Grand Teori Belajar Matematika [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Grand Teori Belajar Mei 25, 2015 / khoirotuzzainiyah BAB I PENDAHULUAN



1. Latar belakang Belajar bukan hanya menghafal dan mengingat, tetapi belajar adalah sesuatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri peserta didik dari berbagai bentuk seperti sikap, tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan daya penerimaan. Dalam suatu pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori belajar dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: teori belajar behaviouristik, humanistik, kognitif dan kontruktivistik. 1. 2. 3. 4. 5.



Rumusan masalah Bagaimana Teori behaviouristik itu? Bagaimana Teori humanistik itu? Bagaimana Teori kognitif itu? Bagaimana Teori kontruktivistik itu?



1. 2. 3. 4. 5.



Tujuan penulisan Memahami teori behaviouristik Memahami teori humanitik Memahami teori kognitif Memahami teori kontruktivistik BAB II PEMBAHASAN



1. Teori Behaviouristik



Teori behaviouritik merupakan Perubahan perilaku seseorang yang dapat diamati, diukur, dan dapat dinilai secara konkret Ciri-ciri teori behaviouristik: Bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, menekankan pentingnya latihan dan mementingkan mekanisme hasil belajar. Para ahli behaviouristik berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman atau akibat adanya input berupa stimulus dan output berupa respon-respon.[1] 1. Tokoh-tokoh dalam aliran behaviouristik 1. L.Thorndike ( teori koneksionisme ) Prinsipnya adalah belajar asosiasi antara kesan panca indera dengan impuls untuk bertindak. Asosiasi itulah yang menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan, sehingga teori ini disebut Connectionism atau bond psychology.[2] Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain merupakan hubungan antara stimulus (perangsang) merupakan respon (jawaban, tanggapan reaksi), diistilahkan S-R bond. Pembentukan hubungan S-R dilakukan dengan latihan dan ulangan-ulangan, dengan prinsip trial and error, coba dan salah, dengan eksperimen kepada seekor kucing yang dibuat lapar dan dimasukkan ke dalam suatu kotak percobaan (problem box) yang luar box ada makanan, apabila kucing menyentuh tombol tertentu maka pintu kotak akan terbuka dan kucing dapat keluar mendapatkan makanan yang ditempatkan diluar kurungan tersebut.[3] Teori ini mempunyai ciri-ciri: Adanya motif yang mendorong aktivitas, adanya berbagai respon terhadap situasi, adanya eliminasi respon-respon yang gagal atau salah, adanya kemajuan reakireaksi dalam mencapai tujuan. Beberapa hukum belajar yang dikemukakan Thorndike, mengacu pada tiga hukum belajar pokok, yaitu: 



 



Law of readiness (Hukum kesiapan) adalah reaksi terhadap stimulus yang didukung oleh kesiapan untuk bertindak dan bereaksi yang menimbulkan kepuasan terhadap individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Law of exercise (hukum latihan) adalah hubungan stimulus respon apabila sering digunakan akan makin kuat melalui pengulangan Law of effect (hukum akibat) adalah menunjukkan kepada makin kuat atau lemahnya hubungan sebagai akibat dari pada hasil respon yang dilakukan.[4]



1. Clark Hull Semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup (struggle for existence). Oleh sebab itu, kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalm seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macammacam.[5]



1. Watson Belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable), perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar tidak diperhitungkan, karena tidak dapat diamati. 1. Edwin Guttrie Hukum belajar yang dihasilkan dari penyelidikannya adalah law of Contiguity atau hukum hubungan. Gabungan stimulus-stimulus yang disertai dengan gerakan, pada waktu timbul kembali akan cenderung diikuti dengan gerakan yang sama. Hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar, hukuman tersebut diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.[6] 1. F Skinner (operant Conditioning) Teori ini diberi dengan adanya respon (R) melalui eksperimen seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti “skinner box” karena adanya reinforcement/penguatan. Dalam eksperimen terhadap tikus tersebut digunakan suatu tanda untuk memperkuat respon (discriminative stimulus) berupa tombol lampu dan pemindah makanan. Reinforcement stimulus tersebut berupa makanan. Hukum belajar meliputi: Law of Operant Conditioning artinya jika timbulnya perilaku diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat dan Law of Operant Extinction artinya jika timbulnya perilaku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan akan menghilang.[7] 1. Ivan Petrovitch Pavlov (Clasiccal Conditioning) Pavlov berpendapat apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS), cepat atau lambat akan menimbulkan respon atau perubahan yang dikehendaki dalam CR. Dengan eksperimen percobaan seekor anjing yang diberi makanan sehingga akan mengeluarkan air liur.[8] 1. Albert Bandura (Social Learning) Teori ini mengatakan bahwa perilaku tidak semata-mata reflek otomatis terhadap stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat dari reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Dalam hal ini belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Bandura menganggap conditioning melalui reward dan punishment.



2. Implikasi Teori Behavioristik Terhadap Pembelajaran Siswa, meliputi: mendudukkan siswa menjadi individu yang pasif, menjadikan peserta didik dalam mencari suatu materi



hanya dengan “meng-copy and paste, mengarahkan peserta didik untuk berfikir tidak kreatif dan tidak produktif, dalam penilaian hasil belajar, siswa hanya diukur dari hal yang nyata seperti; tes tertulis, hasil uji kinerja yang dapat diamati, sehingga yang tidak teramati seperti; sikap, minat dan bakat kurang dijangkau oleh penilaian.[9] 3. Aplikasi Teori Behavioristik Terhadap Pembelajaran Siswa meliputi: guru menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, materi disampaikan secara utuh oleh guru, guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh, bahan pelajaran disusun dari yang sederhana sampai pada yang kompleks, pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati perilaku yang tampak. 4. Kelebihan dan kekurangan teori Behaviouristik, antara lain Adapun kelebihannya yaitu; sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan, materi yang disampaikan sangat detail, dan membangun konsentrasi pikiran. Sedangkan kekurangannya meliputi; pembelajaran perserta didik hanya berpusat pada guru, peserta didik hanya mendengarkan tertib penjelasan guru, peserta didik tidak bebas berkreasi dan imajinasi. 1. Teori Kognitif Teori kognitif adalah Pembelajaran yang lebih menekankan pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peserta didik. Pendekatan kognitif mempunyai dua prinsip, yaitu; pengetahuan awal memerankan peranan penting dalam pembelajaran dan sistem ingatan adalah suatu prosesor informasi yang aktif atau terorganisasi. Teori belajar kognitif lebih menekankan proses belajar dari pada hasil belajar. Teori ini menekankan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahaman tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.[10] 1. Tokoh-tokoh dalam Teori Kognitif 1. Jean Piaget Menurut Piaget individu berkembang menuju kedewasaan maka ia akan mengalami adaptasi dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya. Proses belajar berlangsung dalam tiga tahapan yaitu: asimilasi, akomodasi, equilibrasi. Tahapan – tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget : 



Tahapan Sensori Motor (usia 0-2 tahun)



Dalam usia dua tahun, bayi dapat memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba, memegang, mencium, mendengarkan dan menggerakkan anggota tubuh. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik dan motoriknya. Anak mulai memahami bahwa perilaku tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya.







Tahap pra-operasional (usia 2-7 tahun)



Pada tahap ini dalam perkembangan bahasa dan ingatan, anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Kelebihannya anak mampu mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok, tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang berbeda. 



Tahap operasional konkret (berlangsung sekitar 7-11 tahun)



Pada kurun waktu ini pikiran logis anak mulai berkembang. Dalam usahanya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari panca indera. 



Tahap operasional formal (usia 11-15 tahun)



Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak, yaitu berpikir mengenai ide, dan mereka sudah mampu memikirkan beberapa alternatif mengenai masalah. Sehingga pada tahap ini anak sudah dapat berpikir secara efektif dan sistematis, secara proporsional, serta menarik generalisasi secara mendasar. 1. Jerome S.Bruner Konsepnya adalah belajar dengan menemukan (discovery learning), artinya siswa mengorganisasikan bahan pelajaran yang dipelajarinya dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir anak, siswa didorong dan disemangati untuk belajar sendiri melalui kegiatan dan pengalaman. Peran guru terutama untuk menjamin agar kegiatan belajar menimbulkan rasa ingin tahu siswa, meminimalkan resiko kegagalan belajar, dan agar belajar relevan dengan kebutuhan siswa. Tiga tahapan perkembangan intelektual menurut Brunner, meliputi: 1. Tahapan Enaktif: dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan keterampilan dan pengetahuan motorik seperti meraba, memegang, mencengkeram, menyentuh, dan menggigit. Anak-anak harus diberi kesempatan bermain dengan berbagai bahan/alat pembelajaran tertentu agar dapat memahami bagaimana bahan alat itu bekerja. 2. Tahapan Ikonik: anak-anak mencoba memahami dunia sekitarnya melalui bentuk-bentuk perbandingan dan perumpamaan, dan tidak lagi memerlukan manipulasi objek-objek pembelajaran secara berlangsung. 3. Tahapan Simbolik: siwa sudah mampu menggambarkan kapasitas berpikir dalam istilahistilah yang abstrak. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol bahasa, logika matematika dan sebagainya. 1. Robert M. Gagne Menurut Gagne, dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.[11]



Gagne mengemukakan delapan macam tipe belajar, meliputi: belajar isyarat (signal learning), belajar stimulus respon (stimulu-response learning), rangkai/bertahap (chaining), asosiasi verbal (verbal association), belajar membedakan (discrimanition learning), tipe belajar konsep (concept learning), tipe belajar kaidah (rule learning), dan tipe belajar pemecahan masalah (problem solving). Gagne juga berpendapat berlangsungnya belajar dalam empat fase, yaitu: fase berusaha mengerti (apprehending), fase perolehan belajar (acquisition), fase penyimpanan (strorage),dan fase mengeluarkan kembali apa yang disimpan dan menggunakannya dalam situasi tertentu untuk memecahkan situasi masalah (retrieval).[12] 1. David P. Ausubel Dalam teori ini, teori belajar pembelajaran bermakna yaitu suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep – konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Teorinya terkait denga sifat-sifat makna terhadap pembelajaran hanya jika berbagai konsep yang berasal dari dunia luar itu telah mampu diubah menjadi kerangka isi oleh siswa yang melibatkan dua proses, yaitu : resepsi, yang ditimbulkan melalui pembelajaran verbal yang bermakna dan penrmuan yang terlibat pembentukan konsep dalam pemecahan masalah. Ausubel lebih berfokus kepada metode pembelajaran verbal dalam berbicara, membaca dan menulis, sehingga dalam hal pembelajaran berdasarkan hafalan tidak banyak memembantu siswa di dalam meemperoleh pengetahuan.[13] 2. Implementasi Teori Kognitif Terhadap Pembelajaran Siswa; yaitu bahwa keaktifan dalam belajar itu sangat penting. Peserta didik yang belajar secara aktif dan bisa optimal proses asimilasi dan akomodasi antara pengetahuan dan pengalaman akan terjadi dengan baik. 3. Kelebihan dan Kekurangan Belajar Kognitif Adapun kelebihannya: Dapat meningkatkan kemampuan peserta didik untuk memecahkan suatu masalah, dapat meningkatkan motivasi,dan membantu peserta didik untuk memahami bahan belajar dengan lebih mudah. Sedangkan kekurangannya meliputi: keberhasilan pembelajaran didasarkan pada kemampuan peserta didik, pendidik dituntut mengikuti keaktifan peserta didiknya dan fasilitas harus mendukung. 1. Teori Humanistik Teori ini lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia dari pada berfokus pada “ketidak normalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Belajar dianggap berhasil apabila si pelajar memahami lingkungannya diri sendiri dan dalam pembelajaran yang mengedepanan bagaimana “memanusiakan manusia” serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.[14]



1. Tokoh-tokoh dalam Teori Humanistik 1. Kolb Pandangannya mengenai belajar, yang teorinya terkenal dengan “Belajar Empat Tahapnya” yaitu: tahap pengamatan aktif dan reflektif, tahap konseptualisasi, tahap eksperimentasi aktif, dan tahap pengalaman konkret. 1. Honey dan Mumford Teori terhadap belajar, menggolongkan orang yang belajar kedalam empat macam atau golongan, yaitu: kelompok aktivis, kelompok reflektor, kelompok teoris dan kelompok pragmatis. 1. Habernas Pendapatnya sering disebut “tiga macam tipe belajar”, yaitu: belajar Teknis (technical learning), belajar Praktis (practical learning) dan belajar Emansipatoris. 1. Bloom dan Krathwohl Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum kedalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom, sebagai berikut: 











Domain Kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu: pengetahuan (mengingat, menghafal), pemahaman (menginterprestasikan), aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah), analisis (menjabarkan suatu konsep), sintesis (menggabungkan bagian – bagian konsep menjadi suatu konsep utuh) dan evaluasi (membandingkan nilai – nilai, ide, metode) Domain Psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu : peniruan (menirukan gerak), penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak), ketepatan (melakukan gerak dengan benar), perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar) dan Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar) Domain Afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu: pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu), merespon (aktif berpartisipasi), penghargaan (menerima nilai – nilai, setia kepada nilai – nilai tertentu), pengorganisasian (menghubung – hubungkan nilai – nilai yang dipercayai) , dan pengalaman (menjadikan nilai – nilai sebagai bagian dari pola hidupnya).



2. Implikasi teori humanistik pada pembelajaran siswa meliputi: guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran, siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri, peran guru menjadi fasilitator dan memberikan motivasi kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa.[15] 3. Aplikasi dalam Teori Humanistik : siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya secara bertanggung jawab



tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan norma, disiplin atau etika yang berlaku. 4. Kelebihan dan kekurangan teori Humanistik Adapun kelebihannya meliputi: mengedepankan hal-hal yang bernuansa demokratis, partisipatif dan humanis, adanya kebebasan berpendapat serta keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah. Sedangkan kekurangannya yaitu; tidak dapat diuji dengan mudah, sifatnya masih buram dan subjektif, dan mengalami pembiasaan terhadap nilai individualistik 1. Teori Kontruktivistik Teori Konntruktivistik adalah kegiatan yang menimbulkan pengalaman untuk merubah menjadi ilmu pengetahuan. Teori ini percaya bahwa siswa mampu menyusun sendiri pengetahuannya melalui kemampuan berpikir dan tantangan yang dihadapinya , menyelesaikan dan membuat konsep mengenai keseluruhan pengalaman realistik dan teori dalam satu pengetahuan utuh. Kontruktivistik melandasi pemikiran bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang diberikan dari alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. 1. Tokoh –tokoh dalam Teori Kontruktivistik 1. John Dewey Bahwa belajar bergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum harus saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada Siswa (SCL= Student Centered Learning ) dalam konteks pengalaman sosial. 1. Jean Piaget Menyatakan bahwa struktur kognitif anak akan meningkat sesuai dengan perkembangan usianya, bergerak dari sekedar reflek-reflek awal seperti menangis dan menyusui menuju aktivitas mental yang kompleks.[16] Piaget juga menambahkan bahwa pengetahuan yang diperoleh seorang anak merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan awal yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang baru diperolehnya melalui 2 cara yaitu : Asimilasi (integrasi konsep yang merupakan tambahan atau penyempurnaan dari konsep awal yang dimiliki) dan Akomodasi (terbentuknya konsep baru pada anak karena konsep awal tidak sesuai dengan pengalaman baru yang diperolehnya). 1. Lev Vygotsky Vygotsky lebih suka menyatakan teori pembelajran sebagai pembelajran kognisi sosial (social cognition) yaitu menyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu utama bagi pengembangan individu.[17]



Prinsip-prinsip Konstruktivistik: Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, murid aktif mengkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah dan guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar. 2. Implikasi teori konstruktivistik pada pembelajaran siswa 1. Tujuan pendidikan: menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi, 2. Kurikulum: dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari 3. Pengajaran: guru sebagai fasilitator dan mediator dan teman (mitra belajar) yang membangun situasi kondusif untuk terjadinya kontruksi pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik. 4. Pebelajar: peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. 5. Penilaian: tidak memerlukan adanya tes yang baku sesuai dengan tingkat kelas. Hanya diberikannya berupa portofolio sebagai model penilaian. 3. Kelebihan dan kekurangan Teori Kontruktivistik Adapun kelebihannya antara lain; siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan masalah, lebih mengeti dan mengaplikasikannya dalam semua situasi, siswa akan lebih lama ingat suatu konsep dan siswa dapat berinteraksi dengan baik. Sedangkan kekurangannya; dalam proses belajar dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung. 4. Implementasi teori kontruktivistik dalam pembelajaran, meliputi : mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar, dan mendorong siswa untuk berfikir tingkat tinggi. BAB III PENUTUP



Teori behaviouritik merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diamati, diukur, dinilai secara kongkrit. Ciri-ciri teori behaviouristik: bersifat mekanistik, menekankan peranan lingkungan, menekankan pentingnya latihan dan mementingkan mekanisme hasil belajar. Tokoh-tokoh dalam aliran behaviouristik; E.L.Thorndike, Watson, Edwin Guthrie, Clark Hull, B.F Skinner, Ivan Petrovitch Pavlov Albert Bandura. Teori kognitif adalah Pembelajaran yang lebih menekankan pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peserta didik. Adapun tokoh-tokohnya yaitu; Jean piaget, Jerome S.Brunner, Robert M. Gagne, David P. Ausubel.



Teori humanistik adalah memanusiakan manusia. Tokoh teori humanistik: kolb, honey dan mumford, habernas, bloom dan krathwohl. Teori Kontruktivistik adalah kegiatan yang menimbulkan pengalaman untuk merubah menjadi ilmu pengetahuan. Tokoh –tokoh dalam Teori Kontruktivistik; John Dewey, Jean Piaget, Lev Vygot



DAFTAR PUSTAKA



Baharrudin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, Jogjakarta; Ar-Ruzz Media, 2010. Dakir, Dasar-Dasar Psikologi, Jakarta; Pustaka Pelajar, 1993. Hadis Abdul , Psikologi dalam Pendidikan, Bandung; Alfabeta, 2006. Hariyanto dan Suyono, Belajar dan pembelajaran, Bandung; PT Remaja Rosdakarya, Nasition, S, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, Jakarta; PT Bumi Aksara, 2005. [1]Suyono dan Hariyanto, Belajar dan pembelajaran, Cet 4 (Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 59. [2]Baharrudin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, Cet 3 (Jogjakarta; Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 162. [3]Suyono dan Hariyanto, Op.cit., hlm. 61. [4]Baharuddin. Op.cit., hlm 163. [5]Suyono dan Hariyanto. Op.cit., hlm. 63. [6]Suyono dan Hariyanto. Op.cit., hlm. 62-63. [7]Baharuddin. Op.cit., hlm. 165-166. [8]Ibid., hlm. 164. [9]Suyono dan Hariyant. Op.cit., hlm. 70. [10]Ibid., hlm. 75.



[11]Ibid., hlm. 92. [12]S.Nasition,Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar,Cet 9, (Jakarta; PT Bumi Aksara, 2005), hlm.140-141. [13]Suyonodan Hariyanto. Op.cit., hlm.100. [14]Abdul hadis, Psikologi dalam Pendidikan, (Bandung; Alfabeta, 2006), hlm. 71. [15]Dakir, Dasar-Dasar Psikologi (Jakarta; Pustaka Pelajar, 1993), hlm. 64. [16]Suyono dan Hariyanto. Op.cit., hlm. 108. [17]Ibid., hlm. 109.



EORI BERPIKIR



TEORI BERFIKIR KREATIF [PENDIDIKAN] A. Pengertian Berpikir Kreatif 1. Pengertian Berpikir Beberapa ahli pendidikan memberikan pengertian tentang berpikir. Suryasubrata (1990: 54) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses dan jalannya. Selain itu, Resnick (Ho dan Fook, 1999) menyatakan bahwa berpikir adalah suatu proses yang melibatkan operasi mental seperti klasifikasi, induksi, deduksi, dan penalaran. Senada dengan Resnick, menurut Ibrahim dan Nur (2000: pengertian berpikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan pada inferensi, atau pertimbangan yang seksama. Berarti kemampuan menganalisis, mengkritik dan mencapai suatu kesimpulan selalu berdasarkan inferensi atau judgement, dengan demikian berpikir merupakan proses yang kompleks dan non-algoritmik. Dalam kaitannya dengan proses yang terjadi pada saat berpikir, Marpaung (Budiarto dan Hartono, 2002: 481) memberikan gambaran bahwa proses berpikir merupakan proses untuk memperoleh informasi (dari luar atau diri siswa), pengolahan, penyimpanan dan memanggil kembali informasi dari ingatan siswa. Dengan demikian dapat dikatakan, pada prinsipnya proses berpikir meliputi tiga langkah pokok yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan kesimpulan. Setelah dibahas pengertian berpikir, selanjutnya akan dibahas bagaimana proses berpikir matematik. Berpikir dalam matematika erat kaitannya dengan daya matematik. Istilah daya matematik mengandung arti kemampuan atau kekuatan seseorang yang berkaitan dengan karakteristik matematika. Berbicara tentang karakteristik matematika, masing-masing orang akan memberikan penafsiran yang berbeda-beda bergantung pada pengetahuan dan pengalaman masingmasing.



Matematika dikenal sebagai ilmu yang deduktif aksiomatik, berarti sifatnya yang menekankan pada proses deduktif yang memerlukan penalaran logis dan aksiomatik, yang dimulai dari aksioma, definisi, kemudian melahirkan teoremateorema. Matematika dalam proses pengembangannya mungkin diawali dengan proses induktif meliputi penyusunan konjektur, model matematika, analogi dan generalisasi, melalui pengamatan terhadap sejumlah data. Karakteristik berikutnya, matematika dikenal sebagai ilmu yang terstruktur secara sistematis, artinya konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai konsep yang paling kompleks. Memperhatikan karakteristik matematika di atas, secara umum daya matematik dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir matematik atau kemampuan melaksanakan kegiatan dan proses atau tugas matematik. Ditinjau dari kedalaman atau kekompleksan kegiatan matematik, daya matematik dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu berpikir tingkat rendah (lower-order thinking) dan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking) (Web dan Coxford, 1993). Berikut ini merupakan uraian dari masing-masing istilah tersebut. a. Berpikir Tingkat Rendah Bloom (Ruseffendi, 1991: 200) mengemukakan bahwa berpikir tingkat rendah meliputi tiga aspek pertama dari ranah kognitif yaitu aspek pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), dan aplikasi (application). Selanjutnya Ruseffendi (1991) memberikan penjelasan kepada masing-masing aspek tersebut yaitu pengetahuan berkenaan dengan hapalan dan ingatan, misalnya hapal atau ingat tentang simbol, istilah, fakta, konsep, definisi, dalil, prosedur, pendekatan, dan metode. Pemahaman berhubungan dengan penguasaan atau mengerti tentang sesuatu tetapi tahap pengertiannya masih rendah, misalnya mengubah informasi ke dalam bentuk paralel yang lebih bermakna, memberikan interpretasi, semua itu dilakukan atas perintah. Pemahaman ada tiga macam yaitu pengubahan (translation), pemberian arti (interpretation), dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Aplikasi adalah kemampuan siswa menggunakan apa yang diperolehnya dalam situasi khusus yang baru dan konkrit. Pendapat lain mengenai berpikir tingkat rendah, Marzano (1994) berpendapat



bahwa yang dimaksud berpikir tingkat rendah meliputi aspek mengingat, memfokuskan, dan mengumpulkan informasi. Aspek berpikir tingkat rendah menurut pendapat Bloom dan Marzano terdapat kemiripan satu sama lain. Selain dua pendapat di atas, Webb dan Coxford (1993) memberikan pengertian bahwa yang dimaksud berpikir tingkat rendah yaitu meliputi operasi hitung sederhana, menerapkan rumus matematika secara langsung, mengikuti prosedur (algoritma baku). Meskipun ketiga pendapat di atas memberikan pengertian tentang berpikir tingkat rendah berbeda secara redaksional, namun mengandung makna yang sejalan yaitu sama-sama proses berpikir tingkat rendah yang erat kaitannya dengan soal-soal rutin. b. Berpikir Tingkat Tinggi Berbicara mengenai berpikir tingkat tinggi, para ahli mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Meskipun berbeda pendapat, tetapi para ahli setuju bahwa berpikir tingkat tinggi berarti kapasitas untuk berada pada tingkat yang lebih tinggi dari informasi yang ada, mengevaluasi, mempunyai kesadaran metakognitif dan mempunyai kemampuan pemecahan masalah. Pemikiran kritis, kreatif, dan konstruktif tidak dapat dipisahkan dari berpikir tingkat tinggi. Ruseffendi (1991: 220) mengemukakan bahwa tiga ranah kognitif terakhir dari Bloom yaitu aspek analisis, sintesis dan evaluasi, termasuk pada aspek berpikir tingkat. Lebih jauh Ruseffendi (1991, 222) memaparkan masing-masing aspek tersebut. Menganalisis adalah kemampuan memisahkan materi ke dalam bagianbagian yang perlu, mencari hubungan antara bagian-bagian, mampu melihat komponen-komponan, bagaimana komponen-komponen itu berhubungan dan terorganisasikan, kemampuan menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin. Selanjutnya yang dimaksud sisntesis adalah kemampuan bekerja dengan bagianbagiannya, unsur-unsurnya dan menyusun menjadi suatu kebulatan baru seperti pola dan struktur. Aspek terakhir adalah evaluasi, merupakan aspek yang meliputi aspek-aspek sebelumnya. Sedangkan menurut Marzano (1994) berpikir tingkat tinggi meliputi aspek-aspek mengorganisasi, membangun (generating), menginvestigasi dan mengevaluasi. Bloom dan Marzano memiliki pandangan yang sejalan, terdapat beberapa kesamaan yaitu aspek generalisasi dan integrasi dari Marzano sama dengan aspek



sintesis dari Bloom. Jadi dapat dikatakan bahwa berpikir tingkat tinggi berarti berpikir dengan mengambil beberapa tahap yang lebih tinggi dari hierarki proses kognitif. Pendapat lain tentang berpikir tingkat tinggi diungkapkan oleh Ibrahim dan Nur (2000: yang menjelaskan bahwa karekteristik berpikir tingkat tinggi adalah non-algoritmik yaitu alur tindakan yang tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya, cenderung kompleks, seringkali menghasilkan banyak solusi, melibatkan pertimbangan dan interpretasi, serta aktivitas mental yang tinggi. Lebih luas lagi Webb dan Coxford (1983) memberikan pengertian tentang berpikir tingkat tinggi meliputi memahami ide matematika secara lebih mendalam, mengamati data dan menggali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi dan generalisasi, menalar secara logis, menyelesaikan masalah, komunikasi secara matematika, dan mengaitkan ide matematika dengan kegiatan intelektual lainnya. Keterkaitan antara berpikir tingkat tinggi dan pelajaran matematika dijelaskan oleh Romberg (Chair, 1993) dengan menyatakan bahwa diantara aspek berpikir tingkat tinggi dalam matematika yang penting adalah pemecahan masalah matematik dan koneksi matematik. Dalam menyelesaikan masalah matematik tidak cukup dengan melakukan perhitungan rutin, melainkan harus menggunakan penalaran yang logis, demikian pula dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut aspek koneksi matematik, siswa harus mempunyai wawasan yang luas untuk melihat keterkaitan matematika dengan ilmu lain. 2. Kemampuan Berpikir Kreatif a. Berpikir Kreatif Sebelum kita membahas berpikir kreatif, perlu kita ketahui fungsi otak manusia. Otak manusia secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri dan otak kanan mempunyai fungsi yang berbeda, namun saling terkait. Fungsi otak kiri sebagai sumber logika sedangkan otak kanan sebagai sumber perasaan spiritual (Nurhalim, S.M. 2003. 39). Pendidikan pada umumnya banyak mengasah fungsi otak kiri. Ketidakseimbangan kedua fungsi otak tersebut berdampak kepada proses pendidikan yang menguatnya aspek kognitif tetapi berkurangnya perasaan. Perasaan merupakan komponen dalam kemampuan berpikir kreatif (kreativitas) yang sangat penting. Masalahnya adalah



menguatnya aspek kognitif tanpa disertai dengan meningkatnya kemampuan berpikir kreatif tidak cukup untuk berkompetisi di era global, karena tantangan dalam hidup ini tidak cukup diselesaikan dengan kemampuan kognitif saja, melainkan diperlukan pemikiran yang kreatif. Oleh karena itu dalam pendidikan perlu keseimbangan antara pengembangan berpikir kreatif yang merupakan dominasi otak kanan, dan kemampuan kognitif adalah fungsi otak kiri. Fungsi kedua bagian otak adalah seperti pada Tabel 2.1. Kreativitas artinya daya cipta. Daya cipta sebagai kemampuan untuk menciptakan hal-hal yang sama sekali baru adalah hal yang hampir tidak mungkin, oleh karena itu kreativitas merupakan gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Sehingga Munandar (1999:47) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada. Tabel 2.1. Fungsi Otak Kiri dan Otak Kanan Manusia Otak kiri Otak kanan Logis / rasional Imajinatif Sekuensial/sistematis Acak/tidak beraturan Linear Intuitif Analitis Holistik Matematis Sintesis Teknis Perasaan Konservatif Kesadaran spasial Perencanaan Pengenalan bentuk / pola Organization Musik/seni Administratif Kepekaan warna Pemecahan masalah Kreasi/daya cipta Bahasa Visualisasi Konseptor Spiritual Sumber: Nurhalim, S.M, 2003: 40. Ditinjau dari cara berpikir, kreativitas adalah kemampuan yang berdasarkan pada data atau informasi yang tersedia, untuk menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, di mana penekanannya adalah pada kuantitas,



ketepatgunaan, dan keragaman jawaban (Munandar, 1999: 48). Dari pendapat ini makin banyak kemungkinan jawaban yang diberikan terhadap suatu masalah makin kreatiflah seseorang. Tentu saja jawaban-jawaban itu harus sesuai dengan masalahnya. Jadi tidak semata-mata banyaknya jawaban yang diberikan untuk menentukan kreativitas seseorang, tetapi juga mutu atau kualitas jawabannya. Selanjutnya Munandar (1999: 50) mengemukakan bahwa, kreativitas dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang mencerminkan aspek-aspek kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan.



Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif Menurut Para Ahli - Berpikir kritis dan berpikir kreatif merupakan perwujudan dari berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Berpikir kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir siswa untuk membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki. Bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan. Berpikir kritis sering dikaitkan dengan berpikir kreatif.



Evans (1991) menjelaskan bahwa berpikir kreatif adalah suatu aktivitas mental untuk membuat hubungan-hubungan (conections) yang terus menerus (kontinu), sehingga ditemukan kombinasi yang “benar” atau sampai seseorang itu menyerah. Asosiasi kreatif terjadi melalui kemiripan-kemiripan sesuatu atau melalui pemikiran analogis. Asosasi ide-ide membentuk ide-ide baru. Jadi, berpikir kreatif mengabaikan hubungan-hubungan yang sudah mapan, dan menciptakan hubungan-hubungan tersendiri. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif merupakan kegiatan mental untuk menemukan suatu kombinasi yang belum dikenal sebelumnya.



Berpikir kreatif dapat juga dipandang sebagai suatu proses yang digunakan ketika seorang individu mendatangkan atau memunculkan suatu ide baru. Ide baru tersebut merupakan gabungan ide-ide sebelumnya yang belum pernah diwujudkan (Infinite Innovation Ltd, 2001). Pengertian ini lebih menfokuskan pada proses individu untuk memunculkan ide baru yang merupakan gabungan ide-ide sebelumnya yang belum diwujudkan atau masih dalam pemikiran. Pengertian berpikir kreatif ini ditandai adanya ide baru yang dimunculkan sebagai hasil dari proses berpikir tersebut.



Berdasar pendapat-pendapat tersebut, maka berpikir kreatif dapat diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seorang untuk membangun ide atau gagasan yang baru.



Dalam memandang kaitan antara berpikir kreatif dan berpikir kritis terdapat dua pandangan. Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan berpikir kritis (analitis) yang didasarkan pada logika, dan kedua memandang berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir yang analitis dan intuitif. Berpikir yang intuitif artinya berpikir untuk mendapatkan sesuatu dengan menggunakan naluri atau perasaan (feelings) yang tiba-tiba (insight) tanpa



berdasar fakta-fakta yang umum. Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh pandangan terhadap dikotomi otak kanan dan otak kiri yang mempunyai fungsi berbeda, sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak bekerja secara sinergis bersama-sama yang tidak terpisah.



Johnson (2002) tampaknya lebih menekankan pada pandangan pertama. Johnson menjelaskan bahwa berpikir kritis mengorganisasikan proses yang digunakan dalam aktifitas mental seperti pemecahan masalah, pengambilan keputusan, meyakinkan, menganalisis asumsiasumsi dan penemuan ilmiah. Berpikir kritis adalah suatu kemampuan untuk bernalar (to reason) dalam suatu cara yang terorganisasi. Berpikir kreatif merupakan suatu aktifitas mental yang memperhatikan keaslian dan wawasan (ide). Berpikir kreatif sebagai lawan dari berpikir destruktif, melibatkan pencarian kesempatan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Berpikir kreatif tidak secara tegas mengorganisasikan proses, seperti berpikir kritis. Berpikir kreatif merupakan suatu kebiasaan dari pemikiran yang tajam dengan intuisi, menggerakkan imaginasi, mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru, membuka selubung ide-ide yang menakjubkan dan inspirasi ide-ide yang tidak diharapkan. Pengertian ini membedakan dengan tegas berpikir kreatif dan berpikir kritis.



Advertiser De Bono (dalam Barak dan Doppelt, 2000) membedakan antara 2 tipe berpikir, yaitu berpikir lateral dan berpikir vertikal. Berpikir lateral mengacu pada penemuan petunjuk-petunjuk baru dalam mencari ide-ide, sedang berpikir vertikal berhadapan dengan perkembangan ide-ide dan pemeriksaannya terhadap suatu kriteria objektif. Pemikiran vertikal adalah selektif dan berurutan yang bergerak hanya jika terdapat suatu petunjuk dalam gerakannya. Pemikiran lateral adalah generatif yang dapat meloncat dan bergerak agar dapat membangun suatu petunjuk baru. Pemikiran lateral tidak harus benar pada setiap langkah dan tidak menggunakan



kategori-kategori, klasifikasi atau label-label yang tetap. Pemikiran vertikal memilih pendekatan-pendekatan yang sangat menjanjikan pada suatu masalah selama pemikiran lateral membangun banyak alternatif pendekatan. Berpikir kreatif merupakan suatu sintesis antara berpikir lateral dan vertikal yang saling melengkapi. Pengertian ini menyebutkan bahwa dalam berpikir kreatif melibatkan berpikir logis ataupun analitis sekaligus intuitif, seperti pada pandangan kedua dalam pengertian berpikir kreatif.



Berpikir kreatif dalam matematika mengacu pada pengertian berpikir kreatif secara umum. Bishop (dalam Pehkonen, 1997) menjelaskan bahwa seseorang memerlukan 2 model berpikir berbeda yang komplementer dalam matematika, yaitu berpikir kreatif yang bersifat intuitif dan berpikir analitik yang bersifat logis. Pandangan ini lebih melihat berpikir kreatif sebagai suatu pemikiran yang intuitif daripada yang logis. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif tidak didasarkan pada pemikiran yang logis tetapi lebih sebagai pemikiran yang tiba-tiba muncul, tak terduga, dan di luar kebiasaan.



Pehkonen (1997) memandang berpikir kreatif sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran. Ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu praktik pemecahan masalah, maka pemikiran divergen yang intuitif menghasilkan banyak ide. Hal ini akan berguna dalam menemukan penyelesaiannya. Pengertian ini menjelaskan bahwa berpikir kreatif memperhatikan berpikir logis maupun intuitif untuk menghasilkan ide-ide. Pandangan ini lebih mengarah pada pandangan kedua dalam pengertian berpikir kreatif.



MATHEMATICAL THINKING Mathematical thinking adalah kemampuan untuk mengeksplorasi, menyusun konjektur, dan memberikan alasan secara logis; kemampuan untuk menyelesaikan masalah non rutin; mengomunikasikan ide mengenai matematika dan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi; menghubungkan ide-ide dalam matematika, antar matematika, dan kegiatan intelektual lainnya. Dimensinya: mengeksplorasi, menyusun konjektur, alasan yang logis, menyelesaikan masalah, mengkomunikasikan ide matimatika, alat komunikasi matematika, menghubungkan idea matematika. (NCTM: 1999) Daya matematika merupakan kemampuan yang perlu dimiliki siswa yang belajar matematika pada jenjang sekolah manapun. Dimensinya: daya (pemahaman) matematika. (Sumarno: 2005) Pengertian berpikir matematika dipandang lebih luas cakupannya dibandingkan dengan penalaran matematik atau dapat dikatakan berpikir matematik memuat komponen penakaran matematik. Dimensinya: penalaran matematika. (Del Mas: 2002) Mathematical thinking is a highly complex activity, I will give several examples of mathematical thinking, and to demonstrate two pairs of processes through which mathematical thinking very often proceeds: 



Specializing and generalizing.







Conjecturing and convincing. Berpikir matematika adalah kegiatan yang sangat kompleks, contoh yang sering digunakan dalam proses mathematical thinking adalah:







Mengkhususkan diri dan generalising.







Conjecturing dan meyakinkan. (Kaye Stacey: University of Melbourne, Australia) Dimensinya: deskriptif (generalisasi), induktif, conjecturing, pasti (real). The ability to choose appropriate and efficient strategies, and to adapt them if necessary. (kemampuan untuk memilih yang sesuai dan strategi yang sesuai (konsep) dan adaptasi bila diperlukan). Dimensinya: choose appropriate, efficient strategies, adapt. (Kruteskii: 1979) Is about mathematical processes, and not about any particular branch of mathematics. Our aim is to show how to make a start on any question, how to attack it effectively and how to learn from the experience. (adalah tentang matematika proses dan bukan tentang banyaknya cabang partikel dalam matematika. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana membuat



konsep pertama dalam menjawab berbagai soal, bagaimana menyelesaikan soal dengan efektif dan bagaimana untuk mempelajari berbagai uji coba). Dimensinya: processes, make a start on any question, attack it effectively, learn from the experience. (John Mason with Leone Burton kaye Stacey) Terdapat beberapa istilah yang berelasi dengan istilah berpikir matematik (mathematical thinking), diantaranya adalah: kegiatan matematik (doing math), tugas matematik (mathematical task), keterampilan matematik (mathematical ability), daya matematika (mathematical power), dan penalaran matematik (mathematical reasoning), dalam beberapa pembahasan, penggunaan istilah-istilah tersebut kadang-kadang dipertukarkan karena mereka memuat beberapa kegiatan yang serupa. Istilah kegiatan matematik (doing math) diartikan sebagai kegiatan yang berkaitan dengan proses, konsep, sifat, dan ide matematika, mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang kompleks. Sedang istilah tugas matematik (mathematical task) merupakan soal atau tugas berkenaan dengan doing math. Istilah keterampilan atau kemampuan matematik (mathematical abilities) diartikan sebagai keterampilan melaksanakan doing math atau menyelesaikan mathematical task. Misalnya proses menghitung merupakan doing math yang sederhana, sedang membuktikan tergolong pada doinbg math yang kompleks atau tinggi. Contoh lain misalnya, soal bentuk ʃ sin x dx memuat doing math yang rendah dan tergolong pada mathematical task tingkat rendah untuk siswa SMA. Istilah berpikir matematik (mathematical thinking) diartikan sebagai cara berpikir berkenaan dengan proses matematik (doing math) atau cara berpikir dalam menyelesaikan tugas matematik (mathematical task) baik yang sederhana maupun yang kompleks. Merujuk pengertian diatas, maka istilah mathematical ability, dapat diartikan juga sebagai kemampuan melaksanakan mathematical thinking. Selanjutnya, ditinjau dari kedalaman atau kekompleksan kegiatan matematik yang terlibat., berpikir matematik dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu yang tingkat rendah (low order mathematical thinking atau low level mathematical thinking) dan yang tingkat tinggi (high order mathematical thinking atau high level mathematical thinking). Merujuk pernyataan NCTM (1999), maka daya matematik tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi. Selain itu, dengan mengacu pendapat Del Mas (2002) pengertian berpikir matematik dipandang lebih luas cakupannya dibandingkan dengan penalaran matematik atau dapat dikatakan berpikir matematik memuat komponen penalaran matematik.



Selanjutnya, berdasarkan jenisnya berpikir matematik dapat diklasifikasikan dalam lima kompetensi utama dengan indicator sebagai berikut: 1. Pemahaman matematika (mathematical understanding) Secara umum indikator pemahaman matematika meliputi: mengenal, memahami, dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematika. 2. Pemecahan masalah matematik (mathematical problem solving) Pemecahan masalah matematik mempunyai dua makna, yaitu: a.



Pemecahan masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk menemukan kembali (reinvention) dan memahami materi, konsep, dan prinsip matematika. Pembelajaran diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual kemudian melalui induksi siswa menemukan konsep/prinsip matematika.



b. Pemecahan masalah sebagai kegiatan yang meliputi: 



Mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah.







Membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya.







Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau diluar matematika.







Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.







Menerapkan matematika secara bermakna. Secara umum pemecahan masalah bersifat tidak rutin, oleh karena itu kemampuan ini tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi.



3. Penalaran matematik (mathematical reasoning) Secara garis besar penalaran dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai kebenaran dalam penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif diantaranya adalah: a.



Transduktif: menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada yang kasus khusus lainnya.



b. Analogi: penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses. c.



Generalisasi: penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati.



d. Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi. e.



Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada.



f.



Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, dan menyusun konjektur. Pada umumnya penalaran transduktif tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat rendah, sedang yang lainnya tergolong berpikir tingkat tinggi. Penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak keduanya bersama-sama. Penalaran deduktif dapat tergolong tingkat rendah atau tingkat tinggi. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran deduktif diantaranya adalah:



a. b.



Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu. Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argument, membuktikan, dan menyusun argument yang valid.



c.



Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika. Kemampuan pada butir a pada umunya tergolong berpikir matematik tingkat rendah, dan kemampuan lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi.



4. Koneksi matematika (mathematical connection) Kegiatan yang tergolong pada koneksi matematik diantaranya adalah: a.



Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur.



b. Memahami hubungan antar topik matematik. c.



Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari.



d. Memahami representasi ekuivalen suatu konsep. e.



Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur yang lain dalam representasi yang ekuivalen.



f.



Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik diluar matematika.



5. Komunikasi matematik (mathematical communication) Kegiatan yang tergolong pada komunikasi matematik diantaranya adalah: a.



Menyatkan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, symbol, idea, atau model matematik.



b. Menjelaskan idea, situasi dan relasi matematika secara lisan atau tulisan. c.



Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.



d. Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis. e.



Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri. Kemampuan diatas dapat tergolong pada kemampuan berpikir matematik rendah atau tingkat tinggi bergantung pada kekompleksan komunikasi yang terlibat. Dalam mengahadapi era reformasi dan suasana bersaing yang semakin ketat. dalam mempelajari kompetensi matematik diatas, siswa perlu memiliki kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi, sikap kritis, kreatif dan cermat, obyektif dan terbuka, menghargai keindahan matematika, serta rasa ingin tahu dan senang belajar matematika. Apabila kebiasaan berpikir matematik dan sikap seperti diatas berlangsung secara berkelanjutan, maka secara akumulatif akan tumbuh disposisi matematik (mathematical disposition) yaitu keinginan, kesadaran, kecenderungan dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat secara matematik. Dengan cara yang positif, Polking (1998) mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukan; (1) Rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan. (2) Fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah. (3) Tekun mengerjakan tugas matematik. (4) Minat, rasa ingin tahu (curiosity), dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik. (5) Cenderung memonitor, mereflesikan performance dan penalaran mereka sendiri. (6) Menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam matematika dan pengalaman sehari-hari. (7) Apresiasi (appreciation) peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa. Hampir serupa dengan pendapat Polking diatas, Standard 10 (NCTM:2000) mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukan; rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain. Disposisi matematik disebut juga productive disposition (sikap produktif), yakni tumbuhnya sikap positif serta kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang logis, berguna dan berfaedah (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001). Memperhatikan kekuatan kognitif dan afektif yang termuat dalam berpikir dan disposisi diatas adalah rasional bahwa dalam belajar matematika siswa perlu mengutamakan pengembangan kemampuan berpikir dan disposisi matematik. Pengutamaan tersebut menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan



tuntutan kemajuan IPTEKS dan suasana bersaing yang semakin ketat terhadap lulusan semua jenjang pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Mason, J., L. Burton & K. Stacey. 2010. Thinking Mathematically. England; Pearson Education limited Mason, J., L. Burton & K. Stacey. 2010. Thinking Mathematically second edition. England; Pearson Education limited Utari Sumarno, FPMIPA UPI. Berpikir dan disposisi matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan Pada Peserta Didik. Pdf Adob Reader. Watson, Anne., Jenny Houssart and Caroline Roaf. 2005. Supporting Mathematical Thinking. London; David Fulton Publishers Ltd. http://marsigitpsiko.blogspot.com/2008/12/what-is-mathematical-thinking-and-why.html



KETERAMPILAN BERPIKIR LOGIS



Menurut Dr. whitely (Sir William Hamilton Bart, 1860:60) bahwa berpikir logis adalah “the prosses or operation of reasoning is alone the appropriate of logic” (proses atau operasi penalaran sendirian sesuai logika). Dimensinya: operasi penalaran sendiri sesuai logika. Sir William Hamilton, Bart (1860:22) mengemukakan bahwa “logic is science which has the prosses of reasoning for it’s object, is not a definition of this science at all (logika adalah ilmu yang didalamnya terdapat proses penalaran terhadap suatu object, tidak termasuk definisi ilmu pengetahuan). Dimensinya: proses penalaran dari suatu objek. Menurut William Alston (Fitriyah, 2011:12) bahwa “logic is the study of inference, more precisely the attempt to devise criteria for separating valid from invalid inferences” (logika adalahstudi tentang penyimpulan, secara lebih cermat untuk menetapkan ukuran-ukuran guna memisahkan penyimpulan yang sah dan yang tidak sah). Dimensinya: menyimpulkan secara cermat dan menetapkan ukuran-ukuran untuk memisahkan kesimpulan. Menurut Alfred Cryril Ewing (Fitriyah, 2011:12-13) mengemukakan bahwa “study of different kinds of propositions and the relations between them which justify inference” (studi tentang jenis-jenis aturan yang berbeda dan hubungan diantara aturan-aturan ayng menentukan kesimpulan). Dimensinya: menentukan jenis-jenis aturan yang berbeda, menghubungkan jenisjenis aturan yang berbeda, dan menentukan kesimpulan. Menurut M. Copy (Fitriyah, 2011:13) bahwa logika adalah penelaahan mengenai metode dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang baik dalam arti benar dari penalaran yang jelek dalam arti tidak benar. Dimensinya: penelaahan metode dan prinsipprinsip, dan membedakan penalaran yang baik (benar), dari penalaran jelek (tidak benar). Menurut Aristoteles (Fitriyah, 2011:13) bahwa logika adalah ajaran tentang berpikir secara ilmiah membicarakan bentuk pikiran itu sendiri dan hukum-hukum yang menguasai pikiran. Dimensinya: berpikir secara ilmiah, dan membicarakan bentuk pikiran dan hukumhukum yang menguasai pikiran. Menurut Jhon Richardson (1819:12) menyatakan bahwa “logic is the science which extends to all thinking in general, without regarding objects, as the matter of thinking” (logika



adalah ilmu yang meluas kepada semua pemikiran secara umum, tanpa mengenai suatu objek, seperti berpikir yang sebenarnya). Dimensinya: berpikir yang sebenarnya mengenai suatu objek. Menurut Rinaldi Munir (2003:1) bahwa logika merupakan dari semua penalaran (reasoning) yang banyak dikaitkan dengan hubungan antara pernyataan-pernyataan (statement). Dimensinya: penalaran yang mengkaitkan hubungan antara pernyataan-pernyataan. Definisi Konseptual: Dr. Whatel



: Operasi penalaran sesuai logika.



Sir William Hamilton, Bart



: Proses penalaran dari suatu objek.



Irving M. Copy



: Membedakan penalaran yang baik (benar), dari penalaran jelek (tidak benar).



Rinaldi Munir



: Penalaran yang mengkaitkan hubungan antara pernyataan-pernyataan.



BERPIKIR GEOMETRI



Menurut Usiskin (Abdussakir, 2011:1) mengemukakan bahwa: a.



Geometri adalah cabang matematika yang mempelajari pola-pola visual.



b. Geometri adalah cabang matematika yang menghubungkan matematika dengan dunia fisik atau dunia nyata. Dimensinya: mempelajari pola-pola visual dan menghubungkan matematika dengan dunia fisik atau dunia nyata Van Hiele (Ruseffendi, 1985:10) mengemukakan bahwa belajar geometri melalui beberapa tahap, yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi dan akurasi. Dimensinya: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi dan akurasi. Van Hiele (Abdussakir, 2011:1) menyatakan bahwa: a.



Geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran, dan pemetaan.



b. Geometri menyediakan pendekatan-pendekatan untuk pemecahan masalah, misalnya gambar – gambar, diagram, sistem koordinat, vektor, dan transformasi. Dimensinya: penyajian abstraksi dari pengalaman visual, penyajian abstraksi dari pengalaman spasial, dan pendekatan-pendekatan untuk pemecahan masalah. Van Hiele Model (Fuys et al., 1988) menyatakan bahwa “the Van Hiele model, five different levels of thought which are: Recognition (level 1), analysis (level 2), Informal deducation (level 3), Formal deducation (level 4) and Rigor (level 5). (Van Hiele Model, membedakan lima tingkat pemikiran geometri, yaitu: Pengakuan (tingkat 1), Analsis (tingkat 2), Deduksi informal (tingkat 3), Deduksi formal (tingkat 4) dan Kelakuan (tingkat 5). Dimensinya: pengakuan, analisis, deduksi informal, deduksi formal dan kelakuan. Menurut Susanta (Mega Teguh Budiarto, 2003:65 menyatakan bahwa pengajaran geometri dapat melatih berpikir secara nalar, oleh karena itu geometri timbul dan berkembang karena proses berpikir. Dimensinya: melatih berpikir secara nalar. Salah satu keterampilan dasar dalam belajar geometri adalah kemampuan logika yang meliputi mengenali kesamaan dan perbedaan gambar yang diberikan, mengenali gambar-gambar berdasarkan karakteristiknya, memahami dan mengaplikasikan sifat-sifat dalam setiap kelompok,



dan mengidentifikasikan konsekuensi logis dari data yang diberikan. Dimensinya: mengenali kesamaan dan perbedaan gambar, mengenali gambar-gambar berdasarkan karakteristiknya, memahami sifat-sifat gambar, mengaplikasikan sifat-sifat gambar dan mengidentifikasikan konsekuensi logis dari data yang diberikan. Geometric thinking is inherent in the types of skills proposed by Hoffer (1981) reported by Dindyal (2007) as follows: a.



Visual skills: recognition, observation of properties, interpreting maps, imaging, recognition from different angles, etc.



b.



Verbal skills: correct use of terminology and accurate communication in describing spatial concepts and relationships.



c.



Drawing skills: communicating through drawing, ability to represent geometric shapes in 2-d and 3-d, to make scale diagrams, sketch isometric figures, etc.



d. Logical skills: classification, recognition of essential properties as criteria, discerning patterns, formulating and testing hypothesis, making inferences, using counter: examples. e.



Applied skills real life applications using geometric result learnt and real uses of geometry, as for designing packages, etc. Berpikir geometris melekat dalam jenis keterampilan yang diusulkan oleh Hoffer (1981) yang dilaporkan oleh Dindyal (2007) sebagai berikut:



a.



Keterampilan visual: pengakuan, pengamatan property, peta menafsirkan, pencitraan, pengakuan dari berbagai sudut, dan lain-lain.



b.



Kemampuan verbal: penggunaan yang benar dari terminology dan akurat komunikasi dalam menjelaskan konsep-konsep dan hubungan spasial, menggambar.



c.



Skills communicating: melalui menggambar, kemampuan untuk mewakili bentuk geometris dalm 2-d dan 3-d, untuk membuat diagram skala, angka sketsa isometric, dan lain-lain.



d.



Keterampilan logis: klasifikasi, pengakuan sifat penting berbagai criteria, pola cerdas, merumuskan dan pengujian hipotesis, membuat kesimpulan, menggunakan counter yaitu contoh.



e.



Keterampilan yang diterapkan dalam kehidupan nyata, aplikasi yang menggunakan hasil belajar geometris dan real menggunakan geometri, seperti untuk merancang paket dan lain-lain. Dimensinya:



a.



Keterampilan visual:







Pengakuan







Pengamatan







Menafsirkan







Pencitraan



b. Keterampilan verbal: 



Menjelaskan konsep-konsep







Menjelaskan hubnungan spasial



c.



Menyampaikan sesuatu melalui gambar.



d. Keterampilan logis: e.



Mengaplikasikannya ke dalam kehidupan nyata. Reasoning in geometry is:



a.



Analogy: comparison if two things alike in some aspects or they will be semble one another in other aspects.



b. Intuiton: mental ability same as guessing. c.



Inductive: forming of general statement from particular specific case.



d. Deductive: making conclusion from general to particular stances. Penalaran dalam geomteri adalah: a.



Analogi: perbandingan jika dua hal yang sama dalam beberapa aspek atau mereka akan semble satu sama lain dalam aspek lain.



b. Intuiton: kemampuan mental yang sama seperti menebak. c.



Induktif: membentuk pernyataan umum dari kasus tertentu.



d. Deduktif: membuat kesimpulan dari umu ke sikap tertentu. Dimensinya: membandingkan, menebak, membentuk pernyataan umum, dan menarik kesimpulan. John Mason, Leone Burton & Kaye Stace (2010:223) menyatakan bahwa “Geometric reasoning is supported by explicit use of visualization and mental imagery, as well as systematic thinking and analysis”. (geometris didukung oleh penalaran eksplisit penggunaan visualisasi dan gambaran mental, serta berpikir sistematis dan analisis). Dimensinya: penalaran eksplisit, penggunaan visualisasi, gambaran mental, berpikir sistematis, dan analisis. Dimensi: 1. Proses mempelajari pola-poal visual a.



Penyajian abstraksi dari pengalaman visual



b. Penggunaan visualisasi 2. Menghubungkan matematika dengan dunia fisik atau dunia nyata a.



Mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata



b. Menyampaikan sesuatu melalui gambar c.



Gambaran mental



3. Pengenalan a.



Mengenali kesamaan dan perbedaan gambar



b. Mengenali karakteristik gambar c.



Memahami sifat-sifat gambar



d. Mengaplikasikan sifat-sifat gambar e.



Mengidentifikasikan konsekuensi logis dari data yang diberikan



f.



membandingkan



4. Pengakuan a.



Pengakuan (keterampilan visual)



b. Pengakuan (keterampilan logis) c.



menebak



5. Pengurutan a.



Mengklasifikasikan (keterampilan logis)



6. Akurasi 7. Kekakuan 8. Penyajian abstraksi dari pengalaman spasial a.



Menjelaskan hubungan spasial



9. Pendekatan-pendekatan untuk pemecahan masalah a.



Merumuskan hipotesis (Keterampilan logis)



b. Menguji hipotesis (Keterampilan logis) c.



Membuat kesimpulan (Keterampilan logis)



d. Menggunakan contoh (Keterampilan logis) e.



Pengamatan (Keterampilan visual)



f.



Menarik kesimpulan



10. Deduksi a.



Deduksi informal



b. Deduksi formal c.



Membentuk pernyataan umum



11. Melatih berpikir secara nalar a.



Menafsirkan



b. Pencitraan c.



Analisis



d. Penalaran eksplisit e.



Berpikir sistematis



12. Keterampilan verbal a.



Menjelaskan konsep-konsep Definisi konseptual Berpikir



geometri



adalah



proses



mempelajari



pola-pola



visual



kemudian



menghubungkannya dengan dunia nyata melalui pengenalan, pengakuan, analisis, deduksi, pengurutan, akurasi, dan kekakuan yang disajikan dalam pengalaman spasial sebagai upaya untuk memecahkan masalah dan berpikir secara nalar yang dijelaskan melalui keterampilan verbal.



Daftar pustaka Abdussakir. 2011. Judul buku/artikel. Kota. Penerbit. Http://www



ALGEBRA THINKING



Tokoh Pendapat



: Herbert dan Brown



: Algebra thinking is using mathematical symbols and tools to analyze different situations by (1)representing that information



mathematically in words, diagrams, tables, graphs, and



equations, and, (3) interpreting and applying mathematical findings, such as solving for unknows, testing conjectures, and identifying fuctional relationships. Berfikir aljabar adalah penggunaan simbol matematika dan alat untuk menganalitis kondisikondisi yang berbeda dengan cara: a.



Mensarikan informasi-informasi dari kondisi yang dialami.



b.



Menyajikan informasi tersebut kedalam bahasa sehari-hari dalam bentuk kata-kata , diagram, tabel, grafik, dan persamaan.



c.



Menafsirkan dan mengaplikasikan penemuan matematika seperti penyelesaian pada variabel umum yang belum diketahui, mengetes conjecture (pembuktian) dan mencari hubungan suatu fungsi. Dimensi



:



1. Menggunakan simbol 2. Menganalisis kondisi-kondisi yang berbeda 3. Mensarikan informasi 4. Menyajikan informasi kedalam bahasa sehari-hari 5. Mengaplikasikan penemuan matematika Tokoh



: Priscol



Pendapat



: Algebra thinking is thinking about function and structure.



Berfikir aljabar adalah berfikir tentang fungsi dan struktur.



Pendapat



Dimensi



: Berfikir tentang fungsi dan struktur.



Tokoh



: Usiskin



: Algebra is a language. This language has five major aspects: (1) unknowns, (2) formulas, (3) generalized patterns, (4) placeholders, (5) relationships. At any time that these ideas are discussed from kindergarten upward, there is opportunity to introduce the language of algebra.



Berfikir aljabar adalah generalisasi aritmatik, belajar tentang prosedur dalam menyelesaikan berbagai macam masalah tetentu, aljabar tentang hubungan dan belajar tentang struktur. Dimensi



:



1. Menyelesaikan berbagai masalah 2. Belajar tentang hubungan dan struktur Tokoh Pendapat



: NCTM



: Algebra thinking is to present information of colloquial to symbol, determining generalizing and pattern, searching in function. Berfikir aljabar adalah menyajikan informasi dari bahasa sehari-hari kedalam bahasa simbol, menentukan pola generalisasi, mencari hubungan dalam fungsi. Dimensi: 1. menyajikan informasi menggunakan simbol 2. menentukan pola dan generalsasi 3. mencari hubungan dalam fungsi Tokoh



Pendapat



: Greenes dan Findel



: Thinking algebra is a big idea which cover picture, comparison, idea of balance, meaning of variable, function and pattern, inductive idea and deductive idea. Berfikir aljabar adalah suatu ide besar yang meliputi gambaran, perbandingan, pemkiran keseimbangan, arti dari variabel, pola dan fungsi, pemikiran induktif dan pemikiran deduktif.



Pendapat



Dimensi



: Berfikir deduktif dan induktif



Tokoh



: Kaput (NCTM, 1993)



: Algebra thinking involves the construction and representation of patterns and regularities, deliberate generalization, and most important, active exploration and conjecture. Berfikir aljabar adalah suatu pemikiran yang meliputi pembuatan pola dan sifat-sifat penyemerataan, generalisasi, dan yang paling penting adalah eksplorasi aktif dan perumpamaan.



Pendapat



Dimensi



: Berfikir generalisasi



Tokoh



: Kieran dan Chalouh



: Algebra thinking involves the development of mathematical reasoning within an algebra frame of mind by bulding meaning for the symbols and operations of algebra in terms of arithmatic



Berfikir aljabar adalah suatu pemikiran yang meliputi perkembangan pemikiran matematika dalam sebuah maksud kerangka aljabar dengan membuat arti atau untuk simbol-simbol dan operasi aljabar daam istilah matematika.



Pendapat



Dimensi



: Istilah aritmatika



Tokoh



: Vance (1998)



: Algebra is sometimes defined as generalized arithmatic or as a language for generalizing arithmatic. However algebraic more than a set of les for manipulating symbols: it is a way of thinking. Berfikir aljabar adalah pemikiran yang memberikan arti tentang aritmatika umum atau bahasa untuk aritmatika umum. Bagaimanapun aljabar lebih dari sekumpulan garis untuk memanipulasi simbol. Dimensi



:



1. memberikan arti tentang aritmatika umum 2. memanipulasi simbol Tokoh Pendapat



: Debra Anne Ross



: Algebra is an extension of arithmatic and is used to solve problems. If a situation can be described in terms of an equation, then the equation can be solved for the unknown quantity and a answer can be obtained. Algebra equations are created to anable the determination of some quantity. Aljabar adalah suatu perluasan perhitungan dan digunakan untuk memecahkan berbagai masalah. Jika suatu keadaan dapat diuraikan dalam kaitan dengan suatu persamaan. Kemudian penyamaan dapat dipecahkan untuk kwantitas yang tak dikenal dan suatu jawaban dapat didapatkan. Aljabar diciptakan untuk memunginkan penentuan beberapa kwantitas. Dimensi



:



1. Memecahkan berbagai macam masalah 2. Menguraikan suatu keadaan dengan suatu persamaan 3. Memungkinkan penentuan beberapa kwantitas 4. Membuat suatu persamaan dari masalah 5. Mencari solusi dari suatu persamaan Tokoh



: Nadine Bednarz, Carolyn Kieran, Lesley Lee.



Pendapat



: Algebra is not only different from geometry or arithmetic; it is a superior tool with which t solve problems. Aljabar tidaklah hanya berbeda dari ilmu ukur atau perhitungan, merupakan suatu alat superior dengan mana untuk memecahkan permasalahan.



Pendapat



Dimensi



: Memecahkan masalah



Tokoh



: Sausalito



: Algebra thinking encompasses the set of understandings that are needed to interpret the world by translating iformation or events into the language of mathematics in order to explain and predict phenomena. Also, algebraic thinking leads to the abstract thinking required for success in textbook algebra. Pemikiran secara aljabar meliputi satuan pemahaman itu diperlukan untuk menginterpretasikan dunia dengan penterjelamahan informasi atau peristiwa ke dalam bahasa matematika dalam rangka menjelaskan dan meramalkan gejala. Juga, pemikiran secara aljabar memimpin ke arah pemikiran abstrak yang diperlukan untuk sukses di dalam aljabar buku teks. Dimensi



:



1. Menginterprestasikan dunia dengan penterjemahan informasi. 2. Menjelaskan dan meramalkan suatu gejala. 3. Memimpin kearah pemikiran abstrak. Tokoh Pendapat



: Nadine Bednarz, Carolyn Kieran, Lesley Lee



: Algebra: equation solving, the manipulation of algebraic expressions, problem solving, and the handling of fundamental concepts such as that of variable. Aljabar: persamaaan pecahan, manipulasi ungkapan secara ajabar, pemecahan masalah, dan penanganan konsep pokok seperti variabel. Dimensi



:



1. Persamaan pecahan 2. Manipulasi ungkapan secara ajabar 3. Pemecahan masalah 4. Penanganan konsep pokok Tokoh Pendapat



: Nadine Bednarz, Carolyn Kieran, Lesley Lee



: Algebra was a means to solve some geometrical problems. In this chapter discuss some of the relations which, from Euclid to Descartes.



Aljabar: adalah alat untuk memecahkan beberapa permasalaan geometris, mendiskusikan sebagian dari hubungan yang dari Euclid ke Descartes. Dimensi



:



1. Memecahkan permasalaan geometris 2. Mendiskusikan sebagian hubungan dari Euclid ke Descartes. Tokoh Pendapat



: Nadine Bednarz, Carolyn Kieran, Lesley Lee



: Algebra is an algebra based on the measure of geometrical magnitudes and relations between these measures. Aljabar adalah suatu aljabar berdasarkan pada ukuran geometris dan hubungan antara pengukuran ini. Dimensi



: Menentukan ukuran geometris dan hubungan ukuran-ukurannya.



Tokoh



: Nadine Bednarz, Carolyn Kieran, Lesley Lee



Pendapat



: Algebra is foremost a means to manipulate relations.



Aljabar adalah terkemuka bermakna untuk menggerakkan hubungan.



Pendapat



Dimensi



: Memanipulasi hubungan



Tokoh



: Debra Ross



:Algebra terminology consists of certain symbols and words that are used to represent certain identities and definitions. Istilah ajabar terdiri dari kata-kata dan lambang tertentu yang digunakan untuk menghadirkan definisi dan identitas tertentu. Dimensi



: Menghadirkan definisi dan identitas tertentu dalam bentuk simbol dan kata-kata.



Kesimpulan: Berfikir aljabar adalah kemampuan menyajikan informasi dalam bentuk simbol, kata-kata ke dalam bahasa sehari-hari, berfikir tentang fungsi dan struktur, menganaisis serta mengaplikasikan berbagai



penemuan matematika dan memecahkan berbagai macam



permasalahan. Daftar pustaka Kieran, Bednarz Carolyn, Lesley Lee. 1996. Approaches to Algebra. Australia: Kluwer Academic Publisher. Lawrence, Ann and Charlie hannessy. 1946. Lesso for Algebraic Thinking Grades 6-8. USA: Math Solutions Publications



Mason, John with Alan Graham and Sue Johnston-Wilder.2005.Developing Thinking in Algebra. Great Britain. T.J. International, Padstow. Cornwall Ross, Debra Anne. 1958. Master Math: Algebra. USA: The Visual Group http://books.heinemann.com;products/E00154.aspx http://my.nctm.org/eresources/article_summary.asp?URI=MTMS2001-01-282a&from=B http://my.nctm.org/eresources/article_summary.asp?URI=TCM1997-02-340a&from=B



Abdullah Helmy Politeknik Negeri Malang ABSTRAK



Artikel ini membahas perihal teori belajar kognitif dan penerapannya yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Artikel ini menguji beberapa teori pembelajaran yang berkembang dalam rangka memaksimalkan pembelajaran seperti teori behaviorisme, konstruktivisme dan kognitivisme. Kegiatan belajar selalu terkait dengan unsur psikis bagi subjek yang melaksanakannya. Beberapa deskripsi tentang teori kognitif di antaranya adalah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan setiap perilaku mental yang berkaitan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Utamanya, penyampaian materi dalam proses belajar mengajar dalam pandangan teori kognitif adalah bagaimana membuat ranah cipta seorang siswa dapat berkembang dan berfungsi secara optimal. Ranah cipta ini merupakan ranah dominan dalam kejiwaan yang berpusat di otak dan mengendalikan ranah rasa dan ranah karsa.



Kata kunci: teori belajar kognitif, proses belajar mengajar, kegiatan belajar, ranah cipta, ranah rasa, ranah karsa



***



Untuk memperoleh hasil maksimal dalam pembelajaran, pengetahuan tentang pembelajaran merupakan perihal yang tidak dapat diabaikan oleh seorang pengajar; seperti halnya seorang petani harus mengetahui bagaimana tumbuhnya padi, pemupukannya, selain musim tanam dan tumbuhnya dan teknologi pertanian. Ada beberapa macam teori tentang pembelajaran atau bagaimana seseorang belajar; yang secara garis besar dibagi menjadi teori behaviorisme dan kognitivisme. Meskipun demikian beberapa ahli menambahkan teori belajar berdasarkan psikologi sosial dan teori belajar dari Gagne serta konstruktivisme. Belajar adalah proses seseorang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. Belajar dimulai sejak masa kecil ketika bayi memperoleh sejumlah keterampilan sederhana, seperti memegang botol susu dan mengenal ibunya. Selama masa kanak-kanak dan masa remaja, diperoleh sejumlah sikap, nilai, dan keterampilan hubungan sosial, demikian pula diperoleh kecakapan dalam berbagai mata ajaran sekolah. Ketika usia dewasa, seseorang diharapkan telah



mahir mengerjakan tugas atau pekerjaan tertentu dan keterampilan-keterampilan fungsional yang lain. Termasuk di sini ialah mengendarai mobil, membuat neraca buku cek pribadi, dan bergaul dengan orang lain (Gredler, 1991). Pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa (Degeng, 1989; 1990). Dalam definisi ini terkandung makna bahwa dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, serta mengembangkan metode ataupun strategi yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan, bahkan kegiatan-kegiatan inilah yang sebenarnya merupakan kegiatan inti pembelajaran. Salah satu kegiatan manusia adalah belajar. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang berproses dan juga merupakan unsur yang paling fundamental dalam setiap penyeleng-garaan jenis dan jenjang pendidikan atau pembelajaran. Dalam hal ini berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu berarti sangat tergantung pada proses belajar yang dialami oleh pembelajar, baik ketika ia berada dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan rumah atau keluarganya (Syah, 1996). Karena demikian pentingnya arti belajar, sebagian besar riset dan eksperimen psikologi pendidikan diarahkan kepada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai proses perubahan manusia. Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Karena kemampuan berubahlah, manusia secara bebas dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Edward Thorndike (1993) memprediksikan, “jika kemampuan belajar umat manusia dikurangi setengahnya saja maka peradaban yang ada sekarang tak akan ada gunanya bagi generasi mendatang, bahkan mungkin peradaban itu sendiri akan lenyap ditelan zaman” (Chaplin, 1972). Mc. Keachie (1976), mendefinisikan teori sebagai seperangkat asas yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata. Satu ciri teori yang penting ialah bahwa teori itu “membebaskan penemuan penelitian secara individual dan kenyataan kesementaraan waktu dan tempat untuk digantikan dengan suatu dunia yang lebih luas” Ratna (1988). Membagi dua tahapan perkembangan teori belajar dan pembelajaran; pertama, dimulai sebelum abad 20 seperti teori disiplin mental (mental discipline), teori pengembangan alami (natural unfoldment) atau teori aktualisasi diri (self actualization), dan teori appersepsi (upperseption). Hingga saat ini teori-teori tersebut masih dirasakan pengaruhnya di sekolah-sekolah. Dan jika ditinjau dari aplikasinya ketiga teori tersebut dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen-eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa dasar orientasinya lebih bersifat filosofik dan spekulatif. Kedua, teori belajar yang dikembangkan selama abad 20 yang dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok, yaitu teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, teori belajar humanistik. Degeng (1989), mengemukakan bahwa teori pengajaran menunjukkan hubungan kegiatan pengajaran dengan proses-proses psikologis dalam diri pembelajar, sedangkan teori belajar mengungkapkan hubungan kegiatan pembelajar dengan fenomena yang ada dalam diri pembelajar. Ruang lingkup pembahasan makalah ini, difokuskan pada deskripsi teori kognitif dalam belajar dan aplikasinya dalam pembelajaran. Rumusan masalah tersebut meliputi: (a) deskripsi tentang



teori kognitif, (b) tokoh-tokoh teori kognitif beserta pandangannya, dan (c) aplikasi teori kognitif dalam belajar dan pembelajaran. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini akan dibahas secara singkat teori belajar kognitivisme dan penerapannya dalam pembelajaran dan sejumlah pandangan psikologi-kognitif yang berkaitan dengan proses belajar dan pembelajaran. Hal tersebut mengingat bahwa kegiatan belajar tidak akan terpisah dari unsur psikis (keterlibatan emosional dan mental) bagi subjek yang melaksanakan kegiatan tersebut.



DESKRIPSI TENTANG TEORI KOGNITIF Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition” yang padanannya “Knowing”, berarti mengetahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan (Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer dan menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berkaitan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972). Istilah “cognitive of theory learning” yaitu suatu bentuk teori belajar yang berpandangan bahwa belajar adalah merupakan proses pemusatan pikiran (kegiatan mental) (Slavin (1994). Teori belajar tersebut beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki kemampuan potensial, sehingga tingkah laku yang bersifat kompleks bukan hanya sekedar dari jumlah tingkah laku yang sederhana, maka dalam hal belajar menurut aliran ini adalah mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar juga melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Yang menjadi prioritas perhatian adalah pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru bisa berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya dikuasai oleh masing-masing individu. Teori kognitif ini, yang didasari oleh pandangan adanya mekanisme dan proses pertumbuhan, yaitu dari bayi kemudian anak berkembang menjadi individu yang dapat bernalar dan berfikir menggunakan hipotesa. Asumsi dasar yang melandasi deskripsi demikian ialah pengertian Jean Piaget mengenai perkembangan intelek dan konsepsinya tentang hakikat kecerdasan (Gredler, 1991). Dalam praktek belajar, teori kognitif terwujud dalam: “tahap-tahap perkembangan belajar” oleh Jean Piaget, “belajar bermakna” oleh Ausuber, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut kognitifist dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi dengan lingkungan yang berkesinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah, tetapi merupakan proses yang mengalir serta sambung-menyambung, dan menyeluruh. Seperti halnya proses membaca, bukan sekedar menggabungkan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah; tetapi menggabungkan kata, kalimat atau



paragraf yang diserap dalam pikiran dan kesemuanya itu menjadi satu, mengalir total secara bersamaan. Tidak seperti model-model behaviorisme yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan S – R yang bersifat superfisial, kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuantujuannya. Belajar itu sendiri menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut. Membagi keseluruhan situasi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah adalah sama dengan kehilangan sesuatu yang penting. Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain. Belajar, mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan dinyesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran sesorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Jadi hubungan S – R pada teori kognitivisme adalah sebagai berikut: S ——-> Perubahan internal tiap individu R ——-> Respons



JENIS-JENIS TEORI BELAJAR KOGNITIFISME Di dalam subbab ini disajikan beberapa teori belajar secara umum. Setelah itu akan dibahas aplikasinya di dalam pembelajaran bahasa.



Teori Perkembangan Jean Piaget Jean Piaget (1896-1980) lahir di Swiss, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif, yang pada awal mulanya bukanlah seorang psikolog melainkan seorang ahli biologi, tetapi telah berhasil menulis lebih dari 30 buku bermutu, yang bertemakan perkembangan anak dan kognitif (Syah, 1996:66). Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistim syaraf. Dengan semakin bertambahnya usia sesesorang maka semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.



Pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya dan akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya. Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitifnya yang harus diseuaikan dengan informasi yang diterima, maka proses ini disebut akomodasi. Jadi asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila terjadi konflik koginitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Adaptasi akan terjadi apabila telah terjadi keseimbangan dalam struktur kognitif. Tugas seorang dosen dalam proses belajar mengajar adalah menyajikan materi yang harus dipelajari mahasiswa sedemikian rupa sehingga menyebabkan adanya ketidak seimbangan kognitif pada diri mahasiswa. Dengan demikian ia akan berusaha untuk mengadopsi informasi baru ke dalam struktur kognitifnya yang telah ada. Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hirarkis artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Di sini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensomotorik (0 – 2 tahun) yang bersifat eksternal, pre-operasional (2 – 6 tahun), operasional konkrit (6/7 – 11/12 tahun) dan jenjang formal (11/2 – 18 tahun) yang bersifat internal (mampu berfikir abstrak atau mengadakan penalaran). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perkembangan individu tersebut pada 4 tahapan. Yang pertama adalah sensori motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0 – 2 tahun. Yang kedua adalah pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2 – 7 tahun. Yang ketiga adalah concrete operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Yang terakhir adalah formal operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal (Slavin, 1994:14). Yang merupakan titik pusat teori Perkembangan Kognitif Piaget ialah bagaimana individu mengalami kemajuan tingkat perkembangan mental atau pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi. Hal yang pokok dalam teori ini adalah kepercayaan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu dalam interaksi dengan lingkungan yang terus-menerus dan selalu berubah. Dalam usahanya memahami mekanisme perkembangan kognitif, Piaget menyampaikan fungsi kecerdasan dari tiga perspektif. Ketiganya adalah: (1) proses mendasar yang terjadi dalam interaksi dengan lingkungan (asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi), (2) cara bagaimana pengetahuan disusun (pengalaman fisik dan logis-matematis), dan (3) perbedaan kualitatif dalam berfikir pada berbagai tahap perkembangan (skema tindakan) mulai dari sensomotorik, pra-operasional, operasional konkrit dan operasional formal. Perkembangan kognitif menurut Piaget (1977) dipengaruhi oleh tiga proses dasar: asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Secara singkat, asimilasi ialah pemaduan data atau informasi baru dengan struktur kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian struktur terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Gredler, 1991:311). Berikut adalah kelemahan-kelemahan dari teori Piaget. Belajar individual tidak dapat dilaksanakan karena untuk belajar mandiri diperlukan kemampuan kognitif yang lengkap dan kompleks



dan tidak bisa diuraikan dalam jenjang-jenjang. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan-keterampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai oleh anak-anak yang belum mencapai umur yang sesuai dengan jenjang-jenjang teori Piaget. Sebaliknya, banyak orang yang tidak mencapai tahap operasional formal tanpa adanya manipulasi hal-hal yang bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pemberian model dll. Keterampilan ternyata lebih baik dipelajari melalui urutan, bukan berdasarkan tahapan umur.



Teori Kognitif Jerome S. Bruner Jerome S. Bruner adalah seorang pakar psikologi perkembangan dan pakar psikologi belajar kognitif, penelitiannya dalam bidang psikologi antara lain persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi (Dahar, 1988). Dalam pembahasan perkembangan kognisi, Bruner menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan pada tingkah laku seseorang. Bila Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif berpengaruh pada perkembangan bahasa seseorang, maka sebaliknya Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognisi. Menurut Bruner, perkembangan kognisi seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap pertama adalah tahap en-aktif, di mana individu melakukan aktivitas-aktivitas untuk memahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap ikonik di mana ia melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana ia mempunyai gagasan secara abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika; komunikasi dilakukan dengan bantuan sistem simbol. Makin dewasa makin dominan pula sistem simbol seseorang. Untuk belajar sesuatu, Bruner berpendapat tidak perlu menunggu sampai anak mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan yang diberikan sudah diatur dengan baik, maka individu dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Dengan kata lain, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan sistem ini dalam dunia pendidikan disebut “kurikulum spiral” di mana satu obyek diberikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan materi yang sama tetapi tingkat kesukaran yang bertingkat, dan materinya disesuaikan pula dengan tingkat perkembangan kognisi seseorang. Prinsip-prinsip belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ketidaktergantungan individu terhadap stimulus yang diberikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah secara mental. Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol. Untuk mengembangkan kognisi seseorang diperlukan interaksi yang sis-



tematik antara pengajar dan pembelajar. Dalam Perkembangan kognisi seseorang, semakin tinggi tingkatannya semakin meningkat pula kemampuan untuk memikirkan beberapa alternatif secara serentak dan kemampuan untuk memberikan perhatian terhadap beberapa stimuli dan situasi sekaligus. Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah, bahkan mungkin dihindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya di sekolah banyak dikembangkan cara berfikir analitis, padahal berfikir intuitif sangat penting untuk ahli matematika, biologi, fisika, dll. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang mulai belajar. Cara terbaik untuk belajar adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (discovery learning).



Teori Belajar Bermakna David Ausubel Ausubel (1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya yang berpijak pada psikologi kognitif, dan dalam teorinya memberi penekanan kepada belajar bermakna, serta retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dalam belajar. Belajar menurut Ausubel dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi: (1) berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui ekspository maupun inquiry, (2) menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan data atau informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada (Romiszowski, 1981). Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya adalah bahwa terlalu menekankan belajar asosiatif atau menghafal. Belajar asosiatif, materi yang dipelajari perlu dihafal secara arbitrari, padahal belajar seharusnya adalah apa yang disebut dengan asimilasi bermakna. Asimilasi bermakna, materi yang dipelajari, perlu diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan, yaitu: a) materi yang secara potensial bermakna dan dipilih serta diatur oleh pengajar harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan pembelajar; dan b) suatu situasi belajar yang bermakna. Faktor motivasional memegang peranan yang penting di sini, sebab pembelajar tidak akan mengasimilasi materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh pengajar sehingga materi tidak dipelajari secara hafalan. Sifat atau karakteristik untuk teori ini adalah apa yang disebut advance organizers yang apabila dipakai dapat meningkatkan kemampuan pembelajar untuk mempelajari informasi baru. Advance organizer ini merupakan kerangka berbentuk abstraksi atau ringkasan-ringkasan dari konsep dasar apa yang harus dipelajari serta hubungannya dengan apa yang telah ada dalam struktur kognisi pembelajar. Dalam proses belajar mengajar, seorang pengajar dapat menerapkan prinsip belajar bermakna oleh Ausubel, melalui langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kognisi) melalui tes awal, interview, review, pertanyaan dll. Kedua,



memilih materi, mengaturnya dan menyajikan konsep-konsep inti, dimulai dari contoh konkrit dan contoh kontroversial. Ketiga, mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus diketahui dari materi baru dan menyajikan suatu pandangan menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari. Keempat, memakai advance organizers; agar pembelajar dapat memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubungan yang ada.



PERBEDAAN DAN PERSAMAAN TEORI BRUNER DAN AUSUBEL Perbedaan antara teori Bruner dan teori Ausubel adalah Teori Bruner menekankan adanya penemuan sedangkan Ausubel menekankan adanya materi yang disajikan dan dapat diinternalisasikan oleh pembelajar. Sedangkan persamaannya adalah keduanya menekankan belajar bermakna dan pemahaman, meskipun menurut Bruner hal tersebut harus ditemukan secara induktif. Namun menurut Ausubel hal tersebut dapat diasimilasi secara deduktif; yakni belajar tidak hanya merupakan pengulangan secara verbatim. Pendapat keduanya menekankan adanya suatu hubungan. Bruner menekankan bagaimana sesuatu itu dipelajari dan dihubungkan dengan bahan-bahan lain serta bagaimana menemukan arti hubungan tersebut. Sedangkan menurut Ausubel, apa yang dipelajari seseorang harus dihubungkan dengan apa yang telah ada dalam struktur kognitif. Keduanya menekankan pentingnya mempelajari konsep dan prinsip. Keduanya merupakan teori belajar kognitif yang mempelajari proses dalam pikiran.



APLIKASI PRINSIP KOGNITIVISME DALAM PEMBELAJARAN Ada dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam perancangan pembelajaran, yaitu: (1) teori tentang struktur representasi kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi didefinisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang ketika mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Proses ingatan merupakan pengelolaan informasi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses penyandian informasi (coding), diikuti penyimpanan informasi (strorage), dan kemudian mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval). Dengan adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif adalah “Information Processing Model” yang mendeskripsikan: proses penyandian informasi, proses penyimpanan informasi, dan proses pengungkapan kembali suatu informasi atau pengetahuan dari konsepsi pikiran. Model tersebut akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar riset atau pembahasan mengenai psikologi pendidikan atau pembelajaran. Jadi, dalam model ini peristiwaperistiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dimulai dari input (masukan) berupa stimulus hingga menjadi output (keluaran) berupa respon (Slavin, 1994).



Dengan demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan selanjutnya suatu perubahan bertahap. Dalam tahap pengelolaan informasi yang berasal dari stimulus eksternal, Bruner menyampaikan tahap tersebut menjadi tiga fase dalam proses belajar, yaitu: (1) fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3) fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan menurut Witting (1981) setiap proses belajar akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition (tahap perolehan atau penerimaan informasi), (2) Storage (tahap penyimpangan informasi), dan (3) Retrieval (tahap menyampaikan kembali informasi). Dan untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar dan pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun dalam pola dan logika tertentu, (b) penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit, (c) belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian, dan (d) adanya perbedaan individual pada pembelajar harus diperhatikan.



PERBEDAAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISME DAN KOGNITIVISME Proses belajar menurut behaviorisme merupakan suatu mekanisme yang periferik dan terletak jauh dari otak, sedangkan menurut kognitivisme proses belajar terjadi secara internal di otak dan meliputi ingatan dan pikiran. Hasil belajar menurut behaviorisme merupakan kebiasaan dan ditekankan pada adanya urutan respons yang lancar. Sebaliknya kognitivisme menganggap hasil belajar sebagai suatu struktur kognitif tertentu. Menurut teori Behaviorisme, belajar merupakan proses trial and error, dan adanya unsur-unsur yang sama antara masalah sekarang yang dijumpai dengan apa yang pernah dijumpai sebelumnya. Sedangkan Kognitivisme, menekankan adanya pemahaman tentang apa yang dihadapi sekarang dengan yang telah dijumpai sebelumnya. Para pakar psikologi kognitif melihat situasi belajar erat kaitannya dengan memori. Memori yang biasanya diartikan ingatan, yakni merupakan fungsi mental yang menangkap informasi dari stimulus, dan merupakan storage system, yakni sistem penyimpanan data informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak manusia. Dan dalam diri manusia ada yang dikenal dengan struktur sistem akal yang terdiri dari tiga sub-sistem, antara lain: (1) Sensory register, (2) Short term memory, dan (3) Long term memory (Bruno, 1987). Dengan adanya sistem penyimpanan informasi dalam proses belajar ini, maka pembelajar diharapkan agar dapat memusatkan perhatian. Karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi perhatian pembelajar. Lindsay dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk memperbaiki memory (ingatan). Pertama, menghafal perlu adanya usaha; hal ini seringkali tidak mudah untuk dipenuhi. Kedua, materi yang harus dihafal atau diingat seharusnya berhubungan dengan hal-hal: menguraikan dengan kata-kata sendiri dan menggambarkan dalam imajinasi; ini mungkin dapat membantu. Ketiga, menghafal atau mengingat memerlukan organisasi materi. Materi dapat dibagi dalam



kelompok atau bagian-bagian kecil kemudian diletakkan kembali bersama-sama dalam pola ingatan yang berarti (Dahar, 1988).



PENUTUP Penyampaian informasi atau materi pelajaran dalam proses belajar mengajar menurut sudut pandang kognitif, yaitu suatu cara untuk mengembangkan ranah cipta siswa agar berfungsi secara optimal. Pengembangan ranah cipta (kognitif) dalam proses belajar mengajar tersebut dipandang vital dan strategis, karena ranah inilah yang paling dominan dalam kejiwaan. Ranah psikologis yang bermarkas di dalam otak ini merupakan sumber dan sekaligus pengendali ranahranah psikologis lainnya, yakni ranah rasa (afektif) dan ranah karsa (psikomotorik). Otak dengan segala perangkatnya yang sifatnya unik dan rumit tidak hanya berfungsi sebagai mesin penggerak aktivitas akal semata, tetapi juga sebagai menara pengontrol aktivitas perasaan dan perbuatan.



DAFTAR PUSTAKA Ballard, Brigid & John Clanchy. 1984. Study Abroady: A Manual for Asian Studens. Selangor Malaysia: Darul Ihsan. Bruno, Frank. 1987. Dictionary of Key Word Psychology, London: Routledge & Kegan Paul. Chaplin, J. P. 1972. Dictionaryof Psycology. New York: Dell Publishing Co. Inc. Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK. Degeng, I Nyoman Sudana. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: Penerbit IKIP Malang bekerjasama dengan Biro Penerbitan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia-Jakarta. Degeng, I Nyoman Sudana. 1988. Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK. Gredler, Margaret & E. Bell. 1986. Learning And Instruction Theory Into Practice. Mc.Milan Publishing Company. Diterjemahkan oleh Munandir. 1991. Jakarta: Rajawali. Neiser, Uris. 1976. Cognition and Reality: Principles and Implication of Cognitive Psycology. San Fransisco: Freman and Company. Sujana, Nana & Ahmad Rivai. 1989. Teknologi Pengajaran, Bandung: Sinar Baru.



Romiszowki, A. J. 1981. Designing Instructional Systems. London: The Ancher Ltd. Syah, Muhibbin. 1996. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Slavin, Robert E. 1994. Educational Psycology: Theory and Practice. America: The United States of America. Witig, Arno F. 1981. Psycology of Learning. New York: Mc.Grow Hill Bokk Company.



Abdullah Helmy Politeknik Negeri Malang ABSTRAK



Artikel ini membahas perihal teori belajar kognitif dan penerapannya yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Artikel ini menguji beberapa teori pembelajaran yang berkembang dalam rangka memaksimalkan pembelajaran seperti teori behaviorisme, konstruktivisme dan kognitivisme. Kegiatan belajar selalu terkait dengan unsur psikis bagi subjek yang melaksanakannya. Beberapa deskripsi tentang teori kognitif di antaranya adalah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan setiap perilaku mental yang berkaitan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Utamanya, penyampaian materi dalam proses belajar mengajar dalam pandangan teori kognitif adalah bagaimana membuat ranah cipta seorang siswa dapat berkembang dan berfungsi secara optimal. Ranah cipta ini merupakan ranah dominan dalam kejiwaan yang berpusat di otak dan mengendalikan ranah rasa dan ranah karsa.



Kata kunci: teori belajar kognitif, proses belajar mengajar, kegiatan belajar, ranah cipta, ranah rasa, ranah karsa



***



Untuk memperoleh hasil maksimal dalam pembelajaran, pengetahuan tentang pembelajaran merupakan perihal yang tidak dapat diabaikan oleh seorang pengajar; seperti halnya seorang petani harus mengetahui bagaimana tumbuhnya padi, pemupukannya, selain musim tanam dan tumbuhnya dan teknologi pertanian. Ada beberapa macam teori tentang pembelajaran atau bagaimana seseorang belajar; yang secara garis besar dibagi menjadi teori behaviorisme dan kognitivisme. Meskipun demikian beberapa ahli menambahkan teori belajar berdasarkan psikologi sosial dan teori belajar dari Gagne serta konstruktivisme. Belajar adalah proses seseorang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. Belajar dimulai sejak masa kecil ketika bayi memperoleh sejumlah keterampilan sederhana, seperti memegang botol susu dan mengenal ibunya. Selama masa kanak-kanak dan masa remaja, diperoleh sejumlah sikap, nilai, dan keterampilan hubungan sosial, demikian pula diperoleh kecakapan dalam berbagai mata ajaran sekolah. Ketika usia dewasa, seseorang diharapkan telah



mahir mengerjakan tugas atau pekerjaan tertentu dan keterampilan-keterampilan fungsional yang lain. Termasuk di sini ialah mengendarai mobil, membuat neraca buku cek pribadi, dan bergaul dengan orang lain (Gredler, 1991). Pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa (Degeng, 1989; 1990). Dalam definisi ini terkandung makna bahwa dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, serta mengembangkan metode ataupun strategi yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan, bahkan kegiatan-kegiatan inilah yang sebenarnya merupakan kegiatan inti pembelajaran. Salah satu kegiatan manusia adalah belajar. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang berproses dan juga merupakan unsur yang paling fundamental dalam setiap penyeleng-garaan jenis dan jenjang pendidikan atau pembelajaran. Dalam hal ini berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu berarti sangat tergantung pada proses belajar yang dialami oleh pembelajar, baik ketika ia berada dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan rumah atau keluarganya (Syah, 1996). Karena demikian pentingnya arti belajar, sebagian besar riset dan eksperimen psikologi pendidikan diarahkan kepada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai proses perubahan manusia. Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Karena kemampuan berubahlah, manusia secara bebas dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Edward Thorndike (1993) memprediksikan, “jika kemampuan belajar umat manusia dikurangi setengahnya saja maka peradaban yang ada sekarang tak akan ada gunanya bagi generasi mendatang, bahkan mungkin peradaban itu sendiri akan lenyap ditelan zaman” (Chaplin, 1972). Mc. Keachie (1976), mendefinisikan teori sebagai seperangkat asas yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata. Satu ciri teori yang penting ialah bahwa teori itu “membebaskan penemuan penelitian secara individual dan kenyataan kesementaraan waktu dan tempat untuk digantikan dengan suatu dunia yang lebih luas” Ratna (1988). Membagi dua tahapan perkembangan teori belajar dan pembelajaran; pertama, dimulai sebelum abad 20 seperti teori disiplin mental (mental discipline), teori pengembangan alami (natural unfoldment) atau teori aktualisasi diri (self actualization), dan teori appersepsi (upperseption). Hingga saat ini teori-teori tersebut masih dirasakan pengaruhnya di sekolah-sekolah. Dan jika ditinjau dari aplikasinya ketiga teori tersebut dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen-eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa dasar orientasinya lebih bersifat filosofik dan spekulatif. Kedua, teori belajar yang dikembangkan selama abad 20 yang dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok, yaitu teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, teori belajar humanistik. Degeng (1989), mengemukakan bahwa teori pengajaran menunjukkan hubungan kegiatan pengajaran dengan proses-proses psikologis dalam diri pembelajar, sedangkan teori belajar mengungkapkan hubungan kegiatan pembelajar dengan fenomena yang ada dalam diri pembelajar. Ruang lingkup pembahasan makalah ini, difokuskan pada deskripsi teori kognitif dalam belajar dan aplikasinya dalam pembelajaran. Rumusan masalah tersebut meliputi: (a) deskripsi tentang



teori kognitif, (b) tokoh-tokoh teori kognitif beserta pandangannya, dan (c) aplikasi teori kognitif dalam belajar dan pembelajaran. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini akan dibahas secara singkat teori belajar kognitivisme dan penerapannya dalam pembelajaran dan sejumlah pandangan psikologi-kognitif yang berkaitan dengan proses belajar dan pembelajaran. Hal tersebut mengingat bahwa kegiatan belajar tidak akan terpisah dari unsur psikis (keterlibatan emosional dan mental) bagi subjek yang melaksanakan kegiatan tersebut.



DESKRIPSI TENTANG TEORI KOGNITIF Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition” yang padanannya “Knowing”, berarti mengetahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan (Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer dan menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berkaitan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972). Istilah “cognitive of theory learning” yaitu suatu bentuk teori belajar yang berpandangan bahwa belajar adalah merupakan proses pemusatan pikiran (kegiatan mental) (Slavin (1994). Teori belajar tersebut beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki kemampuan potensial, sehingga tingkah laku yang bersifat kompleks bukan hanya sekedar dari jumlah tingkah laku yang sederhana, maka dalam hal belajar menurut aliran ini adalah mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar juga melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Yang menjadi prioritas perhatian adalah pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru bisa berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya dikuasai oleh masing-masing individu. Teori kognitif ini, yang didasari oleh pandangan adanya mekanisme dan proses pertumbuhan, yaitu dari bayi kemudian anak berkembang menjadi individu yang dapat bernalar dan berfikir menggunakan hipotesa. Asumsi dasar yang melandasi deskripsi demikian ialah pengertian Jean Piaget mengenai perkembangan intelek dan konsepsinya tentang hakikat kecerdasan (Gredler, 1991). Dalam praktek belajar, teori kognitif terwujud dalam: “tahap-tahap perkembangan belajar” oleh Jean Piaget, “belajar bermakna” oleh Ausuber, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut kognitifist dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi dengan lingkungan yang berkesinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah, tetapi merupakan proses yang mengalir serta sambung-menyambung, dan menyeluruh. Seperti halnya proses membaca, bukan sekedar menggabungkan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah; tetapi menggabungkan kata, kalimat atau



paragraf yang diserap dalam pikiran dan kesemuanya itu menjadi satu, mengalir total secara bersamaan. Tidak seperti model-model behaviorisme yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan S – R yang bersifat superfisial, kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuantujuannya. Belajar itu sendiri menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut. Membagi keseluruhan situasi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah adalah sama dengan kehilangan sesuatu yang penting. Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain. Belajar, mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan dinyesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran sesorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Jadi hubungan S – R pada teori kognitivisme adalah sebagai berikut: S ——-> Perubahan internal tiap individu R ——-> Respons



JENIS-JENIS TEORI BELAJAR KOGNITIFISME Di dalam subbab ini disajikan beberapa teori belajar secara umum. Setelah itu akan dibahas aplikasinya di dalam pembelajaran bahasa.



Teori Perkembangan Jean Piaget Jean Piaget (1896-1980) lahir di Swiss, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif, yang pada awal mulanya bukanlah seorang psikolog melainkan seorang ahli biologi, tetapi telah berhasil menulis lebih dari 30 buku bermutu, yang bertemakan perkembangan anak dan kognitif (Syah, 1996:66). Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistim syaraf. Dengan semakin bertambahnya usia sesesorang maka semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.



Pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya dan akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya. Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitifnya yang harus diseuaikan dengan informasi yang diterima, maka proses ini disebut akomodasi. Jadi asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila terjadi konflik koginitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Adaptasi akan terjadi apabila telah terjadi keseimbangan dalam struktur kognitif. Tugas seorang dosen dalam proses belajar mengajar adalah menyajikan materi yang harus dipelajari mahasiswa sedemikian rupa sehingga menyebabkan adanya ketidak seimbangan kognitif pada diri mahasiswa. Dengan demikian ia akan berusaha untuk mengadopsi informasi baru ke dalam struktur kognitifnya yang telah ada. Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hirarkis artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Di sini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensomotorik (0 – 2 tahun) yang bersifat eksternal, pre-operasional (2 – 6 tahun), operasional konkrit (6/7 – 11/12 tahun) dan jenjang formal (11/2 – 18 tahun) yang bersifat internal (mampu berfikir abstrak atau mengadakan penalaran). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perkembangan individu tersebut pada 4 tahapan. Yang pertama adalah sensori motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0 – 2 tahun. Yang kedua adalah pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2 – 7 tahun. Yang ketiga adalah concrete operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Yang terakhir adalah formal operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal (Slavin, 1994:14). Yang merupakan titik pusat teori Perkembangan Kognitif Piaget ialah bagaimana individu mengalami kemajuan tingkat perkembangan mental atau pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi. Hal yang pokok dalam teori ini adalah kepercayaan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu dalam interaksi dengan lingkungan yang terus-menerus dan selalu berubah. Dalam usahanya memahami mekanisme perkembangan kognitif, Piaget menyampaikan fungsi kecerdasan dari tiga perspektif. Ketiganya adalah: (1) proses mendasar yang terjadi dalam interaksi dengan lingkungan (asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi), (2) cara bagaimana pengetahuan disusun (pengalaman fisik dan logis-matematis), dan (3) perbedaan kualitatif dalam berfikir pada berbagai tahap perkembangan (skema tindakan) mulai dari sensomotorik, pra-operasional, operasional konkrit dan operasional formal. Perkembangan kognitif menurut Piaget (1977) dipengaruhi oleh tiga proses dasar: asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Secara singkat, asimilasi ialah pemaduan data atau informasi baru dengan struktur kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian struktur terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Gredler, 1991:311). Berikut adalah kelemahan-kelemahan dari teori Piaget. Belajar individual tidak dapat dilaksanakan karena untuk belajar mandiri diperlukan kemampuan kognitif yang lengkap dan kompleks



dan tidak bisa diuraikan dalam jenjang-jenjang. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan-keterampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai oleh anak-anak yang belum mencapai umur yang sesuai dengan jenjang-jenjang teori Piaget. Sebaliknya, banyak orang yang tidak mencapai tahap operasional formal tanpa adanya manipulasi hal-hal yang bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pemberian model dll. Keterampilan ternyata lebih baik dipelajari melalui urutan, bukan berdasarkan tahapan umur.



Teori Kognitif Jerome S. Bruner Jerome S. Bruner adalah seorang pakar psikologi perkembangan dan pakar psikologi belajar kognitif, penelitiannya dalam bidang psikologi antara lain persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi (Dahar, 1988). Dalam pembahasan perkembangan kognisi, Bruner menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan pada tingkah laku seseorang. Bila Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif berpengaruh pada perkembangan bahasa seseorang, maka sebaliknya Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognisi. Menurut Bruner, perkembangan kognisi seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap pertama adalah tahap en-aktif, di mana individu melakukan aktivitas-aktivitas untuk memahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap ikonik di mana ia melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana ia mempunyai gagasan secara abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika; komunikasi dilakukan dengan bantuan sistem simbol. Makin dewasa makin dominan pula sistem simbol seseorang. Untuk belajar sesuatu, Bruner berpendapat tidak perlu menunggu sampai anak mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan yang diberikan sudah diatur dengan baik, maka individu dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Dengan kata lain, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan sistem ini dalam dunia pendidikan disebut “kurikulum spiral” di mana satu obyek diberikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan materi yang sama tetapi tingkat kesukaran yang bertingkat, dan materinya disesuaikan pula dengan tingkat perkembangan kognisi seseorang. Prinsip-prinsip belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ketidaktergantungan individu terhadap stimulus yang diberikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah secara mental. Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol. Untuk mengembangkan kognisi seseorang diperlukan interaksi yang sis-



tematik antara pengajar dan pembelajar. Dalam Perkembangan kognisi seseorang, semakin tinggi tingkatannya semakin meningkat pula kemampuan untuk memikirkan beberapa alternatif secara serentak dan kemampuan untuk memberikan perhatian terhadap beberapa stimuli dan situasi sekaligus. Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah, bahkan mungkin dihindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya di sekolah banyak dikembangkan cara berfikir analitis, padahal berfikir intuitif sangat penting untuk ahli matematika, biologi, fisika, dll. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang mulai belajar. Cara terbaik untuk belajar adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (discovery learning).



Teori Belajar Bermakna David Ausubel Ausubel (1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya yang berpijak pada psikologi kognitif, dan dalam teorinya memberi penekanan kepada belajar bermakna, serta retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dalam belajar. Belajar menurut Ausubel dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi: (1) berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui ekspository maupun inquiry, (2) menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan data atau informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada (Romiszowski, 1981). Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya adalah bahwa terlalu menekankan belajar asosiatif atau menghafal. Belajar asosiatif, materi yang dipelajari perlu dihafal secara arbitrari, padahal belajar seharusnya adalah apa yang disebut dengan asimilasi bermakna. Asimilasi bermakna, materi yang dipelajari, perlu diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan, yaitu: a) materi yang secara potensial bermakna dan dipilih serta diatur oleh pengajar harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan pembelajar; dan b) suatu situasi belajar yang bermakna. Faktor motivasional memegang peranan yang penting di sini, sebab pembelajar tidak akan mengasimilasi materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh pengajar sehingga materi tidak dipelajari secara hafalan. Sifat atau karakteristik untuk teori ini adalah apa yang disebut advance organizers yang apabila dipakai dapat meningkatkan kemampuan pembelajar untuk mempelajari informasi baru. Advance organizer ini merupakan kerangka berbentuk abstraksi atau ringkasan-ringkasan dari konsep dasar apa yang harus dipelajari serta hubungannya dengan apa yang telah ada dalam struktur kognisi pembelajar. Dalam proses belajar mengajar, seorang pengajar dapat menerapkan prinsip belajar bermakna oleh Ausubel, melalui langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kognisi) melalui tes awal, interview, review, pertanyaan dll. Kedua,



memilih materi, mengaturnya dan menyajikan konsep-konsep inti, dimulai dari contoh konkrit dan contoh kontroversial. Ketiga, mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus diketahui dari materi baru dan menyajikan suatu pandangan menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari. Keempat, memakai advance organizers; agar pembelajar dapat memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubungan yang ada.



PERBEDAAN DAN PERSAMAAN TEORI BRUNER DAN AUSUBEL Perbedaan antara teori Bruner dan teori Ausubel adalah Teori Bruner menekankan adanya penemuan sedangkan Ausubel menekankan adanya materi yang disajikan dan dapat diinternalisasikan oleh pembelajar. Sedangkan persamaannya adalah keduanya menekankan belajar bermakna dan pemahaman, meskipun menurut Bruner hal tersebut harus ditemukan secara induktif. Namun menurut Ausubel hal tersebut dapat diasimilasi secara deduktif; yakni belajar tidak hanya merupakan pengulangan secara verbatim. Pendapat keduanya menekankan adanya suatu hubungan. Bruner menekankan bagaimana sesuatu itu dipelajari dan dihubungkan dengan bahan-bahan lain serta bagaimana menemukan arti hubungan tersebut. Sedangkan menurut Ausubel, apa yang dipelajari seseorang harus dihubungkan dengan apa yang telah ada dalam struktur kognitif. Keduanya menekankan pentingnya mempelajari konsep dan prinsip. Keduanya merupakan teori belajar kognitif yang mempelajari proses dalam pikiran.



APLIKASI PRINSIP KOGNITIVISME DALAM PEMBELAJARAN Ada dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam perancangan pembelajaran, yaitu: (1) teori tentang struktur representasi kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi didefinisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang ketika mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Proses ingatan merupakan pengelolaan informasi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses penyandian informasi (coding), diikuti penyimpanan informasi (strorage), dan kemudian mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval). Dengan adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif adalah “Information Processing Model” yang mendeskripsikan: proses penyandian informasi, proses penyimpanan informasi, dan proses pengungkapan kembali suatu informasi atau pengetahuan dari konsepsi pikiran. Model tersebut akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar riset atau pembahasan mengenai psikologi pendidikan atau pembelajaran. Jadi, dalam model ini peristiwaperistiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dimulai dari input (masukan) berupa stimulus hingga menjadi output (keluaran) berupa respon (Slavin, 1994).



Dengan demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan selanjutnya suatu perubahan bertahap. Dalam tahap pengelolaan informasi yang berasal dari stimulus eksternal, Bruner menyampaikan tahap tersebut menjadi tiga fase dalam proses belajar, yaitu: (1) fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3) fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan menurut Witting (1981) setiap proses belajar akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition (tahap perolehan atau penerimaan informasi), (2) Storage (tahap penyimpangan informasi), dan (3) Retrieval (tahap menyampaikan kembali informasi). Dan untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar dan pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun dalam pola dan logika tertentu, (b) penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit, (c) belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian, dan (d) adanya perbedaan individual pada pembelajar harus diperhatikan.



PERBEDAAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISME DAN KOGNITIVISME Proses belajar menurut behaviorisme merupakan suatu mekanisme yang periferik dan terletak jauh dari otak, sedangkan menurut kognitivisme proses belajar terjadi secara internal di otak dan meliputi ingatan dan pikiran. Hasil belajar menurut behaviorisme merupakan kebiasaan dan ditekankan pada adanya urutan respons yang lancar. Sebaliknya kognitivisme menganggap hasil belajar sebagai suatu struktur kognitif tertentu. Menurut teori Behaviorisme, belajar merupakan proses trial and error, dan adanya unsur-unsur yang sama antara masalah sekarang yang dijumpai dengan apa yang pernah dijumpai sebelumnya. Sedangkan Kognitivisme, menekankan adanya pemahaman tentang apa yang dihadapi sekarang dengan yang telah dijumpai sebelumnya. Para pakar psikologi kognitif melihat situasi belajar erat kaitannya dengan memori. Memori yang biasanya diartikan ingatan, yakni merupakan fungsi mental yang menangkap informasi dari stimulus, dan merupakan storage system, yakni sistem penyimpanan data informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak manusia. Dan dalam diri manusia ada yang dikenal dengan struktur sistem akal yang terdiri dari tiga sub-sistem, antara lain: (1) Sensory register, (2) Short term memory, dan (3) Long term memory (Bruno, 1987). Dengan adanya sistem penyimpanan informasi dalam proses belajar ini, maka pembelajar diharapkan agar dapat memusatkan perhatian. Karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi perhatian pembelajar. Lindsay dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk memperbaiki memory (ingatan). Pertama, menghafal perlu adanya usaha; hal ini seringkali tidak mudah untuk dipenuhi. Kedua, materi yang harus dihafal atau diingat seharusnya berhubungan dengan hal-hal: menguraikan dengan kata-kata sendiri dan menggambarkan dalam imajinasi; ini mungkin dapat membantu. Ketiga, menghafal atau mengingat memerlukan organisasi materi. Materi dapat dibagi dalam



kelompok atau bagian-bagian kecil kemudian diletakkan kembali bersama-sama dalam pola ingatan yang berarti (Dahar, 1988).



PENUTUP Penyampaian informasi atau materi pelajaran dalam proses belajar mengajar menurut sudut pandang kognitif, yaitu suatu cara untuk mengembangkan ranah cipta siswa agar berfungsi secara optimal. Pengembangan ranah cipta (kognitif) dalam proses belajar mengajar tersebut dipandang vital dan strategis, karena ranah inilah yang paling dominan dalam kejiwaan. Ranah psikologis yang bermarkas di dalam otak ini merupakan sumber dan sekaligus pengendali ranahranah psikologis lainnya, yakni ranah rasa (afektif) dan ranah karsa (psikomotorik). Otak dengan segala perangkatnya yang sifatnya unik dan rumit tidak hanya berfungsi sebagai mesin penggerak aktivitas akal semata, tetapi juga sebagai menara pengontrol aktivitas perasaan dan perbuatan.



DAFTAR PUSTAKA Ballard, Brigid & John Clanchy. 1984. Study Abroady: A Manual for Asian Studens. Selangor Malaysia: Darul Ihsan. Bruno, Frank. 1987. Dictionary of Key Word Psychology, London: Routledge & Kegan Paul. Chaplin, J. P. 1972. Dictionaryof Psycology. New York: Dell Publishing Co. Inc. Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK. Degeng, I Nyoman Sudana. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: Penerbit IKIP Malang bekerjasama dengan Biro Penerbitan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia-Jakarta. Degeng, I Nyoman Sudana. 1988. Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK. Gredler, Margaret & E. Bell. 1986. Learning And Instruction Theory Into Practice. Mc.Milan Publishing Company. Diterjemahkan oleh Munandir. 1991. Jakarta: Rajawali. Neiser, Uris. 1976. Cognition and Reality: Principles and Implication of Cognitive Psycology. San Fransisco: Freman and Company. Sujana, Nana & Ahmad Rivai. 1989. Teknologi Pengajaran, Bandung: Sinar Baru.



Romiszowki, A. J. 1981. Designing Instructional Systems. London: The Ancher Ltd. Syah, Muhibbin. 1996. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Slavin, Robert E. 1994. Educational Psycology: Theory and Practice. America: The United States of America. Witig, Arno F. 1981. Psycology of Learning. New York: Mc.Grow Hill Bokk Company.



Teori Humanistik Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik dala pendidikan. Dalam artikel “What is Humanistik Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik. Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist” Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang luas mengenai perilaku manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan manusia? Dan bagaimana aku bisa membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut dengan lebih baik?



Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai



hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi. Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manuisa atau dengan freudian yang melihat motivasi sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia, bukan spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi manusia dan motivasi yang dimiliki binatang. Hirarki kebutuhan motivasi maslow menggambarkan motivasi manusia yang berkeinginan untuk bersama manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan motivasi dalam level yang lebih rendah seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan. Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikukum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar. Jadi sekoah harus berhati-hati supaya tidak membunuh insting ini dengan memaksakan anak belajar sesuatu sebelum mereka siap. Jadi bukan hal yang benar apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan juga punya keinginan. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai konselor seperti dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada behaviorisme.



Secara singkatnya, teori humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Teori yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan



membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik. Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.



Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. B. Tokoh-Tokoh Dalam Teori Belajar Humanistik 1. Carl Ronson Rogers a. Biografi



Carl Ransom Rogers lahir di Oak Park, Illinois, pada 8 Januari 1902. Pada umur 12 tahun keluarganya mengusahakan pertanian dan Rogers menjadi tertarik kepada pertanian secara ilmiah. Pertanian ini membawanya ke perguruan tinggi, dan pada tahun-tahun pertama Rogers sangat gemar akan ilmu alam dan ilmu hayat. Setelah menyelesaikan pelajaran di University of Wisconsin pada 1924 Rogers masuk Union Theological College of Columbia, disana Rogers mendapat pandangan yang liberal dan filsafat mengenai agama. Kemudian pindah ke Teachers College of Columbia, disana Rogers terpengaruh oleh filsafat John Dewey serta mengenal psikologi klinis dengan bimbingan L. Hollingworth. Rogers mendapat gelar M.A. pada 1928 dan doctor pada 1931 di Columbia. Pengalaman praktisnya yang pertama-tama diperolehnya di



Institute for Child Guidance. Lembaga tersebut orientasinya Freudian. Rogers menemukan bahwa pemikiran Freudian yang spekulatif itu tidak cocok dengan pendidikan yang diterimanya yang mementingkan statistik dan pemikiran menurut aliran Thorndike. Setelah mendapat gelar doktor dalam psikologi Rogers menjadi staf pada Rochester Guidance Center dan kemudian menjadi pemimpinnya. Selama masa ini Rogers dipengaruhi oleh Otto Rank, seorangpsychoanalyst yang memisahkan diri dari Freudian yang ortodok. Pada tahun 1940 Rogers menerima tawaran untuk menjadi guru besar psikologi di Ohio State University. Perpindahan dari pekerjaan klinis ke suasana akademis ini dirasa oleh Rogers sendiri sangat tajam. Karena rangsangannya Rogers merasa terpaksa harus membuat pandangannya dalam psikoterapi itu menjadi jelas. Dan ini dikerjakannya pada 1942 dalam buku Counseling and Psychotheraphy. Pada tahun 1945 Rogers menjadi mahaguru psikologi di Universitas of Chicago, yang dijabatnya hingga kini. Tahun 1946-1957 menjadi presiden the American Psychological Association. Dan meninggal dunia tanggal 4 Februari 1987 karena serangan jantung. Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik, namun keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Teori humanistik Rogers pun menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang berpusat pada pribadi (person centered), nondirective, klien (client-centered), teori yang berpusat pada murid (student-centered), teori yang berpusat pada kelompok (group centered), danperson to person). Namun istilah person centered yang sering digunakan untuk teori Rogers. Rogers menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak pesimisme suram dan putus asa dalam psikoanalisis serta menentang teori behaviorisme yang memandang manusia seperti robot. Teori humanisme Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia karena manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai dengan pengertian humanisme pada umumnya, dimana humanisme adalah doktrin, sikap, dan cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu. b. Pemikiran Carl Ronson Rogers Carl Rogers, seorang psikolog humanistik, mengutarakan sebuah teori yang disebut dengan teori pribadi terpusat. Dalam pandangan Rogers, konsep diri merupakan hal terpenting dalam



kepribadian, dan konsep diri ini juga mencakup kesemua aspek pemikiran, perasaan, serta keyakinan yang disadari oleh manusia dalam konsep dirinya.



Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Untuk menunjukkan



apakah



kedua



konsep



diri



tersebut



sesuai



atau



tidak,



Rogers mengenalkan 2 konsep lagi, yaitu Incongruence dan Congruence. Incongruence



adalah



ketidakcocokan antara diri yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin. Seseorang dikatakan dalam keadaan inkongruensi jika beberapa dari totalitas pengalaman mereka tidak bisa diterima untuk mereka dan ditolak atau terdistorsi dalam citra diri. Sedangkan Congruence berarti situasi di mana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati.



Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu conditional positive regard(bersyarat) dan unconditional positive regard (tak bersyarat).



Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positip tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.



Pendekatan humanistik menyatakan bahwa diri terdiri dari konsep-konsep unik untuk diri kita sendiri komponen. Konsep- konsep tersebut antara lain : 1)



Cukup layak (atau harga diri) yaitu apa yang kita pikirkan tentang diri kita. Rogers percaya perasaan harga diri yang dikembangkan pada anak usia dini dan terbentuk dari interaksi anak dengan ibu dan ayah.



2)



Citra diri yaitu bagaimana kita melihat diri kita, yang penting untuk kesehatan psikologis yang baik. Citra diri termasuk pengaruh gambar tubuh kita pada kepribadian batin. Pada tingkat sederhana, kita mungkin menganggap diri sebagai orang baik atau buruk, indah atau jelek. Citra diri memiliki mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir merasa dan berperilaku di dunia.



3)



Ideal diri yaitu ingin menjadi seperti apa diri kita. Ini terdiri dari tujuan kita,ambisi dalam hidup, dan dinamis - yaitu selamanya berubah. Yang ideal diri pada anak bukanlah diri ideal di usia remaja kita atau akhir usia dua puluhan dll



Rogers lebih melihat pada masa sekarang, dia berpendapat bahwa masa lampau memang akan mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang masa sekarang yang akan mempengaruhi juga kepribadiannya. Namun ia tetap berfokus pada apa yang terjadi sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu. Rogers membedakan dua tipe belajar yaitu : -



Kognitif ( kebermaknaan )



-



Experiential ( pengalaman atau signifikansi)



Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiantial learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.



Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Jadi manusia yang sadar dan rasional tidak lagi dikontrol oleh peristiwa kanak – kanak. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi -potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia tertentu (adolensi) seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis. Pada dasarnya, ide pokok dari teori – teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah – masalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri. Menurut Rogers, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu : 1)



Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar



2)



Siswa akan mempelajari hal- hal yang bermakna bagi dirinya.



3)



Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.



4)



Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.



5)



Belajar yang optimal akan terjadi bila siswa berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses belajar.



6)



Belajar mengalami (experiental learning) dapat terjadi, bila siswa mengevaluasi dirinya sendiri. Belajar mengalami, dapat memberi peluang untuk belajar kreatif, self evaluation dan kritik diri. Hal ini berarti bahwa evaluasi dari instruktur bersifat sekunder.



7)



Belajar mengalami, menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-sungguh.



Dalam bukunya yang berjudul Freedom To Learn, Rogers menunjukkan sejumlah prinsipprinsip dasar humanistik yang penting, diantaranya adalah : 1)



Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.



2)



Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relefansi dengan maksud- maksud sendiri.



3)



Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.



4)



Tugas- tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman- ancaman dari luar itu semakin kecil.



5)



Apabila ancaman terhadap siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda- beda dan terjadilah proses belajar.



6)



Belajar bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.



7)



Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.



8)



Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.



9)



Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdkaan, kreativitas, lebih mudah dicapaiterutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.



10) Belajar yang paling berguna secara social di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu. Rogers juga mengemukakan saran tentang langkah-langhkah pembelajaran yang perlu dilakukan oleh guru. Saran pembelajaran itu meliputi hal berikut : 1)



Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur.



2)



Guru dan siswa membuat kontrak belajar.



3)



Guru menggunakan metode inkuiri, atau belajar menemukan (discovery learning).



4)



Guru menggunakan metode simulasi.



5)



Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan berpartisipasi dengan kelompok lain.



6)



Guru bertindak sebagai fasilitator belajar.



7)



Sebaiknya guru menggunakan pengajaran berprogram, agar tercipta peluang bagi siswa untuk timbulnya kreativitas.



Ciri- ciri guru yang fasilitatif adalah sebagai berikut: 1)



Merespon perasaan siswa



2)



Menggunakan ide- ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang



3)



Berdialog dan berdiskusi dengan siswa



4)



Menghargai siswa



5)



Kesesuaian antara pelaku dan perbuatan



6)



Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa



7)



Tersenyum pada siswa.



Dari penelitian diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa- siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.



Sepanjang sejarah keinginan manusia untuk mengetahui sebab-sebab tingkah lakunya dan semenjak psikologi menjadi pengetahuan yang otonom, masalah aspek kejiwaan yang mengatur, membimbing dan mengontrol tingkah laku manusia selalu timbul dan menjadi persoalan. Pengertian umum mengenai iner entity ini adalah jiwa (soul). Menurut teori “jiwa” gejala-gejala kejiwaan (mental phenomena) dianggap sebagai pencerminan substansi khusus yang secara khas berbeda dari subtansi dari subtansi kebendaan. Dalam teori keagamaan jiwa itu dipandang sebagai abadi, bebas dan asalnya suci.



Rogers menyebut dirinya sebagai orang yang berpandangan humanistik dalam psikologi kontemporer. Psikologi humanistik dari satu pihak menentang apa yang disebut sebagai pesimisme suram dan keputusasaan yang terkandung dalam pandangan psikoanalitik tentang manusia dan di lain pihak menentang konsepsi robot tentang manusia yang digambarkan dalam behaviorisme. Psikologi humanistik lebih penuh harapan dan optimistik tentang manusia. Ia yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif. Kegagalan dalam mewujudkan potensi-potensi ini disebabkan oleh pengaruh yang bersifat menjerat dan keliru dari latihan yang diberikan oleh orang tuanya, serta pengaruhpengruh sosial lainnya. Namun pengaruh-pengaruh yang merugikan ini dapat diatasi apabila individu mau menerima tanggung jawab untuk hidupnya sendiri. Rogers yakin apabila tanggung jawab ini di terima, maka kita akan segera melihat kalau saja represi perbudakan yang meliputi seluruh dunia dapat dicegah, munculnya seorang pribadi baru yang penuh kesadaran, mengarahkan dirinya sendiri, seorang yang menjelajah dunia batin lebih dari pada dunia luar, yang memandang sikap serba tunduk pada kebiasaan-kebiasaan pada dogma tentang autoritas. Teori Rogers juga mempunyai kesamaan dengan psikologi ekstensial. Yang pada dasarnya teori ini



adalah fenomenologis, artinya Rogers memberikan tekanan yang kuat pada



pengalaman-pengalaman sang pribadi, perasaan-perasaan dan nilai-nilainya, dan semua yang teringkas dalam ekspresi “kehidupan batin”. Dari pengalaman-pengalaman inilah mula-mula Rogers mengembangkan teori tentang terapi dan perubahan kepribadian. Ciri utama konseptualisasi dari proses terapeutik ini adalah bahwa para klien mempersepsikan bahwa ahli terapi memiliki “unconditional positive regard” (penghargaan positif tanpa syarat) terhadap mereka dan suatu pemahaman empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of reference) mereka, maka proses perubahan mulai bergerak. Selama proses ini, klien-klien



semakin lebih menyadari perasaan dan pengalaman mereka yang sebenarnya dan konsep diri mereka menjadi lebih selaras dengan seluruh pengalaman organisme. Apabila keselarasan yang bulat tercapai, maka klien akan menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. Menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya meliputi sifat-sifat seperti keterbukaan terhadap pengalaman, tidak adanya sifat defensif, kesadaran yang cermat, penghargaan diri tanpa syarat, dan hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain.



2. Abraham Harold Maslow a. Biografi



Abraham Harold Maslow dilahirkan di Brookllyn, New York, pada tanggal 1 April 1908. orang tuanya adalah imigran Yahudi Rusia yang pindah ke Amerika Serikat dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sebagai anak yang tertua dari tujuh bersaudara, Maslow oleh orang tuanya didorong dengan kuat agar mencapai keberhasilan dalam pendidikan. Karena desakan ayahnya, pada mulanya Maslow memilih hukum sebagai bidang studinya di city College, New york. Tetapi baru dua minggu kuliah Maslow pindah ke universitas Cornell, dan tak lama kemudian pindah ke universitas Wisconsin, dengan bidang psikologi sebagai bidang pilihannya. Di universitas wisconsin ini Maslow meraih gelar sarjana Muda pada tahun 1930, sarjana penuh tahun 1931, dan meraih Doktor pada tahunn 1934. pada waktu masih kuliah di universitas Wsiconsin inilah Maslow menikah dengan Betha Goodman, pacarnya sejak masih di sekolah menengah.



Maslow memutuskan untuk belajar Psikologi terutama karena pengaruh Behaviorisme Watson dan dia berharap dirinya bisa merubah dunia. Disamping Watson, tokoh-tokoh yang dikagumi dan ingin diikuti oleh Maslow adalah Koffka tokoh Psikologi Gestalt, Dreisch seorang tokoh terkemuka dalam bdang Biologi dan Miklejhon seorang ahli filsafat. Maslow mengawali karir akademis dan profesionalnya dengan memegang jabatan sebagai asisten instruktur psikologi di universitas wisconsin (1930-1934), dan sebagai staff pengajar (1934-1935). Kemudian Maslow menjadi staf peneliti di Universitas Columbia sampai tahun 1937. Semasa di Universitas Columbia ini Maslow bekerja sebagai asisten Edward L. Thorndike, salah seorang tokoh behaviorisme. Setelah itu Maslow menjadi guru besar Pembantu di brooklyn college, new York, sampai tahun 1531. Di kota ini ia bertemu dengan tokoh-tokoh intelektual Eropa yang melarikan diri ke Amerika Serikat karena penindasan Hitler. Tokoh-tokoh yang dimaksud seperti erich Fromn, alfred Adler, Karen Horney, Ruth Benedict, dan Max Wetheimer. Percakapan-percakapan informal dan pertukaran pengalaman dengan tokoh-tokoh tersebut memegang peranan penting dalam pembentukan landasan pemikiran humanistik Maslow. Selain itu, kehadiran anaknya yang pertama telah menghilangkan antusiasme Maslow terhadap Behaviorisme. Tingkah laku yang kompleks yang ditunjukan oleh anaknya membuat Maslow berfikir bahwa behaviorisme lebih cocok untuk memahami tikus daripada memahami manusia. Ia berkata : “Orang yang sudah pernah punya bayi tidak menjadi behavioris”. Sebagian buku-buku Maslow yakni Toward a Psychology of Being. (1962) Religius and Peak Experiences (1964), Eupsychian Management : A Journal (1965) the Psycology of science: A reconnaisence (1966), motivation and personality (1970) dan the father Reaches of human natures, sebuah buku kumpulan artikel Maslow yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal. b. Pemikiran Abraham Harold Maslow Teori Abraham Maslow, tentang motivasi manusia dapat diterapkan pada hampir seluruh aspek kehidupan pribadi serta sosial. Maslow juga mengatakan bahwa manusia dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah, dan berasal dari sumber genetik atau naluriah. Dan konsep inilah yang mendasar dan unik bagi teori Maslow.



 Hirarki Kebutuhan Maslow 1) Kebutuhan-kebutuhan Fisologis atau Biologis Yang mendasar pada teori Maslow adalah pendapatnya tentang kebutuhan fisiologis atau yang biasa disebut dengan kebutuhan biologis. Diman kebutuhan ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan paling jelas diantara kebutuhan-kebutuhan yang lainnya, yaitu kebutuhan mempertahankan hidupnya secara fisik diantaranya adalah: kebutuhan akan makan, minum, tempat tidur, seks dan oksigen. 2) Kebutuhan akan Rasa Aman Setelah kebutuhan fisiologis dapat terpenuhi, maka akan muncul kebutuhan baru yang oleh Maslow disebut dengan kebutuhan akan rasa aman. Karena kebutuhan rasa aman biasanya terpuaskan pada orang dewasa yang normal dan sehat. Maslow mengatakan bahwa orang dewasa yang tidak aman (neurotic), maka ia akan bertingkah laku seperti anak-anak yang tidak aman, ia akan merasa dalam keadaan terancam, disamping itu ia akan bertindak seakan-akan dalam keadaan darurat. 3) Kebutuhan akan rasa cinta kasih Cinta, sebagaimana kata itu digunakan oleh Maslow, tidak boleh dikacaukan dengan seks, yang dapat dipadankan sebagai kebutuhan fisiologi semata. Ia mengatakan bahwa “tingkah laku seksual ditentukan oleh banyak kebutuhan, bukan hanya kebutuhan seksual melaikan oleh kebutuhan lain, yang utama diantaranya adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Maslow



menyukai rumusan yang dikemukakan oleh Carl Roges tentang cinta, yaitu “keadaan dimengerti secara mendalam dan diterima dengan dengan sepenuh hati. 4) Kebutuhan akan penghargaan Maslow menemukan bahwa setiap orang memiliki dua kategori kebutuhan yakni” harga diri dan penghargaan dari orang lain, meliputi: kebutuhan akan percaya diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan prestasi, ketidak katergantungan dan kebebasan. Sedangkan kebutuhan akan dihargai oleh orang lain adalah: prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta penghargaan. 5) Kebutuhan akan aktualisasi diri Menurut Maslow kebutuhan psikologis untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan dikatakan dengan aktualisasi diri. Dimana aktualisasi pada hirarki kebutuhan Maslow merupakan tingkatan paling tinggi, bagaimana tidak karena setiap orang dapat mengembangkan dirinya dengan sepenuh kemampuan yang dimilikinya untuk dapat menjadi manusia seutuhnya. Ciri universal individua yang dapat mengaktualisasikan dirinya adalah kemampuan mereka melihat hidup dengan jernih, melihat hidup apa adanya bukan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak bersikap emosional, justru bersikap objektif terhadap hasil-hasil pengamatan mereka. Disamping itu cirri lain dari orang teraktualisasikan dirinya adalah kadar konflik dirinya yang rendah, ia tidak melawan dirinya sendiri tapi ia lebih bersifat produktif. Dari hirarki kebutuhan tersebut dapat terlihat bahwa prioritas pemenuhan kebutuhan sangat ditentukan oleh tingkatan kebutuhan yang ada. Artinya individu yang sudah terpenuhi kebutuhan fisiologis dasar secara otomatis akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi dan begitu seterusnya. c.



Struktur Kepribadian Maslow Teori kepribadian Abraham Maslow terdiri diatas asumsi dasar tentang motivasi.



1)



Maslow mengadopsi pendekatan holistik terhadap motivasi, yaitu: seluruh orang, bukan satu bagian atau fungsi tunggalnya saja, yang termotivasi.



2)



Motivasi biasanya bersifat kompleks, artinya perilaku seseorang bisa muncul dari beberapa motif yang terpisah.



3)



Asumsi ketiga adalah manusia termotivasi secara terus menerus oleh suatu kebutuhan atau kebutuhan yang lainnya. Ketika suatu kebutuhan terpenuhi biasanya dia kehilangan daya motivasinya, dan digantikan oleh kebutuhan lain.



4)



Asumsi keempat adalah semua orang dimanapun termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan dasar yang sama. Cara manusia diberagam budaya memperoleh makanan, mengungkapkan persahabatan, dan seterusnya bisa sangat beragam namun, kebutuhan fundamental akan makanan, rasa aman, dan persahabatan adalah fakta umum bagi seluruh spesies manusia. Kemudian struktur kepribadian pandangan humanisme dalam kepribadian menekankan pada:



1)



Holisme Holisme menegaskan bahwa organisme selalu bertingkah laku sebagai kesatuan yang utuh, bukan sebagai rangkaian yang berbeda. Pandangan holistic dalam kepribadian, yang terpenting adalah: kepribadian normal ditandai oleh utinitas, integrasi, konsistedan konherensi. Organisme dapat dianalisis dengan membedakan tiap bagiannya, tetapi tidak ada bagian yang dapat dipelajari dalam isolasi. Organisme memiliki satu drive yang berkuasa, yakni aktualisasi diri. Pengaruh lingkungan eksternal pada perkembangan normal bersifat minimal.



2) Menolak Riset Binatang Psikologi humanistik menekankan perbedaan antara tingkah laku manusia dengan tingkah laku binatang. Riset binatang memandang manusia sebagai mesin dan mata rantai reflekskondisioning, mengabaikan karakteristik manusia yang unik. Menurut Maslow, behaviorisme secara filosofis berpandangan dehumanisasi. 3) Manusia Pada dasarnya Baik Menurut Maslow, manusia memiliki struktur psikologik yang analog dengan struktur fisik. Beberapa sifat menjadi cirri umum kemanusiaan, sifat-sifat lainnya menjadi cirri unik individual. Manusia mempunyai struktur yang potensial untuk berkembang positif. 4) Potensi Kreatif Kreativitas adalah potensi semua orang, yang tidak memerlukan bakat dan kemampuan yang khusus. Umumnya orang justru kehilangan kreativitas karena proses pembudayaan. Hanya sedikit orang yang kemudian menemukan kembali potensi kreatif yang segar, naïf, langsung, dalam memandang segala sesuatu. 5) Menekankan Kesehatan Psikologi Dalam pandangan ini, apa yang baik adalah semua yang memajukan aktualisasi diri, dan yang buruk atau abnormal adalah segala hal yang menggagalkan atau menghambat atau menolak kemanusiaan sebagai hakekat alami



d. Perkembangan Kepribadian Konsep perkembangan bagi Abraham Maslow erat kaitannya dengan gagasangagasannya tentang kemampuan. Hasil-hasil penelitiannya membawanya sampai pada kesimpulan bahwa perkembangan kearah aktualisasi diri merupakan sesuatu yang wajar sekaligus perlu. Kemudian, manusia memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berkembang, sehinggga Maslow mengemukakan beberapa faktor mengapa manusia itu gagal untuk berkembang dan tumbuh, diantarantaya adalah: 1) Naluri manusia itu cenderung lemah, sehingga pertumbuhan dengan mudah dibuat tak berdaya oleh kebiasaan-kebiasaan buruk, lingkungan, budaya yang kurang baik atau pendidikan yang kurang memadai atau bahkan keliru. 2)



Dalam kebudayaan barat ada kecenderungan kuat untuk takut pada naluri-naluri, dan memandang semua naluri bersifat kebinatangan serta hina.



3) Pengaruh negative kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan yang rendah itu ternyata kuat. 4)



Kecendrungan pada orang dewasa untuk meragukan dan bahkan takut pada kemampuankemampuan mereka sendiri, takut bahwa potensi mereka lebih besar dari yan selama ini merka sadari.



5) Lingkungan budaya dapat menghambat perkembangan manusia kearah aktualisasi diri. 6) Banyak individu yang diam dengan masa lalunya, sehingga menghambat proses perkembangan manusia itu sendiri dan bahkan mereka tidak dapat mengaktualisasiaka dirinya.



3. Arthur W. Combs



a. Biografi Arthur W. Combs (1912-1999) adalah seorang pendidik / psikolog yang memulai karir akademis sebagai profesor ilmu biologi dan psikolog sekolah di sekolah umum di Alliance, Ohio (19351941). Ia menerima gelar MA dalam Konseling, sekolah di The Ohio State University (1941) dan diterima di program doktor dalam psikologi klinis pada lembaga, di mana Carl Rogers menjabat sebagai guru dan mentor. Dia menyelesaikan gelar doktor pada tahun 1945. (Arthur W. Combs memulai karir profesionalnya di sekolah umum, Alliance, Ohio pada tahun 1935. Untuk meningkatkan keahliannya dalam membantu siswa, ia mencari gelar doktor di Klinik Psikologi di negara bagian Ohio dan menghabiskan sepuluh tahun berikutnya untuk mengoperasikan klinik dan pelatihan siswa dan konseling psikologis di Syracuse University dan psikoterapi. Pada tahun 1949 ia terpilih sebagai Presiden Asosiasi Psikologi di New York dan pada tahun yang sama ia turut menulis (dengan Donald L. Snygg) “Perilaku Individu: kerangka kerja baru untuk psikologi”. Buku ini menyajikan suatu kerangka komprehensif dan sistematis untuk membuat rasa terbaik dari pengalaman manusia, perilaku dan hubungan antara keduanya . 1) Karya-karya Arthur W. Combs Supaya pembahasan lebih lengkap alangkah baiknya diketahui buku atau karya Arthur W. Combs. Walaupun pemakalah menemui kesulitan dalam melacak karya-karya Arthur W. Combs, melalui penelusuran internet ditemukan karya-karya beliau.



Adapun buku-buku karangan Arthur W. Combs antara lain: -



Myths in education: beliefs that hinder progress and their alternatives(mitos dalam kepercayaan yang dapat menghambat kemajuan pendidikan dan alternatif mereka)



-



Myths in education (mitos dalam pendidikan)



-



Myths and symbols in indian art and civilization(mitos dan simbol-simbol dalam seni dan peradaban indian)



b. Pemikiran Arthur W. Combs



Bersama dengan Donald Snygg (1904 - 1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa mamaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka tidak mau dan terpaksa serta merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Mencermati kondisi di atas, seorang guru hendaknya memahami betul karakter siswa, dengan cara melihat potensi yang terdapat pada diri anak. Sebagai ilustrasi; seorang Ahmad Dani tidak begitu pintar matematikanya, namun dia memiliki kelebihan dalam dunia musik yang sampai saat ini menempatkan dia sebagai musisi teratas. Seorang guru sebagai fasilitator hendaknya dapat mencermati realitas siswa yang tidak menyukai materi yang diberikan. Guru diharapkan melihat kondisi bakat siswa yang ada pada dirinya. Karena bakat, potensi dimiliki masing-masing oleh siswa siswa. Menurut Combs sebagaimana dikutip oleh Rumini, dkk. (1993) perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitas-aktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan siswa. Guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Arthur Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti 2 lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat : pertama adalah lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan kedua adalah lingkaran besar adalah gambaran lingkungan adalah persepsi dunia. Makin jauh



peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya. Arthur W. Combs menjelaskan bagaimana persepsi ahli-ahli psikologi dalam memandang tingkah laku. Untuk mengerti tingkah laku manusia, yang penting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat dari sudut pandangnya. Pernyataan ini adalah salah satu dari pandangan humanistik mengenai perasaan, persepsi, kepercayaan, dan tujuan tingkah laku inner (dari dalam) yang membuat orang berbeda dengan orang lain. Untuk mengerti orang lain, yang penting adalah melihat dunia sebagai yang dia lihat, dan untuk menentukan bagaimana orang berpikir, merasa tentang dia atau tentang dunianya. Combs menyatakan bahwa tingkah laku menyimpang adalah “akibat yang tidak ingin dilakukan, tetapi dia tahu bahwa dia harus melakukan”( Sri Esti Wuryani Djiwandono 2002, hlm. 182-183). Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya. Seorang pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia mengetahui bagaimana peserta didik mempersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain. Dalam proses pembelajaran, menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik, karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam proses pembelajaran bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil. c.



Peran Guru dalam Teori Arthur Combs Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa (petunjuk):



1) Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas. 2)



Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.



3)



Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuantujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.



4)



Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.



5) Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok. 6)



Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok



7)



Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.



8)



Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa



9) Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar 10) Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. d.



Peran Siswa dalam Teori Arthur Combs Dalam teori Combs peranan siswa lebih dominan, karena guru terfokus pada fasilitator yang mencoba memberikan arahan kepada siswa. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.



Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah : 1) Merumuskan tujuan belajar yang jelas. 2)



Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif.



3) Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri. 4) Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri 5) Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan. 6) Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya. 7) Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya. 8) Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa



4. Honey dan Mumford a. Sejarah Tokoh Honey dan Mumford



Honey dan Mumford adalah rekan kerja pada sebuah penelitian tentang gaya belajar para manajer di ochida dan mereka ingin mengembangkan bagaiman gaya belajar para manajer. Selama 4 tahun melakukan penelitian dengan beberapa cara salah satu cara yang di lakukan



yaitu menggunakan teori dari Kolb mengenai learning style invention namun hasil yang didapat validitas rendah terhadap manajer yang senior. Pada tahun 1982 di musim gugur mereka mempublikasikan gaya belajar mereka sendiri yaitu dikenal dengan Learning style Questionaire. Ada 2 versi Questionaire yang digunakan oleh honey dan Mumford yaitu ada yang 80 soal dan ada yang 40 soal. Masing-masing memiliki kelebihan tersendiri. Honey dan Mumford mengidentifikasi ada 4 Gaya belajar siswa yaitu, Aktivis, reflector, theorist dan Pragmatis. b. Penggolongan Pembelajar Menurut Honey dan Mumford



Honey dan Mumford menggolongkan orang yang belajar kedalam empat macam golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan reflector, kelompok teoris dan golongan pragmatis. 1) Kelompok Aktivis



Orang-orang yang tergolong dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah untuk diajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain dan mudah percaya. Namun dalam melakukan tindakan sering kali kurang mempertimbangkan secara matang dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru. Namun mereka cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama. 2) Kelompok Reflector



Dalam melakukan tindakan, orang-orang tipe reflector sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan baik-buruk, untung-rugi, selalu diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga cenderung bersifat konservatif. 3) Kelompok Theorist



Orang-orang tipe theorist memiliki kecenderungan yang sangat kritis. Mereka suka menganalisis, berpikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan memutuskan sesuatu kelompok teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptif dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. 4) Kelompok Pragmatis



Orang-orang tipe pragmatis memiliki sifat-sifat yang praktis. Mereka tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis. Sesuatu hanya bermanfaat jika dipraktikkan. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat dalam kehidupan.



c.



Aplikasi dalam Proses Pembelajaran Setelah mengetahui gaya Belajar Siswa Guru bisa melakukan kegiatan pembelajaran seperti role playing (bermain peran) untuk gaya belajar aktivis, untuk gaya belajar reflektor bisa melakukan pembelajaran melalui pengamatan, dan teoris bisa menggunakan metode diskusi, sedangkan gaya belajar pragmatik belajar bisa menggunakan aktivitas pemecahan masalah



5. Jurgen Habermas a. Biografi Jurgen Habermas



Habermas adalah seorang pemikir sosial yang sangat penting di dunia dewasa ini. Lahir di Dusseldorf, Jerman 18 Juni 1929 dari keluarga kelas menengah yang agak tradisional. Ayahnya pernah menjabat direktur Kamar Dagang. Ketika berusia belasan tahun selama PD II Habermas sangat dipengaruhi oleh perang itu. Berakhirnya perang menimbulkan harapan dan peluang baru pemuda Jerman, termasuk Habermas. Hancurnya Nazisme menimbulkan optimisme mengenai masa depan Jerman, namun Habermas kecewa karena hampir tak ada kemajuan yang berarti di tahun-tahun permulaan sesudah perang. Dengan berakhirnya kekuasaan Nazi, semua jenis peluang intelektual muncul, dan buku-buku yang semula dilarang dibaca kini boleh dibaca dan tersedia buat Habermas. Termasuk literatur Barat dan Jerman maupun risalah yang ditulis oleh Marx dan Engels. Antara tahun 1949 dan 1954 Habermas mempelajari berbagai topik (antara lain filsafat, psikologi, kesusasteraan Jerman) di Gottingen, Zurich, dan Bonn. Namun, tak seorang guru pun di tempat Habermas sekolah itu yang benar-benar terkenal dan kebanyakan mereka mendukung Nazi secara terang-terangan atau hanya melanjutkan pelaksanaan tanggung jawab akademis mereka di bawah rezim Nazi sebelumnya. Habermas mendapat gelar doktor dari Universitas Bonn tahun 1954 dan selama dua tahun bekerja sebagai jurnalis. Tahun 1956 Habermas tiba di The Institute for Social Research di Frankfurt dan bergabung dengan aliran Frankfurt. Ia sebenarnya menjadi asisten riset dari Theodor Adomo, anggota aliran Frankfurt yang sangat terkenal (Wiggershaus, 1994). Meski aliran Frankfurt sering dianggap mengembangkan aliran pikiran yang sangat berhubungan secara logis, pandangan Habermas tak seperti itu : Menurut saya, tak pernah ada teori yang konsisten. Adorno pernah menulis esai kritis tentang kultur dan juga memberikan seminar tentang Hegel. Ia memberikan latar belakang Marxis tertentu. (Habermas, dikutip dalam Wiggershaus, 1994:2). Meski ia bergabung dengan The Institute for Research, sedari awal Habermas telah menunjukkan orientasi intelektual yang bebas. Artikel yang ditulisnya tahun 1957 menyebabkan Habermas terlibat persoalan dengan Max Horkheimer, pimpinan institut itu. Habermas mendesakkan pemikiran kritis dan tindakan praktis, tetapi Horkheimer takut pendirian seperti itu dapat membahayakan pendanaan institut secara umum. Horkheimer berkata tentang Habermas, “Ia agaknya mempunyai karir yang baik atau bahkan cemerlang sebagai penulis di masa depan,



tetapi ia hanya akan menyebabkan kerusakan besar terhadap institut” (dikutip dalam Wiggershaus, 1994:555). Artikel itu akhirnya diterbitkan juga, tetapi tidak dengan bantuan institut dan sebenarnya tidak merujuk ke institut. Akhirnya, Horkheimer menghadapi kondisi yang sulit berkenaan dengan karya Habermas ini dan kemudian mengundurkan diri dari jabatannya. Tahun 1961 ia menyelesaikan disertasi keduanya yang diwajibkan oleh Universitas Jerman, di Universitas Marburg. Setelah menerbitkan sejumlah karya terkenal, dia direkomendasikan menjadi profesor filsafat di Universitas Heidelberg bahkan sebelum menyelesaikan disertasi keduanya. Ia tetap di Heidelberg hingga tahun 1964 dan kemudian pindah ke Universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat dan sosiologi. Dari 1971 hingga 1981 ia menjadi ia menjadi direktur Institute Max Planck. Ia kembali ke Universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat dan tahun 1994 ia menjadi profesor pensiun di universitas itu. Habermas telah menerima sejumlah penghargaan akademis bergengsi dan menerima gelar profesor kehormatan dari sejumlah universitas. Selama beberapa tahun, Habermas menjadi pemikir neo-Marxis paling terkenal di dunia. Namun, sesudah itu karyanya diperluasnya sehingga meliputi berbagai masukan teoritis yang berbeda. Ia tetap optimis terhadap masa depan kehidupan modern. Dengan optimisnya itulah ia menulis tentang modernitas sebagai proyek yang belum selesai itu. Sementara Marx memusatkan perhatian pada pekerjaan dan tenaga kerja, Habermas terutama memusatkan perhatian pada masalah komunikasi yang ia anggap sebagai proses yang lebih umum ketimbang pekerjaan. Sementara Marx memusatkan perhatian pada pengaruh distortif dari struktur masyarakat kapitalis terhadap struktur masyarakat kapitalis terhadap pekerjaan, Habermas memusatkan perhatian pada cara struktur masyarakat modern mendistorsi komunikasi. Sementara Marx membayangkan kehidupan masa depan ditandai oleh pekerjaan penuh dan tenaga kerja kreatif, Habermas membayangkan masyarakat masa depan ditandai oleh komunikasi bebas dan terbuka. Dengan demikian terdapat kesamaan yang mengagetkan antara teori Marx dan habermas. Kesamaan paling umum adalah bahwa keduanya merupakan pemikir modernitas yang yakin bahwa di masa hidup mereka, proyek modernitas masih belum selesai (terciptanya pekerjaan penuh dan kreatif menurut Marx dan terciptanya komunikasi bebas dan terbuka menurut Habermas). Keduanya berkeyakinan bahw di masa depan proyek modernitas ini selesai.



Komitmen terhadap modernisme dan keyakinannya terhadap masa depan inilah yang menjauhkan Habermas dari kebanyakan pemikir kontemporer terkenal lain seperti Jean Baudrillard dan pakar post-modernisme lainnya. Sementara pakar post-modernisme ini sering terdorong ke arah nihilisme, Habermas terus yakin dengan proyek jangka panjangnya (modernitas). Begitu pula, sementara pemikir post-modern lain (misalnya Lyotard) menolak kemungkinan penciptaan teori agung (grand theory), Habermas tetap bekerja berdasarkan dan menyokong teori agung paling terkemuka dalam teori sosial modern. Banyak risiko yang dihadapi Habermas dalam berjuang melawan pemikiran pemikir postmodern. Bila mereka menang, Habermas mungkin akan dipandang sebagai pemikir modernitas besar terakhir. Bila Habermas (dan penyokongnya) yang tampil sebagai pemenang, ia mungkin akan dipandang sebagai “juru selamat” proyek modernitas dan teori agung dalam ilmu sosial. b. Pemikiran Jurgen Habermas Latar belakang pemikiran Habermas terbentuk dalam sebuah dialektika. Dialektika dengan pemikiran Marxi(an) dan utamanya Mazhab Frankfurt, sebuah aliran neo-marxisme juga. Yang hendak diupayakan oleh habermas adalah mengatasi segala bentuk kemacetan yang hendak di undur oleh Mazhab Frankfurt. Menuret Habermas setidak-tidaknya ada enam tema dalam program teori kritis, yaitu: bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat post liberal, sosialisasi dan perkembangan ego, media massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes, teori kritik atau positivisme. Keenam tema itu yang menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa yang dikenal dengan “The New Left Movement”. Penelitian terhadap hubungan antara ilmu peng¬etahuan dan kepentingan menjadi salah satu usaha pokok Habermas. Penegasan kunci Habermas adalah bahwa tidak masuk akal kita bicara umum tentang kepentingan di be¬lakang ilmu-ilmu sebagaimana dilakukan oleh Horkheimer, Adorno dan Marcuse. Habermas menegaskan (sesuai dengan pendekatan teori kritis sejak semula) bahwa ilmu pengetahuan malah hanya mungkin sebagai perwujudan ke¬butuhan manusia, yang terungkap dalam suatu kepentingan fundamental. Pekerjaan merupakan “bentuk sintesis manusia dan alam yang di satu pihak mengikatkan objektivitas alam pada pekerjaan objektif subjek-subjek (manusia¬manusia, FMS), tetapi di lain pihak tidak meniadakan independensi eksistensinya” (EI. 46). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan kategori epistemologi, istilah filsafat ilmu pengetahuan,



Teori kritis Mazhab Frankfurt awal ditentang oleh teori tradisional, di mana teori tradisional mengatakan bahwa ‘pengetahuan manusia tidak menyejarah sehingga teori-teori yang dihasilkan juga bersifat ahistoris dan asosial atau bisa dikatakan teori ini berbentuk disenterested (bebas dari kepentingan). Masalah-masalah dalam teori kritis dijawab oleh habermas dengan mendasarkan teori kritis pada epistemologi yang bersifat praktis dan rasionalitas ilmu, karena itu perlu adanya pembeda yang jelas antara kepentingan kerja dengan paradigma komunikasi.



Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Pemikiran kritis merasa diri bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang nyata. Dengan demikian berpikir kritis berarti bahwa di suatu pihak perdebatan tetap berlangsung ditingkat filosofis-teoritis, jadi filsafat kritis tidak mau menjadi ideologi perjuangan. Tetapi di lain pihak filsafat kritis berdasarkan anggapan-anggapan yang mana masuk sampai ke dalam inti metodologinya bahwa justru sebagai kegiatan teoritis yang tetap tinggal dalam medium pikiran.



Pada Filsafat ilmu pengetahuan social melibatkan dirinya dalam dua isu: pertama; hakekat dunia, apa hakekat dari hal yang ada (di dunia), ini dan adakah perbedaan dari keberadaannya. Kedua; filsafat ilmu tertuju pada hakekat suatu penjelasan, mengenai cara mengetahui pengetahuan sebagai pengetahuan Marx mengatakan semua ilmu pengetahuan akan menjadi berlebihan. kalau penampilan luar dan esensinya, persis sama. Tidak satupun penampilan luar dari meja saya yang memberitahukan kepada saya, bahwa ia terbuat dari jutaan, molekul yang bergabung satu sama lain. Menurut Marx terdapat dua pengertian yang jelas di mana suatu proses sebab akibat berlangsung dalam masyarakat.Pertama, seperangkat hubungan-hubungan sosial yang pokok, struktur sosial, bisa di lihat sebagai penyebab hubungan-hubungan sosial tertentu di permukaan misalnya seorang Marxis, bisa berdalih bahwa argumen argumen politik yang di laporkan dalam berita-berita setiap hari di sebabkan oleh hubun.gan-hubungan ekonomi yang penting, kendati argumen-argumen itu tidak menyangkut ekonomi. Kedua, suatu struktur pokok yang sedemikian rupa, sehingga ia memiliki hukum-hukum tertentu atau kecenderungan-kecenderungan perkembangan tertentu; misalnya mungkin ada mekanisme tertentu didalam hubungan-hubungan pokok masyarakat kapitalis yang membawa akibat krisis-krisis ekonomi yang berkelanjutan atau



menyebabkan meningkatnya campur tangan negara dalam kegiatan ekonomi. Pertanyaan tentang bagaimana dunia dapat dimengerti (,masalah epistemologis) di pecahkan, dengan manusia membuat dunia itu. Selama beberapa tahun, Habermas menjadi pemikir neo-Marxis paling terkenal di dunia. Namun, sesudah itu karyanya diperluasnya sehingga meliputi berbagai masukan teoritis yang berbeda. Ia tetap optimis terhadap masa depan kehidupan modern. Dengan optimisnya itulah ia menulis tentang modernitas sebagai proyek yang belum selesai itu. Sementara Marx memusatkan perhatian pada pekerjaan dan tenaga kerja, Habermas terutama memusatkan perhatian pada masalah komunikasi yang ia anggap sebagai proses yang lebih umum ketimbang pekerjaan. Sementara Marx memusatkan perhatian pada pengaruh distortif dari struktur masyarakat kapitalis terhadap struktur masyarakat kapitalis terhadap pekerjaan, Habermas memusatkan perhatian pada cara struktur masyarakat modern mendistorsi komunikasi. Sementara Marx membayangkan kehidupan masa depan ditandai oleh pekerjaan penuh dan tenaga kerja kreatif, Habermas membayangkan masyarakat masa depan ditandai oleh komunikasi bebas dan terbuka. Dengan demikian terdapat kesamaan yang mengagetkan antara teori Marx dan habermas. Kesamaan paling umum adalah bahwa keduanya merupakan pemikir modernitas yang yakin bahwa di masa hidup mereka, proyek modernitas masih belum selesai (terciptanya pekerjaan penuh dan kreatif menurut Marx dan terciptanya komunikasi bebas dan terbuka menurut Habermas). Keduanya berkeyakinan bahwa di masa depan proyek modernitas ini selesai. Komitmen terhadap modernisme dan keyakinannya terhadap masa depan inilah yang menjauhkan Habermas dari kebanyakan pemikir kontemporer terkenal lain seperti Jean Baudrillard dan pakar post-modernisme lainnya. Sementara pakar post-modernisme ini sering terdorong ke arah nihilisme, Habermas terus yakin dengan proyek jangka panjangnya (modernitas). Begitu pula, sementara pemikir post-modern lain (misalnya Lyotard) menolak kemungkinan penciptaan teori agung (grand theory), Habermas tetap bekerja berdasarkan dan menyokong teori agung paling terkemuka dalam teori sosial modern. Banyak risiko yang dihadapi Habermas dalam berjuang melawan pemikiran pemikir post-modern. Bila mereka menang, Habermas mungkin akan dipandang sebagai pemikir modernitas besar terakhir. Bila Habermas (dan penyokongnya) yang tampil sebagai pemenang, ia mungkin akan dipandang sebagai “juru selamat” proyek modernitas dan teori agung dalam ilmu sosial. c.



Analisa Habermas tentang Kapitalis Modern



Habermas tentang kapitalisme modern kurang menaruh perhatian yang besar terhadap yang telah dikemukakan oleh para madzhab Frankfurt yang lebih awal. Hal itu dilihat pertamatama sebagai suatu tahap dalam perkembangan yang bersifat evolusioner suatu tingkat yang mungkin berlangsung salah dan membawa bencana, tetapi bagi Habermas bagaimanapun hal itu lebih merupakan suatu sistem sosial daripada suatu yang jahat. Seperti para pemikir yang lebih dahulu, dia menekankan dominasi teknologi dan nalar instrumental dan kits juga bisa lihat suatu pengalihan pandangan kebelangan yang lebih nostaigik-pads periode kapitalisme awal. Habermas melihat kapitalisme modern seperti yang dikarakterkan oleh dominasi negara atas ekonomi dan bidang-bidang lain dari kehidupan sosial. Bagi Habermas intervensi negara dan akibat pertumbuhan dari nalar instrumental telah menjangkau suatu titik berbahaya yang disebutnya sebagai suatu “utopia negatif” adalah mungkin. Rasionalitas progesif dan putusanputusan publik lebih menjangkau titik dimana organisasi sosial dan perbuatan putusan mungkin bisa di delegasikan kepada para penghitung mengeluarkannya dari arena perdebatan publik secara bersama-sama. Analisa mengenai kapitalisme awal serupa dengan analisanya Marx dengan krisis ekonomi sebagai hal yang paling penting. Bagaimanapun juga kapitalisme bisa dilihat sebagai suatu kombinasi dari tebak-berapa-banyak subsistem-subsistem: ekonomi, politik dan sosial budaya dan tempat krisis yang berpindah dari satu ke yang lainnya, ketika sistem berkembang krisis ekonomi dan konflik yang di hasilkan antara pekerjaan dan model di lihat semata-mata sebagai krisis sistem. Pertumbuhan integrasi dan kekuasaan dari negara merupakan suatu respons dan suatu usaha yang berhasil, walaupun Habermas tidak menyatakan bahwa krisis-krisis ekonomi telah menghilang memang untuk sementara akan sulit untuk bersikap keras terhadap pernyataan separti ini. d. Jurgen Habermas Untuk Menuju Teori Praktis Teori kritis menurut Habermas di sebut dengan “teori dengan maksud praktis” berarti tindakan yang membebaskan model teori kritis dengan maksud praktis ditemukan Habermas. Dalam masalah teori-teori Habermas mempunyai beberapa kepentingan; kepentingan pengetahuan dan kepentingan praktis ide itu bukanlah tidak serupa dengan mengatakan bahwa seorang mahasiswa mengembangkan suatu “kepentingan” dengan maksud untuk memperoleh suatu tingkat dari tujuannya.



Kepentingan yang dibicarakan Habermas ini, bagaimanapun juga dimiliki oleh kita semua dalam keanggotaan masyarakat manusia. Argumentasinya berakar di dalam karya Marx, dan kita temukan kritikan utamanya tentang teori Marx.Kepentingan selanjutnya yaitu kepentingan praktis, yang pada gilirannya memunculkan ilmu pengetahuan Hermeneutik yang dengan caranya menginterpretasikan tindakan satu sama lain. Baik secara individu, sosial masyarakat maupun secara organisatoris secara kritis menurut Habermas. Kepentingan praktis, kata Habermas memunculkan suatu kepentingan ketiga, “kepentingan emansipatoris“. Dia membangkitkan pengetahuan teoritis, untuk itu Habermas mengambil psikoanalisa sebagai model untuk mengkaitkan antara kemampuan berfikir dan bertindak dengan kesadaran sendiri. Maka, teori bagi Habermas merupakan suatu produk dan memenuhi maksud dari tindakan manusia. Secara esensial itu adalah alat untuk kebebasan manusia yang besar. e.



Point Penting Dalam Pemikiran Habermas



1)



Bahwa Jurgen Habermas adalah filosof dari Jerman yang menggunakan sifat kritis terhadap berbagai macam persoalan termasuk teori tradisional. Tentu hal itu tidak sendirian, melainkan bersama temannya Adorno dan Horkheimer. Mereka semua itu berasal dari madzhab Frankfurt, namun dengan itu dia termasuk taruhannya, dan selalu dikritik orang-orang sekitarnya.



2)



Habermas mempunyai kesadaran mengkritisi segala tindakan yang merugikan sosial, baik itu secara individu kelompok, masyarakat, ataupun organisasi.



3) Habermas menggunakan dua pendekatan dalam mengkritisi sesuatu; gaya pemikiran historis dan pemikiran materialis. Dengan demikian ia tidak selalu menggunakan gaya filsafat kritis. Karena dia melihat adanya perubahan dalam sosial. Namun perubahan tersebut tetap dalam kerangka sosial yang nyata. 4)



Komunikasi menjadi titik tolak Habermas dan itu menjadi dasar dalam usaha mengatasi kebuntuan Teori Kritis para pendahulunya.



6. David A. Kolb a. Biografi David A. Kolb



David A. Kolb lahir pada tahun 1939. Dia dilahirkan di Amerika. Dia adalah teoretikus pendidikan yang meneliti dibidang kepentingan dan publikasi fokus pada pengalaman belajar , dan perubahan sosial individu, pengembangan karir, dan eksekutif dan pendidikan profesional. Dia adalah pendiri dan ketua Pengalaman Pembelajaran Berbasis Systems, Inc (EBLS) , dan Profesor Perilaku Organisasi dalam Weatherhead School of Management , Case Western Reserve University , Cleveland, Ohio . Kolb memperoleh gelar BA dari Knox College pada tahun 1961 dan gelar MA dan Ph.D. dari Harvard University pada tahun 1964 dan 1967 masing-masing, dalam psikologi sosial . Pada awal 1970-an, Kolb dan Ron Fry (sekarang baik di Weatherhead School of Management ) mengembangkan Experiential Learning Model (ELM). b. Pemikiran David Kolb David Kolb adalah seorang filosof yang beraliran humanistik. Dimana aliran ini lebih melihat pada sisi perkembangan manusia. Pendekatan ini melihat kejadian, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positiv. Kemampuan yang bersifat positif ini yang disebut sebagai potensi manusia. Dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajaran pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif ini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat pada domain afektif. Gaya belajar model Kolb terimplisit dalam resource based learning (belajar berdasarkan sumber) yang mengajak siswa melakukan observasi untuk memecahkan masalah. Menurut David Kold (dalam Nasution 2005:111), “Gaya belajar model Kolb ialah gaya belajar yang melibatkan pengalaman baru siswa, mengembangkan observasi/merefleksi, menciptakan konsep, dan menggunakan teori untuk memecahkan masalah.”



Kolb seorang ahli penganut aliran humanistic membagi tahap-tahap belajar menjadi empat, yaitu:



a. Tahap Pengalaman Konkrit



Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan merasakannya, dapat menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakekat dari peristiwa tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kamamupan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.



b. Tahap Pengamatan Aktif dan Reflektif



Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dilaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap kedua dalam proses belajar.



c. Tahap Konseptualisasi Tahap ketiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berpikir induktif banyak dilakukan untuk memuaskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-beda, namun memiliki komponen-komponen yang sama yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.



d. Tahap Eksperimentasi Aktif (experiemtial Learning) Tahap tarakhir dari peristiwa belajar adalah melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu untuk mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturanaturan kedalam situasi yang nyata. Berpikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep dilapangan. Ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Experiential Learning merupakan model pembelajaran yang sangat memperhatikan perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh para siswa,oleh karena itu model ini memiliki tujuan untuk mengakomodasi perbedaan dan keunikan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Dengan mengamati inventori gaya belajar (learning style inventory) yang dikembangkan masingmasing siswa, David Kolb mengklasifikasikan gaya belajar seseorang menjadi empat kategori sebagai berikut:



1)



Converger Kombinasi dari berfikir dan berbuat (thinking and doing). Anak dengan tipe ini biasanya mempunyai kemampuan yang unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori. Biasanya mereka punya kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas teknis (aplikatif) daripada masalah sosial atau hubungan antar pribadi. Mereka tertarik pada ilmu pengetahuan alam dan teknik.



2)



Diverger Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching). Anak dengan tipe ini unggul dalam melihat situasi kongkret dari berbagaisudut pandang yang berbeda dan kemudian menghubungkannya menjadi suatu kesatuan yang utuh. Pendekatannya pada setiap situasi adalah “mengamati” dan bukan “bertindak”. Anak dengan tipe ini lebih suka berhubungan dengan manusia dan mereka juga menyukai tugas belajar yang menuntutnya untuk menghasilkan ide-ide (brainstorming). Mereka lebih suka mendalami bahasa, kesusastraan, sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya serta suka sekali mengumpulkan berbagai informasi.



3)



Assimilation Kombinasi dari berpikir dan mengamati (thinking and watching). Anak dengan tipe ini lebih tertarik pada konsep-konsep yang abstrak. Anak dengan tipe ini tidak terlalu memperhatikan penerapan praksis dari ide-ide mereka dan mereka juga kurang perhatian pada orang lain, mereka juga cenderung lebih teoritis.Bidang studi yang diminati adalah bidang keilmuan(science) dan matematika.



4)



Accomodator Kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling and doing). Anak dengan tipe ini memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang mereka lakukan sendiri, serta rminat pada pengembangan konse-konsep. Anak dengan tipe ini berminat pada hal-hal yang konkret dan eksperimen dan mereka juga suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung untuk bertindak berdasarkan intuisi / dorongan hati daripada berdasarkan analisa logis. Bidang studi yang sesuai untuk tipe ini adalah lapangan usaha dan teknik sedangkan pekerjaan yang sesuai antara lain penjualan dan pemasaran. Dari keempat gaya tersebut, tidak berarti manusia harus digolongkan secara permanen dalam masing-masing kategori. Menurut Kolb, belajar merupakan suatu perkembangan yang melalui tiga fase yaitu, pengumpulan pengetahuan (acquisition), pemusatan perhatian pada bidang tertentu (specialization) dan menaruh minat pada bidang yang kurang diminati sehingga muncul minat dan tujuan hidup baru. Sehingga, walaupun pada tahap awal individu lebih dominan pada gaya belajar tertentu, namun pada proses perkembangannya diharapkan mereka dapat mengintegrasikan semua kategori belajar.



7. Aldous Huxley (Biografinya belum) a.



Pemilkiran Aldous Huxley



Manusia memiliki banyak potensi yang selama ini banyak terpendam dan disia-siakan. Pendidikan diharapkan mampu membantu manusia dalam mengembangkan potensi-potensi tersebut, oleh karena itu kurikulum dalam proses pendidikan harus berorientasi pada pengembangan potensi, dan ini melibatkan semua pihak, seperti guru, murid maupun para pemerhati ataupun peneliti dan perencana pendidikan. Huxley (Roberts, 1975) menekankan adanya pendidikan non-verbal yang juga harus diajarkan kepada siswa. Pendidikan non verbal bukan berwujud pelajaran senam, sepak bola, bernyanyi ataupun menari, melainkan halhal yang bersifat diluar materi pembelajaran, dengan tujuan menumbuhkan kesadaran seseorang. Proses pendidikan non verbal seyogyanya dimulai sejak usia dini sampai tingkat tinggi. Betapapun, agar seseorang bisa mengetahui makna hidup dalam kehidupan yang nyata, mereka harus membekali dirinya dengan suatu kebijakan hidup, kreativitas dan mewujudkannya dengan langkah-langkah yang bijaksana. Dengan cara ini seseorang akan mendapatkan kehidupan yang nikmat dan penuh arti. Berbekal pendidikan non verbal, seseorang akan memiliki banyak strategi untuk lebih tenang dalam menapaki hidup karena memiliki kemampuan untuk menghargai setiap pengalaman hidupnya dengan lebih menarik. Akhirnya apabila setiap manusia memiliki kemampuan ini, akan menjadi sumbangan yang berarti bagi kebudayaan dan moral kemanusiaan. 8. David Mills dan Stanley Scher



a. Pemikiran David Mills dan Stanley Scher Ilmu Pengetahuan Alam selama bertahun-tahun hanya dibahas dan dipelajari secara kognitif semata, yakni sebagai akumulasi dari fakta-fakta dan teori-teori. Padahal, bagaimanapun, praktek dari ilmu pengetahuan selalu melibatkan elemen-elemen afektif yang meliputi adanya kebutuhan akan pengetahuan, penggunaan intuisi dan imajinasi dalam usahausaha kreatif, pengalaman yang menantang, frustasi, dan lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut, David Mills dan Stanley Scher (Roberts, 1975) mengajukan konsep pendidikan terpadu, yakni proses pendidikan yang mengikutsertakan afeksi atau perasaan murid dalam belajar. Metode afektif yang melibatkan perasaan telah bisaa diterapkan pada murid-murid untuk pelajaran IPS, Bahasa dan Seni. Sebetulnya ahli yang memulai merintis usaha ini adalah George Brown, namun kedua ahli ini kemudia mencoba melakukan riset yang bertujuan menemukan



aplikasi yang lebih real dalam usaha tersebut. Penggunaan pendekatan terpadu ini dilakukan dalam pembelajaran IPA, pendidikan bisnis dan bahkan otomotif. Pendekatan terpadu atau confluent approace merupakan sintesa dari Psikologi Humanistik –khususnya Terapi Gestaltdan pendidikan, yang melibatkan integrasi elemen-elemen afektif dan kognitif dalam proses belajar. Elemen kognitif menunjuk pada berpikir, kemampuan verbal, logika, analisa, rasio dan cara-cara intelektual, sedangkan elemen afektif menunjuk pada perasaan, caracara memahami yang melibatkan gambaran visual-spasial, fantasi, persepsi keseluruhan, metaphor, intuisi, dan lain-lain. Tujuan umum dari pendekatan ini adalah mengembangkan kesadaran murid-murid terhadap dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan kesadaran ini dalam menghadapi lingkungan dengan berbagai cara, menerima petunjuk-petunjuk internal dan menerima tanggung jawab bagi setiap pilihan mereka. Fungsi guru dalam pendekatan terpadu adalah untuk lebih membebaskan murid dari ketergantungan kepada guru, dengan tujuan akhir mengembangkan responsibilitas murid untuk belajar sendiri. Guru hanya membantu mereka dengan memberikan pilihan-pilihan yang masuk akal bagi pikiran mereka, dan jika perlu guru bisa menolak memberikan bantuan untuk halhal yang bisa ditangani oleh murid sendiri. Lebih jauh, David Mills dan Stanley Scher memaparkan tujuan pendidikan terpadu ini secara detail sebagai berikut : 1) Membantu murid untuk mengalami proses ilmu pengetahuan, termasuk penemuan ide-ide baru, baik proses intelektual maupun afektif. 2) Membantu murid dalam mencapai kemampuan untuk menggali dan mengerti diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya dengan cara yang ilmiah. 3)



Meningkatkan pengertian dan ingatan terhadap konsep-konsep dan ide-ide dalam ilmu pengetahuan.



4)



Menggali bersama-sama murid, implikasi-implikasi dari aplikasi yang mungkin dari ilmu pengetahuan.



5)



Memungkinkan murid untuk menerapkan baik proses maupun pengetahuan ilmiah untuk diri mereka, serta meningkatkan kesadaran murid terhadap dunia mereka dan setiap pilihan yang mereka ambil. Penerapan metode gabungan antara kognitif dan afektif ini menunjukkan hasil yang lebih efektif dibanding pengajaran yang hanya menekankan aspek kognitif. Para siswa merasa lebih cepat menangkap pelajaran dengan menggunakan fantasi, role playing dan game , misalnya mengajarkan teori Newton dengan murid berperan sebagai astronot.



9. Bloom dan Krathwohl a. Biografi Bloom dan Krathwohl Benjamin Samuel Bloom, lahir di Lansford, Pennsylvania, 21 Februari 1913 – meninggal 13 September 1999 pada umur 86 tahun, adalah seorang psikolog pendidikan dariAmerika Serikat, dengan kontribusi utamanya adalah dalam penyusunan taksonomi tujuan pendidikan dan pembuatan teori belajar tuntas. Ia menerima gelar sarjana dan magister dari PennsylvaniaState University pada tahun 1935 dan gelar doktor dalam pendidikan dari University of Chicago pada bulan Maret1942. Ia menjadi anggota staff Board of Examinations di University of Chicago dari tahun 1940 sampai 1943. Sejak tahun 1943 ia menjadi pemeriksa di universitas sampai kemudian mengakhiri jabatan tersebut tahun 1959. Pekerjaan sebagai pengajar di Jurusan Pendidikan University of Chicago dimulai tahun 1944 untuk kemudian ditunjuk sebagaiDistinguished Service Professor pada tahun 1970. Ia menjabat sebagai presiden American Educational Research Association dari tahun 1965 sampai 1966. Ia menjadi penasihat pendidikan bagi pemerintahan Israel, India, dan beberapa bangsa lainBenjamin S. Bloom lahir pada 21 februari 1913 di Lansford Pennsylvania, dan meninggal pada tanggal 13 September 1999. Dia menerima gelar sarjana dan gelar master dari Pennsylvania State University pada tahun 1935 dan Ph.D. Pendidikan dari University of Chicago Maret 1942. Ia menjadi anggota staff Board of Examinations di University of Chicago pada tahun 1940 dan bertugas sampai 1959. Ia juga adalah seorang guru, penasihat pendidikan dan psikologi pendidikan.



Benjamin S. Bloom



Penunjukan awalnya sebagai instruktur di Departemen Pendidikan University of Chicago dimulai tahun 1944 dan akhirnya ia ditunjuk Charles H. Swift Distinguished Service sebagai Profesor pada tahun 1970. Ia menjabat sebagai penasihat pendidikan pemerintah Israel, India dan banyak negara lain. Pada tahun 2001 Lorin W. Anderson mantan siswa Bloom bekerja sama dengan salah satu mitra Bloom yaitu David Krathwohl menulis A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). Mereka adalah orang-orang yang ahli di bidang psikologi kognitif, kurikulum dan pengajaran, dan pendidikan pengujian, pengukuran, dan penilaian. David Reading Krathwohl (lahir 14 Mei 1921 adalah seorang psikolog pendidikan Amerika yang telah menjabat pendidikan dalam bidang: direktur Biro Penelitian Pendidikan di Michigan State University dan juga seorang mantan presiden Pendidikan Asosiasi riset Amerika di mana ia menjabat di beberapa devisi, sebagai anggota komite penasihat penelitian untuk Biro riset dari USOE dan sebagai ketua daerah dewan daerah Institut Timur Pendidikan. Selama bekerja sama dengan Benjamin Bloom, ia turut menulis Taksonomi Tujuan Pendidikan, (juga dikenal sebagai Taksonomi Bloom) tentang pendidikan dan mengeditnya, menulis beberapa buku dalam hal pendidikan. Dia menerima Hannah Hammond Profesor Emeritus Pendidikan di Syracuse University dan telah membuat kontribusi signifikan untuk bidang psikologi pendidikan. b. Pemikiran Bloom dan Krathwohl Pandangan Bloom Dan Krathwohl Terhadap Belajar. Selain tokoh-tokoh di atas,Bloom dan Krathwohl juga termasuk penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwaperistiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutanTaksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah telah brhasil memberikan ispirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun peraktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini pula para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini



telah banyak dikenal dan paling populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom adalah sebagai berikut : Domain koognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu: 1) Pengetahuan (mengingat, menghafal) 2) Pemahaman (menginterprestasikan) 3) Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah) 4) Analisis (menjabarkan suatu konsep) 5) Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh 6)



Evaluasi



(membandingkan



nilai-nilai,



ide,



metode,



dsb.



Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu : 1) Peniruan (menirukan gerak) 2) Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak) 3) Ketepatan (melakukan gerak dengan benar) 4) Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar) 5) Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu : 1) Pengalaman (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu) 2) Merespon (aktif berprtisipasi) 3) Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu) 4) Pengorganisasan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya 5) Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)



C. Implikasi Teori Belajar Humanistik



Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.



Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses pengalaman



belajarnya



sendiri.



Diharapkan



peserta



didik



memahami



potensi



diri,



mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator, yaitu: 1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas 2.



Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.



3.



Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing peserta didik untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.



4.



Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para peserta didik untuk membantu mencapai tujuan mereka.



5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok. 6.



Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok



7.



Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti peserta didik yang lain.



8.



Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta didik



9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar 10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah : 1. Merespon perasaan peserta didik



2. Menggunakan ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang 3. Berdialog dan berdiskusi dengan peserta didik 4. Menghargai peserta didik 5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan 6.



Menyesuaikan isi kerangka berpikir peserta didik (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari peserta didik)



7. Tersenyum pada peserta didik.



D. Model Pembelajaran yang Menggunakan Teori Belajar Humanistik . Penjabarannya sebagai berikut : 1. Model David Mills a. Role Playing untuk gaya belajar aktivis Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000). Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran memahami kebebasan berorganisasi, dan menghargai keputusan bersama, murid akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan memainkan peran dalam bermusyawarah, melakukan pemungutan suara terbanyak dan bersikap mau menerima kekalahan sehingga dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut dan secara aktif berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari (Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran murid harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi.



Model pembelajaran Role Playing juga dikenal dengan nama model pembelajaran Bermain Peran. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok memperagakan/menampilkan scenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprofisasi namun masih dalam batas-batas scenario dari guru.



Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut : -



Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.



-



Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar.



-



Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang.



-



Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.



-



Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan.



-



Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan.



-



Setelah



selesai



ditampilkan,



masing-masing



siswa



diberikan



lembar



kerja



untuk



membahas/memberi penilaian atas penampilan masing-masing kelompok. -



Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya.



-



Guru memberikan kesimpulan secara umum.



-



Evaluasi.



-



Penutup. Ada beberapa keunggulan dengan menggunakan metode role playing, di antaranya adalah:



-



Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan.



-



Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias.



-



Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan.



-



Siswa dapat terjun langsung untuk memerankan sesuatu yang akan di bahas dalam proses belajar.



Disamping memiliki keunggulan, metode role playing juga mempunyai kelemahan, di antaranya adalah : -



Bermain peran memakan waktu yang banyak.



-



Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik. Siswa perlu mengenal dengan baik apa yang akan diperankannya.



-



Bermain peran tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas tidak mendukung.



-



Jika siswa tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak akan melakukan secara sungguh-sungguh.



-



Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.



a. Observasi untuk gaya belajar reflektor



Metode Observasi ialah pengamatan langsung menggunakan alat indera atau alat bantu untuk penginderaan suatu subjek atau objek. Observasi juga merupakan basis sains yang dilakukan dengan menggunakan panca indera atau instrument sebagai alat bantu penginderaan ( Purnomo, 2008). Tujuannya adalah : -



Melatih siswa untuk peka terhadap peristiwa atau gejala yang terjadi dalam lingkungannya.



-



Melatih siswa untuk mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan nilai-nilai moral yang diperoleh di kelas.



-



Memperluas cakrawala siswa mengenai nilai-nilai moral atau ilmu pengetahuan yang diperoleh didalam kelas dipadukan dengan kenyataan.



1) Langkah-langkah Metode Observasi -



Melakukan pengamatan



-



Mengumpulkan data (inventarisasi data)



-



Analisis, interpretasi, dan evaluasi data



-



Penarikan kesimpulan



-



Penyusunan laporan (Purnomo, 2008)



2) Kelebihan Metode Observasi b.



Metode observasi sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu siswa sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi.



c.



Menyajikan media obyek secara nyata tanpa manipulasi.



d. Mudah pelaksanaanya. e.



Siswa akan merasa tertantang.



f.



Siswa akan memiliki motivasi belajar yang tinggi.



g. Memungkinkan pengembangan sifat ilmiah dan menimbulkan semangat ingin tahu siswa.



3) Kelemahan Metode Observasi -



Memerlukan waktu persiapan yang lama.



-



Memerlukan biaya dan tenaga yang lebih besar dalam pelaksanaannya.



-



Obyek yang diobservasi akan menjadi sangat kompleks ketika diknjungi dan mengaburkan tujuan pembelajaranc.



c) Metode Diskusi Untuk Gaya Belajar Teoris Metode diskusi merupakan suatu metode pengajaran yang mana guru memberi suatu persoalan atau masalah kepada murid, dan para murid diberi kesempatan secara bersama-sama untuk memecahkan masalah itu dengan teman-temannya.Dalam diskusi murid dapat mengemukakan pendapat, menyangkal pendapat orang lain, mengajukan usul-usul, dan mengajukan saran-saran dalam rangka pemecahan masalah yang ditinjau dari berbagai segi. d) Metode Problem Solving Untuk Gaya Belajar Pragmatik Metode pemecahan (Problem Solving) masalah adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa.



Metode pemecahan masalah (Problem Solving) ini sering dinamakan atau disebut juga dengan eksperimen method, reflective thinking method, atau scientific method .



Dengan demikian, metode pemecahan masalah (Problem Solving) adalah sebuah metode pembelajaran yang berupaya membahas permasalahan untuk mencari pemecahan atau jawabannya. Sebagaimana metode mengajar, metode pemecahan masalah sangat baik bagi pembinaan sikap ilmiah pada para siswa. Dengan metode ini, siswa belajar memecahkan suatu masalah menurut prosedur kerja metode ilmiah.



Langkah-langkah Metode Pemecahan Masalah Dalam garis besarnya langkah-langkah metode pemecahan masalah (problem solving) dapat disarikan sebagai berikut: -



Adanya masalah yang dipandang penting;



-



Merumuskan masalah;



-



Analisa hipotesa;



-



Mengumpulkan data;



-



Analisa data;



-



Mengambil kesimpulan



-



Aplikasi (penerapan) dari kesimpulan yang diperoleh; dan



-



Menilai kembali seluruh proses pemecahan masalah (Depdikbud, 1997: 23).



Dengan cara tersebut diharapkan anak-anak didik untuk berpikir dan bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah. Metode ini lebih tepat digunakan di kelas tinggi.



Sedangkan menurut Nahrowi Adjie dan Maulana (2006 : 46-51) langkah-langkah penyelesaian masalah antara lain adalah; (1) memahami soal, (2) memilih pendekatan atau strategi, (3) menyelesaikan model, dan (4) menafsirkan solusi.



Pada prinsipnya kedua langkah penyelesaian masalah di atas adalah sama, hanya saja pendapat yang kedua lebih singkat dan padat. Berkaitan dengan masalah penelitian ini penulis lebih cenderung menggunakan langkah-langkah penyelesaian masalah matematika yang dikemukakan oleh Nahrowi Adjie dan Maulana, karena lebih sederhana dan mudah dipahami.



Kelebihan Menggunakan Metode Pemecahan Masalah atau Metode Problem Solving -



Dengan Metode Pemecahan Masalah atauMetode Problem Solving akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan.



-



Dalam situasi Metode Pemecahan Masalah atauMetode Problem Solving, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.



-



Metode Pemecahan Masalah atauMetode Problem Solving dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.



2. Humanizing of the classroom Model ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan



yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi. 3. Active learning Dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran. 4. quantum learning Merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik. Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang



sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi). 5. The accelerated learning Merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif. 6.



Model pengawasan Diri Dengan Mode-mode Perilaku : mengatur Lingkungan Sekitar Sendiri Model pengawasan Diri adalah pola belajar yang diarancang untuk melatih siswa mengenal prinsip-prinsip perilaku, melakukan pengawasan diri sendiri untuk berperilaku yang baik. Rancangan pola belajar tersebut mengubah keadaan lingkungan sehingga mendorong terjadinya perilaku baru yang dikehendaki. Urutan Langkah Mengajar Pengajaran dengan model Pengawasan Diri mengenal empat kegiatan sebagai berikut :



-



Langkah kesatu : guru mengenalkan bahasa tentang pengawasan diri untuk berperilaku lebih baik.



-



Langkah kedua : guru mengemukakan prinsip-prinsip perilaku yang baik.



-



Langkah ketiga : guru mengajak siswa untuk membuat program pengawasan diri.



-



Langkah keempat : guru meminta siswa untuk melaksanakan program pengawasan diri sendiri. Hubungan guru siswa dalam Model pengawasan Diri tergolong moderat, yang secara berangsur mmenjadi semakin rendah. Perilaku hubungan tersebut sebagai berikut :



a.



Guru mengemukakan aturan perilaku dalam melaksanakan program



b. Guru meminta sisiwa melaksanakan program sendiri c.



Guru semula melakukan pemantauan, tetapi kemudian mendorong siswa melaksanakan pengawasan atas kegiatannya sendiri.



d.



Siswa melaksanakan penilaian atas perilaku dan programnya, dan kemudian melakukan perbaikan atas perilaku programnya sendiri. Pendukung Keberhasilan Belajar



a.



Guru memberanikan siswa untuk melakukan pengawasan diri atas perilaku sendiri



b. Siswa melaksanakan program pengawasan diri sendiri c.



Siswa berani menilai diri sendiri dan melakukan perbaikan perilakunya sendiri.



7. Model Reduksi Tekanan Jiwa : suatu Prosedur Dasar untuk mengurangi Kegelisahan Model Reduksi : Tekanan jiwa adalah pola belajar mengajar yang dirancang untuk melatih siswa dapat mengganti perilaku yang tidak cocok dengan perilaku yang baik, dapat mengurangi kegelisahan menjadi perilaku yang menyenangkan, dan memiliki kebiasaan hidup sehat. Urutan Langkah Mengajar Pengajaran dengan Model Reduksi Tekanan Jiwa mengenal urutan langkah sebagai berikut : -



Langkah kesatu : guru mengenalkan program dengan cara meminta siswa untuk duduk secara santai, sehingga merasa nyaman dan senang.



-



Langkah kedua : menghangatkan suasanan menuju santai dengan cara menjelaskan orientasi secara umum tentang jalannya pengajaran.



-



Langkah ketiga : proses bersantai yang sebenarnya, guru memelihara kenyamanan, kelembutan dan suasana harmonis.



-



Langkah keempat : Proses mengakhiri persantaian, guru meminta siswa sepenuhnya bersantai agar bebas dari ketegangan.



-



Langkah kelima : guru melaksanakan wawancara dan bertukar pikiran dengan siswa, dalam kesempatan ini siswa berpendapat tentang proses pengajaran.



Peranan Guru Dalam Proses Pembelajaran Hubungan guru siswa tergolog pada struktur tinggi. Hal ini terjadi pada saat guru menghilangkan kegelisahan, kekecewaan. Sebagai ilustrasi siswa diminta tenang dalam menghadapi ujian. Pendukung Keberhasilan Belajar Pendukung keberhasilan berupa lingkungan sekitar yang cukup luas,nyaman, tertib, tenang, dan bersuasana santai. Perilaku guru sendriri bernada lunak, berlahan-lahan, dengan suara merdu dan menyanangkan. Dampak Pengajaran dan Dampak Pengiring Penggunaan model ini bermanfaat dalam menumbuhkan perilaku harmonis, pengendalian emosi, dan memelihara kesehatan jiwa. Akibat selanjutnya tumbuh kepercayaan diri untuk pengawasan diri sendiri. 8. Confluent education Adalah proses pendidikan yang memadukan atau mempertemukan pengalaman – pengalaman efektif dengan belajar kognitif di dalam kelas.[10] Sebagai contoh guru bahasa indonesia memberikan tugas pada para siswa untuk membaca sebuah novel, katakanlah misalnya tentang “keberanian” sebuah novel perang. Melalui tugas itu siswa diharapkan memahami isi bacaan tersebut dengan sebaik – sebaiknya tetapi juga memperoleh kesadaran antar pribadi yang lebih baik dengan jalan membahas pengertian mereka sendiri mengenai keberanian dan perasaan takut. Untuk keperluan itu tugas tersebut di lengkapi dengan tugas – tugas yang berkaitan, antara lain : -



Mewawancarai orang – orang yang tahu tentang perang.



-



Mendengarkan musik perang, menuliskan pikiran – pikiran dan perasaan yang timbul secara bebas, kemudian menghayatinya dalam kelompok – kelompok kecil.



-



Memperdebatkan apakah perang itu dapat dihindari ataukah tidak.



-



Membandingkan perang saudara dengan sajak – sajak perang.



9. Open Education Adalah proses pendidikan terbuka, Menurut Walberg dan Thomas (1972), open education itu memiliki delapan kriteria : -



Kemudahan belajar tersedia, artinya berbagai macam bahan yang di perlukan untuk belajar tersedia



-



Penuh kasih sayang, hormat, terbuka dan hangat artinya menggunakan bahan buatan siswa : guru menangani masalah – masalah tingkah laku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan siswa yang bersangkutan saja.



-



Mendiagnosis peristiwa – peristiwa belajar , artinya siswa – siswa memeriksa pekerjaan mereka sendiri.



-



Pengajaran, artinya pengajaran individual ; tidak ada tes ataupun buku kerja.



-



Penilaian, artinya guru membuat penilaian secara individual : hanya sedikit sekali di adakan test formal.



-



Mencari kesempatan untuk pertumbuhan profesional, artinya guru menggunakan bantuan orang lain, guru bekerja dengan teman – teman sekerjanya.



-



Persepsi guru sendiri, artinya guru berusaha mengamati semua siswa untuk memantau kegiatan mereka.



-



Asumsi tentang para siswa dan proses belajar, artinya suasana kelas hangat dan ramah, sehingga para siswa asyik melakukan sesuatu Meskipun pendidikan terbuka itu memberikan kesempatan pada para siswa untuk bergerak secara bebas di sekitar ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri, namun bimbingan guru tetap di perlukan. Kira-kira perlu di catat bahwa open education ini lebih efektif dari pada pendidikan tradisional dalam hal meningkatkan hal belajar yang bersifat efektif, kerja sama, kreatifitas, dll.



10. Cooperative learning Belajar cooperative merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan berprestasi siswa. Menurut Slavin (1980) cooperative memiliki tiga karakterisik sebagai berikut : -



Siswa belajar dalam tim – tim yang kecil (4-6 orang anggota) komposisi ini tetap selama berminggu – minggu.



-



Siswa di dorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat akademik atau dalam melakukan tugas kelompok.



-



Siswa diberi imbalan atau hadiah bagi yang berprestasi. Adapun teknik dalam belajar cooperative learning itu ada empat macam :



a.



Team game tournament (TGT); dalam teknik ini siswa –siswa yang kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda di satukan dalam team (4 orang). Setelah itu guru menyajikan soal dan team



lalu mengerjakan, saling mengajukan pertanyaan dan belajar bersama se team untuk menghadapi tournament yang biasanya di selenggarakan seminggu sekali. b.



Teams – achievement divisions; teknik ini juga menggunakan team (4 orang) tetapi kegiatan tournament di ganti dengan bertanya selama lima belas menit. Skor – skor pertanyaan menjadi skor team.



c.



Jigsaw, dalam teknik ini siswa di masukan dalam tim –tim kecil yang bersifat heterogen. Bahan pelajaran di bagikan kepada anggota anggota team. Kemudian siswa tersebut mempelajari bahan pelajaran yang sama dengan team lain kemudian mereka kembali ke kelompoknya masing – masing dan menjelaskan apa yang telah dipelajari dari kelompok lain tersebut kepada kelompoknya.



d. Group investigation adalah teknik di mana para siswa bekerja di dalam kelompok – kelompok kecil yang menangani berbagai macam proyek kelas. Setiap kelompok membagi tugas tersebut menjadi sub topik – sub topik, kemudian setiap anggota kelompok melakukan penelitian yang di perlukan untuk mencapai tujuan kelompok, setelah itu kelompok mengajukan hasil penelitiannya kepada kelas. Dalam metode ini hadiah atau point tidak di berikan. Menurut cooperative learning itu pada umumnya mempunyai efek yang positif terhadap prestasi akademik. Keberhasilan cooperative learning ini juga tergantung dengan kemampuan siswa berinteraksi di dalam kelompok.



Gambar



E. Kelebihan Dan Kekurangan Teori Belajar Humanistik 1. Kelebihannya adalah : a.



Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial



b.



Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.



c.



Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku



d. siswa harus berusaha agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri sebaik baiknya



2. Kekurangannya adalah : a.



Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar



b. Terlalu memberi kebebasan pada siswa c.



Peserta didik kurang mengenal diri dan potensi potensi yang ada pada diri mereka