Hapusnya Hukuman Dalam Perspektif Hukum Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Hapusnya Hukuman dalam Perspektif hukum Islam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain manusia ingin tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan,( halal ) dengan perbuatan yang disalahkan ( haram ). Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan di dalam fiqih Jinayah. Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai Qishash, Hudud, Ta’zir “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan. B. Batasan Masalah . Dalam upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini perlu adanya batasan masalah yang akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas adalah Hapusnya hukuman, hukuman apa saja yang di hapuskan dan sebab-sebab hapusnya hukuman . C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain : Mengetahui jenis hukuman, alasan penghapusan hukuman beserta macam dan hikmahnya. BAB II HAPUSNYA HUKUMAN



1. Pengertian Hukuman Hukuman dalam Bahasa Arab disebut ‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari ‘Aqabah yang sinonimnya: Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan datang dari belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah barangkali lafaz tersebut bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya. Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang meyimpang yang telah dilakukan. Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai “Siksa atau Keputusan yang dijatuhkan Hakim”. Dalam hukum positif di Indonesia istilah hukuman hampir sama dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman



sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman perdata seperti misalnya ganti rugi. Menurut Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentinan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara. 2. Macam-Macam Hukuman Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidana. a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al- Qur’an dan alHadist. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian: Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya. o Hukman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, bersaksi palsu. b. Ditinjau dari segi hubungan antara suatu hukuman dengan hukuman yang lain, hukuman dapat dibagi menjadi empat yaitu: • Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang sal bagi suatu kejahatan , seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan. • Hukuman pengganti (al-uqubat al- badaliyah), yaitu hukuman yang menempati empat pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum diyat bagi pembunuh yang sudah di maafkan qishasnya oleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila karena suatu hal hukuman had tidak dapat dilaksnakan. • Hukuman tambahan (Al-‘Uqubah Al-Thaba’iyah), yaitu: hukuman yang dijatuhkan pada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari harta terbunuh. • Hukuman pelengkap (Al-‘Uqubat Al-Takmiliyat), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan. Jinayah atau jarimah dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Quran dan hadist. Atas dasar ini mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu : a. Jarimah Hudud, b. Jarimah Qishash c. Jarimah Ta’zir



3. Hapusnya Hukuman Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah: a. Meninggalnya Pelaku b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas c. Tobatnya pelaku



d. Perdamaian e. Pengampunan 4. Macam Hukuman Yang tidak Bisa Dihapuskan Dan Yang Bisa Dihapuskan. 4.1. Hukuman Yang Tidak Bisa Dihapuskan - Jarimah Hudud. Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-mnuman keras (surbah), dan murtad (riddah). Diantara hukuman-Nya yang telah ditetapkan tidak boleh berubah-ubah lagi ialah: o Hukuman pancung kepada orang yang tidak sembahyang tiga waktu berturut-turut tanpa uzur syar’i sesudah dinasihatkan. o Hukum qisas yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka. o Hukuman sebat kepada orang yang membuat fitnah. o Hukuman rotan 100 kali pada penzina yang belum kahwin, dirajam sampai mati pada penzina yg sudah kawin. o Hukuman rotan 80 kali kepad orang yang menuduh orang berzina tanpa bukti yang cukup. o Rotan 80 kali untuk peminum arak 4.2. Hukuman yang bisa dihapuskan a. Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain: - pembunuhan sengaja - pembunuhan semi sengaja - pembunuhan keliru - penganiayaan sengaja - penganiayaan Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja, karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar’i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. “Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an nisa’: 93). Rosulullah SAW juga bersabda, ” Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah”. (Muttafaqun ‘alaih). Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta (Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat



merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya. b. Jarimah Ta’zir. Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nas). Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu: i. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, baik itu shubhat fi al fi’li, fi al fa’il, maupun fi al mahal, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda. ii. Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama. iii. Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya. Dilihat dari haknya hukuman ta’zir sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab hakimlah yang memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab subulu salam ditemukan bahwa orang yang berhak melakukan hukman ta’zir adalah pengausa atau imam namun diperkenankan pula untuk: 1) Ayah; seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman ta’zir kepada anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif. Apabila sudah baligh maka ayah tidak berhak untuk memberi hukuman kepada anaknya meskipun anaknya idiot. 2) Majikan; seorang majikan boleh menta’zir hambanya baik yang berkaitan dengan hak dirinya maupun hak Allah. 3) Suami; seorang suami diperbolehkan melakukan ta’zir kepada istrinya. Apbila istrinya melakukan nusyuz. Hukuman hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman ta’zir antara lain: 1. Hukuman Mati Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang



membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati. 2. Hukuman Jilid Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. 3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan) Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama’ ulama’ lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya. Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya. 4. Hukuman Salib Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari. 5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi. Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, “Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah.” Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz. 6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)



Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah: “Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat.” 7. Hukuman Denda (tahdid) Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, “Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta hukuman.” Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang. c. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu sendiri. Adapun sebabsebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut: 1. Paksaan Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang paksaan.Pertama paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan. Ketiga paksaan merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya. Ke empat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan dan menyakitinya. 2. Mabuk Syari’at Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok. Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqhi ialah bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk. 3. Gila Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak ada maka hapus pula pertanggung jawab tersebut. Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan hukum Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan meilih dalam bahasa Arab disebut juga Junun atau Gila.



4. Di Bawah Umur Konsep yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggung jawab anak belum dewasa merupakan Konsep yang baik sekali dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif. Menurut Syari’at Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara yaitu ketentuan berpikit dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu kelahirannya sampai memiliki kdua perkara tersebut. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta’zir. Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam Hukum Pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, tetapi bukan berarti tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali berkaitan dengan hak Allah. Kejahatan ini diancam dengan hukuman hadd. Sementara qishosh berada pada posisi diantara hudud dan ta’zir dalam hal beratnya hukuman. Ta’zir sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara jnis-jenis hukuman yang lain. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, macam-macam hukuman diatas dapat dihapuskan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah: a. Meninggalnya Pelaku b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas c. Tobatnya pelaku d. Perdamaian e. Pengampunan



http://mahathir71.blogspot.com/2012/04/hapusnya-hukuman-dalam-perspektif-hukum.html



makalah sebab-sebab terhapusnya hukum dalam jinayyah



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar belakang masalah Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat dalam kehidupan manusia. Disisi lain manusia ingin tentram, tertib, damai, danberkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajibmempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampumemisahkan antara perilaku yang dibenarkan,( halal ) dengan perbuatan yang disalahkan ( haram). Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif danrepresif dijelaskan di dalam fiqih Jinayah.Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut hapusnya pelanggaran dan sangsi sesuaidengan perbuatannya itu. Setelah mengetahui berbagi sebab-sebab hapusmya hukuman di harapkan untuh dapat memahmi macam-macam hapusnya hukuman, dan syarat-syarat hapusnya hukuman.



B. Rumusan masalah 1. Macam-macam hapusnya hukuman 2. Syarat-syarat hapusnya hukuman dan permasalahannya



C. Tujuan masalah 1. Untuk dapat mengetahui tentang macam- macam hapusnya hukuman. 2. Untuk dapat memahami tentang syarat-syarat hapusnya hukuman dan permasalahannya.



BAB II PEMBAHASAN



A. Macam-macam hapusnya hukuman Mengenai hapusnya hukuman, berbedadenganhapusnyahukumankarenasebab-sebabtersebutmaka yang



dimaksud dengan gugurnya hukuman disini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-



hukuman yang telahdi jatuhkan atau diputuskan oleh hakim. Dalam kaitan dengan hapusnya hukuman karena keadaan pelaku, hukuman tidak dijatuhkan karena kondisi psikis dari pelaku sedang terganggu, misalnya karena gila, dipaksa, mabuk, atau masih dibawah umur.



Asbab raf’ al uqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman. Diantara macam-macam hapusnya hukuman ini ada empat macam:



1. Paksaan (al ikrah)



“Paksaan adalahsuatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain, dan oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang kerelaannya”. Paksaan atau koersi adalah praktik memaksa pihak lain untuk berperilaku secara spontan (baik melalui tindakan atau tidak bertindak) dengan menggunakan ancaman, imbalan, atau intimidasi atau bentuk lain dari tekanan atau kekuatan. Dalam hukum, pemaksaan dikodifikasikan sebagai kejahatan paksaan. Tindakan tersebut digunakan sebagai pengaruh, memaksa korban untuk bertindak dengan cara yang diinginkan. Paksaan mungkin melibatkan penderitaan sebenarnya rasa sakit fisik/cedera atau kerusakan



psikologis dalam rangka meningkatkan kredibilitasancaman. Ancaman kerusakan lebih lanjut dapat menyebabkan kerja sama atau kepatuhan dari orang yang dipaksa. Penyiksaan adalah salah satu contoh yang paling ekstrem dari sakit parah adalah pemaksaan yaitu ditimbulkan sampai korban memberikan informasi yang dikehendaki.[1]



2. Mabuk (al sukru)



Mabuk, dalam pengertian umum, adalah keadaan keracunan karena konsumsi alkohol sampai kondisi di mana terjadi penurunan kemampuan mental dan fisik. Gejala umum antara lain bicara tidak jelas, keseimbangan kacau, koordinasi buruk, muka semburat, mata merah, dan kelakuan-kelakuan aneh lainnya. Seorang yang terbiasa mabuk kadang disebut sebagai seorang alkoholik, atau "pemabuk". namun jika dikaji secara mendalam dalam ilmu filsafat dan agama, mabuk berarti tidak mengerti apa yang dikerjakan namun dalam keadaan sadar.[2]



Pengertian lain yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya. Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa orang mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau pada pembicaraannya.[3] Alasan mereka ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 43:



َ‫ار ٰى َحت َّ ٰى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُون‬ ُ ‫ص ََلة َ َوأ َ ْنت ُ ْم‬ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت َ ْق َربُوا ال‬ َ ‫س َك‬ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…[4]



3. Gila (al jununu)



Secara umum dan luas, gila memiliki pengertian “hilangnya akal, rusak atau lemah”. Definisi tersebut merupakan definisi secara umum dan luas, sehingga mencakup gila (junun), dungu (al-‘ithu), dan semua jenis penyakit kejiwaan hyang sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan berfikir). Beberapa jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berpikir maupun sebagiannya. Gila dan keadaankeadaan lain yang sejenis:



a. Gila terus menerus



Gila terus menerus adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat berpikir sama sekali, baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang dating kemudian. Dikalangan fuqaha, gila semacam ini disebut dengan Al-Jununu Al-Muthbaq.[5]



b. Gila berselang



Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berfikir, tetapi tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya maka ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan apabila keadaan tersebut telah berlalu (hilang) maka ia dapat berpikir kembali seperti biasa. Pertanggungjawaban pidana pada gila terus menerus hilang sama sekali, sedang pada gila berselang ia tetap dibebani pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat.



c. Gila sebagian



Gila sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap dapat berpikir. Dalam kondisi dimana ia masih dapat berpikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika ia tidak dapat berpikir, ia bebas dari pertanggungjawaban pidana.



d. Dungu (Al-‘Ithu)



Menurut para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan definisi sebagai berikut: “orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian karena suatu penyakit.Dapat dipahami bahwa dungu merupakan tingkatan gila yang paling rendah dan dungu bias dikatakan berbeda dengan gila, karena hanya mengakibatkan lemahnya berpikir bukan menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan berpikir, sesuai dengan tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak sama kemampuan berpikirnya dengan orang biasa (normal). Namun secara umum orang dungu tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.[6]



e. Tuli dan Bisu Tuli adalah kondisi fisik yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan seseorang untuk mendengarkan suara. Bisu adalah ketidakmampuan seseorang untuk berbicara. Bisu disebabkan oleh gangguan pada organorgan seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, lidah, dsb. Bisu umumnya diasosiasikan dengan tuli. f. Lemah pikiran g. Gerakan tidur Diman suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dapat di bangunkan kembali dengan indra atau rancangan yang cukup. h. Hipnotis



Hipnotis adalah salah satu ilmu yang digunakan untuk bermain dengan alam bawah sadar manusia, setelah seseorang memasuki alam bawah sadarnya kita bisa menanamkan sugesti tertentu dalam pikiran mereka dan membuat mereka melakukan hal-hal yang kita perintahkan.



4. Dibawah umur (shighar assinni). Menurut syari’at Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkanatas dua perkara, yakni kekuatan beripikir dan pilihan atau iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu, kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan-perbedaan masa yang dilalui hidupnya, mulai darikelahiran sampai masa memiliki kedua perkara tersebut. Hasil penyelidikan para fuqaha’ mengatakan bahwa masa tersebut ada tigayang dialami oleh setiap orang sejak ia dilahirkan sampai dewasa:



a. Masa tidak adanya kemampuan berpikir (idrak) (0-2 tahun)



Masa ini dimulai sejak dilahirkan sampai pada usia tujuh tahun. Pada masa ini seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan berpikir atau belum tamyiz. Boleh jadi anak yang belum berusia tujuh tahun menunjukkan kemampuan berpikir, tetapi ia tetap dianggap belum tamyiz karena yang menjadi ukuran kebanyakan orang bukan perseorangan. Jarimah yang dilakukan oleh anak di bawah umur tujuh tahun tidak dikenakan hukuman pidana atau pun sebagai pengajaran.



Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya.



Skema



awalnya



dibentuk



melalui



diferensiasi



refleks



bawaan



tersebut. Periode



sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan: 1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks. 2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.



3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan. 4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek). 5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan. 6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.



b. Masa kemampuan berpikir yang lemah (2-11 tahun)



Masa kemapuan berpikir lemah dimulai sejak usia 7 (tujuh) tahun sampai mencapai usia baligh, dan kebanyakan para ulama membatasinya dengan usia 15 (lima belas) tahun. Pada masa tersebut, seorang anak tidak dikenakan pertanggung jawaban pidana akan tetapi ia bisa dijatuhi pengajaran.



Anak-anak belajar berfikir menggunakan simbol-simbol, dan pencitraan batiniah. namun pikiran mereka masih tidak sistematis dan tidak logis. pikiran di titik ini sangat berbeda dengan pikiran orang dewasa untuk dapt memahami suatu permasalahan sangatlah sulit, karena di masa ini anak masih ingin memahami kepribadiannya. Maka dari itu pada masa ini harus lah peran orang tua untuk membentuk sifat perilaku si anak tersebut sehingga ketika usia nya sudah dewasa maka pemikiran nya juga layak untuk di pergunakan.



c. Masa kemampuan berpikir penuh (11- tahun sampai dewasa)



Masa ini dimulai sejak anak mencapai usia kecerdikan(sinnur rusdy), dengan perkataan lain anak tersebut telah mencapai usia 15 (lima belas) tahun atau 18 (delapan belas) tahun. Pada masa ini seorang anak sudah dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas semua jarimah-jarimah yang telah diperbuatnya.[7]



Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.[8]



B. Syarat-syarat hapusnya hukuman dan permasalahannya



Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu putusan pengdilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab, baik sebab itu pada diri terhukum maupun usaha-usaha terhukum, atau berkaitan dengan masalah waktu hukuman. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara terhapusnya hukuman dengan pembatalan hukuman. Pada terhapusnya hukuman, tidak terdapat pertanggung jawaban pidana, karena perkaranya tidak diproses sehingga tidak ada keputusan hakim. Adapun pada pembatalan hukuman, pertanggung jawaban pidana itu ada dan telah diproses di pengadilan sehingga terdapat keputusan hakim. Namun karena sebab-sebab seperti tersebut di atas, keputusan tersebut tidak dapat dilaksakan kepada terhukum.



Berikut ini beberapa hal atau perbuatan yang menyebabkan terjadinya gugurnya hukuman:



1. Meninggalnya si pembuat jarimah. Hukuman mati yang ditetapkan kepada si pelaku menjadi batal pelaksanaannya bila si pelakunya meninggal. Namun, hukuman yang berupa harta seperti denda, diyat(Diyat adalah sejumlah harta yang wajib di berikan kepada pihak yang terbunuh. Diyat berlaku atas perbuatan pembunuhan atau melukai atau menghilangkan manfaat anggota badan, Diyat di syari'atkan dengan maksud mencegah perampasan jiwa atau penganiayaan terhadap manusia yang harus di pelihara keselamatan jiwanya.)[9]dan perampasan harta dapat terus dilaksanakan.



2. Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman. Dalam kasus jarimah qishash(Al- Jurnani adalah yang mengenakan sebuah tindakan (sanki hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban).[10]), hukuman berpindah kepada hukuman diyat.



3. Bertobat,



menurut



para



ulamatobatinihanya



ada



padajarimahhirabah (Hirabah



berasal



dari



kata Harb yang artinya perang. Menurut buku Fiqh Sunnah jilid 9 karya Sayyid Sabiq, Hirabah adalah keluarnya gerombolan bersenjata didaerah islam untuk mengadakan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang baik gerombolan tersebut dari orang islam sendiri maupun kafir Dzimmi atau kafir Harbi).[11]Namunmereka juga memberikank eleluasaan bagi ulilamri untuk memberikan sanksi ta’zir demi kemaslahatan umum.



4. Korban (dalamhalmasihhidup) dan wali/ahliwaris (dalamhalkorban mati), memaafkannya (dalamqishashdiyat) ataupunululamridalamkasusta’zir yang berkaitandenganhakperseorangan.



5. Adanyaupaya damai antarapelakudengankorbanatau wali/ahliwarisnyadalamkasusjarimahqishash/diyat.



BAB III KESIMPULAN



Mengenai pembahasan tentang Sebab-sebab hapusnya hukuman dapat dipahami dengan mengetahui : a. Macam-macam hapusnya hukuman yaitu: 1. Paksaan. 2. Mabuk. 3. Gila. 4. Tuli dan Buta 5. Hipnotis. 6. Tidur (Gerak tidur). 7. Dibawah umur.



b. Syarat-syarat hapusnya hukuman dan permasalahannya: 1. Meninggalnya si pembuat jarimah. 2. Hilangnya anggota badan yang akan di jatuhi hukuman. 3. Bertobat (benar-benar tidak ingin mengulangi perbuatan yang di larang oleh agama. 4. Korba masih hidup dan mau untuk memaafkan si pelaku terhadap apa yang pelaku lakukan terhadap si korban. 5. Adanya perdamain didalam permasalahan pidana islam.



[1]https://id.wikipedia.org/wiki/paksaan. [2]https://id.wikipedia.org/wiki/Mabuk. [3]Abdul Qadir Audah, ,At Tasyri’ Al Jina’I Al Islami, Beirut, Dar Al-Kitab Al-‘Araby, hal. 116 [4]Al quran dan terjemah Departemen Agama Ri [5]Hanafi, Ahmad, M.A.Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hal. 121. [6]Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 114. [7]Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal.135- 137.



[8]https://id.wikipedia.org/wiki/anak dibawah umur



[9]Abdul Qadir Audah,At Tasyri’ Al Jina’I Al Islami, Beirut, Dar Al-Kitab Al-‘Araby, tt, hal. 20. [10]Ibrahim Anis, dkk., Al- Mu’jam Al- Wasit, (Mesir: Majma’ Al- Lughah Al- Arabiyyah, 1972), cet. Ke-2,



hal 740 [11]Ibrahim Anis, dkk., Al-Mu’jam Al-Wasit, (Mesir: Dar Al Ma’arif, 1972), jilid I, hal. 163.



http://rifakh.blogspot.com/2016/12/makalah-sebab-sebab-terhapusnya-hukum.html