Imam Syafi'i [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.



1. Latar belakang



Imam empat serangkai adalah imam-imam mazhab fikih dalam islam. Mereka imamimam bagi mazhab empat yang berkembang dalam islam. Mereka terkenal sampai kepada seluruh umat di zaman yang silam dan sampai sekarang. Karena pengorbana dan bakti mereka yang besar terhadap agama islam yang maha suci, khususnya dalam bidang ilmu fikih mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang baik dan tinggi dalam islam. Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fikih yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama islam dan kaum muslimin umumnya. Karena kesuburan dan kemasyhurannya dalam ilmu fikih di samping usaha mereka yang bermacam-macam terhadap agama islam nama-nama mereka sangat dikenal pada zaman kejayaannya islam. Mereka bekerja keras untuk menjaga dan menyuburkan ajaran-ajaran islam kepada seluruh umat lebih-lebih dalam ilmu fikih sejak terbitnya nur islam. Imam As-Syafi’i adalah seseorang yang jasa-jasanya tidak dapat dilupakan oleh seluruh umat islam. Beliau adalah penyusun pertama ilmu usūl fiqh. Sebelum kelahiran beliau, ilmu kaidah hukum islam ini tidak mengenal fungsi serta peran al Qur’an, sunnah dan ijma’ secara baik, mereka hanya memakainya saja tanpa mengetahui hubungan antar dalil-dalil tersebut. Dalam perkembangan pemikirannya, Imam As-Syafi’i mempunyai dua pendapat yang berbeda. Kedua pendapat ini biasa dikenal dengan qaul qadīm dan qaul jadīd. Berbagai tafsiran muncul berkisar hal ini, ada yang menyelidiki kemungkinan pengaruh sosio-kultural yang sangat kontras antara Irak dan Mesir sebagaimana nanti akan diutarakan, dan ada juga yang melihatnya sebagai peristiwa ralat biasa yang disebabkan penemuan hadith baru yang lebih kuat. Makalah ini mencoba mendiskusikan fenomena tersebut dengan menyertakan beberapa contoh perubahan pendapat As-Syafi’i. Sebagaimana diketahui, qaul qadīm dan qaul jadīd tetap dibahas dalam kajian-kajian fiqh kita, karenanya, makalah ini masih dapat menemukan urgensinya.



1



1.2



Rumusan Masalah



1.



Bagaimana biografi As-Syafi’i?



2.



Bagaimana pemikiran As-Syafi’i?



3. Apa saja karya-karya As-Syafi’i? 4. Apa saja sebaran negara yang mengikuti paham As-Syafi’i ?



1. 3 Tujuan Pembahasan 1. Untuk mengetahui biografi As-Syafi’i. 2. Untuk mengetahui pemikiran As-Syafi’i. 3. Untuk mengetahui karya As-Syafi’i. 4. Untuk mengetahui sebaran negara yang mengikuti paham As-Syafi’i 5. Untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah agama islam



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Biografi As-Syafi’i Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan sunnah dan akan menyingkirkan pendusta terhadap Nabi Muhammad SAW. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah mentakdirkan Imam Syafi’i.”



a.



Silsilah dan Kelahiran Imam Syafi’i



Beliau bernama Muhammad bin Idris. Gelar beliau abu abdillah. Orang Arab dalam menuliskan nama biasanya mendahulukan gelar dari nama sehingga nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada diri Abdu Manaf (suku Quraisy). Nasab beliau dari ayahandanya ialah bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Sedangkan dari ibunya ialah binti Fathimah binti Abdullah bin al Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dari silsilah tersebut, jelaslah bahwa Imam Syafi’i masih keturunan dari Nabi Muhammad SAW. Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Ibunya keturunan Yaman dari kabilah Azdi dan memiliki jasa yang besar dalam mendidik beliau. Sedangkan ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam buaian. Kemudian ibunya membawa beliau ke Makkah agar dapat hidup bersama orang-orang Quraisy, bertemu dengan nasabnya yang tinggi. Sejarah telah mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi’i, yaitu:



b.



Sewaktu Imam Syafi’i dalam Kandungan



Ibunya bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya dan terus naik membumbung tinggi, kemudian bintang itu pecah dan berserakan menerangi daerah-daerah 3



sekelilingnya. Ahli mimpi menta’birkan bahwa ia akan melahirkan seorang putera yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad.



c.



Pada hari Imam Syafi’i Lahir



Ada dua orang ulama’ besar yang meninggal dunia, seorang di Baghdad yaitu Imam Abu Hanifah dan di Mekkah yaitu Imam Ibnu Juraij al Makky. Dengan peristiwa tersebut, orangorang yang ahli dalam ilmu firasat meramalkan bahwa ini suatu pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam kemahiran dalam urusan pengetahuan.



d.



Perjalanan Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu



Pusat ilmu pengetahuan pada masa itu adalah di Makkah, Madinah, Irak (Kuffah), Syam dan Mesir. Selama beliau di Makkah, beliau berkecimpung dalam menuntut ilmu pengetahuan khususnya yang bertalian dengan agama Islam sesuai dengan kebiasaan anakanak kaum Muslimin ketika itu. Imam Syafi’i belajar membaca al Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthein dan dalam usia 9 tahun beliau telah dapat menghafal al Qu’an 30 juz. Imam Syafi’i juga tertarik dengan syair-syair bahasa Arab klasik, sehingga sewaktuwaktu beliau datang ke kabilah-kabilah Badui di Padang Pasir, kabilah Hudzail, dan lain-lain. Terkadang beliau tinggal lama di kabilah tersebut untuk mempelajari sastra Arab, sehingga akhirnya Imam Syafi’i mahir dalam kesusastraan Arab kuno dan beliau juga hafal syair dari Imrun al Qais, syair Zuheir dan Syair Djarir. Beliau di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam Muslim bin Khalid az Zanniy, seorang guru besar dan mufti di makkah pada masa itu. Dan dalam usia 10 tahun beliau mampu menghafal kitab fiqih karangan Imam Maliki yaitu kitab al Muwatha’. Karena kepandaiannya, dalam usia 15 tahun beliau diberi izin oleh gurunya tersebut untuk mengajar di Masjidil Haram tentang hukum-hukum yang bersangkutan dengan agama. Beliau juga belajar ilmu hadits kepada Imam Sufyan bin Uyainah. Setelah beliau menghafal kitab al Muwatha’, beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Sambil belajar dengan Imam Malik, beliau juga menyempatkan diri untuk pergi ke perkampungan untuk bertemu dengan penduduk dan juga pergi ke Makkah untuk bertemu dengan ibunya untuk meminta nasihat. Dengan belajar ilmu pengetahuan kepada Imam Malik, beliau mendapat banyak kenalan dari ulama’-ulama’ yang datang ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik.



4



Setalah 2 tahun di Madinah, Imam Syafi’i berangkat ke Irak (Kuffah dan Baghdad), dimana beliau bermaksud untuk menemui ulama-’ulama’ ahli fiqih dan ahli hadits yang berada di Irak. Sampai di Kuffah beliau menemui ulama’-ulama’ sahabat almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dimana Imam Syafi’i sering bertukar fikiran dan diberi pengetahuan tentang agama oleh beliau berdua. Dalam kesempatan ini, Imam Syafi’i dapat mengetahui cara-cara atau aliran fiqih dalam madzhab Hanafi yang agak jauh bedanya dengan cara-cara atau aliran fiqih dalam madzhab Maliki. Imam Syafi’i ketika itu dapat mendalami dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu. Beliau tidak lama di Irak ketika itu dan terus mengembara ke Persi, Anadholi (Turki), dan ke Ramlah (Palestina) dimana diperjalanan beliau banyak menjumpai ulama’ baik Tabi’in maupun Tabi’-tabi’in. Pada kesempatan ini beliau mengetahui adat bangsa-bangsa selain bangsa Arab, hal ini nantinya membantu beliau dalam membangun fatwanya dalam madzhab Syafi’i. Sesudah 2 tahun mengembara, Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan kembali kepada guru besarnya yaitu Imam Maliki. Imam Maliki bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i dan bahkan sudah ada pertanda dari Imam Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah melebihi ilmunya. Imam Maliki memberi izin kepada Imam Syafi’i untuk memberi fatwa sendiri dalam ilmu fiqh, artinya tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Maliki dan juga tidak atas dasar aliran Imam Hanafi, tetapi berfatwa atas dasar madzhab sendiri.



e.



Guru Imam Syafi’i



Imam Syafi’i dari sejak kecil memang mempunyai sifat “pecinta ilmu”. Maka sebab itu bagaimana pun keadaannya, beliau tidak segan menuntut ilmu pengetahuan kepada orangorang yang dipandangnya mempunyai keahlian tentang ilmu yang sedang dituntutnya. Di antara guru-guru beliau yang terkenal ketika beliau di Makkah, yaitu Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sa’id, dan Imam Sufyan bin Uyainah; dan ketika di Madinah, yaitu Imam Malik bin Anas. Beliau tidak hanya berguru kepada para ulama’ di kota Makkah dan Madinah, tetapi juga berguru kepada ulama di negeri lainnya. Demikian banyaknya guru dari Imam Syafi’i yang tidak mungkin disebutkan satupersatu, bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut nama-nama ulama’ yang pernah menjadi guru beliau, cukuplah membaca kitab “Musnad Imam Asy Syafi’i”.



5



Guru-guru Imam Syafi`i. a.



Muslim bin Khalid al-Zanji



b.



Sufyan bin Uyainah al-Hilali yang berada di Makkah



c.



Ibrahim bin Yahya, salah satu ulama di Madinah.



d.



Malik bin Anas



e.



Waki` bin Jarrah bin Malih al-Kufi.



f.



Hammad bin Usamah al-Hasyimi al-Kufi



g.



Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Bashri.



f. Isteri Imam Syafi`i. Dia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hamidah binti Nafi` bin Unaisah bin Amru bin Utsman bin Affan.



g. Anak-anak Imam Syafi`i. a.



Abu Usman Muhammad, dia seorang hakim di kota Halib, Syam (Syiria).



b.



Fatimah.



c.



Zainab.



h. Keistimewaan Imam Syafi`i. a. Keluasan ilmu pengetahuan dalam bidang sastera serta nasab, yang sejajar dengan alHakam bin Abdul Muthalib, dimana Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Keturunan (Bani) Hasyim dan keturunan (Bani) Muthalib itu hakekatnya adalah satu.” (H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wasiat, bab “Qismah al-Khumus,” hadits no. 2329.) b. Kekuatan menghafal al-Qur`an dan kedalaman pemahaman antara yang wajib dan yang sunnah, serta kecerdasan terhadap semua disiplin ilmu yang dia miliki, yang tidak semua manusia dapat melakukannya. c. Kedalaman ilmu tentang Sunnah, dia dapat membedakan antara Sunnah yang shahih dan yang dha`if. Serta ketinggian ilmunya dalam bidang ushul fiqih, mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadl yang umum dan yang khusus. d. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Para ahli hadits yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu dengan Imam Syafi`i. Dia adalah



6



manusia yang paling memahami kitab Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw. serta sangat peduli terhadap hadits beliau. e.



Karabisy 2 berkata: Imam Syafi`i adalah rahmat bagi umat Nabi Muhammad saw.



(Karabisy dinisbatkan pada profesi penjual pakaian, namanya adalah Husain bin Ali bin Yazid.) 7.



Sikap Rendah Hati yang dimiliki Imam Syafi`i.



Hasan bin Abdul Aziz al-Jarwi al-Mishri mengatakan, bahwa Imam Syafii pernah berkata: Kami tidak menginginkan kesalahan terjadi pada seseorang, kami sangat ingin agar ilmu yang kami miliki itu ada pada setiap orang dan tidak disandarkan pada kami. Imam Syafi`i berkata: Demi Allah kami tidak menyaksikan seseorang lalu kami menginginkan kesalahan padanya. Tidaklah bertemu dengan seseorang melainkan kami berdo`a “Ya Allah, jadikanlah kebenaran ada pada hati dan lisannya ! jika kebenaran berpihak kepada kami, semoga dia mengikuti kami, dan jika kebenaran berpihak kepadanya semoga kami mampu mengikutinya.



i.



Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi’i



Imam Syafi’i selain seorang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, beliau adalah seorang pengarang kitab-kitab yang sangat berguna bagi dunia Islam. Adapun kitab-kitab karangan beliau yang paling masyhur menurut riwayat yang hingga kini masih tercatat adalah sebagai berikut: Kitab-kitab Karya Imam Syafi`i. a.



Al-Risalah al-Qadimah (kitab al-Hujjah)



b.



Al-Risalah al-Jadidah.



c.



Ikhtilaf al-Hadits.



d.



Ibthal al-Istihsan.



e.



Ahkam al-Qur`an.



f.



ayadh al-Fardh.



g.



Sifat al-Amr wa al-Nahyi.



h.



Ikhtilaf al-Malik wa al-Syafi`i.



i.



Ikhtilaf al- Iraqiyin.



j.



Ikhtilaf Muhammad bin Husain.



k.



Fadha`il al-Quraisy



l.



Kitab al-Umm 7



m.



g.



Kitab al-suna



Wafatnya Imam Syafi’i



Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Rabi’in bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i) berkata, “Beliau menderita penyakit ambeien pada akhir hidupnya, sehingga mengakibatkan beliau wafat di Mesir pada malam Jum`at sesudah shalat Maghrib, yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab. Beliau di makamkan pada Hari Jum`at pada tahun 204 H. bertepatan tahun 819/820 M. makamnya berada di kota Kairo, di dekat masjid Yazar, yang berada dalam lingkungan perumahan yang bernama Imam Syafi`i.”



8



2.2



Pemikiran As-Syafi’i Tentang Ilmu 



1.



Perjalanan imam syafi’i dalam menuntut ilmu



Perjalanan imam syafi’i ke madinah Pada usia 20 tahun, imam syafi’i yang saat itu tinggal di kota makkah, sedang



menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu yang dia peroleh, ia begitu rindu untuk melihat madinah al-munawwarah, dan masjidnya yang agung, serta mengunjungi makam rasulullah beserta dua sahabatnya, yaitu abu bakar dan umar. Akan tetapi sebelum pergi ke madinah selain melihat kota madinah, imam syafi’i sebenarnya pergi untuk menemui imam malik, imam syafi’i sebelumnya sudah mempersiapkan diri dengan menghafal kitab al-muwatta’. Yang mana kitab muwatta’ tersebut sudah ia hafal sejak umur 10 tahun atau ada juga yang menyebutkan dalam usia 13 tahun. Dalam perjalanannya Imam syafi’i pernah bercerita : “aku keluar dari makkah untuk hidup dan bergaul dengan suku hudzail di pedusunan. Aku mengambil bahasa mereka dan mempelajari ucapannya. Mereka adalah suku arab yang paling fasih. Setelah beberapa tahun tinggal bersama mereka aku pun kembali ke makkah. Kemudian aku membaca syair-syair mereka, menyebut peristiwa dan peperangan bangsa arab. Ketika itu lewat seoranng dari suku az-zuhri ia berkata : hai, abu abdillah, sayang sekali jika keindahan bahasa yang engkau kuasai tidak di imbangi dengan ilmu dan fiqih. “Siapakah yang patut aku temui ?” tanya imam syafi’i, lalu orang itu menjawab : “malik bin anas,” pemimpin umat islam. Imam syafi’i berkata : maka timbullah minatku untuk mempelajari kitab al-muwatta’. Untuk itu aku meminjam kitab tersebut pada seorang laki-laki di makkah. Setelah menghafalnya, aku pergi menjumpai gubernur makkah dan mengambil surataku berikan kepada gubernur madinah dan imam malik bin anas. Sampainya di madinah, gubernur madinah sudah membaca surat tersebut. Dan gubernur madinah sangat senang dengan kehadiran imam syafi’i, akan tetapi imam syafi’i yang minta tolong kepada gubernur madinah untuk mendatangkan imam malik sangatlah susah. Pada saat gubernur dan imam syafi’i berada di depan pintu rumah imam malik, gubernur menyerahkan surat dari gubernur makkah, kemudian imam malik membacanya sampai selesai lalu imam malik mencampakkan surat itu, dan imam syafi’i berkata : semoga 9



allah memperbaikimu dan semoga allah menjadikan tuan sebagai orang yang shalih. Kemudian imam malik memandang imam syafi’i dan bertanya : siapakah namamu ? nama saya adalah muhammad, ia berkata : hai muhammad bertaqwalah kepada allah, tinggalkanlah maksiat, maka engkau akan menjadi orang besar. Sesungguhnya aku melihat cahaya dalam dirmu dan janganlah kamu padamkan dengan maksiat. Lalu imam malik berkata lagi : datanglah besok, ada oorang yang akan membacakan kitab al-muwatta; untukmu. Dan imam syafi’i berkata sesungguhnya aku sudah menghafalnya. Besoknya imam syafi’i melanjutkan : datang pagi-pagi dan mulai membaca kitab itu, namun, imam syafi’i agak segan kepada imam malik dan ingin memberhentikan bacaannya, akan tetapi imam malik menyuruhnya membaca terus karena imam malik tertarik dengan bacaan i’rab imam syafi’i. Begitu setiap hari yang dilakukan imam syafi’i. Dan setelah itu, imam syafi’i tinggal di madinah hingga imam malik wafat. Ia pergi ke madinah dalam usia 10 atau 13 tahun yakni tahun 163 H. Kemudian, ia pulang pergi ke madinah dan makkah dan perkampungan hudzail meskipun ia sering mendampingi imam malik di madinah hingga imam malik wafat pada tahun 179 H.



2.



Perjalanan imam syafi’i ke iraq



Saat masih di madinah, imam syafi’i mengetahui bahwa imam abu hanifah dulu berada di iraq. Dia bertekad ingin dengannya dan para ulama yang lain. Kemudian imam syafi’i pergi menemui imam malik dan berkata : saya berkeinginan pergi ke iraq untuk menambah ilmu. Imam malik berkata : rasulullah bersabda :



“sesungguhnya para malaikat meletakkan



sayapnya untuk penuntut ilmu, karena ridha dengan apa yang mereka cari” kemudian imam malik menyodorkan 64 dinar sebagai bekal menuntut ilmu. Sesampainya di kufah dia melihat seorang anak sedang shalat, karena merasa shalatnya kurang sempurna, lalu imam syafi’i menasehatinya dan anak ini tidak terima dan anak itu berkata : saya sudah 15 tahun dihadapan abu yusuf fan ibn al hasan dan dia tidak pernah mengkritikku. Kemudian anak itu langsung melapor kepada abu yusuf dan ibnu hasan bahwa ada orang yang mengkritik shalatnya. Kemudian ibnu hasan menyuruh anak itu untuk menanyakan, bagaimana anda shalat ? lalu imam syafi’i menjawab dengan dengan dua fardhu dan satu sunat yaitu dua fardhu adalah niat dan takbiratul ihram sementara sunnah adalah mengangkat tangan sampai ketelinga. Mendengar jawaban itu abu yusuf dan ibnu hasan



10



langsung berkenalan dengan imam syafi’i. Dan ibnu hasan seringkali bertanya, dan semua pertanyaan dijawab dengan jawaban yang cukup lengkap. Imam syafi’i tinggal di kufah bersama ibn hasan. Selama itu dia sudah menulis sebuah buku. Dan ibn hasan sangat senang dengan kedatangan imam syafi’i , serta mengizinkan imam syafi’i untuk menulis buku-buku yang dia miliki di perpustakaan pribadinya sesuka hatinya. Ketika ia hendak meninggalkan iraq, ia ingin keliling beberapa kota di iraq.



3.



Perjalanan imam syafi’i ke yaman



Walaupun imam asy-syafi’i sudah sangat terkenal di makkah dan madinah, dan dikalangan pelajar, yang aktif mengikuti pelajarannya namun ia tidak pernah mengambil upah baik dimadinah maupun di makkah, lain halnya dengan yaman. Disana mereka mencarikan syafi’i pekerjaan, dimana dia bisa mengambil upah dari pekerjaannya tersebut, yaitu pekerjaan dalam bidang peradilan, yang sesuai dengan pemahamankeahlian dan bidangnya. Kemasyhuran imam syafi’i sampai ke kota makkah sehingga ketika orang-orang yaman pergi ke makkah bersamanya, untuk melakukan umrah di bulan rajab, pujian dan sanjungan seringkali di ucapkan dari mulut mereka (penduduk makkah) sehingga seorang syaikh sofyan bin uyainah, seorang ahli hadist makkah, turut menyambut ketika bertemu dengannya dan berkata : kebaikan yang engkau perbuat di yaman telah sampai beritanya kepadaku, apapun yang engkau kerjakan untuk allah akan kembali kepadamu. Aku berharap tidak kembali lagi ke yaman. Namun imam syafi’i tidak memenuhi saran gurunya dan tetap kembali ke yaman, disana mereka telah menyediakan satu jabatan yang tinggi yaitu mengangkatnya menjadi hakim di najran. Penduduk najran mencoba untuk mendekati dan mengambil perhatian imam syafi’i, seperti yang mereka lakukan kepada hakim-hakim sebelumnya, namu mereka gagal. Imam syafi’i tetap istiqamah dalam menegakkan keadilan dan menumbang kebatilan. Untuk itu mereka mulai merancangkan sebuah kejahatan untuk menghasut amirul mukminin bahwa syafi’i melawan pemerintah pusat. Dia meninggalkan yaman dan kembali ke makkah, dia tidak banyak melakukan hal-hal di yaman kecuali dia telah menikah dan mempunyai anak.



4.



Kembalinya imam syafi’i ke makkah



11



Imam syafi’i kembali ke makkah al-mukarramah. Pada perjalanannya yang sebelumnya dia telah menyerap ilmu-ilmu dari hijaz dan iraq. Dia kembali dengan membawa ilmu ra’yi yang diperoleh dari pertemuannya dengan seorang fakih iraq yaitu muhammad bin hasan, teman abu hanifah. Ilmu ini dia sinergikan dengan ilmu ahli hijaz, yang diperolehnya dari imam malikdi masjid nabawi dan syaikh muslim khalid az-zanji, syaikh masjidil haram, dan sofyan bin uyainah seorang alim makkah. Kepulangan imam syafi’i bukan untuk bergabung dengan halaqah yang telah ada di masjidil haram, akan tetapi membuat halaqah yang baaru, halaqah yang dibentuknya banyak menarik banyak kalangan ulama, mereka turut mendengarkan metode-metode yang diterapkan dalam mengambil hukum. Diantara ulama ini adalah imam ahmad bin hanbal. Ketika beliau ke makkah untuk menunaikan ibadah haji. Beliau bertemu dengan ulama besar dan para perawi hadist terutama sofyan bin syafi’i. Seorang alim dari iraq yang datang bersama imam ahmad bin hanbal ke makkah untuk haji dan ilmu, dan belum mengetahui asy-syafi’i, berkata kepada imam ahmad : hai abdullah ! anda meninggalkan abu uyainah untuk datang kemari ? beliau berkata; diam ! jika engkau ketinggalan sebuah hadist dari atas, engkau bisa dapatkan dari bawah, jika engkau ketinggalan akal ini, aku takut engkau tidak akan mendapatkan lagi, sungguh, aku belum pernah melihat seorang fakih tentang kitab allah kecuali pemuda ini. Aku bertanya ; siapakah dia ? dia adalah muhammad bin idris.



5.



Perjalanan imam syafi’i ke baghdad



Perjalanan ke baghada yang kedua kalinya, terjadi pada tahun 195 H, setalah imam syafi’i mendapatkan kemasyhuran yang cukup besar, leawat ulama-ulama besar hadist dan fiqih ; seperti ; ahmad bin hanbal, ishaq bin rahawaih, dan abdurrahman bin mahdi, ulama terakhir inilah meminta syafi’i untuk menulis bukunya yang terkenal



“ar risalah “ buku yang



memuat gagasan fiqih asy-syafi’i. Asy-syafi’i memasuki baghdad seraya mengumumkan ijtihadnya, dengan bekal ilmu, argumen yang kuat, serta kemampuan untuk menjelaskan ide-idenya. Di baghdad ia tinggal dirumah az- za’ fani, seorang sastrawan yng kaya dan memiliki kedekatan dengan para penguasa iraq.



12



Disana imam syafi’i mendatangi masjid al-jami’ yang biasanya diadakan halaqah ilmu, dia mulai menyampaikan pelajaran dalam bidang usul fiqih sehingga para pelajar dan ulamaulama berbondong- bondong dalam menimba ilmu. Para ahli hadist dan fiqih iraq berlomba mendatangi asy-syafi’i, mereka sangat mencintainya dimana ulama yang lain tidak merasakan hal yang sama. Ilmu yang dimiliki oleh imam asysyafi’i ini sungguh memberikan manfaat kepada umat. Mereka juga sering melontarkan pujian kepada imam syafi’i. Para faqih dan ahli ijtihad serta ahli bahasa sepakat mengatakan “mereka belum pernah melihat alim seperi asy-syafi’i.”



6. Perjalanan asy-syafi’i ke mesir Ketika khalifah abbasiyah al-ma’mun bin harun ar-rasyid ingin mengangkat wali mesir, yaitu al-abbas bin musa. Dan syafi’i memiliki hubungan yang baik dengan al-abbas bin musa, sehingga timbul keinginan untuk mengunjunginya di mesir. Ketika penduduk baghdad mengetahui rencana ini, maka mereka bersedia melepas kepergiannya, termasuk ibn hanbal. Dalam kepergiannya imam syafi’i ditemani oleh sejumlah murid-muridnya.diantaranya : arrabi’ al-mirawi, abdullah bin az-zubair al-humaidi dan yang lainnya. Tiba di mesir bulan syawwal tahun 199 H. Al-abbas bin musa penguasa baru mesir meminta asy-syafi’i tinggal dirumahnya, namun ia menolak dan memilih untuk tinggal bersama bani azdi. Pagi harinya, seorang alim bernama abdullah bin abdul hakam datang menemui imam syafi’i, ia adalah salah seorang ulama besar mesir saat itu dan salah seorang yang didektekan almuwatta’ oleh asy-syafi’i ketika berada di madinah. Ternyata ia sudah mendapati imam syafi’i telah memasuki masa tua, rambutnya dipenuhi oleh warna kemerah-merahan, badannya tinggi, suaranya sangat lantang, perkataannya menjadi hujjah dalam masalah bahasa, tercermin tanda-tanda keberanian, wajahnya tidak dipenuhi oleh daging, pipinya persegi panjang serta lehernya panjang demikian pula tangan dan lengannya. 



Prinsip Aqidah Imam Syafi’i



Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.



13



Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena AlQur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman, “Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”



 Prinsip Fikih Imam Syafi’i Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.” Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.” Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”



 Pola Pemikiran dan Faktor Imam Syafi’i termasuk salah seorang imam madzhab yang masuk kedalam jajaran “Ahli Al Sunnah wal Jama’ah”, yang didalam bidang “furu’iyyah” ada dua kelompok yaitu : “Ahl al-Hadits” dan “Ahl al-Ra’yu” dan beliay sendiri termasuk “Ahl al-Hadits”. Imam Syafi’I termasuk imam madzhab yang mendapat julukan “Rihalah fi Thalab al-‘Ilm” yang pernah meninggalkan Mekkah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik dank e Irak menuntut ilmu ke Muhammad Ibn al-Hassan (seorang murid Imam Abu Hanifah). 14



Karena kedua guru inilah, beliau termasuk kelompok Ahl al-Hadits, tetapi dalam bidang fiqih banyak terpengaruh oleh kelompok “Ahl al-Ra’yu” dengan melihat metode penerapan hokum yang beliau pakai. Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.”Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits. Orang yang menerima apa yang datang dari Rasulullah berarti ia telah menerima apa yang datang dari Allah, karena Dia telah mewajibkan kita untuk mentaatinya”. Beliau berdalil dengan sejumlah ayat di antaranya firman Allah,” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”, (QS. 4:59). Bantahan Imam Syafi’i kepada orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah. 1. Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah dan menyuruh kita mematuhi perintah dan menjauhi larangannya. 2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah Allah tersebut kecuali dengan mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah dengan lapang dada dan bersih hati dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada perintah dan hukum-hukumnya. 3. Seorang muslim membutuhkan sunnah Rasulullah untuk menjelaskan globalitas isi Al-Qur’an. Pandangan Imam Asy-Syafi’i tentang hadits Ahad Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat –syarat hadits mutawattir. Yaitu diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika mereka tidak mungkin berdusta, dan diriwayatkan dari orang banyak dan menyandarkan hadit kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera. 15



 Sumber hukum dan Metode Imam Syafi’i dalam berhujjah Oleh karena itu Imam Syafi'i tidak sekedar mendasarkan sunnah pada al Qur'an, tetapi juga berupaya meletakkan asumsi dasar bahwa sunnah adalah bagian organik dalam struktur al Qur'an ditinjau dari pengertian semantiknya. Karena al Qur'an dan Sunnah menjadi struktur organik semantik, maka syafi'I pun dapat membangun ijma' atas dasar struktur tersebut hingga menjadi teks tasyri' yang memperleh signifikasinya dari pengertian teks yang tersusun dari al Qur'an dan sunnah. Sumber ke empat dalam fiqih Imam Syafi'i adalah qiyas yang juga diambil dari teks yang tersusun dari ke tiga dasar sebelumnya. Para ulama' setelah Syafi'i menyebutkan al Kitab sebagai sumber hukum Islam pertama dan sunnah sebagai sumber kedua setelah al kitab, begitu juga sebelum Imam Syafi'i, seperti Imam Abu Hanifah yang menyetujui bahwa dalam pengambilan hukum pertama harus dari al kitab, kemudian kalau tidak diperoleh, baru mengambil dari sunnah. Sama halnya juga dengan Mu'az bin Jabal ketika ditanya oleh nabi: "Dengan apa kamu memutuskan sesuatu?", kemudian jawabnya: "Saya memutuskan sesuatu dengan Kitab Allah. Jika tidak didapati di dalamnya maka dengan sunnah rosulullah, dan jika tidak didapatkan lagi maka saya berijtihad dengan akal. Syafi'i meletakkan sunnah sejajar dengan al Qur'an dalam hal sebagai hujjah karena sunnah juga berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan al Qur'an dan sunnah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak bahwa al Qur'an mutawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan kebanyakan sunnah tidak mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua, al Qur'an adalah kalam Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW. Syafi'i juga menjelaskan bahwa sunnah tidak semartabat dengan al Qur'an dalam masalah aqidah. ·



Al Qur'an



Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi al Qur'an, berdasarkan berbagai uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan definisi terhadap al Qur'an. Misalnya definisi yang diungkapkan Taj Al Din Al Subki, bahwa al Qur'an adalah lafadz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai mu'jizat dan membacanya merupakan ibadah. Menurut Syafi'i al Qur'an itu maknan dan lafdzon. Seluruh al Qur'an terdiri atas bahasa Arab, tidak satu katapun di dalamnya yang bukan bahasa Arab. Maka sejalan dengan itu ia 16



mengatakan bahwa setiap umat Islam diharuskan mempelajari bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu juhduh) sehingga ia dapat mengucapkan syahadat, membaca al Qur'an, dan mengucapkan dzikir. Tuntutan itu merupakan fardhu ‘ain yang berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa Arab secara mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu kifayah) atas para ulama'. Syafi'i menekankan pentingnya penguasaan bahasa Arab karena tidak mungkin bisa memahami kandungan al Qur'an tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.



·



Sunnah



Meskipun Syafi'i tidak mengemukakan rumusan dalam bentuk definisi dan batasan sunnah, dapat diketahui dengan jelas sunnah menurut Syafi'i yaitu perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada nabi SAW. Secara umum, batasan seperti ini diterima oleh para ulama' yang datang kemudian. Seorang pembaca kitab-kitab Imam Syafi'i hampir dapat memastikan bahwa penegakkan sunnah sebagai sumber hukum merupakan obsesi agenda pemikirannya, bahkan yang paling asasi. Karena itu kita tidak boleh lupa dengan signifikasi historis dari pemberian gelar nashir al Sunnah (pembela tradisi) kepadanya. Syafi'i menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti samahalnya dengan al Qur'an. Untuk mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil, baik dalil naqli maupun dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan bila telah ada hadits yang shohih (tsabit) dari Rosulullah SAW, maka dalil dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi. Jadi bila seseorang telah menemukan hadits shohih, ia tidak lagi mempunyai pilihan kecuali menerima dan dan mengikutinya. Syafi'i mengatakan "Tidak benar, kalau sesuatu (dalam hal ini dunnah) suatu saat dianggap sebagai hujjah tetapi pada kali lainnya tidak". Tentang hubungan antara sunnah dengan al Qur'an, Syafi'i mengemukakan bahwa fungsi sunnah sebagai berikut : a) Sebagai penguat dalil dalil dalam al Qur'an b) Sebagai penjelas dari ayat ayat al Qur'an yang masih global (mujmal) c) Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam al Qur'an Syarat syarat penerimaan sunnah 17



Syafi'i membagi hadits menjadi dua, yaitu kabar al-ammah (hadits mutawatir) dan kabar khashah (hadits ahad). Ia memandang hadits mutawatir itu pasti, sehingga hadits tersebut mutlak harus diterima sebagai dalil. Akan tetapi hadits ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu hadits dapat diamalkan sama dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul fiqh pada masa kemudian, yakni menyangkut tsiqoh (adalah dan dhobith) yang harus terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang diriwayatkannya serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.



·



Ijma'



"Ijma' adalah hujjah atas segala sesuatu karena ijma' itu tidak mungkin salah" (Syafi'i). Syafi'i menyepakati bahwa ijma' merupakan hujjah agama (hujjatd din). Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa tentang hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al Qur'an dan sunnah. Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an dan sunnah. Oleh karena itu, ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah bukan merupakan hujjah dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua Mujtahid diwaktu terjadinya. Para Mjtahid itu sepakat memutuskan/menentukan hukumnya. Ijma' umat terbagi menjadi dua: a.



Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya



dengan lisan ataupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. b.



Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan



pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui. Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma' yang sebenarnya. Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu: -Ijma' sahabat -Ijma' Khalifah yang empat 18



-Ijma' Abu Bakar dan Umar -Ijma' ulama Madinah -Ijma' ulama Kufah dan Basrah -Ijma' itrah (golongan Syiah)



·



Sandaran Ijma’ Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab ijma' bukan merupakan



dalil yang berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat berupa dalil qath'i yaitu Qur'an dan Hadits mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanni yaitu Hadits ahad dan qiyas. Rumusan Syafi'i berbeda dengan rumusan Imam Malik yang menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai ijma' dan rumusan madzhab Zahiri yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat. Ijma' yang mula-mula mendapat i'tibar dari Imam Syafi'i ialah ijma sahabat dan ia menerima ijma' sebagai hujjah di tempat tak ada nash. Kemudian yang perlu di ingatkan bahwa Imam Syafi'i tidak menerima ijma' sukuti. Sedangkan menurut Dr. Muh Zuhri yang dimaksud ijma menurut Imam Syafi’ri adalah kesepakatan seluruh ulama dalam kurun waktu yang sama, disana tidak boleh ada seorang pun menyatakan perselisihan pendapatnya



dalam kasus



yang



dicarikan



kesepakatannya. Teori ijma’ Imam Syafi’i tentunya sulit diwujudkan kalau hendak dikatakan tidak mungkin. Namun tampaknya ide ijma’ sebagai sumber hokum ini merupakan upaya antisipasif agar masyarakat islam tetap terpelihara dalam persatuan. Ulama fiqih termasuk Imam Syafi’I melihat pertikaian politik dalam pemerintahan Islam yang melibatkan semua masyarakat islam sudah sampai pada titik yang membahayakan. Perpecahan ummat yang disebabkan perbedaan inilah yang dirasa membahayakan persatuan. Lembaga ijma’ dimaksudkan untuk menyatukan pandangan di kalangan para ulama. Dengan kesatuan ulama maka akan terwujudlah persatuan ummat islam. ·



Qiyas Imam Syafi'i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar qiyas. Para fuqaha



sebelumnya membahas tentang ar-Ra'yu tanpa menentukan batas-batasnya dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma Ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. 19



Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus dipegangi dalam menentukan mana ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Ia membuat kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekutan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas. Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbath yang lain yang dipandang, kecuali qiyas. Dengan demikian Imam Syafi'i adalah orang pertama dalam menerangkan hakekat qiyas. Imam Syafi'i sendiri tidak membuat ta'rif qiyas. Akan tetapi penjelasan penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan syarat-syarat menjelaskan hakekat qiyas, yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh ulama' ushul. Biarpun ulama' ushul berbeda pendapat dalam merumuskan definisi qias, namun secara implisit mereka mempunyai kesepakatan terhadap rukun rukun qiyas. Hal ini karena definisi yang berbeda tersebut tetap menekankan pada empat unsur pembentuk qiyas, yaitu kasus yang ditetapkan oleh nash (ashl), kasus yang baru akan ditentukan hukumnya (far'u), sebab hkum ('illat), dan hukum yang telah ditentukan oleh nash (hukm ashl). Ulama' ushul kemudian memberikan syarat syarat terhadap masing masing unsur qiyas tersebut. Pembagian Qiyas Qiyas dilihat dari kekuatan 'illat yang terdapat pada far dan ashl menurut al-Syafi'i dibagi menjadi tiga bentuk yaitu: 1. Qiyas yang iillat hukum cabangnya (far') lebih kuat daripada iillat pada hukum ashl. Qiyas ini, oleh ulama ushul figh Syafi'iyah disebut sebagai qiyas awlawi. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan "ah". Keharaman pada perbuatan memukul lebih kuat daripada kaharaman ucapan "ah", karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan "ah". 2. Qiyas yang illat pada far' sama keadaan dan kekuatan dengan 'illat yang pada ashl. Qiyas seperti ini, disebut oleh ulama ushul Syafi'iyyah dengan al-qiyas al-musawi. Misalnya mengqiyaskan membakar harta anak yatim kapada memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haram. Artinya membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim dan hukumnya sama-sama haram. 3. Qiyas yang illat hukum cabangnya (far') lebih lemah dibamdingkan dengan illat hukum ashl. Qiyas seperti ini, disebut dengan qiyas al-adna, seperti mengqiyaskan apel dengan gandum dalam berlakunya riba fadhl, mengandung illat yang sama, yaitu sama-sama 20



makanan. Memperlakukan riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illat lebih kuat.



 QOUL-QODIM DAN QOUL-JADID Qaul Qodim dan Qoul jaded merupakan produk hokum yang bernuansa social-politik dan social-kultur adalah dua fatwa Imam Syafi’i yang dilakukan di dua daerah yang berbeda sosio-kultur dan sosio-politiknya yaitu : ·



Qaul Qadim : dimana situasi bagdad saat itu merupakan daerah yang sangat sederhana



dan boleh dikatakan sangat terbelakang disbanding dengan daerah lain. ·



Qaul Jaded : dimana daerah Mesir saat itu merupakan daerah Metropolis yang



mengharuskan untuk berinteraksi dengan memodifikasi terhadap putusan-putusan atau fatwafatwa yang sudah pernah diputuskan, sehingga prinsip Maslahah menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam setiap mengambil keputusan, sebab keputusan yang diambil dalam wujud qaul jadid merupakan pertimbangan terhadap qaul qadim. Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab adalah ‘Qoul-Jadid’ seperti yang di katakan Imam Syafi’i : “tidak dibenarkan menganggap Qoul Qodim sebagai pendapat madzhab” , dan ini sesuai dengan Qoidah Usuliyah : Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju’/ralat bagi yang pertama. Tetapi Ulama Syafi’iyah merinci lebih jelas lagi : 1. Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang Qoul-Qodim harus ditinggalkan, kecuali beberapa masalah yang berkisar antara 14 sampai dengan 30 masalah. 2. Qoul-Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan jelas Imam Syafi’i mengatakan bahwa dia sudah meralat Qoul-Qodim. Sedang bilamana tidak ada penjelasan dari Imam Syafi’i, maka dianggap ada 2 pendapat dalam madzhab. 3. Qoul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat madzhab. 21



Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat ulama Syafi’iyyah setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang tersebut dalam qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-jadid , kalaupun ada ulama Syafi’iyyah yang memakai dan berfatwa dengan qoul qodim, pada hakikatnya beliau berijtihad dan ternyata sesuai dengan qoul qodim, seperti yang disampaikan Imam Nawawi( 676 H). Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama, sebagaimana dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi : “Pendapat ini jelas salah, sebab antara Qoul Qodim dan Qoul Jadid seperti dua nash yang bertentangan, apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus dipakai sedang yang pertama di buang. Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang bertentangan dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat madzhab bukan yang sejalan, sebab tidak mungkin Imam Syafi’i berbeda pendapat kecuali ada dalil yang lebih kuat, dan itu adalah pilihan Syech Abu Hamid Al-Ashfarooiniy ; tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H ) justru sebaliknya.



2.3 Karya-karya As-Syafi’i Karya-karya beliau menurut Abu Muhammad Al-Husain Al-Marwazy secara keseluruhan mencapai 113 kitab, yang terdiri dari kitab tafsir, fiqh, sastra dan lainnya. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Kitab-kitab Imam Syafi’i, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan kepada muridmuridnya, maupun dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai berikut: 1.



Kitab Ar Risalah



Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis, dimana di dalamnya membahas tentang beberapa ketentuan yang nada di dalam dua nash, baik itu terdapat dalam Al Qur;an dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya Nasikh-Mansukh, syaratsyarat penerimaan sanad dari para perowi tunggal, masalah-masalah yang berkaitan dengan



22



Ijma’, Ijtihad, Istihsan dan al-Qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman AlMurady. 2.



Kitab Al Umm



Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,” pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari masalah-masalah yang berkaitan ‘Ibadah, Muamalah, masalah pidana da Munakahat. Bahkan dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya bantahan Muhammad bin Hasan al-Syaibaniy terhadap aliran Madinah dalam bentuk perselisihan pandangan antara Imam Abu Hanifah dengan Abi Laits. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kitab al-Umm ini, merupakan hasil dari penggabungan beberapa kitab dalam berbagai pandangan Mujtahid. 3.



Kitab ‘’Ikhtilaf Malik Wa Syafi’i”



Yaitu kitab yang membahas masalah terjadinya ikhtilaf antara Ali dan Ibu Mas’ud dan antara Imam Syafi’I dengan Abu Hanifah. 4.



Kitab al-Musnad



Berisi hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanadsanadnya. 5.



Al-Hujjah



Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i. 6.



Al-Imla



7.



Al-Amaliy



8.



Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).



9.



Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i)



10.



Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i) 23



11.



Kitab Ikhtilaf al-Hadis (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadis-hadis Nabi



Saw). Kitab-kitab Imam Syafi’i dikutip dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, di Irak, di Mesir, dan lain-lain. Kitab Al-Risalah merupakan merupakan kitab yang memuat Ushul Fiqh. Dari kitab Al-Umm dapat diketahui, bahwa setiap hukum Far’i yang dikemukakannya, tidak lepas dari penerapan Ushul Fiqh



2.4 Sebaran Negara yang Menganut Paham AsSyafi’i Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan mazhab sebelumnya (Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki) yang mana lebih dominan dipengaruhi oleh Kekhalifahan. sedagkan pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi'i lenih disebar-luaskan oleh para murid-muridnya. Diantara murid-muridya yang dari Mesir, diantaranya: Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846) Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878) Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)



Daerah/negara yang Menganut Mazhab mayoritas Syafi’i:            



Libia Indonesia Pilipin Malaysia Somalia Palestina Yordania Libanon Siriya Irak Hijaz Pakistan 24



 



India Jaziraa, dll.



 Perkembangan Mazhab Imam Syafi’i (di Indonesia) Setelah kerajaan Fatimiyah ditumbangkan oleh Sulthan Shalahuddin Al Ayubi di Mesir pada tahun 577 H. Mulailah Shalahuddin mendatangan muballig-muballig Islam bermazhab Syafi’i ke bergagai negara, termasuk Indonesia. Salah satunya: Ismail Ash Shiddiq yang dikirim ke Pasai untuk mengajarkan Islam bermazhab Syafi’i.



Ismail Ash Shiddiq lalu mengangkat seorang raja kebangsan Indonesia di Pasai (12251297 M), dengan sebuah gelar Al Malikush Shalih. Berkat pengaruh Sulthan Al Malikush Shalih ini raja-raja Islam di Malaka, Sumatera Timur, dan Pulau jawa mulai berbondongbondong menganut mazhab Syafi’i. Hingga berkembanglah mazhab sayfi’I di berbagai daerah, seperti: Minangkabau Timur, Batak, Ujung Pandang, Bugis, Demak dan Cirebon.



 Ulama-ulama Islam bermazhab syafi’i Syaikh Nuruddin Ar Raniri Syaikh Arsyad Al Banjari, yang kemudian menjadi mufti di Banjarmasin. Syaikh Yusuf Tajul Khalwati dari Makasar, yang kemudian menjadi mufti di Banten di bawah naungan Sultan Ageng Tirtayasa.  Organisasi Bermazhab Syafi’i Nahdlatul Ulama’ (NU) Nahdlatul Wathan (NW) Al am’iyatul Washilah Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan lain sebagainya.



25



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Nama lengkap Imam As-Syafi’i adalah Muhammad Ibn Idris al-'Abbas Ibn Utsman Ibn Shafi’i Ibn al-Sa'ib Ibn `Ubaid Ibn `Abd Yazid fbn Hasyim Ibn `Abd al-Muthalib Ibn `Abd Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H., kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekkah dan dibesarkan di Asqalan. Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Imam Syafi’i dalam pengembaraannya mencari ilmu, beliau singgah di beberapa daerah, diantaranya Makkah, Madinah, Yaman, Irak, dan Mesir. Karya-karya Imam As-Syafi’i antara lain sebagai berikut:           



Kitab Ar Risalah Kitab Al Umm Kitab ‘’Ikhtilaf Malik Wa Syafi’i” Kitab al-Musnad Al-Imla Al-Amaliy Al-Hujjah Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya). Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i) Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i) Kitab Ikhtilaf al-Hadis (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadis-hadis Nabi Saw).



26



Menurut al-Syafii, setiap ilmu yang dipuji oleh dalil-dalil al-Qur’an dan al-hadits maksudnya adalah ilmu agama, ilmu al-Qur’an dan Sunnah. Karena ilmu-ilmu tersebut memiliki banyak keutamaan, baik di dunia maupun di akhirat. Sekalipun demikian, kita tidak mengingkari ilmu-ilmu dunia seperti kedokteran, arsitektur, pertanian, perekonomian, dan sebagainya; Apabila ilmu-ilmu dunia tersebut digunakan dalam ketaatan maka baik, dan bila digunakan dalam kejelekan maka jelek. Menurut Imam Syafi’i, rujukan pokok adalah al-Quran dan Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam al-Quran dan Sunnah, hukum persoalan tersebut ditentukan dengan qiyās. Ulama pada umumnya membagi pendapat Imam As-Syafi’i menjadi dua: qaul qadīm dan qaul jadīd. Qaul qadīm adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul jadīd adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.



3.2



Saran



Demikianlah yang dapat penulis paparkan sedikit tentang biografi Imam Asy-Syafi’i. Setelah mengetahuinya, semoga menjadikan ghirrah kepada kita sebagai Thalabul Ilmi untuk dijadikan contoh dalam hidup kita dalam mensejahterakan seluruh ummat Islam, terkhusus bagi kesejahteraan Negara Indonesia.



27



DAFTAR PUSTAKA o Ibnu Hajar al-Asqālany, Fath al-Bāry, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979. o Khallaf, Abdul Wahab, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000. o Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002. o Muhammad bin Idris al-As-Syafi’i, al-Um, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973. o Saleh, Abdul Mun’in, Mazhab As-Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001. o Wahab Khallaf, Abdul . Perkembangan Sejarah Hukum Islam.Bandung: Pustaka Setia, 2000. o http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html diakses pada 2 januari 2017



o Oktafiani,Khoirunisa. 2014. Makalah Biografi Imam Syafi’i. Jakarta



o http://arhdan19.blogspot.co.id/2016/01/makalah-biografi-imam-syafii.html diakses pada 2 januari 2017



o http://dianapitasari97.blogspot.co.id/2014/12/makalah-tentang-imam-syafii.html diakses pada 2 januari 2017



28