Kajian Pembentukkan Provinsi Papua Tengah  [PDF]

  • Author / Uploaded
  • etha
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KAJIAN AKADEMIK PEMBENTUKAN PROVINSI PAPUA TENGAH:



URGENSI REINSTRUMENTASI OTONOMI KHUSUS PAPUA



KAJIAN AKADEMIK PEMBENTUKAN PROVINSI PAPUA TENGAH: URGENSI REINSTRUMENTASI OTONOMI KHUSUS PAPUA Ketua Tim Peneliti: Drs. Bambang Purwoko, MA – Politik dan Pemerintahan



Peneliti Ahli dan Asisten Peneliti: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.



Drs. Bambang Purwoko, MA Prof. Dr. Purwo Santoso Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto Dr. Paripurna P. Sugarda Dr. Gabriel Lele Dr. Pramono Hadi Dr. Eng. Muhammad Sani R Dr. Bambang Hudayana Dr. Untung Muhdiarta, M.Si. Dr. Rahayu, M.Si., M.A. Andi Sandi Antonius TT, S.H., LL.M. Arie Ruhyanto, S.I.P., M.Sc. Amirudin, M.Ec.Dev Isep Parid Yahya, M.Sc. Danang Wahyuhono, M.Sc. Fuad Setiawan Khabibi, S.IP., MPA. Maulana Istu Pradika, M.Sc. Satyabhakti Bela N, S.IP., M.Ec.Dev. Adi Suhendra Subandrio, S.AP., MPA. Cahyani Widi Larasakti, S.IP., MDP. Ibnu Nugroho, S.IP. Finni Alqorina, S.Si. Mahmadah Aslichatur, S.T. Issrotul Qomaria, S.Sos. Laily Fadliyah, S.IP. Rizqi Agung Fauzan, S.IP. Ikra Aryantari, S.Si. Alfath Bagus PEI, S.IP. Arman Kurniawan, S.IP. Prisajuani, S.E.



-



Politik dan Pemerintahan Politik dan Kebijakan Publik Manajemen Kebijakan Publik Hukum Tata Negara Manajemen Kebijakan Publik Geografi dan Lingkungan Perencanaan Wilayah Antropologi dan Budaya Politik Pemerintahan Komunikasi Hukum Tata Negara Politik Pemerintahan Keuangan Daerah Politik dan Pemerintahan Ketahanan Nasional Kebijakan Publik Geografi, Ketahanan Nasional Keuangan Daerah Kebijakan Publik Pembangunan Ekonomi Politik dan Pemerintahan Kartografi dan Penginderaan Jauh Perencanaan Wilayah Pembangunan Sosial Manajemen dan Kebijakan Publik Politik dan Pemerintahan Statistik Politik dan Pemerintahan Manajemen dan Kebijakan Publik Ekonomi Pembangunan



Tim Administrasi/Media dan IT: 1. 2. 3. 4. 5.



Asih Kusumaningtyas, A.Md. Ardiyanti Dwi Astuti, S.Sos. Dyu Riza Puspita, S.E., Akt. Ngaliman, S.Kom. Choirul Umam Amirulloh



ii | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



-



Administrasi Keuangan Administrasi Keuangan Akuntansi Media dan IT Media dan IT



KATA PENGANTAR Penelitian dalam rangka kajian akademik tentang rencana pembentukan daerah otonom baru tingkat provinsi bukanlah pekerjaan yang ringan. Ini adalah tugas berat dan penuh tantangan. Jejak langkah penjelajahan intelektual menjadi lebih menantang karena kajian ini menyangkut sebuah wilayah yang – dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya secara nasional – dikenal sebagai wilayah yang penuh kontroversi, Papua. Tim peneliti yang terdiri dari para dosen dan peneliti ahli dari berbagai bidang ilmu di Universitas Gadjah Mada harus bekerja ekstra keras memadukan teori dan konsep yang digelutinya dengan realitas empiris yang dalam banyak hal bertolak belakang dengan tatanan ideal kondisi sosial budaya ekonomi dan politik sebagaimana kita bayangkan. Kajian tentang pembentukan daerah Provinsi Papua Tengah pemekaran dari Provinsi Papua ini diawali dari kehadiran 7 (tujuh) Bupati dan Wakil Bupati dari wilayah Papua Tengah (Mimika, Nabire, Puncak, Paniai, Intan Jaya, Dogiyai, dan Deiyai) ke kampus Universitas Gadjah Mada, awal November 2019 yang lalu. Sebagai tindak lanjut deklarasi kesepakatan pembentukan Provinsi Papua Tengah yang dilakukan di Timika, para Bupati tersebut meminta kesediaan Tim Peneliti Gugus Tugas Papua dan Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK) Fisipol UGM untuk melakukan kajian akademik rencana pembentukan Provinsi Papua Tengah. Setelah melalui pembicaraan yang intensif, dicapai kesepakatan untuk melakukan kajian ini dengan salah satu persyaratan bahwa, Tim UGM tidak terikat pada kewajiban untuk membuat rekomendasi yang isinya menyetujui atau tidak menyetujui usulan pembentukan daerah otonom baru Provinsi Papua Tengah. Hasil kajian sepenuhnya akan mengacu pada temuan-temuan riset lapangan yang dianalisis sesuai kaidah-kaidah ilmiah secara obyektif dan independen berdasarkan kerangka



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | iii



teoritis dan konsepsual yang dipadukan dengan regulasi nasional maupun lokal. Menyadari bahwa tugas melakukan kajian pembentukan Provinsi Papua Tengah – dan juga kajian kelayakan calon ibukota provinsi – bukanlah pekerjaan yang ringan, Tim Peneliti UGM memperkuat diri dengan melibatkan para peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Tim Peneliti terdiri dari para ahli di bidang politik dan pemerintahan, hukum tata negara, manajemen dan kebijakan publik, pembangunan sosial dan kesejahteraan, ilmu komunikasi, geografi, antropologi, ekonomi, statistik, perencanaan wilayah dan kota, teknik, serta ketahanan nasional. Untuk memperkuat jaringan dan sekaligus sensitifitas terhadap konteks Papua, Tim Peneliti UGM juga diperkuat dengan peneliti dari Universitas Cenderawasih, serta menjalin komunikasi intensif dengan peneliti ahli dari Universitas Negeri Papua. Secara metodologis, kajian ini diawali dengan serangkaian aktivitas desk study untuk melacak semua dokumen dan literatur yang berkaitan dengan sejarah pemerintahan di Papua, implementasi dan permasalahan Otonomi Khusus Papua, serta melacak semua dokumen termasuk berita media tentang wacana politik, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya, dan secara khusus isu-isu terkait pemekaran daerah. Tim Peneliti UGM juga berusaha memperoleh dan mempelajari dokumen-dokumen kajian pemekaran yang sudah dilakukan oleh beberapa Tim Pengusul Pemekaran terdahulu, baik yang berada di Mimika, Nabire, maupun Biak. Untuk lebih memperkuat ketajaman analisa, Tim Peneliti UGM juga melakukan analisis media terhadap diskursus pemekaran yang berkembang di media massa. Memanfaatkan kecanggihan perangkat big data di Fisipol UGM, analisis media ini dilakukan dalam rangka mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam diskusi tentang pemekaran Papua Tengah, memetakkan sikap dan pandangan aktor tentang persoalan pemekaran Papua Tengah, mengetahui tendensi pemberitaan tentang pemekaran Papua



iv | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Tengah, dan mengetahui pendapat para aktor tentang rencana ibu kota Provinsi Papua Tengah. Penelitian lapangan dilakukan oleh beberapa kelompok peneliti UGM yang bergerak secara simultan di wilayah Papua dan Papua Tengah, mulai dari Jayapura, Timika, Nabire, Biak Numfor, Dogiyai, Deiyai, Paniai, sampai ke Intan Jaya dan Puncak. Untuk pendalaman terhadap data awal, beberapa daerah bahkan dilakukan penelitian lapangan lebih dari satu kali, misalnya di Nabire dan Timika yang sekaligus direncanakan sebagai calon ibukota. Untuk wilayah pegunungan, Tim Peneliti UGM mendapatkan penguatan data dan informasi yang lebih dari cukup dari kabupaten Puncak dan Intan Jaya karena selama tahun 2019 dan khususnya di bulan-bulan akhir tahun 2019 tersebut beberapa anggota Tim Peneliti UGM mempunyai tugas lapangan di kedua kabupaten tersebut. Selama penelitian lapangan, Tim Peneliti UGM secara intensif melakukan serangkaian kegiatan diskusi kelompok terfokus (FGD – Focused Group Discussion) serta wawancara mendalam dengan para pejabat dan pegawai pemerintahan, politisi, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, dan juga kalangan pelaku bisnis serta aparat keamanan. Riset lapangan juga dimanfaatkan para peneliti untuk memahami dan menggali lebih mendalam suasana kebatinan yang dihadapi masyarakat di masing-masing wilayah. Sebagai peneliti independen, Tim Peneliti UGM tidak hanya melakukan interaksi dan diskusi dengan pihak-pihak yang propemekaran, namun secara berusaha mendengar dan berdiskusi dengan mereka yang menolak adanya rencana pemekaran. Tentu saja, riset lapangan juga berfungsi sebagai momentum pengumpulan data dokumen pemerintahan, yang ternyata juga tidak mudah ditemukan di lokasi masing-masing daerah. Selain penelitian ke daerah, Tim UGM juga melakukan serangkaian pertemuan dan diskusi intensif dengan para politisi di Komisi II DPR RI, dan para birokrat di Kementerian Dalam Negeri khususnya Direktorat Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOD. Diskusi ini penting agar Tim Peneliti UGM mendapatkan Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | v



gambaran yang tepat terkait kebijakan pemekaran daerah, khususnya di Papua, dari perspektif pemerintah pusat. Pertemuan dan diskusi pada umumnya berlangsung sangat seru karena Tim Peneliti UGM mempunyai kesempatan untuk melakukan konfirmasi terhadap temuan-temuan riset lapangan yang sudah dilakukan, baik temuan dari para stakeholders di wilayah Papua, maupun temuantemuan menarik yang diperoleh dari proses diskusi intensif dengan para Bupati dan Wakil Bupati di wilayah Papua Tengah. Semua data dan informasi yang diperoleh para peneliti selama pengembaraan menggeluti persoalan Papua dan Papua Tengah selanjutnya digodok dan dimatangkan melalui serangkaian dikusi panjang dan mendalam melibatkan semua peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Proses ini tidak terbatas pada diskusi panjang yang melelahkan dalam rangka memahami dan menganalisa data secara tepat, tetapi juga bagaimana melakukan penulisan laporan yang dengan struktur argumen yang kuat. Setelah melalui beberapa kali proses bongkar pasang, pada akhirnya tersaji versi ringkas Laporan Kajian sebagaimana yang ada di tangan kita sekarang ini. Meskipun belum sempurna sesuai harapan ideal, kami Tim Peneliti UGM tetap merasa bersyukur atas terselesaikannya Laporan Kajian ini. Rasa syukur senantiasa kami penjatkan ke hadlirat Allah SWT, Dzat Yang Maha Kasih, yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan sehingga kami bisa menyelesaikan sebagian pekerjaan berat yang ada sampai tahap ini. Semua ini boleh terjadi karena bimbingan dan petunjuk-Nya. Kajian Akademik Pembentukan Provinsi Papua Tengah ini tidak akan pernah terlaksana tanpa kepercayaan dan kerjasama yang baik dari para Bupati di wilayah Papua Tengah. Secara khusus kami ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bupati dan Wakil Bupati Nabire, Mimika, Puncak, Intan Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai; yang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama telah memberikan dukungan yang luar biasa terhadap pelaksanaan kajian ini.



vi | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Terimakasih kasih secara tulus kami sampaikan kepada para pejabat dan politisi serta segenap tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda / mahasiswa dan perempuan, serta pelaku bisnis dan aparat keamanan di wilayah Papua Tengah, termasuk juga di wilayah kabupaten Biak Numfor dan di Jayapura sebagai ibukota provinsi Papua. Informasi dan data yang kami dapatkan dari mereka adalah modal besar untuk terselesaikannya kajian ini. Selain dari Papua, kami juga mendapatkan dukungan informasi dan data yang sangat baik dari yang terhormat pimpinan dan para anggota Komisi II DPR RI, dan dari para pejabat di Kementerian Dalam Negeri. Kami menyampaikan terimakasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi terhadap komitmen dan dedikasi kerja mereka di Lembaga Legislatif maupun Eksekutif. Semoga Laporan Kajian versi ringkas ini membawa manfaat untuk kita semua, khususnya untuk kemajuan Papua, kemajuan Papua Tengah, dan tentu saja kemajuan Indonesia.



Yogyakarta, 27 Januari 2020 Ketua Tim Peneliti



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | vii



viii | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR



iii



DAFTAR ISI



ix



DAFTAR TABEL



xi



DAFTAR GAMBAR



xiii



BAB I MENCARI TEROBOSAN STRATEGIS: KELUAR DARI PELIKNYA PROBLEMATIKA MEMBANGUN PAPUA A. B. C. D. E.



Mencari Terobosan dalam Bingkai Otonomi Khusus Konteks Reinstrumentasi Telaah Kajian Papua Terdahulu Metode Penelaahan Tujuan



BAB II CAPAIAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN KEBUTUHAN REINSTRUMENTASI KEBIJAKAN A. Jejak-Jejak Penerapan Skema Otsus B. Pengembangan Kapasitas Organisasi dalam Mengelola Urusan: Agenda Yang Tercecer dalam Implementasi. C. Capaian Minimalis 1. Aspek Sumber Daya Manusia 2. Aspek Insfrastruktur Perekonomian dan Pelayanan Publik. 3. Aspek Kesejahteraan Masyarakat D. Spesifikasi Terobosan Instrumentasi yang Dibutuhkan Papua. 1. Menjangkau Tataran yang Tersirat 2. Urgensi Penguatan Peran Adat, Gereja, dan Perempuan Berbasis Modalitas 3. Instrumen Tepat Guna Dalam Mengartikulasikan Ke-Papuaan 4. Instrumentasi Pengelolaan Konflik. E. Desain Adopsi dan Adaptasi Otonomi Khusus. BAB III MENINJAU WACANA PEMBENTUKAN PROVINSI PAPUA TENGAH A. Wacana Pemekaran dalam Pusaran Perdebatan Media 1. Wacana Mendukung Pemekaran Pemekaran Provinsi Tengah 2. Wacana Kontra Pemekaran Papua Tengah 3. Wacana Pemekaran dengan Syarat B. Mempertimbangkan Ulang Provinsi Papua Tengah dari Perspektif Hukum



1 2 6 15 18 19



23 24 33 39 39 53 67 83 83 87 91 96 100 103 104 110 115 121 123



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | ix



BAB IV TANTANGAN PEMBENTUKAN PROVINSI PAPUA TENGAH



133



A. Persyaratan Administratif B. Tantangan Kewilayahan 1. Luas Wilayah Minimal 2. Jumlah Penduduk Minimal 3. Batas Wilayah 4. Cakupan Wilayah 5. Batas Usia Minimal C. Tantangan Kapasitas Daerah 1. Parameter Geografi 2. Parameter Demografi 3. Parameter Keamanan 4. Parameter Sosial Politik, Adat, dan Tradisi 5. Parameter Potensi Ekonomi 6. Parameter Keuangan Daerah 7. Parameter Kemampuan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah D. Rekomendasi



134 139 139 142 143 145 146 148 149 151 153 155 156 158 159 162



BAB V PENATAAN DAN PEMBENTUKAN PROVINSI BARU, PRASARANA INSTRUMENTASI DAN REINSTRUMENTASI KEKHUSUSAN PAPUA



165



A. Desain Khusus, Bukan Sekedar Entitas Baru B. DOB Sebagai Policy-Making Platform, Bukan Sekedar Pengemban Status Khusus C. Mereproduksi Sinergi Antar Tungku D. Mengembangkan Teknokrasi Untuk Memuliakan Adat E. Aransemen Kelembagaan Asimetris Inklusif F. Desain Kekhususan Penguatan Ekonomi Masyarakat G. Desain Khas Penguatan Fungsi Pelayanan Publik



167 169 173 178 187 194 200



BAB VI PENUTUP



205



DAFTAR PUSTAKA



209



LAMPIRAN



225



Lampiran 1. Rumus Perhitungan Persyaratan Dasar Kewilayahan dan Persyaratan Dasar Kapasitas Daerh Lampiran 2. Hasil Skoring Kelayakan Kapasitas Daerah Calon Provinsi Papua Tengah Lampiran 3. Surat Permohonan Audiensi Lampiran 4. Surat Pernyataan Bersama Para Bupati tentang Pembentukan Papua Tengah Lampiran 5. Berita Acara Rapat Kesepakatan dan Keputusan Bersama Para Bupati tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah



x | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



226 227 239 240 242



DAFTAR TABEL



Tabel 2. 1. Perbandingan Anggota DPRD Non-OAP di beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan Papua Barat, Periode 2019-2024



38



Tabel 2. 2. Kondisi Jalan di Provinsi Papua Tahun 2016



55



Tabel 2. 3. Kelas Pelabuhan di Provinsi Papua



58



Tabel 2. 4. Kelas Bandara di Provinsi Papua



59



Tabel 3. 1. Perbandingan Jumlah Berita tentang Papua & Pemekaran Papua Tengah



104



Tabel 4. 1. Perbandingan Luas Wilayah Papua Barat, Papua, dan Papua Tengah



141



Tabel 4. 2. Perbandingan Jumlah Penduduk Papua Barat, Papua dan Papua Tengah



142



Tabel 4. 3. Cakupan Wilayah Calon Daerah Persiapan Provinsi Papua Tengah



145



Tabel 4. 4. Usia Daerah Provinsi Induk dan Kabupaten yang Menjadi Calon Daerah Bawahan Provinsi Papua Tengah



146



Tabel 4. 5. Kriteria Kelayakan



149



Tabel 4. 6. Hasil Skoring Kelayakan Calon Provinsi Papua Tengah Parameter Geografi



150



Tabel 4. 7. Hasil Skoring Kelayakan Calon Provinsi Papua Tengah Parameter Demografi



152



Tabel 4. 8. Hasil Skoring Kelayakan Calon Provinsi Papua Tengah Parameter Keamanan



153



Tabel 4. 9. Hasil Skoring Kelayakan Calon Provinsi Papua Tengah Parameter Sosial Politik, Adat, dan Tradisi



155



Tabel 4. 10. Hasil Skoring Kelayakan Calon Provinsi Papua Tengah Parameter Potensi Ekonomi



157



Tabel 4. 11. Hasil Skoring Kelayakan Calon Provinsi Papua Tengah Parameter Keuangan Daerah



158



Tabel 4.12. Hasil Skoring Kelayakan Calon Provinsi Papua Tengah Parameter Kemampuan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah



160



Tabel 5. 1. Strategi Mendisain Kelembagaan Provinsi Baru



168



Tabel 5. 2. Strategi Mendisain Kelembagaan dan Perumusan Kebijakan yang Khas Papua



172



Tabel 5. 3. Strategi Sinergi Tiga Tungku



175



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | xi



Tabel 5. 4. Strategi Mengembangkan Teknokrasi untuk Memuliakan Adat



184



Tabel 5. 5. Strategi Aransemen Kelembagaan Asimetris Inklusif



191



Tabel 5. 6. Strategi Penguatan Ekonomi Masyarakat



199



Tabel 5. 7. Strategi Penguatan Fungsi Pelayanan Publik



204



xii | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



DAFTAR GAMBAR



Gambar 2. 1. Grafik Peningkatan Transfer Dana Otsus Papua 2002-2020



28



Gambar 2. 2. Grafik Perbandingan IPM Papua dan IPM Nasional 2011-2018



40



Gambar 2. 3. Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Papua Tahun 2018



41



Gambar 2. 4. Status IPM Menurut Kabupaten/Kota di Papua Tahun 2018



42



Gambar 2. 5. Grafik Harapan Lama Sekolah (RLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (HLS) Provinsi Papua



44



Gambar 2. 6. Kondisi Ruang Kelas di Kabupaten Puncak



45



Gambar 2. 7. Grafik Angka Harapan Hidup Provinsi Papua dan Indonesia Tahun 2014-2018



47



Gambar 2. 8. Grafik Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Papua dan Indonesia Tahun 2014-2018



49



Gambar 2. 9. Persentase Angkatan Kerja Menurut Pendidikan Terakhir yang Ditamatkan di Provinsi Papua dan Nasional Tahun 2018



50



Gambar 2. 10. Grafik Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan di Provinsi Papua tahun 2016



53



Gambar 2. 11. Gambar Jaringan Jalan Eksisting Provinsi Papua



54



Gambar 2. 12. Pelabuhan Pomako, Kabupaten Mimika



57



Gambar 2. 13. Pesawat Perintis sebagai Moda Transportasi Utama Masyarakat Pegunungan Papua



61



Gambar 2. 14. Jumlah Rumah Layak Huni Provinsi Papua Tahun 2013-2017



63



Gambar 2. 15. Grafik Rasio Rumah Layak Hunin per 100.000 Penduduk Provinsi Papua Tahun 2013-2017



63



Gambar 2. 16. Kondisi Rumah Masyarakat Asli Papua



64



Gambar 2. 17. Grafik Rasio Elektrifikasi Provinsi Papua Tahun 2014-2018



66



Gambar 2. 18. Grafik Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Provinsi Terpilih Tahun 2017



67



Gambar 2. 19. Grafik Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Menurut Lapangan Usaha serta Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Papua Tahun 2014-2018



69



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | xiii



Gambar 2. 20. Distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Tahun 2014 dan 2018 (%) 70 Gambar 2. 21. Suasana Pasar Tradisional di Kabupaten Intan Jaya



71



Gambar 2. 22. Grafik Indeks Kedalaman, Keparahan, dan Persentase Kemiskinan Provinsi Papua



74



Gambar 2. 23. Grafik Indeks Kedalaman (P1) dan Persentase Kemiskinan Provinsi Papua dan Indonesia



75



Gambar 2. 24. Grafik Indeks Keparahan (P2) dan Persentase Kemiskinan Papua dan Indonesia



76



Gambar 2. 25. Grafik Perkembangan Gini Rasio Papua dan Indonesia



77



Gambar 2. 26. Grafik Rata-rata Gini Rasio Wilayah Adat Provinsi Papua



78



Gambar 2. 27. Grafik Nilai ICOR Provinsi Papua Menurut Wilayah Adat



82



Gambar 2. 28. Grafik Nilai ICOR Provinsi Papua Menurut Kabupaten/ Kota



82



Gambar 2. 29. FGD antara Masyarakat Adat, Gereja, dan Pemerintah Kabupaten Mimika



89



Gambar 3. 1. Coverage media online yang memberitakan tentang pemekaran Provinsi Papua Tengah



105



Gambar 3. 2. Kecenderungan pemberitaan media online mengenai pemekaran Provinsi Papua Tengah



105



Gambar 3. 3. Kecenderungan pernyataan di media online



106



Gambar 3. 4. Kecenderungan sikap aktor di media online



107



Gambar 3. 5. Kecenderungan sikap aktor di Twitter



108



Gambar 3. 6. Kecenderungan Sikap Aktor di Facebook



109



Gambar 3. 7. Hasil Analisis Media Terkait Argumentasi Urgensi Pembentukan Provinsi Baru di Papua



110



Gambar 3. 8. Hasil Analisis Media Terkait Argumentasi Penolakan Pembentukan Provinsi Baru di Papua



115



Gambar 3. 9. Hasil Analisis Media Terkait Argumentasi Pemekaran dengan Syarat



122



Gambar 4. 1. Persyaratan Administratif



138



Gambar 4. 2. Peta Wilayah calon Provinsi Papua Tengah



140



Gambar 4. 3. Perbandingan Jumlah Penduduk Papua Barat, Papua dan Papua Tengah



142



Gambar 4. 4. Peta Batas Wilayah Calon Daerah Persiapan



144



Gambar 4. 5. Bencana Tanah Longsor di Cakupan Wilayah Papua Tengah



151



xiv | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Gambar 4. 6. Suasana Proses Perdamaian Perang Suku di Kabupaten Intan Jaya 154 Gambar 4. 7. Potensi Kopi Moanemani sebagai Komoditas Unggulan



157



Gambar 4. 8. Pembangunan Jalan di Kabupaten Intan Jaya



161



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | xv



xvi | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



BAB I MENCARI TEROBOSAN STRATEGIS: KELUAR DARI PELIKNYA PROBLEMATIKA MEMBANGUN PAPUA Kajian ini adalah kajian tentang agenda setting kebijakan Pemerintah yang akan diformulasikan dalam rangka mengatasi problematika pelik: membangun dalam suasana damai di tanah Papua. Studi ini sejak awal tidak diniatkan untuk sekedar menjustifikasi usulan pembentukan provinsi baru. Namun, titik tolaknya adalah penanganan secara lebih komprehensif terhadap permasalahan di tanah Papua, yang solusi dasarnya dikerangkai dalam jargon Otonomi Khusus Papua sebagaimana dikukuhkan dalam UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Oleh karena itu, hal terjauh yang bisa dilakukan adalah meninjau ulang kehandalan instrumen kebijakan untuk mewujudkan misi otonomi khusus tersebut dan menjajagi reinstrumentasi kebijakan yang bisa atau perlu dilakukan. Sekiranya pembentukan Provinsi Papua Tengah sebagai bentuk reinstrumentasi memang diperlukan, maka misi pokoknya bukanlah sekedar mengakomodasi adanya aspirasi atau usulan pembentukan daerah otonom baru. Lebih dari itu, misi penting kajian ini adalah bagaimana memastikan ketercapaian cita-cita Otonomi Khusus sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 21/2001, yang sampai menjelang 20 tahun pelaksanaannya, masih belum sepenuhnya terwujud. Dengan titik tolak seperti itu, maka kajian ini akan mendasarkan diri pada 3 hal penting. Pertama, basis analisis yang digunakan bukan semata-mata kelayakan tetapi lebih menekankan pada aspek kebutuhan. Kedua, kajian pemekaran Provinsi Papua Tengah tidak hanya dilakukan untuk menjawab aspirasi lokal tetapi juga menjadi bagian integral dalam mewujudkan kepentingan strategis nasional. Ketiga, kendati lebih difokuskan pada konteks Papua, hasil dan rekomendasi kajian ini sangat mungkin diposisikan sebagai model dalam penataan daerah yang lebih luas, khususnya bagi daerah yang memiliki tantangan dan persoalan yang serupa dengan apa yang terjadi di Tanah Papua.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 1



A. Mencari Terobosan dalam Bingkai Otonomi Khusus Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah pemerintahan yang paling pelik dan sejauh ini jauh dari tuntas, tanpa bermaksud untuk menyalahkan siapapun, adalah penyelenggaraan pemerintahan di Tanah Papua. Dalam kesadaran tentang hal ini, maka solusi biasa apalagi ala kadarnya, tentulah tidak adil. Karena derajat kesulitan dan kerumitan yang luar biasa tersebut, Pemerintah Republik Indonesia telah secara sungguhsungguh menempuh cara atau pendekatan khusus yang kemudian disepakati dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam koridor kekhususan itu, berbagai kebuntuan akan dicoba untuk ditembus melalui kajian ini tanpa meninggalkan berbagai hal yang prinsipil sehingga dapat memberikan jalan keluar yang optimal. Kekhususan yang dimaksud dalam kajian ini merujuk pada setidaknya dua hal. Pertama, derajat kompleksitas dan dilemadilema yang harus diputuskan dalam berbagai pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Untuk itu, kepekaan dan kesediaan untuk berempati menjadi persyaratan. Kedua, keberanian untuk menempuh jalur-jalur alternatif, yang bisa jadi belum atau tidak ada contohnya. Di balik penggunaan istilah khusus, ada begitu banyak ketidakpastian yang harus dipastikan. Ada keperluan untuk melakukan akselerasi pembangunan dalam kondisi keterbatasan-keterbatasan yang selama ini membelenggu seperti berkaitan dengan kewenangan, kelembagaan, dan sumber daya. Pada saat yang sama, kesediaan untuk menjalani rute sulit ini dimulai pada saat negeri ini hanyut dalam euforia saat berakhirnya tatanan yang mengungkung (birokratik, sentralistik dan militeristik). Untuk itu, tantangan nyata dari kajian ini adalah kecermatan dan sekaligus kekritisan. Secara teknis judul kajian ini memang mencanangkan pembentukan provinsi Papua Tengah, namun perlu ditegaskan 2 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



sejak awal bahwa ini bukan semata-mata studi kelayakan (feasibility study) untuk membentuk provinsi baru. Perlu dipahami pula bahwa organisasi pemerintahan daerah adalah instrumen untuk mencapai tujuan negara. Modifikasi, bongkar-pasang ataupun pembentukan unit pemerintahan baru, adalah hal yang normal untuk dilakukan demi tercapainya misi yang ditetapkan yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Hal ini perlu dikedepankan sejak awal karena, di era yang bertajuk 'reformasi' ini, sempat beredar euforia, bahwa pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) adalah hak rakyat, dan batasan untuk dipenuhinya hak adalah studi kelayakan. Tanpa harus mengatakan bahwa hak tersebut tidak lagi penting untuk diperhitungkan, studi ini bermaksud untuk menggeluti instrumentasi pemerintahan melalui perumusan rancang-bangun organisasional yang sekiranya diperlukan sebagai instrumen dalam menangani berbagai permasalahan yang tidak kunjung teratasi. Jika kajian ini tetap disebut sebagai studi pemekaran, perlu dikedepankan bahwa prinsip yang diacu adalah pemekaran sebagai kebutuhan (needs), walaupun tidak serta mengesampingkan pemekaran sebagai kelayakan (feasibility). Sehubungan dengan pertimbangan itu, perlu juga ditambahkan bahwa, pemekaran sebagai kebutuhan dikedepankan dalam studi ini tidak hanya relevan untuk Papua Tengah, melainkan kebutuhan untuk konteks seluruh Tanah Papua dan juga wilayah lain di Indonesia. Jika studi ini merekomendasikan ataupun tidak merekomendasikan pembentukan provinsi baru, unit pengkajian yang menjadi pangkal penyusunannya adalah telaah untuk seluruh Papua. Lebih dari itu, karena kepentingan utama adalah mengoptimalkan instrumen penanganan masalah, maka cakupan rekomendasinya adalah bagaimana mendisain spesifikasi pemerintahan yang dibutuhkan dan memastikan keberfungsian dari hadirnya pemerintahan. Dalam konteks kebutuhan, usulan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah harus diberlakukan sebagai titik pertemuan antara aspirasi masyarakat lokal dengan kepentingan strategis nasional. Kedua hal itu dapat berjalan beriringan dan saling menguatkan Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 3



sebagaimana semangat membangun dari pinggiran. Apalagi, secara nasional, kemauan politik untuk menata Papua secara lebih baik sudah ditegaskan secara lugas dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Formula pengkajian ini dilandasi oleh pertimbangan kekhususan Papua dalam berbagai aspek yang tidak mungkin bisa diwadahi dalam dan dengan pendekatan normatif kelayakan. Berangkat dari pilihan tersebut, kajian ini akan lebih memberikan bobot analisis pada dimensi kebutuhan terkait percepatan pembangunan, peningkatan kesejahteraan, memperpendek rentang kendali, dan atau transformasi konflik sebagai realitas kongkrit yang dihadapi masyarakat Papua. Kalaupun aspek-aspek normatif kelayakan ikut dikaji, hal itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari upaya untuk menegaskan kebutuhan akan pemekaran wilayah. Perlu dicatat bahwa, dalam kajian ini skema Otsus dibayangkan sebagai sebuah formula kebijakan, bukan sebagai sekedar perangkat teknis-praktis. Kajian ini tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa selama ini telah ada sejumlah pendekatan dan inisiatif yang sudah dilakukan oleh pemerintah – bersama masyarakat dan lembaga agama – untuk ikut menyelesaikan berbagai persoalan Papua. Namun pada saat yang sama, penerapan skema Otsus itu sendiri juga mengundang masalah baru. Satu hal yang jelas, dibukanya skema Otsus ternyata belum mampu menuntaskan hal-hal yang seharusnya dituntaskan, dan di tengah kuatnya tradisi berpemerintahan secara baku, skema kebijakan ini dan penerapannya masih belum optimal. Berbekal berbagai kebijakan dan inisiatif tersebut, Papua sudah mencatat sejumlah kemajuan penting. Namun, secara nasional, Papua masih relatif tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Merujuk berbagai data statistik makro, Papua masih tercatat sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terrendah di Indonesia. Capaian di beberapa sektor strategis seperti pendidikan dan kesehatan juga



4 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



masih sangat memprihatinkan. Papua juga terkenal sebagai wilayah dengan jumlah wilayah terisolasi terbanyak di Indonesia. Berbagai permasalahan tersebut semakin diperparah oleh masih tingginya instabilitas politik dan ketidakstabilan kondisi keamanan di beberapa wilayah Papua. Konflik vertikal maupun horizontal hampir menjadi peristiwa rutin sehingga menjadikan wilayah ini sangat rawan. Hal ini bertolak belakang dengan wajah damai yang menjadi hakikat budaya masyarakat Papua. Oleh karena itu, Papua hampir selalu lekat dengan konotasi masalah dan konflik. Jika direfleksikan secara lebih dalam, kesenjangan antara begitu banyak langkah kebijakan pemerintah di satu sisi dan keterbatasan capaian pembangunan di sisi yang lain menimbulkan pertanyaan besar dan jawaban atas pertanyaan tersebut akan sangat menentukan peta jalan percepatan kemajuan di Papua. Ketika UU Otsus dikeluarkan, cukup banyak pihak yang menaruh harapan. Namun, bukannya mempercepat penyelesaian masalah, kebijakan strategis inipun malah dianggap sebagai bagian dari masalah, bahkan masalah itu sendiri. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya kritik terhadap desain Otsus Papua yang dianggap setengah hati dan lebih menonjolkan semangat pusat untuk mengontrol Papua ketimbang sebuah kerangka tulus untuk menyelesaikan persoalan Papua. Kebijakan Otsus justru menjadi episentrum konflik baru, minimal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, dibutuhkan terobosan khusus atau disebut dengan detail rancangan baru yaitu reinstrumentasi. Kerangka baru tersebut menuntut pengenalan masalah dan kebutuhan secara tuntas yang disertai dengan diagnosis penyebab yang lugas sebagai dasar untuk perumusan berbagai instrumen kebijakan. Eksperimen otonomi khusus baru itu dapat dimulai dengan skema pemekaran provinsi dan salah satu calon provinsi “baru” di Papua yang sudah lama diperjuangkan adalah Provinsi Papua Tengah. Calon provinsi ini pernah dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 sebelum akhirnya



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 5



dibatalkan pada tahun 2004 karena alasan konflik seputar ibukota. Dengan cakupan wilayah meliputi Kabupaten Mimika, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Waropen, Kabupaten Yapen, Kabupaten Biak-Numfor dan Kabupaten Supiori – serta Kabupaten Puncak yang muncul belakangan, calon provinsi baru ini dapat menjadi ajang uji coba gagasan otonomi khusus baru untuk selanjutnya diterapkan di seluruh wilayah Papua. Untuk mencapai tujuan tersebut, kajian ini akan menganalisis secara komprehensif, mendalam, dan hati-hati berbagai aspek untuk menjadikan pembentukan provinsi baru sebagai salah satu alternatif solusi atas berbagai persoalan di Papua. Dengan menggunakan kerangka pikir serta metode khusus, kajian ini diharapkan dapat memberikan jawaban alternatif yang tuntas untuk menyelesaikan berbagai permasalahan Papua.



B. Konteks Reinstrumentasi Dalam studi ini, skema Otsus diasumsikan sebagai kerangka yang sah dan memadai untuk mencari solusi atas permasalahan Papua, apapun definisi masalahnya. Meskipun terdapat berbagai keterbatasan, pada dasarnya itu adalah persoalan instrumentasi, bukan persoalan formula atau substansi kebijakan. Artinya, jika terdapat persoalan di lapangan dan kinerja yang tidak memadai, hal itu diasumsikan sebagai "pekerjaan rumah" yang perlu segera diselesaikan. Lebih dari itu, kekhususan yang dieksplorasi adalah untuk memungkinkan adanya proses-proses yang akseleratif. Dalam rangka akselerasi itulah, misalnya, disepakati peruntukan 2,5% dari total dana yang ditransfer pemerintah pusat ke daerahdaerah lain, untuk Papua yang berlaku selama 20 tahun sejak diberlakukannya UU Otsus Papua. Jika terjadi perubahan Otsus sebagai kerangka penanganan masalah, perubahan yang perlu diantisipasi adalah perpanjangan masa pemberian dana Otsus, yang durasinya akan berakhir pada tahun 2022.



6 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Untuk memudahkan telaah, permasalahan Papua dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yang saling mempengaruhi; yakni pembangunan dan konflik. Dalam tingkat tertentu, keduanya saling berkaitan di mana kelambanan dan ketimpangan pembangunan menjadi pemicu konflik dan konflik pada akhirnya mengganggu ritme pembangunan untuk selanjutnya memperparah ketimpangan tersebut. Dengan demikian, kedua isu tersebut – konflik dan percepatan/pemerataan pembangunan – harus menjadi titik tolak bagi semua bentuk inisiatif penyelesaian masalah Papua yang khas yang, oleh karenanya, membutuhkan solusi yang khas juga. Konflik yang terjadi di Papua selama ini secara umum dapat dijelaskan dari tiga perspektif. Perspektif pertama adalah perspektif developmentalis yang melihat bahwa konflik adalah akibat langsung dari belum optimalnya pembangunan Papua, baik karena intervensi yang keliru maupun karena distribusi hasil pembangunan yang tidak merata. Terdapat dugaan yang sangat kuat bahwa pembangunan ala modernisasi yang dijalankan selama ini cenderung semakin memarginalkan Orang Asli Papua - OAP (lihat misalnya Barter dan Cote 2016; Anggarini, Maksum and Halidin 2019). Kebijakan otonomi khusus pun sering dianggap sebagai kerangka yang semakin memarginalkan OAP. Hal ini dapat dilihat pada berbagai arena formal terutama di wilayah perkotaan seperti sektor pemerintahan dan perkeonomian modern. Masalah distribusi pembangunan yang tidak merata juga diperparah oleh masih lambannya laju pembangunan. Jika masalah pemerataan terutama dirasakan di wilayah perkotaan dan institusi modern, maka masalah kelambanan pembangunan terutama dijumpai pada wilayah-wilayah terpencil di pegunungan. Bukan merupakan sebuah kebetulan jika berbagai konflik di Papua, terutama yang bersifat vertikal, terjadi di wilayah Pegunungan Tengah seperti Puncak Jaya, Puncak, Intan Jaya, Paniai, Jayawijaya, Nduga, Lani Jaya, Tolikara atau Pegunungan Bintang. Di wilayahwilayah inilah tapak pembangunan belum begitu menonjol di saat Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 7



banyak daerah lain sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dengan kata lain, konflik menjadi simbol perlawanan atas fenomena keterbelakangan tersebut. Perspektif kedua adalah perspektif ideologis yang melihat bahwa konflik di Papua adalah akibat dari ketidakberesan proses integrasi—atau bahkan aneksasi—menyusul Pepera Tahun 1969 yang diperparah oleh berbagai kasus pelanggaran HAM, serta upaya penanganan atasnya yang tidak pernah tuntas (Webster 2002; Rutherford 2012; Rutherford 2013; Kirksey 2012). Dalam perspektif ini, berbagai permasalahan di Papua, terutama terkait konflik, hanya bisa diselesaikan dengan meluruskan sejarah yang keliru, misalnya melalui pelaksanaan referendum atau minimal dialog yang tulus, serta mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM yang kasusnya masih menggantung hingga saat ini. Dalam perspektif ini, kemerdekaan Papua juga dianggap sebagai opsi alternatif. Argumen ini terutama diusung oleh mereka yang bergabung dalam berbagai kelompok yang mengupayakan kemerdekaan seperti OPM, KNPB, ULMWP, aliansi mahasiswa, dan kelompokkelompok sporadis lainnya. Argumen terkait kekeliruan sejarah ini diperkuat dengan alasan etno-nasionalis bahwa masyarakat Papua berasal dari ras Melanesia yang sangat berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. Tuntutan dan gerakan separatis selama ini selalu menggunakan dua isu tersebut secara bergantian atau bersamaan. Bagi kelompok ini, integrasi Papua ke wilayah NKRI tidak lebih dari sebuah proses integrasi ekonomi untuk mengeksploitasi kekayaan alam Papua bagi kemajuan Indonesia tanpa disertai dengan integrasi budaya yang memastikan bahwa masyarakat Papua adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia.1 Perspektif ketiga adalah perspektif ekonomi-politik yang cenderung melihat konflik Papua sebagai akibat pertarungan



1



Hasil wawancara dengan Pendeta Socrates Sofyan Yoman di Jayapura pada tanggal 15 November 2019



8 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



kepentingan para elit, baik elit politik, ekonomi, maupun militer (lihat misalnya Supriatma 2013; Kirksey 2012; Leith 2003). Sebagian peneliti melihat bahwa Papua telah menjadi “lahan bisnis konflik” yang terus dijaga untuk melanggengkan kepentingan ekonomi-politik para elit, baik elit ekonomi, politik maupun militer. Papua juga menjadi titik simpul kapitalisme global yang akan terus berusaha mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari usahausaha ekstraktif terutama dari sektor pertambangan dengan PT Freeport sebagai representasi klasiknya. Konflik Papua juga tidak terlepas dari pertarungan politik lokal yang terus menerus direproduksi. Tidak mengherankan jika pelaksanaan Pilkada di Papua selalu lekat dengan konflik dengan korban yang sangat banyak (Gugus Tugas papua UGM 2020). Perspektif seperti ini tentu saja lebih rumit karena melibatkan permainan para elit yang pada saat tertentu berkontestasi dan pada saat lain berkolaborasi rapih untuk mengamankan kepentingannya. Kajian ini terutama diinspirasi atau berangkat dari perspektif pertama dan, oleh karenanya, menjadikan pemekaran sebagai strategi integral untuk mengurai berbagai persoalan yang berkaitan dengan percepatan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, redistribusi kesejahteraan sosial, dan yang paling mendasar, mengangkat harkat dan martabat OAP. Tanpa mengabaikan urgensi dan relevansi kedua perspektif lainnya, kajian ini berasumsi bahwa penyelesaian tuntas atas masalah ketertinggalan, keterbelakangan, atau bahkan marginalisasi minimal akan memoderasi magnitudo konflik yang terjadi selama ini dan dalam jangka panjang akan mampu menyelesaikannya. Dalam konteks ini, pemekaran tetap diletakkan dalam upaya untuk menciptakan keamanan, tidak dalam pengertian keamanan tradisional (traditional security) tetapi lebih mengedepankan perspektif human security (PPKK FISIPOL UGM 2013). Berangkat dari semangat tersebut, inisiatif pemekaran provinsi akan dilakukan berdasarkan beberapa landasan berikut. Pertama, pemekaran sebagai sarana dan dalam kerangka pembangunan Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 9



inklusif. Secara konseptual, pembangunan inklusif dipahami sebagai sebuah pendekatan dan upaya pembangunan yang memperhatikan semua aspek (lingkungan, sosial, ekonomi, material, sisial budaya, dan psikologis) serta semua strata stakeholders pembangunan, terutama kelompok miskin, rentan dan marjinal. Itulah sebabnya prinsip-prinsip proteksi, pemberdayaan, keberpihakan, keberlanjutan, pemerataan, dan partisipasi menjadi pilar penting pembangunan. Kaum miskin, rentan dan marjinal harus mendapat perhatian utama dalam pembangunan, baik sebagai pelaku maupun penerima manfaat pembangunan (Gupta, Pouw dan Ros-Tonen 2015; Pouw dan Gupta 2017). Dalam kajian ini, pembangunan inklusif dimaknai sebagai upaya untuk menjadikan pemekaran sebagai instrumen kebijakan untuk memastikan bahwa semua proses dan inisiatif pembangunan yang berjalan di Papua setelahnya adalah oleh dan untuk masyarakat Papua, terutama OAP. Masyarakat Papua harus menjadi aktor-aktor pembangunan yang sesungguhnya sekaligus kelompok penerima manfaat utama dari berbagai proses dan inisiatif tersebut, bukan penonton, apalagi korban. Dalam jargon lokal, pemekaran harus menjadikan OAP sebagai tuan di atas tanahnya sendiri. Oleh karena itu, inisiatif pemekaranan akan tetap disertai dengan berbagai langkah proteksi maupun afirmasi yang secara kelembagaan harus diletakkan dalam desain otonomi khusus untuk Papua. Perspektif inklusif tersebut juga harus diperluas pada semua aspek kehidupan. Pada aspek ekonomi, OAP harus menjadi pelaku dan penerima manfaat utama. Sektor-sektor yang sudah dikuasai oleh AOP bisa diproteksi terhadap masuknya aktor-aktor luar yang lebih kompetitif. Pada saat yang sama, OAP difasilitasi dan diberdayakan untuk semakin kompetitif dalam mengelola sektorsektor tersebut. Hal yang sama juga seharusnya dilakukan pada sektor pemerintah. Demikian juga halnya dengan sektor politik. Fenomena tergusurnya OAP dalam proses kontestasi dan lembaga politik yang ada selama ini harus ditata ulang dengan memberi ruang lebih bagi OAP untuk menjadi aktor utama. Hal ini dapat 10 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



dilakukan dengan sistem kuota untuk posisi-posisi legislatif serta proteksi untuk posisi kepala daerah dan wakilnya. Hal ini mendesak dilakukan mengingat makin tergusurnya OAP dalam kelembagaan demokrasi yang ada karena berbagai sebab. Kelompok yang tergusur ini jugalah yang menjadi salah satu pendukung tuntutan separatis sehingga penanganan kelembagaan yang sistematis untuk mengembalikan mereka pada jalur konstitusional menjadi salah satu prasyarat mutlak untuk merekatkan kembali ikatan kebangsaan yang sudah mulai luntur itu. Kedua, pemekaran dalam kerangka desentralisasi asimetris. Desentraliasi asimetris dipahami sebagai upaya dan desain untuk memberikan perlakuan berbeda pada satu atau sejumlah satuan administratif-kewilayahan (Congleton, 2006; Simeon, 1995). Terdapat banyak alasan di balik diterapkannya kebijakan desentralisasi asimetris seperti peningkatan daya saing (Li, 2018; Li & Chan, 2017; Yu, Zhou, & Zhu, 2016), rekognisi kekhususan (Rodriquez-Garcia 2010), percepatan pembangunan, pelayanan publik atau ketimpangan wilayah (Edwards dan Yilmaz 2016), hingga instrumen manajemen atau transformasi konflik (Gjoni et al., 2010; Laforest, 2005; Milne, 2005; Smith, 2005; Watts, 1999; Zuber, 2011). Dari berbagai argumen tersebut, dua argumen menonjol perlu mendapat perhatian khusus dan hal itu sangat relevan dengan konteks terkini di Papua. Jika tesis kekhususan Papua terletak pada masalah penanganan konflik dan percepatan dan distribusi pembangunan, maka disentralisasi asimetris menjadi perangkat yang handal di sini. Pengalaman komparatif menunjukkan bahwa akomodasi teritorial telah menjadi instrumen efektif, baik untuk mengatasi tuntutan etno-nasionalis maupun distribusi kue pembangunan. Negara-negara multietnik dan agama seperti Inggris, Kanada, Spanyol, India, atau Yugoslavia telah menerapkan desentralisasi asimetris sebagai instrumen akomodatif untuk mengelola kebhinekaan dan hal itu terbukti berhasil mempertahankan persatuan di tengah kebhinekaan. Tesis dan Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 11



pengalaman lain yang menunjukkan bukti sebaliknya – bahwa desentralisasi asimetris justru semakin memicu konflik – umumnya bersifat kondisional (Chapman dan Roeder 2007; Turner 2006; Brancati, 2006; Eaton 2006; Schou and Haug, 2005; Eaton, 2006; Siegle dan O’Mahony, 2007). Dengan demikian, kegagalan desentralisasi asimetris dalam mengelola konflik bukan disebabkan oleh ide dasar desentralisasi itu sendiri tetapi lebih disebabkan oleh, misalnya, karakter dari konflik itu sendiri (Edwards dan Yilmaz 2016; Gjoni, Wetterberg dan Dunbar 2010), kegagalannya dalam mewadahi partai lokal (Brancati 2008), ketidakmampuan dalam memenuhi ekspektasi atau tujuan yang diharapkan (Lyon 2016), atau kegagalan dalam mengelola dan mengakomodasi kepentingan para elit (Nancheva 2016). Poin-poin situasional ini harus diantisipasi, pertama, di dalam desain kebijakan desentralisasi asimetris dan, kedua, dalam desain implementasinya. Berangkat dari diskusi tersebut, untuk menegaskan kebutuhan khusus Papua secara umum, dibutuhkan desain kelembagaan khusus yang bersifat asimetris dengan memberikan peluang perlakuan berbeda dalam membangun Papua. Dalam bingkai desentralisasi asimetris, pemekaran provinsi di Papua dilakukan dengan pertimbangan khusus yang selanjutnya diperkuat dengan skema-skema khusus setelahnya. Skema-skema asimetris tersebut antara lain meliputi aspek politik, administratif, hukum, ekonomi, maupun sosial-kultural. Asimetri diberikan tidak hanya dalam kerangka proteksi dan afirmasi tetapi juga rekognisi dan akselerasi. Poin-poin pembelajaran dari negara lain, baik yang berhasil maupun gagal menggunakan desentralisasi asimetris sebagai desain kebijakan untuk mengelola konflik, harus diperhatikan dan diperlakukan secara serius. Pada level yang lebih instrumental-material, desentralisasi asimetris harus mampu menjawab kebutuhan atau persoalan kongkrit keseharian seperti pelayanan publik atau pembangunan. Jika muncul keluhan bahwa desentralisasi asimetris di Papua belum optimal menjawab berbagai isu material ini (lihat misalnya 12 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Cahyaningsih dan Fitrady 2019; Efriany, Couwenberg dan Holzhacker 2019; Seda, Setyawati, Pera, Febriani, dan Pebriansyah 2018), maka diagnosis yang cermat sangat dibutuhkan sebelum pemerintah menentukan langkah-langkah penyelesaiannya. Sama seperti pengalaman komparatif, ketidakoptimalan tersebut seringkali dikaitkan dengan kapasitas pemerintah yang masih sangat terbatas, konteks sosial-kultural yang tidak dipahami secara baik sebelum sebuah intervensi dilakukan, dan beberapa keterbatasan kebijakan itu sendiri. Ketiga, pemekaran sebagai bagian dari transformasi konflik. Belajar dari berbagai negara yang berhasil melakukannya, pemekaran harus bisa menjadi sarana transformasi konflik, terutama yang bersifat vertikal, di mana berbagai bentuk ketegangan antara pusat dan daerah harus bisa diselesaikan secara damai (Brancati 2009; Gjoni, Wetterberg dan Dunbar 2010; Lyon 2016). Transformasi konflik dapat dilakukan dengan, misalnya, memberikan ruang struktural dan memastikan bahwa para aktor yang terlibat dalam konflik, termasuk mereka yang menuntut kemerdekaan, mau berpartisipasi atau terlibat dalam struktur demokrasi formal seperti birokrasi atau pemilu. Pada batasan tertentu, keberhasilan transformasi konflik mensyaratkan afirmasi dan atau proteksi hingga ambang tertentu di mana kontestasi murni dapat diterapkan. Dengan cara demikian, perjuangan-perjuangan ekstra konstitusional seperti kekerasan bersenjata dapat diredam untuk selanjutnya bertarung atau berjuang dalam pranata demokrasi tanpa perlu menggunakan kekerasan. Dalam konteks ini, penguatan poin pertama dan kedua menjadi prasyarat. Oleh karena itu, instrumentasi desentralisasi asimetris pada aspek Nodality, Authority, Treasure, dan Organisation (NATO) (Hood 2007) harus dilakukan secara seksama dengan memperhatikan konteks dan permasalahan khusus Papua yang bisa jadi sangat berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Hal itu untuk memastikan bahwa pemekaran tidak hanya mampu mengelola



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 13



konflik tetapi juga mentransformasi konflik menjadi energi positif untuk membangun Papua ke arah yang lebih baik. Berpegang pada ketiga kerangka pikir tersebut, kajian ini dibangun dengan beberapa argumen dasar. Pertama, meskipun terdapat begitu banyak faktor yang dapat menyebabkan konflik di Papua, studi ini memandang bahwa kelambanan dan ketimpangan pembangunan merupakan penyebab penting. Oleh karena itu, pemekaran wilayah diperlakukan sebagai terobosan untuk mengatasi masalah tersebut. Kedua, memperlakukan pemekaran sebagai alternatif solusi harus disertai dengan proses rekayasa terhadap berbagai instrumen otonomi khusus yang sudah diterapkan selama ini dengan terutama memperkuat warna kekhususannya, baik pada aspek politik, hukum, fiskal, administratif, ekonomi, maupun sosial-kultural. Warna khusus dari desain baru otonomi harus menggambarkan kekhasan Papua, yakni ketertinggalan dan konflik, yang oleh karenanya membutuhkan pengawalan yang serius pada berbagai level, baik yang bersifat sistemik, manajerial, maupun teknis-operasional. Pada titik inilah reintrumentasi terhadap desain otonomi khusus Papua harus dilakukan. Ketiga, desain otonomi khusus baru sebagaimana dimaksudkan pada poin sebelumnya dikembangkan untuk memastikan bahwa integrasi Papua secara kewilayahan akan diikuti oleh aransemen akomodatif pada aspek sosial-budaya dan politik. Dengan kata lain, harus ada niat untuk menggeser kebijakan integrasi dengan aransemen baru yang lebih akomodatif. Jika reinstrumentasi bisa dilakukan dengan tuntas, maka rintisan awal untuk Papua ini dapat menjadi model untuk mengelola kebhinekaan Indonesia secara lebih bermartabat.



14 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



C. Telaah Kajian Papua Terdahulu Diskursus ilmiah tentang Papua menarik perhatian banyak perdebatan akademik maupun praktis. Secara umum, Papua seringkali dibahas dalam diskursus sejarah dan berbagai implikasinya. Dari perspektif ini, kajian-kajian terdahulu berargumentasi bahwa bicara Papua adalah bicara dekolonisasi. Kompleksitas proses dekolonialisasi di Papua berimplikasi serius pada hubungan pendukung kemerdekaan papua, pemerintah Indonesia dan beberapa negara khususnya Australia. Selain itu, ketidaksepakatan sejarah dekolonialisasi di Papua berdampak pada proses identity-sharing yang kompleks di level domestik (Aspinall, 2006; Kalidjernih, 2008; Day, 2015; Lawson, 2016; Kluge, 2019). Dengan argumen yang berbeda, studi tentang hak asasi manusia dan konflik secara umum menerangkan bahwa konflik dipicu oleh gerakan dan ideologi separatisme. Gerakan tersebut berpijak pada kritik atas pelaksanaan pemilihan langsung tahun 1969. Berbagai negara menghadapi gerakan yang serupa, namun pendekatan resolusi konflik pemerintah Indonesia terhadap Papua dianggap paling optimal untuk menekan pemberontakan, meskipun pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan represif yang paling minim dibandingkan negara lain seperti Thailand dan Pakistan (Bertrand, 2011; Suryawan, 2014; Wilson & Akhtar, 2019; Broek & Szalay, 2019). Selanjutnya, studi terkait pembangunan Papua seperti pendekatan pembangunan dan pemekaran daerah menarik perhatian beberapa peneliti. Karim, (2012) Ruhyanto, (2016), dan Indrawan et al (2019) menjelaskan bahwa kebijakan pembangunan Papua memerlukan pendekatan inklusif yang berbasis resolusi konflik serta kekhususan sistem sosial papua. Disamping itu, pembangunan Papua seringkali dikaitkan dengan otonomi khusus Papua dan fenomena pemekaran. McWilliam (2011) menyebutkan proses pemekaran bermanfaat untuk menciptakan proses transformasi ekonomi modern bagi daerah-daerah yang masih



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 15



tertinggal. Sebaliknya, Faoziyah & Salim (2016) berpendapat bahwa pemekaran daerah di Indonesia tidak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru sebaliknya, dapat membebani pemerintah daerah otonom baru. Sehingga, diskursus Papua didominasi oleh diskusi terkait sejarah, konflik, dan pembangunan Papua. Dibandingkan dengan diskursus sejarah dan konflik, diskursus tentang pemekaran dan otonomi khusus Papua belum banyak menghasilkan kontribusi ilmiah dalam pengembangan konsep dan pendekatan pembangunan di Papua. Padahal, otonomi khusus dan pemekaran di Papua adalah fakta yang mendominasi warna dan praktek pembangunan Papua. Sedangkan diskusi terkait pemekaran daerah selalu dilekatkan pada proses penataan daerah (Ferrazzi, 2007). Pemekaran daerah diyakini sebagai salah satu instrumentasi kebijakan desentralisasi. Studi empiris pelaksanaan pemekaran dan desentralisasi dilakukan diberbagai negara seperti Thailand dan Philippines. Secara umum, desentralisasi yang diikuti dengan pemekaran daerah di Thailand dan Philippines didominasi oleh keinginan masyarakat melalui institusi politik. Sedangkan motivasi pemekaran didominasi oleh semangat peningkatan efisiensi dan transparansi pemerintah (Kettle 2000; Campos & Hellman 2005). Namun, White & Smoke (2005), Mutebi (2003), dan Tatchalerm, et al (2009) membuktikan perbedaan kondisi pemekeran yang berbeda pada kedua negara tersebut meskipun karakteristik dukungan dan tujuan pemekaran di Thailand dan Philippines relatif sama. Studi pemekaran di Jerman dan Austria menunjukkan kepentingan desentralisasi dan pemekaran daerah cenderung didominasi oleh kepentingan politis domestic yang diartikulasikan dalam bingkai kekhususan etnis budaya, religious dan Bahasa (Yoder, 2003). Motivasi pemekaran dibentuk oleh keinginan untuk mendapat lebih banyak otonomi dan semangat kekhususan kelompok masyarakat tertentu.



16 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Selain diskursus teoritis, otonomi khusus dan pemekaran menarik perhatian berbagai lembaga penelitian untuk melakukan kajian akedemik dan teknis (Pratikno et al, 2006; Santoso & Lay (Eds), 2009; Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK), 2012; 2013). Secara umum, kajian-kajian akademis-teknis pemekaran papua terdahulu dilakukan secara parsial pada daerah yang berbeda. Kajian pemekaran tersebut dilakukan di beberapa kabupaten seperti Yamo, Imekko, Muyu, dan Puncak secara parsial. Kajian pemekaran Imekko berpijak pada perspektif keterisolasian dan ketertinggalan daerah untuk menakar kelayakan pengajuan Daerah Otonom Baru (PPKK, 2012). Sedangkan kajian pemekaran Yamo bertujuan untuk menilai modalitas pemekaran daerah dalam rangka mengurangi keterpencilan dan gangguan keamanan daerah (PPKK, 2013). Sementara itu, kajian pemekaran Kabupaten Muyu berpijak pada kebutuhan untuk merespon usulan pemekaran dalam rangka percepatan pembangunan (Santoso & Lay (Eds), 2009). Selain itu, kajian pemekaran Kabupaten Puncak juga bertujuan untuk menakar inisiatif pemekaran daerah dalam rangka peningkatan kemandirian daerah dan peningkatan proses governance (Pratikno et al, 2006). Sehingga, masing-masing kajian memiliki penekanan argumentasi yang berbeda sesuai dengan konteks masing-masing daerah usulan. Perspektif kajian pemekaran terdahulu masih berpijak pada upaya untuk mengakomodasi ambisi pemekaran masing-masing daerah. Kerangka argumentasi pemekaran seperti keamanan, percepatan pembangunan, dan governance masih digunakan secara parsial meskipun ketiganya saling mempengaruhi. Sehingga, rekomendasi yang dihasilkan terbatas pada kebutuhan masingmasing daerah dan dalam kerangka pencapaian tujuan parsial. Belum ada kajian yang secara komprehensif membahas latar belakang permasalahan Papua secara keseluruhan dari berbagai sudut pandang yang saling berkaitan. Kajian Papua terdahulu belum secara komprehensif diletakkan pada kerangka analisis kritis UU 21/2001 sebagai agenda strategis nasional. Sehingga, belum ada



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 17



rekomendasi pemekaran yang mampu menyelesaikan permasalahan dan mengakomodasi kekhususan Papua secara komprehensif. Oleh karena itu, kajian ini akan menempatkan kompleksitas permasalahan Papua dalam diskursus yang lebih komprehensif. Kajian ini akan melengkapi kajian-kajian kelayakan pemekaran terdahulu yang telah dilakukan secara parsial diberbagai daerah di Papua. Logika kelayakan dalam kajian ini akan dianalisis dan dikritisi kesesuaiannya untuk mengukur kelayakan dalam konteks khusus. Kajian ini akan berkontribusi bagi artikulasi aspirasi lokal sekaligus sebagai bahan evaluasi dan reinstrumentasi kepentingan strategis nasional. Selain itu, mengingat tingkat diskursus yang lebih komprehensif maka kajian ini akan menghasilkan model rekomendasi yang dapat digunakan sebagai pedoman penataan daerah daerah lain.



D. Metode Penelaahan Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan melakukan serangkaian diskusi kelompok terfokus (Focused Group Discussion – FGD) dan wawancara mendalam dengan sejumlah pihak terkait, baik para politisi dan birokrat pusat dan daerah, inisiator pemekaran, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi maupun peneliti atau ahli Papua terkait. FGD dan wawancara mendalam terutama dilakukan untuk menggali permasalahan, kebutuhan, dan harapan terhadap pemekaran wilayah. Tim Peneliti juga melakukan kajian dokumen untuk melihat perkembangan aspirasi pembentukan Provinsi Papua Tengah, landasan hukum, kajian-kajian sejenis sebagai pembanding, serta berbagai referensi ilmiah yang relevan. Untuk memperkuat temuan kualitatif, kajian ini juga menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan ini dilakukan dengan, pertama, menggunakan analisis isi media untuk merekam



18 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



diskursus atau pemberitaan yang terkait pembentukan Provinsi Papua Tengah serta sejumlah permasalahan yang terkait dengannya. Pemberitaan yang dikaji adalah berita-berita terkait pembentukan Provinsi Papua Tengah sejak tahun 1999 hingga bulan November 2019. Media yang dipilih meliputi media nasional dan media lokal yang banyak memberitakan berbagai permasalahan terkait politik dan pemerintahan di Papua, dan secara khusus memuat pemberitaan tentang wacana pemekaran. Kedua, melakukan skoring atas berbagai syarat kelayakan pembentukan provinsi menggunakan norma regulasi yang berlaku, yakni menggabungkan substansi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan draft Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penataan Daerah yang kini sedang dipersiapkan oleh Pemerintah sembari merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Metode yang kedua ini digunakan untuk memperkuat analisis kebutuhan yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Dengan demikian, jika hasil analisis terhadap peroleh skore nilai berdasarkan standar kelayakan normatif menunjukkan bahwa pembentukan Provinsi Papua Tengah dianggap “tidak layak”, maka hal itu justru semakin menguatkan kebutuhan akan pentingnya pemekaran.



E. Tujuan Kajian ini diletakkan dalam agenda memperkuat penerapan desentralisasi asimetris di satu sisi dan penanganan kekhasan permasalahan Papua di sisi yang lain. Tujuan tersebut mencakup upaya untuk memikirkan ulang terobosan-terobosan yang perlu dilakukan agar keluar dari peliknya problematika dalam membangun Papua. Kajian ini berinisiatif untuk menimbang reinstrumentasi kebijakan Otsus Papua yang selama ini dianggap tidak sensitif terhadap konteks dan kebutuhan lokal. Instrumen yang dikaji akan didisain dengan prioritas bagaimana menghadirkan aransemen kelembagaan yang inklusif dan bersifat



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 19



khusus sehingga mampu menyelesaikan atau setidaknya membuka ruang baru bagi penyelesaian peliknya masalah Papua. Beberapa poin kunci yang menjadi pertimbangan adalah penyelesaian konflik, percepatan pembangunan, dan perbaikan pelayanan publik yang dimaknai tidak hanya sebagai problema Papua tapi juga kepentingan nasional. Untuk sampai pada tahap itu, maka tiga strategi akan dilakukan dalam kajian ini, yaitu: pertama, menelusuri jejak penerapan skema Otsus Papua dan instrumentasinya selama ini. Tahapan ini akan dilengkapi dengan identifikasi terhadap capaian pembangunan Papua dari berbagai aspek seperti sosial budaya, ekonomi, fisik dan lingkungan, serta tata kelola pemerintahan. Identifikasi terhadap capaian ini juga sekaligus disertai dengan penyebab dan akar masalah baik dari aspek sistemik berupa kebijakannya, kelembagaan, maupun kapasitas individu. Tahapan ini akan akhiri dengan pertanyaan seputar spesifikasi terobosan seperti apa yang dibutuhkan. Kedua, melakukan analisis terhadap usulan pembentukkan Papua Tengah dari perspektif dan kepentingan dalam melakukan reinstrumentasi kebijakan Otsus. Tahapan ini akan dimulai dengan melihat ke belakang perjalanan usulan Papua Tengah dari perspektif hukum. Selanjutnya, wacana pemekaran di tengahtengah masyarakat juga akan dianalisis untuk melihat sejauhmana isu ini berkembang di kalangan masyarakat Papua. Kemudian agenda pembentukkan Papua Tengah selanjutnya akan ditimbang berdasarkan perhitungan-perhitungan indikatif. Langkah ini dimaksudkan untuk melihat gambaran kesiapan dan tantangan yang harus dihadapi dalam menghadirkan pemerintahan baru di Papua Tengah. Skoring tidak akan menjustifikasi layak atau tidak layak tapi diletakkan dalam konteks tantangan dan kebutuhan yang harus diselesaikan. Ketiga, merumuskan poin-poin rekomendasi dalam rangka menegaskan skema khusus dalam reinstrumentasi kebijakan Otsus.



20 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Usulan menghadirkan pemerintahan baru pada level provinsi akan difikirkan dengan mempertimbangkan kekhususan Papua. Beberapa bentuk instrumentasi yang lebih detil akan disajikan sebagai agenda tindaklanjut yang harus dijalankan jika usulan pembentukkan Provinsi Papua Tengah disepakati.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 21



22 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



BAB II CAPAIAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN KEBUTUHAN REINSTRUMENTASI KEBIJAKAN Sebagaimana dideklarasikan pada Bab I, argumen mendasar kajian ini mengasumsikan bahwa skema Otsus (bukan jejak implementasinya) adalah hal yang kodrati, namun penjabarannya perlu dioperasionalisasi ulang berdasarkan telaah jejak-jejak kesulitan dalam praktek pelaksanaan otsus di masa lalu. Kebijakan Otsus Papua dinilai cacat sejak lahir karena substansinya tidak sejalan atau bahkan tidak merepresentasikan kehendak umum orang Papua. Hal tersebut berakibat pada ketidakhandalan instrumentasi Otsus yang seringkali menjadi sorotan sehingga hanya menghasilkan capaian yang minimalis. Ketika berikrar untuk melakukan akselerasi pembangunan dengan bingkai Otsus, pemerintah berpotensi memaksakan diri. Pemaksaan itu terjadi manakala masyarakat Papua (yang masih lekat dengan tradisi berburu dan meramu serta terbiasa mengkonsumsi seluruh hasil buruannya dalam waktu pendek misalnya), diharapkan untuk menabung dan mengambil bagian dalam akumulasi kapital ala masyarakat industrial modern. Di satu sisi, pemerintahan modern menuntut birokrasi dan teknokrasi menjadi sandaran dalam perumusan kebijakan dan pelayanan publik, di sisi lain masyarakat mengandalkan ikatan kesukuan dan hukum adat sebagai landasan kehidupan mereka. Pelaksanaan Otsus terjebak dalam berbagai kesenjangan yang sangat lebar, dan perlu terobosan khusus agar kesenjangan tersebut bisa dipersempit, dan pada akhirnya diseberangi. Bab ini mempunyai misi untuk mengurai kesenjangan-kesenjangan tersebut sebelum kemudian mulai memikirkan spesifikasi terobosan yang dibutuhkan.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 23



A. Jejak-Jejak Penerapan Skema Otsus Secara filosofis, arti penting disepakatinya skema Otsus adalah menyediakan ruang negosiasi secara terus-menerus, dimulai dari kesepakatan-kesepakatan prinsipil hingga, seiring dengan perjalanan waktu, mencapai semua kesepakatan operasional yang diperlukan. Artinya, terdapat hal-hal yang harus diterima sebagai hal yang given atau 'harga mati', dan ada hal-hal yang bisa dinegosiasikan dan direformulasikan dari waktu ke waktu, dari kawasan satu ke kawasan lainnya. Ada proses akomodasi timbalbalik yang terus menerus berlangsung, sehingga ada berbagai ruang untuk pergerakan sosial-politik dan pada saat yang sama mempolakan cara baru dalam menangani permasalahan. Skema ini dimulai sesaat Presiden Suharto mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan pemerintahan di negeri ini. Seiring dengan reformasi politik yang terjadi pasca kejatuhan rezim Orde Baru, kebijakan desentralisasi di Indonesia mulai digulirkan sejak tahun 1998. Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai landasan hukum kebijakan desentralisasi. Regulasi tersebut memberikan landasan terhadap pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam mengurusi semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta agama. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan sesuai dengan konteks dan aspirasi masyarakat lokal yang dinamakan sebagai otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan ruang negosiasi. UU No. 22/1999 menjabarkan perubahan konstitusional yang lahir tidak lama sebelum pembukaan ruang berotonomi secara besar-besaran diselenggaraan saat ini. Implementasi kebijakan desentralisasi tidak hanya memberikan otonomi yang luas kepada daerah tetapi juga berimplikasi pada perubahan kebijakan Pemerintah Pusat dalam menangani isu-isu kedaerahan seperti penanganan isu separatis di



24 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Papua dan Aceh. Otonomi daerah menandai pergeseran kebijakan Pemerintah Pusat dari pendekatan integratif dengan instrumen keamanan ke pendekatan yang lebih akomodatif melalui kebijakan desentralisasi asimetris (Bertrand 2014; Bertrand 2007:595). Ruang negosiasi secara spesifik untuk Papua dan daerah konflik lainnya (yakni Aceh) dibahasakan sebagai desentralisasi asimetris. Istilah bakunya, kebijakan desentralisasi asimetris ditujukan terutama untuk mempertahankan integrasi NKRI dalam meredam gerakan-gerakan disintegrasi (Lele 2019; Widjojo dan Budiatri 2012). Dalam konteks Papua, desentralisasi asimetris telah melahirkan UU No. 21/2001 yang ditetapkan sesuai dengan amanat TAP MPR Nomor IV Tahun 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah sebagai desakan untuk segera menyelesaikan permasalahan konflik di Papua. Lahirnya UU No. 21/2001 menjanjikan empat hal kepada Papua (Tryatmoko 2012). Pertama, pemberian kewenangan yang lebih dominan kepada provinsi dibandingkan dengan kabupaten/kota. Artinya, Provinsi Papua memiliki kewenangan untuk mendelegasikan, mengkoordinasikan, dan mengendalikan pelaksanaan UU No. 21/2001 kepada kabupaten/kota di Papua. Kedua, pemberian alokasi anggaran berupa Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) sebesar 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Pendanaan tersebut juga ditambah dengan Dana Bagi Hasil (DBH) sumber daya alam dengan porsi 80% dari sektor kehutanan, perikanan, dan pertambangan umum serta 70% dari sektor minyak bumi dan gas bumi (Pasal 34 UU No.21/2001). Ketiga, pemberian hak untuk mengangkat dan memproteksi nilai-nilai lokal sebagai identitas daerah. Keempat, pemberian kewenangan dalam pengelolaan kelembagaan melalui pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi adat dalam pengambilan keputusan. Poin tersebut menegaskan bahwa UU Otsus secara substansi berupaya untuk melakukan rekognisi, proteksi, afirmasi, dan pemberdayaan OAP. Secara politis, Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 25



UU No.21/2001 merupakan bentuk upaya pusat dalam meredam gerakan separatis dan konflik. Sadar akan esensi desentralisasi sebagai ruang negosiasai, Pemerintah Pusat memiliki ekspektasi bahwa lahirnya UU No. 21/2001 dengan poin-poin utama di atas dapat meredam gerakan disintegrasi dan berbagai konflik di Papua serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua di berbagai sektor. Namun demikian, ekspektasi tersebut belum sesuai harapan setelah hampir 20 tahun berjalannya UU Otsus. Kegagalan Otsus banyak disuarakan oleh berbagai pihak baik akademisi, politisi, maupun masyarakat lokal dengan merujuk pada belum optimalnya dampak Otsus terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat, peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia, serta penurunan ekskalasi konflik dan gerakan-gerakan disintegrasi bangsa seperti ditulis pada sub-bab berikutnya. Dengan membuka dan memanfaatkan ruang negosiasi tersebut di atas, tidak bisa diingkari bahwa situasi di Papua dalam kategori governable. Sebagai skema pengelolaan konflik, Otsus memiliki manfaat besar; menjaga tertib politik dalam derajat yang bisa ditorir. Hanya saja, sebagai skema transformasi sosio-kultural, belum terlihat ada jejak yang signifikan. Membicarakan ulang ruang kebijakan tersebut sebagai bentuk ruang berotonomi sangat penting untuk dilakukan sebelum menghakimi dampak minimalis dari kebijakan tersebut. Terdapat setidaknya empat sisi kelemahan dalam UU No. 21/2001 yang bisa dilihat dari sisi proses perumusan, substansi, dan instrumentasi kebijakan. Pertama, kurangnya ruang bernegosiasi dalam perumusan kebijakan Otsus. Jika merunut pada konteks politik yang terjadi, perumusan UU No. 21/2001 dilakukan di tengah transisi kepemimpinan politik pada masa reformasi. Runtuhnya rezim Orde Baru telah memicu gerakan disintegrasi Papua dari NKRI yang semakin kuat. Usulan berupa UU No. 21/2001 muncul sebagai jalan tengah terhadap tidak diakomodirnya tuntutan kemerdekaan



26 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Papua. Oposisi Papua terutama pihak yang berkonflik dan pihak yang memimpin gerakan pro-kemerdekaan tidak memiliki ruang partisipasi dalam perumusan UU Otsus sehingga kebijakan tersebut tidak merepresentasikan hasil kesepakatan orang Papua dan pemerintah (Widjojo dan Budiatri 2012: 64). Pada saat yang sama, Katharina (2017) menemukan bahwa pemerintah memberikan waktu yang sangat singkat bagi tim perumus untuk menyerahkan draft rancangan Otsus sehingga ruang negosiasi sangat lemah sehingga tidak mampu mengakomodir kepentingan berbagai kelompok. Beberapa poin bahkan dihilangkan sehingga mengecewakan banyak pihak (Bertrand 2014: 182). Muatan UU No. 21/2001 jelas tidak mampu memuaskan semua pihak sehingga konflik dan penolakan tetap terjadi di tahun-tahun berikutnya. Proses perumusan kebijakan ini tidak mencerminkan keseriusan pusat untuk mengakomodir berbagai kepentingan sehingga Otsus tidak memiliki legitimasi politik yang kuat di kalangan OAP. Kedua, instrumentasi kebijakan untuk mewujudkan amanat yang dicanangkan dalam UU No. 21/2001 tidak dilakukan secara seksama. Instrumen yang dicanangkan dalam Undang-Undang mencakup berbagai hal yang dikenali dalam literatur (Hoods 1983): (1) nodality (informasi dan pengetahuan), (2) authority (tata kewenangan), (3) treasure (harta benda, termasuk uang), dan (4) organization. Namun demikian, instrumentasi kebijakan Otsus lebih mengedepankan instrumen pendanaan. Watak patologis berupa penyediaan anggaran tanpa spesifikasi masalah ini mudah diterka, namun luput dari pengawalan. Dalam konteks ini, terjadi ketergantungan terhadap besarnya dana transfer (dana Otsus) sebagai instrumen kebijakan Otsus. Derasnya kucuran dana, justru menimbulkan problematika baru: pemerintah diperlakukan sebagai 'pohon uang' yang secara terus menerus dicoba untuk dipanen oleh masyarakat. Kondisi tersebut menggambarkan adanya lompatan budaya yang jauh dari masyarakat yang terbiasa memanfaatkan hasil bumi sebagai sumber penghidupan ke masyarakat yang



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 27



menjadikan uang sebagai bagian dari sumber konsumsi ala modern (Tokoh Keuskupan Mimika, wawancara, November 2019). Pemerintah Pusat telah mentransfer total dana Otsus sebanyak Rp 129,888 triliun dari tahun 2002 hingga 2020 untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Dari sisi tren, besaran dana Otsus yang ditransfer ke daerah meningkat sekitar 844% dari Rp 1,38 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp 13,05 triliun pada tahun 2020. Hal ini selalu didengung-dengunkan pemerintah sebagai komitmen penanganan masalah. Hal yang tidak dikedepankan dalam narasi itu adalah kontribusi dana itu dalam mengatasi permasalahan. Kebijakan tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap capaian indikator makro pembangunan daerah, namun kemampuan uang mentransformasi keadaan jarang menjadi perhatian. Gambar 2. 1. Grafik Peningkatan Transfer Dana Otsus Papua 2002-2020 10,000 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0,000



Papua



Papua Barat



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Papua Tengah, Fisipol UGM



28 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Provinsi Papua dan Papua Barat mendapatkan alokasi dan membelanjakan Dana Otsus yang sangat besar dalam bingkai kekhususan penataan kewenangan, namun sejauh ini tidak ada strategis khusus untuk memastikan penggunaan dana yang sangat besar tersebut menghasilkan manfaat besar, dan rantai manfaat yang panjang. Dengan demikian, kegagalan distribusi dana Otsus di Papua bermuara dari kurangnya keseriusan dan political will dari Pemerintah Pusat untuk mengelola penggunaan dana ini agar tepat sasaran (Tryatmoko 2012). Keraguan-keraguan terhadap niat baik pemerintah juga diakui oleh wakil rakyat di daerah. Karena kalau kita lihat dari Otsus yang ada ini kan kita bicara soal uang, tapi targetnya apa, targetnya tidak ada. Tentang UU Otsus No. 21 Tahun 2001, pada prinsipnya bagi orang Papua itu sudah mati, mayat. (Anggota MRP, Wawancara, November 2019) Di luar dana Otsus, masih ada komponen pendanaan lain yang penyerahan dan pemanfaatannya diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Namun, tidak ada mekanisme yang jelas untuk mengkombinasi pemanfaatan dua komponen pendanaan ini agar masalah-masalah yang diperbincangkan publik, segera teratasi. Oleh karena itu, ketika kebijakan Otsus ini digulirkan, Pemerintah Pusat sendiri lebih mengedepankan instrumen dana transfer dibandingkan dengan pelimpahan kewenangan. Makanya sekalipun diberikan peluang oleh UU otsus untuk menyelenggarakan kewenangan atau UU itu sendiri, tetap dalam prakteknya masih mengacu pada pelaksanaan urusan dalam UU 23 tahun 2014 yang berlaku secara nasional (Democratic Center Uncen, Wawancara, November 2019). Besarnya transfer dana Otsus juga tidak diantisipasi dan dibarengi dengan peningkatan kapasitas tata kelola keuangan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota sebagai pengguna anggaran. Penelitian oleh Lele (2019) mengkonfirmasi bahwa lemahnya tata kelola pemerintahan daerah dari sisi



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 29



akuntabilitas dan transparansi menjadi penyebab utama gagalnya desentralisasi asimetris. Secara lebih mendalam, lemahnya pengelolaan keuangan sebagai akibat dari rendahnya kapasitas sumber daya aparatur juga berperan penting terhadap buruknya tata kelola dana Otsus (lihat Agustinus 2013; Rumasukun 2013). Di samping itu, absennya payung hukum yang menjadi landasan penggunaan Dana Otsus di tingkat daerah dalam bentuk Perdasus juga berakibat pada tingginya risiko penyalahgunaan (Aziz et.al 2018:85). Dengan demikian, penekanan pada transfer dana Otsus sebagai instrumen utama UU No. 21/2001 tidak dibarengi dengan perhatian dan intervensi khusus supaya penggunaan dana tersebut tepat sasaran. Ketiga, luasnya otonomi yang dibuka, mengharuskan adanya evaluasi dan kontrol akuntabilitas. Salah satu hal yang terlihat di sana sini adalah lemahnya mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap penggunaan dana Otsus. Hingga saat ini tidak ada mekanisme yang jelas untuk mengevaluasi dan mengukur pencapaian kebijakan Otsus. Dana Otsus dianggap sebagai “uang darah” yang tidak membutuhkan pengawasan dalam penggunaannya dan tidak perlu dipertanggungjawabkan secara administratif. Pada saat yang sama, Pemerintah Pusat juga tidak memiliki acuan baku yang bersifat khusus terkait dengan penggunaan dana Otsus sehingga monitoring dan evaluasi sulit dilakukan (Aziz et.al 2018). Selain itu, posisi dana Otsus masih menjadi bagian dari APBD yang dikategorikan sebagai sumber pendapatan lain yang penggunaannya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari APBD (Widjojo dan Budiatri 2012). Kondisi tersebut menjadikan penggunaan dana Otsus sangat tidak fokus dan rawan untuk diselewengkan. Pada titik ini, sistem akuntabilitas penggunaan dana Otsus termasuk di dalamnya aspek perencanaan dan pelaporan keuangan masih mengacu pada standar-standar dan regulasi nasional yang seringkali tidak kontekstual dengan keadaan di Papua sehingga ada “kegamangan” Pusat dalam mengevaluasi dan mengawasi penggunaan dana Otsus.



30 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Jadi sekarang kembali ke pusat, fungsi pengawasannya ada di mana, dari evaluasi setiap tahun ini harus memberikan kejelasan. Sedangkan sampai hari ini belum ada evaluasi secara menyeluruh terkait implementasinya bagaimana, tingkat pelaksanaannya bagaimana, sudah sampai sejauh mana penggunaan uang ini. (Pusat Kajian Demokrasi Universitas Cenderawasih, wawancara, November 2019) Lebih jauh dari itu, besarnya transfer Dana Otsus juga menimbulkan dampak-dampak yang berada di luar prediksi Pemerintah Pusat. Pada saat distribusi ke daerah-daerah, dana Otsus dipangkas oleh tingginya biaya transaksi pada setiap lapis birokrasi dan setiap tahap proses pencairan seperti biaya administrasi dan perjalanan birokrat. Pada saat penggunaan, sebagian besar dana Otsus diyakini hanya “transit” di Papua sebelum kembali mengalir ke daerah lain di luar Papua dalam berbagai bentuk belanja barang dan jasa. Pada sisi ini, penggunaan dana Otsus untuk pembangunan menjadi tidak efisien karena besarnya ketergantungan Papua terhadap wilayah lain di Indonesia dalam hal penyediaan bahan-bahan konstruksi, konsumsi rumah tangga, serta jasa layanan lainnya. Di samping itu, penekanan pada besarnya transfer dana Otsus juga telah menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap Pemerintah Pusat. Dalam banyak kasus, berbagai tuntutan Papua terhadap Jakarta dikonversi sebagai tuntutan pada peningkatan dana transfer bukan tuntutan pada program pembangunan. Keempat, dalam kerangka implementasi yang ada selama ini, amanat substansi dalam UU Otsus untuk merekognisi dan memproteksi kekhasan Papua tidak mudah diwujudkan. Salah satu poin pertimbangan dalam penyusunan UU No.21/2001 adalah adanya keinginan untuk mengakomodir kekhasan Papua dari sisi sosial budaya. Namun demikian, instrumen untuk melakukan pengakuan kekhasan tersebut masih mengambang. Sebagai contoh, UU Otsus belum menegaskan keleluasaan dalam pembentukan partai politik lokal yang menjadi arena berpolitik orang asli Papua



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 31



sebagaimana diberikan kepada Aceh. Demikian juga dengan pemilu dan pemilukada yang dijalankan dengan sistem umum dan terbuka. Kebijakan proteksi pada OAP hanya terdapat dalam pemilukada gubernur dan wakil gubernur. Sistem rekrutmen politik mengharuskan elite lokal membayar biaya politik yang sangat mahal baik di pusat maupun daerah, misalnya sebagai syarat pencalonan. Akibatnya, calon dari OAP dituntut bersaing dalam suasana ketimpangan (modal, jaringan dll). Contoh lain adalah lemahnya posisi MRP sebagai lembaga yang sejatinya merepresentasikan kepentingan dalam rangka pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap kekhasan budaya masyarakat asli Papua tetapi justru gagal melakukannya. Dari sisi kewenangan, MRP masih memiliki keterbatasan kewenangan. Kewenangan MRP hanya memberikan pertimbangan dan persetujuan Perdasus. Pada saat yang sama, tatanan nilai dan kelembagaan adat masih sulit dioperasionalisasi ke dalam kelembagaan MRP. Lebih jauh dari itu, jikapun ada perdasus yang diusulkan, seringkali pemerintah pusat membatalkan atau tidak mengesahkan Perdasus-Perdasus itu (Anggota MRP, wawancara, November 2019). Baik langsung ataupun tidak, berbagai problematika dalam implementasi UU No.21/2001 tersebut di atas membuka jalan bagi gagalnya implementasi kebijakan Otsus, dalam mempercepat pembangunan daerah, dan dalam meredam konflik di Papua. Sejak awal diberlakukannya UU Otsus, ketidakpuasan terhadap substansi UU tersebut dan berbagai tuntutan perbaikan dilayangkan oleh berbagai pihak. Usulan revisi UU Otsus yang lebih kongkret muncul pada akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2013. Gubernur Papua melalui Presiden SBY mengusulkan Otsus Plus sebagai upaya untuk memperluas kewenangan Papua yang kemudian dinamai sebagai RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua. Beberapa poin perbaikan yang diusulkan antara lain mencakup kewenangan terbatas dalam urusan luar negeri, adanya peradilan adat, perlindungan yang lebih



32 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



kongkret terhadap orang asli Papua, pembentukan partai politik lokal, penguatan peran MRP, dan alokasi anggaran yang lebih besar termasuk distribusi yang lebih terarah. Usulan tersebut mengalami sekitar lima belas kali revisi selama periode 2013-2015 dan masih menghadapi tarik ulur yang alot hingga saat ini. 2



B. Pengembangan Kapasitas Organisasi dalam Mengelola Urusan: Agenda Yang Tercecer dalam Implementasi. Secara umum, kelemahan skema Otsus beserta instrumentasinya telah dijabarkan pada sub bab di atas. Namun demikian, aspek keorganisasian yang menempati posisi strategis dalam aransemen Otsus Papua juga harus dibicarakan karena berkaitan langsung dengan bagimana kewenangan otonomi khusus diimplementasikan. Instrumen organisasional dalam pelaksanaan UU No. 21/2001 bisa dilihat dari instalasi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya, atensi publik dan juga pemerintah lebih menekankan pada instrumen pendanaan. Sebaliknya, instrumen organisasional seringkali tercecer dalam agenda implementasi Otsus. Oleh karena itu, keberadaan MRP dan DPRP yang sejatinya menjalankan fungsi representasi dan proteksi hak-hak OAP masih belum optimal. Berbagai persoalan kelembagaan yang dihadapi antara lain. Pertama, MRP sebagai ‘ruh’ otonomi khusus Papua belum mampu menjalankan kewenangannya secara maksimal, terutama dalam memuliakan adat di berbagai proses pengambilan kebijakan. Haryanto, dkk (2018;365) menyatakan bahwa MRP sebagai lembaga representasi adat tidak memiliki jangkauan yang kuat terhadap adat. Sebaliknya, MRP justru menjadi perpanjangan



2



Lihat Draft ke XV, RUU Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua, Pemerintah Provinsi Papua, 2014.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 33



tangan pemerintah daerah dan telah direduksi hanya sebagai ‘lembaga persetujuan’ saja, sehingga memunculkan permasalahan perwakilan. Lembaga ini pun bertransformasi dari pemegang otoritas adat menjadi arena politik alternatif bagi partai politik. Pemuliaan adat yang menjadi semangat Otsus pun tidak mampu dijangkau secara substantif dan hanya terlaksana secara simbolik melalui pembentukan MRP. Akibatnya, kedudukan MRP tidak berbeda dengan lembaga adat lain seperti Dewan Adat (DA), Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA), dan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) (Conoras, 2008;48). Hal tersebut diperkuat pernyataan wawancara terhadap Tokoh Gereja Kabupaten Dogiyai. MRP seharusnya menjadi link antara provinsi dan kabupaten untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat adat. Namun, sejauh mana perwakilanperwakilan wilayah adat ini mampu membangun komunikasi dan koordinasi ke tingkat bawah? Ini pertanyaan besar karena saya khawatir, MRP yang namanya berkaitan dengan adat, tetapi sering dipolitisir dengan berbagai macam hal sehingga fungsinya tidak berjalan. (Wawancara Tokoh Gereja Dogiyai, 4 Desember 2019 di Dogiyai) Kedua, proses rekrutmen anggota MRP masih dihadapkan pada permasalahan serius karena tidak sesuai dengan prosedur yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota MRP. Keadaan tersebut tidak terlepas dari kuatnya tradisi sosial budaya masyarakat Papua dalam hal ikatan komunal, kekeluargaan, dan musyawarah yang seringkali berseberangan dengan regulasi pemerintah, birokratisasi, dan sistem merit. Mengutip hasil studi Pusat Kajian Demokrasi Universitas Cenderawasih (2010;46), proses musyawarah pemilihan MRP di tingkat kampung dan distrik pada umumnya tidak sesuai prosedur atau bahkan tidak dilakukan. Padahal, tahapan tersebut merupakan awal yang penting untuk proses selanjutnya. Jumlah suku yang sangat banyak menambah



34 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



kesulitan dalam menentukan suku mana yang diberi kesempatan duduk di majelis dan apa kriterianya. Bagaimanapun juga, masingmasing suku akan berjuang agar wakilnya bisa duduk di lembaga adat tersebut. Ketiga, hingga tahun ketiga diresmikan, MRP tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan cenderung melakukan hal-hal di luar tugas dan wewenangnya (Pusat Kajian Demokrasi Universitas Cenderawasih, 2010;47). Minimnya pemahaman anggota MRP terhadap filosofi dan substansi tentang MRP semakin menyulitkan pencapaian substansi perlindungan hak-hak OAP. Misalnya tentang proteksi terhadap kepemilikan tanah hak ulayat yang justru tidak pernah dilaksanakan oleh MRP. Peran tersebut justru dilaksanakan oleh gereja melalui program-progam partisipatifnya. Misalnya Keuskupan Mimika melalui program Tungku Api yang fokus pada pemetaan kepemilikan tanah adat secara partisipatif di kabupatenkabupaten yang menjadi cakupan Keuskupan Mimika (Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika, Wawancara, November 2019). Dengan masa-masa awal yang sulit, pada periode ketiganya MRP mulai menunjukkan visi besar yaitu menyelamatkan manusia dan tanah Papua dengan semangat agar derajat OAP bisa sama dengan masyarakat dari provinsi lain (Anggota MRP, Wawancara, November 2019). Adat yang seharusnya dimuliakan melalui MRP dengan terus dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan justru seringkali tidak terlaksana. Sebaliknya, adat hanya dijadikan alat justifikasi atau melegalkan keputusan yang diambil secara sepihak oleh elit lokal. Padahal, pelibatan adat sangat penting sebagai bentuk pemuliaan adat. Ekstrimnya, adat bahkan harus dimuliakan hingga level kabupaten yang selama ini menjadi celah masalah antara adat dengan pemerintah. Dengan demikian, negosiasi pemerintah dan masyarakat bisa berjalan semakin mudah, dan proteksi terhadap adat bisa dilaksanakan. Walaupun pada titik ini harus diakui bahwa terdapat dilema karena kondisi adat yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari tidak mampu ditampung dalam logika Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 35



pemerintah modern. Pada titik ini, keberadaan MRP belum mampu menjadi perantara dalam memuliakan kehidupan masyarakat adat. Keempat, kehadiran MRP juga dipenuhi rasa saling curiga antara Jakarta-Papua. MRP sebagai representasi adat dikhawatirkan menjadi lembaga superbody yang bisa mempercepat kemerdekaan Papua. Kekhawatiran tersebut setidaknya bisa dicermati dari beberapa hal, antara lain mundurnya waktu pembentukan MRP yang mencapai 3 tahun 10 bulan setelah UU No. 21 /2001 disahkan, dan proses pemilihan anggota MRP yang dinilai tidak sesuai peraturan. Hubungan Jakarta-Papua semakin memanas ketika MRP gagal memenuhi ekspektasi Pemerintah untuk meredam isu separatisme dan kekerasan di Papua. Sebaliknya, MRP dinilai oleh Pemerintah terlalu dekat dengan kelompok separatis. Pusat Kajian Demokrasi Universitas Cenderawasih (2010;47) menyatakan bahwa kecurigaan tersebut terjadi karena usulan Raperdasus oleh MRP tentang lambang daerah yang menetapkan “Bendera Bintang Kejora” sebagai lambang Provinsi Papua dan lagu “Hai Tanahku Papua” sebagai lagu daerah, di mana kedua lambang daerah tersebut mempunyai kaitan erat dengan kelompok separatis. Raperdasus tersebut akhirnya ditolak Pemerintah Pusat menyusul dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Di sisi lain, kekhawatiran Jakarta terhadap Papua juga mengakibatkan semakin rendahnya kepercayaan masyarakat Papua terhadap political will Pemerintah dalam memproteksi OAP. Kondisi tersebut bertentangan dengan semangat pembentukan MRP agar OAP bisa terlibat secara sehat ke dalam dinamika politik. Muridan Widjojo (2012) melihat, MRP dibuat untuk mengakhiri trauma marginalisasi politik, di mana Pemerintah selama ini sering membuat kebijakan tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat Papua.



36 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Kelima, selain MRP, DPRP juga masih menghadapi berbagai kesulitan dalam memproteksi adat. DPRP dalam menjalankan tugasnya di masa-masa awal dihadapkan pada ketegangan dengan Pemerintah Pusat terkait tidak kunjung disetujuinya pengangkatan 11 anggota DPRP dari unsur masyarakat adat. Sebaliknya, pada pemilu tahun 2004 dan 2009 pengisian kursi dari unsur masyarakat justru diisi oleh kader-kader partai politik melalui pemilu. Pengisian anggota DPRP unsur masyarakat adat baru bisa dilaksanakan setelah dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2009 Nomor 116/PUU-VII/2009 yang sekaligus menetapkan penambahan jumlah anggota DPRP menjadi 70 orang. Sebanyak 56 orang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum dari kader partai politik, sedangkan 14 orang lainnya diisi melalui pengangkatan dari perwakilan masyarakat adat. Namun demikian, ketegangan DPRP dengan Pemerintah Pusat masih terus berlanjut, terutama ketika banyak Raperdasus dan Raperdasi yang tidak disetujui karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundangan lainnya. Akibatnya, jumlah Perdasus dan Perdasi yang dihasilkan sangat minim. Keenam, kinerja DPRP hingga saat ini dianggap lemah setelah hanya mampu menetapkan 4 Perdasus dan 15 Perdasi yang secara eksplisit diamanatkan dalam UU Otsus (Hasil olah Tim Pemekaran Papua Tengah, 2019). Padahal, UU Otsus mengamanatkan pembentukan 11 Perdasus dan 18 Perdasi. Minimnya Perdasus dan Perdasi amanat UU Otsus yang disetujui pemerintah mengakibatkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah dalam mengatasi masalah Papua semakin rendah. Puncaknya adalah ketika kewenangan DPRP untuk memilih gubernur dan wakil gubernur dihapus oleh pemerintah. Kondisi ini juga berdampak pada tidak berjalannya kewenangan MRP sebagai lembaga representasi adat untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Walaupun dalam catatan lain, proses pemberian pertimbangan dan persetujuan terhadap Bakal Calon Gubernur dan



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 37



Wakil Gubernur Papua periode 2005-2010 yang dilakukan MRP telah melenceng dari prosedur dan mekanisme yang diatur dalam Perdasus.3 Ketujuh, penambahan anggota DPRP sebanyak seperempat (¼) kali jumlah anggota dewan Provinsi Papua secara normal yang seharusnya untuk mengakomodasi kepentingan OAP4, ternyata justru memunculkan konflik baru di internal masyarakat adat. Kondisi tersebut disebabkan tidak adanya tata cara pemilihan unsur masyarakat adat dan ketentuan unsur yang berhak mendapatkan kursi keterwakilan.



Tabel 2. 1. Perbandingan Anggota DPRD Non-OAP di beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan Papua Barat, Periode 2019-2024



No



Nama Daerah



OAP



Non OAP



Total



1



Kabupaten Fakfak



8



12



20



2



Kabupaten Manokwari



15



10



25



3



Kabupaten Raja Ampat



9



11



20



4



Kabupaten Sorong



3



17



20



5



Kabupaten Teluk Wondama



11



14



25



6



Kota Sorong



6



24



30



7



Kabupaten Boven Digoel



4



16



20



8



Kabupaten Jayapura



7



18



25



9



Kabupaten Keerom



7



16



23



10



Kabupaten Merauke



3



27



30



11



Kabupaten Mimika



17



18



35



3



Dalam catatan Pusat Kajian Demokrasi Universitas Cenderawasih (2010;46) dituliskan bahwa MRP melakukan penilaian tentang identifikasi OAP dan non-OAP dengan cara voting. Padahal, MRP adalah pucuk adat yang memformulasikan tentang orang asli Papua dan cara memperlakukannya. 4



DPRP mulai berfungsi pada tahun 2004 disertai dengan penambahan jumlah anggota sebanyak seperempat (¼) kali jumlah anggota dewan Provinsi Papua secara normal sehingga total menjadi 56 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 45 orang diisi melalui mekanisme pemilihan umum dari kader partai politik, sedangkan 11 orang lainnya diisi melalui pengangkatan dari perwakilan masyarakat adat.



38 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



No



Nama Daerah



OAP



Non OAP



Total



12



Kabupaten Sarmi



12



8



20



13



Kabupaten Mappi



17



8



25



14



Kabupaten Asmat



16



9



25



15



Kota Jayapura



13



27



40



Sumber: Data diolah oleh Tim Peneliti dari Berbagai Sumber



Persoalan peran representasi yang tidak optimal tersebut menjadi semakin problematis di tengah sistem kontestasi politik yang terbuka. Proteksi terhadap OAP di dalam kontestasi politik hanya berlaku pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur, sedangkan untuk bupati/wakil bupati serta anggota DPRD tidak diatur. Akibatnya, kursi anggota DPRD di beberapa kabupaten diisi oleh masyarakat non-Papua yang menyebabkan kesenjangan antara penduduk asli dengan masyarakat migran semakin kuat serta mengakibatkan konflik antar etnis. Misalnya, dari 40 kursi anggota DPRD Kota Jayapura, hanya 13 OAP yang berhasil duduk menjadi anggota dewan, sementara 27 lainnya merupakan masyarakat pendatang. Kondisi yang sama juga terjadi di DPRD Kabupaten Mimika yang 52,8% kursinya justru diisi oleh non-OAP.



C. Capaian Minimalis Adanya limitasi kebijakan Otsus dan lemahnya instrumentasi organiasional dari kebijakan tersebut berimplikasi pada rendahnya capaian minimal kinerja pembangunan daerah. Kondisi ini dapat dicermati dari indikator-indikator makro pada aspek sumber daya manusia, kebutuhan dasar infrastruktur, dan pembangunan ekonomi masyarakat Papua. 1. Aspek Sumber Daya Manusia Aspek utama yang seringkali menjadi sorotan berkaitan dengan pembangunan di Papua adalah kualitas dan daya saing SDM yang hingga saat ini masih menghadapi berbagai



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 39



persoalan. Pengembangan SDM di Papua, sebagai modalitas utama pembangunan, masih menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya pemerataan akses dan kualitas pendidikan, tingginya angka kematian ibu dan bayi, serta terbatasnya keterampilan kerja. Sejauh ini dana Otsus yang cukup besar telah digelontorkan pemerintah untuk mendukung upaya peningkatan SDM, namun upaya tersebut masih belum optimal seperti ditunjukkan oleh indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berikut:



Gambar 2. 2. Grafik Perbandingan IPM Papua dan IPM Nasional 2011-2018 IPM Papua 80 70 60



IPM Nasional 70,18



70,81



71,39



57,25



58,05



59,09



60,06



2015



2016



2017



2018



68,9



69,55



55,55



56,25



2013



2014



67,09



67,7



68,31



54,45



55,01



50 40 30 20 10 0 2011



2012



Sumber: BPS Papua, 2019



IPM Papua mengalami tren peningkatan dengan capaian sebesar satu poin setiap tahun selama periode 2011-2018. IPM Papua meningkat sebesar 5,61 sejak tahun 2011 hingga 2018. Capaian tersebut menjadikan IPM Papua berubah dari status kategori “rendah” menjadi kategori “sedang”. Meskipun ada perbaikan, IPM Papua masih berada di bawah capaian nasional, yaitu terpaut 9 poin yang masing-masing sebesar 60,06 dan 71,89 pada tahun 2018. Masih rendahnya capaian IPM Papua dibanding dengan capaian nasional menunjukkan bahwa



40 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



kualitas sumber daya manusia di Provinsi Papua masih perlu ditingkatkan. Jika dilihat lebih detail dengan melihat capaian di tiap kabupaten/kota, maka capaian IPM masih belum merata seperti terlihat pada grafik berikut: Gambar 2. 3. Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Papua Tahun 2018



Nduga



29,42



Pegunungan Bintang



44,22



Mamberamo Tengah



46,41



Yalimo Puncak Jaya



47,13 47,39



Lanny Jaya



47,34



Yahukimo



48,51



Tolikara



48,85



Asmat



49,37 51,24



Mamberamo Raya Jayawijaya



56,82



Mappi



57,72



Boven Digoel



60,83



Sarmi



63



Keerom



65,75



Merauke



69,38 71,25



Jayapura Kota Jayapura



79,58



Puncak



41,81



Intan Jaya



46,55 49,55



Deiyai Dogiyai



54,44



Paniai



55,83



Waropen



61,84 64,8



Kepulauan Yapen



67



Supriori



Nabire



67,7



Biak Numfor



71,96



Mimika



73,15



PAPUA



60,06 0



10



20



30



40



50



60



70



80



90



IPM



Sumber: BPS Papua, 2019



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 41



Capaian IPM dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu sangat tinggi (80), tinggi (70-80), sedang (60-70) dan rendah ( SLTA



Papua



Sumber; BPS Provinsi Papua; BPS Nasional, 2018



Kualifikasi pendidikan angkatan kerja di Provinsi Papua lebih rendah dibandingkan dengan nasional. Mayoritas angkatan kerja di Provinsi Papua memiliki kualifikasi pendidikan di bawah SD (tidak sekolah maupun tidak lulus SD). Sementara itu, angkatan kerja dengan kualifikasi pendidikan SLTA ke atas yang ditamatkan juga masih lebih rendah dibandingkan dengan angkatan kerja di tingkat nasional. Permasalahan lain terkait kompetensi tenaga kerja, yaitu berhubungan dengan perilaku kerja. Perilaku kerja ini



50 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



berhubungan dengan komitmen dan tanggungjawab dalam melaksanakan pekerjaan yang diberikan. Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa komitmen masyarakat Papua dalam bekerja masih rendah, sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu narasumber di Kabupaten Deiyai. “Hanya karena selalu mengharapkan proposal, selalu mengharapkan pekerjaan. Begitu kita kasih pekerjaan, pemerintah kasih pekerjaan kepada pemuda kadang tidak selesai 100%. Kadang 25% sudah lakukan pencairan, tolong kasih ini kalau tidak kantor kepala dinas dipalang”. (Tokoh Pemuda Deiyai, Wawancara, Desember 2019) Dalam konteks ini, etos kerja dan kemampuan OAP untuk turut bersaing di pasar kerja menjadi sorotan berbagai pihak terutama pemerintah dan swasta. Dengan mayoritas angkatan kerja lulusan SD, maka persaingan masuk dunia kerja sangat sulit. Lebih dari itu, adanya kesempatan kerja seringkali dibarengi dengan standar-standar kompetensi yang berlaku secara nasional. Secara otomatis tenaga kerja lokal terpinggirkan dengan sistem perekrutan yang ada. Pada saat yang sama, semangat proteksi terhadap OAP yang digaungkan oleh kebijakan Otsus belum mampu mempertajam kebijakan afirmatif sampai pada tahap penyiapan kualitasnya. Kebijakan afirmatif seringkali hanya berkaitan dengan kuota tenaga kerja lokal bukan penekanan pada penyiapan daya saing di pasar kerja. Kedua, terbatasnya lapangan pekerjaan yang bisa diakses oleh masyarakat. Mayoritas penduduk asli Papua sulit mengakses lapangan pekerjaan, terutama lapangan pekerjaan di sektor formal karena terbentur berbagai regulasi yang berstandar nasional. Rekrutmen ASN misalnya, banyak ditentang oleh masyarakat karena penggunaan sistem online



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 51



justru tidak ramah terhadap pencari kerja lokal. Terbatasnya lapangan pekerjaan juga terjadi karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan secara memadai. Persoalan ini memiliki implikasi yang serius bagi kelancaran pembangunan daerah. “Mereka (Sarjana) tidak punya lapangan pekerjaan, mereka masuk kerja harus melalui tahapan sebagai tenaga Honor. Mereka tidak sesuai dengan mereka punya pendidikan. Akhirnya banyak yang jadi, banyak yang jadi TPN OPM, karena lapangan kerja tidak ada”. (Bupati Mimika, Wawancara, Desember 2019) Lapangan pekerjaan di Provinsi Papua masih terbatas karena akselerasi pembangunan yang rendah terutama di daerah pegunungan sehingga membuat tidak tersedianya lapangan pekerjaan secara memadai. Hal ini selain berpengaruh pada tingkat pengangguran, juga menimbulkan masalah sosial lain, seperti berbagai masalah sosial dan gangguan keamanan di tengah masyarakat Papua. Gerakan KKB misalnya, selain karena alasan ideologis jika ada, seringkali diisi oleh para pemuda yang sebetulnya tidak terserap di pasar kerja lokal akibat rendahnya daya saing. Hal ini menunjukkn bahwa permasalahan terkait ketersedian lapangan pekerjaan di wilayah Papua adalah permasalahan yang serius dan harus ditangani secara tepat. Tingginya gelontoran dana Otsus memberikan harapan besar bagi masyarakat Papua terhadap adanya pekerjaan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih layak. Oleh karena itu, penanganan terhadap masalah tersebut harus dilakukan melalui pendekatan khusus.



52 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



2. Aspek Insfrastruktur Perekonomian dan Pelayanan Publik. Selain aspek SDM, pemenuhan kebutuhan dasar infrastruktur di Provinsi Papua secara umum belum optimal. Pembangunan pada aspek ini dapat dilihat dari berbagai indikator seperti konektivitas wilayah dan kelayakhunian. •



Konektivitas



Konektivitas wilayah di Papua masih menjadi permasalahan serius karena kondisi tingkat kesulitan geografis yang tinggi. Capaian pembangunan infrastruktur di Papua dapat dilihat dari aspek transportasi dan komunikasi. Infrastruktr jalan darat merupakan prioritas pembangunan yang juga menjadi prioritas kebijakan Otsus dengan adanya Dana Tambahan Infrastruktur (DTI). Hingga saat ini, progres pembangunan infrastruktur dapat dilihat dari panjang jalan seperti ditampilkan pada gambar berikut:



Gambar 2. 10. Grafik Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan di Provinsi Papua tahun 2016



34,66%



65,34%



Aspal



Tidak Beraspal



Sumber: Papua Dalam Angka, 2019



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 53



Gambar 2. 11. Gambar Jaringan Jalan Eksisting Provinsi Papua



Sumber: PPKK Fisipol UGM, 2019



54 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Capaian pembangunan infrastruktur jaringan jalan masih didominasi jalan yang belum beraspal sebanyak 65,34% hingga tahun 2016. Banyaknya jalan yang belum beraspal tersebut sekaligus menjadi indikator lain bahwa proses pembukaan lahan untuk akses pembangunan jaringan jalan lebih diutamakan untuk membuka keterisolasian, sehingga kualitas jalan yang baik masih belum terpenuhi. Beberapa ruas jalan di Provinsi Papua masih terputus, sehingga beberapa daerah belum bisa diakses melalui jalur darat, khususnya daerah di wilayah pegunungan. Misalnya jalur darat dari Kabupaten Intan Jaya ke Kabupaten Puncak dan jalur Kabupaten Yahukimo ke Kabupaten Boven Digoel, sedangkan ruas jalan yang sudah beraspal sebagian besar berada di daerah perkotaan, seperti Kabupaten Mimika, Kabupaten Nabire, Kabupaten Merauke, dan Kota Jayapura. Sebagian ruas jalan dalam kondisi rusak seperti ditunjukkan dalam tabel berikut:



Tabel 2. 2. Kondisi Jalan di Provinsi Papua Tahun 2016



Kabupaten/Kota MAMTA 1. Kota Jayapura 2. Jayapura 3. Mamberamo Raya 4. Keerom 5. Sarmi LAPAGO 6. Jayawijaya 7. Nduga 8. Puncak Jaya 9. Puncak 10. Tolikara 11. Lanny Jaya 12. Yahukimo 13. Pegunungan Bintang 14. Mamberamo Tengah 15. Yalimo



Baik 40,4% 86,48 225,80 19,24% 83,50 6,00 18,50 12,00 17,00 -



Kondisi Jalan (%/Km) Sedang Rusak Rusak Berat 8,55% 28,5% 12,1% 10,00 5,00 3,00 44,10 22,90 91,22 75,60 12,00 79,80 37,70 12,76% 4.62% 63,36% 10,00 9,80 47,30 63,30 12,50 42,20 7,00 20,30 20,90 39,50 26,50 128,50 6,00 26,00 17,10 14,00 84,00



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 55



SAERERI 16. Kepulauan Yapen 17. Biak Numfor 18. Waropen 19. Supiori MEEPAGO 20. Mimika 21. Paniai 22. Intan Jaya 23. Deiyai 24. Dogiyai 25. Nabire HA ANIM 26. Merauke 27. Boven Digoel 28. Mappi 29. Asmat Jumlah/Total



37,3% 48,40 92,00 32,00 25,00 19,4% 37,00 34,00 45,37% 224,10 34,00 36,00 3,00 1 014,78 34,3%



8,88% 42,9% 35,00 55,00 12,00 68,00 50,00 54,20 29,83% 21,35% 40,00 60,10 12,10 9,00 30,50 8,00 10,00 18,00 9,92% 7,94% 65,00 40,00 12,00 378,60 611,20 12,7% 20,6%



10,8% 36,70 20,50 29,25% 25,00 42,00 43,00 36,75% 90,00 95,00 48,20 7,50 953,22 32,2%



Sumber: Papua Dalam Angka, 2019



Secara umum, kondisi jalan di Provinsi Papua berada pada kualifikasi rusak berat, rusak dan sedang belum pada tahun 2016. Hanya sekitar 1/3 atau 34,4% dari total panjang jalan yang berada dalam kondisi baik/mantap. Sementara itu, 52% dari total panjang jalan berada pada kualifikasi rusak dan rusak berat. Beberapa kepelikan dalam membangun infrastruktur di Papua berkaitan dengan tingginya biaya dan sulitnya distribusi bahan baku untuk rehabilitasi dan pemeliharaan jalan secara berkala merupakan sebagian faktor penghambat. Selain itu, ketidaksesuaian kelas jalan terbangun dengan kebutuhan, menjadi persoalan yang semakin menurunkan kualifikasi jalan. Berbagai kesulitan dalam pembangunan infrastruktur juga disebabkan oleh kondisi keamanan yang tidak stabil. Adanya budaya palang oleh masyarakat atau gangguan oleh KKB seringkali menjadi penghambat bagi jalannya pembangunan infrastruktur jalan.



56 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Selain konektivitas jalur darat, pembangunan infrastruktur di Papua juga mencakup pembangunan sarana transportasi laut dan udara. Pembangunan transportasi laut di Papua terus diupayakan oleh pemerintah karena ini merupakan akses transportasi barang dari luar Papua ke Papua. Hingga saat ini, pasokan logistik, bahan bangunan, makanan, obat-obatan, dan aneka bahan industri lainnya di Papua masih mengandalkan pasokan dari Jawa dan Sulawesi. Oleh karena itu, pembangunan transportasi laut menjadi hal yang signifikan. Gambar 2. 12. Pelabuhan Pomako, Kabupaten Mimika



Sumber: Dokumentasi PPKK Fisipol UGM, 2019



Pemerintah telah mengimplementasikan adanya program tol laut yang melewati beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Merauke, Mimika, Nabire, dan Biak. Jika mengacu Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 432 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional, Provinsi Papua telah mempunyai 13 pelabuhan dengan 3 kelas yang berbeda. Distribusi pelabuhan sudah mampu mewakili beberapa titik strategis untuk menjangkau distribusi barang dan penumpang, namun ketersediaan pelabuhan tersebut kurang disertai pembangunan



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 57



sarana prasarana penunjang yang memadai. Berikut adalah data mengenai kelas pelabuhan di Provinsi Papua: Tabel 2. 3. Kelas Pelabuhan di Provinsi Papua



No



Kabupaten



Lokasi Kerja



Kelas Pelabuhan 2020-2030



1



Asmat



Agats



Pelabuhan Pengumpul



2



Biak Numfor



Biak



Pelabuhan Pengumpul



3



Jayapura



Depapre



Pelabuhan Utama



4



Jayapura



Jayapura



Pelabuhan Utama



5



Mappi



Bade



Pelabuhan Pengumpul



6



Merauke



Merauke



Pelabuhan Utama



7



Mimika



Amamapare



Pelabuhan Pengumpul



8



Mimika



Pornako



Pelabuhan Pengumpul



9



Nabire



Nabire



Pelabuhan Pengumpul



10



Sarmi



Sarmi



Pelabuhan Pengumpul



11



Supiori



Koridoo



Pelabuhan Pengumpan Regional



12



Waropen



Waren



Pelabuhan Pengumpul



13



Yapen



Serui



Pelabuhan Pengumpul



Sumber: Keputusan Menteri Perhubungan No. 432 Tahun 2017



Data tersebut menunjukkan bahwa dari sisi ketersediaan dan sebaran, ketersediaan pelabuhan sudah memadai di berbagai titik sentral di Papua seperti Timika di sisi selatan, Nabire, Yapen, dan Waropen di sisi utara selain tentunya Jayapura. Hal lain yang masih kurang adalah ketersediaan sarana dan sarana di pelabuhan tersebut yang masih minim. Di bidang transportasi udara, Provinsi Papua memiliki 54 bandara jenis pengumpan/ perintis. Papua juga telah memiliki 3 bandara pengumpul skala pelayanan tersier dan 1 bandara sekunder sebagai penghubung antar wilayah.



58 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Tabel 2. 4. Kelas Bandara di Provinsi Papua



No



Kabupaten



Pengumpul Skala Pelayanan Primer -



Pengumpul Skala Pelayanan Sekunder -



Pengumpul Skala Pelayanan Tersier -



Pengumpan



1



Asmat



2



Biak Numfor



-



-



1



1



3



Boven Digoel



-



-



-



5



4



Deiyai



-



-



-



1



5



Dogiyai



-



-



-



1



6



Intan Jaya



-



-



-



2



7



Jayapura



-



1



-



8



Jayawijaya



-



-



-



2



9



Keerom



-



-



-



3



10



Kepulauan Yapen Kota Jayapura Lanny Jaya



-



-



-



1



-



-



-



-



-



-



1



-



-



-



2



-



-



-



1



15



Mamberamo Raya Mamberamo Tengah Mappi



-



-



-



2



16



Merauke



-



-



-



1



17



Mimika



-



-



1



6



18



Nabire



-



-



1



1



19



Nduga



-



-



-



4



20



Paniai



-



-



-



2



21



-



-



-



4



22



Pegunungan Bintang Puncak



-



-



-



3



23



Puncak Jaya



-



-



-



3



24



Sarmi



-



-



-



1



25



Supiori



-



-



-



26



Tolikara



-



-



-



2



27



Waropen



-



-



-



1



28



Yahukimo



-



-



-



1



29



Yalimo



-



-



-



2



11 12 13 14



1



Sumber: Keputusan Menteri Perhubungan No. 166 Tahun 2019



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 59



Hadirnya bandara pengumpan/perintis dalam jumlah banyak telah membantu menunjang kegiatan perekonomian lokal dan pemenuhan barang kebutuhan masyarakat, meskipun dengan kapasitas angkut yang sangat terbatas dan biaya yang tinggi. Pembangunan bandara pengumpan ini masih terus dilakukan untuk membuka keterisolasian wilayah pedalaman Papua yang masih sulit diakses melalui jalur darat. Kendala terbesar dalam pembangunan sarana dan prasarana transportasi adalah rendahnya kualitas manajemen, baik dari segi perencanaan, pengawasan dan pendampingan kepada masyarakat terdampak. Hal ini terlihat pada rumitnya mekanisme pelepasan tanah adat untuk pembangunan. Tanpa adanya kejelasan hak atas tanah adat yang disertai dengan legalitas dokumen membuat banyak terjadi konflik sengketa dan klaim sepihak, seperti yang disampaikan oleh Tokoh Papua berikut: “Bandara Sentani sampai sekarang bermasalah karena hal itu, bayar di atas bayar, denda di atas denda, itu bukan dari kami, kami belum ada pelepasan, kami belum dapat uang, sampai hari ini, bahkan yang mati pun masih menuntut.” (Tokoh Papua, FGD di Jakarta, 11 Desember 2019) Selain itu, akses yang terbatas dan jangkauan rentang kendali yang sangat lebar juga membuat proses pengawasan trayek, pengelolaan tiket, pengkajian dan pengembangan bandara menjadi terhambat.



60 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Gambar 2. 13. Pesawat Perintis sebagai Moda Transportasi Utama Masyarakat Pegunungan Papua



Sumber: Dokumentasi PPKK Fisipol UGM, 2019



Bidang telekomunikasi juga menjadi isu penting dalam pembangunan infrastruktur di Papua. Hingga saat ini, akses telepon seluler dan internet masih mengalami kendala di beberapa tempat yang jauh dari perkotaan. Hingga saat ini, terdapat tiga operator yang telah mendirikan 4.644 unit Based Transceiver Station (BTS) di Provinsi Papua. BTS terbanyak didirikan oleh Telkomsel, yaitu sejumlah 4.461 unit BTS. Sementara Indosat dan XL masing-masing hanya 137 unit dan 46 unit BTS. Data tersebut menunjukkan bahwa Telkomsel menjadi perusahaan yang mendominasi pengembang infrastruktur komunkikasi di Papua. Hampir 96,06% BTS dibangun oleh Telkomsel. Pembangunan BTS tersebut ditujukan untuk membuka akses masyarakat terhadap layanan telekomunikasi, sehingga seluruh kabupaten di Papua mendapatkan layanan jaringan 2G untuk telepon dan SMS meskipun masih terbatas di ibukota kabupaten dan sebagian ibukota distrik. Persoalan telekomunikasi yang masih menjadi kendala adalah rendahnya ketersediaan jaringan internet. Sebagian besar layanan internet di Papua disediakan oleh Very Small



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 61



Aperture Terminal (VSAT) merupakan stasiun pemancar sinyal yang menggunakan antena berbentuk parabola kecil, sehingga layanan internet ini masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan perkantoran di ibukota kabupaten, sehingga belum mampu melayani masyarakat di berbagai distrik. Persoalan ini disebabkan oleh minimnya ketersediaan sarana komunikasi BTS dan rendahnya akses perhubungan darat antar wilayah, sehingga berimplikasi pada mahalnya pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi dan internet. Meskipun sudah ada kemajuan, keterbatasan aksesibilitas dari aspek transportasi darat, laut, udara, serta telekomunikasi masih menjadi isu penting dalam pembangunan di tanah Papua.







Kelayakhunian



Selain konektivitas wilayah, kelayakhunian yang berkaitan dengan akses masyarakat terhadap perumahan, air bersih dan tenaga listrik merupakan isu krusial di Papua. Kelayakhunian di Provinsi Papua secara umum masih dikategorikan rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari capaian pembangunan pada bidang perumahan, air bersih, dan ketenagalistrikan. Capaian pada bidang perumahan dan pemukiman secara umum masih cukup minim. Capaian ini berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan papan dasar dalam rangka penerapan hidup bersih dan sehat (PHBS). Sebagian besar masyarakat Papua, terutama di pegunungan, masih hidup di rumah tradisional. Rumah-rumah modern hanya bisa ditemui di pusatpusat kota kabupaten atau distrik. Berikut adalah data mengenai rumah layak huni di Provinsi Papua:



62 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Gambar 2. 14. Jumlah Rumah Layak Huni Provinsi Papua Tahun 2013-2017 4500 4000 4000



3500



3618



3000 2500 2000 2025



1500



1878



1000 500



164



0 2013



2014



2015



2016



2017



Sumber: RPJMD Provinsi Papua 2019-2023



Gambar 2. 15. Grafik Rasio Rumah Layak Hunin per 100.000 Penduduk Provinsi Papua Tahun 2013-2017 140.000



129.410



127.800



120.000



112.800



100.000 80.000 60.000



57.520



40.000



20.000



5.410



0 2013



2014



2015



2016



2017



Sumber: RPJMD Provinsi Papua 2019-2023



Ketersediaan rumah layak huni di Papua adalah 58 unit per 100.000 penduduk hingga awal 2018. Hanya 57,53% rumah tangga yang memiliki fasilitas jamban sendiri (Statistik Daerah Provinsi Papua 2019). Ketersediaan rumah layak huni merupakan isu yang cukup mendesak untuk diintervensi karena perbedaan konsep tentang rumah layak huni, sejalan dengan yang disampaikan oleh Akademisi Papua berikut: Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 63



“Beda dengan yang biasa hidup di kota-kota. Di dalam honai itu mereka rasa rileks, rasa bebas, rasa apa. Dan semua itu mereka karena mungkin tinggalnya artinya ruangnya bukan sempit tapi ruangnya cukup bagi mereka untuk saling bersentuhan jadi mereka rasa lebih bahagia disitu, lebih hangat dan lebih aman disitu.” (FGD dengan Akademisi Papua di Jayapura, 11 November 2019). Gambar 2. 16. Kondisi Rumah Masyarakat Asli Papua



Sumber: Dokumentasi PPKK Fisipol UGM, 2016



Masyarakat Papua, secara umum tinggal di rumah-rumah dengan karakteristik yang berbeda dari ketentuan rumah layak huni yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM). Misalnya, masyarakat di pegunungan tengah lebih memilih tinggal di honai yang terbuat dari kayu, berlantai tanah dan beratap ijuk. Bahkan honai dianggap lebih dari sekedar tempat tinggal, tetapi sebagai simbol dalam penyelesaian berbagai persoalan adat seperti yang dikatakan oleh Tokoh Papua berikut:



64 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



“Permasalahan kami bicara di Honai, di gunung. Nanti orang bilang oh ini jalan baik, kalau buat keputusan di honai. Mereka tau bahwa dari dulu, segala keputusan adat penting diputuskan di honai.” (FGD Tokoh Papua di Jakarta, 11 Desember 2019) Program-program peningkatan akses rumah layak huni yang sudah direncanakan oleh pemerintah daerah bersifat sekedarnya tanpa disertai dengan pendampingan kepada masyarakat terkait dengan perubahan pola hidup. Kondisi saat ini, kebiasaan masyarakat di pegunungan tersebut menurun seiring dengan meningkatnya jumlah pendatang dari luar Papua. Namun di sisi lain, kedatangan pendatang yang semakin meningkat juga tidak diikuti dengan program penyediaan sarana prasarana pemukiman yang layak, seperti pengelolaan sumber air bersih, ketersediaan sanitasi dan sumber penerangan, sehingga menambah persoalan di Papua. Demikian, salah satu kendala penting dalam menghadirkan kelayakhunian adalah kemampuan untuk sensitif dengan budaya lokal. Hingga saat ini, pelaksanaan pembangunan perumahan belum sepenuhnya berakulturasi dengan budaya setempat yang menjadikan honai contohnya, sebagai simbol budaya tidak hanya tempat tinggal. Dari sisi air bersih, akses penduduk terhadap air minum bersih di Provinsi Papua masih minim. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari jumlah penduduk berakses air minum bersih yang belum mencapai setengah dari jumlah penduduk keseluruhan. Persentase rumah tangga yang mengkonsumsi air minum bersih hanya sebesar 49,88% pada tahun 2018. Rendahnya akses terhadap air minum dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu minimnya ketersediaan infrastruktur dan minimnya sistem jaringan air minum, seperti reservoir dan instalasi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) terutama di kawasan Pegunungan Tengah.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 65



Pembangunan energi ketenagalistrikan juga merupakan salah satu prioritas dalam program pembangunan di Papua. Penyediaan tenaga listrik bertujuan untuk meningkatkan perekonomian serta memajukan kesejahteraan masyarakat. Berikut adalah data mengenai rasio elektrifikasi di Provinsi Papua: Gambar 2. 17. Grafik Rasio Elektrifikasi Provinsi Papua Tahun 2014-2018 Papua Barat



Papua



Luar Jawa



Jawa



Indonesia



120 90,32



100



95,51



100,79



100



80 60 35,86



40 20



37,52



39,92



42,5



19,19



0 2014



2015



2016



2017



2018



Sumber: Statistik PLN 2014 sampai 2018, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)



Jumlah rumah tangga yang sudah teraliri listrik Wilayah Papua cenderung meningkat setiap tahunnya, khususnya sepanjang tahun 2015-2018. Meskipun demikian, kondisi ini masih belum mampu menaikkan rasio elektrifikasi di Provinsi Papua. Sampai saat ini rasio elektirifikasi di Provinsi Papua tetap yang paling rendah di Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan Papua Barat. Rasio elektrifikasi di Papua Barat sebesar 91,50%, dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan tingkat elektrifikasi Provinsi Papua. Kurangnya kebijakan yang mengarah kepada akselerasi penyediaan energi pembangkit alternatif dan terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro dan non-PLN (pembangkit tenaga surya off grid dan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE), masih 66 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



terbatas dan menjadi kendala dalam peningkatan penyediaan sumber listrik masyarakat, mengingat kondisi akses di Papua yang masih sulit dan sebaran pemukiman penduduk Papua yang tidak teratur. Rendahnya akses tersebut berimplikasi pada mahalnya pembangunan sarana dan prasarana kelistrikan di Papua.



3. Aspek Kesejahteraan Masyarakat Pembangunan ekonomi belum mampu meningkatkan inklusivitas pembangunan selama pelaksanaan otonomi khusus. Inklusivitas dalam konteks ini berkaitan dengan berkurangnya eksklusi sosial dan kesenjangan ekonomi akibat aktivitas perekonomian yang tidak mampu menciptakan akses yang merata. Inklusivitas pembangunan ekonomi tersebut terdiri dari tiga pilar, yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi; (2) pemerataan dan pengurangan kemiskinan; serta (3) akses dan kesempatan (Bappenas, 2018). Inklusivitas pembangunan ekonomi diukur dengan Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif (IPEI). Berikut adalah capaian IPEI Provinsi Papua dibandingkan dengan beberapa wilayah terpilih di Indonesia: Gambar 2. 18. Grafik Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Provinsi Terpilih Tahun 2017 8 7 6



7,36 5,95



5,75 4,89



4,76



5



3,43



4 3 2 1 0



Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2019



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 67



Provinsi Papua merupakan daerah dengan IPEI terendah di Indonesia. Sejumlah 13 dari 30 kabupaten/kota di Indonesia dengan IPEI terendah berasal dari Provinsi Papua. Selain itu, jika IPEI Provinsi Papua dibandingkan dengan provinsi lain yang menerapkan desentralisasi asimetris, maka IPEI Provinsi Papua tetap berada di tingkat yang terendah. IPEI Provinsi Papua memiliki nilai lebih rendah 1,33 poin jika dibandingkan dengan Provinsi Papua Barat. Rendahnya IPEI Provinsi Papua disebabkan oleh beberapa sebab indikatif, seperti: (1) belum optimalnya pertumbuhan ekonomi non-tambang, (2) kurangnya pemerataan pendapatan dan tingginya kemiskinan, serta (3) kurangnya akses dan kesempatan orang asli Papua untuk berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan ekonomi di berbagai sektor. Berpijak pada argumentasi tersebut, maka pembangunan ekonomi di Provinsi Papua belum mampu mewujudkan inklusivitas pembangunan secara berkelanjutan.







Pertumbuhan Ekonomi



Perekonomian Provinsi Papua secara umum mengalami peningkatan meskipun menunjukkan perlambatan pada periode 2014-2018. Pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2014 (3,65%), sedangkan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2016 (9,14%) dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,42%. Pergerakan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua dipengaruhi oleh aktivitas perekonomian di berbagai sektor, khususnya sektor pertambangan dan penggalian sebagai kontributor terbesar terhadap PDRB Provinsi Papua. Kondisi tersebut dapat dicermati dari perbandingan fluktuasi laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dengan tambang dan tanpa tambang pada gambar berikut:



68 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Gambar 2. 19. Grafik Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Menurut Lapangan Usaha serta Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Papua Tahun 2014-2018 180000



9 7,33



140000



Milyar Rupiah



120000



7



7,35



6



5,04



100000



5,03



4,64



80000 60000



8



5



%



160000



10



9,14 8,63



4 3



3,65



40000



2



20000



1



0



0 2014



2015



2016



2017



2018



PDRB ADHK (dengan tambang)



PDRB ADHK (tanpa tambang)



LPE Papua (dengan tambang)



LPE Papua (tanpa tambang)



Rata-Rata LPE Indonesia (2014-2018)



Sumber: BPS Provinsi Papua, 2019



Data di atas menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekonomi tanpa tambang menurun, tetapi relatif lebih stabil dibanding LPE dengan tambang yang cukup fluktuatif. Pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh kontribusi sektor pertambangan dan penggalian mencapai 34,94 persen terhadap PDRB total dengan pertumbuhan sektoral sebesar 13,1 persen. Gambar di bawah menunjukkan struktur perekonomian Provinsi Papua ditopang oleh sektor pertambangan dan penggalian pada periode 2014-2018. Struktur perekonomian Provinsi Papua tidak mengalami pergeseran selama periode tersebut. Sektor pertambangan dan penggalian justru semakin mendominasi perekonomian dengan kenaikan kontribusi mencapai 2,16 persen pada tahun 2014 hingga 2018.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 69



Gambar 2. 20. Distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Tahun 2014 dan 2018 (%)



A. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan



2018



4%



11%



9% 5%



3%



4%



9%



3%



3% 4% 3%



5%



5%



B. Pertambangan dan Penggalian C. Industri Pengolahan



13%



D. Pengadaan Listrik dan Gas; E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang F. Konstruksi



2014



G. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor



35% 8%



37%



9% 13% 13%



0% 2% 0% 2%



H. Transportasi dan Pergudangan I. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; L. Real Estate



J. Informasi dan Komunikasi K. Jasa Keuangan dan Asuransi; M,N. Jasa Perusahaan O. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib P. Jasa Pendidikan; Q. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; R,S,T,U. Jasa lainnya



Sumber: BPS Provinsi Papua, 2019



Kondisi perekonomian Provinsi Papua yang lebih stabil ditunjukkan oleh nilai LPE tanpa tambang yang cenderung menurun pada tahun 2014-2018. Rata-rata pertumbuhan ekonomi tanpa tambang tercatat sebesar 6,61 persen, selisih 0,19 persen dengan rata-rata pertumbuhan dengan tambang. Sektor non-tambang yang berkontribusi cukup besar terhadap PDRB Provinsi Papua, beberapa di antaranya adalah sektor pertanian, konstruksi, administrasi pemerintahan, perdagangan, dan transportasi. Lapangan usaha konstruksi adalah sektor pertama yang mampu menyumbang pertumbuhan PDRB terbesar di luar sektor pertambangan. Sektor ini rata-rata mampu kontribusi sebesar 12,9 persen selama periode 2014-2018, walaupun pertumbuhan sektor ini menunjukkan perlambatan dari 8,56



70 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



persen pada tahun 2014 menjadi 5,12 persen pada tahun 2018. Besarnya kontribusi sektor konstruksi sejalan dengan besarnya alokasi belanja pemerintah untuk membangun infrastruktur strategis, seperti pembangunan jalan trans Papua dan infrastruktur pendukung PON XX yang sudah mendekati target penyelesaian pada tahun 2020. Sektor lain yang cukup mempengaruhi perekonomian Provinsi Papua adalah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan rata-rata kontribusi sebesar 12,27 persen selama periode 2014-2018. Sektor pertanian juga mengalami pertumbuhan yang melambat seperti sektor lainnya dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3,99 persen. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti belum optimalnya kualitas SDM, minimnya pemanfaatan teknologi, dan kendala finansial yang disebabkan oleh masih lemahnya akses keuangan inklusif. Di sisi lain, masyarakat yang masih belum bisa beradaptasi dengan perekonomian yang bersifat terbuka dan memanfaatkan sarana-prasarana yang tersedia diduga menjadi penyebab belum optimalnya kapasitas produksi dan akses pemasaran produk-produk pertanian dalam arti luas. Gambar 2. 21. Suasana Pasar Tradisional di Kabupaten Intan Jaya



Sumber: Dokumentasi PPKK Fisipol UGM, 2017



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 71



Sistem perekonomian yang dianut oleh masyarakat, khususnya OAP, masih berupa sistem ekonomi tradisional. Kondisi ini menyebabkan kegiatan produksi di bidang pertanian terbatas pada pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Persoalan tersebut berpengaruh terhadap belum optimalnya kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi. Padahal secara etos kerja, masyarakat Papua yang umumnya hidup bertani dikenal sebagai masyarakat pekerja keras. PDRB Provinsi Papua tidak hanya ditopang oleh sektorsektor unggulan dengan kontribusi dan pertumbuhan yang tinggi. Sektor lain, seperti perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor merupakan salah satu sektor potensial. Rata-rata kontribusi sektor perdagangan terhadap total PDRB tercatat sebesar 8,8 persen selama periode 20142018. Sektor ini diharapkan dapat menjadi sektor unggulan yang turut menggerakkan roda perekonomian masyarakat di Provinsi Papua pada masa depan. Aktivitas sektor perdagangan masih didominasi oleh masyarakat pendatang yang sayangnya tidak ditindaklanjuti dengan proses perpindahan pengetahuan dan keterampilan bisnis kepada OAP. (FGD Tokoh Papua di Jakarta, 11 Desember 2019). Realitas di dalam masyarakat menunjukkan bahwa para pendatang dari Bugis, Buton, Makassar masih mendominasi sektor perdagangan jalur tengah. Artinya, perekonomian Papua di sektor perdagangan digerakkan oleh pendatang, sedangkan OAP berada di struktur perekonomian paling bawah, yaitu sebagai konsumen. Padahal, beberapa suku asli Pulau Papua misalnya Paniai, Ayamaru, Serui, Ekari, dan Muyu memiliki jiwa entrepreneur sejak tahun 1970-an. (Tokoh Gereja Dogiyai, Wawancara, 3 Desember 2019). 72 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat dan belum mampu berkontribusi secara optimal sebenarnya terjadi hampir di seluruh sektor perekonomian di Provinsi Papua. Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh kurang tepatnya pendekatan atau metode yang diterapkan oleh pemerintah dalam memperhitungkan situasi dan kondisi khusus yang berkembang pada masyarakat asli Papua. Konflik pun timbul sebagai akibat dari pendekatan yang kurang tepat. Kondisi ini menghambat pengembangan potensi-potensi ekonomi yang ada. Padahal, potensi di sektor pertanian, perdagangan, dan perindustrian sangat tepat untuk dikembangkan guna menopang perekonomian masyarakat. Pengembangan tersebut tepat untuk dilakukan mengingat adanya potensi kultural yang dimiliki oleh masyarakat Papua. Pengembangan sektor nontambang juga diharapkan mampu menggeser ketergantungan terhadap sektor tambang, sehingga tercipta pembangunan perekonomian yang inklusif dan berkelanjutan.







Kemiskinan dan Ketimpangan Distribusi Kesejahteraan



Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan utama yang menjadi fokus intervensi dalam kebijakan otonomi khusus dan percepatan pembangunan Provinsi Papua. Kemiskinan diukur oleh BPS dengan pendekatan pendekatan kebutuhan dasar. Grafik berikut menunjukkan kondisi kemiskinan Provinsi Papua dalam tiga indikator utama kemiskinan.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 73



Gambar 2. 22. Grafik Indeks Kedalaman, Keparahan, dan Persentase Kemiskinan Provinsi Papua 10 9



29



28,4 27,8



27,43



27,76



8



28 27



7 6



26



5



25



24,88



4



4,19



2,82



3



2,28



2 1



2,18



3,78



24 23



9,37



6,73



0



22 2014



2015



2016



Kedalaman Kemiskinan



2017



2018



Keparahan Kemiskinan



Persentase Penduduk Miskin



Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019



Kemiskinan di Provinsi Papua mengalami tren yang fluktuatif selama tahun 2014 hingga 2018. Persentase kemiskinan tertinggi sebesar 28,4 persen terjadi pada tahun 2015, sedangkan kemiskinan terendah mencapai 24,88 persen pada tahun 2016. Penurunan penduduk miskin pada tahun 2016 disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada periode yang sama. Selain itu, turunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 0,64 persen pada tahun 2015 hingga 2016 juga berkontribusi terhadap penurunan penduduk miskin di Papua pada tahun 2016 (BPS, 2019). Tingginya peningkatan penduduk miskin pada tahun 2017 berkaitan dengan penurunan PDRB Provinsi Papua dari 9,14 persen ke 4,64 persen pada tahun 2016 hingga 2017. Meningkatnya TPT sebesar 0,27 persen pada tahun 2016 hingga 2017 juga berkontribusi pada peningkatan penduduk miskin di Papua pada tahun 2017. Fluktuasi penduduk miskin di Provinsi Papua pada periode 2014 hingga 2018, secara umum diduga disebabkan oleh belum



74 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



optimalnya kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Kondisi tersebut juga berimplikasi pada rendahnya keterserapan tenaga kerja usia produktif di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan di Provinsi Papua. Persoalan kemiskinan juga dapat dicermati menggunakan indikator indeks kedalaman kemiskinan (P1). Indikator ini dapat digunakan untuk mengukur rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Grafik di bawah menunjukkan tren penurunan indeks kedalaman kemiskinan sejak tahun 2016. Kondisi tersebut menunjukkan semakin kecilnya perbedaan rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan atau semakin meratanya distribusi pengeluaran di antara penduduk kaya dan miskin. Gambar 2. 23. Grafik Indeks Kedalaman (P1) dan Persentase Kemiskinan Provinsi Papua dan Indonesia 10



28,4



27,8



27,76



24,88



9



30



27,43



25



8



9,37



8,82



7



7,5 6,73



6



6,42



5



20



15



4 3 2



10 1,89



1,75



1,84



1,74



1,63



5



1 0



0



2014



2015



2016



2017



2018



P1 Indonesia



P1 Papua



Persentase Kemiskinan Papua



Persentase Kemiskinan Indonesia



Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019



Proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan Provinsi Papua hampir tiga kali lebih besar dibandingkan dengan ratarata nasional pada tahun 2014 hingga 2018, sedangkan ratarata indeks kedalaman kemiskinan Provinsi Papua sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nasional. Persoalan tersebut mengindikasikan bahwa kesenjangan pengeluaran Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 75



penduduk miskin di Papua terhadap garis kemiskinan masih sangat tertinggal, jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan secara umum di tingkat nasional. Kemiskinan tidak hanya berhubungan dengan tingkat dan kedalaman, namun juga keparahan. Keparahan kemiskinan diukur dengan menggunakan indeks keparahan kemiskinan (P2). Indikator ini dapat digunakan untuk mengukur distribusi pengeluaran di antara penduduk miskin. Jika semakin tinggi indeks keparahan kemiskinan, maka ketimpangan di antara penduduk miskin semakin tinggi. Grafik berikut menunjukkan indeks keparahan kemiskinan di Provinsi Papua: Gambar 2. 24. Grafik Indeks Keparahan (P2) dan Persentase Kemiskinan Papua dan Indonesia 4,5 4



28,4 27,8



27,76



24,88



3,5



25



4,19



3,78



3



30



27,43



20



2,5



2,82



2



15



2,18



2,28



1,5



10



1 0,5



0,44



0,51



0,44



0,46



0,41



0



5 0



2014



2015



2016



2017



2018



P2 Indonesia



P2 Papua



Persentase Kemiskinan Papua



Persentase Kemiskinan Indonesia



Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019



Indeks keparahan kemiskinan Provinsi Papua turun hampir 2 persen pada tahun 2016 hingga 2018, namun indeks keparahan kemiskinan Provinsi Papua masih lima kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan distribusi pengeluaran di antara penduduk miskin di Provinsi Papua jauh



76 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



lebih tinggi jika dibandingkan dengan kesenjangan pengeluaran di antara penduduk miskin secara kumulatif di level nasional. Keadaan ini menggambarkan tingginya ketidakmerataan daya beli di antara masyarakat miskin di Papua, jika dibandingkan dengan rata-rata masyarakat miskin di Indonesia. Meskipun demikian, menurunnya tren indeks kedalaman (P1) dan keparahan (P2) kemiskinan menunjukkan bahwa kesenjangan pengeluaran dan daya beli berangsur membaik sejak tahun 2016 hingga 2018. Kesenjangan daya beli masyarakat berkaitan dengan distribusi pendapatan. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan melalui pendekatan pengeluaran adalah indikator Gini Rasio atau Koefisien Gini. Berikut ini merupakan perkembangan Koefisien Gini Provinsi Papua pada tahun 2014 hingga 2018: Gambar 2. 25. Grafik Perkembangan Gini Rasio Papua dan Indonesia 0,43



0,42



0,42 0,414



0,415 0,41



0,41



0,39



0,405



0,402



0,4 0,41



0,4



0,394



0,38



0,395



0,391



0,42



0,384 0,38



0,37



0,39



0,36



0,37



0,35



0,39 0,385 0,38 0,375 0,37



0,34



0,365 2014



2015



2016 Papua



2017



2018



Indonesia



Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019



Koefisien gini Provinsi Papua cenderung lebih fluktuatif jika dibandingkan dengan rata-rata nasional pada tahun 2014 hingga 2018. Meskipun demikian, koefisien gini Provinsi Papua



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 77



hampir sama besarnya dengan rata-rata nasional hingga akhir tahun 2018. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di antara masyarakat Provinsi Papua semakin merata. Gambar 2. 26. Grafik Rata-rata Gini Rasio Wilayah Adat Provinsi Papua



0,45



0,42



0,41



0,38



0,4 0,35



0,325



0,45



0,39



0,37 0,33



0,4



0,3



0,295 0,35 0,3



0,25



0,25



0,2



0,2



0,15



0,15



0,1



0,1



0,05



0,05



0,3075



0,295



0



0 2014



2015



2016



2017



2018



Mamta



Anim Ha



Lapago



Saereri



Mepago



Papua



Sumber: BPS Provinsi Papua, 2019



Turunnya tren koefisien gini Provinsi Papua, secara umum sejalan dengan membaiknya tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Meskipun demikian, rata-rata koefisien gini di beberapa wilayah adat cenderung stagnan, khususnya wilayah adat Anim Ha. Kondisi tersebut disebabkan oleh terpusatnya pembangunan di wilayah Merauke yang tidak dapat diimbangi kecepatannya oleh daerah-daerah lain di sekitarnya, seperti Mappi, Asmat, dan Boven Digoel. Sebaliknya, rata-rata rasio ketimpangan di wilayah La Pago dan Mee Pago merupakan yang terendah. Bahkan rata-rata ketimpangan di Mee Pago turun cukup signifikan dari 0,33 menjadi 0,29 pada tahun 2017 hingga 2018. Selain menunjukkan distribusi pendapatan yang semakin merata, penurunan gini juga mengindikasikan bahwa ada peningkatan multiplier effect atas pertumbuhan ekonomi



78 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



terhadap pendapatan masyarakat pada sektor unggulan dan potensial di wilayah Mee Pago. Suku Mee yang menempati kawasan Mee Pago memiliki mata pencaharian utama di bidang pertanian dan peternakan, namun ada pula masyarakat yang memiliki mata pencaharian di bidang perikanan dan perdagangan. Pemerintah Provinsi Papua menetapkan kopi dan ubi jalar sebagai komoditas unggulan untuk Kabupaten Dogiyai dan Paniai, sedangkan pertanian padi perkebunan jeruk, peternakan babi, merupakan komoditas unggulan kabupaten Nabire. Gaharu dikembangkan di Kabupaten Intan Jaya, sedangkan Kabupaten Mimika ditetapkan sebagai daerah pertambangan batu bara dan tembaga. Wilayah adat La Pago, sebagai kawasan yang berada di daerah pengunungan, mempunyai beberapa komoditas unggulan yang didorong pengembangannya oleh Pemerintah Provinsi Papua. Komoditas unggulan tersebut seperti kopi, ubi jalar, buah merah, bawang, gaharu, karet, nanas, jeruk dan sayuran dataran tinggi. Selain untuk memenuhi kebutuhan di wilayah La Pago, komoditas-komoditas ini diharapkan juga dapat memenuhi kebutuhan di wilayah pengembangan lainnya, seperti Mamta. Hampir seluruh kabupaten di wilayah La Pago menjadikan kopi sebagai komoditas unggulan karena wilayah tersebut berada di daerah ketinggian yang sangat cocok untuk pengembangan kopi. Pemerintah Provinsi Papua memberikan dukungan pengembangan komoditas unggulan Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) La Pago. Dukungan tersebut difokuskan pada industri pengolahan kopi, pengembangan buah merah dan produk turunannya. Potensi kawasan La Pago (yang memiliki sekitar 400 jenis sayur-mayur dan umbi-umbian) masih belum digarap secara serius oleh pemerintah sejak UU Otsus diberlakukan. Padahal di Wamena pernah didirikan semacam tempat penampungan hasil



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 79



pertanian yang didirikan dan dikelola oleh Joint Development Papua pada tahun 1970-an. Seluruh petani dapat mengantarkan hasil pertanian (sayur-mayur, umbi-umbian, dan buah-buahan) ke tempat penampungan tersebut untuk dijual ke Freeport dan ke masyarakat. Proses hilirisasi hasil pertanian terhenti sejak UU Otsus diberlakukan karena beberapa alasan, yaitu: 1) permintaan dan penawaran (supply and demand) terhadap hasil bumi tidak seimbang, sehingga Freeport tak ingin ambil resiko dengan melanjutkan sistem jual-beli tersebut, 2) adanya peralihan kerjasama PT. Freeport dengan PT. Pangansari Utama (PSU) dalam penyediaan katering bagi karyawan, 3) kualitas hasil pertanian mengalami penurunan, 4) penetapan harga jual hasil pertanian tidak sesuai standar harga pasar (terlalu tinggi dari harga pasar). Masyarakat Papua cenderung membuat harga semaunya dan tidak mengenal sistem tawar-menawar dalam jual beli.







Penanaman Modal



Penanaman modal merupakan faktor utama yang mendukung pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua. Penanaman modal tersebut dapat diukur dengan menggunakan indikator nilai penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) serta jumlah investor. Provinsi Papua memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar, namun masih menghadapi berbagai persoalan, sehingga penanaman modal belum mampu mendukung pertumbuhan ekonomi daerah secara optimal. Berikut adalah data mengenai penanaman modal di Provinsi Papua: Jumlah investor PMA dan PMDN di Provinsi Papua memiliki rata-rata pertumbuhan yang relatif menurun sebesar 37,74% per tahun pada tahun 2013 hingga 2016. Berbeda dengan jumlah investor, nilai investasi di Provinsi Papua jutru cenderung meningkat, walaupun tidak terlalu konsisten pada



80 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



tahun 2013 hingga 2016. Nilai investari di Provinsi Papua berada di angka 122,55 triliun pada tahun 2016. Jika dipiliah berdasarkan rumpun spasial, maka Kabupaten Jayapura dan Merauke adalah daerah dengan jumlah investor terbanyak. Di wilayah Mepago, hanya Kabupaten Mimika dan Nabire yang memiliki data lengkap. Kabupaten Mimika menjadi wilayah dengan jumlah investor dan nilai investasi tertinggi di wilayah Mepago. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor indikatif seperti, rendahnya kondusifitas iklim investasi (termasuk di dalamnya fluktuasi kondisi keamanan dan persoalan hak ulayat atas tanah adat), rendahnya akses infratruktur pendukung penanaman modal dan persoalan perizinan invetasi yang masih perlu dibenahi.







Daya Saing Investasi



Indikator Incremental Capital Output Ratio (ICOR) adalah parameter ekonomi makro yang menggambarkan rasio investasi kapital/modal terhadap hasil (output) yang diperoleh, dengan menggunakan investasi tersebut. ICOR juga bisa diartikan sebagai dampak penambahan kapital terhadap penambahan sejumlah output (BPS). Indikator ini berguna untuk mengetahui jumlah atau nilai investasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan satu digit pertumbuhan ekonomi. Nilai ICOR yang moderat berada di angka 2 hingga 4. Kondisi ini menandakan bahwa iklim invetasi di sebuah daerah masuk ke dalam kategori kondusif dan menguntungkan. Berikut adalah data mengenai ICOR di Provinsi Papua:



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 81



Gambar 2. 27. Grafik Nilai ICOR Provinsi Papua Menurut Wilayah Adat



Sumber: BPS Provinsi Papua, 2018



Anim Ha adalah wilayah adat yang memberikan keuntungan yang lebih baik untuk investor jika dibandingkan dengan wilayah adat lainnya. Hal ini ditandai dengan nilai ICOR di wilayah Anim Ha lebih rendah dari wilayah adat Mamta, Lapago, Mee Pago dan Saereri. Wilayah adat Saereri merupakan wilayah adat dengan ICOR terbesar. Jika nilai ICOR di atas 4, maka terjadi inefisiensi atau kebocoran ekonomi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kondusifitas iklim investasi di wilayah adat Saereri rendah dan tidak terlalu menguntungkan investor. Gambar 2. 28. Grafik Nilai ICOR Provinsi Papua Menurut Kabupaten/ Kota



Sumber: BPS Provinsi Papua, 2018



Kabupaten/kota di Provinsi Papua rata-rata belum mampu menciptakan iklim investasi yang menguntungkan investor. Kondisi ini ditandai dengan rata-rata nilai ICOR di sebagian besar kabupaten/kota berada di angka lebih dari 4. Nilai ICOR



82 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



tersebut mengalami kenaikan dengan rata-rata 0,15% - 14% per tahun pada tahun 2013-2017. Rata-rata nilai ICOR Provinsi Papua berada di angka 5,13 pada tahun 2017. Kondisi ini berarti bahwa untuk mencipatakan nilai PDRB sebesar 1 rupiah di Provinsi Papua, maka diperlukan tambahan investasi sebesar 5,13 rupiah. Nilai ICOR naik sebesar 0,25% per tahun pada tahun 2017, jika dibandingan dengan capaian ICOR pada tahun 2014.



D. Spesifikasi Terobosan Dibutuhkan Papua.



Instrumentasi



yang



Mengingat konteks dan sejarah perumusannya, kinerja skema Otsus yang jauh dari capaian daerah-daerah lain seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, sama sekali tidak mengejutkan. Skema Otsus dari awal sudah disadari adalah skema pengelolaan situasi luar biasa kalau tidak darurat, namun dengan kecepatan di atas rata-rata. Kelemahan dalam implementasi skema Otsus secara akademis sudah dalam antisipasi, dimana ada berbagai kealphaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan ada persyaratan yang tidak kalah berat untuk memenuhinya. Sub bab ini menawarkan telaah reflektif untuk nantinya menjadi dasar dalam reinstrumentasi yang diperlukan.



1. Menjangkau Tataran yang Tersirat Penyelenggaran pemerintahan di Provinsi Papua merupakan pertemuan dua model tata kelola pemerintahan. Di satu sisi ada tatakelola modern yang mengandalkan cara berfikir dan cara bekerja birokratis dan/atau teknokratis. Corak berfikir dan bekerja ini, tidak terlalu fatal membawa akibat ketika diberlakukan di daerah lain di Indonesia, karena perjalanan sejarah dan keterpaparan terhadap rasionalitas modern yang cenderung impersonal. Masyarakat Papua di sisi



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 83



lain, lebih merujuk pada ikatan dan solidaritas kesukuan dan empathy terhadap sesamanya dalam ikatan adat. Kehadiran pemerintah daerah, khususnya Daerah Otonom Baru (DOB) juga nampak menjadi ruang eksistensi dan representasi suku dari daerah setempat. Nama suku disebut secara eksplisit sebagai nama daerah, misalnya Asmat dan Nduga. Beberapa daerah lain mengidentifikasi diri sebagai ranah asli suatu suku, misalnya Intan Jaya tempat asli suku Moni, Puncak dengan masyarakat asli Suku Dani dan Damal, serta Mimika dengan Suku Amungme dan Kamoro. Lokalitas Papua yang memiliki konteks dan watak khas memerlukan respon khas pula. Konteks lokal Papua yang harus diperhatikan adalah kuatnya tatanan kehidupan adat dan status kewenangan otonomi khusus yang hadir karena sejarah konflik yang cukup panjang. Kedua hal tersebut kadang belum memiliki sinergi dan bahkan membawa problematika di berbagai bidang yang sejauh ini belum ada upaya untuk secara saksama mensinergikannya. Urgensi untuk melakukan hal ini disuarakan oleh OAP dengan jargon-jargon “menjadi tuan di negeri sendiri” ataupun “membangun dengan hati”. Pemerintah dalam realitasnya mengalami kesulitan menjangkau hati rakyatnya, karena mekanisme kerja birokrasi yang impersonal (formal). Meskipun pemerintah dan masyarakat sama-sama sepakat dengan gagasan good governance, masing-masing memaknainya dengan konotasi yang berbeda. Instrumentasi tata kelola modern berjalan masif seiring terlembagakannya prinsip-prinsip good governance. Pemerintah pusat merumuskan antara lain kebijakan akuntabilitas, transparansi, dan profesionalitas yang seragam untuk diterapkan di seluruh daerah, termasuk Papua. Implikasinya adalah kewenangan khusus hanya nampak di permukaan, namun pengelolaan teknisnya tetap dijalankan sesuai regulasi dari pemerintah pusat. Kewenangan khusus tetap dikerangkai kebijakan pusat, misalnya keharusan 84 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



menerapakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), hingga manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menerapkan sistem merit. Penjabaran kisi-kisi governance tersebut sangatlah berbeda, dan pemerintah perlu memiliki cara untuk menangkap sense of good/bad governane dari masing-masing suku, meskipun tidak masuk dalam rumusan resmi dalam dokumen pemerintah. Pemerintah daerah tetap berupaya menjalankan kebijakan pemerintah pusat. Beberapa pemerintah daerah mampu memenuhi target kinerja yang disyaratkan instrumen tata kelola modern, misalnya terdapat 11 pemerintah daerah dari 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua yang mendapat Opini BPK WTP atas laporan keuangan 2018. Provinsi Papua sendiri mendapat Opini BPK WTP sejak 2014 (Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK 2019). Namun, masih banyak pula pemerintah daerah yang belum mampu memenuhi target kinerja optimal yang ditetapkan pemerintah pusat. Beberapa pemerintah daerah sekedar memenuhi syarat administrasi, misalnya dalam bentuk dokumen perencanaan, pelaporan kinerja dan keuangan, serta dokumen terkait manajemen ASN, seperti analisis jabatan dan analisis beban kerja. Pemenuhan syarat administrasi merupakan strategi untuk memperlihatkan keseriusan di mata pemerintah pusat, alih-alih langsung fokus pada kinerja yang lebih substantif, misalnya penurunan angka kemiskinan, peningkatan serapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, hingga pembangunan komitmen pelayanan dan budaya kerja yang tinggi. “Dalam pelaksanaan otsus daerah banyak kelola uang. Anak kecil sekarang sudah pegang uang. Otsus sama dengan uang. Dana kampung juga membuat masyarakat malas kerja, langsung dapat cash. Tergantung kepala kampung bisa kelola baik atau tidak. Biasanya dibagi per KK. Yang diatur dengan baik untuk air bersih, bantuan Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 85



sekolah, ternak ikan, babi. Lebih banyak yang tidak baik, sekitar 75%, kampung yang jauh dari ibukota” (Staf Dinas Komunikasi dan Informatika Kab. Puncak, Wawancara, 13 November 2019). “Pos belanja bansos besar karena termasuk penyelesaian konflik. SPJ pemberi ada, tapi SPJ penerima tidak ada” (Pejabat struktural BPKAD Kab. Puncak, Wawancara, 13 November 2019) Meskipun beberapa daerah mampu memenuhi target kinerja akuntabilitas administratif, namun dalam prosesnya terdapat berbagai benturan sebagaimana pernyataan aparat pemerintah daerah di atas. Kepala daerah atau aparat pemerintahan secara umum memiliki tuntutan akuntabilitas sosial, bahkan menjadi beban sosial untuk memberikan manfaat nyata pada masyarakat, terutama dalam bentuk uang secara langsung. Manfaat nyata pada masyarakat baik dalam hubungan personal maupun impersonal. Terdapat nilai kasih di dalam hubungan personal berupa adat memberi dan diberi, dimana pihak yang menjadi sumber pemberi adalah anggota keluarga yang menjadi PNS. Sedangkan dalam hubungan impersonal, pemberian uang secara langsung dari pemerintah kepada masyarakat tidak selaras dengan prinsip akuntabilitas administratif, dimana kemanfaatan diwujudkan melalui instrumen program dan kegiatan pembangunan yang kemudian harus dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan keuangan. Adanya anggaran bantuan sosial (bansos) yang tinggi di dalam APBD merupakan konsekuensi dari realitas sosial ketika sebagian masyarakat lebih senang menerima uang secara langsung. Jebakan monetisasi tidak hanya dalam bentuk bansos, namun juga dana kampung yang jarang diwujudkan dalam bentuk program-program pembangunan, melainkan dibagi tunai pada masyarakat. Pertanggungjawaban laporan keuangan



86 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



kadang juga sulit memenuhi standar regulasi, khususnya ketika terdapat pengeluaran pemerintah daerah untuk menyelesaikan permasalahan mendesak, misalnya uang kompensasi perang suku dan uang palang.



2. Urgensi Penguatan Peran Adat, Gereja, dan Perempuan Berbasis Modalitas Tidak bisa dipungkiri bahwa adat adalah institusi yang paling mengakar, dan oleh karenanya menjadi basis kekuatan yang tidak boleh diabaikan. Poin ini sudah diformulasikan secara jelas dalan UU No. 21 Tahun 2001, hanya saja sejauh ini penjabarannya terjebak dalam cara pikir dan cara kerja yang formalistik/birokratis. Representasi adat dijabarkan sekedar dengan memilih sosok yang duduk di MRP, bukan mensitesakan nilai-nilai adat dengan cara kerja birokrasi pemerintahan. Kenyataan bahwa semua tanah di Papua ada dalam kendali adat, tidak diikuti dengan pengembangan administrasi pemerintahan sesuai dengan kekuasaan ulayat dalam mengelolanya. Sejauh ini, administrasi pemerintahan berpurapura tidak tahu tentang konteks adat, dan jika ada kesediaan untuk menghormati, hal itu berlangsung pada tataran personal, tepatnya komitmen anak adat yang bisa menduduki posisi penting di pemerintahan. “Kita tidak bisa mengenyampingkan nilai-nilai yang ada dalam semangat etnosentris dari pola kepemimpinan orang Papua. Tetap orang Papua akan, walaupun dia sudah ada di legislatif ataupun di birokrasi tetapi kemudian darimana dia berangkat itu akan selalu dibawa. Jadi ada kemudian wilayahnya akan selalu jadi perhitungan. Ini yang kemudian kita bisa lihat bahwa Papua sampai kapanpun, jadi untuk Papua ini sendiri kan tetap wilayah adat ini akan selalu menjadi isu yang tidak bisa disampingkan karena semangatnya itu sudah turun



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 87



temurun” (Akademisi Universitas Wawancara, November 2019)



Cenderawasih,



“Tahun 1951 para antropolog Belanda sudah membagi wilayah-wilayah adat, ada 7 wilayah adat. Ini menjadi penting untuk menjadi pertimbangan. Membangun Papua tidak bisa memakai pola sepenuhnya Indonesia, kita perlu local wisdom Papua, kita perlu kearifan lokal, sehingga selalu mengedepankan adat” (Perangkat Kampung dalam FGD Tokoh Masyarakat Nabire, 27 November 2019) Representasi adat perlu diikuti dengan penyusunan kerangka regulasi yang konsisten atau kondusif dalam menerapkan nilai-nilai adat. Mengingat telah berlangsung silang-menyilangnya hunian anak-anak adat, maka keperluan untuk memasukkan nilai-nilai adat memerlukan kesaksamaan tersendiri. Rekognisi pemerintah pusat dan daerah terhadap adat telah muncul dengan pengakuan pembagian Papua ke dalam 7 wilayah adat. Pembagian wilayah adat tersebut menjadi basis representasi di dalam MRP maupun menjadi pendekatan pembangunan daerah. Upaya memperdalam peran adat tidak cukup dengan menggunakan basis wilayah adat secara simbolik, sekaligus berbasis pada modalitas adat sebagai self governing community. Adat telah berdiri dan mengelola komunitasnya sebelum model pemerintahan modern hadir di Tanah Papua. Institusi adat mengurus atau mengelola banyak hal dalam kehidupan sehari-hari, antara lain pelestarian dan pengembangan budaya; penyelenggaraan hukum adat dalam konteks perkawinan, pewarisan, dan perselisihan; perlindungan warga dalam memperoleh pekerjaan dari sumberdaya lokal; pengelolaan dan pengembangan tanah ulayat; serta penyelesaian konflik dan perdamaian antar suku. Tantangan dalam upaya revitalisasi adat sebagai self governing community yang harus dihadapi adalah keterjebakan kembali pada alur berpikir formalistik. Sebagaimana dilema



88 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



peran MRP sebagai representasi adat, tantangan hampir serupa juga muncul ketika eksistensi adat dilihat dari kehadiran peran dewan adat atau lembaga masyarakat adat semata. Institusi tersebut penting jika dikaitkan dengan peran representasi, advokasi dan membangun kerjasama sinergis dengan pemangku kepentingan lain di pemerintahan. Namun ketika institusi tersebut terjebak bahkan bergantung pada alur kebijakan pemerintah semata, maka upaya revitalisasi adat sebagai self governing community menghadapi persoalan. Tantangan lainnya adalah upaya rekognisi adat belum berlanjut pada adopsi nilai-nilai adat pada kebijakan pemerintah, maupun penyusunan kebijakan untuk melindungi masyarakat hukum adat. Adanya desakan pada pemerintah daerah untuk segera menyusun perda perlindungan masyarakat hukum adat, salah satunya muncul ketika diskusi kelompok terfokus di Timika. Gambar 2. 29. FGD antara Masyarakat Adat, Gereja, dan Pemerintah Kabupaten Mimika



Sumber: Dokumentasi PPKK Fisipol UGM, 2019



Gereja, bersama adat juga merupakan institusi penting bagi kehidupan masyarakat Papua. Gereja telah mengawal pembangunan kehidupan beragama dan pembangunan sosial, khususnya di bidang pendidikan. Masyarakat sangat hormat dan memiliki pengalaman baik terhadap hadirnya gereja sebagai Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 89



lembaga yang mengangkat keberadaban karena telah berhasil dalam membangun kehidupan beragama dan pendidikan di wilayahnya. Tidak kalah penting, gereja juga memperkenalkan dan memerkuat berbagai keterampilan di sektor pertanian, peternakan dan pemukiman sehingga masyarakat bisa hidup lebih sejahtera. “Dari awal memang seluruh daerah pedalaman itu dirintis oleh Gereja. Sehingga, sampai sekarang pemerintah itu tetap memberi rasa hormat, respect kepada Gereja. Baik Katolik maupun Protestan. Nah, sampai sekarang memang ada langkah-langkah pemahaman kita di Gereja Keuskupan Timika sedang mengambil satu program namanya “Tungku Api Kehidupan”. Gerakan Gereja, Keuskupan, tujuan utamanya perlindungan dan pengelolaan terhadap alam. Alam, secara spesifik yaitu tanah. Tanah itu filosofi orang Papua itu Ibu, yang memberi susu maka Ibu itu tidak boleh dijual. Faktanya, masyarakat sudah jual banyak tanah dan itu juga berpengaruh kepada tadi itu.” (Tokoh Gereja Dogiyai, Wawancara, 3 Desember 2019) Dalam berbagai advokasi kebijakan yang memperjuangkan hak-hak tradisional Papua, gereja Protestan dan Katholik menjadi institusi yang terpercaya di masyarakat. Gereja memperlihatkan keberpihakan terhadap kepentingan mereka berhadapan dengan negara, pasar dan penyelesaian berbagai konflik di Papua. Gereja misalnya memberikan advokasi terkait pengelolaan tanah adat, dimana gereja memandang telah terdapat pergeseran di tengah masyarakat dalam memaknai tanah. Gereja berupaya memperkuat kembali filosofi tanah sebagai ibu bagi masyarakat Papua, sehingga selain harus dijaga keberlanjutnya, sekaligus masyarakat dapat siap dan arif memaknai tanah ketika berhadapan dengan pemangku kepentingan lain.



90 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Perempuan mendapatkan posisi penting di dalam pelaksanaan otonomi khusus Papua. Dalam konteks representasi, kehadiran MRP salah satunya merupakan representasi dari perempuan. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun hidup dalam sistem kekerabatan patrilineal, perempuan menjadi tulang punggung ekonomi dalam keluarga batih, keluarga luas, serta klan. Perempuan yang mengurus dan mengerjakan kegiatan meramu, bercocoktanam dan beternak babi. Perempuan juga mengatur distribusi produksi sehingga mereka juga yang memastikan keluarga memiliki keamananan pangan. Perempuan juga menjadi simbol di dalam jagad pandang masyarakat Papua, yakni ketika memosisikan tanah sebagai mama. Di tengah modalitas tersebut, perempuan masih menghadapi persoalan baik berupa kekerasan di dalam rumah tangga, korban konflik yang melibatkan aparat negara, hingga keterlibatan aktif di ranah publik, terutama sebagai pengambil keputusan mulai dari level provinsi, kaupaten/kota, distrik, hingga kampung. penghormatan. Persoalan tersebut sangat mendesak untuk diperhatikan di dalam reinstrumentasi kedepan. Reintsrumentasi untuk memperdalam sensivitas terhadap isu gender maupun keterlibatan perempuan secara kultural maupun struktural.



3. Instrumen Tepat Guna Dalam Mengartikulasikan KePapuaan Representasi kesukuan memperkuat identitas masyarakat lokal untuk mengakses jabatan politik melalui kontestasi pemilu, maupun jabatan birokrasi dengan menjadi PNS. Sektor publik atau pemerintahan merupakan primadona bagi masyarakat asli Papua, selain disebabkan pula oleh anggapan bahwa menjadi PNS merupakan bentuk afirmasi, proteksi, dan kompensasi bagi Orang Asli Papua (OAP). Sebagian jabatan



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 91



struktural di birokrasi pemerintahan juga telah dijabat oleh OAP. Di dalam jabatan politik, hampir seluruh kepala dan wakil kepala daerah di kawasan pegunungan dijabat oleh OAP, sedangkan di daerah pantai terdapat kolaborasi antara OAP dan pendatang. Adapun jabatan politik yang mulai tergeser oleh pendatang yakni di dalam lembaga legislatif seiring sistem kontestasi yang semakin terbuka. “Orang Kamoro yang jadi PNS sangat sedikit, banyak dari luar. Penerimaan PNS khusus untuk orang Kamoro dan Amungme. Sebelum provinsi dibentuk, terima PNS khusus untuk OAP” (Ketua Lemasko di dalam FGD di Timika, 15 November 2019) Kehadiran pemerintah daerah dalam hal ini dimaknai sebagai ruang representasi dan afirmasi yang kemudian kembali berpotensi berbenturan dengan berbagai kebijakan yang dibawa oleh prinsip-prinsip tata kelola modern, misalnya dengan prinsip meritokrasi. Sistem merit di dalam undangundang ASN menekankan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur atau kondisi kecacatan. Rangkaian tes CPNS 2019 yang berlarut di Papua dapat menjadi contoh penjelas permasalahan ini. Masyarakat lokal masih menganggap sistem tes belum sepenuhnya menerapkan kebijakan afirmasi dan berpihak pada OAP. Masyarakat asli masih diharuskan bersaing dengan masyarakat pendatang dalam ujian CPNS, apalagi disertai dengan tuntutan penggunaan tes berbasis komputer yang dirasa masih menyulitkan. Contoh nyata terdapat di Kabupaten Puncak, ketika kantor Badan Kepegawaian Daerah dipalang oleh masyarakat lokal untuk menghalangi pendatang yang akan mendaftar atau menyerahkan berkas. Adanya kekhawatiran marginalisasi OAP juga muncul di dalam menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi



92 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Pratama (JPT Pratama) atau jabatan Sekretaris Daerah dan Kepala OPD. Undang-undang ASN mengamanatkan pengisian JPT Pratama secara terbuka dan kompetitif dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas. Beberapa dokumen analisis jabatan pemerintah daerah di Papua memperlihatkan bahwa sebagian pejabat struktural tidak memenuhi syarat kualifikasi dan kepangkatan. Kapasitas pemerintahan selain dibangun oleh individu aparatur, juga dibangun secara organisasional melalui perangkat daerah yang tepat fungsi dan struktur. Realitas yang banyak terdapat di Papua adalah pemerintah daerah membentuk Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) dengan tipe maksimal (tipe A) yang memiliki struktur kompleks. SOTK tersebut kadang tidak berfungsi optimal, kecuali untuk menampung masyarakat dalam berbagai jabatan birokrasi. Struktur perangkat daerah yang kompleks semakin menambah beban belanja pegawai atau belanja operasional. Beberapa daerah membentuk struktur perangkat daerah mengikuti struktur di daerah lain yang kadang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah di Papua. Misalnya suatu daerah tidak ada museum namun terdapat seksi permuseuman, atau perangkat daerah komunikasi dan informatika yang memiliki struktur kompleks padahal daerah tersebut baru tahap awal membuka akses komunikasi. “Bupati keluar banyak pejabat OPD ikut keluar, bupati naik ke Ilaga banyak pejabat OPD ikut naik. Pendidikan aktif hanya di sekitar kota. Ada masalah keamanan, tenaga pendidikan kabur. Pengelolaan anggaran tidak baik, yang salah pemerintah Papua. Banyak kantor pemerintah tidak terurus, banyak ludah pinang” (Tokoh Masyarakat Puncak, Wawancara, 13 November 2019).



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 93



Status sebagai PNS dan pejabat pemerintahan melalui berbagai jabatan yang disediakan merupakan sarana untuk mengakses sumber daya atau menikmati berkah dari status otonomi khusus. Persoalan yang muncul adalah berkah di sektor publik tersebut belum ditransformasi secara optimal untuk menjadi pelayan publik. Aktivitas pelayanan publik belum berjalan optimal yang dibuktikan minimal melalui aktivitas perkantoran yang masih lengang, bahkan kosong. Kondisi problematis semakin muncul di daerah yang jauh dari ibukota kabupaten, misalnya kantor distrik yang tidak ada aktivitas. Aktivitas pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan bahkan tidak berjalan, terutama di wilayah yang masih terdapat konflik. Banyak PNS dan pimpinan daerah sendiri yang tidak berada di tempat tugas, terutama di kabupaten kawasan pegunungan yang memiliki akses sulit. Oleh karena itu, upaya menghadirkan negara di tengah masyarakat terpencil merupakan kebutuhan yang mendesak. Pembentukan DOB telah membuka lapangan kerja baru dan menyerap anak-anak adat ke dalam jajaran birokrasi pemerintah. Adanya DOB, negara telah menghadirkan dirinya melalui tampilan fisik berupa pembangunan perkantoran dan sarana-prasarana pelayanan publik yang masif. Namun, kehadiran infrastruktur tersebut belum disertai aktivitas pemerintahan yang normal, karena tidak cukup jelasnya upaya mengusung perubahan dari sisi non-fisik, misalnya sistem kontrol. Sejauh ini, kontrol terhadap komitmen pelayanan belum memiliki sistem yang tepat. Sistem pengendalian yang diinisiasi pemerintah pusat belum berjalan efektif untuk mendisiplinkan aparatur. Pengendalian kerja dan kinerja masih berbentuk pengawasan melekat yang tidak dijalankan secara berjenjang, melainkan berada di satu titik kepala daerah. Persoalannya adalah ketika kepala daerah tidak berada di daerah, maka pengawasan terhadap kerja aparatur melemah, kemudian dimanfaatkan oleh sebagian aparatur untuk tidak



94 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



berada di tempat tugas. Para pegawai akan kembali ke tempat tugas ketika kepala daerah juga kembali ke daerah, atau ketika peringatan hari besar nasional, misalnya rangkaian acara agustusan. Beberapa pihak menjuluki fenomena ini sebagai pemerintahan seremonial, yakni aparat pemerintahan berada di tempat tugas hanya secara simbolis atau dalam rangkaian upacara hari besar. Kontrol sosial dari warga belum terbentuk, kecuali di sebagian daerah telah muncul kesadaran terkait urgensi pelayanan dasar, terutama pendidikan dan kesehatan. Warga, khususnya orang tua siswa telah menuntut kepala daerah agar menghadirkan guru yang memiliki komitmen berada di tempat tugas dan menjalankan kegiatan belajar mengajar secara rutin. Penghormatan terhadap OAP, adalah penghormatan kepada warga negara. Cara untuk menormalisasikan penghormatan terhadap OAP adalah mengembangkan praktek pemerintahan berbasis kepapuaan OAP itu sendiri. Kewargapapuaan dalam konteks ini bukan hanya penyediaan wadah bagi berbagai ikatan kesukuan, melainkan juga wadah kebersamaan lintas suku. Memosisikan kehadiran pemerintahan daerah sebagai wadah rekognisi, afirmasi, representasi, dan proteksi bagi OAP merupakan langkah penting. Namun, tidak kalah penting lagi adalah menggunakan nilai-nilai kepapuaan untuk menghadirkan pemerintahan secara nyata, misalnya nilai kasih untuk menghadirkan komitmen dan integritas pelayanan publik yang tinggi. Ketika nilai-nilai kepapuan mampu terinternalisasi dan diadopsi di dalam kebijakan pemerintah daerah dengan baik, maka tuntutan kebijakan pusat yang rigid dan tidak kompatibel dengan konteks Papua, serta cenderung mengutamakan syarat administratif dibanding pelayanan publik itu sendiri, mendesak untuk ditinjau ulang atau direvisi.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 95



4. Instrumentasi Pengelolaan Konflik. Konteks Papua lainnya yang membawa dampak pada penyelenggaraan pemerintahan adalah konflik yang masih kerap terjadi. Papua memiliki akar konflik cukup panjang, bahkan sejak integrasi ke dalam Republik Indonesia. Beberapa pihak masih mempermasalahkan keabsahan proses integrasi, hingga menuntut pelurusan sejarah, dialog Jakarta-Papua, serta tuntutan yang lebih keras adalah opsi merdeka. Nuansa konflik antara masyarakat Papua dengan negara tidak bisa dihindari, bahkan disertai kasus pelanggaran HAM yang hingga saat ini belum diselesaikan secara tuntas. Adanya berbagai konflik membawa dampak berupa penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan publik yang tidak normal, bahkan terhenti. Misalnya konflik pilkada Intan Jaya 2017 yang berlarut menjadikan administrasi perkantoran pemerintah banyak dijalankan di Nabire. Konflik tersebut merupakan konflik politik, yang kemudian memanfaatkan sentimen etnis untuk menggerakkan masa. Adapun konflik suku, berupa perang suku atau fam di dalam satu suku juga masih terjadi. Kabupaten Puncak misalnya, pada 2019 masih dilanda konflik tersebut. Perang suku sejatinya memiliki mekanisme resolusi sendiri, yakni ketika terdapat korban yang sama di kedua pihak yang berperang, kemudian berlanjut pada upacara patah panah, bakar batu, dan pembersihan tampat perang yang menandai perdamaian. Dalam konteks ini, kehadiran negara tidak diperlukan atau sengaja mengambil peran minimal. Namun, pihak yang berkonflik kadang memanfaatkan pemerintah daerah untuk meminta tebusan uang agar konflik dapat berhenti. Pemerintah daerah memenuhi permintaan pihak yang berkonflik, namun kadang tidak memenuhi, sehingga konflik berlarut. Kohesivitas sosial Papua dibangun oleh berbagai kelompok atau ikatan yang plural dan kadang terfragmentasi, misalnya



96 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



masyarakat pantai, gunung, dan pendatang, beserta ikatan kesukuan masing-masing. Kehidupan sosial di Papua nampak stabil di permukaan, namun pada kondisi tertentu memunculkan konflik, terutama antara masyarakat asli dengan pendatang. Nuansa distrust antara pendatang dengan OAP masih kental, misalnya tercermin dalam kehidupan sehari-hari berupa warung atau toko pendatang yang diberi sekat dengan pembeli, dan masyarakat asli yang distigma malas. Masyarakat asli sebaliknya memandang pendatang sebagai pesaing atau ancaman, tidak hanya di sektor perekonomian di mana masyarakat asli sudah sangat tergantung pada pendatang, namun juga di sektor pemerintahan. Adanya aksi untuk merespon tindakan rasisme pada masyarakat Papua, kemudian memantik konflik dalam bentuk kerusuhan di Wamena dan Jayapura yang menyasar masyarakat pendatang beserta asetnya. Keamanan merupakan isu yang masih identik dengan Papua. Persoalan keamanan di Papua tidak hanya melibatkan KKB/OPM, namun juga disebabkan oleh konflik antar kelompok masyarakat/suku maupun konflik politik. Mengutip data yang dihimpun Gugus Tugas Papua UGM (2019), jumlah konflik yang terjadi di Provinsi Papua maupun Papua Barat dari tahun 2010 hingga 2019 mencapai 185 kasus dan telah mengakibatkan 382 orang meninggal dunia serta 2.788 orang luka-luka. Pendekatan keamanan yang dijalankan pemerintah pusat, terutama melalui penempatan aparat keamanan/pertahanan yang berlebihan telah dipandang kritis oleh beberapa pihak. Pemerintah pusat sendiri masih menempatkan aparat non-organik atau penugasan, di samping aparat organik di beberapa daerah. Kehadiran aparat keamanan/pertahanan yang berlebihan masih menimbulkan trauma tersendiri bagi sebagian masyarakat, serta berbanding terbalik dengan rasa aman. Pendekatan tersebut sejatinya tidak berjalan sendiri, melainkan disertai pendekatan pembangunan dan kesejahteraan yang



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 97



semakin masif. Meskipun demikian, pendekatan pembangunan kadang belum efektif dan nuansa konflik dengan negara tetap muncul pada kondisi-kondisi tertentu. Opsi merdeka tetap disuarakan oleh beberapa eksponen di Papua, misalnya memanfaatkan tindakan rasisme terhadap Orang Papua di beberapa kota pada 2019. “Banyak masalah di Papua tidak diselesaikan dengan baik, misalnya lewat dialog. Pimpinan negara harus turun, bicara dengan orang Papua maunya apa” (Kepala Sekolah SMA Ilaga Puncak, Wawancara, 13 November 2019). “Pemerintah Indonesia jangan terlalu paranoid. Bukan berarti dialog itu bicara merdeka, buktinya waktu kongres itu tidak bicara merdeka juga. Jangan sampai Indonesia ketakutan yang berlebihan sehingga berpikir kalau kita dialog itu keras. Dulu Gus Dur itu bisa melakukan pendekatan dan coba memotret persoalan Papua dalam kacamata Papua dan menyelesaikannya secara lebih kekeluargaan” (Akademisi Universitas Cenderawasih, Wawancara, November 2019) Pemerintah pusat telah berproses untuk menjalankan pendekatan pembangunan dan kesejahteraan yang semakin masif di Papua, misalnya melalui pembangunan infrastruktur jalan. Proses yang diharapkan semakin membuka aksesibilitas Papua, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, proses tersebut tetap memunculkan kekhawatiran ketika keterbukaan akses tidak disertai dengan kesiapan dan keberdayaan masyarakat asli. Akses terhadap sumber daya ekonomi dikhawatirkan kembali hanya dapat dinikmati pendatang yang sudah siap, dan tetap meminggirkan masyarakat asli. Situasi semakin problematis ketika peminggiran masyarakat Papua disertai dengan pendekatan keamanan oleh pemerintah pusat yang dianggap berlebihan.



98 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Ketika masyarakat asli kembali terpinggirkan secara kesejahteraan dan martabat di tengah gerak pembangunan, maka gugatan fundamental terkait keberadaan masyarakat Papua di tengah negara dan bangsa Indonesia dikhawatirkan muncul kembali. “Jika ada konflik Pak Bupati langsung turun untuk mengambil langkah persuasif, mengajak dialog, mengundang ke kediaman, bakar batu walau bakar batu tidak jadi jaminan untuk tidak terulang lagi konfliknya” (Staf Dinas Komunikasi dan Informatika Kab. Puncak, Wawancara, 13 November 2019). Reinstrumentasi pembangunan sebagai transformasi konflik, sekaligus mampu meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Papua mendesak untuk dijalankan dalam hal ini. Bentuk dialog Jakarta-Papua merupakan salah satu instrumen yang sudah didesakkan oleh berbagai pihak. Dialog tersebut diyakini sebagai ruang untuk membicarakan masalah Papua, sekaligus menemukan solusi secara komprehensif dan mendasar. Prasayarat yang harus dipenuhi adalah menghilangkan nuansa distrust, khususnya bagi pemerintah pusat sebagaimana diharapkan oleh berbagai pihak adalah menghilangkan anggapan bahwa dialog dapat berujung pada tuntutan merdeka. Tidak kalah penting dengan desakan dialog Jakarta-Papua adalah membangun ruang-ruang dialog di berbagai level pemerintahan dan sesuai dengan konteks genealogi konflik. Beberapa daerah misalnya Puncak telah berhasil menerapkan dialog sebagai mekanisme efektif untuk menyelesaikan konflik antar suku. Dialog sebagai bukti bahwa pemerintah, khususnya pimpinan daerah hadir tidak hanya secara impersonal, namun juga secara kultural berbasis nilai kepapuaan. Dialog tidak saja dibangun untuk keperluan resolusi konflik, namum juga sebagai



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 99



sarana bertanya dari hati ke hati tentang kebutuhan masyarakat Papua di tengah derap pembangunan.



E. Desain Adopsi dan Adaptasi Otonomi Khusus. Sebagai ruang negosiasi yang terbuka dan membuka ruang baru untuk mencari terobosan menembus kebuntuan dan menjembatani jurang yang menganga, skema Otsus perlu diadopsi sebagai metodologi dalam mengatasi masalah-masalah kekhususannya berdosis tinggi. Di satu sisi, birokrasi dan teknokrasi pemerintahan dikondisikan untuk adaptif terhadap konteks penanganan masalah, di sisi lain masyarakat Papua dikondisikan untuk lebih asertif. Pada saat yang sama, berbagai ungkapan kearifan perlu dibakukan sebagai pembelajaran dalam policy-making. Membuka ruang bagi otonomi khusus, pada dasarnya adalah mengkondisikan perubahan terus menerus atau membuka ruang reinstrumentasi secara terus menerus tanpa meninggalkan hal yang asasi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dirumuskan protokol untuk menegosiasikan dan mengubah ketentuan-ketentuan pelaksanaan, sehingga perlu skema change for change (CfC). Pertama, scaling-up perubahan, yakni dari waktu ke waktu ada terobosan-terobosan awal, dan karena derajat kebutuhannya sangat kuat, titik permulaannya tentulah bersifat kecil-kecilan. Dalam hal terobosan ini relavan untuk dilakukan, maka perlu diagendakan cara-cara untuk scaling-up. Kedua, operasionalisasi hal-hal yang prinsipil. Dalam skema Otsus ada banyak komitmen yang sifatnya prinsipil, dan penjabarannya masih bersifat legalistik dan formalistik. Berotonomi khusus, dalam konteks ini, adalah mentransformasi hal-hal tersebut menjadi praktek sehari-hari. Ketiga, merunut downliner, yakni tradisi pemerintahan di negeri ini adalah tradisi yang birokratik, dimana otoritas yang lebih tinggi terkondisi untuk menggenggam kewenangan untuk menaklukkan bawahan. Sebagai contoh, istilah kewenangan untuk



100 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



mengimplementasikan Otsus ada pada level provinsi, menjadikan eksponen adat di level kabupaten tidak mendapatkan manfaat dan pengakuan terhadap adat setempat. Dalam konteks ini eksponen provinsi cukup menyediakan kerangka kerja agar pemerintahan di level kabupaten kota bisa menyerap nilai-nilai adat secara fungsional. Penghormatan terhadap adat bisa dilakukan dengan memastikan agenda-agenda masyarakat adat bisa diwadahi oleh kelembagaan yang dibutuhkan, tidak harus mengandalkan kelembaagaan di level provinsi. Keempat, reproduksi fasilitator-fasilitator perubahan. Ada banyak sekali detail perubahan yang penanganan atau penyelenggaraannya perlu melibatkan pihak ketiga yang netral dan piawai dalam menegosiasikan ketegangan, ataupun jeli dalam menemukenali peluang. Hal ini sangat diperlukan dalam memperlancar komunikasi Pemerintahan di Papua dengan Pemerintahan Nasional, khususnya di dalam agenda setting, formulasi termasuk di dalamnya instrumentasi, serta monitoring dan evaluasi.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 101



102 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



BAB III MENINJAU WACANA PEMBENTUKAN PROVINSI PAPUA TENGAH



Bab II telah memotret limitasi kebijakan Otsus beserta ketumpulan instrumen-instrumennya yang berdampak pada capaian minimal dalam berbagai sektor pembangunan di Papua. Kondisi tersebut mendorong adanya berbagai terobosan instrumentatif yang dibutuhkan Papua. Pada bab ini, reinstrumentasi kebijakan Otsus Papua akan dibahas lebih mendalam dengan secara spesifik menimbang usulan pembentukkan provinsi baru yaitu Provinsi Papua Tengah. Pembahasan awal akan didahului dengan perdebatan wacana pemekaran Provinsi Papua Tengah. Baik secara rill di lapangan maupun dari hasil analisis isi media. Pembahasan selanjutnya adalah mempertimbangkan kembali pembentukan Provinsi Papua Tengah dari perspektif historis-yuridis, mulai lahirnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan kabupaten-kabupaten lain hingga saat ini.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 103



A. Wacana Pemekaran dalam Pusaran Perdebatan Media Wacana pemekaran pada bagian awal ini ditelusuri melalui media massa dan media sosial, terutama yang berbasis digital atau daring (online). Hasil jejak digital yang berhasil dihimpun, wacana tentang pemekaran Provinsi Papua Tengah terus mengalami peningkatan. Sebagai gambaran, pada tahun 2013 pemberitaan tentang pemekaran Provinsi Papua Tengah hanya 23 berita, dan pada tahun 2019 jumlahnya menjadi 463 berita. Peningkatan tersebut beriringan dengan meningkatnya trend tentang pemberitaan tentang Papua secara umum. Dari tahun 2010 hingga 26 Desember 2019, setidaknya terdapat 219 media online yang memberitakan tentang Papua, dengan jumlah total berita lebih dari 33 ribu. Berita Papua secara umum pada tahun 2010 berjumlah 392 berita, sementara pada tahun 2019 melonjak menjadi 10.588 berita. Lonjakan ini kemungkinan disebabkan oleh dua hal, yaitu jumlah media online/portal berita yang semakin banyak dan persoalan Papua yang semakin menjadi perhatian media. Tabel 3. 1. Perbandingan Jumlah Berita tentang Papua & Pemekaran Papua Tengah Topik Papua Pemekaran Papua Tengah



2010



2011



2012



2013



2014



2015



2016



2017



2018



2019



Total



392



1.162



1.180



1.550



1.638



3.063



5.130



3.395



4.048



10.588



32.146



1



29



23



42



19



19



23



32



463



651



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Wacana pemekaran Provinsi Papua Tengah secara khusus telah diliput oleh 211 media online. Dari jumlah tersebut, 48% merupakan media dengan coverage area dan topik nasional (media nasional), 38% merupakan media lokal non-Papua (media daerah), 12% merupakan media dengan fokus pada berita tentang Papua



104 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



(media Papua). Sedangkan 2% sisanya merupakan media yang tidak diketahui posisinya. Gambar 3. 1. Coverage media online yang memberitakan tentang pemekaran Provinsi Papua Tengah



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Data di atas sekaligus menunjukkan pemberitaan tentang persoalan Papua dan Papua Tengah tidak menjadi monopoli media local, karena media nasional juga memberitakan persoalan ini. Artinya, media sadar bahwa persoalan Papua adalah persoalan bangsa yang layak mendapatkan perhatian masyarakat Indonesia. Gambar 3. 2. Kecenderungan pemberitaan media online mengenai pemekaran Provinsi Papua Tengah



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 105



Tone atau kecenderungan pemberitaan media mengenai pemekaran Provinsi Papua Tengah juga cenderung netral dengan persentase 45%. Artinya, media tidak menunjukkan sikap yang tegas antara positif atau negatif terhadap persoalan pemekaran Provinsi Papua Tengah, baik di media nasional, lokal non-Papua, maupun media media lokal Papua. Kecenderungan tersebut juga tampak tidak berubah secara berarti dari waktu ke waktu. Namun demikian, wacana pemekaran Provinsi Papua Tengah sampai saat ini masih dipenuhi perdebatan pro dan kontra. Hasil analisis isi media dari 872 pernyataan yang para aktor di berbagai pemberitaan media, tampak sikap aktor cenderung pro atau mendukung pemekaran Provinsi Papua Tengah. Walaupun tetap tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak pihak-pihak yang mengkritisi atau bahkan menolak wacana tersebut. Gambar 3. 3. Kecenderungan pernyataan di media online



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Jika dilihat dari sebaran aktor, tidak ada perbedaan sikap yang mencolok antara aktor pusat dan lokal atas wacana pemekaran Provinsi Papua Tengah. Setidaknya sebanyak 52,4% aktor pemerintah pusat dan 67,2% aktor lokal mendukung pemekaran



106 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Provinsi Papua Tengah, sedangkan aktor yang menolak pemekaran 20,2% aktor lokal dan 11% aktor pusat. Pernyataan yang muncul di media online atau portal berita pun sebagian besar mendukung pemekaran Provinsi Papua Tengah. Hal tersebut bisa terjadi karena pemberitaan media cenderung bias elit atau berasal dari kalangan tertentu yang dominan (Brown, Bybee, Wearden, & Straughan, 1987; Berkowitz, 2009). Dengan kata lain, bias ini berpotensi mengakibatkan konten pemberitaan kurang merefleksikan pandangan masyarakat sipil Papua secara umum. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri juga bahwa kecenderungan media memilih aktor pusat dikarenakan pertimbangan kemudahan akses pada sumber berita atau pertimbangan keamanan karena jurnalis memandang persoalan Papua sebagai hal sensitif.5 Gambar 3. 4. Kecenderungan sikap aktor di media online



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Kondisi tersebut berbeda dengan kecenderungan aktor di media sosial. Di Twitter, berdasarnya analisis sentimen menggunakan TextBlob Python hasilnya cenderung negatif. Dari total 1.051 tweet yang diteliti, 55,19% tweet menunjukkan sentimen negatif atas pemekaran atau kontra pemekaran. 5



Sejarah sensor dan pelarangan terbit pers di masa lampau tidak dapat dipungkiri masih menghantui kerja media. Dalam pemberitaan tentang konflik atau persoalan yang kontroversial, pengutipan pernyataan dari sumber resmi, pemerintahan dan lembaga negara, merupakan cara aman bagi media



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 107



Sementara 35,01% lainnya netral, dan hanya 9,8% yang positif. Salah satu contoh cuitan yang menunjukkan kecenderungan negatif misalnya: “Pemekaran yg menjamur di #Papua, adalah politik pecah belah Papua oleh Indon. Klo dgn alasan pembangunan, kemana saja 50 thn sebelumnya.” (Cuitan diunggah oleh akun @love_papua pada 3 Desember 2013) Gambar 3. 5. Kecenderungan sikap aktor di Twitter



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Temuan ini sekaligus menunjukkan sikap publik tentang gagasan pemekaran Provinsi Papua Tengah jauh dari homogen. Twitter yang memberikan ruang kebebasan berpendapat yang relatif lebih besar dibandingkan dengan media online/portal berita, banyak digunakan publik untuk mengekspresikan penolakan terhadap wacana pemekaran. Namun demikian, Twitter yang telah berhasil memediasi pendapat publik, informasinya perlu pemaknaan kritis. Variasi argumentasi, terutama yang disampaikan pihak-pihak yang kontra, menunjukkan banyaknya kelompok kepentingan dan kompleksitas persoalan pemekaran Papua Tengah.



108 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Gambar 3. 6. Kecenderungan Sikap Aktor di Facebook



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Berbeda dengan Twitter, kecenderungan sikap aktor di Faceboook justru menunjukkan sentimen netral. Dari total 3.408 unggahan di Facebook, 93,81% diantaranya menunjukkan sentimen netral. Sementara 4,4% lainnya positif dan 1,79% negatif. Perbedaan sikap atau sentimen terhadap pemekaran di masingmasing media menunjukkan bahwa masing-masing aktor memiliki kepentingan yang berbeda-beda pula. Media mainstream (portal berita) cenderung menyuarakan para elit, sedangkan media sosial menjadi alternatif bagi aktor non-elit untuk berpendapat. Temuan ini sekaligus menegaskan bahwa media sosial telah berfungsi sebagai media alternatif bagi publik dalam menyuarakan pendapat. Jika aktor dalam pemberitaan media online didominasi oleh aparat pemerintah dan lembaga negara, aktor dalam media sosial didominasi oleh masyarakat umum dan portal media lokal.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 109



1. Wacana Mendukung Pemekaran Pemekaran Provinsi Tengah Wacana di media sosial/massa maupun di tengah masyarakat secara riil, pihak yang mendukung pemekaran Provinsi Papua Tengah secara umum berpendapat bahwa pemekaran merupakan kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan sebagai pintu gerbang mengejar ketertinggalan. Pemekaran juga dijadikan sebagai jalan agar sarana prasarana lain bisa berfungsi lebih optimal dalam rangka distribusi kesejahteraan. Ada banyak argumen mengenai hal ini. Hasil analisis isi media setidaknya mengidentifikasi terdapat 5 argumen utama urgensi pemekaran Provinsi Papua Tengah, yaitu sebagai berikut. Gambar 3. 7. Hasil Analisis Media Terkait Argumentasi Urgensi Pembentukan Provinsi Baru di Papua



Mempercepat pembangunan (mengejar ketertinggalan, kemiskinan)



26,8%



Memperpendek jarak (birokrasi, rentang kendali, pelayanan, geografi) Meningkatkan masyarakat



kesejahteraan



&



ekonomi



Pemerataan pembangunan di Papua



Membuka kesempatan/peluang (kerja, pemimpin, otonomi daerah, ekonomi daerah)



14,4%



12%



9,5%



7,1%



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Munculnya pendapat di atas juga selaras dengan hasil temuan lapangan. Pertama, pemekaran diharapkan



110 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



memperpendek rentang kendali. Luas wilayah Provinsi Papua yang mencapai 318.408,01 km2 berimplikasi pada munculnya berbagai tantangan dalam pelaksanaan pembangunan maupun penyelenggaraan layanan publik. Selain itu, letak ibukota provinsi yang berada di sebelah timur bagian utara Provinsi Papua juga menyulitkan koordinasi antar wilayah, khususnya di bagian barat dan daerah pegunungan Papua. Jauhnya jarak yang harus ditempuh mengakibatkan biaya koordinasi dalam pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pembangunan menjadi sangat mahal. Kehadiran provinsi baru diharapkan dapat memperpendek rentang kendali dan meningkatkan kualitas pembangunan di daerah. “Papua dari sisi jumlah penduduk memang kurang, tetapi dari luas wilayah sangat luas dan medannya susah, ada banyak gunung-gunung, kali-kali. Pemekaran akan mendekatkan pelayanan pemerintah dengan masyarakat.’’ (Sekretaris Daerah Kabupaten Intan Jaya, Wawancara, November 2019) ‘’Pemekaran tetap akan memberi kemajuan. Banyak sekolah masuk di pegunungan karena pemekaran.’’ (Masyarakat Ilaga, Puncak, Wawancara, November 2019) Pemekaran provinsi juga sekaligus sebagai bentuk kehadiran negara karena provinsi adalah perpanjangantangan Pemerintah Pusat di daerah. Bentuk kehadiran negara paling nyata adalah berfungsinya unit-unit pelayanan pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan pembangunan infrastruktur. Selain itu, bentuk kehadiran negara lainnya juga terkait memberikan rasa aman kepada masyarakat. Rasa aman dari kelaparan, rasa aman dari kebodohan, rasa aman dari kemiskinan, rasa aman dari keterisolasian, dan rasa aman dari gangguan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.6 Dengan demikian, pemekaran 6



Lihat Willem Wandik, Merajut Papua dalam Bingkai NKRI. Makalah dipresentasikan pada acara Kuliah Umum dan FGD “Merajut Papua dalam Bingkai NKRI yang diselenggarakan di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, 12 November 2019.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 111



provinsi bisa menjadi pintu gerbang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Papua sebagai investasi masa depan. Kedua, distribusi kesejahteraan. Pemekaran diharapkan bisa membuka isolasi dan lapangan pekerjaan baru sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua. Menurut Ketua Komisi II DPR RI, untuk mencapai hal tersebut perlu adanya penyebaran sentra pelayanan publik dan aktivitas ekonomi atau dalam konteks politik disebut sebagai pemekaran.7 Pendekatan ini menurutnya adalah solusi persoalan yang dihadapi Papua selama ini. Secara lebih khusus, pemekaran provinsi diharapkan bisa membuka ruang aksesibilitas OAP untuk berpartisipasi membangun tanah kelahirannya. Masyarakat Papua yang terdiri dari berbagai macam suku, adat, dan budaya menjadikan masalah yang dihadapi begitu kompleks dan hanya bisa dipahami oleh OAP. ‘’Papua Tengah harus hadir. Saya punya masyarakat harus bisa menjadi ketua MRP, ketua DPRP. Kalau kita tidak membentuk Papua Tengah, kita tidak bisa duduk di sana. Kita hanya menjadi penonton. Masyarakat akan terlantar.’’ (Bupati Nabire, Wawancara, Desember 2019) Harapan serupa juga diungkapkan Wakil Bupati Deiyai. Pemekaran Provinsi Papua Tengah diharapkan bisa mendatangkan lebih banyak program-program yang bisa meningkatkan keterampilan SDM, khususnya pemuda. Harapan tersebut muncul karena banyak pemuda di wilayah Papua sampai saat ini masih minim keterampilan, sehingga banyak potensi daerah yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Rilis BPS pada tahun 2018 menunjukkan, hasil pendataan potensi



7



Republika.co.id, Komisi II DPR Dukung Pemekaran Papua Tengah, lihat laman https://republika.co.id/berita/q19a3o335/komisi-ii-dpr-dukung-pemekaran-papua-tengah, diakses pada 5 Februari 2020 pukul 10.05 WIB



112 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



desa di seluruh Indonesia yang menunjukkan penurunan jumlah desa tertinggal, namun tidak terjadi di Papua dan Papua Barat.8 ‘’Perjuangan Papua Tengah adalah perjuangan panjang, mengorbankan harta, tenaga bahkan korban jiwa. Mereka pergi dan menitipkan perjuangan ini untuk kita semua yang ada di tempat ini. Kami merindukan, jangan sampai ini hanya wacana dan sebagai formalitas saja. (Tokoh Perempuan Nabire, FGD di Nabire, November 2019) Perjuangan Papua Tengah sejak 1999. Waktu itu dipending karena beberapa hal. Namun setelah itu, pejabat dan masyarakat di wilayah Papua Tengah dari Supiori sampai Mimika terus berjuang. Ketika saya terpilih jadi bupati pun saya anggarkan utuk kepentingan itu, baik di Jayapura maupun di Jakarta. Jadi memang komitmen dari Supiori sampai Timika sudah bulat untuk mengaktifkan kembali UU Nomor 45 tahun 1999.’’ (Mantan Bupati Paniai, Wawancara di Jayapura, November 2019) Ketiga, sebagaimana pernyataan Tokoh Perempuan Nabire dan mantan Bupati Paniai di atas nampak upaya pemekaran Provinsi Papua Tengah telah memiliki sejarah panjang. Sejarah tersebut setidaknya mulai muncul sejak disahkannya UndangUndang Nomor 45 tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Namun demikian, walaupun sudah ada Undang-Undang yang mengatur pembentukannya, hingga saat ini Provinsi Papua Tengah (dahulu Irian Jaya Tengah) belum pernah terbentuk. Pemerintah ketika itu terpaksa menunda dan pada akhirnya membatalkan pembentukan Provinsi Papua Tengah karena berbagai pertimbangan. Namun, walaupun pembentukan 8



Kompas.com, Persentase Desa Tertinggal Berada di Papua dan Papua Barat, lihat laman https://ekonomi.kompas.com/read/2018/12/10/162000126/persentase-desa-tertinggal-tertinggi-beradadi-papua-dan-papua-barat, diakses pada 9 Februari 2020 pukul 21.21 WIB



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 113



Provinsi Papua Tengah dibatalkan, tetapi pembentukan DOB lainnya tetap bisa berjalan. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat di Papua Tengah hingga saat ini terus berjuang mengajukan pemekaran provinsi, baik yang diinisiasi oleh kelompok masyarakat di wilayah Biak, Nabire, maupun Mimika. Masyarakat menganggap perjuangan masa lalu yang telah mengorbankan nyawa dan harta benda harus dibayar dengan cara pemekaran. Keempat, wacana mendukung pemekaran daerah dikerangkai dengan peran strategis wilayah Papua Tengah, terutama dengan keberadaan sumber daya strategis nasional, yang diklaim sebagian masyarakat telah memberi “makan dunia”. Hal ini bertautan dengan wacana kepentingan strategis nasional sebagai salah satu dasar pemekaran daerah. ‘’Negeri ini, Mimika, memberi makan dunia. Kami ingin memiliki pemerintahan sendiri. Kami tidak mau tergantung dengan Jayapura.’’ (Tokoh Masyarakat Mimika, FGD di Mimika, November 2019) Kepentingan strategis nasional yang diwacanakan oleh berbagai pihak tidak saja terkait upaya memperkuat integrasi NKRI dengan menggunakan pendekatan keamanan/pertahanan semata. Namun, kepentingan strategis nasional untuk pemerataan pembangunan, membangun Indonesia dari pinggiran, sekaligus penataan wilayah Indonesia di hadapan kawasan Pasifik. Wacana strategis yang muncul dalam hal ini adalah memposisikan Papua, termasuk calon Provinsi Papua Tengah menjadi wilayah yang memiliki peran penting, misalnya untuk memasok berbagai kebutuhan pangan negara-negara di Kawasan Pasifik.



114 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



2. Wacana Kontra Pemekaran Papua Tengah Di samping wacana publik yang mendukung pemekaran, terdapat pula pihak menyuarakan wacana kontra. Permasalahan maupun penolakan pemekaran Provinsi Papua Tengah muncul seiring dengan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap political will pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan di tanah Papua. Pemberian otonomi khusus selama hampir 19 tahun ternyata belum bisa memberikan dampak signifikan bagi OAP. Alih-alih mendapatkan kesejahteraan, masyarakat asli Papua justru semakin tersingkirkan dari kampung halamannya. Argumenargumen ini penting untuk dicatat sebagai tantangan perubahan. Secara lebih rinci, berikut tujuh argumen penolakan Provinsi Papua Tengah yang sering muncul di media. Gambar 3. 8. Hasil Analisis Media Terkait Argumentasi Penolakan Pembentukan Provinsi Baru di Papua



Kepentingan politik elit/kekuasaan (Papua, pribadi, politik, jabatan, pencetus isu pemekaran) Tidak sesuai adat/budaya/mengancam OAP



12%



Membuat orang Papua terpinggirkan di negeri mereka sendiri



Strategi adu domba, memicu konflik horizontal



Keuangan negara (menguras, tidak mendukung, terbatas)



19%



10%



7%



7%



Usulan pemekaran tidak melibatkan seluruh komponen masyarakat



7%



Tidak mendatangkan kesejahteraan/kemajuan Orang Asli Papua (OAP)



7%



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 115



Argumentasi di atas juga selaras dengan hasil wawancara dan FGD yang dilakukan selama penelitian ini berlangsung. Pertama, pemekaran provinsi bukan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Papua selama ini. Ketua MRP dalam sebuah pemberitaan mengatakan, pemekaran provinsi Papua dikhawatirkan akan memicu konflik horizontal antar OAP maupun konflik vertikal antara OAP dengan pemerintah.9 Menurutnya, wacana pemekaran yang cacat prosedural tanpa disertai persetujuan MRP jika dipaksakan akan memakan korban rakyat Papua. Apalagi, permasalahan utama di Papua menurutnya bukan terkait tuntutan pemekaran, melainkan pemerataan ekonomi. Dalam bahasa lain, tokoh masyarakat adat juga menyatakan hal yang sama. ‘’Boleh saja pemerintah merencanakan pemekaran, namun sejahterakan dulu kami masyarakat adat pemilik hak ulayat. Itu program pemerintah, bahkan kami mendukung. Tapi yang penting, pemerintah harus bisa melihat juga kami punya masalah-masalah harus diselesaikan10.’’ Kinerja daerah otonom baru hasil pemekaran yang tidak menggembirakan membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin rendah. Pemekaran yang diharapkan bisa mempercepat pembangunan seiring dengan adanya redistribusi anggaran pembangunan yang besar, ternyata gagal dilaksanakan. Dalam banyak kasus, pemerintah daerah, khususnya di level kabupaten justru absen dari semangat untuk



9



Lihat Republika.co.id, Majelis Rakyat Papua Tolak Wacana Pemekaran, lihat laman https://nasional.republika.co.id/berita/q04ss7430/majelis-rakyat-papua-tolak-wacana-pemekaran, diakses pada 7 Februari 2020 pukul 12.25 WIB 10 Lihat CNNIndonesia.com,



Suara Warga Adat Papua Soal Pemekaran: Sejahterakan Kami Dulu, lihat laman https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191105202326-32-445887/suara-warga-adat-papua-soalpemekaran-sejahterakan-kami-dulu, diakses pada 7 Februari 2020 pukul 21.58 WIB



116 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



menghadirkan negara.11 Kegelisahan yang sama disampaikan oleh Tokoh Gereja di Kabupaten Intan Jaya.



juga



‘’Pemaksimalan kinerja kabupaten jauh lebih efektif daripada membentuk provinsi baru. Saya pikir, pemekaran provinsi tanpa disertai kinerja kabupaten yang baik tidak akan membawa banyak perubahan. Masyarakat akan tetap menderita, miskin, dan mendatangkan banyak konflik akibat pemekaran. Baik dari prosesnya, maupun setelah pemekaran.’’ (Tokoh Gereja Kabupaten Intan Jaya, Wawancara, November 2019) Dengan nada yang sedikit mengeras, pernyataan serupa juga keluar dari pernyataan salah satu tokoh adat dalam FGD di Kabupaten Deiyai 5 Desember 2019. Menurutnya, kondisi pemerintah kabupaten yang tidak berjalan dengan baik akan menghambat kinerja daerah otonom baru Provinsi Papua Tengah. Bahkan menurutnya, pemekaran akan memunculkan masalah baru terutama terkait status kepemilikan tanah. Kedua, pemekaran dianggap hanya sebagai kepentingan elit dan kepentingan pemerintah pusat. Anggapan tersebut muncul akibat tidak adanya komunikasi yang baik antar elit lokal maupun elit dengan masyarakat. Wacana pemekaran hanya ekslusif di kalangan elit, sementara masyarakat umum tidak mendapatkan informasi utuh. Akibatnya, muncul pertanyaan siapa yang meminta pemekaran? Dan untuk siapa pemekaran? Wacana pemekaran pun bergeser menjadi gula-gula politik dan bukan untuk distribusi kesejahteraan. Ekspresi tersebut bahkan muncul di dalam dunia maya. ‘’Oh ya.. sudah ada Provinsi Papua Tengah ya.. sorry saya baru dengar dan kapan di Resmikan ya... para calon pemimpin sudah siap membangun dan jadi pelayan atau siap mengejar kekuasaan dan uang niii.. sorry kita bukabukaan saja disini krn ini forum bebas.’’ (Diunggah oleh 11



Lihat Papuabangkit.com, Pemprov Papua Minta Bupati Intan Jaya Turun Selesaikan Konflik di Daerahnya, lihat laman http://www.papuabangkit.com/2020/01/27/pemprov-papua-minta-bupati-intan-jaya-turunselesaikan-konflik-di-daerahnya/ pada 6 Februari 2020 pukul 08.00 WIB



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 117



seorang anggota grup Forum Pemerhati Pembangunan Papua Tengah, 22 Agustus 2012) Wacana pemekaran Provinsi Papua pada sisi lain juga dilihat sebagai kepentingan pemerintah pusat, bukan aspirasi dari masyarakat. Pandangan tersebut muncul karena setelah sekian lama isu pemekaran Provinsi Papua tidak muncul di media akhirnya muncul paska terjadi kerusuhan di Papua akibat isu SARA. Tidak adanya komunikasi yang baik antara Pemerintah dengan MRP serta DPRP sebagai otoritas Otsus Papua membuat wacana pemekaran semakin pelik. Kondisi tersebut juga masih diperparah dengan munculnya pernyataan Menteri Dalam Negeri yang mengatakan pembentukan provinsi baru di Papua didasarkan pada analisis intelijen tentang keamanan. Dampaknya, publik merespon pemekaran secara negatif sebagai operasi militer gaya baru atau dalam cuitan akun Twitter @love_papua pada 30 Oktober 2019, pemekaran dianggap sebagai politik “Devide Et Impera”. Respon tersebut terjadi karena masyarakat Papua menganggap situasi keamanan di Papua tidak bisa dijadikan sebagai alasan pemekaran. Ketiga, pemekaran provinsi dikhawatirkan akan semakin memarjinalkan OAP dari negerinya sendiri. Beberapa tokoh masyarakat merasa bahwa SDM Papua saat ini masih rendah dan belum bisa bersaing dengan masyarakat pendatang. Padahal, penyiapan SDM ini sangat penting mengingat cakupan tanggung jawab pemerintah provinsi yang semakin luas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. ‘’Dalam struktur ekonomi di Papua, level atas dipegang oleh elit birokrasi, pengusaha, dan politisi. Level menengah dikuasi pendatang khususnya BBM (Bugis, Buton, Makassar) yang selama ini menguasai jalur perdagangan. Sedangkan orang asli Papua berada pada level paling bawah yang sebagian besar hanya menjadi konsumen.’’ (Tokoh Papua, FGD di Jakarta 11 Desember 2019) 118 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



‘’Di Papua ini tidak ada toko, tidak ada kios milik orang asli Papua. Kemudian kalau kita lihat, orang Papua itu dapat pekerjaan kasar, tetapi pendatang di dalam ruangan. Kita tidak berpikir bahwa datangnya provinsi itu untuk kemajuan orang Papua. Provinsi baru justru masalah bagi orang Papua karena akan menjadi miskin di atas negerinya sendiri.’’ (Tokoh Gereja Paniai, Wawancara Desember 2019) Situasi dan kondisi tersebut masih diperburuk dengan kenyataan pahit semakin sulitnya OAP untuk mengakses posisiposisi strategis di pemerintahan. Pemekaran memang berhasil membuka daerah baru di berbagai pelosok Papua yang sebelumnya terisolasi dan gelap gulita. Namun di saat yang sama, persoalan kesenjangan antara masyarakat asli dan pendatang juga menguat. Mengutip hasil pertemuan para tokoh Papua dan akademisi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 30 September 2019, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi OAP, yaitu hilangnya kesempatan OAP dalam mendapatkan pekerjaan dan aksesibilitas terhadap sumbersumber ekonomi lokal; semakin sulitnya masyarakat asli Papua menduduki jabatan politik di DPRD; dan kesulitan SDM asli Papua untuk masuk ke dalam struktur birokrasi karena ketatnya sistem rekrutmen CPNS yang menggunakan standar nasional.12 Akibatnya, masyarakat asli Papua sebagai pemilik tanah adat pada akhirnya mulai tersingkirkan dan hanya bisa menjadi penonton di tanah kelahirannya. Kondisi seperti inilah yang dikhawatirkan oleh masyarakat Papua ketika proses pemekaran tidak disertai dengan kebijakan proteksi terhadap OAP. Hal yang sama juga diungkapkan dalam wawancara dengan salah satu Tokoh Gereja yang mengatakan: “Pembangunan pemekaran oke, tetapi sudah berapa banyak orang asli Papua yang sudah dipersiapkan untuk pemekaran itu. Karena begitu pemekaran, banyak orang 12



Lihat Pokok-Pokok Pemikiran dan Rekomendasi Kebijakan Permasalahan Papua, Gugus Tugas Papua UGM, Oktober 2019, hlm. 2



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 119



dari luar yang datang. Orang asli Papua harus didahulukan, baru orang luar mengisi kekosongan.” (Tokoh Gereja, Wawancara di Jayapura, November 2019) Hadirnya pemekaran daerah juga dianggap ‘meninabobokan’ masyarakat asli Papua dan membuat budaya kerja masyarakat khususnya generasi semakin lemah. Banyak masyarakat yang lebih sering membawa proposal bantuan dengan tujuan tidak jelas daripada membawa dokumen lamaran pekerjaan atau bekerja sesuai keterampilannya. ‘’Daerah pemekaran jangan hanya menjadi Dinas Sosial yang besar yang hanya membagikan uang tanpa pembangunan manusia. Jangan juga hanya membangun fisik. Kalau seperti itu terus, masyarakat asli tidak bisa menikmati pembangunan. Apalagi, selama ini pembangunan fisik sering menjadi sumber konflik baru bagi masyarakat, terutama masalah tanah.’’ (Tokoh Adat Moni, Wawancara di Sugapa, Intan Jaya, November 2019) Munculnya pandangan negatif tentang pemekaran antara lain disebabkan inkonsistensi Pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan di Papua. Otonomi khusus yang selama ini diberikan tidak secara sepenuhnya dilaksanakan secara konsisten. Sebagaimana diungkapkan oleh redaksi media online Tempo pada 17 Desember 2010, kebijakan otsus justru menciptakan ketidakpercayaan rakyat Papua dan membuat target pembangunan tidak dirasakan oleh orang Papua. Kebijakan yang ada justru melahirkan kesenjangan sosial yang kian tinggi dan menyuburkan korupsi di daerah. Publik menyerukan agar Presiden, jajaran kabinet, dan Gubernur Papua dan Papua Barat, serta DPRD menunjukkan itikad baiknya dalam menjalankan amanat UU Otonomi Khusus, agar hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas dan bukan kelompok elit. Selama ini masyarakat hanya mengetahui pemerintah daerah menerima triliunan rupiah dana otonomi khusus tetapi dana tersebut seperti tidak menetes ke mereka. Sektor-sektor strategis seperti pendidikan belum memenuhi



120 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



harapan. Status desa miskin pun masih banyak dan tidak menunjukkan perkembangan berarti.



3. Wacana Pemekaran dengan Syarat Di tengah wacana yang mengambil sikap tegas antara mendukung dan kontra terhadap pemekaran, terdapat pula wacana yang cenderung mendukung pemekaran, namun disertai argumen untuk mendesakkan beberapa syarat. Syarat tersebut, antara lain terkait konsolidasi internal antar pengusul pemekaran, maupun konsolidasi eksternal dengan berbagai kepentingan lainnya, misalnya masyarakat, MRP, DPRP, Gubernur Papua, dan eksponen pemerintah pusat. Syarat lainnya yang perlu diperhatikan adalah pemekaran yang berbasis kebutuhan riil masyarakat atau tidak bias elite, dan pemekaran yang mampu mengangkat keberdayaan dan martabat OAP. Wacana pemekaran dengan syarat, dilacak dari media massa/sosial sebagai berikut:



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 121



Gambar 3. 9. Hasil Analisis Media Terkait Argumentasi Pemekaran dengan Syarat



Tafsir berbeda, dialog, aspirasi, kesepakatan/kekompakan masyarakat Papua, menampung masukan Pemekaran harus mementingkan masyarakat asli/Suku



16,1%



Masih moratorium



12,4%



Evaluasi/pengkajian (DOB gagal, perebutan kekuasaan, uang, korupsi, kesejahteraan)



10,2%



Persiapan diperlukan, belum waktunya, iklim politik belum kondusif



6,6%



Masih lemah elemen hukum untuk mendukung pelaksanaan, mekanisme harus sesuai, mencari dasar hukum Tergantung keputusan Pemerintah/Presiden dan DPR



31,4%



5,8%



5,8%



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Hasil pelacakan dan analisis media sosial tersebut relevan dengan beberapa pernyataan informan, di mana tidak hanya disampaikan oleh masyarakat, namun juga beberapa aparatur pemerintah. Hal ini memperlihatkan bahwa baik di kalangan masyarakat maupun pemerintah memiliki agenda yang perlu didesakkan di tengah wacana pemekaran. ‘’Biarpun ada pemekaran, namun jika tidak diberdayakan SDM maka percuma.’’ (PNS Kab. Puncak, wawancara November 2019). ‘’Pemekaran Papua Tengah untuk siapa? Apakah ada jaminan OAP berdaya? Bagaimana masyarakat Amungme, 122 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Kamoro punya peran, tidak terpinggirkan?’’ (Tokoh Pemuda Mimika, FGD di Timika, November 2019)



Pernyataan dan pertanyaan yang diutarakan oleh seorang ASN dan tokoh pemuda tersebut memperlihatkan bahwa terdapat agenda penting yang perlu didesakkan, yakni keberdayaan dan kesiapan OAP. Adanya daerah otonom baru diharapkan tidak lagi meminggirkan OAP, dan hanya membuka akses manfaat pada pendatang yang sudah siap berkompetisi. Kebijakan afirmasi dan proteksi yang disertai pemberdayaan tetap diharapkan dalam hal ini untuk membuka akses peran bagi OAP dalam mambangun dan menikmati manfaat kehadiran provinsi baru.



B. Mempertimbangkan Ulang Provinsi Papua Tengah dari Perspektif Hukum Provinsi Papua Tengah dibentuk dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong (selanjutnya disebut UU No. 45 Tahun 1999). Meskipun dalam undang-undang ini disebut sebagai Provinsi Irian Jaya Tengah, namun dengan diubahnya penyebutan Irian Jaya menjadi Papua maka penyebutan Provinsi Irian Jaya Tengah kemudian diganti dengan Provinsi Papua Tengah. UU No. 45 Tahun 1999 pernah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 45 Tahun 1999. Dalam UU No.45 Tahun 1999 sangat jelas disebutkan bahwa pembentukan provinsi di wilayah Papua merupakan usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Irian Jaya tanggal 10 Juli 1999, Nomor 10/DPRD/1999 tentang



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 123



Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya.13 Artinya, pembentukan 2 (dua) provinsi dan 4 (empat) kabupaten/kota dalam UU No.45 Tahun 1999 bukan hanya merupakan bentukan dari pemerintah pusat, melainkan juga ada usulan dari Masyarakat Papua yang diwakili oleh DPRD Provinsi Tingkat I Irian Jaya. Meskipun demikian, para wakil rakyat itu juga yang kemudian mengajukan pengujian konstitusionalitas UU No. 45 Tahun 1999 ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut MK) terhadap Pasal 18B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Negara RI Tahun 1945) pada 14 November 2003. Permohonan pengujian tersebut diajukan oleh John Ibo selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (selanjutnya disebut DPR Papua).14 Putusan untuk melakukan pengujian itu juga didasarkan pada hasil rapat pleno DPR Papua.15 Fakta ini menunjukkan bahwa terdapat silang pendapat mengenai pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota baru di dalam masyarakat Papua sehingga para wakil rakyatnya pun saling menganulir persetujuan yang satu dengan yang lainnya. Dari yang setuju dengan pembentukan dengan provinsi, kabupaten, dan kota baru dengan yang menentang usulan tersebut. Akibatnya, pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota baru masih menjadi perdebatan di antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Perdebatan ini masih terus berlanjut. Bahkan pada saat itu, kedua belah pihak saling berbenturan secara horizontal di lapangan sehingga mengakibatkan 5 (lima) nyawa menjadi korban karena



13



Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. 14



Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-I/2003 tentang Pengujian atas Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Larangan Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (11 November 2004), hlm. 1. 15



Ibid.



124 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



pertentangan kedua kubu tersebut. Konflik horizontal dan korban jiwa tersebut menjadi landasan bagi pemerintah pusat untuk melakukan pengkajian ulang atas pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota baru di Papua. Pengkajian ulang yang dilakukan pemerintah dipandang terlalu lama sehingga perlu diambil jalan pintas dengan mengajukan pengujian konstitusionalitas UU No.45 Tahun 1999 ke MK. Hasilnya, seperti yang diharapkan oleh pemohon. MK memutuskan bahwa UU No.45 Tahun 1999 dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945. Konsekuensi hukumnya, kemudian, sejak 11 November 2004 UU No.45 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku. Dalam mengajukan permohonannya kepada MK, pemohon membawa beberapa argumen dalam memperkuat dalil permohonannya. Pertama-tama, pemohon menyatakan bahwa MK berwenang menguji undang-undang yang diundangkan setelah perubahan pertama Undang undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),16 yaitu Undang-Undang yang diundangkan setelah 19 Oktober 1999. Kenyataannya, UU No. 45 Tahun 1999 diundangkan pada 4 Oktober 1999 sehingga seharusnya UU No.45 Tahun 1999 tidak dapat diujikan ke MK. Namun, MK berkehendak lain dan menerima argumentasi yang diajukan oleh pemohon. Argumentasi pemohon menyatakan bahwa UU No. 45 Tahun 1999 telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2000. Perubahan itu diundangkan pada 7 Juni 2000. Kondisi ini mengakibatkan UU No. 45 Tahun 1999, yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2000, dapat diajukan pengujian konstitusionalitasnya ke MK.17 Pemohon memosisikan diri sebagai Ketua DPR Papua yang mendapatkan legitimasi atas dasar Surat Kuasa Khusus dari 2 (dua)



16



Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Meskipun dalam perubahan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 yang dilakukan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ketentuan pembatasan undang-undang yang dapat diujikan ke Mahkamah Konstitusi dihapuskan. 17



Ibid., hlm. 3.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 125



orang Wakil Ketua DPRD Provinsi Papua, yaitu Paskalis Kossay dan Gayus Tambunan. Dengan surat kuasa itu, pemohon dapat mewakili DPR Papua. Apalagi keputusan untuk mengajukan permohonan konstitusionalitas UU No. 45 Tahun 1999 dihasilkan melalui rapat pleno DPR Papua.18 Sebagai lembaga yang ditugaskan oleh UUD Negara RI Tahun 1945, MK dapat melakukan uji materi undang-undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.19 Berkaitan dengan pengujian tersebut di atas, pemohon menjadikan Pasal 18B UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai “batu uji” dari UU No. 45 Tahun 1999. Sekalipun Pasal 18B UUD Negara RI Tahun 1945 disahkan setelah UU No. 45 Tahun 1999, namun perubahan atas undang-undang tersebut disahkan setelah perubahan pertama atas UUD 1945 pada 19 Oktober 1999. UU No. 45 Tahun 1999 ini dianggap masih berisi semangat Pasal 18 UUD 1945, di mana belum ada pengakuan terhadap pemerintahan daerah yang bersifat khusus ataupun istimewa. Dengan begitu, semangat yang dibawa oleh UU No. 45 Tahun 1999 dianggap bertentangan dengan semangat yang dibawa oleh Pasal 18B UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah mengakui pemerintahan daerah yang bersifat khusus maupun istimewa.20 Menurut pemohon, dengan ditetapkannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua sebagaimana diubah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua menjadi Undangundang (selanjutnya disebut UU Otsus Papua) maka aturan yang



18



Ibid., hlm. 130.



19 Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 20



Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 1999,op.cit hlm. 5.



126 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



terdapat di dalam UU No. 45 Tahun 1999, terutama mengenai pemekaran Provinsi Papua, menjadi tidak berlaku. Postulat ini dilandaskan pada asas lex posteriori derogate legi priori (undangundang baru mengesampingkan undang-undang yang terdahulu) maka Pasal 76 UU Otsus Papua yang mengatur mengenai pembentukan dan pemekaran Provinsi Papua harus dilakukan atas dasar persetujuan MRP dan DPR Papua dianggap telah mengesampingkan UU No. 45 Tahun 1999. Argumentasi ini sekaligus menunjukkan penolakan terhadap Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003. Dalam instruksi tersebut, presiden memerintahkan percepatan pembentukan Provinsi Papua Tengah dan Papua Barat. Perintah tersebut, menurut pemohon, seharusnya dilakukan oleh MRP dan DPR Papua; bukan presiden. Akibatnya, inpres tersebut dipandang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sehingga dapat dikesampingkan. Terakhir, dalam menguatkan dalilnya, pemohon menarasikan dinamika yang terjadi di Papua. UU No. 45 Tahun 1999, disebutkan berfungsi sebagai alat pemerintah pusat agar Papua tetap berada dalam kesatuan Wilayah NKRI. Akan tetapi, UU tersebut mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat di Papua melalui aksi demonstrasi besar-besaran di Papua dengan menduduki Gedung DPRD Provinsi Irian Jaya (sekarang Provinsi Papua). Respon yang diberikan oleh DPRD Provinsi Papua adalah dengan mengeluarkan Keputusan DPRD Nomor 11/DPRD/1999 yang berisi pernyataan Pendapat DPRD Provinsi Papua kepada Pemerintah Pusat untuk menolak Pemekaran Provinsi Irian Jaya.21 Pada bagian akhir dari permohonan pengujian konstitusionalitas UU No. 45 Tahun 1999, pemohon dalam petitumnya menyatakan bahwa pengajuan pemohonan ini dimaksudkan untuk menyelesaikan dualisme hukum dan menghindari terjadinya konflik horizontal lagi di kemudian hari.



21



Ibid hlm. 42.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 127



Di sisi yang berlawanan, baik Pemerintah maupun DPR RI dalam pembelaannya mempertanyakan legal standing dari pemohon yang dianggap tidak jelas. Selain itu, pemerintah juga tidak menganggap bahwa UU No. 45 Tahun 1999 tidak bertentangan dengan semangat Pasal 18B UUD Negara RI Tahun 1945. Pemerintah juga menyoroti UU Otsus Papua yang seharusnya tidak berlaku surut bagi UU No. 45 Tahun 1999. Maksudnya, pemerintah berpendapat bahwa seharusnya UU No. 45 Tahun 1999 tidak dikesampingkan dengan munculnya UU Otsus Papua. Pada putusannya majelis hakim MK memberikan pertimbangan hukum dengan menyepakati dalil pemohon bahwa UU No. 45 Tahun 1999 masuk ke dalam wewenang MK karena telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2000 yaitu pasca disahkannya amandemen pertama UUD 1945, khususnya kemunculan Pasal 18B. Selain itu, majelis hakim juga menyatakan pemohon memiliki kedudukan hukum ataupun legal standing sehingga pemohon termasuk pihak yang dapat mengajukan uji materiil dalam kasus ini. MK pun menilai UU No. 45 Tahun 1999 tidak bertentangan dengan UUD 1945, hanya saja MK dengan adanya perubahan UUD 1945 maka tercipta suatu tertib hukum baru yang mengakibatkan aturan yang lama kehilangan daya berlakunya. Bahkan lebih lanjut MK mengatakan segala hal yang telah timbul akibat UU No. 45 Tahun 1999 pun dianggap sah. MK memberikan pendapat bahwa UU Otsus Papua dan UU No. 45 Tahun 1999 memiliki pengaturan yang berbeda, sehingga kedua aturan tersebut tidak dapat dipertentangkan satu dengan yang lainnya. Justru MK, menyatakan bahwa UU Otsus Papua ini tidak konsisten dan bersifat mendua.22 Hal ini terlihat bahwa dalam UU tersebut mengakui Provinsi Papua dari 12 (dua belas) kabupaten dan 2 (dua) kota, termasuk Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan Kota Sorong yang dibentuk dengan dasar hukum UU No. 45



22



Ibid., hlm. 132-133.



128 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Tahun 1999, namun di lain sisi UU Otsus Papua sama sekali tidak mengatur tentang keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah yang telah dibentuk berdasarkan UU No. 45 Tahun 1999. Terdapat 2 (dua) alasan yang menjadi pertimbangan MK dalam memutus perkara ini. Yang pertama adalah prinsip efektivitas pemberlakuan undang-undang dan yang kedua adalah alasan untuk mengakhiri ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan konflik dalam masyarakat.23 MK menggunakan prinsip efektivitas karena MK mempertimbangkan kondisi faktual di Provinsi Irian Jaya Barat, yang antara lain terbukti dengan telah terbentuknya Pemerintah Provinsi Irian Jaya Barat dan DPRD hasil pemilu tahun 2004 beserta dengan kelengkapan administrasinya termasuk APBD. Selain itu, juga telah terpilihnya anggota DPD dari Provinsi Irian Jaya Barat. Sebaliknya, Provinsi Irian Jaya Tengah belum terealisasikan sama sekali pada saat itu.24 Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa keberadaan provinsi dan kabupaten/kota yang telah dibentuk berdasarkan UU No. 45 Tahun 1999 tetap sah. Selanjutnya, berkaitan dengan dasar pertimbangan pengakhiran ketidakpastian hukum, menurut MK, putusan ini dapat menyelesaikan perbedaan penafsiran secara yuridis antara UU No. 45 Tahun 1999 dan UU Otsus Papua. Sehingga, dapat mereduksi atau mengakhiri konflik yang terjadi di dalam masyarakat.25 Akhirnya, dalam amar putusan, MK menyatakan bahwa permohonan yang diajukan pemohon dikabulkan. Sekaligus menyatakan bahwa dengan disahkannya UU Otsus Papua, maka pemberlakuan UU No. 45 Tahun 1999 tidak lagi berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena dianggap bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945. Namun begitu, salah seorang hakim, yaitu Maruarar Siahaan, dalam dissenting opinion-nya 23



Ibid., hlm. 134.



24 Ibid., hlm. 135. 25 Ibid.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 129



menyatakan bahwa dengan hadir UU Otsus Papua yang meniadakan UU No. 45 Tahun 1999, seharusnya diikuti dengan pembatalan Provinsi Irian Barat (Papua Barat). Putusan MK dalam pengujian konstitusionalitas UU No.45 Tahun 1999 di atas menunjukkan bahwa MK menginginkan penyelesaian konflik di Papua dimulai dengan meniadakan dualisme pengaturan mengenai Papua, yaitu pengaturan dalam UU No. 45 Tahun 1999 dan UU Otsus Papua. Dengan menyatakan UU No. 45 Tahun 1999 bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 maka MK mengikuti argumen yang diajukan oleh pemohon, bahwa dualisme pengaturan itu yang menjadi sebab utama konflik yang terjadi di Papua, meskipun keputusan untuk membentuk kedua Undang-Undang tersebut berasal dari aspirasi Masyarakat Papua. Selain itu, putusan ini menunjukkan bahwa MK melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang; bukan terhadap Undang-Undang Dasar karena UU No. 45 Tahun 1999 dilawankan dengan UU Otsus Papua. MK menginginkan rivalitas dan konflik horizontal antar keduanya diakhiri. Oleh karenanya, rivalitas antara kelompok yang mendukung pemekaran dan yang menolak pemekaran Papua dipandang sebagai penyebab terjadinya konflik. Untuk mengakhiri rivalitas itu dimulai dari peniadaan dualisme pengaturan dalam undang-undang. Pilihan MK jatuh pada UU Otsus Papua dan membatalkan UU No. 45 Tahun 1999. Namun MK juga mempertimbangkan bahwa putusannya tidak dapat berlaku secara restroaktif, karena Putusan MK ditetapkan pada 2004 sedangkan proses pemekaran telah dilakukan sejak diundangkannya UU No. 45 Tahun 1999. Oleh sebab itu, MK menggunakan prinsip efektivitas dalam menilai kondisi faktual pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999. Dengan melihat kondisi faktual dengan dilandasi oleh prinsip efektivitas maka MK menyatakan bahwa Provinsi Papua Barat dan 4 (empat) kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan UU No. 45 Tahun 1999 tetap dipertahankan. Daerah ini dipertahankan karena



130 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



supra struktur politiknya sudah terbentuk dan melaksanakan kewenangannya, sedangkan Provinsi Papua Tengah belum terbentuk supra struktur politiknya, kecuali gubernur. Oleh sebab itulah keberadaan Provinsi Papua Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong tetap dipertahankan keberadaannya sampai saat ini. Apabila kemudian terdapat keinginan untuk membentuk Provinsi Papua Tengah maka harus dilakukan dengan membentuk undang-undang baru; tidak mungkin dilakukan dengan “menghidupkan kembali” UU No. 45 Tahun 1999. Ide menghidupkan kembali dapat dilakukan hanya dalam ranah spirit pada UU baru; bukan dengan mengambil alih substansi yang diatur dalam UU No. 45 Tahun 1999. Oleh sebab itu, proses pembentukan Provinsi Papua Tengah harus dilaksanakan menurut ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 131



132 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



BAB IV TANTANGAN PEMBENTUKAN PROVINSI PAPUA TENGAH



Seperti telah dijelaskan pada bagian awal laporan ini, meskipun studi ini tidak menitikberatkan pada perhitungan kelayakan, tapi menimbang keterpenuhan terhadap parameter-parameter pembentukan Provinsi Papua Tengah tetap akan dilakukan dalam perspektif kebutuhan. Artinya, skoring bukan dimaksudkan untuk menjustifikai layak atau tidaknya pembentukkan provinsi baru tapi lebih sebagai upaya dalam menegaskan kebutuhan dan tantangan yang harus dihadapi jika cita-cita pemekaran ini ingin dilanjutkan. Hingga saat ini acuan detil mengenai pemekaran daerah masih merujuk pada PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukkan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah meskipun dari sisi substansi parameter-parameternya sudah terwadahi dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Karena hingga saat ini UU tersebut belum didetilkan ke dalam PP meskipun draft Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penataan Daerah sudah disiapkan oleh Pemerintah, maka skoring ini akan berpijak pada UU No. 23/2014 dan draft RPP yang sudah ada. Selain itu, perlu ditegaskan sejak awal bahwa wilayah yang dimasukkan ke dalam perhitungan ini adalah 11 kabupaten yang secara substansi sesuai dengan cakupan wilayah pada UU No. 45/1999 tentang Pembentukkan Provinsi Irian Jaya Tengah. Sekali lagi, skoring kelayakan ini akan dibungkus sebagai tantangan dalam mempersiapkan pembentukkan Provinsi Papua Tengah.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 133



A. Persyaratan Administratif Materi yang mengatur pembentukan daerah ditentukan dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (selanjutnya disebut UU Pemda). Proses awal pembentukan daerah otonom baru dimulai dengan pembentukan daerah persiapan, baik itu daerah persiapan provinsi, kabupaten, ataupun kota. Pembentukan daerah persiapan harus memenuhi syarat dasar dan syarat administratif. Adapun syarat dasar tersebut meliputi: 1. Persyaratan dasar kewilayahan: a. Luas minimal wilayah; b. Jumlah penduduk minimal; c. Batas wilayah; d. Cakupan wilayah; e. Batas usia minimal daerah; 2. Persyaratan dasar kapasitas daerah dengan parameter a. Geografi; b. Demografi; c. Keamanan; d. Sosial politik, adat, dan tradisi; e. Potensi ekonomi; f. Keuangan daerah; dan g. Kemampuan penyelenggaraan wilayah.



Khusus daerah persiapan provinsi batas usia minimal provinsi asal adalah 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan persyaratan administratif yang diperlukan adalah: 1) Persetujuan bersama DPRD Kabupaten/Kota dengan Bupati/Wali Kota yang akan menjadi cakupan wilayah daerah persiapan provinsi; dan 2) 134 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Persetujuan bersama DPRD Provinsi Induk dengan Gubernur Daerah Provinsi Induk. Apabila daerah persiapan yang telah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif, pembentukan daerah persiapan diusulkan oleh gubernur kepada pemerintah dan DPR RI atau DPD RI. Berdasarkan usulan tersebut pemerintah melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif. Dalam hal usulan pembentukan daerah persiapan dinyatakan memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif, DPR-RI dan DPDRI memberikan persetujuan kepada pemerintah untuk membentuk tim kajian independen. Tim kajian inilah yang akan melakukan analisis terhadap pemenuhan persyaratan dasar kapasitas daerah. Apapun yang dihasilkan oleh tim kajian ini disampaikan kepada pemerintah dan selanjutnya dikonsultasikan kepada DPR dan DPRRI. Hasil konsultasi tersebut akan menjadi pertimbangan pemerintah untuk menetapkan kelayakan pembentukan daerah persiapan. Jika sampai pada putusan membentuk daerah persiapan, pemerintah menetapkan peraturan pemerintah untuk memberikan dasar hukum pembentukan daerah persiapan. Jangka waktu daerah persiapan ini selama 3 (tiga) tahun dan daerah ini dipimpin oleh seorang kepala daerah persiapan ini diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan dan diangkat atau diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri. Untuk pendanaan penyelenggaraan pemerintahan pada daerah persiapan, diadakan pendanaan yang berasal dari: 1) Bantuan pengembangan daerah persiapan yang bersumber dari APBN; 2) Bagian pendapatan dari pendapatan asli daerah induk yang berasal dari daerah persiapan; 3) Penerimaan dari bagian dana perimbangan daerah induk; dan 4) Sumber pendapatan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 135



Pendanaan penyelenggaraan pemerintah daerah persiapan ditetapkan dalam APBD daerah induk. Selain itu, daerah induk juga berkewajiban untuk: 1) Membantu penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan; 2) Melakukan pendataan personel, pembiayaan, peralatan, dan dokumentasi; 3) Membuat pernyataan kesediaan untuk menyerahkan personel, pembiayaan, peralatan, dan dokumentasi apabila daerah persiapan ditetapkan menjadi daerah baru; dan 4) Menyiapkan dukungan dana. Sedangkan daerah persiapan berkewajiban untuk: 1) 2) 3) 4)



Menyiapkan sarana dan prasarana pemerintahan; Mengelola personel, peralatan, dan dokumentasi; Membentuk perangkat daerah persiapan; Melaksanakan pengisian jabatan aparatur sipil negara pada perangkat daerah persiapan; 5) Mengelola anggaran belanja daerah persiapan; dan 6) Menangani pengaduan masyarakat. Masyarakat di daerah persiapan, pemerintah, DPR, dan DPD RI melakukan pengawasan, pembinaan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan yang dilakukan oleh daerah persiapan. Selanjutnya, pemerintah melakukan evaluasi akhir untuk menilai kemampuan daerah persiapan dalam melaksanakan kewajibannya. Hasil evaluasi akhir tersebut nantinya akan dikonsultasikan kepada DPR-RI dan DPD-RI. Dalam hal daerah persiapan yang berdasarkan hasil evaluasi akhir dinyatakan layak, maka ditingkatkan statusnya menjadi daerah baru dan ditetapkan dengan undang-undang. Prosedur dan persyaratan yang diuraikan di atas merupakan prosedur normal, namun UU Pemda menyediakan prosedur lain. Prosedur ini disediakan untuk memberikan kemungkinan



136 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



pembentukan DOB berdasarkan kepentingan strategis nasional.26 Prosedurnya serupa namun dengan proses yang lebih singkat dan persyaratan yang lebih sederhana. Lebih singkat karena waktu daerah persiapannya hanya selama 5 (lima) tahun dan prosedurnya langsung didasarkan pada pertimbangan dari sisi pemerintah. Oleh karena itu, bisa saja DOB menggunakan pola ini jika ingin dibentuk Provinsi Papua Tengah. Detail mengenai proses, prosedur dan persyaratan pembentukan DOB belum sepenuhnya tuntas diatur dalam UU Pemda. Masih diperlukan adanya peraturan pemerintah untuk mengatur hal tersebut.27 Namun sampai saat ini peraturan pemerintah tersebut belum ditetapkan. Meskipun demikian dan berdasarkan ketentuan peralihan dalam UU Pemda, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah dapat digunakan. Walaupun persyaratan dan prosedur sudah berbeda dengan ketentuan dalam UU Pemda yang baru pada bagian pembentukkan daerah persiapan. Di sisi yang lain, pembentukan DOB di Papua wajib mematuhi ketentuan Pasal 76 UU Otsus Papua yang mensyaratkan bahwa pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR Papua setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang. Konsekuensinya, persyaratan administratif pembentukan DOB di Papua tidak hanya memerlukan persetujuan bersama antara DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang wilayahnya akan digabung menjadi wilayah provinsi namun juga diperlukan persetujuan dari MRP dan DPR Papua. Oleh sebab itu, pernyataan 7 (tujuh) bupati yang menginginkan pembentukan Provinsi Papua Tengah baru merupakan tahapan sangat awal untuk membentuk Provinsi Papua Tengah karena masih ada persyaratan 26



Pasal 49 sampai Pasal 53 UU No. 23 Tahun 2014.



27 Pasal 55 UU No. 23 Tahun 2014.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 137



administratif, persyaratan kewilayahan, dan persyaratan kapasitas daerah yang perlu dipersiapkan.



Gambar 4. 1. Persyaratan Administratif



Persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/wali kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan provinsi;



Persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur daerah provinsi induk.



Persetujuan MRP dan DPR Papua



Sumber: UU No. 23/2014 dan UU No. 21/2001



Ide pembentukan Provinsi Papua Tengah juga harus mempertimbangkan perubahan UU Otsus Papua. Dalam UU Otsus Papua hanya melingkupi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Sehingga, diperlukan sinkronisasi dengan dan perubahan UU Otsus Papua jika menginginkan Provinsi Papua Tengah juga memiliki kewenangan otonomi khusus, layaknya yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Perubahan itu menyasar Pasal 1 Angka a UU Otsus Papua sebab ketentuan inilah yang menjadi landasan bagi provinsi dan wilayah mana saja yang mendapat kewenangan khusus. Sebelum membahas lebih detil tentang tantangan kewilayahan dan administratif, perlu dijelaskan di sub bagian ini bahwa perhitungan terhadap kelayakan pembentukkan Provinsi Papua Tengah akan mencakup sebelas kabupaten yaitu: Mimika, Puncak, Nabire, Yapen, Paniai, Deiyai, Intan Jaya, Biak Numfor, Waropen,



138 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Supiori, dan Dogiyai. Kesebelas daerah tersebut dipilih pertama karena menyesuaikan dengan cakupan wilayah dalam UU No.45/1999 tentang Pembentukkan Provinsi Irian Jaya Tengah. Selain itu, pemilihan cakupan wilayah juga didasarkan pada kepentingan untuk mengintegrasikan seluruh wilayah adat yang ada di Papua Tengah sehingga dapat mengurangi segregasi antara pemilahan wilayah adat dan antara wilayah gunung dan pantai. Dengan asumsi itu, pembentukkan wilayah baru diarahkan untuk mempersatukan Papua bukan untuk memisah-misahkan dan mempertegas perbedaan budaya dan adat.



B. Tantangan Kewilayahan Pembentukkan daerah baru harus mempertimbangkan aspek pemenuhan syarat dasar kewilayahan yang mencakup luas wilayah minimal, jumlah penduduk minimal, batas wilayah, cakupan wilayah, dan batas usia minimal. Calon daerah persiapan Provinsi Papua Tengah secara umum telah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan tersebut meskipun belum maksimal. Aspek-aspek seperti batas wilayah, cakupan wilayah, dan batas usia minimal telah memadai untuk mendukung rencana pembentukkan Provinsi Papua Tengah. Sebaliknya, meskipun aspek luas wilayah dan jumlah penduduk masih berada di bawah rata-rata daerah pembanding, tapi aspek tersebut justru menegaskan kembali pentingnya menghadirkan pemerintahan baru.



1. Luas Wilayah Minimal Pembentukan daerah persiapan harus memenuhi syarat luas minimal dengan cara membandingkan dengan daerah sekitar. Untuk melihat keterpenuhan tersebut, maka luas cakupan rencana Provinsi Papua Tengah akan dibandingkan dengan luas minimal. Sedangkan luas minimal ditentukan dengan menjumlahkan rata-rata luas wilayah daerah provinsi dalam kelompok pulau atau kepulauan ditambah luas wilayah daerah



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 139



provinsi terkecil dalam kelompok pulau atau kepulauan – yaitu Provinsi Papua Barat dan Papua – kemudian dibagi 2 (dua). Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut: Gambar 4. 2. Peta Wilayah calon Provinsi Papua Tengah



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



140 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Tabel 4. 1. Perbandingan Luas Wilayah Papua Barat, Papua, dan Papua Tengah



Papua Barat



Papua



Luas Minimal



Papua Tengah



Persentase Keterpenuhan



95.228,25



318.408,01



151.023,19



72.711,43



48,15



Sumber Data: Hasil olah Tim Kajian dari data BIG 2018



Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa luas wilayah calon daerah persiapan Provinsi Papua Tengah terlihat masih timpang jika dibandingkan terutama dengan luas wilayah induk Provinsi Papua seperti ditunjukkan dengan persentase pemenuhan yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh cakupan wilayah Papua yang masih luas. Sejalan dengan itu, pembentukan Provinsi Papua Tengah justru memiliki semangat untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik di wilayah Papua. Dalam konteks Papua, cakupan wilayah yang sangat luas dan kondisi geografis yang sangat sulit menjadi salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Tantangan tersebut mengakibatkan biaya koordinasi dalam pelaksanaan berbagai program pembangunan menjadi sangat tinggi. Sebagai contoh, penyelenggaraan urusan pendidikan pada jenjang menengah atas yang merupakan kewenangan pemerintah provinsi. Pelaksanaan supervisi pada sekolahsekolah SMA masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Provinsi Papua karena luasnya cakupan wilayah dan sulitnya akses transportasi menuju lokasi tempat dilakukannya supervisi. Oleh karena itu, pembentukan Provinsi Papua Tengah menjadi alternatif strategi untuk meningkatkan kualitas layanan publik dengan memperpendek rentang kendali dalam koordinasi dan supervisi penyelenggaraan berbagai urusan dalam pelayanan publik.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 141



2. Jumlah Penduduk Minimal Pembentukan daerah persiapan juga perlu mempertimbangkan jumlah penduduk minimal. Perhitungan jumlah penduduk minimal diperoleh dengan menghitung ratarata jumlah penduduk daerah provinsi dalam kelompok pulau atau kepulauan ditambah jumlah penduduk daerah provinsi terkecil dalam kelompok pulau atau kepulauan yaitu Provinsi Papua Barat dan Papua induk, kemudian dibagi 2 (dua). Tabel 4. 2. Perbandingan Jumlah Penduduk Papua Barat, Papua dan Papua Tengah



Papua Barat



Papua



Jumlah Penduduk Minimal



Papua Tengah



Persentase Keterpenuhan



937.458,00



3.322.526,00



1.533.725,00



1.162.322,00



75,78



Sumber Data: Hasil olah Tim Kajian Pemekaran Fisipol UGM atas data BPS 2019



Gambar 4. 3. Perbandingan Jumlah Penduduk Papua Barat, Papua dan Papua Tengah



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



142 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Berdasarkan hasil perhitungan di atas, calon daerah persiapan Provinsi Papua Tengah memiliki jumlah penduduk yang relatif seimbang dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua Barat dan Papua meskipun berada dibawahnya dengan persentase keterpenuhan mencapai 75,78%. Jika dilihat dari segi sebaran penduduk, rata-rata kepadatan penduduk calon Provinsi Papua Tengah mencapai 16 jiwa/km2. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata kepadatan penduduk Papua tanpa Papua Barat yang hanya mencapai 9 jiwa/km2. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pembentukan baru tidak akan mengurangi kepadatan penduduk Provinsi Papua secara drastis. Kedua provinsi tersebut masih memiliki kuantitas sumber daya manusia yang memadai.



3. Batas Wilayah Aspek lain yang diperhatikan dalam pembentukan daerah adalah batas wilayah. Batas wilayah yang dimaksud meliputi batas daerah di darat dan batas daerah di laut. Cakupan wilayah Provinsi Papua Tengah akan berbatasan dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, Laut Arafura dan Kabupaten Kepulauan Aru di sebelah selatan, dan Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Kaimana di sebelah barat. Sedangkan di sebelah timur, wilayah Provinsi Papua Tengah akan berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Nduga, dan Kabupaten Asmat.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 143



Gambar 4. 4. Peta Batas Wilayah Calon Daerah Persiapan



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Kejelasan batas wilayah menjadi peluang untuk menjadikan Papua Tengah sebagai daerah vital di kawasan Pasifik. Pembentukan Provinsi Papua Tengah memiliki arti penting dalam membangun Indonesia dari pinggiran dan menempatkan Papua pada posisi strategis sebagai pintu gerbang Indonesia di kawasan Pasifik. Posisi Indonesia di kawasan Pasifik tidak bisa dipandang sederhana, apalagi setelah Indonesia bergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG). Keanggotaan tersebut di satu sisi berpotensi meningkatkan kerjasama antar negara, namun di sisi lain juga mengundang tantangan karena sorotan atas masalah Papua juga datang dari negara anggota MSG. Oleh karena itu, mengangkat harkat dan martabat Tanah Papua merupakan kepentingan strategis nasional, selain untuk menghindari sorotan negatif, sekaligus memosisikan Papua



144 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



menjadi wilayah yang memiliki peran penting di kawasan Pasifik.



4. Cakupan Wilayah Parameter lain yang juga penting adalah cakupan wilayah yang akan mejadi daerah bawahan Provinsi Papua Tengah. Cakupan wilayah daerah persiapan provinsi paling sedikit harus mencakup 5 (lima) daerah kabupaten/kota. Hingga saat ini, berdasarkan konsensus yang sedang dibangun, maka cakupan wilayah daerah persiapan Papua Tengah telah mencapai 11 kabupaten dengan total distrik sebanyak 157. Rencana cakupan wilayah daerah persiapan Provinsi Papua Tengah meliputi: Tabel 4. 3. Cakupan Wilayah Calon Daerah Persiapan Provinsi Papua Tengah



No.



Kabupaten



Jumlah Distrik



1



Mimika



18



2



Puncak



25



3



Nabire



15



4



Yapen



16



5



Paniai



24



6



Deiyai



5



7



Intan Jaya



8



8



Biak Numfor



19



9



Waropen



12



10



Supiori



5



11



Dogiyai



10



Jumlah



157



Sumber Data: BPS Provinsi Papua Tahun 2019



Jika ditinjau dari segi kewilayahan, 11 kabupaten yang menjadi cakupan wilayah calon Provinsi Papua Tengah merupakan kombinasi antara daerah pesisir pantai dan pegunungan tengah Papua. Jika dilihat dari basis pembagian



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 145



wilayah adat, 11 daerah tersebut merupakan kombinasi antara wilayah adat Mee Pago, La Pago, dan Saireri. Berdasarkan kedua kondisi tersebut, kombinasi cakupan wilayah calon Provinsi Papua Tengah memiliki peluang dalam rangka menghindarkan dari segregasi wilayah Papua berdasarkan wilayah adat sehingga diharapkan dapat mempererat hubungan antara masyarakat di pesisir pantai dan pegunungan dan antar orang Papua dari ketiga wilayah adat.



5. Batas Usia Minimal Mempertimbangkan usia kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan Provinsi Papua Tengah dan daerah induk merupakan aspek penting untuk melihat kesiapan penyelenggaraan pemerintahan ke depan. Provinsi Papua dan kabupaten – kabupaten yang menjadi daerah bawahan calon Provinsi Papua Tengah rata-rata sudah berusia di atas tujuh tahun. Berikut ini merupakan detail usia Provinsi Papua dan cakupan daerah bawahan calon Provinsi Papua Tengah: Tabel 4. 4. Usia Daerah Provinsi Induk dan Kabupaten yang Menjadi Calon Daerah Bawahan Provinsi Papua Tengah



Dasar Hukum Pembentukan



Provinsi Papua



Undang-undang Nomor 12 tahun 1969



51



10



Memenuhi Batas Usia Minimal



Kabupaten Nabire



Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 1996



24



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



Kabupaten Yapen



Undang-undang Nomor 12 tahun 1969



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



146 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Usia Daerah



Batas Usia Minimal



Kabupaten/ Provinsi



51



Keterangan



Kabupaten/ Provinsi



Dasar Hukum Pembentukan



Usia Daerah



Batas Usia Minimal



Keterangan



Kabupaten Biak Numfor



Undang-undang Nomor 12 tahun 1969



51



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



Kabupaten Paniai



Undang-undang Nomor 12 tahun 1969/



51



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



Kabupaten Mimika



Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999



21



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



Kabupaten Waropen



Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



Kabupaten Supiori



Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2003



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



Kabupaten Puncak



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008



12



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



Kabupaten Dogiyai



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2008



12



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



Kabupaten Intan Jaya



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008



12



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



Kabupaten Deiyai



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2008



7



Memenuhi Batas Usia Minimal



18



17



12



Sumber: Hasil olah Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Fisipol UGM



Dengan demikian, data di atas menunjukkan bahwa kabupaten-kabupaten yang akan menjadi daerah bawahan Provinsi Papua Tengah telah berdiri antara 12 hingga 51 tahun.



Kajian Akademik Pembentukan Provinisi Papua Tengah | 147



Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik sudah hadir sejak lama sehingga diasumsikan bahwa masyarakat telah memiliki pengalaman panjang dalam berpemerintahan. Hadirnya pemerintahan baru di tingkat provinsi memiliki peluang yang besar untuk bisa melewati masa transisi dengan cepat. Oleh karena itu, usia daerah-daerah bawahan yang sudah cukup lama menjadi modal besar bagi rencana pembentukan Provinsi Papua Tengah ke depan.



C. Tantangan Kapasitas Daerah Pembentukan daerah baru juga harus mempertimbangkan pemenuhan syarat dasar kapasitas daerah. Kapasitas daerah diukur dengan 7 parameter yaitu: (1) geografi, (2) demografi, (3) keamanan, (4) sosial politik adat dan tradisi, (5) potensi ekonomi, (6) keuangan daerah, dan (7) penyelenggaraan pemerintahan. Setiap parameter kapasitas daerah terdiri dari satu atau lebih dari satu indikator dan setiap indikator terdiri dari satu atau lebih sub indikator. Untuk menilai pemenuhan kapasitas daerah, maka beberapa tahapan perlu dilakukan. Tahap pertama yaitu menghitung perbandingan parameter, indikator dan sub-indikator cakupan wilayah daerah persiapan Papua Tengah dengan pengelompokan Pulau Papua, sehingga menghasilkan skor subindikator. Skor sub-indikator berkisar antara satu sampai lima. Skor lima menunjukkan kondisi yang maksimal, namun untuk subindikator aksesibilitas pelayanan dasar pendidikan, aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan, dan aksesibilitas pelayanan dasar infrastruktur menunjukkan kondisi yang minimal. Tahap kedua, hasil skor akan dikalikan dengan bobot masing-masing subindikator. Setiap sub-indikator memiliki bobot tertentu sesuai dengan tingkat kepentingannya. Tahapan akhir dalam penilaian persyaratan kapasitas daerah yaitu dengan menjumlahkan seluruh nilai sub-indikator.



148 | Urgensi Reinstrumentasi Otonomi Khusus Papua



Calon daerah persiapan yang memenuhi nilai total antara 400 hingga 500 dianggap sebagai calon daerah dengan kategori berkapasitas. Jika batas minimal nilai total tersebut tidak terpenuhi calon daerah masuk kategori tidak berkapasitas. Tabel 4. 5. Kriteria Kelayakan



No



Nilai Total



Kategori



1



400-500



Berkapasitas



2