Ibadat 7 Sabda Yesus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUJUH SABDA YESUS DI SALIB Pembuka Kata-kata terakhir orang yang akan meninggal sangat berharga, terlebih bila orang itu adalah orang yang kita kasihi. Kadangkala kata-kata itu adalah ungkapan duka dan derita. Kadang kata-kata itu suatu penghiburan, atau bahkan pesan-pesan penting yang pantas diingat. Begitulah, sejak awal, Gereja mengingat dan merefleksikan katakata terakhir yang diucapkan oleh Yesus yang mereka cintai, menjelang Dia menghadapi penderitaan-Nya untuk menemukan makna yang dalam di tengah kehidupan mereka. Marilah kita melakukan apa yang telah lama dilakukan Gereja itu agar kita mendapatkan makna terdalam dari jeritan Hati Yesus yang diungkapkan menjelang akhir hidup-Nya.



Adoramus te Jesu Christe / Adoramus te Christ



Sabda Pertama: “Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Dari istana Pilatus sampai ke Golgota, tak terhitung mereka yang telah menyakiti dan menyiksa Yesus. Hujatan mereka tidak kalah menyakitkan dari cambuk, tendangan, pukulan para prajurit dan beban salib yang berat. Tubuh Yesus yang berlumuran darah dan berkali-kali terjerembab di bawah himpitan salib yang berat tidak menyentuh sedikit pun rasa kasihan mereka, malahan membuat mereka semakin buta dan berpesta karena penderitaan-Nya. Hari itu dan seringkali dalam sejarah, mata manusia dibutakan dari penderitaan sesama anak manusia, ciptaan Allah. Hantaman bertubi-tubi dan hujatan tiada akhir tidak memberikan Yesus istriahat barang sebentar. Sesampainya di Golgota, Ia ditelanjangi dan disalibkan. Paku-paku yang tajam menembus tangan dan kakinya. Dentangan palu bertemu paku bercampur dengan darah yang memancar dari tangan dan kaki mereka yang disalibkan. Oh pemandangan yang mengerikan. Namun di tengah erangan kesakitan yang terdengar dari Bukit Tengkorak, terdengar suara Sang Putra Manusia, bukan suara yang mengutuk, bukan suara putus asa, namun suara yang memohon, memohonkan maaf bagi kita semua yang tidak pernah sungguh tahu apa sebenarnya yang kita perbuat.



Doa Yesus ini membesarkan hati dan sekaligus melegakan sebab doa ini menunjukkan kemaharahiman Allah yang tak terbayangkan. Doa ini menampakkan bahwa kendati tentara-tentara dan para penghujat itu tidak pernah memohon pengampunan kepada Allah, namun Yesus malah justru memohonkannya bagi mereka, bagi kita semua. Marilah bersama-sama kita bermohon: “O Yesus, O Tuhan Yesus ampunilah aku.



O Christe Domino Jesu (1x Bapa Kami, 1x Salam Maria, 1x Kemuliaan)



Sabda Kedua: “Hari ini engkau akan bersamaku di Firdaus.” Ia disalibkan di antara dua orang penjahat. Entah apa yang telah mereka lakukan sehingga hidup mereka harus berakhir di kayu salib. Yang jelas, mereka pun anak manusia yang telah menderita bersama dengan Yesus sang Putra Manusia. Yang di kiri menghujat Dia, meminta Dia melakukan sesuatu yang tak mungkin, yaitu turun dari salib dan menyelamatkan diri-Nya sendiri. Betapa sering kita meminta Yesus mengabulkan permintaan kita yang tidak sesuai dengan Kehendak Ilahi. Sedangkan yang di kanan, sadar dengan dosa yang telah ia lakukan dan penghukuman yang ia terima karena dosanya itu, memohon kepada Yesus, ”Tuhan ingatlah aku bila Engkau masuk dalam kerajaan-Mu.” Sungguh iman yang luar biasa. Di tengah gelapnya salib dan kematian yang sudah mencengkram kuat, ia tidak berputus asa namun berpaling pada satu-satunya yang sanggup menyelamatkannya. Ia bukan hanya mengakui Yesus adalah Raja namun juga Tuhan Sang Penyelamat. Jawaban atas doa penjahat ini adalah, “Hari ini engkau akan bersamaKu di Firdaus.” Inilah satu-satunya kejadian dimana Surga dijanjikan sendiri melalui mulut Sang Sabda kepada seorang penjahat. Dan benar, bahwa pada saat paling akhir hidupnya, penjahat itu merasakan pengampunan, damai, dan keselamatan. Duka derita pejahat ini justru menjadi pintu gerbang bagi hidupnya yang lebih dalam dan kaya. Karena sabda Yesus, saat-saat di Golgota menjadi saat menentukan hidup penjahat itu dimana hidupnya yang lama, dengan segala suka-duka dan luka-lukanya, akan ditinggalkan dan kemudian mengenakan hidup baru yang disebut Firdaus. Penjahat ini dengan iman yang teguh, telah mencuri surga dari Sang Putra Allah sendiri. Bukankah hal itu juga dambaan hati kita? Bukankah kita juga menginginkan Firdaus dalam hidup kita? Dari sabda Jesus itu menjadi jelas bagi kita bahwa bila seseorang benar-benar berpaling pada Tuhan, maka yang kemarin penjahat besar hari



ini bisa menjadi santo. Santo Agustinus adalah salah satu contohnya. Ia menyadari hal itu ketika dengan sepenuh hati dia berucap, “Terlambat aku mencintai-Mu Tuhan.” Maka marilah, bersama dengan penjahat itu kita mohon kepada Tuhan untuk mengingat kita. “Jesus remember me, when you come into your Kingdom.”



Bonum est Confider



Jesus Remember Me



Sabda Keempat:



(1x Bapa Kami, 1x Salam Maria, 1x Kemuliaan)



Sabda Ketiga: “Ibu inilah anakmu,” “Inilah ibumu.” “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku seturut perkataan-Mu.” Kata-kata ini memulai Karya Penyelamatan Allah dalam diri Yesus. Kata-kata ini membuat Sang Sabda menjelma menjadi daging. Sejak kata-kata ini diucapkan, Maria adalah Ratu para Martir. Namun ia tetap taat pada kehendak Bapa. 40 hari setelah dilahirkan semua anak laki-laki sulung bangsa Israel dipersembahkan di Bait Allah. Namun tidak seperti ibu lainnya yang membawa pulang anaknya ke rumah, Maria mempersembahkan Yesus untuk hidup dunia. Pedang menusuk hatinya yang lembut. Penderitaan, kesedihan dan kekecewaan mengikuti dirinya. Dari kandang hina di Bethlehem, pengungsian ke Mesir, kehilangan kanak-kanak Yesus di Bait Allah, penolakkan oleh orang-orang Israel akan ajaran dan diri Yesus, sampai pada pengadilan Yesus dan jalan salib-Nya: Maria senantiasa mengikuti Yesus. Setiap kejadian itu ia renungkan dalam hatinya dan setiap peristiwa adalah kesanggupan Maria untuk melaksanakan kehendak Allah dalam hidupnya. Inilah puncak “iya” yang diucapkan Maria, ketika para rasul lari pontang-panting, Maria mengikuti semua proses yang terjadi atas Puteranya dan berdiri di bawah Salib. Di altar Golgota, Anak dan ibu bersatu mempersembahkan yang terindah bagi Allah dan manusia. Derita Yesus adalah deritanya juga. Di bawah palang penghinaan itu dia berdiri bersama Yohanes dan tiga wanita lain. Bisa dibayangkan bagaimana derita seorang ibu yang mendengar suara anaknya yang sedang menghadapi kesengsaraan dan kematian, ”Ibu inilah anakmu.” Lalu Ia berpaling kepada Yohanes dan kepada setiap orang di sepanjang masa yang juga berdiri di dekat Salib-Nya, Ia berkata, “Inilah ibumu.” Dan pada saat itu, kendati sulit bagi Maria, perlahan-lahan dia mengucapkan lagi doa yang dulu pernah dia ucapkan, “Terjadilah padaku menurut apa yang Engkau kehendaki.” Maria adalah teladan para pengikut Kristus. Bagaimana dengan kita?



(1x Bapa Kami, 1x Salam Maria, 1x Kemuliaan)



“AllahKu ya AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Kehilangan harapan, kekelaman, kesendirian, dan perasaan ditinggalkan: gelap. Itulah kata-kata yang dapat melukiskan apa yang sedang Yesus alami. Itulah pula penderitaan paling ngeri yang Ia rasakan. Karena Ia merasa kesendirian, merasa ditinggalkan baik oleh sahabatsahabat dan … bahkan Dia merasakan ditinggal oleh Bapa-Nya. Jesus lalu berdoa, “Allahku ya AllahKu mengapa Engkau meninggalkan Aku.” Sulit bagi kita untuk mengerti bagaimana Dia yang adalah Putera Allah sampai mengalami hal-hal seperti itu? Kita tidak sepenuhnya tahu. Dan menghadapi hal seperti itu, kita hanya bisa terpaku dalam diam. Namun bukankah kita juga sering mengalami hal yang sama, misalnya ketika kita dikhianati? Ditinggalkan orang yang semula kita percayai entah dalam bisnis, di tempat kerja atau bahkan di rumah? Bukankah pengalaman Yesus adalah bagian dari hidup harian kita? Yang jelas kita diundang untuk membagikan pengalaman serupa yang juga sering kita alami. Dalam hidup kita, ada saatnya dimana kita mengalami kedamaian hati, yang adalah salah satu anugerah terbaik dari Allah. Saat dimana Cinta Allah nampaknya menyentuh hati kita yang terdalam. Namun ada saatnya bahwa kedamaian hati itu tidak ada lagi. Kita seringkali masuk dalam gelapnya malam gelapnya jiwa kita. Kita mengalami apa yang disebut desolasi yang dapat membawa mengalami kekosongan. Pada saat seperti itu, seringkali hati kita memberontak, ingin keluar dari suasana. Namun memang ada kalanya, di saat kita menghadapi hal seperti itu, kita diajak untuk terus menerus menelusuri malam gelap jiwa kita, justru agar kita mampu menerima dan memahami kepenuhan hidup yang lebih dalam. Iman kita sering diuji dan diperkembangkan justru lewat gelapnya kehidupan. Pada saat seperti itu yang dibutuhkan dari kita adalah mempercayakan diri pada penyelenggaraan Illahi. Maka jangan takut dan janganlah cemas sebab di dalam Tuhan berlimpah rahmat. Jangan takut, yang penting kita serahkan Tuhan.



Nada de Turbe (1x Bapa Kami, 1x Salam Maria, 1x Kemuliaan)



Sabda Kelima: “Aku haus.”



Yesus begitu lelah oleh penderitaan, hilangnya darah dan keluarnya keringat. Dia mencari dan mengharap seseorang bisa memberi seteguk air pelepas dahaga. Dan seorang algojo memberi anggur asam. Namun barangkali dahaga yang Dia rasakan lebih besar daripada kehausan fisik itu. Kehausan secara fisik itu kemungkinkan hanyalah cermin akan haus yang dirasakan Yesus akan hal-hal lain yang lebih mendalam. Seluruh hidup Yesus adalah manifestasi Cinta dan barangkali obat dari kehausanya adalah manusia pencinta, yang mencintai Dia sebagai balasan cintakasih yang telah lebih dulu Ia berikan. Namun yang diterima adalah anggur asam simbol penolakan, penghinaan, hojatan. “Aku haus,” dalam keseluruhan peristiwa dan sabda di sekitar penyaliban adalah sabda yang paling bercorak personal karena yang dimaksudkanya adalah haus akan dunia yang hidup berdasarkan kasih. Bukankah duka dan derita Tuhan yang paling dalam memang disebabkan cintakasih-Nya yang ditolak? Karena dewasa inipun penolakan terhadap cintakasih Allah masih saja berlangsung dalam pelbagai bentuknya. Maka marilah kita mohon diberi cinta kasih, karena dimana ada kasih di situ Tuhan hadir.



sebelah kanan takhta Allah.” Yesus menyempurnakan pengorbanan-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya untuk meyakinkan kita bahwa rahmat kemuliaan abadi hanya diberikan Tuhan bagi ia yang berjuang sampai akhir, seperti yang Ia sendiri katakan “orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.” Maka ketika kita menghadapi godaan dan cobaan bahkan penganiayaan, ketika kita merasa terganggu dan hilang kesabaran, marilah kita memandang Dia yang tersalib. Ketika kita merasa puas diri, merasa bisa melakukan semuanya dengan kekuatan sendiri, ketika kita tidak acuh terhadap penderitaan sesama dan karya pelayanan kita, marilah kita dengan rasa malu karena kesombongan ini memandang Salib-Nya. Saliblah kebanggan kita. Saliblah tumpuan iman dan harapan kita. Salib adalah sumber cinta yang tak kunjung kering. Di Salib-lah Kristus menyelesaikan seluruh Karya Keselamatan dan memulihan seluruh ciptaan. Maka ya Tuhan, semoga dengan salib dan sengsara-Mu Engkau membebaskan kami.



Per Crucem / Crucem Tuam (1x Bapa Kami, 1x Salam Maria, 1x Kemuliaan)



Sabda Ketujuh:



Ubi Caritas et Amor (1x Bapa Kami, 1x Salam Maria, 1x Kemuliaan)



Sabda Keenam: “Sudah selesai.” Setelah mencicipi anggur asam itu, Ia melihat semua penderitaan manusia di masa lampau dan masa depan, semua doa-doa para nabi dan manusia sepanjang masa, semua luka dan dosa di masa lampau dan di masa yang akan datang, dan melihat bahwa semua korban di masa lampau yang menyiratkan penderitaan-Nya serta semua nubuat yang dibuat mengenai Hidup dan Wafatnya telah terpenuhi, maka ia berkata, “sudah selesai.” Kitab Suci mendorong kita untuk terus berlari dan menghadapi semua tantangan hidup dengan kesabaran untuk mencapai keselamatan: marilah kita “berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di



“Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Namun di sini, di Salib, Anak Manusia meletakkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. Penginjil mencatat bahwa Ia berteriak dengan suara nyaring, pertanda Yesus masih sadar dan kuat. Namun karena segalanya sudah selesai, maka Ia pun dengan rela meletakkan nyawaNya. Ketika sakit dan duka derita semakin menjadi-jadi, ketika kegelapan hati tengah menyelimuti, atau ketika ada cintakasih yang dilukai, kita merasakan beratnya hidup. Namun sesungguhnya lewat peristiwa-peristiwa itu bisa dinantikan munculnya hidup yang baru. Karena berkat Yesus tragedi kemanusiaan justru diberi makna baru, seperti dikatakan dalam perumpamaan, “Seperti biji gandum yang tumbuh mesti jatuh dulu ke tanah dan mati.” Kematian suatu benih itu tersembunyi di dalam tanah. Tidak kelihatan. Begitu juga kehidupan barunya, seringkali tersembunyi. Hanya bisa dirasakan saja. Mungkin pertumbuhan hidup justru terjadi saat penderitaan kita menjadi semacam teriakan kepada Tuhan untuk minta tolong. Atau juga dapat terjadi



pada saat pikiran dan perbuatan kita betul-betul membalik ke arah Allah dimana dambaan Tuhan menjadi harapan kita, kehendak Tuhan menjadi kehendak kita. Pertumbuhan hidup itu justru sering terjadi ketika kita, dengan tulus hati, bisa berucap bersama dan seperti Yesus, ”Ke dalam tangan-Mu kuserahkan jiwaku.” Daya hidup Ilahi akan tumbuh dalam diri kita kalau kita mau mengijinkanya. Mungkin hal itu justru melalui luka-luka hidup harian kita: Kegelisahan, salah pengertian, kesedihan, kegagalan, pengalaman kesendirian, dll. Marilah kita percaya bahwa tidak ada salib yang tidak mengarahkan kita kepada kebahagiaan dan kemuliaan kebangkitan. Ketika kita memandang salib, ungkapkanlah kepasrahan hidup kita pada Tuhan. Janganlah takut karena hanya pada Tuhan ada pengharapan.



Mon Ame se Repose (1x Bapa Kami, 1x Salam Maria, 1x Kemuliaan)



Penutup P. Marilah berdoa,..... U. O Yesusku, hidup-Mu adalah cinta. Semoga cinta dan pengorbanan-Mu senantiasa merasuki jiwa dan hati kami sehingga kami semakin bersatu dalam dikau dan berbuah dalam karya pelayanan kami. Semoga kami tak kenal lelah dalam mengabdi dan berkarya bagi Dikau, Gereja dan masyarakat kami sehingga di akhir perjalanan hidup kami, kami dapat menyerahkan seluruh buah-buah hidup kami sebagai persembahan yang berkenan kepada Dikau. O Maria, Bunda Allah, aku mempercayakan diriku ke dalam doa-doamu. Doakanlah agar aku hidup dan mati dengan kesetiaan penuh kepada Putramu. Amin.



Bleib Mit Deiner Gnade / When the Night Becomes Dark,



Beberapa Petunjuk



1. Ibadat ini berfokus pada Salib dan Yesus Tersalib. Maka Salib sebisa mungkin diletakkan di tengah fokus perhatian umat dan dapat dilihat dengan jelas. 2. Bila ibadat ini dilaksanakan pada masa di luar Pekan Suci, di sekitar Salib diletakkan 7 lilin yang cukup besar. Setiap kali 1 sabda dibacakan dan sebelum renungan, 1 lilin dinyalakan. Begitu berikutnya sampai 7 sabda dibacakan dan 7 lilin bernyala. Lambang bahwa Sabda Yesus adalah penerang hidup kita. 3. Sedangkan bila Ibadat ini dilaksanakan pada Pekan Suci, bila memungkinkan, di sekitar Salib diletakkan 7 lilin menyala yang cukup besar. Setiap kali 1 sabda dibacakan dan sebelum renungan, 1 lilin dimatikan. Begitu seterusnya sampai 7 sabda dibacakan dan 7 lilin dipadamkan. Ini adalah lambang kegelapan yang melingkupi dunia setelah Kristus wafat. 4. Pemimpin ibadat dan umat dapat meninggalkan tempat Ibadat dengan tenang untuk memberi kesempatan bagi yang ingin berdoa lebih lanjut. Lagu-lagu dapat terus dinyanyikan. 5. Lagu-lagu dimaksudkan untuk membantu umat dalam kontemplasi mereka. Lagu dapat diulang-ulang sesuai kebutuhan dan dibawakan dalam suasana meditatif.



TUJUH SABDA YESUS DI SALIB



Paroki Hati Kudus Yesus – Sukoharjo Jl. Slamet Riyadi 26 Sukoharjo 57514