Intro [PDF]

  • Author / Uploaded
  • adi
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



I.1. Latar Belakang Masalah Istilah oikumene tidak terpisahkan dari istilah Gerakan Oikumene (GO). Hal ini diungkapkan oleh Eka Darmaputera bahwa pemahaman oikumene hendaknya memang menjadi suatu gerakan dalam hal ini GO, sebab gerakan berarti menandakan suatu kondisi dinamis dan dalam konteks dunia yang terus berubah.1 Menurut Chris Hartono, konsep kesatuan gereja di Indonesia dibicarakan dalam terminologi oikumene. Kata ini



W



berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni dari kata όικος yang berarti "rumah" dan μενειν yang berarti "mendiami", “menghuni” atau "tinggal", sehingga secara



KD



etimologi oikumene berarti mendiami rumah atau menghuni rumah sebagai tempat tinggal bersama2 Lebih lanjut Chris Hartono menegaskan:



©



U



“Dengan demikian maka, gerakan ekumenis berarti gerakan yang bersangkutpaut dengan ekumene, atau gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan dan menghayati keesaan gereja-gereja. Dengan perkataan lain dapat diungkapkan bahwa gerakan ekumenis adalah usaha gereja-gereja dalam mewujudkan keesaannya di dunia ini supaya hakekatnya yang asasi itu, yakni selaku gereja Kristus yang esa itu, dapat dihayati dan dinampakkan dengan jelas!”3



Menurut Pilon, oikumene dapat dipahami sebagai: Gereja-gereja yang bersama-sama bergumul sampai mencapai keesaan Injili dan yang terlihat melalui sikapnya, kegiatannya dan aktifitasnya mau membuktikan keesaan yang asasi ini di dalam dunia dan pada konteks masa kini.4 Dari pemahaman GO yang disampaikan oleh kedua tokoh di atas, nampak bahwa GO adalah upaya yang dilakukan oleh gereja-gereja dalam mewujudkan



1



Eka Darmaputera, Berbeda Tapi Bersatu: Bacaan Praktis untuk pimpinan dan warga jemaat mengenai Oikoumene (Jakarta: BPK GM, 1974) p.35. 2 Chris Hartono, Pemaknaan Oikoumene: Perkembangan Pemaknaan Oikoumene dalam Tradisi (Yogyakarta: Tidak diterbitkan, 2009) p.1 3 Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia (Yogyakarta: PPIP UKDW,1984) p.2. 4 P.K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint : Oikumenika, bagian sejarah (Jakarta: BPK GM, 1973) p.13.



1



kesatuannya, namun tidak dalam arti sempit hanya berkutat pada persoalan gereja. GO berkembang lebih luas menjadi wider ecumenism5 yang turut ambil bagian dalam persoalan di dunia, yang menyangkut kemanusiaan dan juga alam semesta. Senada dengan pandangan kedua tokoh di atas mengenai GO, badan-badan oikumenis seperti WCC (World Council of Churches), CCA (Christian Conference of Asia) dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) juga mengupayakan GO yang luas, bukan hanya berkutat pada persoalan internal atau di dalam gereja saja. Melainkan juga berkembang dan menyangkut persoalan eksternal gereja, misalnya seperti masalah kemajemukan agama, budaya, sosial–kemanusiaan, kemiskinan dan lingkungan-alam



W



semesta. Setelah penulis menjadi dosen yang mengampu mata kuliah oikumenika, penulis mulai mendalami seluk-beluk GO yang luas secara lebih intensif yakni dengan



KD



menggali banyak sumber pustaka mengenai GO.6



1. GO menurut WCC



U



Dalam Sidang Raya WCC ke-VI pada tahun 1983 di Vancouver Canada, gerejagereja telah memperhatikan secara khusus masalah ketidakadilan, perang, dan



©



penghancuran lingkungan hidup sebagai akibat dari keserakahan dan kerakusan umat manusia sebagai upaya gereja dalam mewujudkan GO, maka berangkat dari hal itu sidang telah mengusulkan agar gereja-gereja mengambil bagian dalam proses konsilier untuk keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (Dalam bahasa Inggris : Justice, Peace, and the Integrity of Creation disingkat menjadi JPIC).7 Hal tersebut juga 5



Hope S. Antone, “Introduction” dalam Idem, Living In Oikumene (Hongkong: CCA, 2003) p.5. bdk pula dengan pandangan Chris Hartono mengenai pemhahaman GO dalam tradisi baru gereja yaitu GO yang berkaitan dengan konteksnya di dunia masa kini. Lih. Chris Hartono, Pemaknaan Oikoumene, p.3. 6 Rujukan pustaka yang penulis gunakan tentang GO berasal buku atau artikel yang diterbitkan oleh badan-badan oikumenis dunia seperti WCC (World Council of Churches), CCA (Christian Conference of Asia) dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia). 7 Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, p.189. bdk pula dengan ulasan Jan S. Aritonang mengenai upaya JPIC WCC yang kemudian diikuti oleh DGI/PGI dengan membentuk komisi maupun Kelompok Kerja Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC). Tema JPIC juga secara konsisten dibahas dalam Dokumen Keesaan Gereja, yang mulai dibahas dalam Lima Dokumen Keesaan gereja sejak tahun 1984. Jan S. Aritonang, “Perkembangan Pemikiran Teologis di Indonesia, 1960-1990-an dalam Ferdinand



2



didukung oleh E.G. Singgih, yang mengungkapkan bahwa salah satu model gereja yang cocok dengan konteks Asia-Pasifik termasuk di Indonesia adalah model gereja yang oikumenis.8 E.G. Singgih menyatakan bahwa pergumulan eklesiologis tersebut tidak lepas dari pergumulan WCC yang mempunyai pengaruh besar di dalam pandangan gerejagereja Asia-Pasifik. Program yang digumulkan sebagai gereja yang oikumenis adalah persoalan



JPIC



(yang



diterjemahkan



ke



dalam



bahasa



Indonesia



menjadi



Keadilan,Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan). a. Keadilan



W



Persoalan kemiskinan adalah konteks yang nyata di Indonesia. Hal ini bisa terjadi juga karena masalah struktur yang tidak adil sehingga membuat orang sulit untuk keluar dari



KD



belenggu kemiskinan. Selain itu persoalan keadilan juga menyangkut persoalan peran wanita, pemuda-remaja dan anak-anak dalam gereja. Bahkan dalam WCC juga dibicarakan keadilan bagi para penyandang cacat. Gereja yang oikumenis adalah gereja



U



yang berbicara tentang keadilan dan persoalan-persoalan sosial yang demikian. b. Perdamaian



©



Gereja tidak boleh hanya diam terhadap setiap konflik yang terjadi maupun gejalagejala kekerasan yang marak terjadi di masyarakat. Gereja harus bisa menjadi teladan dalam menciptakan shalom. Perdamaian harus menjadi life style gereja yang dibudayakan. Salah satu caranya misalnya dengan berbicara di surat kabar atau media lainnya tentang sikap anti kekerasan dalam segala aspek, termasuk dalam mengajarkan ajaran gereja, tidak dengan paksaan atau dengan ancaman. c. Keutuhan Ciptaan Suleeman,et.al (Ed), Bergumul Dalam Pengharapan: Buku Penghargaan Untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera (Jakarta: BPK GM, 1999) p.271. 8 Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks (Yogyakarta: Kanisius, 2000) pp. 222-228. Bdk. dengan pemahaman oikumene PGI pada saat menerbitkan buku peringatan di ulang tahun emas yang ke 50. Karel Ph. Erari, Kepala BALITBANG PGI, “Pengantar” dalam Jan S. Aritonang (ed), 50 Tahun PGI: Gereja Di Abad 21, Konsoliasi Untuk Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Jakarta: BALITBANG PGI, 2000) p.i.



3



Kecenderungan gereja adalah hanya berfokus pada manusianya. Padahal alam dan lingkungan adalah bagian integral dari kehidupan manusia itu sendiri. Baik manusia maupun alam adalah ciptaan Allah. Kesadaran terhadap pelestarian alam dan lingkungan perlu menjadi perhatian gereja yang berwawasan oikumenis dengan praksis yang berorientasi pada pemeliharaan alam.



WCC, kembali menegaskan upayanya dalam mewujudkan GO yang memberi perhatian besar pada persoalan kemanusiaan (rakyat) dan lingkungan hidup (bumi). Hal itu berangkat dari Sidang Raya WCC ke- VIII di Harare pada tahun 1998 hingga SR



W



WCC ke- IX di Porto Alegre pada tahun 2006 yang menghasilkan dokumen AGAPE (Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth). Penekanannya adalah sama



KD



seperti persoalan JPIC yakni, bagaimana gereja turut berperan serta dan menaruh kepedulian besar pada persoalan kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup yang



U



parah.9



2. GO menurut CCA



©



Badan oikumenis yang berangkat dari realitas konteks Asia adalah CCA, yang secara



konsisten memperjuangkan kehidupan bersama antar gereja guna menjawab tantangan di Asia yang meliputi kebudayaan, pluralisme agama, kemiskinan, keadilan dan juga peran perempuan dan anak-anak yang kerap terpinggirkan serta lingkungan. Dalam hal ini CCA memahami oikumene secara lebih luas dan berangkat dari konteks Asia yang khas tersebut, yang dipandang sebagai upaya oikumenis. CCA mempunyai misi yang holistis sebagai dasar mereka dalam mewujudkan Gerakan Oikumene, hal itu dinyatakan dalam pengakuan misi mereka sebagai misi Allah, yakni : kami mewartakan, membagikan dan menghidupkan kabar baik tentang kehidupan sepenuhnya bagi semua anak yang berada dalam rumah tangga Allah. Kami juga mengakui bahwa rumah tangga Allah adalah seluruh dunia yang didiami 9



Tim JPIC-WCC Jenewa 2006, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE) : A Background Document (Jakarta: PMK HKBP, 2008) pp.1-3.



4



(oikoumene). Maka, semua bangsa, tanpa membedakan mereka berdasarkan ras, warna kulit, keyakinan dan iman, telah merupakan anggota dari rumah tangga itu. Semua anggota itu dianugerahi dengan gambar Allah dalam diri mereka, tanpa memperhatikan apakah mereka mengakui akan hal itu atau tidak. Oleh karena itu, misi harus holistis - ialah memperhatikan kebutuhan-kebutuhan seseorang seluruhnya; mengakui gambar ilahi di dalam mereka; melawan kekuatan-kekuatan yang mengubah bentuk gambar ilahi itu dan menolong bahwa gambar ilahi itu dapat berkembang atau berbunga sepenuhnya.10 Fokus pemaknaan GO yang diangkat oleh CCA terasa pas dan kontekstual dengan kondisi Asia pada umumnya dan juga di Indonesia secara khusus.11 Ahn Jae Wong, sekretaris umum dari CCA memiliki pandangan oikumenis yang disebutnya sebagai “New Ecumenism” yang menjadi tema simposium internasional CCA tahun 2002 di Hongkong. Ia menjelaskan:



U



KD



W



Saya menekankan gerakan oikumene dalam arti yang luas, yang tercakup dalam tiga kata kunci utama yakni theo-ecumenics, eco-ecumenics dan geo- ecumenics. Melalui theo-ecumenics, saya maksudkan bahwa misi gerakan oikumene ditekankan dalam misi Allah sebagai sumber utama, pencipta, pelindung dan pembebas dunia, lalu melalui eco-ecumenics, saya maksudkan bahwa misi gerakan oikumene haruslah yang ramah terhadap lingkungan, dan mencakup seluruh alam semesta sebagai ciptaan Allah dan pada akhirnya melalui geo-ecumenics, saya maksudkan bahwa gerakan oikumene haruslah kontekstual dalam hal ini bagi konteks Asia hal itu mencakup kemajemukan agama, budaya, ras, bahasa, masyarakat, kepercayaan dan warna kulit yang beranekaragam harus dijaga dan diberdayakan agar dapat berkembang.12



©



Selain itu, kata kunci bagi GO di Asia adalah konsep teologi misi tentang missio Dei atau misi Allah di muka bumi. Dunia ini adalah merupakan tempat yang kudus di mana Allah bekerja di dalamnya (diistilahkan dengan This-Worldly Holiness). Dengan demikian, GO Asia, memiliki keterikatan dan hubungan antara Allah dan dunia yang menyangkut kemajemukan masyarakat, budaya, agama-agama dan kehidupan sosial-



10



Hope S. Antone “Editorial: Special Edition on Holistic Mission in The Context of Asian Plirality” dalam Hope S. Antone (ed), CTC Bulletin, Vol. XXIV, Nos. 1-2, April-Agustus 2008 (Thailand: CCA, 2008) p. i. 11 Yap Kim Hao, From Prapat to Colombo, History of the Christian Conference of Asia (Hongkong: CCA, 1995) pp.74-79. 12 Ahn Jae Woong, “The God Who Matters” dalam Hope S. Antone (ed), Living In Oikumene (Hongkong: CCA, 2003) p.13.



5



politik sebagai landasan atau motif berteologi. Hal ini ditegaskan oleh para teolog Asia seperti M. M Thomas dan C. S. Song.13



3. GO menurut PGI Di Indonesia, salah satu badan oikumenis yang mendukung upaya mewujudkan GO, yang juga merupakan anggota dari WCC dan CCA adalah PGI. PGI berdiri pada tanggal 30 Mei 1950, dan beranggotakan gereja-gereja dari denominasi yang beragam.14 Bagi PGI pemaknaan oikumene terus berkembang, bukan hanya menekankan gerakan keesaan gereja saja di tengah pluralisme kekristenan (interdenominasi gereja)



W



sendiri, melainkan juga mengembangkan hubungan dengan umat beragama lain (lintas agama) dalam konteks masyarakat majemuk.15 Solidaritas di tengah masyarakat



KD



majemuk menjadi visi-misi terbaru PGI tahun 2009-2014.16 PGI pun memahami GO bukan lagi sebatas persoalan gerejawi tetapi juga persoalan sosial-kemanusiaan yang penekanannya pada segi action atau praksis.17 Bagi PGI, oikumene pada hakekatnya



13



U



adalah :



©



Ken Christoph Miyamoto, God’s Mission in Asia: A Comparative and Contextual Study of This-Worldly Holines and the Theology of Missio Dei in M.M Thomas and C.S Song : American Society of Misiology Monograph Series (Eugene: Pickwick Publications, 2007) pp.70-80. 14 J.M. Pattiasina dan Weinata Sairin (Ed), Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila: Buku Peringatan 40 Tahun PGI (Jakarta: BPK GM, 1997) pp. 405-406. 15 Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja: Sejarah, Dokumen-Dokumen dan Tema-Tema Gerakan Oikumenis (Jakarta: BPK GM, 1993) p. 84. Bdk dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Dalam Kemantapan Kebersamaan Menapaki Dekade Penuh Harapan (Lima Dokumen Keesaan Gereja)(Jakarta: BPK GM, 1991) p.15. Lima dokumen keesaan gereja (LDKG) dan dokumen keesaan gereja (DKG) sebagai arah dan landasan pemahaman gerakan Oikumene yang diusahakan PGI. 16 PGI, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (DKG PGI : Keputusan Sidang Raya XV PGI, Mamasa, Sulawesi Barat 19-23 November 2009 (Jakarta: PGI, 2010) p.39. 17 Lih. Kata Pengantar dari Majelis Pekerja Harian–PGI, dalam PGI, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (DKG-PGI) : Keputusan Sidang Raya XIV PGI, Wisma Kinasih, 29 Nopember-5 Desember 2004 (Jakarta: BPK GM, 2006) p.x. Bdk dengan O’ Collins SJ & Edward G. SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996) p.260. Praksis berarti kegiatan kritik diri yang tidak puas hanya berhenti pada mempertahankan kebenaran secara teoritis, dengan kata lain berpraksis merupakan tindakan gereja secara konkrit dalam meresponi persoalan-persoalan aktual berdasarkan teologi yang diyakininya. Jadi, dari teologi menuju pada suatu sikap/tindakan konkrit. Bdk pula dengan Gerben Heitink, Teologi Praktis: Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2002) pp. 191-195. Bagian ini menerangkan bidang-bidang aksi dari teologi praktis yang disebut 'praksis iman Kristiani dalam masyarakat modern' (p. 191). Praksis iman ini tidak lagi bertumpu pada Gereja melainkan umat (pribadi-pribadi beriman) untuk menjadi 'garam dunia'. Dalam Teologi praktis menurut Heitink antara pemahaman dan tindakan, keduanya adalah 'kesatuan ilmu pengetahuan tindakan' (p. 192).Dengan sederhana, hubungan antara teori dan praktek oleh Heitink disatukan dengan kata-kata kerja:



6



Usaha gereja-gereja dalam mewujudkan keesaannya di dunia ini supaya hakekatnya yang asasi itu, yakni selaku gereja Kristus yang esa itu, dapat dihayati dan dinampakkan dengan jelas. Usaha-usaha oikumenis yang dilakukan bermuara pada usaha-usaha gereja sendiri karena masalah usaha dan gerakan oikumenis tidak dapat dipisahkan dari gereja.18



Penulis tertarik meneliti mengenai GO, tidak hanya dari perspektif pendeta selaku pemimpin jemaat saja, tetapi juga dari perspektif jemaat (non pendeta). Mengapa perlu meneliti jemaat? Menurut penulis, jemaat adalah bagian substantif (inti) dari gereja. Meneliti jemaat merupakan suatu upaya mewujudnyatakan berteologi secara kontekstual, sebab teologinya berasal dari bawah, yang dikembangkan berdasarkan apa



W



yang hidup dalam jemaat (menurut hemat penulis dapat dikatakan sebagai teologi berdasarkan praksis yang hidup dalam jemaat). Jemaat adalah teolog primer, sementara



KD



para teolog ilmiah adalah teolog sekunder yang membantu teolog primer.19 Selain itu, PGI sebagai badan oikumenis di Indonesia menghimbau gereja-gereja anggotanya agar mensosialisasikan pemahaman dan praksis GO hingga di level jemaat.



U



PGI menghendaki agar GO tidak hanya menjadi gerakan elit namun menjadi gerakan yang menyentuh hingga level jemaat sehingga GO dapat sungguh-sungguh diupayakan



©



oleh seluruh gereja-gereja di Indonesia.20 Diharapkan agar GO bisa hidup tidak hanya di kalangan para elit gereja seperti pendeta saja, tetapi juga hidup dalam konteks jemaat biasa tanpa terkecuali. Penulis memilih gereja yang akan penulis teliti yakni GKJ Gondokusuman Yogyakarta (selanjutnya disebut GKJ Gondokusuman), dengan beberapa alasan sebagai berikut :



'merayakan, belajar, melayani dan membagi' (p. 195). Semua kata kerja ini menunjuk pada praksis yang didalamnya mencakup baik teori maupun praktek. 18 Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, p.2. 19 J.B Banawiratma, “Kata Pengantar” dalam John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris (Jakarta: Grasindo, 1997) p.x. 20 PGI, DKG 2000 (Jakarta: PGI, 2000) p.3.



7



1. Untuk menunjukkan relasi oikumenis. Penulis berasal dari Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Palangka Raya, yang berlatar belakang budaya Dayak dan penulis memilih untuk berjemaat sementara, selama masa studi penulis, di GKJ Gondokusuman yang merupakan gereja berlatar belakang budaya Jawa, meskipun keduanya bisa digolongkan sealiran yakni gereja mainstream. 2. GKJ Gondokusuman dikukuhkan dan diresmikan sebagai gereja dewasa pada tanggal 23 Nopember 1913.21 pada tanggal 23 Nopember 2013 yang akan datang, genap berusia 100 tahun (satu abad). Dilihat dari segi usia, GKJ Gondokusuman adalah salah satu gereja tertua yang ada di Yogyakarta.



W



3. GKJ Gondokusuman melalui sinode GKJ merupakan salah satu gereja yang mencetuskan berdirinya PGI pada tahun 1950 (pada waktu itu bernama Dewan Gereja-



KD



gereja di Indonesia yang disingkat DGI) yang merupakan badan oikumenis di Indonesia.22 Dengan demikian GO bukanlah istilah yang asing atau baru bagi GKJ. Menarik untuk melihat dan meneliti pemahaman dan praksis GO-nya kini (tahun 2011



U



sampai dengan tahun 2012), baik di kalangan pendeta maupun jemaat secara khusus di lingkungan GKJ Gondokusuman sebagai bagian dari sinode GKJ.



©



4. Dalam konteks masyarakat, kota Yogyakarta sebagai lokasi berdirinya GKJ Gondokusuman terdiri dari masyarakat yang majemuk. Sejak tahun 1900, penduduk Yogyakarta semakin berkembang, pada saat itu, muncul nama-nama kampung berdasarkan etnis warganya. Misalnya kampung Kranggan yang didominasi etnis Tionghoa, kampung Sayidan yang dihuni oleh etnis Arab, kampung Menduran yang ditinggali orang-orang Madura, kampung Bugisan yang warganya berasal dari Bugis, sementara orang-orang Eropa yang menetap di Yogyakarta banyak tinggal di daerah



21



Majelis Jemaat GKJ Sawokembar Gondokusuman, 75 tahun Jemaat Kristen Jawa Sawokembar Gondokusuman Yogyakarta (Yogyakarta: MJ GKJ Sawokembar Gondokusuman,1988) p.33. 22 Fridolin Ukur, “ Menapaki Masa Depan Bersama : Suatu Tinjauan Historis”, dalam J.M. Pattiasina dan Weinata Sairin (Ed), Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila: Buku Peringatan 40 Tahun PGI (Jakarta: BPK GM, 1997) pp.20-21.



8



Loji Kecil, Kota Baru, dan Sagan.23 Jemaat GKJ Gondokusuman juga merupakan jemaat yang plural, misalnya para mahasiswa yang bergereja di GKJ Gondokusuman berasal dari daerah-daerah di seluruh Indonesia, sehingga jemaat GKJ Gondokusuman bukan hanya terdiri dari suku Jawa saja, tetapi juga terdiri dari suku non-Jawa misalnya suku Batak, Nias, Dayak, Manado dan sebagainya. 5. Yogyakarta merupakan suatu pusat yang penting bagi GKJ karena di sana terdapat pusat pelayanan persekolahan, kesehatan dan pendidikan termasuk pendidikan teologi. GKJ mencoba untuk memperluas panggilan pelayanannya ke luar yakni berpartisipasi dalam lingkup masyarakat. Melalui pelayanan kesehatan dan pendidikan yang



W



menyokong panggilan hidup bergereja, GKJ mencoba untuk mewujudkan pelayanan gereja yang lebih luas. Pelayanan gereja yang keluar ini juga didasarkan pada



KD



pandangan GKJ tentang gereja sebagai organisme yang melakukan Pekabaran Injil (PI) yakni mendatangkan damai sejahtera dalam konteks di mana pun gereja berada.24 6. GKJ Gondokusuman melalui sinode GKJ merupakan anggota dari badan-badan



U



oikumenis seperti WCC (World Council of Churces), CCA (Christian Conference of Asia) serta PGI yang telah mengupayakan GO sebagai suatu gerakan dalam lingkup



©



pemahaman dan praksis.25



7. Dukungan terhadap upaya mewujudkan GO juga nampak dalam upaya sinode GKJ yang menggunakan tema dari Sidang Raya WCC ke-10 di Busan pada tahun 2013 mendatang yakni, “Allah kehidupan, tuntunlah kami dalam kebenaran dan keadilan” sebagai tema persidangan sinode GKJ di Sragen, 11-13 September 2012 dan di Karanganyar, 13-17 Nopember 2012. Tema tersebut mengajak gereja



untuk



berpartisipasi dan terlibat dalam seluruh kehidupan di dunia. Dalam konteks Asia, tema 23



Imam Subkhan, City Of Tolerance: Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Kanisius, 2007) pp.56-57. 24 Hadi Purnomo dan M. Suprihadi Sastrosupono (Ed) , GKJ : Gereja-gereja Kristen Jawa Benih yang Tumbuh dan berkembang di Tanah Jawa (Yogyakarta: TPK, 1988) p.113. 25 PGI bekerja sama dengan CCA menggelar program bersama, yakni kursus (pelatihan) Nasional Ekumenis Asia (Basic Ecumenical Course) yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 2-15 Mei 2011. Lihat Lampiran I: Wawancara Pendeta I, hal.1.



9



tersebut juga dipandang relevan karena bersentuhan langsung dengan masalah gender justice, economic justice, dan pentingnya menghidupi kebersamaan di tengah kepelbagaian suku, agama dan kepercayaan.26 8. Mulai pertengahan tahun 2009 hingga sekarang, dalam warta jemaat GKJ Gondokusuman, tercantum visi dan misi gereja yang yakni: VISI: GKJ Gondokusuman menjadi gereja yang bertumbuh dalam Kristus untuk mewartakan dan mewujudkan damai sejahtera bagi warga gereja dan masyarakat melalui semua aspek kehidupan untuk menghadapi perubahan zaman. MISI: GKJ Gondokusuman membangun kebersamaan dan menumbuh kembangkan



W



solidaritas dalam masyarakat majemuk berdasarkan nilai-nilai kebenaran Alkitab untuk melaksanakan kesaksian dan pemeliharaan iman berdasarkan nilai-nilai kasih,



KD



kebersamaan, keadilan dan integritas.



Pengungkapan visi-misi tersebut menunjukkan upaya GKJ Gondokusuman menjadi gereja yang berakar dan tumbuh dalam konteks masyarakat dan jemaat di mana ia



dan PGI.27



U



berada yang juga bernuansa oikumenis dilihat dari pemahaman dan praksis WCC, CCA



©



Berangkat dari kenyataan di atas, penulis tertarik untuk mengetahui dan



mengkaji pemahaman dan praksis GO GKJ Gondokusuman. Hal ini selain berdasarkan sejarah GKJ yang mendukung GO melalui badan-badan oikumenis seperti PGI, CCA dan WCC, juga karena diperhadapkan pada kenyataan konteks GKJ Gondokusuman Yogyakarta dan konteks dunia yang global, yang dipenuhi oleh persoalan-persoalan yang kompleks seperti kemajemukan agama dan budaya, kemiskinan, perang, diskriminasi, serta kerusakan lingkungan



yang tidak bisa dihadapi sendirian oleh



masing-masing gereja.28 Gereja membutuhkan seluruh komponen masyarakat luas, yang 26



Lihat Lampiran I: Wawancara Pendeta I, no 1.6, hal.2. Tercantum pula dalam website GKJ@ http://www.gkj.or.id diakses pada tanggal 20 Nopember 2012. 27 Lihat Lampiran I: Wawancara Pendeta I, no 5.7, hal.14. 28 Biro Penelitian dan Komunikasi PGI, Perbandingan Potret Diri Antar Gereja: Tantangan dan



10



dalam hal ini memiliki kenyataan majemuk. Gereja dipanggil untuk menempatkan diri sebagai gereja yang tidak hanya menghidupi gereja setempat namun juga menghidupi gereja sedunia dimana kesatuan dipahami sebagai kesatuan yang bergerak sampai ke ujung bumi melalui kepelbagaian kontekstual.29 Dengan demikian penulis akan meneliti pemahaman dan praksis GO para pendeta dan jemaat GKJ Gondokusuman Yogyakarta. Hal ini relevan, sebab GKJ Gondokusuman hidup dalam konteks kemiskinan dan juga kemajemukan budaya maupun agama.30



I.2. Rumusan Masalah



W



1. Bagaimana pendeta dan jemaat GKJ Gondokusuman memahami GO? 2. Bagaimana praksis GO pendeta dan jemaat GKJ Gondokusuman diwujudnyatakan?



KD



3. Apakah ada kesenjangan antara pemahaman dan praksis GO yang dilakukan pendeta dengan jemaat GKJ Gondokusuman? Bila ya/tidak, mengapa?



U



I.3. Batasan Masalah



Masalah yang hendak dikaji adalah persoalan pemahaman dan praksis GO GKJ



©



Gondokusuman Yogyakarta. GKJ Gondokusuman Yogyakarta diwakili oleh para pendeta dan sebagian dari jemaat. Selanjutnya akan dibandingkan pemahaman dan praksis GO di antara para pendeta dan jemaat GKJ Gondokusuman guna melihat persamaan dan kesenjangannya (perbedaannya) lalu mencari tahu faktor-faktor penyebab kesenjangan tersebut. Kajian teologis dilakukan dengan mengacu pada pemahaman dan praksis GO badan oikumenis di Asia yakni CCA dan PGI. Tanggapan (Jakarta: PGI, 2010) pp.204-216. Persoalan-persoalan di atas ditemukan oleh Tim Penelitian Biro LitKom-PGI melalui penelitian pada tahun 2010, yang dirangkum dalam tiga tantangan eksternal gereja yakni persoalan relasi dengan agama lain, hubungan dengan pemerintah, serta persoalan sosialekonomi dan politik yang menjadi tantangan dan konteks yang dihadapi oleh GKJ. 29 L.A.Hoedemaker, “Keesaan Dan Kemandirian: Soal Identitas Gereja dalam Zaman Oikumenis”, dalam Eka Darmaputera (Ed), Konteks Berteologi di Indonesia : Buku Penghormatan untuk HUT ke-70 Prof. Dr. P.D. Latuihamallo (Jakarta: BPK GM, 2004) p.327. 30 Biro Penelitian dan Komunikasi PGI, Perbandingan Potret Diri Antar Gereja, p.106. bdk dengan Lampiran II: Wawancara Pendeta II, no 3.4, hal.22. dan no 5.7, hal.26.



11



I.4. Judul Pembahasan I.4.1. Judul



TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PEMAHAMAN DAN PRAKSIS GERAKAN OIKUMENE GEREJA KRISTEN JAWA (GKJ) GONDOKUSUMAN YOGYAKARTA



I.4.2. Alasasan Pemilihan Judul 1. Menarik, sebab meneliti dan meninjau secara teologis, sejauh mana pemahaman dan



konkrit oleh para pendeta dan jemaat.



W



praksis GO GKJ Gondokusuman Yogyakarta dipahami dan diwujudnyatakan secara



2. Aktual, sebab penelitian tentang GO penting untuk terus-menerus dilakukan



KD



mengingat perkembangan yang dinamis dari GO itu sendiri yang hingga saat ini (tahun 2012) terus dikembangkan oleh badan-badan oikumenis dunia seperti WCC, CCA dan PGI yang memperjuangkan GO. Sementara itu, GKJ Gondokusuman Yogyakarta adalah



U



salah satu anggota dari badan-badan oikumenis tersebut yang ikut ambil bagian dalam mendukung dan menghidupi GO.



©



3. Bermanfaat, sebab penelitian ini pada akhirnya dapat menjadi contoh dan inspirasi bagi gereja-gereja dalam memahami dan mewujudkan



GO



yang luas dan sesuai



dengan konteksnya, apalagi dalam konteks globalisasi dan masyarakat yang majemuk, serta mendorong gereja mengambil sikap oikumenis dalam kehidupan bergerejawi dan bermasyarakat.



I.5. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pemahaman GO para pendeta dan jemaat GKJ Gondokusuman Yogyakarta 2. Mengetahui praksis GO para pendeta dan jemaat GKJ Gondokusuman Yogyakarta 12



3. Mengetahui sejauh mana terjadi kesenjangan pemahaman dan praksis GO di antara para pendeta dan jemaat GKJ Gondokusuman Yogyakarta serta faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan itu. 4. Tesis ini juga bertujuan untuk memperkaya diskursus mengenai GO yang diupayakan oleh gereja-gereja di Indonesia secara khusus oleh GKJ Gondokusuman Yogyakarta selaku anggota badan-badan oikumenis seperti WCC, CCA dan PGI



I.6 Metodologi I.6.1. Metode Penulisan



W



Tesis ini ditulis secara deskriptif-analitis, yakni melalui penggambaran secara menyeluruh guna memaparkan fakta-fakta yang ada, serta untuk menguraikan data



KD



secara jelas dan seobyektif mungkin, kemudian menganalisa data tersebut secara kritis.



I.6.2. Metode Pengumpulan Data



U



Cara pengumpulan data meliputi:



1. Penelitian literatur, yakni dengan meneliti literatur untuk mendapatkan kerangka



©



teoritis tentang GO.



2. Penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yakni pendekatan yang menyiratkan penekanan pada proses dan makna yang tidak secara ketat diukur dari segi jumlah, intensitas, dan frekuensinya, melainkan menekankan realitas secara sosial, hubungan antara peneliti dan yang diteliti dan pembahasan situasional yang membentuk penelitian.31 Pendekatan kualitatif dilakukan untuk mencari tahu pemahaman dan praksis GO GKJ Gondokusuman yakni dengan teknik wawancara yang dilakukan pada subjek penelitian, yakni:



31



Andreas B. Soebagyo, Pengantar Riset Kualitatif dan Kuantitatif (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004) p. 62.



13



a. Pendeta (istilah pendeta dalam konteks ini, berlaku jamak atau sama dengan para pendeta). Pendeta GKJ Gondokusuman yang berjumlah 6 orang, terdiri dari 1 orang perempuan dan 5 orang laki-laki dengan rentang usia, lamanya pelayanan dan pengalaman selaku pendeta yang bervariasi. Dalam hal ini, terdapat dua orang di antaranya yang aktif dalam GO di PGI, yakni sebagai Ketua PGI Wilayah dan ketua PGI kota Yogyakarta, satu orang pendeta yang aktif sebagai kader oikumenis dan menjadi utusan Sinode GKJ sebagai kader oikumenis, satu orang lagi yang diutus sebagai pendeta Rumah Sakit di RS. Bethesda Yogyakarta, satu orang pendeta diutus sebagai dosen di STAK (Sekolah Tinggi Agama Kristen) Marturia milik GKJ.



W



b. Jemaat (istilah jemaat dalam konteks ini merujuk atau sama dengan warga gereja/anggota jemaat. Istilah jemaat juga merujuk pada majelis gereja (non-pendeta),



KD



pengurus wilayah, pengurus komisi dan anggota jemaat biasa baik itu laki-laki dan perempuan). Mengingat keterbatasan yang ada, yakni tidak mungkin bisa meneliti seluruh jemaat GKJ Gondokusuman yang berjumlah ribuan, maka penulis mengambil



U



sampel sebagian kecil jemaat saja, yakni jemaat GKJ Gondokusuman yang berada di wilayah II (wilayah Reksonegaran) dari delapan belas wilayah jemaat yang ada.



©



Pemilihan jemaat di wilayah II dilakukan dengan pertimbangan bahwa jemaat tersebut memiliki kegiatan-kegiatan di luar Ibadah Minggu yang cukup beragam yakni ibadah komisi, PA dan Paduan suara Jemaat yang diikuti rutin. Letak geografis wilayah II di pusat kota yang memungkinkan jemaat berinteraksi dengan kondisi plural yang dinamis serta konteks masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Lalu kondisi kemiskinan dan persoalan lingkungan yang menjadi bagian integral di wilayah tersebut. Jemaat GKJ Gondokusuman yang diwawancarai berjumlah 10 orang. Selain itu sebagai alat pendukung wawancara, digunakan kuesioner.32 Kuesioner dibagikan kepada 45 orang



32



L.J. Moleong, “Dasar Penelitian Kualitatif: Perbedaan Antara Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif” dalam Pusat Pastoral Yogyakarta, Seri Pastoral 393 bidang Pembangunan Jemaat (Yogyakarta: Puskat, 2007) p.28.



14



jemaat, yang mana 10 orang jemaat yang penulis wawancarai juga termasuk dalam 45 orang jemaat yang mengisi kuesioner.



I.7. Sistematika Penulisan BAB I. PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, serta pokok masalah yang menjadi rumusan masalah dan batasan masalah yang akan dikaji, kemudian dilanjutkan dengan judul penulisan dan alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, dan penjelasan mengenai metodologi penelitian, termasuk di dalamnya metode pengumpulan data



yang



W



digunakan serta ditutup dengan sistematika penulisan.



PGI



KD



BAB II. PEMAHAMAN DAN PRAKSIS GERAKAN OIKUMENE CCA DAN



Bab ini berisi paparan mengenai pemahaman dan praksis GO di Asia yang



U



disoroti melalui badan-badan oikumenis di Asia yakni CCA dan PGI. Pembahasan diawali dengan pemaparan konteks Asia, lalu perkembangan pemahaman dan praksis



©



GO di Asia melalui CCA dan PGI yang berupaya mewujudkan GO yang luas dan holistik yakni GO dalam empat dimensi yang terdiri dari dimensi keesaan gereja, dimensi hubungan antar umat beragama, dimensi sosial kemanusiaan dan dimensi lingkungan hidup atau keutuhan ciptaan. Pemahaman dan praksis GO CCA dan PGI dalam empat dimensi akan penulis gunakan sebagai landasan teologis dalam menganalisa GO di GKJ Gondokusuman Yogyakarta.



15



BAB III. PEMAHAMAN DAN PRAKSIS GERAKAN OIKUMENE GKJ GONDOKUSUMAN YOGYAKARTA Bab ini berisi deskripsi profil GKJ Gondokusuman Yogyakarta, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan hasil penelitian dan analisa terhadap pemahaman dan praksis GO GKJ Gondokusuman yang diwakili oleh para pendeta dan jemaat yang terdiri dari majelis gereja (non-pendeta), pengurus wilayah, pengurus komisi dan anggota jemaat biasa sebagai subjek penelitian. Dalam bab ini sekaligus dilakukan tinjauan teologis terhadap pemahaman dan praksis GO GKJ Gondokusuman berdasarkan pemahaman dan praksis GO CCA dan PGI dalam empat dimensi yakni



W



dimensi keesaan gereja, dimensi hubungan antar umat beragama, dimensi sosial



KD



kemanusiaan dan dimensi lingkungan hidup atau keutuhan ciptaan.



BAB IV. PENUTUP



Bab ini berisi kesimpulan yang didasarkan atas uraian-uraian dalam bab-bab



©



U



sebelumnya, beserta dengan saran.



16