Hubungan Bahasa Dan Faktor Sosial [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SOSIOLINGUISTIK HUBUNGAN BAHASA DAN FAKTOR SOSIAL



Disusun Oleh: 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Dewi Putri Pertiwi Arihunnisa Dzakhiroh Uma Fajar Utami Tri Wahyuni Ratri Rachma C. Hanifah Nurunnikmah



13201244011 13201241058 13201244013 13201241050 13201244008 13201244009



Bahasa dengan Kelas Sosial Bahasa dan Jenis Kelamin Bahasa dan Usia Bahasa dan Geografis Bahasa dan Religi Bahasa dan Pranata Sosial



PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016 BAB I PENDAHULUAN



Oleh Hanifah Nurunnikmah 13201244009 Menurut Sumarsono (2014: 1) sosiolinguistik berasal dari kata sosio dan linguistik. Sosio adalah masyarakat dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (dipelajari oleh ilmuilmu sosial khususnya sosiologi). Pada bidang sosiolinguistik akan dipelajari lebih dalam bagaimana hubungan bahasa dan masyarakat serta hal-hal yang berkaitan dengan bidang bahasa dan masyarakat. Salah satunya adalah hubungan bahasa dan faktor sosial. Sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian bahasa saja, melainkan juga sikapsikap bahasa, perilaku terhadap bahasa, dan pemakai bahasa. Dalam kajian sosiolinguistik memang ada kemungkinan orang mulai dari masalah kemasyarakatan kemudian mengaitkan dengan bahasa, tetapi bisa pula berlaku sebaliknya, memulai dari bahasa kemudian mengaitkan dengan gejala-gejala kemasyarakatan (Sumarsono, 2014: 2-3). Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat dan berbagai aspeknya (Rahardjo, 2010: 10). Pada sosiologi mempelajari antara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antar anggota masyarakat, dan tingkah laku masyarakat. Secara konkret, sosiologi mempelajari kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti keluarga, clan (subsuku), suku, bangsa. Selain itu, sosiologi juga akan mempelajari faktor sosial yaitu kelas sosial, jenis kelamin, usia, religi, geografi, pranata sosial, dan etnik (suku). Pada lapisan masyarakat ada semacam lapisan, seperti lapisan penguasa, dan lapisan rakyat jelata, atau ada kasta-kasta yang berjenjang, juga dipelajari di sosiologi (Sumarsono, 2014: 5-6). Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang memiliki sifat arbitrer atau semaunya, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Sementara jenis kelamin adalah sifat jantan atau betina; macam, kualitas; kasta, golongan dalam masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2014: 232). Pada makalah ini akan membahas beberapa pokok bahasan yaitu hubungan bahasa dengan faktor sosial yang meliputi kelas sosial, jenis kelamin, usia, religi, geografi, dan pranata sosial. Daftar Pustaka Rahardjo. 2010. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Retnoningsih, Ana., & Suharso. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya. Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.



Pertanyaan 1. Bagaimana hubungan bahasa dan kelas sosial? 2. Bagaimana hubungan bahasa dan jenis kelamin? 3. Bagaimana hubungan bahasa dan usia? 4. Bagaimana hubungan bahasa dan religi? 5. Bagaimana hubungan bahasa dan geografi? 6. Bagaimana hubungan bahasa dan pranata sosial? Outline A. Bahasa dan Kelas Sosial 1. Pengertian Kelas Sosial 2. Macam Kelas Sosial 3. Hubungan Bahasa dan Kelas Sosial B. Bahasa dan Jenis Kelamin 1. Pengantar 2. Perbedaan Bahasa Pria dan Wanita C. Bahasa dan Usia 1. Pengertian 2. Bahasa Anak 3. Bahasa Remaja 4. Bahasa Dewasa D. Bahasa dan Religi 1. Hakikat Bahasa 2. Perkembangan Bahasa dan Agama 3. Bagian-bagian Pokok Hubungan Bahasa dan Agama E. Bahasa dan Geografi 1. Pengertian Geografi dan Dialek Regional 2. Faktor Geografi 3. Hubungan Bahasa dan Geografi F.



Bahasa dan Pranata Sosial 1. Pengertian Pranata Sosial 2. Fungsi Pranata Sosial dalam Masyarakat 3. Hubungan Bahasa dan Pranata Sosial



BAHASA DAN KELAS SOSIAL Oleh Dewi Putri Pertiwi / 13201244011 A. Pengertian Kelas Sosial



Menurut P. A. Sorokin (via Pateda, 1987: 78) mengatakan social stratification means the differentiation of a given population into hierarchically superposed classes. Sorokin (via Pateda, 1987: 78), melihat stratifikasi itu dari segi ekonomi, politik, dan pekerjaan yang mengacu kepada bahasa yang dipergunakan oleh strata-strata tersebut. Menurut Sumarsono (2014: 43), kelas sosial (social class) mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Seorang individu mungkin mempunyai status sosial yang lebih dari satu. Beberapa pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa kelas sosial merupakan pembagian kelas dalam masyarakat yang memiliki kriteria tertentu. Kriteria pembagian kelas sosial meliputi segi agama, pendidikan, status ekonomi, dan keturunan. Kriteria pembagian kelas sosial dapat lebih dari satu status sosial pada setiap individu. Status sosial yang dimiliki setiap individu mampu mengacu pada bahasa yang dipergunakan dalam masing-masing kelas sosial. Kelas sosial dalam kemasyarakatan mencakup kesamaan golongan masyarakat yang sesuai dengan kriteria pembagian kelas sosial. B. Macam-macam Kelas Sosial



Menurut Kuntjaraningrat (via Thomas, 2007: 39-40), macam-macam kelas sosial di masyarakat Jawa terdiri atas empat tingkat yaitu wong cilik, wong sudagar, priyayi, dan ndara. Clifford Geertz (via Thomas, 2007: 39-40), membagi masyarakat Jawa menjadi 3 tingkatan yaitu: (1) priyayi, (2) orang yang berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, dan (3) petani dan orang kota yang tidak berpendidikan. Menurut Sumarsono (2014: 43), kelas sosial golongan terdidik misalnya seorang bapak dalam keluarganya yang juga berstatus sosial sebagai seorang guru. Selain itu, beberapa kelas sosial antara lain kelas sosial pedagang, kelas manajer, kelas buruh, dan kelas petani. Di negara-negara industri, kelas buruh sebagai kelas terendah biasanya masih digolongkan lagi menjadi kelas bawah, menengah, atas. Kelas atas dan menengah masih dibagi menjadi dua golongan yakni kelas atas-atas dan kelas atas-bawah. Beberapa pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa macam-macam kelas sosial merupakan golongan masyarakat yang menempati tingkatan sosial. Tingkatan sosial dalam



golongan masyarakat disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu. Kriteria dalam tingkatan sosial meliputi pekerjaan, jabatan, dan pendidikan. Di dalam masyarakat Jawa terdapat empat tingkatan yakni wong cilik, wong sudagar, priyayi, dan ndara. Selain itu, masyarakat Jawa juga digolongkan menjadi orang yang berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, petani dan orang kota yang tidak berpendidikan. C. Hubungan Bahasa dan Kelas Sosial



Menurut Nababan (via Thomas, 2007: 39-40), masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Jadi, variasi bahasa atau ragam bahasa yang digunakan di kalangan wong cilik tidak sama dengan wong sudagar dan lain pula dari bahasa yang digunakan para priayi. Variasi bahasa yang digunakan oleh orangorang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial yang lazim juga disebut sosiolek. Perbedaan variasi bahasa dapat juga terjadi apabila yang terlibat dalam pertuturan itu mempunyai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara maka masing-masing menggunakan variasi bahasa yang berbeda. Pihak yang memiliki tingkat sosial yang rendah akan menggunakan variasi bahasa yang lebih tinggi atau dalam bahasa Jawa di sebut bahasa krama inggil ketika berbicara dengan yang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi. Pihak yang memiliki tingkatan sosial yang lebih tinggi bebicara dengan yang tingkatan sosialnya lebih rendah maka variasi bahasa yang digunakan adalah variasi bahasa yang lebih rendah atau bahasa ngoko. Variasi bahasa yang penggunaanya berdasarkan pada tingkatan-tingkatan sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah undak usuk. Adanya tingkat-tingkat bahasa yang disebut undak usuk ini menyebabkan penutur dari masyarakat Jawa tersebut mengetahui lebih dulu kedudukan tingkat sosial terhadap lawan bicaranya (Nababan via Thomas, 2007: 39-40). Menurut Sumarsono (2014: 47), terdapat perbedaan regional dan kelas sosial dalam bahasa Jawa. Perbedaan kelas sosial dalam bahasa Jawa yaitu bahasa Jawa krama dan bahasa Jawa ngoko. Berikut ini contoh tabel perbedaan regional dan kelas sosial dalam bahasa Jawa.



Tabel 1. Perbedaan regional dan kelas sosial dalam bahasa Jawa Yogya-Solo



Surabaya



Krama



Ngoko



Krama



Ngoko



Saya



Kula



Aku



Kula



Aku



Kamu



Sampeyan Kowe



Sampeyan



Kowe



Tidak



Mboten



Mboten



Gak;dak



Bahasa Indonesia



Ora



Sudah Sampun Wis Sampun Wis Menurut Sumarsono (2014: 51), kelas sosial dan ragam baku di dalam bahasa Inggris terdapat perbedaan di kota Detroit (Amerika Serikat) dengan Norwich (Inggris). Di kota Norwich, subjek adalah kata ganti orang ketiga tunggal yang meliputi he, she, it, predikat kata kerjanya harus menggunakan sufiks –s. Di kota Detroit, penggunaan sufiks –s tidak sering muncul pada bahasa sejumlah orang. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kelas sosial semakin sedikit pemakaian kata kerja tanpa –s atau semakin sedikit penggunaan bentuk nonbaku. Kelas sosial dibagi berbagai tingkat yang terdiri dari kelas menengah tinggi (KMT), kelas menengah atas (KMA), kelas menengah bawah (KMB), kelas pekerja atas (KPA), kelas pekerja menengah (KPM), dan kelas pekerja bawah (KPB). Perbedaan hubungan bahasa dan kelas sosial lainnya yakni kota New York dengan Reading, Inggris. Perbedaan tersebut dijelaskan pada kutipan berikut. The results show that in New York City the lower one’s social status, as measured in terms of factors such as occupation, education, and income, the fewer postvocalic /r/ one uses, while in Reading the reverse is true (Romaine, 1994: 68). Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui tentang hasil penelitian yang menunjukkan bahwa di kota New York salah satu status sosial lebih rendah, diukur dari segi faktor-faktor antara lain pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan, semakin sedikit menggunakan postvokal /r/, sementara di Reading adalah sebaliknya. Menurut Romaine (1994: 68), perbandingan pengucapan postvokal /r/ antara kota New York dengan Reading, Inggris sebagai berikut.



Tabel 2. Perbandingan pengucapan postvokal /r/ New York



Reading



Kelas Sosial



32



0



Upper Middle Class



20



28



Lower Middle Class



12



44



Upper Working Class



0



49



Lower Working Class



Kesimpulan dari pendapat ahli bahwa hubungan bahasa dan kelas sosial dibedakan menjadi dua kategori yakni ragam bahasa atau variasi bahasa dan ragam baku. Bahasa dan kelas sosial pada ragam bahasa masyarakat Jawa terdapat perbedaan penggunaan bahasa antara wong cilik, wong sudagar, dan para priyayi; sedangkan dalam ragam baku bahasa Inggris masyarakat Detroit dengan Norwich terdapat perbedaan penggunaan sufiks –s dan dibagi menjadi enam kelas sosial. Hubungan bahasa dan kelas sosial di kota New York dengan Reading, Inggris dibedakan berdasarkan pengucapan postvokal /r/ yang dibagi menjadi empat kelas sosial. Daftar Pustaka Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. Romaine, Suzanne. 1994. Language in Society. New York: Oxford University Press. Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: PustakaPelajar. Thomas, Linda & Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



BAHASA DAN JENIS KELAMIN (GENDER) Oleh Arihunnisa Dzakhiroh / 13201241058 A. Pengantar Hubungan bahasa dan faktor sosial salah satunya terjadi karena adanya perbedaan jenis kelaim atau gender di dalam masyarakat. Dilihat dari beberapa pandangan ahli mengenai hubungan bahasa dan jenis kelamin, kita akan membahas mengenai penggunaan bahasa yang berkaitan dengan jenis kelamin atau gender. Bagaimana bahasa digunakan oleh pria dan wanita serta perbedaan apa saja yang terjadi di antaranya menjadi bagian dari uraian berikut. B. Perbedaan Bahasa Pria dan Wanita Sumarsono (2014: 101) mengemukakan bahwa perbedaan pria dengan wanita itu tidak mungkin langsung menyangkut masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal lain yang membersamai tutur. Hal-hal lain itu antara lain adalah gerak anggota badan (gesture), ekspresi wajah, volume suara dan intonasi. Contohnya dalam masyarakat Jawa, gesture dan ekspresi wajah seorang wanita dan pria berbeda, misalnya wanita yang sedang jengkel matanya akan mlerok sedangkan pria akan melotot. Dalam hal perbedaan volume suara, secara umum volume suara pria lebih besar daripada wanita. Pada beberapa suku dirasa bahwa suara wanita lebih lembut dibandingkan pria. Hal itu berkaitan dengan nilai sosial atau tata krama dan sopan santun. Contohnya dalam masyarakat Jawa, wanita yang berbicara dengan suara “keras” akan dianggap tidak sopan, sedangkan pria yang berbicara lamban akan dianggap “seperti wanita”. Selain itu fonem juga merupakan salah satu faktor pembeda pada bahasa pria dan wanita. Seperti yang terdapat pada logat bahasa Inggris Amerika bahwa vokal tutur wanita posisinya lebih meminggir atau menepi (lebih ke depan, ke belakang, lebih tinggi, atau lebih rendah) dibandingkan pria (Sumarsono, 2014: 103). Selanjutnya, Sumarsono (2014: 105) memberi penjelasan lebih mengenai perbedaan ragam bahasa antara pria dan wanita melalui beberapa hal berikut. Pertama pada kasus hindia barat, pria mempunyai sejumlah kosakata dan frase yang khusus untuk mereka. Sebaliknya wanita juga mempunyai kosakata dan frase khusus yang tidak pernah digunakan kaum pria, atau kalau digunakan mereka akan dicemooh. Kedua, adanya teori tabu yaitu menyangkut ketakutan roh gaib, berkaitan dengan sopan santun dan tata krama pergaulan sosial. Orang



yang tidak ingin dianggap “tidak sopan” akan menghindarkan penggunaan kata-kata itu. Ketiga, adanya teori sistem kekerabatan, contohnya pada bahasa Chiquito, bahasa Indian Amerika yang menganggap hubungan antara saudara laki-laki dengan saudara perempuan berbeda dengan hubungan antara saudara laki-laki dengan laki-laki. Hal itu yang menyebabkan adanya perbedaan kosakata antara pria dan wanita. Thomas dan Wareing (2007: 123) mengemukakan ada banyak bukti anekdotal yang menunjukan bahwa ada perbedaan pola antara bahasa pria dan wanita. Satu stereotif yang banyak beredar adalah bahwa wanita lebih banyak bicara daripada pria. Cara wanita berbicara sering digambarkan dengan menggunakan istilah-istilah yang jarang digunakan untuk menggambarkan cara pria berbicara seperti kata gossip. Perbedaan-perbedaan lainnya antara lain: a. pria lebih banyak menginterupsi atau memotong percakapan wanita daripada wanita menginterupsi pria maupun wanita, b. wanita lebih aktif daripada pria dalam memberikan dukungan terhadap lawan bicara (wanita lebih peka), c. wanita lebih enggan mengalami konflik sehingga mereka lebih suka menggunakan bentuk-bentuk diperhalus yang bisa memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat tanpa harus berlanjut pada konfrontasi terbuka, d. topik pembicaaraan wanita lebih bersifat personal seperti keluarga sedangkan topik pembicaraan pria lebih bersifat impersonal seperti pengetahuan teknik sepakbola. Selanjutnya perbedaan bahasa antara pria dan wanita dapat terjadi karena adanya perbedaan kekuasaan yaitu pria kecenderungan memiliki kekuasaan yang lebih besar dari pada wanita. Selain itu terdapat perbedaan yang disebabkan faktor biologis dan masalah sosialiasi antara pria dan wanita. (Thomas dan Wareing, 2007: 130) Brown (via Ohoiwutun, 2007: 89) mengungkapkan bahwa terdapat korelasi yang cukup menyakinkan antara sopan santun berbahasa dengan peran sosial wanita. Ia menegaskan bahwa sifat-sifat kebahasaan kaum wanita merupakan refleksi posisinya yang kurang beruntung serta lebih rendah dari kaum pria. Perbedaan bahasa antara pria dan wanita juga dijelaskan pada kutipan di bawah ini. This also suggests that explanations of differences between women’s and men’s speech behaviour which refer only to the status or power dimension are likely to be unsatisfactory. The social distance (or solidarity dimension) is at least as infl uential. Many of the features which have been identifi ed as characteristic of



women’s language are positive politeness devices expressing solidarity. And as will be illustrated in the discussion below, there are many other factors which are also relevant when comparing women’s and men’s use or language, including culture, social role and the formality of the context. (Holmes, 2013: 308) Kutipan ini mengungkapkan bahwa untuk menjelaskan perbedaan perilaku bicara antara wanita dan pria yang hanya berkenaan dengan status atau dimensi kekuatan kemungkinan besar menjadi tidak memuaskan. Rentang sosial (atau dimensi solidaritas) sedikit berpengaruh. Banyak ciri yang mengidentifikasi karakterisitk bahasa wanita itu sopan sebagai ekspresi solidaritas. Jadi, gambaran pada diskusi di bawah, ada banyak faktor ketika membandingkan penggunaan bahasa oleh wanita dan pria, mencakup budaya, peran sosial dan formalitas dalam suatu keadaan. Jadi, berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan pola bahasa yang digunakan oleh kaum pria dan kaum wanita. Hal-hal tersebut menyangkut status sosial, peran sosial, budaya, dan hal-hal yang membersamai tutur. Daftar Pustaka Holmes, Jonet. 2013. An Introduction to Sociolinguistics (Fourth Edition). Routledge.



New York:



Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik : Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Visipro. Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta : SABDA. Thomas, Linda; Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



BAHASA DAN USIA Oleh Uma Fajar Utami / 13201244013 Hudson mengatakan bahwa anak-anak sudah menyadari adanya bentuk-bentuk ujaran yang berbeda dan kenyataan bahwa terdapat perbedaan sosial di antara bentuk-bentuk itu sejak dini. Anak-anak pada usia 18 bulan sudah dapat memperhatikan bahwa dua hal dapat dinyatakan dengan kata yang berbeda, misalnya kata milk dalam bahasa Inggris dan dut dalam bahasa Garo (1995: 24). Berdasarkan usia kita dapat melihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh kanak-kanak, para remaja, orang dewasa, dan orang-orang yang tergolong lansia (lanjut usia). Perbedaan variasi bahasa di sini bukanlah yang berkenaan dengan isinya, isi pebicaraan, melainkan perbedaan dalam bidang morfologi, sintaksis, dan juga kosa kata (Chaer, 2004: 6465). Jadi anak-anak sudah dapat membedakan bahasa-bahasa sejak 18 bulan. Penggunaan bahasa dapat menentukan usia seseorang, penggunaan kosa kata tertentu hanya untuk usia tertentu. Pendengar akan dengan mudah menentukan umur seseorang hanya dengan mendengarkan pembicaraannya. Bahasa yang digunakan anak-anak tentu berbeda dengan yang digunakan oleh remaja, begitu juga dengan manula. A. Tutur Anak-Anak (balita) Anak mulai berbicara pada usia kurang dari 16 bulan dan usai kurang lebih tiga setengah tahun anak dikatakan sudah menguasai “tata bahasa” ibunya sehingga ia dapat berkomunikasi dengan orang dewasa secara sempurna. Pada masa awal perkembangan bahasa anak-anak itu mempunyai ciri antara lain adanya penyusutan (reduksi). Kata-kata yang bertahan adalah kata-kata kontentif atau kata penuh, yaitu kata yang mempunyai makna sendiri jika berdiri sendiri. Ciri lain universal ditinjau bidang fonologi, bunyi bilabial sangat umum diucapkan anak. Misal mak, mbok (Jawa), mpok (Jakarta), mam (Belanda) (Saleh, 2006: 63). Balita atau anak kecil masih belajar untuk menguasai bahasa. Selama lima tahun pertama anak balita masih menguasai tata bahasa dari bahasa ibu mereka serta berusaha mendapatkan kosakata yang memadai. Ada beberapa kata sifat tertentu yang sering digunakan untuk menyebut kategori usia tertentu dan jarang untuk usia lain, seperti wise (bijak), dignified (berwibawa), cantankerous (bawel), frail (rapuh) sering digunakan untuk



menyebut orang yang sudah tua. Sementara bouncing (suka melompat-lompat), cute (lucu), bratty (nakal), misbehaved (nakal), sering digunakan untuk anak kecil (Peccei via Thomas. 2007: 175- 181). Tutur anak untuk usia SD terdapat dua kemungkinan, mereka diajari bahasa ibu mereka sendiri dan diajari bahasa lain / asing yang berbeda dari bahasa ibu. Tutur anak pada usia ini bersifat inovatif karena menciptakan bentuk-bentuk baru (Saleh, 2006: 64). Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas bahasa untuk anak-anak yaitu lebih banyak kata-kata kontentif yang singkat padat seperti mak, mbok, awas, jangan, dan lain-lain. Terdapat beberapa kata-kata yang hanya digunakan untuk anak-anak seperti cute (lucu), bratty (nakal), jadi dengan hanya mendengar sebuah pembicaraan orang dapat menentukan berapa usia orang-orang tersebut. B. Tutur Remaja Saleh (2006: 64-65) mengemukakan bahwa masa remaja mempunyai ciri antara lain petualangan, pengelompokan (klik), “kenakalan”. Ciri ini tercermin pula dalam bahasa mereka. Keinginan untk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa rahasia yang hanya berlaku bagi kelompok mereka. Contoh : 1. Penyisipan konsonan V + vokal Contoh : Mati = ma+ ti  (ma+va) = ( ti+vi)  mavativi 2. Membalik-balik fonem dalam kata (ragam walikan) Contoh : Mata  atam Sari  iras Remaja memiliki banyak kreativitas seperti bahasa prokem yang muncul di Jakarta. Bahasa tersebut sebenarnya diciptakan oleh kaum pelancong, pencopet, bandit, dan sebangsanya atau bisa disebut juga preman. Kata prokem itu sendiri berasal dari preman dengan rumus sebagai berikut: 1. Setiap kata diambil 3 fonem (gugus konsonan dianggap satu) pertama: preman menjadi prem2. Bentuk itu disisipi –ok-, di belakang fonem ( atau gugus fonem) yang pertama, menjadi: pr-ok-em atau prokem. Contoh lain yaitu bokap ( Bapak = bap  b-ok-ap) Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja memiliki “kreativitas” bahasanya sendiri, mereka dapat menciptakan bahasanya sendiri yang kadang hanya dimengerti oleh kalangannya (geng) sendiri. Seperti bahasa “alay” yang merebak di kalangan remaja saat ini merupakan bahasa hasil kreativitas. Di Jakarta terdapat bahasa Prokem atau bahasa preman yang juga bahasa untuk anak remaja. C. Tutur Manula



Usia 65 ke atas yang sudah terampil dan berpengalaman dalam menggunakan bahasa. Namun banyak orang berpendapat bahwa usia tua akan menurunkan kemampuan komunikasi. Meskipun banyak penelitian yang menunjukkan bahwa proses penuaan itu sendiri tidak menimbulkan hilangnya keterampilan verbal yang serius, kecuali jika memiliki strok atau Alzheimer Disease. Kemampuan pendengaranlah yang berkurang (Peccei via Thomas. 2007: 181). Coupland (via Thomas, 2007: 185) juga mengatakan bahwa beberapa penelitian mendapati kemiripan anatara CDL (Child Direct Language) dengan bahasa manula, kemiripan ini terletak pada gaya bicara perawat. Kalimat-kalimat yang diucapkan lebih sederhana, menggunakan penggilan kesayangan, sering mengulang kalimat dan pertanyaan, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa manula hampir sama dengan bahasa anak-anak. Pendengaran manula sudah agak berkurang menjadikan perawat harus mengulang kalimat dan pertanyaan, menggunakan panggilan sayang jika berbicara kepada manula. Hal itu menjadikan bahasa manula mirip dengan bahasa untuk anak-anak. Usia adalah sebuah kategori budaya yang berperan penting, yaitu sebagai sebuah penanda identitas dan sekaligus sebagai sebuah faktor yang mempengaruhi variasi bahasa yang terjadi dalam sebuah masyarakat bahasa. Daftar Pustaka Chaer, Abdul. 2004. Sosiolonguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hudson, R.A. 1995. Soisolinguistik. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Saleh, Muhammad & Mahmudah. 2006. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Badan Penerbit Universitas Negeri Makasar. Thomas, Linda & Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



HUBUNGAN BAHASA DENGAN GEOGRAFIS Oleh Tri Wahyuni/ 13201241050 A. Hakikat Dialek Geografis Chaer dan Agustina (2010: 63) menyatakan dialek merupakan variasi bahasa dari segi sekelompok penutur yang jumahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Zulaeha (2010: 7) bahwa dialek geografi merupakan cabang linguistik yang bertugas mengkaji semua gejala kebahasaan secara cermat yang disajikan berdasarkan peta bahasa yang ada.



Dari pernyataan tersebut, dialek ini



didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek geografis atau dialek regional. Tujuan dari dialek geografis ini adalah tersedianya data bahasa bagi peneliti linguistik lain, seperti bagi linguistik historis komparatif. B. Ciri Hubungan Bahasa dengan Geografis 1. Batas Alam Ragam bahasa dialek regional dapat dibedakan secara jelas dengan dialek regional yang lain. Batas perbedaan itu bertepatan dengan batas-batas alam seperti laut, sungai, gunung, jalan raya, hutan, dan sebagainya. Secara linguistik dapat dikatakan, jika dua dialek regional berdampingan, di dekat perbatasan itu bisa jadi kedua unsur dialek itu akan “bercampur”. Semakin jauh dari batas itu, perbedaan itu semakin “besar” (Sumarsono, 2014: 45). Namun demikian, perlu diingat bahwa kriteria tersebut juga memiliki kelemahan. Daerah yang secara geografis letaknya berjauhan, tetapi memiliki bahasa atau dialek yang sama. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor perhubungan, perdagangan, transmigrasi, dan penjajahan. Sebaliknya, mungkin saja daerah yang secara geografis letaknya berdekatan, tetapi dianggap memiliki bahasa/ dialek yang berbeda. Kondisi ini juga bisa terjadi disebabkan oleh faktor peperangan. 2. Kesalingmengertian Suandi (2014: 36) mengungkapkan bahwa para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain, yang berada dalam dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga. Misalnya bahasa Jawa dialek Banyumas memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri yang dimiliki bahasa Jawa dialek Pekalongan, dialek Semarang atau juga dialek Surabaya.



Meskipun demikian, para penutur dialek Banyumas masih dapat berkomunikasi baik dengan para penutur bahasa Jawa dialek Pekalongan, dialek Surabaya, atau juga bahasa Jawa dialek lain. Hal tersebut dapat terjadi karena dialek-dialek tersebut masih termasuk bahasa yang sama, yaitu bahasa Jawa. Memang kesalingmengertian antara anggota dari satu dialek dengan dialek lain bersifat relatif; bisa besar, bisa kecil, atau juga sangat kecil. Namun, jika kesalingmengertian itu tidak ada sama sekali, maka berarti kedua penutur dari kedua dialek yang berbeda itu bukanlah dari sebuah bahasa yang sama, melainkan dari dua bahasa yang berbeda. 3. Loyalitas Dari uraian sebelumnya, terlihat bahwa ukuran untuk menentukan X dan Y itu dua dialek atau dua bahasa yang berdasarkan kesalingmengertian dan ketidaksalingmengertian menjadi lemah, dan ini mendorong kita untuk mencari ciri atau kriteria lain. Dalam hal ini Sumarsono dan Paina (2002: 24) mengungkapkan bahwa tampak juga ciri kesetiaan (loyalitas) akan adanya hubungan antara dua dialek atau antara sebuah dialek dengan “induknya”. Sebagaimana orang tetap menamakan bahasa Indonesia dialek Jakarta, bukan bahasa Jakarta, karena ada kesetiaan akan nama induk bahasanya, yaitu bahasa Indonesia. 4. Homogenitas Sumarsono dan Paina (2002: 24) juga mengungkapkan ciri lain yang disebut homogenitas, yaitu adanya kesamaan unsur-unsur bahasa tertentu. Para ahli dialektologi percaya apakah X dan Y itu dua bahasa, dua dialek, atau dua subdialek, ataukah hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20% atau kurang, keduanya adalah dua bahasa. Namun, jika bisa mencapai 40%-60%, keduanya dua dialek, dan kalau mencapai 90% misalnya jelas keduanya adalah dua variasi saja dari sebuah bahasa. Ciri-ciri suatu dialek dapat menyebar karena gerak penuturnya secara fisik, seperti perpindahan penduduk sehingga ciri dialek tersebut memperoleh daerah penyebaran geografis baru. Akan tetapi, ciri penyebaran dialek juga dapat terjadi tanpa perpindahan fisik, hanya dari mulut ke mulut. Hal ini dapat terjadi karena adanya media massa. C. Kesimpulan Dari uraian sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa dialek geografis merupakan salah satu cabang lingustik yang bertugas mengkaji semua gejala kebahasaan secara cermat yang disajikan berdasarkan peta bahasa yang ada, sehingga data penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti lain. Ciri hubungan dari bahasa dengan geografis ini yaitu batas alam, kesalingmengertian, loyalitas, dan homogenitas. Dalam penyebarannya, dialek geografis ini dapat terjadi secara fisik maupun nonfisik.



Daftar Pustaka Chaer, Abdul dan Leonie Agustine. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Suandi, I Nengah. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sumarsono dan Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Zulaeha, Ida. 2010. Dialektologi Dialek Geografi dan Dialek Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu.



BAHASA DAN RELIGI / AGAMA Oleh Ratri Rachma Chairinisa / 13201244008 A. Hakikat Bahasa Praptomo, (2012:6) Bahasa merupakan salah satu identitas manusia. Bahasa adalah salah satu hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Sumarsono, (2002:19-20) Bahasa sebagai alat komunikasi juga diabaikan. Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial (social behavior) yang dipakai dalam komunikasi. Bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah salah satu identitas manusia dalam melakukan komunikasi. Bahasa juga dianggap sebagai produk sosial bahkan tak terpisahkan dari kebudayaan. B. Perkembangan Bahasa dan Agama Perkembangan sistematis dari ‘bahasa dan agama’ sebagai suatu bidang dalam sosiolinguistik bahkan baru dimulai sekitar dekade lalu. Sejarah masuknya agama sebagai salah satu faktor penting dalam variasi bahasa dimulai Haugen dan Fishman, William Stewart dan Charles Ferguson antara tahun 60-80an dimana hasil penelitian mereka membeberkan hubungan antara agama dan bahasa. Ferguson (1982:95) menguatkannya dengan penelitiannya tentang korelasi distribusi sistem penulisan dunia dengan penyebaran agama. Dari sudut pandang sosiolinguistik dan sosiologi bahasa, studi sistematis antarmuka antara bahasa dan agama hanya benar-benar masuk ke langkah pada pergantian masa. Fishman’s assertion that “We now stand in the sociology of language and religion just about where we were relative to the sociology of language per se some 40 or more years ago” (Fishman, 2006:13). Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa sekarang ini kita mempelajari sosiologi bahasa dan agama hanya tentang di mana kita berada. Sosiologi bahasa dan agama relatif mulai digunakan sekitar 40 tahun yang lalu. Sosiologi bahasa, sosiolinguistik, dan agama saling berhubungan hanya saja benar-benar masuk pada saat pergantian masa.



C. Bagian-bagian Pokok Hubungan Bahasa dan Agama



Salah satu karya yang menjadi kerangka hubungan bahasa dan agama adalah Concise encyclopedia of language and religion, (Sawyer, 2001) yang diedit oleh Swayer dan Simpson. Ensiklopedia ini terdiri dari 6 bagian pokok : a. Bahasa dan konteks agama tertentu. Bagian ini terfokus pada fungsi bahasa dalam agama (agama tradisional Afrika, agama suku Aborigin Australia, Kristen, Buddha, Confucianisme, Islam, Judaisme, Quakerisme, Sikhisme) dan berfokus terutama pada peran bahasa dalam setiap agamaagama ini. b. Tulisan dan terjemahan yang disakralkan. Fokus bagian ini adalah pada teks sakral seperti Qur’an, Injil, Talmud, terjemahan teks-teks sakral tersebut serta temuan-temuan arkeologis yang berbentuk tulisan seperti (Rosetta Stone dan Gulungan Laut Mati) serta pada pentingnya terjemahan agama seperti (Alkitab Bahasa Inggris, Septuaginta, terjemahan dari Canon Buddis). c. Bahasa dan naskah religius. Bagian ini berkenaan dengan peran bahasa tertentu dalam memunculkan variasi dalam bahasa religi (Bahasa Latin Gereja, Bahasa Slavonic Gereja, Bahasa Yahudi Aramaic, Panjabi). Dalam sejarah dan perkembangan agama ini juga termasuk pada pengembangan Alphabet pada paleografi dan pada sejumlah ‘skrip suci’ misalnya, Devanagari dan Runes. d. Penggunaan bahasa-bahasa khusus. Bagian ini berkenaan dengan peran bahasa tertentu seperti dzikir, pemujaan, mantra, glossolalia, meditasi, juga dalam keseharian seperti menyebut pujian atau mengumpat. Dalam wacana teologis contoh penggunaan bahasa-bahasa khusus misalnya penggunan metafora dan mitos. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya berkat dan kutuk. e. Keyakinan tentang bahasa. Bagian ini mencakup pembahasan filosofis dari bahasa religi dalam agama Buddisme, Kristen, dan Hindu. Bagian ini juga membahas kepercayaan tentang kekuatan magis dari nama, kata-kata, dan keyakinan tentang bahasa seperti yang dinyatakan dalam kisah Alkitab Menara Babel. f. Agama dan penelitian bahasa. Bagian ini merangkum artikel-artikel yang berhubungan dengan kontribusi ulama individu (misalnya, aktif di Arab, Cina, tradisi Linguistik Persia) atau kelompok ulama (misalnya, Summer Institute of Linguistic) untuk mempelajari bahasa dalam konteks agama. Kerangka kerja yang lain yang berkenaan dengan hubungan antara bahasa dan agama adalah yang dikembangkan oleh Spolsky, (2006:4-9) yang terdiri dari dimensi-dimensi berikut : a. Efek agama terhadap bahasa.



Topik-topik penelitian yang memungkinkan seperti pengaruh agama terhadap pemilihan bahasa, pemeliharaan bahasa (language maintenance), juga kosakata-kosakata serapan. Bahasa sangat berperan dalam agama terutama dalam pemilihan bahasa yang digunakan dalam agama-agama tertentu. Sehingga pengistilahan kosakata-kosakata serapan dapat disampaikan dan dimengerti. b. Mutualitas bahasa dan agama. Dalam dimensi ini berhubungan dengan hubungan dua arah antara agama dan bahasa dalam perubahan repertoar sosiolinguistik berubah dari multilingualisme. Dalam contoh ini, yang dibahas adalah hubungan antara multilingualisme dengan pluralisme agama. c. Efek bahasa terhadap agama. Dalam dimensi ini yang berkenaan adalah kontribusi bahasa (seperti yang digunakan dalam doa) dalam membangun komunitas religius. Misalnya dalam doa pada agama Kristiani menggunakan “Puji Tuhan”, sedangkan dalam agama Islam menggunakan “Alhamdullilah” semua itu berkenaan dengan kontribusi bahasa dalam membangun komunitas religius. d. Bahasa, agama, dan literasi (daya baca). Dalam dimensi ini contohnya adalah pengaruh bahasa dan agama terhadap literasi komunitas tertentu. “In a narrow sense, ‘religious language’ can be referred to as a language that is “consistently used with religion” or within a religious domain of language use“ (Samarin, 1987:85). In this sense, ‘religious language’ is sort of language “especially reserved for religious activities and used for very little else, except perhaps as school subjects or literary and scholarly languages. (Fasold, 1987:77) Berdasarkan kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam arti sempit bahasa dan agama dapat disebut sebagai bahasa yang secara konsisten digunakan bersamaan dengan agama atau dalam dominan agama pengguna bahasa. Dalam hal ini bahasa dan agama adalah semacam bahasa utama kegiatan keagamaan dan sangat sedikit yang menggunakan kecuali pada pelajaran di sekolah atau bahasa sastra dan ilmiah. Contoh sederhana dari bentuk pengaruh agama pada bahasa misalnya pada seorang artis Indonesia yang sering mengucapkan “Alhamdulillah yah, sesuatu”. Dalam ungkapan tersebut terdapat istilah religius “Alhamdulillah” yang bermakna “Segala Puji Bagi Allah”.



Daftar Pustaka Fasold, Ralph. 1987. The Sociolinguitics of society. Oxford: Blackwell.



Fishman, Joshua A. 2006. A decalogue of basic theoretical perspectives for a sociology of language and religion. In: Omoniyi/Fishman (Eds). Furguson, Charles. 1982. Religious factors in language spread. In: Cooper, Robert L. (Ed.): Language spread. Bloomington: Indiana University Press. Praptomi Baryadi, I. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan/Ed.Rev. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Samarin, William J. 1987. The Language of Religion. In: Ammon, Ulrich/ Dittmar, Nobert/ Mattheier, Klaus J. (Eds.): Sociolinguistics. An International handbook of the science of language and society. Vol 1. Berlin/New York: de Gruyter. Sawyer, John F.A. / Simpson, J.M.Y. (Eds.). 2001. Concise encyclopedia of language and religion. Amsterdam: Elsevier. Spolsky, Bernard. 2006. Introduction Part II. In: Omoniyi/Fishman (Eds.). Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



BAHASA DAN PRANATA SOSIAL Oleh Hanifah Nurunnikmah / 13201244009 A. Pengertian Pranata Sosial Lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan langsung dari istilah asing socialinstitution. Akan tetapi hingga saat ini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia apa yang dengan tepat



dapat menggambarkan



isi social-institution



tersebut. Ada yang



menggunakan istilah pranata sosial tetapi social-institution menunjuk pada adanya unsurunsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi komplekskompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Definisi tersebut menekankan pada sistem tata kelakuan atau norma-norma untuk memenuhi kebutuhan Koentjaraningrat (via Soekanto 2005: 197) Lembaga adalah suatu suatu sistem nilai atau kompleks nilai dan norma. Sistem nilai dan norma itu atau tata kelakuan berpusat di sekitar kepentingan atau tujuan tertentu. Oleh karena itu, kompleks nilai dan norma yang ada pada berbagai lembaga menjadi berbeda pula seiring dengan perbedaan kepentingan yang akan dicapai lewat lembaga-lembaga (Rahardjo, 1999: 162). Jadi menurut pendapat beberapa para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem atau norma yang berlaku pada masyarakat di mana bertujuan untuk mengatur tindakan masyarakat sehingga akan tercapai kehidupan yang teratur dan integrasi dalam masyarakat. B. Fungsi Pranata Sosial dalam Masyarakat Menurut Soekanto (2005: 199) pranata sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat, namun pranata sosial pada dasarnya memiliki beberapa fungsi yaitu: (1). Memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapai masalahmasalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhankebutuhan. (2). Menjaga keutuhan masyarakat. (3).Memberikan



pegangan



kepada



masyarakat



untuk



mengadakan



sistem



pengendalian sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya. Lembaga merupakan fenomena yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, bukan saja karena fungsinya untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai yang sangat



tinggi dalam masyarakat, melainkan juga berkaitan erat dengan pencapaian berbagai kebutuhan manusia. Maka ada yang memahami lembaga sarana untuk mencapai kebutuhan manusia ( Rahardjo, 1999: 161). Jadi, fungsi utama dari pranata sosial adalah untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat serta memberikan pedoman bagaimana mereka harus bertingkah laku, menjaga keutuhan masyarakat, dan adanya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah lakunya. Pranata sosial juga berfungsi untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai yang sangat tinggi dalam masyarakat. C. Hubungan Bahasa dan Pranata Sosial Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian, sub sistem, dari sistem kebudayaan malah bagian yang paling inti dan terpenting dari kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai nama atau istilah bagi semua aspek-aspek kebudayaan itu. Lebih penting dari itu, kebudayaan dan pranata sosial tidak akan dapat terjadi tanpa bahasa. Karena bahasalah faktor yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan. Ini dapat kita mengerti jika kita bayangkan sejenak bagaimana mungkin kita memperkembangkan unsur-unsur kebudayaan yang berkaitan dengan pranata sosial. Hal ini membawa kita kepada hubungan lain antara bahasa dan kebudayaan, yaitu bahwa kunci bagi pengertian



yang mendalam atas suatu kebudayaan



ialah melalui



bahasanya (Nababan, 1984: 50-51). Bahasa merupakan medium paling penting bagi semua interaksi manusia dan dalam banyak hal bahasa dapat disebut sebagai intisari dari fenomena sosial. Bahasa sebagaimana yang dikatakan oleh ahli sosiologi bahasa yang menjadi pelopor di bidangnya, pentingnya itu mutlak. Jadi tanpa adanya bahasa tidak akan mungkin terbentuknya masyarakat dan tidak akan ada kegiatan dalam masyarakat selain dari kegiatan yang didorong oleh naluri saja Bahasa merupakan satu pranata sosial yang setiap orang harus menguasainya agar dapat berfungsi di dalam daerah yang bersifat



kelembagaan dari kehidupan



sosial. Bahasa



merupakan alat yang penting dalam berkomunikasi (Anwar, 1995: 218-219). Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa dan pranata sosial merupakan dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Bila memandang dari peranan bahasa sebagai pemersatu masyarakat, maka bahasa merupakan jembatan terbentuknya pranata sosial. Oleh karena itu, bahasa sangat berhubungan dengan pranata sosial. Bahasa merupakan alat penting untuk menyampaikan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Selain itu, bahasa merupakan medium paling penting untuk interaksi dalam masyarakat



dan



berkomunikasi. Tanpa adanya bahasa tidak akan terbentuk masyarakat, apalagi pranata sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Daftar Pustaka Anwar, Khaidir. 1995. Beberapa Aspek Sosio-Kultural Masalah Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT



GRAMEDIA.



Rahardjo. 2010. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Mada University Press. Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Persada.



Jakarta: PT



Gadjah Raja Grafindo



PENUTUP Kesimpulan Bahasa memiliki hubungan yang erat dengan faktor sosial. Faktor-faktor sosial tersebut seperti kelas sosial, jenis kelamin, usia, geografis, religi, dan pranata sosial. Hubungan bahasa dengan kelas sosial yaitu dengan adanya kelas sosial akan membuat bahasa menjadi lebih bervariasi. Hubungan bahasa dengan jenis kelamin yaitu perbedaan itu mencerminkan status atau kekuatan sosial yang terjadi di masyarakat misalnya pria dianggap lebih kuat daripada wanita. Hubungan bahasa dengan usia, seriap tahapan usia memiliki variasi bahasa yang berbed-beda. Untuk bahasa anak-anak berbeda dengan remaja, dewasa, tetapi memiliki kemiripan dengan bahasa manula. Hubungan bahasa dengan geografis dapat menciptakan sebuah dialek yang khas dari daerah tersebut, misalnya daerah Cilacap terkenal dengan “ngapak”. Hubungan bahasa dengan agama yaitu tiap agama memiliki ciri khas bahasa sendiri, misalnya seorang artis yang mengatakan alhamdulillah (dalam kalimat tersebut terdapat religiusitas agama Islam). Hubungan bahasa dengan pranata sosial yaitu tanpa adanya bahasa tidak akan ada pranata sosial, karena pranata sosial itu menggunakan bahasa dan alat komunikasi itu adalah bahasa.