5 0 555 KB
1
JAMI’ AL-BAYAN FI TAFSIR AL-QUR’AN KARYA IBN JARIR AT-THABARI By: Didin Chonyta (14750010) SIAI
1. Setting Historis-Biografi At-Thabari a. Potret kehidupan awal Ada beberapa sumber tentang at-thabari, nama aslinya adalah Abu ja’far Muhammad Ibn yazid Ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli1. Tanah kelahiranya di kota Amul, ibu kota thabaristan, Iran.2 Sehingga nama belakangnya disebut Al-Amuli penisbatan tanah kelahiranya. Ia dilahirkan pada tahun awal 225 H (839-840) dan meninggal pada tahun 311/9233, dari informasi lain disebutkan tahun 310 H.4 b. Situasi Sosio-Historis At-Thabari hidup, tumbuh dan berkembang dilingkungan keluarga yang cukup memberikan perhatian terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Bebarengan dengan situasi Islam yang mengalami masa kejayaan dan kemajuan di bidang pemikiran Islam. Kondisi yang sedemikian itu turut berperan dalam membentuk kepribadian At-thabari dan menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu. Aktivitas menghafal Al-Qur’an dimulai sejak umur 7 tahun, dan melakukan pencatatan hadis sejak umur 9 tahun. Integritasnya tinggi dalam menuntut ilmu dan ibadah, dibuktikan dengan melakukan safari ilmiah ke berbagai Negara untuk memperkaya ilmu pengetahuan dalam disiplin ilmunya.
1
Muhammad Bakar Isma’il, Ibnu Jarir At-thabari wa manhajuhu fi tafsir, Kairo; dar almanar,1991. H.9-10 2 Sebuah kota di daerah Iran, 12 KM, sebelah selatan laut kaspia. Daerah penduduknya suka berperang (konflik), dan biasanyanya senjata yang dipakai adalah Kapak (Thabar) sebagai senjata tradisional untuk menghadapi musuh. Itulah sebabnya nama panggilanya lebih dikenal sebagai al-Thabari, yang diambil dari nama kuluture-nya. 3 Muhammad Arkoun, Rethinking Islam;Common Question Uncommon Answer, terj. Yudia W asmin dan lathifatul khuluk, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996, h. 65 4 Frzanz Rosenthal, The History of At-Thabari, Vol 1 (New york University Press, 1989), h.178
2
c. Karir intelektual Al-Tabari, secara kultural-akademik termasuk `makhluk yang beruntung’, jika dilihat setting-sosial yang diwarnai oleh kemajuan peradaban Islam dan berkembangnya pemikiran ilmu-ilmu keislaman pada abad III hingga awal abad IV H. Keadaan ini sangat berpengaruh secara mental maupun intelektual terhadap perkembangan keilmuannya. Karir pendidikan diawali dari kampung halamannya, -Amul- tempat yang cukup kondusif untuk membangun struktur fundamental awal pendidikan al-Tabari. la diasuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria dan Mesir dalam rangka “travelling in quest of knowledge” (al-rihtlah li talab al-‘ilm) dalam usia yang masih belia. Namanya bertambah populer di kalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya. Ia hapal al-Qur’an ketika berusia 7 tahun, menjadi Imam shalat ketika berusia 8 tahun, menulis hadis ketika berusia 9 tahun. Di Rayy, ia berguru kepada Ibn Humayd, Abu `Abdillah Muhammad bin Humayd al-Razy. la juga menimba ilmu dari al-Mu’sanna bin Ibrahim al-Ibili, khusus di bidang hadis. la pernah pula pergi ke Bagdad untuk belajar kepada Ahmad bin Hanbal (164-24I/ 7780-855), sesampainya di sana ternyata ia telah wafat. la segera putar haluan menuju dua kota besar Selatan Bagdad, yakni Basrah dan Kufah, sambil mampir ke Wasit karena satu jalur perjalanan dalam rangka studi dan riset. Di Basrah ia berguru kepada Muhammad bin Abd al-A’la al-San’ani (w. 245/859), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248/862) dan Abu al-‘As’as, Ahmad bin al-Miqdam (w. 253/867), dan Abu- al-jawza’ Ahmad bin `U’sman (w 246/860). Khusus bidang tafsir ia berguru kepada seorang Basrah Humayd bin Mas’adah dan Bisr bin Mu’ai al`Aqadi (w. akhir 245/859-860), meski sebelumnya pernah banyak menyerap pengetahuan tafsir dari seorang Kufah Hannad bin alSari (w. 243/857).5 Setelah beberapa waktu di dua kota tersebut, ia kembali ke Bagdad dan menetap untuk waktu yang lama. la masih memusatkan perhatian pada qira’ah 5
Subhi al-Shalih, Mabahis fi ulumil Qur’an, (Beirut; Dar Al-ilm lil al-Malayin, Cet III, 1972). H.290
3
(cara baca) dan fiqh dengan bimbingan guru, seperti Ahmad bin Yusuf al-Sa’labi, al-Hasan ibn Muhammad al-Sabbah al-Za’farani, al Raby al Murady dan Abi sa’id al-Astakhari6. Belum puas dengan apa yang telah ia gapai, ia melanjutkan perjalanan ke berbagai kota untuk mendapatkan ilmu, terutama pendalaman gramatika, sastra (Arab) dan qira’ah. Hamzah dan Warasy termasuk orang-orang yang telah memberikan kontribusi kepadanya. Keduanya tidak saja dikenal di Bagdad, tetapi juga di Mesir, Syam, Fustat, dan Beirut. Dorongan kuat untuk menulis kitab tafsir diberikan oleh salah seorang gurunya Sufyan ibn `Uyainah dan Waqi’ ibn al-Jarah, Syu’bah bin a1-Hajjaj, Yaajid bin Harun dan Abd ibn Hamid. 2. Penelitian a. Nama kitab tafsir : Kitab tafsir karya al-Tabari, memiliki nama ganda yang dapat dijumpai di berbagai perpustakaan; pertama, Jami' aI-Bayan An Ta'wil Ay al-Qur'an dan Tafsir jami' al-Bayan Fi Tafsir al-Qur'an. b. Kota penerbit
:
Jami' aI-Bayan An Ta'wil Ay al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1995 dan 1998), dan kedua bernama Jami' al-Bayan f i Tafsir al- Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al`Ilmiyyah, 1992), c. Jumblah kitab
: terdiri dari 30 juz/jilid besar.
3. Karya Ibn Jarir At-Thabari Secara tepat, belum ditemukan data mengenai berapa jumlah buku yang berhasil diproduksi dan terpublikasi, yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa karya-karya al-Tabari meliputi banyak bidang keilmuan, ada sebagian yang sampai ke tangan kita di antaranya : a. Bidang Hukum 1) Adab al-Manasik 2) Al-Adar fil Ushul 6
Badrudin al-Zarkhasy, Al burhan fil ulumil Qur’an, (Kairo; dar ihya’ al kutub al-‘arabiyah, 4 jilid 1376 H/1975 M), h.159
4
3) Basith (belum sempurna ditulis) 4) Ikhtilaf 5) Khafif (196-291 H) 6) Latif al-Qaul fi ahkam Syara’I al Islam dan telah diringkas dengan judul alKhafif fi ahkam as-syara’I fil Islam7 7) Mujaz (belum sempurna ditulis) 8) Radd ‘ala Ibn Abd al-Hakam (sekitar 255 H) b. Bidang Al-Qur’an (termasuk tafsir) 1) Fasl Bayan fi al-Qira’at 2) Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an (270-290 H) 3) Kitab al-Qira’at (di duga berbeda dengan kitab yang ditulis di no 1) c. Hadis 1) Ibarah al-Ru’ya 2) Tahzib (belum sempurna ditulis) 3) Fadha’il (belum sempurna ditulis) 4) Al-Musnad al-Mujarrad d. Teologi 1) Dalalah 2) Fadha’il Ali ibn Abi Thalib 3) Radd alazi al-Asfar (sebelum 270 H) (di tulis berupa risalah) 4) Al-Radd ‘ala al-harqusiyyah 5) Sarih 6) Tabsyir al-Basyir fil-ma’alim al-Din (sekitar 290 H) e. Etika keagamaan 1) Adab an-nufs al-jayyidah wa al-akhlaq an-nafisah 2) Fada’il dan mujaz 3) Adab al-tanzil (berupa risalah)
7
Brockelmann, Tarikh al-Adab al-Araby, (Mesir, Dar-ma’arif, tt). Terj. Abd halim An-najar, iii: h. 50. Juga dimuat dalam al-Dawudi dalam Tabaqot al-Mufasirun, ii: h.111
5
f. Sejarah 1) Zayl al-muzayyil (300 H) mengenai riwayat para sahabat dan tabi’in. 2) Tarikh al-umam wa al-mulk (294 H) 3) Thazib al-asar 4. Analisis Tafsir a. Madzhab Penafsir Domisili terakhir sepulang dari Mesir adalah Bagdad dan sempat singgah di Tabaristan. Adapun pada permulaan tinggal di Baghdad ia bermazhab Syafi’i kemudian dengan kecerdasannya beliau berlepas dan berijtihad sendiri. Keterangan di atas sebagaimana ia tuturkan kepada Harun bin Abdul ‘Aziz dan diceritakan oleh Abu Muhammad al Farghany : “Saya tinggal di Baghdad dan mengikuti mazhab Syafi’i selama sepuluh tahun …”8 Pada akhir pergulatan pemikirannya, ia lebih dikenal luas sebagai seorang Sunni ketimbang seorang Rafidi-ektremis Ali yang pernah hangat diributkan oleh para ulama sezamannya ketika memuncaknya aliran-aliran teologi. Bukti bahwa dia seorang sunni terlihat dalam karya-karyanya di bidang sejarah dan tafsir. Kitab tafsir ini ditulis oleh alTabari pada paruh abad III H, dan sempat disosialisasikan di depan para muridmuridnya selama kurang lebih 8 tahun, sekitar 282 hingga 290 H. b. Sistematika penafsiran
:
Sitematika penafsiran At-thabari mengikuti tartib mushafi. Yakni mufasir menguraikan penafsiranya berdasarkan urutan ayat dan surat di dalam
mushaf
(ustmani).
Sekalipun
demikian,
pada
beberapa
bagian
tertentu, ia juga menggunakan pendekatan yang semi-tematis. Pendekatan ini terlihat ketika menguraikan penafsiran suatu ayat dengan memberikan sejumlah
ayat-ayat
lain
yang
berhubungan
sebagai
penguat
penafsirannya. Namun, secara umum la tidak keluar dari sistematika mushaf Usmani. 8
Ibnu Qadhy Syuhbah, www.alwarraq.com)
Thabaqat
al
Syafi’iyyah,
juz
I:
8
(CD
Mausu’ah/
6
Penafsiran al-Tabari yang paling dahulu adalah pemaparan ayatayat yang akan ditafsirkan, dengan mengemukakan berbagai pendapat yang ada tentang takwil (tafsir) firman Allah. Ayat tersebut kemudian ditafsirkan
dengan
dasar
riwayat-riwayat
generasi
awal
Islam;
para
sahabat dan tabi'in, lengkap dengan sanadnya hingga sampai Nabi saw. Langkah selanjutnya adalah analisis terhadap ayat dengan nalar kritisnya yang
ditopang
dikemukan
oleh
pada
perangkat-perangkat
awal
pembicaraan,
penting
termasuk
lainnya,
yang
telah
linguistik.
Atas
dasar
pemaparan terdahulu, ia merespons secara positif dan mengambil sikap untuk menetapkan satu pandangan yang paling tepat dan kuat. Demikian hingga penafsiran ayat terakhir dari al-Qur'an 30 juz. c. Karakteristik Tafsir Untuk melihat dilihat,
paling
bahasa,
lawn
tidak, (corak)
: seberapa jauh pada
karakteristik
aspek-aspek
penafsiran,
yang
akurasi
sebuah
berkaitan dan
tafsir,
dapat
dengan
gaya
sumber
penafsiran,
konsistensi metodologis, sistematika dan daya kritis. Tiga ilmu yang tidak terlepas dari al Thabary, yaitu tafsir, tarikh, dan fiqh. Ketiga ilmu inilah yang pada dasarnya mewarnai tafsirnya. Dari sisi linguistik (lughah), AtThabari bertumpu pada syari-syair Arab kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran-aliran ilmu gramatika bahasa (nahwu), dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. sebagai
Sementara
sumber
itu,
penafsiran,
ia
sangat
yang
kental
disandarkan
dengan pada
riwayat-riwayat pendapat
dan
pandangan para sahabat, tabi’in dan ta-bi' al-ta-bi'in melalui hadis yang mereka riwayatkan.9 la juga menempuh jalan istinbat ketika menghadapi sebagian kasus hukum dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i'rab-nya.10 Aspek penting lainnya di dalam kitab tersebut adalah 9
Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, (Beirut: Mansyurat al Ashr al-Hadits, 1393H/1973M), H. 363. 10 M. Quraish Shihab, "Ibn Jarir al-Tabari: Guru Besar para Ahli Tafsir", dalam jurnal Ulumil Qur'an, Vol. I, No. I, 1989, h. 5. Kapasitas al-Tabari sebagai seorang ahli qira’at
7
pemaparan
qira’ah
secara
variatif,
hubungkan
dengan
makna
yang
dan
dianalisis
berbeda-beda,
dengan
kemudian
cara
di-
menjatuhkan
pilihan pada satu qira'ah tertentu yang ia anggap paling kuat dan tepat. Di
sisi
yang
lain,
al-Tabari
sebagai
seorang
ilmuwan,
tidak
terjebak dalam belenggu taqlid, terutama dalam mendiskusikan persoalan fiqh. la selalu berusaha untuk menjelaskan ajaran Islam (kandungan alQur'an) tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan. Secara tidak langsung, ia telah berpartisipasi dalam upaya menciptakan iklim akademika yang sehat di tengah-tengah masyarakat. Ketika
berhadapan
dengan
persoalan
kalam,
terutama
yang
menyangkut soal akidah dan eskatologis, ia terlibat dalam diskusi cukup intens. Dalam beberapa hal, sikap fanatisnya tampak cukup kentara, ketika ia harus membela ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, pada saat berhadapan dengan beberapa pandangan kaum Mu'tazilah dalam doktrindoktrin
tertentu.
Bahkan,
ia
terkesan
menyerang
gigih
penafsiran
metaforis dan ajaran-ajaran dogmatis mereka, meskipun ia telah berusaha untuk mengambil posisi yang moderat. d. Methode Tafsir Menurut digunakan
daam
H.
Abdul
tafsir
ini.
Djalal, Karena
metode di
muqaran
dalamnya
(komparatif)
memuat
pendapat-
pendapat para ulama dan membanding pendapat sebagian mereka dengan pendapat sebagian yang lain.11 Tafsir al-Tabari, dikenal sebagai tafsir bi al-ma'sur,
yang
mendasarkan
penafsirannya
pada
riwayat-riwayat
yang
bersumber dari Nabi saw, para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Ibnu Jarir dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara riwayat dan dirayat.12 yang berguru kepada Qalun disamping Mujahid dimunculkan secara tafsirnya. 11 H. Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), H. 31. 12 Shidqy al ‘Athar, Muqaddimah Tafsir Ibn Jarir, (Beirut: Darul Fikr, 1995), H. 3
konsisten
dalam
8
Dalam
periwayatan
ia
meskipun
kerap
periwayatannya, melakukan
ta'dil
memberikan
dan
paksaan
biasanya
tidak
memberikan
memeriksa
kritik
tarjih
tentang
hadis-hadis
apapun
kepada
pembaca.
rantai
sanad
itu
dengan
sendiri
Sekalipun
tanpa
demikian,
untuk menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuh lafaz, ia juga menggunakan ra'yu. Dalam kaitan ini, secara runtut yang pertama-tama ia lakukan,
adalah
membeberkan
makna-makna
kata
dalam
terminologi
bahasa Arab disertai struktur linguistiknya, dan (I’rab) kalau diperlukan. Pada
saat
tidak
menemukan
rujukan
riwayat
dari
hadis,
ia
akan
melakukan pemaknaan terhadap kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa kuno yang berfungsi sebagai syawahid dan alat penyelidik bagi ketepatan pemahamannya. Dengan langkah-langkah ini,
proses tafsir
(ta’wil) pun
terjadi.
Berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan (munasabah) mau tidak mau-ia harus menggunakan logika (mantiq). Metode semacam ini temasuk dalam kategori Tafsir Tahlili dengan orientasi penafsiran bi alma'sur dan bi ar-ra'yi yang merupakan sebuah terobosan baru di bidang tafsir atas tradisi penafsiran yang berjalan sebelumnya. Riwayat yang kontroversial (muta'aridah), ia jelaskan dengan memberikan penekanan setuju atau tidak setuju (sanggahan) dengan mengajukan alternatif pandangannya
sendiri
disertai
argumentasi
penguatnya.
Ketika
berhadapan
dengan ayat-ayat hukum, ia tetap konsisten dengan model pemaparan pandangan kemudian
fuqaha
dari
mengambil
para
istinbat.
sahabat, Untuk
taabi'in
dan
menunjukkan
ta-bi'
aI-tabi'in,
kepakarannya
di
bidang sejarah, maka ayat-ayat yang ia jelaskan berkenaan dengan aspek historis ia jelaskan secara panjang lebar, dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam (Isra’iliyyat). Al-Tabari Nasrani
yang
mengambil telah
muslim,
riwayat seperti;
dari
orang-orang
Ka'ab
al-Ahbar,
Yahudi
dan
Wahab
Ibn
Munabbih, Abdullah Ibn Salam dan Ibn Juraij, dengan persepsi yang kuat
9
bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh masyarakat Arab dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya bagi agama. Dengan pendekatan sejarah yang ia gunakan, tampak kecenderungannya yang independen. Ada dua pernyataan mendasar tentang konsep sejarah yang dilontarkan al-Tabari; pertama, menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian, dan kedua, pentingnya pengalaman dari umat dan konsistensi pengalaman sepanjang zaman. Dari penjelasan di atas, Dalam menafsirkan, al-Tabari menempuh langkah-langkah sebagai berikut:13 1) Menempuh jalan tafsir atau takwil. 2) Melakukan penafsiran ayat dengan ayat (munasabah) sebagai aplikasi norma tematis “al-Qur’an Yufasiiru Ba’duhu Ba’ed”. 3) Menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah / al-Hadist (bil ma’tsur). 4) Bersandar pada analisis bahasa (lughoh) bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan. 5) Mengeksplorasi
sya’ir
dan
menganalisa
prosa
Arab
(lama)
ketika
menjelaskan makna kosakata dan kalimat. 6) Memperhatikan aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untuk ditashih dan tarjih. 7) Pemaparan ragam qiraat dalam rangka mengungkap (al-Kasyf) makna ayat. 8) Membeberkan perdebatan di bidang fiqih dan teori hukum islam (ushul al-Fiqh) untuk kepentingan analisis dan istinbat hokum. 9) Mencermati
korelasi
(munasabah)
ayat
sebelum
dan
sesudahnya,
meski dalam kadar yang relatif kecil. 10) Melakukan
sinkronisasi
antar
makna
ayat
untuk
memperoleh
kejelasan dalam rangka untuk menangkap makna secara utuh.
13
Yunus Hasan Abidu, Dirasat wa mabahits fi tarikh al tafsir wa manahij al mufassirin; terj. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan metode para mufassir (Jakarta: Gaya Media, 2007), H.72
10
11) Melakukian kompromi (al-Jam’u) antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh
tidak
kontradiktif
(ta’arud)
dari
berbagai
aspek
termasuk
bil
ma’sur,
kesepadanan kualitas sanad Sebagai konsekuensinya
orang tafsir
yang Ibnu
berpegang Jarir
pada
mempunyai
tafsir
keistimewaan
tersendiri.
Sebagaimana disebutkan oleh Shidqy al ’Athar dalam muqaddimah tafsir ibnu Jarir sebagai berikut : 1) Mengikuti jalan sanad dalam silsilah riwayat. 2) Menjauhi tafsir bil ra’yi. 3) Apik dalam menyampaikan sanad. 4) Berpegang pada ilmu bahasa. 5) Banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabawiyyah. 6) Memperkuat dengan syair dalam menjelaskan maksud kalimat. 7) Perbendaharaan qira’at. 8) Mengkomprontirkan
dan
mengkompromikan
pandangan-pandangan
fiqhiyyah. 9) Menghimpun dalam tafsirnya antara riwayat dan dirayat. Inilah
karakteristik
utama
metode
tafsir
Ibn
Jarir.
Namun
demikian, ada sejumlah kritikan, antara lain: la menyebutkan sejumlah Isra'iliyyat
dalam
tafsirnya.
meski
ia
sering
memberikan
komentar
terhadap lsra'iliyyat itu, tetapi sebagian tidak dikomentarinya. karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membedakan yang baik dari yang buruk. Alasan yang bisa membelanya adalah bahwa ia menuturkan sanadnya secara lengkap. Ini memudahkan peneliti terhadap hal-ihwal para periwayatnya dan memberikan penilaian. Karena itu kita
harus
mengkaji sanadnya agar kita bisa mengetahui yang shahih dari yang dha'if. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa orang yang menuturkan sanadnya kepada anda berarti telah memberi kesempatan kepada anda untuk menilainya. Umumnya la tidak menyertakan penilaian shahih atau
11
dha’if terhadap sanad-sanadnya, meski kadang-kadang la memposisikan diri sebagai seorang kritikus yang cermat. e. Contoh Penafsiran 1) Ketika menafsirkan firman Allah QS. Al-Maidah (5) : 89 : Yang dicermati al-Tabari adalah kalimat min ausati ma tut ‘imuna ahlikum. Potongan ayat yang telah ditafsirkan oleh sebagian sahabat Nabi saw secara berbeda. Ibnu Abbas misalnya, menafsirkan ayat itu dengan “Jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh keluarga (pembayar denda) secara moderat tidak mahal dan tidak murah, tidak sulit dan tidak terlalu mudah.” Sementara Said bin Jubair dan Ikrimah menafsirkan dengan “Jenis makanan yang sederhana yang dikonsumsi keluarga.” Sahabat Atha’ menafsirkan “Semisal apa yang dikonsumsi oleh keluargamu.” Setelah ditopang oleh sejumlah referensi yang cukup akurat, kemudian al-Tabari menyatakan secara tegas, bahwa yang dimaksud oleh firman Allah: “min ausati ma tut’imuna ahlikum” adalah dalam hal kuantitas, moderat tidak sedikit dan tidak banyak. Dari sinilah kemudian muncul wacana di kalangan ulama tentang standar bahan makanan yang harus dibayarkan oleh si pembayar kifarat (denda). 2) Contoh lain dalam Surat AlAnbiya’ ayat 81:
ِ ِ ِِ ٍ ِ الريح ع ِ اص َفةً ََْت ِري بِأ َْم ِرهِ إِ ََل ْاْل َْر ي َ َ ِّ َول ُسلَْي َما َن َ ض الَِِّت بَ َارْكنَا ف َيها َوُكنَّا بِ ُك ِّل َش ْيء َعالم Allah Ta’ala berfirman dan Kami tundukkan kepada Sulaiman bin Dawud dengan angin besar yang dapat diperintahkan oleh Sulaiman untuk
12
berjalan ke negeri manapun yang diinginkan oleh Sulaiman kemudian kembali ke Syam. Oleh sebab itu dikatakan ض الَّتِي بَا َر أكنَا فِيهَا ِ إِلَى أاْلَرأ. Beliau mengatakan: Hal ini sebagaimana telah menceritakan kepada kami IbnuHumaid: Ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Muhammad bin Ishaq dari sebagian ahli ‘ilmu, dari Wahb bin Munabbih, Ia berkata: Dahulu ketika Sulaiman keluar menuju majlisnya burung-burung membungkuk, para jin dan manusia berdiri (untuk menghormatinya) hingga beliau duduk di singgasananya. Tidak ada satu negeripun di muka bumi yang memiliki raja kecuali beliau datangi negeri itu dan beliau tundukkan. Beliau menerangkan bahwa mayoritas ahli qiraat membaca lafadz الريح dengan i’rab nashab ( )ال ِّر أي َحdengan anggapan bahwa kata tersebut adalah objek (maf’ul bih) dari kata kerja َ( َس َّخ َرناKami jinakkan) yang tidak disebutkan. Sedangkan Imam Abd al-Rahman al-A’raj membaca lafadz الريحdengan i’rab rafa’ ( )ال ِّريأحkarena menganggapnya sebagai mubtada’ (subjek). Kemudian beliau berkata: Adapun bacaan selain kedua bacaan itu tidak diperkenankan. 5. Komentar Penulis terhadap Tafsir Ibn Jarir At-Thabari Al-Thabari dalam penafsirannya selalu menyertakan riwayat beserta sanadsanadnya. Hanya saja, umumnya la tidak menyertakan penilaian shahih atau dla’if terhadap sanad-sanadnya itu, meski kadang-kadang la memposisikan diri sebagai seorang kritikus yang cermat. Alasan yang bisa membelanya adalah bahwa ia menuturkan sanadnya secara lengkap. Ini memudahkan peneliti terhadap hal-ihwal para periwayatnya dan memberikan penilaian. Karena itu kita harus mengkaji sanadnya agar kita bisa mengetahui yang shahih dari yang dha’if. Kitabnya, Jami' al Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, dinilai sebagai literatur penting dalam bidang tafsir bil ma’sur, bahkan dalam bidang tafsir bil ra'yi, karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari pendapat yang paling kuat, di samping
13
memuat istinbath dan wajah-wajah I’rab. karena itu, kitabnya merupakan kitab paling agung, paling shahih dan paling lengkap, karena memuat pendapat sahabat dan tabi'in. Para pengkaji menilainya bukunya itu tiada duanya di bidang tafsir.14 AI-Nawawi berkata, belum ada yang karya yang ditulis oleh orang yang semisal dengan kitab tafsir Ibn Jarir. Abu Hamid al-Isfarayini berkata: Bila seseorang melakukan perjalanan ke Cina untuk mendapatkan kitab Tafsir Ibn Jarir, maka perjalanan itu belum seberapa. Majlis Fatwa Riyadh, ketika ditanya kitab apa yang paling penting dan paling kompeten baik jaman sekarang maupun masa yang lalu? Jawabannya adalah Tafsir al-Tabary.15 Al-Imam Ibn Taimiyyah berkata, adapun kitab-kitab tafsir yang ada di tangan masyarakat, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad ibn Jarir al-Thabari. Kitab ini menuturukan pendapat-pendapat kaum Salaf dengan sanad-sanadnya, tidak memuat bid'ah dan tidak mengutip dari orang-orang yang tertuduh dusta. Dalam suatu kesempatan Muhammad Abduh mengomentari tafsir al-Tabari demikian: Kitab-kitab terpercaya di kalangan penunut ilmu, karena pengarangpengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan.16
14
Ibid, Yunus Hasan, Dirasat wa mabahits fi tarikh al tafsir wa manahij al mufassirin; H.96 Ahmad Ibn Abdurrajaq, Fatwa lajnah al daimah li al buhuts …. (Riyadh: Risalah idarah al buhust al ilmiyyah, 1996. 16 Ibid, Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an dalam Muhammad Yusuf, StudiKitab Tafsir…, H. 40. 15
14
Daftar Pustaka
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000. Ahmad Ibn Abdurrajaq, Fatwa lajnah al daimah li al buhuts …. Riyadh: Risalah idarah al buhust al ilmiyyah, 1996. Badrudin al-Zarkhasy, Al burhan fil ulumil Qur’an, Kairo; dar ihya’ al kutub al‘arabiyah, 4 jilid 1376 H/1975 M Brockelmann, Tarikh al-Adab al-Araby, Mesir, Dar-ma’arif, tt. Frzanz Rosenthal, The History of At-Thabari, Vol 1 ,New york; University Press, 1989. Subhi al-Shalih, Mabahis fi ulumil Qur’an, Beirut; Dar Al-ilm lil al-Malayin, Cet III, 1972. Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, Beirut: Mansyurat al Ashr al-Hadits, 1393H/1973M Muhammad Bakar Isma’il, Ibnu Jarir At-thabari wa manhajuhu fi tafsir, Kairo; dar al-manar,1991. Muhammad Arkoun, Rethinking Islam;Common Question Uncommon Answer, terj. Yudia W asmin dan lathifatul khuluk, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996, Ibnu Qadhy Syuhbah, Thabaqat al Syafi’iyyah, juz I: 8 CD Mausu’ah/ www.alwarraq.com Quraish Shihab, "Ibn Jarir al-Tabari: Guru Besar para Ahli Tafsir", dalam jurnal Ulumil Qur'an, Vol. I, No. I, 1989. Shidqy al ‘Athar, Muqaddimah Tafsir Ibn Jarir, Beirut: Darul Fikr, 1995. Yunus Hasan Abidu, Dirasat wa mabahits fi tarikh al tafsir wa manahij al mufassirin; terj. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan metode para mufassir,`Jakarta: Gaya Media, 2007.