Hadist Arbain Nawawi Ke 12 - Meninggalkan Yang Tidak Bermanfaat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Arbain Nawawi ke-12 dan Terjemah ‫ ِم ْن ُحس ِْن إِ ْسالَ ِم ال َمرْ ِء تَرْ ُكهُ َما الَ يَ ْعنِ ْي ِه‬ :‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬:‫ قَا َل‬،ُ‫ض َي هللاُ َع ْنه‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬



Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Di antara tanda kesempurnaan Islam seseorang, ia meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi dan lainnya; hasan)



Penjelasan Hadits Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah sahabat dari kabilah Bani Daus, Yaman. Di masa jahiliyah ia bernama Abdu Syams, lalu di masa Islam namanya adalah Abdurrahman bin Shakr. Abu Hurairah masuk Islam melalui dakwah Thufail bin Amr Ad Dausi. Ia masuk Islam saat muda dan pada usia 26 tahun, ia hijrah ke Madinah menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu Rasulullah telah memenangkan Perang Khaibar. Di Madinah, Abu Hurairah tinggal di Masjid Nabawi. Menjadi ahlus suffah. Tak seperti mayoritas sahabat yang sehari-harinya bekerja, Abu Hurairah memfokuskan diri untuk mulazamah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia selalu hadir ketika Rasulullah mengajar di Masjid Nabawi. Dan ia selalu mengikuti ke mana pun Rasulullah pergi. Maka dalam waktu singkat, Abu Hurairah mendengar demikian banyak hadits dari Rasulullah. Dengan keistimewaannya yang tak pernah lupa hadits sejak didoakan Rasulullah, ia menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan 1



hadits. Meskipun hanya menjumpai Rasulullah 4 tahun, Abu Hurairah 5.347 hadits. Abu Hurairah dikenal selalu menggunakan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat. Menjauhi hal yang sia-sia. Sepeninggal Rasulullah, ia memiliki rumah dan berkeluarga. Di sepertiga malam terakhir, ia membangunkan keluarganya agar bisa sholat tahajud. Jadi, Abu Hurairah termasuk terdepan dalam mengamalkan hadits yang ia riwayatkan ini. Husn (‫ )حسن‬artinya adalah kebaikan. Bisa juga bermakna kesempurnaan. Laa ya’niih (‫ )ال يعنيه‬artinya adalah tidak bermanfaat. Baik manfaat di dunia maupun manfaat di akhirat. Bisa pula bermakna sia-sia. Hadits ini pendek tetapi maknanya dalam dan mengandung pelajaran yang sangat luas. Para ulama mengistilahkan dengan jawami’ul kalim (‫)جوامع الكلم‬ yakni kalimat yang singkat dan padat. Bahwa di antara tanda kebaikan islam dan kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan perkara yang sia-sia. Perkara yang tidak bermanfaat baginya, baik di dunia maupun di akhirat.



Kandungan Hadits dan Pelajaran Penting Hadits ini memiliki kandungan yang luas dan banyak pelajaran penting. Hingga sejumlah ulama menyebutnya sebagai hadits yang menghimpun kumpulan kebaikan (‫)جمع نصف الدين‬. “Rasulullah menjelaskan hadits tersebut kepada kami dengan kalimat yang singkat dan penuh manfaat, di dalamnya terkumpul kebaikan dunia dan kebahagiaan akhirat,” kata Abu Hurairah ketika mengomentari hadits ini. Berikut ini enam poin utama kandungan hadits Arbain Nawawi ke-12: 1. Membangun Masyarakat Mulia Hadits ini menunjukkan bahwa Islam ingin membangun masyarakat mulia. Masyarakat yang dipenuhi dengan kebaikan di dunia, yang kemudian mengantarkan kepada kebaikan di akhirat. Ciri utama masyarakat mulia adalah masyarakat yang menggunakan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi perbuatan yang sia-sia. Masyarakat yang produktif. Sebaliknya, masyarakat yang tidak produktif, masyarakat yang menyibukkan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, mereka adalah masyarakat yang merugi. Sebagaimana semangat Surat Al Ashr: ِّ ‫اصوْ ا بِ ْال َح‬ َّ ‫اصوْ ا بِال‬ ‫صب ِْر‬ َ ‫ق َوت ََو‬ َ ‫ت َوت ََو‬ ِ ‫ إِاَّل الَّ ِذينَ آَ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬. ‫ْر‬ ٍ ‫ إِ َّن اإْل ِ ْن َسانَ لَفِي ُخس‬. ‫َو ْال َعصْ ِر‬ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al Ashr: 1-3)



2



2. Prinsip Manajemen Waktu Hadits ini mengajarkan prinsip manajemen waktu. Yakni hanya mengisi waktu dengan hal-hal bermanfaat. Sebaliknya, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Karenanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak suka saat melihat pemuda yang melamun. Sebab melamun tidak bermanfaat baik untuk dunia maupun untuk akhirat. Melamun termasuk aktifitas yang sia-sia. Demikian pula aktifitas lain yang tidak bermanfaat, harus ditinggalkan. Apalagi kalau aktifitas itu justru merugikan orang lain dan merugikan akhirat kita. Misalnya ghibah, membully orang, menyakiti orang lain, dan sebagainya. 3. Muslim Itu Menjaga Diri Islam menuntun seorang muslim untuk meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya. Apalagi kalau hal itu merugikan orang lain. Islam mengajarkan agar seorang muslim menjaga diri agar tidak melakukan hal yang sia-sia. Apalagi kalau itu merugikan orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ُ‫اج ُر َم ْن هَ َج َر َما نَهَى هَّللا ُ َع ْنه‬ ِ َ‫ َو ْال ُمه‬، ‫ْال ُم ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم ْال ُم ْسلِ ُمونَ ِم ْن لِ َسانِ ِه َويَ ِد ِه‬ “Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang baginya.” (HR. Bukhari) 4. Tanda Kuat dan Lemahnya Iman Hadits arbain nawawi ke-12 ini menunjukkan bahwa meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat merupakan tanda sempurnanya iman. Mahfum mukhalafah-nya, menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat merupakan tanda lemahnya iman. ‫ ْد ِرى‬Oَ‫ أَ َوالَ ت‬-‫لم‬OO‫لى هللا عليه وس‬OO‫ص‬- ِ ‫و ُل هَّللا‬O‫ال َر ُس‬ ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬ َ َ‫ فَق‬.‫ال تُ ُوفِّ َى َر ُج ٌل ِم ْن أَصْ َحابِ ِه فَقَا َل يَ ْعنِى َر ُج ٌل أَ ْب ِشرْ بِ ْال َجنَّ ِة‬ َ َ‫ك ق‬ ِ ‫ع َْن أَن‬ ُ‫صه‬ ُ ُ‫ه أَوْ بَ ِخ َل بِ َما الَ يَ ْنق‬Oِ ‫فَلَ َعلَّهُ تَ َكلَّ َم فِي َما الَ يَ ْعنِي‬ Dari Anas bin Malik, ia berkata, seorang laki-laki dari kalangan sahabat nabi meminta nasehat kepada beliau, kabarkan apa yang bisa memasukkan surga. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau tidak tahu, seseorang terhalang dari surga karena mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat atau bakhil terhadap apa yang tak mengurangi hartanya.”(HR. Tirmidzi)



3



5. Jalan Keselamatan Tidaklah sebuah perkara akan berakibat mencelakakan manusia, kecuali Allah haramkan perkara itu. Tidaklah suatu perbuatan menjerumuskan ke dalam kehancuran, kecuali Allah larang perbuatan itu. Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat adalah jalan keselamatan. Sebab tidaklah seseorang bisa meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat kecuali ia juga pasti bisa meninggalkan yang haram. ُ ‫ع َْن ُع ْقبَةَ ْب ِن عَا ِم ٍر قَا َل قُ ْل‬ َ‫ْك َعلَى خَ ِطيئَتِك‬ َ ‫ت يَا َرسُو َل هَّللا ِ َما النَّ َجاةُ قَا َل أَ ْم ِس ْك َعلَ ْي‬ ِ ‫ك لِ َسانَكَ َو ْليَ َس ْعكَ بَ ْيتُكَ َواب‬ Dari Uqbah bin Amir, ia mengatakan, aku bertanya: Ya Rasulullah, apakah jalan keselamatan itu? Beliau bersabda: “Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu merasa lapang (artinya: betahlah untuk tinggal di rumah), dan menangislah karena dosa-dosamu.” (HR. Tirmidzi) 6. Pentingnya Tazkiyatun Nafs Hadits Arbain Nawawi ke-12 ini juga menunjukkan betapa pentingnya tazkiyatun nafs. Pentingnya membersihkan hati. Dan di antara tanda hati yang bersih adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya. Sebaliknya, ketika seseorang menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, itu merupakan tanda hatinya tidak bersih. Sebab ia jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Tanda bahwa Allah berpaling dari seseorang adalah jika seorang hamba menyibukkan diri dengan hal-hal yang tak bermanfaat.”



Makna Hadits Secara Global Hadits ini memiliki faidah yang banyak walau dengan kalimat pendek. Bahkan Imam Abu Daud mengatakan: ‫أصول السنن في كل فن أربعة أحاديث وذكر منها هذا الحديث‬ “Ada empat  hadits yang menjadi dasar bagi tiap-tiap perbuatan, salah satunya adalah Hadits ini.” (Imam Ibnu Dqqiq Al ‘Id, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 62)[1] 1. Hadits ini mengisyaratkan salah satu   standar bagusnya kualitas keislaman, ketundukan, dan kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan perkataan  dan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi orang tersebut, baik manfaat dunia maupun akhirat. 4



2. Sebaliknya, di antara keburukan kualitas keislaman seseorang adalah dia mengerjakan yang tidak bermanfaat baginya. Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah mengatakan: ‫أن من قبح إسالم المرء أخذه فيما ال يعنيه‬ “Sesungguhnya di antara jeleknya keislaman seseorang adalah dia mengerjakan hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 12) 3. Hadits ini mengisyaratkan agar seorang muslim menaikan kualitas dirinya dengan dianjurkan menggeluti hal-hal yang bermanfaat. Syaikh Ismail Al Anshari mengatakan: ‫رورة حياته‬OO‫ وما يتعلق بض‬، ‫ان‬OO‫ وهو ما يفوز به المرء في معاده من اإلسالم واإليمان واإلحس‬، ‫الحث على االشتغال بما يعني‬ ‫ فإن المشتغل بهذا يسلم من المخاصمات وجميع الشرور‬، ‫ في معاشه‬. “Anjuran untuk menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat, yaitu apa-apa yang membawa keuntungan bagi seseorang untuk akhiratnya, berupa Islam, Iman, dan Ihsan. Dan apa-apa yang terkait dengan kebutuhan primer kehidupannya  pada pencaharian nafkahnya. Maka, kesibukan dengan hal ini akan mendatangkan keselamatan dari permusuhan dan semua keburukan.” (Ibid) 4. Sebaliknya menyibukkan diri dalam urusan yang tidak bermanfaat akan melupakannya dari kebaikan dan amal yang bermanfaat. Sebab ketika seseorang sibuk dengan kebatilan maka dia tidak mungkin sibuk dengan kebaikan, dan sebaliknya. Al Hasan bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: ‫من عالمة إعراض هللا تعالى عن العبد أن يجعل شغله فيما ال يعنيه‬ “Di antara tanda bahwa Allah Ta’ala berpaling dari seorang hamba adalah dijadikannya hamba itu sibuk dengan hal yang tidak bermanfaat.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 62. Maktabah Misykah) Makna Kata dan Kalimat ‫عَنْ أَبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل‬ : dari Abu Hurairah dia berkata Tentang Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu sudah kami jelaskan dalam syarah hadits kesembilan. 5



‫سلَّ َم‬ ُ ‫قَا َل َر‬ : bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ‫ساَل ِم ا ْل َم ْر ِء‬ ْ ِ‫س ِن إ‬ ْ ‫ ِمنْ ُح‬ : Di antara baiknya keislaman seseorang Yaitu di antara bagusnya ketundukkan seseorang.



keimanan,



keyakinan,



kepasrahan,



dan



ْ‫ ِمن‬   (Min) artinya ‘dari’, namun dalam konteks kalimat ini bermakna li tab’idh (untuk menyatakan sebagian). Maka, diartikan: di antara baiknya keislaman seseorang, yaitu salah satu ciri atau standar baiknya keislaman, di antara ciri dan standar lainnya. Berkata Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah: ‫ أو بيانية‬، ‫ تبعيضية‬: ‫من‬  “Min artinya tab’iidhiyah (menyatakan bagian) atau bayaniyah (sebagai penjelasan).” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 12)  Syaikh Abul ‘Ala Muhammad Abdurrahman Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:



bin



Abdurrahim



Al



‫ال إِي َمانِ ِه‬ ِ ‫ان َو َك َم‬ ِ ‫ ( ِم ْن ُح ْس ِن إِ ْساَل ِم ْال َمرْ ِء ) أَيْ ِم ْن ُج ْملَ ِة َم َحا ِس ِن إِ ْساَل ِم اإْل ِ ْن َس‬: ُ‫قَوْ لُه‬ Sabdanya (Di antara baiknya keislaman seseorang) yaitu di antara kebaikan Islam bagi manusia  dan kesempurnaan imannya secara umum. (Tuhfah Al Ahwadzi, 6/607) Ada pun Syaikh Ibnul Utsaimin menambahkan: ‫أن‬OO‫الح قلبه وذلك ب‬OO‫الح عقيدته وإص‬OO‫إسالم المرء هو استسالمه هلل عز وجل ظاهرا وباطنا فأما باطنا فاستسالم العبد لربه بإص‬ ‫اهر كأقواله‬OO‫الح عمله الظ‬OO‫اهرا فهو إص‬OO‫الم ظ‬OO‫يكون مؤمنا بكل ما يجب اإليمان به على ما سبق في حديث جبريل وأما االستس‬ ‫بلسانه وأفعاله بجوارحه‬ “Keislaman seseorang yaitu ketundukannya hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla baik zahir dan batin, ada pun secara batin ketundukan seorang hamba kepada RabbNya, yaitu dengan memperbaiki aqidah dan hatinya, dan hal itu dengan mengimani segala apa-apa yang wajib diimani seperti dalam hadits Jibril yang lalu. Ada pun ketundukkan secara zahir adalah memperbaiki perbuatan zahirnya, seperti ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan lahiriyahnya.” (Syarh Riyadhusshalihin No. 67) ‫ت َْر ُكهُ َما اَل يَ ْعنِي ِه‬    : dia meninggalkan hal yang tidak bermanfaat



6



Yaitu dia meninggalkan perkara yang tidak membawa faidah, dan juga sia-sia, bagi kehidupan dunia dan akhiratnya, dan tidak membawa maslahat agama dan kebutuhan dirinya. Apakah batasan ‘tidak bermanfaat’?  Syaikh Al Mubarkafuri mengutip dari Imam Al Ghazali Rahimahullah: ّ ‫ أَ ْن تَتَ َكلَّ َم بِ ُك ِّل َما لَوْ َس َك‬O‫ َو َح ُّد َما يَ ْعنِيك‬: ‫ قَا َل ْال َغ َزالِ ُّي‬. ‫ال‬ َ َ‫ت َع ْنهُ لَ ْم تَأْثَ ْم َولَ ْم تَت‬ ٍ ‫ال َواَل َم‬ ٍ ‫ضرَّرْ فِي َح‬ “Berkata Al Ghazali: Batasan sesuatu yang bermanfaat bagi anda adalah anda  membicarakan segala hal   yang jika anda mendiamkanya, maka anda tidak berdosa dan tidak merugikan kondisi dan harta anda.” (At Tuhfah, 6/607) Imam Ibnu Rajab Rahimahullah menjelaskan sedikit berbeda: ْ : O‫نى يعنيه‬OO‫ ومع‬، ‫ال‬OO‫وال واألفع‬OO‫ واقتصر على ما يعنيه من األق‬، ‫ ٍل‬O‫ من قو ٍل وفع‬O‫ك ما ال يعنيه‬ َّ ‫أن تتعلق‬ َ ‫أن ِم ْن حسن إسالمه تَر‬ ‫ وليس‬، ‫ إذا اهت َّم به وطلبه‬: ‫اه يعنيه‬OO‫ عن‬: ‫ال‬OO‫ يق‬، ‫يء‬OO‫ام بالش‬OO‫ َّدةُ االهتم‬O ‫ ش‬: ُ‫ة‬O ‫ والعناي‬، ‫ده ومطلوبه‬OO‫ونُ من مقص‬OO‫ ويك‬، ‫عنايتُه به‬ ‫ذا جعله من حسن‬OO‫ وله‬، ‫الم‬OO‫رع واإلس‬OO‫ بل بحكم الش‬، ‫وى وطلب النفس‬OO‫ترك ما ال عناية له به وال إرادة بحكم اله‬OO‫راد أنَّه ي‬OO‫ال ُم‬ َّ O‫ ف‬، ‫ ترك ما ال يعنيه في اإلسالم من األقوال واألفعال‬، ‫ فإذا َحسُنَ إسال ُم المرء‬، ‫اإلسالم‬ ‫ات كما‬OO‫ال َم يقتضي فعل الواجب‬OO‫إن اإلس‬O ‫ – سبق ذكره في شرح حديث جبريل – عليه السالم‬. “Sesungguhnya di antara bagusnya keislamannya adalah dia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baik berupa ucapan dan perbuatan, dan dia mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat baik ucapan dan perbuatan. Makna dari Ya’niihi (yang bermanfaat baginya) adalah  menyukai sesuatu yang diinginkan dan menjadikannya sebagai  maksud  dan tuntutannya. ‘Inaayah artinya hasrat/perhatian yang kuat terhadap sesuatu.  Di katakan: anaahu – ya’niihi yaitu jika dia perhatian dan menginginkannya. Hal ini bukan maksudnya semata-mata meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, dan tidak berarti perbuatan yang dihukumi dengan  hawa nafsu, tetapi menurut hukum syara’ dan Islam. Maka, jika seseorang ingi memperbaiki keislamannya, dia meninggalkan hal yang tidak bermafaat dalam Islam baik berupa ucapan dan perbuatan, karena Islam menuntut untuk melakukan kewajiban sebagaimana penjelasan lalu dalam syarah hadits Jibril ‘Alaihissalam.” (Imam Ibnu Rajab, Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, Syarah Hadits ke 12) Syaikh Al Mubarkafuri mengutip dari Al Qari sebagai berikut: ‫ه َما اَل‬Oِ O ‫ةُ َما اَل يَ ْعنِي‬O َ‫ َو َحقِيق‬: ‫ال‬ ُ ‫ أَيْ َما اَل يُ ِه ُّمهُ َواَل يَلِي‬: ‫ه‬Oِ ‫اري فِي َم ْعنَى تَرْ ِك ِه َما اَل يَ ْعنِي‬ َ َ‫ َونَظَرًا َوفِ ْكرًا َوق‬، ‫ق بِ ِه قَوْ اًل َوفِ ْعاًل‬ َ َ‫ق‬ ِ َ‫ال ْالق‬ ْ ْ َ ً‫ضا ِة َموْ اَل هُ بِأ َ ْن يَ ُكونَ َع ْي ُشهُ بِدُونِ ِه ُم ْم ِكنا‬ َ ‫اَل‬ ُ َ ْ‫ َو يَنف ُعهُ فِي َمر‬، ُ‫ُور ِة ِدينِ ِه َودنيَاه‬ َ ‫ضر‬ َ ‫ يَحْ تَا ُج إِل ْي ِه فِي‬. Berkata Al Qari tentang makna ‘Meninggalkan yang tidak bermanfaat’:  “yaitu apa-apa yang tidak urgen dan tidak layak baik secara ucapan dan perbuatan, pandangan dan pemikiran.” Hakikat “apa-apa yang tidak bermanfaat” adalah apa-apa yang tidak dibutuhkan secara mendesak dalam urusan agama dan dunia, dan tidak membawa manfaat dalam meraih keridhaan Tuannya (Maula), sebisa mungkin kehidupannya itu tidak ada hal-hal yang tidak bermanfaat itu.   (Tuhfah Al Ahwadzi, 6/500) 7



llah Ta’ala berfirman: َ‫ْرضُون‬ ِ ‫َوالَّ ِذينَ هُ ْم َع ِن اللَّ ْغ ِو ُمع‬ “dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. Al Mu’minun (23): 3) Berkata Imam Ibnu Jarir Rahimahullah: ‫والذين هم عن الباطل وما يكرهه هللا من خلقه معرضون‬. “Dan orang-orang di antara hambaNya yang menjauhkan diri dari hal yang batil (sia-sia) dan yang Allah benci.” (Jami’ul Bayan,  19/9-10) Berkata Az Zujaj: ‫اط ٍل َولَ ْه ٍو َو َما اَل يَ ِحلُّ ِمنَ ْالقَوْ ِل َو ْالفِع ِْل‬ ِ َ‫ع َْن ُك ِّل ب‬ “(menjauhkan diri) dari segala hal yang sia-sia (batil), melalaikan, dan yang tidak halal baik ucapan dan perbuatan.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 5/409) Perilaku menjauhkan hal yang melalaikan dan tidak berguna, telah membuat Luqmanul Hakim medapatkan posisi dan derajat yang sangat mulia. Diceritakan tentang Luqmanul Hakim: ،‫ ِة‬Oَ‫ َوأَدَا ِء اأْل َ َمان‬،‫ث‬ َ َ‫ ِة فَق‬O‫و يَتَ َكلَّ ُم بِ ْال ِح ْك َم‬Oُ َ ‫فَر ُِو‬ ِ ‫ ِدي‬O‫ق ْال َح‬ ِ ِ‫ ب‬:‫ا َل‬Oَ‫رَّا ِع َي فَبِ َم بَلَ ْغتَ َما بَلَ ْغتَ ؟ ق‬O‫تَ فُاَل نًا ال‬O‫ أَلَ ْس‬:‫ال‬O َ ‫ ٌل َوه‬Oُ‫ي أَنَّهُ لَقِيَهُ َرج‬ ِ ‫ ْد‬O‫ص‬ ‫ك َما اَل يَ ْعنِينِي‬ ِ ْ‫َوتَر‬ Diriwayatkan bahwa seseorang  menemuinya dan dia berbicara dengan penuh hikmah, laki-laki itu bertanya : “Bukankah engkau si fulan sang penggembala, dengan apa  yang membuat  engkau mencapai derajat yang kamu capai sekarang?” Jawabnya : “Berkata benar, menunaikan amanat dan meninggalkan apa saja yang tidak berguna bagi diriku”. (Imam Ath Thabari, Jami’ul Bayan, 21/68. Imam Al Baghawi,  Ma’alim At Tanzil, 6/278. Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim. 6/334. Imam Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam, 14/60-61. Imam As Suyuthi, Ad Durul Mantsur, 6/512. Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id menyebutnya sebagai riwayat dari Imam Malik tentang Luqmanul Hakim,  Syarhul Arbain, Hal. 62) Bukan Berarti Terlarang Sama Sekali Berbagai macam permainan dan hiburan yang ada dalam kehidupan manusia tidak berarti dilarang secara mutlak. Ada berbagai riwayat shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam, para sahabat, dan tabi’in pernah menyaksikan dan menikmati permainan, padahal mereka adalah semuliamulianya genarasi. 8



Imam Al Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah menonton permainan pedang orang Habasyah di Masjid Nabi ketika hari raya. Mereka melihat cukup lama hingga sampai ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bosan melihatnya. Imam Al Bukhari juga meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mandi bersama ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha. Imam Abu Daud dan Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah adu cepat lari sebanyak dua kali bersama ‘Aisyah, yang pertama ‘Aisyah pemenang dan yang kedua ‘Aisyah kalah. “ Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercanda dengan sahabatnya bernama Zahir, beliau menganggetkannya dengan cara memeluknya dari belakang dan menutup mata Zahir ketika berjualan di pasar, dan seterusnya. Demikianlah, namun tidaklah ‘bersia-sia’ merupakan perilaku yang mentradisi, melainkan hanya aktifitas selingan yang sesekali saja. Untuk menyegarkan hati, melunakkan jiwa,  dan meringankan pikiran. Wallahu A’lam bi Showab



9