Hukum Ham Paper. [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Hukum Hak Asasi Manusia



Disusun Oleh: FELICIA RAYDOVA NISA INDRA



02119042



MELITANIA



02119003



NABILA HUSNIYAH SUSANTO



02119026



NIKEN PURBASARI



02119075



SHAQUILLE RIZOLDAN INDRA



02119041



PUTRI ADINTYA



02119069



FAKULTAS HUKUM PRODI ILMU HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2021



PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM HUKUM HAK ASASI MANUSIA ABSTRAK Sampai saaat ini kekerasan pada perempuan masih marak terjadi. Dan hukum masih dianggap diskriminatif serta tidak berkeadilan gender. dimana seharusnya hukum memiliki keadilan untuk menjamin adanya hak asasi perempuan. Dimana jika hukum memiliki sifat persamaan segala bidang, maka baik perempuan maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama. Dan jika nantinya terjadi diskriminasi kepada perempuan, maka hal tersebut termasuk kedalam pelanggaran hak asasi perempuan. Selain itu kekerasan juga termasuk sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Yang terjadi karena banyak hal, diantaranya ketimpangan historis laki-laki dan perempuan, faktor ekonomi keluarga serta himpitan kota besar yang mendorong stres. Rekomendasi umum dari Konvensi Perempuan merupakan hal yang ditunggu dimana didalamnya terdapat usulan penghapusan kekerasan berbasis gender. Hal ini merupakan sebuah upaya guna menghilangkan kekerasan terhadap perempuan serta sebagai wujud kesetaraan gender seperti yang tercantum dalam Undang-Undang. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Perempuan, Korban Kekerasan, Kesetaraan Gender



ABSTRACT Until this time, violence against women is rife. And the law is still considered discriminatory and without gender justice. Where the law should have justice to ensure the rights of women. Whereas if the law has the equal properties of all fields, then both women and men have the same opportunity. And if women were to be discriminated against, it would be included in women's rights abuses. Violence is also a violation of human rights. Many are the causes, including the historical inequality of men and women, the economic factors of families and the jostling of large cities that promote stress. The general recommendation of the women's convention is awaited, in which there are proposals for the elimination of gender-based violence. It is an attempt to eliminate violence against women and asa gender equality, as stated in the law Keyword: Human Rights, Women, Victims of Violence, Gender Equality



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara serupa dengan organisasi karena didalamnya terdapat tiga unsur yaitu rakyat, wilayah dan pemerintah yang sah. Yang berarti salah satu tujuan negara adalah untuk mempertahankan rasa kemanusiaan dengan cara melindungi kedalatan negara dari berbagai permasalahan yang ada terutama pada melindungi hak-hak yang dimiliki warga negaranya dari berbagai kekerasan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang yang menyatakan bahwa baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama pada setiap bidang kehidupan keluarga, budaya, sosial, ekonomi dan politik. Berhubungan dengan tujuan yang melindungi hak warga negara namun pada pratiknya sering terjadi penyimpangan terutama pada kaum perempuan. Kaum perempuan seringkali mengalami kekerasan yang berasal dari akibat berbagai kebutuhan manusia. Maka pemerintah pelru untuk mengimplementasikan aturan hukum yang tegas kepada masyarakat agar dapat memahami hak-hak yang dimiliki orang lain (perempuan). Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia yang dilaksanakan pada Tahun 1948 menegaskan, bahwasannya salah satu isu yang mendapat perhatian serta berkembang didalam masyarakat berhubungan dengan adanya ketimpangan antara keadaan dan kedudukan perempuan dengan laki-laki pada masyarakat atau bisa disebut juga gender. Perempuan masih memiliki kesempatan yang terbatas jika dibandingkan dengan laki-laki untuk berperan aktif pada kegiatan program pembangunan maupun pada berbagai aspek kehidupan lainnya didalam masyarakat (ekonomi, sosial budaya, pendidikan, organisasi dan kelembagaan dan lainnya) keterbatasan ini berasal dari berbagai nilai serta norma masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan yang dibandingkan laki-laki hal ini bermula pada budaya laki-laki yang belum bisa menerima keberadaan perempuan yang setara sengan laki-laki, pada hal ketimpangan gender tersebut dapat menimbulkan sebuah konflik yang timbul di masyarakat seperti halnya kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan karena dirasa bahwasannya perempuan tidan setara dengan laki-laki Kekerasan juga termasuk sebagai tindakan yang dilakukan terhadap manusia yang lain yang berdampak melukai bahkan sampai menghilangkan hak seseorang, sebagai contoh kekerasan dalam rumah tangga dimana yang lebih sering terjadi pihak laki-laki dominan melakukan kekerasan kepada perempuan. Yang berarti bahwa tindakan kekerasan hanya dapat dirasakan dimana manusia itu berada dan dapat diketahui oleh orang tua suami dan orang tua istri yang kemudian diselesaikan dengan cara denda alat yang dinamakan hukuman denda dan diperuntukan kepada pihak yang bersalah, dengan mengabaikan tindakan kekerasan yang telah dilakukan. Sementara menurut perspektif hukum bila mana seseorang melanggar ketentuan hukum maka dapat dihukum kepada siapa pelakunya dengan tanpa melihat siapa korbannya dan siapa yang menjadi pelaku tersebut. Dengan dalil tindakan tersebut mengakibatkan adanya luka-



luka, gangguan psikologis, mental dan lain sebagainya. Dengan permasalahan yang telah diuraikan diatas maka konstitusi RDTL dengan fokus Pasal 17 yang telah mengatur mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam artian baik perempuan maupun laki-laki tidak diperkenankan untuk melakujan diskriminasi dari kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Maka hal ini menyangkut pada Pasal 30 ayat 4 RDTL dimana isi dari pasal tersebut tidak ada seorang pun dapat disiksa, diperlakukan secara kejam, tidak manusiawi, atau secara merendahkan martabat manusia. Serta pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 pada Pasal 4 menyatakan bahwa kesetaraan setiap individu, tanpa memandang keturunan, kebangsaan, jenis kelamin sosial, status, etnis, bahasa, usia, agama, kecacatan, keyakinan politik atau ideologi, budaya dan pendidikan menikmati hakhak dasar yang melekat pada martabat manusua, yakni kesempatan yang sama untuk hidup tanpa kekerasa dan hak untuk menjaga integritas fisik dan mental mereka. Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu sebuah tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Hal ini yang menyebabkan tindakan tersebut termasuk kedalam pelanggaran HAM sehingga dibutuhkan sebuah instrumen hukum nasional guna menghapuskan kekerasan pada perempuan di Indonesia. Permasalahan kejahatan khususnya tindak kekerasan pada perempuan merupakan bagian dari kenyataan sosial dan bukan merupakan hal yang baru, walaupun waktu dan tempatnya berlainan, namun prinsipnya tetap dinilai sama. Persamaan tersebut dapat diketahui pada banyak fenomena dalam masyarakat yang menggambarkan meningkatnya kejahatan dapat berdampak pada meningkatnya kekerasan kepada perempuan. Peningkatan kekerasa pada perempuan ini tidak dapat dimanipulasi denfan berbagai bentuk perubahan sebagai pendorongnya. Di Indonesia tindak kekerasan yang terjadi kepada istri pada umumnya merupakan hal biasa dialami pada sebagian perempuan. Lantaran hal ini serupa dengan sebuah segitiga yang kecil pada puncak namun besar pada bagian dasar dikarena guna mencapai angka yang pasti merupakan hal yang sulit. Terlebih jika kekerasa tersebut terjadi pada rumah tangga, dimana hal tersebut masih dianggap tabu dan sebuah konflik keluarga yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Yang dapat disimpulkan bahwa banyak korban perempuan yang mendapat kekerasan dalam rumah tangga memilih untuk tutup mulut dan merahasiakan hal tersebut. Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut1. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, berakar dari adanya budaya patriarki. Budaya patriarki yang melihat garis keturunan dari ayah, secara tidak langsung membuat timbulnya pemikiran bahwa perempuan mempunyai posisi yang lebih rendah daripada laki-laki (subordinat). Perempuan dianggap sebagai mahluk lemah yang tidak mampu untuk



1



Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga



melakukan apapun, dilecehkan, dikucilkan dan dikesampingkan, serta tidak mempunyai hak untuk menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya. Perempuan sering disalahkan atas setiap kejadian buruk yang terjadi di keluarganya, di rumah tangganya. Perempuan pun pasrah apabila mendapat perlakuan yang kasar dari suaminya dan menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar dilakukan oleh suaminya, karena memang ia yang menyebabkan semua itu terjadi. Perempuan selalu dituntut untuk meladeni apapun yang suaminya inginkan. Sementara laki-laki dianggap sebaliknya, yakni sebagai mahluk yang kuat, dapat melakukan apapun dan sebagainya. Budaya patriarki ini pun menyebabkan timpangnya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disingkat KDRT) adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan, yang kemungkinan menjadi penyebabnya yaitu: Pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah dilakukan adalah merupakan tindak KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, pelaku mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Oleh Karena itu pelaku menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi. Kekerasan tidak hanya muncul disebabkan karena ada kekuatan tetapi juga karena ada kekuasaan2. UU ini menyatakan dengan tegas bahwa tindakan kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga sebagai sebuah tindakan pidana. UU ini juga melindungi hak perempuan untuk bebas dari marital rape atau pemerkosaan dalam perkawinan, mengatur sanksi yang salah satunya berupa konseling, hukum acara sendiri (beda dengan KUHAP), dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan segera bagi korban yang melapor. Selain itu, juga mencantumkan alat bukti yang dianggap memiliki kekuatan hukum, yakni laporan tertulis hasil pemeriksaan korban atau visum et repertum (surat keterangan medis) dan diakuinya keterangan seorang saksi korban sebagai salah satu alat bukti yang sah apabila disertai dengan alat bukti sah lainnya. Korban pun dapat melaporkan secara langsung kekerasan yang dialaminya di tempat ia tinggal maupun di tempat kejadian perkara. UU ini juga mengatur tentang pengidentifikasian aktor-aktor yang memiliki potensi untuk melakukan kekerasan.2 Dalam Catatan Tahunan 2008. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan hukum juga semakin meningkat. Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan sejak tahun 2001 – 2007 menunjukkan peningkatan sebanyak 5 kali lipat. Sebelum disahkannya UU PKDRT, yaitu dalam rentang waktu 2001 – 2004, jumlah yang dilaporkan sebanyak 30.130 kasus. Sementara setelah UU PKDRT, selama tahun 2005 – 2007, tercatat sebanyak 68.425 kasus yang dilaporkan. Namun, meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya, tidaklah serta merta didukung dengan upaya tindak lanjut atau penanganan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu pihak kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Arief, Barda Nawawi. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy), bahan Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Fakuitas Hukum Universitas Dipanegoro, Semarang. 2005.Hal 60 2



Pihak kepolisian masih belum menggunakan UU PKDRT dalam pengenaan pasal kepada pelaku dan proses penyidikan yang dilakukan pun memakan waktu yang lama. Seringkali perkara yang sudah dilimpahkan oleh pihak kepolisian kepada kejaksaan, dikembalikan lagi kepada pihak kepolisian dengan alasan kurang bukti. Pihak kejaksaan belum cukup memiliki pemahaman yang kuat dalam menangani perkara KDRT dan putusan yang dijatuhkan oleh hakim pun seringkali ringan, dimana hal ini tidak memenuhi rasa keadilan yang diinginkan oleh korban. Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT, Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada istri dan sebaiiknya, ataupun orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khususnya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga3. Perlindungan yang diharapkan oleh korban adalah perlindungan yang dapat memberikan rasa adil bagi korban. Kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya dalah perempuan pada prinsipnya merupakan salah satu fenomena pelanggaran hak asasi manusia sehingga masalah ini sebagai suatu bentuk diskriminasi, khususnya terhadap perempuan dan merupakan suatu kejahatan yang korbannya perlu mendapat perlindungan baik dari aparat pemerintah maupun masyarakat. Perlindungan hukum terhadap perempuan korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga masih menimbulkan masalah terutama mengenal ketentuan dalam hukum pidana yang mensyaratkan suatu tindak pidana hanya dapat dillakukan penuntutan karena adanya pengaduan4 Berhubungan dengan perlindungan bagi kaum perempuan serta terkait dengan hak asasinya, perlu adanya sebuah tindakan dari pihak pemerintah guna melindungi hak yang dimiliki kaum perempuan. Jika kebijakan dari pemerintah hanya dilihat pada persamaannya saja maka kekerasan tersebut dapat berdampak serius pada hak yang dimiliki kaum oerempuan serta rasa pesimis yang menyebabkan kurang percaya diri yang mengakibatkan menghambat kemampuan perempuan dalam berpartisipasu pada berbagai kegiatan baik kegiatan sosial, ekonomi, politik, sosial budaya. Kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak dimana hal tersebut dapat menimbulkan gangguan mental, rasa kepercayaan terhadap dirinya sendiri dalam pertumbuhan jiwa akan terganggung sehingga menghambat perkembangan jiwa pada masa depan. 3



Andini Prihastuti, Publikasi Ilmiah: "Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Spek-HAM Solo)" (Surakarta: UNMUH Surakarta, 2016), Hal. 5. 4 Andini Prihastuti, loc. cit



1.2 Rumusan Masalah Bertitik tolak pada latat belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam paper ini adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.



Berbasis apa saja bentuk kekerasan yang terjadi kepada perempuan Faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada perempuan Bagaimana perlindungan hukum bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan Bagaimana pandangan KOMNAS HAM menanggapi permasalahan kekerasan terhadap perempuan 5. Bagaimana upaya pemerintah dalam menekan angka kekerasan terhadap perempuan



1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan 2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang bisa menjadi penyebab perempuan menjadi korban kekerasan 3. Untuk mengetahui berbagai peraturan yang dapat melindungi perempuan korban kekerasan 4. Untuk mengetahui tanggapan dari Komnas HAM dalam kasus kekerasan pada perempuan 5. Untuk mengetahui upaya penaggulangan pemerintah dalam menekan angka kekerasa pada perempuan 1.4 Metode A. Jenis Penelitian jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian normative disebut juga sebagai studi dokumen atau penelitian kepustakaan, sebab penelitian ini lebih banyak dilakukan pada data sekunder yang ada di perpustakaan. B. Data dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan C. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data



Prosedur pengambilan dan pengumpulan data yang digunakan dalam artikel ini diperoleh dengan cara studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan adalah studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku- buku hukum, literatur, tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan artikel ini. D. Analisis Data Analisis yang dilakukan adalah analisis data secara kualitatif yaitu bertujuan memahami, menginterprestasikan, dan mendeskripsikan suatu realitas. Teknik analisis kualitatif dalam menganalisis data lebih memfokuskan pada analisis hukum dan menelaah bahan-bahan hukum, peraturan perundang-undangan maupun buku-buku yang berkaitan dengan judul artikel ini.



BAB II PEMBAHASAN



2.1 BENTUK-BENTUK KEKERASAN YANG TERJADI PADA PEREMPUAN Kekerasan adalah sebuah tindakan tidak menyenangkan yang bisa melibatkan fisik maupun kejiwaan atau psikis yang dilakukan suatu pihak kepada pihak lainnya. Menurut KBBI kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan yang terjadi yang dirasakan oleh perempuan, dimana perempuan adalah objek kekerasan yang dilakukan oleh seseorang. Terdapat beberapa jenis kekerasan yang bisa dikaji, seperti kekerasan berdasarkan bentuknya, berdasarkan situs terjadinya, kekerasan seksual dan non seksual yang dibagi lagi menjadi kekerasan seksual berdasarkan intentensitasnya. Tindak



kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu tindak pidana yang banyak mendapat perhatian dari para ahli ilmu sosial pada tahun-tahun terakhir ini. dari data yang terkumpul belum diketahui secara pasti berapa banyak wanita (istri) yang menjadi tindak kekerasan mulai dari keengganan memberi nafkah kepada istri sampai kepada kekerasan seksualitas. Maka dari itu untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan di lingkungan rumah tangga, perlu adanya tindakan bersama antar semua pihak, baik dari masyarakat sampai dengan aparat serta perundang- undangan yang berfungsi dengan baik sehingga masalah kekerasan di Indonesia seperti masalah kekerasan dapat diatasi dengan baik. 1.



Kekerasan Berdasarkan Bentuknya Kekerasan berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu kekerasan fisik yang berkenaan langsung dengan tubuh manusia dan kekerasan psikis atau emosional yang berhubungan dengan kejiwaan seseorang 2. Kekerasan Terjadinya Berdasarkan Situs Kekerasan berdasarkan situs terjadi ya berarti menekankan di mana kejadian kekerasan tersebut. Apakah dalam ranah keluarga ataupun ranah publik. Menurut Landes dalam Dzuhayatin dan Yuarsi (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 172), kekerasan ini dapat dikategorikan menjadi kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan sektor publik. Kekerasan domestik adalah kekerasan yang dilakukan oleh suatu pihak apabila mereka terlibat hubungan pernikahan. Kekerasan dalam ranah publik adalah kekerasan yang terjadi apabila pelaku dan korban tidak memiliki hubungan pernikahan 3. Kekerasan Seksual dan non Seksual Selain kekerasan fisik dan emosional, terdapat juga kekerasan seksual. Kekerasan seksual berarti kekerasan yang mengandung unsur kehendak seksual. Sedangkan kekerasan non seksual berarti kekerasan yang tidak memiliki unsur kehendak seksual (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 174)



Dalam membahas kekerasan seksual, intensitas dalam melakukan kekerasan tersebut dibagi menjadi pelecehan seksual dan penyerangan seksual. Pelecehan seksual adalah kekerasan dengan intensitas yang ringan, yaitu mulai yang paling ringan tingkatannya seperti siulan nakal, kerdipan mata, gurauan, dan olok-olok yang menjurus pada seks, memandangi tubuh mulai ujung rambut sampai mata kaki, pernyataan mengenai rubuh atau penampilan fisik, memberikan bahasa isyarat yang berkonotasi seksual, memperlihatkan gambar-gambar porno, memperlihatkan organ seks, mencolek, meraba atau mencubit dan ajakan untuk melakukan hubungan seksual (Dzuhayatin dan Yuarsi dalam Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 174). Menurut Atmasasmita dalam Dzuhayatin dan Yuarsi, serangan seksual adalah keadaan dimana korban mengalami serangan seksual yang berakhir pada hubungan seksual secara paksa, yang meliputi ancaman perkosaan, perkosaan disertai kekerasan, dan perkosaan disertai pembunuhan (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 174). Perkosaan adalah suatu kekerasan seksual berupa paksaan dalam melakukan hubungan seks yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Hal ini dilihat dari tiga kondisi, (1) tidak atas kehendak dan persetujuan perempuan, (2) dengan “persetujuan” perempuan, namun di bawah ancaman, (3) dengan “persetujuan” perempuan, namun melalui penipuan (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 174-175). Peran gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya (laki-laki sebagai seorang superior). Bentuk Kekerasan Pada Perempuan: 



Kekerasan Psikologis Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Menurut Pasal 7 UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan psikologis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Berbagai bentuk kekerasa psikologis antara lain, penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan diri, mengurung seseorang dari dunia luar, mengancam atau menakut-nakuti.







Kekerasan Finansial adalah menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan atau kekerasan yang bersifat seksual, baik telath terjadi persetubuhan atau tidak, baik ada atau tidaknya hubungan antara korban dan pelaku kekerasan. Kekerasan mengacu ke tindakan seksual yang dilakukan pelaku terhadap korban. Kekerasan seksual dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pelecehan dan penyerangan seksual.







Berikut 15 bentuk kekerasan seksual menurut komnas, meliputi: 1. Perkosaan 2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan 3. Pelecehan Seksual 4. Eksploitasi Seksual 5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual 6. Prostitusi Paksa 7. Perbudakan Seksual 8. Pemaksaan perkawinan, termasukcerai gantung 9. Pemaksaan Kehamilan 10. Pemaksaan Aborsi 11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi 12. Penyiksaan Seksual 13. Penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual 14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan 15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Contoh: Dalam hal ini, tokoh Ma sebagai tokoh perempuan utama dalam novel bukan menjadi korban pelecehan seksual, tapi sudah jadi korban penyerangan seksual. Penyerangan yang dilakukan adalah pemerkosaan secara berkali-kali selama tujuh tahun. Sebagai seorang asing yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Ma, Nick Tua adalah pelaku pemerkosa yang dikategorikan sebagai perkosaan oleh orang asing. Nick Tua awalnya menipu Ma dengan meminta bantuan Ma dengan alasan membantu Nick Tua perihal anjingnya. Namun, Nick Tua malah menculik Ma dan memasukan Ma di dalam mobilnya, dan mengunci Ma dalam Kamar sampai Ma berhasil lolos. Pemerkosaan yang dilakukan Nick Tua termasuk dalam perkosaan dengan ancaman halus. Pemerkosaan jenis ini terjadi karena korban mempunyai ketergantungan ekonomi dan juga sosial. Ma membutuhkan Nick Tua untuk menghidupi kehidupannya dia dan Jack, seperti memberi mereka makanan, pakaian, dan juga energi listrik. Penyerangan seksual yaitu pemerkosaan terlihat di dalam novel seperti dalam kutipan : Ketika Nick Tua membuat Tempat Tidur berderit, aku mendengarkan dan menghitung sampai lima di jariku, malam ini 217 deritan. Aku tidak tahu apa yang terjadi kalau aku tidak menghitungnya, karena aku selalu melakukannya.” (hlm 47) Kutipan di atas menunjukkan bahwa telah terjadi penyerangan seksual, yaitu Nick Tua menyetubuhi Ma. Kata-kata yang digunakan tidaklah eksplisit karena novel ini berdasarkan sudut pandang anak kecil berumur lima tahun, namun kata-kata yang digunakan adalah “ranjang berderit”. Ranjang berderit disini artinya Nick Tua dan Ma telah melakukan hubungan seksual atau pemerkosaan.



Kekerasan fisik. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan anggota tubuh sikorban merasakan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat akibat pelaku kekerasan tersebut. Kekerasan fisik meliputi segala bentuk kekerasan yang menyakiti fisik, mulai dari dorongan, cubitan, tendangan, jambakan, pukulan, cekikan, bekapan, luka bakar, pemukulan dengan alat pemukul, kekerasan dengan benda tajam, siraman air panas atau zat kimia, menenggelamkan dan penembakan Contoh: Ma adalah korban yang disakiti Nick Tua, terdapat kutipan yang dapat membuktikan perlakuan kasar secara fisik yang dilakukan Nick Tua terhadap Ma seperti: Aku melihat lehernya lagi, tanda yang dia buat di leher Ma, aku selesai terkikik (hlm 65) Kutipan di atas menandakan bahwa Jack menyadari bahwa Nick Tua telah berbuat sesuatu kepada Ma sehingga menyebabkan luka di leher Ma, tapi Jack tidak tahu apa yang telah dilakukan Nick Tua persisnya, Jack hanya menyadari ‘tanda’ yang dibuat Nick Tua. Selain mengalami kekerasan fisik berupa pencekikan yang mengakibatkan adanya ‘tanda’ pada leher Ma, terdapat juga kutipan lain yang memperlihatkan bahwa Nick Tua suka menyakiti fisik Ma, seperti: “Kau tahu betapa kau suka bermain dengan mobil dan balon dan mainan lainnya? Yah dia suka bermain dengan kepalaku”. Dia mengetuk kepalanya (hlm 93). Di bagian ini, Ma memberitahu Jack bahwa Nick Tua suka menyakiti kepala Ma. Dia mengibaratkan kepalanya seperti mainan yang Nick Tua suka mainkan, layaknya Jack yang suka bermain dengan mobil atau mainan lainnya. Selain melakukan kekerasan fisik dengan cara menyakiti tubuh Ma, Nick Tua juga melakukan hal lain yaitu dengan mematikan listrik di Kamar. Hal ini berdampak pada kondisi fisik Ma dan juga Jack, karena mereka akan banyak mengalami kesulitan seperti mengalami kedinginan dan juga sakit perut dikarenakan makanan yang mereka makan mentah, karena mereka tidak bisa memasak menggunakan alat masak yang harus menggunakan daya listrik. Dengan adanya perlakuan kekerasan terhadap wanita tersebut membuat dampak yang besar terhadap para korban yang mengalami kekerasan, Beberapa dampak yang timbul pada korban: 1. Stress pasca kejadian Traumatis, Para perempuan yang mengalami kekerasan tidak sepenuhnya sehat secara emosional karena dia akan menyadari bahwa hidupnya



kacau, dan sedang menyesuaikan diri seperti kala sebelum kejadian kekerasan itu terjadi. 2. Sulit untuk mengendalikan Amarah, hal ini akan membuat para korban menjadi pribadi yang keras karena merasa tertekan selama mengalami kejadian tersebut. 3. Sulit bersosialisasi dengan Masyarakat, kehidupan mereka menjadi terasingkan selama ini dan membuat mereka susah untuk membiasakan kembali hidup diluar dan bersosialisasi dengan masyarakat.



2.2 FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Di dalam Islam sebagaimana diungkapkan oleh kitab suci Al-Qur'an sengaja dihadirkan Tuhan melalui utusan- Nya untuk membebaskan manusia dari ketertindasannya menuju kehidupan yang sejahtera; “Yukhrijuhum Min Al Zhulumat Ila Al Nur”, dan menjadi rahmat bagi alam semesta : “Wa Maa Arsalnaka Illa Rahmatan Li Al 'Alamin” (al-Qur'an). Visi keagamaan ini diungkapkan pula dalam sejumlah istilah dan konsep yang berbeda- beda. Beberapa di antaranya adalah keadilan, kejujuran, kebenaran, kebaikan (Al Ihsan, Al Birr, Al Ma'ruf), kemaslahatan umum (kebaikan publik), penghormatan terhadap martabat manusia (karamah Al Insan) dan sejumlah nilai-nilai moral yang agung dan mulia. Sebagai sasaran misi dan visi Islam, manusia menurut al-Qur'an adalah makhluk Tuhan yang paling terhormat dibanding ciptaan-Nya yang lain ; “Wa Laqad Karramna Bani Adam”. (al- Qur'an). Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan; Dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; Kekerasan pada perempuan di Indonesia sendiri telah di antisipasi dengan Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Faktor-Faktor Penyebabnya antara lain: 1. Karena ketimpangan historis hubungan kekuasaan antara laki- laki dan perempuan Mengakibatkan dominasi dan kriminasi terhadap perempuan. Peran gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya (laki-laki sebagai seorang superior). Budaya patriarki yang masih kuat sehingga laki-laki dianggap paling dominan, baik di dalam



keluarga maupun lingkungan sekitar. Adanya pengaruh sosial budaya dalam masyarakat yang menempatkan perempuan dan anak berada dalam kondisi yang marginal, dan ketidak berdayaan. 2. Adanya himpitan ekonomi keluarga. Kepala keluarga (suami) mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Nafkah merupakan suatu hak yang dimiliki seorang istri atau anak kepada ayahnya. Namun bila hal itu tidak diindahkan (dilakukan) oleh seorang ayah maka dapat menjadi suatu bentuk kekerasan ekonomi, dimana hal ini dapat menjadi penyebab terjadinya konflik (ketidakharmonisan) dalam keluarga. perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan. Perempuan yang berasal dari rumahtangga pada kelompok 25% termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya. Aspek ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling tidak diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan rumahtangga. 3. Adanya himpitan masalah kota besar yang mendorong stress. seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu permasalahan yang telah menjadi isu global. Hal ini dikarenakan kekerasan dalam lingkup domestik telah mengesampingkan kedudukan dan peran perempuan dalam keluarga. Adanya bias gender dalam kehidupan keluarga menjadikan perempuan tersubordinasi, termarginalisasi, mengalami beban kerja ganda, serta mengalami kekerasan. Dalam hal ini kekerasan telah merenggut hak-hak perempuan, diantaranya adalah hak untuk memiliki rasa nyaman, bebas dari ketakutan dan perlakuan kejam. Fenomena kekerasan dalam lingkup rumah tangga tak ubahnya fenomena gununges, dimana kenyataan yang tampak tidak sebanyak yang terjadi di lapangan data menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun angka kekerasan, terutama dalam lingkup domestic selalu mengalami peningkatan. bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, yaitu perselingkuhan, masalah ekonomi, campur tangan pihak ketiga, bermain judi, budaya patriarkhi, serta perbedaan prinsip. Faktor perselingkuhan merupakan faktor utama yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga.



2.3 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN Perlindungan dari kata lindung, mendapat awalan per dan akhiran –an. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia disusun W.J.S. Poerwodarminto bahwa perlindungan artinya tempat berlindung. Terkait dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon (1987:10) menyatakan sarana perlindungan hukum ada dua, yaitu : sarana perlindungan hukum preventif dan sarana perlindungan hukum represif. Sarana perlindungan hukum preventif terutama erat kaitannya dengan azas freis ermessen sebagai bentuk perlindungan hukum secara umum. Sedangkan sarana perlindungan hukum represif di Indonesia ditangani oleh badan-badan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi dan badan-badan khusus. Sarana perlindungan hukum represif yang dilakukan oleh pengadilan dalam bentuk penjatuhan pidana kepada pelaku. Salah satu tujuan penjatuhan pidana menurut Andi Hamzah dan Sumangelipu (1985:15) adalah perlindungan terhadap umum (protection of the public) termasuk di dalamnya perlindungan hukum terhadap korban. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Kekerasan Menurut Hulsman sebagaimana dikutip oleh Muladi (1985:12), menyebutkan bahwa pada hakikatnya hukum pidana mempunyai dua tujuan utama, yakni untuk mempengaruhi tingkah laku dan untuk menyelesaikan konflik. Pidana di satu sisi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, tapi di sisi yang lain juga agar membuat pelanggar dapat kembali hidup bermasyarakat sebagaimana layaknya. Sedangkan menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahid dan Muhammad Irfan (2001:99), usaha hukum pidana untuk mencapai tujuannya itu tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana (straf) yang dapat dirasakan sebagai custodia honesta, tetapi samping itu juga dengan menggunakan tindakan- tindakan (maatregel) yang dapat dirasakan sebagai noncustodia honesta. Tindakan ini pun merupakan suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya, sehingga maksud mengadakan tindakan itu untuk menjaga keamanan pada masyarakat terhadap orang-orang atau anak- anak yang sedikit banyaknya berbahaya dan akan melakukan perbuatan- perbuatan pidana. Tidak beda jauh dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro (2001:100), bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan, untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie), maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie). Jika dilihat dari tujuan hukum pidana menurut pendapat para ahli yang pada intinya adalah bersifat pengayoman pada masyarakat dan mengembalikan menyembuhkan pelaku (pelanggar atau penjahat) pada jalan yang benar (tidak bertentangan dengan hukum yang



berlaku), menurut Abdul Wahid dan Muhammad Irfan (2001:96), hal ini dapat diartikan bahwa tujuan hukum pidana Indonesia juga melindungi korban suatu tindak kejahatan. Penghukuman yang dijatuhkan pada pelaku ini merupakan salah satu hak yang dapat dituntut oleh pihak korban. Korban yang sudah dirugikan secara fisik dan psikologis menuntut para penegak hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku. Maka, diperlukan penerapan sanksi sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap korban. Mereka menyatakan bahwa dengan menerapkan sanksi hukum kepada pelaku, maka secara tidak langsung hal itu merupakan suatu bentuk perhatian (perlindungan) secara hukum kepada korban kejahatan. Perlindungan hukum kepada perempuan yang menjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas pada dihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat-akibat yang menimpanya. Meskipun sudah kelihatan cukup ideal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, namun tujuan itu masih lebih memihak pada kepentingan pelaku (pelanggar/penjahat), sedangkan kepentingan (hak asasi) masyarakat, kurang mendapatkan perhatian nyata sampai akhirnya masalah perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia internasional. Dalam kongres PBB VII Tahun 1985 di Milan tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, dikemukakan : hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana. Kongres PBB VII di Milan, Italia, tersebut juga menyebut tentang perlunya diambil tindakan-tindakan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap korban. Untuk lebih konkret lagi, yaitu apa yang dilakukan oleh Komite para Menteri Dewan Eropa (Committee of Ministers of the Council of Europe) pada tanggal 28 Juni 1985 menyetujui rekomendasi terhadap kedudukan korban dalam kerangka hukum pidana dan hukum acara pidana, sebagai bagian dari kampanye untuk memperbaiki perlakuan terhadap korban kejahatan dan terjadinya viktimisasi sekunder. Namun demikian, Dewan Eropa tersebut bukan merupakan organisasi satu-satunya yang telah melakukan upaya untuk memperbaiki kedudukan korban kejahatan dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Karena, pada tahun yang sama, PBB menyetujui Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Deklarasi tersebut adalah sebuah resolusi Majelis Umum PBB (Resolusi No. 40/34) yang disetujui pada tanggal 29 November 1985 oleh Mejelis Umum PBB, hanya beberapa bulan setelah Committee of Ministers of the Counil of Europe menyetujui Rekomendasi tersebut dan itu mencerminkan adanya kemauan kolektif masyarakat internasional untuk memulihkan keseimbangan antara hak-hak fundamental tersangka dan pelaku, dan hak-hak dan kepentingan korban. Adanya deklarasi tersebut didasarkan atas suatu filosofis bahwa korban harus diakui dan diperlakukan secara memadai atas dasar kemanusiaan. Karena itu, korban berhak akses terhadap mekanisme pengadilan dan memberikan ganti rugi yang tepat terhadap kerugian yang dideritanya. Di samping itu, korban juga berhak untuk menerima bantuan khusus yang memadai yang berkaitan dengan trauma emosional dan masalahmasalah lain yang disebabkan oleh terjadinya penderitaan yang menimpa diri korban. Selain pengenaan sanksi pidana kepada pelaku, hak-hak korban tersebut di atas inilah juga sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap korban. Pengertian kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 89 KUHP, yaitu yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi



(lemah). “Melakukan kekerasan” mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah. “Pingsan” diartikan tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian, yang dimaksud “tidak berdaya” dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikitpun, tetapi seseorang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya (R. Soesilo, 1996:98). Kekerasan terhadap perempuan yang ditemui pengaturannya dalam KUHP hanya meliputi kekerasan fisik saja dan belum meliputi kekerasan dalam bentuk lainnya. Selain membatasi pada jenis kekerasan secara fisik, KUHP juga membatasi kekerasan seksual terhadap perempuan hanya dapat dilakukan di luar perkawinan saja. Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengartikan kekerasan sebagai: Setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Ketentuan ini mengartikan kekerasan secara luas dalam segala bentuk atau cara dan kepada siapapun tanpa batasan. Menurut Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah: Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang, wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Mengenai batasan kekerasan terhadap perempuan yang termuat pada Pasal 1 Deklarasi tersebut tidak secara tegas disebutkan mengenai itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya (R. Soesilo, 1996:98). Kekerasan terhadap perempuan yang ditemui pengaturannya dalam KUHP hanya meliputi kekerasan fisik saja dan belum meliputi kekerasan dalam bentuk lainnya. Selain membatasi pada jenis kekerasan secara fisik, KUHP juga membatasi kekerasan seksual terhadap perempuan hanya dapat dilakukan di luar perkawinan saja. Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengartikan kekerasan sebagai: Setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Ketentuan ini mengartikan kekerasan secara luas dalam segala bentuk atau cara dan kepada siapapun tanpa batasan. Menurut Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah: Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang, wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan



pribadi. Mengenai batasan kekerasan terhadap perempuan yang termuat pada Pasal 1 Deklarasi tersebut tidak secara tegas disebutkan mengenai kekerasan dalam rumah tangga tetapi pada bagian akhir kalimat disebutkan “...atau dalam kehidupan pribadi”. Kehidupan pribadi dapat dimaksudkan sebagai kehidupan dalam rumah tangga. Rekomendasi Umum dari Konvensi Perempuan Nomor 19 memberikan penekanan untuk pentingnya menghapuskan kekerasan berbasis gender tersebut dengan menyebutkan: ”...bahwa kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.” Rekomendasi tersebut juga secara resmi memperluas larangan atau diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis gender sebagai berikut: “Tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan, atau mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan- tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan kebebasan lainnya.” Sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan setelah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, pemerintah membentuk Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga. Terhadap jenis-jenis kekerasan, dalam Undang-undang ini lebih diperluas lagi. Jenis-jenis kekerasan lain selain kekerasan fisik yang ilakukan terhadap perempuan, seperti kekerasan psikis, ekonomi, dan seksual dapat ditemui pada Pasal 1 sebagai berikut: Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Namun lingkup pengaturan undang-undang tersebut hanya dalam cakupan domestik, yaitu mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan atau berada dalam satu domisili yang sama, sehingga tidak dapat diberlakukan kepada korban perempuan pada umumnya yang tidak memenuhi kategori lingkup domestik tersebut. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perlindungan terhadap korban tindak pidana adalah suatu kegiatan pengembangan hak asasi manusia dan kewajiban hak asasi manusia. Perhatian dan perlindungan terhadap korban tindak pidana harus diperhatikan karena mereka sangat peka terhadap berbagai macam ancaman gangguan mental, fisik, dan sosial. Selain itu, kerap kali mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara, membela serta mempertahankan dirinya. (Arif Gosita 1995: 136). Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam (Lilik Mulyadi 2004;135):



a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Secara implisit, ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi: “Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.” Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101, dimana korban dapat mengajukan gugatan mengenai kejahatan yang telah dialaminya sekaligus kerugian yang dideritanya. c. Menurut Ketentuan Hukum Pidana di Luar KUHP dan KUHAP Perlindungan korban kejahatan dapat dilihat pula pada Undang- Undang di luar KUHP dan KUHAP. Hanya, orientasi perlindungan tersebut juga bersifat implisit dan abstrak. Tegasnya, perlindungan itu bukan imperatif, nyata, dan langsung. Undang-Undang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Lebih khusus lagi perlindungan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Pasal 1 ayat (4) Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan "Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan". 2.4 PANDANGAN KOMNAS HAM DALAM PERMASALAHAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Mengenai permasalahan kekerasan terhadap perempuan KOMNAS HAM belum cukup untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga negara membentuk institusi nasional HAM khusus yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang bertujuan untuk merespon isu hak-hak perempuan tentang persoalan HAM, khususnya persoalan kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah institusi nasional independen yang merupakan mekanisme penegakan Hak



Asasi Manusia, dibentuk oleh masyarakat untuk menuntut tanggung jawab negara atas peristiwa pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pembentukan Komnas Perempuan sendiri menurut Pasal 1 Perpres Nomor 65 Tahun 2005 adalah, “Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan”. Seperti adanya kampanye 16 hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilaakukan setiap tanggal 25 November-10 Desember tiap tahunnya. Dari hal tersebut Komnas Perempuan berpandangan memang Penting untuk memastikan bahwa Indonesia menjadi bagian dari perjuangan Perjuangan global melawan kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan. Dengan adanya penguatan landasan hukum, lembaga tersebut dapat memberikan kewenangan untuk membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berperspektif gender, dan memberikan kewenangan kepada pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan, penyidikan dan penuntutan guna mengadili pelaku kekerasan berbasis gender. Diantara Peraturan Perundang-undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan adalah: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008). Mengenai penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, seperti : a. Pelaku memiliki perasaan tertentu di dalam hatinya, dan dasar dari perilaku kekerasan ini seringkali bukanlah apa yang sebenarnya dia hadapi. Kenyataan membuktikan hal tersebut, dan fakta menunjukkan bahwa tidak ada akar penyebab pelaku melakukan kekerasan. b. Masih terdapat bias gender dalam undang-undang yang mengatur kekerasan terhadap perempuan. Hukum biasanya tidak berpihak pada perempuan korban kekerasan. Keadilan ini tidak hanya terkait dengan substansi hukum yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau korban, bahkan tidak ada muatan hukum yang dapat mengatur Nasib korban kekerasan lazim dialami perempuan c. Ketentuan tentang hubungan gender dalam Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan tahun 1974 mengatur bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga (Pasal 31 (3)). Jelas, artikel ini menganggap suami sebagai kepala keluarga. Oleh karena itu, ia adalah orang yang berhak bertindak atas nama keluarganya dalam segala hal. Pasal ini merupakan salah satu pasal yang mengandung bias gender 7 karena menempatkan perempuan (istri) pada posisi yang lebih rendah dan memasukkan mitos tentang tanggung jawab pengendalian reproduksi perempuan yang menjalankan tanggung jawab keluarga. Oleh karena itu, secara psikologis dan hukum, suami adalah seorang suami. Tampaknya hal ini bisa dilakukan terhadap kekerasan terhadap anggota keluarga, terutama istri dan anak-anaknya. Kelemahan undang-undang tersebut adalah ruang lingkup undang-undang



terbatas pada lingkup rumah tangga yaitu orang yang memiliki kerabat atau satu domisili, oleh karena itu Undang-Undang Pidana Indonesia mengatur tentang kekerasan seksual (khususnya kekerasan terhadap perempuan korban). Namun secara bertahap, hakim dapat mempertimbangkan perlindungan terhadap korban kekerasan, dan mengelola jenis kekerasan tersebut sesuai dengan "UU PKDRT" sebagai salah satu acuan untuk menentukan kasus kekerasan terhadap perempuan.



2.5 UPAYA PEMERINTAH DALAM MENEKAN ANGKA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Pemerintah Indonesia harus menangani kasus kekerasan terhadap perempuan yang serius di Indonesia. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak asasi setiap warga negara Indonesia, termasuk perempuan. Terbentuknya Komnas Perempuan sebagai lembaga independen merupakan bukti komitmen yang menjadi motor penggerak pelaksanaan HAM perempuan di Indonesia. Diharapkan melalui pembentukan Komnas Perempuan, hak-hak perempuan dapat terwujud dan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dapat dihapuskan. Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan upaya perlindungan terhadaap perempuan. Beragam pola yang digunakan untuk membuat perlu adanya pencegahan dan penanganan yang menyeluruh dan kerjasama dari semua pihak termasuk pemerintah. Terdapat langkah-langkah penanggulan kekerasaan terhadap perempuan dalam rencana kesiapsagaan dan penanggulangan daan mendapatkan penanganan yang cukup. Seperti adanya peraturan perundang-undang terkait pencegahan kekerasan. Dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Kemudian pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Maka dari itu, perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan yang merupakan hak perempuan juga menjadi tanggung jawab pemerintah karena seperti yang tertulis dalam UU No. 39 Tahun 1999 pasal 45Tentang HAM yang menyebutkan bahwa Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia. Data survei tahun 2013 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 18-24 tahun, 1 dari 2 laki-laki berusia sebelum 18 tahun pernah mengalami kekerasan seksual, dan pernah mengalami kekerasan fisik atau emosional satu kali. Sementara itu, kelompok usia 13-17 tahun menunjukkan bahwa tidak lebih dari 30% anak laki-laki dan perempuan melaporkan mengalami setidaknya satu atau lebih jenis kekerasan (kekerasan fisik, seksual dan emosional). Meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan korban kekerasan belum mendapatkan keadilan sehingga menunjukkan bahwa pemerintah belum berhasil menangani kasus kekerasan dan memberikan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan. Mengatasi kasus tersebut terdapat hambatan-hambatan, seperti :



1. Banyak yang menjadi korban kekerasan tetapi tidak melapor kepihak berwajib. 2. Ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dalam menangani kasus tersebut Kekerasan dan memberikan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan. 3. Aparat penegak hukum yang kurang waspada dalam menangani kasus kekerasan terjadap perempuan. Oleh karena itu, pemerintah daerah menyusun kebijakan dalam bentuk peraturan daerah. Dalam hal ini Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Selain itu, Kementerian PPPA telah mencanangkan tiga program andalan sejak tahun 2016 yang disebut tiga tujuan yaitu, mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan manusia, dan menghilangkan disparitas ekonomi perempuan



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang kita bahas di atas tersebut, maka dapat disimpulkan mengenai Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Hukum Hak Asasi Manusia sebagai berikut: 1. Kekerasan pada perempuan merupakan salah satu sebuah tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Hal ini yang menyebabkan tindakan ini termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia, permasalahan kejahatan khususnya tindak kekerasan pada perempuan merupakan bagian dari hal yang nyata dan bukan merupakan hal baru. Di Indonesia sendiri tindak kekerasan yang terjadi kepada istri merupakan hal yang biasa terjadi dan dialami pada sebagian perempuan, disini yang menjadi korban ialah pihak perempuan. 2. Oleh karena itu, perlindungan yang diharapkan oleh korban adalah perlindungan yang dapat memberikan rasa adil serta agar bisa menekan angka kekerasan pada perempuan diharapkan pemerintah dapat mengurangi dan mengontrol supaya tidak semakin banyak kekerasan pada perempuan. 3. Kekerasan juga termasuk sebagai tindakan yang dilakukan terhadap manusia yang lain yang berdampak melukai bahkan sampai menghilangkan hak seseorang, sebagai contoh kekerasan dalam rumah tangga dimana yang lebih sering terjadi pihak laki-laki dominan melakukan kekerasan kepada perempuan.  4. Sementara menurut perspektif hukum bila mana seseorang melanggar ketentuan hukum maka dapat dihukum kepada siapa pelakunya dengan tanpa melihat siapa korbannya dan siapa yang menjadi pelaku tersebut. Terdapat beberapa jenis kekerasan yang bisa dikaji, seperti kekerasan berdasarkan bentuknya, berdasarkan situs terjadinya, kekerasan seksual dan non seksual yang dibagi lagi menjadi kekerasan seksual berdasarkan intentensitasnya. 5. Stress pasca kejadian Traumatis, Para perempuan yang mengalami kekerasan tidak sepenuhnya sehat secara emosional karena dia akan menyadari bahwa hidupnya kacau, dan sedang menyesuaikan diri seperti kala sebelum kejadian kekerasan itu terjadi. Sulit bersosialisasi dengan Masyarakat, kehidupan mereka menjadi terasingkan selama ini dan membuat mereka susah untuk membiasakan kembali hidup diluar dan bersosialisasi dengan masyarakat. Dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; Kekerasan pada perempuan di Indonesia sendiri telah di antisipasi dengan Undang- Undang. 6. Karena ketimpangan historis hubungan kekuasaan antara laki- laki dan perempuan mengakibatkan dominasi dan kriminasi terhadap perempuan. Peran gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya . Budaya patriarki yang masih kuat sehingga laki-laki dianggap paling dominan, baik di dalam keluarga maupun



lingkungan sekitar. Adanya pengaruh sosial budaya dalam masyarakat yang menempatkan perempuan dan anak berada dalam kondisi yang marginal, dan ketidak berdayaan. 7. Rekomendasi Umum dari Konvensi Perempuan Nomor 19 memberikan penekanan untuk pentingnya menghapuskan kekerasan berbasis gender tersebut dengan menyebutkan«...bahwa kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan lakilaki». 8. Rekomendasi tersebut juga secara resmi memperluas larangan atau diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis gender sebagai berikut «Tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan, atau mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakantindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan kebebasan lainnya».



B. Saran 1. Berdasarkan kesimpulan tersebut, makalah ini mempunyai banyak kekurangan dan jauhnya dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat lah penyusun harapkan terutama dari bapak dosen dan rekan pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan menambah wawasan kita.Semoga makalah ini bermanfaat bagi pemakalah ataupun pembaca untuk memperluas ilmu pengetahuan tentang “Perlindungan Hukum Bagi Perempua Korban Kekerasan Dalam Hukum Hak Asasi Manusia”. 2. Pemerintah atau lembaga yang berwenang harus memberikan sosialisasi tentang substansi peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap hak asasi perempuan kepada masyarakat. Sosialisasi harus diberikan secara konsisten dan berkelanjutan agar masyarakat benar-benar memahami pengaturan tentang perlindungan terhadap hak asasi perempuan. 3. Polisi sebagai penyidik harus memberikan perhatian yang lebih khusus dalam memberikan pelayanan untuk pemenuhan hak wanita sebagai korban kekerasan dalam proses penyidikan, sebab akan menjadi berbeda menangani wanita yang menjadi korban kekerasan seksual dengan laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. 4. Undang-undang terkait harus lebih mengcover hak-hak korban kekerasan seksual dan prosedur pemberian pemenuhan hak wanita korban kekerasan seksual lebih dipermudah, serta sarana dan prasarana penunjang juga perlu dilengkapi.



DAFTAR PUSTAKA



Amalia, M. (2011). Kekerasan Perempuan dalam Perspektif Hukum dan Sosiokultural. Jurnal Wawasan Hukum, 25(02), 399–411. Andrew Lionel Laurika. (2016). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Lex Crimen, Vol. V, No. 2. Anggun Lestari Suryamizon. (2017). Perlindungan Hukum Preventif Terhadap Kekerasan Perempuan Dan Anak Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama Dan Jender, 16(2), 119. Linda Valerian, Human Rights and the Politeties of Terror, Human Rights: An Ovemeieu defining Torture. Gary E. Mccen Publiction Inc, 1955. Nunuk A Prasetyo. 2002.Gerakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: Kanisius. Patra, Rommy. 2012. Efektifitas Kelembagaan Komnas Perempuan Dalam Perlindungan HAM Bagi Perempuan Di Indonesia.MMH, Jilid 41 No.4. Pontianak, Kalimantan Barat Peter Mahmud Marzuki. (2006), Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group. Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000. Redaksi Kesrepro, 10 April 2021 15:53, Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam http://www. kesrepro.info/? taxanomy/term/2, Download Senin, 10 April 2021 Soerjono Soekanto,1986, Pengantar Penelitian Hukum Jakarta: UI. Press,