Hukum Adat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pertemuan Ke - 4 / 14 Maret 2023 Dosen Pengampu : Annisa Indah Nuari, S.H., M.H.



MATERI : 1. Sejarah hukum adat (Pra colonial, masa colonial) 2. Sejarah politik hukum adat 3. Dasar berlakunya hukum adat (Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis)



Sejarah Hukum Adat (Pra Colonial) ❑



Peraturan adat istiadat kita pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman kuno, yakni pada zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.







Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masingmasing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat.







Sehingga Hukum Adat yang kini hidup di masyarakat adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.



Setelah terjadi akulturasi, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht” menurut Van Vaollenhoven terdiri dari :



Bukti Adanya Hukum Adat Indonesia Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada hukum adat, adalah sebagai berikut : 1.



Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan kitabnya yang disebut Civacasana.



2.



Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang disebut Kitab Gajah Mada.



3.



Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.



4.



Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava.



Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di lingkungan istana, ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat sebagai berikut :



Tapanuli Ruhut



Parsaoran di Habatohan (kehidupan social di tanah Batak), Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan ketentuanketentuan Batak).



Jambi



Undang-Undang Jambi



Palembang



Undang-Undang Simbur Cahaya (UndangUndang tentang tanah di dataran tinggi daerah Palembang)



Minangkabau



Undang-Undang nan dua puluh (UndangUndang tentang hukum adat delik di Minangkabau)



Sulawesi Selatan



Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang-orang wajo)



Bali



Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa (peraturan desa) yang ditulis didalam daun lontar



Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat. Hukum adat baru ada penelitiannya pada masa VOC karena ada kepentingan atas negara jajahannya (menggunakan politik opportunity). Oleh sebab itu, Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus negaranegara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang memimpin daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum Belanda di negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret 1621 yang baru dilaksanakan pada tahun 1625 pada pemerintahan De Carventer yang sebelumnya mengadakan penelitian terlebih dahulu dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup. Oleh karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum-hukum itu perlu disesuaikan sehingga perlu 4 kodifikasi hukum adat



4 kodifikasi oleh Carventer



KODIFIKASI Tahun 1750 untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Semarang, dengan kitab hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusus pidana adat (menurut Van Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).



Tahun 1759 Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM” (pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan Goa. COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan. HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.



Pencatatan hukum adat oleh orang luar negeri diantaranya : 1.



Robert Padtbrugge (1679), ia seorang gubernur Ternate yang mengeluarkan peraturan tentang adat istiadat Minahasa.



2.



Francois Valetijn (1666-1727) yang menerbitkan suatu ensiklopedia tentang kesulitan-kesulitan hukum bagi masyarakat.



Periodisasi hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam : 1. Jaman Daendels (1808-1811) Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari hukum eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya.



2. Jaman Raffles (1811-1816) Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi MACKENZIE atau suatu panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di masyarakat, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini yaitu pada tanggal 11 Februari 1814 dibuat peraturan yaitu Regulation For The More Effectual Administration of Justice in The Provincial Court of Java yang isinya : a. Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim b. Susunan pengadilan terdiri dari : 1. Residen’s court 2. Bupati’s court 3. Division court c. Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling d. Berlaku native law dan unchain costum untuk Bupati’s court dan untuk Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.



3. Zaman Komisi Jenderal (1816-1819) Pada zaman ini tidak ada perubahan dalam perkembangan hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah ada.



4. Zaman Van der Capellen (1824) Pada zaman ini tidak ada perhatian hukum adat bahkan merusak tatanan yang sudah ada.



5. Zaman Du Bush Pada zaman ini sudah ada sedikit perhatian pada hukum adat, yang utama dalam hukum adat ialah hukum Indonesia asli.



6. Zaman Van den Bosch Pada zaman ini dikatakan bahwa hukum waris itu dilakukan menurut hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan Islam.



7. Zaman Chr. Baud Pada zaman ini sudah banyak perhatian pada hukum adat misalnya tentang melindungi hak-hak ulayat.



Pada tahun 1918 putera-putera Indonesia membuat disertasi mengeani hukum adat di Balai Perguruan Tinggi di Belanda, antara lain : 1.



Kusumaatmadja tahun 1922 yang menulis tentang wakaf



2.



Soebroto tahun 1925 yang menulis tentang sawah vervavding (gadai sawah)



3.



Endabumi tahun 1925 yang menulis tentang Bataks grondenrecht (hukum tanah suku Batak)



4.



Soepomo tahun 1927 yang menulsi tentang Vorstenlands grondenrecht (hak tanah di kerajaankerajaan)



Adapun penyelidikan tentang hukum adat di Indonesia dilakukan oleh : 1.



Djojdioeno/ Tirtawinata yang menulis tentang Hukum Adat privat Jawa Tengah.



2.



Soepomo yang menulis tentang Hukum Adat Jawa Barat



3.



Hazairin yang membuat disertasinya tentang “Redjang”



Sejarah Politik Hukum Adat Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda. Pada saat itu akan diberlakukan hukum eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi.



Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah colonial : 1.



Sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingankepentingan ekonominya



2.



Sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda.



Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah kolonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah kolonial yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkasnya undang-undang yang bertujuan untuk menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat yang ada dalam perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut :



1. Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung Ditugaskan untuk menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal. 2. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda Mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal. 3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan Menghendaki diadakan kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah-daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana. 4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 Mengusulkan suatu rencana undang-undang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.



5. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal. 6. Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta Membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undang-undang kesatuan itu tidak mungkin. 7. Pada tahun 1927 Pemerintah Hindia Belanda mengubah haluannya, yakni menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.



Pertanyaan : Apakah Hukum Adat berhasil di kodifikasi pada saat itu?



Jawabannya → TIDAK Pada tahun 1927, C. van Vollenhoven mengusulkan sebuah kodifikasi hukum adat dalam bentuk “Rancangan Kitab Hukum Adat” untuk Hindia Belanda yang akan ditetapkan dengan Ordonansi.



Namun, proyek pengkodifikasian tersebut tidak berkembang sebagaimana mestinya karena tingkat keberagamannya sungguh sangat luar biasa, sehingga diperlukan ketekunan, sumber daya manusia, dan biaya yang tinggi.



Jika dilihat dari sudut pandangan ahli hukum adat yang mengarah pada unifikasi atau kodifikasi : keseluruhan hukum adat Indonesia cenderung dianggap tidak teratur, tidak sempurna, tidak tegas, dan tidak pasti. Didalamnya terdapat gejala-gejala yang sulit sekali untuk dipahami secara konkret. Oleh sebab itu, akan sulit sekali untuk dilakukan unifikasi ataupun kodifikasi hukum adat.



Dasar berlakunya hukum adat (Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis) 1. Dasar Filosofis Hukum mempunyai kekuatan berlaku secara filosofis apabila kaidah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. → Pancasila (sesuai dengan nilai – nilai dalam Pancasila)



Hukum adat adalah hukum yang tumbuh dari pancaran pikiran dan perasaan yang lahir dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Hukum adat dipertahankan sebagai tatanan hidup bermasyarakat karena kaidahkaidah hukum adat sesuai dengan pandangan hidup mereka.



2. Dasar Sosiologis



Ada 2 teori mengenai kekuatan berlakunya hukum secara sosiologis 1. Teori kekuatan hukum : Mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa terlepas Apakah hukum itu bisa diterima oleh masyarakat atau tidak 2. Teori pengakuan hukum : Mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat



keberlakuan hukum adat sesuai dengan teori pengakuan ini



Hukum yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan menjadi : 1.



Hukum yang benar-benar berlaku sebagai “The Living Law” (hukum yang hidup)



2.



Hukum yang diberlakukan tetapi tidak berlaku sebagai “The Living Law”



Sebagai Contoh :



Hukum yang berlaku dengan cara diberlakukan adalah hukum tertulis (dengan cara diundangkan dalam lembaran negara) → Hukum tertulis dibuat ada yang berlaku sebagai “The Living Law”, → Tetapi ada juga yang tidak berlaku sebagai “The Living Law”



karena tidak dapat dilaksanakan oleh rakyat.



Hukum tertulis yang dilakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara kemudian dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat → dapat dikatakan sebagai hukum “The Living Law”.



Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan dan tidak dilaksanakan oleh rakyat → tidak dapat dikatakan sebagai “The Living law”



3. Dasar Yuridis Hukum mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis apabila penetapannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen)



Pasal 31 Ayat (2) b Indische Staatsregeling (IS) yang menegaskan bahwa bagi masyarakat golongan asli dan Timur Asing (Cina, Arab, India, dll) berlaku hukum adat mereka sepanjang hukum adat itu masih memadai dengan kepentingan umum sosial mereka.



Dasar Yuridis



Periodisasi Dasar Yuridis Berlakunya Hukum Adat di Indonesia



1.



Jaman Penjajahan Kolonial Belanda



2.



Jaman Penjajahan Jepang



3.



Pasca Kemerdakaan (UUD 1945)



4.



Pasca Kemerdekaan (UUDS 1950)



5.



Pasca Kemerdekaan (UU Darurat No.1 Tahun 1951)



6.



Pasca Kemerdekaan



7.



UU Nomor 14 Tahun 1970 (Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman)



8.



UU Nomor 4 Tahun 2004 (Kekuasaan Kehakiman)



9.



UU Nomor 48 Tahun 2009 (Kekuasaan Kehakiman)



Zaman Penjajahan Kolonial Belanda Pasal 21 Ayat (2) I.S.



“Dalam wilayah kerajaan – kerajaan yang diberikan hak swapraja, algemene ver ordiningen (peraturan perundangundangan umum) hanya dapat berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di daerah daerah yang bersangkutan”



Pasal 130 1.S.



“Terdapat daerah-daerah dimana bangsa Indonesia diberikan kebebasan untuk menganut hukumnya sendiri”



Pasal 131 Ayat (6) I.S.



“Selama ordonansi mengenai hukum perdata materiil bagi orang Indonesia dan Timur Asing belum terbentuk, maka akan tetap berlaku hukum adat mereka”



Pasal 75 Ayat 3 dan 4 RR



“Bahwa sekedar perundang-undangan bagi golongan Bangsa Eropa oleh Gubernur Jenderal Belanda untuk Bangsa Indonesia dan sekedar orang Indonesia tidak menyatakan dengan sukarela bahwa ia akan dikuasai oleh hukum dagang Eropa, maka untuk golongan Bangsa Indonesia, hakim harus melakukan (dalam lapangan perdata) hukum adat, asalkan hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang diakui umum”



Zaman Penjajahan Jepang Pasal 3 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1942 tanggal 7 Maret 1942 “Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer”



Pasca Kemerdekaan (UUD 1945) Undang – Undang Dasar Tahun 1945 dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden Tahun 1959. Pada saat itu, tidak ada satu pasalpun yang memuat dasar hukum berlakunya Hukum Adat. Berdasarkan konstitusi/hukum dasar yaitu Undang – Undang Dasar Tahun 1945, yang dapat dijadikan landasan atau dasar hukum berlakunya Hukum Adat adalah :



Pasal 1 Aturan Peralihan 1945 (Amandemen ke – 4) “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”



Pasca Kemerdekaan (UUDS 1950) Pasal 104 Ayat 1 menyebutkan : “Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasan dan dalam aturan-aturan UndangUndang dan aturan-aturan Hukum Adat yang dijadikan dasar hukuman itu”



Tetapi ketentuan yang memuat dasar konstitusi atau peraturan pelaksanaan dasar berlakunya Hukum Adat sampai dengan dihapuskannya UUDS 1950 dengan Dekrit Presiden 1959 belum pernah dibuat.



Dengan demikian, dasar hukum UUDS Tahun 1950 menjadi tidak berlaku setelah adanya Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli Tahun 1959 dimana Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945,



Pasca Kemerdekaan UU Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tentang Tindakan – Tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan pengadilan sipil 



Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dan Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1951







Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman untuk dihapuskan :



1.



Segala Peradilan Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dulu, Karisidenan Kalimantan Barat dulu, dan Negara Indonesia Timur dulu, kecuali peradilan agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Swapraja.



2.



Segala Peradilan Adat, kecuali Peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan adat



Pasca Kemerdekaan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 3 : Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat Revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat Sosialis Indonesia. Penjelasan : Pengadilan mengadili menurut hukum yang dijalankannya dengan kesadaran, bahwa hukum adalah landasan dan alat Negara dan dimana Negara ada di dalam Revolusi menjadi alat Revolusi, yang memberi Pengayoman agar cita-cita luhur Bangsa tercapai dan terpelihara dan bahwa sifat-sifat hukum adalah berakar pada kepribadian bangsa, serta dengan kesadaran bahwa tugas Hakim ialah dengan bertanggung-jawab sepenuhnya kepada negara dan Revolusi turut serta membangun dan menegakkan masyarakat adil dan makmur yang berkepribadian Pancasila, menurut garis-garis besar haluan Negara.



Pasal 17 Ayat (2) : Putusan itu harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau apabila hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili, alasanalasan dan dasar-dasar pengadilannya.



Lanjutan…. Pasal 10 Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus sesuatu perkara yang diajukan, dengan dalih, bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib dengan bertanggung jawab kepada Negara dan Revolusi memberikan putusan. Penjelasan Pasal 10 Andai kata ia tidak dapat menemukan hukum tertulisnya. Ia wajib mencari hukum tak tertulisnya atau memutus sebagai seorang yang bijaksana dengan bertanggung-jawab kepada Negara dan Revolusi. Ia wajib berani memutus, demi keadilan dan Pengayoman, untuk ikut serta membangun masyarakat yang adil dan makmur. Penolakannya akan sungguh menurunkan derajat dan martabatnya.



Pasal 20 Ayat (1) Hakim sebagai alat Revolusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman. Kesimpulan dari penjelasan umum :



Bahwa yang dimaksud dengan “hukum tak tertulis” adalah hukum adat.



Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1970 (Ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman) Pasal 3 Ayat (2) “Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila.” Penjelasan Pasal 14 Ayat (1)



Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Penjelasan



Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang padanya untuk mohon keadilan. Andai kata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung-jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, Bangsa dan Negara.



Lanjutan…. Pasal 23 Ayat (1) Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusanitu, juga harusmemuatpula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.



Pasal 27 Ayat (1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.



Lanjutan…. Penjelasan Umum (Bagian 7) Penegasan bahwa peradilan adalah Peradilan Negara, dimaksudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan-peradilan Swapradja atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Ketentuan ini sekalikali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penetrapan hukum itu kepada Peradilan-peradilan Negara.



Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dari penetrapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar.



Kesimpulan dari penjelasan umum :



Bahwa yang dimaksud dengan “hukum tak tertulis” adalah hukum adat.



Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 (Kekuasaan Kehakiman) Pasal 3 Ayat 2 Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Pasal 25 Ayat 1 Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Pasal 28 Ayat 1



Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.



Lanjutan…. Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 (Kekuasaan Kehakiman) 



Pasal 5 Ayat 1



Pasal 5 (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.







Pasal 50 Ayat 1



Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.



Selamat belajar teman – teman…… You can do it !