Hati Suhita Eps. 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RINGKASAN *HATI SUHITA* Episode 1 Oleh: Khilma Anis. "Piye, lin, sudah hamil ta? Abahmu lho nanya ummi terus." Ibu mertuaku bertanya sambil menuang nasi ke piringku. Aku menunduk sambil memberinya senyum termanis. Dia tak boleh tahu bahwa aku masih perawan. Dia tak boleh tahu bahwa putra tunggalnya, sama sekali belum menyentuhku. Padahal usia pernikahan kami sudah tujuh bulan lamanya. Aneh memang, mestinya bulan bulan pertama pernikahan adalah hari hari paling indah penuh gelora. Hasrat, keringat, desah kenikmatan, kecupan, pelukan, sudah semestinya melingkupi hari hari pengantin baru manapun. Tapi yang terjadi padaku adalah hari hari yang suwung, hubungan yang anyep, dan kesedihan yang selalu ku bungkus dg derai derai tawa. "Aku mau nikah sama kamu, itu karena ummik." Itu kalimatnya di malam pertama kami. "Sejak aku masih MTs, berkali kali ummi bilang kalau jodoh untukku sudah disiapkan." Dia menghela nafas panjang. "Perjodohan, itu tidak ada dalam kamus hidupku. Aku ini aktifis. Aku teriak setiap hari soal penindasan. Soal memperjuangkan hak asasi. Kawan kawan menertawanku karena aku tidak bisa memperjuangkan masa depanku sendiri. Semua kecewa dg perjodohan ini." Aku menunduk di tepi ranjang. Dia berdiri sambil bersedekap di depan lemari. Ranjangku dipenuhi ribuan kelopak kembang mawar untuk malam pertama kami, tapi kalimatnya menusukku dengan diri duri tajam. Aku menunduk. "Ya aku tau ini bukan salahmu. Kamu juga tidak punya pilihan lain selain manut. Tapi malam ini juga kamu harus faham, aku tidak mencintaimu, atau tepatnya, aku belum mencintaimu." Satu persatu air mataku meluncur ke pangkuan. Lihatlah aku, Alina Suhita, perempuan yang sejak MTs sudah ditembung kiai dan bu nyai Hannan untuk menjadi menantu tunggal mereka. Lihatlah aku, Alina suhita, yang baru saja turun dari pelaminan super megah dengan ribuan kiai yang mendoakan kami. Lihatlah aku, yang sama sekali tak dipandang oleh suamiku sendiri. "Tapi ya, bagaimana? Ummi, apalagi abah, sangat mengandalkan kamu membesarkan pesantren ini. Aku bisa apa? Aku kadung dituduh gak bisa apa apa." Dia terduduk di sofa. Menatapku tajam. Aku makin menunduk. Tidak menyangka kalimat pedas ini keluar di malam pertama pernikahan kami. Sejak kecil, ayah dan ibuku sudah mendoktrinku bahwa segalaku, cita citaku, tujuan hidupku, adalah kupersembahkan untuk pesantren Al-Anwar, pesantren mertuaku ini. Maka, aku tidak boleh punya cita cita lain selain berusaha keras menjadi layak memimpin di sana. Aku di pondokkan di pesantren Tahfid sejak kecil. Kiai dan Bu nyai Hannan lah yang mengusulkan bahwa aku harus kuliah di jurusan tafsir hadis meski aku sangat ingin kuliah di jurusan sastra. Ayah ibuku setuju saja asal itu keinginan mereka. Bahkan, saat aku sudah semester tujuh, kiai Hannan memintaku pindah pesantren dan meninggalkan kuliahku agar aku bisa lebih lanyah hafalan di



pesantren baruku. Aku menurutinya karena itu kemauan mereka. Demi pesantren mereka. Bunyai, yang sekarang kupanggil ummi, bahkan sudah pernah mengajakku umroh sebagai hadiah wisuda Al Qur'anku. Waktu itu, putranya, gus Albiruni, tidak ikut mengantar ummiknya karena dia enggan bertemu denganku. Dialah yang sekarang jd suamiku. Aku tidak pernah berani punya keinginan, belajarku, segalaku, muaraku, hanya untuk pesantren mertuaku. "aku minta maaf. Mulai malam ini, entah sampai kapan, aku akan tidur di sofa ini." Aku makin menunduk. Air mataku mengucur deras karena hatiku tersayat belati ucapannya. Pada siapa aku mengadu? Kenapa dia tega mengatakan itu? Aku tau dia butuh waktu, tapi tidakkah dia bisa bicara lebih halus tanpa menyakiti perasaanku? Kalau dia menolakku sebagai istri, tidak bisakah dia menghormatiku sebagai perempuan? Tapi aku tidak boleh larut dalam tangis. Namaku Alina Suhita. Suhita adalah nama pemberian kakek dari ibuku. Ia ingin aku jadi dewi Suhita. Perempuan tangguh yang pernah memimpin kerajaan sebesar Majapahit. Perempuan hebat yang tegar walau di masa kepemimpinannya ada perang Paregreg yang memilukan itu. Maka, saat mbah yai Rofiq, abahnya ayahku, memberiku nama Alina salma, dari kata alaina salma, kakekku dari pihak Ibu merubahnya menjadi Alina Suhita. Aku tahu, kakek ingin aku tegar di masa depanku. Mungkin inilah saatnya. "Nggih, gus. saya maklum." kuangkat kepalaku setelah kehapus air mataku. Dia melihat hapenya saat aku bicara. Sama sekali tidak melirikku. Malam malam setelahnya, perjuanganku dimulai. Tidak ada perang Paregreg di hidupku, tapi perang bathinku lebih dahsyat dari perang manapun. Kami tinggal satu kamar, tapi kami perang dingin, tidak saling sapa. Tidak saling bicara. Kami hanya bertukar senyum, kalau di luar kamar, di depan abah dan ummi. Kalau ada undangan pernikahan, itulah saat kami bersandiwara, memakai baju warna senada lalu kugamit lengannya. Setelah itu, perang dingin bermula lagi. Semua perempuan ingin sepertiku, punya suami yang memiliki tubuh tinggi tegap, kulitnya bersih.Jambang kebiruan, rambut dagu, hidung bangirnya, menunjukkan kalau dia berdarah biru. Semua perempuan ingin sepertiku, memiliki mertua yang kaya raya. Rumah dan pesantren yang megah. Harta benda yang tumpah ruah. Mereka tak tahu berapa banyak tangisku tumpah. Mereka tidak tahu bahwa aku sudah lama berencana ingin pergi tapi tak sanggup kutinggalkan ummik yang terlanjur kusayangi. Ummik yang sendirian membersarkan pesantrennya karena putra tunggalnya kelewat cuek. "Lin, ditanya umik sampai ping telu kog gak njawab? " Ummik membuyarkan lamunanku. " hehe, ngapunten ummik, nglamun. ummi nanya apa? " "Iku lho, Mas mu lak iki ngko datang seh. Nanti suruh dia yang sambutan acara maulud di aula. Yo?" "siap mi." "maksudku ngene lin, awakmu ape ta jak tilik haji, sekalian ummik mau mborong ke butik Hana."



Aku tertawa. Dialah ummiku. Mertuaku. Anugerah terbesar dalam hidupku. Yang mencintaiku sedalam ibuku sendiri. Ummilah satu satunya alasanku bertahan di rumah ini. Aku segera masuk ke kamar. Kulihat dia masih memangku laptop di shofa. Kancing kancing bajunya terbuka. Kuangsurkan air putih hangat tapi dia memintaku menaruhnya di meja nakas tanpa melirikku. Aku bergegas menyiapkan handuk dan air hangat di kamar mandi. Mengganti keset lama dengan keset yang bersih. Lalu menyiapkan baju ganti untuknya. Dia tetap tidak mengatakan apa apa. Saat dia masuk kamar mandi dan kudengar shower mengucur, hapenya berdering. Nama Ratna Rengganis muncul di layar, fotonya begitu cantik. Wajah oval, berlesung pipi, jilbab merah jambu dengan bros menjuntai. Riasannya sempurna. Sangat berlawanan denganku yang selalu memakai daster dan jilbab kaos dan tanpa make up. Ragu ragu, aku menyentuhnya, membuka percakapan watsapnya. Hatiku bergetar hebat karena ini untuk pertama kalinya aku berani menyentuh barang suamiku sendiri. "Selamat tidur, cah ayu. Malam ini mas kirim puisi." tulis suamiku untuknya. Hape kuletakkan sambil berdebar, aku seperti tak berpijak di bumi. Rasanya seperti dihantam ombak yang begitu besar. Aku segera meringkuk masuk dalam selimut, mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Air mataku merembes membasahi kain bantalku. Aku tau dia butuh waktu untuk menerima pernikahan kami. Aku tau perjodohan baginya sangat berat. Apalagi dia adalah aktifis dengan kehidupan yang sama sekali berbeda denganku. Tapi kalau dalam hidupnya ada Ratna Rengganis itu, bagaimana mungkin aku bisa tenang? Rengganis akan menyita seluruh perhatiannya. Rengganis akan bertahta di kerajaan hatinya dan tidak ada tempat sepetakpun untukku. Rengganis akan membuatnya bergelora dan aku semakin diabaikannya. Aku akan tumbuh menjadi bunga layu yang diterbangkan angin. Lalu untuk apa aku bertahan di rumah ini, kalau dia tidak sama sekali berusaha mempertahankan pernikahan kami? Aku semakin sesengukan, apalagi melihatnya sama sekali tak mau tau berapa banyak air mataku membanjiri hari hari kami. Mungkin beginilah perasaan prabu Duryudana yang merana, karena Istrinya, Banowati, hanya mencintai Arjuna. Mungkin seperti inilah hancurnya hati prabu Duryudana mengetahui Banowati yang istrinya, malah memberikan tubuhnya untuk Arjuna musuhnya. Mungkin beginiah duka Duryudana, memiliki kerajaan, memiliki kekuasaan, memiliki harta benda, menaklukkan negara negara, tapi istrinya sendiri tidak pernah seirama. Meski aku perempuan dan prabu duryudana laki laki, aku bisa merasakan pedihnya diabaikan. Aku menangis sampai tertidur. Sampai malam menjadi hening dan kulihat suamiku, di sofa, masih asik dengan hapenya. Aku tertidur lagi lalu bangun tengah malam dalam keadaan terengah engah karena mimpiku: Ummi, abah, ayahku, ibuku, menatapku dalam satu perahu. Disampingku, mas Biru memegang dayung. Dipangkuanku, sosok laki laki kecil



yang aku tak tahu. Kuingat udara begitu segar. Air begitu tenang. Suasana begitu lapang. Aku terduduk menyadari mimpiku begitu indah. Aku turun dari ranjang, menatapnya yang pulas di sofa. Aku tahu, dia adalah matahari. Sia-sia kakek memberiku nama Suhita kalau aku tak bisa menaklukkannya. Akan kudapatkan malam pertamaku tak lama lagi.