Ikterus Kholastatik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



BAB I KONSEP DASAR MEDIS A. DEFINISI Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan



oleh



bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin heme pada metabolisme sel darah merah. (Sulaiman.2007). Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu dan penyakit darah (khususnya kelainan sel darah merah). Kadar normal bilirubin dalam serum berkisar antara 0,3 – 1,0 mg/dl dan dipertahankan dalam batasan ini oleh keseimbangan antara produksi bilirubin dengan penyerapan oleh hepar, konyugasi dan ekskresi empedu. Bila kadar bilirubin sudah mencapai 2 – 2,5 mg/dl maka sudah telihat warna kuning pada sklera dan mukosa sedangkan bila sudah mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak berwarna kuning. Ikterus terjadi karena peningkatan kadara bilirubin direk (conjugated bilirubin) dan atau kadar bilirubin indirek (unconjugated bilirubin). (Abdoerrachman. 2007) B. ETIOLOGI Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula vateri, sehoingga ikterus obstruktif berdasarkan lokasi obstruksinya dibedakan atas ikterus obstruksi ekstrahepatik dan intrahepatik. Adapaun penyebab ikterus ekstrahepatik antara lain : 1.



Atresia biliaris



2.



Stenosis duktus biliaris



3.



Hipoplasia biliaris



4.



Massa (batu, neoplasma) 5. Perforasi spontan duktus biliaris Penyebab ikterus obstruktif intrahepatik :



6.



Idiopatik : a) Hepatitis neonatal idiopatik. Kelianan ini ditandai oleh



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



peningkatan kadar bilirubin direct dan bilirubin indirect yang dihubungkan dengan adanya giant cell transformation dalam parenkim hati b) Kolestasis intrahepatik persisten 7.



Kelainan anatomis struktur intrahepatik



8.



Defisiensi alfa-1 antitripsin 9. Hepatitis. Peradangan intrahepatik pada hepatitis mengganggu transport bilirubin terkonyugasi dan menyebabkan ikterus.



10.



Defisiensi alfa-1 antitripsin



11.



Gangguan genetik & kromosom



C. PATOFISIOLOGI Patofisiologi ikterus obstruktif juga belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan gambaran histopatologik, diketahui bahwa karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan duktus bilier ekstrahepatik mengalami kerusakan secara progresif. Pada keadaan lanjut proses inflamasi menyebar ke duktus bilier intrahepatik, sehingga akan mengalami kerusakan yang progresif pula.6 Hasil penelitian terbaru telah mempostulasikan malformasi kongenital pada sistem ductus bilier sebagai penyebabnya. Tapi bagaimana pun juga kebanyakan bayi baru lahir dengan Atresia Bilier, ditemukan lesi inflamasi progresif yang menandakan telah terjadi suatu infeksi dan/atau gangguan agen toksik yang mengakibatkan terputusnya duktus biliaris. (Schwarz.2011) Pada atresia bilier tipe III, varian histopatologis yang sering ditemukan, sisa jaringan fibrosis mengakibatkan sumbatan total pada sekurang-kurangnya satu bagian sistem bilier ekstrahepatik. Duktus intrahepatik, yang memanjang hingga ke porta hepatis, pada awalnya paten hingga beberapa minggu pertama kehidupan tetapi dapat rusak secara progresif oleh karena serangan agen yang sama dengan yang merusak ductus ekstrahepatik maupun akibat efek racun empedu yang tertahan lama dalam ductus ekstrahepatik. (Schwarz.2011) Peradangan aktif dan progresif yang terjadi pada pengrusakan sistem bilier dalam penyakit Atresia Bilier merupakan suatu lesi dapatan yang tidak melibatkan



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



satu faktor etiologik saja. Namun agen infeksius dianggap lebih memungkinkan menjadi penyebab utamanya, terutama pada kelainan atresia yang terisolasi. Beberapa penelitian terbaru telah mengidentifikasi peningkatan titer antibodi terhadap retrovirus tipe 3 pada pasien - pasien yang mengalami atresia. Peningkatan itu terjadi pula pada rotavirus dan sitomegalovirus.



Gambar 3. Kolestasis intrahepatal (atas) dan kolestasis ekstrahepatal (bawah) (Robbims.2007)



Efek patofisiologis yang nyata terlihat pada ikterus obstruktif adalah tidak adanya komponen garam empedu dan bilirubin dalam usus. Tidak adanya bilirubin dalam usus menyebabkan tinja pasien dengan ikterus obstruksi berwarna pucat. Tidak adanya garam empedu menimbulkan malabsorbsi lemak, sehingga timbul gejala steatorea dan defisiensi vitamin larut lemak seperti vitamin A, K, dan D. Defisisensi vitamin K akan mengurangi kadar protrombin, sehingga menimbulkan gangguan pembekuan darah. Pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan, yang disertai malabsorbsi vitamin D dan Ca, dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis atau osteomalacia. Kadang-kadang pruritus timbul sebagai



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



gejala awal, hal ini berkaitan dengan peningkatan kadar asam empedu dalam plasma dan pengendapannya di jaringan perifer terutama kulit. Kadang-kadang



D. MANIFESTASI KLINIS Pasien yang mengalami ikterus obstruktif umumnya datang dengan keluhan mata dan kulit berwarna kuning, urin berwarna gelap dan feses yang pucat. Sering pula pasien datang dengan keluhan gatal-gatal pada kulit. Bayi yang yang disertai infeksi biasanya terlihat lesu dan nafsu makan menurun. Riwayat demam, kolik bilier serta ikterus yang intermitten mengarahkan kita pada diagnosis cholangitis dan choledocholithiasis. (Kader.2012) E. PEMERIKSAAN PENUNJANG



a. Pemeriksaan Laboratorium Hiperbilirubinemia terkonjugasi, didefinisikan sebagai peningkatan bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL atau lebih dari 20% total bilirubin. Bayi dengan Atresia Bilier menunjukkan peningkatan moderat pada bilirubin total, yang biasanya antara 6-12 mg/dl, dengan fraksi terkonjugasi mencapai 50-60% dari total bilirubin serum. Memeriksa kadar alkaline phosphatase (AP), 5' nucleotidase, gamma-glutamyl transpeptidase (GGTP), serum aminotransferases dan serum asam empedu. Pada semua tes ini, terjadi peningkatan baik dalam hal sensitivitas maupun spesifitas. Sayangnya, tidak ada satu pun pemeriksaan biokimia yang dapat membedakan secara akurat antara Atresia Bilier dengan penyebab kolestasis lain pada neonates. (Schwarz.2011) Sebagai tambahan terhadap hiperbilirubinemia terkonjugasi (temuan universal terhadap semua bentuk kolestasis neonatus), abnormalitas pemeriksaan enzim termasuk peningkatan level AP. Pada bebrapa kasus, peningkatan AP akibat sumber skeletal dapat dibedakan dengan yang berasal dari hepar dengan menghitung fraksi spesifik hati, 5` nucleotidase. (Schwarz.2011)



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



b. Pemeriksaan Radiologis 1. Ultrasonography / Color Doppler Ultrasonography Sindrom kolestasis neonatus dapat dibedakan dengan anomali sistem bilier ekstrahepatik dengan menggunakan US, terutama kista koledokal. Saat ini, diagnosis kista koledokal harus dibuat dengan menggunakan US fetal in utero. 2. Hepatobiliary scintiscanning (HSS) Hepatobiliary scintigraphy selama beberapa tahun digunakan sebagai modalitas untuk mendiagnosis atresia bilier.14 Sensitivitas dari scintigraphy untuk mendiagnosis Atresia bilier terlihat cukup tinggi dati 2 retrospektif (83% sampai 100%), dengan secara nyata pasien yang terkena tidak menunjukkan eksresi. Akan tetapi spesifitas dari modalitas in sedikit berkurang yakni sekitar 33% sampai 80%. (Benchimol.2009) Jika ekskresi dari radiotracer terlihat/keluar dari, diagnosis atresia bilier dapat dikeluarkan. Namun jika radiotracer tidak terlihat dalam 24 jam ataupun setelahnya (seperti gambar dibawah ini), dapat dicurigai atresia bilier. (Zukotynski.2011) 3. Cholangiography Intraoperatif Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan anatomis traktus biliaris. Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika biopsi hati menunjukkan adanya etiologi obstruktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode memasukkan kontras ke dalam saluran empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi eksploratif dilaksanakan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan scintiscan gagal menunjukkan hasil yang adekuat Hepatobiliary scintigraphy selama beberapa tahun digunakan sebagai modalitas untuk mendiagnosis atresia bilier. Sensitivitas dari scintigraphy untuk mendiagnosis Atresia bilier terlihat cukup tinggi dati 2 retrospektif (83% sampai 100%), dengan secara nyata pasien yang terkena tidak



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



menunjukkan eksresi. Akan tetapi spesifitas dari modalitas in sedikit berkurang yakni sekitar 33% sampai 80%. Jika ekskresi dari radiotracer terlihat/keluar dari, diagnosis atresia bilier dapat dikeluarkan. Namun jika radiotracer tidak terlihat dalam 24 jam ataupun setelahnya (seperti gambar dibawah ini), dapat dicurigai atresia bilier. 4. Cholangiography Intraoperatif Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan anatomis traktus biliaris. Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika biopsi hati menunjukkan adanya etiologi obstruktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode memasukkan kontras ke dalam saluran empedu lalu kemudian difoto XRay ketika laparotomi eksploratif dilaksanakan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan scintiscan gagal menunjukkan hasil yang adekuat. F. PENATALAKSANAAN Penanganan kasus ikterus obstruksi bertujuan menjamin kelancaran aliran empedu ke duodenum dengan menghilangkan sumbatan dengan cara pembedahan seperti, pengangkatan batu, reseksi tumor, atau tindakan endoskop laparoskopi atau laparoskopi eksplorasi terutama pada kasus yang dicurigai sebagai biliary atresia. Bila penyebab sumbatan tidak dapat diatasi maka aliran empedu dapat dialihkan dengan drainase eksterna atau drainase interna dapat dilakukan dengan jalan membuat pintasan biliodigestive atau bypass, misalnya kholesisto- jejunostomi, kholedoko-jejunostomi, hepatiko- jejunostomi. Pada kasus ikterus obstruktif kausa hepatitis, sebaiknya diobati secara konservatif dan berupaya agar kerusakan sel hati masih bersifat reversible. (Abdoerrachman.2007) G. PROGNOSIS Jika ikterus obstruktif disebabkan oleh hepatitis neonatorum tipe giant cell transformation, maka prognosis umumnya buruk. Mortalitas kira-kira 30-40%. Prognosis ini berhubungan dengan lengkap atau tidaknya “giant cell transformation” itu. Pada penderita dengan “giant cell transformation” lengkap, pada hepar akan terjadi kolaps pasca nekrotik dan fibrosis yang merata tanpa tonjolan yang regeneratif. Hal ini disebbaka oleh sifat sel raksasa hati yang tidak dapat bereproduksi. Biasanya penderita meninggal dengan ikterus yang berat dan beberapa



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



gejala yang mirip dengan gejala yang disebabkan atresia bilier. Prognosis “giant cell transformation” yang tidak lengkap sebaliknya tidak terlalu buruk, kecuali bila disertai atresia bilier atau infeksi rekuren. Sebabnya ialah karena bagian parenkim yang masih normal dan mengandung kanal empedulambat laun dapat beregenerasi menggantikan sel raksasa hati yang degenerative dan berjangka hidup terbatas, sehingga kadang-kadang dapat mencapai keadaan hamper normal, baik struktur maupun fungsionalnya Sedangkan ikterus obstruksi kausa atresi bilier memiliki prognosis lebih baik jika mendapat operasi yang tepat dan cepat. Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak penderita Atresia Bilier yang telah mengalami portoenterostomy adalah 47-60% dalam 5 tahun dan 25-35% dalam 10 tahun. Sepertiga dari semua pasien ini , mengalami gangguan aliran empedu setelah mendapat terapi bedah,sehingga anak-anak ini terpaksa menderita komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun pertama kehidupan mereka meskipun transplantasi hati sudah dilakukan. Komplikasi yang dapat terjadi setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan hipertensi portal (>60%)



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



BAB II KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN A. PengkajianKeperawatan Kemampuan individu harus diidentifikasi oleh perawat melalui proses pengkajian sebagai langkah awal dalam proses keperawatan. Pada tahap ini perawat juga harus melihat riwayat kesehatan individu. Informasi ini dapat diperoleh dari hasil penilaian profesi lain atau dari individu dan keluarga. Hal ini akan menjadi dasar bagi perawat untuk dapat menentukan bagaimana individu dapat berperan memenuhi self care secara mandiri atau membutuhkan bantuan dari perawat. Menurut Orem ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pengkajian : 1. Basic Conditioning Faktor Basic conditioning factor meliputi : usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, status perkawinan, suku, budaya, agama, pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, status kesehatan, system pelayanan kesehatan yang tersedia dan terjangkau, serta bagaimana individu memanfaatkan keberadaan sistem pelayanan kesehatan tersebut saat mengalami masalah kesehatan. Kondisi diatas akan mempengaruhi individu dalam memenuhi kebutuhan ADL dan perawatan dirinya. 2. Universal self care requisites Universal self care requisites, meliputi kebutuhan dasar individu yang bersifat biopsikososial, yaitu : kebutuhan akan udara, cairan, nutrisi, pemenuhan kebutuhan eliminasi, kebutuhan istirahat dan aktivitas, keseimbangan antara interaksi dan isolasi sosial, mencegah dan mengatasi risiko yang mengancam kehidupan, serta meningkatkan fungsi dan perkembangan dirinya dalam kehidupan sosial. a. Keseimbangan oksigenisasi Pengkajian keseimbangan oksigenasi pasien endokrin meliputi : frekuensi, kedalaman, bunyi pernafasan, pernafasan cuping hidung, adanya batuk dengan atau tanpa sputum, batuk berdarah, adanya nyeri dada, bentuk dan pengembangan dada, risiko gangguan bersihan jalan nafas. Penting bagi perawat untuk menilai terjadinya infeksi paru atau adanya edema paru pada pasien HD dengan kelebihan cairan.



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



b. Keseimbangan cairan dan elektrolit Meliputi keadaan cairan tubuh, kebutuhan cairan, jenis cairan, kemampuan pemenuhan kebutuhan cairan, tanda-tanda dehidrasi, berkaitan dengan pemeriksaan laboratorium untuk menilai kondisi cairan dan elektrolit. Pada pasien dialisis berisiko untuk terjadi hiponatremi, hiperkalemi, hiperfosfatemi, hiperkalsemi. Edema tungkai atau edema paru sering ditemukan pada pasien HD dengan kelebihan cairan. c. Pemenuhan kebutuhan nutrisi Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang harus dikaji meliputi nafsu makan,adanya keluhan mual, muntah, berat badan, lingkar lengan atas, kepatuhan dengan diet, pengetahuan pasien tentang diet dan hasil laboratorium untuk menilai status nutrisi pasien. Kondisi komplikasi gastroparesis, atau gastropati uremikum dapat memunculkan gejala adanya kelainan dalam pemenuhan nurisi. Tanda dan gejala gangguan nutrisi di tingkat sel akibat defisiensi insulin. d.



Pemenuhan kebutuhan eliminasi Pengkajian eliminasi meliputi : perubahan pola, retensio urin, dan inkontinensia urin atau alvi, kemampuan berkemih secara normal, anuria pada DKD tahap akhir, tanda-tanda neurogenik bladder, melena dapat terjadi pada kondisi gastropati uremikum. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjukan adanya penurunan fungsi ginjal, misalnya mikroalbuminuria pada nefropati diabetik.



e.



Kebutuhan aktivitas dan istirahat Pengkajian meliputi kemampuan mobilisasi, beraktivitas, gangguan tidur, tingkat nyeri, penurunan tonus dan kekuatan otot, keluhan rasa mudah lelah, gangguan atau penurunan motorik.



f.



Interaksi dan isolasi sosial Pasien degan gangguan penyakit kronis seperti DM dengan HD, perlu untuk dikaji tentang adanya perasaan berbeda dengan orang lain karena terkait perubahan pola hidup seperti : harus suntik insulin setiap sebelum makan, datang ke rumah sakit atau unit dialisis 2 kali setiap minggu, pengaturan makan



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



dan asupan minum yang relatif ketat. Penilaian gejala gejala yang mengarah pada gangguan psikososial depresi, stress, tingkat kecemasan, tingkat ketergantungan pada orang lain, penerimaan terhadap penyakit, kontak sosial, dukungan sosial, dan partisipasi dalam perawatan pasien selama dalam masa perawatan di rumah sakit. g.



Pencegahan dan mengatasi resiko yanag mengancam jiwa Meliputi pengkajian adanya komplikasi kardiovaskular (sindrom koroner akut), gagal jantung akibat kelebihan asupan cairan, infeksi yang meluas (sepsis) akibat luka kronik, risiko cedera akibat penurunan persepsi sensori, kecacatan, serta risiko terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemi dan ketoasidosis (ensefalopati diabetikum/uremikum). diabetikum/uremikum).



h.



Peningkatan fungsi dan perkembangan hidup dalam kelompok sosial Ketersediaan sistem pendukung dan keterlibatan pasien dalam perkumpulan/ komunitasnya, serta kemampuan pasien dalam pemenuhan self care. 1. Developmental self care requisites Terdapat tiga kondisi yang menunjukan proses perkembangan dan kematangan individu dalam mencapai fungsi yang optimal untuk mencegah terjadinya kondisi yang dapat menghambat perkembangan tersebut. Yaitu : mempertahankan kondisi yang dapat meningkatkan perkembangan, penggunaan perkembangan diri, dan mencegah atau menanggulangi kondisi individu dan situasi lingkungan yang dapat merugikan perkembangan individu, seperti : beradaptasi dengan mengatur jadwal kegiatan harian, membentuk kebiasaan yang kondusif dengan kebutuhan perawatan penyakit kronis, bersikap terbuka dan mau berbagi dengan orang lain yang mengalami kondisi yang sama. 2. Health deviation self care requisites Terdapat tiga tipe kebutuhan, yaitu : berhubungan dengan perubahan struktur fisik, berhubungan perubahan fungsi fisik, dan berhubungan dengan dengan perubahan perilaku. Seperti penurunan fungsi penglihatan karena retinopati atau terjadinya deformitas kaki yang mempengaruhi



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



terjadi perubahan aktivitas pasien, menggunakan alas kaki yang tepat sesuai anjuran.



B. Diagnosis Keperawatan 1.



Nyeri Akut Kategori



: Psikologis



Subkategori



: Nyeri dan kenyamanan



Kode



: D.0077



a. Definisi Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak atau lambar dan berintraksi ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan b. Penyebab 1) Agen pencedera fisiologis ( mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma) 2) Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan) 3) Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan) c. Gejala dan Tanda Mayor Subjektif Mengeluh Nyeri Objektif 1) Tampak meringis 2) Bersikap protektif (mis. Posisi menghindari nyeri) 3) Gelisah 4) Frekuensi nadi meningkat 5) Sulit tidur d. Gejala dan tanda Minor Subjektif Tidak tersedia Objektif 1) Tekanan darah meningkat 2) Pola napas berubah 3) Nafsu makan berubah



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



4) Proses berfikir terganggu 5) Menarik diri 6) Berfokus pada diri sendiri 7) Diaphoresis e. Kondisi klinis terkait 1) Kondisi pembedahan 2) Cedera traumatis 3) Infksi 4) Sindrom korener akut 5) Glaucoma



2. Defisit Nutrisi a. Definisi Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme b. Gejala dan Tanda Mayor Subjektif: tidak tersedia Objektif: Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal c. Gejala dan Tanda Minor: Subjektif: 1. Cepat kenyang setelah makan 2. Kram/Nyeri abdomen 3. Nafsu makan menurun Objektif : 1. Bising usus hiperaktif 2. Otot pengunyah lemah 3. Otot menelan lemah 4. Membran mukosa pucat 5. Sariawan 6. Serum albumin turun 7. Rambut rontok berlebihan 8. Diare d. Kondisi Klinis Terkait 1. Stroke 2. Parkinson 3. Monius syndrome 4. Cerebral palsy 5. Cleft lip 6. Cleft palate 7. Amyotropic lateral sclerosis 8. Kerusakan neuromukular 9. Luka baka 10. Kanker 11. Infeksi



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



3. Ansietas a. Definisi Kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap objek yang tidk jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman. b. Gejala dan Tanda Mayor Subjektif: 1.



Merasa bingung



2.



Merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi



3.



Sulit berkonsentrasi



Objektif: 1. Tampak gelisah 2. Tampak teang 3. Sulit tidur Gejala dan Tanda Minor: Subjektif: 1. Mengeluh pusing 2. Anoreksia 3. Palpitasi Objektif: 1. Frekuensi nafas meningkat 2. Frekuensi nadi meningkat 3. Tekanan darah meningkat 4. Diaphoresis 5. Tremor 6. Muka tampak pucat 7. Suara bergetar 8. Kontak mata buruk 9. Sering berkemih 10. Berorintasi pada masa lalu. c. Kondisi Klinis terkait 1. Kondisi kronis progresif (mis. Kanker, penyakit autoimun) 2. penyakit akut 3. Hospitalisasi



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



4. Rencana operasi 5. Kondisi diagnosis penyakit belum jelas 6. Penyakkit neurologis 7. Tahap tumbuh kembang



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



DAFTAR PUSTAKA Kader H, Balesteri W. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn. In: Kliegman RM, Behrman RM, Jenson HB, Stanton BF, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th Ed. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone; 2012. Schwarz SM. Pediatric biliary atresia. [online]. Updated Juni 2011. [cited September 2011]. Availablefrom http://emedicine.medscape.com/article/927029 overview Sulaiman, Ali. 2007. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Aru W Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Penerbitan IPD FKUI. h. 420-423 Robbins, Stanley L dan Vinay Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi volume 2 edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia , Definisi dan Tindakan Keperawatan, edisi 1. Jakarta Selatan: DPP PPNI. Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia , Definisi dan Indikator Diagnostik, edisi 1. Jakarta Selatan: DPP PPNI. Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia , Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, edisi 1. Jakarta Selatan: DPP PPNI. Abdoerrachman, M.H. et al. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



16 Program Studi Profesi Ners UIN Alauddin Makassar Angkatan XIV Baharuddin, S.Kep (70900118033)



Laporan Pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah



18 Program Studi Profesi Ners UIN Alauddin Makassar Angkatan XIV Baharuddin, S.Kep (70900118033)