Islam & Budaya Lokal (Tradisi Molonthalo) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TRADISI MOLONTHALO



Dipresentasikan Dalam Forum Kelas Mata Kuliah Islam & Budaya Lokal Program Studi Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan



Oleh: Jufrin S.Mada (NIM: 181032039) Sahrul Muhamad (NIM: 181032046)



Dosen Pengampu: Dr. H. DULSUKMI, Lc, M.HI



JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN AMAI GORONTALO 2019



1



I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan bagi masyarakat tradisional adalah saat-saat penting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu, mereka mengadakan ritus dan perayaan, yaitu upacara peralihan yang berupa selamatan, makan bersama, prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagainya. Kehadiran Islam sebagai agama baru dalam suatu kelompok masyarakat tidak lantas menghilangkan situs atau tradisi yang sudah terbentuk. Ritual- ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam, maka terjadilah Islamisasi. Misalnya, ketika seorang bayi lahir, ayah-ibunya disyariatkan untuk : melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor kambing jika yang dilahirkannya seorang perempuan, dan dua ekor kambing jika yang dilahirkan lakiIaki. Balikan dalam kenyataannya, menunjukkan bahwa sebagian masyarakat muslim telah mengawali prosesi ritus jauh sebelum sang ibu melahirkan atau ketika masih dalam keadaan hamil. Semua hal itu kemudian dipahami sebagai bagian dari kebudayaan.1 Tradisi lokal diposisikan berlawanan dengan tradisi purifikasi yang menekankan pada pengamalan keagamaan yang harus bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Bahkan, tidak dapat dipungkiri, pergulatan ini berakibat terhadap persoalan interaksi di antara masyarakat dalam bingkai sosial, budaya, dan politik. Satu hal yang jelas adalah bahwa setiap tradisi dilestarikan melalui proses pelembagaan yang dilakukan oleh kaum elitnya, yang sesungguhnya dimaksudkan agar tradisi yang memiliki rangkaian panjang dengan tradisi sebelumnya tidak hilang begitu saja, akan tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari generasi ke generasi berikutnya.



1



Mustakimah, Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal dalam Tradisi Molonthalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2014, h. 290.



2



Siklus tradisi dalam medan budaya masyarakat yang banyak dijumpai sampai saat ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk penghayatan yang bersifat transkosmik terhadap keyakinan adanya kekuatan yang Maha Dahsyat untuk mengubah kehidupan mereka. Sehingga yang terjadi adalah terkonstruksinya berbagai prosesi atau ritual yang dimaksudkan untuk memperoleh berkah dari-Nya. Begitupula terhadap tradisi molonthalo yang menjadi topik kajian pada tulisan ini. Tradisi yang dilaksanakan bagi perempuan hamil dalam usia kandungan 78 bulan ini adalah ritual yang terkait dengan permohonan dan pengharapan kepada Tuhan untuk memperoleh keselamatan dan sekaligus dianggap sebagai wujud rasa syukur. Persoalan kehamilan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehamilan, oleh masyarakat tidak dianggap sebagai masalah sepele yang tidak ada kaitannya dengan agama atau keyakinan.2



B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan tradisi Molonthalo? 2. Bagaimana akulturasi antara Islam dan Budaya pada tradisi Molonthalo? 3. Bagaimana tata cara prosesi pelaksanaan dalam tradisi Molonthalo?



2



M. Gazali Rahman, Tradisi Molonthalo di Gorontalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2012, h.



439.



3



II. PEMBAHASAN A. Pengertian Molonthalo Seperti halnya di Gorontalo, secara umum, banyak ditemukan jenis upacara adat warisan nenek moyang Gorontalo yang dipertahankan meskipun tidak dipungkiri telah banyak juga yang punah. Upacara ritual molonthalo yang dilakukan sejak zaman dahulu pada setiap istri yang hamil tujuh bulan anak pertama, merupakan upacara adat dalam rangka peristiwa adat kelahiran dan keremajaan, yang telah baku pada masyarakat Gorontalo. Acara molonthalo adalah pernyataan dari keluarga pihak suami bahwa kehamilan pertama, adalah harapan akan terpenuhi akan kelanjutan turunan dan perkawinan yang sah. Acara molonthalo merupakan maklumat kepada pihak keluarga kedua belak pihak, bahwa sang istri benar-benar suci, dan merupakan dorongan bagi gadis-gadis lainnya untuk menjaga diri dari kehormatannya.3 Tradisi molonthalo merupakan ritual adat yang diberlakukan bagi seorang perempuan hamil dalam usia kandungannya yang beranjak 7-8 bulan. Sebagaimana lazimnya sebuah tradisi yang merupakan bagian dari sistem kebudayaan, maka ritual tradisi ini juga mengandung unsur dan nilai filosofis kearifan lokal yang implikasinya menghendaki keselamatan yang tidak hanya diperuntukkan bagi sang ibu, tetapi juga bagi sang bayi serta suami dari ibu yang mengandung. Tradisi seperti ini sesungguhnya ditemukan pula pada budaya beberapa daerah/etnis lain di Indonesia. Di Aceh, tradisi ini dikenal dengan upacara peusijuck. magedong-gedongan di Bali, mitoni di Jawa, dan tingkeban di Sunda. Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang arti molonthalo maka dikemukakan beberapa pendapat dari para tokoh agama dan tokoh adat sebagai berikut: Menurut Yusup Lasaka, molonthalo merupakan doa, rasa syukur, ketauhidan, pengajaran, dan pengumuman. Doa yang dimaksud di sini adalah suatu 3



Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, Gorontalo; 2003, h.1.



4



permohonan kepada Allah agar bayi yang ada dalam kandungan ibu selalu diberikan kesehatan serta akhlak yang mulia, dan bagi sang ibu diberikan kekuatan, ketabahan, dan kesabaran. Adapun menurut Abdurahman Yani, molonthalo adalah suatu bentuk syukuran yang mengandung doa yang ditujukan kepada bayi tanpa ada unsur kemusyrikan. Sedangkan menurut Khalik Busala, molonthalo berasal dari bahasa Gorontalo yang secara harfiah artinya adalah "meraba". Secara umum istilah molonthalo artinya selamatan yang diadakan oleh orang yang pertama memperoleh keturunan dimana usia kandungannya sekitar 7-8 bulan (tetapi ada juga yang melaksanakannya pada usia kandungan 9 bulan). Artinya, diperhitungkan sebelum kelahiran sang bayi, dengan maksud untuk mengetahui bagaimana keadaan, letak, dan posisi sang bayi apakah dalam keadaan yang benar atau tidak dalam kandungan sang ibu. Hal ini dilakukan oleh bidan kampung dengan cara meraba atau menyentuh perut sang ibu agar dapat diketahui letak dan posisi bayi, apakah kepalanya di atas atau di bawah. Bila hal ini terjadi maka bidan kampung lah yang tahu bagaimana memperbaiki posisi dan letak bayi dalam kandungan sang ibu.4 Dalam pelaksanaan upacara molonthalo ditanamkan nilai-nilai tauhid kepada sang bayi sedini mugkin agar nantinya bayi ini menjadi manusia yang bertauhid. Selain dari itu, molonthalo juga mengandung nilai pengajaran terutama bagi orang tua, keluarga, lingkungan, dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, juga sebagai media informasi bagi masyarakat yang hadir dalam pelaksanaan upacara molonthalo bahwasanya ibu yang sedang lonthalo benar-benar hamil setelah pernikahan. Persoalan kehamilan adalah persoalan hidup dan mati sehingga berbagai macam cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk meringankan dan memudahkan pada saat persalinan. Khususnya di daerah Gorontalo, pada umur kehamilan 7-8 bulan



4



Mustakimah, Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal dalam Tradisi Molonthalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2014, h. 303.



5



diadakan upacara molonthalo sebagai doa selamat agar dalam persalinan nanti dimudahkan oleh Allah swt.5



B. Akulturasi Islam dan Budaya pada Tradisi Molonthalo



Banyaknya tradisi atau adat istiadat yang tumbuh di masyarakat merupakan warisan dari nenek moyang. Di antara tradisi- tradisi atau adat istiadat tersebut telah ada sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, yang pada akhirnya setelah Islam masuk memberi corak bagi budaya Islam. Masyarakat Islam yang sebelumnya menganut tradisi dan adat istiadat tersebut, tidak serta merta dapat meninggalkan tradisi mereka terutama dalam hal kepercayaan terhadap nenek moyang mereka. Istilah “tradisi” mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjukkan kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu, secara ringkas dapat



dinyatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang diwariskan atau



ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Pada umumnya tujuan penyelenggaraan suatu upacara tradisional adalah untuk menghormati, mensyukuri, memuja, dan memohon keselamatan kepada Tuhan.6 Studi terhadap sejarah teori hukum Islam dalam dunia intelektual Islam merupakan hal menarik, apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan pergulatan hukum dan tradisi yang seiring dengan islamisasi. Hal ini disebabkan oleh aktualisasi ajaran yang mengalami pengembangan ruang yang disebabkan oleh aspek geografis yang menembus sekat tradisi masyarakat. Tradisi yang merupakan sebuah interpretasi budaya menjadi sesuatu yang amat diperhatikan dalam penetapan hukum. Hal ini menjadi menarik karena ada praktek yang dicontohkan Nabi Saw., yang melegalisasikan kebiasaan-kebiasaan pra-Islam menjadi sebuah sistem hukum. Hukum Islam selalu mengalami perkem-bangan dan perubahan sesuai dengan 5



Mustakimah, Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal dalam Tradisi Molonthalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2014, h. 304. 6 M. Gazali Rahman, Tradisi Molonthalo di Gorontalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2012, h. 439-440.



6



tuntutan dan peluangnya. Peluang transformasi ini sekalipun terbuka lebar namun kendali efektif berjalan ketat sehingga keragaman interpretasi menjadi fenomena yang konfiguratif dalam wacana pemikiran hukum Islam tetap terjaga.7 Di dalam proses lokalisasi, unsur Islam yang diposisikan sebagai pendatang harus menemukan lahannya di dalam budaya lokal. Pencangkokan ini terjadi dengan bertemunya nilai-nilai yang dianggap serasi satu sama lain dan meresap sedemikian jauh dalam tradisi yang terbentuk. Inilah sebabnya, tradisi molonthalo ataupun tradisi lainnya yang identik dengan ritual yang sama, pada hakekatnya adalah Islam yang telah menyerap tradisi lokal, sehingga meskipun kulitnya Islam namun ternyata di dalamnya ialah keyakinan lokal. Dalam lanskap pertautan antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal inilah ditemukan suatu perubahan yang signifikan, yaitu bergesernya tradisi lokal menjadi tradisi Islam lokal atau tradisi Islam dalam konteks lokalitasnya. Perubahan ini mengarah kepada proses akulturasi dan bukan adaptasi, sebab di dalam perubahan itu tidak terjadi proses saling meniru atau menyesuaikan, akan tetapi mengakomodasi dua elemen menjadi satu kesatuan yang baru. Tentunya ada unsur yang dimasukkan dan ada unsur yang dibuang. Salah satu yang tampak jelas merepresentasikan nilainilai Islam misalnya berupa pembacaan ayat-ayat suci Al-qur’an, shalawat, serta do’a dalam berbagai variasinya. Secara filosofis, kultur keberagamaan masyarakat di Kota Gorontalo mengakui eksistensinya sebagai serambi Madinah. Adapun istilah “Adat Bersendikan Syara’, Syara’Bersendikan Kitabullah” pada dasarnya tumbuh dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pergulatan antara agama dengan budaya yang terjadi hampir di seluruh wilayah nusantara dalam proses islamisasi secara struktural. Begitu pula di Gorontalo, dalam bahasa daerahnya, istilah tersebut yaitu “adati hulahulaa to saraa, saraa hula-hulaa to Qur’ani”. Istilah ini hadir seiring dengan



7



M. Gazali Rahman, Tradisi Molonthalo di Gorontalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2012, h. 441-442.



7



perkembangan islamisasi yang tidak ingin membenturkan antara adat dengan ajaran Islam secara frontal. Terkait dengan masalah kehamilan, sering dijumpai suatu tradisi yang berlaku di tengah masyarakat, yaitu selamatan perempuan hamil yang biasa dilakukan dengan kenduri dan acara-acara tertentu pada saat kandungan seorang perempuan telah berumur tujuh bulan, untuk lingkungan masyarakat Gorontalo dikenal dengan istilah "Molonthalo". Persoalan kehamilan adalah persoalan hidup dan mati sehingga berbagai macam cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk meringankan dan memudahkan pada saat persalinan. Khususnya di daerah Gorontalo, pada umur kehamilan 7-8 bulan diadakan upacara molonthalo sebagai doa selamat agar dalam persalinan nanti dimudahkan oleh Allah Swt. Upacara molonthalo yang berlaku pada masyarakat Gorontalo, biasanya diisi dengan pembacaan Al-Qur’an dan shalawat kepada Nabi oleh seorang kiayi yang didengarkan oleh para undangan di kediaman orang yang berhajat. Dalam upacara ini disertakan pula berbagai makanan tertentu sebagai sesaji yang diletakkan di tengah para undangan, biasanya ditempatkan di depan kiayi (imam atau seorang tokoh agama) yang membaca Al-Qur’an dan salawatan. 8 Dalam buku yang disusun oleh Farha Daulima (dkk.), disebutkan bahwa molonthalo atau raba puru bagi sang istri yang hamil 7 bulan anak pertama, merupakan pra-acara adat dalam rangka peristiwa adat kelahiran dan keremajaan, yang telah baku pada masyarakat Gorontalo. Hakekat dari acara ini antara lain adalah: 1) pernyataan dari keluarga pihak suami bahwa kehamilan pertama, adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan dari perkawinan yang sah; 2) merupakan maklumat kepada pihak keluarga kedua belah pihak bahwa sang istri benar-benar suci, dan merupakan dorongan bagi gadis-gadis lainnya untuk menjaga diri dan kehormatannya; 3) pernyataan syukur atas nikmat Tuhan yang telah diberikan kepada 8



M. Gazali Rahman, Tradisi Molonthalo di Gorontalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2012, h. 442-443.



8



sepasang suami-istri melalui ngadi salawati(doa shalawat), agar kelahiran sang bayi memperoleh kemudahan; 4) pemantapan kehidupan sepasang suami istri menyambut sang bayi, sebagai penerus keturunan mereka dan persiapan fisik dan mental menjadi ayah dan ibu yang baik dengan memelihara kelangsungan rumah tangga yang dilambangkan dengan makan saling suap menyuapi. Sejalan dengan itu, mengutip pendapat M. Quraish Shihab, syukur adalah menampakkan nikmat, yaitu menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, serta menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah. Oleh karena itu, pada dasarnya syukur mencakup tiga sisi, yakni: pertama, syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas nikmat. Kedua, syukur dengan lidah, yaitu dengan mengakui nikmat dan memuji pemberinya. Sedangkan sisi ketiga, syukur dengan perbuatan, yaitu dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Dari proses yang dilakukan, upacara molonthalo juga merupakan manifestasi rasa syukur kedua orangtua kepada Allah dengan hadirnya anak yang dikandung oleh sang ibu. Dalam pelaksanaannya, ditanamkan nilai-nilai tauhid kepada sang bayi sedini mugkin agar nantinya bayi ini menjadi manusia yang bertauhid. Selain dari itu, molonthalo juga mengandung nilai pengajaran terutama bagi orang tua, keluarga, lingkungan, dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, juga sebagai media informasi bagi masyarakat yang hadir dalam pelaksanaan upacara molonthalo bahwasanya ibu yang sedang dilonthalo benar-benar hamil setelah pernikahan.9 Memperhatikan realitas kandungan Al-Qur’an, terlihat adanya interaksi AlQur’an dengan berbagai aspek adat/tradisi yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat (khususnya Arab) dan Al-Qur’an memberikan respon dan jawaban atas aneka peristiwa yang terjadi pada masa itu. Respon Al-Qur’an terhadap adat Arab misalnya, dapat diartikan sebagai sikap akomodatif terhadap adat dimaksud tanpa perubahan seperti halnya praktek syirkah dalam bidang muamalah. Perhatian itu juga 9



M. Gazali Rahman, Tradisi Molonthalo di Gorontalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2012, h. 444-445.



9



menyangkut perubahan dan penyesuaian adat Arab dengan ajaran Al-Qur’an, seperti pemberian mahar kepada istri dalam perkawinan, batasan waktu melakukan ila’terhadap istri, batasan atau ketentuan jumlah bilangan istri, dan sebagainya. Sementara itu, Al-Qur’an juga melakukan penolakan terhadap adat Arab dan menetapkannya sebagai larangan, seperti khamar, maisir, riba, dan sebagainya. Reformasi yang



diperkenalkan Al-Qur’an dalam perjumpaannya dengan budaya



masyarakat berjalan akomodatif dan fleksibel, baik dalam bentuk penerimaan tanpa perubahan atau dalam bentuk pengubahsuaian. Kesediaan Islam berdialog dengan budaya lokal masyarakat, selanjutnya mengantarkan diapresiasinya secara kritis nilai-nilai lokalitas dari budaya masyarakat beserta karakteristik yang mengiringi nilai-nilai itu. Selama nilai tersebut sejalan dengan semangat yang dikembangkan oleh Islam, selama itu pula diapresiasi secara positif namun kritis. 10 Sadar atau tidak sadar, manusia secara individu maupun kolektif (masyarakat) akan terpengaruh dan menerima berbagai warisan, ajaran, kepercayaan, dan ideologi tertentu dari hasil komunitasnya melalui internalisasi dan sosialisasi sejak ia lahir dari rumah tangga, serta pengaruh dari lingkungan hidupnya tempat manusia itu tumbuh. Jika tradisi budaya masyarakat telah diresapi oleh setiap orang, maka perilaku yang dibingkai dalam bentuk tradisi itu hampir menjadi otomatis dan tanpa disadari sudah diterima secara sosial pula. Seiring dengan itu, tradisi molonthalo juga merupakan kreasi masyarakat berbudaya yang secara inovatif tumbuh dan berkembang sejalan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat setempat terhadap pentingnya sebuah prosesi ritual yang menjadi mediator kedekatan mereka dengan pencipta alam semesta. Penelitian terhadap tradisi ini sekaligus merupakan kajian etnografi terhadap masyarakat Gorontalo dimana mereka menerapkan berbagai upacara, seperti upacara lingkaran hidup, kalenderikal, upacara tolak bala, maupun upacara-upacara hari baik. 10



M. Gazali Rahman, Tradisi Molonthalo di Gorontalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2012, h.



445.



10



Dalam proses kontruksi sosial, inti upacara ini pada hakekatnya adalah memperoleh berkah. Apapun namanya, yang jelas bahwa motif penyebab penyelenggaraan berbagai upacara atau ritual adalah keinginan yang kuat untuk memperoleh rahmat dan kebahagiaan. Ketika memandang berkah yang berkaitan dengan alam, manusia, dan Tuhan, maka di sinilah terdapat dialektika sakralisasi, mistifikasi, dan mitologi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa fenomena yang hingga sekarang masih terlihat dengan nyata di masyarakat, termasuk masyarakat Gorontalo. Ada gejala penguatan terhadap praktek penyelenggaraan tradisi lokal, seirama dengan semakin intensifnya gerakan pemurnian Islam, fundamentalisme dan pengembangan Islam dewasa ini. Kontak antara budaya masyarakat yang diyakini sebagai suatu bentuk kearifan lokal dengan ajaran dan nilai-nilai yang dibawa oleh Islam tak jarang menghasilkan dinamika budaya pada masyarakat setempat. Kemudian, yang terjadi ialah akulturasi dan mungkin sinkretisme budaya, seperti praktek meyakini iman di dalam ajaran Islam akan tetapi masih mempercayai berbagai keyakinan lokal. Dengan demikian, tradisi lokal diposisikan berlawanan dengan tradisi purifikasi dilihat dari perspektif pola pengamalan dan penyebaran ajaran keagamaan di antara keduanya. Tradisi Islam lokal sebagai pengamalan keagamaan yang memberikan toleransi sedemikian rupa terhadap praktek-praktek keyakinan setempat, sedangkan tradisi purifikasi menekankan pada pengamalan keagamaan yang dianggap harus bersumber dan sama dengan tradisi besar Islam. Tidak dipungkiri pula, berbagai perbedaan ini berakibat terhadap persoalan interaksi di antara mereka dalam bingkai sosial, budaya, dan politik. Di bidang interaksi sosial jelas kelihatan bahwa perbedaan tradisi dan paham keagamaan tersebut berakibat adanya identifikasi sebagai “orang NU” dan “orang Muhammadiyah”. Identifikasi seperti ini berdampak terhadap sekat-sekat interaksi bahkan tak jarang berubah menjadi halangan berkomunikasi. Terlepas dari problema tersebut, yang menjadi masalah kemudian adalah apakah tradisi molonthalo merupakan suatu bentuk adat secara total, ataukah sudah menjadi bagian dari tradisi keagamaan. Pemilahan ini tetap diperlukan untuk melihat 11



seberapa jauh ritual tersebut sesuai ataupun bertentangan dengan syariat. Jika merujuk kepada pendapat yang dikemukakan oleh Nur Syam, setiap tradisi keagamaan memuat simbol-simbol suci yang dengannya orang melakukan serangkaian tindakan untuk menumpahkan keyakinan dalam bentuk melakukan ritual, penghormatan, dan penghambaan. Baik ritual yang memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama yang disebut Islam Offisial atau Islam Murni, atau yang dianggap tidak memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama yang disebut sebagai Islam Popular atau Islam Rakyat. Jika merujuk pada pemikiran tentang ortodoksi syariah yang dikonstruksi oleh para ulama dalam bentuk fikih, maka tradisi molonthalo juga dapat direlevansikan dengan konsep al-‘urf. Oleh karena itu, dalam tradsi molonthalo tersebut ada ‘urf shahîh dan ada pula ‘urf fasid. Al-‘urf al-shahîh adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan dan tidak membawa kemudaratan. Sedangkan al‘urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’dan kaidahkaidah dasar yang terdapat dalam syara’.11 Maka dalam konteks tradisi molonthalo ini, ‘urf shahîh adalah beberapa ritual yang tidak bertentangan dengan syariat dan ‘urf fasid adalah beberapa ritual yg bertentangan dengan syariat. Adapun ritual yang sesuai dengan syariat hanya terletak pada bacaan-bacaan yang dilakukan oleh Imam (Hatibi) yang biasa dikenal ngadi salawati. Selebihnya hanyalah sebuah budaya yang bisa



diidentikkan dengan kebiasaan-kebiasaan



hinduisme. Meskipun pada dasarnya setiap prosesi dan benda budaya yang digunakan memiliki hakekat dan makna yang positif, namun prosesi tersebut seolah menjadi sesuatu yang wajib bagi masyarakat dengan pola pelaksanaan yang tidak bisa dianggap mudah dan ringan dari sisi biaya yang harus dikeluarkan.



11



M. Gazali Rahman, Tradisi Molonthalo di Gorontalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2012, h.



446-447.



12



Sedangkan beberapa ritual yang tidak sesuai dengan syariat antara lain dari segi penyediaan dan pelaksanaannya misalnya adanya dupa yang disediakan di depan Hatibi (Imam)serta Hulante yang berarti persembahan. Semua benda-benda budaya yang disiapkan itu terkesan mubazzir karena tidak ada pengaruhnya dengan doa dan harapan keluarga yang memohonkan keselamatan ibu dan bayi. Menyandarkan adat tersebut pada konsep syara’ tentunya melibatkan konstruksi yang telah dibangun oleh para fuqaha dalam beberapa istinbat hukum yang mereka hasilkan. Salah satu kaidah penting yang bisa dilibatkan dalam hal ini adalah kaidah ushul yang mengatakan:



ُ‫َما ُح ِّر َم اِّ ْست َ ْع َمالُهُ ُح ِّر َم ا ِِّّتخَاذُه‬ Artinya:”Sesuatu yang diharamkan menggunakannya, diharamkan pula mengambilnya”.



ُ‫َما ُح ِّر َم اِّ ْست َ ْع َمالُهُ ُك ِّرهَ ا ِِّّتخَاذُه‬ Artinya: “Sesuatu yang diharamkan memakainya dimakruhkan pula mengambilnya”. Menyikapi prosesi tradisi molonthalo dalam kaitan dengan kedua kaidah ushul tersebut, maka dapat ditemukan wajah ambigu dan paradoks dalam ritualnya. Sebab di satu sisi Imam/Hatibi membaca ayat, shalawat dan beberapa variasi doa, tapi di sisi lain juga



menggunakan dupa-dupa yang bertendensi animisme. Sehingga



dengan itu, meskipun pembacaan ayat dan shalawat dilakukan, namun jika berpijak pada kaidah yang tersebut maka prosesi tersebut dapat divonis salah karena digunakannya dupa-dupa yang tidak dibenarkan dalam syariat. Jika mengacu kepada teori integrasi menurut sosiologi, maka term adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah dapatdijabarkan dalam kategori integrasi substansial asimilasi dan integrasi substansial adaptasi. Melalui teori tersebut dipahami bahwa bentuk islamisasi yang terjadi hampir di seluruh wilayah nusantara mencoba untuk mengintegrasikan konsep-konsep adat yang sudah berurat mengakar dalam masyarakat dengan konsep dan nilai-nilai Islam yang luhur. Dengan



13



integrasi itu pula adat dan syara’dapat membentuk struktur dan sistem secara bulat dan padu menjadi suatu bentuk budaya atau pola tradisi baru yang menggabungkan antara nilai filosofis adat dan nilai-nilai agama. Pada spetrum yang lain, adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam Ilmu Ushul Fikih, bahwa: “Adat itu dihukumkan” (al-‘âdah muhakkamah), artinya, adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam Islam. Sejalan dengan itu, arti penting kehadiran Islam pada suatu tempat atau negeri sesungguhnya memiliki peran dalam mengeliminir unsur jahiliah setiap masyarakat yang senantiasa ada dan dimiliki oleh rumpun bangsa manapun yang sebanding dengan jahiliah yang pernah terjadi di tanah Arab. Oleh karena itu, beberapa perubahan penting sangat dimungkinkan untuk dilakukan terhadap prosesi tradisi molonthalo, misalnya dengan tidak harus mengikutsertakan perangkat dupa yang bertendensi animisme. Kemudian sang ibu yang diacarakan sebaiknya tidak dibaringkan pada ruang yang terbuka atau di depan undangan lain yang bukan muhrimnya. Oleh karena dalam prosesi tersebut mengharuskan ritual perabaan perut, maka sebaiknya sang ibu dibaringkan di dalam kamar atau jika tetap harus di luar maka dibuatkan penutup yang bisa menghalangi pandangan langsung ke aurat sang ibu. 12 Berpijak pada landasan teori ‘urf yang dikembangkan oleh ulama tersebut, maka tradisi molonthalo dapat dikategorikan sebagai al-‘urf ‘amalî jika dilihat dari segi objeknya, dan juga sebagai al-‘urfal-‘âm jika dipandang dari segi cakupannya. Namun untuk meng-kategorikannya dari sudut pandang keabsahan masih diperlukan pengajian ulang yang mendalam, sehingga pada akhirnya dapat ditegaskan apakah tradisi molonthalo sepenuhnya merupakan al-‘urf al-shahih atau sebaliknya (al-‘urf al-fasid). Oleh karena itu, pengembangan pengkajian terhadap tradisi molonthalo 12



M. Gazali Rahman, Tradisi Molonthalo di Gorontalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2012, h.



448-450.



14



tidak dimaksudkan untuk mensejajarkan makna al-‘urf sebagai suatu bentuk tradisi yang berimplikasi pada terbentuknya suatu penetapan hukum semata, melainkan dimaksudkan juga untuk menelaah implikasi terbentuknya “perspektif syariah” yang terlahir dari pemaknaan terhadap nilai dan simbol ritualnya. Tampak jelas bahwa diterimanya ‘urf sebagai dalil penetapan hukum berdasarkan empat syarat tersebut lebih ditekankan pada wilayah ‘urf yang terkait dengan aspek muamalah yang memerlukan



kesepakatan yuridis. Hal ini akan



berbeda ketika diperhadapkan dengan bentuk ‘urf yang terkait dengan aspek yang bersinggungan dengan akidah dan ruang lingkup akhlak sosial. Sehingga pemenuhan terhadap keempat syarat tersebut hanya bisa disentuhkan pada syarat pertama, yakni ‘urf sebagai bentuk dari kebiasaan atau tradisi yang melembaga dalam sistem budaya masyarakat. Begitupula dengan bentuk tradisi molonthalo, tradisi ini sepenuhnya tidak dikategorikan sebagai adat yang pengulangan ritus dan medan budaya yang mengita-rinya berimplikasi kepada terbentuknya hukum muamalah. Sehingga pertentangan‘urf dengan nash dalam konteks ini lebih dimaksudkan untuk mengklasifikasikan antara ‘urf shahÎh dan ‘urf fasid yang kemungkinan ditemukan dalam beberapa ritus molonthalo.13



C. Prosesi Tradisi Molonthalo 1. Pelaksana - Kerabat pihak suami - Hulango atau bidan kampung, dengan memenuhi beberapa persyaratan: (I) beragama Islam; (2) mengetahui seluk beluk usia kandungan; (3) mengetahui urutan upacara adat molonthalo; (4) mengetahui lafal-lafal yang telah diturunkan oleh leluhur dalam pelaksanaan acara tersebut, dan; (5) diakui oleh kelompok masyarakat sebagai bidan kampung.



13



M. Gazali Rahman, Tradisi Molonthalo di Gorontalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2012, h.



451.



15



- Imam atau hatibi, atau yang ditokohkan sebagai pelaksana keagamaan yang mampu dan mahir lafal doa salawat (mo'odelo). - Dua orang anak usia 7-9 tahun, keduanya masih lengkap orang tuanya (payu lo liinutii). - Dua orang ibu dari keluarga sakinah.14 2. Persiapan a). Atribut adat/benda budaya - Hulante yang berbentuk seperangkat bahan diatas baki, terdiri dari beras 2 cupak atau 3 liter, diatasnya terletak 7 buah pala, 7 buah cengkeh, 7 butir telur, 7 buah limututu (lemon sowanggi), 7 mata uang yang bernilai Rp. 100. - Seperangkat bahan pembakar dupa diatas baki, terdiri dari 1 buah polutube (tempat bara api), 1 buah baskom tempat tetabu (dupa), dan sgelas air masak tertutup. - Seperangkat batu gosok (botu pongi’ila) yaitu batu gosok untuk mengikis kunyit sepenggal, dicampur sedikit kapur, dan air dingin yang disebut (Alawahu Tilihi). - Seperangkat “Tambaluda” atau “Hukede dan Pomama (tempat pinang). - 7 (tujuh) buah toyopo, atau seperangkat makanan, tempatnya terbuat dari daun kelapa muda (janur) yang berisi nasi kuning, telur rebus, ayam goring dan kue-kue seperti: wpili, kolombengi, apangi dan lain-lain. Ditambah pisang masak terdiri dari pisang raja atau pisang gapi (lutu tahumelito atau lutu lo hulonti’o). - Seperangkat makanan diatas baki terdiri dari sepiring bilinti, atau sejenis nasi goring yang dicampur dengan hati ayam, sepirirng ayam goring yang masih utuh dan diperutnya dimasukkan sebuah telur rebus, dua buah baskom tempat cuci tangan, dan dua buah gelas berisi air masdak, dan dua buah sendok makan 14



Mustakimah, Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal dalam Tradisi Molonthalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2014, h. 304.



16



- Sebuah janur berkepang tiga (tula-tulapidu), seukuran perut sang ibu yang hamil. - Bulowe atau upuk pinang (Malo ngo’alo) - Sebuah tempurung tidak bermata (bu’awu huli). - Seperangkat tikar putih (amongo peya-peya atau ti’ohu), bolu-bolu (podepodehu), dimana seorang ibu dibalik tirai itu meneruskan pertanyaan hulango kepada hatibi (imam) yang membaca doa salawat “Ma Ngolo Hula” atau sudah berapa bulan. - Pale yillulo (tilonda’o), yaitu beras yang di warnai dengan warna merah, kuning, hijau, hitam dan putih. - Sebilahg keris, memakai sarung keris.15 b). Makna atribut adat/benda budaya 1). Hulante berarti persembahan. isinya bermakna sebagai berikut: - Beras 3 liter atau 2 cupak perlambang rezeki - Pala, cengkeh perlambang ketegaran hidup, sebagaimana tumbuhan pala dan cengkeh memberikan kesejahteraan karena hasilnya, juga melambangkan kesehatan. - Telur perlambang asal kejadian mamnusia. - Jeruk purut atau limututu (lemon sowanggi), perlambang keharuman negeri. - Kepingan mata uang, perlambang keuletan keterampilan dalam mencukupi kebutuhan hidup. 2). Seperangkat bahan pembakaran dupa, perlambang perjalanan doa kehadiran Allah. Sebagaimana kumpulan asap dupa yang wangi, diharapkan doa yang terucap, sebagai kumpulan asap membumbung tinggi kehadirat Allah SWT. Segelas air adalah untuk diminumkan oleh yang didoakan sebagai perwujudan doa yang dibacakan.



15



Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, Gorontalo; 2003, h. 2-3.



17



3).Seperangkat batu gosok (botu pongi’ila) dengan bahan kunyit, kapur dan air yang jika diulek/digosok akan berubah warna merah perlambang pengesahan pelaksanaan adat dalam bentuk “BONTHO”. 4).Seperangkat tambaluda atau Hukede dan pomama atau tempat sirih, pinang, perlambang kesempurnaan adat. 5).Tujuh buah toyopo yang akan dibagikan kepada yang berhak. Bermakna sebagai berikut: - Toyopo lo ta mongadi salawati, Artinnya toyopo diperuntukan kepada yang membaca doa salawat. - Toyopo lo Hulango, artinya toyopo diperuntukan kepada bidan kampong sebagai pelaksana acara adat tersebut. - Toyopo lo ta Polontaliyo, artinya toyopo yang di peruntukan kepada dua anak yang menjama perut disaat acara molonthalo berlangsung. - Toyopo lo ta po Hi’anguluwa lio, artinya toyopo yang diperuntukan kepada seorang ibu yang memegang bantal ketika acara molonthalo sedang berlangsung - Toyopo lo ta pilodihu lio Hu’u, artinya toyopo yang diperuntukan kepada seorang ibu yang memegang kedua lutut disaat acara molonthalo berlangsung. - Toyopo lo ta podihu Bula, artinya toyopo yang diperuntukan kepada seorang ibu yang berdiri di balik tirai tikar yang berbungkus batik dipintu keluar, yang menjawab pertanyaan Hulango, disaat acara molonthalo berlangsung. - Toyopo lo ta Motolodile, artinya toyopo untuk sepasang suami isteri yang diupacarakan.. Jumlah 7 (tujuh) yang ada pada atribut adat ini bermakna 7 martabat yang harus dicapai oleh mansia dibumi yaitu: - Latifatul Qalbi - Latifatul Ruh - Latifatul Sirri - Latifatul Ahfa 18



- Latifatul Hafi - Latifatul Nafsu Hatika - Latifatul Kullu Jasad 6). Seperangkat makanan diatas baki, yang terdiri dari dua piring yang berisi, sepiring nasi pulut yang di dicampur dengan hati ayam yang disebut “BILINTHI” perlambang rezeki Allah dan ayam goreng yang utuh perutnya berisi sebiji telur rebus, yang akan dikeluarkan langsung oleh sang suami, perlambang sebagaimana mudah mengeluarkan telur dari perut ayam itu, demikian pula sang ibu mudah melahirkan jabang bayi. Acara makan ini dilakukan dengan saling menyuap, antara suami isteri, perlambang kasih sayang, kerukunan rumah tangga, serta saling mengetahui hak dan kewajiban baik sebagai isteri maupun sebagai suami. 7). Janur berkeping 3 yang melilit perut sang ibu yang diacarakan, perlambang bahwa sejak dari kandungan bahwa jabang bayi telah terikat dengan tiga jalur adat atau “Buwatulo Towulungo”, yaitu menjujung tinggi jalur adat, mengamalkan isi kandungan Syari’at islam, dan berkewajiban membela kebenaran dankeadilan serta membela negara’ 8). Buluwe atau upik pinang, bermakna tiga kehormatan Allah didunia yang akan dicapai, yaitu Hu’u-hu’umo monu (masih terbungkus harum) malongo’alo, lebe monu (mekar lebih harum), dan lolante liyo (sudah layu) tetap harum. 9). Tempurung yang tidak bermata, yang akan dipecahkan dengan siku oleh sang suami yang diacarakan, bermakna, begitu sulit dan sakitnya memcahkan tempurung, demikian sakit dan sulitnya peristiwa melahirkan yang diderita sang isteri. 10). Seperangkat tikar (amongo) bolu-bolu lo bate, yang dijadikan tirai atau podehu, perlambang pintu yang akan dilaluyi jabang bayi disaat akan keluar dari ketuban.



19



11). Pale yuyulo (tilonda’o), bermakna mempersilakan setan-setan penggangu isi rumah jabang bayi agar meninggalkan tempat itu, agar aman dari penyakit, dengan menaburkan 5 macam beras yang diwarnai. 12). Sebilah keris, perlambang kekuatan dan kekusaan sang suami (Ayah) sebagai kepala rumah tangga.16 c). Busana adat - Bagi yang diacarakan (Sang ibu yang hamil) memakai busana wolimomo, konde pakai sunthi dengan tingkatan (3 tangkai untuk golongan biasa, 5 tangkai untuk golongaqn walo-wali mowali, dan 7 tangkai untuk Mbui isteri Raja). - Suami (calon Ayah) memakai BO’O TAKOWA KIKI) dan PAYUNGA TILAMBI’O memakai salempang, keris terselip pinggang. - Dua orang anak, laki-laki sama dengan busana sang suami, perempuan memakai Wolimomo, kepalanya memakai baya LO BO’UTE, atau hiasan kepala. - Dua orang ibu yang hamil muda, memakai kebaya dan batik, serta/batik sarung sebagai penutup atau (wulowuloto) atau busana lo Mango Tiilo.17 d). Imbalan jasa -Berupa sedekah, berdasarkan kerelaan dari sepasang suami isteri untuk HULANGO (bidan kampung) -Berupa sedekah, berdasarkan kerelaandari sepasang suami isteri untuk imam/hatibi atau aparat syara’ atau yang dikokohkan, yang membaca doa salawat - Berupa sedekah, berdasarkan kerelaan dari sepasang suami isteri untuk dua orang anak yang bertugas menjamah perut sang ibu saat di upacarakan. - Berupa sedekah, berdasarkan kerelaan dari sepasang suami isteri untuk dua orang ibu yang hamil muda, yang bertugas memegang bantal dan memegang lutut,sang ibu yang diacarakan. 16 17



Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, Gorontalo; 2003, h.3-8. Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, Gorontalo; 2003, h.10.



20



- Berupa sedekah, berdasarkan dari sepasang suami isteri untuk ibu yang dibalik tirai atau “PODEHU LO BULA” yang bertugas menjawab pertanyaan HULANGO.18



3. Prosesi Pelaksanaan a. Molone'o Molone'o adalah mengetahui keadaan perut ibu yang hamil tentang usia bayinya, yang dihitung dari berhentinya haid (tiloyonga) sampai pada satu bulan. Caranya adalah dengan mengurut perut sang ibu dengan jari tengah pada kedua tangan terbuka. Peristiwa ini ditandai dengan mongadi mtlawati, pada hari Jum'at, yang disahkan oleh hatibi atau yang ditokohkan. Ketika masa kehamilan mencapai tujuh bulan, maka pihak keluarga akan menghubungi hulungo (bidan kampung) untuk memberitahukan dan sekaligus memintanya menjadi pemimpin upacara molonthalo. Selain itu, pihak keluarga juga menyampaikan undangan kepada para kerabat dan tetangga terdekat untuk ikut menghadiri upacara. b. Modu'oto Modu'oto adalah mengetahui umur bayi, yang dihitung dari saat molonc'o. yaitu berusia tiga bulan. Caranya adalah dengan mengurut perut sang ibu dengan tapak tangan pada sisi-sisi perut. Peristiwa ini ditandai dengan mongadi salawati, pada hari Jumat pagi sebelum embun menguap, dengan pertimbangan pada saat itu perut sang ibu masih lembut untuk diurut, agar jabang bayi tetap pada posisi yang sebenarnya. Tempat pelaksanaannya di ruang tengah (duledehu), dan ibu yang hamil diurut perutnya di atas tikar putih bersih. Pada pra-acara ini, suami istri belum diharuskan memakai busana adat, melainkan hanya dengan berpakaian muslim, atau kebaya dan batik ota'u. 18



Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, Gorontalo; 2003, h.10.



21



c. Molontholo Pertama-tama Hulango menyiapkan bahan-bahan atau atribut adat sebagaimana yang telah diuraikan pada persiapan. Kemudian memberikan tanda (bontho) dengan alawahu tilihi pada dahi, leher, bagian bawah tenggorokan, bahu, lekukan tangan dan bagian atas telapak kaki, bawah lutut, yang bermakna pernyataan sang ibu akan meninggalkan sifat-sifat tercela dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya nanti. Tanda di dahi adalah sebagai pernyataan untuk tidak menyembah selain Allah, tanda di leher sebagai pernyataan untuk tidak memakan makanan yang haram, sedangkan tanda di bahu, lekukan tangan, bagian kaki, bagian bawah lutut sebagai pernyataan diri untuk bertanggungjawab atas amanat Allah. Bonto ini tujuannya adalah sebagai ungkapan bahwa sang calon ibu tersebut akan meninggalkan sifat-sifat tercela ketika membesarkan dan mendidik anaknya nanti.19



19



Mustakimah, Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal dalam Tradisi Molonthalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2014, h. 305.



22



III. PENUTUP



Kesimpulan Tradisi molonthalo merupakan ritual adat yang diberlakukan bagi seorang perempuan hamil dalam usia kandungannya yang beranjak 7-8 bulan.. Jika merujuk pada pemikiran tentang ortodoksi syariah yang dikonstruksi oleh para ulama dalam bentuk fikih, maka tradisi molonthalo juga dapat direlevansikan dengan konsep al-‘urf. Oleh karena itu, dalam tradsi molonthalo tersebut ada ‘urf shahîh dan ada pula ‘urf fasid. Al-‘urf al-shahîh adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan dan tidak membawa kemudaratan. Sedangkan al‘urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’dan kaidahkaidah dasar yang terdapat dalam syara’. Dari proses yang dilakukan, upacara molonthalo juga merupakan manifestasi rasa syukur kedua orangtua kepada Allah dengan hadirnya anak yang dikandung oleh sang ibu. Dalam pelaksanaannya, ditanamkan nilai-nilai tauhid kepada sang bayi sedini mugkin agar nantinya bayi ini menjadi manusia yang bertauhid. Dalam tradisi molonthalo prosesi pelaksanaannya terdapat Molone'o, Modu'oto, dan Molontholo. Molone’o adalah mengetahui keadaan perut ibu yang hamil tentang usia bayinya, yang dihitung dari berhentinya haid (tiloyonga) sampai pada satu bulan. Caranya adalah dengan mengurut perut sang ibu dengan jari tengah pada kedua tangan terbuka. Modu'oto adalah mengetahui umur bayi, yang dihitung dari saat molone'o. yaitu berusia tiga bulan. Caranya adalah dengan mengurut perut sang ibu dengan tapak tangan pada sisi-sisi perut. Sedangkan, Molonthalo yaitu memberikan tanda (bontho) dengan alawahu tilihi pada dahi, leher, bagian bawah tenggorokan, bahu, lekukan tangan dan bagian atas telapak kaki, bawah lutut, yang bermakna pernyataan sang ibu akan meninggalkan sifat-sifat tercela dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya nanti.



23



DAFTAR PUSTAKA



Mustakimah, Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal dalam Tradisi Molonthalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2014.



Rahman, M. Gazali, Tradisi Molonthalo di Gorontalo, IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2012.



Medi Botutihe, Tata Upacara Adat Gorontalo, Gorontalo; 2003.



24