Istihsan, Maslahat Mursalah Dan Sad Al-zari'Ah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Istihsan, Maslahah Mursalah dan Sad Al-Zari’ah



Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fikih pada Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam Semester 3



Kelompok 8 : EGHA SAHYANI



02181110



RIZKA NAVISA



02181112



DOSEN PEMBIMBING : Drs. KM. H. IDRIS RASYID



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE 2019



KATA PENGANTAR ‫بِس ِْم هّللا ِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‬ Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT sebab kerena limpahan rahmat hidayah-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah dengan judul “Istihsan, Maslahah Mursalah dan Sad Al-Zari’ah” ini. Shalawat serta salam tidak lupa kita kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW sebagai king of the king, king of the world yang telah menggulung tikar-tikar kejahilihan dan mampu membentangkan tikar–tikar kebenaran. Berdasarkan pentujung dan hidayah dari sang Pencipta yaitu Allah SWT yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Selanjutnya dengan rendah hati kami memohon kritik dan saran dari pembaca apabila terdapat hal yang ganjil, agar selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena kami menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik sang Pencipta yaitu Allah SWT. Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah mendukung serta membatu kami selama proses menyelesaikan makalah hingga rampungnya makalah ini. Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kami berharap supaya makalah yang telah kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya. Dan bernilai ibadah disisi Allah SWT. Wallahul Muaffieq Ila Aqwamith Thariq.



Watampone, 27 Oktober 2019



Kelompok 8



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………………………...…………..i DAFTAR ISI…………………………………………………………….………..ii BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1 A. Latar Belakang…………………………………………………………….1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………………2 C. Tujuan Penulisan………………………………………………….……….2 BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………..……..3 A. Istihsan………………………………………………………….…………3 B. Maslahah Mursalah...……………………………………………...………8 C. Sad Al-Zari’ah……………………………………………………………15 BAB III PENUTUP……………………………………………………………..23 A. Simpulan…………………………………………………………………23 B. Saran …………………………………………………………………….23 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..24



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang  Sumber fiqh adalah dalil-dalil yang dijadikan oleh syariat sebagai hujjah dalam pengambilan hukum. Dalil-dalil ini sebagian disepakati oleh ulama sebagai sumber hukum, seperti Al Quran, Sunnah dan Ijma. Sebagian besar ulama juga menetapkan qiyas sebagai sumber hukum ke empat setelah tiga sumber di atas. Di samping itu ada beberapa sumber lain yang merupakan sumber turunan dari sumber di atas, seperti Istihsan, Maslahat mursalah, Urf, dan lain-lain. Perlu diketahui bahwa semua dalil-dalil yang ada bersumber dan berdasarkan dari satu sumber; Al Quran. Karena Imam Syafi'i mengatakan,"Sesungguhnya hukumhukum Islam tidak diambil kecuali dari nash Al Quran atau makna yang terkandung dalam nash." Menurutnya, tidak ada hukum selain dari nash atau kandungan darinya. Meski, Imam Syafii membatasi maksudnya "kandungan nash" hanya dengan qiyas saja. Sementara ahli fiqh lainnya memperluas pengertian "kandungan nash". Dengan berkembanganya zaman banyak permasalahan-permasalahan yang perlu dipecahkan dan semuanya itu harus dikembalikan kepada al-Qur’an dan hadits dalam pemecahannya, tapi seiring berkembangnya waktu banyak permasalahan yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah ‫ﷺ‬, dalam makalah ini kami akan sedikit mengupas metode yang digunakan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum dalam berbagai kasus yang tidak ada nash (ayat atau haditsnya) yaitu melalui metode istihsan, maslahah al-mursalah dan istishab, qiyas, ijma’, dan lain-lain. Tapi dalam makalah ini kami hanya akan membahas tentang Istihsan, Maslahah Al-Mursalah dan Sad Al-Zari’ah, dan metode-metode yang lainnya akan dibahas pada kesempatan yang lain.



1



2



B. Rumusan Masalah 1. Jelaskan apa itu Istihsan! 2. Jelaskan apa itu Maslahah Mursalah! 3. Jelaskan apa itu Sad Al-Zari’ah!



C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Istihsan. 2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Maslahah Mursalah. 3. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Sad Al-Zari’ah.



BAB II PEMBAHASAN A. Istihsan Istihsan termasuk salah satu metode ijtihat yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya (yang biasa berlaku), para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefinisikan “istihsan” itu. Ulama yang menggunakan istihsan dalam berijtihat mendefinisikan istihsan dengan pengertian yang berlainan dengan definisi dari orang yang menolak cara istihsan. Sebaliknya ulama yang menolak penggunaan istihsan mendefinisikan istihsan dengan pengertian tidak seperti yang didefinisikan pihak yang menggunakannya. Seandainya mereka sepakat dalam mengartikan istihsan itu, maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai suatu metode ijtihat. 1. Pengertian Istihsan Secara etimologis (lughawi/bahasa) istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik,” atau “ adanya sesuatu itu lebih baik”, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu”.1 Dari arti diatas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.



Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Cet. 7; Jakarta: Charisma Putra Utama, 2014), h. 347. 1



3



4



Adapun pengertian istihsan secara istilahi, ada beberapa definisi istihsan yang dirumuskan oleh ulama ushul. Diantara definisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Berikut merupakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul, yaitu: a. Menurut Al-Bazdawi: “Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama” b. Menurut Imam Malik: “Menerapkan yang terkuat diantara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.” c. Sedangkan Wahbah Az-Zuhaili:2 “Lebih mengunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jali berdasarkan alasan tertentu.” 2. Pembagian dan Bentuk-Bentuk Istihsan Dari definisi diatas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan diklasifikasikan atas dua macam, yaitu: istihsan qiyasi dan istihsan istitsna’i. Di bawah ini digambarkan lebih jauh gambaran keduanya sebagai berikut. a. Istihsan Qiyasi Istihsan qiyasi ialah, suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan. Contoh untuk istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi yaitu air sisa minuman burung buas adalah suci dan halal diminum, seperti sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal berdasarkan qiyas jali, Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wasith Fi Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Ttp: Dar Al-Kitab, 1977), h. 286. Dilihat dari buku Dr.H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Cet 4; Jakarta: Amzah, 2016), h. 198. 2



5



sisa minuman binatang buas adalah najis dan haram diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan mengqiyas-kan kepada dagingnya. Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jail (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan. b. Istihsan Istitsna’i Istihsan istitsna’i ialah, qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan ini dibagi kepada beberapa macam sebagai berikut.3 1) Istihsan bi An-Nashsh (istihsan berdasarkan ayat atau hadits) 2) Istihsan bi Al-Ijma’ (istihsan yang berdasarkan pada ijma’) 3) Istihsan bi Al-‘Urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan) 4) Istihsan bi Ad-Dharurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat) 5) Istihsan bi Al-Mashlahah (istihsan berdasarkan mashlahah) 3. Kehujjahan Istihsan Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah mazhab Hanafi, Maliki, dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan istihsan sebagai dalil syara’ adalah Asy-Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa menggunakan istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalar 3



Dr.H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, h. 200-203.



6



murni untuk menentang hukum yang ditetapkan dalil syara’. Di antara mereka adalah Imam Asy-Syafi’i. bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahannya sebagai dalil syara’, Imam Asy-Syafi’i berkata: “Barangsiapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri”.4 Para



ulama



yang



menggunakan



istihsan



sebagai



dalil



syara’



mengemukakan banyak argumen, di antaranya adalah sebagai berikut:5 a. Menggunakan istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan firman Allah SWT pada surah al-Baqarah 2: 185.



        “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” b. Ucapan Abdullah bin mas’ud:6



‫ فَه َُو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن‬،‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا‬



“Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah SWT.”



Sementara itu, kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan mengemukakan dalil antara lain, sebagai berikut: a. Firman Allah SWT pada surah Al-Maidah 5: 49.



          “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” Ayat diatas menunjukkan bahwa tidak boleh menetapkan hukum kecuali berdasarkan nash, dan dilarang mengikuti hawa nafsu. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wasith fi Ushul Al Fiqh Al-Islami, (ttp: Dar Al-Kitab,1977), h. 285. Lihat juga dibuku Dr.H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Cet 4; Jakarta: Amzah, 2016), h.203. 5 Dr.H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, h.203-206. 6 Sebenarnya hadist ini merupakan ucapan Abdullah bin Mas’ud dan bersumber dari dirinya sendiri. Dengan kata lain, hadist tersebut termasuk dalam kelompok qaul ash-shahabi (pendapat sahabat). Atau biasanya disebut sebagai atsar dalam ulumul hadist. 4



7



b. Firman Allah SWT pada surah an-Nahl 16: 44.



           “....dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT menurunkan al-Qur’an, dan disamping itu ada hadist Rasulullah ‫ ﷺ‬yang berperan memerinci hukum-hukum yang terkandung didalam Al-Qur’an. dengan demikian, istihsan tidak diperlukan untuk menetapkan hukum syara’. c. Rasulullah



‫ﷺ‬



tidak



pernah



menetapkan



hukum



berdasarkan istihsan yang dasarnya adalah nalar murni, melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka. d. Istihsan itu landasannya adalah akal, dimana kedudukan orang yang terpelajar adalah sama. Jika menggunakan istihsan dibenarkan, tentu setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya. Dari argument yang digunakan kedua kelompok ulama diatas, dapat dikatakan, pada hakikatnya perbedaan kedua kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal yang mendasar. Dengan kata lain, pada kenyataannya, perbedaan pendapat diantara mereka hanya dari segi penggunaan istilah. Sebab, kritik yang dikemukakan asy-syafi’i terhadap istihsan adalah istihsan yang semata-mata didasarkan kepada pertimbangan akal murni, tanpa didasarkan kepada dalil syara’. Padahal, semua bentuk istihsan menggunakan sandaran, baik dalam bentuk nash atau ijma’ atau maslahah mursalah yang juga sejalan dengan prinsip-prinsip syara’.



8



Pada hakikatnya, istihsan, dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang menjadi substansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’. B. Mashlahah Mursalah Salah satu metode yang dikembangkan ulama usul fiqih dalam mengistinbatkan hukum dan nash adalah mashlahah al-mursalah, yaitu sesuatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’i (rinci) yang mendukungya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungya, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra’ (induksi dari sejumah nash). Sebelum membahas lebih jauh tentang konsep mashlahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum, terlebih dahulu dibahas hakikat mashlahah itu sendiri. 1. Arti Mashlahah Sebelum menjelaskan arti mashlahah mursalah, perlu dibahas lebih dahulu tentang mashlahah, karena mashlahah mursalah itu merupakan salah satu bentuk dari mashlahah.7 Al-Maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata alMashalih. Pengarang Kamus Lisan Al-‘Arab menjelaskan dua arti, yaitu alMaslahah yang berarti al-Shalah dan al-Mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-Mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik seperti menghasilkan manfaat atau faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemudharatan dan penyakit. Semua itu bisa dikatakan mashlahah. 7



Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 367-370.



9



Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut mashlahah. Dengan begitu, mashlahah itu mengandung dua sisi, yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan. Dalam mengartikan mashlahah secara definitif terdapat perbedaan rumusan dikalangan ulama yang kalau dianalisis ternyata hakikatnya adalah sama. a. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat, namun hakikat dari mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum). Tujuan syara’ dalam menetapkan hukum ada lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. b. Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi Al-Ghazali diatas, yaitu memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia. c. Menurut Al-Thufi mashlahah adalah ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atau adat. Definisi ini bersesuaian



dengan definisi al-Ghazali



yang memandang



mashlahah dalam artian syara’ sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara’. Dari beberapa definisi di atas dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan



10



keburukan bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. 2. Macam-macam Mashlahah Dilihat dari keberadaan mashlahah menurut syara’, jumhur ulama membagi al-mashlahah ini kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut.8 a. Al-Mashlahah yang terdapat kesaksian syara’ dalam mengakui keberadaannya (ma syahid asy-syar’ lii’tibariha) Al-mashlahah dalam bentuk ini menjelma menjadi landasan dalam alqiyas (analogi). Mashlahah ini biasa disebut dengan istilah Al-mashlahah al-mu’tabarah. Semua ulama sepakat menyatakan al-mashlahah ini merupakan hujjah (landasan hukum). Sebagai contoh, meng-qiyas-kan keharaman perahan kurma yang memabukkan yang tidak terdapat nashnya, kepada keharaman perahan anggur yang memabukkan yang ada nashnya didalam al-qur’an maupun sunnah. b. Al-mashlahah yang terdapat kesaksian syara’ yang membatalkannya/ menolaknya (ma syahid asy-syar’ li buthlaniha) Al-mashlahah ini adalah bathil, dalam arti tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena ia bertentangan dengan nash. Bentuk mashlahah ini disebut dengan al-mashlahah al-mughal. Sebagai contoh, dahulu pernah seorang ulama mengeluarkan fatwa, bahwa terhadap seorang raja kaya yang melakukan hubungan suami istri pada siang bulan ramadhan dikenakan kifarat puasa dua bulan berturut-turut, tanpa boleh memilih antara memerdekakan hamba, atau memberi makan enam puluh orang miskin karena ia memiliki kekayaan. Dasar pemikirannya ialah, kifarat disyari’atkan untuk menimbulkan efek jera bagi orang yang melakukan pelanggaran dalam ibadah. Kemungkinan besar kifarat puasa akan 8



Dr.H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, h. 207-208.



11



membuat raja tersebut kualahan dalam melaksanakannya, sehingga ia tidak akan mengulangi pelanggaran tersebut. Bentuk fatwa ini tidak dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan syara’, dan berarti mengubah ketentuan hukum syara’ semata-mata berdasarkan nalar murni. Sekiranya ketentuan syara’ membenarkan pola penetapan hukum seperti ini, tentulah Rasulullah ‫ ﷺ‬menetapkan hukum dengan pola yang sama. c. Al-Mashlahah yang tidak terdapat kesaksian syara’, baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya dalam bentuk nash tertentu (ma lam yasyhad asy-syar’ la libuthlaniha wa la lii’tibariha nashsh mu’ayyan). Al-mashlahah bentuk ini dibagi lagi kepada dua macam, yaitu sebagai berikut. 1) Al-Mashlahah al-gharibah Yaitu mashlahah yang sama sekali tidak terdapat kesaksian syara’ terhadapnya, baik yang mengakui maupun yang menolaknya dalam bentuk, macam, ataupun jenis tindakan syara’ (nau’ aw jins tasharufat asy-syari’). Dalam kenyataannya, mashlahah bentuk ini hanya ada dalam teori, tetapi tidak ditemukan contohnya dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. 2) Al-Mashlahah al-mula’imah Yaitu mashlahah yang meskipun tidak terdapat nash tertentu yang mengakuinya, tetapi ia sesuai dengan tujuan syara’ dalam lingkup yang umum. Mashlahah inilah yang biasa disebut dengan istilah al-mashlahah al-mursalah. Hal inilah yang akan diuraikan dalam pembahasan dibawah ini. 3. Arti Mashlahah Mursalah



12



Maslahah mursalah menurut bahasa terdiri dari dua kata, yaitu maslāhah dan mursalah.9 Kata mashlahah berasal dari kata kerja bahasa Arab (-‫صلَ َح‬ َ ْ ‫ )يَصْ لُ ُح‬menjadi (‫)صُلحًا‬ atau (ً‫ ) َمصْ لَ َحة‬yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursālah adalah isim maf’ul dari fi’il madhi dalam bentuk tsulasi, yaitu (‫)ر َس َل‬, َ dengan penambahan huruf “alif” dipangkalnya, sehingga menjadi (‫)اَرْ َس َل‬. Secara etimologis artinya terlepas, atau dalam arti ( ْ ‫( ) ُم‬bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan ‫طلَ ْق‬ kata maslahah maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan”.10 Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang maslahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Di antara definisi tersebut: a. Ibnu Qudaima dari ulama Hambali memberi rumusan:



‫َما لَ ْم يَ ْشهَ ْد لَهُ اِ ْبطَا ٌل َوالَ اِ ْعتِبَا ٌر ُم َعي ٌَّن‬ Maslahat yang tidak ada bukti petunjuk tertentu membatalkannya dan tidak pula yang memperhatikannya.



yang



b. Jalal al-Din Abd al-Rahman memberi rumusan yang lebih luas:



‫اص بِاْ ِال ْعتِبَا ِر اَ ْو‬ ْ َ‫ع َوالَ ي‬ ْ َ‫ش َه ُد لَ َها ا‬ ٌّ ‫ص ٌل َخ‬ َ ‫اَ ْل َم‬ ِ َ‫صالِ ُح ا ْل ُمالَ ِء َمةُ لِ َمق‬ ِ ‫اص ُد الشَّا ِر‬ ‫بِا ْل َغا ِء‬ Maslahat yang selaras dengan tujuan syari’ (pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya. c. Abdul Wahab al-Khallaf memberi rumusan berikut:



‫ارهَا اَوْ ِال ْلغَا ِءهَا‬ ِ َ‫ع َدلِ ْي ٌل ِال ْعتِب‬ ِ ‫اِنَّهَا َمصْ لَ َحةٌ لَ ْم يَ ِر ْد َع ِن ال َّش‬ ِ ‫ار‬ 9



Sebagian ulama menyebut maslahah mursalah dengan istilah al-Munāsib al-Mursāl (dipopulerkan oleh Ibnu Hājib dan Baidhāwi), al-Istidlāl al-Mursāl (dipopulerkan oleh asySyātibi) dan al-Ishtislāh (dipopulerkan oleh al-Ghazāli). Walaupun begitu, perbedaan penamaan ini tidak membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya. Lihat Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Cet.III; Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 118.  10 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 377.



13



Maslahah mursalah adalah mashlahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya. Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari mashlahah mursalah tersebut, sebagai berikut: a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia; b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum; d. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya. Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan atau tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’ yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-Maslahah al-Mursalah. 4. Kehujjahan Mashlahah Mursalah Para ulama’ ushul fiqh berbeda argumen dalam hal kehujjahan maslahah al mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum syara’. Dalam hal ini kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengakui Maslahah mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum islam, sedangkan Imam Syafi’i dan kalangan Hanafiyah menolaknya dengan alasan sebagai berikut: a. Syariatlah yang akan mengatur kamaslahatan manusia dengan nashnash dan petunjuk qiyas. Sebab syar’i tidak akan berlaku semena-



14



mena terhadap manusia dengan tanpa merumuskan ketentuanketentuan hukum yang menjamin segala kemaslahatan manusia. Menetapkan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti menganggap syari’at islam belum lengkap dan masih ada masalah yang belum terselesaikan. Hal ini bertentangan dengan fiman Allah yang berbunyi sebagai berikut:



     



Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? (QS.al- Qiyamah 75: 36). b. Pembentukan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti membuka pintu nafsu para pemimpin, ulama’, atau para hakim untuk menetapkan hukum islam menurut selaranya atau kemauannya sendiri dengan alasan kemaslahatan. Adapun alasan-alasan yang mendasari beberapa Ulama’ mengunakan maslahah mursalah adalah: a. Bahwa kehidupan manusia akan selalu berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia juga akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya. b. Seandainya konsep maslahah mursalah ini tidak diterapkan di masyakat maka mereka akan banyak mendapati kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan syari’at Islam tidak diturunkan kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi lebih mudah dalam mengarungi hidup ini, seperti keterangan dalam firman Allah: … …       ….dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. …(Q.S.Al Hajj 22: 78). As-syafi’i dan pengikut-pengikutnya dalam hal ini menolak mashlahah. Mereka berprinsip bahwa seorang yang berpegang dengan ini identik dengan



15



orang yang berpegang dengan istihsan, dan ini memang identik dengan istihsan.11 Lebih lanjut beliau berkata: “dan tidak boleh bagi seorang (hakim atau mufti) menetapkan hukum dan memberi fatwa berdasarkan istihsan, karena istihsan tidak mempunyai kepastian dan tidak pula termasuk dalam konteks pengertian.” (Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ atau Qiyas) C. Sad Al-Zari’ah Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilalui. Bila seseorang akan melakukan pembunuhan umpamanya, ia sebelumnya harus melakukan beberapa kegiatan seperti memiliki senjata untuk membunuh dan mencari kesempatan untuk melakukan pembunuhan itu. Membunuh merupakan kegiatan pokok yang dituju, sedangkan perbuatan lain yang mendahuluinya disebut perantara, jalan, atau pendahuluan. Membunuh tanpa hak adalah perbuatan haram yang harus dijauhi. Untuk menjauhi perbuatan membunuh itu harus menghindarkan perbuatan lain yang dapat mendorong kepada pembunuhan, umpamanya memiliki senjata. Namun, ketentuan mengenai larangan memiliki senjata tdk ada dlm syari’at. Dalam hal ini, apakah hukum memiliki senjata itu sama dengan membunuh yang sudah jelas haramnya?



Abdil Wahhab Khalaf , Masadiral Tasryri’ Fi Ma Lanasafih, (Beirut: Dar Al-Qalam, 1972), h. 89. Lihat juga di bukunya Dr. H. Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih – Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, (Cet. 2; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 85. 11



16



Untuk itu, persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perbuatan pendahuluan yang belum mempunyai dasar hukumnya dan ini disebut oleh ahli ushul dengan al-dzari’ah. 1. Pengertian Sad Al-dzari’ah Secara lughawi (bahasa), al-dzari’ah itu berarti jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi maupun ma’nawi, baik atau buruk. Arti lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan penilaian kepada hasil perbuatan. Pengertian netral inilah yang diangkat oleh Ibnu Qayyim ke dalam rumusan definisi tentang dzari’ah, yaitu apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu.12 Untuk menempatkannya dalam bahasan sesuai dengan yang dituju, kata dzari’ah itu di dahului dengan sad ( ‫ ) َس ُّد‬yang artinya menutup, maksudnya َّ adalah menutup jalan terjadinya kerusakan. Sedangkan adz-dzari’ah (‫)الذ ِر ْي َعة‬ merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana َّ (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari al-dzari’ah (‫)الذ ِر ْي َعة‬ َّ r‫)ال‬. Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, adalah al-dzara’i (‫ذ َرائِع‬r seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd al-dzara’i.13 Jadi, sad al-dzari’ah ialah mencegah suatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan mafsadah. Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlarang. Sebagai contoh, pada dasarnya, menjual anggur adalah mubah, karena anggur adalah buah-buahan yang halal dimakan. Akan tetapi, menjual anggur kepada orang yang akan mengolahnya menjadi minuman keras menjadi terlarang. Perbuatan Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 449. http://shofiyatulmunawaroh.blogspot.com/2015/06/pengertian-saddu-dzariah.html, tanggal 28 oktober 2019, pada pukul 10.18. 12 13



diakses



17



tersebut terlarang, karena akan menimbulkan mafsadah. Larangan tersebut untuk mencegah agar orang jangan membuat minuman keras, dan agar orang terhindar dari meminum minuman yang memabukkan, dimana keduanya merupakan mafsadah.14 2. Metode Penentuan Hukum Al-Dzari’ah15 Predikat-predikat hukum syara’ yang dilekatkan kepada perbuatan yang bersifat al-dzari’ah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: a. Ditinjau dari segial al-ba’its (motif pelaku) b. Ditinjau dari segi dampak yang ditimbulkan semata-mata, tanpa meninjaunya dari segi motif dan niat pelaku. Al-ba’its adalah motif yang mendorong pelaku untuk melakukan suatu perbuatan, baik motifnya untuk menimbulkan sesuatu yang dibenarkan (halal) maupun motifnya untuk menghasilkan sesuatu yang terlarang (haram). Misalnya, seseorang melakukan akad nikah dengan seorang wanita. Akan tetapi, niatnya ketika menikah tersebut bukan untuk mencapai tujuan nikah yang disyari’atkan Islam, yaitu membangun rumah tangga yang abadi, melainkan agar setelah diceraikannya, wanita tersebut halal menikah lagi dengan mantan suaminya yang telah menalaknya dengan tiga talak. Pada contoh ini, pelaku melakukan perbuatan yang halal, dengan tujuan yang terlarang (haram). Pada umumnya, motif pelaku suatu perbuatan sangat sulit diketahui oleh orang lain, karena berada didalam kalbu orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, penilaian hukum segi ini bersifat diyanah (dikaitkan dengan dosa atau pahala yang akan diterima pelaku diakhirat). Pada dzari’ah, semata-mata



14 15



Dr.H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, h. 236. Dr.H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, h. 237-239.



18



pertimbangan niat pelaku saja, tidak dapat dijadikan dasar untuk memberikan ketentuan hukum batal atau fasad-nya suatu transaksi. Tinjauan yang kedua, difokuskan pada segi mashlahah dan mafsadah yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan. Jika dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan adalah kemashlahatan, maka perbuatan tersebut diperintahkan, sesuai dengan kadar kemashlahatannya (wajib atau sunnah). Sebaliknya, jika perbuatan tersebut membawa pada kerusakan, maka perbuatan tersebut terlarang , sesuai dengan kadarnya pula (haram atau makruh). Sebagai contoh, seseorang mencaci maki berhala-berhala orang musyrik sebagai bukti keimanannya kepada Allah dan dengan niat ibadah. Akan tetapi, perbuatan tersebut mengakibatkan tindakan balasan untuk bentuk caci maki pula dari orang musyrik terhadap Allah. Oleh karena itu, perbuatan tersebut menjadi terlarang. Dalam hal ini, Allah berfirman pada surah Al-An’am 6: 108.



              “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” Pada tinjauan yang kedua ini, perbuatan dzari’ah melahirkan ketentuan hukum yang bersifat qadha’i, dimana hakim pengadilan dapat menjatuhkan hukum sah atau batalnya perbuatan tersebut, bahkan menimbulkan hukum boleh atau terlarangnya perbuatan tersebut, tergantung pada: apakah perbuatan dzari’ah tersebut menimbulkan dampak mashlahah atau mafsadah, tanpa mempertimbangkan apakah motif pelaku adalah untuk melakukan kebaikan atau kerusakan.



19



3. Kedudukan Sad al-Dzari’ah16 Meskipun hampir semua ulama dan penulis ushul fiqh menyinggung tentang sad al-dzari’ah, namun amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri. Ada yang menempatkan bahasannya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama. Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok. Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya: a. Surat Al-An’am 6: 108.



             Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu bolehboleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang. b. Surat An-Nuur 24: 31.



…        .…    16



Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 450-452.



20



…Dan janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya agar diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya… Sebenarnya menghentakkan kaki itu boleh-boleh saja bagi perempuan, namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan perhatian bagi yang mendengar, maka hentakan kaki itu dilarang. Dari dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya. Dalam hal ini, dasar pemikiran hukumnya bagi ulama adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi: (1) sisi yang mendorong untuk berbuat, dan (2) sasaran atau tujuan yang menjadi natijah (kesimpulan/akibat) dari perbuatan itu. Dengan memandang pada natijah-nya, perbuatan itu ada dua bentuk: a. Natijah-nya baik. Maka segala sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan oleh karenanya dituntut untuk mengerjakannya. b. Natijah-nya buruk. Maka segala sesuatu yang mendorong kepadanya adalah juga buruk, dan karenanya dilarang. 4. Pandangan Ulama Tentang Sad Al-Dzari’ah17 Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan sad al-dzari’ah. Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihat dengan berdasarkan pada tindakan berhati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudharat atau baik dan buruk. Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan mudharat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada 17



Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 454-457.



21



dasarnya juga menerima metode sad al-dzari’ah itu, meskipun berbeda dalam kadar penerimaannya. Kalangan ulama Malikiyah yang dikenal banyak menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya juga banyak menggunakan metode sad al-dzari’ah. Dasar pegangan ulama untuk menggunakan sad al-dzari’ah adalah kehatihatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara mashlahat dan mafsadat. Bila mashlahat yang dominan, maka boleh dilakukan; dan bila mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip yang berlaku, yang sebagaimana dirumuskan dalam kaidah:



‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬ ِ ‫َدرْ ُء ْالمفَا ِس ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬ ِ ِ‫صال‬



Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemashlahatan.



Bila diantara yang halal dan yang haram berbaut (bercampur) maka prinsipnya dirumuskan dalam kaidah:



‫إذا اجتمع الحالل والحرام غلب الحرام‬ Bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram mengalahkan yang halal. Sebagai pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian dalam beramal adalah sabda Nabi:



.َ‫َد ْع َما يَ ِر ْيبُكَ إِلَى َما الَ يَ ِر ْيبُك‬ Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa yang tidak meragukanmu. Ulama yang menolak metode sad al-dzari’ah secara mutlak adalah ulama Zhahiriyah. Penolakan itu secara panjang lebar dibeberkan oleh Ibnu Hazm yang intisarinya adalah sebagai berikut: a. Dasar pemikran sad al-dzari’ah itu adalah ijtihat dengan berpatokan kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama Zhahiriyah menolak secara mutlak ijtihat dengan ra’yu (daya nalar) seperti ini.



22



b. Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an atau dalam sunah dan ijma’ ulama. Adapun yang ditetapkan diluar ketiga sumber itu bukanlah hukum syara’. Dalam hubungannya dengan sad al-dzari’ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma’, hanyalah hukum pokok atau maqashid, sedangkan hukum pada washilah atau dzari’ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau ijma’. Oleh karena itu, cara seperti ini ditolak, sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nahl 16: 116.



               “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebutsebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” Dengan argument diatas, kalangan ulama Zhahiriyah dengan tegas menolak sad al-dzari’ah.



BAB III PENUTUP A. Simpulan 1. Istihsan termasuk salah satu metode ijtihat yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya (yang biasa berlaku), para ulama berbeda pendapat



disebabkan



oleh



perbedaan



dalam



memahami



dan



mendefinisikan “istihsan” itu. 2. Salah satu metode yang dikembangkan ulama usul fiqih dalam mengistinbatkan hukum dan nash adalah mashlahah al-mursalah, yaitu sesuatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’i (rinci) yang mendukungya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungya, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra’ (induksi dari sejumah nash). 3. Perbuatan pendahuluan yang belum mempunyai dasar hukumnya disebut dengan al-dzari’ah. Untuk menempatkannya dalam bahasan sesuai dengan yang dituju, kata dzari’ah itu di dahului dengan sad ( ‫ ) َس ُّد‬yang artinya menutup, maksudnya adalah menutup jalan terjadinya kerusakan. B. Saran Dari makalah yang kami susun, kami sangat menyarangkan agar kiranya dalam membacanya agar bisa fokus. Karena tidak menutup kemungkinan, dalam makalah yang sudah kami buat ini terdapat kekurangan-kekurangan. Maka dari itu, Kami meminta kritik beserta saran yang bersifat membangun. Agar pada penulisan berikutnya bisa lebih baik lagi. Terimakasih atas perhatiannya.



23



DAFTAR PUSTAKA Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2016. http://shofiyatulmunawaroh.blogspot.com/2015/06/pengertian-saddudzariah.html https://www.tongkronganislami.net/maslahah-mursalah-dalam-sumber-hukumislam/ Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. 2007.  Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Charisma Putra Utama. 2014. Zuhri, Saifudin. Ushul Fiqih – Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.



24