Jurnal Hukum Administrasi Negara [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEDUDUKAN SURAT KEPUTUSAN BERSAMA (SKB) DALAM PRESPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Oleh: Darmawan



Abstrak Penelitian ini meneliti tentang Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarkan oleh lembaga tinggi negara dalam konteks kajian Hukum Administrasi Negara, Penelitian ini merupakan penelitian Normatif dengan pendekatan PerundangUndangan (Statue approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa Surat Keputusan Bersama itu pada dasarnya adalah peraturan kebijakan, yaitu peraturan yang dibuat atas dasar diskresi atau Ermessen. Pengujian Surat Keputusan Bersama merupakan kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 dan PERMA No. 2 Tahun 2019. A. Pendahuluan Dalam beberapa dekade terakhir sering dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh para menteri yang tergabung dalam kabinet Indonesia Maju, ini merupakan sesuatu yang baru dalam konteks hukum kenegaraan di Indonesia sejak era reformasi ada beberapa Surat Keputusan Bersama yang menuai kontroversi seperti Surat Keputusan Bersama tiga menteri dan tiga pimpinan lembaga tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kebiatan Front Pembela Islam (FPI).1 Surat keputusan bersama itu diteken oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi



1



Lihat SKB Menteri Dalam Negeri No. 220-4780 Tahun 2020, Menteru Hukum dan HAM No. M.HH-14.HH.05.05 Tahun 2020, Menteri Komunikasi dan Inforrmatika No. 690 Tahun 2020, Jaksa Agung No. 264 Tahun 2020, Kepala Kepolisian No. KB/3/XII/2020 dan Kepala BNPT No. 320/2020.



Manusia, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BNPT, Pada 30 Desmber 2020. Sebelum itu juga ada Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 128/6597/SJ, No. 15 Tahun 2018, No. 153/KEP/2018 tentang Penegakan Hukum Terhadap Pegawai Negeri Sipil Yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan Atau Tindak Pidana Kejahatan Yang Ada Hubungannya Dengan Jabatan (selanjutnya ditulis SKB 3 Menteri) disahkan pada 13 September 2018.2 Keluarnya Surat Keputusan Bersama tersebut, memunculkan beragam reaksi terhadap pemberlakuanya. Ada yang menganggap Surat Keputusan Bersama melanggar hak asasi manusia, ada yang menilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dan ada pula ada yang menduga mengandung unsur sewenangwenangan (willekeur). Para pihak yang menjadi objek dari Surat Keputusan



2



Ridwan, “Eksistensi dan Keabsahan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Tentang Penjatuhan Sanksi Terhadap Pegawai Negeri Sipil”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 28, Issue 1, Januari 2021, 2.



Bersama tersebut, ramai-ramai mengajukam gugatan ke PTUN dan judicial



review ke Mahkamah Agung.3 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka ditemukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Kedudukan Hukum (Reachpositie) dari Surat Keputusan Bersama? 2. Bagaimana Keabsahan dan Mekanisme Pengajuan Surat Keputusan Bersama Sebagai Instrumen Hukum Administrasi Negara? C. Metode Penelitian Jenis Penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian yang yang dengan memaparkan secara terperinci, jelas, dan lengkap serta sistematis mengenai berbagai aspek norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan.4 Sedangkan objek kajian dari penelitian hukum normatif merupakan bentuk penelitian yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Maka berikut ini akan dibahas mengenai data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, teknis pengolahan data, dan teknis analisis data.5



3



Ibid., 3. Abdul Khadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Adtya, 2004), 101. 5 Amirudin, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 119. 4



Surat Keputusan Bersama ini akan dianalisis secara normatif, yaitu dengan menggunakan norma hukum administrasi negara. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Muatan Surat Keputusan Bersama Dalam tatanan konseptual, kebijakan yang kemudian dituangkan secara tertulis oleh pejabat yang berwenang dibedakan menjadi dua, yaitu peraturan (regeling) dan keputusan (beschiking). Peraturan merupakan rambu tertulis yang dibuat lembaga negara, berlaku umum diseluruh wilayah negara, dan waktu tidak tertentu. Sementara keputusan merupakan bentuk kebijakan yang tertulis, sifatnya personal (individu) dan final. Biasanya juga bersifat einmaalig (sekali pakai).6 Dalam tatanan normatif, jika ada pihak yang merasakan ketidakadilan atas produk hukum itu, harus mengacu pada kompetensi peradilan. Keputusan berada pada ranah Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan untuk peraturan ranahnya adalah judicial review oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ihwal surat Keputusan Bersama, kedudukanya sebagai dasar hukum populer ketika tata urutan peraturan perundang-undangan diatur oleh Tap No. XX/MPRS/1966 yang memorandum DPR Gotong Royong tentang Sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan



Suherman Toha, Eksistensi Surat Keputusan Bersama dalam Penyelesaian Konflik Antar dan Inren Agama, Laporan Akhir Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian 6



Hukum dan HAM, 2011, 4.



Republik Indonesia. Legal reasoninya adalah ketika subtansinya akan dituangkan dalam bentuk keputusan presiden (keppres) terlalu luas, tetapi jika hanya diatur berdasarkan satu keputusan menteri, terlalu sempit karena sifatnya interdepartemental.7 Yang jelas Selama puluhan tahun sejak 1966, Surat Keputusan Bersama menjadi dasar yang populer untuk mengatasi permasalahan, khususnya dalam penegakan hukum yang bersifat lintas sektoral. Dari segi tata hukum nasional tentunya eksistensi Surat Keputusan Bersama harus dilihat dari aturan hukum tentang tata urutan perundang-undanngan. Era TAP MPR No. XX sudah lewat karena dicabut oleh Tap No. III/TAP MPR/2000 dan dicabut pula oleh Tap No. I/TAP MPR/2003 yang mengamanatkan dituangkanya tata urutan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang. Undang-Undang dimaksud telah dibuat yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Di dalam produk yang mengikat umum itu, tidak ada lagi yang namanya keputusan.8 Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, Bab XII ketentuan Penutup Pasal 56 menyebutkan, bahwa: Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau pejabat



Soekanto, Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi Perkembangan Hukum, Proyek Bank Dunia (Jakatarta: Cyberconsult, 1999), 35. 7 8



Ridwan, “Eksistensi dan Keabsahan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Tentang Penjatuhan Sanksi Terhadap Pegawai Negeri Sipil”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 28, Issue 1, Januari 2021, 4.



lainya sebagainya dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku, harus dibaca pengaturan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Hal ini dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan asas lex



posterior derogat legi inferiory, maksudnya undang-undang yang berlaku kemudian mengesampingkan undang-undang yang berlaku terlebih dahulu. Konsekuensinya istilah Surat Keputusan Bersama tidak dapat digunakan lagi, namun istilah yang tepat adalah peraturan menteri. Terlepas dari apakah peraturan itu dikeluarkan sendiri-sendiri oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, atau secara bersama-sama, semuanya tergantung kepada kebutuhan materi yang ingin diatur. Istilah keputusan, dengan berlakunya UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004, hanya digunakan untuk sebuah penetapan, sperti pengangkatan dan pemberhentian seorang dalam jabatan, bukan sesuatu yang berdi norma yang bersifat mengatur.9 Surat keputusan bersama yang sudah diterbutkan nampaknya akan terus menuai konteroversi. Pro dan kontra masih akan terus berlanjut. Pemerintah sendiri mempersilahkan mereka yag menolak Surat Keputusan Bersama untuk memperkarakanya di Mahkamah Konstitusi. Padahal tugas dan kewenangan mahkah tidak dapat mengadili sebuah surat keputusan



Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: RT. Raja Grafindo Persada , 2010), 25. 9



bersamaa yang diterbitkan oleh pejabat tinggi negara. Sepanjang ia tidak menimbulkan sengketa kewenangan. Surat keputusan bersama itu bukan pula objek semgketa tata usah negara yang dapat dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena sifatnya bukanlah keputusan pejabat tata usaha negara yang ersifat individual, konkrit dan final. Kalau mau dibawa ke Mahkamah Agung, boleh saja untuk menguji apakah Surat Keputusan Bersama itu isnya bercorak pengaturan bertentangan atau tidak dengan undang-undang. Surat Keputusan Bersama adalah kebijakan (beleid) Pemerintah, yang oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung, dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diadili. 2. Kedudukan Hukum (rechtpositie) dari Surat Keputusan Bersama Di suatu negara hukum, pada dasarnya setiap tindakan atau keterlibatan pemerintah dalam kehidupan warga negara harus berdasarkan pada



asas



legalitas.



Asas



tersebut



mengandung



maksud



bahwa



penyelengaraan pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang bersumber pada undang-undang.10 Tindakan pemerintahan yang berdasarkan asas legalitas ini oleh karenanya berkonsekuensi pada tindakan tersebut sah (wetmatigheid van



bestuur). Setiap tindakan kekuasaan pemerintah, menurut Sir William Wade, yaitu setiap tindakan yang memengaruhi hak, kewajiban atau kebebasan



Jimlly Asshidiqqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), 19. 10



setiap orang, harus ditunjukkan dasar hukumnya secara tegas.11 Hanya saja, apabila mendasarkan setiap tindakan pemerintahan pada peraturan perundang-undangan juga bukan tanpa masalah. Hal ini karena, menurut Bagir Manan, adanya cacat bawaan (natural



defect) dan cacat buatan (artificial defect) dari peraturan perundangundangan sebagai suatu bentuk hukum tertulis. Sebagai ketentuan tertulis (written rule) atau hukum tertulis (written law) peraturan perundangundangan mempunyai jangkauan yang terbatas-sekadar moment opname dari unsur-unsur politik, ekonomi, sosial, budaya yang paling berpengaruh pada saat pembentukan, karena itu mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat atau dipercepat.12 Peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan dasar tindakan pemerintah dalam kondisi tertentu dapat saja belum tersedia atau memang tidak ada (leemten in het recht). Di sisi lain, dimungkinkan telah ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan hukum (rechtshandelingen) tetapi memuat norma yang samar (vage norm) atau norma terbuka (open texture), dan dimungkinkan pula normanya mengandung pilihan (choice). Norma kabur (vage norm) adalah norma yang pengertiannya tidak dapat ditetapkan secara persis, sehingga lingkupnya tidak jelas, sedangkan



Sir William Wade dan Christoper Forsyth, Administrative Law (New York: Eight, 1987), 16. Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-Undangan Nasional (Bandung: Amrico, 1987), 16. 11 12



norma terbuka (open texture) adalah norma yang pengertian-pengertiannya memuat ciri-ciri yang dalam perjalanan waktu mengalami perubahan.13 Dengan kata lain, norma terbuka merupakan norma yang terbuka substansi atau isinya dan harus ditentukan lebih lanjut dalam berbagai keadaan atau norma yang isinya tidak dapat ditentukan secara abstrak tetapi sangat bergantung pada keadaan kasus di mana norma tersebut diterapkan.14 Suatu keadaan di atas memicu pemberian diskresi kepada pemerintah. Diskresi atau Freiss Ermessen yaitu kebebasan untuk mengambil kebijakan (beleidsvrijheid), menjelaskan norma undang-undang yang samar (uitleg van



wettelijke voorschriften), menentukan fakta-fakta (vaststelling van feiten), melakukan interpretasi (interpretatie vrijheid), mengambil pilihan, dan mempertimbangkan (beoordelings vrijheid) berbagai kepentingan terkait dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan atau pelayanan publik. Florence Heffron dan Neil McFeeley mengatakan: Discretion, then, is the leeway an administrator has, because of the imprecise nature of authorizing statutes or ragulation, to make individual decisions on interpretation, application, and/or enforcement of the law. Discretion is not only necessity, but is beneficial in a society that believe in the concept of “individualized justice”. Without discretion laws could not deal equitably with the unique facts and circumstances presented by specific case: It could not treat unequals unequally.15



J.J.H. Bruggink, Renfleksi Tentang Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), 61. Dyah Octarina Susanti dan A’an Eendi, “Memahamai Teks Undang-Undang dengan Metode Intepretasi Eksegetikal”, Jurnal Kertha Patrika, Vol. 41, No. 2, Agustus 2019, 147. 15 Florance Hefronn dan Neil McFeeley, The Administrative Regulatory Process (New York: Longman, 1983), 44. 13 14



Dengan demikian, diskresi merupakan peluang bagi pemerintah, karena kesamaran alami undang-undang atau peraturan yang memberikan wewenang, untuk membuat keputusan secara individual berdasarkan interpretasi, implementasi, dan/atau penegakan hukum. Diskresi bukan hanya perlu, tetapi juga bermanfaat dalam suatu masyarakat yang mempercayai konsep “keadilan orang perorang atau merata”. Tanpa diskresi hukum tidak dapat diterapkan secara wajar terhadap fakta-fakta yang spesifik dan kondisi yang ditampilkan kasus tertentu: fakta yang tidak sama tidak dapat diperlakukan secara sama. Adanya norma terbuka dan norma samar itu sebenarnya sesuai dengan dinamikan kemasyarakat dan fungsi pemerintahan. Norma samar akan memberikan keleluasaan pengemban kewenangan untuk menyesuaikan berlakunya norma hukum positif dalam masyarakat, akan bersifat fleksibel dalam situasi dan kondisi dimana norma hukum positif tersebut berlaku.16 Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), diskresi itu ditujukan untuk: a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. Mengisi kekosongan hukum; c. Memberikan kepastian hukum; dan d. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.



16



Abintoro Prakoso, “Vage Normen Sebagai Sumber Hukum Diskresi yang Belum Diterapkan Polisi Penyidik Anak”, Jurnal Hukum Ius Quia Instum, Vol. 17, No. 2, April 2010, 254.



Diskresi diperlukan dalam hukum administrasi dalam rangka menyelesaikan persoalan yang peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau mengatur secara umum, sehingga administrasi negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan atas inisiatif sendiri.17 Diskresi merupakan kebebasan dalam mengambil keputusan atau tindakan dalam situasi khusus (in a particular situation). Ketika diskresi itu dituangkan alam bentuk tertulis (naar buiten gebracht schricftelijk beleid), maka diskresi itu menjadi peraturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan kebijakan adalah peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi



pemerintahan



berkenaan



dengan



pelaksanaan



wewenang



pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam konstitusi dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung. Artinya peraturan kebijakan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan undang-undang, oleh karena itu tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum, tetapi dilekatkan pada wewenang pemerintahan dari suatu organ administrasi dan terkait dengan pelaksanaan kewenangannya.18 Atas dasar pengertian ini, Surat Keputusan Bersama itu pada dasarnya adalah peraturan kebijakan, yaitu peraturan yang dibuat atas dasar diskresi atau Ermessen. Surat Keputusan Bersama itu bukan dan tidak dapat



17



Arfan Faiz Muhlizi, “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi”, Jurnal



Rechtsvinding, No. 1 Januari-April 2012, 108. 18 P.J.P Tak, Rechtsvorming in Nederland (H.D. Tjeeenk Willink: Samson, 1991), 129.



dikualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan bahwa peraturan kebijakan itu secara esensial berkenaan dengan: a. Organ pemerintahan dalam hal ini semata-mata menggunakan wewenang untuk menjalankan tindakan-tindakan pemerintahan; b. Wewenang pemerintahan itu tidak terikat secara tegas; c. Memuat ketentuan umum dan digunakan untuk melaksanakan wewenang. Peraturan kebijakan (beleidsregel) adalah sarana hukum (juridische



instrumentarium) tata usaha negara yang bertujuan mendinamisir keberlakuan



peraturan



perundang-undangan



(algemene



verbindende



voorschrift).19 Surat Keputusan Bersama tersebut di atas merupakan peraturan kebijakan yang dikeluarkan karena ketiadaaan peraturan perundang-undangan (geen wettelijke voorschriften bestaan atau leemten in



het recht). Keberadaan Surat Keputusan Bersama ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum. 2. Keabsahan dan Mekanisme Pengujian Surat Keputusan Bersama Sebagai Instrumen Hukum Administrasi Negara Surat Keputusan Bersama sebagai suatu peraturan kebijakan atau peraturan yang lahir atas dasar diskresi, bukan atas dasar kewenangan pembuatan peraturan perundangundangan bagi organ pemerintah (delegatie



Laica Marzuki, “Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregal) Hakikat Serta Fungsinya Selaku Sarana Pemerintahan”. Makalah pada Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Ujung Pandang, 1996, 9. 19



van regelgevende bevoegdheid aan bestuursorganen). Surat Keputusan Bersama sebagaimana peraturan kebijakan lainnya, merupakan instrumen yuridis yang diperlukan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, di samping peraturan perundang-undangan. Diskresi dan peraturan kebijakan merupakan kekuasaan dan instrumen penyelenggaraan pemerintahan yang sangat diperlukan bahkan disebutkan “discretion is at heart of agency power”.20 Diskresi dan peraturan kebijakan dibutuhkan untuk terselenggaranya tugas-tugas pemerintahan terutama dalam rangka memberikan pelayanan terhadap warga negara secara efektif (doeltreffenheid) dan efisien (doelmatigheid). Diskresi dan peraturan kebijakan



itu



memang



sangat



diperlukan



dalam



penyelenggaraan



pemerintahan, namun karena di dalamnya mengandung unsur kebebasan pejabat pemerintah untuk mengambil kebijakan (beleidsvrijheid), maka perlu ada rambu-rambu atau norma-norma dalam pembuatan dan penggunaannya. Berkenaan dengan hal ini, Bagir Manan mengatakan: “Perlu ditiadakan kesan, seolah-olah peraturan kebijakan atas dasar freies Ermessen atau beleidsvrijheid adalah peraturan yang semata-mata berkaitan dengan doelmatigheid sehingga tidak terkait dengan unsur rechtmatigheid, bahkan dapat menyimpangi rechtmatigheid.



Kesan



semacam



ini



tidak benar (keliru). Unsur



doelmatigheid sebagai alas freies Ermessen haruslah suatu tujuan atau manfaat yang dibenarkan hukum. 20



Indroharto, Asas-Asas Pemerintahan yang Baik (Bandung: Citra Aditya Bankti, 1994), 166.



Kebebasan bertindak adalah kebebasan dalam lingkup wewenang yang telah ditentukan berdasarkan hukum. Setiap tindakan administrasi negara di luar wewenang yang telah ditetapkan berdasarkan hukum, termasuk tindakan berdasarkan freies Ermessen adalah tindakan melampaui wewenang (detournement de pouvoir), bahkan dapat melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad), atau penyalahgunaan wewenang (misbruik



van recht)”.21 Penggunaan diskresi dan pembuatan peraturan kebijakan harus memerhatikan ketentuan yang berupa legalitas (legality). Legalitas dalam arti tidak bertentangan dengan asas dan hukum yang berlaku dan harus dilaksanakan dalam lingkungan formil wewenangnya (binnen formele kring van zijn bevoegdheid), yaitu hanya dapat dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Penggunaan diskresi dan pembuatan peraturan kebijakan harus juga didasarkan pada asas rasionalitas (rationality atau



redelijkheid beginsel) yang meliputi pertimbangan yang relevan (relevant consideration), kejujuran dan keterbukaan (fairness), tujuan yang layak (proper purpuse), serta konsistensi (consistency) dalam arti alasan untuk suatu tindakan itu sesuai satu sama lain.22 Penggunaan diskresi yang menjadi dasar pembuatan dan penerbitan peraturan kebijakan, berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun



Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Yogyakarta: UII Press, 2003), 16. Firzhal Arzhi Jiwantara, “Kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri dan Badan Kepegawaian Negara dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Jurnal Jatiswara, Vol. 34, No. 34, November 2019, 260. 21 22



2014 Tentang Administrasi Pemerintahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. Sesuai dengan AUPB; d. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif; e. Tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan f. Dilakukan dengan iktikad baik.23 Telah dikemukakan bahwa Surat Keputusan Bersama itu tergolong peraturan kebijakan (beleidsregel), bukan peraturan perundang-undangan (regeling). Oleh karena itu, asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan. Selain itu, peraturan kebijakan juga tidak dapat diuji secara



wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan perundangundangan untuk membuat keputusan peraturan kebijakan tersebut.24 Sehubungan bahwa Surat keputusan bersama merupakan peraturan kebijakan, mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) itu tidak dapat dilakukan. Hal ini karena telah jelas bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua



23



Abintoro Prakoso, “Vage Normen Sebagai Sumber Hukum Disktesi yang Belum ditetapkan oleh Polisi Penyidik Anak”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 17, No. 2, April 2010, 65. 24 Bagir Manan, “Peraturan Kebijaksanaa”, Makalah, Jakarta, 1994, 16.



Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kewenangan MA itu menguji peraturan perundangundangan (regeling) di bawah undangundang. Mahkamah Agung tidak berwenang menguji peraturan kebijakan. Mahkamah Agung atau lembaga peradilan tidak diberikan kewenangan untuk memeriksa dan menguji peraturan kebijakan itu didasarkan pada adagium “de rechter mag niet op de stoel van de administratie gaan zitten”,25 (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah). Adagium ini didasarkan pada pemikiran separation of power atau machtenscheiding dalam suatu negara hukum, yang menghendaki independensi antar organ-organ kenegaraan (staatsorganen). F.H. van Der Burg dan kawan-kawan menyatakan; “Daarmede werd



uitgedrukt dat de rechter wanneer hij een oordeel geeft over de aan hem voorgelegde besluiten en handelingen van bestuurlijke overheden, de beleidsvrijheid van het bestuur moet respecteren. De rechter mag niet de belangenafweging van de bestuurlijke autoriteiten gaan overdoen”,26 (dengan ungkapan itu dinyatakan bahwa hakim ketika ia memberikan pertimbangan terhadap keputusan dan tindakan administratif pemerintah yang diajukan kepadanya, harus menghormati kebijakan pemerintah. Hakim tidak boleh menilai pertimbangan kepentingan kekuasaan administrasi). Menurut Sudargo Gautama: “Jika hakim turut campur dengan leluasa dalam kebijakan pemerintah, maka politik sang hakim akan menjadi politik



A.D. Belinfante, Kort Begrip Van Bet Administratif Recht (Samsom Uitgeverij: Alphen aan den Rijn, 1985), 109. 26 F.H. Van Der Burg, Reachtsbescherming Tegen de Overheid, Nijmegan, 1985, 158. 25



pemerintah, kebijakan hakim akan merupakan kebijakan pemerintah. Teranglah dalam praktik hal ini tak dapat terlaksana dengan baik. Kita hanya ingat kepada kurang pengalaman-praktik (practijkervaring) dari hakim untuk mengetahui segala seluk beluk yang berhubungan dengan kebijakan itu supaya berjalan dengan lancar sesuai dengan kepentingan umum yang sebenarnya”.27 Dewasa ini pendapat bahwa diskresi dan peraturan kebijakan itu tidak dapat diuji dan dinilai oleh hakim, agaknya sudah mulai dipertanyakan. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa “kekuasaan bebas (discretionary



power, discretionaire bevoegdheid) yang semula seakan-akan tidak terjamah oleh “rechtsmatigheidstoetsing” sudah lama ditinggalkan”.28 Diskresi dan peraturan kebijakan sebenarnya merupakan kewenangan, yaitu kewenangan bebas (vrij bevoegdheid), sebagai lawan dari kewenangan terikat (gebonden



bervoegdheid). Sebagai suatu kewenangan, tentu sama dengan kewenangan pemerintahan lainnya yakni dilekatkan pada jabatan verbonden aan het



ambt, dan dijalankan oleh pejabat (ambtsdrager). Meskipun diskresi itu merupakan kewenangan bebas, namun bukan dalam arti semaunya atau sesukanya digunakan. Penggunaan diskresi itu selain harus memerhatikan norma dan ketentuan yang telah disebutkan di atas, termasuk harus dengan iktikad baik seperti disebutkan dalam Pasal 24 UUAP.



Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1983), 67. Paulus Effendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Bandung: Cittra Aditya Bakti, 1994), 105. 27 28



Penggunaan diskresi dan peraturan kebijakan juga tidak boleh digunakan sewenang-wenang dan menyalahgunakan wewenang, harus masuk akal, dan memerhatikan asas persamaan, asas kepastian hukum, asas kecermatan, dan lain-lain. Di samping itu, sebagai suatu kewenangan, c.q. vrij



bevoegdheid,



verantwoordelijkheid



berlaku dan



asas



geen



“geen



bevoegdheid



verantwoordelijkheid



zonder zonder



verantwoording” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban dan tidak ada pertanggungjawaban tanpa kewajiban), yang dapat dituntut melaluiproses upaya administratif dan peradilan administrasi. Dengan bersandar pada asas ini, pejabat pemerintahan tidak dapat mengelak dari tanggung jawab ketika kewenangan yang digunakannya itu menimbulkan kerugian bagi warga negara. Berdasarkan ketentuan yang berlaku sekarang ini dan adanya perluasan objek sengketa melalui UUAP, terlepas dari beberapa problem hukum di dalamnya dan prosedur upaya administratif yang belum ideal, Surat Keputusan Bersama dan instrumen hukum sejenisnya dapat diuji.29 Pengujian Surat Keputusan Bersama Menteri dan instrumen hukum sejenisnya dapat dilakukan melalui Peradilan Administrasi atas dasar Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum



29



Ridwan, “Eksistensi dan Keabsahan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Tentang Penjatuhan Sanksi Terhadap Pegawai Negeri Sipil”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 28, Issue 1, Januari 2021, 15.



oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad). Dasar pengujian (toetsingsgrond) untuk menguji dan menilai keputusan dan/atau tindakan pemerintahan tidak mengalami perubahan atau penambahan yakni tetap menggunakan peraturan perundang-undangan dan AUPB, meskipun ada perluasan objek sengketa di Peradilan Administrasi.30 E. Kesimpulan 1. Surat Keputusan Bersama itu pada dasarnya adalah peraturan kebijakan, yaitu peraturan yang dibuat atas dasar diskresi atau Ermessen. Surat Keputusan Bersama itu bukan dan tidak dapat dikualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. 2. Pengujian Surat Keputusan Bersama Menteri dan instrumen hukum sejenisnya dapat dilakukan melalui Peradilan Administrasi atas dasar Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad). Dasar pengujian (toetsingsgrond) untuk menguji dan menilai keputusan dan/atau tindakan pemerintahan tidak mengalami perubahan atau penambahan yakni tetap menggunakan peraturan perundang-undangan dan AUPB, meskipun ada perluasan objek sengketa di Peradilan Administrasi.



Arfan Faiz Muhlizi, “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Administrasi”, Jurnal Rechtsvinding, Vo. 1, No. 1, Januari-April 2012, 19. 30



A.D. Belinfante. Kort Begrip Van Bet Administratif Recht. Samsom Uitgeverij: Alphen aan den Rijn, 1985. Amirudin. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Asshidiqqie, Jimlly. Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta: Graha Persada, 2018. Burg, F.H. Van Der. Reachtsbescherming Tegen de Overheid, Nijmegan. 1985. Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung: Alumni, 1983. Hefronn, Florance dan Neil McFeeley. The Administrative Regulatory Process. New York: Longman, 1983. Indroharto. Asas-Asas Pemerintahan yang Baik. Bandung: Citra Aditya Bankti, 1994. J.J.H. Bruggink. Renfleksi Tentang Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Jiwantara, Firzhal Arzhi. “Kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri dan Badan Kepegawaian Negara dalam Hierarki Peraturan PerundangUndangan di Indonesia”. Jurnal Jatiswara. Vol. 34, No. 34, November 2019. Khadir, Abdul. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Adtya, 2004. Lotulung, Paulus Effendie. Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Bandung: Cittra Aditya Bakti, 1994. Manan, Bagir dan Kuntana Magnar. Peranan Peraturan Perundang-Undangan Nasional. Bandung: Amrico, 1987. Manan, Bagir. “Peraturan Kebijaksanaa”. Makalah, Jakarta, 1994. Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: UII Press, 2003. Marzuki, Laica. “Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregal) Hakikat Serta Fungsinya Selaku Sarana Pemerintahan”. Makalah pada Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Ujung Pandang, 1996. MD, Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: RT. Raja Grafindo Persada , 2010. Muhlizi, Arfan Faiz. “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Administrasi”. Jurnal Rechtsvinding. Vol. 1, No. 1, Januari-April 2012. Muhlizi,



Arfan Faiz. “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi”. Jurnal Rechtsvinding. No. 1 Januari-April 2012.



P.J.P Tak. Rechtsvorming in Nederland. H.D. Tjeeenk Willink: Samson, 1991. Prakoso, Abintoro. “Vage Normen Sebagai Sumber Hukum Diskresi yang Belum Diterapkan Polisi Penyidik Anak”. Jurnal Hukum Ius Quia Instum. Vol. 17, No. 2, April 201. Prakoso, Abintoro.“Vage Normen Sebagai Sumber Hukum Disktesi yang Belum ditetapkan oleh Polisi Penyidik Anak”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. Vol. 17, No. 2, April 2010. Ridwan. “Eksistensi dan Keabsahan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Tentang Penjatuhan Sanksi Terhadap Pegawai Negeri Sipil”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. Vol. 28, Issue 1, Januari 2021. Sir William Wade dan Christoper Forsyth. Administrative Law. New York: Eight, 1987. SKB Menteri Dalam Negeri No. 220-4780 Tahun 2020, Menteru Hukum dan HAM No. M.HH-14.HH.05.05 Tahun 2020, Menteri Komunikasi dan Inforrmatika No. 690 Tahun 2020, Jaksa Agung No. 264 Tahun 2020, Kepala Kepolisian No. KB/3/XII/2020 dan Kepala BNPT No. 320/2020. Soekanto. Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi Perkembangan Hukum, Proyek Bank Dunia. Jakatarta: Cyberconsult, 1999. Susanti, Dyah Octarina dan A’an Eendi. “Memahamai Teks Undang-Undang dengan Metode Intepretasi Eksegetikal”. Jurnal Kertha Patrika. Vol. 41, No. 2, Agustus 2019. Toha, Suherman. Eksistensi Surat Keputusan Bersama dalam Penyelesaian Konflik Antar dan Inren Agama, Laporan Akhir Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, 2011.