ketika Iblis menawarkannya dalam ujian di padang gurun—dan sejak­itu manusia tahu bah­ wa­ kalaupun yang ”transendental” mustahil­ akan datang hari ini, ”kerajaan yang lain” itu akan selalu mengimbau, akan selalu mengingatkan apa yang kurang dari la politique? Itulah sebenarnya yang dapat ditawarkan bukan saja oleh Vatikan, tapi oleh tiap agama: menghadirkan imbauan dari ”kerajaan yang lain”. Tapi betapa sulitnya. Agama telah jadi kelompok, dan kelompok jadi kubu, dan tembok didirikan, juga pintu yang tertutup. Tak mengherankan bila ada keraguan, di manakah yang tran­ sendental­dalam peta semacam itu? Bagaimanakah sebuah agama dapat mencerminkan apa yang agung dari Tuhan selama agama itu terlibat dalam perebutan kaveling di dunia? Pertanyaan seperti itu kian deras, sebab kian terasa pula ku­ rangnya sumber-sumber ”pembenaran” yang bisa diterima­semua pihak di dunia sekarang. Mungkin itu sebabnya, di satu sisi kita takut melihat menyempitnya pandangan agama-agama, di lain sisi kita hidup dalam ketika Tuhan, sumber pembenaran yang uni­versal, dirindukan kembali—sebuah masa ”pasca-sekuler”. Maka, dengan susah payah agama-agama pun mulai me­re­ nung­kan posisi masing-masing: mungkinkah yang universal­se­ penuhnya diwakili hanya oleh satu sistem dan tradisi ke­per­ca­ya­­ an yang partikular, yang tak jarang punya sejarah yang penuh darah dan ketakaburan? Dalam perenungan kembali ini, saya akan selalu teringat Nurcholish Madjid: ia berada di garis depan, tapi ia juga ber­ada di se­ buah tradisi yang dimulai ketika orang Islam pertama mendengar Quran dan diingatkan bahwa banyak nabi yang dikirim Tuhan Catatan Pinggir 7



387



VATIKAN



ke bumi, dengan aturan dan jalan masing-masing. Seandai­nya Tuhan menghendaki, bukankah Ia akan mampu membuat manusia sebuah bangsa yang satu? Dengan kata lain, mereka mende­ ngar sebuah pesan, bahwa yang universal justru hadir tak da­lam bentuk sebuah pusat yang tunggal, tapi di mana saja ia tampak jelas sebagai yang universal. Pekan lalu, dalam perkabungan untuk Paus Yohanes Paulus II, Vatikan adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang memenuhi harapan itu. Ke sana datang Ayatullah Khatami­dari Iran, ke sana datang pula George W. Bush dari Amerika, Presiden Israel, Perdana Menteri Palestina....



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 17 April 2005



388



Catatan Pinggir 7



MAGDA



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



ENGAN tenang, dengan hati tetap, Magda Goebbels memasukkan kapsul racun ke mulut keenam anaknya, satu demi satu. Jika perasaannya terguncang, itu tak tampak­ di wajahnya yang cantik dan keras. Begitu anak-anak itu me­lepas­kan nyawa, ibu itu mencium pipi mereka, memati­kan lampu kamar, dan menutup pintu, melangkah ke luar. Sejenak­ia terenyak jongkok. Hanya sejenak. Segera ia kembali ke kamar­ nya, duduk bermain soliter dengan kartu, seraya­menunggu­suaminya bersiap mengenakan pakaian seragam petinggi Partai­Na­ zi. Lalu mereka berdua keluar dari bungker­ persembunyian. Di halaman yang suram oleh akhir musim dingin dan perang yang kalah, Josef Goebbels mencabut pistol­dari holster di pinggangnya. Ditembaknya Magda. Perempuan itu roboh. Lalu sang suami meledakkan peluru ke pelipisnya sendiri. Der Untergang karya Oliver Hirshbiegel mungkin akan dikenang sebagai sebuah film sejarah yang impresif (meskipun­ secara sinematik tak istimewa) dari seorang sutradara Jerman tentang hari-hari terakhir Hitler yang terpojok menjelang Mei 1945. Tapi, bagi saya, yang akan lama terkenang adalah yang dilakukan Magda dalam adegan di atas: sebuah kebrutalan dengan ga­ ya yang anggun, sebuah keyakinan yang berapi-api yang justru membekukan hati, sebuah penampilan harga diri yang menakutkan.... Apa sebenarnya yang terjadi? Sejarah memang mencatat, Hitler bersama para pendukungnya yang setia, termasuk Goeb­bels, bertahan di sebuah bungker ketika tentara Soviet­me­ring­sek­­maju memasuki Berlin. Bom nyaris tak putus-putus­nya menghantam kota yang lelah dan mencoba tak menyerah itu. Gedung dan manusia hancur. Semua usaha per­tahan­an Jerman­bobol, semua renCatatan Pinggir 7



389



http://facebook.com/indonesiapustaka



MAGDA



cana, harapan dan fantasi patah. Tapi Hitler menolak untuk meninggalkan ibu kotanya. Bersama Eva Braun, kekasih yang baru dinikahinya di hari-hari akhir dalam bungker itu, ia membunuh dirinya dengan racun dan sebutir peluru. Josef dan Magda Goe­ bbels­mengikuti­tauladan itu. Kita tak akan pernah tahu persis apa yang mendorong orangorang ini berbuat demikian. Film Der Untergang tak mencoba menyimpulkan. Mungkin Hitler, yang naik ke pentas sejarah dengan bayangan keagungan, ingin eksit dengan bayangan yang sama. Bukankah ia telah mendirikan Reich Ketiga seraya menaklukkan hampir seluruh Eropa, seperti Iskandar Yang Agung dan Napoleon menaklukkan bentangan bumi yang luas? Haruskah ia lari terbirit-birit meninggalkan Berlin? Suatu saat Albert Speer, arsitek kepercayaannya, berkata kepadanya, ”Jika layar turun, Tuan harus hadir di tempat, bukan?” Layar memang segera turun, tapi lakon belum selesai. Di tiap akhir pementasan, ada babak yang menentukan yang tak dapat di­rancang: tepuk tangan kagum atau teriakan cemooh para penonton. Tentu saja, sang Führer ingin memilih yang pertama. Mungkin demikian pula semua mereka yang berada di bungker­ dan pada hari terakhir Reich Ketiga itu, juga Magda dan Josef Goebbels. Mereka mungkin ingin sebuah adegan final yang akan mendapatkan aplaus, ingin memberikan kesan terakhir yang tak hina, dengan kebanggaan diri tertentu. Bila benar demikian, apa yang dilakukan Magda adalah mo­ del­sebuah narsisisme, tapi narsisisme dalam destruksi dan kematian, sebuah ambisi estetis dalam heroisme yang gelap: Eva Braun dan Goebbels berkaca sebelum mereka membunuh diri. Dari film Der Untergang, bungker Hitler hadir sebagai tempat yang ter­kepung, dengan rasa putus asa di sana-sini, tapi praktis tanpa­ ketakutan. Tak tersirat bahwa Hitler dan Goebbels menghabisi­ nyawa sendiri lantaran takut akan pembalas­an; tahu mereka te­ 390



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



MAGDA



lah menjajah seluruh Eropa, membunuhi lawan politik, mengelola sebuah sistem pembasmian orang Yahudi dengan cara yang keji.... Tentu, dalam film ini Hitler tak tampak sebagai Leonidas, raja Sparta yang bertahan sampai mati bersama 1.400 orangnya menghadapi musuh di celah Thermopylae. Diperankan oleh aktor Burno Ganz, dalam Der Untergang, Hitler berwajah kendur dan letih, satu tangannya gemetar, jalannya pelan dan bungkuk, pikirannya penuh ilusi, teriak marahnya tak mengguntur. Goe­ bbels­tampak dengan raut muka pipih dan mata seorang psikopat yang suka omong besar—meskipun menurut catatan sejarah, ia sebenarnya cerdas dengan selera kebudayaan yang canggih, di samping pintar dusta secara memikat. Bagaimanapun, mereka tak seperti Saddam Hussein berpuluh­ tahun kemudian yang lari, ditinggalkan para pengawal­nya, dan tak berani melawan bahkan dengan cara membunuh diri. Dalam heroisme mereka yang gelap, ada yang indah, dan yang indah itu membuat batas jadi kacau antara yang ”keji” dan yang ”mulia”. Magda membunuh anak-anaknya sendiri dengan keyakinan yang dikutip Der Untergang: tanpa Nasional­isme dan Sosialisme, baginya tak ada masa depan yang berharga dijalani. Kita tak diberi tahu bagaimana gerangan ”masa depan” itu; yang kita tahu: begitu kuat iman ibu itu, hingga ia rela mengorbankan yang dicintainya untuk sebuah kewajiban.... Nah, apa yang membedakan keyakinan Magda dengan iman Ibrahim yang rela menyembelih putranya sendiri di bukit Moriah? Apa pula beda Magda yang Nazi dari para militan Revolusi­ Kebudayaan Cina? Nyonya Goebbels bisa menangkis cemo­oh seorang Maois seperti Alain Badiou, yang memandang Revo­lusi Nazi hanya sebuah simulacrum dari revolusi sosialis di Rusia. Di bungker itu, pengorbanan Magda justru tanda dari yang ”kese­ tiaan” kepada sang ”peristiwa”, penerusan dari suatu momen Catatan Pinggir 7



391



MAGDA



yang menggugah dan mengguncangkan dunia, dan itu bagi Hitler dan suami-istri Goebbels adalah revolusi Nazi. Tentu, mana yang ”keji”, mana yang ”mulia” tetap tak ter­ ja­wab.­ Tapi jangan-jangan memang bukan itu persoalannya. Jangan-­jangan, yang penting adalah bagaimana untuk tak ter­ke­ si­ma pada Magda atau Mao, tak terpukau pada yang luar biasa,­ pada rupture dari hidup sehari-hari—sebab yang sehari-hari juga bagian dari perjalanan kearifan yang belum letih.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 24 April 2005



392



Catatan Pinggir 7



TAKUT



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



UNIA bertambah ketakutan: dunia bertambah konservatif. Di Roma, dinding-dinding masih menampakkan sisa-sisa poster Paus Yohanes Paulus II yang baru mangkat, yang membawakan kata-katanya yang terkenal, ”Jangan­takut.” Tapi kalimat itu akan segera tenggelam, mungkin terhapus. Kini, di atas takhta yang mewakili posisi yang 2.000 tahun lebih umurnya itu, penggantinya, Benediktus XVI, paus yang ke-265, adalah seorang pembesar agama yang memperingat­kan: ”Kita bergerak ke arah kediktatoran relativisme.” Ia cemas. Ia khawatir bila kini manusia ”tak mengenal apa yang pasti dan hanya membiarkan ego serta hasrat sendiri seba­gai ukuran terakhir”. Harus saya tambahkan di sini: suaranya bukan satu-satunya­ yang menyatakan rasa waswas. Para pemimpin agama, yang selalu punya kecenderungan untuk jadi penyusun rasa takut, kini memang risau menyaksikan perubahan yang semakin lama semakin cepat dan semakin beraneka ragam. Tak adakah gerangan yang akan bertahan tinggal, yang layak dirawat dan dibiarkan­ les­tari? Adakah kini dan nanti ukuran yang mantap untuk kehi­ dupan bersama? Tak ada lagikah yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan? Pertanyaan itu mencerminkan sebuah frustrasi, tapi se­benar­ nya menunjukkan bahwa ternyata ada yang tak lekang dan tak lapuk, yang bertahan dalam riwayat manusia—dan itu adalah rasa takut akan nihilisme. Ia tak hanya muncul pada awal abad ke-21. Ia tak hanya datang dari Benediktus XVI. Syahdan, pada suatu pagi, seorang datang ke sebuah tempat­ orang ramai bertemu. Ia mengumumkan: ”Tuhan telah mati.­ Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.” Si pem­bawa­ Catatan Pinggir 7



393



http://facebook.com/indonesiapustaka



TAKUT



kabar, tentu saja dianggap ”gila”, membawa sebuah lentera­yang bernyala. Ia tahu, ”kematian Tuhan” mau tak mau menimbul­kan pertanyaan yang mengusik, dalam kegelapan yang semesta,­ketika seakan-akan bumi telah dilepaskan rantai pengikatnya dari matahari. Adegan di atas tentu saja saya ambil dari Nietzsche, persisnya dari Ilmu Ceria (Die fröhliche Wissenschaft) yang terbit pada tahun 1882. Bagi Nietzsche, kematian Tuhan yang dikabarkan oleh orang ”gila” itu adalah sebuah kejadian dahsyat: akan hancur arah, terguncang ukuran, jungkir-balik nilai-nilai. ”Ke manakah kini ia bergerak? Ke manakah kita bergerak? Menjauh dari semua surya? Tidakkah kita tengah hanyut seakan-akan melalui ketiadaan yang tanpa batas?” Kita bayangkan rasa takut akan nihilisme di wajah si pem­bawa­ lentera, tapi ia tak marah. Ia menerima kenyataan­ini: orang akan selalu menghendaki adanya sumber yang tunggal­dan kekal, tapi akan selalu gagal menemukannya. Setelah Buddha­tak ada lagi, tulis Nietzsche, ”Bayang-bayangnya ma­sih­diperlihatkan selama berabad-abad di sebuah gua.” Setelah Tuhan mati, katanya pula, hal yang sama akan terjadi. Nietzsche mengatakan bahwa ”kita masih harus menaklukkan­ bayang-bayang itu”, dan pada hemat saya itu berarti bah­wa manusia tak bisa membiarkan diri teperdaya oleh ”bayang-bayang”.­ Ia harus mencari, menemukan—dan sebab itu si pembawa kabar di atas memegangi sebuah lentera yang bernyala:­ia tak menyerah. Ia siap berjalan dalam gelap. Dengan demikian ia sebenarnya berangkat dari nol, terbang­ dengan kemerdekaan yang penuh, justru karena tak ada menara­ kontrol, tak ada juga pangkalan untuk kembali, bahkan tak ada pelabuhan yang sudah dirancang pasti akan dimasuki. Yang umumnya dicemaskan ialah kemungkinan manusia­ akan tak mampu menggunakan kemerdekaan itu. Kemer­de­ka­an 394



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



TAKUT



akan melahirkan kekacauan, atau ”relativisme”, anggap­an bahwa­ segala aturan bersifat serba nisbi. Para penguasa agama marah dan sedih bila tak ada lagi pengakuan akan ada­nya tradisi dan akidah. Lihat, kata mereka, itu menara kontrol, itu pangkalan tempat berangkat dan itu tempat datang! Kecemasan seperti ini sebenarnya tak mengakui adanya kemerdekaan—dan di situlah salahnya. Kemerdekaan adalah momen di tengah gurun: tak ada ram­ bu, perbatasan yang dijaga, bendera yang ditaati, kesempitan­ yang mengapit. Bila pada saat itu tak ada Tuhan, sebenarnya yang musnah adalah konsep tentang Tuhan—karena tiap konsep bersifat membekukan, membentuk, seperti membuat patung dari batu untuk ”menangkap” sebuah sosok. Tentang ini JeanLuc Marion, seorang filosof Katolik, berbicara tentang ”pemberhalaan konsep” ketika satu konsep Tuhan ditegakkan. Agaknya sebab itu Nietzsche berbicara dengan antusias tentang Yesus. Kekuatan iman Yesus adalah karena ia ”hidup dan me­nolak formula”. Bagi Nietzsche, Yesus tak hendak mempedulikan apa yang ”tetap”, sebab ”apa saja yang tetap bersifat membunuh”. Menjalani hidup baginya merupakan oposisi dari kata, rumus, hukum, keyakinan, dogma. Tapi kemudian Yesus tak ada lagi. Gurun diubah jadi kota, dengan rambu-rambu, aturan, dan tentu saja kekuasaan. Yang tak diakui ialah bahwa semua itu lahir dengan kekerasan, sebagaimana tercatat dalam sejarah agama-agama yang melembagakan diri. Kita ingat bagaimana Sang Inkuisitor Agung dalam Karama­ zov Bersaudara Dostoyewski menyalahkan Yesus. Dalam cerita Ivan Karamazov ini, Sang Penebus turun ke bumi untuk menghalangi kekerasan Gereja kepada mereka yang dianggap menya­ lahi ajaran. Tapi Yesus kalah. Penguasa Gereja itu menangkapnya. ”Tuan menghasratkan cinta bebas manusia, agar ia dapat Catatan Pinggir 7



395



TAKUT



mengikuti Tuan dengan merdeka,” kata Sang Inkuisitor me­nge­ cam. ”Sebagai pengganti hukum lama yang tegar, Tuan beri manusia kesempatan untuk dengan hati bebas menentukan­ untuk diri sendiri apa yang baik dan yang buruk—hanya dengan berpedoman citra Tuan.” Bagi Sang Inkuisitor sepuh, Yesus telah meletakkan dasar kehancuran Kerajaan-Nya sendiri.­ Maka petinggi Gereja itu takut—seperti Paus pada awal abad ke-21 takut akan ”relativisme”. Tapi sejarah juga selalu­mencatat bagaimana orang lain juga takut: ada yang brutal dalam ambisi kepastian, tertib, dan otoritas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 1 Mei 2005



396



Catatan Pinggir 7



MULYANA



http://facebook.com/indonesiapustaka



M



ULYANA atau bukan Mulyana, tiap orang punya detik-detik yang genting, ketika harus menentukan untuk­curang atau tak curang, mencuri atau tak mencuri. Detik-detik­itu mungkin singkat, tapi itulah saat kebebasan yang menak­jubkan. Menakjubkan dan sekaligus membuat gentar: kebebasan itu sunyi dan penuh risiko. Tapi bagaimanapun ia menandai sebuah otonomi, mengisyaratkan sebuah posisi: manusia bukanlah­ sebuah kapal keruk. Sebuah kapal keruk, yang digerak­kan se­ penuhnya oleh pelaku di luar dirinya, tak akan bisa dituntut­pertanggungjawaban, tak dapat pula diberi penghormat­an. Tak ada mesin yang patut dibui dan layak diberi medali. Memang bisa dikatakan, keputusan seseorang, Mulyana atau bukan Mulyana, disebabkan oleh wataknya, dan watak adalah akibat warisan genetik orang tua serta pengaruh sekitar yang mem­bekas. Namun dapatkah semua hal diterangkan dengan garis lurus­ sebab-dan-akibat itu? Ketika saya memutuskan bertindak A, dan bukan B, saya sebenarnya tak tahu persis adakah hal itu karena nenek moyang saya Ken Arok, atau karena tubuh saya gemuk, atau karena saya berbakat main akordeon dan dibesarkan di Cepu. Siapa yang dapat memastikan bahwa sebab X, Y, Z akan berakibat pada laku A dan bukan B? Pada akhirnya, inilah yang saya tahu: saya adalah pelaku. Mul­yana atau bukan, pada saat-saat saya harus memilih apa yang ”baik” dan ”buruk”, saya bukanlah sebuah akibat. Ada dalam hi­ dup saya yang dapat dijelaskan dengan sebab-dan-akibat, namun ada yang tidak. Tak seluruh diri saya digerakkan oleh keniscaya­ an. Kita sehari-hari menempuh hidup dengan Das Sein, meng­ Catatan Pinggir 7



397



http://facebook.com/indonesiapustaka



MULYANA



ikuti­ ”apa-yang-ada-kini”; tapi juga kita coba menjalankan Das Sollen, ”yang-seharusnya”. Kant mengata­kan: kita memiliki ”kemerdekaan transendental”. Kemerdekaan itulah yang membuat manusia sebuah makhluk yang belum selesai. Ada sepotong kalimat yang pernah mengharukan abad ke20: ”Saya percaya, manusia pada dasarnya baik.” Anne Frank me­ nuliskan itu di antara ribuan baris catatan hariannya, ketika gadis kecil Yahudi itu bersembunyi ketakutan selama dua tahun,­ sebelum akhirnya orang Nazi menangkapnya beserta seluruh keluarganya dan memasukkannya ke kamp konsentrasi BergenBelsen, tempat ia mati pada akhir musim dingin 1945. Kata-kata itu memberikan harap pada zaman yang gelap. Tapi sebenarnya tak sepenuhnya tepat. Bukan karena manusia ”pada dasarnya buruk”. Tapi karena­ ki­­ta tak dapat merumuskan satu sifat apa pun tentang manusia­ de­ngan kata-kata ”pada dasarnya”. Seseorang jadi pahlawan atau ba­jingan bukan karena ”esensi”. Saya tak pernah percaya ada ”pah­lawan” atau ”bajingan”; yang ada hanyalah ”laku/momen ke­­pahlawanan” atau ”laku/momen kebajinganan”. Kedua­nya ada­lah ”eksistensi”, yang datang dari pilihan dan perbuatan. Sebab itulah pilihan untuk berbuat baik—menolak untuk­korupsi, misalnya—adalah sebuah langkah yang tiap kali mengharukan dan mengagumkan: ia tak dilakukan sebagai kelaziman, atau sebagai sesuatu yang niscaya dan tak terelakkan. Ia dilakukan sebagai semacam ”penciptaan”. Ia dilakukan bukan untuk me­nuruti perintah dari ”dia” atau ”mereka”, dari hukum Tuhan atau manusia. Perbuatan baik itu dilakukan secara ”spontan”, sebab langsung ia dilihat sebagai ”wajib”. Dalam sebuah kisah kecil Mahabharata, Urinara me­lindungi­ seekor unggas yang nyaris tewas. Seekor elang besar mengejar untuk memangsanya. Urinara tak kenal unggas yang ketakutan 398



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



MULYANA



itu, tapi ia tahu ia tak dapat membiarkan keangkaramurkaan itu terjadi. Ditawarkannya dirinya, jasadnya, untuk jadi makanan pengganti. Si elang pun menerima tawaran itu, dan mulailah ia memakan sedikit demi sedikit tubuh sang penolong.... Bagi Urinara, keputusannya adalah sebuah ”kewajiban”. Ia melakukannya bukan karena ia senang, bukan karena janji surga, melainkan karena ia sadar itulah yang ”baik”, yang ”bajik”, dan tak ada hubungan antara kebajikan dan rasa bahagia. Kebajikan itu ia anggap sebagai sesuatu yang ”seharusnya”, dan ini berlaku universal: harus dilakukan oleh siapa saja, juga oleh dirinya. Tapi ”kewajiban” itu, pada saat yang sama, juga dipilih dengan bebas—bebas dari pamrih apalagi paksaan. Memang sebuah paradoks: bagaimana sebuah ”kebebasan” menjalankan ”ke­wajiban”? Apa arti ”otonomi” di sini? Kant mencoba menjelaskan paradoks itu dengan susah payah. Tapi saya kira ada jawaban yang sederhana: yang ”wajib” itu tersedia untuk dipilih secara bebas sebab ia memenuhi sebuah gagasan tentang apa yang ”universal”, yang diterima semua orang yang ber­akal budi. Tentu saja yang ”universal” itu tak pernah hadir sebagai tata tertib yang jelas dan selesai. Manusia mempersoalkannya ber­ abad-abad, selalu dalam keadaan setengah gelap. Juga bagi Uri­ nara. Malah mungkin ia tak berpikir, dapatkah tindakan yang dilakukannya jadi norma yang berlaku bagi orang lain sebagai ”imperatif yang kategoris”. Yang pasti ia tak berbuat untuk jadi teladan. Namun di situ justru kebajikannya menakjubkan. Tapi tak hanya Urinara. Syahdan, di sebuah tembok di Kota Kaliningrad yang dulu bernama Köningsberg, tak jauh dari makam Kant yang merapat di dinding katedral kota itu, ada sebuah kutipan terkenal dari sang filosof, dipahat dalam bahasa­Jerman dan Rusia. Terjemahan bebasnya: ”Dua hal memenuhi pi­ kir­anku dengan rasa takjub dan terkesima: angkasa yang penuh Catatan Pinggir 7



399



MULYANA



bintang di atas sana dan hukum moral nun dalam diri manusia”. Dua hal—dan di situ tampak keterbatasan manusia tapi juga kelebihannya. Di tengah alam semesta, ia hanya satu di antara bermiliar-miliar noktah; ia begitu terbatas, begitu tak mampu untuk mengetahui semuanya. Tapi dalam posisi itu, ia toh dapat, bila ia mau, menciptakan sesuatu yang baik bagi sesamanya. Maka alangkah nistanya, jika Mulyana atau bukan Mul­yana­ ternyata memilih mala, memilih evil—dan berpaling dari hal yang menakjubkan itu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 8 Mei 2005



400



Catatan Pinggir 7



MUNIR



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



ALAM hidup, juga dalam mati, Munir berjasa besar: ia menunjukkan bahwa ada mala di antara kita. ”Mala” (dari mana kata seperti ”malapetaka” berasal) punya akar dalam bahasa Sanskerta. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1976) menyebut akar itu: mala berarti ”kotor; cemar; noda; penyakit”. Kata itu mencakup apa yang menyengsarakan, jahat, durjana, atau busuk. Yang terakhir ini membuat kata mala juga sama dengan ”danur”, air bangkai yang telah berbau men­jijikkan. Bahasa Inggris punya kata yang agak sepadan: evil. Berasal­dari bahasa Inggris kuno, yfel, ia berarti ”berdosa”, ”keji”, ”menim­ bulkan rasa tak enak atau rasa muak”, ”busuk”, ”menimbulkan­ celaka”. Sebagai kata benda—yang menurut kamus MerriamWebster mulai digunakan sebelum abad ke-12—evil menandai ”penderitaan”, ”kemalangan”, dan ”kejahatan”. Juga sesuatu yang menimbulkan duka dan kepedihan. Pernah ada zaman ketika evil adalah sesuatu yang gelap dan ga­ib. Susan Neiman, yang menulis Evil in Modern Thought, me­ ngemukakan bahwa pada abad ke-18, kata evil mencakup baik perbuatan kejam manusia maupun kejadian alam yang membuat orang sengsara. Pada masa itu, tsunami yang nyaris menghabisi Kota Lisbon pada tahun 1755 dianggap sebagai evil. Orang memang belum tahu perihal lempeng tektonik dan ke­ rak bumi; seismologi baru mencapai telaah itu berpuluh-puluh tahun kemudian. Bencana Lisbon memukau para pemikir Eropa karena alam tampak cacat secara menakutkan dan tak disangkasangka. ”Pemakaian kata Lisbon pada abad ke-18”, tulis Nieman, ”sama dengan pemakaian kata Auschwitz hari ini.” Sebab di sana sesuatu yang dahsyat terjadi: ”runtuhnya rasa percaya yang paling Catatan Pinggir 7



401



http://facebook.com/indonesiapustaka



MUNIR



asasi kepada dunia”, dan itu berarti guncangnya ”dasar yang memungkinkan peradaban”. Tapi abad ke-20 mengajari kita bahwa ”rasa percaya yang pa­ ling­asasi kepada dunia” runtuh bukan karena bencana alam. Ada mala atau evil yang berbeda sama sekali, dan Auschwitz adalah contohnya. Di kamp konsentrasi yang didirikan Nazi itu, sejumlah manusia berhasil membinasakan jutaan orang Yahudi, orang Tsigana, orang homoseksual, serta para tahanan politik, antara lain dengan membariskan mereka, seperti ternak yang telanjang, berjalan rapi ke dalam kamar gas beracun. Apa yang bisa dijelaskan? Dari Auschwitz tak lahir ilmu pe­ nge­tahuan seperti seismologi, yang mencerminkan hasrat dan kapasitas manusia untuk mengerti sebab kesengsaraan yang terjadi. Dari Auschwitz kita seakan-akan kemekmek terus-menerus: mungkinkah kita menyusun sebuah ”seismologi” kekejaman? Neiman menjawab, tidak. Tak akan ada ilmu yang akan menjelaskan mala yang seperti itu. Bahkan ia juga tak menganggap akan ada penjelasan metafisik dan theologis yang memadai. Memang pernah orang menenteramkan diri dengan me­nga­ ta­kan bahwa mala itu desain Tuhan. Dengan kata lain, tiap ke­ seng­saraan manusia atau kebusukannya dianggap sebagai bagian iradah-Nya. Tapi coba kita ingat orang-orang yang dianiaya di kamar gas itu, atau kita ingat Munir ketika ia tergeletak kesakitan karena racun menyerang tubuhnya. Bisakah kita katakan kedurjana­an itu adalah bagian dari rencana Illahi? ”Tuhan kita terlalu pengasih, terlalu adil, dan terlalu pemurah untuk melakukan hal itu kepada hamba-Nya”. Pada abad ke-8, seorang alim dari Basra, Al-Hassan al-Basri, mengucapkan kata-­ kata itu: baginya, sebagaimana bagi para pemikir Muktazillah umumnya pada zaman itu, bila kita letakkan segala hal, juga malapetaka dan kebengisan, ke dalam kehendak Tuhan, itu sama 402



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



MUNIR



artinya dengan kita bayangkan Tuhan seba­gai sumber kezalim­ an. Itu juga sama artinya dengan membersihkan manusia dari pertanggungjawaban. Manusia adalah makhluk yang merdeka, kata para pemikir muslim abad ke-8 itu. Kini kita juga tak dapat mengatakan mereka yang memasukkan racun ke tubuh Munir hanyalah para pelaksana yang dige­ rakkan tapi tak diberi tahu oleh Sang Perancang. Sebab, jika de­ mi­kian, bagaimana kita akan berbicara tentang keadil­an dan kekejian di antara kita? Itu sebabnya Munir jadi seorang aktivis. Ia hendak membuat mala sesuatu yang gelap namun tak gaib. Bau bacin bangkai itu tak datang dari langit, dan sebab itu harus disingkirkan. Tak ada kehidupan sosial yang dapat bertahan dengan itu. Namun ia dibunuh. Ia belum selesai bekerja. Yang ternyata­ kemudian terjadi ialah bahwa pada titik ketika ia terputus, ia sebenarnya kembali mengingatkan: ternyata mala sebusuk itu da­ pat tumbuh dalam sebuah kehidupan bersama. Dan kini kita harus berpikir, dapatkah kedurjanaan itu diterangkan. Kita bisa mengingat Hannah Arndt, yang akan bilang: ”Tentu dapat.” Ia telah menyimak sang algojo, Adolf Eichmann, ketika laki-laki Jerman yang mengatur pembantaian itu duduk di kursi mahkamah Israel. Yang dilihat Arndt ternyata bukanlah sesosok monster, melainkan seorang yang lumrah, pejabat yang ambisius dalam mesin yang bengis, dan sekaligus seorang manusia yang tak punya lagi perasaan. Bagi Arndt, mala yang terjadi bukanlah hasil kekejian luar biasa manusia; sang algojo justru mencermin­ kan­the banality of evil. Arndt, yang melihat totalitarianisme sebagai kengerian abad ke-20, akan menunjukkan sifat banal itu terjadi ketika manusia hanya melihat diri sebagai bagian dari sebuah cita-cita, gairah, juga kebencian yang total, yang menemukan bentuknya dalam Negara yang kekuasaannya mencakup ke semua sudut. DapatCatatan Pinggir 7



403



MUNIR



kah kita katakan ada kebanalan yang sama pada pembunuhan Munir? Saya memang membayangkan para petugas yang bersedia mem­bunuh. Tapi Indonesia pada tahun 2004 bukanlah Jerman tahun 1930-an: kini, di sini, tak ada cita-cita, gairah­atau­kebencian tunggal dan menyeluruh yang membuat totalitarian­isme be­kerja. Yang ada hanya sisa-sisa kebuasan yang ingin mempertahankan diri dalam sistem. Munir gugur dan ia mengingatkan, mala di antara kita bukanlah mala pada tiap kita. Tapi kemudian kita harus bisa menuding siapa sang durjana.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 15 Mei 2005



404



Catatan Pinggir 7



GUANTANAMO



http://facebook.com/indonesiapustaka



G



UANTANAMO adalah tempat gelap sejenis nihilisme. Di koloni hukuman yang dibangun di teluk tenggara Kuba yang dikuasai Amerika itu, orang disekap. Banyak­ di antara­nya telah dikucilkan di sana lebih dari tiga tahun, tanpa dituduh, tanpa dapat bantuan pengacara, tanpa harapan akan bebas. Berapa di antara mereka yang teroris, tak jelas. Atau justru itu­lah yang dipersoalkan dunia—yang menyebabkan tahanan di Guantanamo itu sebuah problem hukum di antara bangsa-­ bangsa. Ketakjelasan itu pulalah yang dicoba dipecahkan di selsel­yang sempit itu—yang menyebabkan AS mengerahkan para interogatornya dengan tak sabar, hingga mereka pun bekerja dengan segala daya untuk mengorek pengakuan dan informasi, dengan harapan terorisme abad ke-21 akan dapat dihabisi, dan orang Amerika akan hidup tenang kembali, bebas, sukses, makmur, meneruskan peradaban.... ”Kami bertindak atas dasar apa yang kami kenali sebagai berguna.” Semboyan ini tak ditulis di tembok Guantanamo. Kalimat­itu diutarakan jauh dari sana, oleh Bazarov, tokoh nihilis dalam no­ vel­Turgenev terkenal, Ayah dan Putra. Kalimat yang lain adalah, ”Mula-mula, tanahnya harus dibersihkan dulu.” Bazarov memang jauh dari Guantanamo, tapi ucapannya me­ nandai apa yang terjadi: ketika orang bertindak atas dasar ”guna”, tahukah ia bahwa ”guna” tak pernah satu dan selesai? Acap kali ”guna” seakan-akan pasti dan jelas, dan ukuran lain pun dihancurkan. Di situ kalimat kedua yang destruktif dari sang nihilis bergema: ”Tanahnya harus dibersihkan dulu.” Catatan Pinggir 7



405



http://facebook.com/indonesiapustaka



GUANTANAMO



Erik Saar, seorang sersan penerjemah bahasa Arab, selama enam bulan sejak Desember 2002 sampai dengan Juni 2003 bertugas di koloni itu, tempat 550 tahanan yang umumnya orang mus­lim disekap. Ia menyaksikan bagaimana pengusut­an dilaku­ kan di Guantanamo, dan ia menyaksikannya dengan jijik. Dalam Inside the Wire, bukunya yang diterbitkan Penguin baru-baru ini, ia kisahkan itu semua. Dari wawancaranya dengan BBC dan CBS pekan lalu kita dapat susun satu adegan seperti ini: Tahanan itu seorang Saudi yang ditangkap setelah ia masuk sekolah penerbangan di Amerika. Hari itu ia dikeluarkan dari sel­ nya dan dimasukkan ke ruang interogasi. Seorang petugas pe­ rempuan tampil. ”Seraya ia berdiri di depan tahanan itu, ia pelan-pelan mulai membuka kancing baju seragam tentaranya,” kisah Saar. Di balik­ blouse tentara itu ada kaus cokelat yang ketat. Perempuan itu pun menyentuh payudaranya sendiri, dan berkata kepada si Saudi, ”Tak sukakah kamu susu montok Amerika?” Bagi Saar, itu berarti sang petugas itu ingin membangun rin­ tangan antara si tahanan dan keyakinan agamanya, dan jika ia de­ngan satu cara berhasil merangsangnya secara seksual,­si tahanan akan merasa tak suci lagi secara Islam, dan ia tak akan mampu berdoa dan menghadap Tuhannya untuk memperoleh kekuatan. Jika demikian, esok mungkin ia akan mulai mau mengikuti kehendak si interogator dan bersedia bicara. Tapi tahanan itu tetap membisu. Maka, kata Saar, sang pe­tu­ gas melangkah lebih jauh. Ia buka kancing pantalonnya, dan memasukkan tangannya ke dalam celana itu seraya berjalan menge­ li­lingi si tahanan. Rupanya ia menggunakan tinta merah untuk memberi kesan ia membasahi jari-jarinya dengan darah menstruasi. Cairan itu pun dioleskannya ke tubuh sang tahanan. ”Aku sekarang benar-benar sedang datang bulan, dan aku menyentuh kamu. Apakah ini menyenangkan Tuhanmu? Apakah ini menye­ 406



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



GUANTANAMO



nangkan Allah?” Ketika sang tahanan tampak marah dan mencoba menying­ kir, sang petugas perempuan pun mengoleskan ”darah” itu ke mu­ka laki-laki itu, seraya berkata: ”Ayo, suka apa tidak?” Akhirnya dibawanya tahanan itu kembali ke sel, dengan pe­ san: ”Coba bersembahyang malam ini sementara tak akan ada air di sel kamu.” Artinya, kata Saar, keran ke dalam sel itu akan dimatikan, dan dalam dugaan si interogator—yang menduga bahwa satu-satunya cara berwudu adalah dengan air—si tahanan tak akan dapat bersembahyang karena tak bisa membersihkan diri. Saar menyaksikan semua itu dan menerjemahkan semua kata-­ kata itu. Ia tahu bahwa si tahanan adalah seorang yang ber­bahaya (”Saya harap ia selamanya disekap,” kata Saar), tapi selama ber­ ada di kamar itu ia, meskipun hanya jadi penerjemah, merasa di­ ri ”kotor dan menjijikkan”. Ia juga melihat, ”guna” yang diharapkan dari interogasi macam itu akhirnya tak tampak: sang tahanan­ tetap diam, justru karena ia tak dianggap punya kehormatan. Maka bukan sesuatu yang mengejutkan, jika—seperti dibongkar oleh mingguan Newsweek—dalam suatu interogasi,­ si­ petugas membuang Quran ke dalam lubang kakus. Seluruh kamp Guantanamo adalah pembuangan harapan ke dalam lubang kakus: harapan bahwa peradaban bisa dibangun bukan de­ngan penghancuran apa yang ada sekarang (”tanahnya harus dibersihkan dulu”), apalagi penghancuran nilai-nilai yang sejauh ini dianggap adil. Memang ada yang bilang, kita harus menghancurkan nilainilai itu, bagian dari apa yang ada kini, yang ”is”, agar kita dapat mencapai apa yang ”ought”. Dengan kata lain, kita harus membersihkan tanah hari ini untuk mencapai apa-yang-seharusnya nanti. Tapi itu adalah kepongahan sang nihilis. Sejarah adalah usaha dari ”is” mencapai ”ought” yang tak pernah berhenti. Tentu kita bisa katakan, bahwa Konvensi Jenewa yang mem­ Catatan Pinggir 7



407



GUANTANAMO



perlakukan dengan baik mereka yang kalah berperang adalah sesuatu yang bikin repot dan ketinggalan zaman. Tapi setidaknya dari konvensi itu tampak isyarat, bahwa ada yang ethis dalam hidup manusia, yang betapapun tak jelas, dapat mendorong kesepakatan kita untuk tak biadab. Di Guantanamo, para penguasa di Amerika mengabaikan isya­rat itu. Benih penghancuran mereka tanam. Yang jahiliyah bu­kanlah hanya karena Quran dimasukkan ke dalam kakus, tapi sesuatu yang lebih destruktif, yang sebenarnya telah ada di sana sebelum itu



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 22 Mei 2005



408



Catatan Pinggir 7



Waiçak



D



I tengah hutan, dalam perjalanannya berburu, Raja Du­­syan­ta melihat Sakuntala untuk pertama kalinya. Gadis dari pertapaan ini begitu mempesonanya hingga—seperti digambarkan dalam lakon Sakuntala karya Kalidasa pada abad ke-5—baginda pun gagap:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Seperti panji sutra Cina yang terkena angin Tubuhku bergetar, antara ragu dan ingin Kata ”sutra Cina” dalam kiasan Kalidasa itu menunjukkan ba­gaimana pada abad ke-5 barang-barang dari negeri tetangga yang menyebut diri ”Kerajaan Langit” itu punya daya pikatnya sen­diri. Dalam kesusastraan Sanskerta memang banyak ditemukan kata ”Cina” dalam hubungannya dengan segala yang elok: cinaka, berarti ”kamper”, cinamsuka, berarti ”sutra”, cinarajaput­ ra, ”buah pir yang lezat”. Saya peroleh contoh itu dari sebuah esai Amartya Sen da­lam­ The New York Review of Books 2 Desember 2004. Bagi saya itu ber­ arti peradaban bergerak dengan benda-benda kecil, hal-hal yang tak selamanya sakral dalam hidup sehari-hari. Orang yang melihat peradaban hanya sebagai ekspresi satuan-satuan besar dengan merek ”Barat”, ”Islam”, atau ”India” mengabaikan yang sebenar­ nya terjadi. Amartya Sen benar ketika ia menyalahkan kecende­ rungan seperti yang tampak pada Samuel Huntington: ”kecenderungan... untuk memahami bangsa-bangsa terutama melalui agama mereka”. Jika kita simak sejarah, memang tak tepat untuk menganggap peradaban yang berkembang di India selama berabad-abad seba­ gai ”peradaban Hindu” sebagaimana hendak ditegaskan kaum Catatan Pinggir 7



409



http://facebook.com/indonesiapustaka



Waiçak



nasionalis kanan di Gujarat. Bagaimana mungkin orang meng­ anggap Taj Mahal sebuah benda cantik bukan-India? Demikian pula mengatakan bahwa dasar peradaban ”Ero­pa” adalah ”Kristen” sama artinya dengan mengabaikan ke­nyata­an bahwa Yunani, yang sering dikatakan sebagai sendi­ peradaban ”Barat”, adalah sebuah dunia ”pagan”, yang juga menerima pelbagai anasir yang pernah tumbuh nun di ”Timur,” di khazanah Sumeria, di tebing Tigris dan Eufrat, atau di sekitar Teluk Persia. Peradaban memang bukan Taman Mini Internasional. Per­ adab­an ”Barat” tak mandek di satu anjungan. Ia menjalar ke seluruh dunia karena ia siap menerima campuran dari mana pun, bukan karena kemenangan politik semata-mata. Sama halnya dengan yang disebut ”peradaban Islam”. Apa yang berkembang di dunia orang muslim—misalnya pada abad ke-9 sampai ke-13 di Irak dan Spanyol, dalam bentuk ilmu penge­ tahuan, filsafat, dan kesusastraan—sebenarnya bukanlah eksklusif ”Islam”. Hampir semuanya hasil susunan baru dari anasir yang da­tang dari jauh dan dekat. Itu juga sebabnya ia mudah diterima di lingkungan lain. Karya Ibnu Rushd, sang penafsir Aristote­ les,­ punya jejak dalam pemikiran Thomas Aquinas yang Katolik. Bahkan karya Al-Ghazali, orang yang dijuluki hujjat al-Islam (”bukti Islam”), meninggalkan gema pada pemikiran Descartes. Predikat ”Islam” dalam peradaban pada akhirnya justru menandai sesuatu yang tak tertutup di sebuah ajaran. Contoh terbaik adalah sumbangan Al-Khwarizmi, pustaka­ wan Istana Khalif al-Ma’mun di Bagdad abad ke-9, orang perta­ ma yang memperkenalkan kata al jabr. Risalah orang muslim asal Uzbekistan ini ditulis berdasarkan sebuah karya Hindi. Pene­ muannya, kini dikenal sebagai logaritma, bergaung di seluruh Eropa. Dan itulah peradaban: bukan ”Hindu”, ”Islam”, atau ”Kris­ ten”,­melainkan logaritma, juga sutra, sastra, juga senjata—hal410



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



Waiçak



hal yang menyebar bukan karena di dasarnya berdiam ”kebenar­ an”, tapi karena kebutuhan melintasi batas. Pelintas batas yang terutama adalah perdagangan. Sebab per­ dagangan dan ruang ternyata saling menumbuhkan. Itu sebabnya ada penjelajahan, pemetaan, dan kolonialisme. Perdagang­ an pula, seperti disimpulkan Amartya Sen, yang mulai menghu­ bungkan Cina dan India. Buddhisme tak merintisnya. Maka dalam hal peradaban, pada mulanya bukanlah Kata. Jika ada yang jadi ”bapak segala hal ihwal”, itu bukanlah perang,­ sebagaimana dikatakan Herodotus hampir 500 tahun sebelum Masehi. Tenaga itu bernama perdagangan. Perdagangan bahkan membuat mesiu yang ditemukan di Ci­na pada abad ke-10 jadi unsur penting persenjataan di Ero­pa pada abad ke-14. Bedil tak diciptakan di Cina sendiri, sebab di sini komersialisasi kekerasan tak terjadi, karena tentara sepenuhnya di bawah kekuasaan Maharaja Langit. Sebaliknya di Eropa berkembang bengkel-bengkel senjata. Di Italia, pelbagai kelompok condottieri, tentara sewaan, bersaing dalam meningkatkan mutu ”pelayanan”, dan senjata yang ampuh pun­dikembangkan. Komersialisasi kekerasan pun melahirkan inovasi pembunuhan. Tapi tak semuanya berdarah: kalkulasi laba rugi, ukuran berat dan jarak, penelaahan flora dan fauna, semua itu tak akan tumbuh pesat seandainya tak ada kebutuhan untuk menggunakan se­suatu dan memperjualbelikan sesuatu. Tak berarti peradaban sepenuhnya dibentuk oleh dorongan komersial. Mudah ditunjukkan bahwa dorongan komersial itu sendiri akibat kebutuhan lain. Tapi jelas, begitu banyak dan begitu deras hal-hal di luar iman, ide, dan ideologi, yang membentuk hidup. Contoh dalam sejarah hubungan India dan Cina, sebagai­ mana diperlihatkan Amartya Sen, layak diingat. Setelah dibuka para saudagar, hubungan kedua wilayah itu memang diperkuat Catatan Pinggir 7



411



Waiçak



para rohaniwan. Buddhisme berada di pusat lalu lintas manusia dan gagasan pada zaman itu. Tapi iman dan ajaran tak pernah hidup sendirian. Ke­simpul­ an Sen, ”pengaruh yang lebih luas dari Buddhisme tak hanya­terbatas pada agama”. Dampaknya yang ”sekuler” menyentuh ilmu, matematika, sastra, linguistik, arsitektur, peng­obatan. Sebalik­ nya yang ”sekuler” hadir dalam tafsir—sesuatu yang juga terjadi dalam agama lain. Itulah sebabnya kesucian Waiçak yang satu tak membuat Buddhisme jadi satu. Tapi tak ada yang harus disesali. Dampak dan pengaruh adalah tema utama peradaban—gerak hidup dengan benda-benda kecil, hal-hal yang tak selamanya suci.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 29 Mei 2005



412



Catatan Pinggir 7



CILIWUNG



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



I tebing Ciliwung yang busuk dan rusak, terkadang ada burung, terkadang kupu-kupu. Warna-warna yang tak diacuhkan. Inikah sebenarnya yang membuat kita percaya, atau tak percaya, bahwa dunia menakutkan & menyedihkan, atau sebaliknya mempesona & beres, sebab ada desain yang pandai di balik semua ini? Ciliwung seperti terkutuk: sampah plastik, sisa busa detergen,­ kejorokan manusia, gulma yang menyumbat—tanda ketak­pe­ dulian atau putus asa, atau simptom pertama sebuah kota yang tak becus, bukti ketidakmampuan, atau gejala terakhir sebuah masyarakat yang hanya bisa mencemooh diri sendiri. Tapi burung itu, rama-rama itu hinggap. Makhluk-makhluk kecil yang tak dipedulikan lagi tapi sebenarnya menyimpan se­ jum­lah tanda: lihat, ajaib. Para pengamat burung dan kolektor kupu-kupu akan dapat menyebutkan, betapa ramai ragam warna bulu dan corak hiasan sayap hewan-hewan itu, hingga kita acap kali termenung: apa gerangan daya agung yang mendesain keanekaragaman yang renik dan cantik itu? Orang-orang alim akan menyebut semua itu tanda ke­piawai­ an­Tuhan yang tak tepermanai, dan mengutip Ihya Ulum al-Din Al-Ghazali: ”... kita tak akan mampu, meskipun kalau kita ingin,­ untuk menyebutkan semua keajaiban dalam seekor tungau, se­ ekor semut, seekor lebah, atau seekor laba-laba.” Yang ”paling melata menjelaskan yang paling luhur,” kata al-Ghazali, dan dengan rasa syukur yang besar orang pun akan berkata: Tuhan begitu baik, bahkan unggas dan serangga bisa me­nunjukkan alam semesta ini beres. Allah menciptakannya demikian. Dalam kalimat Al-Ghazali yang optimistis pula, ”Tak Catatan Pinggir 7



413



http://facebook.com/indonesiapustaka



CILIWUNG



ada, dalam deretan apa yang mungkin, sesuatu yang lebih bagus dan menakjubkan seperti yang ada ini.” Tapi di Ciliwung yang busuk, sesuatu mencegat: kita hidup­ dengan sesuatu yang jahat. Katakanlah itu korupsi, yang mengge­ rogoti kepentingan dan milik publik, hingga sungai, taman, hutan, udara, jalan, sekolah, museum, rumah sakit, dan entah apa lagi, hancur pelan-pelan. Korupsi adalah durjana, korupsi adalah mala. Bagaimana mungkin durjana dan mala itu memungkinkan­ kita berkata, puji Tuhan? Bagaimana mungkin ada desain yang pandai di balik dunia yang ”bagus dan menakjubkan” ini? Tapi hampir tiap zaman ada orang yang berbicara tentang desain itu dan memilih sikap tawakal. Mereka percaya ke­buruk­an punya peran justru untuk menangkal keburukan. Pada tahun 280-206 sebelum Masehi, hidup seorang pemikir Yunani bernama Chrysippus, seorang penganut paham Stois­isme, yang berkata, ”Hewan yang buas ada untuk menguji­ke­kuatan manusia; ta­ ring­berbisa sang ular ada untuk jadi obat; tikus-tikus mengajari kita gerak yang trengginas, dan ke­pinding­membuat kita tak tertidur terlampau lama.” Pada abad ke-11 di dunia Islam ada Al-Ghazali, dan pada abad ke-18 di dunia Kristen ada Leibnitz, yang mengabarkan op­ timisme: di dunia yang tampak tak sempurna ini tersembunyi­ berkah, atau alasan yang cukup kenapa cacat dan mala hadir da­ lam hidup kita. Tentu saja datang para peragu. Pada abad ke-18 Eropa pula, Voltaire menulis novel Candide untuk habis-habisan mencemooh optimisme itu, mengolok-olok keyakinan adanya ”alasan yang cu­kup” itu: Pada suatu hari, tokohnya, Pangloss, sang Optimis, terkena raja singa. Tubuhnya penuh kudis, matanya menceruk karena kurus-kering, mulutnya mencong, giginya hitam seperti gambir keroak. Kenapa semua itu terjadi, tanya Candide. Perbuatan Setan­kah 414



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



CILIWUNG



ini? Sang Optimis menjawab: Ah, bukan! Sifilis itu sesua­tu yang tak dapat dielakkan. Ia dibawa ke Eropa oleh para awak kapal Columbus dari perlawatannya ke Amerika. Seandainya­mereka tak ke sana dan kembali, Eropa tak akan mengenal rasanya cokelat. Pangloss dan banyak orang lain dapat menjungkir-balikkan jalan pikirannya sendiri untuk bisa tetap berpikir positif. Tapi mungkin juga optimisme sebenarnya datang dari bingung, seperti ketika kita melihat Ciliwung dan alam yang hancur oleh ketamakan manusia. Maka ada kebutuhan untuk secara mental­ mengatasi kebingungan melihat mala meruyak dan kerusak­an seakan-akan tak bisa diatasi. Optimisme mungkin hanya­ cara untuk menemukan metode di dalam kegilaan yang sedang berkecamuk. Kita tak hendak ikut gila. Jika orang bicara tentang ”berkah”, juga di balik Ciliwung yang hancur, perlukah begitu panjang dan luas penderitaan itu? Kenapa Tuhan tak menciptakan dunia di mana yang buruk tak di­perlukan sama sekali? Berarti, Tuhan memilih untuk terikat kepada satu desain, dan bila Al-Ghazali menyebut bahwa mustahil ada sesuatu ”yang lebih bagus dan menakjubkan seperti yang ada ini”, tidakkah itu berarti tak ada kuasa Tuhan mengatasi yang mustahil? Bertahun-tahun lamanya pendirian Al-Ghazali ini memang digugat oleh para ulama, seperti direkam dengan bagus oleh Eric L. Ormsby dalam Theodicy in Islamic Thought: The Dispute over al-Ghazali’s ’Best of All Possible Worlds’. Sebab tak gampang memang menjawab, seraya merenungkan Ciliwung dan burung-burung, apa sebabnya ada hal-hal yang menyengsarakan di samping hal-hal yang patut disyukuri. Problemnya akan mudah bila kita penganut Zoroasterian, yang percaya bahwa roh suci, Spenta Mainyu, adalah saudara kembar roh jahat, Angra Mainyu. Tapi kaum monotheis tak hendak mempercayai dwitunggal itu—dan harus menjawab kenapa Catatan Pinggir 7



415



CILIWUNG



Tuhan yang mahabaik dan sekaligus mahakuasa membuat dunia yang cacat. Ah, kita tak dapat menuntut Tuhan, kata sebagian orang, un­ tuk mengikuti ukuran ”baik”, ”buruk”, ”adil”, dan ”zalim” yang dipakai manusia. Dalam Alkitab, Tuhan membuat Ayub seng­sa­ ra habis-habisan tanpa sebab, tanpa salah. Membayangkan Tu­ han­­ mengikuti ukuran keadilan dan rasio manusia ber­arti me­ ngu­­­rangi­kuasa-Nya. Tapi jika demikian, mungkin benar: manusia penentu ukur­ an­nya sendiri—dan harus bergulat dalam syukur atau cemas, di tengah kebobrokan seperti di Ciliwung dan indahnya bulu sayap burung-burung. Meskipun ia sering tak berani.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 5 Juni 2005



416



Catatan Pinggir 7



EROPA



http://facebook.com/indonesiapustaka



D



ARI menara lonceng setinggi 100 meter di Balai Pasar,­ tanda waktu berkeloneng di udara Bruges tiap 30 menit. Dulu, di kota ini tengara jam adalah potongan melodi Eine kleine Nachtmusik. Kini melodi lain yang terdengar, bukan Mozart, mungkin bukan dari abad ke-18. Tapi kota yang dulu tampak kusam sekarang kian seperti museum yang apik— indikasi bahwa sejarah yang rumit berliku kian ditata dan dirapikan, seperti jalanan batu, kanal, dan jembatan-jembatan itu. Empat puluh tahun yang lalu saya mengenal ”Eropa” pertama kalinya di Bruges ini—kota dengan penghuni 100 ribu yang kemudian, pada tahun 2002, dijuluki ”ibu kota budaya” Eropa. Di Jalan Dyver, di seberang kanal dan deretan rumah tua, ada Collège d’Europe. Di situ para mahasiswa hampir tiap hari mende­ ngar­kan para guru besar membahas soal-soal di sekitar ”ide Eropa”, sebuah ide yang datang dari sejarah yang rumit berliku, yang seperti sejarah Bruges, dicoba ditata dan dirapikan. Salah satu sang penata sejarah adalah rektor pertama sekolah tinggi itu, Henri Brugman. Ia bukan hanya seorang akademisi yang ulung. Ia juga seorang aktivis yang yakin. ”Eropa” ba­ gi­­nya adalah penanda sebuah satuan budaya yang menurut seja­ rah mengatasi batas-batas nasional di daratan itu. ”Eropa”, bagi Brugman, adalah seperti mantra yang membawa harapan perdamaian. Baginya, ”negara-bangsa”—seperti terbukti dari Perang­ Dunia I dan II—adalah kekuatan yang menebarkan perang. ”Ero­pa”, sebuah bangunan supra-nasional, harus lahir. ”Selama dogma tentang kedaulatan nasional yang suci itu tak dibuang,” begitulah ia berpidato di depan Kongres Ero­pa di Den Haag pada 7 Mei 1948, 12 tahun sebelum Collège­d’Europe didirikan, ”... tak ada yang akan terjadi [dalam usaha ke arah perCatatan Pinggir 7



417



http://facebook.com/indonesiapustaka



EROPA



damaian dunia].” Di asrama yang terletak di St. Jakobstraat 41 (kini telah ber­ ubah jadi Best Western Premier Hotel Navarra), tempat sang Rektor tinggal bersama para mahasiswa, makan siang tak pernah kosong. Brugman akan duduk di sudut. Ia terkadang ditemani satudua tamu dan lebih sering dengan beberapa mahasiswa. Dia akan berbicara panjang, dalam bahasa Prancis atau Inggris yang tanpa cacat, menunjukkan pengetahuan dan pengalamannya yang ka­ ya terutama tentang masa lampau. Ia memang anak yang setia da­ ri sejarah pemikiran Eropa. Ia memulai tradisi Collège itu untuk membuka tiap tahun ajaran dengan satu kuliah umum tentang buah pikiran seorang filosof atau seorang negarawan ”Eropa”. Kuliah umum itu menyusul setelah ia mem-”baptis” tiap generasi ma­hasiswa dengan nama tokoh itu. Pada tahun 1965 itu, saya termasuk dalam angkatan yang mem­bawa nama ”Thomas More”, penulis Utopia, sebuah kritik da­lam bentuk satire terhadap keadaan Inggris pada abad ke-16 dan juga sebuah kandungan cita-cita. Adakah Brugman melihat Utopia pada gagasan tentang ”Ero­ pa”? Adakah ”Eropa”-nya sebuah kritik? Atau cita-cita yang tak akan tercapai? Saya tak ingat. Yang saya ingat pada tahun 1965 itu ”Eropa” baru berbentuk ”Pasar Bersama”. Tapi orang tahu bahwa ”pasar” itu awal sebuah desain yang besar. Jean Monnet mem­ bangun­”Kerja Sama Batu Bara & Baja Eropa” pada awal 1950-an sebagai kombinasi antara harapan yang muluk dan pragmatisme yang rendah hati: Jerman dengan Prancis yang bertahun-tahun lamanya bermusuhan dipertalikan dalam satu usaha ekonomi, tapi dengan keyakinan akan tumbuhnya sesuatu yang lebih. ”Tak sedikit pun saya ragu,” kata Monnet, ”proses penyatuan Eropa ini kelak akan membawa kita ke satu jenis Negara Eropa Serikat— tapi saya tak ingin membayangkan sebuah struktur politik.” Monnet sadar: tiap diskusi tentang bagaimana ”struktur poli418



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



EROPA



tik” Eropa yang sedang dibangun itu akan menimbulkan pertikaian. Ia pun menunggu. Pada tahun 1979 ia meninggal. Sementara itu ”Kerja Sama Batu Bara & Baja” telah berubah jadi ”Pasar Bersama”, dan ”Pasar­ Bersama” jadi ”Uni Eropa”. Di daratan antara Nederland dan Republik Cek, tapal batas nasional praktis lenyap, kantor imigrasi dan bea-cukai telah dibongkar, dan mata uang euro beredar. Tapi ”Negara Eropa Serikat” tak kunjung terbentuk, dalam jenis apa pun. Ketika pekan lalu lewat referendum rakyat Prancis dan Belan­ da menolak rancangan konstitusi Eropa, orang pun bertanya: tidakkah ”Eropa” digugat oleh legendanya sendiri? Bukankah le­ gen­da, juga mitologi, yang sarat dengan ambiguitas dan anasir bawah-sadar manusia, membuat sejarah tak mudah ditata dan dirapikan, juga oleh para ”Eurokrat”? Syahdan, kata mitologi, dahulu di Phoenicia hidup seorang putri. Matanya besar bersinar-sinar (europos konon berarti ”bermata besar” atau ”berpandangan jauh”). Terkesima, Dewa Zeus pun mengubah dirinya jadi lembu jantan. Ia menangkap sang put­ri dan dibawanya Eropa ke Kreta. Tapi lima saudara lelaki sang putri pergi mencari si adik yang hilang. Di tiap sudut dunia mere­ka bertanya, ”Di manakah Eropa?” Tak ada yang tahu. Cadmos, salah satu dari saudara lelaki itu, pun tiba di Delphi. Ia bertanya kepada orakel, dan inilah jawab yang didapat: ”Kau tak akan menemukannya. Tapi ikutilah seekor lembu, doronglah ia tanpa henti. Di tempat ia berhenti, kau dirikanlah sebuah kota.” Tampaknya ”Eropa” tak akan ketemu jika ia dicari dengan nostalgia, rasa rindu pada si upik yang jadi bagian dari hidup­ yang dulu. Eropa ada selalu sebagai konstruksi baru. Apalagi masa lampau itu tak pernah serapi jalan dan kanal Kota Bruges. Kita tak usah percaya John Laughland, yang menulis The Tainted Catatan Pinggir 7



419



EROPA



Source: The undemocratic origin of European Idea, bahwa gagasan persatuan Eropa bermula di kalangan Nazi dan Fascist. Tapi setidaknya benar: ada banyak mula, ada banyak ”Eropa”, dan itulah yang sering dilupakan. Juga oleh Brugman, ketika ia bicara tentang ”kesatuan buda­ ya”, sebuah identitas yang berintikan warisan Yunani-YahudiKris­tiani. Bukankah konon identitas itu ibarat bawang: sesuatu yang tampak utuh, tapi jika dibuka, yang ada hanyalah lapisan kulit demi lapisan kulit, tanpa inti?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 12 Juni 2005



420



Catatan Pinggir 7



TURKI



http://facebook.com/indonesiapustaka



K



ETIKA Ka dibunuh di sebuah jalanan Frankfurt, siapa­ kah­dia sebenarnya? Seorang pengkhianat, atau seorang yang bersalah hanya karena ia tak jelas, juga bagi dirinya sen­diri?­Ataukah seorang korban dari konflik yang melukai Turki bertahun-tahun—karena kata ”sekuler” dan ”Islam” begitu panas dan eksplosif dan begitu banyak orang terkoyak? Tapi baiklah saya perkenalkan dulu siapa Ka. Ia lelaki jangkung berumur 42 tahun yang pemalu, belum menikah, dan me­ nu­lis puisi. Nama sebenarnya Kerim Alakusoglu, tapi sejak di sekolah ia menolak dipanggil demikian. Ia tokoh utama novel­ Orhan Pamuk Kar (dalam versi Inggris, Snow), seorang yang, kata sang empunya cerita, hidup 12 tahun lamanya di Jerman dan pada suatu hari kembali ke Istanbul ketika ibunya meninggal. Dari Istanbul, ia memutuskan pergi ke Kars. Tak jelas betul sebenarnya, juga bagi dirinya sendiri, apa yang mendorongnya ke kota udik dan melarat di timur laut di perbatasan dengan Armenia itu. Ia, yang dibesarkan di Istanbul­di keluarga yang tak kenal kemiskinan, mungkin berniat pergi ”untuk memberanikan diri memasuki dunia lain nun di sana”. Atau mungkinkah ia ke Kars untuk menemui kembali Ipek, teman kuliahnya yang cantik, yang pulang ke kampung halaman, menikah dan kemudian bercerai dari suaminya? Ia malu meng­ akui ini. Ia punya alasan lain yang dikemukakannya ke semua orang: ia datang untuk menulis tentang sebuah peristiwa ganjil, yakni sejumlah gadis Kars yang secara berturut-turut bunuh diri di kota itu. Ia menulis untuk harian Republik. Di awal novel, kita ikuti ia naik bus pada suatu petang yang kian putih. Salju tak berhenti-hentinya turun sampai menjelang novel berakhir, sampai semua jalan Kars tertutup­ olehnya. Di Catatan Pinggir 7



421



http://facebook.com/indonesiapustaka



TURKI



kota berpenghuni 80 ribu yang terjepit itu Ka me­nemui­banyak orang, tempat ia bertanya atau menjawab, takut atau berharap. Kars adalah tuas dalam hidupnya, antara yang lama dan yang baru. Seperti disebut di awal, ia mati di negeri asing. Ia juga mati praktis tanpa konklusi, tak jelas dibunuh oleh siapa. Bahkan di bagian penutup novel ini perannya digantikan oleh sang pe­nga­ rang,­Orhan, yang ingin menulis tentang mendiang penyair sahabatnya itu. Sementara itu hidup berlangsung terus di Kars dengan kenangan yang terpotong-potong tentang kunjungan pada harihari bersalju itu. Akhirnya Kars, dan bukan Ka, yang bergaung kembali ketika novel tamat. Yang membekas di ingatan kita bukanlah biografi se­orang tokoh, tapi riwayat sebuah Turki di perbatas­an—sebuah perbatasan antarnegeri, juga antarsejarah dan pelbagai harapan besar. Setidaknya sebuah Turki pada awal tahun 1990-an. ”Di Kars,” kata Orhan Pamuk dalam sebuah wawan­cara, ”kita secara harfiah dapat merasakan kesedihan yang timbul karena jadi bagian dari Eropa dan sekaligus dari kehidupan bukan-Eropa yang keras dan pas-pasan.” Di celah dan di bawah kontradiksi yang menyedihkan itu ano­mali jadi yang lumrah, hal yang luar biasa seakan-akan sesu­ atu yang wajar—dan Orhan Pamuk mengisahkan semua ini dengan kalimat yang datar, semacam lelucon yang kering dan gelap: di sini terbit sebuah koran lokal yang dapat menuliskan satu berita sebelum peristiwanya terjadi, termasuk terbunuhnya aktor Sunay di pentas. Di sini sejumlah anak perempuan berjilbab tibatiba bunuh diri berturut-turut, tapi orang tak pasti kenapa. Di sini seorang direktur lembaga pendidik­an yang ”sekuler”—yang melarang murid-murid memakai jilbab—merekam percakapan terakhirnya dengan pembunuhnya, seorang ”Islamis”. Di sini sebuah kudeta militer dan pembantaian berlangsung seakan-akan 422



Catatan Pinggir 7



http://facebook.com/indonesiapustaka



TURKI



bagian dari sebuah pertunjukan yang mementaskan lakon ”Tanah Airku atau Jilbabku”. Di sini bersembunyi seorang buron yang dianggap berbahaya, tapi pertemuannya dengan Ka di tempat rahasia ia tutup dengan hikayat tentang pendekar perang bernama Rüstem. Di Kars, di antara fiksi dan fakta, realitas dan imajinasi, hidup­ menutupi luka-lukanya. Kekerasan dan kematian terjadi seakan-­ akan bagian dari sejarah yang diimlakkan dari jauh, dan tiap na­sib seperti seserpih salju yang melayang. Akhir­nya salju hadir seakan-akan sebuah perumpamaan bagi hidup­kota yang miskin itu, kota yang berharap antara semangat­”sekuler”­Attaturk dan semangat ”Islamis” yang melawannya: salju ada­lah warna putih yang mengandung janji untuk tak bernoda, tapi tak seterusnya bisa; bahkan ia jadi kebekuan yang akhir­nya memblokir semua jalan. Walhasil, nada dasar kisah Orhan Pamuk adalah hüzün, kata Turki untuk ”melankoli”. Kalimat penghabisan Snow ber­­bunyi: ”Seraya memandangi salju terakhir yang menutupi­atap-­atap ru­ mah dan pita asap tipis yang bergetar naik dari cerobong pabrik yang patah, aku mulai menangis.” Adakah itu berarti, di Kars, di Turki, juga setelah salju cair, jalan tetap buntu? Mungkin. Melankoli itu berlanjut dalam buku Orhan Pamuk yang kemudian, serangkai potret tentang Istanbul yang dikenalnya sejak anak-anak. Di sana ia menulis:­”Terpukau keindahan kota ini dan Selat Bosphorus, orang akan diingatkan akan perbedaan hidupnya sendiri yang papa di hari ini dengan kejayaan yang membahagiakan di masa lampau.” Tapi masa lalu itu tak bisa diulangi, betapapun kerasnya niat mereka yang ingin melikuidasi Turki modern yang dibawa oleh Kemal Attaturk. Sementara itu masa depan—jika itu ber­arti ”Ero­pa”—kian terasa menyakitkan: ia sebuah hasrat yang di Ero­ pa sendiri ditampik. Sebagian dari orang Prancis dan Belanda Catatan Pinggir 7



423



TURKI



yang berkata ”Tak!” kepada rancangan konstitusi Eropa adalah mereka yang juga berkata ”Tak!” kepada kemungkinan Turki masuk ke perserikatan negeri-negeri yang lazim disebut ”Barat” itu. Mungkin Blue benar, atau separuhnya benar. Si radikal yang dulu hidup di Jerman dan kemudian mati ditembak tentara di Kars itu berkata kepada Ka: ”Sering kali bukan orang Eropa yang meremehkan kita. Yang terjadi ketika kita menatap mereka adalah kita yang meremehkan diri sendiri.”



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 19 Juni 2005



424



Catatan Pinggir 7



JACKO



http://facebook.com/indonesiapustaka



M



ICHAEL Jackson adalah sebuah kesepian. Pada suatu hari, ketika umurnya menjelang 30 tahun, ia meng­ ubah warna kulitnya yang gelap jadi hampir sepucat­ langsat, hidung­nya yang pesek jadi mirip gading diraut, dan rambutnya yang kribo jadi bak mayang terurai. Lihat, kata orang yang kesal, si negro itu menampik asal-usulnya! Ia malu akan ciri rasnya sendiri! Mereka tak bertanya kenapa, mereka merasa tahu kenapa. Ka­ ta mereka Michael ingin jadi kejora yang paling beker­lap. Ia bersolek habis-habisan. Wajah itu jadi topeng, tubuh itu jadi ma­ne­ kin di etalase. Tapi itu semua hasil kemasan yang di­cocok­kan dengan selera kecantikan orang putih, karena­mere­kalah yang sejak berabad-abad menentukan—berkat penakluk­an di masa lalu dan media massa di masa kini—apa yang ”bagus” atau ”tak bagus”­di dunia. Tapi sebaliknya bisa dikatakan: bukankah Michael Jackson­ yang membuat dirinya sebuah boneka yang siap bagi mereka­ yang ingin menontonnya terus-menerus? Ia seorang pesulap. Ti­ ap pesulap tahu, di depan khalayak ia berdusta, karena dusta itu meng­asyikkan hadirin. Di situlah Michael tak sekadar sebuah ma­­nekin. Ia subyek yang bermain. Memang subyek itu akhirnya tak kentara, sebab trans­formasi­ itu tak kunjung berhenti. Michael mengenakan topeng sampai le­ pas panggung. Tapi apa boleh buat: ia penyanyi yang jadi selebri­ tas: tiap saat adalah sebuah pertunjukan, tiap jengkal tanah sebuah pentas, tiap posisi sebuah pose. Ia memang tampak tak ”alamiah” dan ganjil. Tapi bukan­kah jus­tru itu tanda ia melebur diri jadi bagian hasrat orang ramai? Sebenarnya ia juga seperti kita. Atau tiap kita adalah Michael­ Catatan Pinggir 7



425



http://facebook.com/indonesiapustaka



JACKO



Jackson: aku sebagai seonggok kecemasan. Ketika aku becermin­ atau melihat pasfoto dalam KTP-ku, tampak sebuah sosok. Ku­ sepakati sosok itu diriku. Tapi cermin itu, juga pasfoto KTP itu, se­betulnya sebuah medium permufakatan sosial. Di baliknya ada masyarakat, kekuasaan, juga hukum: sebungkah pihak ”Sana” yang memberi diriku, di ”sini”, sebuah stabilitas, sebuah nama, sebuah identitas. Tapi aku tahu cermin itu, pasfoto KTP dan kesepakatan itu, se­benarnya tak menunjukkan aku seutuhnya. Dengan bercermin sesungguhnya aku jadi bagian dari ”Sana” yang hanya­melihat di­ riku dari luar pada suatu saat. Yang selalu luput­dalam identifikasi­ itu adalah ”aku” yang tak tampil pada saat itu. Maka di depan cer­min terkadang aku cemas kalau-kalau tak memenuhi ukuran ”Sana”, terkadang aku juga cemas kalau-­kalau ”Sana” menaklukkan aku sepenuhnya. Tapi di teater yang tak berbatas, Michael Jackson (berbeda da­ ri kita) berkaca tak henti-henti. Di mana sebenarnya, dan seharusnya, dirinya? Saya kira ia sadar: ia orang hitam, bagian dari ras yang dianggap nista. Maka ia jadikan dirinya topeng, sengaja atau tidak, se­ bagai cara menunjukkan bahwa cermin yang dipasang pihak ”Sa­ na” yang memberinya identitas itu telah menjepit­diri­­nya. Ia tak mau. ”I am not going to spend/My life being a color,”­begitulah seba­ ris syair rap dari Black or White. Bahkan dalam lirik They Don’t Care About Us, protes itu tajam: di Amerika, tanah kelahirannya, ia capek jadi korban yang selalu dipermalukan: I’m tired of bein’ the victim of shame They’re throwing me in a class with a bad name I can’t believe this is the land from which I came



426



Catatan Pinggir 7



JACKO



Mungkin sebab itu pula, seluruh hidupnya adalah kisah mele­ paskan diri. Ia melepaskan diri dari citra lelaki ”negro” yang tersebar ke seluruh dunia sejak si budak Mandingo sampai si petinju Mike Tyson: otot jantan yang brutal, obyek fantasi seks, sumber rasa ngeri dan iri. Michael Jackson justru tampil bak Arjuna dalam wayang Jawa: lelaki yang semampai, lembut, ”feminin”, meskipun pada Michael, itu berarti kesepian. Ada paradoks dalam kesepian itu. Di satu pihak ia ingin membentuk ceritanya sendiri (dalam Scream yang menjeritkan ke­ti­ dak­­adilan Michael berkata ketus: ”Tired of you tellin’ the story your way”). Tapi, seperti tadi dikatakan, ia juga pesulap­ yang ingin membuat dirinya jadi bagian keasyikan orang ramai. Ia ”pembeda”, dalam arti ia membuat perbedaan jadi tampak; tapi ia juga— jika kita pakai kata Jawa beda di sini—meng­usik, berseloroh, menarik-ulur orang lain. Namun sesuatu hilang dalam proses ”beda” itu: Michael­— makhluk showbiz yang sejak umur enam tahun selalu me­relakan di­ri jadi sebuah konstruksi pasar—tak pernah punya­ dunia di mana ia bergerak polos, ”alamiah”. Ia tak punya masa kanak seperti kita. Ia bukan seperti si Wendy dan adik-adiknya dalam The Adventures of Peter Pan. Ia kehilangan masa itu. Kita baca sebait liriknya:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Have you seen my childhood? I’m searching for the world that I come from Masa kanak yang hilang itu selalu ia cari, tapi ia tahu tak se­ orang pun memahaminya. Orang melihatnya sebagai kelakuan eksentrik: They view it as such strange eccentricities... Catatan Pinggir 7



427



JACKO



’Cause I keep kidding around Like a child Demikianlah ketika di usia hampir 40 ia terus bermain dan ti­dur bersama anak-anak di estate-nya yang ia sebut ”Neverland” seperti dunia Peter Pan, orang pun mengejeknya sebagai ”Wacko Jacko”. Orang berteriak: awas, ia pedofiliak! Ia terbukti tak bersalah. Tapi ia tetap sebuah kesepian. Ia gagal­ melepaskan diri dari sebuah dunia yang menentukan bahwa jadi ”dewasa” adalah jadi ”normal” dan lurus, hingga mudah bagi pro­ses produksi yang digerakkan modal, seperti kayu yang dike­ tam. Dengan kata lain, ia tak bebas dari dunia yang ditakutkan Peter Pan. Di penutup yang sedih dari cerita J.M. Berrie itu, Peter— makhluk yang datang sebagai khayal anak-anak itu—menolak­ bersekolah, kerja di kantor, dan jadi ”laki-laki”. Malam itu ia lihat Wendy jadi dewasa dan tak bisa lagi terbang mengikutinya. Ia dapatkan Michael, si adik, sudah besar dan lupa akan petualang­ an mereka bersama dalam dongeng. Dengan sayu Peter Pan pun berkata, sebelum lenyap: ”Halo, Wendy, selamat tinggal.”



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tempo, 26 Juni 2005



428



Catatan Pinggir 7