Interaksionisme Simbolis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I



PENDAHULUAN



A.



Latar Belakang



Interaksionisme simbolis, Masyarakat sebagai konversasi (kontak lisan), pusat perkembangannya di departemen sosiologi Universitas chicago, sekitar tahun 1920-an diantara para pemikir yang menemukan teori tersebut, adalah Robert Park dan W.I. Thomas. Pendekatan melukiskan tentang Pragmatisme dari madhab filsafat Amerika yang unik, mengenai penafsiran sosiologi terhadap ekologi (studi tentang organisme dan lingkungannya) dan tentang metode-metode lapangan yang dikembangan oleh antopologi, Demikian juga ahli interaksionis akan menemukan dan tinggal bersama suatu kelompok sosial di negerinya sendiri. Sebagai penemu dan sekaligus dipandang ahli utama teori ini adalah George Herbert Mead. Semua diskusi modern tentang pendekatan ini menempatkan Mead di tempat yang sentral dan ketidak sengajaan yang telah di tunjukkan (penulis buku) merupakan ilustrasi yang paling baik dengan kenyataan bahwa karya pokoknya, yakni Mind, Self, dan Society, yang dikompilasinya dari catatan-catatan kuliah mahasiswanya setelah meninggal.



Interaksionisme simbolis yang mana hal ini melibatkan separangkat asumsi tentang aktor sosial, ia membuat pilihan-pilihan antara tujuan-tujuan itu dalam suatu situasi baik mengenai objek fisik maupun sosial untuk yang terakhir ini termasuk didalamnya norma-norma sosial dan nilai-nilai kultural. Proses pelembagaan (institusionalisasi) mencakup pelaku-pelaku (aktor) yang menyesuaikan tindakan-tindakan mereka satu sama lain yang memberikan kepuasaan timbal balik dan kalau hal ini berhasil tindakantindakan tadi berkembang menjadi suatu pola mengenai status-status peranan- suatu struktur peran.



Teori pernyataan diri dalam kehidupan sehari-hari (Theory of Self Expression in Everyday Life) dikemukakan oleh Erving Goffman. Goffman mengatakan bahwa interaksi antar manusia, baik interaksi antar individu maupun berkelompok, terjadi karena kesamaan tampilan yang bersifat teatrikal. Dengan kata lain, Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan berhubungan dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan.



B.



Rumusan Masalah



Dilihat dari latar belakang diatas adapun rumusan masalahnya, yaitu:



Apa pengertian dari interaksionisme simbolik ? Apa saja ide-ide dari George Herbert Mead ? Apa prinsip-prinsip interaksionisme simbolik? Apa yang dimaksud dengan teori dramaturgi Erving Goffman?



C.



Tujuan Penulisan



Tujuan utama pembuatan makalah ini untuk memenuhi nilai mata kuliah Teori Sosiologi. Selanjutnya untuk memaparkan pengertian interaksionisme simbolik, ide-ide George Herbert Mead, prinsip-prinsip interaksionisme simbolik, dan teori dramaturgi Erving Goffman.



D.



Manfaat Penulisan



Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah penulis dan pembaca lebih memahami mengenai arti interaksionisme simbolik, ide-ide George Herbert Mead, prinsip-prinsip interaksionisme simbolik, dan teori dramaturgi Erving Goffman.



BAB II



PEMBAHASAN



A.



Sekilas Tentang Biografi George Herbert Mead



George Herbert Mead dilahirkan di South Hadley, Massachussetts, Amerika pada 27 Februari 1863. Ayahnya, Hiram Mead, Sementara itu Ibunya, Elizabeth Storrs Billings. George H. Mead masuk Fakultas Teologi di Oberlin College di Ohio ( tempat ayahnya menjadi seorang professor), dan selesai tahun 1883. [1]



Ketika menjadi mahasiswa di sini, Mead berteman secara baik dengan Henry Castle, seorang yang berasal dari keluarga kaya, keluarga yang berpendidikan baik, yang memiliki tanah luas dan pengaruh politik di Hawai. Selama kuliah, keduanya banyak berdiskusi tentang filsafat dan agama sehingga menjadi semakin kritis pada kepercayaan yang bergantung pada konsepsi supranatural. Mereka juga mengembangkan cukup luas tentang sastra, puisi, dan sejarah.[2]



Dia merupakan pengaruh terpenting bagi Blumer, sosiolog selanjutnya dalam teori interaksionisme simbolik yang terkenal melalui bukunya, mind, self and society dan beberapa buku selanjutnya merupakan karya penting Mead. Mead memperkenalkan dialektika hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Bagi Mead, individu merupakan makhluk yang sensitif dan aktif. Keberadaan sosialnya sangat mempengaruhi bentuk lingkungannya (secara sosial maupun dirinya sendiri) secara efektif, sebagaimana lingkungan mempengaruhi kondisi sensitivitas dan aktifitasnya. Mead menekankan bahwa individu itu bukanlah merupakan “budak masyarakat”. Dia membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat membentuknya.



Bagi Mead, tertib masyarakat akan terjadi manakala ada komunikasi yang dipraktikkan melalui simbolsimbol. Untuk menjelaskan sifat spesifik komunikasi ini, maka komunikasi antar manusia harus di bandingkan dengan komunikasi antar hewan. Gambaran Mead yang terkenal dalam hal ini adalah mengenai anjing yang berkelahi. Setiap isyarat seekor anjing merupakan stimulasi bagi munculnya respon anjing lainnya. Demikian pula sebaliknya, sehingga akan terjadi saling memberi dan menerima.



Anjing-anjing itu menyatu dalam “perbincangan isyarat”. Meski isyarat-isyarat itu sendiri bukan merupakan suatu yang berarti , sebab isyarat itu tak membawa makna. Anjing-anjing itu bersiap dan mengantisipasi posisi yang lain secara spontan.[3]



B.



Ide-Ide George Herbert Mead



Tindakan Dalam resensinya atas buku Mead, Mind, Self, and society Ellsworth Faris menyatakan preferensi Mead mungkin bukan pikiran dan kemudian baru masyarakat, tetapi masyarakatlah yang pertama dan kemudian baru pikiran yang muncul dalam masyarakat. Menurut Mead, keseluruhan sosial mendahului pemikiran individu baik secara logika maupun secara temporer. Individu yang berfikir dan sadar diri adalah mustahil secara logika menurut teori Mead tanpa didahului adanya kelompok sosial. Kelompok sosial muncul lebih dulu dan kelompok sosial menghasilkan perkembangan keadaan mental kesadaran diri. Mead mengidentifikasikan empat basis dan tahap tindakan yang saling berhubungan, keempat tahap itu mencerminkan satu kesatuan organik, Mead selain tertarik pada kesamaan tindakan binatang dan manusia, juga terutama tertarik pada perbedaan tindakan antara kedua jenis makhluk itu.



Implus Tahap pertama adalah dorongan hati/implus (impulse) yang meliputi rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera, dan reaksi aktor terhadap rangsangan, kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap rangsangan itu, rasa lapar adalah contoh yang tepat dari implus.



Persepsi. Aktor menyelidiki bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan implus, dalam hal ini rasa lapar dan juga berbagai alat yang tersedia untuk memuaskannya. Manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan dan memahami stimuli melalui pendengaran, senyuman, rasa, dan sebagainya.



Manipulasi. Tahap ketiga adalah manipulasi. Segera setelah implus menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami, langkah selanjutnya adalah manipulasi objek atau mengambil tindakan berkenaan dengan objek itu. Disamping keuntungan mental, manusia mempunyai keuntungan lain ketimbang binatang.



Penyelesaian. Yakni tahap keempat tindakan, pelaksanaan/konsumasi atau mengambil tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya. Baik manusia maupun binatang mungkin memakan cendawan, tetapi manusia lebih kecil kemungkinan memakan cendawan beracun karena kemampuannya untuk memanipulasi cendawan dan memikirkan mengenai implikasi dari memakannya.



Gestur Gestur adalah gerakan organisme pertama yang bertindak sebagai rangsangan khusus yang menimbulkan tanggapan (secara sosial) yang tepat dari organisme kedua. Berikut ini adalah contoh terkenal Mead tentang perkelahian anjing dilihat dari perspektif isyarat: “Tindakan masing-masing anjing menjadi rangsangan untuk anjing lain dalam memberikan tanggapannya, fakta juga menunjukkan bahwa anjing yang siap menyerang anjing lain akan menjadi rangsangan bagi anjing lain itu untuk mengubah posisi atau sikapnya. Begitu perubahan sikap ini terjadi dipihak anjing kedua, maka anjing pertama pun mengubah sikapnya”. Mead menanamkan apa yang terjadi dalam situasi ini sebuah “percakapan isyarat”. Gerak isyarat anjing pertama secara otomatis mendapatkan gerak isyarat dari anjing kedua, tak ada proses berfikir yang terjadi di kedua belah pihak anjing itu.



Manusiapun kadang-kadang terlibat dalam percakapan isyarat tanpa pikir seperti itu. Contohnya dalam pertimbangan tinju dan anggar dimana banyak tindakan dan reaksi yang terjadi dimana seorang petarung “secara naluriah” menyesuaikan diri terhadap tindakan petarung kedua. Tindakan tanpa disadari seperti itu disebut Mead sebagai isyarat “nonsignifikan” apa yang membedakan manusia dari binatang adalah kemampuannya untuk menggunakan gerak isyarat yang signifikan atau memerlukan pemikiran di kedua belah pihak aktor sebelum beraksi.



Isyarat suara sangat penting perannya dalam pengembangan isyarat yang signifikan. Namun, tak semua isyarat suara adalah signifikan, kekhususan manusia dibidang isyarat (bahasa) ini pada hakikatnya yang bertanggung jawab atas asal mula pertumbuhan masyarakat dan pengetahuan manusia sekarang dengan seluruh kontrol terhadap alam dan lingkungan dimungkinkan berkat ilmu pengetahuan.



Simbol-simbol Signifikan Simbol signifikan adalah sejenis gerak isyarat yang hanya dapat diciptakan manusia. Isyarat menjadi simbol signifikan bila muncul dari individu yang membuat simbol-simbol itu sama dengan sejenis



tanggapan (tetapi tak selalu sama) yang diperoleh dari orang menjadi sasaran isyarat. Jadi disini dapat disimpulkan simbol-simbol signifikan itu ada 2, yaitu: Simbol Bahasa dan Simbol Isyarat Fisik:



Simbol bahasa Fungsi bahasa atau simbol yang signifikan pada umumnya adalah menggerakkan tanggapan yang sama dipihak individu yang berbicara dan juga dipihak lainya. Pengaruh lain dari bahasa merangsang orang yang berbicara dan orang yang mendengarnya.



Simbol isyarat fisik Simbol isyarat fisik, menciptakan peluang diantara individu yang terlibat dalam tindakan sosial tertentu dengan mengacu pada objek atau objek-objek yang menjadi sasaran tindakan itu, dengan demikian muka yang cemberut yang tak disengaja mungkin dibuat untuk mencegah seorang anak kecil terlalu dekat ditepi jurang dan dengan cara demikian mencegahnya berada dalam situasi yang secara potensial berbahaya.



Pikiran Pikiran (Mind) Didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan didalam diri individu; pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian intregal dari proses sosial. Dan karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk “memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan, itulah yang kita namakan pikiran”. Contoh : Seorang mahasiswa harus peka terhadap gejala-gejala sosial dan menganalisis tentang gejala sosial. Rina adalah mahasiswa baru di kampusnya, secara otomatis Rina akan melakukan pengambilan peran disini dengan peka dan menganalisis gejala sosial karena Rina adalah seorang mahasiswa.



Diri Diri (Self) Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek, untuk mempunyai diri, individu harus mampu mencapai keadaan “diluar dirinya sendiri” sehingga mampu mengevaluasi diri sendiri, mampu menjadi objek bagi dirinya sendiri. Dalam bertindak rasional ini mereka mencoba memeriksa diri sendiri secara impersonal, objektif, dan tanpa emosi. Mead mengidentifikasi dua aspek atau fase diri, yang ia



namakan “I” dan “Me”. Mead menyatakan, diri pada dasarnya diri adalah proses sosial yang berlangsung dalam dua fase yang dapat dibedakan, perlu diingat bahwa “I” dan “M” adalah proses yang terjadi di dalam proses diri yang lebih luas, keduanya bukanlah sesuatu (things).



Kemampuan untuk memahami diri sendiri dari perspektif orang lain. Melalui pandangan orang lain terhadap kita, kita akan mengetahui lebih jauh tentang pribadi kita sendiri dan membayangkan bagaimana kita dilihat orang lain. Melalui diri, seseorang dapat menjadi orang yang telah mencerminkan mereka dalam banyak interaksi yang telah dilakukan dengan orang lain. Diri terbagi menjadi dua segi : I adalah bagian dari diri anda yang menurutkan pada kata hati, tidak teratur, tidak terarah, dan tidak dapat ditebak. Contoh : Andi adalah seorang remaja yang sanantiasa selalu merubah gaya rambutnya, hal ini disebabkan karena Andi adalah anak yang mudah bosan. Perubahan yang dilakukan andi disini berdasarkan kehendaknya sendiri. Me adalah refleksi umum orang lain yang terbentuk dari pola-pola yang teratur dan tetap yang dibagi dengan orang lain. Me disini berperan sebagai objek dan lebih memberi petunjuk dan bersikap hati-hati. Contoh : menghadapi pergaulan bebas di masyarakat maka perlu adanya kontrol diri dan selektif dalam memilih teman.



Masyarakat Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku”(me).



Sarana hubungan sosial yang diciptakan oleh manusia. Masyarakat terdiri atas sebuah jaringan interaksi sosial dimana anggota-anggotanya menempatkan makna bagi tindakan mereka dan tindakan orang lain dengan menggunakan simbol-simbol. Kita tidak dapat berkomunikasi tanpa berbagi makna dari simbolsimbol yang kita gunakan. Melalui jaringan sosial yang di ciptakan individu ini menciptakan sebuah pertukaran simbol-simbol dan menghasilkan pemaknaan.



C.



Pengertian Interaksionalisme Simbolik



Pengertian interaksi dalam kamus bahasa Indonesia adalah saling mempengaruhi, saling menarik, saling meminta dan memberi. Dalam bahasa inggris disebut interaction yang dalam kamus ilmiah berarti pengaruh timbal balik, saling mempengaruhi satu sama lain. Sedangkan simbolik dalam kamus bahasa



indonesia berarti perlambangan, dan dalam bahasa inggris disebut symbolic yang dalam kamus ilmiah berarti perlambangan, gaya bahasa yang melukiskan suatu benda dengan mempergunakan bendabenda lain sebagai simbol atau pelambang.[4]



Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Interaksionisme simbolik (IS) adalah nama yang diberikan kepada salah satu teori tindakan yang paling terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah pernyataan-pernyataan seperti “definisi situasi”, “realitas dimata pemiliknya”, dan “jika orang mendefinisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam konsekuensinya”, menjadi paling relevan. Meski agak berlebihan, nama IS itu jelas menunjukkan jenisjenis aktifitas manusia yang unsur-unsurnya memandang penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial.[5]



Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada … “karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia.” Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah mana tindakannya.



Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus – respon, melainkan stimulus – proses berpikir – respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.



Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur yang ada di luar dirinya. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi



atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok.



Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol.” Penganut interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.



D.



Prinsip-Prinsip Dasar Interaksionalisme Simbolik



Tidak mudah menggolongkan pemikiran ke dalam teori dalam artian umum karena seperti dikatakan Paul Rock, pemikiran ini “sengaja dibangun secara samar” dan merupakan “resistensi terhadap sistemasisasi”. Ada beberapa perbedaan signifikan dalam interaksionalisme simbolik. Menurut Dauglas Goodman yang mengutip dari beberapa tokoh interaksionalisme simbolik Blumer, Meltzer, Rose, dan Snow telah mencoba menghitung jumlah prinsip dasar teori ini, yang meliputi:



Manusia tidak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khusus itu.



Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative mereka, dan kemudian memilih satu di antara serangkaian peluang tindakan itu. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat. Kapasitas berfikir. Pikiran menurut interaksionisme simbolik, sebenarnya berhubungan dengan setiap aspek lain termasuk sosialisasi, arti, simbol, diri, interaksi dan juga masyarakat. Berfikir dan berinteraksi. Manusia yang hanya memiliki kapasitas umum untuk berfikir, kapasitas ini harus dibentuk dan diperluas dalam proses interaksi sosial. Pandangan ini menyebabkan teoritisi interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus interaksi sosial yakni, sosialisasi dan bagi teoritisi simbolik adalah proses yang lebih dinamis yang memungkinkan manusia mengembangkan kemampuan untuk berfikir, untuk mengembangkan cara hidup manusia tersendiri. Sedangkan interaksi adalah proses dimana kemampuan berfikir dikembangkan dan diperlihatkan. Blummer (mengikuti Mead) membedakan dua bentuk interaksi yang relevan dikemukakan disini, pertama: interaksi nonsimbolik, percakapan atau gerak isyarat menurut Mead tidak melibatkan pemikiran. Kedua: interaksi simbolik memerlukan proses mental. Karya Erving Goffman, karya terpenting tentang diri dalam interaksionisme simbolik adalah Presentation of self in everyday life oleh Evring Goffman, konsep Goffman sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mead, khususnya dalam diskusinya mengenai ketegangan antara diri spontan, “I” dan “me” diri yang di atasi oleh kehidupan sosial. Ketegangan ini tercermin dalam pemikiran Goffman tentang apa yang disebutnya” ketaksesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil proses sosialisasi. Goffmen memusatkan perhatian pada pelaksanaan audiensi sosial dengan diri sendiri ini. Dalam hal ini Goffman membangun konsep Dramartugi atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama, seperti yang ditampilkan di atas pentas.



E.



Sekilas Tentang Biografi Erving Goffman



Erving Goffman lahir di Mannville, Alberta, Canada, 11 Juni1922. Meraih gelar Bachelor of Arts (B.A) tahun 1945, gelar Master of Arts tahun 1949 dan gelar Philosophy Doctor (Ph.D) tahun 1953. Tahun1958 meraih gelar Guru Besar, tahun 1970 diangkat menjadi anggota Committee for Study of Incarceration. Dan tepat di tahun 1977 ia memperoleh penghargaan Guggenheim. Meninggal pada tahun 1982,setelah sempat menjabat sebagai Presiden dari American Sociological Association dari tahun 1981-1982.



Karya-karya Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh George Herbert Mead yang memfokuskan pandangannya pada The Self. Misalnya, The Presentation of self in everyday life (1955), merupakan pandangan Goffman yang menjelaskan mengenai proses dan makna dari apa yang disebut sebagai interaksi (antar manusia). Dengan mengambil konsep mengenai kesadarandiri dan The Self Mead, Goffman kembali memunculkan teori peran sebagai dasar teori Dramaturgi. Goffman mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai panggung sandiwara, lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh individu sebagai aktor kehidupan.[6]



F.



Teori Dramaturgi Erving Goffman



Teori pernyataan diri dalam kehidupan sehari-hari (Theory of Self Expression in Everyday Life) dikemukakan oleh Erving Goffman. Erving Goffman merupakan seoranng interactionist yang menganalisis dramaturgi. Goffman mengatakan bahwa interaksi antar manusia, baik interaksi antar individu maupun berkelompok, terjadi karena kesamaan tampilan yang bersifat teatrikal.[7]



Dengan kata lain, Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan berhubungan dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan. Menurut Erving Gofffman, di dalam situasi sosial, seluruh aktivitas dari partisipan tertentu adalah suatu penampilan(performance), sedangkan orang lain yang terlibat dalam situasi sosial disebut sebagai pengamat atau partisipan lainnya.[8]



Goffman memahami diri bukan sebagai milik aktor namun sebagai produk interaksi dramatis antara aktor dengan audien. Karena diri adalah produk interaksi dramatis, ia rentan mengalami disrupsi selama pertunjukan. Dramaturgi Goffman berkenaan dengan proses pencegahan dan penanggulangan gangguan-gangguan semacam itu. Meskipun himpunan besar diskusinya berfokus pada kontingensikontingensi dramaturgis, Goffman menunjukkan bahwa sebagian besar sandiwara berhasil. Hasilnya ialah bahwa di dalam suasana sehari-hari, diri yang kukuh selaras dengan para pemain sandiwara, dan ia “tampak” berasal dari sang pemain sandiwara.



Goffman menerima bahwa ketika para individu berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu pengertian diri tertentu yang akan diterima oleh orang lain. Akan tetapi, bahkan selagi mereka menyajikan diri itu, para aktor sadar bahwa para anggota audiens dapat mengganggu sandiwara mereka. Oleh karena



alasan-alasan itu, para ak4tor menyesuaikan diri dengan kebutuhan untuk mengendalikan audiens khususnya unsur-unsurnya yang dapat menimbulkan kekacauan. Para aktor berharap bahwa pengertian diri yang mereka sajikan kepada audiens akan cukup kuat bagi audiens untuk mendefinisikan para aktor seperti yang diinginkan para aktor itu. Para aktor juga berharap bahwa hal itu akan menyebabkan audiens bertindak dengan sengaja seperti yang diinginkan para aktor. Goffman mencirikan perhatian sentral tersebut sebagai “manajemen kesan”. Hal itu meliputi teknik-teknik yang digunakan para aktor untuk memelihara kesan-kesan tertentu dalam menghadapi masalah-masalah yang mungkin mereka jumpai dan metode-metode yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.[9]



Mengikuti analogi teatrikal demikian, Goffman berbicara tentang:



Panggung Depan (Front Stage) Bagian depan adalah bagian dari sandiwara yang secara umum berfungsi dengan cara-cara yang agak baku dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi orang-orang yang mengamati sandiwara itu.[10] Dengan kata lain panggung depan adalah bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi sebagai cara untuk tampil di depan umum sebagai sosok yang ideal.[11]



Di dalam panggung depan, Goffman membedakan lebih lanjut bagian depan-latar (setting front) dan bagan depan-pribadi (personal). Latar mengacu kepada tempat atau situasi (scane) fisik yang biasanya harus ada jika para aktor hendak bersandiwara. Tanpa itu para aktor biasanya tidak dapat melakukan sandiwara. Contohnya, seorang ahli bedah pada umumnya memerlukan suatu ruang operasi, seorang supir taksi memerlukan taksi, dan pemain ski es memerlukan es. Bagian depan-pribadi terdiri dari itemitem perlengkapan eksresif yang diidentifikasi audiens dengan para pemain sandiwara dan mengharapkan mereka membawa hal-hal itu kedalam latar. Sebagai contoh, seorang ahli bedah diharapkan berpakaian jubah medis, mempunyai peralatan-peralatan tertentu, dan seterusnya.



Goffman kemudian memecah-mecah bagian depan pribadi menjadi penampilan dan sikap. Penampilan meliputi item-item yang menceritakan kepada kita status sosial pemain sandiwara itu, misalnya jubah medis sang ahli bedah. Sikap menceritakan kepada audiens jenis peran yang diharapkan simainkan pemain sandiwara di dalam situasi itu, contohnya penggunaan kebiasaan fisik, dan kelakuan.



Meskipun Goffman mendekati bagian depan dan aspek-aspek lain sistemnya sebagai seorang interaksionis simbolik, dia benar-benar mendiskusikan karakter strukturalnya. Contohnya, dia beargumen bahwa bagian depan cenderung menjadi terlembaga, dan begitu juga “representasi kolektif”



muncul di sekitar apa yang sedang berlangsung di dalam suatu bagian depan tertentu. Sering kali ketika para aktor mengambil peran-peran yang sudah mapan, mereka menemukan bagian depan tertentu sudah mapan untuk sandiwara demikian. Hasilnya, Goffman berargumen, ialah bagian depan itu cenderung diseleksi, bukan diciptakan. Ide tersebut menyampaikan gambaran struktural yang lebih banyak daripada yang akan kita terima dari sebagian besar interaksionis simbolik.



Meskipun ada pandangan demikian, wawasan Goffman yang paling menarik terletak pada ranah interaksi. Dia beragumen bahwa karena orang pada umumnya berusaha menyajikan suatu gambaran diri yang diidealkan di dalam sandiwara mereka dipanggung bagian depan mau tidak mau mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan berbagai hal di dalam sandiwara mereka. Pertama, para aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenanngan-kesenangan rahasia turut serta sebelum sandiwara dilakukan atau di kehidupan masa silam. Kedua, para aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahankesalahan yang telah mereka buat di dalam persiapan sandiwara dan juga langkah-langkah yang telah diambil untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan itu. Ketiga, para aktor mungkin merasa perlu menunjukkan produk-produk akhir saja dan menyembunyikan proses yang dilalui dalam menghasilkannya. Keempat, mungkin perlu bagi para aktor untuk menyembunyikan dari audiens bahwa “pekerjaan kotor” telah dilakukan di dalam membuat produk-produk akhir. Kelima, dalam memberikan sandiwara tertentu, para aktor mungkin terpaksa membiarkan standar-standar lain melenceng.



Aspek lain daramaturgi di panggung depan adalah bahawa para aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka lebih dekat dengan audiens daripada sebenarnya. Para aktor berusaha memastikan bahwa semua bagian dari sandiwara bercampur bersama.



Teknik lain yang digunakan oleh para pemain sandiwara adalah mistifikasi. Para aktor sering memistifikasi sandiwara mereka dengan membatasi kontak di antara mereka dan audiens. Dengan menghasilkan ‘jarak sosial” di antara diri mereka dan audiens, mereka mencoba menciptakan suatu rasa kagum pada sang audiens. Hal itu, sebaliknya membuat audiens tidak mempertanyakan sandiwara itu.



Panggung Belakang (Back Stage) Goffman juga mendiskusikan panggung belakang (back stage) tempat fakta-fakta yang ditindas di panggung bagian depan atau berbagai jenis tindakan-tindakan informal bisa kelihatan. Suatu panggung belakang biasanya berdekatan dengan panggung depan, tetapi diputus darinya. Para pemain sandiwara dapat berharap dengan cara yang dapat dipercaya tidak ada anggota audiens panggung bagian depannya tampak di panggung bagian belakang. Selanjutnya, mereka melakukan berbagai tipe manajemen kesan untuk memastikan hal itu. Suatu sandiwara kemungkinan besar sulit dilakukan bila



para aktor tidak mampu mencegah audiens memasuki panggung bagian belakang. Ada juga bagian ketiga, ranah sisa, bagian luar, yang bukan bagian depan juga bukan bagian belakang.



Tidak ada wilayah yang selalu salah satu dari ketiga ranah tersebut. Juga suatu wilayah tertentu dapat menduduki ketiga ranah itu pada waktu-waktu yang berbeda. Contoh kantor profesor adalah panggung depan ketika dikunjungi seorang mahasiswa, panggung bagian belakang ketika sang mahasiswa pergi, dan bagian luar ketika sang profesor berada di pertandingan bola basket universitas.



Manajemen Kesan.Manajemen kesan secara umum diorientasikan untuk menjaga serangkaian tindakan yang tidak diharapkan, seperti gerak isyarat yang tidak diinginkan, gangguan yang tidak menguntungkan, dan kecerobohan, dan juga tindakan-tindakan yang diinginkan seperti membuat onar. Goffman tertarik pada berbagai metode menangani masalah-maslah tersebut. Pertama, ada sekumpulan metode yang mencakup tindakan-tindakan yang bertujuan menghasilkan kesetiaan dramaturgis dengan, misalnya menumbuhkembangkan kesetiaan yang tinggi dalam kelompok, yang mencegah anggota tim mengidentifikasi sang audiens dan mengubah audiens secara periodik sehingga mereka tidak dapat terlalu kenal dengan para pemain sandiwara. Kedua, Goffman menyarankan berbagai bentuk disiplin dramaturgis, seperti memusatkan pikiran untuk menghindari salah ucap, menjaga pengendalian diri, dan mengatur ungkapan raut wajah dan novel sandiwara seseorang. Ketiga, dia mengenali berbagai tipe sifat hati-hati dramaturgis, seperti menentukan terlebih dahulu bagaimana suatu pementasan harus berjalan, merencanakan keadaan darurat, menyeleksi kawan seregu yang setia, menyeleksi para pendengar yang baik, melibatkan diri di dalam tim-tim kecil yang kurang mungkin dirundung perselisihan, hanya membuat penampilan-penampilan singkat, mencegah audiens mengakses informasi pribadi, dan memutuskan berdasarkan agenda yang komplet untuk mencegah kejadian-kejadian yang tidak teramalkan.



Jarak Peran. Jarak peran adalah suatu fungsi dari status sosial seseorang. Orang berstatus tinggi sering mewujudkan jarak peran karena alasan-alasan yang lain dari orang yang berada di posisi status rendah. [12]



Stigma. Dalam teori Dramatugi menjelaskan bahwa identitas manusia itu tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Goffman membuat kategori tentang stigma, yaitu orang yang direndahkan (stigma diskredit) dan orang yang dapat direndahkan (discreditable stigma). Orang yang direndahkan adalah orang yang memiliki kekurangan yang dapat dilihat dengan kasat mata, misalnya seperti orang cacat fisik, orang buta, dll. Sedangkan orang yang dapat direndahkan



adalah orang yang memiliki aib yang tidak dapat dilihat secara langsung, misalnya seperti orang yang suka sesama jenis.



Analisis Kerangka. Analisis framing merupakan situasi yang dibentuk sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang mengatur peristiwa-peristiwa seperti peristiwa sosial, dan keterlibatan subyetif kita di dalamnya. Dengan arti, kita belajar memaknai suatu peristiwa tertentu dan realitas sosial sesuai dengan pengalaman yang telah kita miliki dalam suatu organisasi sosial masyarakat yang kemudian menjadi tindakan kita.[13]



BAB III



PENUTUP



A.



Kesimpulan



Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak.



Teori pernyataan diri dalam kehidupan sehari-hari (Theory of Self Expression in Everyday Life) dikemukakan oleh Erving Goffman. Erving Goffman merupakan seoranng interactionist yang menganalisis dramaturgi. Goffman mengatakan bahwa interaksi antar manusia, baik interaksi antar individu maupun berkelompok, terjadi karena kesamaan tampilan yang bersifat teatrikal. Dengan kata lain, Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan berhubungan dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan. Mengikuti analogi teatrikal demikian, Goffman berbicara tentang panggung depan (Front Stage) dan panggung belakang (back stage).



Dapat disimpulkan, menurut kami kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori interaksionisme simbolik adalah Kehidupan bermasyarakat itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuantujuan yang hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is a ‘minding’process that interveness between stimulus and response. It is this mental process, and not simply the stimulus, that determines how a man will react. [14]



B.



Saran



Dalam pembuatan makalah ini mungkin masih terdapat beberapa kesalahan baik dari isi dan cara penulisan. Untuk itu kami sebagai penulis mohon maaf apabila pembaca merasa kurang puas dengan hasil yang kami sajikan, dan kritik beserta saran juga kami harapkan agar dapat menambah wawasan untuk memperbaiki penulisan makalah kami



[1] Geogre Ritzer, Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Post Modern, Terjemahan Saut Pasaribu ( Yogyakarta : Pustaka Belajar, Edisi kedelapan., 2012 ), hlm. 606



[2] Rachmad K. Dwi Susilo, 20 tokoh sosiologi modern,(Jogjakarta:Ar-ruz Media,2008) hlm. 59



[3] Ibid hlm:116



[4] Risa Agustin, kamus ilmiah populer,(surabaya: serba jaya) hlm.489 [5] Pip Jones, pengantar teori-teori sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1979 hlm.142 [6] http://id.scribd.com/doc/117138570/BUKU-revisi-Sospemb



[7] Alo Liliweri, Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya dan Masyarakat Multikultur, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta., 2005), hlm. 153



[8] Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Social:Sebuah Kajian Pendekatan Structural (Jakarta: Bumi Aksara., 2007), hlm. 158



[9] Geogre Ritzer. Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Post Modern. Terjemahan Saut Pasaribu ( Yogyakarta : Pustaka Belajar, Edisi kedelapan., 2012 ), hlm. 637



[10] Geogre Ritzer. Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Post Modern. Terjemahan Saut Pasaribu ( Yogyakarta : Pustaka Belajar, Edisi kedelapan., 2012 ), hlm. 638



[11] Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Social:Sebuah Kajian Pendekatan Structural, (Jakarta: Bumi Aksara., 2007), hlm. 158



[12] Geogre Ritzer, Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Post Modern, Terjemahan Saut Pasaribu, ( Yogyakarta : Pustaka Belajar, Edisi kedelapan., 2012 ), hlm 638-644



[13] Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Social:Sebuah Kajian Pendekatan Structural, (Jakarta: Bumi Aksara., 2007), hlm. 158



[14] Ritzer, 1980:194, dalam Sutaryo, 2005).



Iklan



SHARE THIS: TwitterFacebook3Google Memuat... TERKAIT PENDEKATAN PEMBELAJARAN SCIENTIFIC DAN KONTEKSTUAL Reblogged by 1 person Langkah-Langkah Penelitian Ilmiah Penelitian Aplikasi Teori Pendidikan di MA Islamiyah YADAIR Sawangan Depok POSTED IN UNCATEGORIZED NAVIGASI POS



< PENDEKATAN PEMBELAJARAN SCIENTIFIC DAN KONTEKSTUAL SAHABAT ALIYAH > TINGGALKAN BALASAN



Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *



KOMENTAR



NAMA *



SUREL *



SITUS WEB



KIRIM KOMENTAR



Beri tahu saya komentar baru melalui email.



MUSIC



If You Ever Come Back – The Script Lyrics.