Holistic Parenting Ala Maudy Ayunda [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Holistic Parenting ala Maudy Ayunda & Mayesa Hafsah Kirana Tulisan ini berawal dari kegalauan Maudy Ayunda yang bingung akan melanjutkan studi S2nya antara Harvard University atau Stanford University. Karena itu pula, sempat membuat heboh jagad dunia maya sampai Najwa Shihab membuat interview khusus dan eksklusif dengan Maudy. Sudah nonton? Wajib ditonton dulu bagi yang belum nonton. Watch this.. Video Gimana? Level kegalauannya beda jauh yak sama kita. Nah pertanyaannya, pola asuh orang tuanya bagaimana ya? Bisa paket komplit begitu. Coba nanti kita bahas tentang parenting style dari orang tua seorang Maudy Ayunda, yang belum banyak orang tahu. Baca sampai habis supaya ilmunya bisa maksimal ya, hehe. Sebelum lanjut membahas lebih dalam, menurutku, Maudy Ayunda ini layak dan ideal menjadi seleb panutan, karena super cemerlang di akademis dan non akademis, begitupun dengan karir musik dan seni perannya yang sering mendapatkan penghargaan, selain itu Maudy juga seorang aktivis dan pembicara isu-isu global, juga berjiwa sosial dengan membuat program mentorship dan beasiswa Maudy Foundation, yang membuatnya banyak memiliki prestasi tanpa sensasi. Life seems unfair ngga sih wkwk, bisa seperfect itu :D Itu kan hasilnya, kira-kira gimana kondisi orang tuanya dulu waktu mendidiknya sewaktu kecil? Simpan dulu pertanyaannya. Kalau Maudy Ayunda adalah contoh orang dewasa yang prestatif, dan sudah nyata hasil didikan dari orang tuanya, lain halnya dengan Mayesa Hafsah Kirana, biasa dipanggil Kirana. Ia adalah seorang anak kecil usia pra sekolah yang sangat cantik, cerdas dan menggemaskan. Merupakan putri dari ibu Retno Hening, beliau adalah seorang ibu muda dan menjadi influencer parenting yang memiliki 1,2 juta followers di instagram. Dan aku belajar banyak dari beliau karena sudah mengikuti beliau sedari followersnya masih ratusan ribu sampai kini sudah jutaan, sejak Kirana masih usia tiga tahunan, sampai kini sudah lulus TK, berasa keponakan online sendiri, hehe. Bisa ku bayangkan, kalau Kirana ini kelak saat dewasa, akan 11-12 sama seperti Maudy Ayunda. Lalu, apa rahasianya, parenting style apa yang diterapkan pada Maudy dan Kirana? Berdasarkan sumber-sumber relevan yang sudah ku cari, pola asuh yang digunakan pada Maudy dan Kirana menggunakan pendekatan pengasuhan holistik. Menurut web id.theasianparent.com, pendekatan pengasuhan holistik meliputi ciri secara umum berikut, 1. Orang tua dengan pengasuhan holistik memberikan contoh yang baik kepada anak melalui perilaku orang tua itu sendiri. 2. Orang tua menghargai perbedaan kepribadian anak dan memberikan keleluasaan kepada anak untuk mengembangkan keyakinan mereka sesuai kepribadian dan potensi masing-masing 3. Anak-anak lebih memiliki kesadaran batin dan menghargai lingkungan sekitarnya. Ketiganya, bisa kita breakdown menjadi poin berikut ini..



Tidak Membandingkan Anak Menurut cerita dari versi ibunya Maudy Ayunda, bahwa beliau tidak pernah membandingkan Maudy dengan adiknya, mereka mampu tumbuh dengan baik serta antara Maudy dan adiknya memiliki kedekatan persaudaraan yang sangat harmonis, karena sejak Maudy kecil, ibunya selalu bersikap adil dan bijak dalam memperlakukan kedua anaknya. Begitu pun kalau berkaca pada Ibu Retno Hening, hal yang sama juga diterapkan ketika Kirana mulai memiliki adik perempuan saat usianya masih empat tahun. Bukan hal yang mudah memang dan bukan hal yang tanpa drama serta pengorbanan, tidak bisa bimsalabim langsung bisa menjadi orang tua yang adil. Pun pada awalnya, Kirana sempat mengalami fase sibling rivalry (merasa cemburu ketika sadar bahwa ia memiliki adik), takut dan sedih bilamana perhatian orang tuanya terbagi, khawatir bila terlupakan ketika orang tua kelihatan lebih sayang pada saudara yang lain. Yang saat ini menjadi seorang kakak, pasti pernah merasakannya, ya kaaan? Poin penting bagi orang tua yang memiliki anak lebih dari satu adalah tidak membandingkan anak. Sepertinya kita lazim mendengar ungkapan, “dek, kamu belajar dong yang rajin kayak kakak..” “dek, kenapa kamu gabisa anteng kaya kakakmu?” atau, “kak, makannya dihabiskan, malu tuh kalau dilihat sama adek..” Niatnya memotivasi anak karena ada pembandingnya secara langsung. Padahal mah, membandingkan anak tidak akan membuat anak termotivasi, malah memberikan dampak yang serius dan bisa berefek seumur hidup. Adapun dampaknya jika dilansir dari laman www.woop.id 1. Anak merasa rendah diri Gimana engga, sedikit sedikit yang disebut kakak atau adiknya, lalu lama kelamaan muncullah persepsi bahwa ia tidak akan bisa lebih baik 2. Tertekan Saat dituntut untuk bisa menyamai saudaranya namun ia tidak mampu (dan mungkin tidak ingin karena tidak sesuai dengan kesukaannya), muncullah perasaan tertekan karena ia tidak bisa memenuhi ekspektasi orang tuanya 3. Iri/persaingan antar saudara Perasaan sayang antar saudara bisa berlanjut menjadi benci dan iri, karena merasa saudaranya lebih diterima dan diunggulkan oleh orang tuanya 4. Menjaug dari orang tua dan keluarga Akumulasi dari ketidaknyamanan di atas, bisa menjadi perasaan tidak terima dan tidak dipahami oleh keluarga. Anak akan belajar untuk tidak mengharap kasih sayang dari orang tuanya dan mencarinya di luar lingkungan keluarga Terus bagaimana biar tidak berdampak buruk? Kan wajar yaa dimotivasi seperti saudaranya yang lain?



Nanti inshaAllah akan ada pembahasan lain, biar ndak panjang, sebab ini sudah hampir 800 kata wkwkkw. Konsep Keseimbangan “Dulu kalau aku terlalu rajin sekolah, orang tua malah ngomel. Maksudnya ya harus rajin biasa aja, jangan sampai lupa hal lain.” Tutur Maudy Memang, Maudy mengaku bahwa kedua orang tuanya senantiasa menerapkan konsep keseimbangan sejak ia kecil, dalam hubungan sosial, pendidikan, dan berbagai hal penting lainnya. Fenomena seringnya, yang ada anak jadi dimarahin kalau ngga belajar.. Konon ibunya Maudy ini sempat khawatir waktu anaknya nilainya bagus-bagus semua dan dapat award. Sebab takut akan dimusuhi teman-temannya. Sekolah memang penting. Namun akademik bukan segalanya untuk kehidupan kita. Masih ada attitude, sikap, kerja keras, dan skill lain yang bisa lebih menentukan kesuksesan daripada sekadar prestasi akademik. Daripada ngepush anak untuk selalu juara kelas, kenapa tidak digunakan untuk mengembangkan soft skill lain yang akan berguna nantinya? Menurut Howard Gardner, tipe kecerdasan anak (Multiple Intellegence) itu ada 10. Foto Anak yang nilainya kurang bagus di pelajaran IPA dan Matematika, bukan berarti ia tidak cerdas. Mungkin kecerdasannya unggul di verbal dan interpersonal, sehingga berpotensi menjadi pemimpin. Tapi kalau kita kurang jeli melihat potensi anak dan mempush untuk cerdas seperti yang kita inginkan, jadi sayang kan. Salah satu upaya yang dilakukan orang tua Maudy adalah mengembangkan seoptimal mungkin potensi yang dimiliki. Dengan membiasakan putrinya mengikuti berbagai macam kegiatan adalah bekal lebih baik dibanding hanya memberinya buku pelajaran untuk senantiasa dibaca. Seperti dikutsertakan dalam kegiatan les piano, nyanyi, nari dan lainnya. Sebagai orang tua yang baik tidak pernah melarang Maudy untuk mencoba hal baru, sepanjang hal tersebut positif. Begitu pula dengan Kirana, ia tumbuh menjadi anak yang pintar dan cerdas dari aspek IQ, EQ maupun SQnya. Ia memiliki kecerdasan intrapersonal (mencintai diri sendiri dan self-care, karena ibunya yang selalu mengajarkan “Gapapa, it’s okay, I Like My Self” saat Kirana sadar akan kekurangannya, apalagi Kirana sempat mengidap Dermatitis Atopik sewaktu bayi), kecerdasan interpersonal (memiliki empati yang tinggi dan emosi yang baik, sebab dibiasakan untuk selalu mengucap please, thank you dan sorry) dan kecerdasan-kecerdasan lainnya. Sejak kecil sudah dikenalkan untuk mengeksplorasi hobi. Kelas renang, kelas mengaji, dan yang terakhir, Kirana diikutkan dalam kelas beladiri Aikido.



Dan yang paling keren adalah, Kirana telah ditanamkan nilai nilai tauhid (mengenal dan mengesakan Allah) sejak kecil. Selalu ditanamkan nilai nilai agama melalui contoh dari perilaku orang tuanya. Sesederhana mengucap salam, menggunakan sepatu dari kaki kanan, makan mengucap bismillah dan harus posisi duduk, hakikat Surga dan Neraka, keberadaan Allah, sholat dan puasa, sejak kecil juga sudah hafal 10 ayat Al Kahfi dan Ayat Kursi hanya karena mendengar dari ibunya yang biasa melantunkan, dan contoh-contoh lain. Quality Time dengan Bermain Bersama Anak “Aku sewaktu kecil sangat kaya interaksi, jarang dengan televise dan lebih sering diajak bermain bersama dengan mamah seperti role play begitu..” Ujar Maudy Ayunda. Sering bermain secara langsung bersama ibunya, membangun Maudy menjadi anak yang memiliki kreativitas dan imajinasi tinggi. Pun sama halnya dengan Kirana, ibu Retno Hening adalah seorang full time mother, yang rela menanggalkan gelar sarjananya demi full time menjadi seorang istri dan ibu, di mana beliau selalu membersamai anak-anaknya untuk bermain. Hampir semua postingan instagram ibu Retno adalah soal metode bermain dan pendampingannya kepada Kirana dan Rumaysaa. Banyak inspirasi permainan juga kalau kita biasa menyimak postingan ibu Retno. Kabar baiknya buibu, permainan semahal apapun tidak menjamin anak lebih cerdas, kalau kita tidak terlibat di dalamnya. Kadang orang tua zaman sekarang, biasa memberi mainan ke anak, lalu sibuk sendiri mengerjakan yang lain. Khususnya bagi IRT yang merangkap peran menjadi wanita karir yang seharian lelah di kantor, atau yang capek dengan urusan rumah tangga, di mana anak meminta main bareng, enaknya dikasih mainan aja, iya ngga? Biarlah anak main sendiri, biar kita bisa selonjoran sambil scrolling sosmed, yang penting aman dijagain. Ya gapapa sih kadang kalau anak main sendiri. Ini penting biar ibu bisa tetep “waras” dengan me time. Namun hati hati ya jangan terus menerus menyuruh ana main sendiri. Karena sebenarnya, siapa yang butuh main bareng? Dua duanya lho~ Orang tua butuh main bersama anak, anak pun butuh main bareng orang tua. Kita kupas ya manfaat bermain bagi orang tua dan anak. Manfaat bermain bersama bagi anak 1. Mengembangkan kemampuan bahasa dan komunikasi 2. Mengembangkan social skill dan kemampuan kolaborasi



3. Saat role play, mengajarkan empati bagi anak karena melatih anak untuk melihat dari sudut pandang orang lain 4. Sarana yang baik untuk bereksperimen, bereksplorasi dan investigasi 5. Melatih kepekaan sosial 6. Memunculkan kreativitas dan imajinasi 7. Jika anak bermain dengan gembira bersama orang tua, anak akan memproduksi hormon dopamine 8. Anak leluasa mengekspresikan perasaan dan idenya karena berada dalam kondisi tenang dan senang Sebaliknya, manfaat bermain bersama bagi orang tua 1. Saat orang tua enjoy bermain bersama anak, otak aan mengeluarkan hormone “cinta” oksitosin 2. Bermain merupakan cara paling efektif untuk mendidik anak, menanamkan value yang baik karena anak dalam kondisi senang dan siap mendengarkan 3. Meningkatkan kreativitas dan tentunya memperkuat bonding, sebagai dasae hubungan kuat dengan anak hingga dewasa kelak



Tapi, main bersama anak gabisa sembarangan ya. Ada Do and Don’t-nya. Salah cara, malah anak menjadi tertekan dan ngga efektif. Bermain juga harus seimbang antara ibu dan ayah, karena aspek yang dilatih berbeda. Mainan itu hanya benda mati. Kita orangtuanya lah yang memberi “ruh” pada mainan itu menjadi ativitas bermain yang ngga hanya menyenangkan, namun juga penuh pelajaran berharga. Jangan lupa untuk senantiasa memberi apresiasi positif apapun terhadap keberhasilan anak! Karena itu penting dan sangat berharga bagi anak. Menumbuhkan Kecintaan pada Buku dan Proses Belajar Mungkin ini jawabannya, bagi yang penasaran kenapa Maudy itu bisa sepintar itu. Orangtuanya lah yang memperkenalkan buku dengan begitu menyenangkan, hingga ia jatuh cinta pada dunia literasi. Orangtuanya juga membentuk persepsi bahwa belajar adalah proses yang menyenankan, hingga ia haus akan ilmu dengan sendirinya. Kalau ibu Retno memiliki strategi dalam menumbuhkan minat baca anak, adalah dengan membentuk persepsi anak bahwa buku=mainan=teman. Sejak bayi, Kirana sudah dikenalkan dengan buku, meskipun Kirana belum bisa berbicara, membaca maupun menulis. Dan Kirana menganggap buku tersebut adalah sebagai mainan, sehingga sampai saat ini, Kirana gemar sekali membaca buku dan menganggapnya sebagai teman. Bahkan hal ini sudah dibiasakan sejak Kirana dalam kandungan. Ibunya sering mendongengkan dengan penuh penjiwaan kepada Kirana sejak ia dalam kandungan. Jenis bukunya juga disesuaikan dengan usia anak. Saat Kirana masih bayi dan belum bisa bicara dengan bahasa yang baik, buku yang dikenalkan adalah buku cerita yang bertekstur untuk merangsang indra perabaan sang anak. Namun tetap plot cerita diceritakan oleh sang Ibu. Baru ketika Kirana beranjak bisa



berbicara dan membaca, buku yang diberikan layaknya buku-buku cerita seperti pada umumnya yang banyak memberikan visualisasi gambar. Juga sejak kecil, Kirana sangat senang belajar. Melakukan kesalahan bukan menjadi hal yang buruk bagi Ibu Retno Hening terhadap anaknya. Kalimat magic yang selalu diajarkan adalah, “Ndakpapa, itu namanya belajar..” Hebat bukan? Sebelum lebih jauh menumbuhkan minat baca pada anak, terlebih dulu sebagai orang tua, harus senang belajar dong yaa~ At least belajar tulisan-tulisan seperti ini, hehe. Menumbuhkan Kepekaan Sosial Dulu, Maudy mendapatkan tawaran main film “Untuk Rena”, berperan sebagai anak yatim piatu. Ibunya melihat kalau hal itu bisa menjadi pelajaran yang baik untuk Maudy. Waktu itu Maudy masih berusia 9 tahun dan selama syuting, ia main dan tidur bareng dengan teman-temannya di panti asuhan. Dia mengatakan kalau pengalaman syuting pertama itu memiliki dampak yang besar karena melihat kondisi anak-anak lain yang jauh beda dengannya. Hal tersebut yang membantu mendorong Maudy untuk berani bersuara dan mengambil aksi untuk membantu orang lain di sekitarnya. Sama halnya dengan Kirana, sejak kecil pun juga sudah memiliki empati dan kepekaan sosial yang tinggi. Karena Ibu dan Ayahnya sering menceritakan potret kehidupan orang-orang fakir, anak yatim, bahkan Kirana paham dan bisa merasakan penderitaan dari saudara sesama Muslim di Palestina dan Suriah. Sehingga seringkali Kirana menjadi model utama dalam Social Campaign-nya lembaga Act For Humanity. Melatih Anak Berfikir Kritis dan Berani Berpendapat Bagian yang paling harus dihighlight dalam tulisan ini adalah melatih berfikir kritis pada anak dan melatihnya untuk berani berpendapat. Misal dengan melibatkan anak untuk menyelesaikan atau berdiskusi berbagai masalah sederhana di rumah. Dari hal sederhana, misal pilihan menu masakan untuk pertemuan keluarga dan dibiasakan untuk menanyakan alasan kenapa anak memilih keputusan tersebut. Berfikir kritis terdiri dari banyak aspek dan cara mengasahnya pun berbeda-beda sesuai tahapan usia, ada bahasan lebih detail dan keilmuan khusus tenntang Psikologi Berfikir Kritis. Yang pasti, berfikir kritis harus dimiliki semua orang terutama di zaman millennial ini. Kenapa berfikir kritis itu penting? 1. Melatih anak mengambil keputusan dengan tepat dan mempunyai sikap 2. Melatih untuk berfikir secara terstuktur, cermat dan logis serta menghasilkan hal baru 3. Yang terpenting di era millennial, membantu anak membangun perlindungan diri dari informasi yang kurang tepat, sehingga terhindar dari penggunaan informasi yang tidak tepat Karena hoax ada dimana-mana euy~ Foto Critica Bayi bahkan sudah berlatih berfikir kritis karena secara alami mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Contohnya, bayi seringkali melempar sendok dan makanannya ketika merasa tidak cocok,



kenapa? Salah satunya karena mereka ingin tahu apa yang terjadi kalau makanannya dilempar, ke mana perginya, lalu apa respon orang tua. Biasanya apa respon orang tua? Ya marah, hehe. Padahal idealnya, kita bisa mengganti marahan dengan penjelasan, “Nak, kalau kamu lempar makanannya jatuh ke lantai, di lantai banyak bakteri dan kotor, jadi ngga bisa kamu makan lagi. Karena kalau kamu makan, bakteri masuk ke dalam perut dan kamu jadi sakit perut.” Percaya deh, anak yang belum bisa ngomong aja bisa banget diberi penjelasan begitu. Hal ini juga yang bisa ku pelajari dari Ibu Retno, sejak kandungan selalu diajak komunikasi, karena sudah tertanam keyakinan, kalau anak pasti paham jika diajak komunikasi meski belum bisa berbicara, anak memiliki bahasa yang berbeda, sebagai orang tua yang harus pandai menterjemahkan. Perlu latihan, latihan dan latihan berulang kali untuk melatih anak berfikir kritis dan caranya beda di tiap tahapan usia, serta butuh stock sabar yang banyak untuk melatih anak berfikir kritis. Mulai dari, 1. Menjawab pertanyaan anak dengan efektif Sifat alami anak adalah senang bertanya, dan jika ada waktu lebih, jawablah dengan eksperimen Foto 2. Jawab pertanyaan dengan pertanyaan Saat anak bertanya, ajak anak ikut memikirkan jawabannya dengan bertanya balik dan jangan lupa untuk diapresiasi 3. Bermain dengan Predictive Game Kalau kita lagi bacain buku/nonton video bareng, pause beberapa kali dan Tanya “kira kira habis ini apa ya?” Tanyakan pula alasan jawabannya. Hal ini melatih kemampuan memprediksi dan menghubungkan rangkaian kejadian 4. Mengajak anak berfikir dengan cara baru dan berbeda Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misal bertanya dengan, “Nak, sapu bisa untuk apa aja ya?” Awal-awal mungkin anak ngga langsung mengeluarkan ide, kita lah yang memberi contoh. “Selain bisa untuk nyapu, buat bersihin jaring laba laba di langit, jadi mainan sapu terbang, terus apa lagi ya?”. Anak akan belajar dan mencontoh cara berfikir kita. Jawaban anak bisa terdengar konyol. Tapi jangan lupa apresiasi! Agar anak makin semangat berfikir mengeluarkan idenya. Lebih jauh kita bisa melibatkan anak brainstorming untuk pemecahan masalah sederhana agar anak merasa dilibatkan. Mengasah anak berfikir kritis pada dasarnya bertujuan biar anak banyak berfikir dan pandai mengkomunikasikan, dan sebagai orangtua bisa rutin memberikan challenge pada anak dengan berbagai pertanyaan dan pandai mengapresiasi. Mudah-mudahan, kita pelan-pelan bisa mengganti kata, “sudah, nurut aja mama bilang”, “ya pokoknya gitu”, “sudah, ngga usah nanya mulu”, dengan kalimat yang membuat anak lebih produktif dalam berfikir. Epilog Pada akhirnya, indikator keberhasilan orangtua dalam mendidik anak menurutku tidak hanya tentang pencapaian dan prestasi anak. Masih banyak indikator lain, seperti kedekatan dengan orang tua,



attitude, agama, tingkat kebahagiaan, dan lainnya. Yang pasti, kita hanya bisa mengusahakan yang terbaik dengan terus belajar dan memperbaiki diri. Salah satu hal yang pernah aku baca dari tulisannya teh Nabilah Hayatina, seringkali pola pendidikan orangtua zaman sekarang adalah tidak mendidik sesuai fitrah. Dibenturkannya keinginan orangtua dengan jalannya fitrah anak. Dalam arti, tidak ada Allah dalam hatinya. Tugas kita adalah menjaga dan merawat fitrah anak. Menanamkan Allah padanya. Hingga saat nanti anak mulai kenal sholat, ia faham kepada siapa ia menghadap. Ketika ia sudah memiliki imaji positif tentang Allah, sholat, Al Quran, maka tidak akan ada bentuk perlawanan apapun darinya selain kebahagiaan bersamanya. Sepatutnya kita memulai membangkitkan kesadaran fitrah keimanan sejak dini bukan dengan memaksakan pelaksanaannya. Wallahu ‘alam. Sekian. Semoga bermanfaat []