Hermeneutika Muhasmmad Arkoun [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HERMENEUTIKA (KAJIAN ATAS PEMIKIRAN MUHAMMAD ARKOUN ) Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Tafisr Al-Qur’an



Dosen Pembimbing: Dr. H. BAHARUDDIN FANANI M.Ag



Penyusun: ACH FIKRI FAUSI



MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PASCA SARJANA UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Al-Quran adalah firman allah yang turun berangsur-angsur kepada nabi muhammad, alquran juga merupakan sebuah kitab yang menjadi panduan bagi umat manusia khususnya umat islam. Banyak ilmu yang berasal dari al-qur’an, banyak ilmuan muslim menjadi intelektual yang berkualitas lantaran menelaah al-quran. Karna al-quran selain berisi sejarah terdahulu juga berisi tentang banyak keilmuan, baik itu yang berhubungan langsung dengannya, seperti Ulumul Qur'an, Ilmu Tafsir dan yang lainnya,atau tidak berhubungan langsung namun terinspirasi dari Al-Qur'an seperti ilmu alam, ilmu ekonomi dan yang lainnya. Al-Qur'an menekankan pada kebutuhan manusia untuk mendengar, menyadari, merefleksikan, menghayati memahami dan bermeditasi. Seluruh kata kerja tersebut mengacu pada aktifitas intelektual yang membawa pada berbagai macam rasionalisasi yang berdasarkan pada paradigma eksistensial yang diperlihatkan oleh sejarah penyelamatan jiwa dari dosa. Melihat Al-Qur'an sebagai panduan hidup bagi manusia, maka mau tidak mau Al-Qur'an harus mampu menjawab berbagai problematika yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu Arkoun mencoba berbagai pembacaan terhadap Al-Qur'an yang mana dari situ diharapkan akan menghasilkan penafsiran baru yang belum pernah dilakukan oleh ilmuan muslim. B. RUMUSAN MASALAH 1. Profil & Karya Muhammad Arkoun 2. Konsep Hermeneutika Muhammad Arkoun Tentang Al-quran 3. Kritik Para Ulama Terhadap Pemikiran Muhammad Arkoun



BAB II PEMBAHASAN A. PROFIL MUHAMMAD ARKOUN



Mohammed Arkoun lahir tanggal 1 Februari 1928 di Taorirt–Mimoun Kabilia,suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah Timur Aljir. Wilayah Kabilia (al-Qabail) terbagi kepada dua, yaitu Kabilia Besar (dengan luas sekitar satu juta hektar) dan Kabilia kecil. Penduduknya hidup dari hasil pertanian (buah tin dan zaitun), menggembala ternak, dan berdagang kerajinan tangan. Sedangkan Berber adalah panggilan untuk penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara, dari Libya sampai Samudera Atlantik. Keluarganya berada pada strata fisik dan sosial yang rendah (ibunya buta huruf) dengan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair. 1 Latar belakang sosial tersebut, membuat Mohammed Arkoun bergelut dalam tiga bahasa, yaitu bahasa kabilia, bahasa Arab dan bahasa Perancis. Pertama, adalah salah satu bahasa Berber yang diwarisi Afrika Utara dari Zaman pra-Islam dan pra-Romawi. Kedua, adalah bahasa yang dibawa oleh arus ekspansi Islam sejak abad pertama hijriyah. Ketiga,adalah bahasa Perancis yang dibawa oleh bangsa yang menguasai Aljazair antara tahun 1830 sampai dengan 1862. Pendidikan Arkoun dimulai dengan sekolah dasar di desa asalnya, dan melanjutkan kesekolah menangah di kota pelabuhan Oran. Pelabuhan Oran adalah sebuah kota utama di aljazair bagian barat, yang jauh dari kabiliah, selelulus dari sekolah menengah di pelabuhan Oran, Arkoun melanjutkan studynya di Universitas Aljazair, dengan mengambil fokus jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada tahun (1950-1954). Arkoun selain juga menjadi mahasiswa di kampus Aljazair beliau juga sambil mengajar di salah satu lembaga pendidikan menengah ke atas dengan mata pelajaran Pendidikan Bahasa arab di al-harich, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjutkan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusastraan Arab di Paris serta mengajar di



1Johan



Hendrik Mouleman, “Riwayat Hidup dan Latar Belakang Mohammad Arkoun" Kata Pengantar dalam Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern:: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994 ) hlm. 19



sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959).2 Sebagai anak yang dilahirkan di Kabilia, Arkoun mengenal dengan baik bahasa tidak tertulis Kabilia yang merupakan alat untuk mengungkapkan tradisi dan nilai yang sudah ribuan tahun usianya. Sebagai penduduk Aljazair, Arkoun juga mengenal baik bahasa arab, yang merupakan bahasa keagamaan yang tertulis. Sedangkan sebagai orang yang di didik dalam tradisi Perancis, ia menguasai bahasa perancis dengan baik sebagai bahasa non keagamaan tertulis dan alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan barat. Kehidupan Arkoun dengan berbagai macam budaya dan penguasaannya terhadap ketiga bahasa tersebut sangat berpengaruh bagi perkembangan pemikirannya. Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, sesaat ketika ia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad X M, yang menekuni ilmu kedokteran dan filsafat.3 jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta kebudayaannya menjadi semakinerat. Dikemudian hari, barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir, dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kabilia merupakan alat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, bahasa Arab merupakan alat untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Sedangkan bahasa Perancis merupakan bahasa administrasi pemerintahan serta alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat, terutama Perancis. Pada tahun 1970 – 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne, yang sekarang sudah pensiun namun tetap membimbing karya penelitian di sana. Karena kepakarannya, Arkoun



Haji Johan H. Meuleman, “Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun”, (dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993), hlm.94. 3 Johan Hendrik Meuleman, “Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkou”n, (Cet. II; Yogyakarta: LKiS, 1996), hlm. 40. 2



sering diundang untuk memberi kuliah dan ceramah ilmiah di sejumlah universitas dan institusi keilmuan dunia, seperti University of California, Princeton University, Temple University, Lembaga Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma, Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, Universitas Amsterdam, Institut of Ismaili Studies di London, dan sebagainya. Dia juga pernah memberi kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Berlin, Kolumbia, Denver, Indonesia, dan sebagainya. Di dalam menjalani profesinya sebagai pengajar, Arkoun selalu menyampaikan pendapatnya secara logis berdasarkan analisis yang memiliki bukti dan interaksi falsafati-religius, sehingga dapat membangkitkan kebebasan berbicara dan berekspresi secara intelektual, serta tentu saja, membuka peluang terhadap kritik.4 Selain mengajar, Arkoun juga mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan menduduki jabatan penting di dunia akademis dan masyarakat. Dia menjabat sebagai direktur ilmiah jurnal Arabica, anggota Panitia Nasional Perancis untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran, anggota Majelis Nasional Perancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan Perancis (chevalier de la Legion d’honneur). Dia pernah mendapat gelar kehormatan, diangkat sebagai Officier des Palmes Academiques, sebuah gelar kehormatan Perancis untuk tokoh terkemuka di dunia Universitas dan pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle (Paris III). Sosok Arkoun yang demikian ini, dapat dinilai sebagai cendekiawan yang engage, melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya penting bagi kemanusiaan, sebab baginya pemikiran dan aksi harus saling berkaitan.5



Johan Meuleman, “pegantar”, pada Muhammad Arkoun “Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tangangan dan Jalan Baru”, ( Jakarta:INIS,1996) hlm, 5. 5 M. Nasir Tamara, “Pandangan Sosial Politik Mohammed Arkoun”, Makalah Seminar Sehari Pokok-Pokok Pemikiran Mohammed Arkoun, (IAIN Jakarta, 13 Juli 1994.) 4



B. KARYA-KARYA MUHAMMAD ARKOUN



Sebagai ilmuwan yang produktif, Arkoun telah menulis banyak buku dan artikel di sejumlah jurnal terkemuka seperti Arabica (Leiden/Paris), Studia Islamica (Paris), IslamoChristiana (Vatican), Diogene (Paris), Maghreb-Machreq (Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta), di beberapa buku dan ensiklopedi. Arkoun juga menerbitkan beberapa kumpulan makalah. dan karya bersama yang dilakukan dengan cendekiawan lain. Beberapa karya Arkoun yang penting adalah, Traite d’ethique (Tradution Francaise Avec Introduction et Notes Du Tahdhib al-Akhlaq) sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari Tahdzib al-Akhlaq Miskawaih, Contribution a L’etude De L’humanisme Arabe Au IVe/Xe Siecle: Miskawayh Philosophe et Historien (sumbangan terhadap pembahasan humanisme Arab abad IV H/ X M: Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan), La Pensee Arabe (pemikiran Arab), dan Ouvertures Sur L’islam (catatan-catatan pengantar untuk memahami Islam). Buku-buku Arkoun yang merupakan kumpulan artikelnya di beberapa jurnal antara lain adalah Essais Sur La Pensee Islamique (Esai-esai tentang pemikiran Islam), Lectures du Coran (Pembacaan-pembacaan Alqur’an), dan Pour Une Critique de la Raison Islamique (Demi kritik nalar Islami). Buku-bukunya yang lain adalah Aspects de la Pensee Musulmane Calssique (Aspek-aspek pemikiran Islam klasik), Deux Epitres de Miskawayh (Dua surat Miskawaih), Discours Coranique et Pensee Scientifique (Wacana-wacana al-Qur’an dan pemikiran ilmiah), L’islam, Hier, Demain (Islam, kemarin dan esok, karya bersama Louis Gardet), dan L’islam, Religion et Societe (Islam, agama dan masyarakat). Selain itu, masih banyak lagi beberapa karya lainnya yang belum diterbitkan, di samping beberapa artikel penting, seperti pada Encyclopaedia Universalis dalam entri “Islam, les Expression de L’islam”, “Rethinking Islam Today” dalam buku Liberal Islam: A Source Book, “History as an Ideology of Legitimation: A Comparative Approach in Islamic and Eurepan Contexts” dalam buku Islam, Modernism and The West dan sebagainya. Karya Arkoun mayoritas dibuat dalam bahasa Perancis, dan kemudian tersebar dalam bentuk karya terjemahan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Beberapa karya terjemahan yang penting antara lain adalah al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, al-Fikr al-Islami, Naqd wa Ijtihad, al-Islam; Asalah wa Mumarasah (bahasa Arab), Rethinking Islam, Common Questions Uncommon Answers, Arab Thought (bahasa Inggris), Nalar Islami dan Nalar Modern: Pelbagai



Tantangan dan Jalan Baru, Islam: Kemarin dan Esok, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, dan Rethinking Islam (bahasa Indonesia).6 Karya-karya Arkoun tersebut, kalau dicermati ternyata banyak diilhami oleh ilmuwanilmuwan Perancis seperti Paul Ricoeur, Michel Fouchault, Jack Derrida, Roland Barthes, dan Piere Bourdieu. Di samping itu, juga oleh ahli bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure, antropolog Inggris, Jack Goody, ahli sastra Kanada, Northtrop Frye, dan sebagainya. Arkoun terus mencoba pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum Muslim dengan menggunakan teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia Barat modern. Upaya tersebut dilakukan Arkoun untuk memadukan unsur yang sangat mulia di dalam pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga di dalam pemikiran Barat modern (rasionalitas dan sikap kritis). Dengan begitu, Arkoun berharap akan muncul suatu pemikiran yang bisa memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslim akhir-akhir ini dan dapat membebaskannya dari belenggu yang mereka buat sendiri.7



C. KONSEP PEMIKIRAN MUHAMMAD ARKOUN TENTANG HERMENEUTIKA ALQUR’AN



Para Orientalis sangat berkeinginan keras untuk menerapkan metode tersebut pada teks sakral; kitab suci Al-Qur’an. Keinginan mereka tersebut disambut baik oleh beberapa ‘kader’ mareka dari kalangan sarjana muslim, salah satu di antaranya adalah Arkoun. Dia adalah salah seorang sarjana muslim yang terkooptasi, dengan menerapkan metode kritik Bible (hemeneutika) sebagai metode penefsiran Al-Qur’an. Arkoun menyebutnya sebagai kajian kontemporer Al-Qur’an atau kajian Al-Qur’an edisi kritis. Dalam perkembangan hermeneutika, hermeneutika menjadi tiga bahasan, yaitu hermeneutika sebagai metedologi, filsafat; dan kritik, sedangkan pemikirannya terbagi menjadi enam pembahasan, yaitu sebagai eksegesis bible; metode filologi; sebagai pemahaman linguistic, sebagai fondasi geisteswissenschaft; sebagai fenomenologi dasein; dan sebagai system interpretasi, lain halnya pada masa sekarang. Filsafat di jaman Postmodern ini dapat dikatakan sedang mengalami linguistic turn atau pembalikan ke arah 6



http://hamzah-harun.blogspot.co.id/2012/02/karya-karya-mohammed-arkoun.html Mohammed Arkoun, “Islam Kontemporer Menuju Dialog antara Agama”, terj. Ruslani. (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. xi 7



bahasa. Dikatakan demikian sebab kata kunci filsafat tradisional adalah akal-roh, pengalaman dan kesadaran tetapi kini adalah bahasa.8 Pandangan Arkoun menekankan urgensi metode linguistik dan semiotik untuk memahami Kitab Suci guna keperluan dialog. Teks suci harus dibaca ulang melalui berbagai teori linguistik dan semiotik modern untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai ‘bahasa’ yang melatarbelakangi lahirnya suatu teks keagamaan, terutama Kitab Suci. Sebagai seorang pemikir post-modernist, Arkoun memandang segala sesuatu sebagai hal yang tidak terlepas dari konteks sejarah. Artinya, apa pun bentuk kehidupan beragama, pemikiran dan teks keagamaan yang ada sekarang, semuanya memiliki latar belakang sejarah yang melahirkan bentuk kehidupan beragama, pemikiran agama, dan teks keagamaan tersebut. Oleh karena itu, tanpa kajian dan pemahaman yang kritis terhadap situasi sosial-historis yang melahirkan hal-hal tersebut, maka tidak mustahil seseorang akan terjebak ke dalam pemahaman tekstual yang eksklusif, bahkan tertutup terhadap segala macam pemikiran baru dan konstruktif.9 Menurut Muhammad Arkoun sekalipun pendekatan historis berasal dari pemikiran Barat, tetapi dalam pemikiran beliau dimaksudkan bukan untuk memonopoli kultur tertentu, da bisa diaplikasin dalam semua sejarah umat manusia, jadi menurut beliau, penafsiran lain dalam memahami



wahyu kecuali dengan mengaitkannya dengan kondisi-kondsi



historisnya.10 Menurut Arkoun, ada dua jalan yang harus dilempangkan dalam mengkaji (mengkontekstualkan) wahyu: Pertama, bahwa Al-Qur’an pada tingkat tertinggi dari ungkapan simbolis memungkinkan untuk membentuk suatu teori bahasa simbolis yang terkait konteks pemikiran mitis di mana ia muncul. Juga, kaitannya dengan pemikiran ilmiah aktual yang mengungkap kembali bahasa simbolis itu. Kedua, mengapa dan bagaimana ulasan-ulasan klasik begitu merendahkan bahasa simbolis pada tingkat dan fungsi wacana kode.11



8



Polmer, Richard, “Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi”. ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005). hlm. 40



9http://download.portalgaruda.org/article.php?articlePEMBACAANAL-QURMENURUTMOHAMMEDARKOUN 10 11



Fahmi salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, (jakarta: Gema Insani, 2010), hlm, 204 Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1999), hlm.119



Arkoun dengan pemikirannya berusaha memperkenalkan pendekatan pemikiran hermeneutika sebagai metodologi kritis yang akan memunculkan informasi, makna dan pemahaman baru ketika suatu teks dan aturan didekati dengan sara pandang baru, terutama dengan menggunakan metode hermeneutika historis-kontekstual. Karena sikap dari setiap pengarang, teks dan pembaca tidaklah lepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu. Maka dalam memahami sejarah yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna. Pemahaman tradisi Islam selalu terbuka dan tidak pernah selesai, dalam istilah lain bahwa pintu ijtihad belum tertutup



karena



pemaknaan



dan



pemahamannya



selalu



berkembang seiring



dengan



perkembangan umat Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari masa ke masa. Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku sepanjang zaman. Gagasan universal Islam tidak semua tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal kultural,serta terungkap dari tradisi kenabian saat itu. Itulah sebabnya dari masa ke masa selalu muncul ulama tafsir yang berusaha mengaktualisasikan pesan Al-quran dan Al Hadits dan tataran keislaman yang tidak mengenal batas akhir waktu. Sehingga Arkoun mengklasifikasikan teori tentang wahyu yang beliau bagi menjadi dua level. 1. Level Pertama, adalah umm al-Kitab di langit. Keberadaanya sangat istimewa, sebab bersifat azali dan sempurna, tidak terikat waktu, kebenarannya adalah absolut dan transenden, serta manusia tidak bisa menjangkaunya(berada di Lauh al-mahfud) kekal bersama tuhan. 2. Level kedua, adalah dunia Al-Qur’an (terrastres Edition) dapat dijangkau oleh manusia dan bersifat transenden. 12



12



Abdul Karim Hasan Shalihu, “Pendekaan Historis untuk Al-Qur’an”, (UII Malaysia,2003),hlm, 189



Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran teks Al-quran, perubahan yang mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah terjadi. Raison graphique (nalar grafis) telah mendominasi cara berfikir umat sehingga logos kenabian (prophetique) didesak oleh logos pengajaran (professoral). Selain itu, kemiskinan usaha untuk memahami wahyu dari segala dimensi juga telah terjadi. Untuk itulah tujuan qira’ah menurut Arkoun adalah untuk comprende, yakni mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan melalui teks yang bersangkutan dengan mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi makna.Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Al-quran, yaitu:  Secara litugris, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan saat shalat, doa-doa tertentu dan ibadah yang lain yang bertujuan untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya unruk yang pertama kali” agar didapatkan kembali seperti “ujaran pertama”. Dengan cara ini, manusia melakukan komunikasi secara ruhani secara vertikal maupun horisontal dan sekaligus melakukan pembatinan kandungan wahyu.  Secara eksegesis yang berfokus pada “ujaran kedua”, yaitu ujaran yang termaktub di dalam mushaf.  Dengan cara memanfaatkan penemuan dan inovasi metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa. Hal-hal tersebut yang diungkakan Arkoun dalam pemikirannya yang berkaitan dengan pembacaan Al-quran.13 Arkoun menjelaskan bahwa tujuannya adalah membangun suatu ”islamologi Terapan”, yaitu pengkajian terhadap Ilam dalam perspektif kontribusi umum antropologi keagamaan. Dan teori tersebut diharapkan menjadi cara penafsiran Al-Qur’an, yaitu menganalisi melalui historis dan analisis linguistik-dekonstruktif. 14 Jadi, Islamologi Terapan adalah sebuah usaha yang melibatkan berbagai spesialisasi dan menuntut keterlibatan para peneliti, dan itulah yang dilakukan Arkoun, berbagai bidang pengetahuan dalam proyek Islamologi Terapan itu dapat diringkas seperti berikut : 1. Al-Qur’an dan eksperimen Madinah. 2. Generasi Sahabat 3. Konflik historis seputar khilafah dan Imamah 4. Sunnah dan mengikuti Sunnah



13 14



https://afidburhanuddin.files.wordpress.com/2012/11/arkound_ed.pdf Fahmi salim, kritik terhadap...hlm 209



5. Ushuluddin-Ushul Fiqh-Syariat 6. Posisi filsafat (hikmah) pengetahuan dan cakrawalanya 7. Akal dalam Ilmu-Ilmu logika 8. Akal dan imajinasi dalam sastra historis dan geografis 9. Akal dan Imajinasi dalam Syair. 10. Mitilogi, Akla, dan imajinasi dalam sastra verbalis 11. Pengetahuan skolistik dan pengetahuan aplikatif atau eksperimen 12. Akal positivistik dan kebangkitan serta revolusi 13. Pertaruhan rasionalitas dan perubahan makna.15 Inilah konsep yang dia terapkan sebagai kajian-kajian parsial dan terbatas tanpa harus mengajukan format yang kompherensif. Demikian arkoun membaca dan mengkalfikasikan Al-qur’an dengan berbagai pembacaan dan level. Artinya, beragam bacaan lingistik, semantis,antropologis dan sebagainya dalam pengartian Arkoun tidak mengedepankan makna teologis ketika membaca Al-qur’an, dan tidak menganggap beliau mengetahui makna itu seperti yang dilakuakan oleh mayoritas mufassir klasik. Akan tetapi, Arkoun mengajukan apa yang beliau temukan oleh pemahamnya dari teks itu sendiri.



Dan Arkoun lebih condong mengambil filosof



Hermeneutika Barat, karena beliau juga membahas maslah pemahama secara umum. Oleh karena itu, semua idenya dalam studi Al-qur’an, meskipun lebih mencolok aliran historisnya, adalah juga termsuk kategori aplikasi hermeneutika dalam bidang studi Al-Quran. Dengan kata lain, diskursus “Kritik Nalar Islam Arkounian telah memindahkan pertayaan takwil dari, “ Bagaimana makna itu sehingga memahami?” menjadi, “ Bagaimana memahami sehingga ada makna?” perubahan ini pada hakikatnya adalah perubahan dari bidang sakralisasi ke bidang ilmu yang rasional. Inilah yang teradi pada hermeneutika filosofis. Persoalan mendasar yang ingin dianalisis oleh Arkoun dengan disiplin ilmu antropologis adalah menyangkut beralihanya ujaran-ujaran lisan dari wacana kenabian ke dalam sebuah al-Qur'an yang tertulis, yang kemudian dibakukan menjadi Mushaf standar. Menurutnya peralihan wacana semacam ini tentu mereduksi berbagai macam bacaan, dialek, dan bahkan makna yang terbuka dan luas menjadi suatu penafsiran logosentris yang sempit dan kaku. Artinya peralihan dari wacana kenabian yang bersifat orale (lisan) ke wacana 15



Tarikhiyyah Al-Fikr al-arabi al-Islamiy, hlm 15.



masyarakat melek huruf yang pandai membaca dan menulis ternyata memunculkan masalah tersendiri. Dengan demikian, paparan Akoun dapat disimpulkan bahwa pada masing-masing tingkatan, kandungan al-Qur'an sudah mengalami perubahan. Pada tingkatan pertama, Kalam Allah/al-Qur'an masih berupa "ide" atau pengetahuan Allah yang dinilai paling benar, namun tidak dapat dijangkau oleh manusia, karena belum terwujud dalam lafazh-lafazh terlebih dalam susunan surah dan ayat seperti yang sekarang ini. Dan pada tingkatan kedua, Kalam Allah yang menjelma ke dalam bahasa Arab hanya sebagian dari penggalan yang ada di umm al-Kitab (the Archetype Book), dan itupun sudah tidak ada lagi. Dan lain lagi ketika dalam bentuk mushaf. Pasalnya, walau bagaimanapun juga, mushaf telah mengalami modifikasi, revisi dan subtitusi. Arkoun menganggap al-Qur'an yang sekarang ini tidak sama ketika pada masa Nabi Muhammad saw. lebih-lebih ketika di al-lauh al-Mahfuzh. Konsepsi tanzil di atas juga berlaku untuk Taurat dan Injil. Tidak ada bedanya.



D. KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN HEREMENEUTIKA MUHAMMAD ARKOUN Arkoun menguraikan konsep agama-agama berdasarkan pendekatan sosiologis. Untuk mengkaji dan mengindentifikasi agama, Arkoun menetapkan lima bidang. Yaitu, wilayah intelektual , politik, ekonomi dan wilayah kultural. Hal ini dilakukan agar agama-agama tidak terjebak kepada kungkungan ideologis. Kelima wilayah tersebut disebut dengan wilayah sosio-historis. Akibat dari pendekatan sosiologis ini, dalam pemikiran Arkoun, terlihat tidak ada lagi perbedaan ideologis yang signifikan antar agama. Ia tidak lagi membedakan antara agama-agama pagan dan agama wahyu. Sebab, kedua-duanya sama dalam teropong metode sosiologis. Pendekatan yang non-teistik ini tidak akan menemukan akar perbedaan dari ranah teologis.16 Konsep pemikiran yang demikian lebih tepatnya disebut pendekatan yang humanis. Yaitu, sebuah pendekatan yang hanya melihat dari sisi selera keberagamaan masyarakat berdasarkan kebutuhan keagamaan dan menurut kedalaman setiap individu atau masyarakat manusia. Dalam kaca mata sosiologis-antropologis, manusia beragama karena manusia memiliki kepentingan manusiawi. Berarti, karena perbedaan teologis sudah dikaburkan, maka



M. Amin Abdullah dalam “Falsafah Kalam di Era Postmodernism”e memasukkan Mohammed Arkoun sebagai di antara filosof postmodernisme. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm, 18 16



pendekatan ini melihat kenyataan keberagamaan umat manusia itu pada hakikatnya sama. Sebab, umat manusia memiliki kebutuhan yang sama dalam beragama. Spiritualitas yang beragama adalah sebuah kenyataan sosiologis karena itu pilihan manusia. Mereka berada dalam satu payung yang sama: memenuhi kebutuhan manusia mencari kepuasan spiritualitas. Dari sinilah pendekatan yang sosiologis melahirkan pemahaman yang relativis. Dan pendekatan yang humanis akan membentuk mental-beragama yang pluralis. Dalam sejarah Islam ‘event’ pertarungan antara kaum intelektual dengan ‘ulama tidaklah terjadi, para ulama bermartabat Islam menghargai pengetahuan sebagaimana Islam menghargai keyakinan pada Rasulullah. Al-Qura’n sebagai kitab suci yang tiada satupun keterangan di dalamnya yang tidak dapat diuraikan untuk penelitian ilmiah, baik yang berhubungan dengan realitas-realitas alam, genetika, atau kajian-kajian tentang kedalaman laut. Bahkan, sungguh Al-Qur’an telah membuktikan kebenarannya lewat keterangan yang mendetail tentang pertumbuhan janin, seperti yang kita kenal-sekarang yang tidak mungkin dibuktikan, kecuali dengan menggunakan alat pendeteksi dalam rahim. Sekalipun demikian, al-Qur’n adalah hakikat-hakikat yang berhubungan dengan ushūluddin, bukan hakikat-hakikat ilmiah, dan bukan dengan elaborasi penyingkapan ilmiah, kebenaran wahyu hakiki akan tergapai, karena al-Qur’an bukanlah ringkasan ilmu-ilmu fisika, biologi, atau kimia. Sekalipun demikian, sejarah telah mencatat keberhasilan ulama-ulama terdahulu yang telah melahirkan disiplin-disiplin pengetahuan dari pendalaman mereka terhadap al-Qur’an, sesuai dengan afiliasinya masing-masing. Sepertinya Arkoun dengan proyek kritik nalar Islamnya hendak menggiring sejarah Islam pada fase pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Menempatkan agama sebagai pengetahuan yang bersifat mitos dan ia berada di pihak pengetahuan yang bersifat rasional. Dengan menggunakan disiplin ilmu humaniora, antropologi, arkeologi pemikiran dll, ia ingin menunjukkan pada umat Islam bahwa al-Qur’an tidak lepas dari historisitas, dan bahkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang lahir dari padanya didakwakan sebagai penyebab kejumudan nalar Islam. Arkon tidak memperhitungkan seluruh informasi yang menyatakan ke-otentikan transmisi dan kompilasi al-Qur’an. Sekalipun seluruh informasi itu bisa diuji dan dibuktikan keilmiyahannya. Perlu kita ketahui, sosiologi sebagai disipilin ilmu humaniora, demikian juga antropologi sebagai anak cabangnya, bukan merupakan disiplin ilmu normatif melainkan



suatu disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang seharusnya terjadi. Sebagai suatu pengetahuan, sosiologi membatasi diri terhadap “penilaian ideologis” atau subjektivitas tertentu. Artinya tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang, dalam arti memberikan petunjukpetunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan maupun keagamaan dari proses lawatan sejarahnya. Pandangan-pandangan sosiologis tidak dapat menilai apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar dan apa yang salah serta segala seuatu yang bersangkut terhadap nilai kemanusian. Dengan demikian, sosiologi hanya merupakan ilmu pengetahuan murni (pure science) dan sama sekali bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atau terpakai (applied science). Dari sudut penerapannya ilmu pengetahuan menjadi dua bagian. Ilmu pengetahuan murni adalah ilmu yang bertujuan membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak hanya untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakan dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan terapan adalah ilmu yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu tersebut dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat maupun keagamaan. Dalam Hal ini, sosiologi bukanlah pengetahuan ilmu terapan, sebab hanya bertujuan mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan.17 Dengan teori ilmu linguistik-semiotik modern Arkoun menamakan Kalam Allah yang ketika di al-lauh al-Mahfuzh belum terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh sebagai parole. Penamaan ini tentu sangat bermasalah, pasalnya dengan penamaan itu, agar parole ini mampu dipahami oleh manusia dibumi, maka parole harus menyesuaikan diri dengan bahasa manusia yang disitilahkan dengan langue, dimana parole harus tunduk dengan sistem bahasa, sosial dan budaya manusia. Dalam pandangan Arkoun, seakan-akan al-Qur’an harus tunduk dengan system bahasa Arab, padahal tidak demikian, justru al-Qur’an lah yang telah menundukkan dan merubah semantic dans ystem bahasa Arab. Menurut al-Attas, Al-Qur'an telah mengislamkan bahasa Arab pra-Islam, yang pada waktu itu masih mencerminkan pandangan dunia jahiliah, dengan cara menyusun dan membentuk kembali struktur konsep, bidang-bidang semantik dan perbendaharaan katanya. Karena bahasa Arab yang dibawa oleh al-Qur'an adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah 17



Soerjono Soekanto, “Sosiologi: Sebuah Pengantar”, (Rajawali Press, cet. XXVI, 1990), hlm. 21



kosa-kata pada saat itu telah di Islamkan maknanya. Khususnya istilah-istilah dan konsepkonsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup Islam. Beberapa contoh konkrit yang dipaparkan oleh al-Attas adalah kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karam). Dua kata tersebut adalah bagian dari sejumlah elemen penting dalam pandangan dunia kehidupan pr-Islam yang maknanya berhubungan erat dengan kepemilikan banyak anak, kekayaan dan karakter tertentu yang dianggap mencerminkan kejantanan. Al-Qur'an mengubah makna tersebut dengan sangat mendasar, dengan memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwa). Al-Qur'an menyebutkan: "Sesungguhnya yang



paling



mulia



disisi



Tuhanmu



adalah



orang



yang



paling



bertakwa."



Selain itu, al-Qur'an juga merubah semantik dasar dari kata karim. Kemuliaan disini diasosiasikan dengan al-Qur'an: Kitab Karim atau ucapan kepada orang tua dengan qaul karim. Padahal orang-orang Arab sebelum Islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan pengarang dan membaca puisi. Contoh lain terjadi juga kepada kata persaudaraan (ikhwah), yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan darah, dan tidak merujuk kepada makna lain. Al-Qur'an lagi-lagi mengubah ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.18 Jika lafazh dan bahasa al-Qur'an terpengaruh oleh sejarah dan sosial budaya Arab, maka bahasa al-Qur'an akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam al-Quran dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn Mas’ud tidak tahu makna fathara. Pun, Abu Bakr dan Umar soal makna abb. Selain itu, wujud al-ahruf almuqata’ah di dalam al-Quran tidak sesuai dengan perkembangan sastra Arab saat itu. Menurut Arkoun al-Qur'an yang sekarang ini sudah tidak sama lagi ketika masih di allauh al-mahfuzh, baik lafazh maupun maknanya. Pendapat ini sangat bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama. Menurut informasi az-Zarqani, ulama telah bersepakat, dimanapun tempat al-Qu'ran dibaca ia tetap Kalam Allah, ketika ia di al-lauh al-Mahfuzh yang selalu dijaga, ketika ia tertulis di atas mushaf atau kulit, terukir di atas batu, dihafal 18



Fahmi Salim, “Kritik terhadap Studi al-Qur'an Kaum Liberal”, (Jakarta: Perspektif, 2010),hlm, 362



dalam hati, diucapkan oleh lisan, ia tetap Kalam Allah yang masih terjaga baik lafazh maupun maknanya. Siapa saja yang mengingkarinya dia telah kafir. Pandangan jumhur ulama di atas bukannya tanpa alasan. Dengan pemahaman bahwa alQur'an adalah petunjuk (hudan) bagi manusia, sudah seharusnya pesan-pesan Allah dapat termuat seluruhnya dalam al-Qur'an atau wahyu yang di-tanzil-kan. Jadi mana mungkin Allah tidak kuasa memasukkan semua pesan-pesan-Nya dalam wahyu yang di-tanzil-kan. Kalau pemikirannya Arkoun diterapkan, berarti Allah belum menurunkan al-Qur'an dengan sempurna. Anggapan ini bertentangan dengan Firman Allah sendiri yang menyatakan bahwa agama Islam/al-Qur'an telah diwahyukan dengan sempurna kepada umat manusia. Dalam hal ini, argumentasi Arkoun tidaklah tepat. Para ulama juga tidak mempermasalahkan adanya standarisasi mushaf al-Qur'an. Namun tidak dengan Arkoun, ia menganggapnya bahwa dengan adanya standarisasi mushaf berakibat hilangnya makna-makna yang sama persis ketika pada masa kenabian. Dalam memahami mushaf al-Qur'an, Arkoun memang salah paham, ia menganggap yang namanya al-Qur'an untuk saat ini adalah mushaf yang sudah dibakukan. Anggapan ini tidaklah benar, masalahnya, pada dasarnya al-Qur'an bukanlah tulisan (rasm atau writing) atau mushaf, ia merupakan "bacaan" (qiraat atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan membaca alQur'an adalah membaca dari ingatan. Tulisan hanya berfungsi sebagai penunjang semata.19 Menurut Abdul Shabur Syahin, penulisan al-Qur'an atau dibakukannya dalam sebuah Mushaf berfungsi untuk memelihara teks secara valid, sehingga setiap generasi dapat mengetahui tentang hakikatnya. Lagi pula, dengan adanya Mushaf standar, hukum bacaan beserta cara membacanya masih tersimpan dengan baik sampai sekarang. Sudah menjadi maklum, kalau ingin memperbaiki bacaan al-Qur'an, tidak mungkin dapat tecapai, kecuali dengan mempelajarinya dari orang-orang yang mempelajari bacaan al-Qur'an dengan metode langsung dan sima'i kepada para ahli baca al-Qur'an, bukan kepada orang Mushafi atau shahafi.



19



Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara membaca al-Qur'an, dalam situs http://islamlib.com/id/artikel/caramembaca-al-quran/Diposting tanggal 09 Juli 2002



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN



Tradisi mengkaji al-Qur’n dikalangan orientalis telah berjalan cukup lama. Tapi kajian mereka tentu tidak sama dengan kajian para ulama. Ketika para orientalis mengkaji alQurÉn, mereka memang merujuk kepada sumber-sumber Islam. Namun sikap mereka yang selektif terhadap fakta-fakta sejarah al-Qur’n menunjukkkan adanya suatu kepentingan tertentu. Upaya untuk meruntuhkan otentisitas Mushaf tampak lebih menonjol dibanding tujuan lainnya. Syubhat ini kemudian dilanjutkan oleh intelektual Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Arkoun. Bahkan, di atas syubhat tersebut ia membangun mega proyeknya yaitu ‘kritik nalar Islam’. Proyek inipun langsung menyentuh sisi paling sensitif dalam bangunan epistemologi Islam. dengan kajian ini, ia berharap bisa membebaskan umat Islam dari belenggu doktrinitas yang telah berlaku sejak meninggalnya rasulullah Muhammad saw. Ia berusaha memutus jalur ilmu pengetahun Islam. Namun, sebagaimana mereka orientalis dan para penyeru nihilisme, Arkoun tidak menyuguhkan solusi bagi kebangkrutan nalar yang sudah ia bongkar. Ia hanya mengkaji, mendekonstruksi dan disaat yang sama ia membiarkan ideiologi Islam tercerai berai. Berbagai pendekatan ilmu modern, yang dipakai Arkoun untuk memahami al-Qur'an, telah meletakannya pada status immanen. Dan pada akhirnya, Arkoun menyamakan status al-Qur'an dengan kitab suci agama lainnya, seperti Taurat dan Injil, yang secara historis dan teologis sudah memiliki problem tersendiri. Tujuannya Arkoun dengan studi baru alQur'an adalah agar ia tidak dianggap sakral lagi sehingga dapat dikaji dengan kritis seperti Taurat dan Injil.



DAFTAR PUSTAKA



BUKU : Arkoun Muhammad, 1999 ”Kajian Kontemporer Al-Qur’an”, (Bandung: Penerbit Pustaka), Arkoun Mohammed, 2001, “Islam Kontemporer Menuju Dialog antara Agama”, terj. Ruslani. (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar), Abdullah M. Amin, 2004, “ Falsafah Kalam di Era Postmodernisme” memasukkan Mohammed Arkoun sebagai di antara filosof postmodernisme. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), Mouleman Johan Hendrik, 1994 ,“Riwayat Hidup dan Latar Belakang Mohammad Arkoun" Kata Pengantar dalam Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern:: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS ), Meuleman



Johan



Hendrik,



1996,



Tradisi,



Kemodernan



dan



Metamodernisme,



Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, (Cet. II; Yogyakarta: LKiS,), Polmer, Richard. 2005. “Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), Salim Fahmi, 2010, “Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal”, (jakarta: Gema Insani,) Soerjono Soekanto, 1990, Sosiologi: Sebuah Pengantar, (Rajawali Press, cet. XXVI), Hasan Shalihu Abdul Karim, 2003, “Pendekaan Historis untuk Al-Qur’an”, (UII Malaysia,) MAKALAH/JURNAL/WEBS H. Meuleman Johan, 1993, “Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v, Tamara M. Nasir, 1994 , “Pandangan Sosial Politik Mohammed Arkoun”, Makalah Seminar Sehari Pokok-Pokok Pemikiran Mohammed Arkoun, (IAIN Jakarta, 13 Juli.) http://hamzah-harun.blogspot.co.id/2012/02/karya-karya-mohammed-arkoun.html http://download.portalgaruda.org/article.php?articlePEMBACAANALQURMENURUTMOHAMMEDARKOUN https://afidburhanuddin.files.wordpress.com/2012/11/arkound_ed.pdf Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara membaca al-Qur'an, dalam situs http://islamlib.com/id/artikel/cara-membaca-al-quran/Diposting tanggal 09 Juli 2002