Individualisme Penduduk Kota [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TINJAUAN PSIKOLOGI SOSIAL TERHADAP PERILAKU SOSIAL INDIVIDUALISME PENDUDUK PERKOTAAN YANG BERTEMPAT TINGGAL DI PERUMAHAN ELITE



MAKALAH DISUSUN UNTUK MEMENUHI MATAKULIAH Psikologi Sosial II yang dibina oleh Dr. Fattah Hanurawan, M.Si., M.ed.



Oleh FemitaAdelina 120811421369



UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI MARET 2014



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Rumah atau papan adalah salah satu kebutuhan primer manusia selain pangan (makanan) dan sandang (pakaian), sehingga kebutuhan tersebut harus dipenuhi. Rumah adalah tempat untuk berlindung dan berkumpul bersama keluarga atau pun berinteraksi dengan tetangga di sekitar tempat tinggal. Orang akan cenderung memilih tempat tinggal yang membuatnya nyaman. Ada yang memilih tinggal di perumahan biasa dimana mereka dapat berinteraksi dengan penduduk lain dengan mudah, namun ada juga yang memilih tinggal di perumahan elite. Penduduk yang tinggal di perumahan elite ini biasanya adalah mereka yang berpenghasilan tinggi, berpendidikan tinggi, juga memiliki status sosial tinggi. Perumahan elite menawarkan kenyamanan dan keamanan bagi penghuninya dengan berbagai fasilitas yang tersedia. Di balik semua itu ternyata ada dampak negatif apabila tinggal di perumahan elite. Jika kita perhatikan penduduk yang tinggal di perumahan elite, mereka cenderung individualis. Bahkan kita akan jarang menjumpai ada interaksi antar sesama penduduk di lingkungan perumahan elite.



Berikut adalah fakta-fakta mengenai individualisme penduduk kota : Semakin cepatnya pertumbuhan ekonomi dan juga berkembangnya budaya di Indonesia khususnya Jakarta, lambat laun tidak dapat dipungkiri kehidupan individualisme masyarakat Jakarta makin terlihat. Terlebih di kotakota besar masyarakat hanya fokus terhadap diri sendiri tanpa memikirkan keadaan sekitar. Seperti yang dilansir Asriman.com, menurut Prof. Bambang Widodo Umar, seorang Guru Besar Hukum UI budaya mengatakan, individualisme dapat dilihat dari kecenderungan pembangunan hunian oleh developer yang menerapkan sistem cluster yang membuat penghuni perumahan



tersebut



terputus



hubungan



dengan



masyarakat



di



sekitarnya. Namun, menurutnya penerapan sistem cluster tersebut tidak bisa



hanya dilihat dari satu sisi dan menyalahkan pihak tertentu saja karena ini menyangkut banyak sekali faktor yang menjadi penyebabnya. Bagi developer, menyediakan produk yang sesuai dengan selera pasar adalah suatu kewajiban, karena ini masuk dalam ranah bisnis. Alasan masyarakat memilih tipe perumahan dengan sistem cluster juga dipicu oleh keinginan mereka mendapatkan rumah tinggal yang aman dan nyaman. Karena dengan sistem cluster perumahan tersebut hanya memiliki satu gerbang masuk dan keluar (www.rumahku.com).



Dua nyawa melayang pada hari yang sama dan di lokasi yang serupa di mal mewah dan sama meloncat dari lantai lima. Keduanya diduga bunuh diri. Mal rupanya menjadi tempat favorit tidak hanya untuk melepas lelah namun juga untuk bunuh diri. Berita yang menggemparkan Kota Jakarta di tengah gemerlapnya ternyata menyimpan misteri bagi penduduknya. Menurut pengamat sosial, Thamrin Amal Tamagola, tak sedikit orang yang punya masalah cukup berat di kota besar yang tidak mampu bertahan dan memilih jalan pintas. Kini keduanya telah tewas. Tentu kita berharap tidak ada yang kembali melakukan hal serupa. Namun inilah fenomena saat beban hidup di kota besar makin keras dan rasa individualisme di kota besar juga makin kental setiap orang dituntut kuat menghadapi tiap masalahnya (JUM) (Liputan6.com : Jakarta).



Hal tersebut di atas didukung oleh survey yang dilakukan Maharika dkk (2006). Survey tersebut memperlihatkan manakala warga perumahan ditanya tentang kehidupan di dalam komunitas berpagar, mereka menyetujui bahwa kehidupan dalam komunitas berpagar terasa nyaman di dalamnya (97,4%). Namun di sisi lain, ada dambaan pula untuk kehidupan yang lebih modern (48,7%), dan sekaligus kehidupan yang lebih guyup dengan lingkungan tetangga baik di dalam perumahan maupun dengan masyarakat sekitar (48,7%) dan dengan warga perumahan sendiri (30,8%). Di sini tampak sikap ambivalen dalam memasuki komunitas pemukiman



berpagar yang menjadi ”trend” kehidupan moderen, yaitu kehidupan privat dan cenderung menarik diri dari pergaulan (Widhyharto, 2009 : 219).



Di lain pihak ada penulis yang menanggapi keterikatan ini tak berhubungan. Kompleks perumahan seringkali memajukan kebebasan pribadi dan perpisahan, baik dari masyarakat umum maupun antara warga perumahan. Low (dlm Quintal & Thompson, 2007) berpendapat bahwa bentuk kompleks perumahan menghalangi integrasi dan perkembangan keterikatan dengan masyarakat di luar perumahan. Pagar dan dinding dianggap sebagai ancaman kohesi masyarakat. Kalau hubungan antar warga memang ada, Quintal dan Thompson (2007: 5) berpendapat bahwa hubungan ini bukan hubungan yang sesungguhnya. Melainkan, hubungan ini hanya berdasarkan minat dan pengkajian secara bersamaan ( Kerr, 2008 :11).



Permukiman yang terbangun ini menjadi kantong-kontong yang eksklusif dari kawasan yang mewah dan terkesan angkuh. Akses masuk ke kawasan yang tidak ramah terhadap pengunjung dengan pengaman menjadi kantong-kontong yang eksklusif dari kawasan yang mewah dan terkesan angkuh. Akses masuk ke berlapis dan ruang diciptakan dengan orientasi kendaraan bermotor sehingga sangat tidak nyaman bagi rakyat kebanyakan untuk mengakses tempat tersebut. Dilengkapi dengan pagar tinggi yang membatasi kompleks perumahan lengkap dengan gerbang mewah dan satpam yang berjaga 24 jam. Pagar perumahan yang mengelilingi kawasan menjadi perlambang batas kekuasaan dan penutupan diri terhadap "orang asing" (Setiawan, 2005 : 114).



B. Rumusan masalah Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana fenomena perilaku sosial individualisme pada penduduk perkotaan yang tinggal di perumahan elite?



2. Apa konsep psikologi sosial yang relevan pada perilaku sosial individualisme penduduk perkotaan yang tinggal di perumahan elite? 3. Bagaimana perilaku sosial individualisme penduduk perkotaan yang tinggal di perumahan elite menurut teori psikologi sosial?



C. Tujuan Makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan fenomena perilaku sosial individualisme pada penduduk perkotaan yang tinggal di perumahan elite. 2. Menganalisis konsep psikologi sosial yang relevan pada perilaku sosial individualisme penduduk perkotaan yang tinggal di perumahan elite. 3. Menganalisis perilaku sosial individualisme penduduk perkotaan yang tinggal di perumahan elite.



BAB II KERANGKA TEORI



A. Fenomena Fenomena yang ingin dikaji adalah perilaku individualis penduduk perkotaan, terutama penduduk yang tinggal di perumahan elite. Interaki mereka dengan sesama penduduk di sekitar tempat mereka tinggal sangat minim jika dibandingkan dengan penduduk di yang tinggal di lingkungan yang bukan perumahan elite. Saat ini, fungsi rumah pun menjadi terreduksi. Rumah seharusnya tidak hanya menjadi tempat untu berlindung tetapi juga tempat untuk bersosialisasi dan melakukan interaksi sosial dengan orangorang penghuni kawasan perumahan elite lainnya. Namun sekarang fungsi itu semakin terkikis di kawasan perumahan elite. Rumah hanya sebagai tempat untuk berlindung dan melepas lelah setelah seharian bekerja atau beraktivitas. Selain itu, orang tinggal di perumahan elit untuk menunjukkan status sosialnya.



Berikut adalah fenomena yang terjadi di daerah Malang di kompleks perumahan Araya yang dihuni oleh warga menengah keatas. Menurut A5 “kebanyakan kehidupan individualis” Walaupun banyak responden sudah kenal dengan tetangganya, hubungan ini tidak terlalu dalam dan biasanya percakapan mereka terdiri dari “basabasi saja” (A1, 29/2/08). Sekali lagi hasil ini menyokong uraian Quintal dan Thomspon (2007). Responden A6 berpendapat bahwa kehidupannya boleh dianggap individualis karena dia “kurang sosialisasi… orang kaya mereka enjoy (menikmati) sendiri saja” (11/4/08) ( Kerr, 2008 :11). B. Konsep Psikologi Sosial yang Relevan Kota adalah adalah tempat pemukiman yang relatif besar dengan kepadatan penduduk yang tinggi, dimana terdapat strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya materialistis. Menurut ketentuan formal seperti yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 tahun 1987,



disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan kota. Penduduk kota sangat heterogen, berikut adalah beberapa karakteristik penduduk kota (Hanurawan, 2011:176) : a. Cara berinteraksi sosial yang minimal. b. Kesulitan membedakan perilaku menyimpang dan perilaku yang unik. c. Selektif dan pembatasan respon terhadap perilaku orang lain. Kesibukan setiap warga kota cukup tinggi dapat mengurangi perhatian terhadap sesamanya. Apabila hal ini berlebihan akan menimbulkan sifat acuh tak acuh atau kurang mempunyai toleransi sosial.



Konsep yang sesuai dengan fenomena di atas adalah independen self (diri yang independen). Independent self adalah pemahaman tentang diri sebagai sesuatu yang unik, bermotivasi, dan kognitif, sebagai sebuah pusat kesadaran yang dinamis, emosi, penilaian, tindakan, yang disatukan secara khas, berdasarkan latar belakang sosial, dan sifat alamiahnya. Orang dengan diri independen memiliki emosi yang berfokus pada ego, seperti menyukai kebanggaan diri. Penduduk kota yang tinggal di perumahan elite merupakan penduduk dengan status sosial dan kesibukan yang tinggi, sehingga mereka cenderung acuh terhadap hal-hal yang bukan merupakan tanggung jawabnya. Tinggal di perumahan elite memberikan kebanggaan tersendiri bagi penghuninya, karena bisa menunjukkan latar belakang atau pun status sosialnya. Rumah besar besar, halaman luas dan tembok tinggi tentu merupakan pelambang bahwa pemilik rumah itu adalah orang dengan status sosial dan gaji tinggi atau biasa disebut orang kaya.



Konsep lain yag berkaitan dengan fenomena tersebut adalah nilai-nilai personal. Ada tiga nilai yang dianut individu dalam berinteraksi. Kooperator memaksimalkan imbalan bersama, kompetitor memaksimalkan keuntungan



sendiri atas partnernya (mendapat perolehan lebih baik dari partner), dan individualis ingin memaksimalkan perolehannya sendiri tanpa peduli apakah orang lain untung atau rugi. Penduduk kota di perumahan elit menganut nilai yang ketiga. Mereka cenderung mengadakan interaksi dengan orang lain bukan berdasarkan kepentingan bersama, namun interaksi yang terjadi dengan orang lain merupakan sarana untuk mencapai tujuan masing-masing individu. Hal tersebut menyebabkan orang tidak akan melakukan interaksi apabila ia tidak memiliki tujuan tertentu, sehingga penduduk di perumahan elite akan terkesan acuh tak acuh.



C. Teori Teori interdependesi dari Kelley & Thibaut mengenai social exchange cocok untuk kasus di atas. Menurut teori ini, orang selalu meneliti manfaat dan biaya dari interaksi atau hubungan tertentu. Manfaat (reward) adalah segala sesuatu yang positif yang diperoleh seseorang dari interaksi dengan orang lain. Biaya atau kerugian adalah konsekuensi negatif dari interaksi. Seseorang akan fokus pada hasil keseluruhan yang diperolehnya dari suatu hubungan, yakni apakah hubungan itu menguntungkan baginya (manfaat lebih besar dari biaya) atau justru merugikan (biaya lebih besar daripada keuntungan).



Perumahan elite bagi penghuninya sering dianggap sebagai tempat tinggal yang aman karena dibatasi oleh pagar yang tinggi dan dijaga oleh satpam. Namun pagar tersebut justru memisahkan pemilik rumah dengan masyarakat umum sehingga interaksi yang terjadi dengan penduduk lain di lingkungan tersebut sangat minim. Pagar yang tinggi mencerminkan ketertutupan dan kecurigaan dari pemiliknya, sehingga membuat masyarakat umum enggan untuk memasuki rumah tersebut mengingat akan munculnya resiko. Pagar tinggi merupakan batasan bagi pemilik rumah dengan dunia luar dalam berinteraksi. Mereka merasa tidak perlu berinteraksi dengan orang di lingkungannya karena tidak memberikan keuntungan bagi mereka.



Faktor pekerjaan juga mempengaruhi interaksi antar warga di perumahan elite karena mereka bekerja dari pagi hingga malam, sampainya di rumah mereka beristirahat dan tidak ingin diganggu. Penduduk di perumahan elite sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Hubungan dengan tetangga di kompleks perumahan elite nampak tidak begitu akrab. Bahkan untuk sekedar menyapa tetangga apabila bertemu di jalan tidak dilakukan karena sedang memikirkan pekerjaan mereka sendiri atau mungkin menganggap tetangga mereka sebagai orang asing. Mereka melakukan hal tersebut karena tidak ada keuntungan yang akan didapat dari tindakan tersebut.



Interaksi penduduk perkotaan yang tinggal di perumahan lebih dititikberatkan pada pertimbangan keuntungan yang diperoleh. Mereka akan melakukan interaksi dengan orang lain jika interaksi tersebut menguntungkan atau sesuai dengan tujuan mereka. Hal ini sesuai dengan teori pertukaran sosial di atas, dimana orang akan mempertimbangkan besarnya keuntungan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Mereka enggan melakukan interaksi dengan orang lain, apalagi jika tidak ada manfaat yang bisa mereka dapatkan dari interaksi tersebut. Apabila ada interaksi dengan orang lain sangat jarang interaksi tersebut bersifat mendalam, hal ini disebabkan interaksi atau hubungan akan berakhir apabila tujuan mereka telah terpenuhi.



BAB III PEMECAHAN MASALAH



Perilaku individualis masyarakat perkotaan yang tinggal di perumahan elite tidak mudah untuk dihilangkan. Meskipun demikian, diperlukan adanya pengendalian terhadap perilaku individualis tersebut supaya tidak timbul konflik antara individu. Berikut adalah pemecahan masalah yang bisa dilakukan untuk mengendalikan perilaku individualism penduduk perkotaan yang tinggak di perumahan elite.



Memberikan pendidikan sosial (social education) Pendidikan sosial ini bertujuan untuk memberikan wawasan kepada penduduk perkotaan mengenai penyesuaian diri. Implikasi dari pendidikan sosial ini adalah hubungan saling membutuhkan dan menghargai. Penduduk perkotaan di perumahan elite tentu memiliki pekerjaan yang bermacam-macam, dengan melakukan spesifikasi pekerjaan mereka, maka akan timbul perasaan saling membutuhkan di antara penduduk di perumahan elite dan mereka akan menghargai dan tidak menganggap rendah. Sebagai contoh, dalam kompleks perumahan elite ada penduduk yang bekerja sebagai pengacara, pengusaha, dosen, ataupun dokter. Suatu hari pengacara tersebut sakit, maka ia harus pergi ke tetangganya yang berprofesi sebagai dokter, di lain waktu sang dokter terlibat kasus hokum, maka ia perlu pengacara untuk membantunya. Disinilah akan timbul rasa saling membutuhkan. Selain antar penduduk di lingkungan perumahan elite, juga bisa diterapkan dengan masyarakat umum. Kita ambil contoh seperti di atas. Semisal seorang dosen yang tinggal di perumahan elite memerlukan sayuran untuk dimasak, kemudian ada pedagang sayur keliling yang masuk ke lingkungan perumahan elite tersebut. Dosen itu membeli sayuran dari pedangan tersebut dan terjadilah hubungan saling membutuhkan dan juga menghargai orang lain.



BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN



A. Kesimpulan Berikut adalah kesimpulan dari pembahasan di atas. 1.



Penduduk perkotaan yang tinggal di perumahan elite cenderung individualis atau kurang berinteraksi dengan orang lain, baik dengan sesasama penduduk di perumahan elite maupun masyarakat umum.



2.



Konsep psikologi yang relevan dengan masalah tersebut adalah konsep independent self (diri independen) dan nilai-nilai personal.



3.



Teori interdependesi dari Kelley & Thibaut mengenai social exchange cocok untuk fenomena individualisme penduduk perkotaan di perumahan elite. Menurut terori ini penduduk perkotaan di perumahan elite hanya melakukan interaksi dengan orang lain yang menguntungkan baginya. Dengan perkataan lain, interaksi tersebut merupakan sarana mereka mencapai tujuan.



4.



Masalah individualisme bukan hal yang mudah dihilangkan, namun kita bisa mengendalikan agar individualism ini tidak menimbulkan konflik. Caranya adalah dengan memberikan social education (pendidikan sosial).



B. Saran Pembahasan mengenai perilaku individualisme penduduk perkotaan yang bertempat tinggal di perumahan elite ini masih terbatas, supaya kedepannya bisa dikembangkan lagi dengan konsep-konsep dan teori-teori psikologi sosial yang lain sehingga hasilnya lebih bermanfaat.



DAFTAR RUJUKAN



Hanurawan, Fattah. 2011. Psikologi Sosial Terapan dan Masalah-Masalah Perilaku Sosial. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang



Kerr, Jessica. 2008. Di Belakang Pagar Perumahan: Kampung-Kampung Golongan



Menengah



di



(http://www.acicis.murdoch.edu.



Malang,



Jawa



Timur,



au/hi/field_topics/Jessi



(Online), caKerr.pdf),



diakses 16 Maret 2014.



Liputan6.com. 01 Desember 2009. Solidaritas Penduduk Kota Besar Kian Menipis,



(http://news.liputan6.com/read/253025/solidaritas-penduduk-



kota-besar-kian-menipis), diakses 16 Maret 2014.



Nestia, Vany. Hunian Cluster Sebabkan Masyarakat Jadi Individualis?, (http://www.rumahku .com/berita/read/hunian-cluster-sebabkan masyara kat -jadi individu alis- 406231) diakses pada 16 Maret 2014.



Setiawan, Altim. 2005. Fenomena Kawasan Permukiman Yang Individualis. Jurnal Smartek, (Online), 3 (2): 113-124, (portalgaruda.org/download _article.php), diakses 16 Maret 2014.



Taylor,



Shelley E. dkk. 2012. Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.



Widhyharto, Derajat S. 2009. Komunitas Berpagar Antara Inovasi Sosial dan Ketegangan Sosial (Studi Kasus Komunitas Berpagat di Propinsi D.I. Yogyakarta, Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 13 (2): 204-230.