Hukum Warisan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HUKUM WARISAN DALAM ISLAM



DISUSUN OLEH : 1. GINA DWI SEPTARIANI AZHAR (A1C118060) 2. HENDRA FIANDANI 3. JIHAN KHAIRUNNISA ( A1C118074) 4. KHAYYIT KHALIL RIDHO (A1C118075)



UNIVERSITAS MATARAM 2019



BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG



Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. (Wikipedia, 2018) Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. "Dan untuk masingmasing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." (QS. 4/An-Nisa': 33) Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (‫)موارث‬, yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis. (Zurahman, 2019)



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1. Dasar – Dasar Hukum Waris Dalam Islam Dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu : 



Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya :



“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anakanakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masingmasing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetpan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Rahman, 1975:36) 



Surat An-Nisa’ ayat 12, yang artinya



“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah, dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi 3



wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Rahman, 1975:36) 2.2. Pedoman Waris Menurut Hadist 



Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil



Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, AtTirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua. Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu ia akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab : “Saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara perempuan”. (Zurahman, 2019) 



Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aibHadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain An-Nasai.



“Seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta hak kewarisan dari cucunya (yang meninggal itu). Abu Bakar berkata : “Dalam kitab Allah tidak disebutkan sesuatu untukmu dan juga tidak ada dalam hadits Rasulullah. Pulang sajalah dulu, nanti saya tanyakan kepada orang lain kalau ada yang mengetahui”. Kemudian Abu Bakar menyatakan kepada para sahabat mengenai hal tersebut. Mugirah menjawab pertanyaan Abu Bakar dan berkata : “Saya pernah melihat pada saat Rasulullah memberikan hak kewarisan untuk nenek dari seorang cucu yang meninggal sebanyak seperenam”. Abu Bakar bertanya : “Apakah ada yang lain yang mengetahui selain kamu?” Muhammad bin Maslamah tampil dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh Mugirah. Kemudian Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenek harta peninggalan cucunya”. 2.3. Pembagian Harta Waris Pembagian warisan dalam islam tidak hanya berdasarkan atas nasab. Ada spesifikasi dan pembagian yang berbeda antar status keluarga. Dari ayat al-quran yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diambil beberapa poin untuk menjelaskan mengenai pembagian harta waris dalam islam.



4



 Ahli Waris yang Mendapat ½ 



Suami yang istrinya meninggal. Syaratnya adalah ia tidak memiliki keturunan (laki-laki atau



perempuan), walaupun keturunan tersebut adalah anak tiri. 



Anak kandung perempuan. Syaratnya adalah ia tidak memiliki anak laki-laki dan anak



perempuan tersebut adalah anak tunggal. 



Cucu Perempuan dari keturunan anak laki-laki. Syaratnya adalah cucu tersebut tidak



memiliki anak laki-laki, merupakan cucu tunggal (satu-satunya), dan tidak memiliki anak perempuan ataupun anak laki-laki. 



Saudara kandung perempuan. Syaratnya saudara tersebut adalah seorang diri dan tidak



memiliki saudara lain. Ia pun tidak memiliki ayah atau kakek atau keturunan (anak laki-laki ataupun perempuan) 



Saudara perempuan yang se ayah. Syaratnya adalah ia tidak memiliki saudara (hanya seorang



diri) dan tidak memiliki saudara kandung. Ia pun tidak memiliki ayah atau kakek.  Ahli Waris yang Mendapat ¼ 



Suami yang ditinggalkan istrinya. Syaratnya adalah istri memiliki anak atau cucu dari



keturunan laki-lakinya. Cucu tersebuit bisa dari darah dagingnya atau tidak. 



Istri yang ditinggal suaminya. Syaratnya adalah suami tidak memiliki anak atau cucu



 Ahli Waris yang mendapat 1/8 



Istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang memiliki keturunan baik laki-laki atau



perempuan, baik anak tersebut berasal dari rahimnya atau bukan  Ahli Waris yang mendapat 2/3 



Dua orang anak kandung perempuan atau lebih yang tidak memiliki saudara laki-laki







Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laku yang dengan syarat bahwa pewaris



tidak memiliki anak kandung dan tidak mempunyai saudara laki-laki 



Dua saudara perempuan atau lebih dengan syarat bahwa pewaris tidak memiliki anak, tidak



memiliki ayah atau kakek, dan tidak memiliki saudara laki-laki 



Dua perempuan yang satu ayah dengan syarat tidak memiliki anak, ayah, atau kakek. Ia tidak



memiliki saudara laki-laki se ayah dan tidak memiliki saudara kandung. (Dalamislam, 2016)



5



2.4 Rukun –Rukun Mewarisi Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi Rukun- rukun waris. Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. (Ali, 1995) Menurut hukum islam, rukun-rukun mewarisi ada 3 yaitu : a)



Muwarrits (pewaris)



Menurut hukum islam, muwarrits (pewaris) adalah orang yang telah meninggal dunia dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya. (Bakhtiar, 2013) b)



Warits (ahli waris)



Menurut hukum islam, warits (ahli waris) adalah orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits. Sedangkan menurut KHI, Warits (ahli waris) adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. c) Mauruts (harta waris) Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun di sebut juga dengan tirkah atau turats. Harta peninggalan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi: a.



Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai



b.



Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian



c.



Hak-hak immateriil, misal hak syuf’ah (privilege)



d.



Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak gadai yang



sesuai syari’ah, penulis).



6



Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Mauruts (harta waris) adalah harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171 huruf e) 2.5 Syarat-Syarat Mewarisi Menurut hukum islam, masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya syarat- syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu : 1) Meninggal dunianya muwarris (pewaris). Kematian muwaris, menurut ulama, di bedakan ke dalam tiga macam, yaitu: a. Mati haqiqi (sejati), adalah kematian yang dapat di saksikan oleh panca indra. b. Mati hukmy (menurut putusan hakim), adalah kematian yang di sebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun sudah mati. c.Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang di dasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati. 2) Hidupnya warits (ahli waris). Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Masalah yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini antara lain mafqud, anak dalam kandungan, dan mati bersamaan. Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwaris dalam keadaan mengandung ketika muwaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat di tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan. 3) Mengetahui status kewarisan Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris, perbedaan jauhdekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang di terima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus di nyatakan 7



apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masingmasing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ashobah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang. (Zurahman, 2019)



2.6 Sebab-Sebab Mewarisi Menurut islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan si mati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali kiranya kalau penggantian ini di percayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuan, pertolongan, pelayanan, pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti suami istri. Atau di percayakan kepada orang-orang yang selalu menjunjung martabat dan nama baiknya dan selalu mendoakan sepeninggalnya, seperti anak-anak turunnya . Atau di percayakan kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya, mendidiknya dan mendewasakannya, seperti orang tua. Atau di percayakan kepada orang yang telah mengorbankan sebagian harta bendanya untuk membebaskan dari perbudakannya menjadi manusia yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti maulal-‘ataqah (orang yang membebaskan budak). (Rahman, 1975) Didapatkan dalam islam beberapa sebab yang menjadi pendukung mengapa seseorang tertentu di beri kewenangan memperoleh hak waris atas harta yang di tinggalkan, sebab yang menjadi penentu ini dalam literature fiqih disebutkan ada 3 hal: 1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), diantara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara keduanya. Adanya hubungan kekerabatan yang di tentukan oleh adanya hubungan darah seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya. 2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim(bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang bathil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.



8



3. Al –wala’, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Di sebut juga wala’ al-‘itqi dan wala’ an ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-‘itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Oleh karena itu, Allah SWT. Menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang di bebaskan bila budak itu tidak memliki ahli waris yang hakiki, baik karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada tali pernikahan. (Bakhtiar, 2013) Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :



‫للرجال نصيب مما ترك الولدان واألقربون وللنساء نصيب مما ترك الولدان واألقربون مما‬ ‫قل منه اوكثر نصيبا مفروضا‬ Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan karabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah di tetapkan. Adapun menurut ulama malikiyah, syafiiyah, dan hanbaliyah Menutut pendapat ulama-ulama ini yang di maksud dengan harta peninggalan itu adalah:” segala yang ditinggalkan oleh si mati, baik berupa harta benda maupun hak-hak. Baik hak-hak tersebut hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan.” 2.7 Halangan Mewaris Halangan untuk menerima warisan merupakan hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan pewaris Ahli waris yang terkena halangan ini disebut mahrum atau mamnu’ Dalam hukum kewarisan Islam ada tiga penghalang mewaris, yaitu : a. Pembunuhan Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, misalnya seseorang anak membunuh ayahnya maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang haknya untuk mewarisi. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana membuktikan bahwa seseorang telah bersalah melakukan pembunuhan terhadap si pewaris. Mengingat, banyak cara yang ditempuh seseorang untuk



9



mengahabisi nyawa orang lain, termasuk si korban adalah keluarganya sendiri. (Zurahman, 2019) b. Perbudakan. Pada masa lalu memang terjadi perbudakan manusia yang disebabkan oleh tawanan perang. Akibat dari perbudakan itu adalah hilangnya sifat “kemanusiaannya yang merdeka”, tetapi ia dianggap sebagai barang atau binatang yang selalu tunduk kepada tuannya, bahkan harta yang dibawanya pun milik tuan. (Muamalah, 2012) c. Berbeda Agama Yang dimaksud dengan berbeda agama adalah berbeda keyakinan antara orang yang akan saling mewarisi, seperti orang yang akan memberi warisan adalah orang yang beragama Islam sementara orang yang menerima warisan adalah beragama lain, seperti pewarisan kakak dengan adik, atau anak dengan bapak, atau cucu dengan kakek, dan sebagainya yang berbeda agama, baik agama Yahudi. Keristen, Hindu, Buda, dan lainnya. Dasar hukumnya adalah hadist Rasulullullah yang berbunyi: ‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال ال يرث المسلم الكافر وال يرث الكافر المسلم‬ “Nabi bersabda: Seorang muslim tidak dapat (saling) mewaris dengan orang kafir, dan (demikian juga) orang kafir tidak dapat (saling) mewarisi dengan orang muslim. Oleh karena perbedaan agama menjadi penghalang untuk mendapatkan warisan, maka apabila terjadi pemurtadan dalam sebuah keluarga, misalnya anak memeluk masuk agama lain, ia tidak berhak menerima pusaka dari ayahnya (atau lainnya yang dapat saling mewarisi), karena keyakinan yang berbeda tersebut, sekalipun sebelum pembagian harta warisan dibagikan ia (anak itu) kembali kepada agama Islam, menurut jumhur ulama. Sementara menurut Imam Ahmad dalam satu pendapatnya adalah boleh ia menerima, sebab ia sudah keluar dari sifat murtad tersebut. (Muamalah, 2012)



10



Daftar Pustaka Ali, Muhammad As-shabuni. 1995. Hukum Waris dalam Syariat lslam. Bandung : CV diponegoro Bakhtiar, Nurhasanah. 2013. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Riau : Aswaja Pressindo Dalamislam. 2016. Hukum Waris Islam dan https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-waris-islam



Pembagiannya.



Dikutip



dari



Fatchur, Rahman.1975. Ilmu Waris. Bandung : PT Al-Ma’arif Wikipedia. 2018. “Hukum Waris”. https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_waris Nasution, Amin Husain. 2012. Hukum Kewarisan. Jakarta : PT raja grafindo persada Suryansyah, Muhlis. 2012. Sebab-Sebab Hubungan dan Penghalang Warisan. Dikutip dari http://surya-muamalah.blogspot.com/2012/04/sebab-sebab-hubungan-dan-penghalang.html Zurahman, Azi. 2019. Warisan. Dikutip https://www.academia.edu/Documents/in/MAKALAH_HUKUM_WARISAN



dari



11