Jurnal Pancasila Sebagai Sistem Etika [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Zuga
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pancasila sebagai sistem etika Disusun Guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila Dosen pengampu : Andriyani MN.,MH



Disusun oleh : 1. Endrastya Pramahdyta



(SK119.006 )



2. Ibadaul Mustagfiroh



(SK119.013 )



3. Ivanka Auli Indra



(SK119.017 )



4. Mifna Tri Oktaviasni



(SK119.024 )



5. Nurmas Liza



(SK119.030 )



6. Villayatina



(SK119.042 )



7. Zulfani



(SK119.044 )



Prodi : S1 Keperawatan



Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan KendaL Pancasila sebagai system etika 1



Pancasila sebagai sistem etika BAB I PENDAHULUAN Etika merupakan hal yang sangat diperlukan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dengan memiliki etika maka kita mampu menjalankan kehidupan bernegara dengan baik sebagai masyarakat yang mempunyai



perilaku



yang baik, kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika sama maknanya dengan moral. Nilai-nilai Pancasila, meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realita sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya juga nilai-nilai yang bersifat universal dapat diterima oleh siapa pun dan kapan pun. Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Etika juga merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).



1.1 Latar Belakang Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu saja pancasila memuat aturan aturan dan larangan larangan. Pancasila sarat akan nilai nilai seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, pesatuan, kerakyatan, dan keadilan. Oleh karena itu, secara normatif, Pancasila dapat dijadikan acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan sebagai persperktif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Nilai dan norma tersebut bersifat universal, dapat ditemukan dimanapun dan kapanpun, sehingga memberikan ciri khusus ke-Indonesia-an karena merupakan komponen yang terdapat dalam Pancasila. Nilai, norma, dan moral adalah konsep konsep yang saling berkaitan. Ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika dalam kaitannya



2



dengan Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari penjabaran segala norma, baik norma hukum, norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya. Nilai-nilai Pancasila tersebut kemudian dikembangkan dalam masyarakat secara praktis atau kehidupan nyata sehingga menjadi norma yang pada akhirnya menjadi pedoman dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, nilai-nilai, pedoman kehidupan, norma-norma, dan sistem etika Pancasila semakin terlupakan dalam kehidupan bangsa. Sehingga identitas atau ciri ke-Indonesiaan yang telah disebutkan sebelumnya semakin lama pun semakin terkikis atau bahkan meghilang. Namun masih ada upaya untuk meluruskan kembali sistem etika tersebut. Perkembangan jaman yang semakin maju dan terbukanya akses terhadap dunia luar mengharuskan kita untuk mengupayakan pancasila sebagai sistem etika, agar kita, bangsa Indonesia, tidak kehilangan identitas kita sebagai bangsa yang bermoral, memiliki etika, dan bermartabat. 1.2



Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalah dalam



jurnal ini adalah : 



Apakah pengertian Pancasila itu?







Apakah pengertian sistem itu?







Bagaimaknakah peran Pancasila sebagai sistem etika?



1.3 Tujuan Penulisan 



Untuk mengetahui pengertian dari Pancasila.







Untuk mengetahui pengertian dari sistem







Untuk mengetahui peran Pancasila sebagai sistem etika.



3



BAB II PEMBAHASAN



2.1



Pengertian Etika Etika merupakan cabang utama filsafat, adalah pembelajaran mengenai di mana dan



bagaimana nilai atau kualitas menjadi standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti, benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika merupakan kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut : a. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setaip tindakan manusia. b. Etika Khusus, membahas prinsip prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun makhluk sosial (etika sosial) Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari hari kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem yang ada (Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan kata etika adalah akhlak yang merupakan kata jamak khuluk yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat (Zakky, 2008: 20). Secara keseluruhan, etika membahas mengenai tingkah laku, watak, dan segala sesuatu perbuatan manusia yang dibutuhkan dan dinilai dalam kehidupan bermasyarakat.  Aliran Besar Etika Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk. Berikut adalah ketiga aliran tersebut :



a. Etika Deontologi Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya. Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan 4



tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9). Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat (imperatif kategoris). Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah tindakan yang dinilai



buruk



oleh



siapapun.



Etika deontologi menekankan



bahwa



kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7). Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan yang baik adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.



b. Etika Teleologi



Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain. Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini maka memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan seluruh harta 5



benda. Dalam keadaan demikian etika teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi. Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa? Apakah baik menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme a. Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan. b. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan



kemanfaatan



yang besar dan memberikan



kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang saja. Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu dilihat apakah akibat yang ditimbulkan akan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak. Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan merugikan maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan banyak orang. Utilitarians try to produce maximum pleasure and minimum pain, counting their own pleasure and pain as no more or less important than anyone else’s (Wenz, 2001: 86). Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki kekurangan. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yaitu: (1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan adanya ketidakadilan terutama terhadap minoritas. 6



(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang kuantitasmaterialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material seperti kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain. (3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal seperti nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misalnya atas nama memasukkan investor asing maka aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan devisa negara maka pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan masyarakat. (4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam



jangka



pendek,



tidak



melihat



akibat



jangka



panjang.



Padahal,misalnya dalam persoalan lingkungan, kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang akan datang. (5) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan. (6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil. Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka : Pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki kemanfaatan yang besar. Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.



7



c.



Etika Keutamaan Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan menjadi orang yang baik. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan



etika



ini



adalah



ketika



terjadi



dalam



masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial. Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.  Etika Pancasila Etika



Pancasila



tidak



memposisikan



secara



berbeda



atau



bertentangan dengan aliran-aliran besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter moral, namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun. Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Nilai yang pertama adalah Ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak 8



bertentangan dengan nilai, kaedah dan hukum Tuhan.Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk.Misalnya pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antar sesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaedah Tuhan untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain Nilai yang kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilaiKemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai



KemanusiaanPancasila



adalah keadilan



dan



keadaban.



Keadilanmensyaratkan keseimbangan antara lahir dan batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban. Nilai yang ketiga adalah Persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik. Nilai yang keempat adalah Kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas



“dimenangkan” atas



pandangan



mayoritas.



Dengan



demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat 9



untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan. Nilai yang kelima adalah Keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain. Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan merupakan dasar bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai Ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai Kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai Persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan dan lain-lain. Nilai Kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain Nilai Keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dan lain-lain. 2.2



Pengertian Nilai Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.



Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu 10



adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subyek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.



Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Dalam pandangan filsafat, nilai selalu dihubungkan dengan masalah kebaikan. Sesuatu yang berguna, benar, indah, berharga, baik, religius, dan sebagainya dapat dikatakan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai. Nilai adalah sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan panca indera karena bersifat ide. Yang dapat dirasakan adalah barang atau tingkah perbuatan yang mengandung nilai tersebut. Ada dua pandangan tentang cara beradanya nilai, yaitu sebagai berikut : 



Nilai sebagai sesuatu yang ada pada obyek itu sendiri. Menurut filusuf Max Scheler dan Nocolia Hartman, nilai merupakan suatu hal yang obyektif membentuk semacam “dunia nilai”, yang menjadi ukuran tertinggi dari perilaku manusia.







Nilai sebagai sesuatu yang bergantung kepada penangkapan dan perasaan orang (subyektif). Menurut Nietzche, yang dimaksudkan adalah tingkat atau derajat yang diinginkan oleh manusia. Nilai merupakan tujuan dari kehendak manusia yang benar, sering ditata menurut susunan tingkatannya yang dimulai dari bawah, yaitu : nilai hedois (kenikmatan), nilai utilitaris (kegunaan), nilai biologis (kemuliaan), nilai diri estetis (keindahan, kecantikan), nilai-nilai pribadi (sosial), dan yang paling atas ialah nilai religius (kesucian).



Para ahli mengidentifikasikan nilai dalam beberapa macam atau tingkatan. Para ahli mengidentifikasikannya secara berbeda, karena nilai ini bersifat abstrak dan idealis. Alport mengidentifikasikan



nilai-nilai



yang



terdapat



dalam



kehidupan



masyarakat pada enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi. Max Scheler mengelompokkan nilai-nilai menjadi enam tingkatan, yaitu: nilai kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian. Sementara Notonargo membedakan nilai menjadi tiga, yaitu : nilai material, nilai vital, dan nilai kerohanian. 11



Nilai bersumber pada budi yang bersifat mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia, atau lebih jelasnya kita sebut sebagai motivator. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya. Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria, sehingga merupakan suatu keharusan, anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.



Pancasila sebagai ideologi terbuka dan pedoman hidup bangsa mempunyai dimensi fleksibilitas. Hal ini disebabkan karena di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut ada 3, yaitu nilai dasar, nilai instrmental, dan nilai praksis. 



Nilai dasar, sesuai dengan namanya, merupakan suatu dasar dari nilai nilai yang lain. Nilai dasar ini bersifat tetap, tidak berubah-ubah. Nilai ini terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila ialah nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.







Nilai Instrumental, merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai dasar. Disebut juga nilai yang menjadi pedoman bagi belaksanaan daripada nilai dasar. Nilai dasar belum dapat berfungsi dan bermakna sepenuhnya jika belum memiliki parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Nilai instrumental yang berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam berkehidupan sehari-hari akan menjadi norma moral. Sementara nilai yang berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai tersebut menjadi sebuah arahan, kebijakan, dan strategi yang bersumber pada nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan di repunlik Indonesia, nilai instrumental dapat ditemukan di dlam pasal-pasal UUD yang merupakan penjelasan dari nilai dasar, yaitu Pancasila.







Nilai Praksis, yaitu nilai yang lebih menjabarkan nilai-nilai instrumental. Nilai praksis ini terdapat dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai ini bersifat fleksibel, sehingga dapat diubah sesuai dengan perkembangan jaman selama tidak menyimpang dari nilai dasar maupun nilai instrumental.



2.2.1 Makna Nilai-Nilai dalam Setiap Sila Pancasila



12



Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia merupakan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini dikarenakan apabila dilihat satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja ditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat diputarbalikkan letak dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut ini kita uraikan:



a.



Ketuhanan Yang Maha Esa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah pengejawantahan tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia) bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk memeluk agama



dan



menjalankan



ibadah



sesuai



dengan



keimanan



dan



kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam Pasal 29 UUD. Di samping itu, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan (atheisme).



b.



Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab



Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu makhluk yang berbudaya dengan memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia pada tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama berarti hakekat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabat. Adil berarti wajar yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun, berbudi luhur, dan susila, artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan demikian, sila ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kesusilaan umumnya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan hewan.



13



Hakekat pengertian di atas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama :”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan ...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya dalam Batang Tubuh UUD.



c.



Persatuan Indonesia Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia. Yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia dan bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, paham kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta keturunan. Hal ini sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ” Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD 1945.



d. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan



Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah negara tertentu. Dengan sila ini



14



berarti bahwa bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki kekuasaan. Hikmat kebijasanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia



untuk



merumuskan



atau



memutuskan



sesuatu



hal



berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat dan mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui lembaga perwakilan. Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusan. Sila ini merupakan sendi asas kekeluargaan masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang



berbunyi:



”..maka



disusunlah



kemerdekaan



kebangsaan



Indonesia, yang berkedaulatan rakyat ...”



e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia



Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti untuk setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia. Pengertian itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis



karena



keadilan



sosial



pada



sila



kelima



mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia sebagai pribadi dan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya meliputi : a) Keadilan distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan



dalam



bentuk



keadilan



membagi,



dalam



bentuk



kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiaban. b) Keadilan legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara, dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib 15



memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundangundangan yang berlaku dalam negara. c) Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga atau dengan lainnya secara timbal balik. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan dan keselarasan diantara keduanya sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai. Hakekat sila ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :”dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia ... Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.



2.3 Pengertian Moral



Moral berasal dari kata mos (mores) yang bersinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaedah-kaedah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.



Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. 2.4 Pengertian Norma



Kesadaran manusia akan kebutuhan terhadap hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horisontal (masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi. Norma-norma yang terdapat dalam masyarakat antara lain:  Norma agama : adalah ketentuan hidup masyarakat yang bersumber pada Tuhan (agama). 16



 Norma kesusilaan : adalah ketentuan hidup masyarakat yang bersumber pada diri sindiri seperti hati nurani, moral, atau filsafat hidup.  Norma hukum : adalah ketentuan ketentuan tertulis yang berlaku dan bersumber pada UU suatu negara tertentu.  Norma sosial : adalah ketentuan hidup yang berlaku pada hubungan bermasyarakat antar umat manusia.



2.5 Hubungan antara nilai, norma, dan moral Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikonkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.



2.6 Aplikasi Nilai, Norma, dan Moral dalam Kehidupan Sehari-Hari



Dalam kehidupan bermasyarakat kita sehari-hari, kita akan sering dihadapkan dengan istilah nilai, norma, dan moral. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, nilai sosial merupakan nilai yang diyakini oleh masyarakat mengenai sesuatu yang dianggap baik atau buruk. Sebagai ontoh, dalam kehidupan bermasyarakat, seserang aka dianggap baik apabila menolong sesamanya, namun apabila seseorang tersebut berbuat kejam dan jahat, maka itu akan menjadi nilai yang buruk. Bagi manusia, nilai dianggap sebagai landasan, alasan atau motivasi untuk berbuat sesuatu. Nilai mencerminkan kualitas suatu tindakan dan pandangan hidup sesorang dalam bermasyarakat. Norma sosial juga dapat dijelaskan sebagai pedoman perilaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Norma sering diistilahkan peraturan sosial. Norma mengandung aturan tidak tertulis tentang sesuatu yang pantas dilakukan dalam berinteraksi sosial. Keberadaan norma bersifat memaksa suatu individu atau kelompok untuk mematuhinya. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara masyarakat dapat berlangsung tertib dan damai. 17



Tingkat norma dasar dalam masyarakat dibedakan menjadi 4, yaitu : cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat. Moral adalah istilah seseorang menyebut orang lain dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki normal disebut dengan amoral, yang berarti ia tidak memiliki nilai positif dalam pandangan manusia lain. Manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihargai dan dihormati oleh orang lain. Moral merupakan hal mutlak yang harus dimiliki manusia. Moral secara jelas merupakan hal-hal yang berkaitan dengan proses sosialisai. Tanpa moral, proses sosialisasi terebut tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Namun moral dalam kehidupan kini mengandung nilai yang tidak jelas atau implisit. Banyak orang memandang moral dari sudut pandang yang sempit.



2.7 Pengertian Sistem Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma), merupakan suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliraninformasi, materi, atau energi untuk mencapai suatu tujuan. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat. Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara di mana yang berperan sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut. Kata "sistem" banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula, sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka. 2.8.1 Elemen dalam Sistem Setiap sistem selalu terdiri atas ampat elemen, yaitu sebagai berikut :  Objek. Objek dapat berupa bagian, elemen, atau variabel. Dapat berwujud sebagai 18



 benda fisik, abstrak, atau keduanya sekaligus.  Atribut. Hal ini menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan objeknya.  Hubungan internal. Merupakan hubungan di antara objek-objek di dalam sistem  Lingkungan. Merupakan tempat dimana sistem tersebut berada atau dijalankan. 2.8.2 Elemen Sistem Terdapat beberapa elemen yang dapat bergabung menjadi sebuah sistem, yaitu : 



Tujuan. Setiap sistem tentulah memiliki sbuah tujuan. Entah tujuan trsebut hanya satu, atau banyak. Tujuan ini menjadi sebuah motivasi bagi bergeraknya suatu sistem. Tanpa sebuah tujuan, sistem bergerak tak terkendali. Tujuan setiap sistem berbeda antara sistem satu dengan yang lain.







Masukan. Merupakan segala sesuatu yang memeasuki sebuah sistem untuk pada akhirnya diproses. Masukan dapat berupa hal-hal yang nampak maupun tak nampak.







Proses.



Merupakan



bagian



yang



menjalankan



perubahan



atau



transformasi dari suatu masukan yang berupa bahan mentah menjadi sesuatu yang lebih bernilai. 



Keluaran. Adalah hasil akhir dari masukan, setelah melewati sebuah proses.







Batas. Merupakan pemisah antara sistem dan daerah di luar sistem. Batas ini menentukan konfigurasi, ruang lingkup, atau kemampuan sebuah sistem. Batas sistem ini dapat dikurangi atau dimodifikasi sehingga akan merubah perilaku sistem.







Mekanisme Pengendalian dan Umpan Balik. Mekanisme pengendalian dapat terwujud dengan menggunakan umpan balik, yang mencakup keluaran. Umpan balik dilakukan untuk mengontrol masukan maupun proses. Tujuannya adalah untuk mengatur sistem tetap bekerja sesuai tujuan.







Lingkungan. Merupakan segala sesuatu yang berada di luar sistem. Dapat mempengaruhi sistem, baik itu secra positif maupun negatif (menguntungkan atau merugikan). 19



2.8.3 Jenis-Jenis Sistem Ada berbagai tipe sistem berdasarkan kategori: 2.8.3.1



Atas dasar keterbukaan:







Sistem terbuka, dimana pihak luar dapat mempengaruhinya







Sistem tertutup



2.8.3.2



Atas dasar komponen:  Sistem fisik, dengan komponen materi dan energi  Sistem non-fisik atau konsep, berisikan ide-ide



2.9 Pancasila sebagai Sistem Etika



Pancasila disamping sebagai way of life bangsa Indonesia, juga merupakan struktur pemikiran yang disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada setiap warga negara Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika, dimaksudkan untuk mengembangkan dimensi moralitas dalam diri sendiri sehingga dapat memiliki kemampuan untuk menampilkan sikap yang benar dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila sebagai sistem etika merupakan tuntunan moral yang dapat diwujudkan dalam tindakan nyata, yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Oleh karnanya, silasila dalam Pancasila perlu diwujudkan dengan lebih lanjut ke dalam keputusan setiap tindakan sehingga mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan berwawasan moral-akademis. Pancasila menjadi sistem etika karena dalam Pancasila terdapat nilai, norma, dan moral yang merupakan konsep yang saing berkaitan dan akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi satu sama lain. Pancasila sebagai satu sistem filsafat pada dasarnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber bagi segala penjabaran norma baik norma hukum , norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya. Selain itu, dalam Pancasila juga terkandung pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komperhensif. Pancasila memegang pernanan penting dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik bagi Indonesia. Di setiap saat dan di manapun kita berada, etika wajib kita sertakan bersama kita. Setiap sila dalam Pancasila mengandung arti yang besar dalam membangun etika bangsa. Pancasila memegang berbagai aspek kehidupan bangsa. Dalam dunia internasional, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beetika,



20



ramah, sopan, dan yang lainnya. Semua itu tidak lepas dari tuntunan Pancasila sebagai pedoman beretika.



BAB III PENUTUP



. Kesimpulan Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila mengandung banyak nilai moral dan kebaikan. Oleh karena itulah Pancasila dijadikan sebagai sistem etika. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nlai-nilai yang terkandung dalam pancasila, yaitu niai Ketuhanan, Kemanusiaan, persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Jika suatu perbuatan telah mencaup nilai-nilai dan meninggikan nilai-nilai tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan baik, dan berlaku sebaliknya. Pancasila sebagai sistem etika memegang peranan penting dalam perkembanga bangsa ini karena Pancasla membentuk pla pikir bangsa sehinga bangsa kita dapat dianggap sebagai bangsa yang bermoral dan beradab di mata dunia.



21



DAFTAR PUSTAKA



https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem https://id.wikipedia.org/wiki/Etika Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 2, Januari 2017 https://www.academia.edu/32889592/6._Bagaimana_Pancasila_Menjadi_Sistem_Etika https://www.academia.edu/29707247/A._NILAI_DASAR_NILAI_INSTRUMENTAL_ DAN_NILAI_PRAKSIS http://budisma1.blogspot.com/2011/07/pancasila-sebagai-sistem-etika.html?m=1 https://www.academia.edu/13000228/Pancasila_Sebagai_Sistem_Etika http://sinarmentari4u.blogspot.com/2011/07/makalah-pancasila-sebagai-sistemetika.html http://es182.blogspot.com/2013/02/pancasila-sebagai-sumber-nilai_6.html https://www.kompasiana.com/mawaddah82340/5bd6a2fcab12ae0d4103a732/pancasilasebagai-sistem-etika



22