JEMBATAN Wheatstone LM2 - 06 - R. Achmad Nafi' Firdausi - 205090801111026 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR (Jembatan Wheatstone)



(PERCOBAAN – LM2) Nama



: R. Achmad Nafi’ Firdausi



NIM



: 205090801111026



Fak/Jurusan



: MIPA/ Fisika



Kelompok



: 06



Tgl.Praktikum : 26 April 2021 Nama Asisten : Almas Bilqis Fisabila



LABORATORIUM FISIKA DASAR JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2021



LEMBAR PENILAIAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR (Jembatan Wheatstone)



Nama



: R. Achmad Nafi’ Firdausi



NIM



: 205090801111026



Fak/Jurusan



: MIPA/ Fisika



Kelompok



: 06



Tgl. Praktikum



: 26 April 2021



Nama Asisten



: Almas Bilqis Fisabila



Catatan : ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………



Paraf



Paraf



Nilai



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Tujuan Percobaan Tujuan dilakukannya praktikum jembatan wheatstone ini, dasar pengukuran hambatan listrik dengan metode arus nol dapat dijelaskan oleh peserta praktikum. Selain itu, nilai dari suatu hambatan listrik dengan penggunaan metode jembatan wheatstone juga dapat ditentukan oleh praktikan.



1.2



Dasar Teori Charles Wheatstone mengembangkan suatu prinsip yang dinamakan dengan jembatan wheatstone yang memiliki kegunaan untuk mengukur nilai hambatan yang belum diketahui dan sebagai alat untuk mengkalibrasi alat – alat pengukuran seperti amperemeter, voltmeter, dan lain – lain dengan memanfaatkan kawat geser resistif. Dalam pengukuran nilai hambatan, umumnya digunakan alat ohmmeter ataupun multimeter sebagai alat ukurnya. Namun, jembatan Wheatstone masih bisa digunakan untuk mengukur nilai hambatan yang sangat rendah dalam satuan miliohm (Setiyo, 2017). Jembatan Wheatstone dapat dimanfaatkan dalam pengukuran hambatan dalam skala menengah, yaitu di kisaran antara 1 Ω sampai dengan 1 M Ω. Jika hambatan skala tinggi dapat diukur dengan Megger tester. Sedangkan, hambatan skala rendah dapat diukur dengan miliohmmeter (Alexander & Sadiku, 2013).



Gambar 1.1 Jembatan Wheatstone (Schultz, 2016). Pada jembatan Wheatstone terdapat 4 buah resistor yang dirangkai seakan – akan membentuk sebuah berlian. Pada gambar 1.1, tegangan VT terhubung ke terminal A dan terminal B yang merupakan terminal masukan/input dari rangkaian. Kemudian



di tengah rangkaian terdapat sebuah alat yang sensitif untuk mengukur arus yang disebut dengan galvanometer (M1). Alat ini terhubung dengan terminal C dan terminal D yang merupakan terminal keluaran/output pada rangkaian (Schultz, 2016). Lantas, untuk mengetahui nilai hambatan yang tidak diketahui, R S diatur hingga M1 menunjukkan angka 0μA untuk arusnya. Jika tidak ada arus yang mengalir pada galvanometer, maka jembatan Wheatstone akan berada dalam kondisi seimbang. Selain itu, jika arus yang mengalir sama dengan nol maka nilai perbandingan antara RX dan RS akan sama dengan perbandingan antara lengan resistor R1 dan R2. Hal ini menyebabkan tegangan di antara titik C dan D akan bernilai 0 V. Dalam keadaan seimbang, persamaan tegangannya dapat dinyatakan dengan penurunan rumus sebagai berikut (Schultz, 2016): I 1 R X I 2 R1 = I 1 R S I 2 R2



(1.1)



Karena nilai I1 dan I2 adalah sama, maka dapat dihilangkan, sehingga (Schultz, 2016): R X R1 = R S R2



(1.2)



Dimana RX adalah hambatan yang tidak diketahui, maka persamaan akhirnya adalah (Schultz, 2016): R X =R S ×



R1 R2



(1.3)



Bagaimana menentukan kuat arus yang mengalir pada galvanometer jika jembatan Wheatstone berada dalam keadaan tidak seimbang? Penyelesaiannya dapat dengan menentukan tegangan dan hambatan theveninnya (VTh dan RTh). Apabila hambatan pada galvanometer dilambangkan dengan Rm, maka persamaan matematis untuk menentukan arus dalam keadaan tidak seimbang dapat dinyatakan sebagai berikut (Alexander & Sadiku, 2013): I=



V Tℎ R Tℎ + Rm



(1.4)



Rangkaian jembatan Wheatstone yang seimbang memiliki beberapa aplikasi elektronika, seperti pada pengukuran perubahan intensitas cahaya, ketegangan,



ataupun tekanan. Terdapat beberapa macam sensor resistif yang bisa dipasangkan dengan rangkaian jembatan Wheatstone, di antaranya: sensor posisional, sensor fotoresistif (LDR), sensor piezoresistif (untuk mengukur regangan), dan sensor suhu (thermistor) (Setiyo, 2017). Photocell Kadmium Sulfida (CdS) yang memiliki nama lain LDR merupakan sebuah sensor resistif yang pasif yang dapat mengubah perubahan intensitas cahaya menjadi perubahan hambatan. LDR memiliki kegunaan untuk memantau dan mengukur intensitas cahaya. Berikut ini adalah gambar LDR jika dihubungkan dengan rangkaian jembatan Wheatstone (Setiyo, 2017).



Gambar 1.2 Aplikasi jembatan Wheatstone pada LDR (Setiyo, 2017).



BAB II METODOLOGI 2.1



Alat dan Bahan Alat – alat yang digunakan pada praktikum kali ini antara lain, galvanometer, power supply, papan hambatan, kabel penghubung, bangku jembatan wheatstone, beberapa buah hambatan yang akan ditentukan nilainya (RX), dan sebuah hambatan standar yang diketahui nilainya (RS).



2.2



Tata Laksana Percobaan Rangkaian disusun sesuai dengan gambar yang ada di diktat.



Power supply dinyalakan dan diatur.



Kontak K ditempelkan pada kawat bangku jembatan wheatstone dan digeser dari titik 0 cm sampai dengan titik tertentu hingga jarum galvanometer berada di angka nol.



Nilai RS, L1, dan L2 dicatat. Dimana L1 adalah panjang dari titik nol hingga titik dimana kontak K berfungsi. Sedangkan L2 adalah panjang jembatan wheatstone yang dikurang dengan panjang L1.



Setelah diperoleh data dari RS1, kemudian diubah ke hambatan standar RS2 dan panjang L1 dan L2 nya dicari kembali.



Setelah diperoleh data – data dari RX1 dengan polaritas A, power supply dimatikan dan kutub sumber tegangan ditukar untuk penentuan polaritas B.



Power supply dinyalakan kembali dan langkah – langkah sebelumnya diulangi dengan cara yang sama.



Setelah data dari RX1 polaritas A dan B sudah diperoleh, data – data pada RX2 dan RX3 dicari dengan langkah – langkah yang sama.



BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN



3.1



Data Hasil Percobaan



3.1.1



RX1



No



Rs(kΩ)



1 2 3 4 5



0,47 1 1,5 2 3,2



3.1.2



Rs(kΩ)



1 2 3 4 5



0,47 1 1,5 2 3,2



Rs(kΩ)



1 2 3 4 5



0.47 1 1.5 2 3.2



3.2



Perhitungan



3.2.1



RX1



1



Polaritas A L1(m) L2(m) 0,26 0,74 0,4 0,6 0,5 0,5 0,575 0,425 0,695 0,305



Polaritas B L1(m) L2(m) 0,23 0,77 0,39 0,61 0,5 0,5 0,57 0,43 0,72 0,28



Polaritas A L1(m) L2(m) 0,18 0,82 0,33 0,67 0,43 0,57 0,5 0,5 0,575 0,425



Polaritas B L1(m) L2(m) 0,18 0,82 0,33 0,67 0,43 0,57 0,5 0,5 0,62 0,38



RX3



No



No



Polaritas B L1(m) L2(m) 0,31 0,69 0,5 0,5 0,605 0,395 0,67 0,33 0,77 0,23



RX2



No



3.1.3



Polaritas A L1(m) L2(m) 0,31 0,69 0,5 0,5 0,605 0,395 0,67 0,33 0,78 0,22



Polaritas A Polaritas B 2 2       R X (k Ω) R X (k Ω) |R X −  R´ X| |R X − R´ X| 1,0461290 0,004033229 1,04612903 0,00374096



2 3 4 5



3 1 0,9793388 4 0,9850746 3 0,9025641



0,000302018



1



0,00022603



1,07747E-05 0,97933884 3,1661E-05 6,01871E-06 0,98507463 1,1877E-08 0,006409158 0,91428571 0,00499565



3.2.1.1 Polaritas A R x1 =R s 1 ×



L2 0,69 =0,47 × =1,04612903 Ω L1 0,31



R x2 =R s 2 ×



R x3 =Rs 3 ×



R´ x =



L2 0,5 =1 × =1 Ω L1 0,5



L2 0,395 =1,5 × =0,97933884 Ω L1 0,605



R x 4=R s 4 ×



L2 0,33 =2 × =0,98507463 Ω L1 0,67



R x5 =Rs 5 ×



L2 0,22 =3,2 × =0,9025641 Ω L1 0,78



∑ R x 1 4,9131066 = =0,98262 Ω n 5



δ R x=







Kr R x =



2



´| ∑ |Rx − Rx = n −1







0 , 01076 =0,05187 Ω 5 −1



δ Rx 0,05187 ×100 %= × 100 %=5,28 % ´ 0,98262 Rx



R x = R´ x ± δ R x =0,98262± 0,05187 Ω 3.2.1.2 Polaritas B R x1 =R s 1 ×



L2 0,69 =0,47 × =1,04612903 Ω L1 0,31



R x2 =R s 2 ×



L2 0,5 =1 × =1 Ω L1 0,5



R x3 =Rs 3 ×



R´ x =



L2 0,395 =1,5 × =0,97933884 Ω L1 0,605



R x 4=R s 4 ×



L2 0,33 =2 × =0,98507463 Ω L1 0,67



R x5 =Rs 5 ×



L2 0,22 =3,2 × =0,9025641 Ω L1 0,77



∑ R x 1 4,9131066 = =0,98496564 Ω n 5



δ R x=







Kr R x =



2



´| ∑ |Rx − Rx = n −1







0 , 01076 =0,04742 Ω 5 −1



δ Rx 0,05187 ×100 %= × 100 %=4,81 % ´ 0,98262 Rx



R x = R´ x ± δ R x =0,98496564 ± 0,04742 Ω 3.2.2



No 1 2 3 4 5



RX2 Polaritas A 2   R X (k Ω) |R X −  R´ X| 1,3377 0,042619338 1,5 1,07071891 1,5 0,099379105 1,4782608 7 0,086145412 1,4043165 5 0,048207061



Polaritas B 2   Ω) R X (k |R X −  R´ X| 1,57347826 0,00908568 1,56410256 0,00738622 1,5 0,00047701 1,50877193 0,00093712 1,24444444



0,0546227



3.2.2.1 Polaritas A R x1 =R s 1 ×



L2 0,74 =0,47 × =1,3377 Ω L1 0,26



R x2 =R s 2 ×



R x3 =Rs 3 ×



R x 4=R s 4 ×



L2 0,6 =1 × =1,5 Ω L1 0,4



L2 0,5 =1,5 × =1,5 Ω L1 0,5



L2 0,425 =2 × =1,47826087 Ω L1 0,575



L2 0,305 =3,2 × =1,40431655 Ω L1 0,695



R x5 =Rs 5 ×



R´ x =



∑ R x 7,22027 = =1,44405 Ω n 5



δ R x=







Kr R x =



2



´| ∑ |Rx − Rx = n −1







0 , 020321 =0,07128 Ω 5 −1



δ Rx 0,58032 ×100 %= ×100 %=4,93 % ´ 1,18475 Rx



R x = R´ x ± δ R x =1,44405± 0,07128 Ω 3.2.2.2 Polaritas B R x1 =R s 1 ×



L2 0,77 =0,47 × =1,57347826 Ω L1 0,23



R x2 =R s 2 ×



L2 0,61 =1 × =1,56410256 Ω L1 0,39



R x3 =Rs 3 ×



R x 4=R s 4 ×



R x5 =Rs 5 ×



R´ x =



L2 0,5 =1,5 × =1,5 Ω L1 0,5



L2 0,43 =2 × =1,50877193 Ω L1 0,57



L2 0,28 =3,2 × =1,24444444 Ω L1 0,72



∑ R x 7,3907972 = =1,47816 Ω n 5



δ R x=







Kr R x =



2



´| ∑ |Rx − Rx = n −1



δ Rx 0,13464 ×100 %= × 100 %=9,11 % 1,47816 R´ x



R x = R´ x ± δ R x =1,47816± 0,13464 Ω 3.2.3



RX3







0 , 072508 =0,13464 Ω 5 −1



No 1 2 3 4 5



Polaritas A 2   R X (k Ω) |R X −  R´ X| 2,1411111 1 0,00130396 2,0303030 3 0,005579746 1,9883720 9 0,013602238 2 0,011025152 2,3652173 9 0,067712713



Polaritas B 2   R X (k Ω) |R X −  R´ X| 2,14111111 0,01366463 2,03030303



3,706E-05



1,98837209 0,00128474 2 0,00058638 1,96129032 0,00395955



3.2.3.1 Polaritas A R x1 =R s 1 ×



L2 0,82 =0,47 × =2,14111111 Ω L1 0,18



R x2 =R s 2 ×



R x3 =Rs 3 ×



L2 0,67 =1 × =2,03030303 Ω L1 0,33



L2 0,57 =1,5 × =1,98837209 Ω L1 0,43



R x 4=R s 4 ×



R x5 =Rs 5 ×



R´ x =



L2 0,5 =2 × =2 Ω L1 0,5



L2 0,425 =3,2 × =2,36521739 Ω L1 0,575



∑ R x 10,525 = =2,105 Ω n 5



δ R x=







Kr R x =



2



´| ∑ |Rx − Rx = n −1







0 , 099223 =0,1575 Ω 5 −1



δ Rx 0,1575 ×100 %= ×100 %=7,48 % ´ 2,105 Rx



R x = R´ x ± δ R x =2,105± 0,1575 Ω 3.2.3.2 Polaritas B R x1 =R s 1 ×



L2 0,82 =0,47 × =2,14111111 Ω L1 0,18



R x2 =R s 2 ×



R x3 =Rs 3 ×



L2 0,67 =1 × =2,03030303 Ω L1 0,33



L2 0,57 =1,5 × =1,98837209 Ω L1 0,43



R x 4=R s 4 ×



R x5 =Rs 5 ×



R´ x =



L2 0,5 =2 × =2 Ω L1 0,5



L2 0,38 =3,2 × =1,96129032 Ω L1 0,62



∑ R x 10,121 = =2,024 Ω n 5



δ R x=







Kr R x =



Grafik



3.3.1



RX1 Polaritas A



n −1







0 , 01953 =0,06988 Ω 5 −1



δ Rx 0,06988 ×100 %= ×100 %=3,45 % ´ 2,024 Rx



R x = R´ x ± δ R x =2,024 ± 0,06988 Ω



3.3



2



´| ∑ |Rx − Rx =



L2 / L 1 1/ RS Gambar 3.1 Grafik RX1 Polaritas A.   2,1276 6 1 0,6666 7 0,5 0,3125



3.3.2



  2,22580645



RX=



y 2 − y1 1,9 −0,8 = =1,358 Ω x 2 − x 1 1,6 −0,79



Kr=



yb − ya 1,22 −0,8 ×100 %= ×100 %=19,54 % 2 ´y 2 ×0,9306



1 0,65289256 0,49253731 0,28205128



RX1 Polaritas B



1/LR 2 /SL1 Gambar 3.2 Grafik RX1 Polaritas B.   2,1276 6 1 0,6666 7 0,5 0,3125



3.3.3



  2,22580645 1 0,65289256 0,49253731 0,28571429



RX2 Polaritas A



RX=



y 2 − y1 1,9 −0,8 = =1,358 Ω x 2 − x 1 1,6 −0,79



Kr=



yb − ya 1,22 −0,8 ×100 %= ×100 %=19,56 % ´ 2y 2 ×0,9314



1/LR2 /S L1 Gambar 3.3 Grafik RX2 Polaritas A.   2,1276 6 1 0,6666 7 0,5 0,3125



  2,84615385 1,5 1 0,73913043 0,43884892



RX=



y 2 − y1 1,5 −1,15 = =1,2069 Ω x 2 − x 1 1,1− 0,81



Kr=



yb − ya 1,55 −0,96 ×100 %= ×100 %=38,5 % 2 ´y 2 ×1,305



3.3.4



RX2 Polaritas B



1/ L2R/ L S 1 Gambar 3.4 Grafik RX2 Polaritas B.   2,1276 6 1 0,6666 7 0,5 0,3125



3.3.5



  3,34782609 1,56410256 1 0,75438596 0,38888889



RX3 Polaritas A



RX=



y 2 − y1 1,5 −1,3 = =1,66667 Ω x2 − x1 1− 0,8



Kr=



yb − ya 1,58 −1,2 ×100 %= × 100 %=26,81% 2 ´y 2 ×1,411



1/ L2R/ L S1



  2,1276 6 1 0,6666 7 0,5 0,3125



Gambar 3.5 Grafik RX3 Polaritas A.   4,55555556 2,03030303 1,3255814 1 0,73913043



RX=



y 2 − y1 2,08 −1,82 = =2,16667 Ω x2 − x1 1− 0,88



Kr=



yb − ya 2,12 −1,64 ×100 %= ×100 %=46,32 % 2 ´y 2 ×1,93



3.3.6 RX3 Polaritas B



1/ L2R/ SL1 Gambar 3.6 Grafik RX3 Polaritas B.   2,1276 6 1 0,6666 7 0,5 0,3125



  4,55555556 2,03030303 1,3255814 1 0,61290323



RX=



y 2 − y1 2,08 −1,82 = =2,16667 Ω x2 − x1 1− 0,88



Kr=



yb − ya 2,12 −1,64 ×100 %= ×100 %=45,71 % 2 ´y 2 ×1,905



3.4 Pembahasan



3.4.1



Analisis Prosedur Setiap alat yang digunakan tentunya terdapat fungsi dan kegunaannya masing – masing. Alat – alat yang digunakan pada praktikum kali ini antara lain, galvanometer, power supply, papan hambatan, kabel penghubung, bangku jembatan wheatstone, beberapa buah hambatan yang akan ditentukan nilainya (R X), dan sebuah hambatan standar yang diketahui nilainya (RS). Galvanometer berfungsi sebagai pendeteksi dan pengukur arus skala kecil pada rangkaian jembatan wheatstone. Power supply digunakan sebagai sumber energi berupa tegangan dan arus pada rangkaian. Papan hambatan berfungsi sebagai media atau tempat disusunnya hambatan-hambatan standar dan hambatan yang akan dicari nilainya. Kabel penghubung digunakan sebagai perantara atau penghubung antar peralatan praktikum. Lalu, bangku jembatan wheatstone yang berfungsi sebagai media untuk digeser – gesernya kontak geser agar didapatkan nilai L1 dan L2. Serta beberapa buah hambatan standar (RS) dan hambatan yang dicari nilainya (RX) yang berfungsi sebagai variabel bebas dan variabel yang dicari nilainya. Tiap langkah – langkah yang dilakukan tentu terdapat maksud dan tujuannya masing – masing. Langkah pertama yaitu, Rangkaian disusun sesuai dengan gambar yang ada di diktat supaya praktikum dapat dilaksanakan dengan benar. Lalu, power supply dinyalakan dan diatur agar rangkaian dapat teraliri tegangan dan arus listrik. Kemudian, kontak K ditempelkan pada kawat bangku jembatan wheatstone dan digeser dari titik 0 cm sampai dengan titik tertentu hingga jarum galvanometer berada di angka nol supaya angka nol dapat ditunjukkan oleh galvanometer, dimana keadaan ini adalah keadaan jembatan wheatstone yang seimbang. Setelah itu, nilai RS, L1, dan L2 dicatat. Dimana L1 adalah panjang dari titik nol hingga titik dimana kontak K berfungsi. Sedangkan L2 adalah panjang jembatan wheatstone yang dikurang dengan panjang L1. Hal ini dilakukan supaya data – data yang diperlukan dalam analisis perhitungan dapat diperoleh. Setelah diperoleh data dari RS1, kemudian diubah ke hambatan standar RS2 dan panjang L1 dan L2 nya dicari kembali agar diperoleh variasi data dengan diubah-ubahnya hambatan standar. Setelah diperoleh data – data dari RX1 dengan polaritas A, power supply dimatikan dan kutub sumber tegangan ditukar untuk penentuan polaritas B agar diperoleh variasi data dan hasil perhitungan ketika berbeda kutub dapat diketahui. Power supply dinyalakan kembali dan langkah – langkah sebelumnya diulangi dengan cara yang sama. Setelah data dari RX1 polaritas A dan B sudah diperoleh, data – data pada RX2 dan RX3 dicari dengan langkah – langkah yang



sama. Kedua hal ini dilakukan supaya nilai hambatan – hambatan yang dicari dapat diketahui dengan benar karena sesuai dengan petunjuk praktikum. 3.4.2



Analisis Hasil Pada praktikum kali ini, diperoleh data-data yang bervariasi dan beberapa grafik yang dapat dianalisis. Dapat diamati bahwa, R X1 memiliki nilai rata-rata RX terkecil dan RX3 memiliki nilai rata-rata RX terbesar. Faktor utamanya adalah terletak pada panjang L2 dan L1, dimana kedua variabel ini terlibat dalam perhitungan RX, yaitu perbandingan antara L2 dengan L1. Dapat dipastikan bahwa, data-data ini sesuai dengan literatur atau teori yang ada. Karena menurut teori jembatan wheatstone, nilai suatu hambatan yang dicari (RX) akan berbanding lurus dengan panjang L2, hambatan standar (RS), dan berbanding terbalik dengan panjang L1. Selain itu, persentase Kr yang diperoleh dari percobaan RX1 hingga RX3 baik itu polaritas A maupun polaritas B masih terhitung kecil dan cukup teliti dikarenakan tidak ada yang melebihi 10%. Hal ini disebabkan oleh minimnya kesalahan pengukuran baik itu human error maupun kesalahan pada instrumen/alat ukur. Di lain sisi, dari praktikum ini telah diperoleh 6 buah grafik yang membandingkan antara 1/RS dengan L2/L1. Dari ke-6 grafik tersebut, bentuk dan polanya sama, yaitu naik secara konstan. Selain itu, semuanya memiliki selisih perbedaan nilai yang signifikan pada sumbu x dari data pengukuran pertama ke pengukuran kedua. Dimana, selisihnya lebih dari 1 satuan hambatan, sedangkan selisih antar data nilainya hanya berada di kisaran nol koma. Jadi, grafik – grafik ini sudah sesuai dengan literatur/teori yang berlaku. Hanya saja, persentase Kr yang didapatkan sangat berbeda dengan Kr pada analisis perhitungan. Nilai terkecil terdapat pada R X1 polaritas A dan polaritas B dengan kisaran 19%. Persentase Kr dengan metode grafik, nilainya jauh lebih besar yang berarti terdapat kesalahan pengukuran ataupun perhitungan yang cukup fatal. Baik itu human error ataupun error pada alat ukur. Terlebih, analisis dengan metode grafik ini benar-benar mengandalkan kemampuan visual dari pengamat/praktikan, sehingga hasil akhir grafik pada tiap pengamat tentunya tidak akan sama. Hal inilah yang membuat metode grafik merupakan metode yang tidak pasti untuk digunakan dalam analisis. Setelah melakukan analisis praktikum, dapat diamati bahwa terdapat sedikit perbedaan antara hasil pengukuran pada polaritas A dengan polaritas B. Pada R X1 dan RX3, memiliki nilai RX yang sama persis pada 4 kali pengukuran dari 5 pengukuran. Perbedaan dari kedua jenis RX ini sama – sama terdapat pada percobaan ke-5.



Meskipun begitu, selisih nilai dari kedua polaritas tersebut tidak terlalu signifikan, terutama pada RX1 dengan nilai 0,9826 Ω pada polaritas A dan 0,9849 Ω pada polaritas B. Sedangkan di sisi lain, RX2 memiliki nilai polaritas A dan polaritas B yang hampir semuanya berbeda-beda satu sama lainnya, kecuali pada pengukuran ketiga yang sama-sama memiliki nilai 1,5 Ω. Perbedaan nilai – nilai ini tentunya disebabkan oleh panjang L2 dan L1 yang sudah diukur karena variabel hambatan standar (RS) selalu sama nilainya. Terdapat beberapa hukum-hukum fisika yang lain yang memiliki keterkaitan dengan topik jembatan wheatstone ini. Di antaranya, yaitu hukum Ohm, hukum Kirchoff I, dan hukum Kirchoff II. Hukum Ohm menyatakan bahwa, jika terdapat suatu arus listrik yang melewati suatu penghantar, maka kuat arus tersebut berbanding lurus dengan tegangan listriknya dan berbanding terbalik dengan hambatannya. Hubungannya yaitu, kuat arus yang mengalir pada galvanometer dipengaruhi oleh hambatan-hambatan yang ada di sekitar galvanometer tersebut, sehingga arus pada galvanometer dapat menunjukkan angka nol apabila nilai dari hambatan standar (R S) dan hambatan yang dicari (RX) diubah-ubah yang menyebabkan tegangan di antara kaki-kaki galvanometer bernilai sama. Lalu, pada hukum Kirchoff I dinyatakan bahwa, nilai arus yang masuk ke rangkaian akan sama dengan nilai arus yang keluar. Hubungannya yaitu, ketika nilai arus pada kedua ujung galvanometer bernilai sama, maka jembatan wheatstone akan berada dalam kondisi seimbang dan arus pada kedua ujung tersebut akan saling menghilangkan. Kemudian pada hukum Kirchoff II dinyatakan bahwa, total perubahan tegangan yang mengelilingi rangkaian tertentu akan bernilai nol/tidak ada energi listrik yang hilang pada rangkaian tersebut. Kelebihan dari topik jembatan wheatstone ini adalah perubahan nilai hambatan pada suatu penghantar dapat dengan mudah untuk diukur dan dideteksi, walaupun perubahannya kecil sekalipun. Selain itu, jembatan wheatstone memiliki tingkat ketelitian yang tinggi dalam pengukurannya. Sayangnya, topik ini juga memiliki kekurangan, yaitu kurang praktis untuk digunakan dalam pengukuran hambatan jika dibandingkan dengan alat ukur ohmmeter maupun multimeter yang lebih mudah untuk digunakan.



BAB IV PENUTUP



4.1



Kesimpulan



Setelah melaksanakan praktikum Jembatan wheatstone ini diharapkan dasar pe ngukuran pada hambatan listrik dengan metode arus nol dapat dijelaskan dan nilai pad a suatu hambatan listrik dengan digunakannya metode jembatan Wheatstone dapat dite ntukan oleh praktikan. Dapat pula ditentukannya nilai hasil koefisien pada nilai resista nsi yang telah didapatkan pada hasil perhitungan. Berdasarkan pada perhitungan terseb ut didapatkan nilai rata-rata RX1, RX2, dan RX3 dengan polaritas A dan B namun nilai ha sil yang didapatkan itu berbeda-beda tiap polaritas dikarenakan bedanya panjang pada saat pengukuran di kawat homogen. Berdasarkan pada grafik nilai rata-rata yang didap atkan berbeda dengan perhitungan. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya ketelitian pa da saat pembuatan grafik. 4.2



Saran Karena kondisi pandemi saat ini, tentunya tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan praktikum secara luring/offline. Sehingga terpaksa harus dilaksanakan secara daring. Sayangnya, terkadang ditemukan beberapa kekurangan pada video praktikum. Seperti cara pengambilan gambarnya yang masih kurang baik, sehingga alat praktikum yang disorot tidak terlalu jelas. Tentunya hal ini, dapat membuat praktikan merasa kurang paham ataupun kurang jelas. Diharapkan untuk ke depannya, kualitas video praktikum dapat ditingkatkan lagi dari segala aspeknya.



DAFTAR PUSTAKA



Alexander, C. K. & Sadiku, M. N. O. 2013. Fundamentals of Electric Circuits. Fifth Edition. New York: McGraw-Hill Schultz, M. E. 2016. Grob’s Basic Electronics. Twelfth Edition. New York: McGraw-Hill Education Setiyo, M. 2017. Listrik & Elektronika Dasar Otomotif (Basic Automotive Electricity & Electronics). Edisi Pertama. Magelang: UNIMMA PRESS



LAMPIRAN



Screenshot Dasar Teori



(Schultz, 2016).



(Schultz, 2016).



(Alexander & Sadiku, 2013).



(Setiyo, 2017).



(Setiyo, 2017).



Data Hasil Percobaan



Posttest



Tugas Pendahuluan 1.



Turunkan persamaan (1) dan (3)! *Penurunan rumus 1:



Gambar jembatan wheatstone Anggap saja R3 = RS yang merupakan hambatan standar. Misalkan tidak ada arus yang mengalir pada galvanometer, maka V bd = 0, sehingga menyebabkan Vab=Vad dan Vbc=Vcd. Karena arus pada galvanometer = 0, maka I1=I3 dan I2=I4. Jika dijabarkan menjadi: V ab=V ad I 1 R1=I 2 R 2



V bc =V dc ... (i)



I 3 R S=I 4 R X



... (ii)



Persamaan (i) dibagi oleh persamaan (ii): I 1 R1 I 2 R 2 = I 3 RS I 4 R X R1 R 2 = RS RX R1 R X =R 2 R S R X =R S



R2 R1



*Penurunan rumus (3):



Gambar Rangkaian pengukuran resistor dengan kawat. Anggap R1 = RS Dengan menggunakan prinsip jembatan wheatstone, gunakan persamaan: R X R segmen 2kawat =R S Rsegmen 1 kawat



RX=



R k 2 R1 Rk1



ρ L2 A ¿ R ρ L1 S A R X =R S



L2 L1



2. Apa yang dimaksud dengan kawat homogen? Kawat homogen merupakan kawat yang terbuat dari suatu bahan dan bahan tersebut tersebar secara merata di seluruh bagian kawat. Dengan kata lain, kawat homogen adalah kawat yang terdiri dari satu jenis bahan murni tanpa ada campuran dari bahan yang lain. 3. Berikan contoh beberapa kegunaan dari prinsip jembatan Wheatstone. Terdapat beberapa kegunaan dari prinsip jembatan wheatstone, yaitu untuk menentukan nilai hambatan yang belum diketahui, dimanfaatkan dalam pengujian hambatan rendah, untuk mengukur dan memperkuat perubahan kecil pada tahanan (RX) seperti perubahan intensitas cahaya dengan menghubungkannya dengan amplifier operasional. Selain itu, jembatan wheatstone juga dimanfaatkan pada alat earth tester, yaitu suatu alat ukur yang digunakan untuk mengukur resistor tahanan untuk mengukur resistansi pentahanan instalasi penangkal petir ataupun pada instalasi listrik.